POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH PONDOK AREN
Oleh :
Mutmainnah 104051001796
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN DI PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH PONDOK AREN
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh :
Mutmainnah 104051001796
Di bawah Bimbingan
Drs. M. Luthfi, MA NIP: 150 268 782
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 02 April 2008
Mutmainnah
ABSTRAK MUTMAINNAH Pola Komunikasi Kyai dan Santri dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren Komunikasi sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia dalam bersosialisasi, manusia dituntut agar pandai dalam berkomunikasi, bahkan pada proses belajar mengajar. Karena Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan (guru) melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan (murid). Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah merupakan sebuah yayasan pendidikan Islam yang berbadan hukum yang bertujuan mencetak santri agar dapat membaca al-Qur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at yang berlaku. Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu kealQur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Desa Jurang Mangu Pondok Aren Tangerang. Sebagai yayasan pendidikan Islam yang bercirikan keal-Qur’anan, para santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama Islam atau pendidikan kepesantrenan, tetapi juga dianjurkan untuk bisa mengenal dan memahami al-Qur’an dengan baik dan benar, juga indah karena membaca alQur’an sama dengan berdialog langsung dengan Allah SWT. Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, santri lebih ditekankan pada keterampilan seni membaca al-Qur’an oleh kyai, yaitu bagaimana al-Qur’an dibaca dengan fasih, dipelajari dan dipahami baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu Qira’at. Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah menetapkan program-program pengajaran seni baca al-Qur’an untuk menerapkan kedisiplinan ilmu yang harus ditempuh oleh para santri. Program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah ini terbagi menjadi tiga jenjang/kategori, antara lain: tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat mahir. Materi dan metode yang digunakan oleh kyai adalah materi tentang isi dan makna kandungan ayat-ayat al-Qur’an dan ditambahkan lagu dan tangga nada yang sesuai dengan kaidah seni baca al-Qur’an, dan metode pengajarannya adalah dengan penugasan, tanya jawab, hafalan, membaca, menyimak, demonstrasi, dan motivasi. Dengan begitu, santri dapat menguasai dan memahami materi yang disampaikan, sehingga kemampuan santri dapat tersalurkan. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, sebagai seorang kyai di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam penyampaikan materi pelajaran seni baca alQur’an, menggunakan berbagai macam bentuk atau pola komunikasi, seperti komunikasi verbal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok kecil dan komunikasi instruksional, semua komunikasi yang digunakan oleh kyai dilakukan dengan tatap muka melalui lisan dan komunikasi seperti ini sangat efektif dalam pengajaran seni baca al-Qur’an.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur hanya milik Moral Realitas Tertinggi. Tuhan Maha Mutlak yang kepada-Nya bergantung segala sesuatu yaitu kepada Allah SWT dengan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap selalu tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umatnya dari zaman kedzaliman menuju zaman kebenaran Tuhan yang sesungguhnya. Alhamdulillah penulisan skripsi ini berjalan dengan baik dan lancar. Semua ini takkan tercapai tanpa adanya usaha, perjuangan, dorongan, dari semua pihak dan do’a serta tawakkal kepada Sang Pencipta. Maka pada kesempatan kali ini, penulis merasa sangat perlu untuk menghaturkan dan mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang terkait, yang telah membantu dan mendukung penulisan skripsi ini. Rasa terima kasih yang sangat penulis haturkan kepada : 1. Bpk. Dr. Murodi, M.A, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya. 2. Bpk. Drs. Wahidin Saputra, M.A, selaku Ketua Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya. 3. Ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, yang selalu memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Bpk. Drs. M. Luthfi, M.A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, selaku pimpinan pondok pesantren AlQur’aniyyah
yang telah
memberikan izin kepada
penulis untuk
mengadakan penelitian di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. 6. Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, selaku pengurus pondok pesantren AlQur’aniyyah
yang
telah
berkenan
meluangkan
waktunya
untuk
wawancara. Dan Ust. Abdul Latif, S.Ag, yang selalu siap membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Rahmatullah dan Sifa Nafiga, selaku santri pondok pesantren AlQur’aniyyah yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Para staff perpustakan utama dan perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memanfaatkan dan meminjam bukubuku yang berhubungan dengan skripsi ini. 9. Ayahanda dan Ibunda terhormat (Bpk. Asmad dan Ibu Jennah), yang telah mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh rasa kasih sayang yang tercurah baik dengan moril, maupun materil, sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi dan terasa ringan. 10. Kakanda tersayang Ust. Fadillah. S.Th.I, Maspuroh, Thoyyibah, Fauzi dan adik penulis Rizal Abdul Fahmi, yang selalu memberikan kasih sayang yang tak terhingga, motivasi, didikan, bimbingan, dan semangat untuk terus maju pantang mundur dalam penyusunan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat penulis seperjuangan, khususnya anak-anak KPI B angkatan 2004/2005 seperti: Siti Aminah, Ida Suryani, Yusriani Pulungan, Sukasih Nur, Al-Mukarromah, Siti Sarah, Choirunnisa, Listiani Wirafsya, Hikmatinnisa, Yayu Rulia Syarof, Haiza Roni, Mika Aprianti, Ika Puspita Sari, Restifa Anbiya Yuneni, dan lain-lain, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Seluruh teman-teman penulis yang ada di pondok pesantren Nurul Iman di antaranya: Muhammad Irvan, Suratno, Miftahul Huda, Siti Marwah, Rahmawati, dan lain-lain yang selalu mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya penulis hanya bisa mengucapkan jazakumullah khairan katsir semoga amal ibadah Bapak/Ibu sekalian dibalas oleh Allah SWT, Amiien ya Rabbal A’lamin.
Tangerang, 02 April 2008
Penulis
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………....i LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………….…..ii ABSTRAK……………………………………………………………...………..iii KATA PENGANTAR………………...…………………………………………vi DAFTAR ISI………………...…………………………………………………..vii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1 B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………………..6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………..7 D. Tinjauan Pustaka………………………………………………7 E. Metodologi Penelitian…………………………………………8 F. Sistematika Penulisan………………………………………...12
BAB II
TINJAUAN TEORITIS A. Pola Komunikasi……………………………………………..14 1. Pengertian Pola Komunikasi……………………………..14 2. Macam-macam Pola Komunikasi………………………..19 3. Penerapan Pola Komunikasi……………………………..22 B. Kyai dan Santri……………………………………………….24 1. Pengertian Kyai dan Santri……………………………….24 2. Komunikasi Kyai dan Santri……………………………..28 C. Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an…………………………….30 1. Pengertian Pengajaran……………………………………30
2. Pengertian Seni Baca Al-Qur’an…………………………32 3. Komunikasi Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an…………...33 BAB III
GAMBARAN
UMUM
PONDOK
PESANTREN
AL-
QUR’ANIYYAH A. Letak Geografis dan Sejarah Berdiri…………………………35 B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan………………………………………………...40 C. Santri dan Pengasuh………………………………………….45 D. Program Kerja………………………………………………..48 E. Sarana dan Prasarana…………………………………………48 BAB IV
ANALISIS POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN A. Kyai dan Santri……………………...………………………..51 B. Program Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an…………………..63 C. Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an………………………………………………67 D. Analisis Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an…………………………………………77 E. Hasil Yang Dicapai dari Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an….80
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………………..82 B. Saran………………………………………………………….83
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Berkomunikasi adalah kebutuhan manusia dalam mempertahankan kelangsungan hidup, hampir tidak mungkin seseorang dapat menjalani hidupnya tanpa berkomunikasi dengan orang lain. Artinya, manusia memang tidak bisa hidup tanpa komunikasi, karena komunikasi merupakan kebutuhan yang sangat penting, tanpa komunikasi manusia tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pembawa amanah dari Tuhan di muka bumi (kholifah). Dalam perspektif agama, bahwa komunikasi sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia dalam bersosialisasi, manusia dituntut agar pandai dalam berkomunikasi. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat ar-rahmaan ayat 1-4, yang berbunyi:
()
!
