POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA
NENENG SHOLIHAT
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
RINGKASAN NENENG
SHOLIHAT.
E34102055.
Pola
Pergerakan
Harian
dan
Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga. Dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc Penelitian mengenai pergerakan amfibi belum dilakukan di Indonesia, dikarenakan mahalnya alat radio-tracking. Polypedates leucomystax merupakan salah satu jenis katak yang dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terganggu. Sehingga merupakan model yang tepat untuk menelaah pola pergerakannya. Penelitian ini bertujuan: (1) Melakukan uji coba efektifitas penggunaan 2 macam metode yaitu metode tali dan pemberian cat, (2) Melakukan uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax, (3) Memetakan pola pergerakan P. leucomystax, (4) Mendeskripsikan penggunaan ruang oleh P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga. Eksperimen untuk melihat metode yang paling efektif dilakukan di Laboratorium Satwaliar, DKSHE IPB pada bulan November - Desember 2006. Kemudian dilakukan uji coba pengaruh penggunaan metode selama 24 jam dengan menggunakan handycam video recorder. Penelitian lapang dilakukan pada bulan Januari - Mei 2007. Lokasi penelitian adalah Fakultas Kehutanan, Arboretum Lanskap dan GWW, Taman Rektorat, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian dan Gymnasium IPB. Pergerakan diukur berdasarkan posisi dari setiap individu setiap 3 jam selama 24 jam. Data yang didapat dianalisis dalam bentuk deskriptif dan kuantitatif. Pergerakan katak dianalisis dengan menghitung nilai alur kelurusan dan Chi kuadrat. Penggunaan tali merupakan metode yang paling efektif untuk menelaah pergerakan P. leucomystax, dikarenakan penggunaan cat dan pewarna makanan hanya bertahan dalam beberapa lompatan dan pewarna makanan akan luntur apabila terkena air. Dari hasil uji pengaruh penggunaan alat, pergerakan katak tidak terpengaruh oleh alat. Pada pengamatan dan perhitungan Chi kuadrat, terlihat katak jantan pergerakannya lebih kecil dari pada katak betina. Hasil
perhitungan Chi kuadrat berdasarkan nilai alur kelurusan, katak jantan dan betina pergerakannya tidak menjauhi posisi awal. P. leucomystax pada siang hari lebih banyak menggunakan daerah terlindung dari cahaya matahari untuk beristirahat, misal di sela-sela tanaman bawah, lubanglubang akar dan batu, bawah serasah dan di tumpukan bebatuan. Katak jantan banyak beraktivitas di dekat sumber air. Diperlukan upaya pelestarian habitat yang ada di Kampus IPB Darmaga. Selain itu, kondisi tanaman bawah dan vegetasi lainnya juga harus dijaga, karena merupakan habitat bagi beberapa jenis serangga yang menjadi makanan katak. Kondisi sumber air yang ada harus diperhatikan, karena merupakan lokasi perkawinan dan perkembangbiakkan katak. Kata Kunci : Polypedates leucomystax, metode tali, metode cat, pergerakan, penggunaan ruang
SUMMARY
NENENG SHOLIHAT. E34102055. Daily Movement and Habitat Use by the Striped Tree Frog (Polypedates leucomystax) at Bogor Agricultural University Campus. Under supervision of Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si and Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc There are no amphibian movement studies yet in Indonesia because of the high cost of radiotracking equipment. Polypedates leucomystax or the Striped Tree Frog adapts well in disturbed habitat, which makes this frog a good model in understanding amphibian movement. The objectives of this research are (1) to find effective methods to conduct amphibian movement research, using spooltrack and paint methods, (2) to analyze the impact of tracking device to frog’s movement, (3) to map the short-term movement of P. leucomystax, and (4) to describe the habitat use of P. leucomystax at Bogor Agricultural University Darmaga Campus. The study to find the most effective method was conducted at Wildlife Laboratory, Dept. of Forest Resource Conservation, BAU from November to December 2006. Afterwards, impact of device was assessed by recording frog movement for 24 hour periods. Field research was conducted from January to May 2007, at the Faculty of Forestry, Landscape Arboretum and GWW, Rektorat Park, Faculty of Agriculture, Faculty of Agricultural Technology, and BAU Gymnasium. P. leucomystax movement was studied by checking its position every 3 hours during 24-hour periods and analyzing the result using descriptive and quantitative methods. Frog movement was analyzed by measuring straightness of movement trail and Chi square. The most effective method to conduct P. leucomystax movement study is spool-track method. Paint and food coloring only stayed for a short time and losts its effectiveness because paint stuck on the terrarium glass walls and food coloring faded when in contact with water. The study showed that spool-tracking did not affect frog behavior and movement. Results and Chi square analyses showed that male P. leucomystax had more limited movement than female. Chi
square calculation based on straightness movement trail value showed that the movements of both male and female P. leucomystax were not far from their initial position. During the day, P. leucomystax used sheltered place to relax, such as under hedges, in root and stone crevices, under leaf litter and rocks. Male P. leucomystax were usually active near water. There is a need to protect habitat in BAU Darmaga Campus by protecting undergrowths and other vegetation because they are habitats of insects which are the major source of the frog’s diet and also by protecting water bodies which are the frog’s breeding sites. Key words : Polypedates leucomystax, spool-track method, paint method, movement, habitat use.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, MSc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2007
Neneng Sholihat NRP E34102055
Judul Skripsi : Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga Nama : Neneng Sholihat NIM : E34102055
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si NIP. 131 878 493
Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc NIP. 131 671 599
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus:
POLA PERGERAKAN HARIAN DAN PENGGUNAAN RUANG KATAK POHON BERGARIS (Polypedates leucomystax) DI KAMPUS IPB DARMAGA
NENENG SHOLIHAT
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di bawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, MSc. Penelitian mengenai amfibi sangat jarang dilakukan di Indonesia, penelitianpenelitian amfibi yang sudah dilakukan masih mengenai keanekaragaman jenis amfibi di suatu daerah. Selain itu, penelitian mengenai pergerakan amfibi di Indonesia belum pernah dilakukan, salah satunya karena mahalnya alat radiotracking. Oleh sebab itu penulis mencoba untuk membuat alat untuk menelaah pergerakan katak yang lebih sederhana yang sudah diterapkan di luar negeri. Pemilihan Kampus IPB Darmaga sebagai lokasi penelitian didasarkan pada kondisi habitat yang cukup beragam dan tingginya keanekaragaman jenis hayati baik flora ataupun fauna yang ada di Kampus IPB Darmaga. Sehingga perlu diketahui pola pergerakan suatu jenis satwa dengan kondisi habitat yang beragam tersebut. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyajian isi materi dan tata bahasa. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2007 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 18 Mei 1984 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan M. Nasir dan Rumsiyah. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1990 di SD Negeri 2 Ciampea, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1996. Penulis melanjutkan ke MTs. Manbaul Ulum Ciampea, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1999. Setelah itu penulis melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri 2 Bogor, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah di IPB penulis aktif di beberapa kegiatan kemahasiswaan antara lain di HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) sebagai Anggota Departemen Kekeluargaan dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA pada periode kepengurusan tahun 2004/2005, Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil DKSHE IPB, Indonesian Turtles Conservation Group (Kelompok Konservasi Kura-kura Indonesia). Pada tahun 2005 di bulan Juli penulis melakukan kegiatan Forest Partnership Program kerjasama antara HIMAKOVA dan Tropenbos International Indonesia di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Penulis juga telah melakukan beberapa praktek lapangan antara lain: Praktek Pengenalan Hutan di Cagar Alam Sancang dan Kamojang, Praktek Pengelolaan Hutan di KPH Indramayu, Jawa Barat, dan Praktek Kerja Lapangan Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri pada bulan Februari-Maret 2006. Dalam tiga tahun terakhir penulis memulai pendalamannya dalam bidang konservasi amfibi khususnya katak dan telah beberapa kali ikut sebagai volunteer untuk penelitian katak di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga dibimbing oleh Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc.
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulilah. Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Salawat beserta salam atas junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menerangi jalan hidup umatnya. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang selama ini telah mambantu baik dalam bentuk moril maupun materi, terutama kepada: 1. Abah dan Ibu atas kasih sayang, dukungan, perhatian dan doanya. Serta keluarga besar tercinta atas dukungan dan keceriaan yang tanpa henti. 2. Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan dorongan, nasehat dan kesempatan belajar di lapangan hingga selesainya tulisan ini serta atas kesabarannya selama membimbing penulis. 3. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc selaku pembimbing kedua yang dengan sabar memberikan wawasan dan sarannya dalam penyempurnaan tulisan. 4. Dr. Ir. Noor Farikhah Naheda, M.Sc dari Departemen Silvikultus dan Ujang Suwarna, S.Hut M.Sc dari Departemen Hasil Hutan selaku dosen penguji komprehensif. 5. Bapak George T. Saputra (IRATA) atas bantuan dana penelitiannya. 6. Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc atas dukungan semangat dan peminjaman laptopnya. 7. Septiantina D. R yang selalu memberikan dukungan dan semangat yang tiada hentinya 8. Wempy Endarwin, Adininggar U. Ul-Hasanah, Anisa Fitri, Dewi Puspita, M. Yazid, M. Irfansyah Lubis, Rima L. Mikrimah, Suwardiansyah, Sandra, Lutfi R. Yusuf dan Feri Irawan, Sutopo, Nofrizal, Sasikirono, Udi Kusdinar dan Fathoni Untoro yang membantu di lapangan dan siap kapan saja jika dibutuhkan. 9. Teman-teman di Kelompok Pemerhati Herpetofauna HIMAKOVA atas bantuan datanya.
10. Bapak-Ibu dosen Fakultas Kehutanan IPB atas segala ilmu dan bantuannya. 11. Bapak/Ibu di KPAP Departemen KSHE yang senantiasa membantu pengurusan administrasi. 12. Frog Team Kelompok Kerja Konservasi Amfibi dan Reptil atas dorongan semangatnya 13. Hari Nugraha dan Nanang Siswanto atas dukungan dan bantuan saat mengurus sidang komprehensif. 14. Teman-teman yang setia di Kampus IPB tercinta (Dian Rahayu, Hendrivo, Rahmad Purnawijaya, Hendrio Fadli, Dian Sumardiani, Dwi Warni Idaman, Nunung K. F, Febri Indraswari, Reisky Maulana, Indri Puji Rianti, Teti Mulyati, Dwi Cahya P, Grace Serepina Saragih, dll). 15. Seluruh teman-teman di KSHE 39 yang tetap semangat, kompak dan persaudaraan yang selama ini harus tetap dipertahankan. 16. Seluruh keluarga besar Solid Conserve KSHE 40 yang selalu memberikan semangat (Boby Darmawan, Reza Widhyananto, Asyraff, Tyas, Didi Puri Haryadi, Ruri, Reren, Yuyun, dll) 17. Bapak Keamanan Kampus IPB Darmaga, atas izin dan kepercayaannya. 18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungannya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Bogor, September 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ...........................................................................................i DAFTAR TABEL ......................................................................................... ......vii DAFTAR GAMBAR..................................................................................... .......ix DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................x I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................................1 1.2. Tujuan Penelitian .........................................................................................3 1.3. Manfaat Penelitian .......................................................................................3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi....................................................................................................4 2.2. Morfologi .....................................................................................................4 2.3. Habitat dan Penyebaran ...............................................................................6 2.4. Perilaku Amfibi............................................................................................7 2.5. Pergerakan Amfibi .......................................................................................9 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .....................................................................10 3.2. Alat dan Bahan...........................................................................................11 3.3. Pengumpulan Data 3.3.1. Uji Coba Metode ................................................................................13 3.3.1.1. Pembuatan dan Uji Coba Alat.....................................................13 3.3.1.2. Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax................................................................................16 3.3.2. Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang P. leucomystax......16 3.4. Analisis Data ..............................................................................................17 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas ...........................................................................................19 4.2. Keadaan Kawasan 4.2.1. Kondisi Fisik ......................................................................................19 4.2.2. Kondisi Biotik 4.2.2.1. Flora ............................................................................................20
4.2.2.2. Fauna...........................................................................................20 V. HASIL 5.1. Hasil Uji Coba Metode 5.1.1. Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan .................................21 5.1.2. Metode Pemakaian Tali......................................................................21 5.1.3. Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax ................................................................................. ......24 5.2. Hasil Pengamatan Pergerakan P. leucomystax...........................................25 5.3. Hasil Pengamatan Penggunaan Ruang P. leucomystax..............................26 VI. PEMBAHASAN 6.1. Uji Coba Efektifitas Dua Metode 6.1.1. Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan..................................28 6.1.2. Metode Pemasangan Tali....................................................................29 6.1.3. Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax.........................................................................................33 6.2. Pola Pergerakan P. leucomystx di Kampus IPB Darmaga.........................34 6.3. Penggunaan Ruang P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga..................37 VI. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................43 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................45
DAFTAR TABEL No
Halaman
1.
Alat dan bahan penelitian..........................................................................11
2.
Lanjutan......................................................................................................12
3.
Uji coba beberapa bahan pada pembuatan alat pergerakan P. leucomystax dengan menggunakan metode tali.............................................................22
4.
Lanjutan......................................................................................................23
5.
Hasil uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax ...............................................................................................24
6.
Presentase pergerakan pada uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax.......................................................................25
7.
Hasil perhitungan nilai alur kelurusan pergerakan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga...............................................................................25
8.
Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 07.0001.00 WIB .................................................................................................26
9.
Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 01.0007.00 WIB..................................................................................................27
10. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Gymnasium.........................50 11. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Gymnasium..........................50 12. Hasil Pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Pertanian................51 13. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Pertanian................51 14. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Kehutanan..............52 13. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Kehutanan.............52 16. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Teknologi Pertanian.....................................................................................................53 17. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Teknologi Pertanian.....................................................................................................53 18. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Taman Rektorat...................54 19. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Taman Rektorat...................54 20. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Arboretum Lanskap dan Graha Widya Wisuda.................................................................................55
21. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Arboretum Lanskap dan Graha Widya Wisuda.................................................................................55
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Perbedaan warna permukaan kulit pada Polypedates leucomystax .........5
2.
Peta lokasi penelitian di Kampus IPB Darmaga .......................................10
3.
Bahan dan alat yang digunakan pada uji coba metode pergerakan P. leucomystax ...............................................................................................12
4.
Metode pemasangan tali di punggung katak (Dole 1964) ........................14
5.
Uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax.... ...........................................................................................16
6.
Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak...........................................17
7.
Jejak hasil pergerakan P. leucomystax menggunakan cat dan pewarna makanan.....................................................................................................21
8.
Beberapa hasil percobaan pembuatan alat pada metode tali......................24
9.
Alat yang tidak lancar keluar benangnya menyebabkan kematian pada katak jantan................................................................................................30
10. Alat untuk katak jantan dan betina dan pola pergerakan yang dihasilkan dari benang pada P. leucomystax di Arboretum Lanskap .........................31 11. Bekas tali pengikat pada tubuh P. leucomystax ........................................32 12. Posisi alat yang berubah............................................................................33 13. Beberapa lokasi pengamatan yang dekat sumber air, di Gymnasium Fakultas Kehutanan dan Taman Rektorat .................................................36 14. Tempat bersembunyi P. leucomystax pada siang hari .............................38 15. Beberapa lokasi tempat bersarang P. leucomystax...................................39 16. Beberapa jenis invertebrata di sekitar lokasi pengamatan.........................40 17. Pola pergerakan P. leucomystax di Fakultas Kehutanan...........................58 18. Pola pergerakan P. leucomystax di Fakultas Pertanian.............................58 19. Pola pergerakan P. leucomystax di Fakultas Teknologi Pertanian...........58 20. Pola pergerakan P. leucomystax di Taman Rektorat.................................59 21. Pola pergerakan P. leucomystax di GWW dan Arboretum Lanskap........59 22. Pola pergerakan P. leucomystax di Gymnasium.......................................59
DAFTAR LAMPIRAN No 1.
