DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
POLITIK PENDIDIKAN TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Abdul Malik 1 Abstract: politik pendidikan yaitu segala usaha kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Perkembangan selanjutnya politk pendidikan merupakan penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan di keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya Masa orde lama, politik pendidikan lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang bermutu segala dengan tuntutan zaman. Sayangnya pada masa ORLA berada dalam tarikan tiga kekuatan yaitu, NASIONALIS, SEKURALIS-KOMUNIS, dan ISLAMIS. Tiga kekuatan tersebut saling berbenturan, saling ingin mengalahkan. Berbeda dengan masa pemerintahan Orde Lama. Pendidikan pada Masa Orba mengacu kepada GBHN sejak 1973-1998. Padahal pada awal Orba berdasarkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, menerapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia berjiwa Pancasila, Cerdas, Terampil dan Berbudi pekerti luhur, serta berkepribadian Indonesia yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembangunan Sehubungan hal di atas, pemerintah Orba menggiring politik pendidikannya kepada: sebuah Sistem Setralistis, agar pemerintah mudah memonitor, mengontrol jalannya penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Orba sadar bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan pemberdayaan masing-masing di berbagai bidang. Agar pemberdayaan masing-masing melalui pendidikan mengarah pada sasaran dan tujuan menurut pemerintah, untuk segala perencanaan pendidikan harus ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Kata Kunci: Politik, Pendidikan, dan sistem sentralistik
1
Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal.
Abdul Malik
30
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Tulisan ini akan membahas perpolitikan pendidikan Islam di Indonesia, untuk itu penulis mengemukakan politik pendidikan dan tujuannya. A. POLITIK Kata politik berasal dari bahasa Inggris, hal ini dijelaskan oleh John M. Echols Shadily (1980: 437), artinya permainan politik. Sedang Purwadarminta
(1991:
763)
menjelaskan
bahwa
politk
diartikan
pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, d asar-dasar pemerintahan; juga berarti segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan dibuat mengenai pemerintahan suatu negara terhadap negara lain. Jamil Saliba (1978: 45) lain lagi, ia mengetengahkan dalam bahasa Arab, kata politik dengan istilah Al Siyasah artinya Reka Cipta, upayaupaya strategi dan pengaturan tentang sesuatu. Sedangkan kata Pendidikan berasal dari kata dasar didik berawalan pen- dan berakhiran βan, bermakna perbuatan mendidik, pengetahuan tentang mendidik , berarti pula pemeliharaan, latihan-latihan meliputi lahir batin. H. M. Arifin (1994: 11), membeberkan pendapatnya bahwa pendidikan berarti sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia baik aspek ruhaniah maupun jasmaniah serta berlangsung setahap demi setahap. Sedang Anton Muliono (1998: 694) memberitahukan bahwa Pendidikan yaitu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran dan latihan. Politik Pendidikan di Indonesia
31
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
B. PENDIDIKAN Dalam bahasa Arab kata pendidikan biasanya diwakili oleh kata Tarbiyah, Takdib, Taklim, Tadris, Tadzhiyah, Tadzkirah, Tahzib, Manidzah, dan Tadqim, secara keseluruhan menghimpun kegiatan yang terdapat dalam pendidikan, yaitu membina, memelihara, mengajarkan, melatih, menasehati, menyucikan jiwa, dan mengingatkan manusia terhadap hal-hal yang baik. Ahmad Zaki Badawi (1980: 200), menyatakan bahwa politik pendidikan yaitu segala usaha kebijakan dan siasat yang berkaitan dengan masalah
pendidikan.
