ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
Polisi: antara UNAS dan MONAS EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
www.elsam.or.id
daftar isi editorial
03
Sense of Victimhood
laporan utama
(Dok diolah dari : sijo sudarsono & islamkejawen.multiply.com)
kolom tetap dari pembaca nasional
4 11-12
17
Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan
perspektif
laporan utama
5 - 10
Melihat Peran Polri dalam Kasus UNAS dan MONAS
POLISI: Di antara Kekerasan dan Korupsi
daerah
Suatu konsekuensi logis dari rendahnya keberdayaan politik negara dalam menegakkan HAM adalah digerogotinya dirinya sendiri oleh suatu sense of victimhood yang menyebar ke segala kepentingan politik. Pengusaha merasa korban ketidakpastian hukum dan pungli. Militer merasa korban penghinaan. Pemerintah merasa korban campur tangan partai politik. Partai politik merasa korban maneuver pemerintah. Kaum sekuler menjadi korban maneuver kaum agama dan kaum agama menjadi korban kaum sekuler. Masyarakat lokal merasa korban kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat merasa korban dari politik lokal. Maling adalah korban kesewenangan polisi. Koruptor menjadi korban lawan atau saingannya. Siapa sesungguhnya korban? Bila perasaan sebagai korban itu menjadi titik gerak segala kekuatan politik, maka politik bukan lagi bicara tentang suatu yang baik di masa depan, melainkan menjadi arena meratap dan membalas dendam.
20
Kasus kekerasan aparat polisi di kampus Universitas Nasional (Unas) dan kekerasan massa dari Front Pembela Islam (FPI) di Monas tidak akan terjadi bilamana polisi selaku aparat yang bertanggung jawab dalam penegakan hukum, pemeliharaan ketertiban dan keamanan (Pasal 14 UU No. 2/2002 tentang Polri) dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara tepat dan benar.
Polisi dan Penegakan HAM Penting untuk diingat oleh seluruh aparat kepolisian bahwa
Tragedi UNAS dan Aksi Brutal Aparat Kepolisian
resensi
22
Profil ELSAM
24
perlindungan dan penegakan HAM adalah kewajiban negara, karenanya seluruh penggunaan instrumen kekerasan oleh aparat kepolisian tidak hanya ditujukkan untuk menjaga rasa aman semata tetapi juga sepenuhnya ditujukkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak warga negara itu sendiri. Dengan demikian sesat pikir aparat kepolisian dalam menggunakan kekerasan selama ini yang akhirnya berujung pada praktik brutalitas sepantasnya dihentikan.
laporan khusus
13-16
Resolusi Konferensi Warisan Otoritarianisme “Demokrasi dan Tirani Modal”,
(Profesionalisme Polisi dipertanyakan? Dok. Bbg)
Modal internasional tidak hanya mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani.
editorial Sense of Victimhood
K
orban sebagai kelompok, tiba-tiba saja menyeruak masuk dalam kesadaran umum masyarakat Indonesia. Tidak lebih lama dari 10 tahun terakhir ini. Ialah ketika korban menjadi unsur penting dalam anatomi penegakan HAM, dalam tata ulang kehidupan bernegara ya n g b e rp e r i ke m a n u s i a a n d a n berkeadilan. Pelaku yang mencipta korban juga bukan orang sembarangan. Mereka bertindak dalam pangkuan kekuasaan. Tindakannya dapat diusut jauh hingga ke soal memberlakukan perintah yang keliru, menyalahgunakan sumber daya Negara, keuangan maupun aparatus negara. Sekalipun terhormat dan kaya, korban pelanggaran HAM tidak akan pernah sederajat dengan pelaku. Ada satu syarat yang tak akan bisa dipenuhi oleh korban, yaitu memiliki kekuasaan yang bisa disalahgunakan dan diselewengkan. Dalil ini sejurus dengan kenyataan sekarang, betapa tidak mudahnya bagi seseorang agar diakui sebagai korban pelanggaran HAM. Menuntut pengakuan memang bukan perkara sepele. Ada banyak anak keturunan korban kekerasan Negara memilih bungkam, menghapus identitas maupun bekerja keras untuk sedikit mencuil potongan kue kekuasaan. Sementara itu kerumunan korban lainnya justru melantangkan keberadaanya. Korban melawan penyangkalan dengan membesarkan simpati masyarakat, mengubah persepsi tentang korban yang lebih positif bahkan menguatkan rasa sesal masyarakat. Tak aneh jika media massa bahkan mencitrakan korban pelanggaran HAM sebagai ikon dari penderitaan kebanyakan orang, ketidakadilan, penindasan dan penipuan. Pencitraan ini memang sekarang harus bergerak lebih jauh, menantang minimnya pengakuan Negara atas keberadaan korban. Satu-satunya pernyataan resmi negara setelah 10 tahun reformasi adalah penyesalan Presiden RI atas jatuhnya korban kekerasan selama masa Jajak Pendapat di Timor Timur tahun 1999. Ini dilakukan setelah menerima
laporan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste 15 Juli lalu. Sedangkan pernyataan lainnya baru sebatas telah terjadi-nya pelanggaran HAM, yang dinyatakan Negara melalui hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM maupun yang berketetapan hukum melalui keputusan hakim pengadilan HAM untuk perkara pembunuhan dalam peristiwa Tanjung Priok dan Abepura. Di antara tarik-menarik citra dan penyangkalan, “Sujud di hadapan korban” mungkin satu-satunya totalitas sikap yang pernah dinyatakan orang. Ini dilontarkan oleh Tim Relawan untuk Ke m a n u s i a a n p i m p i n a n S d r. Sandyawan Soemardi, SJ. Ungkapan ini b u ka n l a h p u i t i s a s i a t a s ka r ya penyelamatan manusia dari maut. Sujud pada korban berarti memohon ampun pada korban atas ketakberdayaan yang sama untuk menyelamatkan dan mengakhiri status korban. Korban tetap korban. Tapi bersujud adalah juga cara paling rendah hati dalam memperhadapkan kekuasaan yang Maha dengan sosok yang tanpa daya. Apakah sesungguhnya yang sedang ditantang oleh politik 'sujud di hadapan korban'? Tidak lain adalah politik kebudayaan Orde Baru yang melekatkan kata pengorbanan dan bukan korban dalam alam pikiran anak-anak Indonesia. Kita lebih mengenal pengorbanan pada Negara tapi minus kesadaran bahwa dalam rahim pengorbanan pada Negara diperlukan hak atas martabat sekaligus kewajiban membela kemanusiaan. Pengorbanan versi Orde Baru menuntut pengorbanan bahkan kemanusiaan kita sendiri. Pengorbanan para petani Kedung Ombo bukan hanya merelakan tanahnya untuk diubah menjadi bendungan tetapi melenyapakan integritas kemanusiaan masyarakat desa Kemusuk. Dalam cara berpikir “pengorbanan,” korban tidak pernah eksis. Klaim hak atas martabat kemanusiaan dengan cepat dianggap mementingkan diri sendiri. Petani yang tanahnya dirampas atau buruh yang bekerja tanpa tunjuangan dianggap serakah mengabaikan keperluan meningkatkan investasi. Korban
pelanggaran HAM dikatakan telah menjadi “tawanan masa lalu.” Bahkan korban perkosaan dianggap orang tidak waras, ar tinya tidak dapat bermasyarakat. Karenanya pula, tidak mudah bagi pemegang kekuasaan untuk menimbang klaim korban apalagi bersujud di hadapannya. Alangkah musykil memikirkan suatu kekuasaan ditegakan atas dasar pengakuan akan hak korban, hingga hari ini. Namun sekarang anehnya, di tengah geliat korban bernegosiasi dengan kekuatan-kekuatan politik, banyak pihak justru merasa dirinya korban. Perspektif korban atau rasa kekorbanan sense of victim hood menjadi cara menyelamatkan diri. Persis di jantung perjuangan korban mencari pengakuan Negara melalui Komisi Nasional HAM, pelaku justru mencitrakan dirinya korban dari subyektifitas pikir komisi. Ketika mahasiswa habis-habisan dipukuli, polisi meratap bahwa mereka telah menjadi korban mahasiswa. Suatu konsekuensi logis dari rendahnya keberdayaan politik negara dalam menegakan HAM adalah digerogotinya dirinya sendiri oleh suatu sense of victimhood yang menyebar ke segala kepentingan politik. Pengusaha merasa korban ketidakpastian hukum dan pungli. Militer merasa korban penghinaan. Pemerintah merasa korban campur tangan partai politik. Partai politik merasa korban maneuver pemerintah. Kaum sekuler menjadi korban maneuver kaum agama dan kaum agama menjadi korban kaum sekuler. Masyarakat lokal merasa korban kebijakan pemerintah pusat. Pemerintah pusat merasa korban dari politik lokal. Maling adalah korban kesewenangan polisi. Koruptor menjadi korban lawan atau saingannya. Siapa sesungguhnya korban? Bila perasaan sebagai korban itu menjadi titik gerak segala kekuatan politik, maka politik bukan lagi bicara tentang suatu yang baik di masa depan, melainkan menjadi arena meratap dan membalas dendam. Ironisnya korban, tanpa mendapatkan haknya, terus dikecam cuma menjadi tawanan masa lampau. Agung Putri
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
03
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
Dari pembaca
www.elsam.or.id
Redaksional Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Agung Putri Wakil Pemimpin Redaksi: Amiruddin al Rahab
Hai.......ASASI:
Perkenalkan saya Khudori, mahasiswa tingkat akhir Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Saya senang membaca berita-berita aktual yang ada di ASASI, khususnya menyangkut fenomena-fenomena sosial dan kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia. Saya ingin menulis untuk ASASI tetapi persoalannya adalah bahwa saya tidak tahu tema apa yang akan diusung oleh ASASI di Edisi berikutnya. Saran saya, kalau bisa dalam setiap penerbitannya, tolong dicantumkan tema untuk terbitan edisi berikutnya sehingga saya dan teman-teman yang lain dapat ikut berpartisipasi dalam menyumbangkan tulisan.
Redaktur Pelaksana: Eddie Riyadi Redaktur: A.H. Semendawai, Eddie Riyadi, Betty Yolanda, Triana Dyah Pujiastuti, Otto Adi Yulianto, Raimondus Arwalembun Sekretaris Redaksi: Raimondus Arwalembun Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy Desain & Tata Letak: Alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
? Terima kasih Salam Khodori Mahasiswa jurusan Filsafat pada STF Driyarkara Jakarta Redaksi:
Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519
Saudara Khudori, terima kasih banyak untuk ide yang bagus dari anda. Semoga ASASI edisi berikut nanti, usulan anda sudah dapat dilaksanakan sehingga anda dan teman-teman lain dapat menulis untuk ASASI.
E-mail:
[email protected],
[email protected] Website: www.elsam.or.id.
Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
04
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat Dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
laporan utama
Melihat Peran Polri dalam Kasus UNAS dan MONAS Oleh Gufron Mabruri (Staf Peneliti di IMPARSIAL)
P
erjalanan satu dasawarsa reformasi nampaknya belum cukup mendorong perubahan dan perbaikan kinerja Polri ke arah yang lebih baik. Prinsip-prinsip yang seharusnya dijadikan sebagai landasan kerja kepolisian, seperti asas p ro fe si o n a l i ta s, H a k Asasi Manusia (HAM), dan pendekatan kerja yang lebih humanis, dalam kenyataannya masih terus diabaikan oleh aparatnya. Kondisi ini tercerminkan dari realitas kinerja polisi saat ini yang masih berada dalam derajat rendah dan buruk. Selain itu, polisi juga masih menunjukkan bahwa mereka terus mewarisi watak polisi di masa Orde Baru yang watak represif-militeristik. Lebih lanjut, adanya pemisahan Polri dari TNI yang dituangkan dalam TAP MPR No. VI Tahun 1999 dan TAP MPR No. VII Tahun 1999, yang pada dasarnya merupakan titik awal dilakukannya reformasi kepolisian dalam upaya merubah watak Polri dari “polisi yang militeristik” menjadi “polisi sipil,” belum menunjukkan hasil signifikan. Dengan masih menyimpan watak yang represif, polisi masih rentan
untuk melakukan kekerasan. Begitu juga dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai bagian dari tahapan reformasi Polri, juga tidak serta merta memperbaiki dan mendorong aparat polisi dapat bekerja dengan baik sesuai fungsi dan tugas yang dinyatakan di dalam UU tersebut.
Sebab, realitas kultur dan kinerja yang buruk sangat berkorelasi dengan proses reformasi internal kepolisian yang tidak tuntas dan tidak menyeluruh. Pola kerja yang masih terus mengedepankan cara-cara represif-militeristik dan mengabaikan hak asasi manusia selalu akan menghasilkan k e k e r a s a n b a r u . Ketidakprofesionalan akan berakibat pada buruknya kinerja dan performa aparat. Polisi dalam Kasus Unas dan Monas
Seharusnya polisi berpegang pada ketentuan hukum dan prinsip-prinsip kerja yang mengaturnya. Namun, hal itu nampaknya tidak t e r j a d i d a l a m penanganan kasus Unas Salah satu aksi FPI dalam Kasus Monas dok: kiwaras.blogspot.com dan Monas. Ada dua pola A l h a s i l , b u k a n n y a penanganan yang berbeda pencapaian positif dan prestasi terhadap kedua kasus tersebut di baik yang kini didapat, tetepi polisi mana kedua-duanya berakibat justru mengulangi kesalahan- buruk. Dalam kasus Unas yang kesalahan serupa yang telah terjadi pada 24 Mei 2008, dapat banyak dilakukan sebelumnya. d i l i h a t b a g a i m a n a p o l i s i Dengan realitas seperti ini, tidak m e n g g u n a k a n p e n d e k a t a n mengherankan jika kemudian represif dalam menghadapi dan terjadi kasus kekerasan di menangani aksi demonstrasi kampus Unas (Universitas m a h a s i s w a y a n g m e n o l a k N a s i o n a l ) d a n m e l a k u k a n kebijakan pemerintah yang pembiaran atas kekerasan FPI di m e n a i k a n h a r g a B B M . Monas (Monumen Nasional). Penggunaan pola pendekatan ini ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
05
laporan utama berakhir dengan penyerbuan penyalahgunaan kekuasaan penting bagi polisi untuk memiliki aparat kepolisian ke dalam dalam pelaksanaan tugas- Protap yang selaras dengan kampus, terjadinya kekerasan tugasnya. prinsip PBB mengenai terhadap mahasiswa, serta Adanya keharusan tersebut Penggunaan Kekerasan dan pengrusakan sejumlah properti. sejalan dengan prinsip kewajiban P e n g g u n a a n S e n j a t a A p i Pola berbeda digunakan negara terkait dengan HAM (to (Resolusi 34/169 Majelis Umum polisi dalam mengahadapi aksi respect, to protect, to fulfill) yang PBB). Prinsip ini memang massa Front Pembela Islam juga memandatkan polisi sebagai mengizinkan aparat penegak (FPI), di mana polisi cenderung aparat negara untuk menjalankan hukum menggunakan kekerasan melakukan pembiaran terhadap kewajiban itu. Tidak bisa dan tidak dalam tugasnya, namun secara aksi massa dari organisasi itu boleh polisi mengabaikan norma tegas dibatasi dalam keadaan yang melakukan penyerangan HAM dalam pelaksanaan fungsi yang sangat diperlukan dalam dan kekerasan terhadap massa dan tugasnya. Namun demikian, batas tertentu. Namun, yang Aliansi Kebangsaan untuk adanya keharusan ini nampaknya terjadi dalam kasus Unas tidaklah Kebebasan Beragama dan tidak dilakukan atau tidak demikian, penggunaan kekerasan Berkeyakinan (AKK-BB) yang diindahkan oleh aparat polisi menjadi bagian dari watak aparat tengah melakukan aksi damai k e t i k a m e n g h a d a p i a k s i yang represif. memperingati hari Sementara itu, berbeda kelahiran Pancasila pada dengan yang terjadi di kasus 01 Juni 2008 di Monas. Monas. Polisi memang tidak Proses pembiaran ini melakukan kekerasan atau kian membuka pelanggaran hak asasi kesempatan bagi massa secara langsung, namun FPI untuk terus justru melakukan upaya melanjutkan aksinya. pembiaran atas kekerasan Alih-alih mencegah, dari yang terjadi sehingga awal aparat kepolisian berakibat terlanggarnya terlihat tidak berupaya hak-hak asasi warga negara melakukan penjagaan (by ommision). Sikap polisi secara proporsional di ini menyalahi tujuan dari sekitar Monas. kepolisian sebagai aparat Penegakan oleh Polisi negara yang salah satunya justru dilakukan setelah adalah memberikan beberapa hari kemudian. perlindungan (Pasal 5 UU Kasus kekerasan No.2 Tahun 2002) selaras aparat polisi di kampus dengan HAM. Upaya Universitas Nasional Dok. diolah dari : islamkejawen.multiply.com dan peepoop-online.blogspot,com pembiaran bertentangan (Unas) dan kekerasan dengan Pasal 15 berikutnya demonstrasi mahasiswa di Unas. massa dari Front Pembela Islam Upaya polisi dalam menjaga yang menyebutkan bahwa dalam (FPI) di Monas tidak akan terjadi keamanan dan ketertiban di m e n y e l e n g g a r a k a n t u g a s bilamana polisi selaku aparat masyarakat tidak diimbangi oleh tugasnya (Pasal 13 dan 14) Polri di yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kewajiban lainnya antaranya dapat melakukan penegakan hukum, pemeliharaan untuk tetap menghormati dan tindakan pertama di tempat ketertiban dan keamanan (Pasal menjamin kebebasan rakyat. kejadian. Kewenangan ini justru 14 UU No. 2/2002 tentang Polri) Prinsip menjaga keseimbangan tidak digunakan polisi terhadap dapat menjalankan fungsi dan a n t a r a u n t u k m e n j a m i n massa FPI kendati secara jelas tugasnya secara tepat dan benar. k e a m a n a n ( s e c u r i t y ) d a n tindakan masuk kategori pidana. Kendati demikian, harus digaris kebebasan (liberty) tidak terjadi Jika dibandingkan dengan bawahi bahwa implementasinya dalam kasus Unas. kasus Unas, polisi cenderung harus tetap mengacu pada norma Menjadi aneh bila polisi yang diskriminatif. Dalam menghadapi HAM. Adanya keharusan itu sudah memiliki Prosedur Tetap demonstrasi mahasiswa polisi sebenarnya telah dinyatakan (Protap) namun masih terjadi b e r t i n d a k r e p r e s i f , n a m u n dalam Pasal 4 UU tentang Polri, kekerasan polisi. Hal ini menjadi terhadap massa FPI justru polisi yang mengharuskan polisi untuk pertanyaan apakah Protap yang t i d a k m e l a k u k a n l a n g k a h menjunjung tinggai HAM. Hal ini bermasalah, atau aparat di seharusnya. Padahal polisi menjadi penting mengingat lapangan tidak menjalankan isi memiliki kewenangan untuk ketaatan aparat polisi terhadap dari Protap itu? Keduanya mengambil langkah-langkah yang norma HAM sekiranya dapat memiliki rumusan masalah dan diperlukan guna melindungi hak m e n c e g a h m e r e k a d a r i konsekuensi yang berbeda. warga dari kemungkinan adanya k e m u n g k i n a n t e r j a d i n y a Namun terlepas dari itu, adalah ancaman dari kelompok lain. ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
06
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
laporan utama menjadi penting untuk dilakukan. D a l a m perjalanannya, rakyat kini kembali harus m e n e l a n kekecewaannya dengan realitas polisi yang ternyata belum berubah menjadi sebuah institusi dan individu sipil. Kendati terjadi perkembangan Korban kekerasan kasus Monas dok: kiwaras.blogspot.com di sektor reformasi Sebab, hak atas rasa aman bagi r e g u l a s i t e r u t a m a d e n g a n seluruh warga diatur dalam keluarnya TAP MPR No. VI Tahun konstitusi, dan negara melalui 1999 dan TAP MPR No. VII Tahun aparat hukum wajib memenuhi 1999, serta Undang-Undang No.2 hak tersebut. Untuk mencegah Tahun 2002 tentang Polri, namun t e r j a d i s e r a n g a n F P I i t u hal itu belum memberikan seharusnya polisi menugaskan konstribusi positif bagi perubahan aparat secara proporsional di polisi yang lebih signifikan. lokasi dalam upaya menjaga P e n d e k a t a n r e p r e s i f y a n g keamanan dan ketertiban yang berujung pada kekerasan polisi menjadi bagian dari tugas polisi masih melekat dan kerap menjadi (Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002). bagian dari pendekatan kerjaJadi, kekurangan personil bukan kerja yang tetap digunakan alasan yang dibenarkan. Adalah hingga hari ini. tidak mungkin bila Polri tidak Lebih lanjut, jika melihat mengetahui akan ada banyak sejarah kekerasan aparat dalam keramaian di sekitar Monas. kasus-kasus yang bersifat struktural, maka sesungguhnya M a s i h R e n t a n u n t u k aksi kekerasan aparat polisi dapat Dipolitisasi dilihat bukanlah tindakan yang berada dalam ruang kosong yang Kekerasan aparat Polisi di Unas tidak memiliki maksud dan tujuan. telah menimbulkan kembali Hal ini tidak terlepas dari k e t i d a k p e r c a y a a n r a k y a t paradigma di dalam kepolisian itu terhadap polisi karena tidak sendiri yang seringkali masih a d a n y a p e r u b a h a n y a n g memposisikan dirinya sebagai signifikan sejak berpisah dari bagian dari penguasa. Posisi militer. Padahal sebelumnya polisi sebagai alat negara muncul harapan baru dari rakyat seringkali disempitkan maknanya bahwa polisi akan berubah menjadi alat pemerintah atau alat menjadi sosok baru, sosok yang penguasa, sehingga ketika terjadi humanis ketika dideklarasikan masalah antara pemerintah vis a lepas dari ABRI/TNI tahun 2000. vis rakyat, polisi menunjukkan Upaya pemisahan Polisi dari k e b e r p i h a k a n n y a p a d a ABRI/TNI ini seharusnya penguasa. Pandangan ini membawa konsekuensi di mana menempatkan rakyat yang kritis polisi bukan lagi institusi militer, dan berbeda dengan penguasa melainkan merupakan institusi sebagai bentuk perlawanan sipil. Sejalan dengan itu, institusi terhadap penguasa, sehingga Polri dan juga aparatnya harus acapkali dihadapi secara represif. meninggalkan sifat-sifat Kasus kekerasan polisi di militeristik yang selama ini Unas menunjukkan bahwa dilakukan. Namun, tuntutan ini persepsi Polisi sebagai bagian nampaknya belum disadari betul dari penguasa atau pemerintah sebagai satu keharusan dan menemukan relevansinya. Dalam sekaligus kebutuhan yang kasus tersebut polisi cenderung
