POLITIK PEREMPUAN DI TITIK NOL DALAM BENGKEL MASYARAKAT HANDPHONE Oleh : Antik Tri Susanti
In this article, Nawal El Sadawi uses a term of ‘at-zero-point-women’ (w/.0) for the women who have violence, either physical,economical, psychological, or even sexual. These ‘at-zero-pointwomen’ do some rebellion against normal values in patriarchic system which suppresses them. In this new society which is signed by the attendance of hand phone, this hidden transcript (w/.0) is dealing about overspread body site. This deals with more than one man. The existence of this (w/.0) in cell phone world, located in the plasticity of identity, formed by multiple and fragmented identity that signs their political significance. This article constitutes the result of qualitative research toward three women intensively and toward three other women with lower intensity, and toward two men who have relation with them. This research has been conducted for more than two years. Through historical record, (w/.0) show that cell phone deliver (w/.0) in their instability position, to play or to be played, in the existence skepticisms. The (w/.0) find their equilibrium point in an apolitical condition, at the same time they lose their existence function. They don’t ask who controls who. Keywords: women, hand phone/cell phone, politics, body, identity.
Latar Belakang Praktek politik perempuan ternyata sangat berdekatan dengan perempuan yang berada pada posisi menduakan atau diduakan (walau kadang disekiankan). Foucault tidak membingkai politik atau berlangsungnya kekuasaan pada struktur makro, namun kekuasaan dipandangnya pada level mikro (kekuasaan mikro politik), keanekaragaman koersif minor, beroperasi dimanapun dan berlangsung dalam keseharian manusia . Pencarian saya, ketemu dengan para perempuan dititik nol (pr/.0). Pr/.0 adalah perempuan yang pernah mengalami bentuk-bentuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), baik kekerasan fisik, sex, ekenomi, maupun psikis (Gun, 1973). Pada titik tertentu ketika kekerasan fisik dan psikis telah lama dialami dan dirasakan perempuan, sampailah perempuan ini pada titik nol. Nawal El Sadawi dalam bukunya Perempuan di Titik Nol - yang kemudian ditiru dalam tulisan ini - mengisahkan perempuan yang bernama Firdaus dari sel penjaranya, tempat dia menunggu pelaksanaan hukuman matinya, karena Firdaus membunuh seorang lelaki. Firdaus memberontak terhadap nilai-nilai normative
patriarkis masyarakatnya karena dianggap tidak adil baginya. Beberapa catatan Nawal El Sadawi untuk mengisahkan pemberontakan Firdaus : “seorang pelacur yang sukses lebih baik daripada seorang suci yang sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan (Sadawi, 2002). Serupa dengan titik nol, Piliang memaknai nihilism adalah sikap atau pandangan yang menentang nilai-nilai kebenaran moral dan melihatnya dalam posisi yang berada pada titik nol, artnya pada posisi yang tidak ada polarisasi nilai (baik/buruk dan sebagainya) (Piliang, 1999). Dilain pihak pr/.0 berada dalam bengkel masyarakat handphone. Dan ketika dalam transkrip public (transcript public) perempaun tidak mampu memenuhi standar, maka mereka mengembangkan hidden transcript yang terfasilitasi handphone, sebagi strategi untuk meredefinisikan hubungan kekuasaan terhadap laki-laki. Dalam bengkel (dibongkar, dipasang, di bongkar lagi, dipasang lagi, sekali-kali hanya mampu membongkar, sayangnya tak mampu memasang lagi
terhadap makna) masyarakat
