Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an
POLIGAMI DALAM AL-QUR’AN Oleh Rohmat* Abstraksi Poligami merupakan kebudayaan masyarakat yang telah ada sebelum Islam. Poligami telah menjadi bagian yang integral dalam peradaban manusia tidak saja dalam masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliyah), tetapi juga dalam masyarakat Cina Kuno, Persi, Rumawi dan masyarakat Babilonia. Poligami dalam Islam, sebagaimana disebutkan al-Qur‟an dengan lafadz matsna wa tsulatsa wa ruba‟ adalah kalimat hitungan yang menunjukkan jumlah bilangan : dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Dan huruf athf (wawu) yang mengikutinya tidak berfungsi sebagai li al-jam‟i, tetapi berfungsi sebagai kata “aw” yang berarti al-takhyir, memilih. Pengungkapan bilangan dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dalam ayat jelas menunjukkan bilangan istri yang boleh dikawini, jadi bukan penggambaran atas pentingnya satu istri. Batas paling banyak perempuan yang boleh dikawin adalah 4 orang. Alasan apapun yang intinya menambahkan bilangan tersebut baik melalui sandaran itba‟ Nabi ataupun alasan melalui analisis struktur bahasa dipersamakan dengan perbuatan haram. Jika perempuan pertama yang hendak dipoligami berkriteria perawan dan tidak yatim, maka tidak boleh berpoligami, tetapi jika perempuan itu yatim baik memiliki anak ataupun tidak maka ia diperbolehkan poligami sampai pada empat orang istri. Dengan demikian dapat diketahui bahwa melalui kriteria bilangan sesungguhnya poligami memiliki peran signifikan dalam membangun kehormatan dan kebahagiaan hidup kaum wanita. Kata kunci : Poligami dan Al-Qur‟an Pendahuluan Sebagai agama yang berusaha mentransformasi sebuah nilai sosial, Islam akan selalu diperbandingkan dengan tradisi, budaya, sistem nilai masyarakat sebelumnya. Telah dimaklumi bersama bahwa keadaan masyarakat pra Islam penuh dengan nilai-nilai sosial yang sangat tidak beradab dan jauh dari dimensi keadilan. Islam datang untuk memperbaiki keadaan tersebut. Oleh karena itu, menjadi wajar jika sebuah perubahan ke *
Dosen Tetap Fakultas Syari‟ah dan pembantu Dekan III Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Tribakti (IAIT) Kediri
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
1
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an arah yang baru harus memberikan sebuah sistem nilai yang tidak saja baru, tetapi juga menyiratkan nilai kemanfaatan yang lebih menyeluruh. Poligami merupakan kebudayaan masyarakat yang telah ada sebelum Islam. Poligami telah menjadi bagian yang integral dalam peradaban manusia tidak saja dalam masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliyah), tetapi juga dalam masyarakat Cina Kuno, Persi, Rumawi dan masyarakat Babilonia. Dalam kaitannya dengan poligami, Islam menanggapinya dengan memberikan penjelasan-penjelasan tegas yang lebih mengacu kepada nilai-nilai luhur kemanusiaan dan berpihak pada keadilan sosial. Ayat Poligami dalam Al-Qur’an Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa poligami merupakan salah satu bentuk perkawinan di mana seorang suami dalam waktu yang bersamaan mempunyai lebih dari seorang istri. Sebagai salah satu bentuk perkawinan, maka akan lebih runtut jika penelusuran terhadap ayat poligami ini didahului dengan penelusuran terhadap ayat-ayat alQur‟an yang berkaitan dengan perkawinan. Di samping itu, penelusuran tersebut menjadi keharusan metodologis di mana pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan tematis. Al-Qur‟an menyebutkan istilah perkawinan dengan kata nikah dan zauj. Kedua kata tersebut dengan berbagai musytaq-nya ditemukan banyak sekali dalam al-Qur‟an. Jika diperbandingkan antara keduanya kata nikah dan musytaq yang muncul darinya lebih spesifik kepada pengertian pernikahan atau perkawinan. Sedangkan kata zauj dengan segala musytaqnya mempunyai makna bermacam-macam, di antaranya adalah istri, perkawinan, pasangan, dan sebagainya. Zauj juga dapat ditujukan kepada selain manusia, seperti hewan dan tumbuhan. Oleh karena itu, penyebutan zauj lebih banyak dari nikah. 1 Namun dalam arti hukum, al-Qur‟an sering menggunakan dengan istilah nikah. Banyaknya kedua istilah tersebut dicantumkan dalam al-Qur‟an mengindikasikan bahwa persoalan perkawinan merupakan persoalan yang penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Al-Qur‟an memberikan beberapa peraturan mengenai perkawinan dengan tujuan agar perkawinan benar-benar menjadi sarana yang dapat menciptakan kebahagiaan manusia. Dalam surat al-Nisa‟: 22 disebutkan: 1
Untuk lebih ringkas mengetahui beberapa perbedaan tersebut, lihat Abd alBaqi, Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al-Karim, Cet. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1992).
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
2
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an
ٗال تْنح٘ا ٍب ّنح آثبئنٌ ٍِ اىْسبء إال ٍب قذ سيف Artinya: “Janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau.”2 Islam mengatur bahwa seseorang haruslah mengawini wanita lain bukan wanita yang telah menjadi istri dari bapak orang tersebut. Kalaupun memang harus dengan wanita tersebut hendaklah setelah wanita tersebut dicerai oleh bapaknya pada masa yang telah lama. Di dalam ayat berikutnya (al-Nisa‟: 23) dijelaskan pula wanitawanita yang haram dikawini, di antaranya adalah ibunya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, saudara-saudara bapaknya, saudara-saudara ibunya, anak dari saudaranya yang laki-laki, anak dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusuinya, mertuanya, anak dari istrinya yang berada dalam pemeliharaannya, demikian seterusnya.3 Pengaturan tentang bagaimana memilih calon istri, surat al-Nur: 3 memberikan penegasan:
، اىضاٍّخ ال ٌْنحِ إال صاُ أٗ ٍششك، اىضاًّ ال ٌْنح إال صاٍّخ أٗ ٍششمخ ٍٍِْٗحشً رىل عيى اىَؤ Artinya: “Laki-laki yang pezina tidak mengawini kecuali perempuan yang pezina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang pezina tidak mengawini melainkan laki-laki yang pezina atau yang musyrik. Yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.”4 Dalam ayat yang lain namun masih dalam surat yang sama, al-Nur: 32, al-Qur‟an menganjurkan untuk memilih orang-orang yang sendirian:
إُ ٌنّ٘٘ا فقشآء، ٌٗاّنح٘ا األٌبٍى ٍْنٌ ٗاىصبىحٍِ ٍِ عجبدمٌ ٗإٍبئن ٌٔغٌْٖ هللا ٍِ فضي Artinya: “Dan kawinkanlah orang-rang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak kawin dar hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.”5 2
Depag. Depag. 4 Depag. 5 Depag. 3
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
3
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Dalam surat al-Baqarah: 230, al-Qur‟an juga mengatur bagaimana sebuah perkawinan mengalami peceraian:
ٓفئُ طيقٖب فال تحو ىٔ ٍِ ثعذ حتى تْنح صٗجب غٍش Artinya: “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sehingga dia kawin dengan suami yang lain.”6 Al-Qur‟an juga menjelaskan bagaimana mengatur harta setelah terjadi perceraian atau pergantian istri. Hal tersebut ditampilkan dalam surat al-Nisa‟: 20.