☺
'
"#$%&
. ,- Artinya: “(Tuhan) yang maha pemurah, yang telah mengajarkan alQur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara”. Perlu disadari bahwa peran komunikasi sangat diperlukan dalam kehidupan bersosialisasi, bahkan pada proses belajar mengajar. Karena proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan (guru) melalui saluran atau media tertentu
ke penerima pesan (murid). Pesan yang akan dikomunikasikan adalah bahan atau materi pelajaran yang ada dalam kurikulum. Sumber pesannya bisa guru, murid, dan lain sebagainya. Salurannya berupa media pendidikan, dan penerimanya adalah murid.1 Komunikasi dalam pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai pengalihan ilmu pengetahuan yang mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak dan keterampilan serta kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan.2 Fungsi komunikasi tidak hanya sebagai pertukaran informasi dan pesan, tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide. Agar komunikasi berlangsung efektif dan informasi yang disampaikan oleh seorang pendidik dapat diterima dan dipahami oleh peserta didik dengan baik, maka seorang pendidik perlu menerapkan pola komunikasi yang baik pula.3 Komunikasi dalam istilah pendidikan dikenal sebagai komunikasi instruksional, dan komunikasi ini merupakan salah satu aspek fungsi komunikasi untuk meningkatkan kualitas berfikir pada pelajar sebagai komunikan dalam situasi instruksional yang terkondisi. Misalnya guru disamping sanggup mengajar untuk memberikan instruksi kepada pelajar, juga memiliki metode dalam penyampaian pesan atau materi kepada pelajar. Komunikasi instruksional ini lebih mengarah kepada pendidikan dan pengajaran, bagaimana seorang pengajar memiliki kerja sama dengan muridnya, sehingga pesan atau materi yang 1
H.M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta, 2005), Cet. Ke-1, h.
11. 2 H. A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-3, h. 11. 3
Asnawir dan Basyiruddin Usman, Media Pembelajaran, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 7.
disampaikan dapat diterima dengan baik. Komunikasi instruksional merupakan salah satu bentuk atau pola komunikasi dalam dunia pendidikan dan pengajaran, dan dapat terjadi di mana saja. Misalnya di sekolah, universitas, bahkan di pondok pesantren. Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional, tempat untuk mempelajari, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam yang menerapkan pentingnya moral keagamaan.4 Di mana seorang kyai sebagai pemimpin pondok pesantren dituntut untuk memiliki keahlian dan kepercayaan dalam penyampaian pesan kepada santrinya, khususnya dalam proses belajar mengajar/pengajaran. Kyai dalam suatu pondok pesantren merupakan elemen yang paling esensial. Ia merupakan pendiri pondok pesantren, sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Di sebuah pesantren kyai atau ustadz merupakan salah satu pemicu minat santri untuk menuntut ilmu, sehingga santri dari berbagai daerah berdatangan untuk menuntut ilmu. Dalam hal pembelajaran, kyai atau ustadz mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian para santri baik dalam tata cara bergaul dan bermasyarakat dengan sesama santri lainnya. Untuk terciptanya hal tersebut, maka dibutuhkan sebuah sistem komunikasi yang baik dengan menggunakan metode-metode pengajaran didalamnya. Metode pengajaran dan materi pelajaran yang diajarkan seorang kyai kepada santri ditentukan oleh seberapa jauh kedalaman ilmu pengetahuan sang kyai dan yang dipraktekkan sehari-hari dalam kehidupan. Sedangkan tujuan dari
4
Mastuhu, Prinsip Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Inis, 1994), h. 55.
metode pengajaran di pondok pesantren lebih mengutamakan niat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, agar mereka disebut sebagai ahli ilmu semata. Sebuah pondok pesantren tidak terlepas dari konsep komunikasi yang efektif dalam kehidupan masyarakat. Telah disepakati bahwa fungsi komunikasi adalah menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi. Dalam komunikasi istilah pendidikan dan pengajaran adalah dua komponen yang saling melibatkan antara pengajar (kyai) sebagai komunikator dan pelajar (santri) sebagai komunikan. Dalam proses belajar mengajar, keakraban dan kedekatan antara seorang guru dengan murid sangat diharapkan, agar pesan yang disampaikan oleh seorang guru akan mudah diterima oleh murid dengan pemahaman mereka masing-masing. Pesan atau materi pelajaran yang disampaikan sangat beragam, dan tidak mudah untuk mendapatkan efek positif, semua itu butuh kesamaan dan pemahaman makna antara pengajar dan pelajar. Seperti halnya dalam pengajaran seni baca alQur’an. Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, santri lebih ditekankan pada keterampilan seni membaca al-Qur’an, yaitu bagaimana al-Qur’an dibaca secara fasih dengan suara yang indah dan merdu menggunakan lagu-lagu dalam alQur’an, seperti lagu bayyati, rost, hijaz dan lain sebagainya, kemudian al-Qur’an juga dipelajari dan dipahami dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid. Berdasarkan ajaran agama bahwa al-Qur’an dengan seni baca, penuh keindahan suara adalah dalam rangka ibadah dan dakwah. Karena lagu yang indah sesuai dengan kaidah-kaidah seni baca al-Qur’an dapat mengantarkan suatu
bacaan lebih meresap ke dalam hati sanubari pembacanya maupun pendengarnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-anfal ayat 2 sebagai berikut:
12345☺
☺/0 ?; 3=>< 5<0 7839:; 5<0C EF>>9 @%ABC .EH @%,0>G E M N I()(JK R0S0TU OPGC 2 ☺K0 >:=JK Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. Membaca al-Qur’an dengan seni baca adalah termasuk program agama yang kita cintai. Keindahan merupakan kebutuhan hidup dan kehidupan manusia, termasuk memperindah suara dalam membaca al-Qur’an. Kesenian adalah penjelmaan rasa keindahan untuk kesejahteraan hidup.5 Membaca al-Qur’an dengan seni baca sering diajarkan di dalam suatu lembaga pendidikan Islam, seperti pondok pesantren. Dan salah satu pondok pesantren yang mempunyai perhatian khusus dengan seni baca al-Qur’an adalah pondok pesantren AlQur’aniyyah. Pondok
pesantren
Al-Qur’aniyyah
merupakan
sebuah
yayasan
pendidikan Islam yang berbadan hukum yang bertujuan mencetak santri agar dapat membaca al-Qur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at yang berlaku.
5
KH. Muhsin Salim, Ilmu Nagham Al-Qur’an, (Jakarta: Kebayoran Widya Ripta, 2000), h. 3.
Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu kealQur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Desa Jurang Mangu Pondok Aren Tangerang. Sebagai yayasan pendidikan Islam yang bercirikan keal-Qur’anan, para santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah tidak hanya mendalami ilmu-ilmu agama Islam atau pendidikan kepesantrenan, tetapi juga dianjurkan untuk bisa mengenal dan memahami al-Qur’an dengan baik dan benar, juga indah karena membaca alQur’an sama dengan berdialog langsung dengan Allah SWT. Melihat peran yang sangat besar bagi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, dalam menyampaikan pesan atau materi dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, melalui pengenalan dan pemahaman al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid serta dapat melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dengan menggunakan berbagai macam bentuk komunikasi, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan-permasalahan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul, “Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren”. Dengan alasan bahwa di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mempunyai ciri khas, yaitu keal-Qur’anan, sehingga pondok pesantren tersebut berbeda dari pesantren-pesantren lainnya yang ada di Pondok Aren.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan kegiatan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, maka penulis membatasi penelitian skripsi ini hanya pada Pola Komunikasi
Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pada Tingkatan Mahir di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah Pondok Aren Tangerang. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah yang dibahas, maka penulis merumuskan masalah tersebut yaitu bagaimana pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: Untuk mengetahui pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Sebagaimana tujuan penelitian di atas, maka manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berarti bagi pembaca, tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga yang berkepentingan sebagai bahan pemikiran dan perbandingan, serta untuk menambah wawasan keilmuan dalam bidang dakwah dan komunikasi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi
praktisi
dakwah
tentang
strategi
yang
praktis
dalam
menstransformasikan nilai-nilai agama pada masyarakat Pondok Aren Tangerang melalui seni baca al-Qur’an, dan sebagai masukan bagi lembaga pendidikan seperti pondok pesantren.