handphone, pr/.0 menamai, memaknai dirinya dengan inisiatif baru. Disadari bahwa makna tidak pernah berhenti atau selesai. Tidak ada satu identitas yang dapat bertindak sebagai identitas yang melakukan kendali secara menyeluruh, namun identitas berubah menurut bagaimana subyek ditunjuk atau dipresentasikann. Memaknai diri pr/.0 dibentuk oleh identitas yang beragam dan terpecah-pecah. Bagi Hall, ini menandakan ketidakmungkinan bagi suatu identitas dan “signifikansi politik” mereka. Di dalam plastisitas identitas terdapat signifikansi politik, karena pergeseran dan perubahan karakter identitas menandai bagaimana perempuan memikirkan diri dan orang lain (Hall, 2001). Persaingan identitas dan subyektifitas, menunjukkan bagaimana pr/.0 dibentuk sebagai subyek manusia yaitu jenis manusia yang tengah dibentuk pada diri prempuan. Penelitian ini dilakukan terhadap 3 orang perempuan, ketiganya pernah berhubungan “intensif” dengan lebih dari satu laki-laki. Seorang mempunyai latar belakang sebagai karyawan swasta (28 tahun), berjualan pakaian (32 tahun), seorang penjual makanan di stasiun Tugu Yogyakarta (25 tahun). Penelitian ini selama 2 tahun lebih. Para pr/.0 tersebut, semula pernah
menjadi perempuan biasa. Biasa sebagaimana ditulis oleh masyarakat. Penulis juga memperoleh acuan untuk menangkap benang merah, pada 3 perempuan lain yang mengalami nasib yang sama, serta 2 laki-laki yang berhubungan dengan perempuan itu. Menjadi perempuan adalah menjadi seperti perempuan yang diharapkan kepadanya oleh masyarakatnya. “a woman is not born, she is made, she is made, she paved the way for rethinking of gender spaces, roles, ideologies, belief and behavior. Gender has come to be though of not as essentially given but as socially and culturally constructed, not as hierarchical and fixed but as equitable and fluid (Simone de Beauvior, 1949). Bila di tataran transkrip public pr/.0 berada pada posisi subordinat, apakah dengan kehadiran handphone yang mempunyai kemampuan melintas batas waktu, tempat, nilai, norma, bisa membantu pr/.0 membalikkan posisinya menjadi subyek bukan obyek. Mempermainkan bukan dipermainkan. Mensubordinat bukannya disubordinat.
Tujuan Penelitian. Bagaimana posisi politik pr/.0 dalam dunia hp? Apakah kehadiran hp bisa membalikkan posisi pr/.0, dari posisi subordinat ke posisi sebaliknya? Diposisi mana perempuan berada dimaknai pr/.0 sendiri dalam konteks yang lain (lakilaki). Tidak ada elemen tanda yang hadir pada dirinya sendiri, semuanya pada tanda lain yang berbeda darinya. Tanda-tanda ini membentuk rantai, membentuk textum yang diproduksi dari transformasi teks lain. Demikian yang ada hanya perbedaan dan jejak, bekas dan kehadiran. Demikian pula dalam penelitian ini, bagaimana pr/.0 menandai kehadirannya, akan ditelusuri dari sejarah perempuan (life history).
Tinjauan Pustaka. HP : Mesin Hasrat dalam Subyektifitas Ekspektasi (Horizon Pengharapan). Handphone menata system bahasa. Sistim bahasa di dalam langue-yang merupakan prinsip fundamental organisasi bahasa-karena pengaruh dinamika bahasa, mesti juga mengandung sifat dinamis. Fakta fundamental lingustik, menurut Tabault bukanah tanda, tidak pula relasi diantara tanda-tanda di dalam system akan tetapi “…distribusi suatu idea atau
perbedaan konseptual diantara elemen-elemen dalam system bahasa. Sifat dinamis dan instabil antara langue dan parole inilah yang memberikan kemungkinan tak terhingga dalam pengkombinasian bahasa, yang menghasilkan produktivitas perbedaan-perbedaan. Bahasa adalah simbolisasi hasrat dalam suatu pencarian kendali tiada akhir. Wittgenstein telah menunjukkan bahwa tidak ada kesatuan bahasa melainkan gagasan bahasa, yang masing-masing diatur oleh suatu system aturan yang tak dapat diterjemahkan ke dalam sistem lain (Lyotard, 1984). Jadi, kebenaran dan makna dibentuk oleh tempat mereka dalam permainan bahasa. Bermain-main dalam bahasa, pada gilirannya membentuk mesin hasrat. Mesin hasrat (desiring machine) merupakan sebuah mekanisme psikis dalam teori psikoanalisis Delueze dan Guattari, yang fungsinya mereproduksi hasrat, sehingga ia selalu menginginkan sesuatu yang lain. Lepasnya kendali pemaknaan karena terjadi saling-silang makna mengarah pada situasi skizofrenia. Skizofrenia kekacauan struktur bahasa (dan psikis), yakni putusnya rantai pertandaan, dimana penanda (bentuk) tidak dikaitkan dengan satu petanda (makna) dengan cara yang pasti, sehingga menimbulkan kesimpangsiuran makna. Menjadikan hidup di dalam dunia yang didalamnya tidak ada kategori (baik/buruk), tidak ada lagi kriteria (benar/salah), tidak ada lagi tabir penutup dan rahasia (Piliang, 2008). Bagi Rorty, ketidakpastian bahasa dan ironi yang menyertainya mendorong kita untuk bertanya “kita ingin jadi manusia macam apa? (karena tidak ada kebenaran transcendental dan tidak ada Tuhan transcendental yang dapat menjawab pertanyaan ini untuk kita). Pertanyaan ini bisa berupa pertanyaan-pertanyaan tentang relasi kita dengan manusia lain - bagaimana saya terkait dengan orang lain? Semua itu adalah pertanyaan pragmatis yang memerlukan respons nilai-nilai politis dan bukan pertanyaan metafisis atau epistimologis yang memerlukan jawaban korespondensi kebenaran. Kita tidak memerlukan landasan universal untuk mengesahkan nilainilai politis, namun proyek politis dapat dijustifikasi dalam konteks pragmatism yang terkait dengan nilai-nilai kita (Barker, 2008). Simbol dengan manknanya menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan dengan kepentingannya masing-masing (Friedman, 1995).
Ricoeur mengatakan sebagai horizon pengharapan, istilah yang menunjuk pada makna luas, yang mencakup harapan, kekhawatiran, yang diinginkan dan dipilih, kalkulasi rasional, keingintahuan – singkatnya, “setiap manifestasi pribadi atau public yang ditujukan bagi masa depan (Piliang, 2008). Bahasa dalam system bahasa hp, dengan demikian tidak selalu bisa diterima sebagai kesepakatan kebenaran. Lebih mengemuka sebagai horizon pengharapan yang melibatkan kepentingan masing-masing komunikan.
B. Pr/.0 di Dunia Layar Handphone : Situs Tubuh Yang Menyebar. Pr/.0 adalah perempuan yang karena kekerasan yang dialaminya, melakukan pemberontakan terhadap nilai-nilai dalam system “mainstream” patriarki. Dilain pihak, penerjemahan makna alternative pr/.0 berada dalam era komunikasi (age of communication), dimana handphone menjadi salah satu penenda utamanya. Handphone adalah teknologi yang diserap dengan cara yang tak disadari yang mempengaruhi cara berpikir, cara bertindak dan cara berkomunikasi (Merleu, 2002). Jurgen Habermas mengakui peran telpon dalam kehidupan modern sebagai medium komunikasi yang tak sekedar memenuhi keinginan menyampaikan atau menerima informasi, tetapi juga secara substansial menjadikan keinginan itu bisa diketahui (Mawardi, 2008). Pemahman dan pemakaian hp dalam perkembangannya mengalami pergeseran fungsi dan makna, alat komunikasi, pemenuhan hasrat dan identitas. Jean Baudrilard menggambarkan semacam kemabukan yang melanda masyarakat kontemporer dalam komunikasi, komoditi, konsumsi, hiburan, seksual, politik (Piliang, 1999). Dalam tafsir Joko Pinurbo, hp adalah “surge kecil yang tidak ingin ditinggalkan” (pinartubo, 2008). Sedangkan Sori Siregar mengapresiasi hp adalah hasrat dan pembebasan diri dari beban (Kompas, 2008). Pr/.0 menggunakan hp sebagai pembentukan makna alternative untuk memproduksi diskursus yang berpihak padanya. Membantu menciptakan inisiatif baru sebagai jalan keluar dari transkrip formal yang menindasnya. Sebuah transkrip tersembunyi, ke pencarian empati dan relasi solidaritas untuk menemukan dan mendefinisikan diri dalam sebuah ekspektasi.
