POLIGAMI PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA RESUME. Oleh: OKTI SRI SUHARTATIK NIM Pembimbing I: LUTHFI HADI AMINUDDIN., M.Ag

POLIGAMI PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA

RESUME Oleh: OKTI SRI SUHARTATIK NIM. 241012048

Pembimbing I: LUTHFI HADI AMINUDDIN., M.Ag. Pembimbing II: RIDHO ROKAMAH,S.Ag,M.SI.

Program Studi Ahwal Syahkhshiyyah JURUSAN SYARI’AH STAIN PONOROGO 2007

POLIGAMI PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA

SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi sebagian syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo

Oleh: OKTI SRI SUHARTATIK NIM. 241012048

Pembimbing I: LUTHFI HADI AMINUDDIN., M.Ag. Pembimbing II: RIDHO ROKAMAH,S.Ag,M.SI.

Program Studi Ahwal Syahkhshiyyah JURUSAN SYARI’AH STAIN PONOROGO 2007

ABSTRAKSI Okti Sri Suhartatik, POLIGAMI PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA, Skripsi, Program Strata Satu (S-1) Jurusan Syari’ah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Ponorogo, 2007. Siti Musdah Mulia adalah sosok feminis muslimah Indonesia yang dalam menganalisis isu penting seputar kehidupan perempuan merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sumber gagasan emansipasi dan liberalis perempuan. Beliau melihat realitas di masyarakat menunjukkan hampir semua alasan berpoligami yang dilakukan di kalangan masyarakat tidak berangkat dari ketiga alasan yang tersebut dalam UUP. Ketentuan UUP tentang poligami menurut Siti Musdah Mulia jelas menunjukkan posisi subordinat perempuan terhadap lakilaki. Karena beliau melihat perempuan seringkali diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Perempuan hanya ditempatkan di ranah domestik, sedangkan laki-laki diranah publik. Karena persepsi tersebut dianggap benar, timbullah berbagai bentuk kekerasan, penindasan, pelecehan seksual dan sebagainya. Menurut Siti Musdah Mulia hal itu terjadi karena salah satu faktanya adalah pemahaman umat terhadap teks-teks agama yang ditafsirkan secara tekstual. Oleh karena itu, salah satu proyek penting dari gerakan penyadaran terhadap kesetaraan dan keadilan jender ini adalah diperlukan agama secara kontekstual melalui penerbitan buku-buku tafsir, hadits, fiqih, dan literatur lainnya yang perspektif jender. Berangkat dari kerangka pemikiran di atas, penulis hendak meneliti pemikiran dari Siti Musdah Mulia sebagai sosok feminis perempuan yang mengharapkan penyadaran terhadap relasi laki-laki dan perempuan. persoalan yang hendak ditemukan jawabannya adalah pertama bagaimana pandangan Siti Musdah Mulia tentang poligami, kedua bagaimana implikasi poligami secara sosio-psikologi dan kekerasan terhadap perempuan menurut Siti Musdah Mulia. Dalam menjawab kedua masalah ini peneliti menganalisa dengan model contens analisys, yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. Model ini digunakan untuk menganalisis isi dari poligami menurut Siti Musdah Mulia serta implikasi poligami terhadap perempuan dalam perkawinan menurut pandangan Siti Musdah Mulia Kesimpulan yang diperoleh penulis adalah sebagai berikut: pertama, menurut Siti Musdah Mulia poligami dilarang secara mutlak. Apabila terjadi ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sesuai dengan hukum Islam, karena Islam tidak menganjurkan poligami, apabila pembahasan poligami dalam Islam haruslah dilihat dari perspektif perlunya pengaturan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Suatu perundang-undangan dipandang ideal manakala mampu mengakomodasikan semua kemungkinan yang bakal terjadi. Demikian halnya dengan aturan Islam. Kedua menurut Musdah Mulia poligami berdampak pada sosio psikologis dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam banyak studi dinyatakan bahwa penganiayaan istri oleh suami berkaitan erat dengan kedudukan rendah kaum perempuan dalam masyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri dan karenanya, suami mempunyai kekuasaan penuh mengatur rumah tangga. Karena itu, perkawinan poligami sangat jauh dari prinsip perkawinan yang diidealkan Islam yakni penuh mawadah wa rahmah. Dan itu sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam, sebagaimana akar katanya saliman (damai dan sejahtera) mengajarkan pada umatnya untuk berlaku lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang sehingga timbul kehidupan damai dan sejahtera di muka bumi dalam rangka mewujudkan kehidupan bahagia yang kekal di akhirat nanti.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................

i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii HALAMAN MOTTO ............................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................................

v

TRANSLITERASI .................................................................................................... vi KATA PENGANTAR............................................................................................... viii ABSTRAKSI.............................................................................................................

x

DAFTAR ISI ............................................................................................................. xi BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................

1

B. Rumusan Masalah ...............................................................................

9

C. Tujuan Studi ........................................................................................

9

D. Kegunaan Studi ...................................................................................

9

E. Kajian Pustaka ..................................................................................... 10 F. Metode Penelitian ................................................................................ 11 1. Jenis Penelitian.............................................................................. 11 2. Pendekatan Penelitian ................................................................... 12 3. Sumber Data.................................................................................. 12 4. Teknik Analisis Data..................................................................... 13 G. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 13

BAB II : POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ......................... 15 A. Pengertian Poligami............................................................................. 15 1. Makna Poligami ............................................................................ 15 2. Sejarah Asal Usul Poligami .......................................................... 16 3. Alasan Berpoligami di Masyarakat ............................................... 22 4. Praktek Poligami Rasulullah SAW ............................................... 23 B. Poligami dalam Hukum Islam ............................................................ 27 C. Implikasi Poligami dalam Hukum Islam ............................................ 34 1. Implikasi Sosio-Psikologis Terhadap Perempuan......................... 34 2. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan................................... 37 BAB III : POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA.............. 42 A. Biografi Siti Musdah Mulia................................................................. 42 1. Kelahiran dan Pendidikan ............................................................. 42 2. Aktifitas......................................................................................... 43 a. Pengalaman Organisasi ........................................................... 43 b. Pengalaman Kerja ................................................................... 44 3. Pemikiran dan Karya-karya Ilmiahnya ......................................... 45 B. Poligami Menurut Siti Musdah Mulia................................................. 49 C. Implikasi Poligami Menurut Siti Musdah Mulia................................. 66 1. Implikasi Sosio-Psikologis Terhadap Perempuan......................... 66 2. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan................................... 68

BAB IV : ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP POLIGAMI MENURUT SITI MUSDAH MULIA .......................................................................... 74 A. Analisa Hukum Islam Terhadap Poligami ......................................... 74 B. Implikasi Sosio-Psikologis Terhadap Perempuan ............................... 78 C. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan ......................................... 79 BAB V : PENUTUP................................................................................................ 81 A. Kesimpulan.......................................................................................... 81 B. Saran-saran .......................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bentuk perkawinan yang sering kontraversial dan sering diperbincangkan

dalam

masyarakat

adalah

poligami.

Poligami

menjadi

kontraversial dan ditolak oleh beberapa kalangan karena ada argumentasi yang bersifat normatif, psikologis dan ketidakadilan gender. Mereka menganggap bahwa memberlakukan poligami disamping membudayakan pemuasan seksual juga dapat merendahkan martabat dan derajat kaum perempuan.1 Karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh, bahkan dipandang bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri, istri dengan para istri, anak sesama anak yang berlainan ibu.2 Karena kecenderungan laki-laki tidak mampu berbuat adil, padahal adil merupakan syarat diperbolehkannya seorang suami untuk berpoligami.3 Bahkan para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Pada sisi lain, poligami dikampanyekan karena mimiliki sandaran

1 2

Mujamil, Kontribusi Islam Terhadap Peradaban Manusia (Solo: Ramadhani, 1993), 99. Masfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam (Jakarta: CV. Haji Masagung,

1991), 12. 3

19.

Sutedja, “Indahnya Membaca Perempuan Berpoligami” Al-Milah (Edisi xiv Th. xi, 2005),

normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan

fenomena

selingkuh

dan

prostitusi.4

Meskipun

sebagai

pengecualian, Aristoteles lebih setuju poligami sebagai alasan lebih sesuai dengan kodrat alam.5 Saat ini pemberitaan mengenai poligami semakin gencar oleh media cetak maupun elektronik. Beberapa waktu setelah AA Gym menikahi seorang janda beranak tiga di Bandung. Masyarakat sepertinya digiring oleh berbagai pihak untuk menghujat agamanya sendiri terutama dalam kaitannya dengan praktik poligami. Pembahasan yang tidak berimbang terus mewarnai berbagai pemberitaan yang langsung dikonsumsi oleh masyarakat kaum muslim di Indonesia. Wacana terus berkembang. Tak tanggung-tanggung, Presiden Susilo Bambang Yudoyono bahkan meminta aturan poligami yang selama ini hanya untuk PNS dan anggota TNI/Polri diperluas cakupannya untuk pejabat negara dan pejabat pemerintah. Karena itu Presiden meminta Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1983 yang telah direvisi menjadi PP No. 45/1990 kembali direvisi. Permintaan revisi tersebut disampaikan Presiden kepada menteri negara pemberdayaan perempuan, Meutia Hatta, dalam pertemuan di kantor Presiden, selasa (5/12). Karena Presiden peduli kepada kaum perempuan dan menginginkan ketentraman masyarakat, Meutia Hatta mengatakan PP No. 45/1990 akan direvisi. Lewat revisi ini, pejabat 4

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tangan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 156. 5 Mujamil, Kontribusi Islam, 99.

negara dan pejabat pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, walikota, maupun anggota DPR akan tercakup di dalamnya.6 Dikalangan kaum muslimin sendiri terdapat opini yang cukup variatif, berkat legitimasi al-Qur’an. Mayoritas umat Islam menyatakan poligami sebagai ibadah

dengan

syarat-syarat

tertentu,

bahkan

terdapat

kondisi

darurat

(destabilisasi). Perkawinan poligami dikualifisir lebih bermanfaat daripada monogami.

Probabilitas

poligami

akan

nampak

lebih

luas

lagi

jika

memperhatikan berbagai kondisi yang amat mendesak atau darurat, yang dapat diangkat sebagai alasan melakukan poligami. Kondisi-kondisi itu dapat diamati pada beberapa kasus antara lain:7 1. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (mandul). 2. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri (karena istri mengidap suatu penyakit dan tidak dapat disembuhkan). 3. Apabila suami tergolong hipersex sehingga tidak cukup dengan satu istri. 4. Apabila suatu negara ternyata kuantum wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki. Alasan lain yang sangat mendasar bagi maraknya praktek poligami di masyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunnah Nabi8 dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni ayat 3 surat al-Nisā’: 6

“Presiden Minta Aturan Poligami Mencakup Pejabat Negara”, www.media indonesia.com. (Publikasi: 6 Desember 2006). 7 Ibid., 101-102. 8 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), 48-49.

HَJLْ Mَ ‫ ِء‬PَQJR S‫ ا‬U َ Mِ ْVXُ Sَ ‫ب‬ َ PَZ PَM ‫\ُ[ا‬Xِ ]ْ Pَ^ HَMPَ_`َ Sْ ‫ ا‬aِ^ ‫ُ[ا‬bQ ِ cْ dُ PeS‫ْ َأ‬V_ُ gْ h ِ ْ‫َوِإن‬ Hَ]ْ‫ َأد‬m َ Sِ‫ْ َذ‬VXُ ]ُ Pَopْ ‫ْ َأ‬qXَ rَMَ PَM ْ‫َ ًة َأو‬uv ِ ‫ُ[ا َ^[َا‬Suِ wْ dَ PeS‫ْ َأ‬V_ُ gْ h ِ ْ‫ن‬xِ^َ ‫ع‬ َ Pَz‫ث َو ُر‬ َ Pَr}ُ ‫َو‬ ‫ُ[ا‬S[ُwdَ PeS‫َأ‬ A ِ rtinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.9 Ayat ini menunjukkan bahwa hukum asal dalam pernikahan itu adalah ta’addud, dalam ta’addud ada bentuk ketaatan kepada Nabi SAW, dan meneladani sunnahnya. Nabi SAW menikahi lebih dari satu wanita dan kita diperintahkan untuk meleladaninya.10 Sebagaimana disebut dalam al-Qur’an surat al-Ahzāb ayat 21:

ƒَ reS‫~ْ…ُ[ ا‬pَ ‫ن‬ َ Pَ‫ْ آ‬Uoَ Sِ ٌ Jَ Q َv َ ٌ‫‚ َ[ة‬ ْ ‫ ِƒ ُأ‬reS‫ل ا‬ ِ [ُ‚‫ َر‬aِ^ ْVXُ Sَ ‫ن‬ َ Pَ‫ْ آ‬ucَ Sَ ‫ِ`~ًا‬L‫ َƒ َآ‬reS‫ َ~ َو َذ َآ َ~ ا‬h ِ †ْS‫ َ`[ْ َم ا‬Sْ ‫وَا‬ Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.11 Sesungguhnya ta’addud disyariatkan oleh Allah untuk kemaslahatan yang sangat besar dan hikmah-hikmah yang agung. Sebagai muslim, tiada pilihan bagi

9

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Jakarta, 1985), 115. “Saat Harus Berbagi”, Nikah, (Edisi 07 Th. Mei 2005), 8. 11 Depag, Al-Qur’an, 115. 10

kita kecuali bersikap sami’nā wa ata’na (kami mendengar dan kami taat) terhadap semua syariat Allah SWT. Menurut Siti Musdah Mulia bahwa poligami pada hakikatya adalah selingkuh yang dilegalkan dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri (perempuan). Muncul pertanyaan: kalau poligami itu menyakiti perasaan perempuan, mengapa ada saja perempuan yang bersedia di madu? Dan mengapa pula bertahan dalam perkawinan poligami. Jawaban dari alasan tersebut adalah:12 1. Perempuan seringkali tidak punya pilihan. 2. Perempuan sudah terlanjur cinta. 3. Untuk meningkatkan status sosial. 4. Percaya bahwa poligami merupakan ajaran agama. 5. Biasa dalam keluarga mereka. 6. Hanya pada suamilah mereka menggantungkan hidup. 7. Daripada suami selingkuh dan tertular penyakit. 8. Mempertimbangkan agar anak-anak tetap punya ayah (dan alasan yang paling banyak). 9. Supaya bebas dari penganiayaan dan kekejaman suami. 10. Karena istri diperlakukan sebagai tenaga kerja sehingga bisa dibagi dengan istri-istri yang lain. Membolehkan

poligami

berdasarkan

kasus-kasus

tersebut

pasti

bertentangan dengan akal sehat yang berarti juga bertentangan dengan ajaran 12

Mulia, Islam Menggugat, 62-64.

agama. Solusinya bukan membolehkan poligami, tetapi sebaliknya melarang poligami secara mutlak.13 “Tidak adil” itu ungkapan Musdah Mulia “saya melihat sungguh tidak adil ketika istri harus mencintai suaminya seorang, sedangkan suaminya dapat membagi cintanya kepada orang lain. Perempuan harus melakukan hubungan seksual dengan suaminya seorang, sedangkan suaminya dapat melakukan hubungan seksual dengan istri-istri yang lain”.14 Aturan berpoligami yang diatur dalam Islam dengan dasar surat al-Nisā’ ayat 3 dan 129 adalah syarat harus berlaku adil. Menurut Musdah Mulia kedua ayat tersebut bukan melegitimasi poligami sebagaimana dipahami banyak orang. Poligami hanya solusi sementara bagi umat Islam pada masa awal, sehingga mereka terbebas dari perkawinan tak terbatas yang dikutuk karena syarat dengan ketidakadilan, menuju perkawinan monogami yang lebih menjamin keadilan.15 Menurut Musdah ayat-ayat yang berkaitan dengan sistem sosial memiliki maksud dan tujuan pembebasan manusia secara bertahap dari belenggu yang ada atau sesuatu yang tidak dikatakan secara eksplisit oleh ayat itu sendiri. Oleh karena itu menurutnya pembacaan ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual sangat berpotensi menimbulkan pemahaman yang keliru. Ketika ayat perbudakan misalnya, dibaca sebagai pembenaran Islam akan perbudakan, maka yang timbul 13

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaharu Keagamaan (Bandung: Mizan, 2005), 368. 14 “Selingkuh Ajakan Setan, Poligami Ajaran Tuhan”, Ghoib, (Edisi 75 Th. 4 Januari 2007), 20. 15 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, 18.

