POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
IRMA LATIFAH SIHITE NIM: 050200321 DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
POLA PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945
SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH: IRMA LATIFAH SIHITE NIM: 050200321 DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
Disetujui Oleh: Ketua Departemen
Armansyah, SH., MH NIP. 131 569 409
Pembimbing I
Drs. Nazaruddin, SH., MA NIP.130 810 757
Pembimbing II
Yusrin Nazief, SH., M.Hum NIP. 13229934
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr., wb. Salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum adalah dengan membuat sebuah karya ilmiah. Adapun skripsi dengan judul : “Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-undang Dasar Negara RI 1945” ini, adalah merupakan karya ilmiah yang diajukan oleh penulis untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum tersebut. Di samping tujuan itu, penulis juga berharap kiranya materi yang dibahas dalam skripsi ini dapat menjadi tambahan referensi bagi penulisan karya-karya ilmiah lainnya yang berhubungan dan memberikan inspirasi akan pemikiran yuridis demi bertambahnya khazanah keilmuan yang diharapkan memberi sumbangsih yang cukup berarti mengingat permasalahan ini cukup dinamis dan masih debatable di kalangan ahli. Segala puji dan syukur tak lupa Penulis haturkan ke hadirat Allah SWT., Tuhan sekalian alam yang telah memberi kesempatan bagi Penulis untuk memulai penulisan ini, dan telah pula menghadiahkan daya untuk dapat menyelesaikannya dengan baik, dan semoga dapat memenuhi tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Penulis menyadari bahwa awal perkuliahan sampai kepada akhirnya tidak terlepas dari peran orang-orang di sekitar Penulis, untuk itu dengan segenap hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua. Ayahanda H. Arifin Sihite dan Ibunda Hj. Melur Simanullang, yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada Penulis sebagai wujud kasih sayang yang menjadi motivasi dalam menapaki jenjang perkuliahan, yang Penulis yakini hanya dengan do’a merekalah Allah SWT memberikan jalan kepada Penulis. 2. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum USU. Jajaran Dekanat : Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH., Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., DMF., dan Bapak Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Muhammad Husni., SH., MH. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada Penulis semasa kuliah dalam mewakili Fakultas baik dalam tingkat lokal maupun nasional yang secara otomatis menjadi ajang pengaktualisasian diri bagi Penulis. Bapak Armansyah, SH., MH., ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU sekaligus dosen Penulis yang banyak memberikan bantuan dalam proses penulisan ini. Ibu T. Darwini., SH.,M.Hum., selaku pembimbing akademik Penulis yang selalu menasehati untuk tetap menjaga prestasi. Dr. Mirza Nasution, SH., M.Hum., terima kasih atas sumbangan ilmunya dan kesediaannya dalam mendampingi sekaligus menjadi Koordinator Tim Debat Konstitusi Fakultas Hukum USU, yang merupakan langkah besar bagi Penulis dalam pengaplikasian ilmu yang telah didapat. Dan bagi seluruh dosen yang pernah berbagi ilmu dengan Penulis semasa kuliah dan juga Staf administrasi, Bang Anto dkk yang telah mengurusi semua kepentingan administrasi perkuliahan. 3. Bapak Drs. Nazaruddin, SH., MA., selaku Sekretaris Departemen Hukum Tata Negara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I Penulis, yang banyak memberikan masukan dan inspirasi bagi Penulis perihal kedisiplinan dan cara berfikir seorang akademisi. 4. Bapak Yusrin Nazief, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis. Terima kasih atas segala pengertian dan bantuan ilmunya, yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan tulisan ini. 5. Keluarga besar Sihite Panderaja. Untuk enam orang hebat yang mengapitku, memberikan sanjungan dan dorongan untuk terus berkarya bersama-sama demi senyuman bangga orang tua kita. Untuk setiap kisah yang diperdengarkan dan kita saksikan dalam pertalian darah ini, semoga cukup waktu bagi kita untuk saling membesarkan. Untuk kalian: dr. Ifo Faujiah Sihite/ Yoyong Yuwardhan ST, Khalil Basyah Sihite, Qomariah Sihite, ST., Idris Sihite, Isnaini Sihite, S.Ked., terima kasih telah banyak memberikan pengaruh dan contoh. Adikku, Ridwan Sihite, terus berjuang demi mimpi kita yang masih tinggi Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
di bintang. Tak lupa, Ragazzo Risqullah Ivoy, generasi penerus yang membawa banyak harap: “cepat besar..” Tulang
Charles (alm), yang
sampai akhir hayatnya terus memberikan dukungan, doa untukmu selalu.. 6. Deep Blue Sea Family yang telah menjadi sahabat satu SMP, satu SMA, terpisah kuliah tapi masih tetap satu hati. Mereka: Rika Suryati Tanjung (The Jelly F. Queen) , Anzana Safitri Ritonga (The Cuttle F. Queen), Fahrurrozy (King of Octopus ), dan Fikri Hardilla Winata (King of Squid). Selalu
menanti saat untuk kembali exist di jalanan menuju mal-mal
Medan,kota kita tercinta. The Plankton Queen waiting… 7. Teman-teman FH-USU stb. 2005, seluruh anggota D Club, Seven Flowers, Kepanitiaan PMB 2008, Personil Night Daddy, dan teman-teman lain yang tak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam perjalanan ini. Pejuang-pejuang KOPISUSU dan anakanak IMATARA. 8. HMI komisariat Fakultas Hukum USU, untuk seluruh ilmu yang ditransfer sebagai pendukung pembelajaran formal. Para senioren yang telah sudi membantu berputarnya roda organisasi dan seluruh pengurus dan temanteman Presidium untuk semangat dan kerja samanya dalam berproses, khususnya Bidang KPP untuk kakanda Karina Utary Nasution, SH dan Adinda Atika Ayu Pulungan, thanks for everything..bahagia HMI. 9. BTM Aladdinsyah, SH FH-USU, untuk semangatnya wujudkan eksistensi. Seluruh jajaran kepengurusan dan Dewan Syuro yang tak henti memberikan dedikasinya di sini. Jayalah… 10. Adik-adik di Fakultas Hukum USU stb. 2008 : Najla, Susfani, Sari, Lia, Nana, Mei-Mei, Fiqa, Berliana, Nindi, Ivo, Umi, Adharry, Zaky, Rozy, Fiki, Arya, dan teman-temannya yang lain. Tetap kompak ya..terima kasih untuk kenangan yang terulang melalui kalian. Stb. 2007 : Amin, Bin, Omar, Khairina, Karina, Ermel, Ami, Verdinan, Farid, Theo, dll.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Stb 2006 : Annisa, Nina, Sheila, Dewi, Octris, Dian, Dina, Maya, Lesly, Uun, Anggi, Bebi, Riska, Dirman, Nanda, Anov, Heru, Defri, Indra, Rizkur, Ahmad Parlindungan, Sandry, Alwan, Yusuf, Zeini, Roni, dll. 11. Lelaki-lelaki, teman seperjuangan: Ahmad Almaududy Amri, SH, saingan nyata di depan mata. Semoga kita berdua bisa…semangat!!. Zulkifli Siregar, SH, Terima kasih untuk keceriaan yang selalu kau hadirkan. Helios At Thaariq, makasih Ios..selalu ada disaat laptop membutuhkanmu. Diki Elnanda Caniago, Kawan satu jurusan, satu Tim..terimakasih untuk informasi buku yang menjadi refensi utama skripsi ini.. 12. Tujuh Bintang yang tak pernah redup di langit hati (insyaAllah), yang tak pernah berhenti kusyukuri kemilaunya, mereka : Angreni Fajrin Dalimunthe, berharap bisa menemukan manusia sebaik dirimu lagi. Terima kasih untuk semuanya, selalu nyaman ada di dekatmu. Febrina Anindha, sahabat yang tak banyak bicara. Mayasari, mbak yang begitu calm..selalu memberi perhatian dan mengingatkan untuk kebaikan. Nova Yusmira, SH., dengan kemandirian dan ambisinya yang mengagumkan. Rini Sri Wahyuni, selalu tahu apa yang dia butuhkan, selalu dapat memenuhi kebutuhannya..kamu hebat! Sarah Ayu Diningtyas Zai, untuk suaranya yang tak terlupakan. Bendum cerewet dan baik hati. Syarifa Yana, dengan segala misterinya memberikan warna tersendiri dalam perjalanan ini. Untukmu, yang telah membuka hati untuk menjalani hari dalam rangkulan mimpi-mimpi sewangi kasturi dan sesejuk telaga AlKautsar yang tak ‘kan pernah pudar. Love u all. Tentunya, terima kasih juga tertuju untuk semua pihak yang telah turut membantu Penulis, yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat. Wassalam. Medan, April 2009 Penulis
Irma Latifah Sihite Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….i DAFTAR ISI………………………………………………………………………v ABSTRAKSI……………………………………………………………………..vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………...1 B. Rumusan Masalah………………………………………………..9 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……………………………….....10 D. Tinjauan Pustaka………………………………………………..11 1. Teori Demokrasi…………………………………………….13 2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan………………….....16 3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan………………18 4. Teori Pertanggungjawaban…………………………………20 E. Keaslian Penulisan……………………………………………...22 F. Metode Penelitian……………………………………………….22 G. Sistematika Penulisan…………………………………………...23
BAB II
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban……………….26 1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban ……………….26 2. Timbulnya Pertanggungjawaban……………………………28 3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban………………………..30 a. Pertanggungjawaban Hukum……………………………30 b. Pertanggungjawaban Politis……………………………...32 c. Pertanggungjawaban Teologis………………………...…34
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
4. Pertanggungjawaban sebagai Sistem dan Prosedur…………36 B. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi……37 C. Pertanggungjawaban presiden dalam Perspektif Konstitusi……39
BAB III
LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN UUD RI 1945 A. Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD RI 1945……41 1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945………………41 2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS 1949……...…………43 3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1950…….………...46 4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945…………………..………48 a. Pada Masa Orde Lama………………………………......48 b. Pada Masa Orde Baru……………………………………53 B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD RI 1945………56 1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945………...56 2. Format Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD RI 1945...........................................................................58
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN A. Pertanggungjawaban Presiden Sebelum UUD RI 1945……….....62 1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945………………62 2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS………………………65 3. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1949………………67 4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945…………………..………71 a. Presiden Soekarno………………………………………73 b. Presiden Soeharto………………………………..………75 c. Presiden Abdurrahman Wahid…………………………...77 B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan UUD RI 1945…………………………………………………….79 1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden……………………….79
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
2. Bentuk Pertanggungjawaban Presiden………………………89 3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden……………………93 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan……………...…………………………………….…98 B. Saran……………………………........…………………………100
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….vi
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
ABSTRAKSI Irma Latifah Sihite * Drs. Nazaruddin, SH., MA ** Yusrin Nazief, SH., M.Hum*** Arus reformasi membawa harapan besar bagi segenap bangsa Indonesia akan perubahan. Masa kepemimpinan Presiden Seoharto yang bertahan hampir 32 tahun dirasakan oleh rakyat telah membatasi hak mereka sebagai pemilik kedaulatan. Oleh karena itu, reformasi yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan pembaruan dalam pemerintahan. Namun, untuk melakukan pembaharauan tersebut, tentunya harus disertai dengan pembaruan terhadap aturan dasarnya, yaitu Undang-Undang Dasar sebagai staatsfundamentalnorm. Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar tersebut, telah mengubah sistem pemerintahan kita. Secara konseptual disebutkan bahwa perubahan itu telah memurnikan sistem presidensiil yang dianut oleh Indonesia. Sebab, selama ini ada beberapa ahli yang beranggapan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem campuran atau quasi presidensiil. Pendapat tersebut didasarkan pada prosedur pertanggungjawaban Presiden. Sebelum amandemen, Presiden bertanggungjawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan sebuah parlemen. Hal ini dirasa mencerminkan ciri parlementer. Walaupun telah memberikan perubahan yang cukup besar terhadap tata pemerintahan, namun amandemen yang telah dilakukan sebanyak empat kali itu tidak juga mengatur secara eksplisit tentang pertanggungjawaban Presiden. Padahal, pertanggungjawaban merupakan ciri dari paham demokrasi konstitusional, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sekecil apapun kekuasaan itu, terlebih lagi terhadap Presiden yang memiliki kekuasaan yang cukup besar. Apabila kita melihat kembali beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah diberlakukan di Indonesia, pengaturan mengenai hal ini juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Hal ini dipengaruhi oleh labilnya pemerintahan pada saat itu, yang menyebabkan Indonesia sempat berubah bentuk dan sistem pemerintahannya.
Atas dasar itulah perlu dikaji secara dalam tentang pengaturan pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, yaitu bentuk, sistem, dan prosedurnya, berdasarkan pada beberapa Undang-Undang Dasar yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia. Sehubungan dengan telah dilakukannya amandemen, sebab ada kemungkinan mengadopsi dari Undang-Undang Dasar terdahulu atau mungkin isu peguatan sistem presidensiil mengarahkan Indonesia kepada praktek yang diterapkan di Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara penganut sistem presidensiil murni. *
Mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara, Jurusan Hukum Tata Negara Dosen Fakultas Hukuk Universitas Sumatera Utara *** Dosen Fakultas Hukum Universutas Sumatera Utara **
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan pendapat Yusril Ihza Mahendra, selama pemerintahannya, Presiden Soeharto membangun pandangan bahwa UndangUndang Dasar 19451 bernilai “keramat” 2. Dengan pengunduran diri tersebut, maka turut runtuh pulalah pandangan yang beliau bangun. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan amandemen UUD 1945 menjadi salah satu agenda reformasi yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan masyarakat luas waktu itu. 3 Penting untuk kita ketahui, bahwa gerakan reformasi itu sendiri dipicu oleh krisis multidimensi di akhir tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada Bulan Mei tahun 1998. Hal ini dianggap sebagai momen bagi penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi setelah kurang lebih 32 tahun dibatasi oleh pemerintahan otoriter Soeharto. 4 Tuntutan untuk melakukan amandemen tersebut dirasa perlu mengingat kedudukannya sebagai norma dasar (staats fundamental norm) penyelenggaraan pemerintahan. Sehinggga, apabila ingin melakukan government reform demi terwujudnya kedaulatan rakyat dan demokrasi, perlulah kiranya dilakukan perubahan terhadap aturan dasarnya. 5 Aturan dasar
atau yang disebut dengan kontitusi ini, pada hakekatnya
merupakan landasan eksistensi suatu negara sebagai organisasi kekuasaan, pembagian 1
Selanjutnya ditulis UUD 1945 saja, sebagai penulisan terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang diberlakukan kembali setelah Dekrit Presiden Soekarno 1959 dan belum diamandemen. 2 Yusril Ihza Mahendra dalam Taufiqqurohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia Indonesia, 2004, hal. 1. 3 Ibid 4 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, 2007, hal. 1. 5 Ibid. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dan pembatasan kekuasaan, alat rakyat untuk mengonsolidasikan kedudukan hukum dan politiknya dalam rangka mencapai cita-cita bersama. 6 Sebagai tindak lanjut atas desakan untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (selanjutnya ditulis MPR) dengan berlandaskan pada Pasal 37 UUD 1945 telah melakukan amandemen sebanyak empat kali. Amandemen pertama terjadi pada Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, kemudian amandemen kedua berlangsung dalam Sidang Tahunan MPR dari tanggal 7-18 Agustus 2000, amandemen ketiga berlangsung pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001, dan amandemen keempat berlangsung pada Sidang Tahunan MPR dari tanggal 1-11 Agustus 2002. 7 Perubahan yang dilakukan sebanyak empat kali tersebut secara substansial telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar. 8 Salah satu ciri yang menandai perubahan tersebut adalah adanya perubahan terhadap lembaga-lembaga negara. Ada lembaga yang dihapuskan, sebaliknya timbul pula beberapa lembaga baru. Secara konsepsional, ada empat pokok pikiran yang diangkat dalam kerangka amandemen UUD 1945, antara lain: 1. Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara saling melengkapi; 2. Pemisahan kekuasaan dan prinsip cheks and balances; 3. Pemurnian sistem Presidensiil; dan 4. Penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9
6
Banks Lynda, dalam Firdaus, Ibid., hal 56. Ibid., hal. 1-2. 8 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007, hal. ix. 9 Jimly Asshiddiqie, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 2. 7
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Beberapa ketentuan hasil amandemen UUD 1945 telah memberikan ruang yang besar terhadap partisipasi rakyat dalam ikut menentukan pengisian jabatan-jabatan publik secara langsung, seperti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Atas dasar itu, setiap tindakan pejabat menjadi titik awal dari pertanggungjawabannya terhadap rakyat yang memilihnya. 10 Hal ini sejalan dengan pandangan Melvin I. Urofsky, yang berpendapat bahwa, sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, ia tak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dalam cara yang terbuka dan jujur untuk semuanya. 11 Berbicara tentang “Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI 1945”, maka titik awal penelusurannya adalah pada berbagai perspektif tentang pertanggungjawaban itu sendiri. Melihat bahwa pertanggungjawaban itu dianalisis berdasarkan Undang-Undang Dasar, maka penelusuran selanjutnya adalah terhadap konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah diberlakukan di Indonesia, yaitu: 1. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949; 2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat, periode tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950; 3. Undang-undang Dasar Sementara 1950, periode tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959; 4. Undang-undang Dasar 1945, periode tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan 10 Agustus 2002;
10
Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999, hal. 33-34. Melvin I. Urofsky, Prinsip-Prinsip Dasar Demokrasi, Kumpulan Naskah Demokrasi, United States, Office Of International Information Programs, 2001, hal. 2. 11
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
5. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, 12 periode tanggal 10 Agustus 2002 sampai dengan sekarang. Ketentuan mengenai lembaga kepresidenan dalam beberapa UUD yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia memiliki beberapa perbedaan satu dengan yang lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh perjalanan sejarah, yang mana pada awal kemerdekaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD 1945 dianut sistem presidensiil, dimana Presiden memegang kekusaan sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara, sebagaimana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan, dan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan. Sistem presidensiil tersebut hanya berjalan beberapa bulan saja. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat mengusulkan kepada Presiden agar memberlakukan sistem pertanggungjawaban menteri dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan usul tersebut disetujui oleh Presiden, maka diumumkanlah susunan kabinet Parlemen I. Dengan demikian, Presiden pada masa ini tidak sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan, tapi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara, sebagai pelaksana pemerintahan adalah Perdana Menteri bersama-sama dengan menteri-menterinya. 13 Pemberlakukan sistem palementer 14 ini terus berlangsung sampai pada tahun 1959, di
12
Selanjutnya ditulis UUD NRI saja, sebagai tanda penulisan terhadap UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan. 13 Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara, Jakarta, PT. Gramedia, 2007, hal. 28-29. 14 Sistem parlementer yang dijalani pada masa itu menurut sebagian ahli bukanlah sistem parlementer murni. Misalnya saja di bawah Konstitusi RIS 1949, Tolchah Mansoer mengemukakan bahwa, dikatakan sistem presidensil karena menteri-menteri dipimpin oleh Presiden, sedangkan dikatakan parlementer karena menteri-menteri dipimpin oleh Perdana Menteri. Oleh karena itu menurutnya sistem pemerintahan di bawah Konstitusi RIS adalah Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
bawah Kontitusi RIS dan UUD Sementara 1950. Hal inilah yang membuatnya menarik untuk
dilakukan
penelusuran
terhadap
sejarah
ketatanegaraan
kita
dan
membandingkannya dengan kondisi sekarang. Seperti yang kita ketahui, sebelum perubahan UUD 1945, lembaga kepresidenan merupakan salah satu lembaga negara yang cukup dominan karena memiliki kekuasaan yang besar. Atas dasar itu, Ni’matul Huda menyebutkan bahwa UUD 1945 biasa disebut executive heavy, menurut istilah Soepomo : “concentration of power and responsibility upon the president”. 15
Struktur ketatanegaraan yang heavy executive demikian,
menempatkan kekuasaan di lembaga kepresidenan menjadi klaim representasi kedaulatan negara secara keseluruhan, salah satu buktinya dapat kita lihat dari dikeluarkannya TAP MPR No. VI/MPR/1988 yang melimpahan kewenangan yang luas kepada Presiden untuk mengambil segala tindakan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan. Kemudian dalam konteks masa jabatan Presiden, dapat kita lihat pada Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Isi ketentuan ini kemudian ditafsirkan tanpa batasan sampai kapan seseorang dapat menjabat sebagai Presiden.