D. Tinjauan Pustaka Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis dan ternyata secara khusus skripsi yang membahas pola komunikasi kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an belum ada, maka penulis akan membahas permasalahan ini ke dalam bentuk skripsi. Kemudian penulis menggunakan referensi dari Drs. Onong Uchjana Effendy, M.A, dengan judul buku: “Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek”, dalam buku tersebut terdapat bentuk-bentuk komunikasi, seperti komunikasi persona (intrapersona dan interpersonal), komunikasi kelompok (kelompok kecil dan kelompok besar), komunikasi massa, dan komunikasi medio. KH. Amin Haedar, dengan judul: “Masa Depan Pesantren; Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global”, di dalam buku tersebut membahas mengenai elemen-elemen pondok pesantren seperti kyai dan santri, pola komunikasi atau hubungan antara kyai dan santri di pondok pesantren, hubungan kyai dan santri dalam menyampaikan pesan atau materi. KH. Muhsin Salim, SQ dengan judul: “Ilmu Nagham Al-Qur’an; Belajar Membaca Al-Qur’an Dengan Lagu”, di dalam buku tersebut membahas kaidahkaidah seni baca al-Qur’an, seperti ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham), dan macam-macam lagu dengan tangga nada (maqom).
E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Riset Lapangan (field reseach), yaitu mencari dan mengumpulkan informasi tentang masalah yang dibahas dari lapangan (tempat melakukan penelitian tersebut). 2. Metode Penelitian Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan representatif dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode Deskriptif Analisis melalui pendekatan kualitatif. Di mana pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai faktor-faktor, sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Adapun secara deskriptif adalah bahwa data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif.6 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah terletak di Jalan Panti Asuhan. No. 06, Kp. Ceger, Rt. 003 Rw. 012 Kelurahan Jurang Mangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang Banten. Dalam mendapatkan hasil penelitian yang akurat, maka penulis membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan penelitian langsung ke lapangan (lokasi). Adapun lamanya penelitian ini, dari bulan Februari-Maret 2008. 4. Sumber Data 6
Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), Cet. Ke-23, h. 9-10.
Sumber data yaitu dari mana data diperoleh.7 Untuk memerlukan data, penulis memperolehnya dari pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yaitu KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Ust. Muhammad Halimi, S.Ag, dan Ust. Abdul Latif, S.Ag, sebagai pengasuh atau pengurus dan santri.
5. Populasi dan Sampel “Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian, sedangkan sampel adalah wakil populasi yang akan diteliti.”8 Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah santri yang mengikuti pengajaran seni baca alQur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah yang berjumlah 300 orang, dengan perincian sebagai berikut: tingkat dasar berjumlah 137 orang, tingkat menengah berjumlah 83 orang dan tingkat mahir berjumlah 80 orang. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah tingkatan mahir dan penulis pilih secara acak (random sampling) dengan sistem undi, yaitu menuliskan nama-nama seluruh responden dalam potonganpotongan kertas, kemudian dikocok seperti arisan, maka nama yang keluar tersebutlah yang kemudian penulis jadikan sebagai sampel yaitu berjumlah 10 orang. 6. Teknik Pengumpulan Data
7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), Cet. Ke-10, Edisi Revisi, h. 115. 8 Ibid,. h. 117.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Interview (wawancara) Yaitu percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu penulis sebagai pewawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada individu yang bersangkutan,9 yaitu KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, sebagai pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, Ust. Muhammad Halimi, S.Ag, dan Ust. Abdul Latif, S.Ag sebagai pengasuh atau pengurus dan santri. Untuk memperoleh informasi mengenai pola komunikasi antara kyai dan santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an pada tingkatan mahir yang digunakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. b. Observasi (pengamatan) Yaitu di mana penulis melakukan pengamatan secara langsung untuk
memperoleh
data
yang
diperlukan.10
Pengamatan
memungkinkan penulis membentuk pengetahuan yang diketahui bersama. Dalam hal ini, penulis mengamati secara langsung mengenai kegiatan belajar mengajar dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok
pesantren
Al-Qur’aniyyah
sehingga
penelitian
dapat
terfokuskan. c. Documentation (dokumentasi)
9
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186.
10
h. 162.
Winayno Suyakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsiti, 1986), Cet, Ke-7,
Yaitu teknik pengumpulan data melalui pengumpulan dokumendokumen untuk memperkuat informasi. Dokumentasi dapat dilakukan untuk mencari data mengenai permasalahan yang diteliti dari berbagai macam dokumen seperti arsip, brosur, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang penulis teliti. 7. Teknik Analisa Data Untuk mendapatkan data-data dan informasi yang sesuai dengan pokok permasalahan yang dirumuskan, peneliti menggunakan metode Deskriptif Analisis Kualitatif, yaitu peneliti menganalisis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan dari lapangan dan buku-buku dengan cara menggambarkan dan menjelaskan ke dalam bentuk kalimat yang disertai kutipan-kutipan data.11 Alasan penulis memilih teknik analisis data secara kualitatif adalah demi memudahkan proses penelitian. Data-data yang bisa diperoleh dari pelaksanaan penelitian adalah data tulisan dan lisan (data verbal) bukan data nominal atau yang menunjukkan angka-angka. 8. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan dalam penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press Tahun 2007”.
F. Sistematika Penulisan
11
Lexy. J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-18, h. 6.
Untuk memudahkan susunan skripsi ini, maka dibuatlah sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab dan bab-bab tersebut memiliki subbab, yaitu: Bab I
Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Tinjauan Teoritis yang terdiri dari Pola Komunikasi, Pengertian
Pola
Komunikasi,
Macam-macam
Pola
Komunikasi, Penerapan Pola Komunikasi, Kyai dan Santri, Pengertian Kyai dan Santri, Komunikasi Kyai dan Santri, Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pengertian Pengajaran, Pengertian
Seni
Baca
Al-Qur’an,
dan
Komunikasi
Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an. Bab III
Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah yang terdiri dari Letak Geografis dan Sejarah Berdiri, Struktur Organisasi, Santri dan Pengasuh, Program Kerja, Sarana dan Prasarana.
Bab IV
Analisis Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an yang terdiri dari Kyai dan Santri, Program Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an, dan Analisis Pola
Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an. Bab V
Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran. Bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan Lampiranlampiran.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pola Komunikasi 1. Pengertian Pola Komunikasi Pola komunikasi merupakan serangkaian dari dua kata, yaitu pola dan komunikasi. Dan dari keduanya mempunyai keterkaitan makna, sehingga makna tersebut saling mendukung satu sama lainnya. Untuk lebih jelasnya, dari dua kata tersebut akan diuraikan dengan penjelasan masing-masing. Kata “pola” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya bentuk atau sistem. Cara atau bentuk (struktur) yang tetap.12 Sedangkan kata “pola” dalam Kamus Ilmiah Populer artinya model, contoh atau pedoman (rancangan).13 Tapi dalam bahasan ini pola lebih tepat diartikan bentuk sebagaimana
keterkaitannya
dengan
kata
yang
digandengnya
yaitu
komunikasi.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 778. 13
Puis A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 605.
Sedangkan
kata
komunikasi
dalam
bahasa
Inggris
yaitu
communication, secara etimologi komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communicare yang berarti “partisipasi atau memberitahukan”.14 Menurut Onong Uchjana Effendi istilah “komunikasi” berasal dari perkataan Inggris yaitu communication yang bersumber dari bahasa Latin communicatio
yang berarti “pemberitahuan” atau “pertukaran pikiran”.
Makna hakiki dari communicatio ini ialah communis yang berarti “sama” atau “kesamaan arti”.15 Pendapat hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Astrid S. Susanto yaitu perkataan komunikasi berasal dari kata communicare yang di dalam bahasa Latin memiliki arti ‘berpartisipasi’ atau ‘memberitahukan’. Kata communis berarti ‘milik bersama’ atau ‘berlaku di mana-mana’.16 Sedangkan secara terminologi, para ahli mendefinisikan komunikasi. Menurut Onong Uchjana Effendi: “komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau merubah sikap, pendapat dan perilaku, baik secara langsung melalui lisan maupun secara tidak langsung melalui media.”17 Menurut Wilbur Schram dalam uraiannya seperti yang dikutip oleh T. A. Lathief Rosyidi mengatakan bahwa sebenarnya definisi komunikasi berasal dari bahasa Latin ‘communis’, bilamana kita mengadakan komunikasi, itu artinya kita mencoba untuk berbagi informasi, ide atau 14
Astrid. S. Susanto, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Bina Cipta, 1947),
15
Onong Uchjana Effendi, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992), Cet. Ke-
h. 67. 1, h. 4. 16
Astrid. S. Susanto, Komunikasi Dalam Teori dan Praktek 1, (Bandung: Bina Cipta, 1998), h. 1. 17
Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. Ke-4, h. 3-4.
sikap. Jadi, esensi dari komunikasi itu adalah menjadikan si pengirim dapat berhubungan bersama dengan si penerima guna menyampaikan isi pesan.18 Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
seseorang
yang
berkomunikasi berarti mengharapkan agar orang lain ikut berpartisipasi atau bertindak sesuai dengan tujuan, harapan dari isi pesan yang disampaikan. Jadi, diantara orang yang terlibat dalam kegiatan komunikasi harus memiliki kesamaan makna atau arti pada lambang-lambang yang digunakan untuk berkomunikasi,
dan
harus
bersama-sama
mengetahui
hal
yang
dikomunikasikan. Dari beberapa pendapat di atas, bisa dipahami bahwa arti dari pola komunikasi adalah gabungan dari dua kata antara pola dan komunikasi, sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk penyampaian suatu pesan atau bentuk-bentuk komunikasi yang disampaikan oleh seorang komunikator kepada komunikan. a. Unsur-Unsur Komunikasi Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran berupa gagasan, ide, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benak atau perasaan yang berupa keyakinan, kepastian, kekhawatiran dan sebagainya yang muncul dari lubuk hati.
