POLIGAMI DAN KEADILAN Oleh : Yufi Wiyos Rini Masykuroh ∗ Abstrak Issu yang kontrofes tentang masalah poligami, dimana suami diizinkan mengawini perempuan lebih dari satu orang, seringkali terjadi penyimpanganpenyimpangan terhadap pemenuhan hak-hak para istrinya, Islam mengikat poligami dengan terpenuhinya syarat keadilan. Keadilan yang dimaksud antara lain; keadilan dalam memberikan nafkah (lahir maupun batin) dan keadilan dalam kecenderungan hati. Al Qur’an membolehkan laki-laki beistri hingga empat orang dengan syarat bahwa laki-laki tersebutmampu memperlakukan istriistrinya dengan adil. Jika laki-laki tidak mampu memenuhi syarat penting ini, maka hendaknya mereka menikah dengan hanya satu perempuan saja. Kata Kunci : Poligami, Keadilan A. PENDAHULUAN Persoalan yang sejak dahulu sampai sekarang tetap menjadi perbincangan yang hangat dikalangan ahli yaitu mengenai pandangan hukum islam terhadap poligami. Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak diperbincangkan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan akan tetapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. Disis lain para ahli berbeda pandapat tentang asas perkawinan dalam islam, antara yang mengatakan monogami dan poligami. Sedangkan asas yang dianut dalan undang-undang perkawinan nomer 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah monogami yakni asas yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai seorang istri dalam jangka waktu tertentu. Tetapi dalam hal tertentu seorang laki-laki diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu orang dengan beberapa alasan dan persyaratan yang sudah ditentukan dalam undang-undang perkawinan. Dalam banyak kasus perkawinan lebih dari seorang sering merugikan masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Perkawinan yang seperti ini bukanlah tujuan poligami yang diajukan oleh syariat islam. Akan tetapi lebih disebabkan oleh rendahnya moralitas orang yang melaksanakannya. Karena banyak mudorot dari perkawinan poligami yang dilaksanakan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, banyak Negara islam melarang poligami seperti Negara Tunisia sebagaimana yang tersebut dalam pasal 18 undang-undang hukum keluarga tahun 1956 yang menyatakan bahwa beristri ∗
Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung
13
lebih dari satu orang adalah perbuatan yang dilarang dan dapat diancam hukuman penjara satu tahun atau denda setingginya 240.000 malim. Seperti halnya Negara Mesir melalui undang-undang nomor 1 tahun 2000 tetap memperbolehkan seorang laki-laki untuk menokah lebih dari satu orang (maksimum empat wanita) tanpa harus mendapat ijin dari mahkamah syariah lebih dahulu. Apabila timbul kerugian dari perkawinan tersebut, pihak yang dirugikan itu diberi kesempatan untuk menuntut suami kemahkamah syariah. Ketentuan ini telah di ikuti oleh beberapa Negara Islam lainnya dengan pertimbangan bahwa ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah Mesir dalam masalah poligami lebih luwes dan lebih menunjukkan rasa keadilan dalam masyarakat. Sedangkan di Malaysia khususnya Negara bagian Perlis tampaknya sudah mengamandemen masalah poligami ini dengan mengadopsi hukum keluarga yang berlaku di Negara Mesir. Dari pandangan tersebut diatas ada tiga pilihan yang perlu dipertimbangkan yaitu poligami yang diperbolehkan, poligami dengan beberapa syarat, melarang poligami. B. Poligami Yang Diperbolehkan Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan beberapa syarat yang ketat seperti keharusan memberikan nafkah yang cukup terhadap istri-istrinya, dan mampu berlaku adil terhadap istri-isrtinya. Syarat-syarat tersebut ditemukan dalam surat al-Nisa’ ayat 3 dan al-Nisa’ ayat 129. “Dan jika kamu punya alasan takut kalau kamu tidak dapat bertindak secara adil kepada anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan dari antara mereka (yang lain) yang