POLA KUMAN DAN RESISTENSINYATERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI PASCA BEDAH ORTHOPEDI DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
RETNO BEKTI RAHAYU K100110119
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2015 1
2
POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI PASCA BEDAH ORTHOPEDI DI RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN 2014 BACTERIAL PATTERNS AND ANTIBIOTIC RESISTANCE IN PATIENTS WITH SSI FOLLOWING ORTHOPEDIC SURGERY IN DR. MOEWARDI HOSPITAL PERIOD 2014 Retno Bekti Rahayu*, M. Kuswandi**, Ika Trisharyanti D K* *Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta **Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada ABSTRAK Infeksi dalam bedah orthopedi dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas, biaya perawatan, dan pengulangan pembedahan. Beberapa kejadian dilaporkan terjadi infeksi 93,9% dari jumlah pasien, 8% pada fraktur tertutup serta 29,4% pada fraktur tebuka. Dalam infeksi, antibiotik digunakan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Kasus infeksi pasca bedah di RSUD Dr. Moewardi memiliki persentase yang tinggi, yaitu 13,2%. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola kuman dan resistensinya terhadap antibiotik pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. Penelitian dilakukan dengan melakukan uji kepekaan menggunakan metode Disk diffusion pada 10 isolat, hasil diameter zona hambat diklasifikasikan berdasarkan sensitif dan resisten yang digunakan sebagai data primer dan ditunjang data sekunder yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi. Pola kuman menunjukkan Pseudomonas aeruginosa (19,61%) menjadi kuman dominan penyebab infeksi. Pola resistensi kuman dari hasil isolasi spesimen pus pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 menunjukkan Pseudomonas aeruginosa memiliki persentase resistensi terhadap Meropenem (30%), Gentamisin (20%), Ceftriakson (80%) dan Cefazoline (80%), sedangkan Staphylococcus aureus memiliki persentase resistensi yang tinggi terhadap beberapa antibiotik, yaitu Penisilin G (100%), Cefadroksil (57,1%), Gentamisin (42,9%), Ceftriakson (57,1%) dan Ciprofloksasin (57,1%). Kata kunci: Pola kuman, resistensi, bedah orthopedi, RSUD Dr. Moewardi
ABSTRACT Infection in orthopedic surgery can increased the risk of morbidity, mortality, healthcare cost, and repeat surgery. Some of the events reported percentage of infection are 93.9% of the patients, 8% in closed fractures and 29.4% in the open fractures. In infection, antibiotics are used to reduce morbidity and mortality. Case of Surgical site infections in Dr. Moewardi hospital has a high percentage, 13.2%. The aim of the study was to determine the pattern of bacteria and antibiotic resistance in patients with SSI following orthopedic surgery in Dr. Moewardi period 2014. The study was conducted to sensitivity test using disc diffusion method in 10 isolates obtained from specimens of pus in patients, the results of inhibition zone diameter classified by sensitive and resistant, this results are used as the primary data and secondary data supported by obtained from the microbiology laboratory Dr. Moewardi Hospital. The results of bacteria pattern showed Pseudomonas aeruginosa (19.61%) became the dominant bacteria that cause infections. Pattern resistance showed Pseudomonas aeruginosa resistance to Meropnem (30%), Gentamisin (20%), Ceftriakson (80%) dan Cefazoline (80%), while the percentage of Staphylococcus aureus resistance to penicillin G (100%), cefadroxil (57.1%), gentamicin (42.9%), ceftriaxone (57.1%) and ciprofloxacin (57.1%). Keywords: Bacterial patterns, antibiotics resistance, orthopedic surgery, Moewardi Hospital
1