Namun Lacan memberi catatan tentang penggunaan hp yang dikatakannya sebagai pencarian identitas yang mudah tergelincir. Relasi tatapan menurut Lacan adalah relasi yang bersifat menggelincirkan dalam sejarah eksistensi manusia, yang didalamnya subyektifitas dibangun, tetapi dalam bentuk yang terdistorsi dan palsu (Lacan, 1986). Tatapan tidak hanya sebuah relasi mekanis antara subyek dan obyek yang ditatap, tetapi pencarian substansi tak bernama, yang darinya aku – yang menatap – mendefinisikan diriku sendiri. Tatapan dengan demikian merupakan relasi fantasional, dimana dalam medan relasi antara yang melihat dan dilihat, subyek ditempatkan dalam situasi kebimbangan eksistensial. Subyek mengalami keterbelahan dirinya, akibat dirinya yang terperangkap di dalam sesuatu yang tak hadir dan bahkan tanpa nama, tapi menentukan subyektivitas dirinya, yang disebut Lacan subyek a. sebagai : …sesuatu yang darinya subyek, dalam rangka membangun dirinya sendiri, memisahkan dirinya sebagai organ. Pemisahan ini menjadi symbol dari kekurangan (lack) yaitu phallus, bukan sebagaimana adanya, tetapi sejauh ia memiliki rasa kurang. Oleh karena itu, ia harus menjadi yang pertama-tama, dapat dipisahkan, kedua yang mempunyai relasi dengan rasa kurang (Lacan, ibid, 1986). Bagi pr/.0 hp adalah situs pelarian, yang berujung pada situs tubuh yang menyebar, tidak hanya pada satu laki-laki. Dalam signifikansi politik adalah emansipasi politis perempuan. Dalam signifikansi identitas menjadi proyek yang tidak selesai, karena konstruksi apapun atas tubuh, menjadi sebuah konstruksi diri yang bertubuh, kerenanya kita tidak hanya berbicara tentang bagaimana tubuh diperlukan, tapi juga bagaimana kehidupan dijalani didalamnya (Synnot, 2007). Sartre mengatakan, tubuh adalah saya, saya adalah tubuh. Ia menegaskan bahwa tubuh adalah sebagaimana kau tampak. Aku adalah tubuhku yang menunjukkan isi siapa aku (Sartre, 1996). Tubuh adalah identitas siapa aku. Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Identitas merupakan sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang kita pikir tentang diri kita saat ini dari sudut masa lalu dan masa kini kita, bersama dengan apa yang kita pikir kita inginkan, lintasan harapan kita di depan (Giddens, 1994). Dalam proyek identitas, pada tubuh yang menyebar, pr/.0 membangun dikursus dalam relasi kekuasaan (power relationship). Dengan perkataan lain, dalam melihat diskursus,
permasalahan yang penting bukanlah bagaimana satu peristiwa dan objek diskursus dipahami maknanya dengan menyingkap kode-kodenya yang tersembunyi, meskipun ia merupakan lingkup diskursus juga – melainkan permasalahan jenis kekuasaan apa yang beroperasi dibaliknya serta efek apa yang dihasilkannya. Diskursus menurut Foucault bukanlah fenomena ekspresi gagasan atau ideology yang sudah mapan oleh subyek atau melalui pikiran sang subyek. Diskursus bukanlah manifestasi dari subyek yang berpikir, mengetahui, berbicara, tetapi sebaliknya totalitas yang didalamnya perkembangan subyektivitas dan diskontiunitasnya dengan dirinya sendiri dapat diketahui. Apa yang dapat dilihat dalam diskursus adalah berbagai posisi subyektivitas di dalam totalitas diskursus. Perubahan subyek tidak demikian saja ditentukan oleh subyek itu sendiri, akan tetapi oleh diskursus itu sendiri, yang melaluinya subyek disisipkan mengambil posisi tertentu didalamnya. Dengan kata lain, kelompok pinggiran juga memiliki ideology dalam hal pengorganisasian dan justifikasi ide tentang diri mereka sendiri dan dunianya (Barker, 2008). Situs tubuh yang menyebar, mempraktekkan politik pr/.0, dalam justifikasi ide tentang diri mereka, walaupun dalam relasi kekuasaan, didalamnya tak selalu memberinya posisi yang stabil. Tergantung dari diskursus itu sendiri. Seringkali pertanyaan yang kemudian muncul dalam relasi pr/.0 adalah “mau dibawa kemana hubungan kita?.Yang didalamnya adalah kegalauan.