adalah pemahaman Islam bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), hal yang sama juga terjadi pada poligami, jika poligami diartikan ajaran kawin sampai empat. Maka tatanan sosial yang pincang akan muncul dengan korban utama perempuan dan anak-anak.16 Dengan cara pembacaan secara kontekstual, dengan memperhatikan latar belakang sosial dan konteks yang ada saat turunnya ayat, sangat diperlukan, agar pesan moral yang terkandung dalam ayat dapat dipahami. Ini penting, karena pesan yang universal itulah yang akan selalu membimbing manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada menuju keselamatan dunia dan akhirat.17 Disinilah pentingnya menggunakan metode tafsir tematik (mawdhu’i) dalam memahami suatu persoalan dalam al-Qur’an.18 Metode maudhui secara umum akan menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat-ayat jender daripada metode tahlili. Karena metode ini tidak banyak mengintrodusir budaya timur tengah yang cenderung memposisikan laki-laki lebih dominan daripada perempuan.19 Poligami pada hakikatnya merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap perempuan. Qosim Amin menggambarkan bahwa: “Sosok suami yang mempunyai istri banyak, tidak ubahnya seperti seekor ayam jantan yang

16

Ibid., 19. Ibid., 19. 18 Mulia, Islam Menggugat, 92. 19 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 1999), 285. 17

dikelilingi oleh sekumpulan ayam betina”. Hal ini alamiah di dunia satwa, tapi tidak alamiah bagi manusia.20 Praktek poligami di masyarakat telah menimbulkan problem sosial yang meluas dan sudah banyak memprihatinkan. Implikasi poligami diantaranya menyebabkan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Tingginya pelanggaran hak-hak anak, dan terlantarnya para istri dan anak-anaknya, terutama secara psikologis dan ekonomi. Sebagai seorang feminis dan seorang muslimah yang dalam menganalisasi berbagai isu penting sekitar kehidupan perempuan merujuk kepada kitab suci alQur’an sebagai sumber gagasan emansipasi dan liberalisasi perempuan. Hal itu sangat penting mengingat masih banyak perempuan yang tidak sadar bahwa dia mengalami depresi, diskriminasi, dianggap warga kelas dua, diperlakukan tidak adil.21 Maka dalam rangka menegakkan kesetaraan dan keadilan jender inilah, perlunya diadakan upaya-upaya pemberdayaan perempuan, terutama agar mereka mengerti akan hak-hak mereka. Sehingga memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kehidupan rumah tangga. Berangkat dari latar belakang di atas, dengan tujuan supaya tidak ada lagi pemahaman yang salah dalam menerapkan praktek poligami di masyarakat untuk itu penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa tentang “POLIGAMI PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA” dan mengambil untuk dijadikan judul dalam skripsi ini. 20 21

Mulia, Islam Menggugat, 135. Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, xxxi.

B. Rumusan Masalah Berangkat dari uraian latar belakang di atas, maka masalah pokok yang hendak di jawab dan diambil kesimpulan akhir oleh penulis dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana pandangan Siti Musdah Mulia tentang tentang poligami? 2. Bagaimana implikasi poligami terhadap sosial-psikologis dan kekerasan terhadap perempuan menurut pandangan Siti Musdah Mulia?

C. Tujuan Studi Adapun tujuan dari penulisan skripsi dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan Siti Musdah Mulia tentang poligami. 2. Untuk mengetahui implikasi poligami terhadap perempuan dalam perkawinan menurut pandangan Siti Musdah Mulia.

D. Kegunaan Studi 1. Untuk memperkaya kepustakaan khususnya di lingkungan STAIN Ponorogo mengenai poligami. 2. Sebagai bahan rujukan untuk dikaji lebih lanjut oleh para peneliti masalah poligami. 3. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengkaji tentang masalah poligami.

E. Kajian Pustaka Sejauh pengetahuan penulis sudah ada penulisan skripsi yang membahas tentang tema poligami seperti: Anwar Khoiri, pembahasan poligami menurut Yusuf Qardhawi dari segi hukum membolehkan poligami atas dasar pertimbangan kemaslahatan yang lebih besar sedangkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 poligami diperbolehkan karena menghindari terjadinya seseorang berbuat sewenang-wenang. Dari segi keadilan Yusuf Qordhowi dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sama yaitu seorang lakilaki yang berpoligami harus mampu berbuat adil pada istri-istrinya, adil disini dalam hal lahiriah. Dari segi tujuan dan hikmah Yusuf Qordhowi dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga memiliki persamaan yaitu tujuan pokok perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22 Tantin Puspitarini, membahas poligami menurut pendapat Muhammad Abduh dan Quraish Shihab tentang hukum poligami keduanya berpendapat bahwa hukum poligami mubah. Kemubahan poligami digantungkan pada adanya kesanggupan dan keyakinan suami untuk berlaku adil dan saat tersebut memang ada kondisi-kondisi darurat yang benar-benar membutuhkan poligami sebagai jalan keluar. Abduh mendasarkan pada kaidah lā darār wa lā dirār. Abduh menambahkan jika sekiranya suami tersebut ragu akan kemampuan berlaku adil maka baginya dilarang 22

Anwar Khoiri, “Poligami Komparasi Terhadap Pemikiran Yusuf Qordhawi dan Undangundang Nomor 1 Tahun 1974” (Skripsi, STAIN Ponorogo, 2002), 59-60.

berpoligami berpedoman pada kaidah dar’ul mafāsid muqodamun ‘alā jalbil masālih. Dari segi keadilan keduanya menyatakan bahwa keadilan pada material, meliputi pula pada kecenderungan hati. Namun apabila hal tersebut sulit, maka keduanya berpendapat perkara tersebut dimaafkan. Dari segi batasan jumlah keduanya menegaskan batasan maksimal adalah empat istri bagi yang menghendaki poligami.23 Tapi sejauh pengetahuan penulis belum ada penulisan skripsi yang ditinjau dari alasan kebolehan berpoligami di masyarakat apakah sesuai dengan yang tertuang dalam teks-teks al-Qur’an dan ditinjau dari segi implikasinya terhadap sosiopsikologisnya serta kekerasan terhadap perempuan. Disinilah penulis menganggap penting untuk diangkat dalam judul skripsi ditinjau dari pandangan Siti Musdah Mulia.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah jenis penelitian pustaka (library research). Penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan data dan informasi dengan bantuan macam-macam material yang terdapat diruang perpustakaan. Misalnya berupa: buku-buku, majalah, catatan-catatan, kisah sejarah, dan lain-lain.24 2. Pendekataan Penelitian 23

Tantin Puspitarini, “Poligami Menurut Perspektif Quraish Shihab dan Muhammad Abduh” (Skripsi: STAIN Ponorogo, 2004), 57-59. 24 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: PT. Mandar Maju, 1996).

Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan analisanya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antara fenomena yang diamati dengan penggunaan logika ilmiah. Kemudian mengarahkan penelitiannya untuk memperoleh hasil penemuan.25 3. Sumber Data Untuk memperoleh sumber data pada penelitian ini, dilakukan dengan penelitian dokumen atau pustaka dari buku literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas, meliputi: a. Data primer yaitu data yang dijadikan obyek kajian. Sumber data primer terdiri atas: -

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.

-

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis.

b. Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang merupakan pelengkap atau penunjang dari bahan data primer, antara lain: -

Amiur Nuruddin dan Azhari Akhal, Hukum Perdata Islam di Indonesia.

-

Sajuti Tholib, Hukum Kekeluargaan Indonesia.

-

Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual.

-

Chuzaimah T. Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jilid 2.

25

Syaifudin Azhar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 5.

-

WWW.Islamlib.net. Benarkah Poligami Sunah?

4. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul kemudian penulis menganalisa dengan model contens analisys, yaitu analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi. Model ini digunakan untuk menganalisis isi dari poligami menurut Siti Musdah Mulia serta implikasi poligami terhadap perempuan dalam perkawinan menurut pandangan Siti Musdah Mulia.26

G. Sistematika Pembahasan Untuk memperoleh bentuk karya tulis ilmiah yang sistematis, maka skripsi ini terdiri dari beberapa bab. Tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bab dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama merupakan dasar dari keseluruhan isi skripsi yang meliputi: latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan studi, kegunaan studi, kajian pustaka, metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber datam tehnik analisa data dan sistematika pembahasan. Dalam bab kedua akan dibahas tentang pengertian poligami secara umum, asal-usul poligami, kemudian praktek poligami Rasulullah SAW.

26

Neong, Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakavrta: Reka Sarasin, 1987), 67.

Selanjutnya alasan dibolehkannya berpoligami menurut hukum Islam. Baru, implikasi sosio-psikologis dan implikasi kekerasan menurut hukum Islam. Dalam bab ketiga akan dibahas tentang biografi singkat Siti Musdah Mulia, baru kemudian alasan dibolehkannya berpoligami menurut Siti Musdah Mulia dan impliksi sosio-psikologis dan implikasi kekerasan menurut Siti Musdah Mulia. Dalam bab keempat merupakan analisa terhadap alasan dan implikasi poligami menurut Siti Musdah Mulia. Pada bab kelima merupakan jawaban dari semua rumusan masalah yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pengertian Poligami Makna Poligami Secara etimologi, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani, yakni opulus = banyak dan gomos = perkawinan.27 Dari pengertian itu dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pengertian poligami adalah suatu sistem perkawinan dimana seseorang pria mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang bersamaan. Pengertian ini pulalah yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia.28 Lakilaki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami, suami memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi dibandingkan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku tertentu, sepertu Suku Tuda dan suku-suku di Tibet.

27

Hassan Shadily (Pimp. Redaksi), Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, V, 1984), 2736. 28 Lebih lanjut lihat, Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 dan 4 dan Peraturan Pelaksanaannya P.P No. 9 Tahun 1975 Pasal 40 – 44.

Kebalikan dari poligami adalah monogami, yaitu ikatan perkawinan yang terdiri dari seorang suami dan seorang istri. Istilah lainnya monogami. Dalam

realitas

sosiologis

di

masyarakat,

monogami

lebih

banyak

dipraktekkan karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia dan merupakan bentuk perkawinan yang paling menjanjikan kedamaian dipandang ideal dan lebih utama.29 Tetapi perkawinan demikian tinggal niat dan tujuan dari masing-masing individu apa yang diinginkan.

Sejarah Asal-Usul Poligami Apabila orang berbicara poligami, maka langsung orang mengira, bahwa agama Islam adalah sebagai pelopor memasyarakatkan poligami. Padahal poligami dalam pandangan agama Islam merupakan pintu darurat yang hanya sewaktu-waktu saja dapat dipergunakan.30 Umpamanya saja, pintu darurat yang ada pada pesawat terbang, hanya dalam keadaan terpaksa saja dapat dibuka dan dimanfaatkan. Dalam situasi biasa (aman), malahan dilarang membukanya. Untuk menghindari anggapan yang kurang benar itu, di dalam tulisan ini dicoba menjelaskan sekilas lintas mengenai sejarah poligami.

29

Chuzaimah T. Yanggo dan A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer (ii) (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), 121. 30 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (t.t, Prenada Media, 2003), 269.

Sebenarnya poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum agama Islam datang. Orang-orang Eropa yang sekarang di sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jeman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Bahkan aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negara-negara yang tidak menganut Islam31 Seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau berpoligami hanya terdapat di negara-negara Islam. Cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan kebenarannya, seperti yang diakui oleh Mustafa ‘al-Sibahi sebagaimana dikutip oleh Nashruddin Ba’dah: “Poligami itu sudah ada di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyria, Mesir dan lain-lain.” 32 Dan ditambahkannya: “Poligami di kalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami; malahan salah seorang Raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) orang.”33

31

39.

32

Sa’id bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amami, 2002),

Nashruddin Baidah, Tafsir Bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam AlQur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 95. 33 Ibid., 95.

Dalam kenyataannya, kitab-kitab suci Kaum Yahudi dan Nasrani menunjukkan bahwa poligami tidak terlarang dalam agama mereka.34 Di zaman dahulu, poligami merupakan perbuatan yang sah di kalangan para Nabi dan Raja-Raja Bani Israil. Sejarah mencatat, baik umat Kristen maupun Bapak-Bapak Gereja pada zaman lampau mempunyai oleh banyak istri. Hal ini diakui oleh Barat sendiri. Waster Mark,35 seorang spesialis sejarah perkawinan menunjukkan sebuah bukti yakni Doiyar Macedat, Raja Irlandia mempunyai dua istri yang merdeka dan dua istri budak. Murtadha Muthahhari36 juga mengakui bahwa di kalangan agama Masehi yang asli tidak ada ketentuan yang melarang poligami. Di kalangan agama animisme pun ditemukan praktik poligami seperti yang terdapat di Afrika. Bahkan bentuk poligamipun ada beberapa macam ragamnya. Ada seorang laki-laki yang mempunyai beberapa istri. Ada lagi seorang laki-laki mempunyai istri simpanan, di samping beberapa orang istri yang sudah ada. Poligami, pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka, tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.37 Ketika Islam datang dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak serta merta menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil 34

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam, 118. Baidah, Tafsir Bi al-Ra’yi, 96. 36 Ibid. 37 Nuruddin dan Ahkam Tarigan, Hukum Perdata Islam, 156 – 157. 35

di antara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surah al-Nisā’ 3 dan al-Nisā’ : 129.

U َ Mِ ْVXُ Sَ ‫ب‬ َ PَZ PَM ‫\ُ[ا‬Xِ ]ْ Pَ^ HَMPَ_`َ Sْ ‫ ا‬aِ^ ‫ُ[ا‬bQ ِ cْ dُ PeS‫ْ َأ‬V_ُ gْ h ِ ْ‫َوِإن‬ PَM ْ‫ ًة َأو‬uَ v ِ ‫ُ[ا َ^[َا‬Suِ wْ dَ PeS‫ْ َأ‬V_ُ gْ h ِ ْ‫ن‬xَِ^ ‫ع‬ َ Pَz‫ث َو ُر‬ َ Pَr}ُ ‫ َو‬HَJLْ Mَ ‫ ِء‬PَQJRS‫ا‬ ‫ُ[ا‬S[ُwdَ PeS‫ َأ‬Hَ]ْ‫ َأد‬m َ Sِ‫ْ َذ‬VXُ ]ُ Pَopْ ‫ْ َأ‬qXَ rََM Artinya: Dan jika takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya) maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 38 Selanjutnya pada surat yang sama ayat 129 Allah berfirman:

 e ‫ُ[ا ُآ‬r`ِodَ Pَr^َ ْV_ُ  ْ ~َ v َ ْ[Sَ‫ ِء َو‬PَQJR S‫ ا‬U َ `ْ zَ ‫ُ[ا‬Suِ wْ dَ ْ‫ُ[ا َأن‬w`ِb_َ Q ْ dَ ْUSَ‫َو‬ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ن ا‬ e xِ^َ ‫ُ[ا‬c_e dَ ‫\ُ[ا َو‬rِ‘ ْ dُ ْ‫ ِ َوِإن‬cَ rewَ oُ Sْ Pَ‫ آ‬Pَ‫ َ^ َ_ َ“رُوه‬ ِ `ْ oَ Sْ ‫ا‬ Pًo`ِv‫ُ[رًا َر‬g” َ Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istriistri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 39

38 39

Depag , Al-Qur'an , 115. Depag , Al-Qur'an , 143 – 144.

Setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, Nabi lalu melakukan perubahan yang sesuai dengan petunjuk kandungan ayat. Perubahan mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal adalah: Pertama: Membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat, berikut riwayat ketika ada sahabat Rasulullah SAW yang masuk Islam ketika ia mempunyai istri yang lebih dari empat.

m َ Sِ‫ت َذ‬ ُ ~َ‫ َ^ َ“آ‬,‫ َ[ ِة‬Q ْ ]ِ ‫ن‬ ُ Pَo}َ ْ‫ي‬uِ Jْ š ِ ‫ َو‬q ُ oْ rَ‚ ْ ‫ َا‬:‫ل‬ َ Pَ• ‫ي‬ ِّ uِ ‚ َ˜ َ ْ‫َو َه™ْ َا‬ :Vَ re‚ َ ‫ ْ` ِƒ َو‬rَš َ œ ُ ‫ ا‬Her َ a ِّ ِ Je S‫ل ا‬ َ Pَc^َ Ver‚ َ ‫ ْ` ِƒ َو‬rَš َ œ ِ ‫ ا‬Her َ a ِّ ِ JerِS (‫[ داود‬z‫ )رواŸ أ‬Pًwzَ ْ‫ َأر‬U e žُ Jُ Mِ ْ~_َ h ْ‫ا‬ Artinya: Wahab al-Asadi berkata, ketika aku masuk Islam, aku mempunyai delapan orang istri. Dan aku menceritakan kepada Rasulullah, lalu Rasulullah bersabda: “Pilihlah empat orang dari mereka.” (HR. Abu Dawud).40 Kedua: Menetapkan syarat yang ketat bagi pelaku poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Dalam penafsiran Asghar sebagaimana dikutip oleh Nuruddin sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur'an begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka al-Qur'an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri dengan syarat harus adil41 Prinsip dasar tersebut tersirat dengan tegas dalam ayat 3 dan al-Nisā’,

40

Bey Arifin, Terj. Sunah Abu Dawud, Jilid iii Bab Nikah No. 1914 (Semarang: CV. AsySyifa’, 1993). 41 Nuruddin dan Ahmad Ahkam Tarigan, Hukum Perdata Islam, 158.

sebagaimana diakui oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh sebagaimana dikutip oleh Baidah: “Ayat tentang kebolehan beristri lebih dari satu diungkapkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim dan larangan memakan hartanya walaupun melalui hubungan perkawinan. Oleh karena itu, jika kamu merasa khawatir tak akan dapat menghindar dari memakan harta istri, yang yatim tersebut maka kamu harus membatalkan niat melakukan perkawinan dengannya karena Allah telah memberikan jalan keluar bagimu dengan dibolehkannya kamu mengawini wanita-wanita lain sampai empat orang”.42 Masih menurut Abduh dalam ayat 3 surat al-Nisâ’ itu paling tidak ada dua ide mendasar. Pertama, kebolehan poligami itu merupakan solusi dari problema sosial yang hidup di tengah masyarakat.43 Kedua, anjuran untuk menikahi wanita lebih dari seorang bukan merupakan perintah mutlak melainkan kondisional atau dalam bahasa Abduh: permasalahan beristri lebih dari satu itu tidak merupakan hukum primer tapi hukum sekunder. Berangkat dari pemikiran seperti itu maka tidaklah salah bila dikatakan Islam menganut sistem monogami, bukan poligami. Bahkan

M. Quraish Shihab

dengan tegas menyatakan sebagaimana dikutip oleh Baidah: “Ayat ini (al-Nisâ’:3) tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbincang tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui saat amal diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.44

42

Baidah, Tafsir, 104 - 105. Ibid., 105. 44 Ibid., 106. 43

Sebelumnya, poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan. Karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.

Alasan Berpoligami di Masyarakat Sebelum menjelaskan bagaimana sesungguhnya praktek poligami yang dilakukan Rasulullah ada baiknya dipaparkan terlebih dulu berbagai alasan yang melatarbelakangi praktek poligami di masyarakat di antaranya adalah:45 Pertama : Alasan yang sangat mendasar bagi maraknya praktik poligami di masyarakat adalah bahwa poligami merupakan sunah Nabi dan memiliki landasan teologis yang jelas yakni ayat 3 surah al-Nisâ’. Karena melarang poligami berarti melarang yang mubah atau dibolehkan Allah dan itu berarti menentang ketetapan Allah. Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar. Kedua

: Alasan yang sering disangkal di masyarakat dalam perbincangan mengenai poligami adalah kelebihan jumlah perempuan atas lakilaki.

Alasan lain yang melatarbelakangi praktek poligami di masyarakat menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha setidaknya ada delapan keadaan.46 45

Mulia, Islam Menggugat, 49.

1. Istri mendapat suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. 2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. 3. Istri sakit ingatan. 4. Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri. 5. Istri memiliki sifat buruk. 6. Istri minggat dari rumah. 7. Ketika menjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. 8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak, menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.

Praktek Poligami Rasulullah SAW Tidak sedikit orang keliru memahami praktek poligami Nabi Muhammad SAW, termasuk kaum muslimin sendiri. Ada anggapan bahwa poligami itu sunah Nabi. Jika demikian mengapa Nabi tidak melakukan poligami sejak awal berumah tangga. Bukankah dalam masyarakat Arab jahiliyah ketika itu poligami merupakan tradisi yang sudah berurat akar. Dalam prakteknya, Nabi lebih lama bermonogami dari pada berpoligami, Nabi bermonogami selama kurang lebih 28 tahun sementara berpoligami hanya sekitar 7 tahun. Nabi ternyata memilih monogami di tengah-tengah masyarakat yang memandang poligami sebagai hal yang lumrah, sebaliknya segelintir umat Islam yang pro poligami justru mempraktekkan poligami di 46

Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam, 159.

tengah masyarakat yang mayoritas mempraktekkan monogami. Ada anggapan bahwa Nabi melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan pengikutnya, yakni untuk memenuhi tuntutan biologis atau hanya untuk memuaskan syahwat dan hasrat seksualnya. Anggapan seperti itu muncul berdasarkan realitas di masyarakat bahwa pada umumnya poligami dilakukan untuk tujuan-tujuan biologis semata. Anggapan-anggapan yang keliru ini perlu diluruskan karena akan merusak citra Islam yang sesungguhnya. Kebanyakan orang terutama orang-orang Kristen, Yahudi maupun orang-orang muslim masa kini atau kontemporer masih memiliki hasrat yang kuat untuk mengetahui kebenaran poligami Rasulullah SAW dan sumbersumber yang berbahasa Arab. Begitu juga dengan generasi muda Islam saat ini, mereka memiliki keinginan kuat untuk mengetahui kebenaran tentang beberapa hal berikut,47 sekaligus jawaban atas pemahaman yang keliru tentang poligami Rasulullah SAW: Pertama, hingga usianya yang kedua puluh lima, Nabi hidup dalam keadaan membujang, suci dan bersih sehingga beliau dijuluki sebagai al-Amin (orang yang dapat dipercaya), dua puluh lima tahun berikutnya beliau lalui hidup dengan satu istri yaitu Khodijah yang usianya lebih tua lima belas tahun dari beliau. Padahal Nabi adalah pemuda yang energik, menarik, tegap dan

47

Abdul Ghany A.R., Mengapa Rasulullah Berpoligami dan Sebaliknya Kita Tidak? Terj. Dwi Ratnasari (Jogjakarta: Diva Press, 2004), 80.

tampan dimana pemuda Arab waktu itu memiliki setidaknya sepuluh hingga dua puluh orang istri. Kedua, kehidupan rumah tangganya bersama Khadijah dijalaninya selama dua puluh lima tahun, baru setelah Khadijah wafat beliau menikah dengan Saudah binti Zam’ah dan dia menjadi satu-satunya istri Nabi selama tiga tahun, usianya saat itu 50 tahun dan usia Nabi ketika itu juga sama dengannya. Jika memang Nabi adalah laki-laki yang nafsu seksualnya tinggi, tidak mungkin beliau melewatkan masa mudanya dengan perempuanperempuan yang lanjut usia.48 Ketiga, sejarah para Nabi menjelaskan kepada kita bahwa poligami berlaku umum bagi para Nabi seperti Nabi Daud yang memiliki sembilan puluh sembilan istri dan Nabi Sulaiman bin Daud AS yang memilih tujuh ratus istri dan tiga ratus selir.49 Keempat,

melalui

hubungan

pernikahan

diharapkan

bisa

memperbanyak dai baru yang bertugas menyebarkan dakwah Islam di antara kaum musyrik Makkah di antara berbagai Kabilah dan masyarakat di penjuru dunia. Karena bisa dipastikan bahwa setiap Kabilah akan menghormati suami dari anak perempuan Kabilah tersebut, oleh karena itulah, mayoritas Kabilah yang terdapat di Arab memeluk agama Islam, sehingga dengan menikahi mereka Nabi telah menyelamatkan mereka (istri-istri) dari rasa dendam dan

48 49

Ibid., 81. Ibid., 82.

siksaan keluarga mereka. Pertimbangan lain Nabi menikahi mereka karena keteguhannya terhadap agama Islam, sehingga Nabi mengarahkan semua istrinya agar menjadi penyebar agama Islam dan mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan berlandaskan pada hukum-hukum syar’i maupun non syar’i, serta memberikan tanggapan terhadap sanggahan yang dilontarkan orang-orang yang mempertanyakan kebenaran Islam.50 Kelima, kehidupan rumah tangga Nabi tidak berjalan sesuai keinginannya sendiri, layaknya semua manusia, akan tetapi pernikahan beliau dilakukan karena adanya wahyu dari Allah SWT.51 Keenam, hal itu menunjukkan betapa agung dan bijaksananya seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu dan tinggal dalam satu rumah atau lebih, seperti Nabi Muhammad SAW, apalagi mereka berasal dari keturunan yang berbeda, warna kulit yang tidak sama, tempat lahir, akidah, usia serta kepribadian yang berbeda pula.52 Ketujuh sejarah Islam banyak berhutang budi terhadap istri-istri Nabi karena mereka mendampingi beliau di semua peperangan yang beliau lakukan dan kemanapun beliau pergi, dimana hal itu bisa menghibur dan memotivasi Nabi sehingga kalau tidak begitu merasakan beban yang amat berat.53

50

Ibid., 82. Ibid., 84. 52 Ibid., 84. 53 Ibid., 84. 51

Poligami dalam Hukum Islam Dalam perspektif agama, kedudukan poligami diperselisihkan oleh ulama, perselisihan itu bermuara pada penafsiran Qur’an surat al-Nisâ’ ayat 3 dan ayat 129. Menurut Wahbah ‘az-Zuhairi sebagaimana dikutip oleh Humaidi Hamid bahwa: prinsip umum pernikahan Islam adalah monigami, sedangkan poligami adalah hukum pengecualian yang berada pada prinsip umum. Syariat Islam tidak menganjurkan maupun mewajibkan poligami, syariat Islam hanya membolehkan poligami maksimal empat orang istri dengan syarat yang sangat ketat. Syarat yang paling mendasar dan hampir semua ulama-ulama fiqh menggunakannya.54 Sebagai anjuran/kewajiban dasar dalam kebolehan poligami adalah adil seperti ‘as-Sarakhsi, ‘al-Kasani dan ‘as-Syafi’î sebagaimana dikutip oleh Nuruddin. Keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari, tetapi Muhammad Husein al-Zahabi menambahkan adil dari segi nafkah selain adil dalam hal pembagian hari.55 Tetapi, apa yang difatwakan Abduh,56 seperti yang disyaratkan al-Qur'an adalah kadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Berbeda dengan para ulama fikih cenderung memahami keadilan dari segi kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Misalnya sandang, pangan seperti yang sudah dijelaskan di atas.

54

Humaidi Hamid, “Poligami dalam Doktrin Agama, Undang-undang Perkawinan dan Praktek”. www. Media Indonesia. com (Publikasi: 16 Januari 2007). 55 Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata, 158. 56 Ibid., 171 – 172.

Karena itu, dengan dibolehkannya poligami dengan syarat harus adil dan hanya dijadikan sebagai alternatif dalam kondisi darurat dengan pertimbangan tertentu:57 Pertama: istri menghidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan, sehingga tidak berdaya memberikan pelayanan kepada suami dengan selayaknya. Betapapun seorang istri mampu menahan diri, tetapi ia memiliki nafsu seksual dan acapkali bergejolak butuh penyaluran yang wajar dan legal (penuh tanggung jawab). Untuk sementara waktu menahan diri dari hubungan dengan istri memang kuat, akan tetapi jika selamanya, hampir setiap orang laki-laki yang normal dan masih muda tidak mampu melakukannya. Seseorang yang memiliki istri sakit selamanya sehingga tidak mampu melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Sedang suami tidak diperkenankan kawin lagi adalah laksana memberhentikan gerak jarum jam. Sikap ini berarti menganiaya kehendak yang selalu membara dalam jiwa. Langkah ini tidak akan berhasil menenangkan jiwa justru kerapkali gejolak-gejolak nafsu birahi tidak dapat dibendung dan akhirnya terealisir dalam tindakan dekompensasi yaitu menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara yang tidak wajar, ilegal dan tidak pada tempatnya seperti melakukan dengan pelacur yang berakibat lebih fatal. Kedua: Apabila suami subur dan istri mandul. Untuk mengetahui subur – mandulnya seseorang, dapat ditempuh melalui pemeriksaan medis. Apabila dalam pemeriksaan suami subur sedang istri mandul, maka dalam pandangan Islam 57

Mujamil, Kontribusi Islam , 101 – 102.

dapat dijadikan sebagai alasan berpoligami tanpa menceraikan istri pertama. Setiap individu secara instintif berkecenderungan menurunkan jenis. Kebahagiaan sulit dirasakan dalam kehidupan duniawi manakala tidak memiliki keturunan dan hidup terasa hampa tanpa harapan yang berkesinambungan. Jika laki-laki memaksa kawin dengan seorang wanita saja yang kebetulan mandul berarti menutup kemungkinan untuk menurunkan jenis yang selamanya diidam-idamkan. Maka Islam memberi jalan keluar dengan poligami terbuka kesempatan dan kemungkinan memperoleh keturunan dari istri kedua.58 Ketiga: Apabila suami tergolong hipersek. Lelaki seperti ini selalu merasa kurang dengan hanya melakukan hubungan seksual dengan hanya seorang istri, perasaan ini dirasakan sebagai keharusan yang sulit dikendalikan. Apabila suami tidak diizinkan kawin lagi justru akan mencari jalan lain yakni melakukan perzinaan dengan wanita lain. Untuk mengatasinya Islam memberi jalan keluar dengan mengizinkan suami kawin lagi agar nafsu birahinya dapat tersalurkan secara wajar dan syah.59 Keempat, apabila di suatu negara kelebihan jumlah wanitanya dari pada kaum laki-laki. Keadaan ini tidak mustahil terjadi, bagi negara-ngara pasca perang biasanya tidak sedikit wanita yang menjadi janda karena suaminya gugur di medan perang, bisa juga karena insiden alami seperti bayi yang lahir lebih banyak dari pada laki-laki. Kematian menjelang usia perkawinan didominasi

58 59

Ibid., 101. Ibid., 101.

kaum lelaki maupun gempa bumi secara kebetulan mengakibatkan banyak korban dari pihak lelaki.60 Dan masih ada beberapa alasan tetapi menurut Haifah A. Jawadi61 tidak mempunyai landasan hukum. Mereka tidak dapat dimengerti oleh pikiran yang rasional dan lebih mencerminkan egoisme laki-laki. Alasan tambah ini antara lain: Pertama ketika istri mencapai umur dan menjadi lemah dan tidak mampu memelihara suaminya, kemudian ia berhak mempunyai istri kedua. Kedua: jika istri mempunyai sifat buruk (dari pandangan suami) maka suami boleh melakukan pernikahan yang kedua. Ketiga jika istri terbukti keras kepala dan tidak patuh. Keempat istri minggat dari rumah. Memang dapat diakui bahwa melakukan poligami karena apapun tetap akan menanggung resiko terutama yang lazim dirasakan lelaki poligami adalah kecemburan istri. Suami yang memiliki sejumlah istri akan berhadapan dengan fenomena-fenomena kecemburuan dan itu wajar karena sebagai instink manusia yang dapat dimaklumi. Namun perlu diketahui, untuk mengatasi berbagai keadaan yang rumit, resiko poligami masih relatif lebih ringan dari pada berkubang dalam dosa seperti free sex, prostitusi, kumpul kebo maupun istri simpanan yang ilegal. Adapun prinsip yang dipegangi hukum Islam di kala menghadapi kemungkinan adanya dua macam resiko adalah memilih yang paling ringan resiko. Hal ini mengingatkan kita terhadap kaidah fiqhiyah: 60

Ibid., 101 - 102. Haifah A. Jawadi, Perlawanan Wanita: Sebuah Pendekatan Otentik Religius. Terj. Muh. Salib (Malang: Cendekia Paramulya, 2002), 127. 61

H. 8َ:<ِ >= ? َ ‫ب َأ‬ ِ 8َBCِ ْ‫ر‬8ِF‫رًا‬Iَ J َ 8َ:<ُ L ُM ْ ‫ َا‬N َM ِ ْ‫ن رُو‬ ِ 8َCQَ R َ >ْ Sَ ‫ض‬ َ ‫ َر‬8َUCَ ‫ِإذَا‬

“Apabila bertentangan dua mafsadat, maka perhatikan yang lebih besar madharatnya dengan mengerjakan yang lebih ringan madharatnya.” 62 Setelah memperhatikan kondisi-kondisi yang rumit ternyata cara poligami justru lebih mmbawa manfaat (mampu memberi pemecahan dalam menghadapi multi problema) dari pada hanya dengan monogami secara keseluruhan. Berhubung adanya manfaat yang lebih besar, pada suatu sat dan kondisi tertentu penerapan poligami dipandang sangat penting dan perlu dianjurkan meskipun opini publik menentangnya seperti pandangan dewasa ini menentangnya seperti pandangan dewasa ini. Berangkat dari kenyataan yang demikian pada hakikatnya sistem poligami itu memberikan keuntungan bagi kaum wanita. Selama hal itu tidak disalahgunakan oleh pria. Dalam hal ini, tetaplah apa yang dikatakan Muthahhari sebagaimana dikutip oleh Baidah bahwa poligami sebenarnya adalah bagian dari hak-hak kaum wanita, agar mereka menjadi terhormat dan tidak dipermainkan, seperti boneka

oleh tangan jahil kaum pria.63 Jadi dalam kondisi darurat

sebagaimana digambarkan itu, seorang istri harus pula bersikap toleran jangan mau menangnya sendiri, sadarilah selain anda ada wanita lain yang juga amat membutuhkan pengayoman dari seorang suami tercinta.

