Pola Perkawinan dan Sistem Pewarisan Masyarakat Boyan Retsky Anugrah W. Pangemanan Dusun Kuala Buayan terletak di Desa Kuala Buayan, Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat. Menurut penduduk lokal, Kuala Buayan berasal dari dua kata, yaitu Kuala dan Buayan. Dalam bahasa lokal, Kuala memiliki arti muara karena desa ini terletak muara atau permulaan sedangkan untuk Buayan sendiri terdapat dua buah presepsi. Ada yang mengatakan Buayan berasal dari kata buaian atau belaian ataupun dari kata buaya karena adanya kepercayaan masyarakat bahwa dulu di tempat ini banyak sekali terdapat buaya, terutama di sungai Kapuas. Dusun Kuala Buayan merupakan dusun yang terpadat penduduknya di Desa Kuala Buayan. Dari keseluruhan penduduk Desa Kuala Buayan yang berjumlah 6.693 jiwa, 5.947 jiwa diantaranya bermukim di dusun Kuala Buayan, dan tersebar ke dalam 1400 KK yang dibagi menjadi 20 RT. Penelitian saya kali ini berpusat di RT.02 Dusun Kuala Buayan, yang merupakan daerah tempat tinggal Kepala Dusun Kuala Buayan. RT.02 Dusun Kuala Buayan merupakan salah satu wilayah yang padat penduduk. Berdasarkan buku RT terdapat data mengenai jumlah penduduk RT.021, sebagai berikut: - Jumlah Kepala Keluarga
: 133 KK
- Jumlah Jiwa
: 375 Jiwa
Yang dibagi lagi menjadi beberapa klasifikasi berdasarkan : Agama Jenis Kelamin
1
Islam
361 jiwa
Laki-laki
185 jiwa
Katolik
8 jiwa
Perempuan
190 jiwa
Protestan
6 jiwa
Data statistik berdasarkan buku RT.02 Dusun Kuala Buayan per- Januari 2010
1
Status Perkawinan Kawin
194 jiwa
Belum Kawin
151 jiwa
Duda
21 jiwa
Janda
9 jiwa
Selain diklasifikasikan berdasarkan point-point tersebut, penduduk di Dusun Kuala Buayan dapat juga dikategorikan berdasarkan suku bangsanya, yaitu Melayu, Cina, Jawa, Dayak, dan juga Batak. Keberagaman di Dusun Kuala Buayan ini masih terpelihara dengan baik diantara para warganya. Mereka tidak lagi mempermasalahkan perbedaan latar belakang, suku bangsa, maupun agama yang mereka anut sehingga konflik mengenai perbedaan-perbedaan ini relatif jarang terjadi di Dusun Kuala Buaya. Hal ini dikarenakan penduduk Kuala Buayan memiliki toleransi yang tingggi diantara sesamanya. Faktor lainnya yang juga tak kalah penting dalam menciptakan sinergi dan keharmonisasian dalam kehidupan sosial di Kuala Buayan adalah adanya perkawinan, terutama perkawinan campur. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seoang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Perkawinan hanya dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan juga dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itulah seringkali perkawinan juga dinyatakan sebagai bentuk legalisasi penyatuan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri oleh institusi agama, pemerintah atau kemasyarakatan. Perkawinan dapat dikategorikan menjadi beberapa bentuk, yaitu: 1. Perkawinan berdasarkan jumlah istreri atau suami -
Monogami Suatu bentuk perkawinan dimana suami tidak menikah dengan perempuan lain dan isteri tidak menikah dengan lelaki lain. Jadi singkatnya monogami merupakan pernikah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa ada ikatan pernikahan lain.
-
2
Poligami
Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Bab 1:1
2
Suatu bentuk perkawinan dimana seorang laki-laki menikahi beberapa perempuan atau seorang perempuan menikah dengan beberapa laki-laki. Perkawinan poligami dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) Poligini, keadaan perkawinan dimana seorang laki-laki memiliki lebih dari satu isteri. Disebut poligini sororat bila istrinya kakak beradik kandung dan bila isterinya bukan kakak adik kandung disebut poliandri non-sororat. (2) Poliandri, seorang isteri memiliki lebih dari satu orang suami. Disebut juga poliandri fraternal jika suaminya kakak beradik, jika suaminya bukan kakak beradik kandung maka disebut poliandri non-fraternal. 2. Perkawinan berdasarkan asal isteri atau suami -
Endogami Yang disebut endogami adalah suatu bentuk perkawinan yang dilakukan antar etnis, klan, suku bangsa, ataupun kekerabatan dalam lingkugan yang sama.
-
Eksogami3 Eksogami adalah suatu perkawinan antar etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang berbeda. Eksogami juga dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaitu: (1) Eksogami Connobium Asymetris, yaitu perkawinan eksogami yang terjadi bila dua atau lebih lingkungan bertindak sebagai pemberi atau penerima gadis, seperti yang terjadi pada suku bangsa Batak dan Ambon. (2) Eksogami Connobium symetrys, dimana dua atau lebih lingkungan saling tukarmenukar jodoh bagi para pemuda. Perkawinan eksogami juga melingkupi Heterogami dan Homogami. Heterogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang berbeda (petani dengan bangsawan) sedangkan Homogami adalah perkawinan antar kelas sosial yang sama (pedagang dengan pedagang).