16
Setelah reformasi, agenda amandemen merupakan kebutuhan yang dipercaya akan berdampak pada perbaikan sistem ketatanegaraan dengan mengurangi dominasi dari Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan negara melalui pembatasan konstitusional seperti: (i) masa jabatan Presiden selama lima tahun dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan berturut-turut; (ii) kewenangan mutlak Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan para pejabat negara yang selama ini disebut dengan hak prerogatif
parlementer. Sementara itu, berdasarkan pandangan Wade dan Philips, sistemnya adalah Presidensil karena Perdana Menteri dan Menteri-menteri lainnya diangkat oleh Presiden. 15 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 98. 16 Bambang Widjojanto dalam Harun Alrasid, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997, hal. 16-17. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Presiden, dibatasi tidak lagi bersifat mutlak. Beberapa jabatan negara 17 yang dianggap penting, meskipun berada dalam ranah kekuasaan eksekutif, pengangkatan dan pemberhentiaannya harus dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan atau sekurang-kurangnya dengan mempertimbangkan pendapat parlemen; 18 (iii) pemilihan langsung oleh rakyat dalam pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pembatasan-pembatasan konstitusional tersebut secara implisit mengandung muatan pertanggungjawaban, khususnya sebatas mana kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kekuasaan untuk dilakukan.
Sebab secara substansi, keberadaan konstitusi
sebagai aturan dasar penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai penegasan bahwa tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban. 19 Sebelum dilakukannya amandemen UUD 1945, terjadi silang pendapat di antara pakar mengenai sistem pemerintahan Indonesia sehubungan pertanggungjawaban Presiden. Sebagian pakar seperti Sri Soemantri dan Jimly Asshiddiqie menilai bahwa Indonesia menganut sistem campuran antara segi-segi presidensiil dengan parlementer. Sementara Bagir Manan melihat secara berbeda hal tersebut. Sri Soemantri berpendapat bahwa ditinjau dari pertanggungjawaban para menteri kepada Presiden maka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 adalah presidensiil. Akan tetapi melihat pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, berarti ada
17
Jabatan negara yang dimaksud diantaranya adalah Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Panglima Tentara Nasional, dan lain-lain. 18 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005, hal. 208. 19 Wolin, dalam Adnan Buyung Nasution, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 3. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
segi parlementer. Berdasarkan atas uaraian tersebut dapat kita katakan bahwa sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem campuran. 20 Kemudian Jimly Asshiddiqie juga mengutarakan bahwa Indonesia memang menganut sistem presidensiil, tetapi masih banyak terdapat kesesuaian dengan ciri parlementer dan ada ketentuan yang bersifat overlapping antara sistem presidensiil yang diidealkan itu dengan elemen-elemen sistem parlementer tersebut. Hal ini terlihat pada peran dan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) yang berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan menjadi tempat dimana Presiden wajib bertanggungjawab. Karena itu, sistem pemerintahan di Indonesia bersifat quasipresidensiil, bukan presidensiil murni. 21 Pandangan berbeda dari Bagir Manan adalah bahwa sistem pertanggungjawaban Presiden
kepada
MPR
lebih
mendekati
pranata
impeachment
daripada
pertanggungjawaban parlementer. Memang, tidak dapat disangkal, MPR adalah badan perwakilan rakyat. 22 Tetapi, tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa karena Presiden bertanggungjawab kepada MPR sebagai badan perwakilan rakyat, maka terdapat segi parlementer. Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab 23 atas segala tindakan penyelenggaraan pemerintahan. Pertanggungjawaban ini tidak berkaitan dengan
20
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 116. 21 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…, Op.Cit., hal. 207-208. 22 Menurut HAS Natabaya, MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan Lembaga Tertinggi Negara penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat, namun sekarang hanya merupakan “forum”. Pendapat lain diungkapkan oleh Mohammad Fajrul Falaakh, bahwa MPR pasca amandemen adalah parlemen yang tidak memiliki kewenangan untuk menghasilkan produk hukum atau keputusan politik. Pelaksanaan fungsi parlemen MPR merupakan persidangan khusus (special session) untuk tujuan tertentu (ad hoc), bukan fungsi rutin legislatif (ad interim) 23 Pertanggungjawaban yang dimaksud di sini adalah pertanggungjawaban yang menurut Prof. Ismail Suny merupakan pertanggungjawaban dalam arti luas, yaitu pertanggungjawaban yang mengandung sanksi. Karena pada hakekatnya, baik itu dalam sistem parlementer ataupun presidensil segenap aparatur negara secara implicit bertanggungjawab atas setiap pengaruh yang tak terduga dari akibat-akibat keputusan yang dibuat. Sebagaimana disebutkan oleh Wahyudi Kumorotomo sebagai Akuntabilitas Implisit dalam bukunya Etika Administrasi Negara. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pelanggaran
tetapi
berkaitan
dengan
kebijakan
(beleid).
Berbeda
dengan
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang terbatas pada pelanggaran terhadap haluan negara dan/atau UUD, sedangkan kebijakan tidak dapat menjadi dasar meminta pertanggungjawaban. 24 Silang pendapat ini kemudian menimbulkan suatu pertanyaan baru, apakah pertanggungjawaban Presiden termasuk ke dalam pertanggungjawaban politik atau hukum. Ada dua pandangan yang berkembang, sesuai dengan perbedaan pandangan terhadap sistem pemerintahan di atas. Pertama, pandangan yang menganggap bahwa pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai suatu lembaga politik adalah pertanggungjawaban
politik;
kedua,
pandangan
yang
menganggap
bahwa
pertanggungjawaban Presiden kepada MPR adalah pertanggungjawaban hukum karena didasarkan pada pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden, baik terhadap UUD maupun terhadap Keputusan MPR mengenai GBHN. Menurut Jimly Asshiddiqie, apabila hasil-hasil amandemen UUD 1945 tersebeut ditelaah, maka secara konsepsional dapat dikatakan Indonesia telah secara murni menganut sistem Presidensiil dan diharapkan dapat menghapus polemik sebagaimana tersebut di atas. Adapun indikatornya antara lain: 1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif; 2. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy); 3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. 25
24 25
Bagir Manan, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006, hal. 114. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 4
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari upaya penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi sebagaimana keinginan reformasi, tetapi dalam bagian tertentu amandemen UUD 1945 masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab, khususnya mengenai pertanggungjawaban Presiden. Padahal, dalam paham negara demokrasi konstitusional, sekecil apapun kekuasaan kepadanya melekat kewajiban, terlebih kepada Presiden dengan kekuasaan yang cukup besar. Hasil
amandemen
tidak
secara
eksplisit
menyinggung
tentang
pertanggungjawaban Presiden kecuali mekanisme pemberhentian Presiden yang terurai dalam Pasal 7A dan Pasal 7B. 26 Kondisi yang sama juga tergambar dalam konstitusikonstitusi tertulis lainnya yang pernah berlaku di Indonesia, belum lagi pengaruh dari labilnya pemerinthaan di awal kemerdekaan yang membuat Indonesia sempat berganti sistem pemerintahannya, bahkan bentuk pemerintahannya pun tidak luput dari perubahan, yang juga berimplikasi pada pola pertanggungjawaban. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis mengidentifikasi beberapa permasalahan untuk dibahas secara lebih terinci dalam tulisan ini. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem, bentuk dan prosedur pertanggungjawaban Presiden menurut sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah berlaku di Indonesia dan yang sedang berlaku saat ini setelah dilakukan perubahan sebanyak empat kali? 2. Apakah ada keterkaitan secara substansial antara UUD NRI 1945 dengan konstitusi-konstitusi sebelumnya, atau barangkali ada adopsi dari pengaturan yang berlaku di negara lain? 26
Ibid., hal. 4-5
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk menguraikan lebih rinci lagi pembahasan mengenai permasalahan di atas yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimana sistem, prosedur, dan bentuk pertangungjawaban Presiden berdasarkan konstitusi-konstitusi tertulis yang
pernah berlaku di
Indonesia. 2. Untuk mengetahui keterkaitan antara konstitusi-konstitusi yang pernah dan/atau sedang berlaku di Indonesia perihal pengaturan pertanggungjawaban Presiden dan seperti yang kita ketahui Indonesia telah empat kali melakukan amandemen terhadap konstitusinya yang terakhir yaitu UUD 1945, sehingga ada kemungkinan Indonesia mengadopsi aturan dan praktek dari Negara lain. Kiranya pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan yang berdasar pada pemikiran yuridis. Penulis berharap bahwa kiranya tulisan ini dapat memberi manfaat. Adapun manfaat yang ingin dicapai yaitu berupa manfaat teortis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis yang dimaksud antara lain: 1. Untuk memperoleh pengetahuan lebih mendalam mengenai pertanggungjawaban Presiden dari segi aturan dan prakteknya; 2. Sebagai sumbangan pengetahuan dan pemikiran dalam bidang Hukum Tata Negara khususnya perihal pertanggungjawaban Presiden; 3. Mengingat pembahasan dari permasalahan di atas juga melibatkan konstitusikonstitusi terdahulu, maka melalui tulisan ini kita dapat mengetahui Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
perkembangan hukum tentang pertanggungjawaban Presiden dari perspektif sejarah; 4. Sebagai pemenuhan syarat guna menyelesaikan studi dan meraih gelar Sarjana Hukum. Adapun manfaat praktisnya, bahwa kiranya tulisan ini dapat dipergunakan sebagai tambahan referensi dalam penulisan-penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan.
D. Tinjauan Pustaka Dalam hal penyelenggaraan negara, lembaga kepresidenan terkait dengan bentuk pemerintahan republik. Secara asasi paham republik mengandung makna pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam republik, harus senantiasa mencerminkan penyelenggaran oleh dan untuk kepentingan umum. Hal ini hanya dimungkinkan kalau kepala negara bukan raja. Sebab, apabila kepala negara adalah Raja, maka kadaulatan bersumber dari raja bukan dari rakyat (demokrasi). Untuk memenuhi kriteria tersebut dipergunakan nama jabatan “Presiden”. 27 Lembaga Kepresidenan sebagai salah satu lembaga negara memiliki fungsi, tugas, dan wewenang meyelenggarakan negara di bidang eksekutif. Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya tersebut Presiden senantiasa berhubungan dengan lembaga negara lainnya baik legisatif maupun yudikatif, yang secara teoritis membentuk sistem hubungan kelembagaan negara apakah itu pemisahan atau pembagian kekuasaan. Dalam perkembangannya, pemisahan atau pembagian kekuasaan ini dipandang sebagai satu ciri negara berdasarkan konstitusi. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut ditujukan untuk mewujudkan suatu perimbangan kekuasaan sehingga tidak terjadi 27
Bagir Manan, Lembaga…, Op.Cit., hal. 1-3.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
penyelenggaraan pemerintahan yang sewenang-wenang. Hal ini dapat kita artikan sebagai upaya pembatasan kekuasaan. Hubungan antara legislatif dan eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan secara teoritis dibagi atas dua yaitu sistem presidensiil dan parlementer. Sistem ketatanegaraan inilah yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam melihat keberadaan pertanggungjawaban Presiden. Dari uraian di atas, maka untuk menganalisis dan membahas permasalahan sebagaimana terangkat dalam rumusan masalah, penulis menggunakan beberapa pendekatan teori antara lain: pertama, teori demokrasi; kedua, teori bentuk dan sistem pemerintahan; ketiga, teori konstitusi dan pembatasan kekuasaan; keempat, teori pertanggungjawaban. 1. Teori Demokrasi Secara etimologi, asal kata demokrasi berasal dari bahasa latin, yakni demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sehingga dapat diartikan bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Sementara itu, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat, dan pandangan atau gagasan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang yang sama bagi semua warga negara. 28 Sedangkan secara epistemology, istilah demokrasi dapat dikemukakan oleh beberapa tokoh yang memiliki pemahaman dan pandangan yang berbeda tentang demokrasi.
E.E. Schattschneider, memberikan pengertian tentang demokrasi sebagai
sistem politik yang kompetitif yang mana terdapat persaingan antara para pemimpin dan organisasi-organisasi dalam menjabarkan alternatif-alternatif kebijakan publik sehingga publik dapat turut berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sedangkan 28
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan…, Op.Cit., hal. 34.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Soekarno mengatakan bahwa, demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu cara pemerintahan yang memberikan hak kepada semua rakyat untuk memerintah. 29 Kemudian, Patrick Wilson mengamati, demokrasi adalah komunikasi: orang berbicara satu sama lain tentang masalah bersama mereka dan membentuk suatu nasib bersama. 30 Melihat beragamnya defenisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa sulit memberikan defenisi yang pasti tentang demokrasi. Oleh karena itu, sebagian ahli mendefenisikan demokrasi melalui penentuan kriteria-kriteria tertentu. Raymont Gettel 31 menunjukkan bahwa ada lima kandungan demokrasi, yaitu sebagai berikut: a) Bentuk pemerintahannya didukung oleh persetujuan umum (general consent); b) Hukum yang berlaku dibuat oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui referendum atau pemilihan umum; c) Kepala negara dipilih secara langsung atau tidak langsung melalui pemilihan umum dan bertanggungjawab kepada dewan legislative; d) Hak pilih katif diberikan kepada sebagaian besar rakyat atas dasar kesederajatan; e) Jabatan-jabatan pemerintahan harus dapat dipangku oleh segenap lapisan masyarakat. Kemudian, Robert A. Dahl 32 berpendapat bahwa ada tujuh aspek yang harus dipenuhi dalam sistem demokrasi, yaitu: a) Kontrol rakyat atas keputusan pemerintah;
29
Ibid., hal. 34-35. Patrick Wilson, dalam John P. Crisp Jr., et.al., Apakah Demokrasi Itu ? (Makalah), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001. Hal. 9. 31 Raymont Gettel, dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis: Teori Negara Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005, hal. 70. 32 Ibid., hal. 71. 30
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
b)
Para pejabat dipilih melalui pemilihan yang teliti dan jujur;
c) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan pejabat; d) Semua orang dewasa mempunyai hak untuk mencalonkan diri untuk mencalonkan diri untuk jabatan-jabatan di pemerintahan; e) Rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat tanpa ancaman hukuman; f) Rakyat
mempunyai
hak untuk mendapat sumber-sumber
informasi
alternative; g) Menjamin hak-hak rakyat dan rakyat juga memiliki hak untuk membentuk lembaga-lembaga yang relative independen. Di samping itu, ada pula yang disebut dengan soko guru demokrasi yang terdiri dari: kedaulatan rakyat, permerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas; hak-hak minoritas; jaminan hak asasi manusia; pemilihan yang bebas dan jujur; persamaan di depan hukum; proses hukum yang wajar; pembatasan pemerintah secara konstitusional; prularisme sosial, ekonomi, dan politik; dan nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat. 33 Di balik keberagaman definisi dan kriteria-kriteria tersebut di atas, dapat diambil suatu pengertian demokrasi sebagai suatu cara rakyat menyelenggarakan kedaulatan dalam bentuk
pemerintahan rakyat,
sehingga
segala
bentuk
penyelenggaraan
pemerintahan senantiasa berdasarkan kepada kepentingan rakyat. Rakyat terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan, serta pertanggunggjawaban kepadanya atas segala bentuk penyelenggaraaan pemerintahan. 34
33 34
John P. Crisp Jr., et.al., Apakah …, Op.Cit., hal. 6. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 29.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Pandangan yang sama diungkapkan oleh Melvin I. Urofsky 35, bahwa demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin merupakan bentuk pemerintahan yang paling rumit
dan
sulit.
Demokrasi
tidak
dirancang
demi
efisiensi,
tetapi
demi
pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekali mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini.
2. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan Berbicara masalah pertanggungjawaban Presiden tentunya tidak terlepas dari bentuk dan sistem pemerintahan suatu negara. Dalam literatur hukum dan politik, yang biasa disebut sebagai bentuk-bentuk pemerintahan atau staatsvormen itu menyangkut pilihan antara kerajaan (monarki) atau republik. Dalam monarki, pengangkatan kepala negara dilakukan melalui garis keturunan atau hubungan darah, sedangkan dalam republik tidak didasarkan atas pertalian atau hubungan darah. Di berbagai kerajaan, kepala negara disebut dengan berbagai macam istilah, baik itu Raja (King), Ratu (Queen), Kaisar, Sultan, Yang Dipertuan Agong, dll, sedangkan kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Berbeda dari kerajaan, kepala negara republik biasanya disebut dengan Presiden atau Ketua seperti di Republik Rayat Cina, ataupun istilah lain sesuai dengan bahasa setempat yang berlaku. Kepala negara republik tidak ditentukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan pemilihan atau berdasarkan cara lain yang tidak berdasarkan keturunan. 36 Bentuk pemerintahan ini kemudian mempengaruhi sistem pemerintahan. Dalam konsep dasarnya, sistem pemerintahan dibedakan menjadi sistem parlementer dan sistem
35
Melvin I. Urofsky et.al., Prinsip-prinsip…, Loc.Cit., hal. 2. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 277-278 . 36
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
presidensiil. Sistem parlemen memiliki pemerintah/eksekutif kolektif atau kolegial sedangkan sistem presidensiil memiliki eksekutif nonkolegial (satu orang). 37 Atau dapat juga dikatakan, bahwa dalam sistem parlementer ada dua kelembagaan eksekutif, yaitu eksekutif yang menjalankan dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan pemerintahan (real executive) yaitu
kabinet atau dewan menteri dan eksekutif yang tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan (nominal executive) yaitu kepala negara.
Dalam sistem parlementer ini, kabinet atau dewan menteri
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, sedangkan kepala negara tidak dapat diganggu gugat (can do no wrong). Sementara itu, sistem presidensiil yang disebut dengan nonkolegial hanya mengenal satu macam eksekutif. Fungsi kepala pemerintahan (chief executive) dan kepala negara (head of state) ada pada satu tangan dan tunggal (single executive). Pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam sistem presidensiil tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi langsung kepada rakyat pemilih karena dipilih langsung atau dipilih oleh badan pemilih (electoral college). 38 Dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia, melalui sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau disebut juga dengan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai, telah diputuskan untuk menetapkan bentuk republik sebagai bentuk pemerintahan. Ketentuan mengenai bentuk republik kemudian tercermin dalam rumusan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 39, “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Adapun sistem pemerintahannya adalah sistem presidensiil. Hal ini terlihat dari kekuasaan eksekutif yang hanya berada pada satu tangan yaitu Presiden, yang tersirat
37
Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1995, hal. 5. 38 Bagir Manan, Lembaga…,Op.Cit., hal. 13-14. 39 Ketentuan dalam pasal ini tetap dipertahankan walaupun telah dilakukan empat kali perubahan terhadap UUD 1945. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden adalah penyelenggara pemerintahan”. Pemerintahan apabila diartikan secara sempit, berarti khusus kekuasaan eksekutif. 40 Adapun sistem presidensiil Indonesia, sebelum amandemen UUD dikatakan tidak murni. Hal ini terkait dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR sebagai sebuah parlemen. Setelah amandemen sistem ini semakin dipertegas dengan melakukan perubahan yang cukup signifikan terhadap lembaga kepresidenan, seperti pemilihan secara langsung yang mempengaruhi pertanggungjawaban Presiden, yaitu tidak lagi kepada MPR tetapi kepada konstituennya, yaitu rakyat.
3. Teori Konstitusi dan Pembatasan Kekuasaan Konstitusi merupakan hukum dasar yang mengikat, didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. 41 Konsitusi mencakup pengertian undang-undang dasar yang tertulis (schreven constitutie, written constitution) dan nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek kenegaraan (onschreven constitutie, unwritten constitution). 42 Semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. 43 Oleh karena itu, mengangkat konstitusi dalam konteks pemerintahan negara, secara konseptual memerankan dua fungsi, yakni selain sebagai sumber kekuasaan lembaga-lembaga negara, juga berperan sebagai pembatas kekuasaan agar kekuasaan
40
Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta, FH UII Press, 1999, hal. 182 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…., Op.Cit., hal. 21-22 42 Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok…,Op.Cit., hal. 73 43 Jimly Asshidiqie, Konstitusi…, Loc.Cit. 41
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
lembaga-lembaga negara tidak melampaui wewenang yang telah diberikan kepadanya 44. Secara teoritis, pembatasan kekuasaan ini dikenal dengan sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan, agar tidak ada penumpukan kekuasaan di satu tangan (absolut) atau pada sekelompok kecil orang (oligarki). Konsep ini dikemukakan oleh Montesquiue, dimana dalam teorinya dia membedakan ada tiga jenis kekuasaan negara, yaitu: a. Kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan, yang diserahkan kepada badan legislatif; b.
Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan tersebut, yang diserahkan kepada badan eksekutif;
c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut, yang diserahkan pada badan yudikatif. 45 Ajaran Montesquiue ini dikenal dengan Trias Politica. Pada dasarnya, konsep yang disampaikan oleh Montesquiue adalah konsep pemisahan kekuasaan (separation of power). Namun, dalam praktek pemisahan kekuasaan ini tidak dilaksanakan secara konsekuen. Karena, bagaimanapun juga tetap diperlukan suatu mekanisme yang mengatur hubungan antara cabang-cabang kekuasaan itu baik dalam rangka menjalankan bersama suatu fungsi penyelenggaraan negara maupun untuk saling mengawasi antara cabang-cabang kekuasaan yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain. Pemikiran mengenai mekanisme untuk saling mengawasi ini telah melahirkan teori-teori modifikasi atas ajaran pemisahan kekuasaan yaitu teori pembagian kekuasaan (distribution of power) yang menekankan pada pembagian fungsi-fungsi pemerintah –bukan pada pemisahan
44
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 13 Abu Daud Busroh, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1989, hal. 9. 45
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
kekuasaan- dan teori cheks and balances 46, agar semua kekuasaan dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-sebaiknya sehingga aparat negara ataupun pribadipribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan sesuai dengan apa yang diamanahkan dalam konstitusi. Dengan demikian, keberadaan lembaga-lembaga negara sebagai pelaksana kekuasaan serta seluruh elemen kekuasaan, legitimasinya bertumpu pada konstitusi. Kekuasaan yang ada dalam organisasi negara merupakan jabatan dijalankan oleh pejabat (ambt) yang diberi wewenang untuk itu. Pertanggungjawaban terhadapnya merupakan suatu keharusan konstitusional terhadap kekuasaan itu diperoleh serta lingkup kekuasaan itu digunakan.
47
4. Teori Pertanggungjawaban Menurut
Mochtar
Kusumaatmadja,
secara
filosofis
keberadaan
pertanggungjawaban merupakan derivasi dari adanya kekuasaaan yang lebih besar atas kekuasaan lainnya yang diserahi tanggung jawab untuk menyelenggarakan hak dan kewajiban dalam rangka mencapai tujuan dari pemberi kuasa. Untuk menilai apakah kekuasaan yang diberikan itu dipergunakan sesuai dengan peruntukan diberikannya kekuasaan itu sangat tergantung pada standar-standar norma yang telah ditetapkan, baik tertulis
maupun
tidak
tertulis. 48
Atas
dasar
itu,
secara
filosofi
eksistensi
pertanggungjawaban bertumpu pada; pertama, tidak ada ruang dan waktu bagi pemegang kekuasaan untuk tidak mempertanggungjawabkan segala penggunaan kekuasaan; kedua,
46
Bagir Manan, Lembaga…, Op.Cit., hal. 7-8. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 14. 48 Ibid. 47
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawaban berarti adanya pembatasan kekuasaan oleh norma yang berlaku dalam masyarakat. 49 Terlepas dari itu, apabila kita kembali kepada hakikat pertanggungjawaban sebagai amanah -sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain- 50, maka dengan sendirinya pertanggungjawaban merupakan syarat mutlak dari pemberi amanah. Atas nama amanah,
kepemimpinan manusia akan dimintai pertanggungjawabannya
secara sendiri-sendiri, yang besar kecilnya tergantung pada besarnya kekuasaan yang ditanggung oleh seorang pemimpin. 51 Menurut Roesco Pound yang menjadi titik tolak dari pertanggungjawaban adalah tindakan-tindakan personal,
apakah pertanggungjawaban karena
tindakan
yang
merugikan orang lain atau kewajiban melaksanakan janji. Oleh sebab itu, bagi Pound pertanggungjawaban merupakan efek yang diberikan oleh ex delicto tetapi juga dilaksanakan karena ex contractu, yang berarti bahwa seseorang boleh menagih dan seorang lainnya tunduk kepada penagihan. Jika konsep tersebut diintrodusir ke dalam pengertian pertanggungjawaban Preseiden berarti; pertama, pertanggungjawaban merupakan pertanggungjawaban yang timbul karena adanya suatu tindakan Presiden yang merugikan rakyat (berupa detournament depouvoir) yang kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban; kedua, terkait dengan janji Presiden yang diucapkan dalam sumpah jabatan. 52 Sejalan dengan pemikiran Miriam Budiardjo bahwa pertanggungjawaban merupakan konsekuensi dari pihak yang diberi mandat, maka pertangggungjawaban
49
Ibid W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas, Jakarta, Balai Pustaka, 1991, hal. 34. 51 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978, hal. 207. Merupakan penafsiran terhadap Surat Al-An’am ayat 164. 52 Roesco Pound dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 15. 50
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Presiden merupakan konsekuensi dari jabatan Presiden sebagai pihak yang diberi mandat oleh rakyat, yang mana pertanggungjawaban itu adalah suatu bentuk manifestasi dari perwujudan kedaulatan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara. 53
E. Keaslian Penulisan Sebelum tulisan ini dimulai, telah terlebih dahulu dilakukan penelusuran akan tulisan-tulisan terdahulu, dan sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum USU bahwa penulisan tentang “Pola Pertanggungjawaban Presiden RI Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD NRI 1945” belum pernah ada. Tambahan pula, bahwa permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan ini merupakan hasil olah pikir dari penulis sendiri. Oleh sebab itu, keaslian dari tulisan ini dapat dijamin oleh penulis.
F. Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normative berupa studi pustaka (literature research) terhadap data-data sekunder 54 yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier. Adapun bahan hukum primer yang ditelusuri yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-undang Dasar, Ketetapan MPR, dan Undang-undang. Bahan hukum sekundernya berupa buku-buku hukum ataupun buku lain yang terkait dengan tulisan ini, dan bahan hukum tertiernya adalah kamus dan artikel.
53
Miriam Budiardjo dalam I Gde Pantja Astawa dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit, hal.16. 54 Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, dan lain sebagainya, dalam keadaan siap tersaji yang telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis historis dan yuridis komparatif, yang didasarkan pada data-data sebagaimana disebutkan di atas. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I: Pendahuluan Bab ini berisi tentang dasar-dasar pemikiran dan gambaran umum tentang permasalahan yang akan dibahas, serta berisi tentang teknis penulisan skripsi ini yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II:
Pertangungjawaban Presiden dalam Berbagai Perspektif Bab ini merupakan awal dari pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan
di
atas.
Mengingat
skripsi
ini
adalah
tentang
pertanggungjawaban Presiden, maka penelusuran diawali dari pandangan umum terhadap pertanggungjawaban, baik itu dari segi pengertian, timbulnya pertanggungjawaban, bentuk-bentuk pertanggungjawaban, dan menjelaskan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu sistem dan prosedur. Dikatakan dalam berbagai perspektif karena dalam Bab ini akan diurai perihal pertanggungjawaban yang tidak didasarkan hanya pada satu pandangan saja, tetapi didasarkan pada berbagai pandangan yaitu: a. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Demokrasi b. Pertanggungjawaban dalam Perspektif Konstitusi
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
BAB III:
Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 Bab ini berisi pembahasan khusus tentang lembaga kepresidenan, yang terdiri dari pembahasan tentang lembaga kepresidenan secara umum baik itu perihal pengisian jabatan, kekuasaan, dan masa jabatan, yang mana pokok-pokok pembahasan tersebut menurut penulis berhubungan dengan pertanggungjawaban.
Meskipun pembahasannya dalam perspektif
perubahan, namun tidak serta merta pembahasannya hanya terpusat pada UUD NRI 1945 saja, tetapi terlebihi dahulu dilakukan penelusuran historis
terhadap
konstitusi-konstitusi
terdahulu
sebagai
bahan
pembanding. BAB IV:
Pertanggungjawaban Presiden Bab ini merupakan Bab inti, karena pembahasannya langsung kepada pokok permasalahan yaitu pola pertanggungjawaban Presiden yang mana penelusurannya adalah terhadap semua konstitusi-konstitusi tertulis yang pernah berlaku dan sedang berlaku di Indonesia, yaitu: UUD Sementera 1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, UUD 1945, dan UUD NRI 1945 setelah empat kali perubahan. Dari sini kiranya dapat ditarik kesimpulan untuk selanjutnya memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan.
BAB V:
Penutup Bab ini merupakan Bab terakhir yang berisi kesimpulan dari tiga Bab pembahasan di atas, yang kiranya memberikan gambaran yang jelas mengenai pertanggungjawaban Presiden, sehingga dapat memberikan
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
saran-saran konstruktif yang tentunya didasarkan pada pemikiran yuridis yang didapat dari proses penulisan ini.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF
A. Tinjauan Umum Terhadap Pertanggungjawaban 1. Istilah dan Pengertian Pertanggungjawaban Secara leksikal, kata “pertangungjawaban” berasal dari bentuk dasar kata majemuk “tanggung jawab” yang berarti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya). 55 Dalam istilah lain tanggung jawab sering disebut dengan responsibility, lialibility, dan accountability.
Adapun
penggunaan
istilah
responsibility
dimaknai
sebagai
pertanggungjawaban politik. Lialibility cenderung dirujuk kepada akibat yang timbul dari sebab kegagalan untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. Bentuk tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk ganti rugi dan pemulihan atas segala kerugian yang terjadi. Sementara accountability, dilingkupi oleh beberapa unsur, yaitu: a. Memberikan laporan yang dapat dipertanggungjawabkan; b. Mampu memberikan keterangan yang memuaskan secara eksplisit; c. Sesuatu yang mungkin dihitung atau untuk dihitung. 56
55 56
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus.., Op.Cit., hal. 1014. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 69-73.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Sebagai perbandingan atas definisi-definisi di atas, dapat pula kita lihat pengertian “tanggung jawab” oleh S.J. Fockema Andreae 57 yang disebut dengan verantwoordelijk, yang diartikan sebagai berikut: “aansprakelijk, verplict tot het afleggen van verantwoording en tot het dragen van event, toerekenbar schade (desgevorderd), in rechte of in bestuurverband” (tanggung jawab adalah kewajiban untuk memikul pertanggungjawaban, dan hingga memikul kerugian (bila dituntut), baik dalam kaitan dengan hukum, maupun dalam administrasi)
Sementara
itu,
Ismail
Suny
dalam
memberikan
pengertian
tentang
pertanggungjawaban membagi dalam dua bagian, yaitu pertanggungjawaban dalam arti sempit dan pertanggungjawaban dalam arti luas. Pertanggungjawaban dalam arti sempit maksudnya tanggungjawab tanpa disertai sanksi. Sebagai contoh berdasarkan Pasal 118 Konstitusi RIS bahwa sistem pemerintahan mengharuskan menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Tetapi apabila Pasal 118 kita hubungkan dengan Pasal 122 menetapkan bahwa parlemen tidak dapat memaksa menteri-menteri untuk meletakkan jabatan. Dari kedua pasal di atas dapat diartikan, walaupun menteri-menteri bertanggungjawab kepada parlemen bukanlah berarti bahwa penolakan pertanggungjawaban –yang melahirkan mosi tidak percaya dari Parlemenmenteri-menteri
harus
meletakkan
jabatan
atau
mengundurkan
diri.
Jadi
pertanggungjawaban menteri-menteri kepada parlemen tidak menimbulkan sanksi. Pertanggungjawaban dalam arti luas, maksudnya tanggung jawab yang diikuti dengan sanksi. Sebagai contoh, di saat berlakunya UUD Sementara 1950 sesuai dengan ketentuan Pasal 183 meskipun tidak secara tegas dicantumkan, tetapi konsekuensi dari sistem parlementer bahwa dengan mosi tidak percaya yang dimajukan oleh parlemen
57
S.J. Fockema Andreae dalam Arifin P.Soeria Atmadja dalam Firdaus, Ibid, hal. 73 .
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
berarti kabinet atau menteri-menteri secara kebiasaan (convention) harus mengundurkan diri atau meletakkan jabatan. 58 Melihat luasnya pengertian pertanggungjawaban tersebut, timbul kesulitan untuk merumuskan
satu
definisi
mengenai
pertanggungjawaban.
Bagaimana
pertanggungjawaban diartikan, tergantung kepada sudut pandang yang digunakan untuk menelaahnya. Terlepas dari uraian di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa eksistensi pertanggungjawaban sebagai suatu objek multidisiplin inheren di dalam hak dan kewajiban, ke konteks manapun pertanggungjawaban hendak dipahami dan diwujudkan.
2. Timbulnya Pertanggungjawaban Kesulitan
untuk
memberi
suatu
batasan
yang
disepakati
mengenai
pertanggungjawaban menyebabkan istilah tersebut menjadi menarik untuk dikaji, bahkan menjadi objek perdebatan yang tidak tuntas karena sudut pandang yang berbeda dalam memaknai pertanggungjawaban. Hukum, politik, sosial, budaya, dan teologis menjadi dimensi-dimensi berpikir melingkupi arti tanggung jawab dan pertanggungjwaban. Hal penting untuk menjadi bahan perenungan guna memahami makna terdalam tanggung jawab adalah bagaimana suatu tanggung jawab lahir dan membebani manusia. 59 Secara filosofis tanggung jawab dan pertanggungjawaban merupakan suatu mata amanah bagi orang-orang yang yang sudah layak mengemban amanah atau dalam bahasa bijak “pertanggungjawaban menjadi kewajiban bagi orang-orang yang berpikir”. Dari sudut pandang sosial, pertanggungjawaban merupakan garansi tertib sosial. Sedangkan
58
Ismail Suny dalam Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981, hal. 30-31. 59 Firdaus, Pertanggungjawaban Preiden…, Op.Cit., hal. 74. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
kedudukan tanggung jawab dalam lapangan politik karena suatu kekuasaan untuk bertindak, menjalankan fungsi-fungsi pelayanan umum melalui suatu kebijakan dan menanggung beban pertanggungjawaban atas kegagalan fungsi-fungsi kekuasaan politik. Seperti terungkap dalam suatu adigium “geem macht zonder veraantwoordelijkheid” (tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban). 60 Dalam konteks kenegaraan, menurut Suwoto Mulyosudarmo, timbulnya pertanggungjawaban tergantung bagaimana kekuasaan dibentuk dan diperoleh. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu formasi yang disusun dari sistem pembentukan kekuasaan negara. Telaahnya berakar pada konstitusi sebagai landasan pembentukan kekuasaan lembaga-lembaga negara. 61 Dengan kata lain kekuasaan lembaga negara merupakan suatu kausa yang melahirkan pertanggungjawaban sebagai suatu kewajiban bagi pejabat yang menjabat dalam suatu jabatan lembaga negara.
3. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Pemerintah Bentuk pertanggungjawaban tergantung kepada kualifikasi tanggung jawab. Terdapat dua kualifikasi tanggung jawab menurut Dennis F. Thompson antara lain; pertama, tanggung jawab moral; kedua, tanggung jawab politis. Kedua kerangka dasar tanggung jawab tersebut menjadi alas berpikir untuk secara rasional menempatkan pertanggungjawaban atas tindakan pemerintah sebagai organisasi dan pribadi jabatan. Asumsi yang melandasi tanggung jawab moral berhubungan dengan upaya mencari justifikasi untuk menghukum individu-individu dalam organisasi atau organisasi itu sendiri karena kejahatan struktural yang tidak pernah memiliki rasa bersalah, sedang
60 61
Roesco Puond dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Ibid., hal. 74. Suwoto Mulyosudarmo dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal.
76 . Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
tanggung jawab politis berusaha mencari landasan teoritis untuk menghukum kejahatan individu-individu dan organisasi dalam kapasitas jabatan sebagai agen pemerintah. Berdasarkan hukum administrasi Perancis, ada dua prinsip yang menjadi landasan teori tanggung jawab politis, yaitu; pertama, faute personelle karena kesalahan individu, yaitu tabiat seseorang dengan kelemahan-kelemahan pribadinya; kedua, faute de service memanifestasikan seorang pejabat “impersonal” dengan asumsi siapapun dalam posisi jabatan tersebut cenderung untuk melakukan kesalahan, kesalahan mana timbul karena dimungkinkan oleh struktur dan sistem organisasi. 62 Telah diuraikan sebelumnya bahwa luasnya makna tanggung jawab dan posisinya sebagai objek multidisiplin menyebabkan pertanggungjwaban memiliki banyak pengertian dan beraneka ragam bentuk, sehingga untuk memahaminya dibutuhkan bantuan berbagai ragam disiplin ilmu, seperti hukum, politik, bahkan ilmu agama. Oleh sebab itu berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada disiplin tersebut.
a. Pertanggungjawaban Hukum Bentuk pertanggungjawaban hukum pemerintah ditentukan oleh tindakan hukum pemerintah yang dilakukan melalui pejabat pemerintah. Tindakan pemerintah tersebut merupakan tindakan dalam penyelenggaraan kesejahteraan rakyat (bestuurzorg), sehingga kepadanya terikat oleh aturan-aturan hukum, baik hukum tata negara, hukum administrasi, dan hukum perdata. 63
62 63
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 77-78. Ibid., hal. 80.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Penyalahgunaan wewenang (detournament de puovoir) berupa perbuatan melawan hukum (onrechtsmatige overheidsdaad) dan perbuatan melawan undangundang (onwetmatige overheidsdaad) dapat merupakan cause responsibility pemerintah. Bentuk pertanggungjawaban hukum (legal responsibility) tergantung kepada kualifikasi tindakan pemerintah. Jika tindakan penyalahgunaan wewenang secara materiil mengandung unsur melawan hukum pidana, maka bentuk pertanggungjawabannya adalah tanggung jawab hukum pidana. Demikian juga apabila tindakan melawan hukum itu bersifat administratif ataupun perdata, maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab administrasi dan perdata. Perlu diingat bahwa, tindakan seorang pejabat di luar jabatan yang bersifat pidana ataupun perdata dalam masa jabatannya yang menyebabkannya menjadi terdakwa atau tergugat dapat berpengaruh pada jabatan yang sementara didudukinya berupa pemberhentian, untuk seorang Presiden biasanya disebut dengan impeachment. 64 Pertanggungjawaban hukum merupakan konsekuensi logis
dari adanya
pengawasan hukum atas tindakan pemerintah yang diselenggarakan melalui lembaga hukum (lembaga peradilan) yang memiliki wewenang untuk menilai tindakan pemerintah setelah ada tuntutan atau gugatan dari rakyat yang menilai tindakan pemerintah merupakan tindakan melawan hukum. Keberadaan pengawasan hukum atas tindakan pemerintah mengandung dua dimensi yakni pengawasan preventif (preventive toezicht) yang bertujuan untuk menjamin tindakan pemerintah agar tetap berlandaskan pada hukum, dan pengawasan represif (repressife toezicht) yang bersifat memulihkan atau memperbaiki
64
kembali pelanggaran hukum yang
dilakukan pemerintah. Dasar
Ibid., hal. 81.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawaban hukum menurut Paimin Napitupulu bertumpu pada rule of law sebagai rule of game penyelenggaraan pemerintahan. 65
b. Pertanggungjawaban Politik Menelaah pertanggungjawaban politik sebagai salah satu bentuk subsistem pertanggungjawaban, maka paling pertama yang mesti dipahami adalah istilah politik itu sendiri. Pendapat David Easton sebagaimana terurai dalam buku Mochtar Mas’oed, politik merupakan proses pengambilan keputusan oleh lembaga yang memiliki otoritas untuk dilaksankan dalam suatu masyarakat. 66 Menurut Miriam Budiardjo, politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi (private goals). Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa politik merupakan rangkaian kosep antara Negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).67 Menelaah secara substansi kedua pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa politik merujuk kepada otoritas keputusan berupa kebijakan (policy, beleid) mengenai alokasi nilai yang hendak diterapkan dalam suatu masyarakat yang menunjukkan cita-cita dan tujuan bersama yang ingin dicapai, sehingga membicarakan politik berarti mendiskusikan kekuasaan lembaga negara (authority of state institution) untuk mengambil suatu keputusan berupa kebijakan yang hendak diterapkan dalam suatu masyarakat untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup bersama. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban politik bertitik tolak dari
65
Ibid. hal. 82 Mochtar Mas’oed dalam Firdaus, Ibid., hal. 82. 67 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 8-9. 66
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
keputusan pemerintah, baik policy atau beleid maupun wisdom atau wijsheid berdasarkan kewenangannya dalam rangka penyelenggaraan kepentingan umum (masyarakat)68. Menempatkan keputusan pemerintah seperti policy atau beleid dan wisdom atau wijsheid sebagai dasar pertanggungjawaban, maka secara kualitatif pertanggungjawaban politik bertujuan antara lain: 1) Kewajiban pemerintah untuk mewujudkan keinginan politik masyarakat seperti umumnya terwujud dalam konstitusi, dengan kata lain pemerintah berkewajiban menjalankan konstitusi dan undang-undang; 2) Bertanggungjawab kepada konstituen (rakyat) atas keputusan yang diambil yang memiliki dampak yang merugikan masyarakat. Terkait dengan gagasan political responsibility, Herbert J. Spiro menghubungkan dengan konsep constutional democracy, dimana beliau menempatkan konstitusi sebagai dasar pertanggungjawaban kekuasaan lembaga negara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pertanggungjawaban politik pemerintah tidak saja menjadi beban pemerintah atas pemilihnya, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemilih (rakyat) yang telah turut menentukan terpilihnya pemimpin negara. 69
c. Pertanggungjawaban Teologis Melihat pertanggungjawaban dari sudut teologi terkait dengan kedudukan manusia sebagai pemimpin di muka bumi 70, minimal pimpinan atas dirinya. Dalam ayat lain Allah juga berfirman:
68
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 82. Ibid., hal 83. 70 Al-Qur’an Surat Fathir ayat 39 : ”Dia-lah (Allah) yang menjadikan kamu khalifahkhalifah di muka bumi..” 69
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu menunaikan amanat-amanat kepada orang yang berhak menerimanya. Dan jika kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menghukum dengan adil. Sungguh Allah menasihati kamu dengan sebaik-baiknya. Sungguh Allah Maha Melihat lagi Maha Penyayang.” 71
Firman Allah tersebut diperkuat lagi dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw, yang menyatakan: “Masing-masing darimu adalah pemimpin dan setiap pemimpin harus bertanggungjawab atas semua urusan yang dipimpinnya.”
“Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah gembala, dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai gembalanya; seorang pemimpin (imam) tertinggi adalah gembala bagi rakyatnya dan dia akan dimintai pertaggungjawaban mengenai rakyatnya.”
Menelaah ketentuan Qur’an dan hadits di atas, maka pertanggungjawaban dapat dimaknai sebagai tanggung jawab pemimpin atas kekuasaan yang dipegangnya, bukan hanya
kepada
rakyatnya,
tetapi
juga
mempertanggungjawabkan
rakyat
yang
dipimpinnya. 72 Pertanggungjawaban teologi ini memiliki dua aspek penting, yaitu: pertama, dapat menjadi garansi personal (personal guaranty) atas integritas moral tanggung jawab seorang pemimpin; kedua, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan prinsip-prinsip dasar dalam suatu norma yuridis positif, sehingga penegakannya dilakukan melalui hukum negara.
71
Al-Qur’an, Surat An-Nisaa’ ayat 58, dalam Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil, Al Izzah, 2002, hal. 5. 72 Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005, hal. 73. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Perihal dasar-dasar berpikir teologis ini telah diletakkan oleh Thomas Aquinas dalam bukunya yang berjudul “Summa Theological” dan “Regimene Principum” yang membagi hukum dalam empat kategori antara lain: 1) Lex Aeterna, yang mengonsepsi rasio Tuhan sebagai pengaturan alam semesta dan merupakan sumber dari segala sumber hukum; 2) Lex Divina, merupakan bagaian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia berdasarkan wahyu yang diterimanya; 3) Lex Naturalis, merupakan konsep hukum alam yang menjelma dari Lex Aeterna di dalam rasio manusia; 4) Lex Positivis, hukum yang berposisi sebagai pelaksana dari hukum yang berhubungan dengan konteks kehidupan manusia di muka bumi. 73 Menarik
konsep
pemikiran
Thomas
Aquinas
ke
dalam
konteks
pertanggungjawaban teologis, dapat kita lihat dari adanya penempatkan hukum-hukum Tuhan sebagai dasar perumusan hukum positif dalam pengertian terjelmanya nilai-nilai teologis tersebut dalam rasio manusia, sehingga hukum Tuhan dapat menjadi bagian dari hukum positif yang dapat ditegakkan melalui negara, sehingga pertanggungjawaban teologis dapat berdimensi hukum negara dan pertanggungjawaban akhirat.
4.
Pertanggungjawaban sebagai Suatu Sistem dan Prosedur Sebelum mengurai pertanggungjawaban sebagai suatu sistem, terlebih dahulu
diuraikan apa yang dimaksud dengan sistem. Eksistensi teori sistem sebagai suatu pendekatan multidisiplin merupakan pematangan dari perkembangan teori sistem pada ilmu biologi yang kemudian dipergunakan secara lebih luas dalam ilmu sosial, termasuk ilmu hukum. Penggunaan teori sistem sebagai suatu pendekatan dalam ilmu sosial
73
Lili Rasjidi, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 86.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
digunakan pertama kali oleh Minenius Agrippa untuk memahami dan menjelaskan realitas negara. 74 Ada dua konsep untuk memahami dan menjelaskan teori sistem, antara lain: pertama, perkembangan konsep sistem sebagai rangakaian organis yang menyeluruh (holistic), terus tumbuh dan berkembang serta saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya; kedua, konsep sistem melihat unit-unit kerja sistem sebagai suatu yang terpisah antara satu dengan yang lainnya untuk menyelenggarakan fungsi dan mencapai tujuan masing-masing unit dan menjadi bagian mekanis (pola hubungan tetap) dari unit-unit sistem lainnya. 75 Apabila dihubungkan dengan terminologi pertanggungjawaban maka akan membentuk suatu frasa “sistem pertanggungjawaban” yang berarti suatu keteraturan yang bersifat tetap dan terus menerus untuk suatu maksud dan tujuan secara bersama yakni pertanggungjawaban. Sehingga sistem pertanggungjawaban merupakan bangunan sistem, dimana segala bentuk aktivitas penyelenggaraan fungsi unit-unit organ saling berhubungan secara tetap, terus menerus dan menyeluruh berorientasi pada upaya pembentukan sistem yang bertanggung jawab. 76 Menelaah konstruksi pemikiran tentang sistem pertanggungjawaban di atas, secara lebih sederhana dapat dikelompokkan ke dalam beberapa unsur bangunan sistem pertanggungjawaban sebagai suatu keseluruhan dengan merujuk kepada elemen-elemen sistem hukum rumusan Lawrence M. Friedman, antara lain: pertama, substansi yang merujuk kepada
materi (nilai-nilai) sebagai dasar
sekaligus
pemberi bentuk
pertanggungjawaban; kedua, struktur yang merujuk kepada lembaga-lembaga atau unitunit
formal
dan
prosedural,
tempat
nilai-nilai
didistribusikan,
dilembagakan,
74
Ibid., hal. 87. Ibid. 76 Ibid., hal. 88-89. 75
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
diberlakukan, dan dipertahankan; ketiga, kultur yakni kebiasaan atau konvensi yang telah melembaga dalam sistem kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pertanggungjawaban sebagai prosedur merujuk kepada mekanisme sistem kerja unit-unit lembaga formal dimana nilai ditegakkan, sehingga prosedur diartikan sebagai mekanisme operasional bekerjanya unit-unit formal secara keseluruhan dalam rangka penegakan sistem pertanggungjawaban. 77
B. Pertanggungjawaban Presiden Dalam Perspektif Demokrasi Dalam hal pertanggungjawaban, demokrasi diartukulasikan sebagai cara rakyat dalam mewujudkan kedaulatannya, karena teori demokrasi terpusat pada bagaimana membangun bentuk dan sistem pemerintahan yang mampu mewujudkan kedaulatan rakyat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno bahwa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Cara pemerintahan yang memberi hak kepada semua rakyat untuk memerintah. 78 Hal ini sejalan dengan pandangan Miriam Budiardjo, yang menyatakan bahwa dalam perkembangannya di Indonesia, masalah demokrasi berkisar pada bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, tersusun suatu sistem politik di mana kepemimipinan yang cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat, seraya menghindari timbulnya diktator, apakah bersifar perorangan, partai, atau militer. 79 Dalam melaksanakan nilai-nilai demokrasi, perlu diselenggarakan beberapa lembaga, diantaranya pemerintahan yang bertanggung jawab. 80 Dalam paham demokrasi, adanya konsep pertanggungjawaban didasarkan pada asumsi akan adanya seseorang yang
77
Ibid., hal. 90. Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan…,Op.Cit., hal. 37. 79 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar…, Op.Cit., 69. 80 Ibid, hal. 63. 78
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
akan diberi mandat untuk menempati suatu kedudukan tertentu, dengan tugas dan wewenang yang dijalankan dalam jangka waktu tertentu pula. Apabila asumsi di atas diaplikasikan dalam lembaga kepresidenan, maka presiden merupakan suatu lingkup jabatan yang akan diisi oleh orang sebagai pejabat dengan cara tertentu untuk menjalankan tugas dan wewenang lembaga dalam jangka waktu tertentu. Pembentukan lembaga kepresidenan dengan segala tugas dan wewenang yang melekatinya merupakan suatu pelembagaan kedaulatan rakyat untuk menyelenggarakan salah satu fungsi pemerintahan di bidang eksekutif, sehingga segala bentuk penggunaan kekuasaan senantiasa dipertanggungjawabkan kepada pemilik kekuasaan, yaitu yang memberi mandat (rakyat). Oleh sebab itu, baik secara organisasi maupun pejabat, pertanggungjawaban merupakan salah satu instrumen demokrasi. 81
C. Pertanggungjawaban Presiden dalam Perspektif Konstitusi Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik secara efektif, timbullah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi kekuasaan pemerintah ialah dengan suatu kostitusi, apakah ia bersifat naskah (written constitution) atau tak bersifat naskah (unwritten constitution). Undang-undangdasar itu menjamin hakhak politik dan menyelenggarakan pembagian kekuasaan Negara sedemikian rupa, sehingga kekuasaan eksekutif diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini dinamakan kosnstitusionalisme (constitutionalism). 82 Pada zaman sekarang, konsitusi merupakan suatu keniscayaan bagi negara modern. Basis pokok dari konstitusionalisme adalah kesepakatan umum atau persetujuan
81 82
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 19. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar…, Loc. Cit. hal. 56.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
(consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Konstitusi yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umunya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu: a. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general accaptence of the same philosophy of government); b. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basis of government); c. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures). 83 Keseluruhan kesepakatan di atas, pada intiya menyangkut pengaturan dan pembatasan kekuasaan. Pada pokoknya, prinsip konstitusionalisme modern sebenarnya memang menyangkut prinsip pembatsan kekuasaan atau yang azim disebut dengan prinsip limited government. Oleh karena itu, biasanya isi konstitusi dimaksudkan untuk mengatur tiga hal penting, yaitu: (a) menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara; (b) mengatur hubungan antar lembaga negara yang satu dengan yang lain; dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga negara dengan warga negara. 84 Melihat uraian di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam paham konstitusi pembatasan kekuasan merupakan keharusan. Tidak ada satu lembaga pun yang dapat menjalankan kekuasaannya tanpa didasari pada konstitusi, dan antar lembaga negara diterapkan adanya prinsip cheks and balances demi terjaminnya perimbangan kekuasaan dan jalannya sistem pengawasan. Setiap lembaga negara juga harus dapat
83 84
Jimly Asshiddiqie, Kontitusi…, Op.Cit., hal. 24. Ibid, hal. 28-29.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
mempertanggungjawabkan jalannya kekuasaan yang diberikan kepadanya, kepada yang memberi kuasa yaitu rakyat (warga negara).
BAB III LEMBAGA KEPRESIDENAN DALAM PERSPEKTIF PERUBAHAN UUD NEGARA RI TAHUN 1945
A. Lembaga Kepresidenan Sebelum Perubahan UUD Negara RI 1945 1. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945 17
Agustus
1945,
atas
nama
bangsa
Indonesia,
Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sehari setelahnya, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), mengadakan rapat untuk menetapkan Undang-undang Dasar. 85
Kemudian, berdasarkan pada Pasal III
Aturan Peralihan UUD Sementara 1945, pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI memilih Ir. Soekrno dan Drs. Mohammad Hatta masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden
85
Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi…, Op.Cit., hal. 21.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertama Republik Indonesia. Dengan demikian semakin lengkaplah unsur sebuah negara pada negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 86 Secara
konstitusional,
pengisian
jabatan
tersebut
mengandung
sifat
kesementaraan, 87 karena menurut UUD Sementara 1945, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR 88, sedang pada waktu itu MPR belum terbentuk. Mengingat bahwa lembaga-lembaga Negara belum terbentuk, maka berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD Sementara 1945 ditentukan : “sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.” Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa pemerintahan negara sangat sentralistik, dimana menurut ketentuan tersebut kedaulatan rakyat yang ada pada MPR dan kekuasaan legislatif yang ada pada DPR dan sebagainya itu berada di tangan atau dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Sentralisasi kekuasaan ini dikhawatirkan akan menciptakan suatu pemerintahan otoriter, sebab adanya pemerintah (eksekutif) tidak dibarengi dengan adanya lembaga negara lain untuk menjalankan fungsi cheks and belances. 89 Oleh karena itu, berdasarkan petisi yang ditandatangani 50 orang anggota KNIP diterbitkanlah maklumat Wakil Presiden No. X pada tanggal 16 Oktober 1945, yang berisi antara lain: “Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menentukan Garis-Garis Besar Haluan Negara…”90
86
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…, Op. Cit., hal. 28. Bagir Manan, Lembaga…,Op.Cit., hal. 83. 88 Pasal 6 ayat (2) UUD Sementara 1945 89 Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi…,Op.Cit., hal. 25-33. 90 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 96. 87
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Pada awal penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1945 dianut sistem presidensil, dimana Presiden sebagai kepala Negara yang memegang kekuasaan pemerintahan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, menurut ketantuan Pasal 17 ayat (1), (2), dan (3) menentukan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang memimpin departemen pemerintahan yang akan diangkat oleh Presiden. 91 Sistem presidensil ini hanya bertahan beberapa bulan, sebab dengan dikeluarkannya maklumat Wakil Presiden No. X tersebut maka sistem pemerintahan Indonesia kala itu beralih menjadi sistem parlementer dan pada tanggal 11 Nopember 1945 BP-KNIP mengumumkan bahwa petisinya telah diterima dan Presiden menyetujui usul BP-KNIP untuk mengadakan pertanggungjawaban ministerial, lalu pada tanggal 14 Nopember 1945 dikeluarkanlah Maklumat Pemerintahan, untuk mengumumkan susunan kabinet Parlementer I.
Dengan demikian Presiden pada kala itu tidak lagi sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan, tetapi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara , sedangkan sebagai pelaksana pemerintahan pada periode ini adalah Perdana Menteri. Sistem pemerintahan parlementer ini terus berlangsung sampai pada tahun 1959. Dan dalam masa berlakunya UUD Sementara 1945, yaitu kurang lebih tiga tahun (terhitung sejak Nopember 1945 sampai dengan Januari 1948) terdapat 4 (empat) kabinet yang pernah terbentuk yaitu Kabinet Syahrir I (14 Nopember 1945-12 Maret 1946), Kabinet Syahrir II (12 Maret 1946-28 Juni 1946), Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dan Kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-31 Januari 1948).
2. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS
91
Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…,Op.Cit., hal. 29.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Kurang lebih tiga tahun setelah Proklamasi, tekanan internal dan eksternal terus menjadi ancaman untuk meruntuhkan Negara Indonesia. Gejolak dalam negeri dan disintegrasi bangsa, ditambah dengan tekanan Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia semakin memperburuk situasi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam ikatan Negara Kesatuan. Belanda terus menggalakkan politik federasinya untuk memecah Negara Kesatuan Indonesia. Tindakan Belanda ini berakhir setelah diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tanggal 2 November 1949, dengan menghasilkan kesepakatan sebagai berikut: a. Pembentukan Negara Indonesia Serikat; b. Piagam “penyerahan” kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; 92 c. Didirikan Uni antara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda. 93 Di tengah berlangsungnya KMB, Konstitusi RIS dirancang secara bersamaan antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Negara-negara BFO (bijeenkomst voor federal overleg ). Rancangan Konstitusi tersebut kemudian disetujui, ditetapkan, dan disahkan oleh Pemerintah Negara Republik Indonesia dan KNIP serta Pemerintah dan Perwakilan Rakyat negara-negara BFO dalam Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Desember 1949. Kemudian pada tanggal 27 Desember 1949, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia, bersamaan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS. Sejak saat itu, wilayah Republik Indonesia terdiri dari dua pemerintahan, yaitu: 94 a. Pemerintahan Republik Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan serta kedaulatannya, baik terhadap pihak Belanda maupun terhadap dunia internasional berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;
92
Bangsa Indonesia membacanya dengan “pemulihan atau pengukuhan kedaulatan” J.C.T. Simorangkir, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit, hal. 102. 94 Soehino, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta, Ghalia, 1992, hal. 35. 93
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
b. Pemerintahan negara-negara kecil yang didirikan oleh atau paling tidak atas bantuan Belanda. Berdasarkan Konstitusi RIS, Presiden adalah kepala Negara, yang dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian. 95 Konstitusi tidak mengatur secara tegas pembatasan masa jabatan Presiden. Dalam Konstitusi RIS hanya diatur masalah pemilihan Presiden baru apabila Presiden berhalangan tetap, berpulang, atau meletakkan jabatan96. Melihat pengaturan Konstitusi RIS tentang jabatan Presiden, dominasi Presiden cukup besar karena kedudukannya yang tidak dapat dipersalahkan (can do no wrong) ataupun tidak diminta pertanggungjawabannya dalam menjalankan pemerintahan. Di samping itu, Konstitusi ini juga membuka kemungkinan jabatan Presiden seumur hidup. 97 Sepanjang diberlakukannya Konstitusi RIS, kedaulatan dijalankan oleh pemerintah (Presiden dan menteri-menteri) bersama-sama dengan Senat dan DPR. 98 Dengan demikian, segala bentuk peraturan perundang-undangan federal dikeluarkan oleh ketiga lembaga tersebut, sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dan demokrasi. Untuk itu ada dua bentuk Undang-undang Federal yakni undang-undang yang dikeluarkan secara bersama-sama oleh Pemerintah, DPR, dan Senat, serta undang-undang yang dikeluarkan secara bersama-sama oleh Pemerintah dan DPR. 99
95
Pasal 6 ayat (1) dan (2) Konstitusi RIS Pasal 72 Konstitusi RIS. Konstitusi RIS tidak menyebutkan secara tegas lembaga yang memilki kewenangan memilih Presiden. 97 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 104-105. 98 Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 99 Pasal 127 Konstitusi RIS, berbunyi: kekuasaan perundang-undangan federal, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagaian ini dilakukan oleh: a) Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat, sekedar hal itu mengenai peraturan-peraturan tentang hal-hal yang khusus mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau bagian-bagiannya, ataupun yang khusus mengenai perhubungan antara RIS dan daerah-daerah yang tersebut dalam Pasal 2 Konstitusi. b) Pemerintah bersama-sama DPR dalam seluruh lapangan pengaturan selebihnya. 96
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Sekalipun tidak secara eksplisit dikatakan kedudukan Presiden sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, tetapi posisinya sebagai bagaian darai pemerintah di samping Perdana Menteri dan menteri-menteri lainnya menunjukkan bahwa Prsiden merupakan salah satu unsure pelaksana kedaulatan rakyat. Bahkan, kedududukan Presiden sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat ditambah kewenangan-kewenangan 100 lain seperti menunjuk Perdana Menteri serta menyusun kabinet berdasarkan kesepakatan orang-orang yang dikuasakan oleh Pemerintaha Daerah, mengangkat Ketua Senat, sangat memungkinkan Presiden untuk melakukan intervensi kepada lembaga DPR dan Senat. 101
3. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1950 Konstitusi RIS hanya bertahan sekitar delapan bulan. Banyaknya gerakan demonstrasi yang menghendaki kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan, mendorong pemerintah Pemerintah RIS dan Pemerintah RI untuk mengadakan musyawarah guna mencari jalan keluar dari situasi sulit yang dihadapi negara. Permusyawaratan dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950 dan berhasil menyepakati sebuah keputusan untuk membentuk kembali Negara Kesatuan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Untuk itu, disadari akan perlunya pembentukan Undang-undang Dasar baru. Akhirnya, dibentuklah Panitia yang bertugas untuk menyusun rancangan Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tanggal 20 Juli 1950 rancangan tersebut telah selesai dan disampaikan kepada DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat
100
Kewenangan-kewenangan yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 74 ayat (1) sampai dengan ayat (5), serta Pasal 85 ayat (1) Konstitusi RIS. 101 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 107 Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dan kepada KNIP Republik Indonesia untuk disahkan, sehingga sebelum tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat dibentuk. 102 Pengesahan dari rancangan tersebut dilakukan pada tanggal 15 Agustus 1950 oleh Presiden RIS Soekarno, Perdana Menteri Moh. Hatta, dan Menteri Kehakiman Soepomo. Pada hari yang sama diundangkan pula dalam lembaran negara, yang berarti sejak saat itu konstitusi RIS telah berubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dalam suatu susunan Negara Kesatuan RI yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. 103 Pada masa berlakunya UUD Sementara 1950, kedudukan Presiden dan Wakil Presiden masih dalam tataran yang tidak dapat diganggu gugat. Pertanggungjawaban atas seluruh kebijakan pemerintahan berada di tangan menteri-menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. 104 Sistem pemerintahan yang ditampilkan oleh UUD Sementara 1950 berada diantara kabinet presidensiil dan parlementer. Unsur-unsur presidensiil yang terdapat dalam UUD Sementara 1950 adalah: pertama, anggota DPR yang menjadi anggota kabinet dilarang menggunakan hak dan kewajibannya sebagai anggota DPR selama memangku jabatan menteri; kedua, kabinet dan menteri-menteri tidak dibentuk, diangkat, dan diberhentikan oleh DPR; ketiga, meskipun kabinet
dan menteri-menteri
bertanggungjawab untuk memberikan keterangan mengenai kebijakan pemerintah kepada DPR, tetapi DPR tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan kabinet atau meminta menteri-menteri untuk berhenti dari jabatan. Sedangkan unsur-unsur parlementer terlihat dari: pertama, kabinet dipimpin oleh perdana menteri; kedua, tanggung jawab dan
102
Joeniarto, dalam Firdaus, Ibid., hal. 108. Ibid, hal. 71. 104 Pasal 83 ayat (1) dan (2) UUD Sementara 1950. 103
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawaban ada di tangan kabinet dan menteri-menteri; ketiga, DPR dapat dibubarkan oleh Presiden. 105 Sepanjang diberlakukannya UUD Sementara 1950, telah kerap terjadi pergantian kabinet karena pergesekan politik ekstra parlementer. 106 Dikatakan ekstra parlementer, sebab runtuhnya kabinet tidak disebabkan masalah internal parlemen, melainkan karena: pertama, partai-partai menarik anggotanya dari kabinet; kedua, intervensi Presiden terhadap kabinet yang sangat tinggi dan dapat sewaktu-waktu membubarkan kabinet. Meskipun kedudukan Presiden tidak dapat diganggun gugat atas kebijakan pemerintahan, demikian pula dengan penggunaan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara 107, namun tidak berarti Presiden lepas dari pertanggungjawaban, khususnya pertanggungjawaban kriminal. Menurut Ismail Suny, berdasarkan pada Pasal 106 ayat (1),
Presiden
harus
terlebih
dahulu
dibebaskan
dari
jabatan
apabila
ingin
menghadapkannya ke Pengadilan, karena kedudukan Presiden tidak dapat diganggu gugat. 108
4. Lembaga Kepresidenan Pada Masa Berlakunya UUD 1945 a. Pada Masa Orde Lama Tanggal 21 September 1955 merupakan bulan bersejarah bagi tonggak demokrasi Indonesia, setelah sukses melaksanakan Pemilihan Umum pertama untuk memilih anggota DPR dan pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante.