ٍْٔ ٗإُ أسدتٌ استجذاه صٗد ٍنبُ صٗد ٗآتٍتٌ إحذإِ قْطبسا فال تأخزٗا أتأخزّٗٔ ثٖتبّب ٗإحَب ٍجٍْب، شٍئب Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?.” 7 Mengawini wanita yang yatim dalam al-Qur‟an pun ditegaskan. Yakni pada surat al-Nisa‟: 127.
ِٕ٘ فً ٌتبٍى اىْسبء االتً ال تؤتِّٖ٘ ٍب متت ىِٖ ٗتشغجُ٘ أُ تْنح... ٗاىَستضعفٍِ ٍِ اى٘ىذاُ ٗأُ تقٍ٘٘ا ىيٍتبٍى ثبىقسظ ٍٗب تعَي٘ا ٍِ خٍش فئُ هللا مبُ ثٔ عيٍَب Artinya: “…(Allah juga memfatwakan) tentang para perempuan yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa-apa (pusaka dan maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan Allah (enyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah maha mengetahuinya.”8 Dalam ayat yang lain, surat al-Nisa‟: 3, pembicaraan tentang pengaturan bagaimana mengawini anak yatim dipotret secara tegas. 6
Depag. Depag. 8 Depag. 7
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
4
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an
ٗإُ خفتٌ إال تقسط٘ا فً اىٍتبٍى فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى رىل أدّى إال تع٘اى٘ا، ٌ فئُ خفتٌ إال تعذى٘ا ف٘احذح أٗ ٍبٍينت أٌَبّن، ٗحالث ٗسثبع )3 : (اىْسبء Artinya:“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang baik menurut kamu, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah satu orang saja, atau kamu memperistri budak-budak (perempuan) yang kamu miliki. Yang demikian itu (mengawini seorang istri atau mengambil budak-budak jadi istri) lebih dekat untuk tidak berbuat curang atau dzalim.”9 Ayat di atas di samping bertema tentang perhatian terhadap perempuan yatim juga menampilkan tema tentang perkawinan poligami atau beristri lebih dari satu secara bersamaan. Setelah diungkap secara panjang lebar ayat-ayat tentang perkawinan, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut memberikan pedoman bagi seorang muslim dalam melakukan perkawinan. Pedoman tersebut secara gamblang mengatur bagaimana kriteria wanita-wanita yang boleh dan tidak boleh dikawini, bagaimana cara Islam mengatur perceraian dan mengatur keinginan untuk kawin lagi serta mengatur harta yang telah diberikan kepada istri yang telah diceraikannya, bagaimana al-Qur‟an menaruh perhatian besar kepada para wanita yatim dan berbuat adil kepadanya apalagi jika perempuan yatim tersebut ingin dikawinnya, serta bagaimana pula melakukan perkawinan dalam bentuk poligami. Dari penelusuran terhadap ayat-ayat perkawinan di atas ditemukan bahwa ayat yang menjelaskan tentang poligami termaktub dalam surat alNisa‟: 3, yang artinya: “Maka kawinilah perempuan-perempuan yang baik menurut kamu, dua, tiga atau empat.” Pengungkapan itu bersamaan dengan pengungkapan tentang pemenuhan hak keadilan terhadap perempuan yatim. Dalam ayat tersebut poligami dapat dilakukan jika memenuhi dua persyaratan, yaitu tidak boleh lebih dari empat, yang artinya dapat menambah istri menjadi dua, tiga atau empat secara bersamaan, dan harus bersikap adil terhadap istri-istri tersebut. Asbab al-Nuzul Ayat poligami yang tertuang dalam surat al-Nisa‟: 3, sesungguhnya merupakan rangkaian penjelasan dalam sebuah tema sentral pengayoman 9
Depag.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
5
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an dan pemeliharaan serta pemenuhan hak anak yatim secara adil. Ayat poligami tersebut berhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya. Oleh karena itu terdapat beberapa versi mengenai turunnya ayat tersebut, yaitu: Diriwayatkan: Ada seorang laki-laki dari Ghathafan membawa harta yang banyak sekali, milik keponakannya yang yatim (tidak berayah). Setelah si anak menginjak dewasa, harta tersebut dimintanya, tetapi ditolak. Lalu hal tersebut diadukannya kepada Nabi SAW. Kemudian turunlah ayat kedua dari surat al-Nisa‟:10
ٗال تأمي٘ا أٍ٘اىٌٖ إىى،ٗآت٘ا اىٍتبٍى أٍ٘اىٌٖ ٗال تتجذى٘ا اىخجٍج ثبىطٍت إّٔ مبُ ح٘ثب مجٍشا، ٌأٍ٘اىن Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”11 Diriwayatkan dari „Aisyah R.A: Ada seorang pria yang sedang memelihara seorang anak perempuan yatim, lalu dikawininya. Si yatim itu mempunyai nama yang cukup baik. Dia tetap berada di bawah kekuasaan pria tersebut, tetapi tidak diberi hak sesuatu apapun. Demikian kemudian turun ayat ketiga surat al-Nisa:12
ٗإُ خفتٌ أال تقسط٘ا فً اىٍتبٍى فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى رىل أدّى أال تع٘ى٘ا، ٌ فئُ خفتٌ أال تعذى٘ا ف٘احذح أٍٗبٍينت أٌَبّن، ٗحالث ٗسثبع Artinya: “Dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya”.13 Diriwayatkan dari Ibn „Abbas: mereka (para wali) itu sedang mempermainkan harta anak yatim dan kepada istri-istri yang mereka kawini. Mereka kadang-kadang berbuat adil dan kadang-kadang pula berbuat tidak adil. Ketika mereka bertanya tentang anak yatim, turunlah 10
Al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, Cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), 94. Depag. 12 Al-Naisaburi, Op. Cit., 95. 13 Depag. 11
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
6