PENDAHULUAN Infeksi menjadi masalah utama yang dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas di Indonesia maupun dunia. Infeksi dapat terjadi pada pasien pasca bedah yang masih dirawat di rumah sakit, infeksi tersebut dapat terjadi akibat infeksi nosokomial (WHO, 2002). Bakteri gram negatif lebih banyak menjadi penyebab terjadinya infeksi nosokomial daripada bakteri gram positif (Guntur, 2007). Menurut Nichol (2001), infeksi luka operasi (ILO) merupakan masalah utama pada pasien bedah. Terjadi sekitar 500.000 per tahun kasus infeksi dari 27 juta prosedur bedah, dan hal itu disebabkan oleh infeksi nosokomial. Infeksi pasca operasi terjadi akibat adanya bakteri yang menyebabkan infeksi pada luka operasi. Bakteri dapat ditransfer melalui kontak ahli bedah maupun perawat saat operasi, udara ataupun orang-orang yang berada disekitar pasien (Kangao & Odhiambo, 2009). Terjadinya infeksi dalam bedah orthopedi merupakan masalah yang serius, karena hal ini dapat berpengaruh pada kepentingan klinis dan gejala yang lebih serius, seperti meningkatnya risiko morbiditas, mortalitas, biaya perawatan dan pengulangan pembedahan (Purghel et al., 2006 & Greene et al., 2010). Biaya yang diperlukan dalam keadaan infeksi dapat menjadi tiga kali lipat dibandingkan dengan pasien yang tidak terinfeksi (Pollard et al., 2006 cit Greene et al., 2010). Pada beberapa penelitian menunjukkan tingginya kasus infeksi luka operasi pada bedah orthopedi, seperti penelitian yang dilakukan oleh Khosravi et al. (2009), terjadi kejadian infeksi sebesar 93,9% dari jumlah pasien, sedangkan pada penelitian Kaprisyah (2014), sebesar 8% kejadian infeksi pada fraktur tertutup serta 29,4% terjadi pada fraktur tebuka (Rochanan, 2003). Pada penelitian yang dilakukan oleh Olsen et al. (2008) menunjukkan infeksi pada operasi tulang belakang menyebabkan 78% pasien menjalani operasi ulang. Infeksi pada pasca bedah orthopedi dapat disebabkan oleh bakteri, seperti Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Proteus spp, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, dan Escherichia coli (Purgel et al., 2006 & Greene et al., 2010). Antibiotik profilaksis yang diberikan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi sebesar 1-5 % (Purghel et al., 2006). Pemberian tersebut tidak sepenuhnya dapat mencegah terjadinya infeksi karena secara umum infeksi tersebut terjadi akibat bakteri yang sudah resisten di rumah sakit (Samuel & Warganegara). Penggunaan antibiotik sangat penting dalam mengurangi angka kesakitan dan kematian pada manusia, namun penggunaan antibiotik secara intensif dapat mengakibatkan risiko terjadinya resistensi (Andersson & Hughes, 2010), sehingga antibiotik yang diberikan sebagai profilaksis maupun terapi pada tindakan bedah harus rasional atau sesuai dengan jenis luka operasinya 2
(Nurkusuma, 2009). Pemberian dosis dan lama pemberian antibiotik juga harus tepat, hal ini dilakukan untuk mencegah timbulnya resistensi (Nurkusuma, 2009). Resistensi mengakibatkan pengobatan infeksi menjadi kurang efektif dan meningkatkan risiko komplikasi (Andersson & Hughes, 2010). Resistensi juga menyebabkan pemilihan terapi suatu penyakit menjadi lebih sulit dan memerlukan biaya yang mahal (Levy & Marshall, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiyawati & Supratman (2008), kejadian infeksi pasca bedah di RSUD Dr. Moewardi masih tinggi, yaitu menduduki peringkat ketiga dari sepuluh infeksi di rumah sakit tersebut, kejadian infeksi ini memiliki persentase sebesar 13,2 %, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pola kuman dan pola resistensinya terhadap antibiotik pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi. Hal ini dilakukan agar terapi dapat dilakukan dengan tepat dan mencegah timbulnya infeksi secara berkelanjutan serta resistensi bakteri terhadap antibiotik. Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat-alat gelas (Pyrex), neraca analitik (ohaus), autoclav, oven (memmert), mesin vitek (Vitek 2 compact), inkubator (memmert), inkubator shaker (New Brunswick Scientific), LAF (Laminar air flow). Bahan-bahan yang digunakan yaitu NA (Nutrient agar) miring dan media MH (Muller Hinton), 10 sampel isolat bakteri hasil isolasi yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi pada bulan Agustus (Data Primer), media BHI (Brain Heart Infusion), beberapa jenis antibiotik (Oxoid), data hasil uji kepekaan kuman pada 41 pasien yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi bulan Januari-Maret (Data sekunder). Jalannya penelitian Sebanyak sepuluh isolat hasil isolasi dari spesimen pus pada pasien pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi diuji kepekaan terhadap beberapa antibiotik dengan metode disk diffusion. Uji kepekaan dilakukan dengan membuat suspensi bakteri dari stok bakteri menggunakan ose steril yang disuspensikan ke dalam 5 mL media cair BHI, kemudian diinkubasi pada inkubator shaker selama 2-6 jam pada suhu 37oC. Hasil suspensi tersebut diambil 100 µL dan diencerkan dengan larutan saline steril sampai kekeruhannya sama dengan standar Mc. Farland (1,5 x 108 CFU/ml), kemudian dituang pada media MH padat. Setelah suspensi tersebut terserap, diletakkan disk antibiotik diatas 3
media, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Data didapatkan dengan mengukur zona hambat tiap disk antibiotik. Analisis data Analisis data diperoleh dari data hasil pengukuran zona hambat tiap disk antibiotik hasil uji sensitivitas dengan zona hambat radikal. Diameter zona hambat diinterpretasikan berdasarkan sensitif (S), atau resisten (R). Hasil tersebut digabungkan dengan hasil data sekunder yang didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi RSUD Dr. Moewardi. Hasil analisis dibuat dalam presentase dengan perbandingan hasil uji sensitivitas yang didapat dengan uji sensitivitas total isolat.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Pasien dan Hasil Pola Kuman Pemeriksaan isolat dilakukan pada 41 pasien yang mengalami infeksi bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014. 1. Distribusi hasil Uji kepekaan Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Data demografis pasien berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Distribusi pemeriksaan spesimen pus pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi berdasarkan usia dan jenis kelamin di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 (Data Sekunder) Usia Frekuensi Persentase (%) Tidak diketahui 4 9,76 0-5 tahun 0 0 >5-15 tahun 1 2,44 >15-59 tahun 28 68,29 ≥60 tahun 8 19,51 Jumlah 41 100 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Frekuensi 24 17 41
Persentase (%) 65,85 34,15 100
Pada hasil pengujian pola kuman dari spesimen pus tersebut jumlah tertinggi ditemukan pada pasien berusia 15-59 tahun dengan persentase sebesar 68,29%, rentang usia tersebut merupakan rentang usia produktif dimana risiko terjadinya patah tulang akibat kecelakaan ataupun alasan lain dilakukannya pembedahan tulang menjadi lebih tinggi. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh laki-laki yaitu sebesar 65,85%, hal ini dipengaruhi oleh adanya hormon esterogen pada perempuan. Hormon esterogen dapat mempengaruhi penyembuhan luka dengan mengatur berbagai gen yang terkait dengan regenerasi, produksi matriks, penghambatan protease, fungsi epidermis, dan gen terutama terkait dengan peradangan (Hardman & Ashcroft, 2008 cit Guo & DiPietro, 2010). 4
2.
Pola Kuman dari Hasil Isolasi Spesimen Pus Hasil pengujian pola kuman di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014
menunjukkan beberapa distribusi bakteri Gram negatif dan Gram positif, hasil ini didominasi oleh bakteri Gram negatif, yaitu : Serratia marcescens, Enterobacter cloacae, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa, Burkholderia cepacia, Acinetobacter baumannii, Enterobacter asburiae, Escherichia coli, Morganella morganii, Providencia stuartii, dan Klebsiella pneumoniae. Pada Gram positif terdapat Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus haemolyticus dan Staphylococcus hominis. Tabel 2. Pola kuman hasil isolasi dari spesimen pus pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 Bakteri Jumlah Persentase (% ) Gram