DUA TITIK NOL : TILIK DESA NITIK DESA Oleh : Fadjar Sutardi*
Najib Amrullah, siapa dia? Bagi para perupa muda Solo, nama Najib Amrullah memang terdengar asing, kalau tidakpun kemungkinan “nyamut-nyamut” karena namanya hilang begitu saja dari kota Solo, semenjak dua puluh tahunan yang lalu. Siapa Najib Amrullah? Ia dilahirkan di Tuban, bakat melukis tersalurkan dengan baik, ketika ia diterima sebagai mahasiswa seni rupa di fakultas sastra dan seni rupa UNS, tahun 80-an akhir. Keterkenalan Najib sebagai pelukis, dikarenakan seringnya mengusung tema pesisiran Tuban,sebagai tanah tumpah kelahirannya yang cukup mengejutkan bagi publik seni rupa Solo waktu itu. Karya-karya Najib yang impessifekspresif juga mendapatkan respons senior-seniornya di UNS. Najib beruntung, karena hampir “penggede seni Solo” tertarik kepada keberaniannya dalam mengangkat keseharian masyarakat Tuban. Menurut Hardi perupa yang juga salah satu anggota Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia ( GSRBI ) mengatatakan, bahwa Tuban yang kotanya sedhengan atau tidak terlalu besar, memang pernah menjadi pusat Bandar di Jawa pada zaman Majapahit, bahkan pasukan Gajahmada juga bermarkas di Tuban, Sunan Kalijagapun pernah berpinadh dari Demak ke Tuban. Daerahnya yang kering, membuat kegiatan kesenianpun juag tidak begitu maju.Namun spirit dari raja-raja Majapahit dan keberadaan Sunan Kalijaga, kemungkinan besar suatu saat Tuban akan lahir para seniman-seniman yang tumbuh seperti kota-kota lain.Salah satunya adalah Najib Amrullah dan beberapa perupa Tuban pernah menyewa kios secara kelompok untuk nantinya karya-karya mereka dapat tersejajarkan dengan para perupa Solo, Yogjakarta atau Bandung, misalnya. Keberuntungan Najib dalam hal kesenirupaan, adalah karena sikapnya yang sering diucapkan Murtidjono ( alm.) sebagai sikap yang polos, cal-cul dan sederhana sesuai dengan asal-usulnya dari pelosok pesisiran yang terkadang tidak mengerti kepriyayian para perupa Solo yang kebetulan sebagai perupa Solo menganggap sebagai perupa pelosok pedalaman yang tergesah karena adanya Keraton Surakarta. Masukan guyonan, ala Murtidjono, menjadikan Najib terus berkarya dan tidak peduli apa kata orang. Suka atau tidak, Najib dengan karya-karyanya akhirnya cukup menjadi perhatian wong Solo yang terkadang gayanya tidak mriyayeni itu. Najib, saat itu menjadi harapan, sekaligus menjadi beban bagi Solo. Ia melejit melampui para seniornya, untuk kemudian melesat, menghilang ke negeri antah berantah, yang katanya bernama Jakarta. Dan tiba-tiba sekarang muncul lagi di Solo.