62 63

Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 76. Baidah, Tafsir., 114 – 115.

Sebagaimana dilansir oleh Ghoib64 atas poligami yang dilakukan Aa gym dengan istri keduanya yang seorang janda beranak tiga di Bandung beberapa waktu lalu. Masyarakat, terlebih lagi kaum muslim telah digiring oleh berbagai pihak terutama media Barat untuk menghujat agama sendiri terutama praktik poligami. “Bisnis Aa Gym rontok pasca poligami”, “Aa Gym mulai ditinggal jamaahnya setelah berpoligami” “Pamor Aa Gym surut setelah menikah lagi”, “Aa Gym melakukan perbuatan batil”. Itulah tema-tema miring yang banyak diungkap oleh media jelas sekali unsur tendensiusnya tidak hanya itu, ternyata sosok Aa Gym dan poligaminya, hanya dijadikan batu loncatan untuk menolak praktik pelaksanaan syariat Islam di negeri ini. Poligami dijadikan pintu untuk membabat syariat Islam, terutama para orientalis, sekuleris, liberalis dan pengikutnya. Hal itu telah dibuktikan dengan gentolnya mereka menyuarakan anti poligami, mereka tidak memprotes Aa Gym atau mendemonya, tapi malah memprotes syariat Allah dan mempertanyakan keadilan-Nya. Lebih lanjut, tidak hanya ibu-ibu yang berkomentar sinis beberapa pejabat dan pemimpin bangsa ini juga sempat kebakaran jenggot, sisi gelap akibat poligami lebih banyak diekspos untuk membentuk opini miring masyarakat seputar praktek poligami sedang sisi terangnya jarang mereka sentuh. Tapi karena masih banyak sosok yang peduli akan tegaknya syariat Islam. Mereka melakukan aksi untuk membendung arus anti poligami yang didukung banyak 64

20.

“Selingkuh Ajaran Setan, Poligami Ajaran Tuhan”. Ghoib (Edisi 75 Th. 4 Januari 2007),

media massa, masih banyak tokoh-tokoh negeri ini yang peduli akan ajaran agamanya. Munarman (seorang aktivis HAM) mengatakan: “Presiden SBY membela hak perempuan, biar bisa menambah dukungan suara pada tahun 2009 dengan menjual dan menggadaikan syarat”. 65 Menurut Mahendradata (Ketua Tim Pengacara Muslim) berkata: “Isu Poligami yang terus dimainkan akan membelah umat Islam di Indonesia. DPR harus mewaspadai dan segera meredam isu ini tidak menjadi komoditas politik”.66 Sedangkan KH. Ma’ruf Amin (Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat) menanggapi usilnya presiden SBY tentang praktik poligami, “Lebih baik presiden memberantas pornografi dan pornoaksi, sebab dua hal itulah perusak moral bangsa yang sesungguhnya. Menurutnya aturan poligami yang sudah ada tidak usah diperluas lagi, apalagi dilarang. Karena ajaran Islam memang membolehkan. Menurut DR. Gina Puspita, beliau hendak mengingatkan bahwa dalam menilai sesuatu, karena zaman ini sudah rusak, maka nilai-nilai manusia/moral juga sudah sangat jauh dari kehendak Allah. Dicontohkan: para wanita mengatakan dirinya merasa dihina dengan poligami. Padahal itu boleh menurut Islam, tapi, wanita di minta buka aurat, lalu menjadi tontonan, tak satupun menganggap dirinya merasa terhina. Padahal itu keadaan yang sangat

65 66

Ibid., 19. Ibid.

menghinakan, wanita sudah hilang malunya karena ketiadaan iman.67 Poligami bila dijalankan dengan tujuan membesarkan Allah, kita akan merasa bahwa itu sangat baik untuk pendidikan hati kita, kita akan belajar bersabar dan untuk tidak hasad atau dengki. 68

Implikasi Poligami dalam Hukum Islam Implikasi Sosial – Spikologi terhadap Perempuan Dewasa ini dunia Barat sedang gigih menerapkan prinsip dan asas monogami dalam perkawinan. Apakah dengan cara ini saja mampu memecahkan problema yang dihadapi masyarakat? Ternyata secara sembunyisembunyi mereka telah melakukan perzinahan, dengan teman akrabnya, teman kerjanya, wanita pelacur, istri simpanan yang ilegal, kumpul kebo dan sebagainya, lokalisasi, bar, night club, hotel dan tempat-tempat yang tidak formal menjadi tempat antri bagi laki-laki yang telah beristri. Nampaknya bentuk penyaluran inilah yang dipilih orang-orang Barat, yang dapat dipandang telah melakukan poligami ilegal (terselubung) cara inilah yang dikutuk oleh Islam karena akibat yang ditimbulkannya lebih besar dan fatal dari pada poligami versi Islam. Melakukan hubungan seksual dengan wanitawanita pelacur atau wanita bukan istrinya paling tidak dapat mengancam berbagai pihak, seperti timbulnya kecurigaan istri sebagai sumber broken 67.

67

“Anak Kami Bersyukur Ayahnya Poligami”, Hidayatulloh, (Edisi 9 Th. xix, Januari 2007),

68

“Poligami dan Keadilan”, Al-Millah, (Edisi xiv Th. xi 2005), 10.

home, terjangkitnya penyakit kelamin, hilangnya tanggung jawab yang mengakibatkan keterlantaran, tidak terpeliharanya nasab, merosotnya harkat dan martabat wanita.69 Di Indonesia kasus perselingkuhan paling fenomenal pada tahun 2006. Seorang anggota Dewan dari Partai Golkar dengan salah seorang penyanyi dangdut belum hilang berita itu dari peredaran. Muncul lagi kasus perselingkuhan pembawa petaka, Ferry Surya (seorang Biksu) dengan seorang penyanyi Alda Risma.70 Di sinilah poligami menurut Yusuf Qardhawi menemukan momentum yang tepat, yaitu untuk membangun kembali tata kehidupan ideal sosial masyarakat yang baik, terutama bagi kemaslahatan wanita itu sendiri, agar mereka terhindar dari segala godaan yang mengancam dirinya. Agar mereka tidak menghabiskan seluruh hidupnya sendirian tanpa suami yang selalu mengasihi dan menanggung hidupnya, agar mereka dapat merasakan hangatnya dalam keluarga bersama anak-anak dan suaminya tercinta.71 Masih menurut Yusuf Qardhawi, bahwasannya poligami yang diajarkan Islam sangat menjunjung nilai-nilai keadilan serta penghormatan atas harkat, martabat dan hak asasi manusia terutama perempuan.72 KHI sendiri sepertinya tidak berbeda dengan semangat fiqih pada pasal 57 dijelaskan alasan dibolehkannya berpoligami yaitu apabila:

69

Mujamil, Kontribusi, 103 – 104. “Antara Selingkuh dan Poligami”, Ghoib (Edisi 75 No. 4 Januari, 2007), 9. 71 “Poligami dan Keadilan”, Al-Millah (Edisi xiv Th. xi 2005), 11. 72 Ibid., 11. 70

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.73 Tampaknya pada pasal 57 KHI di atas pengadilan agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Jadi pada dasarnya pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.74 Pada metode tafsir tahlili menyimpulkan bahwa teks surat al-Nisâ’ ayat 3 ini mengizinkan poligami dengan syarat harus adil.75 Ayat ini secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah perang uhud ketika masyarakat muslim dibebankan dengan banyaknya anak yatim janda serta tawanan perang. Dia memerintahkan kepada manusia agar supaya memberikan harta benda anak-anak yatim dan tidak memakannya. Selanjutnya, Allah SWT menindaklanjuti pembahasan tentang anak-anak yatim dengan perintah kepada manusia untuk menikahi perempuan-perempuan yang disenangi: dua, tiga atau empat, yang dibatasi hanya pada satu kondisi yaitu takut tidak dapat berbuat adil kepada anak-anak yatim.76

Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan Islam selalu hadir dalam gagasan besar kemanusiaan, untuk sebuah pembebasan terhadap seluruh bentuk penindasan, tirani, kebiadaban dan perbudakan manusia. Setiap penindasan tirani dan perbudakan adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Manusia menurut Islam, dilahirkan dalam keadaan suci dan bebas. Umar bin Khathab mengungkapkan kemerdekaan manusia itu dalam ucapannya yang sangat terkenal kepada Amru bin Ash: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal para ibu mereka melahirkannya dalam keadaan merdeka.”77

73

Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam, 167. Ibid., 167. 75 Nusuruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, 283. 76 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer Terj. Sahiron Samsudin, (Yogyakarta: Januari, 2004), 426. 77 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Jogjakarta: LKIS, 2002), 156. 74

Dalam al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 13 ditegaskan.

 َ £ِ Pَ•َ ‫ َو‬Pًz[ُw¤ ُ ْV‫ ُآ‬PَJrْ wَ … َ ‫ َو‬HَL]ْ ‫ْ َذ َآ ٍ~ َوُأ‬UMِ ْV‫ ُآ‬PَJcْ rَh َ Pe]‫س ِإ‬ ُ PeJS‫ ا‬Pَžp§ ‫َأ‬Pَp ٌ~`ِh َ ٌV`ِrš َ ƒَ reS‫ن ا‬ e ‫ْ ِإ‬V‫ ُآ‬Pَcdْ ‫ ِƒ َأ‬reS‫ ا‬uَ Jْ š ِ ْVXُ Mَ ~َ ‫ن َأ ْآ‬ e ‫ َر^ُ[ا ِإ‬Pَw_َ Sِ Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal sesungguhnya orang-orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” 78 Ayat ini membongkar segala macam diskriminatif atas dasar suku bangsa, warna kulit, dan termasuk perbedaan jenis kelamin. Yang membedakan di antara manusia adalah tingkat spiritual dan amal kebaikan yang dilakukan atas dasar ketaqwaan kepada Allah SWT. Ayat ini juga berbicara tentang universalitas Islam dengan memberikan makna kesederajatan manusia dan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan. Dalam pandangan Islam manusia adalah makhluk yang pada dasarnya dimuliakan Allah. Dalam al-Qur'an ditegaskan dalam surat al-Isra’ ayat 70:79

U َ Mِ ْV‫ ُه‬PَJ•ْ ‫\ ِ~ َو َر َز‬ ْ َ Sْ ‫~ وَا‬R َ Sْ ‫ ا‬a^ِ ْV‫ ُه‬PَJrْ oَ v َ ‫ ءَا َد َم َو‬aِJzَ PَJMْ ~e ‫ْ َآ‬ucَ Sَ‫َو‬ Pًr`ِ©gْ dَ PَJcْ rَh َ ْUoe Mِ ~ٍ `ِL‫ َآ‬Hَrš َ ْV‫ ُه‬PَJrْ © e ^َ ‫ت َو‬ ِ Pَ`Rb e S‫ا‬

78 79

Depag, Al-Qur'an, 847. Ibid., 435.

Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka Rizki dari yang baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. Karena itu, Islam sangat melarang melakukan pelecehan, penghinaan, memperlakukan seseorang dengan cara-cara kasar, beringas, menodai maupun menghancurkan. Hal itu berlaku pada setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan muslim maupun non-muslim. Sebagaimana hadits Nabi menegaskan: َ Iَ M َ ‫ َو‬kُ eَ I. 8َS ‫َا ُم‬Ib َ cِ dِR ْ :ُ eْ‫ ا‬fَdM َ cٍ dٍR ْ :ُ e‫ ا‬ih ‫داود( ُآ‬mF‫ أ‬knI?‫ )أ‬kُ J Artinya:

“Setiap muslim diharamkan atas muslim lain; hartanya, kehormatannya, dan darahnya”. (Riwayat Abu Dawud)80

Sebagai agama rahmatan lil al ālamin, Islam menebarkan nilai-nilai kasih sayang dan kedamaian serta mendorong manusia untuk memiliki kesadaran agar patuh, taslim dan mampu menjalin hubungan harmonis dalam konteks haququ ‘al Allah dan huquq ‘al nas. Kemampuan untuk membangun dua bentuk hubungan itulah yang menempatkan manusia pada posisi fitrahnya sebagai makhluk mulia81 yang dipertegas dalam surat al- Imran ayat 11282

U َ Mِ  ٍ ْ v َ ‫ ِƒ َو‬reS‫ ا‬U َ Mِ  ٍ ْ \ َ zِ PeS‫ُ[ا ِإ‬gcِ }ُ PَM U َ pْ ‫ ُ َأ‬Se“R S‫ ا‬Vُ žِ `ْ rَš َ ْqzَ ~ِ ª ُ m َ Sِ‫ ُ َذ‬Jَ Xَ Q ْ oَ Sْ ‫ ا‬Vُ žِ `ْ rَš َ ْqzَ ~ِ ª ُ ‫ ِƒ َو‬reS‫ ا‬U َ Mِ ™ ٍ © َ «َ zِ ‫ءُوا‬Pَz‫س َو‬ ِ PeJS‫ا‬

80

Bey Arifin, Terj. Sunah Abu Dawud, 270. Mufidah Ch, Paradigma Gender (Malang: Bayumedia, 2003), 97. 82 Depag , Al-Qur'an , 94. 81

m َ Sِ‫­ َذ‬ ¬v َ ~ِ `ْ «َ zِ ‫ َء‬Pَ`ِ ]ْ ®َSْ ‫ن ا‬ َ [ُr_ُ cْ pَ ‫ ِƒ َو‬reS‫ت ا‬ ِ Pَp†ِz ‫ن‬ َ ‫~ُو‬gُ Xْ pَ ‫]ُ[ا‬Pَ‫ْ آ‬Vžُ ]e ®َzِ ‫ن‬ َ ‫ُو‬u_َ wْ pَ ‫]ُ[ا‬Pَ‫‘[ْا َوآ‬ َ š َ Pَozِ Artinya : “Mereka diliputi kehinaan di manapun mereka berada, kecuali jika mereka berpegang pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan, yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.” Rahmat di atas dapat dijabarkan dalam tiga fase, yaitu berikut ini83 1. Tahfizu ‘al Fard (mendidik dan memperbaiki individu) untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan. 2. ‘Iqamat ‘al adli fi ‘al jamaah (menegakluruskan keadilan di tengah-tengah masyarakat). 3. Tahqiq ‘al mashalih (merealisasikan kemaslahatan-kemaslahatan) Dalam arti jalbu ‘al manafi wa doru ‘al mafasid (menciptakan berbagai manfaat dan menanggulangi berbagai kerusakan) Untuk menegakkan kemaslahatan dan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan, konsep Islam adalah mengembalikan pada lima pokok yang dikenal dengan ‘al-muhafadah ‘ala kulliyah ‘al khams, yang mula-mula dikembangkan oleh al-Juwaini kemudian diikuti oleh Imam al-Ghozali dalam konsep maqasid al syarih (tujuan hukum Islam, yaitu meliputi berikut ini:84 1. Hiftu ‘al ‘din (hak kebebasan memiliki keyakinan dan agama). 83 84

Nufidah CH,Paradigma Gender, 97. Lihat, Ibid., 97.