sah untuk kamu, dua,tiga,empat, tapi jika kamu takut bahwa kamu tidak dapat memperlakukan mereka secara adil, maka nikahilah satu… Selanjutnya pada ayat 129 pada surat yag sama Allah berfirman yang artinya; Dan tidak akan ada kekuatan dalam diri kamu untuk memperlakukan istri-istrimu secara adil, meskipun kamu ingin sekali melakukannya, dan oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang satu sehingga mengabaikan yang lain, membiarkannya dalam keadaan seperti mempunyai atau tidak mempunyai suami. Dari kalangan Hanafi mengatakan bahwa seseorang yang berpoligami harus berlaku adil diantara istri-istrinya. Keharusan tersebut berdasarkan surat anNisa : 3 dan hadits dari Aishah yang menceritakan tentang perlakuan yang adil dari Nabi kepada istri-istrinya. Kemudian ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami istri dari kalangan Hanafi juga mengatakan suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya.(Abdurrahman, 2002 :193195). Dari kalangan Syafi’i juga mensyaratkan keadilan diantara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri dimalam atau disiang hari. Tuntutan al-qur’an terhadap sifat adil tersebut juga disebutkan dalam surat al-Rum : 30 dan surat Yunus : 67. berdasarkan ayat-ayat tersebut seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang wajib membagi malam secara adil (satu-satu malam atau dua-dua atau tiga-tiga) seorang suami tidak boleh masuk kamar istri yang bukan gilirannya kecuali kalau ada
14
kepentingan. Kalau ada kepentingan boleh masuk dengan syarat tidak boleh bermesraan. Boleh masuk hanya untuk memenuhi kepentingan tersebut. Bahkan kalau ada diantara istri yang sedng sakit tetapi tidak dalam gilirannya, suami boleh menjenguknya hanya pada siang hari. Kecuali kalau meninggal, maka boleh mengunjungi dimalam hari, dengan catatan sisa malamnya tetap mejadi milik si istri yang mempunyai gilirannya. Namun demikian kalau terjadi pelanggaran, sisuami tidak dijatuhi hukuman kifarat. Giliran seorang istri yang sehat dan yang sakit adalah sama (kecuali sakit gila). Maksud giliran malam bukan berarti harus berhubungan badan bisa jadi hanya bercumbu. Karena itu, istri yang sedang haid tidak menjadi halangan untuk dapat giliran malam. Begitulah contoh suami memberikan sandang dan pangan yang adil kepada istri-istrinya. Sebagai tambahan, ketika berbicara tentang hak dan kewajiban suami dan istri syafi’i menyebutkan suami wajib berlaku adil kepada istri dalam poligami dan sekaligus menjadi hak istri. (Al-Umm V : 172-173) Alasan lain yang umum digunakan para pemikir klasik dan pertengahan untuk membela keberadaan poligami biasanya adalah ujung surat Al-Nisa’ bahwa sepanjang tidak terlalu condong kepada salah satu diantara istri-istri yang mengakibatkan terabaikannya (terkatung-katung) yang lain, berarti sudah masuk kelompok yang berbuat adil, sebagai syarat yang dukehendaki al-Qur’an untuk berpoligami. Dari uraian tersebut diatas ada beberapa hal yang dapat dicatat pertama dari empat iamam mazhab tersebut hanya imam Syafi’i yang menghubungkan surat al-Nisa’ ayat 3 dan 129 dimana ayat kedua menurut sebagian pemikir merupakan jawaban terhadap ayat pertama, meskipun syafi’i tidak sejalan dengan pandangan tersebut sebagai tambahan bahwa meskipun imam syafi’i menghubungkan al-Nisa’ : 3 dengan ayat 129 bahkan dengan sejumlah ayat lain, tetapi tidak tampak dijadikan sebagai satu kesatuan pembahasan yang utuh dan menyatu. Catatan kedua, dari pembahasan keempat mazhab fikih tersebut tidak satupun yang mencatat sebab turunnya ayat. Demikian juga tidak ada diantaranya yang menghubungkan dengan pembahasan ayat sebelumnya, yaitu surat al-Nisa’ ayat 1 dan 2. dengan demikian, para iamam mazhab fiqih tersebut tampak gersang, sangat literalis dan ahistoris.