18
T. A. Lathief Rosyidi, Dasar-dasar Retorika Komunikasi dan Informasi, (Medan: 1985),
h. 48. T. A. Lathief Rosyidi mengutip pendapat Wilbur Schram mengenai definisi komunikasi.
Dari berbagai pengertian di atas, tampak akan adanya komponen atau unsur-unsur yang mencakup didalamnya yang merupakan syarat terjadinya komunikasi. Unsur-unsur komunikasi tersebut adalah: 1. Komunikator Komunikator adalah orang yang menyampaikan pesan. Komunikator memiliki fungsi sebagai encoding, yaitu orang yang memformulasikan pesan atau informasi yang kemudian akan disampaikan kepada orang lain. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam mengendalikan jalannya komunikasi. Untuk itu, komunikator harus terampil dalam berkomunikasi, dan juga harus kaya akan ide-ide serta harus penuh dengan daya kreativitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Syarat-syarat yang diperlukan oleh komunikator, diantaranya: a. Memiliki kredibilitas yang tinggi bagi komunikannya, b.
Memiliki kemampuan komunikasi,
c. Mempunyai pengetahuan yang luas, d. Memiliki daya tarik, e. Mengenal diri sendiri, f. Memiliki kekuatan (power).19 Dari beberapa syarat dan pengertian komunikator di atas, tentunya seorang komunikator harus dapat memposisikan dirinya sesuai dengan karakter yang dimilikinya. 2. Pesan 19
Onong Uchjana Effendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996). Cet. Ke-1, h. 59.
Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh kominikator. Pesan harus mempunyai inti pesan sebagai pengarah di dalam usaha mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan yaitu pernyataan yang disampaikan oleh komunikator yang didukung oleh lambang. Penyampaian pesan dapat dilakukan secara langsung melalui lisan maupun secara tidak langsung melalui media. Ada beberapa bentuk pesan di antaranya: a. Informatif, yaitu memberikan keterangan-keterangan dan kemudian komunikan mengambil kesimpulan sendiri. b. Persuasif, yaitu dengan bujukan untuk membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan berupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan, namun perubahan ini adalah kehendak sendiri. c. Koersif, yaitu dengan menggunakan sanksi-sanksi.
Bentuknya
terkenal dengan agitasi, yakni dengan penekanan-penekanan yang menimbulkan tekanan batin di antara sesamanya dan pada kalangan publik.20 3. Media Media merupakan sarana atau saluran yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan atau informasi kepada komunikan. 4. Komunikan
20
H. A. W. Widjaja, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet. Ke-3, h. 14.
Komunikan adalah orang yang menerima pesan dari komunikator. Fungsinya sebagai decoding, yaitu orang yang menginterpretasikan, menerjemahkan dan menganalisa isi pesan yang diterimanya. 5. Efek Efek merupakan dampak atau hasil sebagai pengaruh pesan. Komunikasi dapat dikatakan berhasil apabila sikap dan tingkah laku komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal yang penting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan efek atau dampak tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yaitu: a. Dampak Kognitif, yaitu dampak yang timbul pada komunikan yang
menyebabkan
dia
menjadi
tahu
atau
meningkat
intelektualitasnya. b. Dampak Afektif, yaitu dampak yang menimbulkan perasaan tertentu dan bergerak hati seorang komunikan, misalnya perasaan iba, sedih, gembira dan lain sebagainya. c. Dampak Behavior, dampak yang paling tinggi kadarnya, yaitu dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan.21
2. Macam-macam Pola Komunikasi
21
Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet. Ke-6, h. 7.
Menurut Onong Uchjana Effendi dalam bukunya yang berjudul: “Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek”. Pola atau bentuk komunikasi terdapat empat macam, yaitu komunikasi persona (intrapersona dan interpersona), komunikasi kelompok (besar dan kecil), komunikasi massa, dan komunikasi medio.22 Adapun dalam proses pendidikan dan pengajaran, komunikasi yang berlangsung melibatkan antara kyai atau guru sebagai komunikator santri atau murid sebagai komunikan, dan penyampaian pesannya pun berlangsung secara lisan dan melalui tatap muka. Maka dalam tatap muka ini dibagi ke dalam tiga bentuk
komunikasi
yaitu
komunikasi
kelompok
kecil,
komunikasi
interpersonal dan komunikasi instruksional. a). Komunikasi Kelompok Kecil Komunikasi kelompok kecil adalah kelompok komunikan yang dalam situasi komunikasi terdapat kesempatan untuk memberikan tanggapan secara verbal. Dengan lain perkataan dalam komunikasi kelompok kecil komunikator dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan salah satu anggota kecil.23 Suatu situasi komunikasi dinilai sebagai komunikasi kelompok kecil (small group communication), apabila situasi komunikasi seperti itu diubah menjadi komunikasi interpersonal dengan setiap komunikan. Komunikasi kelompok kecil kurang efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikan, karena dari tiap komunikan tidak mungkin dikuasai oleh komunikator seperti halnya pada komunikan 22
Onong Uchjana Effendi, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Ke-6, h. 7. 23
Effendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, h. 88.
komunikasi interpersonal. Komunikasi kelompok kecil lebih bersifat rasional dalam menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator, komunikan menanggapinya dengan lebih banyak menggunakan pikiran dari pada perasaan. Mereka sempat bertanya pada dirinya mengenai benartidaknya apa yang diucapkan oleh komunikator kepadanya itu. Dalam situasi komunikasi seperti itu, pesan yang disampaikan oleh komunikator harus mengarahkan kepada rasio komunikan bukan pada emosi.24 b). Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang dengan orang lain yang sendiri juga secara pribadi. Komunikasi merupakan pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung.25 Pada hakikatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara
komunikator
dengan
seorang
komunikan.26
Komunikasi
interpersonal, dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat dan perilaku seseorang. Karena sifat dialogis, berupa percakapan dan umpan balik bersifat berlangsung secara tatap muka sehingga tanggapan komunikan dapat langsung diketahui. 27
24
Effendi, Dinamika Komunikasi, h. 31.
25 Alo Liliweri, Komunikasi Antar Pribadi, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 1991), Cet.. Ke-1, h. 72. 26
Effendi, Kepemimpinan dan Komunikasi, h. 77.
27
Effendi, Dinamika Komunikasi, h. 8.