2. Hiftu ‘al ‘nafs (hak hidup). 3. Hiftu ‘al ‘nasl (hak pengembangan jenis dan keturunan). 4. Hiftu ‘al ‘aql (hak mengembangkan akal pikiran yang sehat). 5. Hiftu ‘al ‘mal (hak pemilikan harta benda). Sementara itu Ibnu Qayyim, seorang tokoh pemikir salaf, mengatakan sebagaimana dikutip oleh Husain Muhammad: “Syariah dibangun di atas kebijaksanaan dan kepentingan manusia di dunia dan akhirat. Syari’ah sepenuhnya kemaslahatan, sepenuhnya kebijaksanaan, setiap hal yang keluar kemaslahatan menuju kedzaliman, dan kerahmatan pada sebaliknya dan kemaslahatan pada kerusakan dan kebijaksanaan menjadi kesia-siaan, bukanlah merupakan bagian dari syariah (agama), meskipun diupayakan melalui rekayasa-rekayasa yang sistematis.” 85 Jika terjadi perselisihan dalam rumah tangga, dalam surat al-Nisâ’ : 34 dianjurkan untuk mengambil juru damai dan kedua belah pihak yang dikenal dengan nama hakam. Tujuannya untuk memperbaiki relasi keduanya. Hakam dalam konteks tersebut merupakan wakil dari keluarga suami dan wakil dari keluarga istri. Fungsi hakam adalah untuk membantu menyelesaikan konflik kedua belah pihak, peran hakam dapat beralih kepada pengacara, pendamping dan orang lain yang dapat mengganti kedudukan hukum dalam pengertian awal.86 Pada dasarnya suami istri merupakan pakaian satu sama lain, yang berfungsi sebagai pelindung, pengaman dan perhiasan. Suami istri bukan 85 86

Husein Muhammad, Fiqih, 158. Mufidah Ch, Paradigma Gender, 103.

diciptakan sebagai dua kubu yang saling bertentangan dan bermusuhan, tetapi saling melengkapi dan tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah, Islam tidak menolelir terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang berdampak pada disharmoni, kekacauan, dan dapat mengganggu tugas suami istri baik aktivitas ritual maupun aktivitas sosial.

BAB III POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF SITI MUSDAH MULIA

A. Biografi Siti Musdah Mulia 1. Kelahiran dan Pendidikan Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, M.A., Apu, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1959. Ia merupakan anak pertama dari enam bersaudara, dari pasangan Mustamin Abdul Fatah dan Buaidah Achmad serta istri dari Ahmad Thib Raya, Guru Besar Pasca Sarjana UIN Jakarta. Perkawinannya menghasilkan 3 buah hati, Albar, Fand, dan Dica.87 Pendidikan formalnya dimulai dari SD di Surabaya (tamat 1969); kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Pesantren As’adiyah, Sengkang Sulawesi Selatan (tamat 1973); meneruskan SMA Perguruan Islam Datu Museng, Makasar (tamat 1974); menyelesaikan Program Pasca Sarjana Muda di Fakultas Ushuludin Jurusan Dakwah, di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makasar (1980); program S1 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Fakultas Arab IAIN Alahuddin, Makasar (1982); program S2 di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Syahid, Jakarta (1992); dan program S3 bidang Pemikiran Politik Islam di IAIN Syahid, Jakarta (1997).88

87 88

Mulia, Islam Menggugat, 201 – 206. Ibid., 202.

Pendidikan non-formal antara lain: kursus singkat mengenai pendidikan HAM di Universitas Chulalongkorn, Thailand (2000); kursus singkat mengenai Advokasi Pergerakan HAM dan Demokrasi (International Visiator Program), di Amerika Serika (2000); kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan di Universitas Geroge Masan Virginia, Amerika Serikat (2001); kursus singkat mengenai Pelatihan HAM, di Universitas Lund, Swedia (2001); kursus singkat Manajemen Pendidikan dan Kepemimpinan Perempuan, di Bangladesh Instituf of Administration and Management (BIAM), Dhaka, Bangladesh (2002).89 2. Aktivitas a. Pengalaman organisasi Dikenal sebagai aktivis sejak mahasiswa hingga sekarang. Musdah aktif di beberapa organisasi antara lain: Ketua wilayah IPPNU, Sulawesi Selatan (1978 – 1982); Ketua Wilayah Fatayat Nu, Sulawesi Selatan (1982–1989); Sekjen PP. Muslimat NU (2000 – 2004); Anggota Dewan Ahli Koalisi Perempuan Indonesia (1999 – 2003); Ketua Forum Dialog Pemuka Agama Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan (1998–2001); Ketua I (MAAI) al-Majelis Al-Alumi Lil-Alimat Al-Muslimat Indonesia (2001 – 2003); Anggota Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) DKI, Jakarta (2000 – sekarang); Ketua Komisi Pengkajian Majelis Ulama 89

Ibid., 202.

Indonesia Pusat (2000–sekarang); Ketua Panah Gender dan Remaja Perhimpunan Keluarga Indonesia (2000 – Sekarang); Ketua Dewan Paar KPMDI : Korps Perempuan Majelis Dakwah Islamiyah (1997 – sekarang); Sekjend ICRP : Indonesia Conference on Religion and Peace (1998 – sekarang); Direktur IKAJ : Lembaga Kajian Agama dan Jender (1998 – sekarang).90 b. Pengalaman kerja Pengalaman pekerjaannya dimulai sebagai Dosen Luar Biasa di IAIN Alaudin, Makasar (1982 – 198); Dosen Luar Biasa di UMI, Makasar (1982 – 1989); Peneliti Balai Penelitian Lektur Agama, Depag, Makasar (1985 – 1989); Penelitian Balitbang Depag, Jakarta (1990 – 1999); Dosen Fakultas Adab IAIN Syahid, Jakarta (1992 – 1997); Dosen Institut IlmuIlmu Al-Qur'an (IIQ), Jakarta (1997 – 1999); Dosen Pasca Sarjana UIN Syahid, Jakarta (1997 – Sekarang); Kepala Balai Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Jakarta (1999 – 2000); Staf Ahli Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (2000 – 2001); Tim Ahli Menteri Agama RI Bidang Pembinaan Hubungan Organisasi Keagamaan International (2001sekarang).91

90 91

Ibid., 203. Ibid., 202 - 203.

3. Pemikiran dan Karya-Karya Ilmiahnya Musdah Mulia adalah sosok feminis Islam Indonesia karena dia seorang muslimah Indonesia yang dalam menganalisis berbagai isu penting seputar kehidupan perempuan merujuk kepada al-Qur'an sebagai sumber gagasan emansipasi dan liberalis perempuan. Apa yang dilakukan Musdah Mulia melalui tulisan-tulisannya menunjukkan bagaimana perempuan bisa bergerak dari posisinya sebagai perempuan dan sebagai muslimah sekaligus untuk memperbaiki kondisi masyarakat, khususnya sesama perempuan, dimana yang satu memanfaatkan yang lain, dengan perempuan sebagai korbannya. Tantangan semacam itu sudah tentu membutuhkan respon dari perspektif agama, gender dan demokrasi, diperlukan orang-orang yang bisa menguasai ketiga wilayah dari perspektif ini, sekaligus bisa bermain dan berperan di dalamnya. Inilah keunikan yang dimiliki Musdah Mulia.92 Beliau sebetulnya orang pesantren, yang aktif di sejumlah organisasi, termasuk organisasi perempuan dan bersama sejumlah tokoh agama mendirikan Lembaga Interfaith ICRP. Dari lembaga ini, Musdah Mulia bersama dengan perempuan pemuka agama lainnya mengidentitaskan diri menjadi “Women of Faith” dan peran mereka lebih mengarah kepada upaya membangun kesadaran moralitas dan tanggung jawab kemanusiaan semua pihak kesadaran moralitas itu dibangun atas dasar pijakan teks-teks agama yang ditafsir ulang dan direformasi dan juga pada tradisi fiqh yang

92

Mulia, Muslimah Reformis, xxxi

direkontekstualisasi. Dari posisi ini, Musdah Mulia lebih leluasa menampilkan suara perempuan dalam berbagai isu dan kasus seperti:93 Belakangan ini beliau bersama-sama kelompok pro demokrasi dan civil society melakukan perumusan RUU Catatan Sipil, RUU Anti – KDRT, revisi

Undang-Undang

Kesehatan,

Undang-Undang

Kewarganegaraan,

Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dipandang bermasalah bagi upaya membangun masyarakat madani.94 Tahap kesadaran ini mungkin dapat dicontohkan dengan cerita Musdah sendiri waktu ia masih menjadi santri di pesantren. Ketika belajar, menurut Musdah, santri perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh dinding yang terbuat dari kain terpal. Walaupun kiai duduk di depan santri laki-laki, santri perempuan masih bisa melihat kiai mereka, demikian sebaliknya. Akan tetapi kini mereka tidak mau melihatnya. Inilah yang membuat Musdah bertanya pada diri sendiri, mengapa? Keingintahuan semacam inilah yang diharapkan pada perempuan lainnya dan sebagai perempuan dia mulai memandang perilaku laki-laki secara kritis.95 Selanjutnya dalam menghayati kesadaran barunya akan mengalami kemarahan, jika perempuan telah dapat melampaui tahaman rasa marah, dia

93

Ibid., 25. Ibid., xxvi 95 Ibid., xxxii 94

biasanya muncul dengan lebih matang, terarah dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain secara setara.96 Tahapan berikutnya yang dapat dialami perempuan dengan kesadaran barunya adalah perempuan mengakui bahwa dia telah berkolaborasi dengan viktimisasi tentang dirinya. Sehingga dapat membuka hati dan matanya untuk mulai melihat bagaimana dia dapat mempengaruhi perubahan.97 Kesadaran tahap akhir menampilkan perempuan yang bersangkutan sudah dapat muncul dari identitas kolektif dengan cara mengeksplorasi potensi (kemampuan diri) sebagai pribadi yang utuh. Meskipun masih menganut bahwa solidaritas penting, dia mulai lebih memahami apa yang menjadi kekuatan diri sendiri dan mulai menunjukkan bahwa apa yang dia lakukan adalah tanggung jawab pribadinya.98 Menurutnya ini dapat dipandang sebagai cara yang telah dia tempuh untuk mengajak pembaca memahami berbagai isu yang sekarang menggejolak seperti tinggi Angka Kematian Ibu (AKI) eksploitasi tenaga kerja perempuan, perdagangan perempuan, KDRT, poligami, HIV / Aids dan penyakit menular seksual yang dialami perempuan (tanpa kesalahannya sendiri), aborsi, masalah narkoba dan perdebatan tentang pemimpin perempuan serta peran perempuan di wilayah konflik. Bahkan, dengan berani dia mengungkap isu

96

Ibid., xxxiii. Ibid., xxxiv. 98 Ibid., xxxiv. 97

marital rape yang oleh kalangan ulama, termasuk kalangan perempuan sendiri memandang sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan di ruang publik.99 Yang menarik bahwa Musdah melakukannya dengan menyediakan interpretasi alternatif terhadap sejumlah ayat al-Qur'an dengan sekaligus menunjukkan bagaimana berbagai interpretasi yang banyak dianut telah dipengaruhi oleh pandangan misoginis dan patriarkis. Yang penting dipahami bersama adalah bahwa dalam merintis upaya ini dia tidak mempunyai “role model” yang jelas, karena kebanyakan tokoh agama adalah laki-laki yang menganut cara pandang dan sistem nilai yang justru ingin dia ubah.100 Sejak 1986 Musdah banyak melakukan penelitian, khususnya penelitian sosial antropologi dan teks (filologi), di antaranya: “Agama dan Realitas Sosial Komunitas Towani dan Amatawa” (1987); “Konsep Ketuhanan YME dalam Etnis Sosok” (1989); “Maskah Kuno Bernafaskan Islam di Nusantara” (1995); Potret Buruh Perempuan dalam Industri Garmen di Jakarta” (1998); dan “Lektor Agama di Media Masa” (1999).101 Musdah adalah perempuan pertama yang meraih doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam pada IAIN Jakarta (1997) dengan disertasi berjudul “Negara Islam: Pemikiran Politik Haikal”, dan telah diterbitkan oleh Paramadina pada 2001; perempuan pertama yang telah dikukuhkan LIPI sebagai Ahli Peneliti Utama (APU) di lingkungan Departemen Agama (1999) 99

Ibid., xxxv. Ibid. 101 Ibid., xv. 100

dengan pidato pengukuhan berjudul “Potret Perempuan dalam Lektor Agama: Rekonstruksi Pemikiran Islam Menuju Masyarakat Egaliter dan Demokratis”. Ia juga menulis sejumlah artikel di berbagai media, sejumlah makalah untuk diskusi dan seminar di berbagai forum, baik di dalam maupun di luar negeri, juga menyusun sebuah buku, seperti: Pangkal Penguasaan Bahasa Arab (1989); Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (1995); Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (1993); Katalog naskah Kuno yang bernafaskan Islam di Indonesia (1997); Potret Perempuan dalam Lektor Agama (1999); Anotasi Buku Islam Kontemporer (2000); Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Perspektif Islam (2001); Pedoman Dakwah Muballighat (2000); Analisis Kebijakan Public (2002); Meretas Jalan Awal Hidup Manusia: Modul Pelatihan Hak-Hak Reproduksi (2002); Seluk Beluk Ibadah dalam Islam (2002); menulis puluhan entri dalam Ensiklopedi Islam (1993); Ensiklopedi Hukum Islam (1997) dan Ensiklopedi Al-Qur'an (2000).102

B. Poligami Menurut Siti Musdah Mulia Tujuan utama perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera dimana suami dan istri atau istri-istrinya serta anakanaknya hidup dalam kedamaian, kasih sayang, keharmonisan sebagaimana yang dimaksud dalam perintah al-Qur'an surat 21

102

Ibid., 15.

 َ wَ … َ ‫ َو‬Pَž`ْ Sَ‫ُ[ا ِإ‬JXُ Q ْ _َ Sِ Pً…‫ْ َأزْوَا‬VXُ Q ِ gُ ]ْ ‫ْ َأ‬UMِ ْVXُ Sَ ­ َ rَh َ ْ‫ ِƒ َأن‬dِ Pَp‫ْ ءَا‬UMِ ‫َو‬ ‫ن‬ َ ‫~ُو‬Xe gَ _َ pَ ‫[ْ ٍم‬cَ Sِ ‫ت‬ ٍ Pَp†َS m َ Sِ‫ َذ‬aِ^ ‫ن‬ e ‫ ً ِإ‬oَ v ْ ‫د ًة َو َر‬e [َ Mَ ْVXُ Jَ `ْ zَ Artinya: Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Allah) menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.103 Kasih sayang yang diberikan Allah kepada mereka ini memiliki falsafah. Daya tarik ini pasti ada di antara mereka. Kekosongana atau kekurangan akan hal ini akan mengganggu kedamaian mental seseorang. Perkawinan harus menjadi fenomena alam dalam suatu masyarakat dan tiada seorangpun harus merasa malu atau malu-malu untuk menikah.104 Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.105 Dalam penjelasannya disebutkan, bahwa undang-undang ini menganut asas monogami ini sejalan dengan firman Allah surat al-Nisā’ ayat 3 dan ayat 129. Kedua ayat tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Maka poligami diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi

103

Depag , Al-Qur'an , 644. Hujjatul Islam Hasnemi Rafsanjani, Kemerdekaan Islam dalam Keadilan Sosial Islam. Terj. Satrio Pinandito (Jakarta: CV. Firdaus, 1992), 62. 105 Undang-undang No. 1/74 psl 3 (1). 104

izin.106 Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh pengadilan untuk dapat memberi izin poligami adalah:107 1. Istri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 2. Istri tidak dapat melahirkan keturunan (mandul). 3. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Namun alasan yang paling mendasar bagi maraknya praktek poligami di masyarakat adalah bahwa poligami adalah sunnah Nabi. Surat al-Nisā’ ayat 3 yang menjadi landasan teologis. Karena itu, melarang poligami berarti melarang hal yang mubah atau dibolehkan Allah dan itu berarti menentang ketetapan Allah. Menentang ketetapan Allah berarti berdosa besar. Menurut Musdah Mulia perlu diluruskan pengertian masyarakat yang keliru mengenai sunah. Sunah adalah: keseluruhan perilaku Nabi, dalam bentuk ketetapan, ucapan, tindakan yang mencakup seluruh aspek kehidupan beliau sebagai Nabi dan Rasul. Akan tetapi di masyarakat pengertian sunah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami. Ini sungguh mereduksi makna sunnah itu sendiri. Sunnah Nabi yang paling mengemuka adalah komitmennya yang begitu kuat untuk menegakkan keadilan dan kedamaian di masyarakat. Jika umat Islam sungguh-sungguh ingin mengikuti sunnah Nabi, maka seharusnya umat Islam lebih serius memperjuangkan tegaknya keadilan dan kedamaian. Namun dalam realitanya mempraktikkan poligami, tetapi melupakan pesan moral Islam untuk

106 107

UUP Pasal 3 (2). UUP Pasal 4 (2), (Lihat juga pasal 57 KHI Jo. Ps. 419 PP).

menegakkan keadilan. Itu berarti jauh dari sunah Nabi, malah sebaliknya melanggar sunnah.108 Ungkapan “Poligami itu sunnah” sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur'an, berlaku adil sangat sulit untuk dilakukan, al-Nisā’ ayat 129.109 Dalil “Poligami itu sunnah” biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat al-Qur'an seperti al-Nisā’ ayat 2 dan 3 lebih mudah dipatahkan. Satusatunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap anak yatim dan janda korban perang.110 Menurut Musdah untuk memahami secara baik dan benar mengenai apa yang terkandung di dalam ayat yang dikatakan menjustifikasi poligami tersebut hendaknya diresapi dahulu makna dua ayat sebelumnya; ayat pertama dan kedua dari surat dimaksud.

