TINJAUAN PUSTAKA Angin sebagai Pembangkit Gelombang Angin merupakan massa udara yang bergerak (Lakitan, 2002). Angin dapat bergerak secara horisontal maupun secara vertikal dengan kecepatan yang bervariasi dan berfluktuasi secara dinamis. Faktor pendorong bergeraknya massa udara adalah adanya perbedaan tekanan udara antara satu tempat dengan tempat yang lain. Arah tiupan angin dari tempat bertekanan tinggi ke tempat bertekanan rendah, hal ini terjadi jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhi. Adanya perputaran bumi berpengaruh terhadap arah pergerakan angin ini yang dikenal dengan pengaruh Coriolis (Coriolis Effect). Menurut Davis (1991), ada tiga faktor penentu karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin yaitu:(1) lama angin bertiup atau durasi angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch (jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkit gelombang atau daerah pembangkitan gelombang). Semakin lama angin bertiup, semakin besar jumlah energi yang dihasilkan dalam pembangkitan gelombang. Demikian halnya dengan fetch, gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya memperoleh sedikit tambahan energi. Faktor lain yang turut mempengaruhi karakteristik gelombang adalah lebar fetch, kedalaman perairan, kekasaran dasar, stabilitas atmosfer dan sebagainya (Yuwono, 1994). Gelombang Gelombang timbul akibat adanya gaya-gaya alam yang bekerja di laut seperti tekanan atau tegangan dari atmosfir (angin), gempa bumi, gaya gravitasi bumi dan benda-benda angkasa (bulan dan matahari), gaya coriolis (akibat rotasi bumi), dan tegangan permukaan (Sorensen 1991; Komar 1998). Bascom (1959) dalam Bird (1984) menambahkan bahwa gelombang adalah gerakan berombak dari permukaan air yang dihasilkan oleh tiupan angin yang bergerak di atasnya. Pergerakan gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasan (reflection) dan akan memusat (convergence) jika mendekati semenanjung dan mengalami penyebaran (divergence ) jika mendekati cekungan. (Triatmodjo, 1999; CERC, 1984; CHL, 2002). Keadaan gelombang sangat dipengaruhi oleh
7
keadaan topografi dari dasar laut, yaitu keadaan dasar, kelengkungan garis pantai dan tonjolan dasar laut. Ippen (1966); Triatmodjo (1999); CHL (2002), mengklasifikasikan gelombang pada kedalaman relatif berdasarkan perbandingan antara kedalaman air (d) dan panjang gelombang L (d/L) sebagai berikut : 1. Gelombang laut dangkal, jika
d / L ≤ 1/20
2. Gelombang laut transisi, jika
1/20 < d / L <1/2
3. Gelombang laut dalam, jika
d / L ≥ 1/2
Klasifikasi berdasarkan kedalaman menyederhanakan rumus-rumus gelombang.
relatif
dimaksudkan
untuk
Transformasi Gelombang Gelombang akan pecah apabila tinggi gelombang telah mencapai titik batas tertentu yang berhubungan dengan panjang gelombang dan kedalaman air (CERC, 1984; Horikawa, 1988; Triatmodjo, 1999). Daerah dengan kedalaman air lebih besar dari setengah panjang gelombang, gelombangnya menjalar tanpa dipengaruhi oleh dasar laut. Pada daerah transisi dan dangkal, penjalaran gelombang dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Sedangkan difraksi gelombang dapat terjadi apabila tinggi gelombang di suatu titik pada garis didekatnya yang mengakibatkan perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang lebih kecil. Gelombang pecah berbeda bentuknya, pada prinsipnya tergantung pada tinggi dan periode gelombang serta perubahan kemiringan laut. Bentuk gelombang pecah diklasifikasikan menjadi empat kategori (Iversen, 1952; Hayami, 1958; Wiegel, 1964; Galvin, 1968, 1972) dalam Horikawa (1988), yaitu spilling, plunging, surging dan collapsing. Triatmodjo (1999) menyatakan bahwa gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringan, yaitu perbandingan antara tinggi dan panjang gelombang. Di laut dalam kemiringan gelombang maksimum, sedangkan gelombang mulai tidak stabil.
