Policy Stakeholders Forum: Membumikan Konsep Devolusi dalam Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia Fadillah Putra *
Pendahuluan Dalam perbincangan tentang masa depan otonomi daerah di Indonesia hari ini, nampaknya yang diperlukan sekarang adalah mempertajam wacana otonomi daerah itu sendiri. Maksudnya adalah otonomi daerah sebagai sebuah wacana, sering ditemuinya beberapa pendangkalan makna di dalam materialisasinya oleh pihak tertentu. Ini nantinya akan berdampak pada gagalnya penerapan otonomi daerah itu sendiri. Di mana dengan dangkalnya makna-makna kunci dari wacana otonomi daerah tersebut, ditengah perjalanannya nanti pasti akan muncul paradok-paradok yang akan mengecewakan masyarakat. Ambil contoh ketika Ryaas Rasyid dalam sebuah perbincangan mengatakan bahwa desentralisasi politik sudah dilakukan, dengan indikasi bahwa pemilihan kepala-kepala daerah sudah dilakukan langsung oleh DPRD setempat. Pendangkalan makna yang terjadi disini adalah pada konsep ‘desentralisasi politik’ itu sendiri. Konsep desentralisasi politik itu sebenarnya sangat kompleks, ia tidak hanya sekedar berbicara tentang pemilihan kepala daerah saja, namun lebih pada day to day politics yang terjadi disebuah teritorial.1 Dalam kondisi ini paradok yang akan muncul nantinya adalah masyarakat akan kembali bertanya, “mengapa tidak ada bedanya setelah otonomi daerah dengan sebelum otonomi daerah, keinginan dan aspirasi kami tetap sering terabaikan oleh pemerintah?” Melihat dari kenyataan itulah maka sesungguhnya perlu ditegaskan kembali disini bahwa kebijakan otonomi daerah itu subtansi yang dikandungnya adalah demokratisasi.2 Sehingga dengan penekanan ini maka harapannya adalah pendangkalan-pendangkalan makna itu tidak terjadi lagi. Dan semua pihak yang berkepentingan atas kebijakan desentralisasi ini, harus menjadikan prinsip-prinsip dasar konsep demokrasi sebagai acuan dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah ke depan.
* 1
2
Fadillah Putra, M.Si adalah Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Pengembangan Kebudaayaan (PUSPeK) Averroes-Malang Jawa Timur-red Sherwood, misalnya, menyatakan bahwa desentralisasi politik (devolusi) berarti peralihan kekuatan ke unit-unit geografis pemerintah lokal yang terletak di luar struktur komando formal pemerintah pusat. Jadi, desentralisasi politik menggambarkan konsep-konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan. Dia dan pakarpakar lain menyatakan bahwa desentralisasi politik tidak sekedar menggambarkan pola hubungan wewenang intraorganisasi tapi juga lebih pada pola hubungan wewenang inter-organisasi. Sherwood dalam Dennis A. Rondinelli, 1977, “Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory an Practice in Developing Countries, International Review of Administrative Sciences, No. I Kita bisa saksikan argumentasi yang tajam dari Teune yang mengatakan bahwa penguatan pemerintah lokal telah membangun titik api demokrasi di dunia. Dua alasan untuk ini adalah pertama, dalam otonomi lokal diperlukan penentuan oleh lokal akan nasibnya sendiri (local self determination) lebih banyak daripada pengarahan top down, kedua membebaskan lokalitas-lokalitas dari pemerintah pusat dengan memberikan alternatif untuk mendapatkan sumber-sumber daya yang diperlukan untuk pembangunan masyarakat dan daerahnya sendiri. Lihat Henry Teune, 1995, Local Development and Democratic Political Development, ANNALS, AAPS, University of Pensylvania
1
Demokrasi dalam pengertian yang sangat sederhana adalah akomodasi aspirasi yang ada dimasyarakat oleh pemerintah serta penuangannya dalam bentuk keputusan-keputusan politik oleh negara. Dengan demikian dalam konteks otonomi daerah ini demokrasi dimaknai sebagai identifikasi kebutuhan dan pemenuhannya bagi masyarakat. Pemerintahan yang sentralistik akan sukar untuk memenuhi tuntutan ini, karena kebutuhan tiap-tiap lokal berbeda-beda dan kompleksitas aspirasi akan sulit tercover.3 Oleh karenanya otonomi daerah dalam kesehariannya berisi pertanyaan-pertanyaan “apa yang dibutuhkan rakyat?”. Bila rakyat di daerah tertentu lebih membutuhkan pembangunan disektor perikanan tambak misalnya, maka pemerintah daerah harus berpikir seribu kali untuk membangun jalan tol disitu. Karena dengan itu pasti akan banyak mengorbankan lahan yang seharusnya bisa digunakan untuk tambak, dan masyarakat jadi menurun produksinya, dan masyararakat akan menurun pendapatannya demikian pula kesejahteraannya. Contoh ini adalah ilustrasi tentang bagaimana desentralisasi politik itu memiliki implikasi-implikasi langsung terhadap sektor ekonomi masyarakat. Jadi, dengan begitu, ketika kita sedang berbicara tentang otonomi daerah, dan yang diributkan hanya persoalan seputar presentase pendapatan daerah yang ke pusat dan yang ke daerah, perluasan sektor-sektor pendapatan daerah, pengalihan penanganan proyek-proyek, dan sebagainya, itu juga adalah pendangkalan makna. Dimana sesungguhnya desentralisasi di sektor ekonomi itu sudah termasuk dalam perbincangan desentralisasi politik (devolusi). Bila struktur masalahnya tidak seperti ini, kita bisa membayangkan bagaimana setelah sekian milyar uang sudah di kuasakan pada daerah, sementara tidak ada ruang politik yang terbuka didaerah, ini hanya akan memindahkan korupsi yang semula dipusat kedaerah. Dan rakyat tetap menjadi penonton yang miskin.