Adanya sistem perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat tentu saja memiliki dampak-dampak sosial yang menyertainya. Tidak saja bagi kedua individu yang melangsungkan perkawinan tapi juga memiliki imbas bagi keluarga besar kedua pihak bahkan mungkin masyarakat sekitar. Dampak sosial yang dirasakan langsung dari adanya sebuah perkawinan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem kekerabatan, dimana salah satu fungsi perkawinan adalah untuk menyatukan dua atau lebih hubungan kekerabatan menjadi sebuah hubungan kekeluargaan yang lebih luas lagi. Masalah sosial lainnya yang tidak dapat dilepaskan dari adanya sebuah perkawinan adalah masalah pewarisan. Warisan adalah harta peninggalan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata kata warista3
http://organisasi.org
3
yaritsu- irtsan- miiraatsan4. Secara etimologis maknanya adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum lain 5. Ahli waris adalah orangorang yang berhak menerima (mewarisi) harta peninggalan orang yang meninggal baik karena hubungan keluarga akibat perkawinan maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’)6. Harta warisan, dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh syariat untuk diwariskan kepada ahli warisnya. Masalah pembagian warisan ini juga diatur oleh pemerintah melalui hukum waris. Hukum waris sendiri adalah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menentukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana hubungan-hubungan hokum dari seseorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya7. Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai perkawinan dan pewarisan maka pada pembahasan selanjutnya akan menjawab dan menguraikan pertanyaan penelitian yang akan dikaji, yaitu: “Bagaimana pola perkawinan dan bentuk pewarisan (sistem waris) yang terjadi di dalam masyarakat Boyan8??” Dusun Kuala Buayan adalah satu dari empat dusun yang masuk ke dalam wilayah administratif Desa Kuala Buayan, Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Dusun Kuala Buayan adalah dusun yang terpadat penduduknya dibandingkan tiga dusun lainnya yang terdapat di Desa Kuala Buayan. Dusun Kuala Buayan dipimpin oleh Kepala Dusun (Kadus), Pak Maharani Adam. Dusun Kuala Buayan dihuni oleh 5.947 jiwa. Salah satu RT yang padat penduduknya di Dusun Kuala Buayan adalah RT.02 yang diketuai oleh Pak Dandan yang telah menjabat sejak tahun 1997. RT.02 Dusun Kuala Buayan dihuni oleh 375 jiwa, yang terdiri dari 133 KK. Penduduk yang menetap di Dusun Kuala Buayan ini terdiri dari berbagai latar belakang yang berbeda, baik dari suku bangsa maupun pemeluk agama yang berbeda. Adanya perbedaan yang melatarbelakangi kehidupan sosial di Kuala Buayan ini tidak menghalangi keharmonisan hubungan yang terjalin diantara penduduknya. Meskipun memiliki latar belakang yang berbeda penduduk disini tetap merasa sebagai satu kesatuan penduduk Boyan tanpa menilik lagi perbedaan diantara mereka. Penduduk Boyan memiliki kesempatan untuk berinteraksi secara terus-menerus dan terbiasa hidup secara komunal (penduduk di Kuala Buayan sangat bergantung terhadap sungai Kapuas untuk memenuhi kebutuhan air mereka (MCK) sehingga seringkali acara mandi, cuci, kakus ini dilakukan bersamaan dengan warga lainnya karena jarang 4
http://id.m.wikipedia.org
5
Ash-Shabuni 1996, p.33
6
Djalal 2006, pp.43-44
7
Geillustrtreerde Encyclopaedi, p.311
8
Sebutan masyarakat setempat untuk menyebut Dusun Kuala Buayan
4
penduduk yang memiliki kamar mandi sendiri di dalam rumah, mereka mendirikan tempat untuk melakukan MCK dipinggiran sungai Kapuas yang disebut lanting). Hal ini tentu saja membuka peluang yang sangat besar bagi warganya untuk berinteraksi secara komunal yang mungkin dilanjutkan dengan interaksi yang lebih intim secara personal hingga berakhir pada jenjang perkawinan antar penduduk Boyan.
Bentuk-bentuk Perkawinan Masyarakat Boyan Perkawinan yang terjadi di Kuala Buayan, antar masyarakat Boyan merupakan hal yang umum terjadi di dusun ini. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan juga apabila terjadi perkawinan antara orang Boyan dengan orang diluar Boyan, seperti Sengkoang Daok, Kayu Ara, Pampang Dua, Karawang, bahkan mungkin dengan warga Sekadau, Sintang, Meliau, Sanggau, dan juga orang luar Kalimantan. Beberapa data yang dapat menggambarkan pola-pola perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat Boyan, antara lain adalah perkawinan yang didasarkan pada asal calon pengantin, yang dibagi menjadi:
Perkawinan antar orang Boyan Perkawinan jenis ini adalah perkawinan yang paling umum terjadi di Boyan. Salah satunya adalah perkawinan yang dilakukan oleh Titin (23) dan Toni (31). Titin dan Toni samasama warga Boyan, hanya saja Titin tinggal di RT.02 sedangkan Toni tinggal di Cempaka. Sebenarnya keluarga Toni berasal dari Garut tetapi sejak kecil ia sudah dibawa dan tinggal di Kalimantan sehingga ia lebih merasa sebagai orang Kalimantan ketimbang orang Garut. Sebelum memutuskan untuk menikah Titin dan Toni telah bertunangan selama satu tahun. Menurut Titin saat ia muda dulu tidak ada pacaran. Sepasang kekasih hanya boleh berduaan apabila hubungan mereka telah sah dan diketahui oleh keluarga kedua belah pihak melalui tunangan, apabila tidak ingin langsung menikah. Titin juga menambahkan bila ada sepasang anak muda tanpa ikatan resmi sedang berduaan dan ketahuan warga maka mereka akan di arak keliling kampung dan keluarganya dituntut untuk segera menikahkan mereka. Menurut Titin sebelum memutuskan untuk memperkenalkan Toni kepada keluarganya dan meminta izin untuk bertunangan ia telah mengenal Toni selama kurang lebih tiga tahun. Toni adalah tetangga sebelah rumah teman Titin dimana Titin biasa bermain. Saat ini perkawinan mereka telah berlangsung selama hampir tujuh tahun dan telah dikaruniai dua orang buah hati. Titin menikah pada usia yang relatif muda, saat berumur 17 tahun. Sedangkan Toni saat menikah telah menginjak umur 25 tahun. Di Boyan umur 17 bagi perempuan adalah umur yang sudah cukup untuk menikah. “disini mah umur 17-18 juga udah pada dinikahin malah kadang umur 16 juga udah nikah rata-rata abis lulus SMP, jarang
5
perempuan yang lanjut (sekolah) soalnya kan SMA jauh Cuma ada di Meliau jadi ya kalo gak kerja di kebun pada nikah ngurus anak sama suami temen-temen sekolah saya juga udah pada nikah semua, kalo kaya kakak gini (umur 20-an) belum nikah mah malah pada malu dianggap perempuan gak laku” ujar Titin saat menjelaskan tentang kebiasaan nikah muda yang terjadi di Boyan ini. Setelah menikah pasangan yang keduanya berasal dari Boyan cenderung akan tinggal di Boyan juga setelahnya. Seperti Titin dan suaminya Toni yang tetap tinggal di Boyan walaupun tidak lagi tinggal bersama orangtua mereka. Titin dan Toni membangun sebuah rumah di kawasan RT.07. Selain karena telah merasa nyaman dengan keadaan lingkungan sekitar dan juga tetap merasa dekat dengan keluarga, alas an lainnya Titin dan Toni tetap tinggal di Boyan setelah menikah adalah mereka memiliki pekerjaan di Boyan. Titin bekerja sebagai buruh kelapa sawit di BHD9 dan Toni berwirausaha menerima pesanana meubel, seperti pintu, jendela, meja, kursi, lemari, tempat tidur dan peralatan lainnya di halaman belakang rumah mertuanya (ayah Titin). Contoh perkawinan antar warga Boyan lainnya dapat dilihat dari kutipan data lapangan yang didapatkan saat melakukan pengamatan di Boyan, seperti berikut ini: “…. Maksud kedatangan kedua laki-laki ini malam-malam pada saat hujan seperti ini adalah untuk