8
Posisi dengan kemiringan tersebut, kecepatan partikel di puncak gelombang sama dengan kecepatan rambat gelombang. Kemiringan yang lebih tajam dari batas maksimum menyebabkan kecepatan partikel di puncak gelombang lebih besar dari kecepatan rambat gelombang, sehingga terjadi ketidakstabilan. Pergerakan gelombang menuju laut dangkal tergantung dari kedalaman relatif d/L dan kemiringan laut m. Gelombang dari laut dalam bergerak menuju pantai bertambah kemiringannya sampai tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu, disebut kedalaman gelombang pecah (db) Munk (1949) dalam Triatmodjo (1999). Pada pertumbuhan gelombang laut dikenal beberapa istilah seperti : 1. Fully developed seas, kondisi di mana tinggi gelombang mencapai harga maksimum (terjadi jika fetch cukup panjang). 2. Fully limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh fetch. Dalam hal ini panjang fetch (panjang daerah pembangkit angin) dapat dibatasi oleh garis pantai atau dimensi ruang dari medan angin 3. Duration limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh lamanya waktu dari tiupan angin 4. Sea waves, gelombang yang tumbuh di daerah medan angin. Kondisi gelombang di sini adalah curam yaitu panjang gelombang berkisar antara 10 sampai 20 kali lebih tinggi gelombang 5. Swell waves (swell), gelombang yang tumbuh (menjalar) di luar medan angin. Kondisi gelombang di sini adalah landai yaitu panjang gelombang berkisar antara 30 sampai 500 kali tinggi gelombang, (Ningsih 2000). Pada umumnya bentuk gelombang di alam adalah sangat rumit dan sulit digambarkan secara matematis (Triatmodjo, 1999; CHL, 2002). Kerumitan tersebut akibat perambatan yang tidak linier, tiga dimensi dan mempunyai bentuk yang acak (suatu deret gelombang mempunyai tinggi dan periode berbeda). Beberapa teori yang ada hanya menggambarkan bentuk gelombang yang sederhana dan merupakan pendekatan gelombang alam. Ada beberapa teori dengan berbagai kerumitan dan ketelitian untuk menggambarkan gelombang di alam, diantaranya adalah teori Airy, Stokes, Gerstner, Mich, Knoidal, dan teori gelombang tunggal (solitari wave). Teori gelombang Airy merupakan gelombang
9
amplitudo kecil, sedang teori yang lain adalah gelombang amplitudo terbatas (finite amplitude waves). Pengembangan pemahaman gelombang yang lebih lanjut adalah menentukan spektrum gelombang, yang menyatakan permukaan laut nyata sebagai superposisi dari sejumlah besar gelombang yang menjalar dengan periode, amplitudo, dan arah yang berbeda-beda (Bowden, 1983 dalam Massel, 1994). Bila distribusi energi gelombang hanya tergantung pada frekwensi, maka distribusi energi tersebut dinamakan spektrum searah atau spektrum frekwensi. Spektrum ini dikemukakan berdasarkan pada pengamatan gelombang laut. Spektrum gelombang laut kadang-kadang memiliki pola yang sangat rumit dimana terlihat spektrum frekwensi yang memliki puncak lebih dari satu. Bentuk spektrum ini merupakan respon dari sejumlah mekanisme. Salah satunya adalah superposisi beberapa sistem gelombang yang mendekati titik pengamatan. Spektrum yang umum dikenal antara lain spektrum Pierson-Moskowitz (1964), spektrum Bretschneider (1959), spektrum Goda (1985), dan spektrum JONSWAP (1973).