Untuk memahami komunikasi interpersonal lebih jauh, akan lebih baik jika seorang komunikator mengetahui ciri-ciri dan faktor-faktor penting dalam komunikasi interpersonal yaitu: 1. Komunikasi berlangsung secara dialogis, berbentuk percakapan dan tanya jawab sehingga komunikator dapat mengetahui segalanya mengenai diri komunikan. 2. Komunikasi berlangsung secara tatap muka, saling berhadapan dan saling menatap, sehingga komunikator dapat menyaksikan ekspresi wajah, sikap dan tingkah laku yang merupakan umpan balik non verbal.28 Dengan ciri tersebut komunikasi interpersonal dinilai ampuh untuk mengubah sikap, opini dan prilaku komunikan, biasanya hubungan seperti ini
menggunakan
teknik
persuasif,
yang
dipergunakan
untuk
mempersuasikan orang-orang tertentu saja, yang mempunyai pengaruh dan pengikutnya banyak. Sehingga seorang komunikator berhasil mengubah sikap, opini dan prilaku, maka jajarannya akan berubah pula. c) Komunikasi Instruksional Komunikasi
instruksional berarti komunikasi dalam bidang
pendidikan dan pengajaran. Istilah instruksional berasal dari kata instruction yang berarti penyajian, pelajaran atau perintah juga bisa diartikan instruksi. Dalam dunia pendidikan, kata instruksional tidak diartikan perintah tetapi lebih mendekati kedua arti yang pertama yakni pengajaran atau 28
Ibid., 78.
pelajaran, bahkan akhir-akhir ini kata tersebut diartikan sebagai pembelajaran. Memang ketiga kata tersebut bisa berlainan makna karena masing-masing menitikberatkan faktor-faktor tertentu yang menjadi perhatiannya.29
3. Penerapan Pola Komunikasi Keberhasilan seorang komunikator dalam menyampaikan isi pesan kepada komunikan dengan efektif, merupakan salah satu di antaranya bergantung pada bentuk atau pola komunikasi yang dibangun oleh seorang komunikator pada saat berinteraksi dengan komunikan. Ada tiga pola komunikasi dalam proses interaksi sosial yakni komunikasi sebagai aksi, interaksi, dan transaksi. Pertama, komunikasi sebagai aksi atau komunikasi satu arah, yaitu menempatkan komunikator sebagai pemberi aksi dan komunikan hanya sebagai penerima aksi saja. Komunikator aktif sedangkan komunikan pasif. Demikian halnya dalam proses pengajaran seorang guru (kyai) lebih aktif dalam menyampaikan bahan pengajaran, sedangkan peserta didik (santri) hanya bisa menerima apa yang disampaikan oleh kyai tanpa berkomentar apapun. Kedua, komunikasi sebagai interaksi atau komunikasi dua arah, yaitu komunikator bisa berperan sebagai pemberi aksi dan penerima aksi. Demikian pula halnya komunikan, bisa berperan sebagai penerima aksi dan bisa pula sebagai pemberi aksi.
29
Mudhofir, Teknologi Instruksional, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001 ), h. 9.
Dalam proses pengajaran baik guru (kyai) maupun siswa (santri) bisa berperan ganda sebagai pemberi dan penerima aksi atau komunikasi ini bisa dikatakan sebagai komunikasi interpersonal, yaitu proses pertukaran informasi antara komunikator dengan komunikan yang feedbecknya secara langsung dapat diketahui, serta komunikator dan komunikan memiliki dua fungsi sekaligus. Ketiga, komunikasi sebagai transaksi atau komunikasi banyak arah, yaitu komunikasi tidak hanya terjadi antara perorangan melainkan kepada banyak orang. Di sini komunikan dituntut lebih aktif dari pada komunikator. Situasi pengajaran atau proses belajar mengajar bisa terjadi dalam tiga pola atau bentuk komunikasi di atas. Akan tetapi, dalam komunikasi yang ketiga (komunikasi sebagai transaksi atau banyak arah), pengajaran berlangsung dalam kondisi yang sesuai dengan hakekat belajar dan mengajar yang sebenarnya.30
B. Kyai dan Santri 1. Pengertian Kyai dan Santri a. Pengertian Kyai Kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama (cerdik dan pandai dalam agama Islam).31 Sedangkan dalam sebuah pesantren, kyai adalah pembimbing, pengajar, atau pemimpin sebuah pesantren. Kyai menurut definisi Manfred Ziemek adalah: 30
31
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif, (Bandung: Sinar baru, 1989), h. 9-10.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 437.
“Pendiri dan pemimpin sebuah pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah memberikan hidupnya demi Allah serta menyebarluaskan ajaranajaran Islam melalui kegiatan pendidikan kyai berfungsi sebagai seorang ulama, artinya ia mengetahui pengetahuan dalam tata masyarakat Islam dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum Islam, dengan demikian ia mampu memberikan nasehat”.32 Istilah kyai adalah sebutan yang diperuntukkan bagi para ulama tradisional di pulau Jawa, walaupun sekarang kyai banyak tersebar di pulau Jawa dan juga di luar pulau Jawa.33 Kyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di Jawa dan Madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat disegani oleh masyarakat di lingkungan pesantren. Menurut asal muasalnya, sebagaimana dirinci Zamakhsyari Dhofier, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren.34 Kyai dalam hal ini mengacu kepada pengertian ketiga, yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin agama Islam atau pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada para 32
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M. 1986), H. 131.
33 Pradjata Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, (Yogyakarta: LKIS, 1999), Cet. Ke-1, h. 13. Pradjata Dirdjosanjoto mengutip pendapat Zamakhsyari Dhofier mengenai definisi kyai di suatu pondok pesantren. 34 HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), h. 28.
santrinya. Istilah kyai ini biasanya lazim digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Sementara di Jawa Barat digunakan istilah “ajengan,” di Aceh dengan Teuku, sedangkan di Sumatera Barat dinamakan Buya.35 H.
Aboebakar
Atjeh
menyebutkan
beberapa
faktor
yang
menyebabkan seseorang menjadi kyai besar yaitu: 1. Pengetahuannya 2. Keshalehannya 3. Keturunannya 4. Jumlah Muridnya.36 Vrenden Bregt memberikan skema yang hamper sama dengan H. Aboebakar Atjeh yaitu: 1. Keturunan (seorang kyai besar mempunyai silsilah yang cukup panjang) 2. Pengetahuan agamanya 3. Jumlah muridnya 4. Cara dengan mengabdian dirinya pada masyarakat.37 Dalam perkembangannya, gelar kyai tidak lagi menjadi monopoli bagi para pemimpin atau pengasuh pesantren. Gelar kyai dewasa ini juga dianugerahkan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang ulama yang mumpuni
dalam
bidang
ilmu-ilmu
keagamaan,
walaupun
yang
bersangkutan tidak memiliki pesantren. Gelar kyai ini juga sering dipakai
35
Ibid., h. 29.
36
Dirdjosanjoto, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, h. 13
37
Ibid., h. 14
oleh para da’i atau mubaligh yang biasa memberikan ceramah agama Islam.38 b. Pengertian Santri Kata “santri“ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadah dengan sungguhsungguh.39 Mengenai asal usul kata “santri” itu ada dua pendapat, yaitu: 1. Kata santri berasal dari perkataan “shastri” yang berasal dari India, yang berarti orang yang tahu kitab-kitab suci. Di sini dapat diasumsikan bahwa santri berarti orang yang mempelajari kitab suci. 2. Kata santri berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik” yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru, menetap dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian.40 Santri adalah siswa atau murid yang belajar di pesantren. Seorang ulama bisa disebut sebagai kyai kalau memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut mempelajari ilmu-ilmu agama Islam melalui kitab-kitab kuning. Oleh karena itu, aksistensi kyai biasanya juga berkaitan dengan adanya santri di pesantrennya. Santri juga merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses belajar mengajar. Santri merupakan objek yang akan dibimbing dan diarahkan oleh kyai di pesantren. Oleh karena itu, keberadaan santri
38
Haedari, h. 28-29.
39 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 783. 40 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 20.
termasuk yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Santri terbagi dalam dua katagori. Pertama, santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal (santri senior) di pesantren tersebut biasanya
merupakan
satu
kelompok
tersendiri
yang
memegang
tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Kedua, santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren. Mereka bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Para santri kalong pergi ke pesantren ketika ada tugas belajar dan aktivitas pesantren lainnya.41 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa santri adalah murid yang belajar di pesantren untuk lebih memahami, mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam di sebuah pondok pesantren.
2. Komunikasi Kyai dan Santri Kyai dan santri merupakan elemen yang paling penting dalam proses belajar mengajar atau pengajaran dalam suatu lembaga pendidikan yaitu pondok pesantren. Hubungan antara kyai sebagai pemimpin dan pengajar atau guru di pesantren dengan santri sebagai peserta didik sangat erat sekali. Di mana seorang kyai yang bertindak sebagai komunikator dapat merubah sikap dan tingkah laku para santrinya, agar penyampaian pesan berhasil dengan baik dan berjalan secara efektif. Seorang kyai harus menciptakan keadaan yang 41
Haedari, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, h. 35.
baik pula, artinya seorang kyai harus menjadi suri tauladan dan kepercayaan sehingga santri mulai menghargai seorang kyai dan hubungan yang serasi tetap terpelihara dengan baik. Tujuan dari komunikasi yang dilakukan oleh kyai terhadap santrinya adalah untuk menciptakan adanya hubungan timbal balik antara santri dan kyai, di mana para santri mengganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap dan hubungan timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus.42 Mastuhu menemukan dua pola komunikasi yang unik antara kyai dan santri. Sebagaimana gaya kepemimpinan sang kyai, dua pola komunikasi ini juga terdapat di semua pesantren yang dijadikan objek penelitiannya. Dua pola komunikasi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama,
pola
komunikasi
otoriter-paternalistik.