Halaman Hasil Pengamatan Pergerakan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga.....................................................................................................50
2.
Hasil Perhitungan Chi Kuadrat .................................................................56
3.
Pola Pergerakan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga .....................58
I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Makhluk hidup tersebar di permukaan bumi sesuai dengan kemampuan pergerakan dari jenis tersebut dan kondisi lingkungannya. Pergerakan individu dan populasi merupakan penentu pentingnya ketahanan suatu jenis dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya terhadap perubahan kondisi lingkungan dan keberadaan pemangsa pada skala lokal dan regional. Oleh karena itu, pergerakan dan sebaran suatu jenis menurut ruang dan waktu sangat penting untuk diperhatikan dalam kegiatan pembinaan satwaliar (Alikodra 2002). Distribusi satwa sangat ditentukan oleh kondisi biologis dari setiap jenis satwa yang meliputi sifat ekologis, morfologis, dan fisiologis. Analisis pola penyebaran dapat ditinjau dari segi interaksi antara lain ketersediaan sumber pakan, air dan penutupan (cover). Selama ini penelitian mengenai pergerakan satwaliar banyak di lakukan di luar negeri antara lain untuk kelompok mamalia dan burung (lihat Johnson 1998 mengenai penyebaran dan populasi mamalia Australia; Atkinson et al. 2002 mengenai pergerakan harian mamalia; Williams et al. 2002 mengenai penyebaran spasial, keanekaragaman jenis dan struktur habitat mamalia kecil di hutan hujan tropika Australia; Brandle dan Brandl 2001 mengenai penyebaran, kerapatan dan relung burung; Davidar et al. 2001 mengenai penyebaran burung hutan di Kepulauan Andaman) dan amfibi (lihat Daugherty dan Sheldon 1982 mengenai pergerakan harian pada Aschapus truei berdasarkan kelas umur; Birchfield dan Deters 2005 mengenai pergerakan Rana clamitans melanota; Seebacher dan Alford 1999 mengenai pergerakan dan penggunaan mikrohabitat pada amfibi terestrial (Bufo marinus); Hodgkison dan Hero 2001 mengenai perilaku harian dan penggunaan mikrohabitat pada Litoria nannotis di Tully Gorge, Australia; Lemckert dan Brassil 2000 mengenai pergerakan dan penggunaan habitat Mixophyes iteratus dan implikasinya untuk Konservasi pada Hutan Produksi; Beshkove dan Jameson 1980 mengenai pergerakan dan kerapatan Bombina variegata; Pope dan Matthews 2001 mengenai ekologi pergerakan dan penyebaran musiman Rana mucosa di Sierra Nevada; Martof 1953 mengenai
home range dan pergerakan Rana clamitans; Schwarzkopf dan Alford 2002 mengenai pergerakan nomadik pada kodok tropis). Penelitian-penelitian tersebut umumnya menggunakan peralatan canggih salah satunya yaitu radio-tracking. Penelitian mengenai pergerakan amfibi sampai saat ini belum pernah dilakukan di Indonesia, diduga salah satu penyebabnya adalah mahalnya peralatan radiotracking. Namun demikian, dari berbagai penelitian yang dilakukan di luar negeri, diketahui bahwa penelitian pergerakan pada amfibi bisa dilakukan tanpa menggunakan radio-tracking diantaranya yaitu dengan menggunakan cat (lihat Eggert et al. 1999 mengenai perbandingan dua metode untuk mempelajari pergerakan amfibi terestrial; Davies dan McDonald 1979 mengenai variasi hubungan intraspesific pada Litoria chloris) atau tali (lihat Dole 1965 mengenai pergerakan musiman Rana pipiens). Kampus IPB Darmaga memiliki beranekaragam tipe habitat yang merupakan tempat hidup dari berbagai satwaliar yang salah satunya adalah amfibi. Menurut Yuliana (2000) di Kampus IPB Darmaga ditemukan 13 jenis katak dan kodok, yaitu Bufo asper, B. biporcatus, B. melanostictus, Microhyla achatina, Fejervarya cancrivora, F. limnocharis, Limnonectes macrodon, Rana chalconota, R. erythraea, R. nicobariensis, Occidozyga lima, Polypedates leucomystax dan Rhacophorus reinwardtii. Kampus IPB Darmaga saat ini sedang melakukan pembangunan dan pengembangan, terutama pada sarana fisiknya. Kegiatan tersebut akan menimbulkan perubahan lingkungan fisik maupun biotik. Menurut Hernowo et al. (1991) perubahan tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup satwaliar yang terdapat di kampus. Lemckert (1999) mengatakan bahwa aktivitas penebangan mempunyai dampak negatif yang signifikan pada jenis-jenis amfibi. Dari dua jenis katak pohon yang ada di Darmaga yaitu R. reinwardtii dan P. leucomystax, maka jenis terakhir memiliki penyebaran yang lebih luas. Keberadaan R. reinwardtii di Kampus IPB Darmaga hanya terpusat di satu lokasi yaitu Arboretum Fakultas Kehutanan IPB (Yuliana 2000; Yazid 2006) sementara P. leucomystax banyak ditemukan di lokasi yang dekat dengan bangunan, karena jenis ini dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya.
P. leucomystax (Katak pohon bergaris) termasuk ke dalam marga Polypedates dan merupakan jenis yang umum dijumpai dibandingkan dengan empat jenis katak pohon lainnya yang ada di Jawa dan tersebar luas bahkan sampai ke New Guinea. Penyebarannya di luar Jawa meliputi India, Cina Selatan, Indo-Cina, Filipina, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (diintroduksi). P. leucomystax merupakan model yang baik untuk mempelajari pola pergerakan katak pohon dihubungkan dengan kemampuan jenis ini untuk menyebar luas. Hal tersebut karena P. leucomystax adalah salah satu jenis katak yang sering ditemukan diantara tumbuhan atau di sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder. Jenis ini sering mendekati hunian manusia, karena tertarik oleh serangga sekitar lampu (Iskandar 2000).
1. 2 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan: 1. Melakukan uji coba efektifitas penggunaan 2 macam metode yaitu metode pemberian cat pada kaki katak dan tali untuk menelaah pergerakan P. leucomystax. 2. Melakukan uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax. 3. Memetakan pola pergerakan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga. 4. Mendeskripsikan penggunaan ruang oleh P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga dihubungkan dengan aktivitas harian jenis ini.
1. 3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan masukan bagi pengelolaan dan pembangunan fisik yang dilakukan di Kampus IPB Darmaga khususnya dalam pengelolaan habitat amfibi. Penelitian ini juga diharapkan menjadi informasi ilmiah sebagai pembuka wawasan dan pemacu semangat bagi mahasiswa lain ataupun pembaca untuk dapat mengenal amfibi secara lebih dalam dan mendorong untuk melakukan penelitian lainnya mengenai amfibi di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Polypedates leucomystax (Katak pohon bergaris) berdasarkan Goin et al. (1978) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Amfibia
Ordo
: Anura
Sub Ordo
: Acosmanura
Famili
: Rhacophoridae
Genus
: Polypedates
Spesies
: Polypedates leucomystax Gravenhorst (1829)
Di Indonesia, suku Rhacophoridae terbagi kedalam 5 marga yaitu: Nyctixalus (2 jenis), Philautus (17 jenis), Polypedates (5 jenis), Rhacophorus (20 jenis) dan Theloderma (2 jenis). Suku Rhacophoridae merupakan keluarga katak pohon di Indonesia menggantikan suku Hylidae yang tersebar luas di dunia (Iskandar 1998). Dari seluruh jenis suku Rhacophoridae yang ada di Indonesia, hanya ada 8 jenis yang dapat ditemukan di Pulau Jawa. Sementara itu dari 13 jenis marga Polypedates yang ada di dunia, hanya terdapat empat jenis di Indonesia, dengan satu jenis yang umum ditemukan di Pulau Jawa yaitu P. leucomystax (Iskandar 1998). Di Kampus IPB Darmaga hanya dapat ditemukan 2 jenis katak pohon dari suku Rhacophoridae yaitu Rhacophorus reinwardtii dan P. leucomystax (Yuliana 2000).
2. 2 Morfologi Menurut Iskandar (1998), P. leucomystax merupakan katak yang berukuran sedang, berwarna coklat kekuningan, memiliki dua pola permukaan kulit yaitu pada permukaan kulitnya tersebar bintik hitam atau dengan enam garis yang jelas memanjang dari kepala sampai ujung tubuh. Menurut Inger dan Stuebing (1997) P. leucomystax merupakan katak yang berukuran sedang dengan
tubuh yang ramping dan panjang serta bentuk mulut semakin menyempit ke depan. Jari tangan dan jari kaki katak melebar dengan ujung rata dan kulit kepala menyatu dengan tengkorak. Jari tangan katak setengahnya berselaput dan jari kakinya hampir sepenuhnya berselaput. Tekstur kulit permukaan tubuh katak seluruhnya halus tanpa indikasi adanya bintil-bintil atau lipatan. Bagian bawah tubuh katak berbintil granular yang jelas. P. leucomystax biasanya berwarna coklat keabu-abuan. Tetapi terdapat dua warna yang berbeda pada permukaan tubuhnya sehingga terkadang dianggap merupakan dua jenis yang berbeda (Gambar 1). Kedua warna pada permukaan tubuh tersebut sering kali terdapat dalam satu kelompok, sebagai contoh pasangan yang sedang kawin sering berasal dari individu dengan warna yang berbeda. Warna yang pertama yaitu coklat gelap atau coklat kekuningan dengan empat atau enam garis memanjang dari kepala sampai selangkangan. Warna yang kedua biasanya coklat keabu-abuan gelap atau kekuningan dengan bintik-bintik gelap tersebar di seluruh tubuh (Iskandar 1998). Pada kondisi yang alami, perubahan warna pada amfibi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya suhu. Kenaikan suhu, cahaya matahari yang terlalu kuat atau suhu udara kering menyebabkan warna berkilau, sedangkan penurunan suhu, kurangnya cahaya, serta kelembaban yang tidak tentu menyebabkan warna gelap (Hofrichter 2000).
Gambar 1. Perbedaan warna permukaan kulit pada Polypedates leucomystax.
Ukuran tubuh P. leucomystax bergantung pada jenis kelaminnya. Katak jantan berukuran lebih kecil dibandingkan dengan katak betina. Ukuran SVL (Snout Vent Length atau panjang tubuh dari moncong sampai dengan selangkangan) katak jantan dewasa mencapai 50 mm dan katak betina dewasa
mencapai 80 mm (Iskandar 1998). Menurut Inger dan Stuebing (1997) ukuran SVL jantan dewasa pada P. leucomystax berkisar antara 37-50 mm sedangkan katak betina dewasa berkisar antara 57-75 mm. Menurut Berry (1975) ukuran SVL P. leucomystax mencapai 50-80 mm.
2. 3 Habitat dan Penyebaran Habitat adalah kawasan yang terdiri dari komponen fisik (antara lain: air, udara, garam mineral, tempat berlindung dan berkembangbiak), dan biologi (antar lain : sumber pakan, jenis dan satwa lainnya) yang merupakan suatu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar tersebut (Alikodra 2002). Menurut Iskandar (1998) P. leucomystax sering ditemukan di antara tetumbuhan atau di sekitar rawa dan bekas tebangan hutan sekunder. Jenis ini sering mendekati hunian manusia, karena tertarik oleh serangga di sekeliling lampu. Pasangan katak ini biasanya membuat sarang berbusa pada tetumbuhan di atas kolam. Menurut Inger dan Stuebing (1997) P. leucomystax merupakan jenis katak yang bisa hidup di habitat terganggu, dapat ditemukan dimanapun bahkan di dalam rumah, tetapi jarang ditemukan di hutan primer. Berry (1975) menyebutkan bahwa P. leucomystax merupakan salah satu katak yang umum ditemukan di sekitar daerah Semenanjung Malaysia. Katak tersebut menempati banyak tipe habitat, tetapi lebih banyak ditemukan di sekitar habitat manusia, di kota dan pedesaan. Telurnya diletakkan pada buih yang sering terlihat di sekitar rumah pada tong, kolam, tong penampung air hujan atau di daun pada pepohonan yang terdapat saluran air di sekitarnya. Secara geografis P. leucomystax dapat ditemukan di Indo-Cina, India, Cina Selatan, Nicobar, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Peninsular Malaysia, Mentawai, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa Sumba, Flores, Timur Timur, Filipina, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (diintroduksi) (Iskandar 1998; Iskandar dan Colijn 2000). Menurut Inger dan Stuebing (1997) di Kalimantan jenis ini dapat ditemukan pada kondisi lingkungan yang terganggu hingga ketinggian 750 mdpl dan penyebarannya cukup luas di Asia Selatan.
Menurut Yuliana (2000) di Kampus IPB Darmaga, P. leucomystax dapat ditemukan di sekitar Sawah Baru, Arboretum Fahutan, Hutan percobaan dan Sawah Cikabayan. Jenis ini ditemukan sedang menempel di daun, cabang atau bagian tumbuhan lainnya, tetapi pada ketinggian < 2 m di atas permukaan tanah.
2. 4 Perilaku Amfibi Amfibi memiliki beragam perilaku sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima. Amfibi memiliki perilaku yang unik dan beranekaragam dalam hal perkembangbiakan.
Kebanyakan
jenis-jenis
amfibi
di
daerah
tropis
berkembangbiak pada saat musim hujan, agar kelembaban dari telur dapat terjaga dan dapat menetas dengan baik pada saat makanan melimpah bagi berudu (Goin et al. 1978; Stebbins dan Cohen 1995). Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan katak untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai (Dole 1965). Kebanyakan amfibi memiliki beberapa perilaku yang hampir sama karena sifat morfologinya serupa. Kulit amfibi bersifat permeabel yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan cairan, sehingga sangat mudah mengalami dehidrasi saat terjadi penguapan yang menyebabkan hilangnya cairan yang ada. Oleh karena itu, banyak amfibi yang bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) dan memiliki shelter (tempat berlindung) yang basah sepanjang hari dan mulai aktif hanya pada malam hari (Duellman dan Trueb 1986). Pengaruh dari ukuran habitat dan terpisah pada penyebaran populasi sering ditunjukkan pada bermacam-macam spesies yang berbeda antar kelompok spesies (Claire et al. 1995). Menurut Sinsch 1990 dalam Pope (2001); Stebbins dan Cohen (1995) banyak ordo anura yang bergerak pada lokasi yang berbeda selama periode aktivitas tahunan mereka untuk menggunakan sumberdaya khusus yang dimiliki untuk melakukan hibernasi, bereproduksi dan mendapatkan nutrisi. Amfibi terestrial mempunyai daya adaptasi tersendiri dan perlahan-lahan dalam mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh ketika mempertahankan kelembaban kulit pada saat pertukaran udara. Amfibi terestrial umumnya nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan
kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan kelembaban yang lebih tinggi dari pada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu di bawah batu, batang pohon, daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daundaun (Duellman dan Trueb 1986) Menurut Roy (1997) P. leucomystax (Katak pohon bergaris) sering ditemukan hinggap dan merayap pada pagar bambu atau pada rumput yang tinggi di sekitar aliran air. Perilaku tersebut memudahkan untuk penelitian tentang spesies terestrial atau akuatik dan untuk mengetahui perilaku kawin mereka. Menurut Duellman dan Trueb (1986) amfibi biasanya tergantung pada air dan umumnya menempati lingkungan yang berlawanan dengan fisiologi dasarnya. Hal ini dikarenakan amfibi merupakan satwa ektoterm dan mempunyai permukaan tubuh yang permeabel yaitu mudah menyerap cairan yang ada di sekitarnya dan mudah menguapkan cairan, sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh lingkungan yang berubah-ubah dibandingkan dengan makhluk berkaki empat (tetrapods) lainnya. Kebanyakan amfibi ditemukan berpindah ke air pada saat sudah siap untuk berpasangan. Peletakan telurnya terjadi setelah sampai di air, setelah keduanya siap untuk kawin. Pelepasan telur harus dilakukan cepat karena tidak ada pasangan yang ampleksus (kawin) yang dijumpai di sungai lebih dari sekali (Dole dan Durant 1974). Perilaku agresif sudah banyak dilaporkan pada banyak spesies amfibi dan biasanya terjadi pada jantan sejak dimulainya musim kawin (Wells 1977 dalam Shepard 2004). Menurut Duellman dan Trueb (1986) banyak jenis amfibi aktif selama dan pertengahan musim hujan dan biasanya mereka aktif pada malam harinya. Pada dasarnya terdapat 2 macam strategi memakan pada amfibi. Banyak anura menggunakan strategi diam dan menunggu, strategi ini digunakan oleh setiap individu dikarenakan adanya pengaruh dari kelimpahan mangsa yang ada. Metode pengintaian tersebut mungkin untuk melindungi diri dari mekanisme sensor yang dimiliki predator. Strategi makan dari amfibi adalah biasanya mereka memilih mangsanya terlebih dahulu, kemudian berjalan mendekati mangsanya, menangkap dan menelannya. Kebiasaan makan amfibi dipengaruhi oleh beberapa faktor luar diantaranya yaitu keberadaan makanan musiman dan keberadaan pesaing.