Najib Amrullah rindu kota yang membesarkannya. Pameran yang dikemas dengan nama Dua Titik Nol, digelar di Bentara Budaya Balai Soedjatmoko ini, tampaknya menjadi salah satu sarana komunikasi dan mediasi ulang untuk tujuan agar kerinduan Najib terhadap kota Solo dapat teredam. Solo yang melahirkan dan membesarkannya, untuk kemudian selama 20 tahunan Najib begitu tega melupakannya itu dan ini rupanya menjadi titik berangkat ulang yang keduanya dalam dunia seni rupa yang puluhan tahun ditinggalkannya pula. Pameran kali ini menjadi sebuah keniscayaan bagi Najib . Najib selaksa mendapatkan getaran-getaran ulang seperti saat dulu sebelum hengkang ke Jakarta yang memanggil-manggil dengan lantang. Dan Najib kemudian meninggalkan Solo dengan tanggap mengepakkan sayap seni rupanya di ibukota.Dan memang berkibar beberapa tahun. Entah mengapa, Najib tenggelam dan putar haluan keluar ranah seni rupa.Ia sempat berkata, inilah cakra manggilingan hidup yang perlu disikapi dengan arif dan perlu pasrah kepada yang nggawe urip, yakni Gusti Allah. Solo dua puluh tahun yang lalu, kemungkinan oleh Najib Amrullah masih tergambarkan sebagai kota yang memiliki citra
romantis khususnya tentang wanitanya, keromatisan perempuan Solo
tergambarkan dalam bait-bait lagu yang dinyanyikan Waljinah, yakni langgam Putri Solo, yang untaian syairnya demikian : putri Solo dasare kepara nyata, pancen pinter alelewa dasar putri Solo, nganggo selendang pelangi, sumampir ana pundhake, cunduke kembang melati, dadi lan pantese, lakune kaya macan luwe, sandal jinjit penganggone, ciyet – ciyet swarane, kerlap-kerlip berliane, dasar putri Solo, putri Solo yen ngguyu dhekik pipine, ireng manis kulitane, dasar putri Solo. Citra romantis atas kota Solo dengan putri Solonya, merupakan paduan misteri yang dibungkus dengan imajinasi indah dan menyatu kota pinggiran dan sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo. Kesan dunia feminitas seperti lantunan Waljinah
ala Solo inilah, yang menjadi spirit Najib Amrullah muda dalam melahirkan konsep
berkesenian ketika masih menempuh kuliah di seni murni Universitas Sebelas Maret Solo. Najib juga tahu bahwa Solo memang menjadi kota yang tidak habis-habisnya menjadi spirit berkeseniannya, karena sejarah telah mencatat, bahwa munculnya banyak gerakan kesenirupaan di Indonesia sebenarnya berawal dari Solo, sebut misalnya mulai dari nama besar S. Sudjojono, Zaini, Soedibjo, Sudjono Kerton, Trubus, Surono, Affandi, Nashar, Basuki Resobowo, Sunindyo, Soemardjo, Suromo, Moh.Sahid, Sasongko, Rusli, Kirnadi, S. Wakijan, Nasyah Djamin, Suharto, Suparto, Sudiardjo, Nurnaningsih Yudhokusumo, Agus Djaya, S. Sundoro, Sediyono, Harjadi, Sudarso, Syahri, Kartono Yudokusumo, Abdul Salam, Dullah sampai dengan generasi dibawahnya sebutlah seperti Sri Hadi Sudarsono, Jeihan Sukmantoro, Mulyadi.W., Sri Warso Wahono, AS Budiono, Hadjar Satoto, Bonyong Munni Ardhi, Putut. H. Pramono, Citro Waluyo, Gunawan Hanjaya, titik keberangkatan mereka memang