Devolusi dan Kesempurnaan Otonomi Daerah Seperti telah dikatakan dimuka bahwa otonomi daerah yang sempurna adalah sebuah konsep yang menganut pada rangkaian demokrasi - identifikasi aspirasi - pemenuhan kebutuhan - kesejahteraan. Bila terjadi pemotongan atas rangkaian ini, atau salah dalam penentuan titik awal, maka bangunan otonomi daerah pasti akan mengalami ketimpangan. Untuk menghindari hal ini maka konsep devolusi harus mengemuka dalam wacana otonomi daerah. Sebab hanya dengan itu maka mekanisme identifikasi dan pengejawantahan aspirasi masyarakat akan terpaparkan dengan rinci dan rapi. Kayakinan ini muncul karena dalam devolusi yang menjadi sentral pembicaraan adalah bagaimana membangun dinamika dan pertukaran politik yang intensif di daerah. Devolusi adalah kemampuan unit pemerintah yang mandiri dan independen. Di mana pemerintah pusat harus melepaskan fungsi-fungsi tertentu untuk menciptakan unit-unit pemerintahan yang baru yang otonom dan berada di luar kontrol langsung pemerintah pusat.
3
Lebih menukik pada penggugatan praktek politik sentralistik Dennis A. Rondinelli, mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang menunjukkan bahwa politik sentralistik lebih membawa pada kondisi yang anti demokrasi. Kondisi-kondisi tersebut adalah pertama, seringnya rencana-rencana pemerintah tidak diketahui oleh masyarakat di tingkat bawah, kedua, lemahnya dukungan elit lokal. Dalam iklim sentralistik pendapat-pendapat elit lokal ini akan sangat terabaikan (kecuali mereka memiliki akses ke pusat, ini lain soal), padahal dengan kuatnya kepercayaan rakyat terhadap mereka tentu membuat pendapat elit lokal ini tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kerangka demokrasi. Ketiga, lemahnya kontak pemerintah daerah dengan masyarakat. Keempat, tidak dapat memotong red tape prosedur politik dan administrasi yang panjang. Dalam Fadillah Putra, 1999, Devolusi: Politik Desentralisasi Sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik NegaraRakyat, PB KOPRI dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
2
Cirinya adalah unit pemerintahan lokal yang otonom dan mandiri, kewenangan pemerintah pusat kecil dan pengawasannya tak langsung, pemerintah lokal memliki teritorium yang jelas, pemerintah lokal memiliki status atau legitimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumberdaya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen. Dalam kerangka ini, devolusi memiliki ciri-ciri khusus. Pertama, dalam devolusi, pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan dan dianggap sebagai level terpisah yang mana tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. Kedua, unit-unit lokal harus memiliki batas-batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas di mana mereka (unitunit tersebut) menerapkan wewenangnya dan melaksanakan fungsi-fungsi publik. Ketiga, pemerintah lokal harus diberi status lembaga dan wewenang untuk meningkatkan sumbersumber guna melaksanakan fungsi-fungsi khusus. Keempat, devolusi mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan 'pemerintah lokal sebagai lembaga', dalam makna bahwa lembaga ini dianggap oleh penduduk lokal sebagai organisasi yang menyediakan layanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit-unit pemerintah yang memiliki pengaruh. Kelima, devolusi merupakan suatu rancangan di mana terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah lokal dan pemerintah pusat; yaitu, pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi dengan unit-unit yang lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya. Namun dikebanyakan negara berkembang, syarat-syarat itu agak longgar. Devolusi biasanya dinilai sebagai suatu bentuk desentralisasi di mana unit-unit pemerintah lokal diberi tanggung jawab beberapa fungsi namun pemerintah pusat masih memiliki wewenang mengontrol dan memainkan peran finansial yang masih kuat. Bahkan ketika beberapa syarat teoritis Barat untuk devolusi sudah terpenuhi, pemerintah pusat dalam membangun negara seringkali berusaha membuat pemerintah lokal menentukan tindakan sesuai dengan kebijakan dan rencana pembangunan nasional dalam hal kinerja fungsi-fungsinya, dan kontrol formal atau informasi seringkali