meminjam buku RT kepada bapak. …. Kedua orang ini ternyata ingin meminjam buku RT karena salah satunya akan melangsungkan pernikahan dan membutuhkan daftar nama yang akan diundang. Plastik hitam yang dibawa tadi ternyata berisi undangan-undangan yang telah dicetak dan tinggal dituliskan nama penerimanya. Undangan pernikahan disini ternyata amatlah sederhana hanya merupakan selembar kertas HVS yang telah dicetak dengan menggunakan desain yang di buat oleh komputer lalu diperbanyak dengan cara di fotokopi. Undangan pernikahan ini Nampak seperti surat pemberitahuan yang sering saya dapatkan sewaktu di sekolah. Hanya saja bagian depannya berisi nama kedua memplai dan aksen-aksen tambahan seperti bunga dan pita, tak lupa juga sebuah kotak kosong yang nantinya diisi dengan nama tamu undangan. … saya memutuskan untuk membantu menulis undangan laki-laki yang akan menikah pada hari Sabtu, tanggal 10 Juli 2010 berdasarkan undangan yang dia serahkan kepada saya untuk diisikan nama para undangan. Nama laki-laki ini adalah Jing, yang ternyata Jing tinggal di sebelah rumah bapak. Ia akan menikah dengan Minah, yang merupakan tetangga bapak juga (rumahnya berjarak 4 rumah ke hilir dari rumah bapak)…”10
Perkawinan antara orang Boyan dan Sekadau (luar desa) Saat mencari data mengenai pernikahan orang Boyan dengan orang luar desa (Kuala Buayan) terdapat cerita yang menarik dari Ibu Rubiah (41). Ibu Rubiah sudah 27 tahun menikah 9
Bintang Harapan Desa sebuah usaha perkebuanan kelapa sawit di Kalimantan Barat
10
Pangemanan 2010, p.22
6
dengan Pak Adam (48) yang berasal dari Sekadau. Ada kepercayaan yang dipengang oleh masyarakat Boyan bahwa Sekadau adalah daerah yang terkenal akan ilmu hitam, terutama ilmu peletnya. Demikian juga yang dirasakan oleh Ibu Rubiah melalui ceritanya, berikut ini: “sebenrnya saya (ibu Rubiah) dulu udah tunang (tunangan) sama orang lain sebelum sama bapak (pak Adam). Tunang saya orang Mayam. Bapak juga udah punya tunang sendiri di Sekadau tapi ditinggilan soalnya dia keburu hamil sama laki-laki lain jadi bapak gak mau nikahin. Awalnya ketemu sama bapak waktu bapak masih kerja jadi supir perkebunan waktu itu saya baru jadi buruh disana. Tiap hari bapak kerjanya bawa mobil perusahaan jadi saya juga sering diajak ikut, dianter pulang. Tiga hari deket (dianter pulang-pergi) bapak ngajakin saya nikah. Saya juga gak ngerti kenapa saya mau mungkin bapak pake pelet kali, kan orang Sekadau terkenal jago melet (menerapkan ilmu pelet). Keluarga saya juga gak setuju waktu saya bilang mau nikah sama bapak. Malah paman saya sampe ngancem pengen bunuh kita berdua kalo saya tetep pengen nikah sama bapak.” “Awalnya saya sempet nyesel juga kenapa dulu gak ngikutin kata-kata keluarga, soalnya kelakuan bapak abis nikah bejat. Dia suka maen cewe, mabuk-mabukan, sama maen kolokkolok11 sampe punya anak 2 bapak masih begitu. Bapak gampang maen cewe sama judi soalnya kan waktu itu dia kemana-mana bawa mobil jadi cewe-cewe banyak yang mau ikut. Gajinya juga gede tujuh juta sebulan tapi gak ada yang nyampe ke saya semua abis buat minum sama maen kolok-kolok. Waktu lagi hamil anak ketiga bapak sempet pengen nikah lagi. Tapi saya bilang saya gak mau dimadu mending cerai aja sekalian, tapi bapak gak mau. Bapak baru mulai tobat waktu bapak kecelakaan, mobil yang dia bawa ditabrak sampe kebelah dua tapi bapak selamet (walaupun luka berat di kepala, dada, dan kaki) padahal kata dokter harusnya udah lewat (meninggal). Sejak kecelakaan itu bapak mulai berubah dia gak lagi maen perempuan mungkin karena udah gak bisa bawa mobil lagi.” tutup Ibu Rubiah sambil tertawa kecil. Berdasarkan cerita Ibu Rubiah ini dapat dikatakan bahwa orang Boyan memiliki styrotape terhadap orang-orang lain di luar, seperti orang Sekadau yang digambarkan sebagai orang yang jago dalam ilmu hitam dan juga perbuataan buruk lainnya. Perkawinan antara penduduk Boyan dengan orang Sekadau juga tidak diharapkan seperti terlihat dalam reaksi paman dari Ibu Rubiah yang sempat ingin membunuh keduanya apabila tetap menikah.
Perkawinan antara orang Boyan dan luar Kalimantan Selain melakukan perkawinan antar warga Boyan, perkawinan antara Boyan dan luar desa terdapat juga jenis perkawinan lainnya, yaitu perkawinan antara orang Boyan dengan orang luar Kalimantan, seperti Jawa, Aceh, Jakarta dan daerah lainnya. Perkawinan jenis ini biasanya terjadi pada orang-orang yang merantau dan bekerja di luar pulau Kalimantan dan menemukan jodoh mereka disana. Salah satu data yang menceritakan mengenai perkawinan jenis ini adalah 11
Nama permainan judi yang popular di Kuala Buayan, Meliau dan sekitarnya
7
cerita yang diberikan oleh seorang narasumber yang menceritakan perkawinan keponakannya dengan seorang gadis Jawa. “ keponakan saya itu ketemu isterinya waktu di kerja Jakarta sekitar taun 99-an lah, di Tanjung Priok jadi buruh di pelabuhan. Kalo gak salah Rani (nama isteri keponakannya) itu anaknya yang punya warung makan di daerah sana. Keponakan saya kalo makan selalu disitu jadi ya mungkin jadi muncul rasa-rasa lah mereka kan setiap hari ketemu. Akhirnya sama-sama suka, serius juga hubungannya jadi dia (keponakan informan) telepon ke saya ngabarin kalo dia mau nikah minta dilamarin. Karena orangtuanya udah gak ada terus dari kecil juga saya yang ngurus jadi saya sama istri ke Jakarta buat jadi wali nikahannya. Waktu saya sampe ke Jakarta mah semua udah siap besok paginya udah tinggal akad saya tinggal sah-sah aja terima beres” cerita informan sambil tertawa. “abis nikah mereka tinggal di Jakarta, tapi taun 2005 kemarin dia balik lagi kesini sama istri sama anaknya tapi udah gak tinggal disini (Boyan) dia tinggal di Ponti (Pontianak) buka usaha rumah makan deket bandara sama istrinya kadang-kadang juga masih main kesini apalagi kalo lebaran bawa macem-macem kalo kesini soalnya sama saya udah kaya bapak sendiri”. Berdasarkan cerita dari informan tersebut kita dapat melihat bahwa keponakannya yang bekerja di Jakarta mendapatkan jodoh disana dan setelah menikah kembali membawa istrinya ke Kalimantan walaupun tidak menetap di Boyan. Meskipun demikian dalam perkawinan jenis ini ada pula yang setelah menikah (baik menikah di Boyan atau di luar) tidak kembali ke Boyan (Kalimantan) melainkan menetap di luar baik di rumah sendiri ataupun di rumah mertuanya. Hal ini terutama dialami para perempuan karena meraka harus mengikuti suaminya. Selain cerita informan diatas terdapat juga sebuah cerita dari informan lain yang menceritikan kisah mengenai anak tetangganya yang menikah dengan orang luar pulau yang tidak berjalan mulus. “dia (tetangga informan) namanya Pak Mohtoni kak, itu yang rumahnya warna kuning dua rumah dari sini longok dari pintu juga kakak liat rumahnya. Hidupnya kasian dia itu, dia punya anak. Perempuan cuma satu-satunya tapi yah malah kepaksa nikah sama orang gak bener. Jadi awalnya disini tuh pernah ada orang dateng dari Cirebon niatnya mau jual mainan. Tapi yah karena warga sini juga penghasilannya cuma gak seberapa mainan yang dia jual gak terlalu laku. Karena gak balik modal jadi dia belom bisa pulang jadi ya dia cuma luntang-lantung aja disini tidurnya juga di mesjid. Ngeliat sering ada orang yang suka mondar-mandir di depan rumahnya (letak rumah Pak Mohtoni di seberang mesjid) dia jadi kasian juga terus nawarin buat tinggal di rumahnya aja daripada tidur di mesjid. Tapi emang dasar ini orang (penjual mainanan tersebut) gak tau diri kak, masa udah diabaikin dikasih tempat tinggal dia malah berani merkosa anak gadisnya Pak Mohtoni.”