Positif Staphylococcus aureus (Data sekunder) 7 13,73 Staphylococcus epidermidis (Data sekunder) 2 3,92 Staphylococcus hominis (Data sekunder) 1 1,96 Staphylococcus haemolyticus (Data sekunder) 1 1,96 Gram Negatif Pseudomonas aeruginosa • Data Primer • Data Sekunder Escherichia coli • Data Primer • Data Sekunder Klebsiella pneumoniae • Data Primer • Data Sekunder Proteus mirabilis (Data sekunder) Burkholderia cepacia (Data sekunder) Acinetobacter baumannii • Data Primer • Data Sekunder Providencia stuartii • Data Primer • Data Sekunder Serratia marcescen (Data sekunder) Enterobacter cloacae (Data sekunder) Enterobacter asburiae (Data sekunder) Morganella morganii (Data primer) Jumlah
4 6
19,61 7,84 11,76
1 8
1,96 15,69
2 5 4 2
3,92 9,80 7,84 3,92
1 1
1,96 1,96
1 1 1 1 1 1 51
1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 1,96 100
Pseudomonas aeruginosa menjadi bakteri terbanyak dari semua sampel yaitu terdapat 10 isolat dengan persentase 19,61% diikuti Escherichia coli (17,65%), Klebsiella pneumonia dan Staphylococcus aureus (13,73%), serta Proteus mirabilis (7,84%). Pseudomonas aeruginosa mempunyai persentase tertinggi pada kuman Gram negatif, sedangkan pada Gram positif persentase tertinggi pada Staphylococcus aureus (gambar 1). Pada hasil pola kuman ini distribusi kuman Gram negatif (78,43%) lebih banyak dibandingkan Gram positif (21,57%). Pseudomonas aeruginosa sering disebut sebagai patogen oportunistik dimana kuman menginfeksi manusia ketika terjadi ketidaknormalan pada sistem pertahanan sel inang atau ketika terjadi penurunan daya tahan tubuh. Kuman ini biasa mendiami tanah, 5
lingkungan berair dan fasilitas medis, sehingga bakteri ini sering menjadi penyebab utama terjadinya infeksi nosokomial (Gellatly & Hancock, 2013).
Persentase (%)
Gram Negatif Gram positif
Jenis kuman Gambar 1. Pola kuman dari hasil isolasi spesimen pus pada terapi pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014
Hasil pola kuman tersebut menggambarkan jenis kuman patogen yang menyebabkan terjadinya infeksi pada infeksi pasca bedah orthopedi. Distribusi pola kuman dapat berbeda, dalam Shrestha et al. (2013) dijelaskan bahwa hal itu dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak hati-hati atau tidak rasional. Hasil pola kuman pada penelitian yang dilakukan oleh Benabdeslam et al. (2014) di negara Maroko didapatkan S. aureus memiliki kontribusi terbanyak dalam menyebabkan infeksi pada bedah orthopedi yaitu sebesar 33,1%, sedangkan dalam Maksimovic et al. (2008) yang dilakukan di Serbia S. aureus memiliki kontribusi sebesar 28,9% diikuti oleh Acinetobacter baumannii dengan persentase sebesar 24,1%. Sedangkan pada penelitian ini lebih banyak ditemukan kuman Gram Negatif, hal ini dapat dimungkinkan karena penggunaan Penisilin G dan Sefalosporin generasi I sebagai antibiotik profilaksis di RSUD Dr Moewardi. Kedua antibiotik tersebut merupakan antibiotik yang lebih efektif terhadap Gram positif dibanding dengan Gram negatif (Jawetz et al., 2001), sehingga pada proses terjadinya infeksi Gram positif dapat dihambat oleh antibiotik tersebut sedangkan Gram negatif dapat terus berkembang dalam menyebabkan infeksi tanpa ada antibiotik yang menghambatnya. 6
B. Pola Resistensi Kuman 1. Pola Resistensi 10 Isolat dari Spesimen Pus pada Pasien Bedah Orthopedi Pengujian ini dilakukan pada 10 isolat dengan 6 jenis bakteri yaitu Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Providencia stuartii, Acinetobacter baumannii dan Morganella morganii. Sepuluh kuman tersebut diuji kepekaan pada beberapa antibiotik yaitu metronidazol, meropenem, ciprofloksasin, cefazolin, ceftriakson, piperasillin/tazobactam dan penisilin G. Tabel 3. Hasil uji resistensi 10 isolat terhadap beberapa antibiotik Persentase Resistensi Antibiotik (%) MTZ* KZ* CN* P* CRO** MEM** CIP** TZP*** Pseudomonas aeruginosa (n=4) 100 100 0 100 100 50 50 75 Klebsiella pneumoniae (n=2) 100 100 0 100 50 0 50 50 Escherichia coli (n=1) 100 100 0 100 0 0 0 0 Providencia stuartii (n=1) 100 100 100 100 100 0 100 0 Acinetobacter baumannii (n=1) 100 100 100 100 100 0 100 100 Morganella morganii (n=1) 100 100 0 100 0 0 100 0 Keterangan: MTZ: Metronidazole; KZ: Cefazoline; CN: Gentamisin; P: Penisilin G; CRO: Ceftriaxone; MEM: Meropenem; CIP: Ciprofloxacin; TZP: Piperacillin/Tazobactam;; *antibiotik dari pedoman rumah sakit; ** antibiotik yang diresepkan; ***antibiotik yang diujikan dengan Vitek; 0 (nol) %: Sensitif; 100 %: Resisten Bakteri