masih ada untuk melaksanakan tujuan itu. Beberapa negara berkembang memiliki sistem devolusi formal yang memenuhi semua prasyarat yang disebutkan di atas, namun beberapa konstitusi negara memberikan wewenang dan tanggung jawab khusus kepada pemerintah lokal atau memberinya wewenang kecil yang tidak diakui oleh pemerintah pusat. Devolusi sebenarnya berarti juga suatu cara untuk lebih mendekatkan pembangunan pada rakyat yang lebih mengetahui situasi dan kebutuhan mereka. Sehingga ketika terjadi beberapa kelonggaran yang ada khususnya dinegara berkembang seperti Indonesia kita harus memperhatikan hal-hal yang menjadi kunci agar devolusi tersebut dapat berjalan dengan baik.4
4
Yang harus dilakukan agar cita-cita tersebut dapat terejawantah menurut Goldberg adalah: 1. Hak, mengembalikan hak-hak sipil dan kebebasan sipil. Di mana sesungguhnya negara itu ada adalah untuk memfasilitasi kehendak-kehendak rakyat tersebut, tetapi ternyata rakyat lebih sering diajak berbicara tentang kewajiban-kewajibannya daripada hak-haknya. Dalam devolusi bentuk dari pengembalian hak itu adalah dibukanya jalur-jalur tawar-menawar bagi rakyat pada negara terhadap program-program yang akan dilakukan negara. Sebab dengan adanya ruang ini maka setiap apa yang dilakukan negara bisa dipastikan itu bermanfaat bagi rakyat banyak. Etika ini harus didudukkan kembali, yaitu dengan mengembalikan hak-hak sipil. 2. Pendanaan, pemerintah pusat harus memberikan hak pengelolaan dana pada pemerintah daerah. Oleh karenanya mereka harus diberikan kemampuan untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat tersebut. Salah satu kemampuan yang paling penting untuk sebuah lembaga dapat menyelenggarakan fungsi pelayanan dengan baik adalah tersedianya dana yang cukup. 3. Fleksibilitas, preferensi idealitik dari Pempus atas sektor pembangunan harus fleksibel dengan preferensi dari Pemda. 4. Variasi, Pempus harus dapat mengembangkan standart-standart baru yang dapat memperkuat tanpa mendikte. Pemerintah pusat seringkali tidak memiliki kepercayaan pada kemampuan pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan terhadap SOP (standart operating procedures), atau di sini lebih dikenal dengan istilah Juklak/Juknis, sangat berlebihan. 5. Pemberdayaan, berusaha memberikan kekuasaan lebih dulu kepada rakyat. Upaya-
3
Disamping itu untuk tujuan pembangunan wewenang unit-unit pemerintah lokal dari segi pentingnya fungsi yang dilaksanakan, skill dan profesionalisme pejabat-pejabat lokal, basis sumber finansial dan efektifitasnya di mana mereka melaksanakan tanggung jawabnya mungkin jauh lebih signifikan dari status resminya sebagai unit independen. Konsep devolusi seperti diatas sebenarnya merupakan turunan dari perdebatan konsep negara yang cukup filosofis. Kita bisa melihat konsep yang digagas oleh Hegel, yang mengatakan bahwa sesuatu harus diletakkan secara bertolak belakang (dialektika), sehingga dengan demikian akan terjadi balancing antarperan dari masing-masing elemen. Dalam hal ini, antara negara dan rakyat menurut Hegel, harus pula dalam kondisi dialektik seperti itu. Itu berarti masih ada dikotomi antara negara dengan rakyat, padahal secara hakiki mereka sebenarnya adalah satu. Berikutnya ternyata terbukti bahwa konsep yang ditawarkan Hegel ini hanya bisa diterapkan pada masyarakat yang intelektualitasnya tinggi dan ekonominya mapan, sehingga mampu berdiri sejajar secara dialektis dengan negara yang begitu kuat. Padahal untuk sebagian besar negara dunia ketiga keadaan prasyarat sering kali tidak terpenuhi. Lain halnya ketika kita menggunakan konsep komunikasi yang digagas Habermas, di situ meskipun masyarakat tidak punya intelektualitas dan ekonomi yang mapan, mereka tetap dapat mempengaruhi negara, sebab ruang publik untuk itu memang sudah disediakan atas dasar kesepakatan bersama.5 Ruang publik yang dimaksud salah saru bentuknya adalah kemudahan rakyat untuk berbicara dengan pembuat kebijakan dan ikut berperan dalam tiap prosesnya. Dengan demikian, lebih jauh dari konsep otonomi daerah yang selama ini di kenal, devolusi lebih pada penyediaan ruang publik tersebut. Sebab dengan adanya ruang publik ini, memungkinkan terjadinya dialog yang intensif antara pihak-pihak yang berkepentingan atas segala pentuk pembangunan yang terjadi di daerah. Dan dengan adanya ruang dialog yang intensif itu, kualitas dari proses kebijakan yang ada akan lebih baik, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat pun akan terselenggara dengan baik. Konsep Governance: Desentralisasi Secara Vertikal dan Horizontal Seiring dengan laju reformasi yang ada, konsep governance, yang banyak dicetuskan oleh pakar-pakar pemerintahan,6 telah banyak bergulir dan menjiwai tiap upaya perbaikan birokrasi