8
“awalnya sih warga sini juga gak ada yang tau, Pak Mohtoni juga gak tau kalo selama dia lagi noreh12 (biasanya pagi sampai siang) si Nana (anak Pak Mohtoni) dikerjain (diperkosa) sama tuh orang. Awalnya sih saya curiga soalnya kalo ngeliat Nana suka bengong terus mukanya sedih mulu kalo liat orang itu mukanya juga kaya orang ketakutan. Saya terus nanya ke Nana dia kenapa soalnya gak biasa-biasanya dia kaya gitu kak dia biasanya rame seneng kumpul-kumpul sama ibu-ibu sini tapi jadi jarang kumpul. Awalnya sih gak mau cerita tapi karena saya ma temen saya paksa terus akhirnya dia cerita kalo selama ini dia udah diperksosa sama si Udin (nama tukang mainan) ampir tiap hari kak Udin ngerjain dia. Yah waktu ketauan itu mah mungkin udah sekitar dua minggu kak.” “siangnya waktu bapaknya pulang saya nemenin Nana buat ngomong sama bapaknya soalnya dia takut katanya. Wah kak waktu Toni (panggilan Pak Mohtoni) denger cerita kaya gitu marah banget dia ampe pengen langsung dibunuh si Udin itu. Tapi ya akhirnya diputusin buat dinikahin aja, saya sendiri si gak setuju sebenernya orang si Udin itu gak punya modal apa-apa tapi bisa nikahin si Nana. Nana tuh cantik kak paling waktu dipaksa nikah itu se-kakak gini lah (umur 20). Enak banget kan si Udin udah merkosa masih dapet istri juga dibiayain lagi semua sama mertuanya. Tapi ya emang Udin nya aja emang bejat soalnya abis nikah tuh dia sama sekali gak ngasih uang istrinya boro-boro ngasih makan kerja aja gak tuh orang. Semua Toni yang biayain, sampe sekitar dua taunan lah mereka nikah eh malah si Udin kabur padahal si Nana lagi hamil. Ya mungkin karena gak kuat juga kali ya kak si Nana akhirnya sampe sekarang jadi kaya orang gila suka bengong sama ngomong sendiri. Akhirnya yang ngurus anaknya ya kakeknya lagi. Kasian banget deh itu mah kak.” Berdasarkan informasi yang diberikan informan tersebut terdapat juga perkawinan antara warga Boyan dengan orang luar Kalimantan, tetapi warga Boyan tersebut tidak merantau (mencari pekerjaan ke luar Boyan) melainkan pasangannya yang datang ke Boyan dan menikah disana. Tetapi seperti juga yang dapat dilihat dari kutipan tersebut bahwa fenomena ini bukanlah fenomena yang sering terjadi bahkan pada cerita yang diberikan informan pasangan tersebut menikah karena terpaksa. Selain dikategorikan berdasarkan asal daerahnya, perkawinan yang terjadi di Kuala Buayan juga dapat diidentifikasi berdasarkan etnis. Hal ini dikarenakan di Boyan sendiri terdapat beberapa suku bangsa, seperti Melayu, Cina, Jawa, Dayak, dan juga Batak. Walaupun terdapat banyak etnis dan minoritas, secara umum terdapat tiga etnis besar di Boyan, yaitu Melayu, Cina, dan Batak. Oleh karena itu pembahasan selanjutnya akan memfokuskan untuk membahas mengenai perkawinan antar tiga etnis tersebut. Contoh-contoh perkawinan berdasarkan etnisnya yang terjadi di Boyan dapat dikategorikan menjadi empat macam, yaitu:
Perkawinan antar orang Melayu 12
Mengambil getah pohon karet
9
Berdasarkan data statisitik yang telah disajikan sebelumnya dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk Boyan terutama yang berada di RT.02 beragama Islam. Agama Islam merupakan agama mayoritas disini dan dipeluk oleh 96% penduduknya atau sekitar 361 jiwa. Sehingga tidaklah mengherankan jika penduduk Dusun Kuala Buayan menyatakan diri mereka sebagai orang Melayu. Orang Melayu sendiri sebenarnya adalah orang Dayak (penduduk asli Kalimantan) yang memeluk agama Islam sehingga mereka tidak mau lagi disebut sebagai Dayak (masyarakat Dayak beragam non-Muslim). Perkawinan antara orang Melayu dengan Melayu adalah suatu perkawinan yang dianggap ideal bagi masyarakat sekitar karena diantara mereka masih banyak yang memegang ajaran Islam bahwa seorang yang beragama islam akan mencari pasangan yang beragama Islam juga karena apabila ia menikah dengan orang diluar agama tersebut mereka merasa itu tidak baik. Pengertian perkawinan sendiri menurut agama Islam adalah pelaksanaan, peningkatan, dan penyempurnaan ibadah kepada Allah S.W.T dalam hubungan antara dua jenis manusia, pria dan wanita yang ditakdirkan oleh Allah satu sama lain saling memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusian untuk memenuhi nalurinya dalam hubungan seksuil, untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapatkan kesejahteraan lahir batin bagi keselamatan keluarga, masyarakat dan Negara serta keadilan dan kedamaian baik didalam kehidupan dunia maupun akhirat. Sedangkan perkawinan dalam ilmu fiqh perkawinan menggunakan kata ziwaaj (nikah). Secara etimologis, nikah memiliki dua makna yaitu makna sebenarnya dan makna kiasan. Makna yang sebenarnya dari nikah adalah dham (menghimpit, menindih, atau berkumpul) sedangkan makna kiasannya adalah wathaa yang artinya setubuh atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan) 13. Selain secara hukum agama (Al-Qur’an dan Hadits), pemerintah juga mengatur masalah perkawinan yang dituangkan di dalam Undang-Undang tentang perkawinan, dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Secara tidak langsung hal ini juga semakin meneguhkan peranan agama dan kepercayaan dalam penerapan hukum positif.berdasarkan pasal 2 ayat (1) ini menyatakan bahwa agama dan kepercayaan masing-masing adalah syarat mutlak untuk menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Sehingga tidak pernah muncul permasalahan dan persoalan apabila perkawanin terjadi antara mereka yang seagama atau sekepercayaan. Nilai-nilai dan ajaran agama Islam juga sangat melekat dalam tatanan nilai-nilai sosial masyarakat Boyan, tidak saja dalam hal menentukan kriteria pasangan hidup tetapi juga dalam proses perkawinan itu sendiri. Oleh karena itulah saat akan membahas mengenai pernikahan antar orang Melayu dan Melayu tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai ke-Islaman yang menyertainya. Seperti ajaran Islam yang tidak membenarkan adanya sebuah masa pacaran hal ini juga diterapkan oleh masyarakat Melayu di Boyan, bahkan juga tidak hanya Melayu tapi juga 13
http://balianzahab.wordpress.com
10
Cina dan Batak. Meskipun pada kenyataannya nilai ini mulai luntur seiring perubahan sistem sosial yang terjadi di Boyan. Meskipun ada nilai-nilai ke-Islaman yang telah luntur tetapi ada juga nilai-nilai yang tetap dipertahankan hingga kini dalam konsep pernikahan Melayu (secara Islam), tata cara perkawinan secara Islam yang tetap masih digunakan hingga kini adalah: 1. Khitbah (peminangan atau lamaran)14