105
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 113. Kabinet-kabinet yang terbentuk dalam kurun waktu 1950-1950 adalah Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali II, dan Kabinet Djuanda. 107 Hak Prerogatif Presiden, diantaranya membentuk kementerian-kementerian, menunjuk seseorang atau beberapa orang membentuk kebinet, dan mengangkat seorang Perdana Menteri (Pasal 50, 51 ayat 1 dan 2) 108 Ismail Suny dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 115. 106
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Kedua pemilihan umum itu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Umum. 109 Sebagai hasil pemilihan umum yang khusus dilakukan untuk pemilihan anggota Konstituante, maka pada tanggal 10 Nopember 1956, tepat pada Hari Pahlawan, di kota Bandung dilangsungkan pelantikan Konstituante RI oleh Presiden Soekarno. Dengan peristiwa itu, maka dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia untuk pertama kali bersidanglah sebuah majelis yang bentuk atas dasar suatu pemilihan umum untuk memulai pekerjaannya menetapkan UUD bagi negara dan bangsa Indonesia. 110 Selama kurang lebih dua setengah tahun, Konstituante tidak berhasil merumuskan UUD baru. Hal ini dipengaruhi oleh situasi politik, dimana dalam tubuh konstituante terdapat dua fraksi besar yang berbeda garis politiknya, yaitu golongan nasionalis religius dan golongan nasionalis sekuler. Perbedaan pandangan mengenai dasar negara meruncing dalam sidang Konstituante hingga sulit untuk dipertemukan. Untuk mencari jalan keluar dari polemik tersebut, Presiden Soekarno mengusulkan dalam Sidang Konstituante untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945. Menanggapi gagasan tersebut, pada tanggal 29 Mei 1959 digelar Sidang Pleno amandeman untuk dua pilihan yang berbeda; pertama, kembali ke UUD 1945 dengan pencantuman Piagam Jakarta, yang diajukan oleh nasionalis religius; dan kedua, kembali ke UUD 1945 tanpa perubahan, yang diusulkan nasionalis sekuler. Proses amandemen tersebut mengacu pada Pasal 137 ayat (2) UUD Sementara 1950 yang berbunyi, “Undang-Undang Dasar baru berlaku, jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiganya dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh pemerintahan.”
109
C.S.T. Kansil, et.al., Konstitusi-Konstitusi Indonesia Tahun 1945-2000, Jakarta, Sinar Harapan, 2001, hal. 120-121. 110 Ibid., hal. 123. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Berdasarkan hal tersebut, maka pada tanggal 30 Mei 1959, dilakukan pemungutan suara pertama, namun tidak menghasilkan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) di atas. Demikian pula dengan pemungutan suara kedua dan ketiga tidak menghasilkan suatu keputusan. Oleh karena itu, konstituante direseskan dan atas nama pemerintah, KASAD kala itu Jenderal Nasution mengeluarkan peraturan tentang larangan mengadakan kegiatan-kegiatan politik. Kegagalan konstituante tersebut dijadikan Presiden Soekarno sebagai alasan formal untuk mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden Nomor 150 tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan: 111 1) Pembubaran Konstituante; 2) Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara; 3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Perimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka saat itu pula Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Aturan Peralihan berlaku kembali dan Konstiuante dibubarkan sehingga untuk mengisi kekosongan tugas-tugas legislatif, segera dibentuk Majelis Permusyawaratn Rakyat Sementara (MPRS) dengan penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan penetapan Presiden
111
Ni’matul Huda, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit, hal.117.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Nomor 3 Tahun 1959 yang didasarkan pada Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. 112 Perubahan mendasar dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959 adalah perubahan sistem parlementer ke sistem kabinet presidensiil. Gagasan ini didasari oleh pengalaman sejarah demokrasi parlementer yang dinilai gagal, karena selain tidak dapat menciptakan pemerintahan yang stabil, juga tidak sesuai dengan sosio-kultur Indonesia. Untuk gagasan tersebut Presiden Seokarno membangun sebuah konsep yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin. Dengan lahirnya konsep ini, demokrasi Pancasila yang menjadi bagian dari Pembukaan UUD 1945 mengalami deviasi, meskipun Soekarno berusaha meyakinkan bahwa demokrasi terpimpin sesungguhnya demokrasi Pancasila itu sendiri. 113 Konsistensi konsep tersebut banyak diragukan oleh banyak kalangan, dan sangat mungkin mengarah kepada totaliterisme dan diktator. Keraguan kemungkinan demokrasi terpimpin akan cenderung kepada diktator mulai terlihat setelah dicabutnya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang Pembentukan Partai. Presiden Soekarno melakukan pembatasan partai karena dinilai tidak baik terhadap stabilitas politik dalam negeri. Situasi ini berlanjut sampai pada pembubaran Partai Masyumi dan PSI melalui Penpres Nomor 7 Tahun 1959, dikuatkan dengan Kepres Nomor 200 Tahun 1960. 114 Konsolidasi politik Soekarno terus digalakkan untuk mencari dukungan melalui manifesto polotik USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan NASAKOM (Nasionalisme, Agama,
112
Soehino, Hukum Tata Negara…, Op.Cit., hal. 110. Pasal IV Aturan Peralihan berbunyi, “Sebelum MPR. DPR, dan DPA dibentuk, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.” 113 Usep Ranawijaya, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 119121. 114 Mahfud MD, dalam Firdaus, Ibid., hal. 121. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dan Politik). 115 Di bawah UUD 1945, kekuasaan Presiden berada dalam dua fungsi, baik sebagai Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Presiden kala itu memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan Presiden juga sebagai mandataris sebuah lembaga negara yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan pada periode ini pula Presiden Soekarno ditetapkan menjadi Presiden Republik Indonesia seumur hidup yang ditetapkan dengan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Hal tersebut merupakan gambaram betapa besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif kala itu, yang secara praktis mempengaruhi praktek penyelenggaraan negara yang mengarah pada tindakan pengingkaran terhadap konstitusi. 116 Usaha pemusatan kekuasaan yang dilakukan Presiden Soekarno mencapai puncaknya sejak dibentuknya Kabinet Kerja III,yang tercermin dari: 1) Dewan Nasional sebagai sebuah badan untuk menghimpun wewenang di luar parlemen dibentuk oleh Presiden, dengan tugas membantu pemerintah; 2) Dengan Penpres Nomor 4 Tahun 1960, DPR hasil pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan, sebagai gantinya Presiden membentuk DPR Gotong Royong, selanjutnya disebut dengan DPR-GR; 3) Pimpinan MPRS, DPR-GR, Ketua Dewan Perancang Nasional, Wakil Ketua DPAS, Ketua Mahkamah Agung, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, disamakan kedudukannya dengan menteri. Dengan demikian kepemimpinan Presiden Soekarno membawahi keenam badan kenegaraan tersebut. 117 Tindakan-tindakan tersebut merupakan praktek ketatanegaraan yang menyimpang dari asas-asas negara hukum dan negara demokrasi, serta asas pembagian kekuasaan yang
115
Ibid., hal. 144. Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…, Op.Cit., hal. 32-33. 117 Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2006, hal. 86. 116
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dianut oleh UUD 1945. 118 Kekuasaan Presiden Soekarno yang luar biasa besar tersebut terus berlangsung sampai dengan timbulnya Gerakan 30 September PKI 1965 dan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diemban oleh Soeharto. 119
b. Pada Masa Orde Baru Periode ini ditandai dengan gagalnya G30-S/PKI dan disusul dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 dan dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tanggal 12 Maret 1967 yang mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden 120, sekaligus mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari presiden Soekarno dengan pertimbangan tidak memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagaimana layaknya
seorang
mandataris.
Kemudian
melalui
Ketetapan
MPRS
No.
XLIV/MPRS/1968, status Soeharto berubah dari pejabat Presiden menjadi Presiden Republik Indonesia. 121 Pada periode ini, Presiden sebagai pemegang kekuasaan Presiden memanfaatkan betul ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku saat itu sehingga kekuasaan eksekutif terasa begitu besar dan sangat dominan yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, bahwa Presiden merupakan kepala pemerintahan dengan kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri. Kemudian dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan angka (3) dan (4)
122
,
118
Ibid., hal. 87-88. Selanjutnya ditulis G30-S/PKI 120 Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…, Op.Cit., hal. 33. 121 Suwoto Mulyosudarmo, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., 119
hal. 122. 122
Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan angka (3), berbunyi: “kedaulatan dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratn Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des willens des staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Majleis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menajalankan haluan Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
yang menyatakan bahwa Presiden adalah mandataris MPR dan merupakan penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Mejelis. Belum lagi ketentuan Pasal 5 ayat (1), dimana berdasarkan pasal tersebut Presiden Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 123 Ketentuan-ketentua tersebut dimanfaatkan oleh pihak eksekutif, sehingga Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang begitu besar dan sentralistik, dikatakan demikian karena: 1) Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan; 2) Presiden memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang; 3) MPR sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, yang kemudain MPR memberikan mandat kepada Presiden, hal ini dapat dimaknai bahwa Presiden sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Belum lagi apabila kita melihat ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Ketentuan ini menyiratkan bahwa masa jabatan Presiden itu tanpa batas, selagi dapat dipilih kembali. Sehubungan dengan ketentuan inilah Presiden Soeharto dapat menjabat sebagai Presiden selama tiga dasawarsa, terhitung dari 12 Maret 1967 hingga tanggal 21 Mei 1998. 124 Di akhir 1997, krisis multidimensi melanda Indonesia, memaksa Soeharto berhenti dari jabatan Presiden, yang merupakan pertanda berakhirnya masa orde baru yang dikuasai oleh Soeharto. Kedudukan Presiden kemudian digantikan oleh wakilnya
Negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidan “neben” tapi “untergoernet” kepada Majelis.” Angka (4) berbunyi: “ di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara teringgi.” 123 Rahimullah, Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…, Op.Cit., hal. 33-34. 124 Ibid., hal. 34-35. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
BJ. Habibie. Kekuasaan Presiden kala itu masih tetap kuat, namun BJ. Habibie tidak bertahan lama sebagai Presiden ditandai dengan ditolaknya laporan pertanggungjawaban yang diucapkan pada Rapat Paripurna MPR RI tanggal 14 Oktober 1999. Hal ini dipengaruhi oleh langkah politis Habibie mengenai Timor Timur,yang berakibat lepasnya provinsi tersebut dari Indonesia. 125 B. Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945 1. Tinjauan Umum terhadap Perubahan UUD RI 1945 Penyebab utama mengapa konstitusi harus mengalami perubahan tentu saja karena konstitusi itu dianggap sudah ditinggalkan zamannya, sudah tak sesuai lagi dengan kebutuhan rakyat. Dengan mengubah konstitusi, diharapkan konstitusi itu akan memenuhi hasrat, kehendak, dan cita-cita rakyat dari bangsa dan negara yang memiliki konstitusi itu. 126 Demikian pula halnya yang terjadi di Indonesia, ketika UUD 1945 dianggap tidak lagi dapat mewadahi kebutuhan bangsa, sehingga dianggap perlu untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan UUD 1945 merupakan langkah awal dari perwujudan tuntutan reformasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Harun Alrasid, bahwa langkah awal reformasi adalah reformasi konstitusi. Menurut Bagir Manan, pembaharuan UUD 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan berbagai kekurangan yang ada dalam UUD 1945, dan untuk memperkokoh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang perlu dipertahankan.
125
Susilo Suharto, Kekuasaan Presiden…, Op.Cit., hal. 118-119. Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Bandung, Grafiti Budi Utami, 2007, hal.51 126
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Dengan berbagai pembaharuan, diharapkan benar-benar UUD 1945 menjadi the higest law atau supreme law of the land dalam sistem hukum Indonesia. 127 Dasar pemikiran dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR adalah: 128 a. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya check and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan. b. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy, yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden. c. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes”, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir). 129 d. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Hal ini terkait dengan kekuasaan Presiden di bidang legislatif. e. Rumusan UUD tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktik
127
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003, hal. 31. Sekretariat Jenderal MPR RI 2003, Latar Belakang Proses dan Hasil Perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia…, Op.Cit., hal.56-57. 129 Misalnya Pasal 7 UUD 1945 sebelum diubah berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Rumusan ini dapat ditafsirkan lebih dari satu, yakni, bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak dapat dipilih lagi atau Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih berkali-kali. 128
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain: 1) Tidak adanya checks and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden; 2) Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; 3) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah; 4) Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopolo, dan monopsoni. Dengan perubahan UUD 1945 tersebut, diharapkan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 130
2. Format Lembaga Kepresidenan Setelah Perubahan UUD 1945 Pada periode setelah perubahan UUD 1945, kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif sudah mulai berkurang, banyak ketentuan UUD 1945 yang pada mulanya memberikan kewenangan yang cukup besar terhadap Presiden dirubah. diantaranya:
130
Krisna Harahap, Konsitusi Republik Indonesia…, Op.Cit., hal. 58.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
a. Pasal 5 ayat (1) tentang kekuasaan Presiden untuk membentuk undang-undang dirubah menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat; b. Pasal 20 ayat (1), setelah perubahan memberikan kewenangan kepada DPR untuk membentuk undang-undang. Jadi, pada periode ini kekuasaan membentuk undang-undang bergeser dari semula berada di tangan Presiden, setelah perubahan beralih ke tangan DPR; c. Pasal 6 mengalami beberapa penambahan, diantaranya Pasal 6A ayat (1) yang mneyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket secara langsung oleh rakyat; d. Pasal 7 tentang masa jabatan Presiden dirubah dengan ketentuan bahwa Presiden hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini akan lebih menjamin rotasi kepemimpinan yang teratur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa melalui perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR yang tunduk dan bertanggungjawab kepadanya, Presiden tidak lagi memiliki kekuasaan membentuk undang-undang. Karena dipilih secara langsung oleh rakyat maka Presiden memiliki legitimasi yang kuat, ia tidak dapat diberhentikan oleh DPR bahkan tidak diberhentikan oleh MPR, kecuali bila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7A UUD NRI 1945. 131 Menurut Jimly Asshiddiqie, bahwa setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, maka secara konseptual UUD 1945 dapat dikatakan telah secara murni menganut sistem pemerintahan presidensiil, dengan beberapa indikator, antara lain: 132
131 132
Rahimullah. Hukum Tata Negara: Hubungan Antar…, Op. Cit., hal. 43. Jimly Asshiddiqie dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 127.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
a. Presiden dan Wakil Presiden merypakan satu institusi penyelenggaraa kekuasaan eksekutif; b. Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (direct democracy); c. Presiden tidak bertanggungjawab kepada MPR kecuali jika ada tuntutan dari DPR kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang adanya pelanggaran hukum dan konstitusi yang dilakukan oleh Presiden. Apabila tuntutan tersebut dikuatkan oleh MK dalam suatu keputusan, maka DPR dapat melanjutkan tuntutan pemberhentian Presiden kepada MPR. Selain itu, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara (nominal executive) dan Kepala Pemerintahan (real executive) tidak terpisah. Presiden dibantu oleh menterimenteri dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan sesuai dengan pembidangan tertentu. Sebagai pembantu Presiden, menteri-menteri diangkat dan diberhentikan Presiden yang berarti menteri-menteri bertanggungjawab kepada Presiden atas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Oleh karena itu, menteri-menteri tidak dapat dibubarkan oleh parlemen (DPR), demikian pula sebaliknya DPR tidak dibubarkan oleh Presiden.