Yaitu
pola
komunikasi antara pimpinan dan bawahan atau, meminjam istilah James C. Scott, patron-client relationship, dan tentunya sang kyailah yang menjadi pimpinannya. Sebagai bawahan, sudah barang tentu peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya, sangat kecil, untuk mengatakan tidak ada, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan sang kyai. Kedua, pola komunikasi laissez faire. Yaitu pola komunikasi kyai dan santri yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah, dan ibadah sehingga pembagian 42
Ibid., h. 31-32.
kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai sebuah pekerjaan bisa dilaksanakan.43
C. Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an 1. Pengertian Pengajaran Kata
“pengajaran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
proses perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan.44 Pengajaran juga diambil dari istilah instruksional yang berarti: “memberikan pengetahuan atau informasi khusus dengan maksud melatih dari berbagai bidang khusus, memberikan keahlian atau pengetahuan dalam berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu” atau dapat berarti pula “mendidik dalam subjek atau bidang pengetahuan tertentu.” Di sini juga dicantumkan makna lain yang berkaitan dengan komando atau perintah. 45 KH. Dewantara juga menjelaskan pengajaran adalah bagian dari pendidikan dan pengajaran onder wijs, itu tidak lain dan tidak bukan ialah salah satu bagian dari pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan. Para ahli pendidikan telah mencoba merumuskan batasan
43
Ibid, h. 61-62.
HM. Amin Haedari, dkk, mengutip pendapat Mastuhu mengenai pola komunikasi di pondok pesantren. 44
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. Ke-7, h. 7. 45
Pawit M. Yusuf, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, (Jakarta: Jakarta Press, 2002), Cet. Ke-1, h. 6.
pengertian tentang pengajaran, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Hasan Langgulung bahwa pengajaran adalah pemindahan pengetahuan dari seseorang yang mempunyai pengetahuan, kepada orang lain yang belum mengetahui.46 Dari terminologi di atas, terdapat unsur-unsur subtansial kegiatan pelajaran yang meliputi: pertama, pengajaran adalah upaya pemindahan pengetahuan, kedua, pengajaran adalah pemindahan pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu proses belajar mengajar. Bertitik tolak pada pengertian metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka fungsi metode mengajar tidak dapat diabaikan, karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian yang integral dalam suatu sistem pengajaran. Oleh karena itu pemakaian metode harus sesuai dan selaras dengan karakteristik siswa (santri), materi, kondisi lingkungan di mana pengajaran berlangsung.47 Dengan demikian, pengajaran adalah pemberian pelajaran atau informasi dari berbagai mata pelajaran yang diajarkan pendidik kepada peserta didik, dengan tujuan agar peserta didik memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, sikap dan keterampilan.
46
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983), Cet. Ke-3, h. 3. 47
Basyiruddin Usman, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 22.
Melalui pengajaran inilah peserta didik mengetahui dan memahami mana yang boleh dan harus dikerjakan dalam hidup ini, agar dapat melaksanakan
atau
terampil
dalam
mengerjakannya,
serta
bersikap
menghargai dan mau melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin efektif pengajaran yang diberikan akan semakin berfaedah bagi peserta didik untuk membentuk pribadinya dan kesejahteraan hidupnya.48
2. Pengertian Seni Baca Al-Qur’an Kata “seni” berasal dari bahasa Latin “ars” yang berarti “keahlian”, merupakan keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah.49 Sedangkan kata “seni” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keahlian membuat karya yang bermutu (kehalusan dan keindahan), atau karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa.50 Seni menurut H. Endang Saipuddin Anshari, MA, adalah “manifestasi budaya priksa (pikiran), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi (keyakinan tentang suatu kebenaran yakni keyakinan yang tidak didapatkan dengan jalan
48
Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, h. 55.
49
Endang Saifuddin Anshari, M.A, Wawasan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986), h. 3. 50
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. Ke-3, h. 1037.
berfikir diskursif, tetapi timbul sebagai faham, dan karya (perbuatan) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetika.51 Kesenian sebagai penjelmaan rasa keindahan pada umumnya adalah untuk kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran dan perasaan sehingga ia menjadi bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki. Intisari kesenian adalah menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan.52 Sedangkan kata “baca” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis.53 Dan al-Qur’an dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah firman-firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia, atau al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam.54 Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan (qira’ah). Sedangkan alQur’an menurut istilah firman Allah SWT bukan sabda Nabi Muhammad SAW atau perkataan Malaikat, Jin dan lain-lain.55 Al-Qur’an kitab suci umat Islam dianjurkan supaya dibaca dan dihiasi dengan suara yang merdu sehingga dapat memberikan kesan kepada pembaca
51
Anshari, Wawasan Islam, h. 4.
52
KH. Muhsin Salim, Ilmu Nagham Al-Qur’an, (Jakarta: Kebayoran Widya Ripta, 2000), h.
53
Departemen Pendidikan Nasional, h. 83.
8.
54
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 24. 55
Salim, Ilmu Nagham Al-Qur’an, h. 4-5.
dan pendengarnya. Melagukan bacaan al-Qur’an dengan suara yang indah merupakan seni baca yang paling tinggi nilainya dalam ajaran agama.
56
Kemudian dari definisi-definisi di atas dapat dipahami, bila seni dihubungkan dengan membaca al-Qur’an berarti keahlian, kemahiran yang ada pada diri seseorang diwujudkan dalam bentuk suara yang indah dengan berbagai macam metode-metode yang digunakan.
3. Komunikasi Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Melihat definisi komunikasi, pengajaran dan seni baca al-Qur’an di atas, maka komunikasi pengajaran seni baca al-Qur’an adalah komunikasi yang dibangun oleh kyai atau guru dalam suatu proses belajar mengajar yaitu kemampuan seorang kyai atau guru yang profesional dalam menggambarkan, menerangkan, dan memberikan sebuah metode dalam menyampaikan materi kepada peserta didik (santri), sehingga proses pengajaran yang disampaikan oleh kyai atau guru dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan program yang telah ditetapkan oleh suatu lembaga pendidikan yaitu pondok pesantren. Komunikasi dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren, dapat diartikan sebagai suatu rencana yang digunakan oleh seorang kyai atau ustadz dalam menyampaikan materi atau pesan pelajaran seni baca al-Qur’an kepada para santri selaku komunikan dengan berbagai macam bentuk. Untuk itu, komunikasi yang digunakan oleh kyai atau ustadz dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, yaitu secara langsung melalui tatap muka
56
Ibid., h. 9.
dengan lisan, dan menggunakan pola komunikasi kelompok kecil antara seorang kyai atau ustadz dengan para santri. Dalam proses pengajaran tersebut kyai atau ustadz menggunakan komunikasi instruksional, di mana pelaksanaannya komunikasi instruksional yang terjadi dalam mencapai tujuan tersebut lebih banyak menginstruksikan kepada santri untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemahaman tentang materi pengajaran seni baca al-Qur’an.