upaya yang dilakukan pada poin-poin terdahulu adalah pembenahan pada tingkat negara, hal ini lebih penting karena memang negaralah yang harus lebih banyak dilakukan pembenahan-pembenahan. Namun di sini rakyat pun harus dibenahi. Dalam pengertian bahwa kapasitas mereka dalam memberdayakan dirinya sendiri harus ditingkatkan. Lihat Lenny Goldberg, 1996, “Come The Devolution”, The American Prospect, Winter. 5
6
Rein dan Schon dalam de Leon dalam studi kebijakan publik, menyebut pertemuan antara negara dan rakyat secara harmonik sebagai sebuah diskursus kebijakan publik (public policy discourse). Maksudnya, mengacu pada pengertian adanya interaksi individu, kelompok kepentingan, gerakan massa, dan lembaga-lembaga resmi yang berada dalam situasi problematik yang dikonversi menjadi problem kebijakan, diagendakan, dibuat keputusan dan diambil tindakannya. Wacana negara dengan berbagai asumsi dan preferensinya di satu pihak, dan wacana rakyat dengan berbagai asumsi dan rasionalitasnya di pihak lain, mencoba untuk melakukan sharing of meaning, sehingga menemukan notion of good untuk suatu solusi dari problem kebijakan. Kondisi seperti ini oleh Dryzek dalam de Leon pula, disebut dengan discursive democracy, yang berusaha menegaskan bahwa proses-proses kebijakan publik yang terlampau didominasi dan dikontrol oleh elit yang berkuasa dan melibas aspirasi dan kepentingan rakyat kebanyakan harus dihapus. Lihat Peter de Leon, 1994, “Democracy in The Policy Sciences: Aspirations and Operations”, Policy Studies Journal, Vol. 22 No. 1. Kita dapat melihat pada tulisan-tulisan R. A. W Rhodes (1996) ataupun Gerry Stocker (1998), yang pada intinya mereka berpendapat bahwa saat ini harus ada penggantian konsep dalam wacana pemerintahan. Yaitu dari konsep yang selama ini dipakai (pemerintah atau government) menjadi pemerintahan atau governance. Sebab mereka berpandangan konsep governance lebih bermakna dinamis dan akan sulit dimanipuasi, sedangkan government lebih bersifat statis sehingga, dengan demikian, akan mudah dimanipulasi oleh pihak yang mengendalikannya. Lihat R. A. W. Rhodes, 1996, “The New Governance: Governing without Government”, Political Studies, XLIV; Geery Stocker, 1998, “Governance as Theory: Five Propositions”, UNESCO.
4
di Indonesia. Di mana harapannya dengan bersandar pada konsep governance dalam melakukan setiap reformasi di bidang pemerintahan, maka tidak akan adalagi birokrasi yang korup. Sebab birokrasi pemerintah dalam hal ini akan mengalami pengurangan kekuatan dominannya, dan ia (birokrasi pemerintah) mau tidak mau harus membuka diri terhadap kekuatan-kekuatan lainnya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dan dengan demikian tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis, terbuka, luwes, efisien dan akuntabel dapat lebih terwujud. Konsep governance telah mengubah makna dan arti government yang selama ini kita kenal. Istilah government menunjuk pada institusi negara yang formal, di mana ia ditandai dengan adanya monopoli kekuasaan absah yang dimilikinya untuk membuat kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan yang dibuatnya itu secara coersive. Proses kebijakan yang ada berjalan secara linier, dengan perangkat-perangkat birokrasi pemerintah sebagai satu-satunya aktor didalamnya. Pemahaman seperti inilah yang kemudian ditolak oleh konsep governance. Di mana ia lebih menunjuk pada penataan baru atas proses kepemerintahan, adanya perubahan syarat dari atauran yang berlaku dan sebuah metode baru di mana masyarakatlah yang memerintah. Dengan konsep governance, telah diyakini oleh banyak pakar sebagai konsep yang lebih baik menuju ke terciptanya pemerintahan