Titik Equilibrium Pr/.0 : Perjalanan Mengada yang Apolitis. Kobo Abe seorang pengarang Jepang mengisahkan sebuah alegori eksistensial dalam bukunya The Face of Another. Aku tokoh utama dalam buku Kobo Abe adalah seorang ahli molekuler yang wajahnya terbakar akibat kecelakaan dilaboratorium. Dia mengganti wajah lamanya, membuat topeng dengan perangkat dan bahan-bahan yang diolah dengan kecanggihan tingkat tinggi, hingga topeng hasil karyanya itu bisa berkeringat, bisa tumbuh kumis, jenggot dan jerawat. Sayangnya, topeng itu alih-alih membebaskannya dari keterasingan, malah membuat ia semakin terpuruk dalam skeptisisme eksistensial yang sukar terpecahkan. Jangankan topeng itu, bentuk wajah aslinya yang sudah remuk tak berbentuk itu tetap tidak bisa merepresentasikan kediriannya yang paling sejati. Ia seakan-akan terus didesak untuk mempercayai bahwa wajah
asli itu juga topeng. Baginya, tak ada sesuatu yang bisa dimaklumatkan oleh seraut wajah, selain kepalsuan, pengkhianatan, kebohongan dan basa-basi. Lelaki bertopeng merasa telah menguasai permainan, padahal kenyataannya ia sudah kalah, bahkan sebelum permainan itu dimulai. Buku ini menjelaskan, bahwa sisi paling hakiki dari kedirian “mengada” justru setelah kehilangan wajah. Lelaki bertopeng itu, tidak sedang mencari keaslian eksistensi diri dengan wajah baru, tetapi justru terus menerus membangun semesta kehilangan guna memberi ruang bagi kehadiran diri yang asali. Ia justru mengada setelah meniada (Kobo, Abe, 2008). Disaat pr/.0 mencari, dalam situs tubuh yang menyebar, akan muncul dan terbangun semesta kehilangan dan membangun pertanyaan bagi kehadiran diri yang asali. Ia mengada justru setelah meniada. Dia akan menemukan titik equilibrium melalui perjalanan skeptisisme eksistensial, dan akan berhenti ketika tidak mempertanyakan lagi.
Life History 3 pr/.0. Pertama kali saya bertemu dengan W di kompleks lokalisasi Giwangan Yogyakarta, tahun 2006. Wajahnya biasa, tidak cantik, tidak jelek, cenderung gemuk. Umurnya 32 tahun. Ia datang ke Yogyakarta kurang lebih 6 tahun yang lalu, dari kota asalnya Tulungagung. Saya tidak tahu, mana yang merupakan pekerjaan pokok, dan mana yang sampingan, karena kecuali berprofesi sebagai wanita penghibur, dia juga menjual pakaian dari rumah ke rumah, dengan cara kredit. Dia menikah di usia muda. Di usia pernikahan yang baru 2 tahun, dia ditinggal suaminya begitu saja. Tidak ada perceraian resmi. Berita yang beredar, suaminya pergi dengan wanita lain. W harus mencukupi kebutuhan 1 anak dan 2 orang tuanya. Orangtuanya di Tulungagung hanya tahu bahwa dia bekerja berjualan pakaian di Yogyakarta. Pembawaan W menarik, banyak disukai teman-temen sekompleknya. Dari para pria yang datang padanya, lebih banyak yang sudah berumahtangga daripada yang masih single. Bila penghasilan dari berjualan baju dianggapnya cukup, dia tidak mau “dipakai”. Sekali “pakai” 50 sampai 300 ribu, bahkan ada yang sampai 1 juta. Rupiah. Seorang bapak dari Jakarta bahkan ingin memberi televisi, tapi dia tolak, dia hanya mau menerima handphone dari bapak itu.
