POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014
NASKAH PUBLIKASI
Oleh: FINA TRIANA DEWI K 100110132
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2015
2
POLA KUMAN DAN RESISTENSINYA TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PENDERITA INFEKSISALURAN NAFAS BAWAH DI RSUD DR. MOEWARDI TAHUN 2014 BACTERIAL PATTERNS AND ANTIBIOTIC RESISTANCE IN PATIENTS WITH LOWER RESPIRATORY TRACTINFECTIONS IN DR. MOEWARDIHOSPITAL PERIOD 2014 FinaTrianaDewi *, M. Kuswandi**, Ika TrisharyantiDian Kusumowati* *Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta ** Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK Infeksi Saluran Nafas Bawah(ISNB) adalah penyakit infeksi yang dapat menyerangbronkhus, bronkhiolusdanparu-paru.Antibiotik yang digunakan untuk terapi kuman patogen penyebab infeksi merupakan antibiotik empiris, sedangkan pola kuman dan resistensi terhadap antibiotik tiap tahun dan daerah berbeda.Tujuandaripenelitian iniuntuk menentukanpolakumandanresistensinya terhadap antibiotikpada penderitainfeksi saluran nafas bawahdi RSUDDr.Moewardi, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk standarpemilihan antibiotik yang tepat.Penelitian ini merupakan penelitiannon-eksperimental.Data primer diperoleh dari hasil uji sensitivitas dengan metode difusi cakram, yaitusepuluh isolatkumanyang diambil darispesimensputumpenderita ISNB periode Agustus 2014,didukung data sekunder uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik yang diperoleh dari 57 pasien penderita ISNB di Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi periode Januari-Maret 2014.Analisis data dilakukan dengan membandingkan hasil uji sensitivitas gabungan dari data primer serta data sekunder dengan total isolat yang digunakan dan dikalikan seratus persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwaK.pneumoniae(40,3%) merupakan kumanpatogen yang paling banyakditemukan padainfeksisaluran nafas bawahdi rumah sakitDr.Moewardi dan kuman ini resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam (ampisilin (100%), piperasilin/tazobaktam (66,67%), ceftriaxon (54,17%), cefepim (54,17%) dan ceftazidim (48,15)), antibiotik golongan aminoglikosida (gentamisin (18,51%)) dan antibiotik golongan quinolon (ciprofloksasin (22,22%) dan levofloksasin (20,83%)), serta resisten 100% terhadap klindamisin dan metronidazol. Kata Kunci: sensitivitas kuman, resistensi, antibiotik, ISNB, RSUD Dr Moewardi
ABSTRACT Lower Respiratory Tract Infection (LRTI) is an infectious disease that attacks the bronchi, bronkhiolus and lung. The antibiotic therapy against bacterial pathogen which cause infection is mostly empiric, whereas the bacterial pattern and antibiotic sensitivity differ between region and from year to year. The aim of the research to determine the bacterial patterns and antibiotic resistance in patients with lower respiratory tract infections in Dr. Moewardi hospital, so the result can be standardize for the right antibiotic selection.This is a non-experimental research. Primary data were obtained from the results of the sensitivity test by disc diffusion method with ten isolates were taken from sputum specimens with LRTI in period August 2014 and supported by secondary data sensitivity test bacteria to antibiotics obtained from 57 patients with LRTIin the Clinical Microbiology Laboratory Dr. Moewardi hospital period January to March 2014. Data were analyzed by comparing the results of the combined sensitivity of primary data and secondary data with total isolates used and multiplied by one hundred percent.The results showed that K.pneumoniae(40,30%) was the most commonly pathogen bacteria causeing lower respiratory tract infections in Dr Moewardi hospital and this bacteria was resistance tobeta laktamantibiotic group (ampiclilin (100%), piperacillin/tazobactam (66,67%), ceftriaxon (54,17%), cefepim (54,17%) and ceftazidim (48,15)), aminoglikosida antibioticgroup (gentamisin (18,51%)) and quinolonantibioticgroup (ciprofloxacin (22,22%) dan levofloxacin (20,83%)), also resistence 100% toclindamicin and metronidazol. Keywords: bacterial patterns, antibiotic,resistance, LRTI,Moewardi Hospital
1