Karakteristik Sedimen Berdasarkan sumbernya, Barnes (1969) membagi jenis sedimen, yakni sedimen dari limpasan sungai yang jenisnya banyak mempengaruhi pembentukan morfologi pantai di sekitar muara sungai (disebut sedimen of inlets) dan sedimen dari darat yang terangkut ke laut oleh angin dan drainase atau penguraian sisa-sisa organisme (disebut pyroclastic sediment). Seibold dan Berger (1993) menyatakan bahwa terdapat tiga jenis utama sedimen, yaitu sedimen yang memasuki perairan laut dalam bentuk partikel, tersebar dan kemudian mengendap di dasar laut atau disebut lithogenous, sedimen yang berasal dari presipitasi langsung dari cairan atau hydrogenous dan sedimen yang berasal dari organisme yang lazim disebut biogenous. Parker dan Mehta (1982) dalam Kennedy (1982) menyatakan bahwa suspensi yang bergerak (mobile), mengendap atau mengumpul menjadi lumpur diam, kemudian sebagian dapat teraduk dan kembali ke suspensi bergerak dan sebagian lagi mengalami konsolidasi atau pemadatan menjadi sedimen lumpur
10
selanjutnya sebagian dapat tererosi lagi menjadi suspensi yang bergerak atau mobile suspensi. Sedangkan
menurut
Wentworth
(1922)
dalam
Dyer
(1986)
mengklasifikasikan sedimen berdasarkan ukuran butir penyusun fraksi sedimen yaitu kelompok lempung (clay), lanau (silt), pasir (sand), kerikil (cobble), koral (pebble), dan batu (boulder). Tabel 1 Klasifikasi ukuran butir Diameter Butir ø (phi) 2 −φ (mm) Boulder < -8 > 256 Cobble -6 s.d -8 64 – 256 Pebble -2 s.d -6 4 – 64 Granule -1 s.d -2 2–4 Very Coarse Sand 0 s.d -1 1–2 Coarse Sand 1 s.d 0 0.5 – 1 Medium Sand 2 s.d 1 0.25 – 1 Fine Sand 3 s.d 2 0.125 – 0.25 Very Fine Sand 4 s.d 3 0.062 – 0.125 Silt 8 s.d 4 0.0039 – 0.062 Clay >8 < 0.0039 Sumber: Wentworth (1922) dalam Dyer (1986) Kelas Ukuran Butir
Dalam distribusinya di perairan, berbagai jenis sedimen mengalami percampuran seiring dinamika perairan, sehingga membutuhkan metode penamaan yang mendeskripsikan percampuran ini. Penamaan sampel sedimen tersebut menggunakan sistem grafik trianguler seperti pada gambar di bawah.
Gambar 2 Diagram segitiga campuran lumpur, pasir, dan kerikil. (Sumber : Buchanan, 1984 dalam Holme dan Mc Intyre, 1984)
11
Krumbein (1934) dalam Dyer (1986) mengembangkan skala Wentworth dengan menggunakan unit phi (φ). Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah pengklasifikasian jika suatu sampel sedimen mengandung partikel yang berukuran kecil dalam jumlah yang besar. Skala phi didasarkan pada logaritma negatif berbasis dua dengan bentuk konversi φ = − log 2 d , simbol d merupakan diameter
partikel dalam unit mm dan tanda negatif digunakan agar partikel dengan diameter <1 mm memiliki nilai phi yang positif. Untuk mengkonversi unit phi menjadi milimeter (mm) digunakan D = 2 −φ , (CHL, 2002). Ukuran suatu partikel mencerminkan (1) keberadaan partikel dari jenis yang berbeda, (2) daya tahan (resistensi) partikel terhadap proses pelapukan (weathering). erosi atau abrasi dan (3) proses pengangkutan dan pengendapan material, misalnya kemampuan angin atau air untuk memindahkan partikel (Friedman and Sanders 1978). Selanjutnya Gross (1993) menjelaskan bahwa ukuran partikel sangat penting dalam menentukan tingkat pengangkutan sedimen dari ukuran tertentu dan tempat sedimen tersebut terakumulasi di laut. Ukuran butir median D50 adalah yang paling banyak