menempatkan dirinya sebagai mengawal dan mengamankan jalannya kebijakan kenaikan BBM, daripada menjalankan fungsi dan tugasnya secara tepat sebagai aparat negara dan aparat hukum. Politisasi Polri ini sangat dimungkinkan mengingat hubungan Polri yang dekat dengan kekuasaan yang dimanifestasikan melalui kedudukan atau posisi Polri yang berada langsung di bawah Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (1) UU No. 2 Tahun 2000. Posisi ini membuka peluang kemungkinan digunakannya Polisi sebagai alat kekerasan politik. Kasus Unas dan Monas selayaknya dijadikan pelajaran oleh Polri untuk segera melakukan perubahan dan perbaikan sejalan dengan tuntutan reformasi. Di antaranya adalah reformasi kelembagaan (struktur organisasi) dan culture (doktrin, pendidikan) menuju arah kepolisian sipil yang berfungsi sebagai abdi hukum dan abdi masyarakat, dengan lebih mengedepankan tindakan preventif-mengayomi, dan bukan terus mewarisi dan mempertahankan praktek represifmiliteristik. Lebih lanjut, kedua kasus tersebut juga harus dijadikan cacatan untuk evaluasi terhadap keberadaan standar Prosedur Tetap (Protap) Polri, apakah sudah sesuai dengan prinsip HAM tanpa kemudian menegasikan kebutuhan akan keamanan dan ketertiban.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
07
laporan utama
Polisi dan Penegakan HAM Oleh Al Araf (Koordinator Peneliti IMPARSIAL)
S
ejarah panjang kekerasan berlebih aparat kepolisian nampaknya tidak kunjung usai. Tragedi di kampus Universitas Nasional (Unas) adalah kepingan peristiwa yang memperkukuh bahwa praktik brutalitas polisi itu terus berlanjut. Tragedi ini tidak hanya menunjukkan rendahnya penghargaan terhadap kualitas kita sebagai manusia, tetapi juga membuktikan masih kuatnya budaya militeristik di dalam institusi kepolisian. Seringkali atas nama keamanan dan ketertiban, penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh aparat kepolisian menjadi sah hukumnya untuk digunakan. Keamanan acapkali dipakai untuk memberi justifikasi atas kebijakan-kebijakan dan semua tindakan yang dilakukan oleh negara. Atas nama keamanan,
negara seringkali m e n y a l a h g u n a k a n kekuasaannya (abuse of p o w e r ) , s e h i n g g a memposisikan masyarakat dalam kondisi yang terhimpit. Oleh karenya tidak salah bila konsepsi kritis tentang negara sebagaimana dikembangkan oleh kaum Marxis yang melihat negara sebagai institusi yang hanya melanggengkan hubungan antar kelas yang saling bertentangan, keamanan tidak lebih dari kepentingan kelas penguasa. Watak militeristik yang ke n ta l d i d a la m in stitu si kepolisian itu, di satu sisi merupakan bagian dari warisan sejarah masa lalu. Aparat kepolisian masih sulit melepaskan diri dari kultur militer yang dulu menjadi induk organisasi kepolisian. Sejalan dengan pola pikir militer pada saat itu yang sangat
Polisi sebagai alat Negara dan bukan sebagai alat Penguasa dok: sijo sudarsono
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
08
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
mendominasi sipil, maka cara pandang, cara pikir dan cara bertindak yang militeristik masih mendominasi dalam mindset aparat kepolisian. Hal ini diakui sendiri oleh Kapolri waktu itu, Jenderal Da'i Bachtiar yang menyatakan: “masih banyaknya polisi yang menjalankan tugas menggunakan cara-cara militer (militeristik), salah satunya dikarenakan oleh dampak dari penggabungan Polri dengan TNI di masa lalu.”1 Dalam dekade kekinian, di mana demokrasi telah memberikan ruang dan gerak bagi warganegara untuk mengaktualisasikan pendapat secara bebas dan menyalurkannya melalui saluran demokrasi yang ada, praktik kekerasan berlebihan oleh aparat kepolisian seharusnya tidak lagi mendapatkan tempat di dalam lingkungan kehidupan politik kita. Sebab, tatanan demokrasi lebih mengutamakan keunggulan cara-cara persuasif, negoisasi dan toleransi ketimbang cara-cara koersif, pemaksaan dan penggunaan kekerasan yang berlebih. Dalam relasi kuasa negara dengan warganegara, penggunaan kekerasan oleh aparat negara memang dibenarkan. Penggunaan kekerasan itu telah menjadi salah satu bagian dari fungsi negara itu sendiri. Namun, pelaksanaan tugas represif tersebut harus didasarkan pada asas legalitas sehingga tidak m e l a m p a u i b a t a s kewenangannya. Lebih dari itu, penggunaan kekerasan itu
laporan utama sejatinya hadir untuk melindungi Human security menilai bahwa perhatian dan perjuangan umat hak dan kebebasan warga k e a m a n a n j u g a m e l i p u t i manusia bersamaan dengan negara itu sendiri, dan bukan keamanan manusia yang di perkembangan peradaban sebaliknya. Di sini penggunaan dalamnya mencakup masalah mencapai kemuliaan kehidupan k e k e r a s a n o l e h a p a r a t k e s e j a h t e r a a n s o s i a l , manusia. HAM adalah anak keamanan harus dapat menjaga p e r l i n d u n g a n h a k - h a k sejarah yang dilahirkan dan kebutuhan untuk menjaga rasa k e l o m p o k m a s y a r a k a t , d i p e r j u a n g k a n o l e h u m a t aman di satu sisi dan kebutuhan kelompok minoritas, anak-anak, manusia. Maka universalitas untuk melindungi hak dan wanita dari kekerasan fisik dan HAM tidak bisa dipungkiri lagi. m a s a l a h - m a s a l a h s o s i a l , Konsepsi dasar HAM adalah kebebasan di sisi lain. Penting untuk diingat ekonomi dan politik. Ciri khas pengakuan bahwa semua bahwa melindungi kebebasan perspektif ini melihat bahwa manusia dilahirkan bebas dan dan keamanan warga adalah ancaman utama bagi human sama dalam hal hak dan kewajiban negara (state duty). security adalah penolakan hak- martabatnya. Semua manusia Itu ditegaskan oleh hukum hak asasi manusia dan tidak dikaruniai akal budi dan hati internasional hak-hak asasi adanya supremasi hukum. nurani untuk saling berhubungan dalam semangat manusia dan diperintahkan persaudaraan. Konsepsi oleh konstitusi setiap hak asasi manusia negara demokratik. Liberty membuat perbedaan and security of person status, seperti ras, gender, adalah hak-hak asasi agama dan status sosial manusia dari setiap warga menjadi tidak relevan negara yang selain tidak secara politis dan hukum boleh dikurangi dalam yang menuntut adanya keadaan apapun (nonperlakuan yang sama. derogable), juga bersifat Dalam konteks tidak dapat diceraikan kenegaraan, kewajiban (indivisible). Adalah sangat negara dalam penegakkan berbahaya bila negara HAM itu meliputi upaya bertindak dalam pikiran pemenuhan (to fullfil), keliru bahwa hak-hak perlindungan (to protect), fundamental itu bisa saling penghormatan (to respect), menggantikan. promosi atau sosialisasi (to B a h k a n , promote) nilai-nilai dan perlindungan terhadap hak hukum HAM yang ada. asasi sesungguhnya Dengan demikian, sebagai merupakan esensi dari bagian dari aparatus konsep keamanan itu negara, polisi memiliki sendiri. Perkembangan peran yang sangat penting tafsir dan persepsi terhadap ancaman yang dipengaruhi Aksi demo mahasiswa menuntut SBY-JK mundur akibat brutalisme polisi dok:Ray u n t u k m e w u j u d k a n kewajiban-kewajiban oleh situasi dan kondisi Dalam pendekatan nonsosial, ekonomi dan politik yang tradisional tersebut, konsepsi negara tersebut, yang salah berubah telah memperlihatkan keamanan lebih ditekankan satunya adalah menjamin bahwa persoalan kelaparan, k e p a d a k e p e n t i n g a n terpenuhinya hak-hak individu kemiskinan, kejahatan terhadap k e a m a n a n p e l a k u - p e l a k u setiap warga negara. Tugas kemanusiaan, penyakit menular bukan negara (non-state tersebut sejatinya adalah dan pencemaran lingkungan actors). 2 Dengan demikian, kewajiban setiap organ negara m e n j a d i a n c a m a n b a g i u p a y a u n t u k m e n j a g a yang tidak bisa dinegasikan, k e m a n u s i a a n k i t a . keamanan negara tidak boleh termasuk salah satunya oleh Kompleksitas ancaman tersebut menegasikan esensi dari institusi kepolisian. Dalam hal yang lebih telah mempengaruhi konsep keamanan itu sendiri yakni k e a m a n a n y a n g a d a . perlindungan terhadap hak-hak khusus adalah sangat penting bagi mereka untuk memahami Keamanan tidak lagi hanya asasi manusia. adanya kesepakatan tentang ditujukkan kepada upaya hak-hak asasi minimal yang menjaga keutuhan teritorial HAM dan Polisi tidak boleh dilanggar dalam negara tetapi juga keamanan manusianya (human security). Sebagai sebuah nilai, HAM keadaan atau situasi apapun, di Dalam kerangka itu, sesungguhnya telah menjadi mana hak-hak asasi minimal itu ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
09
laporan utama
Aksi demo mahasiswa dalam korban kekerasan polisi (Ressay.wordpress.com)
disebut sebagai non derogable rights atau hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Hak-hak minimal tersebut meliputi hak atas kehidupan; kebebasan dari penganiayaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi; kebebasan dari perbudakan dan kerja paksa; hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang; dll. Terlebih lagi aparat kepolisian perlu memperhatikan Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsipprinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api. Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality). Sungguh pun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
10
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia. Dalam Prinsip Kesembilan UN Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials ditegaskan bahwa aparat penegak hukum tidak dapat menggunakan senjata api kecuali: b. Pertama, membela diri (self defence) atau membela orang lain dari ancaman yang tiba-tiba (imminent threat) dari kematian dan luka-luka yang serius; Kedua, mencegah kejahatan (perpretation) yang merupakan kejahatan serius termasuk ancaman terhadap hidup dan; Ketiga, menangkap orang yang sangat berbahaya dan melawan kewenangan mereka (resisting their authority) atau mencegah kaburnya seseorang dan jika tindakan tersebut dipandang tidak berbahaya sehingga tidak cukup mencapai ketentuan ini. Dalam setiap kejadian, penggunaan senjata yang mematikan hanya diperuntukkan apabila terjadi hal yang tidak dapat dihindarkan untuk melindungi hidup. Lebih lanjut, dalam prinsip-prinsip tersebut juga disebutkan bahwa dalam penanganan terhadap pertemuan yang tidak sah namun berjalan dengan damai, aparat penegak hukum harus me n g h i n d a ri p e n g g u n a a n kekerasan. Apabila tidak dapat dihindari, mereka harus membatasi penggunaan kekerasan hingga batas minimum yang diperlukan. Bila terjadi kerusuhan, kekacauan, dan keributan dalam pertemuan tersebut, aparat penegak hukum diperbolehkan menggunakan kekerasan namun hingga batas minimum y a n g d i p e r l u k a n . Ti d a k diperkenankan melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pertemuan dengan penggunaan kekerasan sebagai taktik praktis untuk
membubarkan pertemuan tersebut. Aparat penegak hukum harus pula meminimalisasi kerusakan dan korban luka serta dalam tugasnya menghormati dan menjaga martabat manusia Terakhir, sekali lagi penting untuk diingat oleh seluruh aparat kepolisian bahwa perlindungan dan penegakan HAM adalah kewajiban negara, karenanya seluruh penggunaan instrumen kekerasan oleh aparat kepolisian tidak hanya ditujukkan untuk menjaga rasa aman semata tetapi juga sepenuhnya ditujukkan untuk menjaga dan melindungi hakhak warga negara itu sendiri. Dengan demikian sesat pikir aparat kepolisian dalam menggunakan kekerasan selama ini yang akhirnya berujung pada praktik brutalitas sepantasnya dihentikan. Ingat, keamanan tidak boleh mengalahkan kebebasan. Kedua hal tersebut adalah dua keping mata uang yang tidak bisa di pisahkan apalagi digantikan.