Sedangkan faktor dalamnya seperti toleransi ekologi dan komposisi morfologi individu, pada setiap spesies mempunyai perbedaan ukuran yang signifikan dari jenis dan jumlah mangsa yang dimakan pada habitat yang berbeda.
2. 5 Pergerakan Amfibi Amfibi adalah hewan yang sering berada pada satu tempat, pergerakannya hanya berkisar antara 10-100 m (Sinsch 1990; dalam Hodgkison dan Hero 2001). Menurut Duellman dan Trueb (1986) arah pergerakan amfibi dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Setelah perkawinan, sebagian besar pergerakan individu terlihat berada di sekitar lokasi perkawinan untuk mendapatkan makanan dan menemukan tempat berlindung dari kekeringan, pemangsa, dan kedinginan (Denton dan Beebee 1993 dalam Lemckert dan Brassil 2000). Menurut Duellman dan Trueb (1986) wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung, tempat mencari makan dan pada beberapa kodok jantan digunakan sebagai tempat melakukan panggilan terhadap betinanya (calling site). Sebagai suatu tanggapan terhadap berkurangnya makanan, terbatasnya tempat perlindungan, atau berkurangnya peluang kawin individu tersebut biasanya memperluas wilayah jelajahnya atau melakukan perputaran di dalam wilayah jelajahnya. Daerah teritori mempunyai definisi yang klasik yaitu “daerah yang banyak dipertahankan” dan diperlihatkan dengan penyerangan terhadap penyusup (Noble 1939 dalam Shepard 2004). Menurut Mathis et al. (1995) dalam Shepard (2004) untuk amfibi komponen penyusun terbentuknya daerah teritori yaitu : (1) sumberdaya terbatas, (2) daerah yang keras, dan (3) pertahanan sumberdaya; dengan kata lain teritori sebagai perluasan pertahanan suatu area (dengan advertensi atau penyerangan) yang akan memberikan keuntungan terhadap individu untuk mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup ataupun melakukan perkembangbiakkan. Menurut Martof (1953) pergerakan harian mencapai jarak yang luas dan mungkin diklasifikasikan sebagai asosiasi dari (1) pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaan berikutnya, (2) aktivitas perkawinan, dan (3) musim dingin yang berkepanjangan.
III. METODE PENELITIAN
3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian Percobaan untuk melihat metode yang paling efektif dilakukan di Laboratorium Ekologi Satwaliar selama 2 bulan yaitu mulai bulan November sampai Desember 2006. Metode yang paling efektif dari hasil percobaan tersebut diaplikasikan dalam penelitian lapang. Selanjutnya, uji coba pengaruh penggunaan metode terpilih dilakukan terhadap pergerakan katak selama 24 jam. Penelitian lapang dilakukan selama lima bulan, yaitu mulai bulan Januari sampai dengan Mei 2007. Pengamatan dilakukan setiap 3 jam sekali selama 24 jam, pengamatan dilakukan mulai dari pukul 07.00 sampai pukul 07.00 WIB. Pengamatan pendahuluan untuk mengetahui lokasi-lokasi yang banyak ditemukannya P. leucomystax (Katak pohon bergaris), dilakukan dengan menggunakan metode VES (Visual Encounter Sampling) (Heyer et al. 1994), yaitu mencari katak secara visual dengan mengamati sekitar lokasi pengamatan secara acak dan mencatat lokasi-lokasi ditemukannya P. leucomystax. Pengamatan dilakukan pada tanggal 26-29 September 2006 mulai dari pukul 20.00–22.00 WIB. Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa P. leucomystax sering dijumpai di daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk atau daerah yang ada bangunannya.
Ket : : Gymnasium : Fakultas Kehutanan : Fakultas Pertanian : Fakultas Teknologi Pertanian : GWW : Taman Rektorat
Skala 1 : 16.000
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian di Kampus IPB Darmaga (Sumber PPLH IPB).
Penelitian dilakukan di Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, yaitu Fakultas Kehutanan, Arboretum Lanskap dan GWW, Taman Rektorat, Gedung Fakultas Pertanian, sekitar lapangan voli Fakultas Teknologi Pertanian dan Gymnasium IPB (Gambar 2).
3. 2 Alat dan Bahan Rincian alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Alat dan bahan penelitian No.
Alat
Penggunaan
A. Uji Coba Metode I
Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan
1.
Terarium
Habitat buatan untuk katak
2.
Cat (Studio 13)
Bahan untuk melihat pergerakan katak
3.
Pewarna makanan (Tjap Koepoe-koepoe)
Bahan untuk melihat pergerakan katak
4.
Alat tulis menulis
Untuk mencatat data hasil pengamatan
II
Metode Pemakaian Tali
1.
Benang katun
Bahan untuk melihat pergerakan katak
2.
Selongsong benang
Tempat untuk gulungan benang
3.
Tutup parfum 10 ml
Tempat untuk gulungan benang
4.
Botol sitrun 35 ml
Tempat untuk gulungan benang
5.
Hansaplast roll kain kecil
Tempat untuk gulungan benang
6.
Botol minyak kayu putih 60 ml
Tempat untuk gulungan benang
7.
Selongsong pulpen
Tempat untuk menggulung benang
8.
Cutter
Alat potong
10.
Palet
Tempat untuk menggulung benang
9.
Ban mobil-mobilan
Tempat untuk menggulung benang
11.
Suntikan 1ml
Tempat untuk menggulung benang
12.
Kikiran
Penghalus palet
13.
Ampelas
Penghalus palet
14.
Selotip paralon
Pengikat alat ke punggung katak
15.
Kawat untuk bunga hiasan berdiameter ± 0,5
Pengikat alat ke punggung katak
mm 16.
Kawat berlapis karet (diameter 1 mm)dan
Pengikat alat ke punggung katak
berlapis alumunium (lebar 4 mm) 17.
Gunting
Alat potong
18.
Jarum jahit + jarum pentul
Menjahit permukaan alat
Tabel 2. Lanjutan No. 19.
Alat Lilin + korek api
Penggunaan Alat pemanas untuk melubangi tempat gulungan benang
20.
Tang
Pemotong palet
21.
Pegangan untuk menggulung benang
Alat bantu mempermudah menggulung benang
B. Pergerakan Katak Pohon Bergaris 1.
Senter/headlamp dan batere
Alat penerang survey malam
2.
Kantong spesimen
Tempat pengumpulan spesimen sementara sebelum diberi perlakuan
3.
Jam
Pengukur waktu
4.
Tally sheet dan alat tulis
Pencatatan data lapangan
5.
Kaliper
Pengukuran panjang tubuh katak (SVL)
6.
Timbangan/neraca pegas (5, 10, 30, 60, 100
Pengukuran berat tubuh katak
gr) 7.
Meteran (50m)
Pengukuran panjang pergerakan katak
C. Pengukuran Faktor Lingkungan 1.
Termometer
Pengukuran suhu udara dan air
2.
Higrometer
Pengukuran kelembaban udara
3.
pH Meter/kertas pH
Pengukuran kemasaman air
4.
Tally sheet dan alat tulis
Pencatatan data lapangan
D. Alat Dokumentasi 1.
Kamera, film dan batrei
Pengambilan foto
2.
Video kamera merek JVC Digital Video
Pengambilan gambar
Camera
Beberapa alat dan bahan yang digunakan pada uji coba metode pergerakan P. leucomystax dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Bahan dan alat yang digunakan pada uji coba metode pergerakan P. leucomystax.
3. 3 Pengumpulan Data Penelitian mengenai pola penggunaan ruang dan pergerakan harian Katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax) di Kampus IPB Darmaga dilakukan dalam dua tahapan utama, yaitu : 3. 3. 1 Uji Coba Metode Uji coba metode untuk mencari metode efektif yang dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan P. leucomystax dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu :
3. 3. 1. 1 Pembuatan dan Uji Coba Alat 3. 3. 1. 1. 1 Uji Coba Penggunaan Cat dan Pewarna Makanan Uji coba metode ini dilakukan di Laboratorium Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, pada tanggal 28 November 2006 dan 19 Desember 2006. Pada uji coba pemberian cat dan pewarna makanan, katak yang diberi perlakuan adalah katak yang ditangkap dari Kolam Taman Rektorat dan ditempatkan di terarium (habitat buatan untuk katak). Pada uji coba pemberian cat, bahan yang digunakan adalah cat mainan anak-anak merek Studio 13 berwarna merah muda. Pada uji coba pertama (28 Novemver 2006) perlakuan diberikan pada seekor katak jantan (berat 8,75 gram dan SVL 49,25 mm), sedangkan pada uji coba kedua (19 Desember 2006), perlakukan diberikan pada sepasang Katak pohon bergaris yaitu katak jantan dengan berat 7,25 gram dan SVL 50,36 mm, serta betina (berat 22 gram dan SVL 71,96 mm). Pada uji coba pemakaian pewarna makanan, bahan yang digunakan adalah pewarna makanan kue merek Tjap Koepoe-koepoe berwarna hijau, katak yang diberi perlakuan adalah katak jantan dan betina (Jantan 7 gram, SVL 54,00 mm dan betina 20 gram, SVL 76,62 mm). Cat atau pewarna makanan dibubuhkan dibagian telapak kaki katak. Setelah itu katak dilepas di dalam terarium selama 24 jam dan dilihat jejak cat atau pewarna makanan yang ditinggalkan pada terarium dan berapa lama jejak tersebut bertahan. Selain itu dilihat juga apakah cat atau pewarna makanan mempengaruhi kondisi katak dengan mengamati keaktifan katak dan tampilan
fisik katak setelah pemberian cat tersebut. Setelah uji coba selesai katak dilepaskan kembali di lokasi tempat awal tertangkap.
3. 3. 1. 1. 2 Uji Coba Pemasangan Benang Katun Teknik pemasangan benang katun merupakan cara yang cukup murah untuk mengikuti pergerakan katak dengan jarak yang pendek (pergerakan lebih dari 50 m). Teknik ini digunakan pada katak terestrial yang memiliki ukuran SVL ≥ 60 mm (Dole 1965; Heyer et al. 1994). Berdasarkan hasil penelitian Dole (1965) berat total dari tali dan selongsong benang yang diikatkan pada punggung katak adalah 8,5 gram dengan panjang benang 50 m biasanya cukup untuk 2-3 hari. Namun jika katak sangat aktif maka panjang benang tersebut hanya cukup untuk 1-2 jam saja. Benang katun di simpan dalam selongsong benang agar saat benang terurai maka tidak akan terbelit pada kaki katak, sehingga katak tersebut dapat bergerak dengan mudah. Benang katun dipilih karena benang ini akan lapuk bila terkena air selama beberapa saat, sehingga diharapkan bila katak tidak tertangkap kembali maka benang akan lepas dengan sendirinya. Selongsong diikatkan di punggung katak menggunakan benang elastis yang ukurannya sesuai dengan bentuk tubuh katak (Gambar 5). Katak yang sudah diberi perlakuan dilepaskan dan diamati jejak tali yang dihasilkan dari pergerakan katak selama 3 jam.
Gambar 4. Metode Pemasangan Tali di Punggung Katak (Dole 1965).
Uji coba metode pemasangan benang katun pada punggung katak dilakukan di Laboratorium Ekologi Satwaliar dan di taman depan rumah penulis. Uji coba dilakukan pada katak jantan dan betina yang ditangkap dari Taman Rektorat dan Fakultas Teknologi Pertanian. Pada uji coba ini digunakan beberapa alat dan bahan untuk mencari alat yang paling sesuai untuk penelaahan pergerakan P. leucomystax, diantaranya yaitu: a. Gulungan benang diikatkan pada batang pohon dengan ujung benang diikatkan pada punggung katak b. Benang katun digulung dalam selongsong pulpen dan selongsong benang sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan pada punggung katak dengan menggunakan benang elastis. c. Penggulung benang dari plester kain dan botol minyak kayu putih sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan pada punggung katak dengan menggunakan kawat yang digunakan untuk tangkai tanaman hias. d. Palet (alat untuk menggulung benang pada mesin jahit) sebagai tempat menggulung benang dan botol sitrun sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan dengan menggunakan kawat untuk tangkai tanaman hias. e. Palet sebagai tempat menggulung benang dan botol sitrun sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan dengan menggunakan kawat berlapis alumunium. f. Benang katun digulung dalam selongsong suntikan dan tutup parfum sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan pada punggung katak dengan menggunakan kawat berlapis karet. g. Palet sebagai tempat menggulung benang dan botol sitrun sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan dengan menggunakan selotip paralon. h. Bagian tengah palet sebagai tempat menggulung benang dan tutup parfum sebagai wadah penyimpannya. Alat diikatkan dengan menggunakan kawat selotip pralon.
3. 3. 1. 2 Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax
Gambar 5. Uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax.
Uji coba dilakukan dengan melihat perbandingan pergerakan antara katak yang memakai alat dengan yang tidak. Perlakuan diberikan pada katak jantan dan betina masing-masing satu ekor. Berat katak jantan yang diberi perlakuan yaitu 8,5 gram dan SVL 54,75 mm sedangkan berat katak jantan yang tidak diberi perlakuan yaitu 6,5 gram dan SVL 49,50 mm. Katak betina yang diberi perlakuan yaitu 30,5 gram dan SVL 77,50 mm sedangkan katak betina yang tidak diberi perlakuan beratnya 24 gram dan SVL 74,25 mm. Pengamatan dilakukan dalam terarium (habitat buatan untuk katak). Dalam pengamatan katak jantan dan betina dipisahkan. Uji coba ini dilakukan setiap 6 jam sekali selama 24 jam, dimana dilakukan perekaman menggunakan video recorder selama 30 menit untuk masing-masing tempat (Gambar 5).