(Kairuddin Nasution, 2002 : 64) Pandangan normatif Al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulamaulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang lelaki yang berpoligami harus mempunyai kemampuan dana yang cukup untuk membiayai segala keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Yang kedua seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil sehinggan setiap istri diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lainnya. (Amiur Nuruddin, 2004:158) C. Keadilan Dalam Poligami Islam mencoba mengantarkan penganutnya menuju suatu masyarakat yang adil. Al Qur’an berbicara mengenai keadilan dalam berbagai bidang sosial, ekonomi, politik maupun keluarga. Allah berfirman, ”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang senantiasa menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan
15
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap orang lain mendorong untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada taqwa (Al-Maidah; 8) Dalam masalah keadilan keluarga dan seksual, sejarah tidak berpihak pada sisi Islam. Al-Qur’an telah memberi ”kekuasaan” kepada perempuan, namun dalam kenyataan dan praktek sosial dapat dikatakan bertentangan. Al-Qur’an telah menetapkan bahwa menurut keadilan, hak-hak istri (terhadap suami) sama dengan hak-hak suami (terhadapnya), walaupu laki-laki lebih didahulukan dari pada perempuan (dalam masalah ini), (Asghar, 2003: 133). Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan bahwa ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibnnya menurut cara yang ma’ruf”. Dalam ayat ini terlihat bahwa yang perlu ditekankan adalah masalah ’keadilan’. Jika seseorang mengkaji Al-qur’an secara baik dia akan memahami bahwa sebenarnya Al-qur’an tidak menganjurkan poligami. Tidak dapat di pungkiri bahwa Al-qur’an memang mengizinkannya. Seorang laki-laki dapat mengawini lebih dari satu istri, bahkan sampai empat istri. Namun dari pertanyaan masih banyak yang harus dicermati menyang kut poligami selanjutnnya. Secara umum, poligami dipraktekkan di masyarakat pra-islam. Pada awalnya tidak ada batasan jumlah perempuan yang dapat di peristri oleh seorang laki-laki. Tidak ada juga gagasan keadilan untuk para istri ini. Menjadi hak suami sajalah untuk memutuskan siapa yang paling dia perhatikan dan cintai. Istri-istri hanya menerima nasibnya tanpa ada rasa keberatan apapun dalam proses keadilan. Selanjutnya al-Qur’an memberikan solusi atas ketidak adilan terhadap perempuan dalam masyarakat ini. Dinyatakan bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya adalah syarat perlakuan yang adil terhadap istri-istri secara merata. Firman Allah dalam surat An Nisa’:3, Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, maka kawinilah perempuanperempuan lain yang kamu senangi; dua, tiga, atu empat. Kemuadian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekan kepada tidak berbuat aniaya”. Ayat diats berbicara masalah keadilan terhadap anak-anak yatim, jadi titik tekannya bukan pada mengawini lebih dari seorang perempuan. Asghar mengatakan bahwa pada masa itu mereka (laki-laki) bertugas memelihara kekayaan anak yatim, sering berbuat dengan tidak semestinya, yaitu mengawininya dengan tidak membayar mas kawin. Al Qur’an memperbaiki perbuatan salah tersebut. Jika dengan mengawini anak yatim, mereka khawatir tidak akan mampu berbuat adil, mereka sebaiknya mengawini perempuan lain. Jadi ayat ini bukan pembolehan secara umum untuk berpoligami, tetapi keadilan terhadap anak yatim lebih penting, daripada mengawini lebih dari satu seorang istri. Menurut Sa’ad Ibn Jubair, dalam Asghar (2000;155) arti dari ayat tersebut diatas adalah sebagaimana kamu khawatir berbuat salah menyalah gunakan harta anak yatim, kamu harus melakukan pertimbangan yang sama seksaanya atas kepentingan-kepentingan dan hak-hak perempuan yang ingin kamu kawini. Dengan demikian yang menjadi pertimbangan utama adalah adil terhadap anak yatim dan hak-hak serta kepentingan-kepentingan perempuan yang dikawininya.