133
Menelaah pola hubungan antara legislative dan eksekutif menurut UUD NRI 1945, dari sudur pandang Arend Lijphart, menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan di dalam sistem presidensiil, meskipun dalam UUD NRI 1945 belum secara konsiste dilakukan, sebab kekuasaan membentuk Undang-undang berada di tangan DPR (Pasal 20 ayat 1), tetapi pada ayat berikutnya menegaskan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Meskipun demikian, keseimbangan kekuasaan antara legislative, eksekutif, dan yudikatif, lebih
133
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
mengemuka dibanding UUD 1945 sebelum amandemen. Pola keseimbangan tersebut terlihat fungsi pengawasan DPR yang dapat menuntut Presiden dalam siding Mahkamah Konstitusi (MK), apabila dalam hasil pengawasan, menurut DPR, Presiden telah melanggar hukum. Apabila tuntutan DPR dikuatkan oleh MK, maka DPR dapat mengajukan ke MPR sebagai lembaga yang berwenang memberhentikan Presiden sebagai tindak lanjut atas keputusan MK dan sebaliknya apabila MK menolak atau tidak menerima permohonan putusan atas pendapat DPR mengenai pelanggaran hukum Presiden, DPR tidak melanjutkan permohonan pemberhentian Presiden kepada MPR. 134
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
A. Pertangungjawaban Presiden Sebelum Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 1. Pada Masa Berlakunya UUD Sementara 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949) Dalam kurun waktu 18 Agutus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949 belum ada lembaga negara (MPR, DPR, dan DPA) yang dibentuk secara permanen berdasarkan
134
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
ketentuan UUD 1945, oleh karena situasi yang tidak kondusif untuk menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945 tidak dapat dilakukan. Kondisi tersebut secara praktis mempengaruhi sistem ketatanegaraan, termasuk sistem pertanggungjawaban Presiden karena lembaga yang memiliki wewenang untuk meminta pertanggungjawaban Presiden yaitu MPR belum terbentuk. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan sangat didominasi oleh Presiden. 135 Oleh karena itu, untuk menghindari terkonsentrasinya kekuasaan, sekaligus
membantu merumuskan arah kebijakan
pemerintahan, maka melalui Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945136 dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat. Selanjutnya, 50 anggota dari KNIP mengeluarkan memorandum yang berisi: pertama, mendesak Presiden untuk meggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR; dan kedua, sebelum MPR terbentuk hendaknya anggota KNIP diberi kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi MPR. 137 Atas dasar desakan tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X, yang berbunyi: “Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat”.
Dengan adanya penyerahan kekuasaan dan fungsi-fungsi kepada KNIP tersebut, dan jika kekuasaan itu dijalankan menurut UUD Sementara 1945, maka sangat mungki n
135
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 101. Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, berbunyi: “sebelum Majleis Permusyawaratn Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut UndangUndang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional”. 137 Mahfud MD, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…,Op.Cit., hal. 96. 136
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
KNIP dalam posisi menjalankan fungsi MPR, meminta pertanggungjawaban Presiden dan memberhetikannya jika Presiden melanggar haluan negara. Perubahan mendasar di sekitar kekuasaan Presiden terjadi setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 138 tentang Susunan dan Pembentukan Kabinet II yang menegaskan bahwa tanggung jawab ada di tangan menteri dan selanjutnya menunjuk St. Sjahrir sebagai Perdana Menteri. 139 Keluarnya Maklumat ini menyebabkan berubahnya sistem kabinet dari kabinet presidensiil menjadi kabinet parlementer. Maklumat ini kemudian dikuatkan oleh KNIP dalam Sidang III tanggal 2527 November 1945 dengan membenarkan kebijakan Presiden perihal kedudukan Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak dilarang UUD dan diperlukan dalam situasi waktu itu. 140 Menurut Ismail Suny 141,maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari Presiden kepada Perdana Menteri. Posisi Kepala Negara tetap berada di tangan Presiden, sedang Kepala Pemerintahan berada di tangan Perdana Menteri dengan seluruh anggot kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab kepada KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan. Memperhatikan ketentuan pertanggungjwaban Presiden menurut UUD Sementara 1945, tidak secara detail menetapkan batasan-batasan pertanggungjawaban Presiden. Dasar pertanggungjwaban Presiden menurut penjelasan UUD adalah apabila Presiden terbukti melakukan pelanggaran terhadap haluan negara yaitu UUD dan GBHN. 138
Isi Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, antara lain menyatakan: “Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalmi ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dalam usahany menegakkan diri, merasa sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan cabinet baru itu ialah pertanggungjawaban adalah di tangan menteri.” 139 Soehino, Hukum Tata Negara…, Op.Cit., hal. 25. 140 I Gde Panjta Astawa, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 98. 141 Ismail Suny dalam Firdaus, Ibid. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Berdasarkan
batasan
tersebut,
mendorong
lahirnya
pertanggungjwaban Presiden menurut UUD Sementara 1945
dua
pandangan
atas
antara lain: pertama,
pandangan yang menilai bahwa secara materiil pertanggungjwaban Presiden kepada MPR adalah merupakan bentuk pertanggungjawaban hukum karena didasarkan pada pelanggaran terhadap UUD dan GBHN yang mana keduanya adalah produk hukum; kedua, pandangan yang menilai bahwa pertanggungjwaban Presiden kepada MPR adalah pertanggungjawaban politik dengan berdasarkan pada pola hubungan kelembagaan antara Presiden
sebagai
eksekutif
dan
MPR
sebagai
parlemen,
sehingga
pertangggungjawabannya mengandung segi-segi parlementer, 142 yang bersifat politis. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena, pertama, alur berpikir pendapat yang pertama bergerak dari subtansi/materi pertanggungjawaban Presiden, yakni pelanggaran terhadap haluan negara. Kenyataan tersebut tidak dapat disangkal, tetapi perlu diingat pula bahwa haluan negara juga termasuk kebijakan pemerintah, sehingga secara subtansi dapat pula mengandung unsur-unsur politik; kedua, alur berpikir pendapat yang kedua begerak dari pandangan prosedur formal kelembagaan, khususnya pola hubungan antara Presiden sebagai eksekutif dengan MPR sebagai parlemen. Karena posisi MPR sebagai lembaga politik, tempat Presiden melakukan pertanggungjawaban, menyebabkan pertanggungjawaban Presiden dinilai sebagai pertanggungjawaban politik. Padahal, pertanggungjawban Presiden kepada MPR tidak tertutup kemungkinan untuk suatu pelanggaran hukum yang ditentukan oleh UUD 1945 atau peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah UUD. 143
2. Pada Masa Berlakunya Konstitusi RIS (27 Desember 1945 – 17 Agustus 1950)
142 143
Sri Soementri, Lembaga-lembaga…,Op.Cit., hal. 116. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 101-102.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Konstitusi RIS 1949 Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa Presiden ialah Kepala Negara. Kemudian ayat (2) Presiden dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. 144 Selanjutnya dalam Pasal 118 mengatur mengenai kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat. Selain itu, jabatan Presiden tidak dibatasi oleh waktu tertentu, kecuali penetapan Undang-undang Federal untuk pemilihan Presiden baru, jika Presiden berhalangan tetap. Berpulang atau meletakkan jabatan (Pasal 72). Konstitusi RIS 1949 tidak mengenal jabatan Wakil Presiden, sehingga untuk melaksanakan tugas-tugas kepresidenan jika Presiden berhalangan, Presiden dapat memerintah Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jabatan sehari-hari (Pasal 72 ayat 1). 145 Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara yang tidak dapat diganggu gugat, berhubungan erat dengan konsep pertanggungjawaban menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 118. Salah satu ketentuan yang mengetengahkan tentang pertanggungjawaban untuk seluruh pelanggaran pejabat pemerintah termasuk Presiden adalah Pasal 148. 146 Kualitas pertanggungjawaban menurut ketentuan tersebut secara materiil maupun prosedural merupakan pertanggungjawban hukum. Untuk menjalankan ketentuan tersebut, khususnya bagi Presiden agaknya mengalami kesulitan yang cukup serius
144
Konstitusi RIS 1949 Pasal 2, berisi ketentuan: Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia yaitu a. Negara Republik Indonesia (Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan) dan b. Satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri (Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur). 145 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 104-105. 146 Konstitusi RIS 1949 Pasal 148 ayat (1) menentukan: Presiden, Menteri-menteri, Ketua dan anggota-anggota Senat, Ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA, Jaksa Agung pada MA, Ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi serta pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis tinggi, dan pejabatpejabat lain yang ditunjuk dengan Undang-undang Federal, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggu juga di muka MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain ditentukan dengan undang-undang federal dan dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan Undangundang Federal. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
berhubungan dengan syarat pemberhentian terlebih dahulu dari jabatan sebelum dihadapkan pada Sidang MA. Kesulitan itu terletak pada tidak jelasnya mekanisme pemberhentian Presiden, khususnya lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu, sebab DPR sendiri yang memiliki hak interpelasi dan hak penyelidikan tidak dapat memaksa kabinet meletakkan jabatannya apalagi Presiden yang memiliki kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat. 147 Memperhatikan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Konstitusi RIS 1949 tidak mengandung materi pertanggungjawaban politik bagi Presiden, kecuali bagi Perdana Menteri bersama anggota kabinet lainnya atas penyelenggaraan pemerintahan, itupun sebatas laporan penerangan kepada DPR yang tidak mengandung konsekuensi pemberhentian bagi kabinet atau masing-masing menteri. Pertanggungjawaban hukum, baik secara materiil maupun prosedur merupakan bagian pengaturan Konstitusi RIS 1949, walaupun sulit untuk dilaksanakan oleh karena dukungan sistem konstitusional yang tidak lengkap mengatur mekanisme penegakannya, khususnya bagi Presiden, baru dapat dilakukan setelah berhenti dari jabatan.
3. Pada Masa Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959) Keseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara merupakan alah satu unsur bangunan demokrasi untuk mengawasi dan mengendalikan antara satu dengan yang lainnya. Pola sistem kelembagaan negara yang dibangun UUDS 1950 mendeskripsikan hubungan antara lembaga pelaksana kedaulatan rakyat (pemerintah dan legislatif).
Kedudukan pemerintah sebagai salah satu pelaksana kedaulatan rakyat
menunjukan bahwa yang bertanggungjawab atas seluruh kebijakan pemerintah dilakukan
147
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 106-108.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
oleh pemerintah. Permasalahannya adalah siapa yang dimaksud pemerintah oleh UUDS 1950. 148 Memperhatikan Bab II Bagian I tentang Pemerintah dan Bab III Bagian I tentang Pemerintahan, memberi indikasi kuat bahwa yang dimaksud dengan pemerintah adalah Presiden, Wakil Presiden, dan menteri-menteri yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Untuk menjalankan fungsi dan tugas pemerintah berdasarkan UUDS 1950 Pasal 50, yaitu Presiden membentuk kementrian. Berdasarkan ketentuan terebut, tanggung jawab pemerintah berada pada menteri-menteri, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun sendiri-sendiri untuk bagiannya masing-masing. 149 Sementara itu Presiden berada dalam kedudukan yang tidak dapat diganggun gugat. 150 Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan pemerintah menurut UUDS 1950 adalah Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Negara (nominal executive) dan menteri-menteri penganggung jawab pelaksana pemerintahan (real executive) yang bertugas menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintah dan menyampaikan segala urusan kepada Presiden dan Wakil Presiden berhubungan dengan kepentingan umum Republik Indoneia. 151 Melihat sistematika konsep pemerintah dan pemerintahan menurut UUDS 1950, Ismail Suny menyimpulkan, kekuasaan pemerintah sebagai salah satu pelaksana kedaulatan rakyat sangat besar, oleh karena tidak ada satu kekuasaan yang dapat mengendalikan kekuasaan pemerintah, termasuk membatalkan kebijakannya, karena menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijakan pemerintah, tetapi UUDS tidak secara tegas mengatur kepada siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, apakah
148
Ibid., hal. 111. Pasal 83 ayat (2) UUDS 1950. 150 Pasal 83 ayat (1) UUD 1950. 151 Pasal 52 ayat (1) dan (2) UUDS 1950. 149
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
kepada Presiden atau DPR. Apakah Pasal 69 ayat (1) tentang hak interpelasi dan hak menanya, termasuk anggota-anggotanya serta Pasal 70 tentang hak menyelidiki (enquete), dapat dimaknai sebagai pertanggungjawaban pemerintah (menteri-menteri) kepada DPR. 152 Kedudukan Presiden yang tidak dapat diganggu gugat atas kebijakan pemerintah, demikian pula penggunaan hak prerogatifnya sebagai Kepala Negara, tidak berarti lepas dari pertanggungjawaban hukum khususnya pertanggungjawaban kriminal (criminal responsibility). Pertanggungjawaban kriminal dimaksud adalah berhubungan dengan kejahatan, dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang.
153
Pertanggungjawaban hukum bagi Presiden menurut UUDS 1950, termasuk jenis dan tingkatan jabatan yang disebutkan dalam Pasal 106 ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah para pejabat meletakkan atau tidak lagi menjabat, sehingga selama masih menjabat, Presiden sangat sulit untuk dihadapkan dalam pengadilan mana pun. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 106 ayat (1), dibentuk Forum Previlegiatum yakni suatu forum yang dikhususkan untuk kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh Presiden. Rincian batasan kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dapat diselesaikan dalam Forum Previlegiatum diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1951, antara lain: pertama, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati; kedua, kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam Kitab
152 153
Ismail Suny, dalam Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal.112 . Tolchah Mansoer, dalam Firdaus, Ibid., hal. 114.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Buku Kedua Titel XXVIII, tentang Kejahatan Jabatan dan Buku Ketiga Titel VIII tentang Pelanggaran Jabatan. 154 Menyangkut sistem pertanggungjawaban jabatan dalam UUDS 1950 mengenal dua sub sistem, yakni: pertama, pertanggungjawaban politik dalam arti sempit yang didasarkan pada tanggung jawab pemerintah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa berusaha supaya UUD, UU, dan peraturan lainnya dijalankan; 155 kedua, pertanggungjawaban hukum (criminal), sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 106. 156 Prosedur pertanggungjawaban hukum dilakukan setelah pelaku tindak pidana kejahatan terhadap jabatan dibebaskan dari jabatan. Mahkamah Agung (MA) adalah pengadilan pertama dan terakhir bagi kejahatan dan pelanggaran jabatan. Permasalahan dalam UUDS 1950 adalah belum adanya ketentuan yang mengatur mengenai lembaga yang berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatan jika terjadi pelanggaran hukum. 157 4. Pada Masa Berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959- 10 Agustus 2002) Sejak awal pemberlakuan UUD Sementara 1945, sampai kemudian undangundang dasar tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan berlakunya Konstitusi RIS, UUDS 1950, lalu kembali lagi ke UUD 1945, Indonesia tetap tidak memiliki aturan yang spesifik dan detail mengenai pertanggungjawaban Presiden.
154
Ibid., hal. 115. Pasal 82 UUDS 1950. 156 Pasal 106 ayat (1) UUDS 1950, berbunyi: Presiden; Wakil Presiden; Menteri-menteri; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Mahkamah Agung; Jaksa Agung; Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Pengawas Keuangan; Presiden Bank irkulasi; dan pegawai-pegawai, anggota-anggota, majelis-majelis tinggi, dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan terakhir juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dialkukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang. 157 Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Loc.Cit., hal. 115. 155
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Sebagaiamana telah diuraikan sebelumnya, pertanggungjawaban Presiden pada kurun waktu ini tidak berbeda dengan pengaturan yang tercantum dalam UUD Sementara 1945, yaitu Presiden bertanggung jawab kepada MPR –namun pada saat pemberlakuan UUD Sementara 1945 kekuasaan MPR masih berada di tangan KNIP-. Persoalan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tidak terlepas dari asumsi yang menilai MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pelaksana kedaulatan rakyat, 158 yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan Gari-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pelaksanaannya
berada
di
tangan
Presiden
berdasarkan
pelimpahan
kuasa
(mandaatsverlening), yang berarti kekuasaan itu bersifat derivative. 159 Dasar hukum pertanggungjawaban Presiden kepada MPR tercantum dalam bagian penjelasan UUD 1945 dan Ketetapan MPR. Tiga hal yang dikemukakan dalam bagian penjelasan, yaitu: (a) dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (consentration of power and responsibility upon the President); (b) Majelis memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalakan haluan negara menurut GHBN yang ditetapkan oleh Majelis; (c) Presiden diangkat oleh Mejelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. 160 Praktek pertanggungjawaban Presiden dilaksanakan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang disampaikan dihadapan Sidang Umum MPR atau Sidang Istimewa yang dilaksanakan untuk kepentingan tersebut. MPR, sesuai dengan ketentuan di atas dapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawbaan Presiden. Tetapi,
158
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat. 159 Bonny dan Novan, Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden sebagai Mandataris MPR, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/22/010.html. 160 Suwoto Mulyosudarmo, Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban Presiden, http://www.kompas.com. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
praktis kewenangan menolak laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan tidak mempunyai makna hukum yang berarti. Dengan penolakan, MPR mempunyai dua pilihan, memberhentikan Presiden dari jabatan atau memerintahkan Presiden untuk menyempurnakan pertanggungjawabannya. Keputusan memberhentikan Presiden dari jabatan tidak bermakna hukum karena pada saat itu masa jabatan Presiden telah berakhir. Memerintahkan melengkapi atau menyempurnakan berarti secara de facto memperpanjang masa jabatan Presiden yang sudah semestinya berhenti karena masa jabatan telah berakhir. Dari mekanisme di atas, sistem pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan hanya memberikan satu pilihan kepada MPR, yaitu menerima serta mengesahkan. Karena tidak mempunyai makna secara hukum, laporan pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan lebih menampakkan suatu peristiwa politik dari pada peristiwa hukum. 161 Kesan politis yang timbul pada pertanggungjawaban Presiden tersebut melahirkan pendapat bahwa UUD 1945 menjalankan sistem pemerintahan campuran antara sistem parlementer dan presidensiil. Namun demikian, menurut Bagir Manan, pertanggungjawaban
Presiden
dimaksud
tidak
selayaknya
dinilai
sebagai
pertanggungjawaban parlementer sebab sifat dari pertanggungjawaban tersebut lebih mendekati pranata impeachment karena pertanggungjawaban Presiden kepada MPR terbatas pada pelanggaran terhadap haluan negara dan/atau UUD. Hal ini adalah tepat, terbukti dari terjadinya praktek impeachment terhadap tiga Presiden Indonesia dalam kurun waktu tersebut, yaitu: a. Presiden Soekarno
161
Bagir Manan, Lembaga…, Op.Cit., hal. 112-113.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Soekarno sudah menunjukkan tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling menonjol diawali dengan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar Penetapan Presiden No. 4/1960, dibentuk DPR-GR.Kemudian pada tanggal 13 November 1963, Soekarno sebagai presiden merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan demikian kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya. 162 Di tengah krisis ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan konstelasi politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari 100 menteri dengan kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi. Setelah itu, akhirnya Soekarno melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan pimpinan MPRS, dengan melakukan yang disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban sukarela. 163 DPR-GR tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan pernyataan pendapat kepada presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki dilengkapinya pidato Nawaksara oleh presiden.
162
Suwoto Mulyosudarmo, dalam Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI, Sejarah Ketatanegaraan Impeachment di Indonesia, http://id.wikisource.org. 163 Ibid., hal 9. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Atas dasar memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Karena pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima, maka melalui Tap No. XXXIII/ MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan Wakil Presiden menggantikan posisi Presiden saat terjadi kekosongan kekuasaan, tidak berlaku. Karena saat itu tidak ada Wakil Presiden. Ketika itu MPRS menyatakan bahwa Presiden Soekarno sebagai mandataris, telah tidak dapat memenuhi pertanggungan jawab konstitusionalnya serta dinilai telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS. 164 Suksesi kepemimpinan negara dari Soekarno ke Soeharto ini, dengan demikian bukan karena alasan mangkat atau berhentinya Soekarno, melainkan karena kondisi yang dinilai sebagai tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Memang tidak ada definisi yang jelas mengenai hal ini. Namun penulis berkesimpulan bahwa dalam ketentuan maupun praktek ketatanegaraan, kondisi ini pada akhirnya digunakan sebagai alasan pemberhentian presiden pada masa jabatannya.Walaupun tidak ada ukuran yang jelas mengenai alasan pemberhentian presiden, tetapi pada prakteknya proses impeachment telah terjadi pada presiden RI. Pada Ketetapan MPRS tentang pencabutan kekuasaan Presiden Soekarno itu, ditegaskan pula bahwa penetapan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Soekarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini semakin menegaskan bahwa Forum Previlegiatum sebagai proses penegakan hukum seorang Kepala Negara dan/atau Kepala Pemerintahan melalui peradilan pidana biasa pada saat yang bersangkutan masih menjabat, tidak diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun pada praktek 164
Pasal 1 dan 2 Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1976 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
ketatanegaraannya. 165 Di sisi lain, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, yang juga dianut oleh Undang- Undang Dasar 1945 melalui Pasal 27 ayat 1.
b. Presiden Soeharto 166
Menyusul aksi mahasiswa yang marak di seluruh pelosok tanah air yang menuntut Presiden Soeharto untuk turun dari kursi Presiden. Saat itu, terjadi eforia di kalangan masyarakat luas menyambut pengunduran diri Soeharto, termasuk sebagian kelompok yang kemudian mempertanyakan legitimasi kepemimpinan Habibie.Antara lain argumentasi yang kontra terhadap proses pergantian tersebut menyatakan bahwa Habibie tidak mempunyai legitimasi yang kuat untuk memegang kekuasaan Presiden. Padahal merujuk pada ketentuan Pasal 4 Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, dinyatakan bahwa salah satu alasan pemberhentian Presiden oleh MPR sebelum habis masa jabatannya adalah karena atas permintaan sendiri.
Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut, berlakulah ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 jo. Pasal 2 ayat 1 Tap MPR No.VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, sehingga Habibibe pun diambil sumpahnya di hadapan Mahkamah Agung, sehubungan dengan kondisi gedung MPR/DPR yang masih hiruk-pikuk karena dibanjiri massa sehingga tidak memungkinkan menggunakannya untuk pengambilan sumpah dan janji Presiden yang baru. 165
Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI, Sejarah Ketatanegaraan Impeachment…, Op.Cit. 166 Ibid. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Dengan demikian status B.J. Habibie secara konstitusional sah sebagai Presiden RI yang menggantikan Soeharto sampai habis masa jabatannya. Namun, karena kontroversi tersebut tak kunjung usai, akhirnya masa jabatannya pun dipercepat dengan perubahan jadwal pemilu yang dipercepat pula. Padahal dari sudut hukum ketatanegaraan, Habibie harus menjalankan tanggung jawabnya sebagai Presiden sampai dengan habis masa jabatannya, yakni hingga tahun 2003.
Di tengah perlakuan sewenang-wenang Soeharto,
dalam kondisi
ketatanegaraan yang normal, sesungguhnya ia berpeluang untuk diberhentikan oleh MPR sebelum habis masa jabatannya, bahkan jauh sebelum tahun 1998. Namun demikian, selain karena berhalangan tetap dan atas permintaan sendiri, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden sebelum habis masa jabatannya dengan alasan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara. Sementara tidak ada penjelasan lebih lanjut apa saja tindakan-tindakan yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai melanggar haluan negara. Walaupun pada prakteknya hal ini pernah terjadi pada Presiden Soekarno.
c. Presiden Abdurrahman Wahid
Wacana tentang pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid mulai mengemuka ketika namanya dikaitkan dengan adanya kasus dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 miliar pada Mei 2000. Selain kasus itu, kasus lain yang juga terkait dengan
pemberhentian
Presiden
Abdurrahman
Wahid
adalah
soal
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei Darussalam sebesar US$ 2 juta yang, menurut beberapa pihak, seharusnya dimasukkan sebagai pendapatan/ penerimaan negara, bukan bersifat pribadi. Kalangan politisi DPR yang berjumlah 236 anggota langsung merespon persoalan ini dengan mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan. 167Usul tersebut disetujui oleh DPR RI pada Rapat Paripurna tanggal 28 Agustus 2000 dan secara resmi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI mengadakan penyelidikan terhadap kedua kasus tersebut yang dibentuk pada tanggal 5 September 2000. Dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR RI, Pansus membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: “patut diduga bahwa Presiden Abdurahman Wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana Yanatera Bulog” 2. Dalam kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darusalam, Pansus bependapat: “adanya inkonsistesi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang masalah bantuan Sultan Brunei Darusalam, menunjuk bahwa presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada masyarakat”. Berdasarkan laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di atas dan berdasarkan pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna DPR-RI ke-36 tanggal 1 Peburuari 2001 memutuskan untuk : a. Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk untuk ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum untuk mengingatkan bahwa Presiden K.H Abdurahman Wahid sungguh melanggar Haluan Negara, yaitu: 1) Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan 2) Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN; b. Hal-hal yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua pelanggaran haluan negara yang dituduhkan, yaitu:
167
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
1) Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal mengenai Sumpah Jabatan Presiden; dan 2) Melanggar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Setelah Memorandum itu, disusullah dengan Memorandum Kedua pada tanggal 1 Mei 2001 dan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal 1-7 Agustus 2001 untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid. Menjelang Sidang Istimewa MPR RI yang seharusnya diadakan pada tanggal 1-7 Agustus 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dan dianggap melanggar peraturan perundangundangan, yaitu memberhentikan Jenderal Polisi S. Bimantoro sebagai Kapolri dan menggantinya dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaerussin Ismail. Kebijakan ini dinilai melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VI/MPR 2000 yang mengharuskan adanya persetujuan DPR RI untuk pemberhentian dan pengangkatan Kapolri. Oleh karena itu, Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal 21-23 Juli 2001. Selain itu, kebijakan yang juga kontroversial adalah penerbitan Maklumat Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pembekuan MPR RI dan pembekuan Partai Golkar. Pada akhirnya, MPR RI memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid karena dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara, yaitu karena ketidakhadiran dan penolakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk meberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001. 168
168
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Kesimpulan
dari
beberapa
rangkaian
persitiwa
penting
menuju
pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid adalah Pertama, Memorandum pertama yang ditetapkan dengan Keputusan DPR-RI Nomor 33/DPR-RI/III/20002001 tentang Penetapan Memorandum DPR-RI kepada Presiden K.H. Abdurrahman Wahid tertanggal 1 Februari 2001. Kedua, Memorandum kedua yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor 47/DPR-RI/IV/2000-2001 tentang penetapan
memorandum
yang
kedua
DPR-RI
kepada
Presiden
K.H.Abdurrahhman Wahid tertanggal 30 April 2001. Ketiga, Sidang Istimewa berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang menyatakan bahwa Presiden K.H. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan memorandum kedua. Keempat, diberhentikannya Presiden K.H.Abdurrahman Wahid.
169
B. Pertanggungjawaban Presiden Setelah Perubahan UUD Negara RI 1945
1. Sistem Pertanggungjawaban Presiden
Sistem pertanggungjawaban Presiden merupakan salah satu sub sistem dari sistem ketatanegaraan yang ditujukan untuk mengontrol dan mengendalikan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepada Presiden agar tetap konsisten menegakkan nilai-nilai konstitusional sesuai dengan fungsi-fungsi kekuasaan yang diberikan kepadanya. Lord Acton menegaskan bahwa, “power tends to corrupt, and absolute power tends to corrupt absolutely. Oleh karena itu, berbicara tentang pertanggungjawaban terhadap kekuasaan, secara khusus
169
Ibid.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawaban Presiden merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari sistem pengawasan kekuasaan dalam paham demokrasi dan konstitusi. 170
Perubahan-perubahan yang melingkupi UUD 1945 pasca reformasi merupakan jawaban atas pemikiran tentang sistem ketatanegaraan di bawah UUD 1945 yang dianggap belum dapat membangun demokrasi dan pemerintahan yang bertangung jawab. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu agenda besar di balik amandemen UUD 1945 adalah upaya membangun sistem ketatanegaraan dalam kerangka demokrasi dan supremasi hukum. Dengan demikian, untuk menelaah sistem, bentuk, dan prosedur pertanggungjawaban Presiden setelah amandemen UUD 1945, tidak terpisahkan dengan konstruksi demokrasi dan konstitusi setelah amandemen UUD 1945, yang mana menurut Firdaus elemen-elemennya adalah sebagai berikut: 171
a. Konstruksi
Demokrasi
dan
Implikasinya
terhadap
Pertanggungjawaban Presiden
Meski diberlakukan secara berbeda sesuai dengan latar belakang, ideologi, sejarah, budaya, sosial, politik suatu negara, demokrasi merupakan suatu gagasan universal tentang penyelenggaraan pemerintahan yang telah diadopsi oleh hampir seluruh negara di dunia. Hal ini senafas dengan pandangan Samuel P. Huttington, yang berpendapat bahwa pada akhir abad 20, demokrasi mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sistem kekuasaan politik yang sah dan semua warga negara bangsa-bangsa di dunia ini diharapkan untuk tidak ketinggalan dalam gelombang
170 171
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 141-163. Ibid., hal. 141-142.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
demokratisasi ini. Bahkan menurut Amien Rais dan Moh. Mahfud MD, “seperti halnya negara di dunia pada umumnya, negara-negara di dunia ketiga yang lahir dari
pengalaman
kolonialisasi
memilih
demokrasi
sebagai
dasar
pemerintahannya. 172 Dalam filsafat demokrasi dan paham konstitusi, tidak ada ruang bagi kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, atau dengan kata lain setiap kekuasaan inheren atasnya pertanggungjawaban, sebab efek dari kekuasaan adalah wewenang dan pertanggungjawaban.
Seiring
dengan perubahan situasi politik
dan pergantian rezim
kepemimpinan, demokrasi di Indonesia telah mengalami beberapa kali penafsiran kontekstual, seperti demokrasi perlementer dan demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Soekarno, dan demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan Soeharto. Demikian pula setelah reformasi, dengan perubahan politik nasional pasca pengunduran diri Soeharto dari Jabatan Presiden Republik Indonesia. Redefinisi kontekstual tersebut sehubungan dengan amandemen terhadap UUD 1945, yang menimbulkan formulasi formal demokrasi yang baru seperti perubahan kedudukan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, kedaultan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan langsung anggota DPR, terbentuknya MK sebagai lembaga pengawas dan penegak konstitusi, penegasan sitem presidensil dan pemisahan kekuasaan.
Perubahan format demokrasi dalam sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 telah mengubah sistem pertanggungjawaban Presiden,
172
dalam Nukthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis: Teori…, Op.Cit., hal. 64
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
baik secara substansi maupun secara prosedural. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa aspirasi amandemen UUD 1945 tertuju kepada penguatan kedaulatan rakyat dan demokrasi melalui sistem pengawasan kekuasaan melalui lembaga perwakilan rakyat dan lembaga yudisial (MA dan MK) sebagai pengawal dan penegak hukum yang berkeadilan. Secara substansial perubahan atas sistem pertanggungjawaban Presiden didasarkan atas pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 7A UUD 1945, berbunyi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut berusaha untuk tidak melibatkan dimensi-dimensi politik sebagai dasar pemberhentian Presiden, sebagaimana pendapat dari Bagir Manan dan Jimly Asshiddqie. Ketentuan tersebut sejalan dengan pemikiran Dennis F. Thomson, yang mana pertanggungjawaban individu seorang pejabat public hanya mungkin dilakukan jika menyalahgunakan wewenang karena tabiat pribadinya yang buruk (faute personelle) dengan melakukan tindakan yang melanggar hukum (criminal).
Namun,
apabila
kita
berbicara
pemerintahan
secara
umum,
pertanggungjawaban itu hanya dibebankan di pundak Presiden saja, karena penyelenggaraan pemerintahan bukanlah suatu hal yang mutlak di tangan Presiden sebab semua tindakan Presiden merupakan pelaksanaan dari kesepakatan antar DPR dan Presiden, seperti undang-undang yang pelaksanaannya senantiasa Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
dalam pengawasan DPR. Pengawasan tersebut dapat melingkupi mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.
b. Kekuasaan Presiden sebagai Lingkup Pertanggungjawaban
Telah diuraikan sebelumnya bahwa pertanggungjawaban kekuasaan merupakan hal mutlak bagi demokrasi dan konstitusionalisme, karena setiap kekuasaan dalam Negara demokrasi konstitusional melekat wewenang dan tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan menurut hokum konstitusi yang berlaku. Secara teoritis, besarnya kekuasaan Presiden tergantung kepada sistem demokrasi yang dianut oleh suatu Negara dalam konstitusinya.
Dalam konstitusi Indonesis sendiri kekuasaan Presiden dapat kita lihat dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”
Ketentuan tersebut dimaknai sebagai fungsi dalam arti luas, baik sebagai Kepala Negara maupun sebagai Kepala Pemerintahan, yang menurut Jellinek mengandung dua segi, baik formal maupun materil. Pandangan tersebut menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya memerintah dan menjalankan, tetapi termasuk mengatur (verordnungsgewalt) dan memutus (entschidungsgewalt). Atas dasar pemikiran tersebut kedudukan Presiden sebagai lembaga Negara dalam menjalakan fungsi pemerintahan dapat memerankan tidak saja fungsi eksekutif, tetapi termasuk fungsi legislatif dan fungsi yudikatif.
Fungsi pemerintah (Presiden) dalam bidang eksekutif dapat kita lihat dalam Pasal 17 tentang kedudukan menteri-menteri sebagai pembantu Presiden Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dalam bidang legislasi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1), dimana Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Selanjutnya dalam bidang yudikatif terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang kewenangan Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA dan memberikan abolisi dan amnesty dengan pertimbangan DPR.
Namun, apabila kita menarik kekuasaan Presiden ke dalam perspektif yang lebih tinggi yakni tinjauan filsafat bangsa yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, maka sesungguhnya tanggung jawab dan pertanggungjawaban Presiden secara substansi tidak sebatas pada lingkup kekuasaan yang terdapat dalam pasalpasal UUD dan pertauran perundangan lainnya, melainkan bertanggung jawab atas filosofi peruntukan kekuasaan Pemerintah dimana Presiden termasuk di dalamnya. Dasar falsafah yang dimaksud adalah Pancasila yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 dengan tujuan utama “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial..”
Hal tersebut mengandung makna, Presiden bertanggungjawab untuk membebaskan setia warga Negara, tanpa membedakan suku, bangsa, ras, dan agama, serta membebaskan setiap daerah dari jerat kemiskinan yang diderita Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
akibat penjajahan, menyelenggarakan pendidikan guna meningkatkan kualitas hidup bangsa untuk mengangkat martabat agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
c. Tindakan Presiden sebagai Kausa Pertanggungjawaban
Tindakan adalah melakukan atau mengadakan aturan-aturan untuk mengatasi sesuatu keadaan. 173, sedangkan Presiden adalah lembaga Negara yang memiliki keuasaan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Jadi, tindakan Presiden adalah perbuatan Presiden untuk mengatasi suatu keadaan dalam menyelenggarakan fungsinya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Tindakan mana tentunya harus tetap pada koridor kekuasaannya. Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu, maka kekuasaan Presiden melingkupi ranah eksekutif, legislative, dan yudikatif, yang dapat menimbulkan tindakan hukum ataupun tindakan yang bersifat politis dalam hal mengeluarkan kebijakan dalam pelaksanaan undang-undang.
Terhadap pengaturan, pada
bentuk-bentuk
tindakan hokum Presiden yang
bersifat
level mana Presiden harus mempertanggungjawabkan
tindakannya, dan bagaimana pertanggungjawabannya dilakukan, seperti banyak dikatakan oleh pakar bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat. Namun seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pertanggungjawabn kepada rakyat ini belum dilembagakan oleh suatu aturan. Namun hal tersebut terjawab dengan keberadaan MA dan MK, lembaga dimana rakyat dapat secara langsung
173
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus …Op.Cit., hal. 1074.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
menggugat dan meminta pertanggungjawaban hokum atas produk hukum Presiden dalam menjalankan pemerintahan yang dianggap melanggar hokum dan rasa keadilan masyarakat.
Sementara untuk tindakan politis Presiden atau untuk kebijakannya, pertanggungjawabannya memang tidak diatur secara eksplisit. Namun, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR dengan beberapa hak, yaitu hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat, dapat mengawasi pelaksanaan undangundang dan menilai kebijakan Presiden. Sehingga suatu waktu DPR dapat memanggil Presiden untuk memberikan laporannya, yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban. Seperti yang terjadi belakangan ini, dimana DPR menggunakan hak angketnya untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bahan bakar minyak.
d. Cara Pengisisan Jabatan Presiden dan Implikasinya terhadap Pertanggungjawaban Presiden
Salah
satu
aspek
yang
banyak
mendapat
sorotan
dan
dasar
pertanggungjawaban Presiden adalah cara pengisian jabatan Presiden. Sebelum UUD 1945 diamandemen, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Kekuasaan MPR memilih Presiden tidak terlepas dari kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara, pelaksana kedaultan rakyat. Atas dasar ketentua tersebut, penjelasan UUD 1945 menegaskan ketertundukan Presiden kepada Majelis oleh karena kedudukannya sebagai mandataris majelis.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Setelah amandemen, konsep MPR sebagai lembaga tertinggi dan pelaksana kedaultan rakyat, bergeser dengan konsep kedaulatan rakyat dilaksanakan dengan UUD. Perubahan tersebut berimplikasi kepada format demokrasi perihal pengisian jabatan Presiden yang dilakukan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote). Dari realitas tersebut, timbul pendapat yang menyatakan bahwa Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat.
Namun hal tersebut masih memerlukan kajian lebih lanjut, sebab pada kondisi seperti yang diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD NRI 1945, Presiden dipilih oleh MPR, lantas apakah Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR. Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
meskipun
mempengaruhi
pertanggungjawaban, namun cara pengisisan jabatan Presiden tidak serta-merta menentukan kepada siapa nantinya Presiden akan bertanggung jawab.
e. Pertanggungjawaban Presiden sebagai Pribadi Jabatan
Lembaga Kperesidenan merupakan badan hukum publik, pemangku hak dan kewajiban dimana kepadanya dapat menuntut dan dituntut di depan peradilan. Menurut Kelsen, suatu sanksi dapat dikenakan terhadap individu yang tidak melakukan sendiri suatu delik tetapi berposisi dalam suatu hubungan hokum tertentu dengan pelaku delik. Seperti pertanggungjawaban korporasi yang dilakukan oleh organnya. 174 Atas dasar itu, menurut Kelsen, tanggung jawab hokum dan kewajiban hokum ditujukan kepada badan hokum tetapi kewajiban itu
174
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2006, hal. 63. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
berada di atas pundak individu-individu sebagai organ-organ yang berkompeten harus memenuhi kewajiban badan hukum. Sebab perbuatan merekalah yang membentuk isi dari kewajiban itu.
Dihubungkan dengan pendapat Logemann, sebagaimana disarikan oleh Harun Alrasid yang mengatakan bahwa jabatan sebagai pribadi dalam hokum tata Negara positif, maka kepada jabatan itulah melekat tugas dan wewenang yang digerakkan melalui perantara pejabat, sehingga sikap pejabatlah yang membentuk isi dari kewajiban dan kepadanya dapat dituntut pertanggungjawaban atas tindakan jabatan dalam lembaga Negara walaupun pertanggungjawaban tersebut mewakili jabatannya.
Jika teori tersebut dikontekstualisasikan terhadap Pasal 7A UUD NRI 1945, “..Presiden dapat diberhentikan…”, maka sangat terang bahwa kedudukan Presiden dalam kalimat tersebut merupakan pribadi jabatan, karena tidak menyebutkan siapa subjek dari Presiden yang dimaksud, sebab dalam logika organisasi kedudukan Presiden sebagai organ dan lingkup jabatan tidak mungkin diberhentikan, melainkan yang dapat diberhentikan adalah pemangku jabatan Presiden. Sehingga terminologi tersebut ditujukan kepada pribadi Presiden sebagai pemangku jabatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan selama dalam masa jabatan. 2. Bentuk Pertanggungjawaban 175
175
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 164-170.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Bentuk dapat dibagi ke dalam bentuk formal dan bentuk materil. Bentuk formal merujuk kepada proses yang bersifat procedural, sedangkan bentuk materil merujuk kepada substansi atau materi yang hendak ditegakkan melalui proses yang bersifat procedural institusional. Bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah bentuk materil.
Bentuk pertanggungjawaban Presiden berdasarkan pada konstitusi dapat dilihat melalui ketentuan dalam Pasal 7A. sekalipun tidak ada terminology pertanggungjawaban dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 7A merupakan pasal khusus untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam bentuk pemberhentian dari jabatan dengan beberapa kualifikasi pertanggungjawaban
anatara
lain:
pertama,
pelanggaran
hukum
berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela (misdemeanors); kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden; ketiga, pertanggungjawaban jabatan.