108

Mulia, Islam Menggugat, 49 – 50. Faqihuddin Abdul Kadir, Benarkah Poligami Sunah? www.islamlib.net. 110 Ibid. 109

Ayat pertama berbunyi:

PَžJْ Mِ ­ َ rَh َ ‫ ٍة َو‬uَ v ِ ‫¯ وَا‬ ٍ gْ ]َ ْUMِ ْVXُ cَ rَh َ ‫“ِي‬Se‫ ا‬Vُ Xُ ze ‫ُ[ا َر‬cde‫س ا‬ ُ PeJS‫ ا‬Pَžp§ ‫َأ‬Pَp ‫ن‬ َ [ُS‫ َء‬PَQdَ ‫“ِي‬Se‫ َƒ ا‬reS‫ُ[ا ا‬cde ‫ ًء وَا‬PَQ]ِ ‫ِ`~ًا َو‬Lَ‫ آ‬PًSPَ…‫ ِر‬Pَožُ Jْ Mِ ° e zَ ‫ َو‬Pَž… َ ْ‫َزو‬ Pً`ِ•‫ْ َر‬VXُ `ْ rَš َ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ن ا‬ e ‫ َم ِإ‬Pَvْ‫َ®ر‬Sْ ‫ ِƒ وَا‬zِ Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.111 Ayat di atas menurutnya berisi penjelasan tentang penciptaan, manusia: laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang diciptakan dari nafs yang satu. Karena itu asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada disinggung tentang penciptaan hawa, istri Adam. Bahkan, sepanjang al-Qur’an tidak ditemukan nama Hawa. Apalagi cerita tentang penciptaannya dari tulang rusuk. Tidak ada ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang tulang rusuk. Penjelasan tentang tulang rusuk hanya ditemukan dalam hadits, antara lain hadist riwayat Turmudzi dari itupun tidak berbicara dalam konteks penciptaan Hawa.112 Pemahaman keagamaan yang demikian itu membawa kepada pandangan bahwa posisi dan kedudukan perempuan tidak sama dengan laki-laki, baik dalam

111 112

Depag, al-Qur’an, 114. Mulia, Islam, 85 - 86.

kehidupan masyarakat. Posisi dan kedudukan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Selanjutnya ayat kedua yang berbunyi:

‫ُ[ا‬r‫®ْ ُآ‬dَ PَS‫™ َو‬ ِ `R b e SPِz ° َ `ِ± َ Sْ ‫ُ[ا ا‬Sue َ _َ dَ PَS‫ْ َو‬Vžُ Sَ‫[َا‬Mْ ‫ َأ‬HَMPَ_`َ Sْ ‫ُ[ا ا‬d‫َوءَا‬ ‫ َآِ`~ًا‬Pًz[ُv ‫ن‬ َ Pَ‫] ُƒ آ‬e ‫ْ ِإ‬VXُ Sِ‫[َا‬Mْ ‫ َأ‬HَS‫ْ ِإ‬VُžSَ‫[َا‬Mْ ‫َأ‬ Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.113 Ayat ini menurut Musdah berisi penegasan kepada manusia agar berlaku adil terutama terhadap anak yatim. Kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah tidak pernah sepi dari peperangan, sehingga meyebabkan banyaknya jumlah anak yatim karena ayah-ayah mereka gugur dalam medan perang. Dalam tradisi Arab jahiliyah pemeliharaan anak-anak yatim menjadi tanggung jawab para walinya. Akan tetapi realitas yang ada menunjukkan tidak sedikit para wali itu berlaku curang terhadap anak-anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka dengan cara tidak memberikan harta mereka walaupun mereka sudah dewasa dan mampu menjaga hartanya. Para wali juga menukar barang-barang yang bagus dengan yang buruk.114 Allah sangat mengecam perilaku culas dan tidak adil para wali terhadap anak-anak yatim yang berada dalam asuhan mereka dan untuk menghindarinya 113 114

Depag, al-Qur’an, 114. Mulia, Islam, 89.

selanjutnya Allah menunjukkan jalan keluar sebagaimana terbaca dalam ayat ketiga sebagai berikut: Surat al-Nisā’ ayat 3

‫ ِء‬PَQJRS‫ ا‬U َ Mِ ْVXُ Sَ ‫ب‬ َ PَZ PَM ‫\ُ[ا‬Xِ ]ْ Pَ^ HَMPَ_`َ Sْ ‫ ا‬aِ^ ‫ُ[ا‬bQ ِ cْ dُ PeS‫ْ َأ‬V_ُ gْ ِh ْ‫َوِإن‬ ْqXَ rَMَ PَM ْ‫ ًة َأو‬uَ v ِ ‫ُ[ا َ^[َا‬Suِ wْ dَ PeS‫ْ َأ‬V_ُ ْgh ِ ْ‫ن‬xِ^َ ‫ع‬ َ Pَz‫ث َو ُر‬ َ Pَr}ُ ‫ َو‬HَJLْ Mَ ‫ُ[ا‬S[ُwdَ PeS‫ َأ‬Hَ]ْ‫ َأد‬m َ Sِ‫ْ َذ‬VXُ ]ُ Pَopْ ‫َأ‬ Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.115 Dalam surat al-Nisā’ ayat 3 kalimat “kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat” sepintas memang memberi petunjuk kebolehan berpoligami, akan tetapi dengan menyimak susunan redaksinya saja. Dapat diketahui secara jelas bahwa ayat ini bukan anjuran untuk berpoligami. Melainkan lebih pada memberikan solusi agar para wali terhindari dari berbuat tidak adil terhadap anak yatim yang berada pada perwalian mereka, yaitu dengan mengawini perempuan lain saja.116 Selanjutnya kalimat “… atau budak-budak perempuan yang kamu miliki” jelas ayat ini juga membolehkan perbudakan, akan tetapi mengapa para pendukung bunyi literal teks tersebut memegang teguh kebolehan berpoligami, namun mengabaikan kebolehan menggauli budak-budak perempuan. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd seperti yang

115 116

Depag, al-Qur’an, 115. Mulia, Islam Menggugat, 91.

dikutip oleh Musdah bahwa aliran yang berpoligami tidak menghilangkan indikasi “budak yang dimiliki” itu secara sengaja tetapi mereka sulit menerima kenyataan bahwa hilangnya hukum menggauli budak merupakan kemenangan dan sekaligus konsekwensi logis dari perjuangan umat manusia untuk mendapatkan hak-hak dan kebebasan asasi mereka. Artinya jika perbudakan dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat secara bertahap, maka poligami juga seharusnya seperti itu. Apabila berpegang pada bunyi teks secara utuh maka perbudakan tetap harus dijalankan. Lalu apa alasannya perbudakan tidak dilakukan lagi, padahal teksnya tetap membolehkan hal itu.117 Ironisnya, tidak sedikit

umat Islam mengganggap poligami sebagai

tuntunan agama, bahkan, ada yang memandangnya sebagai kewajiban. Alasannya, dalam ayat itu terdapat kata fankihu yang menggunakan fiil amr (kata kerja imperatif/perintah). Mereka memakai kaidah: al-asl fi al-amr li al-wujub (pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban). Mereka lupa bahwa disana ada huruf fa’ yang mengisyaratkan jawab syarat atau jawaban dari kalimat pengandaian yang terdapat sebelumnya.118 Para mufasir sepakat bahwa sebab nuzul ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perlindungan mereka.

117 118

Ibid., 51. Mulia, Islam Menggugat, 103-104.

Menurut penafsiran Rasyid Ridho sebagaimana dikutip oleh Musdah Mulia bahwa ada dua kalimat kunci dalam ayat ini, yaitu wa in khiftum all taqshithu, dan fa in khiftum alla ta’dilu. Maksud dari kedua kalimat itu adalah hendaklah kalian berlaku adil dan bersikap hati-hati terhadap perempuan, sebagaimana terhadap anak yatim. Sebab, perlakuan tidak adil terhadap kedua kelompok tersebut akan merusak tatanan sosial yang membawa kepada kemurkaan Tuhan.119 Menurut Musdah, sesungguhnya, jika dikaji dengan seksama kandungan surat al-Nisā’ sejak ayat satu, dua dan tiga. Akan terlihat secara jelas bahwa substansi kandungan ayat-ayat tersebut terfokus untuk perintah untuk berlaku adil, terutama terhadap anak yatim. Wujud bentuk perilaku adil tersebut, antara lain

tidak

memutuskan

hubungan

silaturohim

dengan

mereka,

tidak

menyalahgunakan harta mereka, dan tidak berbuat aniaya dengan cara mengawini mereka tanpa memberikan hak-haknya, Allah menyeru kaum laki-laki mukmin agar tidak kemungkinan untuk berlaku curang terhadap mereka. Boleh mengawini lebih dari satu perempuan, asal jangan lebih dari empat, tetapi ingat sekali lagi demikian penegasan Allah, jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, kawinilah dengan seorang saja. Bahkan Allah SWT memberi penegasan di akhir ayat tersebut bahwa kawin hanya dengan satu orang, lebih menjanjikan untuk lebih berlaku adil.120

119 120

Mulia, Islam, 101. Ibid., 105 - 106.

Lebih lanjut dalam surat al-Nisā’ ayat 127

aِ^ ْVXُ `ْ rَš َ Hَr_ْ pُ PَM‫ َو‬U e žِ `ِ^ ْVXُ `ِ_gْ pُ ƒُ reS‫ ا‬ ِ •ُ ‫ ِء‬PَQJR S‫ ا‬aِ^ m َ ]َ [ُ_gْ _َ Q ْ pَ ‫َو‬ ‫ن‬ َ [ُ” َ ْ~dَ ‫ َو‬U e žُ Sَ ™ َ _ِ ‫ ُآ‬PَM U e žُ ]َ [ُdْ²dُ PَS aِdPerS‫ ِء ا‬PَQJRS‫ ا‬HَMPَ_pَ aِ^ ‫ب‬ ِ Pَ_Xِ Sْ ‫ا‬ HَMPَ_`َ rْ Sِ ‫ُ[ا‬M[ُcdَ ْ‫ن َوَأن‬ ِ ‫َا‬uSْ [ِ Sْ ‫ ا‬U َ Mِ U َ `ِgwَ © ْ _َ Q ْ oُ Sْ ‫ وَا‬U e ‫\ُ[ ُه‬Xِ Jْ dَ ْ‫َأن‬ Pًo`ِrš َ ƒِ zِ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ن ا‬ e xِ^َ ~ٍ `ْ h َ ْUMِ ‫ُ[ا‬rwَ gْ dَ PَM‫ َو‬³ ِQ ْ cِ Sْ Pِz Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya".121 Menurut Musdah, jelas terlihat bahwa kandungan ayat di atas berkaitan dengan pembicaraan anak-anak yatim perempuan, sebagaimana termaktub dalam ayat ketiga surat al-Nisā’. Karena salah satu tujuan risalah Islam adalah membebaskan kaum perempuan dari belenggu keterkurungannya sehingga mereka bebas beraktifitas dalam norma-norma kesopanan. Tetapi kaum perempuan, khususnya dalam posisi sebgai istri. Seringkali diabaikan hak-haknya, padahal dalam kenyataan sehari-hari mereka senantiasa dituntut agar dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Lebih memprihatinkan lagi, bahwa kewajiban yang dipikulkan ke pundak mereka selaku istri seringkali lebih berat dari apa yang dibayangkan, dan itu merupakan hasil rekayasa manusia, bukan berdasarkan kepada ajaran agama yang benar. Sedikit saja mereka lengah dalam

121

Depag RI, al-Qur’an, 143.

menunaikan kewajiban itu mereka selalu dicerca dan dipojokkan. Sebaliknya, jika mereka telah melaksanakan kewajibannya dengan baik tidak banyak yang memujinya termasuk suami mereka sendiri. Karena hal itu dianggap sebagai kodratnya. Demikian pula dengan anak yatim. realitas yang ada menunjukkan bahwa hak-hak mereka lebih banyak diabaikan.122 Terhadap para istri yang diabaikan hak-haknya Allah menjelaskan dalam ayat 128 surat al-Nisā’ 143: J. 8ًdoِpq َ kُ eَ Qَ r ِ Cَ ْsdَtَ kُ due‫ ا‬iِ dِv ْ wُ ْsSَ ‫ ِء َو‬8َeyُ ‫ َه‬fَe‫ ِإ‬8َe‫ ِء َو‬8َeyُ ‫ َه‬fَe‫ ِإ‬8َe { َ eِ‫ َذ‬s َ oْ Fَ s َ oِF|َ Fْ |َ Sُ

Artinya: Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. Ayat di atas menyinggung soal nusyuz atau sikap tidak acuh dari suami. Selama ini pemahaman di masyarakat tentang nusyuz sangat bias jender, yaitu nusyuz hanya berlaku untuk istri dan tidak demikian halnya bagi suami. Fatalnya pemahaman yang bias itu justru dibekukan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. menurutnya perlu sekali disosialisasikan pandangan baru bahwa nusyuz berlaku untuk istri dan suami. Siapapun melakukan nusyuz (pelanggaran), baik suami maupun istri harus minta maaf kepada pasangannya

122

Mulia, Islam, 107 - 108.

dan berjanji untuk tidak mengulanginya demi keharmonisan dan kedamaian keluarga.123 Setelah Allah menyuruh setiap pasangan untuk proaktif membangun keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan berkeluarga melalui sikap dan perilaku yang senantiasa adil, maka pada ayat selanjutnya Allah mengecam para suami yang berpoligami dan menyatakan bahwa mereka tidak akan pernah mampu berbuat adil terhadap para istri, dalam ayat 129 surat al-Nisā’ disebutkan:

 e ‫ُ[ا ُآ‬r`ِodَ Pَr^َ ْV_ُ  ْ ~َ v َ ْ[Sَ‫ ِء َو‬PَQJRS‫ ا‬U َ ْ`zَ ‫ُ[ا‬Suِ wْ dَ ْ‫ُ[ا َأن‬w`ِb_َ Q ْ dَ ْUSَ‫َو‬ ‫ُ[رًا‬g” َ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ن ا‬ e xِ^َ ‫ُ[ا‬c_e dَ ‫\ُ[ا َو‬rِ‘ ْ dُ ْ‫ ِ َوإِن‬cَ rewَ oُ Sْ Pَ‫ آ‬Pَ‫ َ^ َ_ َ“رُوه‬ ِ `ْ oَ Sْ ‫ا‬ Pًo`ِv‫َر‬ Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.124 Terhadap surat al-Nisā’ ayat 129 tersebut dijumpai pemaknaan lain. bahwa secara radiksional ayat tersebut bukan ditujukan kepada suami yang berpoligami sebagaimana dimaknai selama ini melainkan ditujukan kepada suami yang berselingkuh dengan perempuan-perempuan lain. Ayat itu mengecam para suami, bahwa bagaimana mungkin mereka dapat berlaku adil jika tetap berselingkuh dengan perempuan-perempuan lain dan membiarkan istrinya terkatung-katung. Dalam kasus tersebut, maka ishlah (perdamaian) dengan istri 123 124