Catatan: 1 Harian Media Indonesia, “ Kapolri akui Polisi masih militeristis”, Jumat, 26 november 2004, hal 1 2 Penekanan akan pentingnya hak asasi manusia sebagai komponen dasar human security sebenarnya sudah berasal sejak perjanjian Peace of Westphalia, yang tertuang dalam Traktak Osnabruck dan Munster 1648, lihat Andi Widjayanto, Human Security, Makalah, 2006
Nasional
POLISI: Di antara Kekerasan dan Korupsi Oleh Emerson Yuntho (Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)
D
ibalik suka cita menyambut hari Bhayangkara K e p o l i s i a n R e p u b l i k Indonesia, tanggal 1 Juli 2008 lalu, sesungguhnnya ada keprihatian mendalam yang ditujukan kepada institusi kepolisian di negeri ini khususnya mengenai tindakan kekerasan dan korupsi yang dilakukan oleh (oknum) anggota kepolisian. Dari tahun ke tahun, perilaku menyimpang tersebut selalu terjadi dan mencoreng nama baik korps kepolisian. Salah satu peristiwa kekerasan oleh oknum polisi yang paling fenomenal di tahun ini adalah saat m e n a n g a n i d e m o n s t r a s i mahasiswa Universitas Nasional (Unas) di Pejaten, Jakarta, Sabtu (24 Mei 2008). Tindakan kekerasan terjadi saat polisi menyerbu masuk ke dalam kampus Unas. Sejumlah sepeda motor dan sarana kampus dirusak polisi, puluhan orang luka-luka, dan sebanyak 140 orang dibawa ke Mapolres Jakarta Selatan untuk diamankan dan dimintai keterangan. Seorang mahasiswa, Maftuh Fauzy, beberapa hari setelah kejadian meninggal dunia. Diduga kematiannya akibat dipukul
Akibat kekerasan, tugas utama polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat kenyataannya justru sebaliknya. Membuat masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika bersentuhan langsung aparat kepolisian. Te n t u n y a b u k a n s e c a r a institusional kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencermarkan nama baik institusi. Kenapa polisi bisa sedemikian b e r i n g a s n y a ? Setidaknya terdapat 2 (dua) faktor munculnya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi (Amin Sudarsono: 2007). Pertama, faktor psikologis personal. Kompleksitas tugas polisi di lapangan ditambah penghasilan Mengenang korban kekerasan polisi dok:Ray y a n g m i n i m d a p a t kekerasan yang dilakukan oleh menyebabkan mereka mudah aparat kepolisian. Jumlah ini stres dan frustrasi. Selain tingkat lebih besar daripada tindak ancaman dan risiko pekerjaan kekerasan yang dilakukan oleh sangat tinggi, polisi bekerja a p a r a t Te n t a r a N a s i o n a l selama 24 jam per hari dan tujuh Indonesia (TNI) yang hanya 18 hari dalam seminggu tanpa kasus. Faktanya, kekerasan mengenal hari libur dan cuaca. tidak saja dilakukan antara Polisi dituntut untuk selalu aparat polisi dengan warga berdisiplin tinggi, patuh pada masyarakat yang harusnya peraturan yang berlaku dan dilindungi, namun juga antara tunduk pada perintah atasan, aparat polisi dengan aparat cepat dan tanggap dalam mengatasi berbagai masalah. keamanan lainnya (baca: TNI). aparat polisi saat penyerbuan yang nahas tersebut. Fenomena kekerasan polisi ini menarik untuk dicermati. Kekerasan yang dilakukan oleh polisi di Unas pada akhirnya menambah catatan buruk citra kepolisian di mata masyarakat. Selama tahun 2007 sampai 2008, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat ada 180 kasus
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
11
nasional Kondisi ini yang mendorong agresivitas polisi dalam penanganan sebuah perkara. Kedua, faktor kebanggaan korps. Kebanggaan yang berlebihan seringkali menjadikan arogansi korps. Diakui maupun tidak, menjadi seorang anggota Kepolisian adalah sebuah prestasi bagi sebagian orang. Artinya, identitas tersebut adalah sebuah pencapaian yang dihargai tinggi. Dalam tradisi militer, dikenal istilah korsa (kebersamaan) dan kebanggaan korps. Pembelaan terhadap sesama anggota korps adalah bentuk kebersamaan itu. Kebanggaan korps ini, juga sering menyebabkan bentrokan antarelemen, misalnya antara TNI dengan Polri. Arogansi yang muncul menjelma menjadi agresivitas yang memalukan. Selain tindakan kekerasan yang dilakukan, rusaknya citra kepolisian juga diakibatkan praktek korupsi dan kolusi yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Fenomena korupsi semacam ini dapat ditemui dalam lingkup tugas polisi yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelayanan m a s y a r a k a t , d a n penyalahgunaan wewenang. Persoalan korupsi di kepolisian merupakan persoalan yang tidak kunjung usai. Dalam sejarahnya, korupsi di tubuh kepolisian bukanlah barang baru bahkan sudah menjadi rahasia umum di mana semua orang sudah mahfum. Hasil penelitian ICW mengenai proses pemgurusan Surat Izin Mengemudi dan pola-pola korupsi di lingkungan peradilan khususnya di kepolisian memperkuat bahwa korupsi di korps Bhayangkara bukan hanya isapan jempol belaka. Berdasarkan hasil ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
12
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
Sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat Polisi dituntut profesional dok:bbg
penelitian ICW di enam kota besar di Indonesia pada tahun 2001, menemukan bahwa korupsi yang dilakukan oleh oknum polisi biasanya terjadi pada proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara. Permintaan uang jasa, penggelapan perkara, negoisasi perkara, dan pemerasan merupakan pola yang umum dilakukan oleh oknum anggota kepolisian. Terhadap dua persoalan besar tersebut (kekerasan dan korupsi), dalam beberapa kasus, harus diakui pihak kepolisian menindaklanjuti setiap pelanggaran yang ditemukan dengan mengajukan pelaku ke Komisi Kode Etik dan Profesi Polri. Namun kenyataannya sidang komisi ini seringkali memberikan keistimewaan terhadap pelaku dengan upaya menurunkan derajat dari pelanggaran yang dapat dipidana menjadi sebatas pelanggaran administratif belaka. Umumnya hanya diberikan teguran keras, ditunda kenaikan pangkatnya, atau yang paling berat adalah dicopot dari jabatannya. Upaya membuat jera oknum polisi yang melakukan kekerasan dan korupsi dengan
membawa ke proses hukum hingga pengadilan, dapat dihitung dengan jari. Keberadaan polisi kasar dan nakal sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Oleh karena itu merubah paradigma dari polisi yang kasar dan korup menjadi polisi yang tegas namun santun serta bersih dari korupsi adalah tantangan paling besar bagi Kapolri saat ini. Perlu ada perubahan fundamental yang dilakukan di K e p o l i s i a n u n t u k mengembalikan kepercayaan masyarakat. Fungsi kepolisian harus tetap ditempatkan sebagai salah satu bagian pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.**
laporan khusus Resolusi Konferensi Warisan Otoritarianisme “Demokrasi dan Tirani Modal”, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008 elama tiga hari ini 500 akademisi, intelektual, tokoh dan penggerak masyarakat, pemimpin dan aktivis organisasi sosial dan politik dari kampung dan kampus berkumpul di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Diskusi yang meluas dan mendalam dilakukan secara serempak dalam sebelas panel dan dua seminar, pemutaran film dan pertunjukan. Dalam tiga hari ini para p e s e r t a membicarakan betapa Indonesia kini berada di ambang kebangkrutan dan bencana ekologis yang mengancam keberadaan negeri ini. Dibicarakan pula betapa strategi ekonomi yang terus mengeruk kekayaan alam di negeri kepulauan terbesar di dunia ini sudah jauh melampaui batas. Di hulu negeri, hutan yang menjadi pemasok air terus digunduli dengan kecepatan empat kali lapangan bola setiap menit, sementara di hilir ekosistem mangrove hanya menutup kurang dari sepersepuluh garis pantai negeri ini. Lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi
S
dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia sendiri. Daya dukung lingkungan terus merosot dan dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada langkah drastis yang diambil kita harus menghadapi kenyataan bahwa yang tersisa di negeri ini hanyalah ampas.
Bergema suara Soekarno yang tadi malam dibawakan dengan indah oleh Wawan Sofwan ketika di hadapan pengadilan kolonial pada 16 Juni 1930 mengatakan: Musnah buat selama lamanya! Musnah, musnahlah kekayaankekayaan itu buat selamalamanya bagi kami. Musnahlah buat selamalamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk d a l a m ka n to n g b e b e ra p a pemegang andil belaka.