digunakan untuk ukuran butir pasir. Untuk mengukur derajat penyebaran ukuran butir terhadap nilai rerata sering digunakan koefisien S0 yang merupakan hubungan antara D75 dan D25. kisaran nilai S0 akan memberikan interpretasi, bahwa ukuran butir pasir seragam (1,0 ≤ S0 ≤ 1,5), penyebaran ukuran butir pasir sedang (1,5 ≤ S0 ≤ 2,0), gradasi ukuran pasir sangat bervariasi (2,0 ≤ S0). Parameter penting lain dalam mekanisme transpor sedimen adalah kecepatan endap butir sedimen, terutama untuk sedimen suspensi. Untuk sedimen non kohesif, seperti pasir, kecepatan endap dapat dihitung dengan rumus Stokes yang bergantung pada rapat massa sedimen dan air, viskositas air, dimensi dan bentuk partikel sedimen. Untuk sedimen non kohesif, kecepatan endap dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsentrasi sedimen suspensi, salinitas dan diameter partikel. Konsentrasi suspensi adalah parameter paling penting dalam proses flokulasi, yang berarti juga pada kecepatan endap. Interpretasi berlangsungnya proses akresi dapat menggunakan analisis distribusi ukuran butir, dimana penyebaran ukuran butir sedimen mencerminkan
12
kondisi lingkungan pengendapan, yaitu proses yang berperan dan besarnya energi pengendapan tersebut. Adapun parameter statistik yang sering digunakan adalah mean grain size, skewness dan kurtosis (Folk 1974; Dyer, 1986).
1. Rata-rata (Mean) Mean merupakan nilai statistik rata-rata dari ukuran butir. Pickard (1990) menyatakan bahwa mean akan memperhatikan energi yang disebabkan oleh air atau angin dalam mentranspor sedimen, disamping itu penyebaran frekwensi besar butir akan sensitif terhadap proses lingkungan pengendapan. 2. Kepencengan (Skewness) Kepencengan atau skewness adalah penyimpangan distribusi ukuran butir terhadap distribusi normalnya. Distribusi normal adalah suatu distribusi ukuran butir dimana pada bagian tengah dari populasi mempunyai jumlah butiran yang paling banyak, dan butiran yang lebih halus tersebar di sisi kanan dan sisi kiri dari grafik dalam jumlah yang sama. Apabila ukuran butir terdistribusi secara normal maka kepencengannya bernilai nol. Apabila dalam suatu distribusi ukuran butir kelebihan partikel halus, maka kepencengannya bernilai positif. Sebaliknya bila kelebihan partikel kasar kepencengannya bernilai negatif. Dengan demikian skewness dapat digunakan untuk mengetahui dinamika akresi. Tabel 2 Penilaian harga kepencengan atau skewness Harga kepencengan
Tingkat kepencengan
>0,30 Menceng sangat halus +0,30 - +0,10 Menceng halus +0,10 – -0,10 Menceng simetris -0,10 – -0,30 Menceng kasar < -0,30 Menceng sangat kasar Sumber : Folk dan Ward dalam David (1977)
3. Kurtosis Kurtosis ini dapat dihitung melalui grafik kurtosis serta menggambarkan hubungan antara sortasi bagian tengah kurva dengan bagian bawah kurva.
13
Tabel 3 Penilaian harga kurtosis Tingkat kurtosis
Harga kurtosis
< 0,67 Very platykurtic 0,67 – 0,90 Platykurtic 0,90 – 1,11 Mesokurtic 1,11 – 1,50 Leptokurtic 1,50 – 3,00 Very leptokurtic > 3,00 Extremely leptokurtic Sumber : Folk dan Ward dalam David (1977). Keterangan : Leptokurtic = Kurva yang bentuk puncaknya lebih runcing daripada mesokurtic. Nilai kurtosisnya > 3. Mesokurtic = Kurva normal. Nilai kurtosisnya sama dengan 3. Platykurtic = Kurva yang bentuk puncaknya lebih datar daripada mesokurtic. Nilai kurtosisnya < 3.