Mulia, Islam, 109 - 119. Depag, al-Qur’an, 143 - 144.

tetapi dengan komitmen tidak akan berbaut demikian lagi adalah jauh lebih baik bagi suami. Karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.125 Akan tetapi, jika suami istri tidak dapat berdamai lagi Allah menunjukkan jalan keluar terbaik, yaitu melalui perceraian seperti dinyatakan pada ayat 130 surat al-Nisā’ K. 8ً:oBِ b َ 8ًUq ِ ‫ وَا‬kُ due‫ن ا‬ َ 8َ‫ َوآ‬kِ }ِ Uَ q َ ْsSِ 8~d‫ ُآ‬kُ due‫ ا‬s ِ ْ wُ 8َ€Iu >َ }َ wَ ْ‫َوِإن‬ Artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.126 Maksud surat al-Nisā’ ayat 128 - 130 sesungguhnya merupakan panduan yang sangat jelas bagi suami - istri dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan sekaligus merupakan pedoman dalam mengatasi kemelut dalam kehidupan keluarga. Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan penduduk yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih banyak, namun itu hanya terjadi di atas usia 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25 – 29 tahun, 30 – 34 tahun dan 45 – 49 tahun jumlah lelaki tinggi.127 125

Mulia, Islam, 113 - 114. Depag, al-Qur’an, 144. 127 Faqihuddin Abdul Khodir, Poligami Tak Butuh Dukungan Teks. www.islamlib.net. 126

Menurut Maria Ulfa Anshari, fakta statistik memang menunjukkan kalau perempuan lebih banyak dari laki-laki, tapi apa dengan demikian lantas secara otomatis masing-masing dapat dipasangkan. Perlu diingatkan bahwa perempuan pada

masa

produktif

dan

siap

bersuami,

bisa

jadi

tidak

mencolok

perbandingannya dengan laki-laki.128 Lebih lanjut menurut Maria bahwa ini tidak bisa dianalogikan dengan perbandingan jumlah yang namanya pernikahan itu harus tulus ikhlas, berdasarkan kebutuhan dan rencana dan yang utama adalah tujuannya. Muncul pertanyaan, bagaimana dengan suami yang hiperseks? Menurut Maria Ulfa laki-laki seperti itu masuk kategori pengecualian, dan mungkin jumlahnya tidak banyak dan perlu diingat, di antara perempuan ada juga hiperseks. Lantas apa boleh berpoliandri? Lantas kalau poligami, itu karena kemandulan? Inipun bisa menjadi pengecualian, tapi juga ada persyaratan ketat, misalnya: Sang istri sudah divonis mandul atas keterangan dokter tapi apa tidak ada solusi selain poligami? Solusi itu misalnya adopsi. Jadi jangan karena kemandulan istri terus dijadikan alasan utama. Lalu seandainya suami yang mandul apakah istri boleh menikah lagi? Jadi penekanannya terletak pada aspek keadilan Islam. Poligami yang sekiranya melanggar nilai-nilai keadilan dari sudut pandang perempuan, tentu sulit untuk diterima Islam. Cara seperti ini merusak

128

Maria Ulfa Anshori, Jika Rasulullah Hidup Sekarang, Tak Akan Poligami. www.islamlib. net (Publikasi: 28 April 2002).

rasa keadilan perempuan secara umum. Untuk itu, poligami tidaklah ideal dalam pandangan Islam.129 Dengan apa yang telah dijelaskan tentang data statistik bahwa logikanya menurut Musdah Mulia, kalau ingin poligami pilihlah perempuan di atas umur atau di bawah umur, akan tetapi menikahi wanita di bawah umur dalam konteks sekarang dipandang sebagai suatu kejahatan terhadap kemanusiaan karena melanggar HAM. Jadi hanya ada satu pilihan, yakni menikahi perempuan lanjut usia seperti dicontohkan Nabi, dan ini agaknya dapat mengurangi problem sosial yang ada.130 Pandangan Muthahari bahwa perempuan adalah wanita penggoda menurut Musdah Mulia sangatlah bias nilai-nilai patriarkhis. Pandangan yang bisa tersebut membuat umat Islam sulit sekali menegakkan hak-hak perempuan. Tidak ada data yang akurat bahwa perempuan yang tidak menikah akan berpeluang menjadi penghancur rumah tangga tapi sebaliknya. Sangat mungkin perempuan yang tidak menikah menjadi lebih shalih ketimbang perempuan yang sudah menikah, tidak menikah bukanlah sebuah label negatif yang dapat dijadikan alasan untuk menggolongkan seorang perempuan sebagai tidak sholeh dan penggoda. Perlu ditegaskan bahwa menikah itu bukanlah keharusan, terlebih lagi bukan kewajiban sebagaimana dipahami dalam masyarakat. Hukum dasar perkawinan adalah mubah (boleh). Perempuan bebas memilih menikah atau tidak.131

129

Ibid. Mulia, Islam Menggugat, 53. 131 Ibid., 57 – 58. 130

Menurut Musdah Mulia, ketiga alasan dalam Undang-Undang Perkawinan yang sudah tersebut di atas, jelas sekali tidak mewadahi tuntunan Allah SWT dalam surat al-Nisā’ ayat 19:

PَS‫ َو‬Pً‫ َء َآ~ْه‬PَQJRS‫ ِ~}ُ[ا ا‬dَ ْ‫ْ َأن‬VXُ Sَ  §\ ِ pَ PَS ‫ُ[ا‬JMَ ‫ ءَا‬U َ pِ“Se‫ ا‬Pَžp§ ‫َأ‬Pَp ٍ Jَ `R َ Mُ ٍ ´ َv ِ Pَgzِ U َ `ِdْ®pَ ْ‫ َأن‬PeS‫ ِإ‬U e ‫ُ[ ُه‬o_ُ ْ`dَ ‫ ءَا‬PَM µ ِ wْ َ zِ ‫ َ_“ْ َهُ[ا‬Sِ U e ‫ُ[ ُه‬r© ُ wْ dَ Pً¶`ْ ¤ َ ‫ َ~هُ[ا‬Xْ dَ ْ‫ َأن‬HَQwَ ^َ U e ‫ُ[ ُه‬o_ُ ‫نْ َآ ِ~ ْه‬xِ^َ ‫ف‬ ِ ‫~ُو‬wْ oَ Sْ Pِz U e ‫~ُو ُه‬¤ ِ Pَš‫َو‬ ‫ِ`~ًا‬L‫ ْ`~ًا َآ‬h َ ƒِ `ِ^ ƒُ reS‫ ا‬ َ wَ ¸ ْ pَ ‫َو‬ Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.132 Realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hampir semua poligami yang dilakukan di kalangan masyarakat tidak berangkat dari ketiga alasan yang disebutkan itu. Perlu dipertanyakan, berapa persen laki-laki yang berpoligami karena istri tidak menjalankan kewajibannya atau karena istri mendapat cacat badan atau karena istri mandul? Meskipun belum ada data yang akurat mengenai itu, secara kasat mata dapat dilihat pada umumnya poligami yang terjadi adalah semata-mata untuk pemuasan nafsu biologis laki-laki dan bukan karena alasan-alasan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan.133

132 133

Depag , Al-Qur'an , 119. Mulia, Muslimah Reformis, 366 – 367.

Lagi pula, semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami dan sama sekali tidak dilihat dari perspektif kepentingan (perempuan). Ketentuan Undang-Undang Perkawinan tentang poligami ini jelas menunjukkan posisi subordinat perempuan di hadapan laki-laki. Padahal kalau ditelusuri sebab-sebab turunnya ayat ini jelas tidak sedang berbicara dalam konteks perkawinan, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim. Islam adalah agama yang membawa misi kebebasan, yang ditujukan kepada tiga kelompok masyarakat, yakni para budak, anak yatim dan perempuan, yang selama ini sering diperlakukan tidak adil dan karenanya mereka disebut sebagai kaum dhu’afa (kaum lemah) atau mustadh’afin (yang tertindas). Anak yatim mendapat perhatian yang tidak kalah pentingnya dari kalangan budak dan perempuan karena mereka seringkali menjadi objek penindasan berupa perampasan harta disebabkan tidak terlindungi oleh walinya. Karena itu, perkawinan yang dilakukan dengan anak yatim seringkali dimaksudnya hanya sebagai kedok untuk menguasai hartanya. Untuk menghindari perlakuan tidak adil pada anak yatim, Allah SWT memberi solusi agar mengawini perempuan lain yang disukainya sebanyak dua, tiga atau empat. Itupun jika sanggup berlaku adil, kalau tidak, cukup satu saja.134

134

Ibid., 367 – 368.

C. Implikasi Poligami Menurut Siti Musdah Mulia 1. Implikasi Sosio - Psikologis Terhadap Perempuan Secara psikologis semua istri akan merasa terganggu dan sakit hati melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata istri begitu mengetahui suaminya menikah lagi secara spontan mengalami perasaan depresi, stres berkepanjangan, sedih dan kecewa bercampur jadi satu, serta benci karena merasa telah dikhianati. Anehnya perasaan ini bukan hanya terjadi pada istri pertama, melainkan juga pada istri kedua, ketiga dan seterusnya. Umumnya para istri setelah mengetahui suaminya menikah lagi bingung kemana harus mengadu, mereka juga malu pada tetangga, teman kerja, keluarga bahkan pada anak-anak mereka. Karena persoalan suami–istri merupakan persoalan privat (pribadi) yang tidak pantas diceritakan pada orang lain. Akibatnya istri menutup-nutupi seolah tidak terjadi apa-apa. Fatalnya tidak jarang para istri menyalahkan diri sendiri. Sikap istri yang tidak mau terbuka itu merupakan loyalitasnya kepada keluarga dan untuk menghindari stigma masyarakat sebagai keluarga yang tidak bahagia. Pada akhirnya, semua kesalahan dan kesedihan hanya bisa dipendam sendiri yang lambat laun akan menimbulkan gangguan fisik seperti sulit tidur dan makan, sembelit, sariawan dan flu yang berkepanjangan serta gangguan emosional, seperti mudah tersinggung, mudah marah dan curiga. Hal demikian disebabkan setidaknya oleh dua alasan: pertama karena rasa cinta istri yang begitu mendalam umumnya istri mempercayai dan

mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada ruang untuk cinta terhadap laki-laki lain. Istri selalu berharap suaminya berbuat hal yang sama terhadap dirinya. Karena itu, istri tidak dapat menerima suaminya membagi cinta dengan perempuan lain, bahkan kalau mungkin setelah matipun dia tidak rela jika suaminya menikah lagi. Kedua karena istri merasa inferior atau rendah diri seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kepuasan biologisnya. Perasaan inferior itu semakin lama meningkat menjadi problem psikologis yang serius, terutama kalau mendapat tekanan dari keluarga. Boleh jadi ditemukan ada perempuan yang sungguh-sungguh rela dan bersedia dimadu, namun kerelaan atau kesediaan dari satu atau segelintir perempuan tidak boleh dijadikan acuan untuk menggeneralisasikan, apalagi untuk memaksakan seluruh perempuan dapat menerima hal yang sama.135 Problem psikologis lainnya menurut Musdah Mulia adalah dalam bentuk internal dalam keluarga, baik di antara sesama istri, antara istri dan anak tiri atau di antara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat di antara istri. Perkawinan poligami yang juga membawa dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak, terutama bagi anak-anak. Anak-anak malu jika ayahnya dijuluki tukang kawin sehingga timbul rasa minder. Bagi anak perempuan biasanya sulit bergaul dengan teman laki-lakinya. Anak-anak yang 135

Mulia, Islam Menggugat, 137 – 138.

mengalami beban psikologis seperti itu akan mencari pelarian seperti: narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya.136 Akibat tekanan psikologis lebih lanjut kondisi fisik anak melemah sehingga anak mudah terserang berbagai penyakit.137 2. Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam banyak studi dinyatakan bahwa penganiayaan istri oleh suami berkaitan erat dengan kedudukan rendah kaum perempuan dalam masyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada istri dan karenanya, suami mempunyai kekuasaan penuh mengatur rumah tangga, pemahaman yang biasa tersebut diduga keras datang dari interpretasi terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang tekstual menyudutkan posisi kaum perempuan. Pemahaman yang keliru itu dapat kita jumpai dalam sejumlah tafsiran atas ayat-ayat al-Qur'an misalnya pemahaman para ulama terhadap surat alNisā’ ayat 32:

ٌ™`ِ‘]َ ‫ل‬ ِ Pَ…~R rِS µ ٍ wْ zَ Hَrš َ ْVXُ © َ wْ zَ ƒِ zِ ƒُ reS‫ ا‬ َ© e ^َ PَM ‫[ْا‬Je oَ _َ dَ PَS‫َو‬ ƒِ rِ© ْ ^َ ْUMِ ƒَ reS‫ُ[ا ا‬S®َ‚ ْ ‫ وَا‬U َ ْ Q َ _َ ‫ ا ْآ‬PeoMِ ٌ™`ِ‘]َ ‫ ِء‬PَQJRrِS‫ُ[ا َو‬Q َ _َ ‫ ا ْآ‬PeoMِ Pًo`ِrš َ ‫ْ ٍء‬a¤ َ  R Xُ zِ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ن ا‬ e ‫ِإ‬ 136 137

Ibid., 143. Ibid., 144.

Artinya : Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (Pu) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.138 Ayat di atas menurut Musdah Mulia, kandungan maknanya sudah cukup menggambarkan kesetaraan laki-laki dan perempuan, yaitu: “Bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan dan bagian dari apa yang mereka usahakan”. Akan tetapi, dalam kitab-kitab kuning, seperti dalam Kitab Uqud al-Lujjain, ayat itu ditafsirkan sebagai berikut: “Para lelaki itu memperoleh pahala dari amal jihad yang dilakukan, sedangkan para wanita juga punya hak memperoleh pahala dari apa yang diperbuatnya, yaitu menjaga farjnya serta taat kepada Allah dan suaminya.” Penafsiran ulama terhadap ayat tersebut menempatkan perempuan sebagai objek seksual.139 Selanjutnya dalam surat al-Nisā’ ayat 34:

µ ٍ wْ zَ Hَrš َ ْVžُ © َ wْ zَ ƒُ reS‫ ا‬ َ© e ^َ Pَozِ ‫ ِء‬PَQRJS‫ ا‬Hَrš َ ‫ن‬ َ [ُM‫ا‬e[•َ ‫ل‬ ُ Pَ…~R S‫ا‬ Pَozِ ™ ِ `ْ «َ rْ Sِ ٌ‫ت‬Pَ¹^ِ Pَv ٌ‫ت‬Pَ_]ِ Pَ• ‫ت‬ ُ Pَ\SِPe‘SPَ^ ْVžِ Sِ‫[َا‬Mْ ‫ْ َأ‬UMِ ‫ُ[ا‬cgَ ]ْ ‫ َأ‬Pَozِ ‫َو‬ aِ^ U e ‫¸~ُو ُه‬ ُ ‫ وَا ْه‬U e ‫ُ[ ُه‬¹wِ ^َ U e ‫ن ُ]´ُ[ َز ُه‬ َ [ُ^P± َ dَ aِdPerS‫ ُƒ وَا‬reS‫ ا‬º َ gِ v َ ‫ن‬ e ‫ ِإ‬Pًr`ِ‚ َ U e žِ `ْ rَš َ ‫ ْ«ُ[ا‬dَ Pَr^َ ْVXُ Jَ wْ Z َ ‫نْ َأ‬xِ^َ U e ‫ُ[ ُه‬z~ِ ª ْ ‫… ِ» وَا‬ ِ Pَ©oَ Sْ ‫ا‬ ‫ َآِ`~ًا‬P¼`rِš َ ‫ن‬ َ Pَ‫ َƒ آ‬reS‫ا‬ 138 139

Depag , Al-Qur'an , 122. Mulia, Muslimah Reformis, 161.

Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena itu Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar.140 Ayat di atas kebanyakan ulama menafsirkan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Hal itu membawa kepada pemahaman bahwa suami boleh memukul istrinya. Memukul istri, menurut logika semacam ini, merupakan hak suami karena suami mempunyai kedudukan lebih tinggi sebagai pemimpin dan pemberi nafkah bagi istrinya. Dalam kitab ‘Uqûd alLujjain disebutkan: “Para perempuan sebaiknya mengetahui kalau dirinya itu seperti budak sahaya yang dimiliki suami dan tawanan yang lemah tak berdaya

dalam

kekuasaan

suami.