3. 3. 2 Pola Pergerakan Harian dan Penggunaan Ruang P. leucomystax Pengamatan dilakukan pada 12 individu (6 jantan, 6 betina) yang tersebar pada beberapa lokasi di Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga (Gambar 3) yaitu di Fakultas Kehutanan (1 pasang), Arboretum Lanskap dan Graha Widya Wisuda (1 pasang), Taman Rektorat (1 pasang), Gedung Fakultas Pertanian (1 pasang), sekitar lapangan voli Fakultas Teknologi Pertanian (1 pasang) dan Gymnasium (1 pasang). Setiap katak yang diamati ditangkap dengan cara menangkap langsung sepasang katak jantan dan betina yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian. Katak yang ditangkap terlebih dahulu ditimbang dan diukur panjang tubuh dari ujung moncong sampai anus (Snout Vent Length/SVL)
dengan menggunakan kaliper (Gambar 6). Setelah itu katak diberi perlakuan metode yang sesuai dengan hasil uji coba metode yang telah dilakukan sebelumnya.
Setelah selesai, katak dilepas kembali di lokasi dimana katak
tersebut dijumpai.
a
b
Gambar 6. Ukuran SVL (Snout Vent Length) pada katak (garis hijau : a - b).
Dari hasil uji coba metode maka didapatkan metode yang terbaik untuk menentukan pola pergerakan dan penggunaan ruang yaitu dengan menggunakan metode pemsangan tali pada punggung katak. Pergerakan diukur berdasarkan posisi dari setiap individu setiap 3 jam selama 24 jam. Jejak katak yang terekam dari tali diikuti dan pada setiap titik pengamatan diberi tanda yaitu pada setiap lokasi dimana katak melakukan pergerakan. Data yang dicatat meliputi koordinat titik (setiap 3 jam), mikrohabitat yang digunakan oleh katak serta aktivitas yang dilakukan pada setiap lokasi ditemukannya jenis tersebut. Selain itu dilakukan pula pengukuran terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perilaku harian dari Katak pohon bergaris. Beberapa faktor tersebut antara lain: substrat/lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi, ketinggian, posisi horisontal terhadap badan air, posisi vertikal terhadap permukaan air, suhu udara (1,50 m dari permukaan tanah), kondisi cuaca (tidak hujan, gerimis, dan hujan deras), suhu air, kelembaban udara, pH air, sifat naungan dan penutupan oleh vegetasi atau obyek lain, dan data fisik lainnya. Selain data di atas dilakukan pula pengambilan data sekunder dari studi literatur yang meliputi kondisi umum lokasi penelitian, data iklim dan curah hujan di lokasi penelitian, serta peta Kampus IPB Darmaga.
3. 4 Analisis Data Data yang didapatkan dianalisis dalam bentuk deskriptif dan kuantitatif. Setiap aktivitas yang dilakukan pada setiap lokasi ditemukannya jenis P. leucomystax dijelaskan secara deskriptif. Jarak pergerakan dari individu P.
leucomystax diperoleh dengan mengukur jarak antar titik-titik yang diambil setiap 3 jam pengamatan. Hasil pengukuran jarak tersebut digunakan untuk memetakan pergerakan katak selama satu hari. Untuk analisis, semua pergerakan < 0,05 m dianggap sebagai nol karena dengan jarak pergerakan tersebut dapat diartikan sebagai pergerakan yang dilakukan di tempat atau katak hanya bergeser dari posisi awal. Pergerakan dari individu diplotkan selama 24 jam untuk menentukan apakah individu akan kembali pada posisi awal saat beristirahat, dan untuk menentukan besarnya tumpang tindih dari kisaran tempat mencari makan (foraging). Pergerakan katak dianalisa secara secara terpisah untuk setiap jenis kelamin. Analisis dilakukan secara kuantitatif yaitu untuk melihat net displacement dan nilai alur kelurusan dari pergerakan (straightness of the movement trail). Net displacement yaitu jarak yang ditempuh katak selama 24 jam. Net displacement diperoleh berdasarkan pengukuran titik dari interval akhir dan awal selama periode 24 jam. Nilai alur kelurusan diperoleh dengan menghitung rasio dari jarak kumulatif total katak bergerak selama 24 jam dengan jarak antara titik awal ke titik akhir pengamatan (Schwarzkopf dan Alford 2002). Nilai alur kelurusan digunakan untuk melihat pola pergerakan katak selama 24 jam, apakah bergerak menjauhi titik awal ataukah hanya bergerak di sekitar titik awal saja. Nilai alur kelurusan adalah 0 – 1, dimana 1 mengindikasikan katak bergerak ke luar dalam pola alur lurus, sementara 0 menunjukkan tidak adanya pergeseran. Nilai alur kelurusan
=
Total jarak antara titik awal ke titik akhir Jarak kumulatif total pergerakan katak
Selain itu, dilakukan pula uji hipotesis dengan menggunakan metode penghitungan chi kuadrat, dengan rumus : χ2 hitung =
Σ
(O – E)2 E
Dimana : χ2 : Chi kuadrat E : Frekuensi yang diharapkan O : Frekuensi yang diobservasi Apabila χ2 hitung lebih besar daripada χ2 tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4. 1 Letak dan Luas Kampus IPB Darmaga terletak ± 9 km arah barat pusat kota Bogor atau ± 49 km sebelah selatan kota Jakarta. Luas keseluruhan areal kampus IPB Darmaga adalah 256,97 ha yang secara geografis terletak antara 6o 30’ – 6o 45’ Lintang Selatan dan 106o 30’– 106o 45’ Bujur Timur dengan ketinggian 145-195 m dpl (van Balen et al 1986 dalam Kurnia 2003). Secara administratif Kampus IPB Darmaga termasuk kedalam wilayah Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat. Batasbatas Kampus IPB Darmaga adalah: - sebelah Timur berbatasan dengan Desa Babakan - sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Raya Bogor-Jasinga - sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Cihideung, dan - sebelah Utara berbatasan dengan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane Arboretum Fakultas Fehutanan IPB merupakan tegakan campuran yang terdiri dari jenis-jenis tanaman kehutanan. Terletak di depan gedung utama kompleks Fakultas Kehutanan. Luas keseluruhan mencapai 0,36 Ha. Lantai arboretum ditumbuhi oleh tumbuhan bawah, tumbuhan menjalar dan tanaman pada berbagai tingkat pertumbuhan Yuliana (2000).
4. 2 Keadaan Kawasan 4. 2. 1 Kondisi Fisik Topografi kampus IPB Darmaga sangat beragam dari mulai datar sampai bergelombang dengan gedung-gedung yang dikelilingi oleh kawasan hutan. Keadaan topografi Kampus IPB Darmaga adalah 41% dari luas kawasan memiliki kemiringan 0-5%, 37% areal memiliki kelerengan 5-15%, 17% areal memiliki kelerengan 15-25% dan 5% memiliki kelerengan > 25%. Jenis tanah di Kampus IPB Darmaga termasuk jenis Latosol. Ketinggian lokasi penelitian berkisar antara 145-200 meter diatas permukaan laut. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, Kampus IPB Darmaga termasuk daerah bertipe hujan A dengan bulan basah > 9 bulan. Curah hujan rata-
rata tahunan mencapai 4046 mm. Temperatur udara rata-rata tahunan 23,2˚C dengan suhu maksimum 31,1˚C dan minimum 22,2˚C. Sedangkan menurut Badan Metereologi dan Geofisika (1999) dalam Hafni (2001) mengenai data pengamatan iklim wilayah Darmaga selama 9 tahun berturut-turut (1991-1999) di Stasiun Pengamatan Klimatologi Kelas 1 Dramaga menyebutkan rata-rata suhu udara 25,6˚C, kelembaban nisbi 84,8%, curah hujan 329,7 mm/bulan, kecepatan angin 1,6 km/jam dan lama penyinaran matahari sebesar 58,9%. Pola penggunaan lahan di Kampus IPB Darmaga dapat dibagi kedalam 11 kelompok yaitu Komplek Akademik, Pusat Administrasi, Plaza Taman Rektorat, Arboretum, Kompleks Graha Widya Wisuda, Kandang Ternak, Komplek Olahraga, Komplek Mesjid Al Hurriyyah, Asrama Mahasiswa, Kebun Percobaan dan Ruang Terbuka Hijau.
3. 2. 2 Kondisi Biotik 3. 2. 2. 1 Flora Vegetasi di lingkungan Kampus IPB Darmaga berupa vegetasi semak berumput, tegakan karet, hutan pinus, hutan campuran, hutan percobaan, arboretum dan tanaman pekarangan perumahan dosen dan taman. Pada mulanya seluruh wilayah Kampus IPB Darmaga didominasi oleh tegakan karet (Hevea brasilliensis) namun saat ini hanya tinggal beberapa bagian saja yang tersisa. Selain itu terdapat juga hutan campuran yang terletak di sebelah utara Mesjid Al Hurriyyah yang merupakan miniatur dari hutan tropika dataran rendah karena memiliki struktur tajuk berbeda. 3. 2. 2. 2 Fauna Kampus IPB Darmaga memiliki keanekaragaman satwaliar yang tinggi. Menurut Hernowo et al. (1991) ditemukan 12 jenis mamalia, 68 jenis burung, 37 jenis reptil dan 4 jenis ikan di Kampus IPB Darmaga, sedangkan untuk amfibi ditemukan sebanyak 13 jenis yang semuanya berasal dari ordo Anura (Yuliana 2000). Dari 13 jenis amfibi yang ditemukan, Bufo melanostictus merupakan jenis yang paling banyak ditemukan, jenis yang paling sedikit ditemukan adalah Occidozyga lima, Fejervarya limnocharis dan Rhacophorus reinwardtii (Yuliana 2000).
V. HASIL
5. 1 Hasil Uji Coba Metode 5. 1. 1 Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan Hasil uji coba menggunakan cat dan pewarna makanan (Gambar 7), menunjukkan bahwa kedua bahan tersebut tidak meninggalkan jejak yang tahan lama. Pada penggunaan cat, cat yang lengket dan licin membuat katak sulit bergerak. Cat juga hanya tahan untuk beberapa lompatan saja karena sebagian besar dari cat langsung menempel pada kaca terarium dalam sekali lompatan. Penggunaan pewarna makanan juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan cat, yaitu hanya tahan untuk beberapa lompatan saja. Selain itu pewarna makanan luntur apabila terkena air.
a
b
c
d
Gambar 7. Jejak hasil pergerakan P. leucomystax (a dan b) menggunakan cat; (c dan d) menggunakan pewarna makanan.
5. 1. 2 Metode Pemakaian Tali Penggunaan benang sebagai alat untuk menelaah pergerakan P. leucomystax menghadapi beberapa kendala dalam penentuan alat dan bahan yang sesuai pada pemasangan alat penggulung benang dan wadah gulungan benangnya (Gambar 8). Setelah dilakukan uji coba pembuatan alat dengan menggunakan bahan-bahan yang berbeda (Tabel 2) maka hasil yang terbaik untuk metode tali
bagi katak betina adalah menggunakan palet sebagai penggulung benang dan botol sitrun sebagai wadah penyimpan palet tersebut. Untuk katak jantan, metode tali yang terbaik yaitu menggunakan setengah bagian palet sebagai penggulung benangnya dan tutup parfum sebagai wadah penyimpanya. Tali pengikat yang digunakan yaitu selotip paralon. Adapun berat alat terbaik yang berhasil dibuat adalah 4 gram untuk betina dan 1,5 gram untuk jantan Tabel 3. Uji coba beberapa bahan pada pembuatan alat pergerakan P. leucomystax dengan menggunakan metode tali Metode Tanpa
Penempatan Gulungan Benang Batang pohon
Bahan
Berat Alat
Benang katun
Dampak pada Katak Katak tidak bergerak
selongsong
dengan bebas karena benang menyangkut pada ranting tanaman
Dengan
selongsong pulpen
− Benang katun (10 m)
2
5 individu katak mati,
selongsong
(tinggi ± 1,5 cm;
− Selongsong benang sebagai
gram
karena benang kusut
lebar ± 3 mm)
dan tidak keluar dengan
wadah gulungan benang
lancar
− Ban mobil-mobilan (diameter 8 mm) penahan sisi bawah dan atas selongsong pulpen − Benang elastis (diameter ± 0,5 mm) sebagai pengikatnya Dengan
Hansaplast roll
- Benang katun (50 m)
6
Alat tidak diujicobakan
selongsong
kain (tinggi ± 1,6
- Botol minyak kayu putih
gram
karena berat alat hampir
cm; lebar ± 3 cm)
sebagai penyimpan gulungan
sama dengan berat
benang (diambil bagian
katak jantan dan
bawahnya ± 2,2 cm)
setengah dari berat
- Kawat bunga hiasan (diameter
katak betina
± 0,5 mm) untuk pengikatnya Dengan
Palet (alat untuk
- Benang katun (30 m)
5
Alat dapat diterapkan
selongsong
menyimpan
- Botol sitrun sebagai wadah
gram
untuk katak betina.
benang pada mesin
gulungan benang (diambil
Katak bergerak bebas
jahit) (tinggi ± 1,1
bagian bawahnya ± 1,3 cm
namun pengikatnya
cm; lebar ± 2 cm)
dan lebar ± 2,3 cm)
menyebabkan luka pada
- Kawat bunga hiasan (diameter ± 0,5 mm) untuk pengikatnya
kulit katak
Tabel 4. Lanjutan Metode
Penempatan
Bahan
Gulungan Benang
Berat Alat
Dampak pada Katak
Dengan
Palet (alat untuk
- Benang katun (30 m)
5
Katak dapat
selongsong
menyimpan
- Botol sitrun sebagai wadah
gram
melepaskan alat yang
benang pada mesin
penyimpan gulungan benang
diikatkan pada
jahit) (tinggi ± 1,1
(diambil bagian bawahnya ±
punggungnya karena
cm; lebar ± 2 cm)
1,3 cm dan lebar ± 2,3 cm)
pengikatnya tidak
- Kawat berlapis alumunium
terlalu kuat saat
(lebar 4 mm) sebagai
mengikatnya
pengikatnya Dengan
Selongsong
- Benang katun (5 M)
2
Pergerakan katak
selongsong
suntikan (tinggi ±
- Tutup parfum sebagai wadah
gram
terhambat karena alat
1,5 cm; lebar ± 4
penyimpan gulungan benang
cukup besar dan
mm)
(diambil bagian bawahnya ± 2
keluarnya benang
cm)
kurang lancar serta tali
- Kawat berlapis karet
pengikatnya kurang
berdiameter 1 mm sebagai
kuat sehingga alat
pengikatnya
dilepaskan
Dengan
Palet (alat untuk
- Benang katun (30 M)
4
Alat dapat diterapkan
selongsong
menyimpan
- Botol sitrun sebagai wadah
gram
pada katak betina.
benang pada mesin
penyimpan gulungan benang
Katak dapat bergerak
jahit) (tinggi ± 1,1
(diambil bagian bawahnya ±
dengan bebas
cm; lebar ± 2 cm)
1,3 cm dan lebar ± 2,3 cm) - Selotip paralon sebagai pengikatnya
Dengan
Palet bagian
- Benang katun (15 M)
1,5
Alat dapat diterapkan
selongsong
tengahnya (alat
- Tutup parfum sebagai wadah
gram
pada katak jantan.
untuk menyimpan
penyimpan gulungan benang
Katak dapat bergerak
benang pada mesin
(diambil bagian bawahnya ±
dengan bebas.
jahit) (tinggi ± 1,1
1,5 cm dan lebar 1,5 cm)
cm; lebar ± 1,2 cm)
- Selotip paralon sebagai pengikatnya
a
c
b
d
f
e
Gambar 8. Beberapa hasil percobaan pembuatan alat pada metode tali. (a) penggulung benangnya hansaplast roll kain; (b) penggulung benangnya selongsong suntikan; (c) beberapa jenis tali pengikat; (d) penggulung benangnya palet; (e) penggulung benangnya palet; dan (f) alat yang sesuai untuk menelaah pergerakan P. leucomystax.