Debit Sungai Fenomena yang terjadi di perairan pantai yang langsung berhubungan dengan sungai, sangat dipengaruhi oleh debit sungai yang dapat menimbulkan terbentuknya perbedaan (gradien) densitas. Interaksi air tawar dan air asin menentukan sirkulasi air dan proses percampuran yang diakibatkan oleh perbedaan densitas antara dua jenis air. Debit Sungai merupakan volume air yang mengalir pada suatu penampang melintang pada titik tertentu persatuan waktu, umumnya dinyatakan dalam meter kubik per detik (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Debit air sungai dipengaruhi oleh sifat curah hujan yang meliputi intensitas curah hujan, lama kejadian, frekwensi kejadian dan tinggi hujan. Pengukuran debit sungai selama satu tahun ditentukan berdasarkan debit limpasan dan luas DAS. Sungai sebagai salah satu media transpor sedimen mempunyai karakteristik dalam membawa sedimen tersebut. Volume sedimen yang terbawa aliran sungai bergantung pada kecepatan aliran sungai, debit aliran perubahan musim serta aktifitas manusia di daerah aliran sungai.
Arus di Dekat Pantai Triatmodjo (1999) mengatakan bahwa daerah pantai yang menjadi lintasan gelombang di pantai adalah offshore zone, surf zone dan swash zone. Daerah offshore zone, gelombang menimbulkan gerak orbit partikel air. Orbit lintasan
14
partikel tidak tertutup sehingga menimbulkan transpor massa air. Daerah surf zone (daerah antara gelombang pecah dan garis pantai) ditandai dengan gelombang pecah dan penjalaran gelombang setelah pecah ke arah pantai. Setelah pecah gelombang melintasi surf zone menuju pantai. Daerah swash zone, gelombang yang sampai di garis pantai menyebabkan massa air bergerak ke atas dan kemudian turun kembali ke permukaan pantai dan menyebabkan terjadinya arus. Arus yang terjadi di daerah tersebut sangat tergantung pada
arah datang
gelombang (CERC, 1984). Triatmodjo (1999) menyebutkan bahwa apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai (sudut datang gelombang pecah tegak lurus garis pantai) maka akan terjadi arus dominan di pantai berupa sirkulasi sel dengan rip current, apabila gelombang pecah membentuk sudut terhadap garis pantai akan menimbulkan arus sejajar pantai di sepanjang pantai (longshore current). Rip current terjadi pada tempat dimana tinggi gelombang pecah adalah kecil. Arus sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah (Hb) dengan membentuk sudut terhadap garis pantai (αb) dibangkitkan oleh momentum yang dibawa oleh gelombang. Sorensen (1991) menambahkan bahwa berbagai arus di perairan pantai dapat disebabkan oleh angin, aliran dari sungai atau oleh pasang surut, tetapi kebanyakan arus perairan pantai merupakan aliran menyusur pantai. Menurut King (1963) dalam Schwartz (1982), refraksi gelombang merupakan salah satu penyebab timbulnya arus di perairan pantai. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa zona bergelombang tinggi akan bergantian dengan zona gelombang rendah, terutama pada relief lepas pantai yang lebih kompleks dan garis pantai berlekuk serta gelombang datang memiliki puncak yang panjang. Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi arus dominan di pantai berupa sirkulasi sel dengan rip current yang menuju ke laut. Kejadian ekstrim lainnya terjadi apabila gelombang pecah dengan membentuk sudut terhadap garis pantai (αb > 5o), dapat menimbulkan arus sejajar pantai di sepanjang pantai. Kombinasi dari kedua kondisi tersebut biasanya terjadi di lapangan.