Di dalam tata dan kelola ekonomi ini masyarakat hidup dalam keadaan carut-marut. Para pemegang kuasa justru mengutamakan pengerukan sumber daya alam, memberi kemudahan pada sektor manufaktur ringan dan pasar u a n g y a n g h a n y a mengembalikan sedikit hasil kepada orang banyak dalam bentuk upah dan pajak. Lebih dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang masih harus ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem kontrak dan outsourcing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara pengusaha menikmati keuntungan berlipat. Di pedesaan, petani yang merupakan separuh penduduk Indonesia memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian tapi tidak mendapat perhatian dan dukungan serius. Dan Indonesia tidak sendirian. Ini adalah pola global. Ketimpangan makin menjadi di ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
13
era yang oleh pemikir penguasa dengan pongah disebut “akhir dari sejarah.” Pendapatan dari 500 orang terkaya di dunia jauh lebih besar dari total pendapatan 500 juta penduduk termiskin. Sementara 2,5 milyar penduduk miskin dunia hanya memiliki 5% dari pendapatan global, 10% orang terkaya menguasai lebih dari 50% dari pendapatan itu. Kesenjangan kelas tidak lagi bisa ditutupi. Di Indonesia jumlah orang yang bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung kemarin kita mendapat gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara tidak lagi menjalankan tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat. Panel-panel yang membahas masalah ekonomi dalam konferensi ini melihat bahwa akar persoalan yang kita hadapi sekarang dapat ditelusuri dari kegagalan melakukan pembalikan historis (historical reversal) terhadap struktur ekonomi kolonial. Kelahiran Orde Baru justru menjadi basis bagi dibukanya Indonesia sebagai “surga bagi para investor.” Undang-undang baru di bidang penanaman modal asing, kehutanan, pertambangan dan juga ketenagakerjaan membuat tata dan kelola ekonomi menjadi ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
14
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
sandera dari perusahaan raksasa multinasional, lembaga keuangan internasional dan segelintir komprador yang turut menikmati ketimpangan ini. Negara sepertinya tidak punya kedaulatan untuk menentukan kebijakan. Modal internasional tidak hanya mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk m e l i n d u n g i d a n mensejahterakan rakyat. Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani. Perekonomian yang sangat bergantung pada pembiayaan luar negeri ini menghasilkan warisan utang yang luar biasa. Hingga Januari 2008 outstanding Surat Utang Negara hampir menyentuh angka Rp 900 trilyun sementara utang luar negeri tercatat US$ 7 9 m i l y a r. P e m b a n g u n a n diarahkan untuk menutup defisit anggaran yang sudah nyata tidak berhasil mengatasi krisis tapi justru membuat krisis semakin mendalam. Subsidi
dan pengeluaran sosial dibuntungi agar pemerintah punya cukup uang untuk membayar utang. Korupsi yang sudah sampai taraf memuakkan membuat sedikit dana yang tersisa tidak pernah bisa digunakan secara efektif untuk melakukan perbaikan. Stolen asset yang mencapai ratusan trilyun tidak pernah bisa disentuh, sementara kasus pencurian baru pun seperti sukar dielakkan. Desentralisasi kekuasaan membuat munculnya predator baru di tingkat lokal yang justru membuat perubahan semakin sulit dilakukan. Para pemegang kuasa sepertinya tidak menyadari bahwa krisis yang menyeluruh ini tidak hanya mengancam perekonomian Indonesia tapi juga keberadaan Indonesia sebagai sebuah political project. Tirani modal membuat ruang hidup semakin sesak. Ruang publik pun semakin berkurang sehingga kreativitas dan daya kritis tidak dapat berkembang. Lembaga negara dikuasai oleh penganjur neoliberalisme yang justru mendekatkan pasar dengan negara. DPR setiap minggu menghasilkan satu
laporan khusus
undang-undang baru yang memudahkan jalan modal untuk menguasai negeri ini. Birokrasi diatur sedemikian rupa di bawah panji-panji reformasi dan good governance sehingga tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan modal. Ketika Bank Dunia memberi jutaan dolar kepada DPR untuk menyusun undang-undang sumber daya air, kita tahu bahwa undang-undang itu tidak akan mewakili kepentingan rakyat banyak. Dan yang lebih menyedihkan: uang jutaan dolar itu adalah pinjaman yang harus dibayar kembali oleh rakyat melalui pajak dan pungutan lainnya. Artinya rakyat harus membayar mahal untuk kebijakan yang merugikan dirinya. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum atau electoral democracy hanya memberi kesempatan pada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara di pusat maupun daerah. Hasil dari pertarungan
ini adalah kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatif di bidang politik. Kemunculan pejabat dan anggota DPR di pusat dan daerah dari kalangan akademik maupun gerakan sosial belum mampu mengimbangi kecenderungan ini, apalagi membawa perubahan yang berarti. Konferensi ini tentu tidak hanya membicarakan masalah, tapi juga berbagai ide dan praktek alternatif yang bermunculan di seluruh negeri. Dan di tengah pemiskinan yang makin menjadi, ancaman sektarianisme dan perpecahan yang bisa berakibat runtuhnya social fabric, dan dominasi modal di segala bidang, kita berkeyakinan bahwa alternatif itu ada. Indonesia adalah masyarakat majemuk. Karena itu kiranya tidak ada rumus atau resep tunggal yang secara menyeluruh dapat mengatasi tumpukan masalah yang demikian bervariasi, baik dari segi geografis maupun sektoral. Konferensi ini berhasil mengidentifikasi sejumlah prinsip dan ruang di mana alternatif yang majemuk ini dapat berkembang. Prinsip dasar yang penting adalah mengakhiri atau memutus ketergantungan terhadap modal dan pasar. Kepercayaan buta pada mekanisme pasar dan neoliberalisme yang merajalela dalam tata dan kelola perekonomian Indonesia harus ditinggalkan, dan diganti dengan pemikiran dan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mengutamakan kesejahteraan. A d a t i g a k a t a kunci di sini: keadilan, keberlanjutan dan kemakmuran, yang berporos pada kedaulatan, artinya kuasa dan kendali yang efektif untuk menentukan nasib sendiri. Negara juga harus
mengambil keputusan politik u n t u k m e n g a k h i r i ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, mengupayakan pengurangan utang luar negeri, dan memegang kendali penuh dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dominasi lembaga keuangan internasional dan perusahaan multinasional dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia harus diakhiri. Penjualan aset negara untuk menutupi defisit anggaran harus dihentikan segera dan rencana pengembalian aset yang sudah dijual harus segera disusun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sektor energi mutlak diperlukan u n t u k m e n g u r a n g i ketergantungan pada minyak dan gas, yang menjadi blok pengeluaran sangat besar dalam anggaran belanja negara. N e g a r a h a r u s mengupayakan kedaulatan pangan dengan meningkatkan produksi pertanian untuk keperluan konsumsi di dalam negeri. Impor bahan makanan pokok, terutama beras, kedelai, jagung dan gula harus dikurangi. Distribusi kebutuhan pokok harus ditangani badan khusus yang melibatkan masyarakat luas dan tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Upah di segala sektor harus dinaikkan
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
15
laporan khusus
untuk meningkatkan daya beli, dan sistem pajak yang adil diberlakukan secara efektif untuk mengurangi kesenjangan yang makin menjadi. Tidak ada alasan bagi negara untuk membiarkan sebagian penduduk menikmati kemewahan yang sukar dibayangkan di negara maju sekalipun sementara mayoritas penduduk hidup dalam penderitaan. Kepastian kerja harus ditegakkan dengan menghapus informalisasi kerja yang hanya merupakan strategi pengusaha untuk mendapat keuntungan berlipat. Prinsip dasar dari perubahan arah pembangunan ini adalah “untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.” Karena itu keterlibatan rakyat secara langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan perekonomian menjadi mutlak diperlukan. Prinsip ini pada gilirannya menuntut perubahan dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi perlu diperdalam dengan bermacam bentuk demokrasi langsung ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
16
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
yang lebih partisipatoris dan menjamin keterwakilan semua unsur masyarakat, yang tidak terlihat (invisible) dalam demokrasi elektoral. Kontrol terhadap pelaksanaan demokrasi elektoral harus ditegakkan, mulai dari sistem pemilihan umum, pembiayaan partai politik sampai demokrasi internal partai politik itu sendiri. Dengan langkah-langkah ini kita bisa berharap terjadinya peningkatan kualitas demokrasi yang menjamin keterwakilan, lebih menampung yang pada gilirannya menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Lembaga-lembaga negara harus dibebaskan dari kepentingan predatoris dan neoliberal dengan menempatkan penyelenggara negara yang bisa berpikir di luar paradigma dominan dan bersedia menantang tirani modal. Perubahan ini tidak mungkin berjalan jika hanya berlangsung di tingkat kebijakan. Pemberhalaan hukum seolah kebijakan yang
baik akan menghasilkan praktek yang baik pula juga harus ditinggalkan. Perubahan kebijakan harus disertai dukungan masif dari berbagai unsur masyarakat untuk memastikan bahwa perubahan yang diharapkan muncul sebagai akibat dari keluarnya kebijakan tertentu, memang terjadi. Dan lebih jauh, politik pengetahuan dan perumusan kebijakan semestinya bertolak dari praktek-praktek alternatif terhadap tirani modal yang berlangsung di berbagai tingkat dan sektor. Aliansi antara kekuatan-kekuatan yang mengupayakan alternatif yang bersifat lintas-sektor perlu dibangun dan diperkuat. Kenyataan bahwa Universitas Indonesia menjadi tuan rumah bagi konferensi ini yang diselenggarakan bersama kalangan ornop, gerakan sosial dan intelektual, menjadi bukti bahwa aliansi seperti itu bukan hanya mungkin, tapi sudah terjadi. Kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan di berbagai tingkat dan kalangan harus dipikirkan secara sungguhsungguh, dan konferensi ini baru membuka jalan dengan mempertemukan berbagai kalangan dalam satu forum yang menghasilkan kesepakatan bersama. Kunci keberhasilan dari strategi untuk membangun alternatif ini adalah kehadiran critical mass, yang merumuskan, melaksanakan dan mengawal agenda perubahan ini. Tingkat partisipasi yang sangat tinggi dalam konferensi ini kiranya menjadi tanda yang baik bahwa kita sedang bergerak ke arah itu.