yang lebih baik. Dengan governance, tujuan utama pemerintahan untuk memberikan sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan keuntungan-keuntungan bagi masyarakat akan makin dipertajam. Pola dan gaya pemerintahan yang semula ditunjukkan oleh sentralisasi kekuasaan yang eksklusif monopolistik, birokratik, koersif dan represif (atau adanya posisi birokrasi pemerintah sebagai penguasa tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari), harus segera ditinggalkan. Dan kemudian harus diubah dengan membuka kesempatan bagi aktor-aktor lainnya ( dalam hal ini sektor swasta, legeslatif, LSM, pers, dsb) untuk berpartisipasi dalam setiap proses kebijakan yang ada. Dengan governance, yang lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan akan diarahkan ke arah proses kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatoris. Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberikan pengaruh demi tercapainya kepentingan bersama.7 Selain pandangan tersebut konsep governance seringkali juga dimaknai sebagai minimal state. Artinya pekerjaan yang harusnya ditangani pemerintah, yang begitu banyak, kompleks dan memakan banyak anggaran belanja negara harus didistribusikan kepihak lain (swasta dan masyarakat). Karena selama ini kerakusan negara dalam menangani semua proyek pembangunan yang ada tidak diimbanginya dengan profesionalisme dan penghindaran terhada perilaku-perilaku korupsi. Kemudian kita juga harus menuju pada corporate governance, artinya pemerintah tidak cukup dijalankan dengan hanya meniru gaya manajemen sektor bisnis, tetapi juga harus memberikan perhatian yang besar pada kegiatan mengarahkan, memonitor, mengawasi dan menilai kinerja pemerintah sehingga ia dapat mempertanggungjawabkannya. Masih dalam konteks membangun konsep governance, selajutnya kita juga harus mengacu pada new public administration. Artinya, pemerintahan harus dikelola menurut prinsip manajemen profesional, yaitu mengintroduksi beberapa cara kerja sektor bisnis yang dinaggap relevan. Dalam hal ini misal saja kedekatan sektor bisnis dengan pelanggannya, penjagaan terhadap kepuasan layanan, berorientasi pada hasil, dan sebaginya. Dan terakhir adalah governance as a 7
Pernyataan ini sejalan dengan apa yang digagasa oleh Kooiman dan Vliet yang mengtakana bahwa konsep pemerintahan menunjuk pada penciptaan sebua struktur atau perintah yang tidak dapat dipaksakan secara ekstrim tetapi pada hasil dari interksi dari beraneka ragam gaya memerintah dan masing-masing mempengaruhi aktornya (pelaku). J Kooiman and M Van Vliet, 1993, “Governance and Public Management”, in K Elliasen and J Kooiman (eds), Managing Public Organizations, London, Sage.
5
socio-cybernetic system, artinya dampak dari kebijakan pemerintah bukanlan merupakan produk dari apa yang dilakukan pemerintah pusatmelainkan keseluruhan produk dari usaha intervensi, interdependensi dan interaksi dari banyak aktor dalam menangani masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dsb. Dengan demikian, konsep governance pada dasarnya menginginkan adanya pelibatan banyak pihak dalam tiap proses jalannya pemerintahan. Sehingga dengan demikian perbincangan tentang otonomi daerah tidak sekedar berbicara tentang adanya desentralisasi vertikal saja (yaitu pengalihan wewenang dari pusat kedaerah) tetapi juga desentralisasi horizontal ( yaitu pengalihan wewenang dari pemerintah ke pihak diluar pemerintah).8 Dengan demikian pula, bahwa devolusi juga harus mencakup dua aspek ini. Dalam devolusi disamping harus ada penyadaran kepada pemerintah pusat, juga harus ada penyadaran pada pemerintah itu sendiri. Pemerintah daerah juga harus disadarkan bahwa dirinya bukan lagi kekuatan super yang bisa mengatasi segalanya. Sudah saatnya ia harus berbagi dengan kekuatan lain di masyarakat. Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan disini bahwa, percuma saja kita melangsung desentralisasi secara vertikal, bila kita tidak melakukan desentralisasi secara horizontal. Sebab tanpa adanya desentralisasi secara horizontal maka peran pemerintah tetap dominan, dan cita-cita untuk mendekatkan pembangunan pada masyarakat dengan adanya kebijakan otonomi daerah tetap tidak dapat terwujud.