Kategori pertama menunjukkan bahwa dasar pertanggungjawaban Presiden berupa pemberhentian Presiden dari jabatan oleh MPR karena melakukan suatu pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela. Rumusan kategori pertama ini hamper sama dengan rumusan dalam Konstitusi Amerika Article Two, Section Four, yang menyebutkan:
President, Vice-Presiden, and all civil officers of the United State, shall be removed from office on impeachment for, and conviction of treason, bribery, or other high crimes, and misdemeanors.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
(Presiden, Wakil Presiden, dan semua pejabat sipil Amerika Serikat, harus diberhentikan dari jabatannya dengan impeachment apabila terlibat dalam pengkhianatan, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela) Rumusan Pasal 7A tersebut merupakan konstruksi yang dimaksudan untuk dapat menuntut pertanggungjawaban kriminal atas pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden dengan spesifikasi sebagaimana disebutkan di atas. Penjabaran Pasal 7A ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3), sebagai berikut:
a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap kemanan Negara sebagimana diatur dalam undang-undang; b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupasi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang; c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden; e. Tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD NRI 1945.
kategori kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, terkesan overlapping dengan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7A tersebut. Sebab, apabila terjadi pelanggaran hukum dengan sendirinya tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Dalam Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 disebutkan bahwa tidak lagi memenuhi syarat itu sehubungan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI 1945. Hal ini dirasa kurang tepat karena, karena syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut adalah syarat untuk calon Presiden. Sementara itu, syarat Presiden yang dimaksud dalam Pasal 7A tersebut adalah syarat setelah seorang telah terpilih menjadi Presiden. Dengan demikian syarat Presiden dimaksud merujuk kepada sumpah dan janji jabatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) 176 UUD NRI 1945.
Makna yang dapat ditangkap dari sumpah adalah pengakuan dan garansi personal atas individu seorang pejabat dengan Tuhannya atas amanah kepemimpinan yang diembannya. Sedangkan janji merupakan pengakuan dan garansi personal atas individu seorang pejabat dengan rakyat Indonesia. Ada tiga hal pokok yang menjadi tolok ukur sumpah dan janji Presiden antara lain: pertama, akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia sebaik-baiknya; kedua, memgang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undangundang dan peraturannya selurus-lurusnya; ketiga, berbakti kepada nusa dan bangsa. Ketiga hal pokok tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
176
Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945, berbunyi: Sumpah Presiden: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memgang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Janji Presiden: “saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus=lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.” Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Dengan demikian, apabila tiga hal pokok tadi ditafsir secara akontrario, maka alasan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden terkait tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden terdiri dari, pertama, tidak memenuhi kewajiban sebagai Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; kedua, melanggar undang-undang dasar dan tidak menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya; ketiga, tidak berbakti kepada nusa bangsa.
Kategori
ketiga,
adalah
pertanggungjawaban
jabatan
Presiden.
Penempatan pertanggungjawaban jabatan tidak terlepas dari konsep jabatan sebagai pribadi, sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa individulah yang memberi bentuk dan isi dari kekuasaan organisasi, maka atas nama organisasi individu mempertanggungjawabkan tindakan organisasi yang dilakukan oleh actor organisasi, termasuk mempertanggungjawabakan perbuatan pribadi selama dalam masa jabatan, sehingga pertanggungjawaban jabatan Presiden dalam pengertian Psala 7A terkait dengan bentuk hukuman berupa pemberhentian dari jabatan Presiden.
Hal demikian pula dianut pula Konstitusi Amerika Serikat Article One, Section Three, Clause 7:
Judgemant in cases of impeachment shall not extend further than to removal from office, and disqualification to hold and enjoy any office of honor, trust, or profit under United State: but the party convicted shall nevertheless be liable and subject to indictment, trial, judgement, and punishment according to law. (keputusan dalam kasus impeachment tidak lebih darai pemecatan jabatan, pembatalan terhadap jabatan, dan setiap kehormatan jabatan, kepercayaan, atau keuntungan dari Amerika Serikat.: tetapi pihak yang terlibat dalam Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
tindak pidana tidak dapat lepas tanggung jawab dari penuntutan, pemeriksaan, pengadilan, penjatuhan putusan, dan hukuman, berdasarkan pada hukum) Menurut Herbert J. Spiro, pertanggungjawaban jabatan dapat diminta kepada pejabat public karena empat syarat, yaitu: resource, knowledge, choice, and pupose, sehingga Presiden bertindak dalam menjalankan pemerintahan, maka individu Presiden melalui
tindakannya
memberikan
isi
kepada
kekuasaan
dan
wewenang
pertanggungjawaban yang melekat karena keempat syarat tadi, yakni memiliki kemampuan karena suatu kekuasaan, memiliki pengetahuan atas keputusan yang diambil, mempunyai pilihan-pilihan di antara keputusan-keputusan yang hendak diambil, dan mengetahui maksud dari suatu keputusan.
3. Prosedur Pertanggungjawaban Presiden 177 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Pasal 7A merupakan pasal khusus meminta pertanggungjawaban Presiden yang berakibat pada pemberhentian Presiden dari jabatannya. Daapun prosedurnya terdapat dalam Pasal 7B UUD NRI 1945, dimana dalam proses tersebut melibatkan tiga lembaga Negara, yaitu DPR, MK, dan MPR. Namun, apabila kita perhatikan ketentuan yang dimuat dalam pasal tersebut timbul beberapa pertanyaan, yaitu: pertama, mengapa hanya DPR yang diberi wewenang untuk mengajukan pendapat mengenai pelanggaran hukum Presiden ke MK dan mengapa hak itu juga tidak terdapat di DPD; kedua, mengapa wewenang memeriksa, mengadili, dan memutus ada pada MK bukan pada MA; ketiga, mengapa MPR yang menjadi pemutus terakhir atas sanksi pemberhentian Presiden setelah MK membenarkan pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden.
177
Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden…, Op.Cit., hal. 173-179.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Hak DPR untuk mengajukan pendapat tentang pelanggaran hukum Presiden merupakan rangkaian hak atas fungsi pengawasan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan dan merupakan satu-satunya lembaga Negara yang diberi wewenang untuk itu, sehingga secara normative tidak akan pernah ada pertanggungjawaban dan pemberhentian Presiden tanpa dimulai dari DPR. Demikian pula haknya di Amerika Serikat, tidak akan ada impeachment tanpa dimulai dari House of Representatives. Padahal, keanggotan DPD relative mandiri, karena selain dipilih langsung oleh rakyat dengan system distrik, juga tidak merupakan anggota partai politik, sehingga netralitas dalam menilai tindakan Presiden lebih dapat terjamin disbanding DPR, karena idealisme anggota tidak berada di bawah tekanan organisasi partai politik. Dimungkinkannya DPD untuk mengajukan pernyataan pendapat atas pelanggaran hukum Presiden kepada MK dengan perimbangan bahwa DPD merupakan lembaga perwakilan rakyat Indonesia untuk mengagregasi kepentingan rakyat. Hal ini berbeda dengan praktek di Perancis yang memungkinkan National Assembly maupun The Senate untuk menuntut atas pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden. Demikian juga di Jerman, kewenangan itu dimiliki baik oleh The Bundestag maupun The Bundesrat. Untungnya anggota DPD merupakan anggota MPR, sehingga anggota DPD ikut memiliki andil dalam menentujan pemberhentian Presiden. Namun, dari segi jumlah tidak begitu signifikan, karena keanggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 dari anggota DPR. Untuk periode 2004-2005, jumlah anggota DPD sebanyak 128 orang dari 32 propinsi, dibanding dengan anggota DPR sebanyak 550 orang, sehingga total jumlah MPR adalah 678 orang. Sidang Paripurna MPR dalam rangka pemberhentian Presiden baru dinyatakan quorum apabila dihadiri ¾ x 678 = 509 orang dan keputusan diambil apabila disetujui sekurang-kurangnya ²/3 x 509 = 339 orang. Komposisi demikian menunjukkan bahwa apabila pernyataan pendapat oleh DPR disetujui oleh sebanyak 509 dari seluruh jumlah Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
anggota MPR, maka sekalipun sidang tidak dihadiri oleh anggota DPD sidang tetap memenuhi quorum dan dapat mengambil keputusan Pemberhentian Presiden. Salah satu lembaga baru yang sangat menetukan proses pemberhentian Presiden adalah kehadiran MK sebagai lembaga peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah mengapa kewenangan itu ada pada MK dan tidak pada MA. Salah satu argumentasi yang dapat menjustifikasi keberadaan MK dan wewenangnya adalah dengan menengok sejarah dan pemikiran yang mendasari kehadirannya sebagai sebuah Mahkamah dalam system ketatanegaraan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa MK ada di 78 negara di dunia dan banyak ditemukan di Negara-negara yang baru mengalami perubahan rezim dari otoriter ke demokrasi. Pesan sejarah yang dapat ditangkap dari berkembangnya MK di berbagai Negara tidak terlepas dari perkembangan konsep demokrasi konstitusional yakni sebuah konsep demokrasi berdasarkan konstitusi yang memungkinkan produk hukum berupa undangundang yang dihasilkan oleh lagislatif dan yudikatif digugat dengan dalih bertentangan dengan konstitusi, sehingga kehadiran MK merupakan sarana demokrasi melalui penegakan nilai-nilai konstitusional bagi rakyat. Keyakinan tersebut menjadi slaah satu alasan mendasar bagi kehadiran MK di Indonesia dengan beberapa kewenangan yang diatur dalam UUD NRI Pasal 24C ayat (1) dan (2), yaitu: (1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu; (2) MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Menelaah kewenangan di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran MK sebagai salah satu institusi peradilan dalam system ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk menegakkan hukum konstitusi
di antara kekuasaan lembaga-lembaga Negara bagi
tegaknya kedaulatan rakyat dan demokrasi, yang kemudian melahirkan pemikiran bahwa konstitusilah sebagai cerminan kehendak seluruh rakyat yang berdaulat. Dapat dipahami bahwa wewenang MK untuk memberi putusan atas pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden adalah pelanggaran hukum dengan materi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak terlepas dari kedudukannya sebagai satusatunya lembaga Negara yang diberi wewenang oleh UUD sebagai penafsir Konstitusi. Dalam Pasal 7A dikatakan “…dapat diberhentikan…”, mengandung makna “bisa diberhentikan” dan “bisa tidak diberhentikan”. Dengan demikian, bahwa walaupun Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum tidak selalu berakhir dengan pemberhentian, karena perumusan sanksi apakah pemberhentian atau tidak sangat tergantung kepada MPR, karena keputusan MK tentang pelanggaran hukum Presiden tidak menentukan atau membatasi keputusan MPR mengenai sanksi. Memperhatikan gejala normative tersebut, terbuka peluang akan pencideraan terhadap UUD, sebab sangat mungkin terjadi kelumpuhan hukum di hadapan proses politik di MPR. Jika seandainya keputusan MK membenarkan pendapat DPR kemudian dianulir oleh MPR dengan tidak memberi sanksi kepada Presiden. Kondisi yang demikian dapat menimbulkan sengketa dan silang pendapat di antara MK dan MPR. Jika sengketa tersebut terjadi, lembaga Negara mana yang memiliki otoritas konstitusional untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan dengan demikian dapat berujung kepada ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, kiranya perlu dibentuk sebuah forum khusus menyangkut adanya pendapat DPR tentang pelanggaran hukum Presiden.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berangkat dari seluruh pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bagian ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan, antara lain sebagai berikut: 1. Sejak awal kemerdekaan Indonesia pengaturan tentang pertanggungjawaban Presiden tidak diatur secara eksplisit. Bahkan dibeberapa konstitusi tidak disebutkan kepada siapa pertanggungjawaban itu ditujukan, sehingga menimbulkan banyak pendapat. Pada saat pemberlakuan UUD 1945, dalam penjelasannya disebutkan bahwa Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada MPR. Namun, hal ini menjadi perdebatan di antara para ahli., sebab dianggap mengandung sisi parlementer karena posisi MPR sebagai lembaga politik. Kemudian, dengan amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, yang dianggap memperkuat presidensil Indonesia pengaturan itu belum juga jelas. Malah timbul pendapat bahwa pertanggungjawaban itu ditujukan kepada rakyat
karena
Presiden
dipilih
langsung
rakyat,
namun
pelembagaan
pertanggungjawaban itu tidak ada pengaturannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, laporan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara langsung pelembagaannya ditentukan oleh Presiden terpilih sendiri. Kesimpulan lain yang dapat diabil diantaranya: a. Melihat sistem pertanggungjawaban dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan
mengarah
ke
pranata
impeachment,
yaitu
meminta
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
pertanggungjawabab Presiden karena adanya dugaan pelanggaran hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa bentuk pertanggungjawbaannya adalah pertanggungjawaban hukum. Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban politis, berupa laporan Presiden kepada DPR sehubungan dengan fungsi pengawasannya. Tetapi pertanggungjawaban politik ini tidak mengancam kedudukan Presiden, dengan kata lain Presiden tidak dapat dijatuhkan karena alasan politik. Hal ini merupakan salah satu ciri sistem presidensil. Sedangkan pertanggungjawaban Presiden kepada rakyat secara langsung hanya merupakan pertanggungjawaban moral. Diterima atau tidaknya pertanggungjawaban Presiden oleh rakyat dapat dilihat dari kesetiaan rakyat untuk tetap memilihnya di pemilihan selanjutnya apabila Presiden terpilih bersangkutan mencalonkan diri kembali. b. Prosedur pertanggungjawaban Presiden ditegakkan melalui tiga lembaga Negara yaitu DPR, MK, dan MPR. Prosedur ini terlahir dari amandemen UUD 1945, sebelumnya prosedur ini tidak ada. Sebab Mahkamah Konstitusi sendiri baru terbentuk setelah amandemen ketiga. Hal ini merupakan kemajuan bagi demkrasi konstitusional yang hendak dibangun oleh Indonesia, namun demikian masih perlu ditelaah lebih dalam, sebab prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD NRI 1945 tersebut masih debatable. 2. Melihat perubahan-perubahan yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia, telah mengarah ke pemurnian sistem Presidensil. Sistem tetap dipertahankan karena ketika Indonesia menganut sistem parlementer kondisi pemerintahan tidak stabil. Pemurnian ini banyak mengadopsi ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat, khususnya mengenai pertanggungjawaban hukum Presidennya. Hal ini dapat dimaklumi karena Amerika Serikat dipercaya sebagai Negara dengan sistem Presidensil murni. Sementara dari Konstitusi RIS ataupun UUDs 1950 tidak memberikan corak kepada Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
perubahan UUD 1945, sebab kedua konstitusi tersebut merupakan konstitusi dengan sistem parlementer sehingga tidak memungkinkan untuk diterapkan dalam UUD NRI 1945 yang menganut sistem Presidensiil.
B. SARAN Sebagai rangkaian paling akhir dari tulisan ini, maka ada beberapa saran yang hendak disampaikan, sebagai berikut: 1. Perlu dibentuk aturan yang lebih jelas tentang pertanggungjawaban Presiden, agar tidak menimbulkan banyak penafsiran. Misalnya, kepada siapa pertanggungjawaban itu ditujukan. Apabila tujuan pertanggungjawaban itu tergantung kepada siapa yang memberi kekuasaan maka benarlah pendapat bahwa pertanggungjawaban itu ditujukan kepada rakyat. Tetapi dalam kondisi tertentu adanya kalanya Presiden dipilih oleh MPR, lalu apakah dengan serta merta pertanggungjawaban itu ditujukan kepada MPR. Kondisi ini selayaknya harus diatasi pemerintah dengan pembentukan suatu lembaga baru yang temporer atau penetapan satu lembaga yang telah ada sebagai lembaga yang akan mendengar pertanggungjawaban Presiden. Bukan berarti lembaga tersebut menjadi penilai apakah pertanggungjawaban diterima atau tidak. Keputusan tetap berada di tangan rakyat, yang akan terlihat di pemilihan selanjutnya apabila Presiden bersangkutan mencalonkan diri kembali. 2. Perlu dibentuk suatu forum khusus untuk menyidangkan Presiden. Sebab, dengan prosedur yang berlaku sekarang ini ada kemungkinan akan adanya silang pendapat antara MK dan MPR, perihal pemberian sanksi kepada Presiden, karena walaupun terbukti telah melakukan pelanggaran hukum, namun penjatuhan sanksi berada di tangan MPR dan tidak terikat pada Keputusan MK. Dengan demikian, terdapat Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
kemungkinan kelumpuhan hukum dalam proses di MPR dan terjadinya kompromi politik. Untuk menghindari hal ini ada baiknya dihadirkan kembali Forum Previlegiatum dalam sistem ketatanegaraan kita. Sehingga dalam pertanggungjawaban Presiden tertutup kemungkinan tumbuhnya unsur-unsur politik, di samping itu tercipta pula kepastian hukum yang kiranya dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat sebagai upaya penegakan hukum. Dan perlu juga dipertimbangkan untuk memberikan wewenang kepada DPD dalam hal menyatakan pendapat tentang dugaan Presiden melakukan pelanggaran hukum, karena DPD juga merupakan lembaga perwakilan rakyat.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Alrasid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta, Grafiti, 1999. -------------------, Pemilihan Presiden dan Pergantian Presiden Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta, Penerbit YLBHI, 1997. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005. --------------------, dan M. Ali Safa’at., Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta, Konstitusi Press, 2006. --------------------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pacsa Reformasi, Jakarta, PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. Busroh, Abu Daud, Sistem Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, Bina Aksara, 1989. Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keempat belas, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992. Firdaus, Pertanggungjawaban Presiden Dalam Negara Hukum Demokrasi, Bandung, Yrama Widya, 2007. Harahap, Krisna Konstitusi Republik Indonesia; Sejak Proklamasi Hingga Reformasi, Bandung, Grafiti Budi Utami, 2007. Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah, Jakarta, HTI Press, 2005. Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. Issanuddin, Pertanggungjawaban Presiden Menurut UUD 1945, Medan, Fakultas Hukum USU, 1981. Kansil, C.S.T. et.al., Konstitusi-Konstitusi Indonesia Tahun 1945-2000, Jakarta, Sinar Harapan, 2001. Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia dan CV. Sinar Bakti, 1983. Lijphart, Arend, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1995. Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Manan, Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2003. Manan, Bagir, Lembaga Kepresiden, Yogyakarta, FH UII Press, 2006. Rahimullah, Hukum Tata Negara; Hubungan Antar Lembaga Negara,Jakarta, PT. Gramedia, 2007. Ranadireksa, Hendarmin, Dinamika Konstitusi Indonesia, Bandung, Fokusmedia, 2007. Samidjo, Ilmu Negara, Yogyakarta: FH UII Press, 1999.
Soehino, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan Indonesi, Jakarta, Ghalia, 1992. Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD 1945, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989. Suharto, Susilo, Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode Berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Syahuri, Taufiqqurrohman, Hukum Konstitusi, Bandung, Ghalia Indonesia, 2004. Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung, Fokusmedia, 2007.
Yunus, Mahmud, Tafsir Qur’an Karim, Jakarta, Hidakarya, 1978. Zallum, Abdul Qadim, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil, Al Izzah, 2002.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 Undang-undang Dasar Sementara 1950 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1976 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Tap MPR No. III/MPR/1978 tentang kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009
Tap MPR No.VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.
MAJALAH, KAMUS, SURAT KABAR Mohammad Fajrul Falaakh, Parlemen-MPR dan Parlemen Legislatif, Harian KOMPAS, Senin 25 Februari 2008. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, cetakan keduabelas, Jakarta, Balai Pustaka, 1991. Urofsky, Melvin I. et.al., Prinsip-prinsip Dasar Demokrasi, Majalah Demokrasi, United States : Office of International Information Programs, edisi kedua, 2001. John. P. Crisp Jr., et.al., Apakah Demokrasi Itu? (makalah), Amerika Serikat, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, 2001.
INTERNET
Bonny, dan Novan, Penolakan Laporan Pertanggungjawaban Presiden sebagai Mandataris MPR, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/22/0108.html, akses tanggal 18 Januari 2009. Mulyosudarmo, Suwoto, Dasar Hukum dan Materi Pertanggungjawaban Presiden, http://www.kompas.com, akses tanggal 18 Januari 2009. Pusat dan Pengkajian Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan MK-RI, Sejarah Ketatanegaraan Impeachment di Indonesia, http://id.wikisource.org, akses tanggal 18 Januari 2009.
Irma Latifah Sihite : Pola Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Sebelum Dan Sesudah Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, 2009. USU Repository © 2009