BAB III GAMBARAN UMUM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH
A. Letak Geografis dan Sejarah Berdiri 1. Letak Geografis Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah terletak di Jalan Panti Asuhan. No. 06, Kp. Ceger, RT. 003 RW. 012, Kelurahan Jurang Mangu Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang Banten. Pondok Pesantren ini memiliki lokasi yang mudah dijangkau, mudah ditemukan dan sangat strategis, serta jauh dari keramaian kendaraan umum sehingga tidak bising dan menunjang kelancaran kegiatan belajar mengajar. Dibangun di atas areal tanah seluas 500 M2 menjadikan Pondok Pesantren ini cukup memadai untuk kegiatan belajar mengajar. 2. Sejarah Berdiri Berdirinya Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah tidak terlepas dari keberadaan Pemberantasan Buta Huruf Arab (PBHA), yang merupakan cikal bakal berdirinya pesantren salafiyah/tradisional yang bercirikan keal-Qur’anan yang belum ada di desa Jurang Mangu. Sebelum lahir nama Al-Qur’aniyyah, diperkirakan jauh sebelumnya pada tahun 1973 sudah dimulai pengajian ibu-ibu yang dipimpin oleh Alm. Ibu Hj. Pilus (Ibunda KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A). Pada tahun 1980 keinginan yang kuat terdorong oleh Ibu Hj. Pilus untuk punya sebuah Majlis
Taklim, maka dibentuklah pengajian biasa tersebut dengan sebutan Majlis Taklim Hari Minggu Kaum Ibu.57 Pada tahun 1986 dibentuklah pengajian remaja yang dikoordinir oleh HM. Sobron Zayyan, M.A, dengan materi keal-qur’anan dan kegiatan tersebut hanya dilakukan setiap satu minggu sekali pada malam jum’at. Perintisan Yayasan Pendidikan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah dimulai pada tahun 1987. Sobron, yang biasa disapa, seorang putra Ceger, Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang, tepatnya kelahiran Tangerang, 1964. Pada tahun 1985 mencapai puncak impiannya di dunia seni baca AlQur’an. Beliau dapat memperoleh Juara I Lomba Cerdas Cermat Isi Kandungan al-Qur’an atau Musabaqah Fahmil Qur’an tingkat Nasional.58 Sebuah perjalanan panjang telah dilaluinya, semenjak usia kanakkanak hingga remaja. Berbagai perlombaan dan kejuaraan MTQ pun sudah diikutinya, dari mulai tingkat RT hingga Nasional, meskipun bukan pada cabang Tilawatil Qur’an. Beliau adalah seorang pemuda yang hidup hanya didampingi oleh seorang Ibu yang sudah tua, karena ayahnya meninggal jauh hari, ketika beliau masih kecil. Tetapi itu tak pernah menjadi penghalang bagi dirinya untuk menggeluti dunia al-Qur’an yang memang menjadi kegemarannya semenjak kecil. Keberhasilannya di dunia MTQ, membuat namanya mencuat kepermukaan terutama di wilayah Pondok Aren dan Tangerang. Lalu beliau, 57
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008. 58
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag. Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
melanjutkan studinya di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an), tentunya dengan kondisi yang serba pas-pasan. Tetapi dorongan dari orangtuannya serta kemauan dan kegigihan akhirnya beliau berhasil menyelesaikan studinya dengan hasil yang cukup memuaskan, pada tahun 1990.59 Di
saat
kuliah,
beliau
dipercaya
untuk
mengajar
di
MTs
Ishlauddiniyyah serta santripun mulai berdatangan untuk belajar mengaji ke tempatnya. Untuk mengajar mengaji di rumahnya sudah dilakukannya semenjak ia duduk di kelas 1 PGA, semua ia jalani dengan penuh keikhlasan dan ketabahan. Memperdalam Seni tarik suara ia tak pernah ketinggalan untuk terus belajar kepada KH. Husin (Alm), H. Muhammad Ali dan H. Muhammad Nasir serta Ust. Abdullah (Alm). Kegiatan memperdalam al-Qur’an, terus ia lakukan hingga saat ini.60 Pada tahun 1987, jumlah santri yang belajar mengaji di rumahnya kian hari kian bertambah. Kemudian dengan dukungan Tokoh Masyarakat setempat dan aparat Pemerintah, maka didirikanlah sebuah Lembaga Pendidikan Islam dengan nama “Al-Qur’aniyyah”. Saat itu, Al-Qur’aniyyah barulah sebuah Majlis Taklim anak-anak dan remaja. Pada tahun, didirikanlah TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) sebagai fondasi awal berdirinya lembaga pendidikan semi formal.61 Lambat laun, nama Al-Qur’aniyyah semakin melambung, seiring dengan cemerlangnya prestasi para santri Al-Qur’aniyyah baik TPA maupun 59
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008. 60
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008. 61
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
remaja. Beriringan dengan itu, tuntutan masyarakat untuk memondokkan anaknya di Al-Qur’aniyyah semakin besar. Dengan kondisi aula yang seadanya mulailah diterima santri untuk mukim yang pada saat itu baru berjumlah 4 orang. Pada tanggal 15 Maret 1989, dimulailah pembangunan gedung tahap pertama di atas pimpinan LPI Al-Qur’aniyyah dengan luas bangunan 100 M2 dengan rancangan dua lantai, namun pada tanggal 17 Februari 1990 AlQur’aniyyah hanya dapat menyelesaikan lantai dasar saja. Pada tahun 1991 pembangunan tahap II dimulai dan selesai pada tahun 1992.62 Sejalan dengan itu, di sekitar Pondok Aren khususnya, banyak sekali anak-anak yatim-piatu yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya, karena terbentur biaya pendidikan. Hal ini membuat hati pimpinan tergerak untuk menolong mereka, dengan cara menampung mereka untuk tinggal di lembaga pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah sambil belajar di sekolah yang dibiayai oleh pimpinan. Sejak saat itu, pimpinan terus berupaya menolong anak-anak yatimpiatu dan dhuafa yang membutuhkan pertolongan. Pada tanggal 21 Oktober tahun 1992 diresmikan Panti Asuhan Yatim Piatu Pondok Pesantren AlQur’aniyyah yang di dalamnya menampung anak-anak yatim-piatu dan dhuafa.63 Pada tahun 1994, pimpinan berfikir bagaimana menyiapkan generasigenerasi penerus sebagai insan yang
berilmu pengetahuan dan berakhlak
mulia, yang dapat mengabdikan diri mereka kepada agama bangsa dan 62
Wawancara Pribadi dengan Ust.Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008. 63
Wawancara Pribadi dengan Ust.Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
Negara, khususnya kepada masyarakat di mana mereka tinggal. Oleh karena itu, didirikanlah Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah dengan pengajaran selama 6 tahun dengan kurikulum yang dibuat dengan nuansa kealqur’anan yaitu dengan mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur’an, tajwid, tartil, tahfidz dan ditambah dengan pengajian kitab kuning, serta dengan mengarahkan bakat masingmasing anak kearah pengkaderan generasi muda menjadi seorang da’i-da’iyah, hafidz-hafidzah, yang memiliki dasar keagamaan yang berkualitas.64 Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah semakin percaya diri dengan prestasi yang dicapainya. Maka pada tahun 1995, mulailah genderang AlQur’aniyyah ditabuh. Yakni dengan pengurusan Legalisasi Akta Notaris serta menerima santri mukimin. Dan pada tanggal 6 September 1995 Pimpinan mendapatkan pengesahan berbadan hukum untuk Yayasan Pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah dengan akta notaris Ruwin Diara, SH. No. HT. 04 : 910 : 2001/PN/TNG. Kemudian dirayakanlah Hari Lahir Al-Qur’aniyyah ke-VIII secara akbar pada tahun 2001.65 Pimpinan selalu berupaya mengembangkan Yayasan Pendidikan Islam Al-Qur’aniyyah dengan misinya di bidang sosial dan pendidikan bagi generasi Islam khususnya bagi para anak-anak yatim-piatu dan kaum dhuafa. Serta pembenahan
sistem
organisasi,
administrasi
dan
manajemen
terus
ditingkatkan, seiring dengan orientasi Al-Qur’aniyyah untuk Go-Public pada
64
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008. 65
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
tahun 1997/1998, sampai sekarang Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah ini selalu mengalami perkembangan yang sangat pesat.66
B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan 1. Struktur Organisasi Dalam menjalankan organisasi, pondok pesantren Al-Qur’aniyyah membentuk bagian-bagian/bidang-bidang yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada, adapun bidang-bidang tersebut adalah: 1. Bidang Urusan Rumah Tangga 2. Bidang Keuangan 3. Bidang Keamanan 4. Bidang Kesehatan 5. Bidang Pendidikan dan Pengajaran. 6. Bidang Dakwah dan Humas 7. Bidang Sarana dan Prasarana.67 Setiap bidang membawahi 1 sub bagian, yaitu diketuai 1-2 orang yang diangkat berdasarkan musyawarah dan mufakat, juga mendapatkan restu dari yayasan. Adapun tugas masing-masing sebagai berikut: 1. Bidang Urusan Rumah Tangga a. Merencanakan menu dan gizi para santri b. Mengatur suplay makanan c. Penerimaan tamu 66