Khitbah adalah proses dimana seorang pria meminta kesedian keluarga wanita untuk menerima niatnya untuk menikahi sang wanita. Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah diharuskan untuk meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan muslimah tersebut sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang muslim untuk meminang wanita yang sudah dipinang oleh orang lain (muttafaq’alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang15. 2. Aqad Nikah
Aqad nikah adalah proses yang paling vital dan penting dalam sistem perkawinan secara hukum Islam. Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, hanya terdiri dari dua kata ijab dan qabul. Tetapi dengan dua kata ini telah dapat menaikan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kata ini merubah kekotaran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, dan juga merubah dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah juga digambarkan tidak saja sebagai perjanjian antara dua insane yang akan menikah tetapi juga merupakan perjanjian dengan Allah S.W.T dimana saat tangan diulurkan (antara wali nikah dan memplai pria) diatasnya ada tangan Allah S.W.T. oleh karena kesakralan pernikahan itulah Allah menyebutnya sebagai mitsaqon gholizo (perjanjian Allah yang berat).16 Dalam akad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu: adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai, adanya Ijab Qabul, adanya mahar, adanya wali, adanya saksi-saksi. Dan menurut sunnah sebelum akad nikah diadakan juga perlu diadakan khutbah terlebih dahulu yg dinamakan khutbatun nikah atau khutbatul hajat. 3. Walimah (pesta pernikahan)
Walimah atau pesta pernikahan tujuannya adalah untuk memberitahukan kepada keluarga besar dan juga masyarakat sekitar bahwa kedua memplai telah sah menjadi sepasang suami isteri sehingga tidak akan menimbulkan fitnah diantara masyarakat dan lingkungan sekitar. Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah 14
http://koswara.wordpress.com
15
Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi no.1093 dan Darimi
16
http://www.suaramedia.com
11
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jeleknya makanan. Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: “makanan paling buruk adalah makanan yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-nya.” (Hadist Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).17
Perkawinan antar orang Melayu dan Cina Meskipun penduduk Boyan sebagian besar adalah orang Melayu dan memeluk agama Islam tetap ada etnis lain yang terdapat disana, yaitu Cina atau yang biasa disebut sebagai orang Cin. Keberadaan orang Cin di Boyan sangat mudah diidentifikasi, karena selain dari tampilan fisiknya seperti warna kulitnya yang putih dan bermata sipit (penduduk asli berkulit coklat cenderung gelap) juga dapat diidentifikasi berdasarkan mata penchariannya, dimana sebagian besar orang Cin bekerja di bidang perdagangan. Baik membuka toko kelontong, bahan bangunan, dan juga banyak diantara mereka yang menjadi tokeh18. Oleh karena itulah hampir semua orang Cin di Boyan adalah orang-orang kaya dan terpandang di masyarkat karena merekalah yang memegang kendali atas perputaran roda perekonomian yang tejadi di Boyan. Pedagang Cina sebagai pemegang kekuasan terbesar atas perekonomian pendistribusian barang ke Boyan juga dapat terlihat dari cuplikan data lapangan, berikut ini: “…. Pembicaraan lalu saya alihkan mengenai warung milik Uma ini dan pendapatannya seharihari. Untuk memenuhi kebutuhan warungnya Uma biasa berbelanja ke Toko Sinar Jaya, yang memang merupakan toko paling besar dan lengkap di daerah Buayan ini. Menurut Uma harga di toko ini memang lebih mahal dibandingkan dengan harga di Meliau atau Sanggau, tetapi Uma tetap memasok barang dagangannya dari toko ini karena apabila harus membeli di Meliau atau Sanggau bisa jadi harganya lebih mahal lagi karena masalah transportasi kesana yang tidak murah terlebih lagi kalau ia harus pergi kesana 3-4 kali sebulan karena ia biasanya hanya berbelanja sedikit-sedikit sekitar Rp.300.000,- setiap kali belanja tergantung keadaan di warungnya. Uma biasa menjual dagangannya sekitar Rp.1.000,- sampai dengan Rp. 2.000,- 19.“ Kutipan data lainnya yang juga mendukung pernyataan sebelumnya, adalah: “…. Bapak juga bercerita selain dari sawit sebenarnya bapak masih memiliki penghasilan dari gajinya dari pemerintah sebagai Kadus, setiap bulannya bapak berhak mendaptkan gaji sebesar 17
18
19
http://koswara.wordpress.com Pengepul getah karet hasil noreh masyarakat sekitar. Pangemanan 2010, p.15
12
Rp.500.000,- tetapi gaji ini hanya keluar setiap 6 bulan sekali. Bahkan hingga saat ini sudah 8 bulan bapak belum mendapatkan gajinya. Oleh karena itulah untuk kebutuhan hidup sehari-hari keluarga bapak lebih mengandalkan penghasilan dari sawit. …. Tapi itu juga gak seberapa soalnya harga jual sawit adalah Rp.1.100,- sampai Rp.1.200,- per kilogram. Setiap bulannya bapak mendapatkan penghasilan dari sawit sebesar Rp.800.000,- jadi buat kebutuhan sehari-hari pas-pasan buat nutupin lagi paling ngutang ke engkoh (pemilik toko Sinar Jaya) buat beli indomie sama beras. Keperluan laen juga sering ambil dulu disana engkoh udah percaya sama warga sini soalnya kalo ada uang juga pasti langsung dibayar. Bulan ini juga ibu masih ngutang disana Rp.350.000 belum sempet kebayar20” Berdasarkan gambaran umum tersebut maka dapat dilihat bahwa keluarga orang Cin adalah orang yang terpandang dan berkedudukan tinggi di Boyan baik secara sosial dan ekonomi. Dikarenakan statusnya yang tinggi tentu saja golongan ini tidak sembarangan dalam memilih dan menentukan pasangan hidupnya. Bagi orang-orang Cina yang berasal dari golongan kaya cenderung memiliki kesempatan yang terbatas dalam mencari pasangan. Mereka terikat dan dituntut untuk menjaga keberlangsungan harta mereka sehingga pernikahan orang-orang Cina yang kaya biasanya dilakukan karena masih ada hubungan relasi (baik teman bisnis maupun saudara jauh yang jelas asal-usulnya) dan berasal dari kelas sosial yang sederajat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga agar harta mereka tidak jatuh ke “lingkungan” di luar mereka dan tetap bisa terkontrol dan bahkan memungkinkan untuk