PENDAHULUAN Salah satu penyebab tingginya angka kematian di Indonesia maupun di dunia adalah penyakit infeksi (Priyanto, 2009).Infeksi saluran pernafasan merupakan salah satu penyakit infeksi yang banyak terjadi di dunia (Purti dan Kiran, 2014). Sebanyak 34,6% dari total 3.941.000 kematian yang terjadi di Asia Tenggara disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan (Khan et al., 2014).Infeksi Saluran Nafas Bawah (ISNB) non tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang bronkhus, bronkhiolus, dan paru (Kumala et al., 2010). Infeksi ini merupakan salah satu penyebab utama tingginya morbiditas dan mortalitas (Ramana, 2014).Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah yang paling banyak ditemukan yaitu Klebsiella pneumoniae (Kumala et al., 2010). Lebih dari 50 tahun terakhir, antibiotik dipercaya dapat mengobati penyakit infeksi dengan membunuh kuman penyebab infeksi yang bekerja secara selektif.Namun, ada kasus yang menyatakan bahwa antibiotik tidak dapat lagi mengobati kuman patogen penyebab infeksi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kuman tersebut telah resisten atau kebal terhadap suatu antibiotik tertentu, sehingga efek terapeutik yang diinginkan tidak akan tercapai (Kuswandi, 2011). Mikroorganisme dari waktu ke waktu terus memperbarui diri, maka diperlukan diagnosis klinis serta evaluasi laboratorium ISNB secara berkala dengan memperhatikan prevalensi terjadinya multi drug resisten dan penyebab terjadinya kasus nosokomial ISNB.Faktor yang mempengaruhi kerentanan antimikroba terhadap mikroorganisme berkaitan dengan daerah geografis, sehingga evaluasi secara berkala dapat digunakan untuk pedoman terapi ISNB yang lebih tepat (WHO, 2014).Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian dalam rangka mengatasi, mencegah, dan menekan angka resistensi dengan mengetahui pola kuman dan reisistensinya terhadap antibiotik dari spesimen sputum pada penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi. METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ose bulat, alat-alat gelas (Pyrex), inkubator (Memmert), autoklaf (My Life, Hirayama), mikropipet (Socorex), oven (Memmert), LAF (Laminar Air Flow), inkubator shaker (New Brunswick Scientific). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepuluh isolat kuman dari spesimen sputum penderita infeksi saluran nafas bawah yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi (3 isolat Klebsiella pneumoniae, 3 isolat Acinetobacter spp, 2 isolat Enterobacter cloacae, 1 isolat Pseudomonas aeruginosa, 1 2
isolat Escherichia coli). Media NA (Nutrient Agar) miring, larutan salin (NaCl 0,9%), media MH (Mueller Hinton), media BHI (Brain Heart Infusion), standard 0,5 Mac Farland, disk
antibiotik
(piperasillin/tazobaktam,
gentamisin,
ciprofloksasin,
imipenem,
klindamisin, metronidazol, ceftazidim, ampisillin) produk Oxoid. Skema Jalannya Penelitian Adapun skema jalannya penelitian dalam penelitian ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Data Penelitian
Data Primer
Data Sekunder diperoleh dari
Spesimen sputum dari 10 pasien rawat inap penderita ISNB periode Agustus 2014
Hasil uji sensitivitas isolat dari spesimen sputum penderita ISNB terhadap antibiotik periode Januari-Maret 2014 dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi
Isolasi dan identifikasi kumanyang dominan
Penanaman kuman di media NA dan kultur kuman di media MH
Uji Sensitivitas Gabungan data primer dan data sekunder
Analisis Data
Gambar 1. Skema Jalannya Penelitian
Pengambilan Spesimen Sputum Pengambilan spesimen sputum dari 10 pasien rawat inap yang menderita infeksi saluran nafas bawah dilakukan oleh perawat.Sputum diambil ± 1mL dan disimpan dalam wadah steril yang selanjutnya dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Klinik.Sepuluh spesimen sputum diperoleh periode Agustus 2014. Isolasi dan Identifikasi Spesimen Sputum Sepuluh spesimen sputum diisolasi pada media agar darah dan mac conkey, sehingga diperoleh satu jenis isolat kuman yang paling dominan dari satu pasien. Isolat yang dominan diambil untuk dilakukan proses identifikasi. Identifikasi isolat meliputi 3
pengecatan Gram dan uji biokimia.Uji biokimia dilakukan dengan menggunakan alat vitek. Isolasi dan kedua proses identifikasi ini dilakukan oleh seorang analis kesehatan. Penanaman dan Kultur Kuman Isolat kuman yang didapatkan kemudian ditanam pada media padat (NA miring).Sebelum dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik, isolat kuman pada media NA miring dikultur pada media MH dengan metode streak plate.Hal ini dilakukan untuk meminimalkan terjadinya kontaminasi. Hasil kultur kuman diperoleh koloni tunggal yang siap digunakan untuk uji sensitivitas terhadap antibiotik. Uji Sensitivitas Uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik dilakukan dengan metode disc diffusion.Beberapa koloni tunggal diambil kemudian disuspensikan dan dihomogenkan selama 2 jam dalam media BHI. Suspensi kuman tersebut diambil 100µL kemudian disamakan kekeruhannya dengan standar 0,5 Mc Farland dengan menggunakan larutan NaCl 0,9%. Suspensi kuman yang telah disamakan kekeruhannya dengan standar 0,5 Mc