Perkembangan
selanjutnya
politk
pendidikan
merupakan penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan
tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan
menentukan tindakan dengan perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan di keanekaragaman beserta tujuan dan program untuk merealisasikannya. Simpulannya Politik Pendidikan yaitu segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa peraturan perundangan untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara. C. POLITIK PENDIDIKAN Mencermati pengertian dan pendapat diatas, politik pendidikan mengandung lima hal, yaitu: Pertama, politik pendidikan mengandung kebijakan pemerintah suatu negara yang berkenaan dengan pendidikan. Sebuah pemerintah negara dalam mengkomunikasikan masalah pendidikan dengan rakyatnya, biasanya menggunakan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut kemudian dilaksanakan oleh menteri yang terkait dengan pendidikan. Abdul Malik
32
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Kedua, politik pendidikan bukan hanya berupa peraturan perundangan yang tertulis, melainkan juga termasuk kebijakan lain. Contoh situasi dan kondisi sosial politik, social budaya, keamanan dan hubungan pemerintah dengan dunia Internasional. Meskipun situasi dan kondisi tersebut tidak serta langsung berkaitan dengan pendidikan, tetapi cukup berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan pendidikan suatu negara. Ketiga,
politik
pendidikan
ditujukan
untuk
menyukseskan
penyelenggaraan pendidikan (David L. Sills, 1972: 51), meskipun kesuksesan penyelenggaraan pendidikan bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah saja melainkan juga masyarakat, namun pemerintah yang memiliki Infrastruktur dan Suprastruktur yang lebih kuat untuk memikul tugas dan tanggungjawab terselenggarannya pendidikan. Pemerintah bertugas menentukan berbagai kebijakan tentang pendidikan sebagai wujud rasa tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Keempat, politik pendidikan dijalankan demi tercapainya tujuan negara.
Karena
tujuan
negara
menjadi
sasaran
utama
dalam
penyelenggaraan pendidikan, untuk itu segala kebijakan yang diambil oleh pemerintah tidak boleh elenceng dari tujuan negara. Meskipun praktiknya politik pendidikan, sebuah negara kadang-kadang tujuannya mengalami perubahan sesuai dengan orientasi pemerintahan yang sedang berkuasa, walaupun perubahan tersebut tidak jauh berbeda dari tujuan didirikannya sebuah negara. Kelima,
politik
pendidikan
merupakan
sebuah
system
penyelenggaraan pendidikan suatu negara, system penyelenggaraan ini berangkat dari tujuan negara, dilanjutkan dengan penentuan atau pengambilan kebijakan yang harus diimplementasikan dalam proses
Politik Pendidikan di Indonesia
33
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
penyelenggaraan pendidikan dan bermuara pada pencapaian tujuan negara (Lee C. Deighton, 1971: 169). D. KEBIJAKAN
POLITIK
PENDIDIKAN
PEMERINTAH
INDONESIA Abudin Nata (2003: 8) berpendapat bahwa kebijakan politik pemerintah Indonesia secara umum dapat dibagi empat periode atau orde. Pertama, kebijakan politik pemerintah pada masa pra-kemerdekaan. Kedua, kebijakan politik pemerintahan Indonesia pada masa orde lama. Ketiga, Kebijakan politik pemerintah Indonesia pada masa orde baru; dan Keempat, kebijakan politik pemerintah Indonesia pada orde Reformasi. Abudin Nata (2003: 9), selanjutnya memberikan informasi bahwa pada masa pra-kemerdekaan kebijakan pemerintah Belanda membiarkan rakyat jajahannya dalam kebodohan. Hal ini berbeda dengan Inggris yang memperhatikan pendidikan rakyat jajahannya. Itulah sebabnya rakyat bekas jajahan Belanda umumnya bodoh, sedangkan rakyat jajahan Inggris seperti India, Malaysia, umumnya memiliki pendidikan. Belanda menerapkan politik diskriminasi terhadap rakyat jajahan terutama umat Islam. Belanda sengaja membiarkan rakyat jajahannya bodoh agar mudah ditindas, dijajah, diadu-domba. Hal tersebut baru berubah ketika mendapat tekanan dari dunia Internasional, itupun rakyat terbatas, untuk menghasilkan tenaga kerja. Terutama Belanda tidak senang terhadap keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren, madrasah, sebab dituduh sebagai sarang pemberontak, pembangkang.