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an ayat kedua dan ketiga dari surat al-Nisa‟. Demikian lalu mereka takut kepada perempuan itu lantaran tidak dapat berlaku adil. Mereka tidak dapat memenuhi lebih banyak atas hak mereka karena perempuan-perempuan itu seperti anak yatim dari segi kelemahan dan ketidakberdayaannya.14 Bukhari dari „Urwah ibn Zubair. Sesungguhnya dia pernah bertanya kepada „Aisyah tentang firman Allah: “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim….(al-Nisa‟: 3)”. Kemudian „Aisyah menjawab: Hai anak saudaraku! Si yatim ini berada di pangkuan walinya, dan hartanya menjadi satu. Si wali tersebut tertarik akan harta dan kecantikan wajahnya. Lalu ia berkehendak mengawininya, tetapi dengan cara tidak adil tentang pemberian maskawinnya. Dia tidak mau memberinya seperti yang diberikan kepada orang lain. Maka mereka dilarang berbuat demikian, kecuali harus berlaku adil terhadap istriistrinya, padahal mereka biasa memberi maskawin yang cukup tinggi. Akhirnya „Aisyah menyuruh mereka mengawini perempuan-perempuan yang cocok dengan mereka, selain anak-anak yatim tersebut. 15 Melihat sebab turunnya ayat, latar belakang lahirnya ayat tersebut didahului oleh beberapa kasus yang berbeda-beda tetapi menyatu dalam satu tema yaitu bagaimana mengayomi dan berlaku adil terhadap anakanak yatim dan memberikan haknya sebagaimana mestinya. Berdasarkan latar belakang itu pula maka ayat kedua, ketiga dan keempat dari al-Nisa‟ menerangkan akan pentingnya keadilan hak terhadap anak yatim atau perempuan yatim terhadap beberapa keadaan, di antaranya: Harta seorang anak yatim tidak boleh dicampur dengan harta orang lain termasuk saudaranya atau kerabatnya.16 Perbuatan mencampurkan harta anak yatim dengan yang lainnya termasuk dalam kategori mencampurkan harta yang bersih dengan yang kotor jika dilakukan dengan tanpa seijinnya.17 Perempuan yatim yang telah menjadi istrinya tidak secara otomatis diperlakukan dengan tidak mempedulikan hak yang dimilikinya, terutama harta yang dimilikinya.18 14
Al-Naisaburi, Op.Cit., 95. Diambil dari Al-Shabuni, Rawa’iul Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur’an, Vol. I (TP: TT), 423. 16 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, tt), 225. 17 Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 423. 18 Hamka, Tafsir…, 226. 15
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
7
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Seseorang yang ingin mengawini perempuan yatim tetapi khawatir tidak dapat berbuat adil, maka hendaknya memilih wanita lain (bisa yang non-yatim) sebanyak dua, tiga atau empat.19 Kebutuhan akan banyaknya istri sebagai pengganti dari kekhawatirannya berlaku tidak adil terhadap istri yang yatim menjadi batal jika dalam keadaan seperti itu suami pun tidak dapat berbuat adil.20 Dalam pemberian maskawin seorang suami pun harus memberi keadilan hak terhadap istri yang yatim dalam bilangan dan ukuran walaupun istri yang dikawininya tersebut sejak kecil telah diasuhnya.21 Dengan penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa tema asbab al-nuzul terhadap ayat tidak secara langsung berhubungan dengan justifikasi poligami. Sebab dengan mengacu pada beberapa latar belakang kasus yang melingkupinya tema sentralnya didominasi oleh pengayoman dari pemenuhan dimensi keadilan kepada anak yatim. Namun untuk menjelaskan secara detail tentang dalil akan kemandirian ayat poligami perlu kiranya penelusuran terhadap hubunganhubungan ayat yang satu dengan yang lainnya. Munasabah Ayat Dalam studi „ulum al-Qur‟an diterangkan semua ayat-ayat alQur‟an yang berjumlah 6666 ayat mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula surat-surat dalam al-Qur‟an yang berjumlah 114 mempunyai kesesuaian antar satu surat dengan lainnya. Ayat-ayat dan surat-surat tersebut merupakan satu kesatuan yang masingmasing dengan lainnya saling menjelaskan.22 Dalam ayat ketiga surat alNisa‟ ini hubungan kesesuaian terdapat pada ayat sebelum dan sesudahnya. Walaupun antara ayat kedua, ketiga dan keempat memiliki kasus asbab al-nuzul-nya sendiri-sendiri, namun ia memiliki keterikatan pemahaman. Hal itu dapat dilihat pada ayat kedua surat al-Nisa‟ dijelaskan mengenai harta anak-anak yatim yang menjadi amanah bagi walinya untuk diberikan kembali kepada mereka. Wali bagi seorang anak yatim mutlak diperlukan, mengingat agama Islam senantiasa membangun sistem hukumnya berdasarkan pada kesadaraan dan kemampuan orang yang melakukannya. Istilah baligh dan mumayyis adalah bagian dari kehatihatian hukum Islam dalam megaplikasikan hukum-hukumnya. Seorang Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 424. Hamka, Tafsir…, 226. 21 Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 424. 22 Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an, Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2001), 213. 19 20
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
8
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an anak yatim yang tidak berayah tentu membutuhkan wali yang dapat dijadikan perantara hukum baginya. Namun sebagai wali yang dipercaya untuk menjaga dan melindungi anak yatim yang belum baligh / mumayyis dilarang untuk sewenang-wenang dalam menjaga amanahnya, terutama masalah harta.23 Sehingga ketika anak tersebut menginjak dewasa tidak terkjadi perselisihan paham yang dapat mengakibatkan pertengkaran. 24 Keterkaitannya dengan ayat selanjutnya adalah bahwa ayat yang ketiga tidak membahas secara khusus terhadap harta, tetapi terhadap masalah perkawinan seorang perempuan yatim. Ayat yang kedua merupakan penjelasan susulan yang berhubungan dengan hak seorang yatim dalam perkawinan. Dijelaskan dalam ayat tersebut jika seseorang hendak mengawini perempuan yatim, maka seharusnya unsur keadilan harus diutamakan. Keadilan dimaksud bukan saja keadilan dalam pemisahan harta sebagaimana dijelaskan dalam ayat kedua, tetapi juga keadilan dalam memperlakukan seorang istri perempuan yatim. Dalam hal maskawin maka dia harus disamakan dengan perempuan lainnya, walaupun yang hendak menjadi suaminya adalah seorang wali yang sejak kecil mengasuhnya.25 Kemudian dalam kalimat berikutnya (masih dalam ayat yang sama) dengan agak jauh dari tema, al-Qur‟an mengatakan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil kepada perempuan yatim:
فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبع “…. kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat….”. Penyebutan terhadap kalimat di atas sesungguhnya merupakan gambaran betapa perlu dijunjung tingginya hak bagi keadilan tehadap perempuan yatim. Sehingga mengawini seorang anak perempuan yatim harus lebih hati-hati daripada mengawini perempuan yang tidak yatim, walaupun sesungguhnya dari dimensi kelemahan dan ketak berdayaannya sama.26 Kalimat selanjutnya, masih pada ayat yang sama, disebutkan:
ٌٗإُ خفتٌ أال تعذى٘ا ف٘احذح أٍٗب ٍينت أٌَبّن menekankan pada nilai keadilan yang juga perlu dijunjung tinggi dalam berpoligami (beristri banyak). Kalimat tersebut menyiratkan bahwa Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 425. Al-Thabathaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, Jilid. IV (Beirut: Mu‟assasah alA‟lami li al-Mathbu‟at, 1991), 173. 25 Hamka, Tafsir…, 228 26 Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 419. 23 24
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
9
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an jika kamu tidak dapat berbuat adil maka pilihlah satu saja atau kawin dengan hamba sahaya. Karena mengawini mereka satu orang perempuan atau hamba sahaya tidak menuntut sikap adil yang berlebihan.27 Kesesuaian dengan ayat berikutnya, yaitu ayat keempat surat alNisa‟:
فئُ طجِ ىنٌ عِ شٍئ ٍْٔ ّفسب فني٘ٓ ٍْٕئب، ٗآت٘ا اىْسبء صذقبتِٖ ّحيخ ٍشٌئب Artinya: “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkannya kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”28 Ayat di atas merupakan penjelas susulan juga di mana beberapa larangan yang telah tersebut di atas dapat dibenarkan jika dilakukan dengan melalui ijin dan kerelaan anak yatim. Di antara hubungan ayat tersebut yang paling menarik adalah ayat ketiga yang mencantumkan kalimat:
فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبع karena hubungan yang terjadi dengan kalimat dan ayat berikutnya memiliki hubungan yang sepintas nampak tidak sinkron. Telah diketahui bahwa sesungguhnya tema sentral ketiga ayat dalam al-Nisa‟ tersebut bermuara para pengayoman anak yatim. Tetapi kalimat di atas tiba-tiba seakan bicara tentang tema yang lain yakni poligami. Namun jika diamati secara lebih seksama barangkali penyebutan kalimat di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa memperlakukan keadilan terhadap seorang perempuan yatim lebih utama dari pada menikahi perempuan non yatim sebanyak empat kali. Memahami runtutan kalimat tersebut al-Qur‟an memang menegaskan bahwa jika tidak dapat berbuat adil terhadap istrimu yang yatim, maka kawinlah dengan istri non-yatim sebanyak dua, tiga atau empat. Bukankah ini berarti pemenuhan keadilan terhadap istri yang yatim jauh lebih sulit dari pemenuhan keadilan terhadap istri-istri poligami.29 Dengan pemahaman seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa kalimat فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبعmerupakan 27
Ibid. Depag. 29 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟an al-Hakim, al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar, Cet. IV (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 341. 28
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
10
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an gambaran perbandingan akan luhurnya pemenuhan keadilan terhadap istri yang yatim. Dengan pertimbangan kesusahan hidup yang telah diterimanya sejak kecil. Kalau memang demikian berarti kalimat tersebut bukanlah kalimat yang bersifat haqiqi tetapi majazi. Artinya bahwa dalam konteks ayat tersebut ia hanya sebuah kalimat yang berupa gambaran perbandingan yang digunakan untuk mengilustrasikan pentingnya keadilan bagi seorang istri yang yatim, sekaligus menunjukkan gambaran dalam kesamaan sifat, lemah dan tak berdaya.30 Namun demikian, jika diteliti lebih jauh, kalimat tersebut tidak hanya berfungsi sebagai gambaran perbandingan ataupun gambaran persamaan sifat, tetapi juga dapat menjadi dalil atau landasan hukum yang mandiri bagi kebolehan poligami. Artinya kalimat tersebut dapat pula berfungsi sebagai kalimat haqiqi bukan majazi. Landasan hukum bagi kebolehan poligami tersebut diperkuat dengan adanya beberapa hadits tentang justifikasi prilaku poligami, di antaranya adalah:
اختش ٍِْٖ أسثعب: قذ أسيٌ غٍالُ اىخقفً ٗتحتٔ عشش ّس٘ح فقبه ىٔ اىْجً ملسو هيلع هللا ىلص ًْٗفبسق سبئشِٕ (اىشبفعً ٗأحَذ ٗاىتشٍزي ٗاثِ ٍبجٔ ٗأثً شٍجخ ٗاىذاس قط )ًٗاىجٍٖق Hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk menceraikan yang enam dari istrinya dan menyisakan empat saja sebagai istrinya.31 Artinya umat Islam dibolehkan mengawini perempuan lebih dari satu, dua, tiga atau empat. Dan empat ini merupakan batas maksimal bagi bilangan istri. Hadits lain yang senada dengan itu diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Harits ibn Qais, ia berkata: “Saya telah masuk Islam dan saya mempunyai 8 orang istri”. Setelah itu disampaikan kepada Nabi dan beliau menjawabnya: “Pilihlah di antara mereka empat saja.” Ungkapan Nabi SAW tesebut muncul setelah turunnya ayat ketiga surat al-Nisa‟ tersebut.32 Dalam al-Qur‟an surat al-Nis a‟: 129 pun disebutkan;
ٗىِ تستطٍعُ٘ أُ تعذى٘ا ثٍِ اىْسبء ٗى٘ حشصتٌ فال تٍَي٘ا مو اىٍَو فتزسٕٗب مبىَعيقخ ٗأُ تصيح٘ا ٗتتق٘ا فئُ هللا مبُ غف٘سا سحٍَب Artinya: “Kamu tidak akan sanggup berbuat adil terhadap istriistri kalian, walau kalian sendiri sangat menginginkannya.Karena itu Al-Shabuni, Rawa‟i‟…, 419. Ibn Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997), 172. 32 Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Kairo: al-Maktabah al-Arabiyah, 1967), 17. 30 31