Hasil tersebut menunjukkan semua bakteri yang diujikan mengalami resistensi terhadap Metronidazole, Cefazoline, dan penisilin G. Sedangkan persentase resistensi terendah ditunjukkan pada Meropenem, semua bakteri yang diujikan kecuali Pseudomonas aeruginosa sensitif terhadap meropenem. Hasil uji kepekaan dengan metode disk diffution tersebut dapat dilihat pada gambar 2, dan hasil diameter zona hambat dapat dilihat pada lampiran 1,2 dan 3. Dari hasil zona hambat tersebut diklasifikasikan berdasarkan sensitif dan resisten dengan membandingkannya dengan standar CLSI (Lampiran 11).
Gambar 2. Hasil uji kepekaan kuman dengan metode disk diffution 1. Meropenem; 2. Gentamisin; 3. Metronidazole; 4. Piperacillin/tazobactam; 5. Ceftriakson; 6. Cefazoline; 7. Ciprofloksasin; 8. Penisilin G
2. Pola Resistensi Kuman Gram Positif terhadap Beberapa Antibiotik Enam antibiotik (Penisilin G, Cefadroxile, Gentamisin, Ceftriakson, Ciprofloksasin dan Meropenem) diujikan pada 4 bakteri Gram positif yaitu S. aureus, S. epidermidis, S. 7
hominis dan S. haemolyticus. Hasil pola resistensi kuman pada Gram positif dapat dilihat pada gambar 3. Dari hasil tersebut dapat dilihat Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Staphylococcus hominis resisten terhadap penisilin G, sedangkan Staphylococcus haemolyticus memiliki persentase resistensi 100% pada kelima antibiotik yang diujikan yaitu Cefadroksil, Gentamisin, Ceftriason, Ciprofloksasin dan Meropenem. Staphylococcus aureus dengan jumlah isolat terbanyak memiliki resistensi yang cukup
Persentase resistensi (%)
tinggi yaitu lebih dari 40 % pada keenam antibiotik yang diujikan.
Jenis kuman
Gambar 3. Hasil uji resistensi kuman gram positif dari spesimen pus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 terhadap beberapa antibiotik P : Penisilin G; CFR: Cefadroxile; CN: Gentamisin; CRO: Ceftriakson; CIP: Ciprofloksasin; MEM: Meropenem ; *antibiotik dari pedoman rumah sakit; ** antibiotik yang diresepkan; 0 (nol) %: Sensitif; 100 %: Resisten, -: tidak diujikan.
Terjadinya resistensi pada kuman gram positif terhadap antibiotik golongan beta laktam (Penisilin, Cefalosporin, Carbamepen) sering dikaitkan dengan terjadinya MRSA (Methicillin resistance Staphylococcus aureus), dalam hal ini strain MRSA telah mendapatkan gen mecA, gen tersebut menyebabkan perubahan PBP menjadi PBP2a, sehingga mengganggu efek antibiotik beta laktam (misalnya penisilin dan sefalosporin) pada dinding sel. Hal ini menyebabkan terjadinya resistensi penuh untuk semua antibiotik beta laktam termasuk penisilin semi sintetik (The Center for Food Security & Public Health, 2010). Mekanisme yang sama terjadi pada kelompok Staphylococcus coagulase negative (S. epidermidis, S. hominis dan S. haemolyticus) yang resisten terhadap metisilin (Koksal et al., 2009). Pada umumnya Staphylococcus koagulase negatif menyebabkan infeksi dengan onset yang lebih cepat dan kondisi yang lebih buruk (Greene et al., 2010). 8
3. Pola Resistensi Kuman Gram Negatif terhadap Beberapa Antibiotik Terdapat 11 macam kuman gram negatif yang didapatkan dari hasil isolasi, diantaranya yaitu Serracia marcescens, Enterobacter cloacae, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, Enterobacter asburiae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Providencia stuartii, Burkholderia cepacia, dan Morganella morganii. Hasil uji kepekaan kuman gram negatif terhadap beberapa antibiotik dapat
Persentase resistensi (%)
dilihat pada gambar 4.