berkembang menjadi lebih besar atau lebih sukses lagi. Ketatnya aturan mengenai pemilihan jodoh bagi orang Cina yang berasal dari golongan kaya dapat dilihat dari cuplikan cerita yang diberikan oleh salah seorang informan, berikut ini: “kakak sepupu bapak (informan) juga ada yang nikah sama cewek Cin udah lumayan lama ya tahun 87-an lah. Cewek Cin nya kaya. Tapi gara-gara cuma mau nikah sama kakak sepupu bapak itu keluarganya akhirnya ngijinin tapi waktu abis nikah (resepsi) dia cuma dikasih uang Rp.6.000.000,- sama kebun karet sebidang terus udah gak dianggap keluarga lagi sama orangtuanya. Putus hubungan, sampe sekarang juga dia gak pernah ngubungin keluarganya lagi kayak yang gak kenal gitu. Sekarang dia di Tayan punya BMT disana sama ngurusin yayasan buat ibu-ibu.” Berdasarkan informasi dari informan tersebut maka dapat dilihat betapa orang Cina sangat menjaga hartanya dan tidak ingin apabila harta tersebut dikuasai oleh orang di luar mereka. Seperti perlakuan orangtua dari perempuan Cina tersebut yang lebih memilih untuk memutuskan hubungan dengannya dibandingkan mengakui suaminya yang orang “luar” sebagai menantu mereka. Hal ini tentu akan semakin berat dirasakan bagi para laki-laki keturunan Cina kaya karena tentunya pasangan hidupnya kelak akan sangat dipilih secara selektif oleh keluarganya karena laki-laki adalah pewaris kekayaan keluarga yang utama. 20
Pangemanan 2010, p.13
13
Tidak semua orang Cin di Boyan berasal dari golongan kaya, bagi mereka yang berasal dari golongan menengah kebawah memiliki kesempatan yang lebih luas dan variatif untuk mencari pendamping hidup di luar Cin karena mereka tidak terikat untuk menjaga harta keluarga, seperti cerita yang disampaikan salah satu informan berikut ini: “ yang tinggal di depan rumah itu di orang Cin tapi miskin makanya dia bisa nikah sama orang Padang, kalo Cin yang kaya mah biasanya kawinnya sama Cin juga. Suaminya kerja proyek di Ponti makanya lumayan kaya juga mereka. Anaknya ada dua yang satu kerja sama kuliah duaduanya di Ponti makanya rumahnya sering kosong yang disini.” Tinggal dan berinteraksi secara bersama-sama di sebuah lingkungan yang sama tentu saja tidak menutup kemungkinan apabila muncul perkawinan antara orang Cin dan juga orang Melayu sebagai penduduk mayoritas di Boyan. Permasalahan paling mendasar yang muncul pada jenis pernikahan ini adalah perbedaan agama atau keyakinan. Orang Melayu memeluk agama Islam dan orang Cin beragama Katolik atau Protestan. Pasangan dari latar belakang etnis ini tetap diperbolehkan untuk menikah tetapi mereka harus menentukan agama apa yang akan mereka peluk karena berdasarkan agama inilah pernikahan mereka akan dilangsungkan. Dengan kata lain salah satu pihak harus mengalah dan melepaskan agamanya dan masuk ke dalam agama yang dipeluk oleh pasangannya. Yang banyak terjadi biasanya adalah calon isteri yang akan mengalah dan mengikuti agama calon suaminya. Salah satu kasus perkawinan antara Cin dan Melayu yang terjadi di Boyan adalah perkawinan antara adik sepupu Pak Wakiyo (informan) dan istrinya Maria, “kalo itu sih udah lumayan sering kejadian, adik sepupu saya juga ada yang nikah sama Cin. Yah baru sekitar 3 tahunan lah kejadiannya. Kalo yang adik sepupu saya itu sih emang ceweknya yang ngejar-ngejar. Dia sampe kabur dari rumah udah bawa koper gede banget minta dikawinin. Tadinya sih adik sepupu bapak sempet gak mau soalnya dia (Maria) kan anak tokeh kaya di Sintang takut keluarganya gak setuju kalo dia nikah sama adik bapak itu soalnya dia (adik sepupu informan) cuma punya toko kain tapi ya lumayan gede juga. Gara-gara ceweknya maksa terus akhirnya dilamar untungnya keluarga ceweknya gak keberatan mereka juga ngijinin kalo anaknya masuk Islam, malah mereka minta adik saya buat bimbing si Maria itu supaya Islamnya juga bener gak setengah-setengah.”
Perkawinan antar orang Melayu dan Dayak Permasalahan yang dialami oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan dengan latar belakang etnis Melayu dan Dayak pada dasarnya sama saja dengan dilema yang dihadapi oleh pasangan yang berlatar belakang Melayu dan Cina, yaitu terbentur perbedaan agama atau keyakinan. Seperti juga yang telah dijelaskan dalam perkawinan Melayu dan Cina bahwa kedua pasangan yang berbeda agama ini (Melayu, Islam dan Dayak, Katolik atau Protestan) tetap
14
diperbolehkan menikah asal menentukan satu agama atau keyakinan yang akan dipeluk sekaligus untuk menentukan upacara perkawinan. Apakah dilakukan secara Islami dengan melakukan aqad nikah ataupun melalui pemberkatan di Gereja. Meskipun pada kenyataannya fenomena “pindah agama” ini seringkali hanya menjadi kedok semata untuk mendapatkan legalitas dalam perkawinannya tanpa menjalankan ajaran-ajaran agama atau kepercayaan yang telah dipeluknya dengan sungguh-sungguh. Hal ini mungkin dikarenakan di Boyan tidak bisa melangsungkan perkawinan beda agama (masing-masing pihak tetap memeluk kepercayaannya masing-masing), hal ini dikarenakan bila agama yang dianut oleh sepasang suami isteri berbeda akan sulit bagi mereka untuk mengurus akte kelahiran bagi anaknya. Sehingga mereka (calon pasangan beda agama yang akan menikah) banyak memilih cara “aman” untuk mendapatkan pengakuan tanpa harus mengimani “agama barunya” tersebut.
Perkawinan antar orang Dayak dan Cina Dikarenakan pernikahan jenis ini adalah pernikahan yang “wajar” terjadi karena antara Dayak dan Cina memeluk agama yang sama, dan juga jumlah etnis Dayak dan Cina yang tidak terlalu banyak terdapat di Boyan maka jenis perkawinan tidak akan terlalu di bahas secara mendalam. Seperti halnya pernikahan yang terjadi antar orang Melayu yang menggunakan hukum Islam sebagai landasannya, perkawinan antar orang Dayak dan Cina sendiri juga relatif tidak bermasalah karena mereka sama-sama menganut agama Katolik ataupun Protestan sehingga pernikahan mereka juga telah diatur oleh hukum agama Kristen melalui perwalian Gereja ataupun pendeta. Setelah sebelumnya dibahas mengenai pola-pola perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat Kuala Buayan, baik yang dibagi berdasarkan daerah asal calon pengantin maupun yang dikelompokan berdasarkan perkawinan antara suku bangsa (etnis) dan agama yang dianut oleh masyarakat Boyan. Selanjutnya maka akan dibahas mengenai sistem pewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Boyan.