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
11
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”33 Ayat ini menegaskan adanya hubungan yang berupa penjelas tentang makna keadilan yang diungkap dalam ayat ketiga surat al-Nisa‟ yang berbunyi
فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبع ٗإُ خفتٌ أال تعذى٘ا ٌف٘احذح أٍٗب ٍينت أٌَبّن Hubungan kesesuaian antara ayat ke-3 dan ke-129 dalam surat alNisa‟ ini,34 di mana keadilan yang dipersyaratkan bagi prilaku poligami dijabarkan sebagai keadilan yang tidak mungkin dapat diwujudkan. Artinya bahwa semaksimal apapun upaya dilakukan manusia, keadilan terhadap istri-istri tidak dapat direalisasikan karena keadilan dalam dalam konteks poligami berada dalam wilayah Allah bukan manusia. Keadilan manusia hanya ada pada wilayah empirik saja. Kedua ayat tersebut merupakan bukti adanya kesesuaian antar keduanya yang memposisikan dirinya sebagai ayat yang berupa pernyataan di satu sisi dan sebagai penjelasan di sisi yang lain. Dengan demikian kemandirian ayat poligami menjadi sesuatu yang tidak dapat dibantahkan sebagai satu term hukum dalam ajaran Islam. Dengan melihat beberapa hadits dan ayat al-Qur‟an di atas maka nampak bahwa kalimat فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبعmerupakan kalimat yang bukan digunakan sebagai penggambaran, tetapi benar-benar dalil hukum yang berdiri sendiri yang tentunya mempunyai otoritas pemberlakuannya sendiri. Keberadaannya dalam ayat ketiga surat al-Nisa‟ merupakan perbandingan hukum yang diekspresikan dalam rangka menjunjung tinggi harkat perempuan yatim secara adil yang telah diremehkan oleh masyarakat Jahiliyah selama berabad-abad.35 Kriteria Adil dan Bilangan (Batasan) 1. Makna Keadilan dalam Poligami 33
Depag. Keterkaitan kedua ayat di atas, dalam pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas tentang makna keadilan itu sendiri, tetapi hanya sekedar membuktikan adanya keterkaitan keduanya. Uraian mengenai makna keadilan tersebut dijelaskan dalam pembahasan setelahnya. 35 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. 4, (Mesir: Dar al-Manar, 1374), 347-348. 34
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
12
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Dalam surat al-Nisa‟ ayat tiga dijelaskan bahwa syarat utama dalam berpoligami adalah terjaganya unsur keadilan. Penyebutan tentang keadilan tersebut diungkapkan setelah al-Qur‟an menuliskan “Nikahilah oleh kamu sekalian wanita-wanita yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” Al-Qur‟an menuliskannya dengan “Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil maka kawinilah satu saja.” Artinya jika dengan keempat istri tersebut suami tidak dapat berbuat adil, maka dianjurkan untuk satu orang istri saja. Melihat kalimat tersebut, maka makna keadilan menjadi penting untuk dikaji, terutama dalam menentukan konsep dan standar perbuatan dapat dikatakan adil. Secara semantik kata „adl mempunyai arti sesuatu yang disepakati oleh banyak orang sebagai sesuatu yang lurus. Misalnya; „adala al-hakim fi al-hukm, hakim telah bertindak adil dalam menghukumi.36 Sementara kata qisth berarti sesuai. Huwa muqsith idza „adala, dia telah melakukan tindakan yang sesuai (tepat) ketika telah berbuat adil.37 Menurut Muhammad Syahrur, kata qisth memiliki persamaan arti dengan „adl, namun memiliki perbedaan dalam penekanannya terhadap sekup yang melingkupinya. Kata qisth memiliki aksentasi pada pemerataan terhadap satu pihak saja. Sedangkan kata „adl menekankan pada pemerataan terhadap dua pihak. Dua pihak yang berbeda itu dikatakan adil jika keduanya memiliki kesesuaian, kesamaan. Keadilan adalah jika A = B. Jadi makna „adl lebih luas cakupannya daripada makna qisth. Aplikasi dalam ayat ketiga surat al-Nisa‟, Syahrur menafsirkan bahwa kata qisth dalam kalimat:
ٗإُ خفتٌ أال تقسط٘ا فً اىٍتبٍى mempunyai arti bahwa perbuatan tidak pilih kasih terhadap satu kelompok yaitu anak-anak yatim. Sedangkan kata „adl dalam kalimat:
ٌٗإُ خفتٌ أال تعذى٘ا ف٘احذح أٍٗب ٍينت أٌَبّن mengindikasikan makna keadilan (tindakan tidak pilih kasih) terhadap banyak kelompok yang berupa istri-istri dan anak kandungnya sendiri serta anak-anak yang dibawa oleh istri-istrinya. Oleh karena itu menurut Syahrur makna keadilan dalam kaitannya dengan ayat poligami ini adalah sebuah tindakan untuk memenuhi semua kebutuhan material dan immaterial terhadap semua istri-istrinya, anak-anaknya dan anak-anak yang dibawa oleh istri-istrinya. 38 36
Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab, Juz 11 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 430. Ibid., Juz 7, 377. 38 Ibid., 599. 37
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
13
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Mengenai keadilan tersebut, Quraisy Syihab agak senada dengan Syahrur. Ia mengatakan keadilan mutlak harus dipenuhi oleh seorang pelaku poligami. Keadilan yang diungkap dalam ayat 3 menunjukkan keadilan dalam bidang material, sedangkan keadilan yang dimaksud dalam ayat 129:
ٌٗىِ تستطٍعُ٘ أُ تعذى٘ا ثٍِ اىْسبء ٗى٘ حشصت adalah bidang immaterial (cinta).39 Berangkat dari dua unsur yang harus dipenuhi dalam keadilan tersebut, Syihab berpendapat bahwa poligami berstatus bukan sebuah anjuran, apalagi kewajiban, tetapi ia hanya mubah yang merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.40 Sementara menurut Rasyid Ridha, keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah keadilan yang muncul dari dalam kesadaran seseorang dalam melihat kemampuan dirinya baik kemampuan material ataupun immaterial. Artinya jika seseorang telah yakin dalam dirinya untuk dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka poligami dibolehkan.41 Namun bersamaan dengan itu pula, Rasyid Ridha menyarankan agar berhati-hati. Sebab adanya fenomena budaya yang sekarang berkembang akan mengantarkan keluarga poligami kepada ruang di mana tingkat sensitivitas antar berbagai pihak sangat tinggi. Keretakan rumah tangga dapat memberikan dampak negatif bagi runtuhnya sendi-sendi masyarakat dalam berbangsa dan bertanah air.42 Keadilan yang diukur dengan keyakinan disepakati pula oleh Yusuf Qardhawi. Persyaratan keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut (alNisa‟: 3) menurutnya, adalah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. 43 Lebih lanjut, ia juga menjelaskan ketidak-adilan dalam berpoligami terjadi manakala terjadi kecondongan dalam hal yang bersifat material. Karena kecondongan seperti ini sama artinya dengan meremehkan hak-hak istri. Kecondongan terhadap hal-hal yang tidak bersifat material, yang berupa kecondongan hati, bukan masuk dalam wilayah keadilan. Sebab Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat, Cet. III, (Bandung: Mizan, 1996), 201. 40 Ibid., 200. 41 Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, 348. 42 Ibid., 349. 43 Yusuf Qardhawi, Halal, 260. 39
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
14
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an kecondongan hati tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh karena itu firman Allah SWT yang berbunyi: فال تٍَي٘ا مو اىٍَوini diartikan olehnya asalkan tidak terlalu condong kepada istri tertentu.44 Al-Shabuni dalam tafsirnya, Rawa’i’ul Bayan, Tafsir Ayat alAhkam min al-Qur’an, tidak secara detail mendefinisikan makna keadilan. Dalam kaitannya dengan poligami, ia mengatakan poligami merupakan tuntutan hidup bahkan merupakan kebanggaan Islam. Sebab di dalam poligami terdapat hikmah yang besar, yaitu persoalan perwalian anak, perselingkuhan, pelacuran, seks bebas yang menjangkiti negaranegara maju.45 Melihat tidak tercovernya secara tegas akan makna keadilan dalam poligami dan adanya uraian panjang lebar mengenai manfaat dan hikmah poligami, dapat disimpulkan bahwa Al-Shabuni sangat respek terhadap adanya prilaku poligami. Dengan demikian menurut Al-Shabuni keadilan bukan menjadi syarat utama dalam berpoligami. Menurut pendapat „Abd al Muta‟al Sha‟idi, unsur keadilan dalam berpoligami sangat tidak mungkin direalisasikan. Dia mengambil surat alNisa‟: 129 sebagai ketidak-mungkinan seseorang berbuat adil terhadap istri-istrinya.46 Dengan ketidak-mungkinan tersebut, menurutnya, poligami dihukumi sebagai tercela (makruh). Meskipun jika poligami dihukumi boleh, kebolehan itu bukanlah kebolehan yang bersih dari bau-bau haram. Pemikirannya tentang hak tersebut dipengaruhi oleh pemikiran Syihab al-din Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Rabi‟ dalam bukunya Suluk al-Malik fi Tadrib al-Mamalik, di mana dijelaskan dalam buku tersebut tentang pesan-pesannya. Di antara pesan-pesan tersebut terdapat ajakan untuk membatasi dirinya semaksimal mungkin untuk beristri tidak lebih dari satu. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa seseorang yang hendak selamat hendaknya meninggalkan prilaku poligami.47 Barangkali pendapat Mahmud Syalthuth yang paling detail dalam mendeskripsikan pengertian keadilan dalam poligami. Bertolak dari ayat 3 dan 129 dalam surat al-Nisa‟, ia berpendapat bahwa ayat Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil.. mengindikasikan makna adil secara keseluruhan baik terhadap keadilan yang dapat dikuasainya ataupun tidak. Terhadap keadilan seperti ini tentu masyarakat Islam merasa berat mengingat terdapat banyaknya seuatu yang berada di luar kemampuannya. 44
Ibid., 261. Al-Shabuni, Tafsir, 364. 46 Abdul Muta‟al Sha‟idy, Mengapa Saya Memeluk Agama Islam?, terj. J. Bachtiar Affandie, Cet. II, (Jakarta: CV Jasana, tt.), 41. 47 Ibid., 42. 45
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
15
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Ayat ini masih bersifat „amm. Sebagai takhshish-nya turun ayat yang kedua yang memberikan peunjuk terhadap ayat pertama. Hal ini, menurutnya, al-Qur‟an memberikan gambaran tentang keadilan yang lebih ringan daripada yang ada dalam pikiran umat Islam. Artinya keadilan itu dapat dilakukan manusia asalkan manusia tidak cenderung kapada salah seorang dari mereka dan dibiarkannya yang lain terlantar.48 Makna adil dalam poligami, menurut Syalthuth bersifat perseorangan. Ayat Jika kamu tidak sanggup berbuat adil, maka hendaklah satu, menurutnya mengandung makna implisit yang menekankan pada tindakan yang bersifat individual, di sekitar masalah yang tidak dapat diketahui orang lain. Oleh karena itu pemenuhan unsur keadilan bertolak dari hati dan jiwa pelakunya sendiri. Karena pelakunya sendiri yang mengetahui tujuan dan cita-cita poligami tersebut. Dan dia pulalah yang paling mengerti tentang ukuran atau standar keadilan. Bukannya orang lain.49 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa makna adil (keadilan) dalam berpoligami berbeda-beda penekanannya. Sebagian mereka mengatakan keadilan dalam poligami menjadi sesuatu yang sulit dilakukan bahkan nyaris tidak mungkin. Sedangkan menurut kelompok lain dianggap sebagai sesuatu yang tidak rumit bahkan dijadikannya sebagai unsur yang tidak utama. Perbedaan tersebut sesungguhnya berpangkal pada lingkup keadilan itu sendiri yang meliputi