Farland diambil 200 µL kemudian diratakan pada cawan petri yang berisi media MH. Setelah kering, disk antibiotik ditempelkan diatasnya kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam.Pengukuran diameter zona hambat kemudian dibandingkan dengan standar CLSI (Clinical and Laboratory Standards Institute). Laporan Hasil Uji Sensitivitas dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi Data sekunder diperoleh dari laporan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Moewardi.Data yang diambil merupakan data pasien rawat inap yang menderita infeksi saluran nafas bawah dan memiliki hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik. Data yang diperoleh meliputi usia dan jenis kelamin pasien, jenis kuman dominan (selektif) dan hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik dengan interpretasi resisten (R) dan sensitif (S). Analisis Data Analisis data dilakukan dengan membandingkan diameter zona hambat hasil uji sensitivitas data primer dengan standar masing-masing antibiotik yang telah ditetapkan oleh CLSI.Interpretasi data yang diperoleh meliputi sensitif (S) dan resisten (R) terhadap diameter zona hambat.Persentase hasil didapatkan dengan membandingkan hasil uji sensitivitas dengan total isolat yang didapatkan dan dikalikan seratus persen (rumus 1 dan 2). Persentase Resisten = Persentase Sensitif=
x 100% .............. (1) x 100% ................ (2) 4
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat Hasil Pemeriksaan Sputum Distribusi pemeriksaan sputum menurut usia dan jenis kelamin Kasus infeksi saluran nafas bawah lebih banyak terjadi pada laki-laki (61,40%) dibandingkan dengan perempuan (39,29%). Sama halnya dengan penelitian Kumala (2010) yang juga menyebutkan bahwa laki-laki (65%) lebih dominan mengalami infeksi saluran nafas bawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yaitu penurunan imunitas lokal pernafasan pada laki-laki sebagai akibat dari kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol, mengalami penyakit paru obstruksi kronik dan sering terpapar udara luar (Olugbue dan Onuoha, 2011). Tabel.1 Distribusi pemeriksaan sputum pada pasien rawat inap infeksi saluran nafas bawah menurut usia dan jenis kelamin di RSUD Dr. Moewardi (data sekunder) Jenis Kelamin Usia Persentase Laki-laki Perempuan Jumlah (tahun) (%) n (%) N (%) 21-40 7 20,00 3 13,64 10 17,54 41-60 20 57,14 11 50,00 31 54,39 >60 8 22,86 8 36,36 16 28,07 Jumlah 35 61,40 22 39,29 57 100
Data demografis pada tabel 1 ditemukan bahwa pasien dengan usia 41-60 tahun (54,39%) paling banyak mengalami infeksi saluran nafas bawah. Hasil yang sama juga disebutkan dalam penelitian Purti dan Kiran (2014) serta Olugbue dan Onuoha (2011). Panda et al (2012) melaporkan bahwa peningkatan prevalensi pada usia 50 tahun keatas diakibatkan dari perubahan fisiologi dan morbiditas. Malnutrisi dari penurunan sistem imun atau penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, uremia dan emphysema juga merupakan faktor penyebabnya (Ologbue dan Onuoha, 2011). Distribusi kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah Tabel 2 menunjukkan bahwa kuman Gram negatif sangat mendominasi dibandingkan dengan kuman Gram positif (21:1).Sama halnya penelitian di Jakarta menyebutkan
bahwa
kuman
Gram
negatif
lebih
mendominasi(Kumala
et
al,
2010).Penelitian di India dan Nepal juga melaporkan bahwa kuman penyebab infeksi saluran nafas bawah lebih banyak disebabkan oleh kuman Gram negatif (Purti dan Kiran, 2014; Shrestha et al, 2013).Sementara hasil yang berbeda dalam penelitian Ologbue dan Onuoha (2011) melaporkan bahwa di Nigeria kuman Gram positif lebih banyak ditemukan dalam kasus infeksi saluran nafas bawah.Perbedaan distribusi jenis kuman ini dapat disebabkan oleh perbedaan umur, musim, tipe populasi yang dilibatkan dan faktor-faktor lainnya (Ologbue dan Onuoha, 2011).
5
Tabel.2 Distribusi kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr Moewardi Kuman Primer Sekunder Jumlah Persentase (%) Gram Negatif Klebsiella pneumoniae * 3 24 27 40,300 Acinetobacter spp * 3 15 18 26,866 Pseudomonas aeruginosa * 1 5 6 8,955 Enterobacter cloacae* 2 4 6 8,955 Escherichia coli * 1 2 3 4,478 Citrobacter freundii 3 3 4,478 Serratia marcescens 1 1 1,492 Gram Positif Staphylococcus haemoliticus 1 1 1,492 Stenotrophomonas maltophilia 1 1 1,492 Staphylococcus epidermidis 1 1 1,492 Jumlah 10 57 67 100 Keterangan : * Data pasien (umur dan jenis kelamin) dirahasiakan untuk 3 isolat Klebsiella pneumoniae, 3 isolat Acinetobacter spp, 2 isolat Enterobacter coacae, 1 isolat Pseudomonas aeruginosa dan 1 isolat Escherichia coli yang merupakan isolat kuman untuk mendapatkan data primer.