Policy Stakeholders Forum9: Mempertajam Maksud Pasal 92 UU No. 22 Tahun 1999 Pada bagian-bagian terdahulu kita sudah menyadari perlunya jaringan terbuka antara pemerintah, swasta masyarakat dan pihak lain yang ada dalam pranata sosial di masyarkat. Hal tersebut sudah kita kupas dengan panjang lebar mulai dari akar filosofis sampai teori-teori mutakhirnya. Jaringan interaksi yang dimaksud tersebut pada hakikatnya adalah untuk menyempurnakan good governance, yang nota bene didalamnya juga terkandung makna penyempurnaan implementasi kebijakan otonomi daerah. Untuk memulainya di negara kita perlu membentuk Policy Stakeholders10 Forum, yaitu suatu forum antar aktor kebijakan (pemerintah, swasta, legeslatif, LSM, kelompok profesi, dsb) yang secara aktif dan kontinu saling berbagi informasi, keahlian dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan dalam proses kebijakan. Dengan demikian diharapkan mutu dari proses kebijakan tersebut bisa lebih mendekati keinginan dan kepentingan bersama. Pemerintah perlu mempunyai inisiatif untuk
8
9
10
Gagasan ini bisa kita komparasikan dengan konsep ‘lima proposisi’ yang ditawarkan Stocker , yaitu a). pemanfaatna seperangkat institusi dan aktor baik dalam maupun luar pemerintahan; b). menyatu padunya kekuatan pemerintah, sektoir swasta dan masyarakat; c). kesaling tergantungan antara ketiga kekuatan tersebut; d). terbentuknya jaringan tersendiri antara ketiga kekuatan tersebut; e). pemerintah cukup sebagai catalalic agent yang memberikan arahan, tidak perlu menjalankan sendiri. Di ringkas dari Gerry Stocker, Op cit. hal 18. Tentang bagaimana besarnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam pemerintahan kita dapat melihat gagasan dari Lowi, yang disebutnya dengan first sector government (pemerintah) second sector government (swasta) dan third sector government (masyarakat). Theodore J. Lowi, 1964, “American Bussines, Public Policy, Case Studeis and Political Theories”, World Politics, July, p. 677-715 Diilhami dari Prof. Dr. M. Irfan Islamy, MPA, Kebijakan Publik dan Kepentingan Daerah, makalah disampaikan pada Diklat Pendalaman bidang Tugas Anggota DPRD Kota Kediri di Hotel Srabah Tulungagung, 22 Pebruari 2000, dan diskusi personal dengan beliau. Yang dimaksud dengan istilah stakeholders disini adalah semua pihak yang berkepentingan atau akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan kebijakan yang ada. Perikasa Abdul Wahab, Solichin, 1998, Analisis Kebijakan Publik Teori dan Aplikasinya, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang. Jadi dengan demikian istilah stakeholders ini juga menyangkut pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang ada, tidak hanya pihak-pihak di masyarakat yang terkena dampak kebijakan tersebut.
6
memfasilitasi terbentuknya forum ini. Konsep policy stakeholders forum ini sebenarnya sudah terkandung dalam UU No. 22 tahun 1999, tepatnya pada pasal 92. Dimana pada pasal tersebut disebutnkan: “(1) Dalam penyelenggaraan pembangunan kawasan perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikut sertakan masyarakat dan pihak swasta. (2) Pengikut sertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan. (3) Pengaturan mengenai kawasan perkotaan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.” Namun sayangnya pada pasal ini tidak dijelaskan secara rinci tentang bagaimana pengelolaan atas pengikut sertaan masyarakat dan swasta yang dimaksudkan itu. Ini bisa kita lihat pada bagian penjelasannya yang juga tidak konkrit sebagai berikut: “ Ayat (1) Pemerintah perlu memfasilitaskan pembentukan forum perkotaan untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat. Ayat (2) yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan. Ayat (3) Cukup jelas.” Melihat adanya ketidak lengkapan aturan yang ada tentang policy stakeholders forum yang oleh UU No. 22 tahun 1999 ini disebut dengan “forum perkotaan” ini, maka pada kesempatan ini perlu di gagas aspek-aspeknya dengan lengkap dan rapi. Aspek-aspek yang perlu ditindak lanjuti adalah menyangkut apa itu yang dimaksud dengan “forum perkotaan”, siapa pihak yang terlibat didalamnya, apa fungsi yang dijalankan, apa yang dilakukan di dalam forum tersebut, posisinya ditengah kekuatan-kekuatan politik yang ada, bentuk dari forum tersebut, kekuatan hukumnya dan apakah ia overlapping dengan lembaga yang sudah ada. Policy stakeholders forum atau selajutnya disebut forum perkotaan adalah sebuah media komunikasi antara berbagai pihak yang terkait dengan tiap proses kebijakan yang terjadi di pemerintahan di daerah. Disamping itu ia juga merupakan media tukar-menukar informasi dari berbagai pihak yang saling berbeda-beda latar belakang dan kepentingannya terhadap kebijakan daerah yang akan diambil. Disamping itu forum perkotaan juga adalah tempat bagi terjadinya policy learning bagi pembuat kebijakan terhadap kebijakan yang dibuatnya pada masyarakat yang ada. Sedangkan tentang siapa pihak-pihak yang terlibat didalam forum perkotaan ini, secara umum sudah sama-sama dipahami bahwa mereka adalah sinergi antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat. Namun itupun masih terlalu abstrak. Pemda yang dimaksud di sini adalah jajaran Pemda yang berada pada level pembuat kebijakan, yaitu mereka yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah kebijakan tertentu bisa dirubah, diperbaiki atau dibatalakan sama sekali. Sebab bila pihak Pemda yang terlibat dalam forum ini tidak memiliki kekuasaan sejauh itu maka percuma saja ia terlibat dalam forum itu, sebab proses dialog