daerah
Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan Oleh Amiruddin al Rahab (Peneliti Politik dan Hak Asasi Manusia di ELSAM)
A
da dua cara untuk m e m a h a m i g e l o m b a n g pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua. Cara pertama adalah melihat gejala ini sebagai upaya ekploitasi kesempatan yang dibuka pemerintah pusat (desentralisasi) oleh tokoh-tokoh 1 Papua. Penjelasannya adalah para tokoh-tokoh Papua melihat adanya peluang beranjak ke atas sejak dibenarkannya Papuanisasi birokrasi. Artinya, kini dan saat ini merupakan kesempatan terbesar dari tokohtokoh Papua untuk menjadi elit di daerahnya sendiri. Meningkatnya ekploitasi kesempatan ini berbanding lurus dengan kian sempitnya peluang tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di 2 daerah lain. Cara kedua adalah melihat gejala itu sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk menghentikan laju kristalisasi identitas politik Papua. Penjelasannya adalah otoritas kenegaraan Indonesia ketakutan sejak Presidium Dewan Papua 3 (PDP) mampu hadir sebagai wadah tandingan terkuat bagi otoritas pemerintah Indonesia (1999-2003) karena berhasil m e n g h i m p u n d a n mentransformasikan perlawanan Papua yang sporadis menjadi p e r l a w a n a n y a n g terinstitusionalisasi. Pilihan yang tersedia bagi otoritas Indonesia dalam situasi seperti itu adalah melumpuhkan institusionalisasi tersebut dengan mengeksploitasi kecendrungan politik Papua prakehadiran PDP, yaitu politik
dengan sentimen kewilayahan 4 yang penuh warna etnik. Hasil akhirnya adalah Papua bukan lagi satu-kesatuan identitas politik, melainkan hanya kapling-kapling administrasi pemerintahan yang berhimpit dengan batas-batas .5 wilayah suku Dari dua arus besar itu maknanya adalah sentralisasi kekuasaan di tangan birokrasi (khususnya Depdagri) tetap berjalan mulus di Papua. Sebab dari puluhan Kabupaten yang dibuat tidak ada perubahan apa pun dalam pengelolaan pemerintahan di Papua. Semuanya tetap menginduk kepada Mendagri. Hal ini terjadi karena di setiap Kabupaten yang dibentuk tidak ada persiapan sama sekali untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri. Contoh: Kabupaten Mimika yang berjalan tanpa DPRD selama 4 tahun. Artinya dalam artian apa pun pemerintahan di KabupatenKabupaten baru itu di Papua sesungguhnya lumpuh. Yang ada hanyalah Jabatan Bupati saja. Bagaimana memaknai bertemunya dua fenomena yang saling menguntungkan antara tokoh Papua dengan pemerintah pusat tersebut dalam masalahmasalah HAM di Papua? Pertama, kedua fenomena itu menggeser masalah ketidakadilan hubungan pusat dan daerah menjadi persoalan internal Papua sendiri yaitu antara pro-pemekaran atau tolak pemekaran. Artinya masalah pokok dalam kesenjanghubungan pusat dan daerah yang telah menyebabkan terjadinya rangkaian pelanggaran HAM dan
kejahatan kemanusian tersingkir dari arena politik dan digantikan oleh pertarungan antar tokoh Papua sendiri dalam memperebutkan restu Jakarta guna mendapat jabatan Bupati dan atau Gubernur. Artinya, masalah Papua saat ini hanya sekadar masalah perluasan birokrasi (khususnya birokrasi Depdagri). Istilah indah tapi menipu untuk ini adalah “pemekaran adalah untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat.” Kedua, fenomena itu juga menyingkirkan isu keadilan dan hak asasi manusia dari arena politik. Khususnya isu pertanggungjawaban. Artinya pemerintah pusat langsung atau tidak langsung menjadikan jabatan-jabatan baru di Kabupaten-Kabupaten baru atau di Provinsi untuk meredam animo orang-orang menuntut pertanggungjawaban. Orangorang kemudian lebih sibuk dan menghabiskan energi untuk merancang, mempersiapkan dan mendukung pembentukan Kabupaten atau Provinsi ketimbang mengadvokasi masalah HAM. Implikasinya seluruh kekeliruan dan kesalahan di masa lalu tidak dijadikan pelajaran untuk perbaikan ke depan. Dengan sendirinya masalah pokok di Papua kini wacananya telah bergeser dari masalah hubungan pusat dan daerah menjadi masalah pro atau kontra-pemekaran. Dari gejala pemekaran seperti di atas, kesimpulan pertama yang dapat kita ambil adalah terjadinya kerjasama yang ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
17
daerah saling menguntungkan antara tokoh-tokoh Papua dengan 6 kepentingan pusat. Siapa tokohtokoh Papua tersebut? Sebagian besar adalah elit-elit lama yang telah menjadi perpanjangan tangan birokrasi serta orangorang baru yang telah menikmati jabatan dalam sepuluh tahun 7 belakangan ini. Singkatnya mereka adalah bagian utuh dari kekuatan politik masa lalu yang memperbaharui diri dengan gaya 8 politik baru. Sementara orangorag pusatnya adalah tokohtokoh yang masih dengan paradigma lama dalam mengelolah Indonesia. Baik yang datang dari dalam birokrasi Depdagri sendiri mau pun yang 9 datang dari partai-partai politik. Kesimpulan kedua, hilangnya aktor-aktor politik baru dari panggung politik Papua. Aktor politik baru yang saya maksudkan adalah aktor politik yang menjadi tandingan bagi politik birokrasi lama yaitu PDP dan DAP. Ketika kekuatan baru ini kehilangan pengaruh, maka politik di Papua kembali ke kultur, strutur dan aktor lama. Implikasinya tidak ada kekuatan penyeimbang atau tandingan di Papua saat ini dalam menghadapi gelombang tsunami pemekaran ini. Dapat kita pastikan gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dalam tahun-tahun mendatang (khususnya setelah Pemilu) a k a n m e m b e s a r. S e l u r u h pemekaran dan rencana pemekaran Kabupaten ditujukan 10 untuk membentuk provinsi baru. Kesimpulan ketiga pemekaran kabupaten dan birokrasi menjadi bahaya besar bagi rakyat dan masa depan Papua sendiri. Bahaya pertama SDA Papua akan dikuras hanya untuk membiayai birokrasi dan jabatan. Anggaran Daerah hanya akan habis untuk biaya rutin kepegawaian. Kedua, Papua betul-betul akan menjadi kaplingkapling yang akan diperdagangkan oleh para war lord baik kepada investor mau ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
18
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
11
pun pada patron politik di pusat. Ketiga, birokrasisasi akan menekan masyarakat sedemikian rupa sehingga menghilangkan ruang untuk menikmai demokrasi secara substantif. Jika dibandingkan dengan Aceh, bahaya pemekaran di Aceh tidak seberbahaya di Papua. Sebab ada fakor determinan yang menentukan yaitu berhasilnya GAM mengambil alih sebagian kekuasaan baik di Provinsi mau pun di Kabupaten. Dari 21 Kabupaten/kota, GAM saat ini telah memenangi Pilkada di 9 Kabupaten sekaligus Provinsi. Selain itu partai-partai politik sentralis Jakarta mendapat lawan setimpal yaitu partai lokal. Dalam pemilu 2009 nanti besar kemungkinan partai lokal meraih suara 40% atau lebih di DPRA. Artinya modalitas untuk mendorong perubahan politik menjadi berbeda dari struktur dan kultur politik masa lalu di Aceh jauh lebih besar ketimbang di Papua. Jika gerakan menuntut pembentukan Provinsi ALA-
ABAS dicermati maka sangat tampak secara gamblang bahwa itu gerakan dari kekuatan masa lalu dan sangat elitis Secara politik sulit berkembang karena sangat terbatas. Fenomena pilkada Aceh Selatan beberapa bulan lalu yang dimenangkan oleh calon Bupati dari GAM bisa jadi contoh. Kembali ke pemekaran Papua, saat ini telah dan sedang terjadi kompetisi terbuka antara tokoh-tokoh Papua dalam memperebutkan kedudukan. Kompetisi terbuka ini membuat pertarungan politik meninggi dan tak tertutup kemungkinan keras ke depan. Dalam pertarungan itu terlibat sesama kekuatan lama, sebab kekuatan baru (PDP) tersingkir dari arena. Hal yang diperebutkan adalah melimpahnya uang di Papua yaitu sekitar Rp. 28 T pertahun dengan jumlah penduduk keseluruhan hanya 2,5 juta jiwa. Jadi politik Papua ke depan lebih diwarnai oleh persekongkolan jahat antara para politisi lokal dengan para politisi di DPR-RI (DPP Partai) dengan calo para mantan petinggi militer atau birokrat.
Tabel Jumlah Pemekaran Kabupaten dan Kota di Papua (1998-2008)
Kota Kabupaten
1998
1999
1 9
2 12
2002 / 2003 2 27
2008 (Papua) 1 25
2008 (IJB) 1 8
Keterangan: 1. Tahun 2003 Provinsi Papua pecah jadi 2 provnsi. Saat ini provinsi IJB menunggu Pembentukan 4 kabupaten baru (Pegunungan Arfak,12 Maibrat, Tambrauw13 dan Manokwari Selatan). Tahun 2008 bulan Juni di Provinsi Papua diresmikan 6 kabupaten baru di daerah pegunungan tengah.14 2. Dalam 10 tahun perkembangan jumlah bupati 350% dari 10 menjadi 35 lima. Artinya ada tersedia 700 sampai 750 kursi di DPRD Kabupaten. (Anggota DPRD Kabupaten di Papua antara 20-30 kursi) 3. Kursi terbesar diduduki oleh Golkar dan PDIP. Komposisi anggota DPRD rata2 60% pribumi, 40% pedatang
daerah Pemekaran Provinsi Papua Tengah Andreas Anggaibak (mantan Ketua DPRD Mimika, Sekretaris Panitia Pemekaran Provinsi Papua Tengah Drs Hironimus Taime, kembali mendelekrasikan pendirian Provinsi Papua Tengah. 8. Simak argument Jhon RG Djoprai tentang perlunya tiga provinsi di Papua. “Dari segi politik, pembagian Provinsi Papua menjadi 3 wilayah provinsi memberikan kesempatan kepada tiga putra Papua yang terbaik untuk menjadi gubernur setelah melalui proses pemilihan oleh rakyatnya.” Sinar Harapan, 5/3/03. Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze yang telah habis masa jabatannya menyokong pemebentukan Papua Selatan. 9. EE Mangidaan sangat mendukung pembentukan Papua Selatan. EE Mangidaan adalah mantan Pangdam di Papua, saat ini salah satu ketua Partai Demokrat dan anggota Komisi II DPR RI.
Catatan:
1. Jaap Solossa ketika menjelang akhir masa Jabatannya pernah menggagas pembagian Papua jadi 5 provinsi yaitu, Papua Bagian Barat, Teluk Cendrawasih, M a m t a ( P a p u a b a g i a n Ti m u r ) , Pegunungan Tengah, dan Papua Bagian Selatan. 2. Sejak menguatnya lokalitas identitas di Indonesia seiring dengan desentralisasi, bisa dikatakan hampir tidak ada kesempatan bagi tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit seperti Bupati atau Gubernur di daerah lain. 3. Jika disimak dengan teliti sejarah permintaan pemekaran sejak tahun akhir tujuh puluhan dan awal 80-an yang dipelopori Gubernur Papua (Irian Jaya) almarhum Busyiri Suryowinoto yang melibatkan (Michael Menufandu, Obednego Rumkorem dan Martinus Howay) dan 6 anggota DPR/MPR-RI antara lain MC Da Lopez, lzaac Hindom, lzaac Saujay, Mochammad Wasaraka, dan Sudarko dapat ditarik satu kesimpulan spekulatif bahwa selama itu tidak ada ancaman yang signifikan di Papua. Maknanya adalah gerakan OPM meski pun bersenjata tidak cukup signifikan mengubah tindakan politik pemerintah pusat. Ketika PDP berhasil melibatkan massa dengan melintasi semua sekat di Papua baru pemerintah mengubah posisinya menyetujui pemekaran. Hal itu terjadi tahun 2001. Pemekaran intensif tahun 2002 untuk kabupaten.