Berdasarkan data yang telah didapatkan (Tabel 2), kuman patogen yang paling banyak ditemukan adalah Klebsiella pneumoniae(40,300%),diikuti Acinetobacter spp (26,866%), Pseudomonas aeruginosa (8,955%), Enterobacter cloacae (8,955%), Escherichia coli (4,478%), Citrobacter freundii (4,478%) dan Serratia marcescens (1,492%). Penelitian Kumala et al (2010) di Jakarta menyebutkan bahwa Klebsiella pneumoniae dengan persentase sebesar 37,5%. Hal yang sama juga didapatkan dalam penelitian di India oleh Purti dan Kiran (2014) dengan persentase sebesar 42,03%. Sebaliknya Shrestha et al (2013) melaporkan bahwa kuman yang paling banyak ditemukan pada infeksi saluran nafas bawah di Nepal yaitu Pseudomonasspp (34%).Perbedaan kondisi lingkungan dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat mempengaruhi perbedaan distribusi kuman patogen pada daerah dan waktu yang berbeda. Pola Resistensi Kuman Terhadap Antibiotik Pola Resistensi Kuman dari Isolat Uji Sepuluh isolat kuman yang didapatkan dilakukan uji sensitivitas terhadap beberapa antibiotik.Antibiotik
yang
digunakan
yaitu
piperasillin/tazobaktam,imipenem,
metronidazol,ciprofloksasin, klindamisin, ceftazidim, ampisillin dan gentamisin.Pemilihan antibiotik ini didasarkan pada pedoman penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi untuk menangani infeksi saluran nafas bawah, antibiotik yang diresepkan dan antibiotik yang diujikan di laboratorium.
6
(A) Acinetobacter baumani
(C) Pseudomonas aeruginosa
(B) Enterobacter cloacae
(D) Escherichia coli
(E) Klebsiella pneumoniae Gambar 2. Hasil uji sensitivitas isolat kuman patogen penyebab ISNB terhadap antibiotik 1. Ampisilin, 2. Gentamisin, 3.Piperasilin/Tazobaktam, 4.Ceftazidim, 5.Metronidazol, 6. Ciprofloksasin, 7. Imipenem, 8. Klindamisin.
Gambar 2 menunjukkan hasil uji sensitivitas kuman patogen penyebab infeksi saluran
nafas
bawah
terhadap
antibiotik
dengan
menggunakan
metode
disk
diffusion.Diameter zona hambat yang bersifat radikal ditunjukkan pada Gambar 1 (E.7), sedangkan diameter zona hambat yang bersifat irradaikal ditunjukkan pada Gambar 1 (E.6 dan E.8).Hasil interpretasi uji sensitivitas oleh kuman-kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah dapat dilihat pada Tabel 3.
Kode Uji 478 S 483 S 485 S 482 S 489 S 536 S 479 S 523 S 535 S 480 S
Tabel 3. Hasil uji sensitivitas 10 isolat kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi Hasil Uji Sensitivitas Kuman IPM1 MTZ1 CIP2 DA1 CAZ2 AMP3 CN2 TZP1 K. pneumonia S R S R R R S R S R S R S R S S S R S R S R S S Acinetobacter R R R R R R R R baumani S R R R R R S S S R R R R R S R Enterobacter R R S R R R R R cloacae R R R R R R R R E. coli S R S R R R R R P. aeruginosa S R S R S R S S
Keterangan : R: Resisten; S: Sensitif; IPM: Imipenem; MTZ: Metronidazol; CIP: Ciprofloksasin; DA: Klindamisin; CAZ: Ceftazidim; AMP: Ampisilin; CN: Gentamisin; TZP: Piperasilin/Tazobaktam; 1. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit; 2. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit dan antibiotik yang diresepkan; 3. Antibiotik yang di uji di laboratorium
Berdasarkan data yang diperoleh (Tabel 3), Klebsiella pneumoniae menunjukkan hasil sensitifterhadap piperasillin/tazobaktam,imipenem, ciprofloksasin, gentamisindan 7
ceftazidim.Akan tetapi, Klebsiella pneumoniae (478S) telah resisten dengan ceftazidim dan piperasillin/tazobaktam.Hal berbeda ditunjukkan oleh kuman Acinetobacter baumani yang telah resisten terhadap ceftazidim.Akan tetapi, menunjukkan hasil yang sensitif terhadap imipenem dan gentamisin kecuali isolat 482S menunjukkan resisten terhadap imipenem dan gentamisin. Data menunjukkan bahwa Enterobacter cloacae telah resisten terhadap beberapa antibotik
yang
diujikan
kecuali
isolat
479S
yang
masih
sensitif
terhadap
ciprofloksasin.Isolat 535S (E. coli) menunjukkan hasil sensitif terhadap ciprofloksasin dan imipenem, sedangkan isolat 480S (P. aeruginosa) sensitif terhadap imipenem, ciprofloksasin, ceftazidim, piperasillin/tazobaktam dan gentamisin.Sementara itu, hasil penelitian ini menemukan bahwa seluruh isolat kuman yang diujikan menunjukkan hasil yang resisten terhadap ampisillin, metronidazol dan klindamisin. Menurut pedoman penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi, ampisillin, metronidazol dan klindamisin termasuk antibiotik lini pertama yang digunakan bebas oleh dokter umum dan residen.Sementara itu, antibiotik yang termasuk dalam lini pertama banyak digunakan untuk menangani infeksi pada pasien rawat jalan, baik infeksi komunitas maupun infeksi nosokomial.Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini bahwa kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah telah mengalami resistensi yang cukup tinggi terhadap ketiga antibiotik tersebut. Akan tetapi, perlu ditekankan bahwa penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi tidak hanya ditentukan dari hasil kultur kuman saja, namun juga berdasarkan penilaian klinik yang dialami pasien. Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan, kuman aerob Gram negatif penyebab infeksi saluran nafas bawah telah resisten terhadap metronidazol dan klindamisin.Hal ini mendukung pernyataan Lofmark et al (2010) yang melaporkan bahwa metronidazol tidak efektif lagi apabila digunakan pada penderita infeksi dengan kuman patogen aerob. Sementara itu, penelitian Schaumann et al (2012) di Jerman dan Yim et al (2012) di Korea Selatan menyebutkan bahwa metronidazol lebih efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh kuman patogen anaerob dibandingkan klindamisin. Pola Resistensi Kuman Terhadap Antibiotik Golongan Beta Laktam Antibiotik golongan beta laktam paling banyak digunakan untuk terapi infeksi saluran nafas bawah.Akan tetapi, akibat penggunaannya yang sangat luas dan tidak tepat menyebabkan banyaknya kuman patogen mulai resisten dengan antibiotik golongan ini.Adapun persentase resistensi kuman terhadap antibiotik golongan beta laktam dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.