Abdul Malik
34
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Politik pendidikan Islam yang di terapkan oleh para pendidik masa itu, berjasa melahirkan kader-kader pemimpin bangsa yang berjiwa Nasionalis, patriotis, dan berkepribadian Indonesia. Masa orde lama, politik pendidikan lebih diarahkan pada upaya memperbarui dan memperbanyak lembaga pendidikan Islam yang bermutu segala dengan tuntutan zaman. Sayangnya pada masa ORLA berada dalam tarikan tiga kekuatan yaitu, NASIONALIS, SEKURALIS-KOMUNIS, dan ISLAMIS. Tiga kekuatan tersebut saling berbenturan, saling ingin mengalahkan. Sejarah mencatat bahwa Soekarno menganut paham Ideologi Nasionalis, berbasis pada keIndonesiaan dan kultural. Anehnya kadang sering dekat dengan Islam dan terkadang dekat dengan kelompok Sekulariskomunis. Soekarno menjelang tahun 1960-an banyak terjebak ke dalam perangkap kaum sekuler-komunis, sampai akhirnya dituduh berada dibelakang G30S/PKI. Akibatnya, perhatian Soekarno terhadap pendidikan Islam kurang, bahkan terpinggirkan, dan banyak tokoh muslim yang dipenjarakan. Dengan demikian politik pendidikan Islam lebih diarahkan ke upaya membendung paham komunis. ORBA dimulai tahun 1966, umat Islam sangat berharap kepada pemerintah ORBA, sebab orba paling tidak ada 5 (lima) karakteristik. Pertama, pemerintah Orba merupakan pemerintahan yang kuat dan dominan. Kedua, pemerintahan Orba yaitu pemerintahan yang dipimpin dan di dukung oleh kekuatan militer yang bekerjasama dengan Teknokrat dan Birokrat sipil (A. S. Hikam, 1999: 3-4). Ketiga, pemerintahan Orba menglengkapi dirinya dengan aparat keamanan represif dan aparat politikideologis untuk melestarikan dan mereproduksi kekuasaannya. Keempat, Politik Pendidikan di Indonesia
35
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Pemerintah Orba sejak awal kebangkitannya mendapatkan dukungan dari kapitalisme Internasional; dan Kelima, jika pada suatu pemerintahan Orba mengalami Instabilitas, yang terjadi bukan karena menguatnya posisi politik masyarakat, melainkan lebih disebabkan oleh faktor dari dalam tubuh negara sendiri dan faktor dunia Internasional. Akibatnya masyarakat pada masa Orba memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Masyarakat Orba mempunyai kedudukan yang lemah jika berhadapan dengan kekuasaan pemerintah. 2. Masyarakat Orba merupakan masyarakat yang disartikulatif dan Involutif. 3. Masyarakat Orba merupakan masyarakat yang mengalami fragmentasi baik yang bersifat kultural maupun struktural (Ahmad Zaini, 1995: 2000). Sebagai akibat pemerintahan Orba memiliki karakteristik (kuat, dominan, represif, dan militeris), padahal masyarakat berciri sebaliknya, (disartikulatif dan involutif) akibatnya hubungan antara pemerintah dan rakyat tidak harmonis dalam arti yang sebenarnya Pseudoharmonis. Situasi dan kondisi yang tampak stabil sebenarnya menyimpan bara Instabilitas yang tinggi, sifatnya konspiratif, kooperatif dan dominatif (H. Syaifi dan Ali Anwar, 1995: 75-81) Menurut penulis uraian di atas muncul fenomena yang kontrakdiktif dan kontroversial. Adanya perbedaan yang cukup mencolok antara kebijakan politik pemerintah secara teoritis yang bersifat formal konstitusonal dengan implikasi yang bersifat represif dominatif. Kebijakan politik pemerintah yang berupa peraturan perundangan selama Orba bukanya meningkatkan pemberdayaan masyarakat di bidang politik, tetapi Abdul Malik
36
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
justru sebaliknya meghasilkan aspirasi dan aktivitas politik masyarakat sehingga tidak berdaya sama sekali. Melihat politik pendidikan pada masa Orba mengacu kepada GBHN sejak 1973-1998. Padahal pada awal Orba berdasarkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, menerapkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia berjiwa Pancasila, Cerdas, Terampil dan Berbudi pekerti luhur, serta berkepribadian Indonesia yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembangunan (Hasbullah, 1985: 81). Permasalahan yang timbul dalam bidang pendidikan diantaranya masalah: pemerataan, peningkatan kualitas, efektifitas dan efisiensi, serta relevansi pendidikan dengan pembangunan nasional. Ary H. Gunawan (1986: 5) mengatakan bahwa paling tidak ada 6 (enam) kebijakan: 1.
Melanjutkan program pemberantasn buta huruf yang pada tahun 1972 di kembangkan lebih lanjut dengan memberikan ketrampilan tertentu.
2.
Melaksanakan pendidikan masyarakat agar memiliki kemampuan mental, spiritual, dan ketrampilan.
3.
Mengenalkan pendidikan luar sekolah yang berorientasi kepada hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai kebutuhan praktis.
4.
Mengenalkan kegiatan inovasi pendidikan, misalnya KKN, Universitas Terbuka, Wajib Belajar.