16
Sangatlah penting bagi laki-laki untuk berbuat keadilan yang sama terhadap semua pasangannya. Jika tidak dapat berbuat demikian, hendaklah mengawini seorang saja. Seorang laki-laki yang benar-benar menyadari tanggung jawab moralnya mungkin akan merasa berdosa jika dia mencintai salah seorang dari istrinya lebih dari yang lain al-Qur’an menyatakan ”Dan kamu sekali-kali tidak dapat berbuat adildiantara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang”. Yang perlu ditekankan adalah bahwa mereka tidak akan dapat berbuat adil, meski mereka menginginkannya. Ketika seorang laki-laki memiliki istri lebih dari seorang, dia harus mempunyai kesungguhan hati dan kemampuan untuk memperlakukan mereka sebagai pasangan yang setara dan secara adil. Kaum pia diamanahkan untuk memelihara istri-istrinya dengan cara yang adil. Implikasinya jelas bahwa para istridalam perkawinan poligami harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Bahkan bila seorang pria ternyata sudah bosan dengan istrinya atau tidak menyukainya lagi, dia tidak diperbolehkan memperlakukannya secara tidak baik (Jones, 2001:55). Tidak boleh dilupakan bahwa terpenuhinya hak-hak keadilan merupakan prasyarat dari poligami. D. Poligami Dengan Beberapa Syarat Di dalam fikih sentries dan perundang-undangan perkawinan membolehkan poligami dengan beberapa syarat dan dengan alasan darurat. Menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqoha, setidaknya ada delapan keadaan. (1) Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. (2) Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan. (3) Istri sakit ingatan. (4) Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri. (5) Istri memiliki sifat buruk. (6) Istri minggat dari rumah. (7) Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. (8) Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya. Jelaslah syarat-syarat diatas sangat longgar dan memberikan keleluasaan yang cukup pada suami untuk memutuskan apakah ia akan melakukan poligami atau tidak. Berarti titik tekannya kepada suami (laki-laki). Quraish Shihab berbicara tentang bolehnya poligami itu hanya merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dengan syarat yang tidak ringan. Sebagai tambahan, pembahasan poligami dalam al-Qur’an, menurut quraish, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknyan, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi adalah wajar bagi suatu perundang-undangan apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku setiap waktu dan kondisi, untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada waktu seketika, walaupun kejadian itu merupakan kemungkinan. Dicontohkan dengan kemungkinan mandulnya seorang istri, terjangkitnya penyakit parah dan alasan dan kondisi lain. Pada kesempatan lain, ketika pembahasan dihubungkan dengan
17
undang undang perkawinan no 1 th 1974, tentang syarat-syarat bolehnya poligami, diataranya harus ada ijin dari istri pertama, menurut quraish hampir mustahil ada istri yang mengijinkan suami poligami. Menurut Quraish, menutup sama sekali pintu poligami yang telah dibuka shari’at islam, akan menghantar pada maraknya perkawinan siri (perkawinan yang dirahasiakan), atau bahkan hadirnya wanita wanita simpanan, bahkan bisa menghantar pada praktek prostitusi. Penyebabab munculnya kondisi kondisi tersebut bukan karena jumlah wanita lebih banyak dari pria, tetapi salah satunya dikarenakan banyaknya keterbukaan aurat dewasa ini, demikian Quraish. Maka menurut Quraish bukan harus merivisi isi undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 yang berhubungan dengan poligami, tetapi diharapkan kebijaksanaan dan ijtihad para hakim dilapangan. Dengan ungkapan lain, Quraish menekankan pentingnya memahami kontek kemungkinan poligami, bukan melarangnya secara mutlak. Pandangan terhadap suami yang mampu secara finansial dan karena alasan kemandulan, dapat menjadi alasan untuk berpoigami, Aminah memberikan komentar terhadap dua hal tersebut, pertama banyak wanita yang tidak lagi membutuhkan pria untuk memenuhi kebutuhan finansial. Kedua tidak pernah disebutkan dalam al Qur’an alasan kemandulan sebagai alasan untuk berpoigami. Jalan keluar untuk kasus mandul, menurut Aminah, adalah dapat dengan cara mengangkat anak orang miskin atau anak yatim yang bapaknya wafat karena perang. Hubungan darah penting, tetapi bukan unsur penilaian tertinggi. Ketiga alasan poligami sebagai pemuas sek jelas tidak sejalan dengan Al Qur’an. Menurut Fathur Rohman, azas ideal perkawinan menurut islam adalah monogami. Pengakuan terhadap poligami, seperti yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 3 adalah bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada ketika itu, yakni tindakan wali yang tidak rela mengembalikan harta anak yatim setelah anak yang ada dibawah perwalian cukup umur untuk memahami surat alNisa’ ayat 3. Menurut Rahman harus dihubungkan