8
Tabel 4. Persentase hasil uji sensitivitas kuman terhadap antibiotik golongan beta laktam Persentase resistensi (%) Hasil Kuman Uji AMP4 SAM1 TZP1 CMZ3 CAZ3 CRO3 FEP4 MEM2 IPM1 Klebsiella Pneumoniae
S 0 33,33 66,67 100 51,85 45,83 45,83 100 100 R 100 66,67 33,33 0 48,15 54,17 54,17 0 0 Acinetobacter S 22,22 93,33 64,70 20 61,11 33,33 80 100 66,67 spp R 77,78 6,67 35,30 80 38,89 66,67 20 0 33,33 P. S 0 0 100 0 66,67 0 80 80 100 aeruginosa R 100 100 0 100 33,33 100 20 20 0 E. cloacae S 0 0 66,67 0 66,67 100 100 100 0 R 100 100 33,33 100 33,33 0 0 0 100 E. coli S 0 0 0 100 0 0 0 100 100 R 100 100 100 0 100 100 100 0 0 C. freundii S 25 25 100 25 33,33 33,33 33,33 100 R 75 75 0 75 66,67 66,67 66,67 0 Serratia S 0 0 100 100 0 0 0 100 Marcescens R 100 100 0 0 100 100 100 0 Ketrangan: S: Sensitif; R: Resisten; - : Tidak diujikan pada isolat tersebut; AMP: Ampisilin; SAM: Ampisilin/Sulbaktam; TZP: Piperasilin/Tazobaktam; CMZ: Cefmetazol; CAZ: Ceftazidim; CRO: Ceftriaxon; FEP: Cefepim; MEM: Meropenem; IPM: Imipenem; 1. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit; 2. Antibiotik yang diresepkan; 3. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit dan antibiotik yang diresepkan; 4.Antibiotik yang di uji di laboratorium
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa kuman-kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah sebagian besar telah resisten terhadap beberapa antibiotik golongan beta laktam.Escherichia coli resisten terhadap sebagian besar antibiotik golongan beta laktam hingga mencapai 100%. Antibiotik tersebut antara lain ampisilin, cefazolin, ceftazidim, ceftriaxon dan cefepim. Sensitivitas yang tinggi ditunjukkan oleh kuman ini terhadap cefmetazol dan golongan karbapenem.Hasil sensitivitas yang tinggi juga ditunjukkan oleh Enterobacter cloacae terhadap meropenem, ceftriaxon dan cefepim. K.pneumoniae dalam penelitian ini telah resisten terhadap ampisilin (100%).Kuman ini juga telah menunjukkan resistensinya terhadap antibiotik golongan sefalosporin dari berbagai generasi, diantaranya ceftazidim (48,15%), ceftriaxon (54,17%) dan cefepim (54,17%). Akan tetapi, kuman ini menunjukkan sensitivitas yang tinggi terhadap golongan sefalosporin generasi kedua khususnya cefmetazol (100%).Selain cefmetazol, kuman ini masih sensitif terhadap golongan karbapenem.Penelitian Shrestha et al (2013) di Nepal melaporkan bahwa K. pneumoniae juga telah mengalami resistensi terhadap golongan sefalosporin generasi ketiga.Penelitian tersebut menyebutkan bahwa K. pneumoniae resisten terhadap ceftazidim (86%) dan ceftriaxon (60%), sehingga dapat diketahui bahwa angka resistensi kuman tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian ini.