Jenis kuman
Gambar 4. Hasil uji resistensi kuman gram negatif dari spesimen pus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 terhadap beberapa antibiotik MEM: Meropenem, CN: Gentamisin, CRO: Ceftriakson, KZ: Cefazoline; *antibiotik dari pedoman rumah sakit; ** antibiotik yang diresepkan; 0 (nol) %: Sensitif; 100 %: Resisten; -: tidak diujikan.
Dari semua jenis kuman yang diujikan, memperlihatkan persentase resistensi terendah pada meropenem jika dibandingkan dengan antibiotik lainnya. Sebagian besar kuman yang diujikan memperlihatkan persentase resistensi yang tinggi pada Gentamisin, Ceftriakson dan Cefazolin. Hasil tersebut memperlihatkan Serracia marcescens, Enterobacter cloacae, Providencia stuartii dan Burkholderia cepacia memiliki persentase resistensi sebesar 100% terhadap gentamisin, hal yang sama terjadi pada Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, Enterobacter asburiae, Providencia stuartii, Burkolderia cepacia dan Morganella morganii yang resisten terhadap Cefazoline serta Serracia marcescens, Enterobacter cloacae, Acinetobacter baumannii, Providencia stuartii dan Burkholderia cepacia yang resisten terhadap Ceftriakson. Ceftriakson merupakan antibiotik yang sering diresepkan di RSUD Dr Moewardi.
9
Hasil penelitian Benabdeslam et al. (2014) yang dilakukan pada pasien infeksi luka operasi ortophedi menunjukkan bahwa E. coli dan P. mirabilis mempunyai sensitifitas yang baik terhadap quinolon, sedangkan K. pneumoniae mempunyai persentase resistensi 71,4% terhadap quinolon dan P. aeruginosa resisten pada cefotaksim (sefalosporin generasi ketiga). Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Morganella spp, Providentia spp, Enterobacter
spp
dan
Serratia
spp
termasuk
ke
dalam
Enterobacteriaceae.
Enterobacteriaceae dapat menghindari efek antibiotik sehingga menyebabkan terjadinya resistensi. Beberapa mekanisme Enterobacteriaceae dalam menghindari efek antibiotik yaitu pada antibiotik golongan beta kuman memproduksi enzim beta laktamase, enzim tersebut menonaktifkan beta-laktam melalui proses hidrolisis. AmpC beta-laktamase adalah kromosom utama yang dikodekan dalam Enterobacteriaceae dan ini menghasilkan resistensi pada cephalotin, cefazolin, cefoxitin dan pada sebagian penisilin. Kromosom enzim AmpC diinduksi dan dapat diekspresikan dengan tingkat ekspresi yang tinggi dengan mutasi pada AMPD yang menyebabkan AmpC hyperinducibility. Ekspresi tersebut menyebabkan terjadinya resistensi pada sefalosporin spektrum luas seperti cefotaxime, ceftazidime dan ceftriaxone. Sedangkan
pada
antibiotik
golongan
aminoglikosida
mekanisme
dalam
menghindari efek antibiotik terjadi akibat modifikasi antibiotik, modifikasi molekul target melalui proses metilasi 16S rRNA oleh Arm dan methyltransferase Rmt. Efflux pump pada AcrD di E. coli dapat mengeluarkan amikasin, gentamisin, neomisin, kanamisin dan tobramisin dari sel bakteri (Kocsis & Szabo, 2013). Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman terbanyak yang ditemukan pada penelitian ini. Kuman ini memiliki resistensi terhadap semua antibiotik meskipun tidak semuanya memiliki persentase yang tinggi. Mekanisme terjadinya resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap beberapa antibiotik secara umum sama dengan Enterobactericeae ataupun kuman gram negatif lainnya. Perbedaan mekanisme resistensi tersebut terjadi pada sistem efflux dimana kuman ini memiliki permeabilitas membran luar 10-100 kali lipat lebih rendah dibanding dengan bakteri lainnya seperti E. coli, hal ini mengakibatkan berkurangnya tingkat penyerapan antibiotik yang menyebabkan terjadinya resistensi sekunder (Hancock & Speert, 2000). Dalam pedoman penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi tahun 2011-2012, Sefalosporin generasi I, kombinasi Penisilin G dan metronidazole atau kombinasi Sefalosporin generasi I dengan aminoglikosida dan penisilin G merupakan antibiotik yang direkomendasikan pada infeksi bedah orthopedi dan traumatologi di rumah sakit tersebut 10
untuk kuman Staphylococcus
aureus, Staphylococcus pyogenes,
Staphylococcus
epidermidis dan C. perfringens (Lampiran 10). Kekurangan dari penelitian ini yaitu terbatasnya data hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotik, sehingga belum sepenuhnya menggambarkan pola kuman dan pola resistensi kuman. Hal ini disebabkan karena data sekunder yang diperoleh hanya bulan Januari sampai Maret 2014 serta terbatasnya referensi tentang pedoman infeksi pasca bedah orthopedi baik dari Menkes RI, WHO maupun dari RSUD Dr Moewardi. Berdasarkan hasil penelitian ini pedoman penggunaan antibiotik di RSUD Dr Moewardi tersebut harus dikaji ulang karena bakteri penyebab infeksi pada bedah orthopedi sudah resisten terhadap Penisilin G, Metronidazole dan Cefazoline yang merupakan antibiotik yang digunakan dalam infeksi tersebut.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Pola kuman dari hasil isolasi spesimen pus pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 menunjukkan persentase Pseudomonas aeruginosa (19,61%) diikuti Escherichia coli (17,65%), Klebsiella pneumoniae (13,73%), Staphylococcus aureus (13,73%), Proteus mirabilis (7,84%), Staphylococcus epidermidis (3,92%), Burkholderia cepacia (3,92%), Acinetobacter baumannii (3,92%), Providencia stuartii (3,92%), Staphylococcus hominis (1,96%), Staphylococcus haemolyticus (1,96%), Serratia marcescen (1,96%), Enterobacter cloacae (1,96%), Enterobacter asburiae (1,96%) dan Morganella morganii (1,96%) dari masing-masing jumlah kuman yang diujikan, sedangkan pola resistensi kuman dari hasil isolasi spesimen pus pada pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 menunjukkan Pseudomonas aeruginosa memiliki persentase resistensi terhadap Meropenem (30%), Gentamisin (20%), Ceftriakson (80%) dan Cefazoline (80%). Persentase resistensi pada Escherichia coli yaitu Meropenem (0%), Gentamsin (0), Ceftriakson (55,5%) dan Cefazoline (55,5%). Pada Klebsiella pneumoniae yaitu Meropenem (14,3%), Gentamisin (42,9%), Ceftriakson (57,1%) dan Cefazoline (57,1%), sedangkan Staphylococcus aureus memiliki persentase resistensi yang tinggi terhadap beberapa antibiotik, yaitu Penisilin G (100%), Cefadroksil (57,1%), Gentamisin (42,9%), Ceftriakson (57,1%) dan Ciprofloksasin (57,1%).