Dia mengatakan laki-laki itu makhluk bejad dan sadis. Saat itu dia punya kekasih, tetapi kekasihnya ternyata sudah berkeluarga. Dia sebenarnya ingin berkeluarga, tetapi ragu apakah bisa. Bila usaha bajunya maju, dia ingin keluar dari dunia lokalisasi. Bahkan seandainya tidak bisa berkeluarga, tapi usahanya maju, dia siap menjadi orang tua tunggal. Berbeda dengan W, S (28 tahun) belum pernah menikah. Bekerja sebagai staf Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Nasibnya sangat tragis. Keperawanannya direnggut oleh laki-laki yang sudah beristri, yang katanya akan menikahinya. Kemudian dia berpetualang dengan beberapa laki-laki. Motifnya terutama uang. Pr/.0 yang ketiga seorang penjual makanan di stasiun Tugu Yogyakarta. Umurnya 25 tahun. Dia akhirnya menikah dan tidak berpetualang lagi.Tapi sebelumnya ia mempunyai banyak lelaki, yang bahkan mau diajak di “sembarang” tempat. Dia menjadi nakal, karena pacarnya dahulu memerawaninya, dan pergi tidak kembali. Karenanya kemudian dia berhubungan intim dengan lebih dari satu lak-laki untuk mencari cinta dan uang. Tentu saja suaminya tidak tahu tentang petualangan dengan banyak laki-laki itu, hanya dia sebelumnya sudah mengatakan di saat awal perkenalannya, bahwa dia sudah tidak perawan lagi. Tapi suaminya bisa menerima, tidak mempersoalkannya.
Politik pr/.0 di Bengkel Masyarakat Handphone. Seperti cerita Drupadi, saya melihat kisah pr/.0 merupakan kisah ketegaran perempuan. Artinya, dituliskannya “titik nol” menyimpang dengan kenormalan perempuan, karena dimulai bukan begitu saja, sesuai dengan keinginannya. Drupadi adalah perempuan cantik yang lahir dari rahim Dewi Agni. Di tengah sayembara yang diikuti para lelaki yang ingin menjadi suaminya, ternyata ia memilih Arjuna sebagai tambatan hatinya, meski kemudian harus menikah dengan pula dengan empat saudara Arjuna yang lain. Hal itu dilakukan untuk menepati ucapan tidak sengaja Kunti, ibunda Pandawa, yang mengatakan agar membagi apa yang didapat Arjuna – dengan empat saudaranya yang lain, termasukberbagi Drupadi, calon istri Arjuna (Kompas, 2009).
Luka pertama, menyebabkan perempuan menjadi pr/.0, dan kemudian menjadi terbiasa dengan tidak biasa. Dan hp sangat mengkondisikan tindakan itu. Hp bisa dikatakan sebagai alat vital, bahkan pr/.0 selalu mempunyai banyak nomer, dari berbagai operator. Penjelasan mereka tentang perjalanan tubuhnya, melewati perjalanan yang berubah-ubah, dari satu bentuk perlawanan, karena cinta, bahkan menjadi nothing ketika tidak mempersoalkan tubuhnya lagi. Kadang mengerti yang dicari hanya uang. Kadang hanya cinta, kadang keduanya. Kadang tahu sedang mempermainkan, walau sadar juga sedang dipermainkan. Kepada laki-laki yang terlanjur jatuh cinta padanya, dia semakin mengambil kesempatan dengan meminta materi. Di saat dia jatuh cinta, anehnya bisa jatuh cinta dengan orang lain yang melakukan hal yang sama seperti pasangannya dahulu, yang membuat dia terluka. Beberapa ketidakstabilan posisi politis pr/.0 itu terungkap dengan cerita berikut ini : pacarku yang dari Papua sudah kirim aku uang. Pada suaru saat dia minta maaf karena tidak bisa balas smsku karena ada istrinya. Emangnya gue pikirin? Bagiku yang penting uangnya. Atau sms M pada saya : Aq skrg stress krn dah disrh nikh sec hls. Mb gmn dong, sdngkn aq sdr blm py pcr yg sm2 single. Herannya lg tiap mrk menythku aq susah tuk nolak, mb’klo bkn tuntu aq ga akn stress gini. Pcrku yg kopasus tu selalu minta hub intim di tgh swh aja dia aj bs ngesek, gila kan? Dengan hp pr/.0 bisa bohong, merayu, walau kadang-kadang tahu sebenarnya itu tidak sesuai dengan keinginannya. Dan W bahkan pernah dipukul