4. yaitu pada tahun 1999, Gubernur provinsi Irian Jaya Freddy Numberi mengusulkan pemekaran provinsi menjadi tiga provinsi dengan melakukan pemutahiran data hasil penelitian Tim Departemen Dalam Negeri tahun 1984. Namun setelah dikeluarkan UU no. 45 tahun 1999, DPRD Provinsi Papua dengan SK No. 11/DPRD/1999 tertanggal 16 Oktober 1999 menolak pemekaran tersebut atas desakan rakyat Papua. 5. Ka BIN Hendro Priyono menyatakan “pemekaran juga dilatarbelakangi aspek keamanan. "Kalau kita bagi semakin kecil, kan kita juga akan semakin mudah dalam kontrol, supervisi, mengamankan rakyat dan menyejahterakan masyarakat," Kompas, 19/2/2003 6. Contoh Decky Asmuruf mantan Sekda Papua masa J Solossa Gubernur dan John Piet Wanane yang sebentar lagi pensiun dari jabatan bupati kabupaten Sorong mendeklarasikan Propinsi Papua Barat Daya, mengkalim Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai bagian dari wilayahnya. Upaya Asmuruf ini ditentang oleh Jimmy Idji ketua DPRD Papua Barat. 7. Contoh pejabat baru yang berburu pemekaran adalah para Bupati dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Jayawijaya, dan Puncak Jaya minta disatukan menjadi Provinsi Pegunungan Tengah. Dipelopori oleh Bupati Pegunungan Bintang Wellington Wenda. Para Bupati ini melakukan kasi Walk Out ketika ada rapat kordinasi pembangunan se Papua yang digagas oleh Gubernur Barnabas Suebu bulan Februari 2008. Para bupati ini adalah Kader Golkar di Papua. KOMPAS 20 February 2008. 13 Mei 2008 Ketua Panitia
10. Rapat paripurna DPR-RI, Selasa (22/1/2008) telah mengsahkan RUU pembentukan provinsi baru di Papua, di antaranya, Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya dan Papua Barat. Kepntingan partaipartai politik terlihat dalam rencana ini. 11. Dari segi ekonomi, ketiga wilayah mempunyai potensi sumber alam yang sama, yaitu pertambangan. Kalau wilayah Tengah ada PT Freeport; di wilayah Barat ada Pertamina dan Proyek Tangguh-BP; di wilayah Timur ada juga tambang Tembaga/Emas di Okisibil (PT Inggold) dan minyak bumi (PT Connoco) di Kouh Tanah Merah. Pembagian tiga provinsi Papua dikapling sesuai keberadaan perusahaan pertambangan. 12. Digagas Bupati Manokwari Dominggus Mandacan sebab telah habis masa jabatan Bupati (dua periode) 13. Digagas oleh John Piet Wanane, bupati Sorong demi merealisasikan Papua Barat Daya. 14. Pembentukan keenam kabupaten baru ini pernah diveto oleh Gubernur Bas Suebu diawal masa jabatannya. Namun Suebu kalah dalam percaturan politik lokal Papua sehingga ke 6 Kabupaten ini mulus terbentuk
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
19
perspektif
Tragedi UNAS dan Aksi Brutal Aparat Kepolisian Oleh Engelbertus Wahyudi (Mahasiswa FISIP Universitas Nasional)
R
encana pemerintah untuk menaikan h a r g a B B M sebenarnya telah diprediksi oleh m asyarakat karena beberapa bulan sebelum BBM naik, pemerintah berupaya menggunakan cara-cara alternatif untuk mengurangi pemakaian BBM di tingkat domestik seperti program konversi minyak tanah ke gas, pembatasan penggunaan BBM serta penggunaan smart card di setiap kendaraan beroda empat. Namun cara-cara pemerintah ini kurang begitu efektif dan menimbulkan banyak kritik. Gelombang perlawanan dari masyarakat khususnya mahasiswa untuk menyuarakan Pukul (WIB)
Kejadian
didatangkan untuk mengamankan aksi tersebut, situasi memanas dan saling lempar antara petugas dan mahasiswa akhirnya tidak dapat dihindari. Botol, batu, dan bom molotov beterbangan, bentrokan berlangsung hingga subuh. Polisi menyerbu dan mengejar para demonstran hingga masuk ke areal kampus. Lebih dari 100 mahasiswa dan mahasiswi Unas dibawa ke kantor polisi. Tak hanya itu, sejumlah fasilitas kampus yang ada di Pejaten, Jakarta Selatan ini hancur. Pecahan kaca dan batu berserakan di mana-mana, juga beberapa mobil serta sepeda motor rusak. Berikut ini adalah kronologis kejadian yang terjadi pada tanggal 24 Mei 2008 di Kampus Universitas Nasional:
Keterangan
21.00
Sejumlah mahasiswa UNAS memulai unjuk rasa di halaman kampus UNAS (taman kotak- samping gedung blok I)
21.40
Masa (mahasiswa) bergerak ke depan kampus UNAS
22.00
Masa (mahasiswa) bergerak menuju pertigaan jalan kampus UNAS sambil berorasi
Di pertigaan sudah ada sekitar 5 mobil patroli polisi.
22.35
Masa (mahasiswa) kembali ke depan kampus UNAS
Diikuti polisi
22.45
Masa aksi membakar ban di depan kampus
Polisi mulai merapat dan jumlahnya bertambah
22.50
Terjadi keributan dengan polisi
Masa (mahasiswa) di bantu warga sekitar, memukul mundur polisi sampai ke pertigaan jalan kampus UNAS. Polisi bertahan di pertigaan dan halte.
23.52
Beberapa warga bernegosiasi meminta polisi membubarkan diri dan mahasiswa UNAS agar masuk ke kampus
Orasi dan menyalakan lilin
05.20
Polisi menyerang kampus dengan atribut lengkap dan melepaskan tembakan serta gas air mata ke dalam kampus. Sedangkan mahasiswa bertahan di dalam kampus dan melakukan perlawanan dengan melemparkan batu, botol, dan apapun yang ada di sekitar mereka.
Tidak ada satu pun mahasiswa yang menggunakan senjata tajam. Mahasiswa berusaha menyelamatkan diri hingga naik ke atap genteng tetapi tetap dikejar oleh polisi
06.02
Polisi mendapat komando untuk masuk ke kampus UNAS. Dan mulai mendobrak pagar kampus
Ada dua komando berbeda. Yang di depan tembok UNAS mengomandokan untuk tidak masuk ke kampus, sedangkan yang di depan pagar kampus menyuruh polisi untuk masuk ke kampus.
06.23
Polisi menangkap seorang mahasiswa yang sudah mengalami luka robek dan bocor di kepala. Kemudian polisi memukuli beberapa satpam UNAS dan juga memukul wartawan yang sedang meliput.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
20
penolakan terhadap kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM terjadi di mana-mana. Berbagai unjuk rasa menentang kenaikan bahan bakar minyak digelar baik di Jakarta maupun di berbagai daerah di tanah air. Unjuk rasa cenderung menjurus anarkis ketika pengunjuk rasa dan polisi seringkali saling dorong. Situasi semakin memanas ketika beredar kabar bahwa BBM akan naik hampir 28,7% dan akan diumumkan oleh Departemen Keuangan pada pukul 22.00 WIB. Menyikapi ini, kampus Universitas Nasional (UNAS) Jakarta meneriakkan penolakan terhadap kenaikan harga BBM dengan berdemonstrasi di depan kampus. Polisi dalam jumlah besar
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
Polisi sudah ada di dalam kampus.
perspektif 06.37
07.03
07.25
Masa (mahasiswa) melakukan aksi duduk diam di lapangan UNAS, tanda bahwa aksi sudah selesai, namun sayangnya polisi memukuli para mahasiswa dan menelanjangi mereka, serta mengambil barang barang milik mahasiswa. Semua mahasiswa dibawa ke dalam mobil tahanan Banyak mahasiswa yang hanya tidur di sekretariat mahasiswa dan yang sedang bersiap untuk acara Wisuda ikut dibawa, bahkan ada mahasiswa yang baru datang ke kampus untuk kuliah juga dibawa. Situasi kampus mulai kondusif. Unas terlihat porak-poranda dengan pecahan kaca, botol, batu, bangku dan meja perkuliahan bertebaran di mana-mana. Motor, mobil serta fasilitas kampus lainnya hancur. Darah berceceran di ruang kuliah dan menempel di dinding.
Dari sekian banyak universitas yang melakukan aksi pada tanggal 23 Mei 2008, UNAS lah yang paling parah terkena serangan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Polisi melakukan penyerbuan terhadap mahasiswa UNAS hingga ke dalam kampus dan melakukan pengrusakan serta penjarahan terhadap fasilitas kampus dan barang-barang milik mahasiswa. Diperkirakan total kerugian yang diderita UNAS mencapai Rp. 600 juta. Itu didapat dari kerusakan 65 motor, tiga unit mobil, serta pecahnya kaca dan pintu di gedung rektorat, gedung akademi, dan gedung kuliah serta meja dan bangku perkuliahan. Kerusakan juga terjadi pada gedung serba guna, komputer dan klinik kesehatan, pagar, anjungan tunai mandiri (ATM), majalah dinding, rambu-rambu, dan peralatan kantor. Selain itu, ada beberapa telepon seluler mahasiswa yang hilang. Dalam aksi itu juga, tercatat ada 148 mahasiswa yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Mahasiswa Unas yang ditangkap ada 100 orang, 89 laki-laki dan 11 perempuan. Alumni Unas 6 orang, 2 perempuan dan 4 laki-laki. Sedangkan mahasiwa dari perguruan tinggi lain yang ditangkap sebanyak 11 orang, 1 laki-laki dan 10 wanita. Selain itu, ada juga 15 masyarakat umum yang ikut dalam aksi tersebut. Dari keseluruhan jumlah itu, ada 15 mahasiswa yang mengalami luka ringan dan luka berat. Yang paling fatal adalah 1 orang mahasiswa meninggal dunia. Mahasiswa Unas yang meninggal itu bernama Maftuh Fauzi. Ia ditangkap pada tanggal 24 Mei 2008 dan dikeluarkan dari
Ada 5 orang tentara menggunakan topi rimba berjaga di depan kampus
Polres Jakarta Selatan pada tanggal 1 Juni 2008. Ia meninggal dunia pada hari Jumat, 20 Juni 2008 akibat dari tindakan represif aparat kepolisian dengan cara dipukul dengan tongkat dan ditendang di bagian kepala, bibirnya pecah, punggung memar dan tangan bengkak. Maftuh Fauzi ditahan selama 10 hari di Polres Jakarta Selatan (termasuk daftar 31 orang). Akibat pemukulan itu luka jahitan di kepala mengalami infeksi sehingga cairannya mempengaruhi otak dan ada pembekuan darah di otak bagian belakang. Sebelumnya korban sempat dirawat di Rumah Sakit UKI tanggal 10-17 Juni 2008, kemudian atas desakan mahasiswa kepada rektorat agar dilakukan perawatan yang lebih intensif, maka korban dipindahkan ke RSPP (Rumah Sakit Pusat Pertamina) pada tanggal 17 Juni 2008. Korban akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 20 Juni 2008. Penyerbuan brutal dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh polisi terhadap civitas akademika Universitas Nasional (Unas) Jakarta merupakan wujud paling nyata dari kebrutalan aparatur negara (polisi) dalam menyikapi kebebasan berpendapat dan Berekspresi. Tugas kepolisian adalah mengamankan aksi agar dapat berlangsung dengan damai bukan melakukan penyerbuan dengan brutal. Mereka membungkam dan mengkooptasi daya kritis mahasiswa dengan tindakantindakan represif. Negara dan aparaturnya (polisi) telah mengubur amanat reformasi yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Tr a g e d i i n i j u g a S e k a l i g u s
membuktikan bahwa belum adanya perubahan yang komprehensif di dalam tubuh Polri padahal polisi sedang berbenah diri menjadi polisi mandiri yang profesional dan bukan menjadi alat kekuasaan, melainkan alat keamanan negara sebagai penegak hukum, pelindung dan pelayan masyarakat (Pasal 5 UU Kepolisian Nomor 2 tahun 2002). Jadi, polisi harus mengayomi seluruh masyarakat dan bukan memihak penguasa yang sedang punya persoalan dengan kebijakan BBM. Atas nama apa pun, menyerbu mahasiswa yang tak bersenjata, mengobrak-abrik kampus dan fasilitasnya, memukuli mahasiswa, dan sebagainya adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan harus diselesaikan secara hukum. Benar yang dikatakan Menko Polhukam Widodo AS bahwa demi penegakan hukum, polisi berwenang masuk kampus. Tetapi dalam kondisi seperti apa? Kampus adalah wilayah privat, sama seperti instansi pemerintah yang tidak serta merta dapat dimasuki polisi dengan alasan ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya. KPK saja harus ijin pimpinan DPR ketika akan menggeledah ruang kantor anggota DPR. Polisi akan menggeledah rumah penduduk yang di dalamnya ada dugaan pelaku narkoba, juga harus mendapat ijin pengadilan atau setidak-tidaknya sepengetahuan RT setempat. Ini aturan KUHAP. Artinya, polisi juga harus meminta ijin untuk dapat masuk ke dalam kampus Universitas Nasional atau kampus lainnya.