dari Solo.Solo pada masa lalu sampai dengan saat ini berhasil “melahirkan” perupa-perupa besar dan memenuhi catatan sejarah dan nilai-nilai historisnya, sehingga menarik perhatian Najib sampai saat ini. Maka tidak aneh karya-karya Najib tetap tersemangati sentuhan sensualitas impressif antara Tuban dan Solo, seperti impressifnya para perupa pendahulunya diatas. Dari Tuban, Najib Amrullah mengangkat sensualitas pesisiran seperti, pantai Jawa utara, keseharian masyarakat nelayan yang memiliki lokalitas yang kuat. Sementara Solo menjadi simpul akademis yang mengempelkan karyakaryanya. Rupanya dua sumber aliran deras Tuban dan Solo tersebut Najib “meledakkan” karyakaryanya dengan ledakan yang cukup berhasil. Dari ledakan tersebut Najib kemudian berpameran kebeberapa kota mulai dari Tuban, Surakarta, Malang, Surabaya, Yogjakarta, Semarang dan Jakarta. Rentangan mulai tahun 1990-an sampai dengan tahun 2000-an Najib mengibarkan karya-karyanya dan mendapat sambutan baik masyarakat seni rupa dan kolektornya. Di Jakarta yang dulu menjadi tempat tujuan hidupnya, kini akhirnya menjadi tempat berlabuh bersama anak dan istrinya sampai saat ini, menjadi tantangan dan peluang bagi Najib. Beberapa tahun Najib sempat mandeg dalam berkarya karena sesuatu hal dan baru dua tahun kemarin saat temanteman Pintu Mati Solo mengajak untuk bangkit lagi berpameran di Tujuh Bintang Art Space Yogjakarta.Takdir Allahpun bergulir ulang. Najib menyambut gayung yang dilemparkan perupa Pintu Mati, walau sambutannya belum seperti yang diharapkan, karena Najib masih membawa spirit karyakarya lamanya ke Yogjakarta.Sebagai teman baru Najibpun ikut meramaikan pameran tersebut. Di Yogja Najib “menikmati” suasana pameran Hypolografinya Pintu Mati yang didalamnya tergabung perupa muda sebagian besar alumni FKIP UNS, antara lain Fadjar Sutardi, Galih Reza Suseno, Hanung Syafratul Anam, Digdo Irianto,Nanang Yulianto, Sidik Ihwani, Subandriyo, Susanto Soul, Susiawan Hariyanto, Hasan dan Tri Wahyudi dua terakhir alumni ISI Surakarta. Pameran yang dikuratori Kuss Indarto tersebut rupanya cukup membangkitkan “kuda-kuda jiwa” yang ada dalam batin Najib. Usai pameran dari Yogjakarta, melalui status dan gambar jejaring facebook, Najib mulai menampilkan karya-karya yang baru dengan mengangkat lukisan kuda, ikan yang gemuk-gemuk ( kemungkinan kuda dan ikan Jakarta, dan bukan kuda,ikan Tuban yang kurus-kurus ) dengan teknik “jlebretan” yang pernah menjadi gaya para perupa muda Yogjakarta beberapa waktu lalu, yang kini sudah lama ditinggalkan. Jlebretan dan kepyuran-kepyuran kuas Najib banyak mewarnai karya-karyanya. Melalui media jejaring facebook Najib berkibar kembali. Beberapa pameran di Jakarta diikutinya dengan semangat makantar-kantar. Ardus M.Sawega,kurator Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo juga Putu Fajar Arcana tampaknya terlibat juga mendukung kebangunan Najib dari tidur panjangnya.Salah satunya karya Najib termuat di Kompas, menjadi karya illustrasi cerpen dan
rumah seninya Najib terpampang di Kompas beberapa minggu setelahnya.Dari sinilah, kemudian Bentara Budaya Balai Soedjatmoko “mengundang” Najib untuk berpameran untuk masyarakat seni di Solo. Najib Amrullah dengan wataknya yang jujur, tegas, semangat dan relegius ini nampaknya akan kembali “meledakkan” kota yang dulu pernah membesarkannya. Pameran dengan tema Dua Titik Nol, dimaknai Najib, sebagai berpulangnya dua perupa ( Najib Amrullah, yang kali ini ditemani Joe Sidharta ) ke tempat tinggalnya dulu yang membesarkannya,dan baru sekarang disambanginya lagi. Berpulangnya Najib kekandangnya, dalam bahasa lain saya, dapat dikatakan sebagai pameran “tilik desa nitik desa” kalimat ini pinjam jargon politiknya Bibit Waluyo, saat menjadi Gubernur Jawa Tengah, yakni “Bali Desa Mbangun Desa”. Dari jargon ini menurut pendapat saya, Najib memang sangat perlu berziarah sekaligus tetirah, juga menjenguk kotanya dulu dan mencoba melihatnya kembali atas perkembangan kotanya hari