botol, disundut rokok, serta perlakuan kasar lainnya, gara-gara laki-laki kekasihnya. N demikian juga mengalami kekerasan dipukul lelaki kekasihnya. Hanya M yang tidak mengalami kekekerasan fisik. Perempuan lain mengalami kisah yang sama, pernah disakiti, mengulang lagi, sakit lagi, marah, mengancam, mengendalikan dikendalikan. Dan 2 laki-laki yang merupakan pasangan pr/.0 pun bercerita sama, dikendalikan, mengendalikan, marah, dan terulang. Baik pr/.0 maupun pasangannya, ternyata pada posisi ketidakstabilan posisi yang sama. Puncak dari konflik mereka disaat harus menjawab pertanyaan: “mau dibawa kemana hubungan kita?” Akhir cerita, sampai dengan kontak terakhir saya dengan mereka, W masih dengan kekasihnya yang sudah berrumahtangga, S mempunyai anak, tapi tidak ada yang berani
bertanggungjawab, dan yang berakhir bahagia M akhirnya menikah dan menutup kisah petualangannya. Wajah M kini lebih berbinar, karena ia sudah berbicara pada dirinya sendiri. Kurang lebihnya, seperti tulisan seorang filsuf : “Semakin aku masuk dalam relung diriku, semakin aku bercakap-cakap dengan diriku, semakin jelas aku membaca kata-kata yang tertulis dalam jiwaku : berlakulah adil dan engkau akan bahagia. Aku tidak menurunkan peraturan ini dari prinsip filsafati yang lebih tinggi, aku menemukannya di kedalaman hatiku tertulis oleh kodrat dalam karakter yang tak mungkin terhapus” (Rousseau).
Kesimpulan Handphone memfasilitasi pr/.0 menulis transkrip tersembunyi, sebagai jalan keluar dari kisah sedih yang pernah dialaminya. Namun sayangnya, bukannya membalikkan menjadi kisah yang lebih baik, malah kadang lebih buruk dari kisahnya yang dulu. Politisasi pr/.0 berada dalam spectrum naik turun, kadang berada diposisi atas, tapi seringkali sebaliknya. Ketidakmenentuan tersebut dalam penelitian ini, diakhiri M dengan menikah. Meniadakan fungsi mengada. Disaat dia berhenti mempertanyakan ada, siapa menguasai siapa, siapa mempermainkan siapa. Disaat dia menjadi apolitis.
DAFTAR PUSTAKA
Abe Kobo. 2008. The face of Another. Yogyakarta : Jalasutra. Barker,Chris. 2008. Cultural Studies, Teori dan Praktek. Yogyakarta : Kreasi Kencana. Barthes, Roland. 1973. Element of Semiology. New York : Hill & Wang. Baudrillard, Jean. 1983. The Ecstasy of Communication. New York : Semiotext. Derrida, Jacques. 1978. Writing and Difference. London : Routledge. De Beauvoir, Simone. 2003.Second Sex, Fakta dan Mitos.Surabaya : Pustaka Promethea. Foster, Hall. 1985. Postmodern Culture. London : Pluto Press. Faoucault, Michel.1986. The History of sexuality. London : Penguin Books. Gun, John. 1973. Violence in Human Sociality. London : Davis & Charles. Lacan, Jacques & Anthony Wildon.1986. Speech and Language in Language in Psychoanaliysis. Baltimore : the John Hopkins University Press. Lyotard, Jean Francois. 1989. The Postmodern Condition, A Report on Knowlede. USA : Manchester University Press. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Multiplisitas dan Difersi Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas. Yogyakarta & Bandung : Jalasutra. Rorty, Richard. 1991. Objectivity, Reality and Truth. Cambridge University Press. Sadawi, Nawal El. 2002. Perempuan Di Titik Nol.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. --------------------- 2003. Wajah Telanjang Perempuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Synott, Anthony. 2007. Tubuh social, simbolisme, Diri dan Masyarakat. Yogyakarta : Jalasutra.
Todorov, Tzvetan & Mikhail Bakhtin. 1984. The Dialogical Principle. USA : Manchester University Press. Weedon, Christ. 1987. Feminist Practice and Poststructuralist Theory. Cambridge : Black-Well.