yang terjadi didalamnya tidak dapat membawa dampak apa-apa. Kemudian pihak swasta yang terlibat disini adalah mereka yang benar-benar dominan dalam percaturan bisnis didaerah tersebut, dan pengaruh pihak swasta yang dilibatkan ini cukup besar dalam proses kebijakan yang ada. Oleh karenanya masing-masing daerah tentu berbeda-beda sektor swasta yang dilibatkan dalam forum ini. Di Jogya misalnya mereka yang bergerak dibidang pariwisata, di Kudus dan Malang pengusaha rokok, di Kalimantan swasta perkayuan, dan sebagainya. Demikian pula masyarakat, segmen-segmen masyarakat yang ada tentu sangat beragam, dan kita marus memilihnya sesuai dengan proporsi yang tepat latar belakang segmen masyarakat tersebut. Misalkan kota Jombang harus melibatkan segmen masyarakat pesantren, Sukabumi melibatkan petani, Pekalongan melibatkan segmen masyarakat nelayan dan semua pihak yang terlibat dalam usaha batik, dsb. Fungsi dari forum perkotaan jelas sebagai media dialog antara pemerintah, swasta dan 7
masyarakat. Lebih dari itu forum ini juga harus mampu berfungsi sebagai media penyerapan informasi dan aspirasi dari semua pihak tenyang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara melakukannya. Dengan berjalannya fungsi ini maka keterputusan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah yang selama ini terjadi akan teratasi, dan penyelenggaraan pembangunanpun akan lebih memuaskan bagi banyak pihak. Yang dilakukan dalam forum itu adalah dialog. Lebih dari itu forum ini harus menjawab pertanyaan-pertanyaan diseputar proses kebijakan. Pada tingkatan perumusan kebijakan pertanyaan-pertanyaan yang harus didiskusikan pada forum ini adalah: Ini masalah apa? Mengapa masalah itu muncul? Adakah masalah ini terkait dengan masalah-masalah lain yang mirip? Anggota atau kelompok mana saja yang terkena dampak dari adanya masalah tersebut? Apakah masalahnya telah dapat diidentifikasi dan dirumuskan dengan tepat dan jelas? Apakah tujuan pemecahan masalah telah sesuai dengan tercapainya kebutuhan dan kepentingan kelompk sasaran? Apakah alternatif pemcahan masalah telah dapat diidentifikasi dan dirumuskan dengan tepat dan jelas? Apakah alternatif pemecahan masalah telah dihubungkan dengna biaya dan efektifitasnya? Apakah alternatif pemecahan maslaah telah dihitung tingkat kelayakan ekonomis dan politisnya. Sedang untuk tahap implementasi pertanyaan-pertanyaan yang harus didiskusikan dalam forum ini adalah: Apakah strategi implementasi telah diidentifikasi, dipilih dan dirumuskan dengan jelas? Apakah unit pelaksana teknis telah disiapkan? Siapakah aktor-aktor utama yang diserahi tanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut? Apakah prosedur operasi baku (Juklak/Juknis) telah ada dan dikuasai oleh pelaksana? Bagaimanakah koordinasi pelaksanaan kebijakan akan dilakukan? Bagaimana, kapan, dimana dan kepada siapa alokasi sumber-sumber hendak dilaksanakan? Apakah hak dan kewajiban, dan kekuasaan dan tanggung jawab telah diberikan dan dipahami oleh pelaksana kebijakan? Sedang dalam tahap evaluasi pertanyaan-pertanyaan yang harus didiskusikan dalam forum ini adalah: Apakah spesifikasi obyek penilaian telah ditetapkan? Apakah teknik pengukuran dan kriteria penilaian baku telah dibuat? Pendekatan apakah yang akan dipakai untuk melakukan penilaian? Sejauh manakah tersedianya sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan keuntungan-keuntungan bagi kelompok sasaran telah dipertimbangkan bagi kriteria penilaian? untuk penilaian kebijakan tertentu, pertimbangan manakah yang akan di uatamakan; kalkulasi biaya-efektifitas ataukah kalkulasi biayakeuntungan? Kalkulasi efisiensi ekonomis ataukah efesiaensi sosial? Apakah penilaian mencakup dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan? Apakah laporan hasil penilaian mempertimbangkan tingkat relevansi, signifikansi, akurasi, dan ketepatan waktu penyajian laporan? Kepada pihak mana saja laporan hasil penialaian kebijakan perlu disampaikan? Bagaimanakah tindak lanjut hasil penilaian hendak dilakukan? Selanjutnya perlu juga didudukkan disini tentang posisi dari forum ini berhadapan dengan pembuat kebijakan. Dalam analisis kebijakan partisipatif11 disebutkan ada 4 (empat) posisi stakeholders berhadapan dengan pembuat kebijakan, namun disini hanya akan ditampilkan tiga saja yang dianggap relevan. Pertama adalah penyediaan input analitik melalui analisis kebijakan partisipatif. Di sini para pihak yang berkepentingan atau akan dipengaruhi 11
Analisis kebijakan partisipatif dicetuskan oleh para pakar kebijakan publik berdasarkan kritiknya atas analisis kebijakan tradisional yang dianggapnya tidak menyentuh kepentingan masyarakat, dimana hal ini muncul akibat proses kebijakan selalu didominasi oleh penguasa ditingkat elit saja. lihat Abdul Wahab, ibid. hal 51-53. Atau Parsons menyebutnya ini sebagai iron cage, yaitu struktur birokrasi yang tertutup dan tidak mempedulikan dinamika yang ada diluar. Parsons, Wayne, 1997, Public Policy: An Introduction to The Theory and Practice of Policy Analysis, Edwadr Elgar Publishing. Ketidakmau tahuan elit kebijakan atas dinamika sosial ini juga di cover oleh Jordan ketika ia melakukan penelitian di Inggris atas pemerintah yang berhadap-hadapan dengan greenpeace soal pembuangan limbah. Disitu ditemukan oleh Jordan bahwa segitiga pemerintah, investor dan legeslatif begitu tertutup hingga dijulukinya dengan iron triangle. Lihat Jordan, Grant, 1998, Indirrect Causes and Effect in Policy Change: The Brent Spar Case, Public Administration, Vol. 76 Winter.