9
Persentase Resistensi (%)
AMP4
SAM1
TZP1
CMZ3
CAZ3 CRO3
FEP4
MEM2
IPM1
Antibiotik
Gambar 3. Persentase resistensi kuman yang paling banyak diisolasi terhadap antibiotik golongan beta laktam AMP: Ampisilin; SAM: Ampisilin/Sulbaktam; TZP: Piperasilin/Tazobaktam; CMZ: Cefmetazol; CAZ: Ceftazidim; CRO: Ceftriaxon; FEP: Cefepim; MEM: Meropenem; IPM: Imipenem;1. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit; 2. Antibiotik yang diresepkan; 3. Antibiotik rekomendasi pedoman rumah sakit dan antibiotik yang diresepkan; 4.Antibiotik yang di uji di laboratorium
Penggunaan antibiotik golongan beta laktam di RSUD Dr. Moewardi untuk mengobati infeksi saluran nafas bawah yang paling banyak digunakan yaitu golongan sefalosporin generasi kedua atau ketiga.Gambar 3 menunjukkan bahwa beberapa kuman seperti Acinetobacter spp, P. aeruginosa dan Enterobacter cloacae mempunyai angka resistensi yang tinggi terhadap sefalosporin generasi kedua. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa beberapa kuman telah mengalami resistensi yang tinggi terhadap sefalosporin generasi ketiga, seperti Acinetobacter spp resisten terhadap ceftriaxon (66,67%) dan ceftazidim (38,89%), P.aeruginosa resisten terhadap ceftriaxon (100%) dan ceftazidim (33,33%), serta Enterobacter cloacae resistenterhadap ceftazidim (100%). Hal ini mendukung penelitian Shrestha et al (2013) di Nepal yang melaporkan bahwa resistensi kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah terhadap sefalosporin generasi ketiga juga mempunyai persentase yang tinggi. Penelitian Shrestha et al (2013) menyebutkan bahwa Acinetobacter spp telah resisten terhadap ceftriaxon (60%) dan ceftazidim (86%).Hal ini menjelaskan bahwa angka resistensi kuman tersebut di Nepal lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian ini. Pada penelitian yang sama juga dilaporkan bahwa P.aeruginosa mengalami resistensi terhadap ceftazidim (40%). Menurut Depkes RI (2005), sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai aktivitas kuat terhadap P. aeruginosa seperti sefalosporin generasi keempat adalah ceftazidim, sedangkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pseudomonas aeruginosa mulai resisten terhadap ceftazidim (14,29%). Berdasarkan pedoman antibiotik di RSUD Dr Moewardi, imipenem merupakan golongan karbapenem digunakan sebagai antibiotik alternatif untuk menangani infeksi 10
kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah.Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa potensi imipenem sudah mulai berkurang. Hal ini ditunjukkan pada Acinetobacter spp dan Enterobacter cloacae yang telah mengalami resistensi terhadap imipenem masing-masing sebesar 33,33% dan 100%. Meskipun demikian, kuman-kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah ini masih mempunyai angka sensitivitas yang tinggi terhadap golongan karbapenem yang lain yaitu meropenem. PolaResistensi Kuman Terhadap Antibiotik Golongan Aminoglikosida Bedasarkan data yang diperoleh, kuman-kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah mulai resisten terhadap antibiotik golongan aminoglikosida.Resistensi ini terjadi akibat sel-sel kuman dapat memproduksi enzim yang dapat memodifikasi antibiotik golongan aminoglikosida, sehingga mekanisme kerja dari golongan antibiotik ini
Persentase Resistensi (%)
terganggu (Pratiwi, 2008).
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gentamisin* Amikasin*
66.67
33.33 18.51
33.33
20
16.66 0
33.33
0
0
0
0
0
0
Kuman Patogen
Gambar 4. Persentase resistensi kuman terhadap antibiotik golongan aminoglikosida * antibiotik rekomendasi pada pedoman rumah sakit dan antibiotik yang diresepkan
Gambar 4 menerangkan bahwa potensi gentamisin sebagai antibiotik mulai berkurang.Escherichia coli mempunyai persentase resistensi tertinggi terhadap gentamisin (66,67%), sedangkan Pseudomonas aeruginosa mempunyai persentase resistensi terendah terhadap gentamisin (33,33%). Meskipun demikian, kuman-kuman patogen tersebut masih dapat dikatakan sensitif dengan amikasin.Hal ini dapat dilihat dari kuman-kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah terhadap amikasin yang mempunyai angka resistensi 0% kecuali Pseudomonas aeruginosa yang sudah mulai resisten terhadap amikasin dengan persentase sebesar 20%.Berbeda dengan penelitian di Pakistan oleh Fatima et al (2012) yang melaporkan bahwa Pseudomonas aeruginosa telah resisten terhadap amikasin (35%). Golongan aminoglikosida merupakan salah satu antibiotik yang direkomendasikan RSUD Dr. Moewardi untuk menangani infeksi saluran nafas bawah yang disebabkan oleh K. pneumoniae. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa K. pneumoniae mempunyai 11
tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida yaitu amikasin (100%) dan gentamisin (81,49%). Hasil yang berbeda dilaporkan dalam penelitian Kumala et al (2010) di Jakarta bahwa K. pneumoniae mempunyai persentase sensitivitas terhadap amikasin (88,9%) dan gentamisin (69%). Sementara itu, persentase resistensi Acinetobacter spp terhadap gentamisin (16,67%) dan amikasin (0%). Berbeda dengan penelitian Ning et al (2010) di China yang melaporkan bahwa resistensi Acinetobacter baumani terhadap gentamisin (53,85%) dan amikasin (20,51%). Berdasarkan data tersebut maka antibiotik golongan aminoglikosida di RSUD Dr. Moewardi mempunyai potensi lebih tinggi jika dibandingkan dengan potensi antibiotik golongan aminoglikosida di Jakarta dan China.Tingginya potensi dari antibiotik tersebut, maka antibiotik golongan ini dapat dikatakan masih efektif untuk terapi penyakit infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi. Pola Resistensi Kuman Terhadap Antibiotik Golongan Quinolon Antibiotik golongan quinolon bekerja dengan menghambat sintesis asam nukleat
Persentase Resistensi (%)
pada penghambatan transkripsi dan replikasi bakteri (Pratiwi, 2008). 120 100
100 66.67
60 40 20
Levofloksasin**
80
80
66.67
44.44 22.22 20.83
Ciprofloksasin*
33.33 33.33
26.67 16.67 0
0
0
0
Kuman Patogen Gambar 5. Persentase resistensi kuman terhadap antibiotik golongan quinolon * antibiotik rekomendasi pada pedoman rumah sakit; ** antibiotik yang diresepkan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa mempunyai persentase resistensi terhadap golongan quinolon yang paling tinggi. Resistensi Escherichia coli terhadap ciprofloksasin sebesar 66,67% dan terhadap levofloksasin mencapai 100%. Sementara itu, menurut pedoman RSUD Dr. Moewardi ciprofloksasin merupakan rekomendasi antibiotik untuk infeksi saluran nafas bawah yang disebabkan oleh P.aeruginosa.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa resistensi Pseudomonas aeruginosa terhadap ciprofloksasin dan levofloksasin masing-masing sebesar 80% dan 66,67%. Hasil tersebut mendukung penelitian Ahmed et al (2013) di India yang melaporkan bahwa kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah telah mengalami resistensi 12
terhadap antibiotik golongan quinolon. Hasil penelitian Ahmed et al (2013) menunjukkan bahwa resistensi P.aeruginosa, K.pneumoniae, Acinetobacter baumani dan E.coli terhadap levofloksasin masing-masing sebesar 31,4%, 52,3%, 49,2%, 68%. Hal ini mendiskripsikan bahwa resistensi E.coli terhadap levofloksasin di India juga mempunyai angka resistensi yang paling tinggi terhadap antibiotik golongan ini.Namun, hasil resistensi penelitian Ahmed et al (2013) lebih rendah dibandingkan dengan penelitian ini. Menurut pedoman penggunaan antibiotik di RSUD Dr. Moewardi, dalam rangka mengurangi kemungkinan meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik dan mencegah terjadinya collateral damage yaitu ikut terbunuhnya flora normal saat terapi antibiotik dilakukan, maka antibiotik yang sering digunakan harus mengalami proses sikling. Proses sikling merupakan suatu program penghentian sementara penggunaan antibiotik yang sering digunakan selama 3-4 bulan. Selama proses tersebut, penggunaan antibiotik digantikan dengan antibiotik yang setara. PENUTUP Kesimpulan 1. Pola kuman pada penderita infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 adalah Klebsiella pneumoniae (40,300%) yang diikuti Acinetobacter spp (26,866%), Enterobacter cloacae (8,955%), Pseudomonas aeruginosa (8,955%), Escherichia coli (4,478%), Citrobacter freundii (4,478%) dan Serratia marcescens (1,492%) yang diperoleh dari 67 isolat. 2. Pola resistensi kuman patogen penyebab infeksi saluran nafas bawah di RSUD Dr. Moewardi tahun 2014 adalah Klebsiella pneumoniae yang resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam (ampisilin (100%), piperasilin/tazobaktam (66,67%), ceftriaxon (54,17%),
cefepim
(54,17%)
dan
ceftazidim
(48,15)),
antibiotik
golongan
aminoglikosida (gentamisin (18,51%)) dan antibiotik golongan quinolon (ciprofloksasin (22,22%) dan levofloksasin (20,83%)), serta resisten 100% terhadap klindamisin dan metronidazol. Acinetobacter spp resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam (ampisilin (77,78%), cefmetazol (80%) dan ceftriaxon (66,67%)), antibiotik golongan aminoglikosida (gentamisin (16,66)), antibiotik golongan quinolon (ciprofloksasin (44,44%) dan levofloksasin (26,67%)), serta resisten 100% terhadap klindamisin dan metronidazol. Saran 1. Perlu diadakannya strategi ataupun peraturan yang tegas serta pengawasan yang ketat terutama untuk tenaga kesehatan mengenai pembatasan penggunaan antibiotik dengan memperhatikan penyebab penyakit dan tingkat keparahan penyakit. 13