Pola Pewarisan (sistem waris) Masyarakat Boyan Secara umum dapat digambarkan bahwa masyarakat Kalimantan (termasuk juga Boyan) seperti halnya masyarakat Jawa, Madura, Aceh, Sumatera Selatan dan juga Lombok menganut sistem kekerabatan bilateral dan merupakan sistem kekerabatan yang paling dominan diterapkan di Indonesia21. Sistem kekerabatan bilateral atau yang biasa juga disebut sebagai sistem kekerabatan parental adalah suatu garis kekerabatan yang ditarik melalui dua pihak, yaitu pihak ayah dan ibu. Dalam susunan kekerabatan bilateral semua kerabat baik dari pihak ayah maupun ibu, masuk ke dalam lingkungan kekerabatan seseorang. Dikarenakan sistem kekerabatannya 21
Sudarsono 1994, p.174.
15
bersifat bilateral maka sistem pewarisan di Boyan tidak dilakukan berdasarkan garis keturunan, seperti pada masyarakat Minang yang menganut garis keturunan matrilineal sehingga harta warisan akan jatuh ke tangan anak perempuan ataupun masyarakat Batak yang menganut garis patrilineal sehingga membuat harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki.
Sistem Pewarisan Tradisional Dikarenakan pewarisan tidak dapat dilakukan berdasarkan sistem kekerabatannya, masyarakat Boyan memiliki beberapa pilihan cara tersendiri untuk melakukan pewarisan (sistem waris), salah satunya adalah dengan cara tradisional. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai cara pewarisan tradisional bagi masyarakat Boyan dapat dilihat dari kutipan, berikut ini: “ disini (Boyan) jarang ada yang buat surat wasiat soalnya buatnya repot, emang sih bisa minta buatnya di kantor desa tapi tetep aja harus ada notaris dari Sanggau jadi ya biayanya gede juga lagi juga yang diwarisin gak banyak-banyak amat. Warga sini sih biasanya pake cara tradisional aja, pembagiannya intern tergantung kesepakatan keluarga. Kalo orang sini biasanya kapling 22 diwarisin ke anak pertama cewek atau laki sama aja terus nanti hasil dari kapling itu dibagi rata ke sodara-sodaranya. Kalo warisannya rumah biasanya dikasih ke anak terakhir atau yang belom kawin. Orang Cin juga punya itung-itungannya sendiri tapi kalo anak cewek udah nikah gak bakal dapet warisan lagi. Kalo gak bisa juga pembagiannya ngikutin aturan nasional 6:4 untuk anak laki sama cewek. Selain itu banyak juga sih yang pake sistem pembagian Islam, apalagi kalo yang Melayu” Berdasarkan kutipan informasi diatas maka kita dapat mengetahui bahwa yang dimaksud dengan sistem tradisional adalah sistem pembagian warisan yang berdasarkan kesepakatan keluarga yang ditinggalkan. Tetapi di Boyan juga terdapat sistem pembagian yang umum dilakukan, yaitu kapling yang diwariskan kepada anak pertama, dan rumah kepada anak terakhir atau belum menikah. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya rumah bisa saja diberikan kepada anak kedua, dan anak ketiga mendapatkan speed dan selanjutnya seluruh harta warisan dibagi secara merata. Dengan kata lain sistem pewarisan secara tradisional di Boyan ini tidak bersifat ajeg atau mengikat karena semua berdasarkan kesepakatan bersama keluarga yang bersangkutan. Akibat ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum dari system pewarisan tradisional ini adalah mudahnya konflik muncul dikarenakan perasaan tidak puas dan ketidakadilan yang dirasakan oleh salah satu pihak. Salah satu cerita yang dapat menggambarkan situasi ini adalah hasil wawancara yang dilakukan kepada Ibu Nur (45) tahun yang pernah mengalami sendiri permasalahan pelik akibat tanah warisan:
22
Satuan lahan kelapa sawit, 1 kapling = 2Ha.
16
“ … dulu saya juga punya kapling kak di BHD sana warisan dari ibu. Gak gede sih cuma satu kapling tapi lumayanlah buat tambah-tambah. Saya dapet jatah kapling soalnya saya anak pertama, ade saya yang kedua dapet rumah, terus yang ketiga dapet speed. Tapi sekarang kaplingnya udah saya jual ke paman soalnya malah jadi masalah kak. Pusing saya mikirnya, ade saya itu ngerasa gak adil soalnya rumah kan gak bisa dapet duit padahal kapling sama speed bisa dipake buat nyari duit. Jadi dia minta saya bagi hasil klo tiap panen, ya udah saya turutin tapi dia malah nuduh saya aneh-aneh. Dia bilang saya boong ke dia soalnya cuma ngasih dikit padahal kan hasil dari sawit gak seberapa apalagi cuma satu kapling. Akhirnya daripada saya sakit hati saya minta Paman aja buat bayarin tu kapling terus uangnya bagi rata jadi kan dia gak bisa protes lagi soalnya nerimanya sama gede kalo uang dia cepet abis itu mah emang dianya aja yang gak bisa ngatur duit, boros dia itu kak...” Sistem Pewarisan menurut Hukum Islam Selain sistem pewarisan secara tradisional kutipan informasi di atas juga menyinggung bahwa masyarakat Boyan juga menerapkan hukum Islam dalam menentukan pembagian harta warisan. Baik berasal dari Al-Qur’an ataupun Hadits. Di dalam Islam sendiri terdapat beberapa point-point penting yang menyangkut pembahasan masalah pewarisan, yaitu: 1. Pewaris dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat. Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an yaitu: -
Karena hubungan darah, ini ditentukan secara jelas dalam QS. An-Nisa: 7,11,12,33, dan 176
-
Hubungan perkawinan
-
Hubungan persaudaraan, karena agama yang menentukan oleh Al-Qur’an bagiannya tidak lebih dari sepertiga (1/3) harta pewaris (QS. Al-azhab: 6)
-
Hubungan kerabat karena sesama hijrah dalam permulaan pengembangan islam, meskipun tidak ada hubungan darah (QS. Al-anfal: 75)23
2. Masalah warisan Masalah yang sering muncul dalam sebuah warisan, diantaranya adalah: -
23
Al-gharawain atau umariyatain, ada 2 kemungkinan yaitu:
Suparman 2007, p.16
17
1. Jika seseorang yg meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan bapak 2. Jika seseorang yg meninggal dunia hanya meninggalkan ahli waris: istri, ibu, dan
bapak24
-
Al-musyarakah (disyariatkan) di istilahkan juga dengan himariyah (keledai), hajariyah (batu). Persoalan al-musyarakah khusus untuk menyelesaikan persoalan kewarisna antara saudara seibu (dalam hal saudara seibu laki-laki dan perempuan sama saja) dengan saudra laki-laki seibu sebapak, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan bahwa kasus almusyarakah ini terjadi apabila ahli waris hanya terdiri dari: suami, ibu/nenek, saudara seibu lebih dari satu dan saudara seibu sebapak25
-
Masalah Datuk bersama saudara, dalam hal masalah Datuk bersama saudara ini, yang dmaksud degan saudara disini adalah: 1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu sebapak
2. Saudara laki sebapak dan saudra perempuan sebapak Permasalahan unukt Datuk dengan dua saudara ini ada dua macam, yaitu: 1. Ahli waris yang tinggal, setelah selesai tahap hijab hanya terdiri dari Datuk dan
saudara saja 2. Shahibul fardh (ahli waris yang sudah tertentu porsi baginya)26
-
Aul , menurut etimologi berarti irtifa’ (mengangkat) kata aul ini kadang-kadang cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Secara istilah aul bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya bagian masing-masing waris 27. Terjadinya masalah aul adalah apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut misalnya (8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi degan penyebutnya, namun
24
Lubis 2007, pp.131-132
25
Lubis 2007, p.135
26
Lubis 2007, p.142
27
Muhibbin 2009, p.126
18
apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan sekaligus menimbulkan persoalan, yaitu siapa yg lebih diutamakan dari pada ahli waris tersebut28
-
Radd, secara etimologi berarti I’aadah (mengembalikan). Mengembalikan haknya kepada yang berhak. Kata radd juga berarti sharf yaitu memulangkan kembali. Radd menurut istilah (terminology) adalah mengembalikan apa yg tersisa dari bagian dzawulfurudhnasabiyh kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang berhak untuk menerimanya29. Masalah radd terjadi apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut (23/24), dan pada dasarnya adalah merupakan kebalikan dari masalah aul. Namun demikian penyelesaian masalahnya berbeda dengan aul, karena aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi sedangkan pada radd adanya kelebihan setelah dibagikan30.