11
SARAN Perlu dilakukan pencegahan terjadinya infeksi pada bidang bedah orthopedi dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang tepat. Dilakukan pembaharuan pedoman penggunaan antibiotik minimal tiap tahun sesuai dengan hasil pola resistensi kuman. Meropenem dapat direkomendasikan untuk pasien infeksi pasca bedah orthopedi di RSUD Dr Moewardi.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dan Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah banyak membantu demi telaksananya penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Andersson, D.I. & Hughes, D., 2010, Antibiotic resistance and its cost: is it possible to reverse resistance?, Nature reviews. Microbiology, 8(4), pp.260–71. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed (diakses 28 April 2014). Benabdeslam, A., Berrady, M. A., Khermaz., M., Mahfoud, M., Berrada, M. S., & Elyaacoubi, M., 2014, Bacteriological Profile of Surgical Site Infecton In Orthopedic Surgery About 142 Cases, International Journal of Scientific & Technology Research, 3 (3), 271-277. Gellatly S. L. & Hancock R. E. W., 2013, Pseudomonas aeruginosa: new insights into pathogenesis and host defenses, Minireview, 67:159-173. Greene, L. R., Mills, R., Moss, R., Sposato, K., & Vignar, M., 2010, Guide to the Elimination of Orthopedic Surgical Site Infections, APIC. Guntur A., 2007, The Role of Cefepime: Empirical Treatment in Critical Illness, Jurnal Kedokteran dan Farmasi, Dexa Media, 20 (2). Guo S. & DiPietro L. A., 2010, Factors Affecting Wound Healing, J Dent Res, 89(3):219229. Hancock, R. E. W., & Speert, D. P., 2000, Antibiotic Resistance in Pseudomonas aeruginosa: Mechanisms and impact on Treatment, Drug Resistance update, 3:247255. Jawetz, Melnick & Adelberg’s, 2001, Mikrobiologi Kedokteran, Jakarta: Salemba Medika. Kangau, Z., & Odhiambo, E., 2009, Orthopedic and Trauma Nurses Views On Causes and Prevention of Surgical Site Infection SSI’s, School of Health and Social Studies, JAMK University of Applied Sciences. 12
Kaprisyah, R., 2014, Insidensi Infeksi Luka Operasi Akut Berdasarkan Gejala Klinik pada Pasien Fraktur Tertutup di RSU Dokter Soedarso Pontianak Tahun 2013, Naskah Publikasi, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura. Khosravi, A. D., Ahmadi, F., Salmanzadeh, S., Dashtbozorg, A., & Montazeri, E. A., 2009, Study of Bacteria Isolated from Orthopedic Implant Infections and Their Antimicrobial Susceptibility Pattern, Research Journal of Microbiology, 4 (4), pp: 158-163. Kocsis, B. & Szabo, D., 2013, Antibiotic Resistance Mechanisms in Enterobacteriaceae, Microbial pathogens and strategies for combating them: science, technology and education. Koksal, F., Yasar, H., & Samasti, M., 2009, Antibiotic Resistance Patterns of Coagulasenegative Staphylococcus strains Isolated From Blood Cultures of Septicemic patients in Turkey, Microbiological Research, 164:404-410. Levy, S.B. & Marshall, B., 2004, Antibacterial resistance worldwide: causes, challenges and responses, Nature medicine, 10 (12 Suppl), pp. S122–9. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed (diakses 28 April 2014). Maksimovic, J. Markovlc-Denic, L., Bumbaslrevic, M., Marlnkovic, & J. Vlajlnac, H., 2008, Surgical Site Infections in Orthopedic Parients : Prospective Cohort Study, Croat Med J, 49:58-65. Nichols, R. L., 2001, Surgical Site Infections: A surgeon’s Perspective, Emerging Infectious Disease, Volume 7 (2). Nurkusuma, D., D., 2009, Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian MethicillinResistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, Tesis, Universitas Diponegoro. Olsen, M. A., Nepple, J. J., Riew, K. D., Lenke, L. G., Bridwell, K. H., Mayfeld, J., & Fraser, V. J., 2008, Risk factors for surgical site infection following orthopaedic spinal operations, J Bone Joint Surg Am, 90:62-69. Purghel, F., Badea, R., Ciuvica, R., & Anastasiu, A., 2006, The Use of Antibiotics in Traumatology and Orthopaedic Surgery, Medica Journal of Clinical Medicine, No. 3. Rochanan, A., H, 2003, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi pada Patah Tulang Terbuka, Tesis, Universitas Diponegoro. Setiyawati, W. & Supratman, 2008, Faktor-faktor yang Berpengaruh Dengan Asuhan Keperawatan dalam Pencegahan Infeksi di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Berita Ilmu Keperawatan, 1(2):87-92. Shrestha, S., charya, A., epal, . P., Gautam, R., & Ansari, S., 2013, Lower Respiratory Tract Pathogens and Their Antimicrobial Susceptibility Pattern in a Medical Hospital of Center Nepal, pp:335-340. 13
The Center for Food Security & Public Health, 2010, Methicillin Resistant Staphylococcus aureus, College of Veterinary Medicine lowa State University. WHO, 2002, Prevention of hospital-aquired Infections, World Health Organization, second edition.
14