5. 1. 3 Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax Uji coba pengaruh penggunaan alat dilakukan pada pemasangan metode tali pada punggung katak. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada awal pemasangan terdapat reaksi penolakan katak terhadap alat yang ditunjukkan, yaitu usaha untuk melepaskan alat dari punggungnya. Namun, setelah beberapa saat katak mulai terbiasa dengan alat dan bergerak dengan bebas. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa baik katak yang memakai alat dan tidak memakai alat lebih banyak diam dan hanya sedikit bergerak (Tabel 5 dan 6). Tabel 5. Hasil uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax Waktu (WIB)
Lama Bergerak (detik) Jantan memakai alat
Jantan tanpa alat
Betina memakai alat
Betina tanpa alat
22:00
1
-
19
1
04:00
38
5
3
13
10:00
-
-
-
-
16:00
-
-
-
-
22:00
5
2
32
-
Tabel 6. Persentase pergerakan pada uji coba pengaruh penggunaan alat terhadap pergerakan P. leucomystax Lama Bergerak (%)
Waktu
Jantan memakai
(WIB)
alat
Betina memakai
Jantan tanpa alat
alat
Betina tanpa alat
22:00
0,005
0
0,09
0,005
04:00
0,2
0,02
0,01
0,06
10:00
0
0
0
0
16:00
0
0
0
0
22:00
0,02
0,009
0,1
0
5. 2 Hasil Pengamatan Pergerakan P. leucomystax Dari hasil pengamatan pergerakan, terlihat bahwa terdapat perbedaan antara pergerakan katak jantan dengan katak betina. Hal itu terlihat dari total pergerakan yang dilakukan selama 24 jam dan hasil Chi kuadrat hitung yang lebih besar dari pada Chi kuadrat tabel (4,448 > 3,481), terlihat bahwa katak betina pergerakannya lebih luas dibandingkan dengan katak jantan. Tabel 7. Hasil Perhitungan Alur Kelurusan Pergerakan P. leucomystax di Kamus IPB Darmaga Lokasi Gymnasium Fakultas Pertanian Fakultas Kehutanan Fakultas Teknologi Pertanian Taman Rektorat Arboretum Lanskap dan GWW
Total
Jarak dari posisi
Nilai Alur
Pergerakan (m)
awal – akhir (m)
Kelurusan
Betina
73,52
14,28
0,19
Jantan
32,1
1,69
0,05
Betina
69,32
29,65
0,43
Jantan
15,44
7,86
0,51
Betina
20,76
14,8
0,71
Jantan
15,47
7,6
0,49
Betina
19,72
16,56
0,84
Jantan
23,09
14,55
0,63
Betina
107
19,1
0,18
Jantan
24,66
8,58
0,35
Betina
16,85
12,24
0,73
Jantan
29,13
3,9
0,13
Individu
Dari hasil perhitungan nilai alur kelurusan pada Tabel 7, dapat diketahui bahwa sebagian besar katak jantan pergerakannya tidak menjauhi titik awal, sedangkan untuk katak betina ada sebagian yang menjauhi titik awal pengamatan
dan sebagian lagi mendekati titik awal pengamatan. Sementara itu, dari hasil perhitungan Chi kuadrat nilai alur kelurusan dengan nilai Chi kuadrat hitung lebih kecil dari pada Chi kuadrat tabel (0,686 < 3,481), diketahui bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina tidak menjauhi titik awal. 5. 3 Hasil Pengamatan Penggunaan Ruang P. leucomystax Dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada siang hari biasanya katak berada di tempat-tempat yang terlindung, seperti di bawah serasah, sela-sela ranting tumbuhan bawah, lubang akar pohon dan di bawah tumpukan batu (Tabel 8). Katak jantan sebagian besar lebih banyak beraktivitas di sekitar sumber air. Selain itu, pada setiap lokasi terlihat beberapa jenis satwa yang menjadi makanan P. leucomystax, seperti semut, belalang, jangkrik dan labah-labah. Tabel 8. Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 07.00 - 01.00 WIB Lokasi Fak. Kehutanan
Individu
Aktivitas
Substrat
Betina
Istirahat/Tidur
Lubang tumpukan batu
Jantan
Istirahat/Tidur
di bawah serasah Matoa dekat kolam
Betina
Istirahat/Tidur
Tanaman Jarak Pagar
Jantan
Istirahat/Tidur
Akar tanaman bayam-bayaman
Fak. Teknologi
Betina
Istirahat/Tidur
tanaman nanas kerang
Pertanian
Jantan
Istirahat/Tidur
tembok kolam pembuangan limbah
GWW & Arboretum
Betina
Istirahat/Tidur
polong-polongan
Lanskap
Jantan
Istirahat/Tidur
tembok selokan
Betina
Istirahat/Tidur
serasah
Jantan
Istirahat/Tidur
bayam merah
Betina
Istirahat/Tidur
pisang mati
Jantan
Istirahat,
Fak. Pertanian
Taman Rektorat
Gymnasium
bergerak, istirahat
tanaman soka & selokan
Tabel 9. Aktivitas P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga pada pukul 01.00-07.00 WIB Lokasi Fak. Kehutanan Fak. Pertanian Fak. Teknologi Pertanian GWW & Arboretum Lanskap Taman Rektorat Gymnasium
Individu Betina
Aktivitas Diam dan bergerak
Substrat sawo, mahkota dewa, talas-talasan
Jantan
Diam dan bergerak
pohon matoa
Betina
Diam dan bergerak
rumput, talas-talasan, styrofoam
Jantan
Diam dan bergerak
bambu jepang
Betina
Diam dan bergerak
tanaman nanas kerang
Jantan
Diam dan bergerak
rumput
Betina
Diam dan bergerak
rumput
Jantan
Diam dan bergerak
selokan
Betina
Diam dan bergerak
tanaman soka, rumput
Jantan
Diam dan bergerak
bayam merah
Betina
Diam dan bergerak
rumput, tanaman soka
Jantan
Diam dan bergerak
tanaman soka
VI. PEMBAHASAN
6. 1 Uji Coba Efektifitas Dua Metode 6. 1. 1 Metode Pemakaian Cat dan Pewarna Makanan Metode pemakaian cat pada telapak kaki katak, adalah salah satu metode yang pernah dilakukan untuk melihat pergerakan katak (lihat Eggert et al. 1999 mengenai perbandingan dua metode untuk mempelajari pergerakan amfibi terestrial; Davies dan MacDonald 1979 mengenai variasi hubungan intraspesifik pada Litoria chloris). Cat yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Eggert et al. tahun 1999 dan Davies dan MacDonald tahun 1979 adalah sejenis bahan yang dapat berpendar apabila terkena cahaya (fluorescent pigment) sehingga akan memudahkan untuk melihat pola pergerakan dari individu yang diberi perlakuan. Penelitian ini menggunakan jenis cat yang berbeda, karena cat yang digunakan oleh peneliti di luar negeri tidak dapat diperoleh di Bogor. Perbedaan jenis cat yang digunakan ini diduga menyebabkan gagalnya penggunaan cat pada penelitian ini. Jenis cat yang digunakan pada penelitian ini selain tidak bertahan lama juga dikhawatirkan bersifat racun bagi katak. Pada uji coba pertama, cat yang diberikan pada katak jantan yang diberi perlakuan hanya mampu bertahan sampai lima lompatan saja. Keesokan harinya, katak yang diberi perlakuan tersebut ditemukan mati kekeringan. Beberapa faktor diduga menyebabkan kematian katak tersebut, yaitu: kurangnya makanan dan air dalam terrarium, dan sifat cat yang mungkin beracun pada katak tersebut. Pada uji coba pertama ini katak diberi perlakuan dua hari setelah tertangkap dan dalam kondisi perut yang rata tanpa benjolan seperti pada katak yang sudah makan. Selain itu, tidak adanya air di dalam terarium menyebabkan katak kekeringan. Kulit katak bersifat permeabel, yaitu dapat menyerap cairan yang ada disekitarnya dan mudah menguapkan cairan apabila kelembaban disekitarnya sangat rendah. Ketahanan tubuh yang rendah ditambah dengan kondisi terarium yang tidak memadai diduga menyebabkan kematian katak tersebut. Tidak adanya informasi mengenai bahan yang terkandung dalam cat dan efek samping dari penggunaan cat tersebut, sehingga tidak dapat diketahui apakah cat beracun bagi katak apabila menempel pada kulitnya.
Pada uji coba kedua, kondisi terrarium telah diperbaiki yaitu dengan pemberian air dan jangkrik untuk makanan katak. Perlakuan diberikan pada katak jantan dan betina yang ditangkap pada malam hari, dan siang harinya langsung diberi perlakuan (selang waktu antara penangkapan dan perlakuan yaitu 10 jam). Cat dapat bertahan selama 9 menit dan jejak yang ditinggalkan cukup bertahan sampai beberapa lompatan. Setelah itu, katak langsung dilepaskan kembali, sehingga tidak diketahui apakah katak pada uji coba kedua ini mati atau tidak. Namun, pengamatan menunjukan bahwa kondisi keaktifan katak setelah diberi perlakuan terlihat tidak berbeda dengan kondisi keaktifan sebelum diberi perlakuan. Pada uji coba metode pergerakan katak dengan menggunakan pewarna makanan, perlakuan diberikan pada sepasang katak jantan dan betina. Hasil yang diperoleh hampir serupa dengan penggunaan cat yaitu bahan pewarna tidak bertahan dan langsung luntur saat terkena air (Gambar 7). Kedua metode ini tidak dapat digunakan karena tidak dapat digunakan di air. Walaupun P. leucomystax merupakan katak yang banyak beraktivitas di pohon namun dalam kegiatannya seringkali bergerak ke arah air.
6. 1. 2 Metode Pemasangan Tali Pada uji coba pemasangan tali, percobaan dilakukan untuk mencari alat yang paling sesuai untuk melihat pergerakan P. leucomystax tanpa mengganggu aktivitas katak saat membawa alat ini dipunggungnya. Kegagalan dalam uji coba disebabkan oleh berbagai faktor antara lain benang yang membuat katak tidak dapat bergerak lancar. Sebagai contoh pada uji coba pertama, alat yang dibuat diikatkan pada batang pohon dan benang diikatkan pada punggung katak. Pada saat dilepaskan, katak langsung melompat ke sela-sela tanaman. Meskipun pada beberapa lompatan pertama katak dapat bergerak dengan leluasa, namun saat benang tersangkut pada batang tanaman, pergerakan katak langsung terhenti. Pada saat itu katak tetap berusaha untuk melompat yang menyebabkan tubuh katak meregang. Oleh karena itu, pada uji coba ini katak dilepaskan karena khawatir mengakibatkan kematian. Pada uji coba selanjutnya, bahan-bahan yang digunakan menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar, salah satunya dikarenakan
tempat untuk menggulung benangnya terbuat dari selongsong pulpen ataupun suntikan. Kedua bahan tersebut tidak memiliki penahan pada sisi atas dan bawah sehingga penutup dibuat tersendiri dan ditempel. Akibat perekatan lem yang tidak bersih, benang tersangkut pada bagian-bagian tertentu, dan tidak tergulung dengan benar, yang pada akhirnya menyebabkan benang kusut dan tidak lancar keluar. Pada uji coba ini, 5 ekor katak jantan yang telah diberi perlakuan mati dan 2 ekor katak jantan dilepaskan. Kematian yang terjadi disebabkan benang yang tidak keluar dengan lancar sehingga menghentikan pergerakan katak, sementara katak tetap berusaha untuk melompat dan akhirnya mati tercekik (Gambar 9).
Gambar 9. Alat yang tidak lancar keluar benangnya menyebabkan kematian pada katak jantan. (kiri) P. leucomystax di Fakultas Pertanian; (kanan) P. leucomystax di Taman Rektorat.
Hal lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan alat adalah perbedaan ukuran katak jantan dan betina. P. leucomystax memiliki sexual dimorphism atau perbedaan ukuran tubuh antar kelamin yang sangat besar dimana ukuran betina jauh lebih besar daripada jantan. Oleh karena itu alat yang dibuat juga harus sesuai dengan ukuran tubuh katak agar pengaruh alat pada pergerakan katak akan semakin kecil. Dari
studi pustaka diketahui bahwa berat alat
seharusnya tidak boleh melebihi 10% dari bobot tubuh penerima (Richards et al. 1994 dalam Heyer et al. 1994). Pada uji coba selanjutnya, penyempurnaan alat menghasilkan lancarnya pergerakan benang. Sayangnya, alat yang dibuat tidak dapat diterapkan karena berat alat tersebut mencapai setengah dari berat katak jantan yang ditemukan, yaitu sekitar 5-6 gram dengan berat rata-rata katak jantan sekitar 6-12 gram. Uji coba selanjutnya dilakukan dengan mengurangi berat alat dengan membuat alat dari palet dan wadah dari bagian bawah bekas botol sitrun dengan
pengikat dari kawat tanpa pelindung. Berat alat 5 gram dan dapat digunakan pada katak betina, walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Akan tetapi, setelah 24 jam pengikat kawat tanpa pelindung berkarat dan menyebabkan luka pada bagian bawah tubuh P. leucomystax. Pada percobaan selanjutnya, kawat dilapisi karet dan alumunium. Karena kawat tidak terikat dengan baik pada awal pengikatan, yaitu tidak diikatkan dengan sangat ketat, alat ini terlepas dari tubuh katak. Pada uji coba ini, alat tidak menyebabkan kematian namun 3 ekor katak betina lepas, yaitu 2 ekor di Graha Widya Wisuda dan 1 ekor di Fakultas Pertanian. Penyempurnaan terakhir dibuat dengan mengganti tali pengikat dengan selotip paralon. Berat alat menjadi berkurang 1 gram yaitu menjadi 4 gram dan bisa digunakan untuk katak betina walaupun masih terlalu berat bagi katak jantan. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi alat untuk katak jantan, dimana bahan yang digunakan sama dengan katak betina, namun palet yang digunakan dipotong bagian luarnya dan diambil bagian tengahnya saja. Wadah penyimpan tali dibuat dari tutup parfum dengan tali pengikat berupa selotip paralon. Dengan demikian berat alat untuk katak jantan sebesar 1,5 gram (Gambar 10).
Gambar 10. (kiri) Alat untuk katak jantan dan betina; (kanan) pola pergerakan yang dihasilkan dari benang pada P. leucomystax di Arboretum Lanskap.
Pada uji coba terakhir, alat yang dibuat sesuai untuk pergerakan P. leucomystax, baik jantan maupun betinanya dengan berat alat sekitar 12,8 % dari tubuh katak betina dan 17,2 % dari berat tubuh katak jantan. Akan tetapi, tali pengikat berupa selotip paralon akan meninggalkan bekas berupa perubahan warna pada kulit katak yaitu menjadi lebih pucat dibandingkan bagian kulit lainnya (Gambar 11). Hal ini sama dengan bekas yang ditinggalkan setelah memakai cincin di jari tangan yang dalam beberapa saat (sekitar 10-15 menit) bekas tersebut akan memudar dan warna kulit akan sama dengan warna kulit
lainnya yang tidak terikat. Berdasarkan hasil penelitian Dole (1965) terkadang tali pengikat membuat kulit katak teriritasi pada bagian paha dan dada. Dalam kasus ini, katak yang mengalami iritasi dilepaskan dan tidak akan diikat lagi sampai lukanya sembuh total.
Gambar 11.