dengan al-Nisa’ ayat 127-129, dan surat al-Nisa’ ayat 2 Rahman berpendapat suarat al-Nisa’ 127 – 129 dan surat al-Nisa’ ayat 2-3, berbicara tentang kasus sejumlah wali yang enggan mengembalikan harta anak yatim yang ada dibawah perwaliannya setelah anak cukup umur. Sebagai jalan keluarnya dibolehkan poligami dengan anak yatim tersebut dari para wali tersebut menggunakan harta tersebut dengan jalan yang tidak benar. Puncak pembicaraan kasus tersebut ada dalam kedua suarat al-Nisa’ ayat 2-3. Dengan menjadikan ayat-ayat tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pembahasan, dari teks yang ada dalam suart al-Nisa’ 3 jelas bahwa alQur’an berbicara poligami hubungannya dengan konteks pengasuhan anak yatim wanita yang sudah cukup umur. Sementara walinya enggan mengembalikan harta tersebut kepada para anak yatim dimaksud. Sebagai jalan keluar, para wali dianjurkan menikahi wanita tersebut agar mereka boleh menggunakan terus harta yang ada dibawah perwaliannya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa surat alNisa’ ayat 2 menjelaskan problem yang dihadapi ketika itu dan al-Nisa’ ayat 3 merupakan jawaban terhadap masalah spesifik tersebut. Jawaba yang diberikan adalah para laki-laki yang menjadi wali dapat menikahi para anak yatim yang sudah cukup umur yang ada dibawah perwaliannya maksimal empat. Tindakan ini dimaksudkan sebagai tindakan paling kecil dari pada menggunakan harta para
18
anak yatim tersebut dengan jalan yang tidak halal. Tentu saja al Qur’an membuat syarat untuk bolehnya poligami tersebut yakni harus dapat berlaku adil setelah diberikan peringatan, bahwa kalau tidak dapat berlaku adil cukup satu saja, kemudian disebutkan bahwa kamu tidak dapat berlaku adil. Karena itu, minimal jangan terlalu condong kepada salah satu atau sebagian yang mengakibatkan yang lain terabaikan (surat al-Nisa’ ayat 129). Terhadap fenomena prilaku kebebasan seks yang terjadi dimasyarakat barat sekarang tidak ada hubungannya dengan prinsip monogami dalam islam. Fenomena tersebut justru akibat dari industrialisasi yang berpengaruh terhadap struktur keluarga. Oleh karenanya masyarakar yang berkembang di asia haruslah mempersiapkan diri dengan perubahan social yang sangat cepat sebagai akibat dari perkembangan industrialisasi tersebut. Akan tetapi fenomena tersebut bukanlah menjadi alasan untuk berpoligami. Meskipun pada prinsipnya Mohammad Abduh melarang poligami, akan tetapi beliau membolehkan poligami pada kondisi-kondisi yang sangat mendesak seperti tidak mendapatkan keturunan, sebaliknya Abduh sangat mencela poligami yang bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu. Sepintas pandangan ini terkesan menyimpulkan bahwa faktor kegagalan untuk mendapatka keturunan adalah kegagalan pihak perempuan. Padahal dalam banyak kasus kegagalan demikian disebabkan kemandulan seorang suami. Akan tetapi satu hal yang pasti, bahwa dengan demikian pada intinya prinsip perkawinan dalam islam menurut Abduh adalah monogami. (Khoruddin, 1994 : 422). Sejalan dengan pemikiran diatas undang-undang perkawinan menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami didalam undang-undang perkawinan sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan untuk berpoligami seperti halnya pasal 4 : menyatakan bahwa seorag suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : (1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dengan demikian kebolehan untuk berpoligami dengan alasan-alasan tersebut mengesankan bahwa asas yang dianut oleh undangundang perkawinan sebenarnya bukanlah asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka seperti halnya istilah yang dipergunakan oleh Yahya Harahap yaitu monogami yang tidak bersifat multlak. Disamping itu poligami tidak semata-mata menjadi kewenangan penuh suami tetapi atas dasar ijin dari hakim (pengadilan) sebagai isntitusi yang cukup penting untuk dapat mengabsahkan kebolehan untuk berpoligami yang dijelaskan dalam pasal 3 ayat 2. Lebih lanjut undang-undang perkawinan menambahkan syarat-syarat untuk bepoligami yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang ingin melakukan poligami (1) Adanya persetujuan dari Istri/istri-istri. (2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. (3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya. Kiranya untuk dapat membedakan antara persyaratan yang ada pada pasal 4 dan 5 yaitu persyaratan alternatif artinya dapat diambil salah satu alasan yang termuat dalam ketentuan pasal 4 tersebut. Sedangkan syarat kumulatif yang termuat dalam pasal 5 harus dapat dipenuhi oleh seorang suami yang mempunyai keinginan untuk berpoligami. Demikian halnya
19
dengan muatan yang dijelaskan oleh PP No 9 Tahun 1975, PP No 10 Tahun 1983, UU No 7 tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam menetapkan pandangan yang sama bahwa diperbolehkannya poligami dengan syarat-syarat dan dalam keadaan tertentu.