2. Perlu adanya kerjasama secara terbuka antara tenaga kesehatan dengan masyarakat awam dalam rangka menekan angka resistensi dengan diadakannya penyuluhan tentang penggunaan antibiotik secara tepat dan benar. 3. Pemantauan pola kuman dan resistensi terhadap antibiotik tetap dilakukan secara berkala, selain untuk menekan angka resistensi juga digunakan sebagai panduan pemberian antibiotik secara empiris pada penderita infeksi. 4. Terapi antibiotik untuk infeksi saluran nafas bawah sebaiknya menggunakan antibiotik yang masih poten seperti meropenem, amikasin dan gentamisin. 5. Penemuan antibiotik jenis baru dengan potensi yang lebih kuat sangat diharapkan untuk menangani kasus multi drug resistance dan infeksi nosokomial. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada RSUD Dr. Moewardi Surakarta khususnya Instalasi Laboratorium Mikrobiologi Klinik yang telah memberikan bahan penelitian dan Fakultas Farmasi yang telah membantu serta memberikan sarana dan prasarana selama penelitian ini berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Ahmed, S.M., Jakribettu, R.P., Meletath, S.K., Arya B. & Shakir VPA., 2013, Lower Respiratory Tract Infections (LTRIs): An Insight into the Prevalence and the Antibiogram of the Gram Negative, Respiratory, Bacteria Agents, Journal of Clinical and Diagnostic Research, 7(2), 253-256. Depkes RI., 2005., Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Fatima, A., Naqvi, S.B., Khaliq, S.A., Perveen, S. & Jabeen, S., 2012, Antimicrobial susceptibility pattern of clinical isolates of Pseudomonas aeruginosa isolated from patients of lower respiratory tract infections, A Springer Plus A Springer Open Journal, 1 (70), 1-4. Kemenkes RI., 2011., Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, 31-41, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta. Khan, S., Singh, P., Ansari, M. & Gurung, K., 2014, Bacteria Etiological Agents Causing Lower Respiratory Tract Infections in the Western Part of Nepal, Ibnosina Journal of Medicine and Biomedical Sciences, 6 (1), 3-8. Kumala, S., Pasanema, D. A. M. & Mardiasuti., 2010, Pola Resistensi Antibiotika Terhadap Isolat Bakteri Sputum Penderita Tersangka Infeksi Saluran Nafas Bawah, Jurnal Farmasi Indonesia, 5 (1), 24-32.
14
Kuswandi, M., 2011, Strategi Mengatasi Bakteri yang Resisten terhadap Antibiotika, 1012, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lofmark, S., Edlund, C. & Nord, C.E., 2010., Metronidazole Is Still the Drug of Choicefor Treatment of Anaerobic Infections, Clinical Infection Disease, 50, 16-23. Ning, D., De-zhi, L., Ji-chao, C., Yu-sheng, C., Rong, G., Ying-hui, H.U., et al., 2010, Drug-resistant genes carried by Acinetobacter baumanii isolated from patients with lower respiratory tract infection, Chinese Medical Journal, 123(18), 25712575 Olugbue, V & Onuoha, S., 2011, Prevalence and Antibiotic Sensitivity of Bacterial Agents Involved in LowerRespiratory Tract Infections, International Journal of Biological and Chemical Sciences, 5 (2), 774-781. Panda, S., Nandini B. P. & Ramani T.V., Lower Respiratory Tract InfectionBacteriological Profile and Antibiogram Pattern, IJCRR, 4 (21), 149-155. Pratiwi, S.T., 2008, Mikrobiologi Farmasi, 154-171, Jakarta, Erlangga. Priyanto, 2009, Farmakoterapi dan Terminologi Medis, 41-42, Leskonfi, Jawa Barat. Purti, T. & Kiran, D., 2014, Lower Respiratory Tract Infections: Current Etiological Trends and Antibiogram, Journal Pharmaceutical and Biomedical Sciences, 04(03), 249-255. Ramana, K., 2014, Management of Lower Respiratory Tract Infections (LRTI’s): Clinical Microbiologists Perspective, International Journal of Research in Medical Sciences, 2 (1), 10-12. Schaumann, R., Funke, M., Janssen, E., & Rodloff , A.C., 2012., In VitroActivities of Clindamycin, Imipenem, Metronidazole, and Piperacillin-Tazobactam against Susceptible and Resistant Isolates of Bacteroides fragilis Evaluated by Kill Kinetics, Antimicrobial Agents and ChemotherapyJournasls, 56 (6), 3413-3416. Shrestha, S., Acharya, A., Nepal, H.P., Gautam, R., Ansari, S., Upadhyay, G., et al., 2013, Lower Respiratory Tract Pathogens and Their Antimicrobial Susceptibility Pattern in a Medical Hospital of Central Nepal, International Journal of Biomedical And Advance Research, 5 (3), 335-340. WHO, 2014, Antimicrobial resistance: global report on surveillance, 69-70, World Health Organization. Yim, J., Lee, Y., Kim, M, Hee Seo, Y., Kim, W.H., Yong D., et al., 2015., Antimicrobial Susceptibility of Clinical Isolates of Bacteroides fragilis Group Organisms Recovered from 2009 to 2012 in a Korean Hospital, Original Article Clinical Mikrobiology Annals of Laboratory Medicine, 35(1), 94-98.
15