Maka,

perempuan

tidak

boleh

membelanjakan harta suami untuk keperluan apa saja kecuali atas izin suami.” 141 Ada tiga kata kunci dalam terjemahan ayat tersebut yang dipandang melegitimasi dominasi laki-laki atas perempuan yang mengarah pada pemahaman tentang inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki. Pertama: qawwâmûn diartikan pemimpin, yang diletakkan padanya

140 141

Depag, Al-Qur'an. Mulia, Muslimah Reformis, 162.

kekuasaan yang hampir mutlak. Kedua: nusyûz diartikan pembangkangan atau ketidaktaatan istri terhadap suami. Ketiga: pukullah mereka (para istri),. Karena ketiga pemaknaan tersebut memperoleh landasan teologis dalam kitab-kitab tafsir.142 Selama ini pemahaman di masyarakat tentang nusyuz sangat bias jender, yaitu bahwa nusyuz hanya berlaku untuk istri dan tidak demikian halnya bagi suami. Fatalnya pemahaman yang bias itu justru dibekukan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Maka menurut Musdah perlu sekali disosialisasikan pandangan baru bahwa nusyuz berlaku untuk istri dan suami. Siapapun melakukan nusyuz (pelanggaran), baik suami maupun istri harus minta maaf kepada pasangannya dan berjanji untuk tidak mengulangnya demi keharmonisan dan kedamaian keluarga.143 Kehidupan kaum perempuan yang berpoligami menurut Musdah Mulia

lebih

banyak

mengalami

kekerasan

dari

pada

kebahagiaan.

Sesungguhnya membolehkan poligami sama saja dengan membolehkan perselingkuhan karena poligami dalam prakteknya selalu dimulai dengan perselingkuhan suami dengan perempuan lain sebelum mereka memutuskan menikah.144 Lebih lanjut dalam realitas sehari-hari di masyarakat, pandanganpandangan misioginis (yang membenci perempuan) seperti di atas yang justru 142

Ibid., 163. Mulia, Islam, 109 - 110. 144 Mulia, Islam Menggugat, 150. 143

banyak disosialisasikan, baik oleh para mubaligh atau mubalighah. Konsekuensinya, mengetengahkan pandangan Islam yang hakiki yang memihak pada keadilan dan kemanusiaan menjadi sangat sulit karena menentang pendapat mainstream yang selama ini sudah mapan dan mengakar di benak masyarakat. Menurutnya telah terjadi kesalahan sejarah yang demikian parah dalam kehidupan umat Islam.145 Bentuk kekerasan lain yang dialami istri adalah kekerasan ekonomi, biasanya berupa pengabaian pemenuhan kebutuhan terhadap para istri dan anak-anaknya. Suami hampir tidak pernah tahu kekurangan ekonomi yang dialami istri untuk biaya kehidupan anak-anaknya. Bentuk kekerasan lain adalah

kebiasaan

suami

mengambil

uang

simpanan

istri

tanpa

sepengetahuannya.146 Menurut Musdah Mulia bentuk kekerasan tersebut di atas bertentangan dengan ajaran Islam bahkan menurut pendapat Ibnu Hazm, seorang ahli hukum Islam abad pertengahan, bahwa: “Sesungguhnya bukanlah kewajiban istri melayani suaminya, dalam bentuk menyediakan makanan, minuman, mengatur dan menata rumah tangga, apalagi membantu mencari nafkah, justru suamilah yang berkewajiban menyediakan kebutuhan sandang, pangan dan papan bagi istrinya. Seperti dijelaskan dalam surat al-Talaq ayat 6

145

Mulia, Muslimah Reformis, 162. Mulia, Islam Menggugat, 154 – 155. 147 Lebih jelas lihat dalam Depag , Al-Qur'an , 946. 146

147

dan

surat al-Baqarah ayat 233.148 Sehingga terbuka peluang baginya (istri) menuntut pada suami untuk dicarikan ibu susuan yang bertugas menyusuinya dan merawat anak-anak tersebut. Namun dalam budaya kita para istri umumnya tidak tega melakukan hal demikian.149 Lebih lanjut menurut Musdah bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan seksual atau dengan kata lain marital rape (kekerasan terhadap istri) kekerasan seperti ini acapkali terjadi dalam perkawinan poligami yang disebabkan oleh pembagian hari bergilir untuk istri tidak teratur. Di saat istri tidak bergairah, capek dan karena alasan lainnya suami memaksa untuk dilayani. Konsekuensinya, semua bentuk pemaksaan terhadap perempuan dalam hubungan seksual identik dengan perkosaan, dan perkosaan itu sangat menyakitkan, meski itu dilakukan oleh suami sendiri. Terlebih lagi ada temuan penelitian yang menyatakan bahwa semakin dekat hubungan antara pemerkosa

dan

korbannya,

pemerkosaan

cenderung

semakin

kasar.

Menurutnya, ini adalah kasus yang perlu mendapat perhatian dari semua kalangan sehingga keharmonisan keluarga betul-betul dapat diwujudkan menuju terbangunnya masyarakat yang berkeadaban.150

148

Ibid., 57. Mulia, Islam Menggugat, 156. 150 Ibid., 152 – 153. 149

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TERHADAP POLIGAMI MENURUT SITI MUSDAH MULIA

L. Analisa Hukum Islam Terhadap Poligami Pada bab tiga telah dijelaskan tentang pandangan Siti Musdah Mulia tentang alasan kebolehan berpoligami, menurutnya semua alasan yang membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari perspektif kepentingan suami, dan sama sekali tidak mempertimbangan perspektif kepentingan istri. Misalkan andaikan saja suami mendapat cacat badan atau penyakit yang sulit disembuhkan, atau suami mandul, apakah Pengadilan Agama juga akan memberikan izin kepada istri untuk menikah lagi. Ketentuan UUP tentang poligami menurut Musdah jelas menunjukkan posisi subardinat perempuan di hadapan laki-laki. Menurutnya realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hampir semua alasan kebolehan berpoligami yang dilakukan di kalangan masyarakat tidak berangkat dari ketiga alasan yang tersebut dalam UUP. Secara kasat mata, meskipun belum ada data yang akurat namun dapat dilihat pada umumnya poligami yang terjadi adalah semata-mata untuk pemuasan nafsu biologis laki-laki.

Bahkan perempuan seringkali diperlakukan tidak setara dengan lakilaki. kondisi yang timpang ini muncul karena masyarakat sudah terlalu lama terkukung oleh nilai-nilai patriarki dan nilai-nilai bias gender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai patriarki selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala sesuatu yang berciri laki-laki. Dalam pandangan patriarki laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuatkan segregasi ruang yang ketat: laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan cukup di ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan sub ordinat dari laki-laki. Menjadikan Surat Al-Nisa’ ayat 3 sebagai dalil pembenaran bagi alasan kebolehan poligami, seperti dipahami masyarakat, sungguh tidak signifikan dan sangat keliru, mengingat ayat ini bukan diturunkan dalam konteks pembicaraan poligami melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim dan perlakuan tidak adil yang menimpa mereka. Muncul pertanyaan, kalau poligami itu menyakiti perasaan istri, mengapa ada perempuan yang mau dimadu? Dan mengapa pula bertahan dalam perkawinan poligami. Jawaban dari alasan tersebut adalah: 1. Perempuan seringkali tidak punya pilihan. 2. Perempuan sudah terlanjur cinta. 3. Untuk meningkatkan status sosial. 4. Percaya bahwa poligami ajaran agama.

5. Biasa dalam keluarga mereka. 6. Hanya pada suamilah mereka menggantungkan hidup. 7. Dari pada suami selingkuh dan tertular penyakit. 8. Mempertimbangkan agar anak-anak mereka tetap punya ayah. 9. Supaya bebas dari penganiayaan dan kekejaman suami. 10. Karena istri diperlakukan sebagai tenaga kerja sehingga bisa dibagi dengan istri-istri yang lain. Membolehkan

poligami

berdasarkan

kasus-kasus

tersebut

pasti

bertentangan dengan akal sehat yang berarti juga bertentangan dengan ajaran agama. Solusinya bukan membolehkan poligami, tetapi sebaliknya melarang poligami secara mutlak.151 Poligami dengan demikian jelas merupakan perwujudan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntunan kehidupan, dengan mengatur ulang aturan poligami yang sudah terbiasa dan berlangsung berabad-abad dalam peradapan manusia. Kedatangan hukum Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan dan mudharat yang terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Tujuannya untuk memelihara hak-hak

151

Mulia, Muslimah, 368.

wanita, memelihara kemuliaan mereka yang dahulu terabaikan karena poligami tanpa ikatan, persyaratan dan batasan jumlah tertentu. Harus diakui, banyak sekali orang yang membenci syariat ta’addud (poligami), saat inipun diberbagai media massa sedang gencar-gencarnya dibuat opini untuk anti poligami. Beberapa negara juga melarang rakyatnya untuk berpoligami, padahal mereka tak memiliki solusi yang lebih efektif untuk menekan berbagai penyakit masyarakat, kecuali dengan melegalkan poligami. Dengan

adanya

bunyi

pasal-pasal

yang

membolehkan

untuk

berpoligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa jelaskan asas yang dianut oleh undang-undang perkawinan sebenarnya bukan asas monogami mutlak malainkan monogami terbuka, atau meminjam bahasa Yahya Harahap, monogami yang tidak bersifat mutlak. Artinya poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency low), atau dalam keadaan yang laur biasa (extra ordinary arcumstance).152 Tujuan pokok perkawinan itu dilaksanakan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rohmah. Bagi suami, ingatlah jadilah seorang suami yang penyabar, santun, tegas, lapang dada, teman yang lembut serta berwibawa bagi istri-istrimu seperti halnya Rasulullah SAW. Janganlah menjelek-jelekkan atau mencela salah seorang istrimu di depan istri dan anak-anakmu, sehingga hati mereka selalu merasa aman dan tentram. Ingatlah engkau adalah pemimpin 152

Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam, 162.

keluarga dan mereka semua adalah amanah Allah SWT yang harus engkau tunaikan hak-haknya. Percayalah, bila ta’addud benar-benar dijalankan sesuai sunah sehingga tak ada pihak yang terzhalimi, insya Allah sebuah rumah tangga akan tetap bahagia. Sesungguhnya Allah maha mengetahui yang terbaik bagi hamba-Nya. Implikasi Sosio-Psikologis Terhadap Perempuan Dalam bab III sudah dipaparkan bagaimana implikasi poligami secara sosio-psikologis terhadap perempuan. Menurut analisa penulis apa yang dikatakan oleh Musdah Mulia mengantarkan pada analisa bahwa perkawinan poligami sangat jauh dari prinsip perkawinan yang diidealkan dalam Islam, yakni penuh mawadah wa rahmah, sarat dengan tuturan dan sikap yang sopan dan santun, dilimpahi dengan keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Atau bila ada perempuan yang mau dinikahi oleh suami yang sudah beristri, itu terjadi apabila perempuan memandang atau menempatkan dirinya semata-mata sebagai objek atau sederajat dengan harta milik suami, bukan melihat dirinya sebagai subjek atau individu yang merdeka yang memiliki seperangkat hak. Maka menurutnya semakin berdaya seorang perempuan akan semakin tinggi kemampuannya untuk memilih mana jalan terbaik dalam hidupnya. Tapi dalam Islam poligami dibenarkan bukan untuk menyenangkan kaum pria di atas penderitaan kaum wanita, bukan bias jender, tetapi merupakan

solusi yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul di keluarga dan masyarakat, kini, hingga kiamat. Sungguh keliru anggapan bahwa poligami itu merendahkan martabat kaum perempuan. Karena Islam memerintahkan para suami untuk berlaku adil. Kita tidak menutup mata, selama ini masih banyak kasus-kasus rumah tangga yang ditimbulkan oleh oknum yang mempraktekkan poligami. Anak-anak terlantar, istri pertama diabaikan dan akhirnya rumah tangga jadi berantakan. Itu kesalahan oknum tersebut, bukan kesalahan konsep poligami itu sendiri. Mereka hanya melihat dari sisi humanis atau kemanusiaan saja. Mereka tidak melihat dari sisi Ilahiah. Padahal, kalau Allah telah menghalalkan poligami, tentu ada hikmahnya. Bisa jadi tidak suka pada sesuatu hal, tetapi dalam pandangan Allah itu baik . Implikasi Kekerasan Terhadap Perempuan Dari penjelasan tentang implikasi kekerasan terhadap perempuan dapat dianalisa bahwa poligami membawa dampak kekerasan terhadap perempuan. Dengan ungkapan lain menurut Musdah dikenal empat bentuk kekerasan terhadap istri, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual. Laporan Rifka Annisa, selama tahun 2001 mencatat sebanyak 234 kasus kekerasan

terhadap istri. Data-data mengenai status korban mengungkapkan

5,1% poligami secara rahasia, 2,5% poligami resmi, 36,3% korban selingkuh,

2,5% ditinggal suami, 4,2% dicerai, 0,4% sebagai istri kedua, dan 0,4% sebagai teman kencan. Jenis kekerasan yang dilaporkan meliputi: kekerasan ekonomi sebanyak 29,4%, kekerasan fisik 18,9%, kekerasan seksual 5,6% dan kekerasan psikis 46,1%.153 Padahal menurut hemat penulis kekerasan terhadap istri dapat dijerat dengan pasal 356 KUHP (penganiayaan dengan pemberatan pidana) dan dijadikan alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan perceraian berdasarkan Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 dan dapat menyebabkan jatuhnya talak menurut sighat taklik talak yang diucapkan suami ketika akad nikah dilangsungkan. Dalam Islam semua bentuk kekerasan terhadap istri (perempuan) bertolak belakang dengan ajaran Islam. Islam menyatakan berapa tinggi derajat seorang ibu sehingga seorang anak diwajibkan untuk mengabdi dan berlaku sopan santun terhadapnya. Dalam dinyatakan bahwa ibu adalah manusia yang paling berhak menerima kebaktian dari seorang anak. Bahkan, ibu lebih berhak tiga kali daripada ayah (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah).

153

Mulia, Islam Menggugat, 149.

BAB V PENUTUP

I. Kesimpulan Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Menurut Siti Musdah Mulia poligami dilarang secara mutlak. Apabila terjadi ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini sesuai dengan hukum Islam, karena Islam tidak menganjurkan poligami, apalagi mewajibkannya. Pembahasan poligami dalam Islam haruslah dilihat dari perspektif perlunya pengaturan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. Suatu perundang-undangan dipandang ideal manakala mampu mengakomodasikan semua kemungkinan yang bakal terjadi. Demikian halnya dengan aturan Islam. Kedua menurut Siti Musdah Mulia poligami berdampak pada sosio psikologis dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam banyak studi dinyatakan bahwa penganiayaan istri oleh suami berkaitan erat dengan kedudukan rendah kaum perempuan dalam masyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa suami memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri dan karenanya, suami mempunyai kekuasaan penuh mengatur rumah tangga. Karena itu, perkawinan poligami sangat jauh dari prinsip perkawinan yang diidealkan Islam yakni penuh

mawadah wa rahmah. Dan itu sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam, sebagaimana akar katanya silima (damai dan sejahtera) pada intinya mengajarkan pada umatnya untuk berlaku lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang sehingga timbul kehidupan damai dan sejahtera di muka bumi dalam rangka mewujudkan kehidupan bahagia yang kekal di akhirat nanti. II. Saran-saran Bahwa praktek poligami dalam dunia modern haruslah diperketat sebab pemikiran masyarakat modern mengedepankan aspek rasionalitas. Hal ini dimaksud untuk menjaga kemurinian agama, yakni kandungan hukum

Al-

Qur’an agar tetap terpelihara dan sejalan dengan perkembangan zaman. Masih banyak praktik poligami yang merusak citra Islam. Jadi seorang pria yang ingin berpoligami harus benar-benar siap, mampu dari segi harta, mendidik keluarga, memberikan kebahagiaan dan adil tentunya. Seruan bagi suami, percayalah, bila ta’addud benar-benar dijalankan sesuai sunah sehingga tak ada pihak yang terzhalimi. Insyaallah sebuah rumah tangga akan tetap bahagia.