15
Transpor Sedimen Pantai Proses input sedimen merupakan akibat proses-proses baik yang dilakukan manusia maupun alami. Sedimen yang masuk dapat berasal dari angkutan sejajar pantai, angkutan sedimen dari sungai, erosi tebing (sea-cliff erosion), angkutan sedimen ke pantai (on shore transport), endapan biogenus, angkutan angin (wind transport), endapan hidrogenus (hydrogenous deposition). Sebaliknya sedimen keluar dapat terjadi akibat angkutan sejajar pantai, angkutan ke lepas pantai (offshore transport), angkutan angin, pelarutan dan abrasi dan penambangan pasir (sand mining) (Dirjen P3K DKP, 2004). Proses dinamika pantai dan sistem fisik perairan pantai adalah angkutan sedimen litoral yang didefinisikan sebagai pergerakan sedimen pada zona perairan pantai oleh gelombang dan arus. Transpor sedimen pada perairan pantai dapat diklasifikasikan menjadi transpor menuju dan meninggalkan pantai (onshoreoffshore transport) dan transpor sepanjang pantai (longshore transport). Transpor menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak-lurus garis pantai, sedang transpor sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata sejajar pantai (CHL, 2002). Transpor sedimen sepanjang pantai merupakan gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkan. Transpor sedimen ini terjadi pada gelombang pecah dan garis pantai sehingga berpengaruh terhadap perubahan garis pantai akibat sedimen yang dibawanya (Komar, 1998; Horikawa, 1988). Angkutan sedimen di pantai terjadi dalam dua bentuk yaitu angkutan dasar (bedload) yang merupakan pergerakan butiran material secara menggelinding (sliding) melalui dasar sebagai akibat pergerakan air di atasnya, dan suspended load transport jika pergerakan butiran dilakukan oleh arus setelah butiran tersebut terangkat dari dasar oleh proses turbulen. Kedua bentuk angkutan sedimen di atas biasanya terjadi pada waktu yang bersamaan tetapi sulit ditentukan tempat berakhirnya angkutan dasar dan permulaan dari angkutan suspensi (van Rijn, 1993; Allen, 1985). Selanjutnya Heinemann (1999) menjelaskan bahwa angkutan sedimen kohesif sering diistilahkan dengan suspended load transport karena
16
kebanyakan sifatnya yang melayang dalam kolom air, sementara angkutan sedimen non-kohesif disebut bed load transport. Transpor sedimen banyak menimbulkan perubahan dasar perairan seperti pendangkalan muara sungai, erosi pantai, perubahan garis pantai dan sebagainya (Yuwono, 1982; CERC, 1984; Triatmodjo, 1999). Perubahan dasar perairan biasanya merupakan permasalahan, terutama pada daerah semi tertutup seperti muara dan pelabuhan, sehingga prediksinya sangat diperlukan dalam perencanaan ataupun penentuan metode pendangkalan. Ada beberapa cara yang biasanya digunakan (Sorensen, 1991; Triatmodjo , 1999; CHL 2002) antara lain: a. Melakukan pengukuran debit sedimen pada setiap titik yang ditinjau, sehingga dapat di ketahui besar transpor sedimen. b. Menggunakan peta atau foto udara atau pengukuran yang menunjukkan perubahan elevasi dasar perairan tertentu. c. Rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang dan sedimen pada daerah yang di tinjau. Berbagai persamaan yang menjelaskan kondisi suspensi pada kolom air tidak lepas hubungannya dengan nilai tekanan dasar serta kecepatan shear (u*) dari profil arus vertikal, sedangkan kecepatan geser (shear) digambarkan pada profil arus secara vertikal dalam determinasi lapisan batas dan pengadukan massa air. Pada daerah pantai kecepatan geser umumnya diakibatkan oleh aktifitas gelombang dengan amplitudo tinggi dan kecepatan geser maksimum terjadi pada daerah pecahnya gelombang (Dake, 1985). Di laut dalam, gerak partikel air oleh gelombang jarang mencapai dasar laut. Sedangkan di laut dangkal, partikel air di dekat dasar bergerak maju dan mundur secara periodik. Kecepatan partikel air di dekat dasar naik dengan bertambahnya tinggi gelombang dan berkurang dengan kedalaman, (Triatmodjo, 1999). Menurut Wibisono (2005) transpor partikel sedimen di dalam kolom air laut sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisika baik dari partikelnya maupun dari kolom air-lautnya. Transpor ke arah vertikal ke bawah yang mempunyai implikasi kecepatan endap/ laju endap sangat tergantung dari besar butir partikel yang diendapkan.