keadilan dalam hal material dan immaterial. Keadilan material dapat diwujudkan melalui pemenuhan terhadap kebutuhan makanan, minuman, pakaian, rumah, tempat tidur maupun nafkah baik terhadap istri-istrinya, anak-anaknya dan anak-anak yang dibawa oleh istri-istrinya. Sedangkan keadilan immaterial diwujudkan melalui pembagian kasih sayang, perhatian dan kebutuhan perasaan lainnya kepada istri-istri dan anak-anaknya. Terhadap poin yang terakhir inilah mereka berselisih dalam menjustifikasi poligami. Mereka yang berasumsi poligami sebagai sesuatu yang sulit terjadi didasarkan pada tidak mungkinnya pembagian kasih sayang (cinta) dan perhatian terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, karena keadilan immaterial tersebut merupakan sesuatu yang sangat bersifat perasaan yang tidak diketahui bentuk empiriknya. Sedangkan menurut mereka yang menganggap poligami sebagai sesuatu yang mungkin, keadilan immaterial poligami didasarkan pada dua alasan. 48 49
Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari‟ah Islam, 198. Ibid., 199.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
16
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an Pertama, ketidak-adilan terhadap sesuatu yang bersifat immaterial merupakan sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia. Tindakan yang menurutnya adil, belum tentu dirasakan sebagai adil oleh penerimanya. Kaena tidak berujud benda yang dapat diukur dan ditimbang. Keadilan dalam konteks immaterial ini masuk dalam wilayah Allah bukan manusia. Allah sendiri yang tahu apakah tindakan tersebut adil atu tidak. Kedua, keadilan immaterial bersifat sangat personal di mana hanya pelaku poligami saja yang mengetahui bagaimana ia berbuat semaksimal mungkin merealisasikan keadilan dalam rumah tangganya. Jika seseorang telah yakin dapat melakukan perbuatan adil dan keyakinan tersebut diempiriskan dalam bentuk material, maka cukup baginya dikategorikan telah berbuat adil. Oleh karena itu kriteria keadilan poligami sesungguhnya diukur secara empiris dan psikologis. Empiris dilakukan untuk mengukur sebuah kemampuan material, sedangkan psikologis digunakan untuk mengukur kemauan. Terhadap sesuatu yang berada diluar kemampuan dan kemauan manusia diserahkan kepada Allah. Nabi Muhammad sendiri berdoa karena tidak sanggup berbuat adil kepada istri-istrinya. Bagaimana dengan umatnya? Firman Allah yang secara tegas membolehkan poligami (al-Nisa‟: 3) mencerminkan bahwa manusia dapat berbuat adil. Sedangkan firman Allah yang lain (al-Nisa‟: 129) melukiskan bahwa keadilan tersebut bukanlah keadilan yang bersifat immaterial. Sebab jika ayat kedua tersebut (al-Nisa‟: 129) itu dianggap sebagai pembatalan hukum (nasikh) atas poligami lantaran tidak mungkinnya manusia dapat berbuat adil dan penyebutannya dalam al-Nisa‟: 3 hanya sebagai gambaran perbandingan atas keluhuran bersikap adil terhadap perempuan yatim, maka dalil pembolehan poligami dalam al-Nisa‟: 3 mestinya tidak perlu disebutkan. Dan seharusnya pula Tuhan memerintahkan pelarangan poligami tersebut pada awal masa Islam. Hal tersebut tentu saja sulit dipahami sebab secara realistis-empiris, Nabi SAW telah menegaskan kepada para shahabatnya tentang pembolehan poligami sampai empat orang istri. Oleh karena itu, sesungguhnya prilaku poligami sangat dibolehkan dalam Islam dan prasyarat keadilan yang menyertainya adalah persyaratan keadilan yang bersifat material, bukan imaterial, yang sangat memungkinkan untuk dilakukan oleh semua orang. 2. Kriteria Bilangan. Masalah bilangan (batasan) dalam ayat poligami disebutkan dengan matsna wa tsulatsa wa ruba‟, yang artinya dua, tiga atau empat. Secara Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
17
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an bahasa maksud matsna wa tsulatsa wa ruba‟ merupakan kalimat hitungan, yang masing-masing menunjukkan bilangan yang disebut itu. Matsna berarti dua, dua; tsulatsa berarti tiga, tiga; dan ruba‟ berarti empat, empat. Jadi maksud ayat فبّنح٘ا ٍب طبة ىنٌ ٍِ اىْسبء ٍخْى ٗحالث ٗسثبعadalah “Kawinilah prempuan-perempuan yang kamu sukai, sesukamu; dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat.”50 Dalam gramatikal bahasa Arab ketiga kata ٍخْى ٗحالث ٗسثبع mengikuti dua wazn , ٍخْىmengikuti wazn ٍفعوsedangkan kata ٗحالث ٗسثبع mengikuti فعبه. Kedua wazn itu mempunyai fungsi li al-salbiyyah, pengulangan. Jadi ketika kata tersebut mempunyai arti dua-dua, tiga-tiga dan empat-empat. Sedangkan huruf wawu yang menjadi kata sambung dari ketika kata tersebut berfungsi sebagai li al-tafshil, yang menunjukkan pada makna al-takhyir, memilih.51 Boleh dua secara bersamaan, boleh tiga secara bersamaan dan juga boleh empat secara bersamaan. Sedangkan menurut Zamakhsyari, ucapan itu ditujukan kepada orang banyak, yang harus diulang supaya masing-masing orang yang hendak berpoligami mengikuti hitungan itu. Ia menganalogikan dengan ungkapan “Bagilah uang ini (1000 dirham misalnya) dua dirham-dua dirham, tiga dirham-tiga dirham atau empat dirham-empat dirham.” Ini maknanya setiap orang mendapat dua dirhaman, tiga dirhaman atau empat dirhaman.52 Dalam tafsir Qurthubi disebutkan bilangan tersebut tidak menunjukkan kebolehan beristri sebanyak sembilan, walaupun Nabi SAW memiliki istri sembilan orang.53 Beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa bilangan tersebut disisipi huruf wawu „athf yang berfungsi li aljam‟i sehingga jika ditulis menjadi 2 + 3 + 4 = 9 menurut al-Shabuni dianggap sebagai buta struktur bahasa. Oleh karena itu bagi orang yang memaksa berpoligami lebih dari empat (9 orang) dianggap sebagai tindakan haram.54 Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama. Agak berbeda dengan umumnya intelektual muslim, Syihab, dalam menafsirkan “dua, tiga atau empat”, adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Ia menganalogikan ayat ini pada ungkapan “Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja 50