8
oleh keputusan kebijakan memiliki peluang cukup besar untuk memasok informasi dan masukan-masukan opini yang kemudian akan di transformasi oleh analis menjadi nasihat kebijakan. Kedua adalah analisis kebijakan partisipatif interpretatif. Analis disini berperan sebagai pengamat-peserta yang bekerjasama dengan para pihak yang akan dipengaruhi keputusan kebijakan untuk memberikan nasehat kebijakan. Ketiga adalah analisis kebijakan bagi kepentingan stakeholders. Para pihak yang akan dipengaruhi oleh keputusan kebijakan barangkali dengan dukungan analis berperan dalam memproses data, informasi dan masukanmasukan opini mereka kedalam bentuk nasehat kebijakan. Untuk lebih jelas tentang ketiga posisi policy stakeholders forum ini bisa dilihat pada gambar.
Model (1) Penyediaan Input Analitik
Model (2) AKP Intepretif
Pembuat kebijakan
Pembuat Kebijakan
Stakeholders Stakeholder
Warga negara
analisis
Analisis
Warga Negara
Model (3) Analisis Kebijakan Bagi Kepentingan Stakeholders Pembuat Kepututsan
Analis
Stakeholders
Warga Negara
Keterangan: Hubungan Langsung
:
Kemungkinan Arus Informasi
:
Sedangkan bentuk dari forum ini adalah semacam konsorsium, yang strukturnya tidak memiliki ketua dan bagian-bagian lainnya yang sub ordinatif. Ia lebih bersifat terbuka dan kolektif kolegial. Ia adalah forum yang memiliki jadwal pertemuan yang terjadwal dan insidental. Pertemuan yang terjadwal adalah disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan yang terjadwal, semisal APBD, RUTRK dan sebaginya. Sedangkan pertemuan insidental adalah 9
mengacu pada kebijakan-kebijakan insidental, semisal investasi, pembangunan sarana fisik, sansebaginya. Kekuatan hukum dari forum ini jelas memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu pasal 92 UU No. 22 tahun 1999. Namun demikian pemerintah daerah perlu juga mensyahkan forum ini dalam bentuk Peraturan Daerah. Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya bermacammacam forum yang mengatasnamakan dirinya sebagai forum perkotaan, padahal ia hanya mengacu pada kepentingan sempit tertentu. Tapi yang harus diingat bahwa pengesahan oleh Pemda ini harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi riil dari masyarakat. Oleh kerananya penetapan Perda berkaitan dengan hal ini harus diteliti secara detai oleh DPRD yang bersangkutan. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: apakah forum ini fungsinya tidak overlapping dengan fungsi DPRD? Tentu saja tidak. Sebab DPRD dan Pemda sama-sama membutuhkan informasi dari masyarakat. Dan forum ini adalah pusat informasi yang dibutuhkan tersebut. Pemda membutuhkan informasi untuk penyempurnaan formulasi dan implementasi kebijakan. Sedangkan DPRD membutuhkan forum ini untuk mengakses informasi yang akan digunakannya untuk mengontrol kebijakan Pemda yang ada, dan sebagai bahan pertimbangan untuk menyetujui usulan-usulan dari pemerintah daerah.
Penutup Demikianlah beberapa gagasan rinci yang ditujukan untuk mempertajam ide brilian dari pasal 92 UU No. 22 tahun 1999. Kendati demikian gagasan-gagasan ini masih bersifat tentatif dan perlu didiskusikan lebih lanjut. Namun disini yang harus diingat adalah bahwa bukan berarti setelah adanya forum perkotaan atau policy stakeholders forum itu maka semua kebijakan pemerintah menjadi legitimate. Kritik dari masyarakat lepas tetap harus berjalan, seiring dengan pembangunan demokrasi ditengah masyarakat yang mendambakan kesejahteraan ini
10