ini.Istilah tilik desa dan nitik desa dalam tulisan yang sengaja dibuat untuk menyambut pameran Najib kali ini, dapat saya maknai dan saya urai sebagai berikut; pertama, pameran Najib kali ini dapat disebut sebagai pameran dalam rangka penyauran atau pelunasan hutang-hutang kreatifnya kepada Solo. Najib memang merasa “berhutang” pada Solo, dimana ia bertahun-tahun digembleng oleh pendekar-pendekar seni rupa Solo secara akademis dan non-akademis dalam hal ini orang-orang Taman Budaya Surakarta, Murtidjono ( alm.) misalnya. Gemblengan yang terkadang bernada negatif, menjadikan Najib merasa rindu terhadap suasana demikian. Berhutangnya Najib kepada almamaternya sekaligus untuk menghilangkan rasa rindunya kepada Solo,maka gelaran pameran dipersembahkan Najib kepada publik seni rupa Solo dan sekitarnya. Kedua, pameran kali ini juga dapat dikatakan sebagai media reuni bagi perupa angkatan Najib di kampusnya,Najib akan saling ketemu untuk saling tegur sapa dengan perupa seangkatannya dan generasi seni murni UNS dibawahnya. Seingat Najib angkatan kuliahnya yang masih berkutat dalam seni rupa adalah Setyobudi, Yayan, Rudi Brindhil yang pernah pameran bersama dan tergabung dalam kelompok Titik Api puluhan tahun yang lalu, kemungkinan akan bertandang untuk membaca bersama karya-karya Najib dalam Titik Nol kali ini, sekaligus sebagai media refleksi perjalanan mereka masingmasing. Ketiga, pameran ini juga sebagai penghormatan kepada almamaternya yakni seni rupa murni UNS yang dulu ikut membesarkannya, pertanggungjawaban Najib sebagai kreator akan ditunjukkan kepada para dosen-dosennya,seperti Narsen Afatara,Suatmadji, Arfial Arsyad Hakim, Agus Noor, Andrik Purwasito atau Bonyong Munni Ardhie dan sebagainya. Penghormatan kepada almamater menjadi penting bagi Najib, karena disanalah Najib “dijadikan orang” yang dapat berkembang dan tumbuh secara mengagumkan. Keempat, kemungkinan Najib Amrullah ingin memperkenalkan kembali kepada publik
seni rupa Solo, bahwa Najib Amrullah sebagai perupa, masih bersikap seperti yang dulu. Ia akan menyapa publik Solo dengan karya-karya terbarunya yang kali ini bersama dengan Joe Sidharta, temannya di Jakarta yang lama juga malang melintang di dunia rupa dan grafis, cukup saling memperkuat pameran ini. Keempat hal diatas kemungkinan yang menjadi dasar pilihan atas pameran Najib yang di selenggarakan di Balai Soedjatmoko tahun ini. Kita berharap dengan hadirnya Najib Amrullah dan Joe Sidharta di Solo ini, setidaknya Solo tetap menjadi kota pilihan yang menarik bagi siapapun yang akan mengkomunikasikan karya-karya. Selain itu, Solo juga akan tumbuh oase seni rupa yang tidak berbeda dengan kota-kota lain.Ketersediaan ruang-ruang publik semacam Taman Budaya Surakarta, Kepatihan Art Space, Galeri Seni Rupa Seni Murni UNS, Bentara Budaya Balai Soedjatmoko dalam menampung karya-karya mereka, dimasa mendatang tampaknya akan dikunjungi kembali para perupa di tanah air. Sebagai teman baru yang kebetulan sempat melihat pameran Najib Amrullah di tahun 1997-an lalu di Taman Budaya Surakarta, saya ikut berbangga hati ketika Najib Amrullah dan Joe Sidharta dapat berpameran lagi di Solo. Semoga kehadiran keduanya menjadi titik penting geliat seni rupa Solo, dari semangat dua titik nol yang diawalinya kali ini. Nuwun,selamat berpameran. Mangga.
Solo, 31 Mei 2013
Fadjar Sutardi sinau nglukis dan sinau nulis artikel,makalah seni rupa salah satu penggiat komunitas Pintu Mati Solo tinggal di Sumberlawang, Sragen