Al-Shabuni, Rawa‟i‟, 361. Al-Thabathaba‟i, al-Mizan…, 173. 52 Zamakhsyari yang dikutip oleh al-Shabuni, Op.Cit., 362. 53 Al-Qurthubi, Tafsir, 17. 54 Al-Shabuni, Tafsir, 362. 51
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
18
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an makanan selainnya yang ada di hadapan anda selama anda tidak khawatir sakit.”55 Pendapat ini memberikan pengertian bahwa makan makanan lain diibaratkan sebagai perbuatan poligami yang menjadi pilihan kedua dari makanan yang sebenarnya diinginkannya. Dengan gambaran tersebut berarti bilangan dua, tiga atau empat merupakan sesuatu yang tidak utama. Karena sesungguhnya yang utama adalah bilangan satu yang disebutkan sebelumnya (prilaku monogami). Sementara menurut Syahrur melalui teori limitnya56 ia berpendapat bahwa bilangan dua, tiga atau empat merupakan bilangan diperbolehkannya poligami. Namun pembolehan itu harus dipilah-pilah melalui standar kualitas dan kuantitas. Secara kuantitas, menurutnya, batas minimal (al-hadd al-adna) bagi seorang suami adalah satu istri, sedangkan batas maksimal (al-hadd al-a‟la)-nya empat orang istri. Tidak semua orang dapat sampai pada tingkat al-hadd al-a‟la (beristri 4) jika tidak memiliki kualitas-kualitas tertentu. Kualitas tersebut adalah perempuan atau jandajanda yatim baik yang memiliki anak ataupun tidak. Artinya seseorang dapat beristri empat jika semua istri tersebut adalah perempuan-perempuan yatim baik yang memiliki anak atau yang belum. Dan jika salah satu dari tambahan tersebut (kedua, ketiga atau keempat) bukan perempuan yatim, maka menurutnya poligami tidak diperbolehkan. Sebaliknya jika seseorang menghendaki mengawini seorang yang tidak yatim dan perawan sebagai istri keduanya maka dia harus bersandar pada al-hadd al-adna, yaitu satu orang saja.57 Jadi menurut Syahrur kebolehan poligami sangat ditentukan oleh kualitas perempuan yang hendak dikawininya. Kuantitas sangat ditentukan oleh kualitas. Penutup Dari beberapa uraian tentang bilangan istri yang boleh dipoligami dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara bahasa kata matsna wa tsulatsa wa ruba‟ merupakan kalimat hitungan yang masing-masingnya menunjukkan hitungan bilangan tersebut, dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat. Dan huruf athf (wawu) yang mengikutinya tidak berfungsi sebagai li al-jam‟i, tetapi berfungsi sebagai kata “aw” yang berarti al-takhyir, memilih. 55 56 57
Quraisy Syihab, Wawasan, 200. Muhammad Syahrur, “Al-Kitab wa al-Qur‟an, Qira‟ah Mu‟ashirah”. Muhammad Syahrur, Al-Kitab, 600-601.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
19
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an 2. Pengungkapan bilangan dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat dalam ayat jelas menunjukkan bilangan istri yang boleh dikawini, jadi bukan penggambaran atas pentingnya satu istri. 3. Batas paling banyak perempuan yang boleh dikawin adalah 4 orang. Alasan apapun yang intinya menambahkan bilangan tersebut baik melalui sandaran itba‟ Nabi ataupun alasan melalui analisis struktur bahasa dipersamakan dengan perbuatan haram. 4. Bilangan banyaknya istri ditentukan oleh kriteria istri tersebut. Jika perempuan pertama yang hendak dipoligami berkriteria perawan dan tidak yatim, maka tidak boleh berpoligami, tetapi jika perempuan itu yatim baik memiliki anak ataupun tidak maka ia diperbolehkan poligami sampai pada empat orang istri. 5. Dengan demikian dapat diketahui bahwa melalui kriteria bilangan sesungguhnya poligami memiliki peran signifikan dalam membangun kehormatan dan kebahagiaan hidup kaum wanita. DAFTAR KEPUSTAKAAN Abd al-Baqi, Mu‟jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al-Karim, Cet. III (Beirut: Dar al-Fikr, 1992). Depag. RI. Al Q’an dan Terjemahnya Al-Naisaburi, Asbab al-Nuzul, Cet. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988). Diambil dari Al-Shabuni, Rawa‟iul Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur‟an, Vol. I (TP: TT) Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, tt) Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an, Kritik Terhadap Ulumul Qur‟an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2001) Al-Thabathaba‟i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur‟an, Jilid. IV (Beirut: Mu‟assasah al-A‟lami li al-Mathbu‟at, 1991). Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur‟an al-Hakim, al-Syahir bi alTafsir al-Manar, Cet. IV (Beirut: Dar al-Fikr, tt.) Ibn Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari, Syarh Shahih al-Bukhari, Juz 9 (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1997) Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Kairo: al-Maktabah al-Arabiyah, 1967) Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Vol. 4, (Mesir: Dar al-Manar, 1374) Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab, Juz 11 (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudlu‟i atas Berbagai Persoalan Umat, Cet. III, (Bandung: Mizan, 1996) Abdul Muta‟al Sha‟idy, Mengapa Saya Memeluk Agama Islam?, terj. J. Bachtiar Affandie, Cet. II, (Jakarta: CV Jasana, tt.) Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
20
Rohmat, Poligami dalam Al-Qur‟an
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
21