3. Pembagian ahli waris di dalam hukum Islam dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu31: Ahli Waris dalam Hukum Islam Al-Waarit-Tsun (laki-laki yang diperbolehkan menerima warisan) No
Al- Waarit- Tsaat (perempuan yang diperbolehkan menerima warisan)
Status
Status
1
Anak laki-laki
Anak perempuan
2
Cucu laki-laki
Cucu perempuan
3
Ayah
Ibu
4
Datuk
Nenek dari ibu
5
Saudara laki-laki seayah seibu
Nenek dari ayah
6
Saudara laki-laki seayah
Saudara perempuan seayah seibu
7
Saudara laki-laki seibu
Saudara perempuan seayah
8
Keponakan laki-laki seayah seibu
Saudara perempuan seibu
9
Keponakan laki-laki seayah
Isteri
28
Lubis 2007, p.155
29
Muhibbin 2009, p.128
30
Lubis 2007, p.159
31
Sudarsono, 1994. P.112-114.
19
10
Paman seayah seibu
11
Paman seayah
12
Sepupu laki-laki seayah seibu
13
Sepupu laki-laki seayah
14
Suami
15
Laki-laki yang memerdekakan
Perempuan yang memerdekakan
Besarnya warisan yang akan diterima oleh masing-masing pihak ini disesuaikan dan mengikuti aturan yang telah diterapkan dalam hukum waris Islam. Seperti misalnya harta warisan yang akan diterima oleh anak laki-laki, apabila yang meninggal hanya punya satu anak laki-laki maka ia menjadi ‘ashobah (pewaris tunggal) yang akan menerima seluruh harta warisan. Sedangkan bila yang meninggal memiliki anak laki-laki dan perempuan, maka laki-laki berhak menerima dua bagian dan perempuan berhak menerima dua bagian, seperti yang tercantum di dalam QS. An-Nisa ayat 11, “Allah mewajibkan kepadamu tentang anak-anakmu, seorang anak laki-laki mendapat dua bagian anak perempuan.”
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisis mengenai pola perkawinan yang terdapat di Boyan, seperti yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang terjadi di Boyan bersifat Endogami karena sebagian besar dari masyarakat disana hanya menikah dengan orang-orang yang berasal dari lingkungan yang sama walaupun di dalamnya terjadi juga perkawinan antar etnis dan juga perkawinan antar agama. Meskipun cenderung melakukan perkawinan Endogami, ada juga perkawinan secara Eksogami, terutama perkawinan yang bersifat Heterogami, yaitu perkawinan antar kelas sosial yang berbeda, contohnya adalah pernikahan antara anak tokeh dengan buruh. Bentuk perkawinan lainnya adalah perkawinan Homogami, yaitu perkawinan antar kelas sosial yang sama. Contohnya adalah perkawinan antara buruh perkebunan dengan supir perkebunan. Selain pola pernikahan yang juga dikaji dalam pembahasan sebelumnya adalah masalah system pewarisan yang diterapkan oleh masyarakat Boyan. System pewarisan yang paling banyak dijumpai dan dikenal dalam masyarakat adalah sistem pewarisan tradisional. Pada sistem pewarisan ini keputusan mengenai pembagian harta warisan bersifat intern, sesuai dengan kesepakatan warga. Walaupun juga terdapat pembagian-pembagian yang ditentukan secara umum, yaitu mewariskan kapling kepada anak pertama laki-laki atau perempuan karena Boyan menganut sistem kekerabatan parental. Dikarenakan Boyan adalah kampung Melayu yang identik dan dekat dengan agama Islam, maka sistem pewarisan lainnya adalah menggunakan
20
hukum Islam untuk menentukan siapa saja yang berhak akan warisan tersebut dan besarnya warisan yang didapat setiap orang. Sistem pewarisan berdasarkan hukum Islam bersifat lebih adil dan memiliki kekuatan hukum yang lebih jelas karena semua diatur berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits yang dianggap “paling benar” sedangkan system pewarisan secara tradisional lebih mudah menimbulkan konflik, karena akan ada orang yang merasa dirugikan dan diuntungkan dalam pembagiannya karena tidak ada dasar hokum yang jelas untuk sistem ini hanya berdasarkan kesepakatan keluarga semata.
Daftar Pustaka Ash-Shabuni, M. A. 1996. Pembagian Warisan Menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press. Collier, J. F. 1988. Marriage and Inequality in Classless Societies. Stanford: Standford University Press. Djalal, M. A. 2006. Hukum Mawaaris. Bandung: CV. Pustaka Setia Gautama, S. 1996. Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158). Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Lontaan, J. U. 1975. Sejarah- Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan- Barat. Jakarta: Offset BUMIRESTU. Lubis, S. K. dan S. Komina. 2007. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Muhibbin, M. W. 2009. Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Satria, J. 1992. Hukum Waris. Bandung: Penerbit Alumni. Sostroatmodjo, A. dan W. Aulawi. 1975. Hokum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang. Sudarsono. 1994. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Suparman, Eman. 2007. Hukum Waris Indonesia dalam Prespektif Islam. Bandung: Radika Aditama.
Sumber Pustaka Tidak Terbit Pangemanan, R. A.W. 2010. Data Harian TPL Kalimantan. (tidak diterbitkan)
21
Sumber Online http://organisasi.org/macam-jenis-bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogamieksogami-dll diakses pada 29 April 2011, 18.17 http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkawinan-antar-agama/ diakses pada 30 April 2011, 20.11 http://www.suaramedia.com/artikel/14-kumpulan-artikel/850-pengertian-pernikahan-dalamislam.html diakses pada 30 April, 21.12 http://koswara.wordpress.om/2007/07/01/konsep-pernikahan-dalam-islam/ diakses pada 30 April 2011, 22.44
22