5.
Pembinaan generasi muda melalui Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan sebagainya.
6.
Dilaksanakan program Orang Tua Asuh mulai tahun 1984. Ace Suryadi dan Tilaar (1994: 27), memberitakan bahwa upaya diatas
merupakan kebijakan pendidikan pemerintah Orba yang dicanangkan secara Politik Pendidikan di Indonesia
37
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
nasional. Walaupun realisasinya, kebijakan pendidikan tersebut mengarah ke satu tujuan untuk memperkuat hegemoni pemerintah Orba di masyarakat. Terbukti alokasi dan APBN sangat minim, sehingga bidang pendidikan sebagai sebuah sector yang sangat lemah dan terasa sulit untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Azyumardi Azra (1999: 225), mengemukakan bahwa politik pendidikan Orba lebih jauh akan tampak karekteristiknya sama dengan kebijakan social politiknya, yaitu sentralistis, depolitisasi masyarakat, penguatan kekuasaan pemerintah dan terkesan kurang serius. Sehubungan hal di atas, pemerintah Orba menggiring politik pendidikannya kepada: sebuah Sistem Setralistis, agar pemerintah mudah memonitor, mengontrol jalannya penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah Orba sadar bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk meningkatkan pemberdayaan masing-masing di berbagai bidang. Agar pemberdayaan masing-masing melalui pendidikan mengarah pada sasaran dan tujuan menurut pemerintah, untuk segala perencanaan pendidikan harus ditentukan dan dikontrol oleh pusat. Azyumardi Azra (1999: 255), menegaskan bahwa Orba berupaya menggiring politik pendidikannya pada upaya depolitisasi masyarakat. Berbagai kebijakan yang diambil Orba mengarah ke pengerdilan aspirasi politik masyarakat khususnya mahasiswa. Dalam struktur organisasi kemahasiswaan tidak diperkenankan adanya unit kegiatan mahasiswa yang menjadi wadah aktivitas politik secara praktis di Perguruan Tinggi. Mahasiswa tidak diperkenankan berpolitik praktis di kampus. NKK (Normalisasi
Kegiatan
Kampus)
dan
BKK
(Badan
Kegiatan
Kemahasiswaan) merupakan senjata ampuh untuk meredam meningkatkan pemberdayaan politik mahasiswa. Abdul Malik
38
DIDAKTIKA ISLAMIKA
Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Sebagai penutup, penulis mengangkat pernyataan Moh. Mahfud, M.D (1999: 66), bahwa pemerintah Orba mengarahkan politik pendidikannya pada penguatan kekuasaan pemerintah atau Negara. Hal ini terlihat pada semua PNS yang berkecipung di bidang pendidikan tidak diperkenankan menjadi anggota PARPOL tertentu, selain sebuah orientasi LOYAL terhadap pemerintah. E. KESIMPULAN Peta politik pendidikan Islam di Indonesia senantiasa diwarnai oleh peta perpolitikan pemerintah. Lihat saja sejak zaman Pra-Kemerdekaan, Pasca Kemerdekaan (Orde Lama), Orba, dan Era Reformasi, Pendidikan Islam masih berada dalam posisi, secara umum belum berpihak kepada pemberdayaan umat. Pendidikan lebih merupakan alat pemerintah untuk menggiring rakyat atau umat kearah tujuan politik yang diinginkan, walaupun secara teoritis memang tidak salah jika pemerintah menginginkan agar produk β lulusan- lembaga pendidikan memberikan konstibusi pembangunan. Namun, pada saat yang sama khususnya pemerintah juga memberikan kebebasan kepada dunia pendidikan untuk menentukan arah agar tetap memperoleh bantuan, dukungan, dan fasilitas dari pemerintah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet I. Buchori, Mochtar, Pendidikan Islam Pembangunan, (Jakarta, IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), Cet. I. Hikam, A. S., Politik Kewarganegaraan Landasan Redemokrasi Indonesia, (Jakarta, Erlangga, 199).
Politik Pendidikan di Indonesia
39
DIDAKTIKA ISLAMIKA Vol. 3 No. 1 - Maret 2014
Mahfud M. D., Moh., Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta, UII Press, 1999) Michael Charles, Stanton., Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), Cet. I. Nata, Abuddin., Akhlak β Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), Cet. I. Poerwadarminto, W. J. S., Kamus Ilmu Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1991) Cet. 12.
Abdul Malik
40