17
Berdasarkan hukum stokes, maka diperoleh angka laju endap untuk beberapa jenis ukuran partikel sebagai berikut: Tabel 4 Laju endap untuk berbagai ukuran partikel sedimen Jenis partikel
Ukuran (mikron)
Laju endap (cm/detik)
Pasir (sand)
100
2,5
Lanau (silt)
10
0,025
Lempung (clay)
1
0,0025
Pasang Surut Pasang surut merupakan satu fenomena alam yang terjadi diwilayah lautan secara periodik. Pasang surut merupakan gelombang air dangkal (shallow water wave) yang digerakkan oleh gaya gravitasi akibat posisi bulan dan matahari yang bervariasi terhadap lautan (Heinemann, 1999). Penurunan kedalaman selama perambatan gelombang pasang surut akan menaikkan amplitudo gelombang tersebut. Kekasaran dasar yang akan mereduksi energi akan berpengaruh pula pada amplitudo gelombang. Akibatnya pada daerah dangkal gelombang pasang surut akan berjalan lebih lambat dibanding di laut lepas dengan amplitudo yang lebih besar. Reaksi yang diberikan oleh perairan dangkal terhadap gaya gravitasi menyebabkan massa air bergerak secara vertikal dan horisontal dengan periode tertentu (Ingmanson dan William, 1989; Gross, 1993). Pasang surut menjadi komponen penting dalam dinamika pantai yang menghasilkan arus dan perpindahan sedimen. Proses pasang surut sangat berpengaruh pada daerah dengan energi gelombang yang relatif lemah, lagoon, teluk dan muara (Viles dan Spencer, 1994). Komponen harmonik pasang surut merupakan komponen yang menyebabkan terjadinya pasang surut di laut. Secara umum komponen-komponen tersebut adalah S0, M2, S2 ,N2 ,K1 ,O1 ,M4 ,MS4 ,K2 dan P1. Dari komponen-komponen ini dapat untuk menentukan posisi muka laut. Untuk mendapatkan tipe pasut, digunakan istilah Konstanta Pasut (Tidal Constanta) melalui hubungan sebagai berikut :
F=
AK1 + AO1 AM 2 + AS 2
18
dalam hal ini: F = Bilangan Formzal AK1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian rata-rata yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari AO1 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian tunggal yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari AM2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh bulan AS2 = Amplitudo dari anak gelombang pasut harian ganda rata-rata yang dipengaruhi oleh matahari Apabila harga F memiliki nilai : 0 < F < 0,25
: sifat pasut Harian Ganda Murni
0,25 < F < 1,50
: sifat pasut Campuran Condong harian Ganda
1,50 < F < 3,0
: sifat pasut Campuran Condong harian Tunggal
3,0 < F
: sifat pasut Harian Tunggal Murni
Muara yang didominasi Gelombang Laut Gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat menyebabkan angkutan sedimen (pasir), baik dalam arah tegak lurus maupun sepanjang pantai (CERC, 1984; Yuwono, 1994; Triatmodjo, 1999; CHL, 2002). Dari kedua jenis transpor tersebut, transpor sedimen sepanjang pantai adalah yang paling dominan. Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak ke muara sungai dan karena di daerah tersebut kondisi gelombang sudah tenang maka sedimen akan mengendap. Banyaknya endapan tergantung pada gelombang dan ketersediaan sedimen di pantai. Semakin besar gelombang semakin besar angkutan sedimen dan semakin banyak sedimen yang mengendap di muara. Apabila debit sungai kecil kecepatan arus tidak mampu mengerosi (menggelontor) endapan tersebut sehingga muara sungai menjadi benar-benar tertutup sedimen.