Bekas tali pengikat. (kiri) P. leucomystax jantan di Gymnasium; (kanan) P. leucomystax betina di Fakultas Kehutanan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengikatan alat. Pada katak jantan yang lebih banyak berada dekat sumber air, alat harus diikatkan pada pangkal paha bukan di dada. Apabila alat diikat pada bagian dada akan menyebabkan katak kesulitan bernafas saat berenang dan efek terburuknya akan menyebabkan kematian. Menurut Dole (1965) alat spool track mempengaruhi kemampuan berenang katak dan mengacaukan pergerakannya Dalam penelitian ini, 3 katak jantan (2 ekor di Fakultas Teknologi Petanian dan 1 ekor di Fakultas Pertanian) dilepaskan karena alat menghambat pergerakan pada saat berenang. Untuk katak betina, karena tidak sering berada dekat sumber air alat dapat diikatkan pada bagian dadanya. Baik diikatkan pada pangkal paha maupun dada katak, alat sering kali berputar ke bagian bawah atau bagian sisi tubuh katak. Berdasarkan hasil pengamatan, katak terlihat kesulitan pada saat akan masuk atau keluar got atau selokan yang ditutup dengan teralis. Pada saat katak masuk ke sela-sela tanaman, alat yang berputar ke bawah dapat tersangkut batang tanaman. Namun, secara keseluruhan katak dapat bergerak cukup normal walaupun alatnya berputar ke bawah atau ke sisi tubuh katak. Menurut Dole (1965) katak yang diberi perlakuan memiliki respon yang cepat ketika mendekati bahaya, seperti halnya katak yang
tidak diikat dan masih dapat melakukan lompatan normal. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan katak yang diberi alat lebih rentan terhadap predator . Pada setiap uji coba peneliti harus berusaha untuk membuka alat yang digunakan setelah selesai pengamatan. Salah satu kematian katak yang terjadi saat percobaan ini adalah kegagalan mengganti alat akibat katak yang bergerak terlalu ke atas dengan ketinggian 2-2,5 m. Sulitnya peneliti menangkap katak tersebut saat di atas pohon menyebabkan katak menggantung pada untaian benang terakhir.
Gambar 12. Posisi alat yang berubah, (kiri) P. leucomystax betina di Taman Rektorat; (kanan) P. leucomystax betina di Arboretum Lanskap.
Secara umum, metode penggunaan benang katun lebih dapat digunakan untuk melihat pergerakan P. leucomystax dibandingkan dengan metoda cat/pewarna makanan. Katak yang diberi perlakuan terlihat dapat bergerak dengan bebas dengan jejak benang yang membuat pola pergerakan selama 24 jam dengan jelas.
6. 1. 3 Uji Coba Pengaruh Penggunaan Alat terhadap Pergerakan P. leucomystax Mengingat bahwa metoda tali lebih efektif digunakan dalam melihat pergerakan katak pohon, maka uji coba pengaruh alat terhadap pergerakan katak dilakukan pada metoda ini. Dari pengamatan terlihat bahwa alat tidak mempengaruhi pergerakan katak. Pada awal aklimatisasi terlihat katak mencoba untuk melepaskan alat dari punggungnya, namun setelah beberapa saat bergerak dengan bebas. Pada pengamatan terlihat bahwa baik katak yang memakai alat dan tidak memakai alat lebih banyak diam dan pergerakannya hanya beberapa detik saja.
Diduga sedikitnya pergerakan disebabkan oleh terbatasnya ukuran terarium yang hanya 1 x 1 meter. Sempitnya terarium menyebabkan pergerakan katak menjadi terbatas. Selain itu, pada saat dilepaskan katak sudah menemukan posisi yang tepat untuk beristirahat, sehingga tidak banyak bergerak untuk mencari tempat yang terlindung pada siang harinya. Dari hasil perhitungan persentase pergerakan katak, terlihat bahwa katak yang menggunakan alat lebih banyak bergerak, yaitu untuk katak jantan yang memakai alat pada pukul 04.00 WIB sebesar 0,2 %, dan yang tidak memakai alat sebesar 0 % dengan kata lain tidak melakukan pergerakan sama sekali selama 30 menit pengamatan. Sama halnya dengan katak jantan, katak betina yang memakai alat juga lebih banyak bergerak dibandingkan dengan yang tidak memakai alat, yaitu pada akhir pengamatan (pukul 22.00 WIB) katak betina yang memakai alat sebesar 0,1 % dan yang tidak memakai alat sebesar 0 %. Akan tetapi penelitian ini memiliki kelemahan antara lain waktu pengamatan yang singkat yaitu hanya dalam jangka 24 jam untuk setiap individu dan pengamatan dilakukan hanya setelah aklimatisasi 1 hari. Pengamatan lebih dari 1 hari mungkin akan menghasilkan data berbeda. Dari hasil pengamatan juga dapat terlihat bahwa pada pukul 10.00 dan 16.00 WIB merupakan masa istirahat katak. Hal itu terlihat dari persentase lama bergerak, baik katak yang memakai alat maupun yang tidak memakai alat, yaitu sebesar 0 %, dengan kata lain tidak adanya pergerakan selama periode waktu tersebut. Katak akan kembali beraktivitas pada pukul 17.00 WIB.
6. 2 Pola Pergerakan P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga Dari hasil pola pergerakan, terlihat bahwa sebagian besar katak jantan pergerakannya lebih kecil dibandingkan katak betina. Sebagai contoh di Fakultas Pertanian, jarak dari awal dan akhir pergerakan selama 24 jam untuk katak jantan adalah 7,86 m sedangkan betina 29,65 m dan di Gymnasium untuk katak jantan 1,69 m dan betina 14,28 m. Katak jantan yang ditemukan selama penelitian ini berada di sekitar sumber air yang terdapat di lokasi penelitian, baik yang alami maupun yang buatan. Diantaranya yaitu kolam buatan di Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan dan Taman Rektorat, selokan/got di Graha Widya Wisuda
dan Gymnasium, serta kolam pembuangan limbah di Fakultas Teknologi Pertanian. Sumber air pada kolam-kolam tersebut ada yang berasal dari air hujan, air limbah, dan ada pula yang berasal dari air ledeng. Sedangkan katak betina, lebih sering ditemukan berada jauh dari sumber air, kecuali yang terjadi di Taman Rektorat dan Gymnasium. Di kedua lokasi ini katak betina ditemukan di dekat sumber air, diduga katak betina ini akan kawin sehingga bergerak mendekat ke sumber air. Pergerakan katak betina lebih luas dibandingkan dengan katak jantan, diduga karena jantan “terikat” dengan daerah bersuaranya seperti analisis yang dilakukan Lemckert dan Brassil (2002) pada katak raksasa Myophyxes iteratus dari Australia. Di Gymnasium dan Graha Widya Wisuda, katak jantan di akhir pengamatan kembali lagi ke posisi dimana pertama kali dia ditemukan. Sedangkan untuk katak betina, sebagian besar bergerak menjauh dari posisi pertama kali ditemukan. Namun demikian, tidak selalu pergerakan katak jantan jauh lebih kecil dari katak betina. Sebagai contoh, pengamatan di Fakultas Teknologi Pertanian menunjukan pergerakan katak jantan lebih banyak dibandingkan katak betina walaupun terlihat bahwa katak jantan ini cenderung berputar-putar di satu lokasi dibandingkan betinanya (jarak posisi akhir dari awal adalah 14,55 m untuk jantan dan 16,56 m untuk betina). Diduga pergerakan ini berhubungan dengan aktivitas katak tersebut mencari makan. Menurut Dole (1965) banyak dari pergerakan yang sangat pendek dari rumah dan kembali lagi dapat diartikan sebagai perjalanan mencari makanan. Sebagai contoh, bila terdapat serangga dan mangsa lain yang terlihat oleh katak, katak akan mengikuti mangsa sampai tertangkap atau lepas, kemudian akan mundur ke posisi semula. Hal ini terlihat pada saat pengamatan, dimana saat pergantian benang tanpa sengaja belalang yang ada di mulut katak tersebut terlepas. Pergerakan dilakukan katak untuk berlindung dari kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Menurut Schwarzkof dan Alford (2002) terdapat tiga hal yang potensial dikeluarkan pada saat bergerak, yaitu (1) biaya yang dikeluarkan pada saat predator mendekat; (2) biaya yang dikeluarkan pada saat terjadinya kekeringan yang disebabkan berkurangnya air atau tidak ditemukannya shelter pada saat kekeringan; dan (3) energi yang dikeluarkan pada saat bergerak. Kondisi
panas pada siang hari akan membuat katak bergerak mencari tempat yang cocok agar terhindar dari masalah kekeringan. Berdasarkan hasil pengamatan pada siang hari dengan kelembaban berkisar antara 70–95 katak semakin bergerak masuk ke dalam tempat-tempat yang melindungi tubuhnya dari cahaya matahari. Sebagai contoh di lokasi Arboretum Lanskap, katak betina bergerak masuk ke dalam tumpukan serasah dan rerumputan yang ada di lokasi tersebut dan diam di lokasi tersebut. Pada malam hari katak sudah mulai kembali bergerak dan beraktivitas. Kebanyakan amfibi adalah hewan penetap dengan pergerakan terbatas hanya berkisar antara 10-100 m (Sinsch 1990 dalam Hodgkison dan Hero 2001). Menurut Duellman dan Trueb (1986) arah pergerakan amfibi dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Setelah perkawinan, sebagian besar pergerakan individu terlihat berada di sekitar lokasi perkawinan untuk memenuhi makanan dan menemukan tempat berlindung dari kekeringan, pemangsa, dan kekeringan (Denton dan Beebee 1993 dalam Lemckert dan Brassil 2000). Dari hasil perhitungan nilai alur kelurusan terlihat sebagian besar dari katak memiliki nilai alur kelurusan lebih dari 0,5, yang berarti
katak bergerak dalam pola alur
kelurusan sementara. Sedangkan untuk katak betina di Gymnasium (0,19), jantan di Gymnasium (0,05), betina di Taman Rektorat (0,18), jantan di Taman Rektorat (0,35) dan jantan di Arboretum Lanskap+GWW (0,13), memiliki nilai alur a
b c Gambar 13. Beberapa lokasi pengamatan yang dekat sumber air . (a) Gymnasium; (b) Fakultas Kehutanan; dan (c) Taman Rektorat.
kelurusan kurang dari 0,5 yang berarti bahwa pergerakan katak tidak jauh dari lokasi pertama kali ditemukan. Berdasarkan hasil perhitungan Chi kuadrat terhadap total pergerakan katak dengan hasil Chi kuadrat hitung lebih besar dari Chi kuadrat tabel, terlihat bahwa pergerakan antara katak jantan dan katak betina tidak sama selama 24 jam pengamatan, yaitu katak betina lebih jauh pergerakannya dibandingkan dengan katak jantan. Berdasarkan perhitungan Chi kuadrat nilai alur kelurusan, terlihat bahwa baik katak jantan maupun katak betina pergerakannya tidak menjauhi posisi awal pengamatan. Hal tersebut karena pada saat ditangkap katak sedang berada di dekat sumber air untuk melakukan perkawinan. Sehingga mungkin saja katak betina tersebut mencoba untuk kembali ke posisi semula untuk melakukan perkawinan. Walaupun dari hasil penelitian ini mendapatkan data pergerakan jangka pendek, namun diperlukan penelitian lebih lama lagi untuk dapat menduga luasan areal jelajah untuk memastikan bahwa katak pohon merupakan jenis penetap atau jenis yang sering berpindah.
6. 3 Penggunaan Ruang P. leucomystax di Kampus IPB Darmaga Amfibi tinggal pada lingkungan dengan distribusi sumberdaya yang dapat diprediksikan. Kondisi tersebut menunjukkan perpindahan yang teratur antara daerah mencari makanan, perkawinan dan hibernasi (Schwarzkof dan Alford 2002). Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan mereka untuk memperoleh makanan, kawin dan tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis yang memadai (Dole 1965). Kebanyakan amfibi bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) dan memiliki shelter (tempat berlindung) yang basah sepanjang hari dan mulai aktif hanya pada malam hari (Duellman dan Trueb 1986). Dari hasil pengamatan, terlihat bahwa sebagian besar P. leucomystax baik jantan maupun betina di setiap lokasi memiliki aktivitas yang hampir sama. Pada siang hari biasanya katak tidur di tempat-tempat yang terlindung, seperti di bawah serasah, sela-sela tumbuhan bawah, lubang akar pohon, dan di bawah tumpukan batu. Hal tersebut merupakan salah satu cara agar tubuhnya tidak mengalami kekeringan. Di Fakultas Kehutanan, katak betina pada siang hari bersembunyi di
lubang tumpukan batu, di Fakultas Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, dan Arboretum Lanskap katak betina bersembunyi di sela-sela tumbuhan bawah, yaitu pada tanaman jarak pagar untuk betina di Fakultas Pertanian dan di rerumputan untuk betina di Arboretum Lanskap dan pada tanaman nanas kerang untuk betina di Fakultas Teknologi Pertanian. Sedangkan betina di Gymnasium dan Taman Rektorat bersembunyi di bawah tumpukan serasah. Katak jantan di semua lokasi bersembunyi di dekat sumber air, baik di tanaman bawah (katak di Fakultas Pertanian, Gymnasium dan Taman Rektorat), tumpukan serasah (katak di Fakultas Kehutanan) dan menempel di tembok (katak di GWW dan Fakultas Teknologi Pertanian) (Gambar 14). Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Duellman dan trueb (1986) bahwa amfibi terestrial mempunyai daya adaptasi untuk mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh dengan menjadi nokturnal dan berlindung di siang hari (Duellman dan Trueb 1986). a
b
c Gambar 14. Tempat bersembunyi P. leucomystax saat siang hari. (a) di rerumputan di Fakultas Teknologi Pertanian; (b) di sela-sela tanaman soka di Gymnasium; dan (c) di bawah serasah di Taman Rektorat.