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
21
resensi
Membawa Pulang Politik Oleh Raimondus Arwalembun (Staf Publikasi ELSAM)
Judul Buku Penulis Pengantar Penerbit Tahun Data Fisik
K
embalinya Politik” merupakan buku tentang politik yang secara khusus dipersembahkan oleh P2D kepada A. Rahman Tolleng sebagai hadiah ulang tahunnya. Dari judul buku ini, muncul pertanyaan apa pentingnya mengembalikan politik? Dalam pengantarnya Rocky Gerung mengatakan penting mengembalikan politik karena politik (yang selama ini ditafsirkan keliru) merupakan urusan keadilan umum yang melibatkan semua orang, dan untuk membahagiakan seluruh rakyat (hal. viii-ix).
ANALISIS DOKUMENTAS I HAK ASASI MANUSIA
22
EDISI JULI-AGUSTUS TAHUN 2008
: Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari (A)rendt sampai (Ž)ižek : Bagus Takwin, Daniel Hutagalung, Eddie Sius Riyadi,Robertus Robet, dan Tony Doludea. : Rocky Gerung : Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan Marjin Kiri (Jakarta) : 2008 : xxxix, 215 hlm
Secara keseluruhan buku ini terdiri dari 6 sub tema. Keenam sub tema itu adalah: (1) Politik sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt; (2) Yang-Politik dan Demokrasi sebagai Ruang Kosong: Filsafat Politik Claude Lefort; (3) Metapolitik Alain Badiou: Keadilan, Kebenaran, dan Perlawanan terhadap Ketidakmungkinan; (4) Subyek Sebagai Syarat Kembalinya Politik: Proyek Emansipasi Slavoj Žižek; (5) Yang Etis dan Politis: Antara Sukasman dan Zupančič; dan (6) Retorika, Psikoanalisa, dan Hegemoni: Pemikiran Politik Ernesto Laclau. Kelima penulis buku ini secara sistematis mencoba memaparkan pemikiran politik kontemporer dari beberapa pemikir politik yang telah disebutkan di atas. Eddie Sius Riyadi mengawali buku ini dengan membahas pemikiran politik Arendt dan relasinya dengan kebebasan politik. Penulis ingin mengajak kita untuk menyadari bahwa selama berabad-abad kita dijajah dengan filsafat dan praktik politik yang “lupa akan kebebasan.” Di sinilah pentingnya
pemikiran Arendt, tulisan ini bermaksud menelaah salah satu tesis sentral dalam filsafat politik Arendt yaitu bahwa raison d'être dari politik adalah kebebasan, dan bidang pengalamannya (terutama) adalah tindakan (action). Bagi Arendt, yang-politik pada praktiknya tidak bisa dipisahkan dari kebebasan karena di dalam kebebasan itulah yangpolitik itu bisa dialami dan diaktualisasikan. Pada sub tema yang kedua, Robertus Robet memperlihatkan dalam tulisannya bahwa bagi Lefort, politik dilihat sebagai ruang kosong. Konsep politik sebagai ruang kosong yaitu bahwa demi pengalaman kebebasan dan keadilan, politik tidak boleh dihuni oleh jawaban final. Melainkan oleh rentetan pertanyaan yang terus-menerus diajukan. Inilah inti demokrasi yang harus terus diselamatkan dari incaran totalitarianisme. Artinya, isi dasar demokrasi (polis) yang nyata adalah kedaulatan rakyat. Rakyat yang berdaulat namun kursi atau posisi kedaulatan itu tidak pernah secara fisik diisi oleh si rakyat sendiri. Kekosongan posisi kedaulatan inilah karakter pokok demokrasi.
resensi Bidang kosong demokrasi itu menegaskan adanya distansi antara kedaulatan dan rejim: antara yang sosial dan kekuasaan (inilah yang disebut “imajinasi”). Yang-Politik hanya mungkin apabila yang imajinatif mungkin. Dengan demikian bagi Lefort, ruang kosong (demokrasi) itu merupakan indikasi dari kehadiran Yang-Politik. Dalam sub tema yang k e t i g a , B a g u s Ta k w i n memperlihatkan bahwa mengembalikan politik bagi B a d i o u , b e r a r t i mentransformasikan struktur dominan dari kepentingankepentingan status quo. Politik dalam pandangan Badiou, bukanlah everything is possible tapi something else is possible. Yang penting di sini adalah bahwa Badiou tidak sedang bekerja dalam politik “peluang” melainkan dalam politik “total,” yaitu perubahan keseluruhan tatanan. Melanjutkan pemikiran Badiou, pada sub tema yang keempat, Robertus Robet kembali memperlihatkan bahwa dalam hal menemukan kembali yang politik, filsafat Žižek mengambil jalan dalam arah yang ditempuh Badiou, yaitu gempuran total terhadap tatanan dominan, melalui suatu tindakan yang disebut the act. Act pada Žižek berarti suatu tindakan historis yang mengubah suatu paradigma, dan menuai segala sesuatu dari baru.
Di sub tema yang kelima tentang yang etis dan politis, Tony Doludea memperlihatkan bahwa Lewat gambaran togog (dalam pewayangan, togog dipandang sebagai penasehat para Kurawa, atau tokoh-tokoh wayang lainnya yang identik dengan kelicikan dan kejahatan) dan Semar (dipandang sebagai penasehat untuk para Pandhawa, maupun ksatria-ksatria lain yang identik dengan dharma dan kebaikan) oleh Sukasman (seorang seniman wayang), kita dapat merefleksikan kehidupan politik kita. Sukasman mencoba menyadarkan kita, bahwa alihahli menantikan datangnya Semar, malah sebenarnya yang dibutuhkan negeri ini adalah Togog, Togog yang betah tinggal dalam kejahatan. Selain pemikiran Sukasman, Tony juga membahas konsep etika The Real dari Zupančič. Yang dimaksud Zupančič dengan etika The Real adalah etika yang impossible, artinya bahwa etika adalah bukan sesuatu yang tidak dapat terjadi secara empiris, bukan sesuatu yang terjadi ketika kita menginginkannya. Etika The Real selalu terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Baginya etika bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terwujud, melainkan the impossible itu yang dapat terjadi pada waktu dan tempat yang tidak tepat. Inilah inti ruang etika. Pada sub tema yang terakhir, giliran pemikiran Ernesto Laclau yang dibahas oleh Daniel Hutagalung. Dalam tulisanya ini, Daniel mencoba menelusuri triad (retorika, psikoanalisa, dan politik-hegemoni-) yang dijadikan sandaran Laclau bagi masa depan pemikiran sosial dan politik. Teori retorika yang dirujuk Laclau adalah pembacaan Paul de Man atas Pascal. Retorika, logika, dan dekonstruksi memberikan dasar untuk menganalisa bagaimana keputusan dan politik dilihat dalam undecidability, serta
memberikan sumbangan besar bagi teori hegemoni, penciptaan ikatan persamaan, logika perbedaan, dan penanda kosong. Akhirnya lepas dari berbagai kekurangan yang mungkin dapat ditemukan pembaca, hadirnya buku ini dimaksudkan agar mampu memberi pencerahan bagi kita dalam menghadapi kondisi politik kontemporer kita yang tidak lagi membutuhkan teori dan tetekbengek filosofis. Kedangkalan yang terjadi belakangan ini dalam dunia politik Indonesia disebabkan oleh minimnya perangkat teoritis yang kita miliki pasca jatuhnya rejim otoriter. Dari sekian tema yang dibahas dalam buku “Kembalinya Politik” ini, para penulis di buku ini dalam cara, arah, dan metode yang berbedabeda tiba pada satu kesimpulan bahwa filsafat selalu adalah filsafat yang mencari politik (hal. xxxix).
T ASI MASYARAKA AD
VO K
PROFIL ELSAM I& LEMBAGA STUD
Lembaga Studi dan Advokasi Mayarakat (Institute for Policy Research and Advocacy) yang disingkat ELSAM adalah organisasi advokasi kebijakan yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. ELSAM mempunyai empat kegiatan utama sebagai berikut: (i) studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; (ii) advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; (iii) pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan (iv) penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia. Susunan Organisasi Perkumpulan ELSAM Dewan Pengurus: Ketua: Asmara Nababan, S.H.; Wakil Ketua: Drs. Hadimulyo, M.Sc.; Sekretaris: Ifdhal Kasim, S.H.; Bendahara: Ir. Yosep Adi Prasetyo; Anggota: Sandrayati Moniaga, S.H., Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M., Maria Hartiningsih, Kamala Chandrakirana, M.A., Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M., Johny Simanjuntak, S.H., Raharja Waluya Jati, Mustafsirah Marcoes, M.A., Fransisca Ery Seda, Ph.D., Dra. Agung Putri, M.A., Ester Rini Pratsnawati. Pelaksana Harian: Direktur Eksekutif: Dra. Agung Putri, M.A. Deputi Direktur Bidang Program: A.H. Semendawai, S.H., LL.M. Deputi Direktur Bidang Urusan Internal: Otto Adi Yulianto, S.E. Staf: Atnike Nova Sigiro, S.Sos., M.Sc., Betty Yolanda, S.H., Elisabeth Maria Sagala, S.E., Ester Rini Pratsnawati, Adyani Hapsari Widowati, Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H., LL.M., Maria Ririhena, S.E., Mariah, Triana Dyah P., S.S., Yuniarti, S.S., Agung Yudhawiranata, S.IP., LL.M., Amiruddin, S.S., M.Si., Eddie Sius Riyadi, Elly Pangemanan, Ignasius Prasetyo J., S.E., Ignasius Taat Ujianto, Khumaedi, Kosim, Paijo, Sentot Setyosiswanto, S.Sos., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Zani. Alamat:
Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510. Tel.: (021) 797 2662; 7919 2519; 7919 2564; Facs.: (021) 7919 2519; Email:
[email protected], atau
[email protected]; Website: www.elsam.or.id