Citra Satelit Penginderaan Jauh Citra Landsat merupakan data penginderaan jauh. Secara sederhana, penginderaan jauh dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan observasi suatu obyek melalui suatu jarak tertentu (Barrett dan Curtis 1992). Dengan kata lain, penginderaan jauh memungkinkan penggunanya untuk
19 19
melalukan identifikasi dan berbagai kegiatan observasi yang lain tanpa menyentuh obyeknya. Hal ini akan memberikan efisiensi yang besar dalam banyak hal dibandingkan dengan kegiatan observasi terestrial yang dilakukan secara langsung di lapangan. Empat komponen penting dalam teknik penginderaan jauh yaitu sumber energi, obyek, sensor dan atmosfir. Sumber energi adalah Matahari yang memancarkan gelombang elektromagnetik ke permukaan bumi. Gelombang ini akan dipengaruhi oleh lapisan atmosfir. Koreksi radiometri citra perlu dilakukan untuk mengurangi pengaruh hamburan yang disebabkan oleh partikel-partikel yang ada di atmosfer. Semakin besar panjang gelombang yang digunakan untuk perekaman citra satelit, maka pengaruh hamburan yang mempengaruhi akan semakin kecil (Lillesand dan Kiefer 1994). Pada hal ini panjang gelombang inframerah memiliki kemampuan menapis pengaruh hamburan atmosfer yang lebih baik daripada panjang gelombang tampak mata (visible). Untuk mendapatkan hasil pengukuran dan kajian yang seakurat mungkin, dalam studi penginderaan jauh, citra satelit Landsat sebagai data utama diseleksi berdasarkan
spesifikasi
teknis
kualitas
data.
Seleksi
citra
tersebut
mempertimbangkan spesifikasi teknis yang meliputi liputan awan dan kabut (haze) saat perekaman, kelengkapan spektral, kondisi pasang surut pada saat perekaman dan striping line pada citra.
Kondisi Umum Perairan Muara Ajkwa Perairan muara Ajkwa merupakan hulu dari sungai Ajkwa. Kawasan pesisir didominasi oleh hutan mangrove. Pergerakan muka laut di perairan perairan muara Ajkwa dipengaruhi oleh perambatan pasut dari Laut Arafuru dan perairan di sebelah selatan Samudera Pasifik. Tipe pasut diperairan tersebut adalah tunggal (diurnal tide) (Wyrtki, 1961; PTFI 2006). Daerah muara sungai ajkwa merupakan daerah dengan akresi tinggi. Hasil pemantauan TSS yang dilakukan oleh PTFI dari 1994 sampai 2006 menunjukkan adanya kandungan TSS yang cenderung meningkat yang dapat menyebabkan terbentuknya endapan. Terbentuknya endapan dapat dilihat dari kondisi batimetri sungai Ajkwa. Rata-rata kedalaman pada sisi sebelah kiri sekitar 2 – 2.5 meter dan sisi sebelah kanan sungai Ajkwa sekitar 1.5 – 2 meter. Di tengah-tengah badan
20
sungai memiliki kedalaman yang dangkal sekitar 0.5 meter sepanjang
2.5
kilometer menuju muara. Daerah yang memiliki kedalaman maksimal masih terdapat pada sisi sebelah timur hingga selatan pulau Ajkwa yakni sekitar 4.5 -5 meter (PTFI, 2006). Kondisi gelombang di perairan muara Ajkwa dipengaruhi oleh perambatan gelombang dari laut Arafuru. Berdasarkan perekaman data yang ada, pada musim barat gelombang maksimum (Hmak) laut Arafuru berkisar antara 2, 74 – 3,76 meter (EPA, 2004). Selanjutnya gelombang signifikan (Hsig) berkisar antara 1, 52 – 2, 17 meter.