Katak tidak hanya bersembunyi di siang hari untuk melindungi dirinya dari kekeringan. Pada saat hujan pun terlihat katak akan mengubah posisinya lebih masuk ke daerah terlindung dari air hujan, baik yang ada di sekitar tanaman
bawah, tumpukan serasah dan tembok dekat got atau kolam. Sementara katak yang berada di bawah tumpukan batu dan lubang akar tanaman tidak mengubah posisinya yang terlindung dari hujan maupun panas matahari. Menurut Lemckert dan Brassil (2000) tempat berlindung katak biasanya terdapat pada daerah tertutup seperti serasah atau dalam akar tanaman. Daerah tersebut menjadi daerah berlindung dari predator dan kekeringan dan dapat digunakan sebagai naungan. Walaupun beberapa katak bersembunyi di bawah serasah, sebagian besar katak akan merubah posisinya ketika pelindung kepalanya terbuka.
a
b
d
c
Gambar 15. Beberapa lokasi tempat bersarang P. leucomystax. (a) Taman Rektorat; (b) Telur di Taman Rektorat; (c) Fakultas Kehutanan; dan (d) Gymnasium
Pada setiap lokasi penelitian dijumpai sumber air yang digunakan sebagai tempat untuk kawin dan peletakan telur (Gambar 15). Konsentrasi katak di sekitar air sangat erat hubungannnya dengan ketergantungan amfibi terhadap air terutama saat berkembang biak (Duellman dan Trueb 1986). Kebanyakan amfibi ditemukan berpindah ke air pada saat sudah siap untuk berpasangan (Dole dan Durant 1974). Katak jantan biasanya lebih banyak melakukan aktivitasnya di sekitar sumber air tersebut untuk menjaga teritori mereka saat kawin (Wells 1977 dalam Shepard 2004). Oleh karena itu jantan P. leucomystax biasanya memang dijumpai di sekitar sumber air, sedangkan katak betina akan mendekat ke sumber air apabila sudah siap untuk melakukan perkawinan. Katak betina yang ditemukan mendekat
ke sumber air yaitu di Taman Rektorat dan Gymnasium. Di Taman Rektorat, katak betina sedang berada di kolam pada saat ditangkap. Hal itu berarti bahwa pada saat itu katak betina sudah siap untuk kawin dan pada saat pengamatan, katak betina tersebut juga berusaha untuk kembali lagi ke lokasi pertama kali ditangkap. Akan tetapi terlihat bahwa betina tidak bergerak mendekat ke kolam lagi saat terdapat betina lain di kolam tersebut. Sebagai gantinya, betina pertama menunggu di tanaman soka dekat kolam sambil memperhatikan kolam. Sedangkan katak betina di lokasi yang ditangkap cukup jauh dari sumber air terlihat bergerak mendekat ke sumber air Pada semua lokasi pengamatan, terlihat beberapa jenis invertebrata yang aktif pada malam hari. Jenis invertebrata tersebut antara lain belalang, nyamuk, semut, jangkrik, kumbang, dan laba-laba (Gambar 16). Invertebrata tersebut dijumpai di sekitar rerumputan, tumbuhan bawah, dan kolam/got. Pada saat pengamatan terlihat kebanyakan katak berdiam diri di lokasi yang banyak serangganya. Hal itu merupakan salah satu strategi memakan katak, yaitu diam dan menunggu kemudian menangkap dan menelannya. Pada saat pengamatan, katak jantan di Fakultas Teknologi Pertanian memakan belalang sedangkan untuk lokasi lainnya tidak terlihat dengan jelas serangga yang dimakan. Pada saat pengamatan beberapa katak umumnya sudah makan pada saat ditangkap. Hal itu terasa dari perutnya yang penuh saat diraba.
Gambar 16. Beberapa jenis invertebrata yang ada di sekitar lokasi pengamatan.
Menurut Duellman dan Trueb (1986) wilayah jelajah adalah suatu kawasan yang digunakan oleh suatu individu untuk melakukan seluruh aktivitas hariannya. Wilayah jelajah biasanya mencakup tempat berlindung, tempat mencari makan dan pada beberapa kodok jantan digunakan sebagai tempat melakukan panggilan terhadap betinanya (calling site). Sebagai suatu tanggapan terhadap berkurangnya makanan, terbatasnya tempat perlindungan, atau berkurangnya peluang kawin individu tersebut biasanya memperluas wilayah jelajahnya atau melakukan perputaran di dalam wilayah jelajahnya. Oleh karena teritori adalah cara yang terbaik untuk menghadapi persaingan pada sumberdaya yang terbatas, maka teritori dapat diartikan sebagai wilayah yang dipertahankan dari gangguan individu lainnya. Sesungguhnya tempat khusus yang dipertahankan ini akan memberikan keuntungan terhadap individu untuk mengakses sumberdaya yang dibutuhkan untuk bertahan hidup ataupun melakukan perkembangbiakkan. Walaupun penelitian ini tidak dapat mengukur daya jelajah dan luasan jelajah P. leucomystax, namun dalam pengamatan terlihat bahwa P. leucomystax jantan cenderung memiliki daerah teritori untuk masing-masing individu. Sebagai contoh di Fakultas Pertanian, selama beberapa malam ditemukan satu ekor jantan yang sama di satu lokasi tertentu yaitu di paralon. Ketika tertangkap dan di lepas, keesokkan harinya katak tersebut kembali ke lokasi yang sama. Sayangnya, katak jantan tersebut mati karena kegagalan alat. Ketika diperiksa keesokan harinya terlihat bahwa posisi tempat katak tersebut biasa bertengger kosong dan tidak digantikan oleh katak jantan lainnya. Untuk P. leucomystax betina wilayah teritori tidak terlihat dengan jelas. Paling tidak dari pengamatan terlihat perilaku mereka saat kawin dimana bila terjadi perkawinan maka jika terdapat betina lain di lokasi berdekatan maka betina lain tidak mendekat dan mengganggu pasangan kawin tersebut. Perilaku berbeda ditunjukkan oleh katak jantan. Bila pada saat satu pasangan kawin dan terdapat jantan lain di sekitar pasangan tersebut, maka untuk katak jantan yang tidak kawin akan berusaha untuk mendapatkan kesempatan kawin dengan terus mengikuti dan berusaha naik ke punggung betina yang sudah ampleksus dengan jantan lain. Hal tersebut sama seperti halnya yang terjadi pada Rhacophorus reinwardtii dimana
jantan yang lain yang tidak kawin berusaha untuk mendapatkan kesempatan kawin dengan betina yang sudah memilih pasangan kawinnya (Yazid 2006). Perilaku agresif sudah banyak dilaporkan pada banyak spesies anura dan pada beberapa keadaan yang terjadi diantara pejantan selama musim kawin. Perilaku agresif pada anura ditunjukkan dengan panggilan, serangan, adu kepala, mendorong, mendorong lawan ke air, melompat ke depan, mendorong lawan ke air dengan menggunakan kepala, menendang, atau bergulat. Perilaku demikian membutuhkan energi yang besar, kerusakan fisik dan kadang-kadang fatal (Lutz 1960 dalam Shepard 2004). Pada banyak anura, perilaku menjaga daerah teritori terjadi pada saat adanya interaksi antar pejantan (Martins et al. 1998 dalam Abrunhosa dan Henrique 2004) yang umumnya dapat diselesaikan di kolam yaitu dengan bersuara (menunjukkan keberadaan, kepemilikan teritori dan atau panggilan pada saat berjumpa) namun kalau tidak berhasil, diselesaikan dengan perkelahian fisik (Halliday dan Tejedo 1995 dalam Abrunhosa dan Henrique 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Metode pemakaian cat dan pewarna makanan tidak dapat digunakan untuk menelaah pergerakan P. leucomystax (katak pohon bergaris) di kampus IPB Darmaga, karena jejak yang ditinggalkan hanya bertahan beberapa lompatan dan langsung habis dan jika terkena air pewarna makanan langsung luntur. 2. Metode pemasangan tali dapat digunakan untuk melihat pergerakan P. leucomystax dengan berat alat harus disesuaikan dengan berat tubuh katak, jika terlalu berat bukan saja mengganggu aktivitas katak tapi juga mengakibatkan kematian. 3. Berdasarkan hasil uji pengaruh penggunaan alat spool track terhadap pergerakan katak, diketahui bahwa alat tidak memberikan pengaruh negatif yang menghambat pergerakan katak. 4. Sebagian besar katak jantan bergerak di sekitar sumber air dan tidak jauh dari posisi pertama kali ditemukan. Sedangkan katak betina pergerakannya lebih luas dan akan mendekati sumber air apabila sudah siap untuk melakukan perkawinan.
Saran 1. Metode tali lebih mudah digunakan untuk katak yang berukuran cukup besar (>10 gram). Selain itu, perlu dilihat efektivitas alat untuk jangka panjang (>24 jam). 2. Desain alat pada metode tali perlu diperbaiki dengan menggunakan bahan yang lebih ringan dan sesuai dengan bentuk tubuh katak. 3. Mendesain penggulungan benang dengan cara tidak mengikatkan benang pada alat penggulungnya, agar pada saat katak berada di lokasi yang tidak memungkinkan untuk melepaskan atau mengganti benang yang habis pada alat yang diikatkan pada punggung katak, benang akan terlepas dengan sendirinya.
4. Sumber air yang merupakan tempat untuk perkembangbiakan P. leucomystax perlu dipertahankan agar keberadaanya tetap terjaga. 5. Tanaman sekitar sumber air harus tetap dipelihara karena merupakan habitat bagi P. leucomystax dan terdapat beberapa jenis satwa yang menjadi makanan P. leucomystax.
DAFTAR PUSTAKA Abrunhosa, P. A and H. Wogel. 2004. Breeding Behavior of the Leaf Frog Phyllomedusa burmeiisteri (anura: Hylidae). Amphibia-Reptilia 25: 125-135.
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Atkinson, R. P. D., C. J. Rhodes, D. W. Macdonald and R. M. Anderson. 2002. Scale-free Dynamics in The Movement Patterns of Jackals. Oikos 98: 134– 140. Berry, P. Y. 1975. The Amphibians Fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press. Kuala Lumpur. Beshkov, V. A. and D. L. Jameson. 1980. Movement and Abundance of The Yellow-Bellied Toad Bombina variegata. Herpetologica 36(4): 365-370. Birchfield, G. L. and J. E. Deters. 2005. Movement Paths of Displaced Northern Green Frogs (Rana clamitans melanota). Southeastern Naturalist 4(1): 6376. Brandle, M. and R. Brandl. 2001. Distribution, Abundance and Niche Breadth of Birds: Scale matters. Global Ecology & Biogeography 10: 173–177. Claire, C. V. and A. H. P. Stumpel. 1995. Comparison of Habitat-Isolation Parameters in Relation to Fragmented Distribution Patterns in The Tree Frog (Hyla arborea). Landscape Ecology 11 (4): 203-214. Daugherty, C. H. and A. L. Sheldon. 1982. Age-spesific Movement Patterns of The Frog Ascaphus truei. Herpetologica 38(4): 468-474. Davidar, P., K. Yoganand and T. Ganesh. 2001. Distribution of Forest Birds in The Andaman Islands: Importance of Key Habitats. Journal of Biogeography 28: 663-671. Davies, M. and K. R. McDonald. 1979. A Study of The Intraspecific Variation in The Green Tree Frog Litoria chloris (boulenger) (hylidae). Australian Zoologist 20(2): 347-359. Dole, J. W. 1965. Summer Movements of Adult Leopard Frogs, Rana pipiens Schreber, in Northern Michigan. Ecology 46 (3): 236-255.
Dole, J. W. and P. Durant. 1974. Movements and Seasonal Activity of Atelopus oxyrhynchus (Anura : Atelopididae) in a Venezuelan Cloud Forest. Copeia (1): 230-235. Duellman, W.E and L. Trueb. 1986. Biology of Amphibians. McGraw-Hill, New York, USA. Eggert, C., P. H. Peyret and R. Guyétant. 1999. Two Complementary Methods for Studying Amphibian Terrestrial Movements.In: C. Miaud and R. Guyétant (eds) Current studies in herpetology, Chambéry: 95-97 pp. Goin, C. J., O. B. Goin and G. R. Zug. 1978. Introduction to Herpetology. W.H Freeman and Company. San Fransisco. Hafni, E. 2001. Inventarisasi dan Analisis Potensi Sumberdaya Wisata Pendidikan Tinggi Pertanian DI Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Hernowo, J., B, R. Soekmadi dan Ekarelawan. 1991. Kajian Pelestarian Satwaliar di Kampus IPB Darmaga. Media Konservasi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Heyer, W. R., M. A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L. C. Hayek and M. S. Foster. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Hodgkison, S and J. M Hero. 2001. Daily Behavior and Microhabitat Use of The Waterfall Frogs, Litoria nannotis in Tully Gorge, Eastern Australia. Journal of Herpetology 35 (1): 116-120. Hofrichter, R. 2000. The Encyclopedia of Amphibians. Weltbild Verlag GmbH. Augsburg. 264. Inger, R. F and R. B. Stuebing. 1997. A Field Guide to The Frogs of Borneo. Natural History Publications. Sabah. Iskandar, D. T. and E. Colijn. 2000. Preliminary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna: Amphibians. Treubia 31 (3): 1-133. Iskandar, D. T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Puslitbang-LIPI. Bogor.
Johnson, C. N. 1998. Rarity in The Tropics: Latitudinal Gradients in Distribution and Abundance in Australian Mammals. Journal of Animal Ecology 67(5): 689-698. Kurnia, I. 2003. Studi Keanekaragaman Jenis Burung untuk Pengembangan Wisata Birdwatching di Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Lamoureux, V. S., J. C. Maerz and D. M. Madison. 2002. Premigratory Autumn Foraging Forays in The Green Frog, Rana clamitans. Journal of Herpetology 36 (2): 245-254. Lemckert, F. 1999. An Assessment of The Impacts of Selective Logging Operations on Amphibian Diversity in a Forested Area of Northern New South Wales. Biological Conservation 89: 321-328. Lemckert, F. and T. Brassil . 2000. Movements and Habitat Use of The Endangered Giant Barred River Frog (Mixophyes iteratus) and The Implications for Its Conservation in Timber Production Forests. Biological Conservation 96: 177-184. Martof, B. 1953. Home Range and Movements of The Green Frog, Rana clamitans. Ecology 34 (3): 529-543. Pope, L. K and K. R. Matthews. 2001. Movement Ecology and Seasonal Distribution of Mountain Yellow-Legged Frogs, Rana mucosa, in a High_Elevation Sierra Nevada Basin. Copeia (3): 787-793. Richards, S. J., U. Sinsch and R. A. Alford. 1994. Radio Tracking. In : Heyer, W. R. ; M. A. Donnelly, R.W. McDiarmid, L. C. Hayek and M. S. Foster. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standart Methods for Amphibians. Smithsonian Institution Press. Washington. Pp 155-158. Roy, D. 1997. Communication Signals and Sexual Selection in Amphibians. Current Science 72 12): 923-927. Schwarzkopf, L. and R. A. Alford. 2002. Nomadic Movement in Tropical Toads. Oikos 96: 492-506. Seebacher, F. and R. A. Alford. 1999. Movement and Microhabitat Use of a Terrestrial Amphibian (bufo marinus) on a Tropical Island: Seasonal Variation and Environmental Correlates. Journal of Herpetology 33(2): 208214.