E. Yang Melarang Adanya Poligami Pemahaman sebuah pemikiran yang mengarah terhadap haramnya suatu poligami dicetuskan oleh Al Hadat. Atau dikenal dengan Al Tahir Al Hadat, beliau menulis surat al-Nisa’ ayat 3 dihubungkan dengan surat al-Nisa’ ayat 129. Dengan turunnya surat al-Nisa’129 poligami mestinya harus dicegah. Konon, dalam ringkasan bukunya yang ditulis dalam buku Prancis, Al Hadat juga menulis AL-Ruum ayat 21, sebagai dasar larangan poligami. Berdasarkan ayat ini tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Sementara dalam kenyataan poligami mengakibatkan sulit sekali melahirkan kehidupan yang harmonis dan tentram antara suami, istri-istri dan anak-anak, apalagi kalau harta peninggalan suami ketika meninggal sangat terbatas, demikian Al Hadat. Akan halnya dengan poligami nabi Muhammad SAW, menurut Al Hadat bukan tasyri’ bagi umatnya. Poligami yang beliau lakukan adalah sebelum adanya tahdit (upaya pembatasan jumlah istri yang boleh dikawini hanya maksimal empat orang). Pemikir lainnya yang mengharamkan poligami adalah Habib Burogaibah. Mantan presiden Tunisia menjelaskan bahwa, larangan poligami adalah satu pembaharuan yang sudah lama menjadi tuntutan. Poligami adalah hal yang tidak mungkin diijinkan pada abad ke 20 dan tidak mungkin dilakukan seorang yang mempunyai pikiran benar. Keluarga adalah tonggak masyarakat, dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai antara pasangan. Salah satu upaya untuk saling menghormati dan menghargai ini adalah dengan nikah monogami. Karena itu, poligami bukan hanya ingin mengangkat harkat dan martabat, tetapi lebih dari itu untuk menciptakan saling menghargai dan menghormati antara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik. Sejalan dengan pemikiran kedua tokoh tersebut, bahwa hukum poligami adalah dilarang, ada tiga undang-undang hukum keluarga muslim yang melarang tentang poligami yaitu Turki, Libanon dan Tunisia. Turki adalah Negara muslim pertama yang melarang poligami secara mutlak dengan lahirnya undang-undang sipil Turki tahun 1926. Sementara Libanon melarang dengan undang-undang nomer 24 tahun 1988. Sejalan dengan masyarakat Turki dan masyarakat Libanon, Tunisia dengan undang-undang keluarga yang ditetapkan tahun 1957 oleh presiden Habib Bourguibi, melarang poligami secara mutlak, dan menghukum orang yang melanggar aturan poligami. Adapun alasan yang digunakan Tunisia untuk melarang berpligami adalah surat al-Nisa ayat 3, yakni mustahil seorang suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya padahal kriteria itu yang menjadi syarat mutlak bolehnya poligami.
20
F. KESIMPULAN Semua orang perlu memahami dan berfikir jernih bahwa sebelum menikah lagi seorang pria harus meyakinkan diri, apakah dia dapat atau tidak dapat menyediakan segala sesuatu yang diperlukan oleh istri-istrinya nanti. Terkait dengan kewajibankewajiban dalam perkawinan lebih dari seorang istri, seorang laki-laki yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya, sudah seharusnya tidak memaksakan diri untuk menambah beban finansial dan emosionalnya dengan menikahi lebih dari seorang perempuan.
Daftar Pustaka Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana. Jakarta. 2006. Ali, Asghar Engineer. Hak-hak Perempuan Dalam Islam, Yogyakarta: LSPPA 2000. Amiur Nuruddin, azhari Akmal Tarigan, hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI, Prenada Media. Jakarta. 2004. Anderson, J. N. D. Hukum Islam di Dunia Modern, ter, Machnun Husein. Surabaya: Amarpress, 1990. Bintusy, Aisyah Syathi DR. Istri-istri Nabi : Fenomena Poligami Dimata Seorang Tokoh Wanita. Bandung Pustaka Hidayah, 2001. Jones, Jamilah. Abu Aminah Bilal Philips. Monogami dan Poligami Dalam Islam, Jakarta: Sri Gunting, 2001. Khairuddin Nasution, et. al. Dialog : Jurnal Penelitian dan Informasi Keagamaan, Jakarta badan litbang Agama dan Diklat Keagamaan. 2002. Najwah, Nurun. Relasi Ideal Suami Istri. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga. 2002. Nasution, Khoiruddin. Riba dan poligami: Studi Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta: AKADEMIKA dan Pustaka Pelajar, 1996. Subhan, Zaituna Dr. Hj. Relasi Ideal Suami Istri. Yogyakarta. LKiS, 1999. Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat. Bandung: Mizan 1996.
21