Shepard, D. B. 2004. Seasonal Differences in Aggregation and Site Tenacity in Male Green Frogs, Rana clamitans. Copeia (1): 159-164. Stebbins, R. C and N. W. Cohen. 1995. A Natural History of Amphibians. Princeton University Press. New Jersey. 316 hal. Williams, S. E., H. Marsh and J. Winter. 2002. Spatial Scale, Species Diversity, and Habitat Structure: Small Mammals in Australian Tropical Rain Forest. Ecology 83(5): 1317-1329. Yazid, M. 2006. Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhacophorus reinwardtii Kuhl dan van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan. Yuliana, S. 2000. Keragaman Jenis Amfibi (Ordo Anura) di Kampus IPB Darmaga, Bogor. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasikan.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Pengamatan Pergerakan Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) Di Kampus IPB Darmaga 1. Gymnasium Tabel 10. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Gymnasium Waktu
Aktivitas
7:00
Tidur
10:00 13:00 16:00
Substrat
D
W
Cuaca
RH (%)
Vegetasi dominan
Ket
26
23,5
cerah
77
rumput
-
Tidur Tidur Tidur
Tumpukan pisang mati Serasah Serasah Serasah
28 30,5 26,5
25 26 25,5
cerah panas hujan
74 65 90
rumput rumput rumput
19:00
Diam
Rumput
24,5
24
cerah
95
rumput
22:00
Diam
Batang pisang mati
24,5
23,5
cerah berbulan
90
rumput
1:00
Diam
Batang tanaman Soka
24,5
23,5
cerah
90
tanaman Soka
penambahan benang terlihat beberapa jenis serangga dan penambahan benang - Posisi vertikal 50 cm - terlihat beberapa jenis serangga - Posisi vertikal 30 cm - terlihat beberapa jenis serangga
4:00
Diam
Pagar
24
23,5
cerah
95
tanaman Soka
Posisi vertikal 50 cm
23,5
cerah
95
tanaman Soka
Posisi vertikal 30 cm
Batang 24 tanaman Soka Keterangan : Berat katak : 39,20 gram 7:00
Diam
Berat alat
: 4 gram
pH air
: 5,5
SVL
: 83,45 mm
Satwa lain
: P. leucomystax jantan dan Bufo melanostictus
Tabel 11. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Gymnasium Waktu
aktivitas
Substrat
D
tanaman 27,5 soka 10:00 diam got 30 13:00 diam paralon 32 16:00 diam got 27,5 tanaman 25 19:00 diam soka naik ke tanaman 22:00 25 permukaan soka tanaman 1:00 diam 24,5 soka tanaman 4:00 diam 23,5 soka tanaman 7:00 diam 25 soka Keterangan : Berat katak : 9,5 gram 7:00
diam
W
Cuaca
RH (%)
25,5
cerah
82
25,5 26,5 24
cerah mendung mendung setelah hujan
64 59 70
24
cerah
90
23,5
cerah
90
22,5
cerah
90
24
cerah
90
24
90
Vegetasi dominan tanaman soka
tanaman soka tanaman soka tanaman soka tanaman soka tanaman soka
Berat alat : 1,5 gram
SVL
: 53,48 mm
pH air
: 5,5
Satwa lain
: P. leucomystax jantan dan B. melanostictus
Ket
penambahan benang
2. Fakultas Pertanian Tabel 12. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Pertanian waktu
aktivitas
substrat
D
W
7:00
diam
Batang Jarak Pagar
25
23,5
10:00
diam
Tanah
30
26
13:00
diam
rumput
31
16:00
diam
rumput
19:00
diam
22:00
diam
bambu jepang tumpukan serasah
1:00
diam
batang talas
4:00
diam
7:00
diam
Vegetasi dominan Jarak pagar Jarak pagar Jarak pagar
cerah
86
mendung
68
26,5
panas
65
26,5
25,5
hujan
95
Rumput
24,5
24
cerah berbulan
95
bambu jepang
24
23,5
cerah
95
rumput
23,5
23
cerah
sterofoam
23
22,5
cerah
sterofoam
23,5
23
cerah
Keterangan : Berat katak : 31,00 gram Satwa lain
RH (%)
Cuaca
Berat alat : 4
Ket
Penambahan benang Posisi vertikal 1.5m
posisi vertikal 50cm dan 95 penambahan benang bambu posisi vertikal 95 jepang 10cm bambu posisi vertikal 95 jepang 10cm gram SVL : 70,90 mm pH air : 5 bambu jepang
: B. melanostictus, P. leucomystax jantan, Rana chalconota, Ahaetulla
prasina Tabel 13. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Pertanian waktu
aktivitas
Substrat
D
W
Cuaca
akar bayam25 23,5 cerah bayaman akar 10:00 diam 30 26 mendung bayambayaman akar 13:00 diam 31 26,5 panas bayambayaman 16:00 diam rumput 26,5 25,5 hujan bambu cerah 19:00 diam 24,5 24 jepang berbulan bambu 22:00 diam 24 23,5 cerah jepang bambu 23,5 23 cerah 1:00 diam jepang bambu 4:00 diam 23 22,5 cerah jepang bambu 7:00 diam 23,5 23 cerah jepang Keterangan : Berat katak : 8,5 gram Berat alat : 2 gram 7:00
diam
RH (%)
Vegetasi dominan
86
bayambayaman
68
bayambayaman
65
bayambayaman
95
rumput
Ket
posisi vertikal 2 m posisi vertikal 2 95 bambu jepang m posisi vertikal 2 95 bambu jepang m posisi vertikal 2 95 bambu jepang m posisi vertikal 95 bambu jepang 2.3m SVL : 49,00 mm pH air : 5
95
bambu jepang
Satwa lain : B. melanostictus, P. leucomystax jantan, R. chalconota, A. prasina
3. Fakultas Kehutanan Tabel 14. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Kehutanan waktu
aktivitas
substrat serasah
Cuaca
RH (%)
Vegetasi dominan talastalasan tanaman bawah tanaman bawah tanaman bawah
D
W
25,5
24,5
cerah
90
28
26
cerah
82
30
27
cerah
75
25,5
25,5
gerimis
95
23,5
24,5
hujan
90
mahkota dewa
gerimis
86
mahkota dewa
Ket
7:00
diam
10:00
diam
13:00
diam
16:00
diam
19:00
menggantung
22:00
merayap
sawo
23,5
24,5
1:00
merayap
sawo
23,5
24
cerah
86
mahkota dewa
V: 1.8m, penambahan benang, banyak nyamuk V: 1.8m, banyak nyamuk
24
cerah
86
mahkota dewa
V: 2.3m, banyak nyamuk
25
mendung
82
talastalasan
lubang batu lubang batu lubang batu batang mahkota dewa
batang mahkota 23,5 dewa talas24 7:00 diam talasan Keterangan : Berat katak : 27 gram 4:00
diam
penambahan benang V: 1.5m, banyak nyamuk
Berat alat : 4 gram
SVL
: 75,78 mm
pH air
Satwa lain
: P. leucomystax jantan
:-
Tabel 15. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Kehutanan waktu
aktivitas
substrat
serasah matoa menyelusup serasah 10:00 ke dalam matoa serasah 13:00 diam matoa serasah 16:00 diam matoa ranting 19:00 diam tanaman merambat batang pohon 22:00 diam matoa batang pohon 1:00 merayap matoa batang pohon 4:00 diam matoa batang pohon 7:00 diam matoa Keterangan : Berat katak : 9,5 gram 7:00
diam
RH (%)
vegetasi dominan
cerah
95
matoa
panas
65
matoa
25,5
mendung
61
matoa
28,5
25,5
cerah
74
matoa
25,5
24
cerah
86
matoa
posisi vertikal 30cm
25
24
cerah
90
matoa
posisi vertikal 2 m
24,5
24
cerah
95
matoa
posisi vertikal 2 m
24,5
24
cerah
95
matoa
posisi vertikal 2 m
26
24
cerah
82
matoa
posisi vertikal 2 m
D
W
25,5
24
30,5
26
30,5
Cuaca
Berat alat : 1,5 gram
SVL
: 51,42 mm
pH air
: 6,5
Satwa lain
: P. leucomystax jantan bersuara
ket
4. Fakultas Teknologi Pertanian Tabel 16. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Fakultas Teknologi Pertanian waktu
aktivitas
substrat
20.09
lompat
lantai
23.09
diam Gerakin badan
Nanas kerang Nanas kerang
02.09 05.09
diam
08.09
diam
11.09
diam
14.09
Bergeser 5cm
17.09
diam
20.09
diam
Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang
RH (%)
D
W
26
24
cerah
82
25,5
24,5
cerah
90
24
23,5
cerah
95
23
22,5
cerah
95
25,5
24
cerah
86
28
26,5
hujan
86
30
28
cerah
83
28
26,5
cerah
86
26
25
cerah
90
Keterangan : Berat katak : 30 gram
Cuaca
vegetasi dominan Pohon asam Rumput Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang Nanas kerang
ket -
Berat alat : 4,5 gram
SVL
: 76,25 mm
pH air
Satwa lain
: B. melanostictus
:6
Tabel 17. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Fakultas Teknologi Pertanian waktu
aktivitas
7:00
diam
10:00
diam
13:00
merayap
16:00
diam
19:00
lompat
cerah
RH (%) 90
vegetasi dominan tali sait
26
cerah
68
tali sait
31,5
27
cerah
72
tali sait
28,5
25,5
mendung
74
tali sait
26,5
25,5
hujan
90
rumput
gerimis
95
rumput
cerah 95 cerah 22,5 95 berbulan 22,5 cerah 90 Berat alat : 1,5 gram
rumput
Substrat
D
W
air dinding kolam dinding kolam dinding kolam tumpukan sampah
23
22
30
rumput
24,5
24
1:00
makan belalang diam
rumput
23,5
23
4:00
lompat
rumput
23
22:00
7:00 diam rumput 23,5 Keterangan : Berat katak : 7,5 gram
Cuaca
pH air
Ket Penambahan benang
Penambahan benang
rumput rumput
SVL
: 50,00 mm
:8
Satwa lain
: B. melanostictus, P. leucomystax, R. chalconota dan R. reinwardtii
5. Taman Rektorat Tabel 18. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Taman Rektorat waktu
aktivitas
substrat
D
W
Cuaca
28
25
30 31 28,5 28 28
27 26,5 26,5 26,5 25,5
7:00
diam
10:00 13:00 16:00 19:00 22:00
tidur tidur tidur lompat lompat
dinding rumah kaca tanah tanah tanah got got
1:00
diam
batang soka
25
24
4:00
diam
batang soka
24
23,5
cerah cerah gerimis hujan
cerah
cerah 24 23 cerah Berat alat : 4 gram
7:00 tidur serasah Keterangan : Berat katak : 38 gram
pH air
RH (%)
vegetasi dominan
74 75 62 82 86 78 95 95 90
ket V: 50cm
rumput rumput rumput penambahan benang tanaman soka tanaman soka rumput
SVL
: 88,86 mm
Satwa lain
: B. melanostictus, P. leucomystax jantan dan betina
V: 2.5m V: 2m
:6
Tabel 19. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Taman Rektorat waktu
aktivitas
Substrat
22:00
lompat
1:00
diam
4:00
diam
bayam merah bayam merah bayam merah bayam merah lantai tembok kolam bayam merah lantai
7:00
diam
tanah
7:00
diam
10:00
diam
13:00
diam
16:00
diam
19:00
lompat
Keterangan : Berat katak
Cuaca
RH (%)
D
W
27,5
25
cerah
78
29,5
27
panas
79
mendung
67
29
25
27,5
25,5
cerah
82
26,5
25,5
cerah
90
24.5
24
cerah
95
24
23,5
cerah
95
24,5
23
cerah
95
24,5
24
cerah
95
: 6 gram
Berat alat : 1,5 gram
SVL
: 48,82 mm
pH air
Satwa lain
: B. melanostictus, P. leucomystax jantan bersuara
:6
vegetasi dominan bayam merah bayam merah bayam merah bayam merah
ket
penambahan benang bayam merah bayam merah bayam merah
6. Arboretum Lanskap + GWW Tabel 20. Hasil pengamatan P. leucomystax betina di Arboretum Lanskap dan Graha Widya Wisuda waktu
aktivitas
Substrat
D
W
Cuaca
RH (%)
vegetasi dominan
25,5
24,5
cerah
90
rumput
tidur menyelusup
polongpolongan rumput rumput
26 28,5
25 25,5
cerah gerimis
90 74
rumput rumput
16:15
diam
rumput
27,5
26.5
hujan
91
rumput
19:15
diam
rumput
26
24,5
cerah
86
rumput
22:15
diam
rumput
24,5
24
gerimis
95
rumput
1:15
diam
rumput
24
23,5
cerah
95
rumput
4:15
lompat
rumput
23
22,5
cerah
95
rumput
95
rumput
7:15
tidur
10:15 13:15
7:15 tidur rumput Keterangan : Berat katak : 22 gram
24
SVL
: 72,00 mm
Satwa lain
: -
23,5 cerah Berat alat : 4 gram pH air
ket
penambahan benang terdapat beberapa jenis serangga terdapat beberapa jenis serangga terdapat beberapa jenis serangga terdapat beberapa jenis serangga
:-
Tabel 21. Hasil pengamatan P. leucomystax jantan di Arboretum Lanskap dan Graha Widya Wisuda waktu 7:00
aktivitas
substrat
D
diam
got 24 akar 10:00 diam 28,5 kemloko dinding 33 13:00 diam got dinding 16:00 diam 29,5 got dinding 19:00 lompat 27 got 22:00 diam got 26 1:00 diam got 25,5 dinding 24,5 4:00 lompat got dinding 24 7:00 diam got Keterangan : Berat katak : 11 gram
23
cerah
RH (%) 90
26
cerah
78
rumput
banyak nyamuk
26
panas
51
rumput
banyak nyamuk
26
cerah
71
rumput
26
cerah
90
rumput
24,5 24,5
cerah cerah
86 90
rumput rumput
penambahan benang, banyak nyamuk penambahan benang, banyak nyamuk banyak nyamuk banyak nyamuk
23,5
cerah
90
rumput
banyak nyamuk
23,5
cerah
90
rumput
banyak nyamuk
W
Cuaca
Vegetasi dominan rumput
banyak nyamuk
Berat alat
: 1,5 gram
pH air
: 6,5
Ket
SVL
: 54,52 mm
Satwa lain
: P. lecomystax jantan dan betina, B. melanostictus dan R. chalconota
Lampiran 2. Hasil Perhitungan Chi Kuadrat 1. Berdasarkan Total Pergerakan Total Pergerakan Jantan Betina Total ≤ 50 m 6 3 9 ≥ 50 m 0 3 3 Total 6 6 12 Ho : Total pergerakan jantan dan betina sama selama 24 jam Ha : Total pergerakan jantan dan betina tidak sama selama 24 jam A O=6 E = (6x9) : 12 = 4,5
B O=3 E = (6x9) : 12 = 4,5
C O=0 E = (6x3) : 12 = 1,5
D O=3 E = (6x3) : 12 = 1,5
Derajat kebebasan : (2-1) = 1 Taraf Kesalahan yang digunakan 5 % A [(6-4,5) – 0,5]2 / 4,5 = 0,222
B [(3-4,5) – 0,5]2 / 4,5 = 0,888
C [(0-1,5) – 0,5]2 / 1.5 = 2,667
D [(3-1,5) – 0,5]2 / 1,5 = 0,666
χ2 hitung = 0,222 + 0,888 + 2,667 + 0,666 = 4,443 χ2 tabel = 3,481 Karena χ2 hitung > χ2 tabel, yaitu 4,443 > 3,481, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya bahwa total pergerakan antara katak jantan dan kataj betina tidak sama selama 24 jam 2. Berdasarkan Nilai Alur Kelurusan Total Pergerakan Jantan Betina Total ≤ 0.5 m 4 3 7 ≥ 0.5 m 2 3 5 Total 6 6 12 Ho : Pola pergerakan jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan Ha : Pola pergerakan jantan dan betina menjauhi titik awal pengamatan A O=4 E = (6x7) : 12 = 3,5
B O=3 E = (6x7) : 12 = 3,5
C O=2 E = (6x5) : 12 = 2,5
D O=3 E = (6x5) : 12 = 2,5
Derajat kebebasan : (2-1) = 1 Taraf Kesalahan yang digunakan 5 % A [(4-3,5) – 0,5]2 / 3,5 = 0
B [(3-3,5) – 0,5]2 / 3,5 = 0,286
C [(2-2,5) – 0,5]2 / 2,5 = 0,4
D [(3-2,5) – 0,5]2 / 2,5 = 0
χ2 hitung = 0 + 0,286 + 0,4 + 0 = 0,686 χ2 tabel = 3,481 Karena χ2 hitung < χ2 tabel, yaitu 0,686 < 3,481, maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan.
Lampiran 3. Pola Pergerakan Polypedates leucomystax di Kampus IPB
1. Fakultas Kehutanan
Gambar 17. Pola pergerakan Polypedates leucomystax di Fakultas Kehutanan.
2. Fakultas Pertanian
Gambar 18. Pola pergerakan Polypedates leucomystax di Fakultas Pertanian.
3. Fakultas Teknologi Pertanian
Gambar 19. Pola pergerakan Polypedates leucomy Pertanian.stax di Fakultas Teknologi
4. Taman Rektorat
Gambar 20. Pola pergerakan Polypedates leucomystax di Taman Rektorat.
5. GWW dan Arboretum Lanskap
Gambar 21. Pola pergerakan Polypedates leucomystax di GWW & Arboretum Lanskap.
6. Gymnasium
Gambar 22. Pola pergerakan Polypedates leucomystax di Gymnasium.