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008. 67
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
d. Mengadakan dapur umum e. Mengadakan kebersihan 2. Bidang Keuangan a. Mengkoordinir keuangan para santri 3. Bidang Keamanan a. Mengadakan persidangan b. Membuat hukuman dan sangsi c. Memberikan surat perizinan 4. Bidang Kesehatan a. Mengadakan poliklinik b. Menyediakan obat-obatan gratis bagi para santri 5. Bidang Pendidikan dan Pengajaran a. Membentuk pendidikan formal b. Membina pendidikan non formal c. Membina latihan dan pendidikan. 6. Bidang Dakwah dan Humas a. Mempublikasikan kemajuan dan perkembangan Pesantren b. Menjalin silaturrahmi kepada wali santri c. Sosialisasi dan Pengenalan 7. Bidang Sarana dan Prasarana a. Menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan b. Menyediakan fasilitas belajar mengajar.68
68
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
STRUKTUR ORGANISASI YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH (1)
Pelindung
Penasehat
Pimpinan Yayasan
Wakil Yayasan
Bendahara
Sekretaris
Sek. Bid. Humas
Sek. Bid. Kesehatan
Sek. Bid. Urusan Rumah Tangga
Sek. Bid. Keuangan
Sek. Bid. Pendidikan dan Pengajaran
Ustadz dan Ustadzah
Sumber: (1) Dokumentasi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah
Sek. Bid. Keamanan
Sek. Bid. Sarana dan Prasarana
2. Kepengurusan Di dalam mengembangkan dan memajukan pondok pesantren AlQur’aniyyah, baik di bidang pendidikan maupun bidang sarana dan prasarana. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A tidak berjalan sendirian, melainkan dibantu oleh beberapa pengurus, atas bantuan mereka dari tahun ke tahun kemajuan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah semakin berkembang pesat. Adapun susunan pengurus pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sebagaimana tertera di bawah ini:
SUSUNAN PENGURUS YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM PONDOK PESANTREN AL-QUR’ANIYYAH (2)
Pelindung
: 1. Camat Pondok Aren 2. Kepala K.U.A Pondok Aren 3. Kepala Desa Jurang Mangu Timur
Penasehat
: 1. H. Amin Kiswardono 2. H.M. Nasir 3. H. Syamsu Kammar 4. H. Winarso Taru Pranoto 5. Hj. Nunie Rudi 6. Hj. Ninin Syafruddin Jalil
Ketua Umum
: KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A
Wakil Ketua
: Mahmur Syahid
Sekretaris
: Sahlan H.A
Bendahara
: Mochammad Halimi
Seksi-seksi
:
A. Seksi Pendidikan dan Pengajaran 1. Drs. H. Hilman M.A 2. M. Yunus S.Ag B. Seksi Dakwah dan Humas 1. Drs. Sahlan HD 2. Hamdani S.Pd C. Seksi Sarana dan Prasarana 1. H. Syafi’i 2. Muhasyar D. Seksi Keuangan 1. Mahfudz 2. Muslih HD E. Seksi Kesehatan 1. Maulana Yusuf 2. Abidin F. Seksi Keamanan dan Urusan Rumah Tangga 1.
Abdillah
2. Abdul Latief, S.Ag.69
Sumber: (2) Dokumentasi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah 69
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
C. Santri dan Pengasuh 1. Santri Santri merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses belajar mengajar. Santri merupakan objek yang akan dibimbing dan diarahkan oleh kyai di pondok pesantren. Oleh karena itu, keberadaan santri termasuk yang sangat penting dalam mengukur keberhasilan proses belajar mengajar. Kata “santri“ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadah dengan sungguhsungguh.70 Santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selain mendapatkan materi pendidikan kepesantrenan termasuk pengajaran seni baca al-Qur’an,
juga
mendapatkan
pendidikan
formal
melalui
Madrasah
Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyyah, dan Madrasah Aliyah dengan status disamakan melalui akreditasi. Santri yang belajar di Madrasah Ibtidaiyyah, Madrasah Tsanawiyyah, dan Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah tidak semuanya tergolong santri mukim, ada juga santri luar. Santri mukim hanya Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah. Itupun hanya sebagian besar saja, tidak seluruhnya, hanya santri-santri yang berasal dari daerah yang jauh kemudian menetap dalam kelompok pesantren dan mengikuti pembelajaran yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, yaitu pengajian-pengajian kitab kuning, tahfidz, naghom, murottal, nahwu, shorof,
70
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 783.
ilmu qira’at dan lain sebagainya. Mukimnya santri ini, maka mereka mendapat materi pendidikan formal dan juga mendapat pendidikan kepesantrenan. 71 Sedangkan santri luar adalah santri yang tidak menetap di pesantren, mereka mengikuti pembelajaran pesantren dan pada waktu yang sama juga mengikuti pendidikan di luar pesantren. Adapun jumlah santri yang belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sebanyak 300 orang.72 2. Pengasuh Kyai merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada orang yang ahli agama Islam, yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya. Kyai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan bagi alim ulama (cerdik dan pandai dalam agama Islam).73 Sedangkan dalam sebuah pesantren, kyai adalah pembimbing, pengajar, atau pemimpin sebuah pesantren. Pendapat di atas mendapat pembenaran dari masyarakat Desa Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang terhadap kyai pengasuh pesantren. Hal ini dapat dilihat dari prilaku masyarakat sekitar yang berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan pesantren. Begitu pula dengan pemerintah setempat dari tingkat kekelurahan, kecamatan, sampai tingkat kabupaten yang sering berkunjung dan berkonsultasi dengan pihak pesantren. Sehingga yang terlihat dari kehidupan masyarakat Desa Jurang Mangu Timur Pondok Aren
71
Wawancara Pribadi dengan KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008. 72
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008. 73
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 437.
Tangerang mencerminkan kehidupan pesantren, baik dari ucapan, perbuatan, walaupun tidak semua. Hal ini tercipta karena ketokohan sang kyai.74 Aktivitas sehari-hari pengasuh pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, selain mengkonsentrasikan pendidikan kepada santri yang mukim berupa kitab-kitab kuning, tajwid, tahfidz, tartil, murottal, ilmu qira’at dan yang termasuk ke dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, beliau juga mengajar di Perguruan Tinggi Al-Aqidah. Selain itu juga beliau sebagai mubaligh atau juru dakwah, beliau juga sering diundang ke daerah-daerah untuk ceramah agama. 75 Beliau dibantu oleh pamannya, kaka kandung dan kaka ipar, keponakan dan para ustadz-ustadzah yang bukan keluarga. Latar belakang pendidikan mereka umumnya sarjana strata satu dan ada juga dari alumni pesantren sendiri. Sesuai dengan latar belakang pendidikan para ustadzustadzah yang mengajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, maka pengasuh mengambil kebijakan umum untuk tugas mengajar secara formal yaitu dipercayakan untuk mengajar di Madrasah Tsanawiyyah dan Madrasah Aliyah sesuai dengan skill dan jurusannya masing-masing. Sedangkan ustadzustadzah yang berlatar belakang pendidikan pesantren di percayakan untuk mengajar di sekolah diniyyah. Adapun jumlah pengajar ada 23 orang. 76
74
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008 75
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008 76
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008
D. Program Kerja Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah merupakan sebuah yayasan yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial Kemasyarakatan. Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah telah menginjak usia remaja yakni genap 21 Tahun. Proses pembangunan sarana fisik dan sistem pengorganisasian terus menerus mengalami evolusi secara gradual dan berkesinambungan. Dalam menghadapi tantangan ke depan, Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah haruslah mengadakan sebuah evaluasi, reformasi, reorientasi, restrukturisasi serta rescedulling terhadap segala kegiatan baik yang sudah berjalan maupun yang akan dilaksanakan di masa mendatang. Pola perencanaan program pendidikan dan pembangunan secara global, telah dipaparkan dan dijelaskan dalam Ketetapan Rapat Kerja Yayasan I pada tahun 1997. Sedangkan Petunjuk Pelaksanaan serta Kerangka Peraturan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur secara detail dan mendalam akan dituangkan pada RAKER II Tahun 1998 kali ini, termasuk Pola Perencanaan Al-Qur’aniyyah Terpadu.77
E. Sarana dan Prasarana Dalam upaya meningkatkan mutudan kualitas pendidikan dan pengajaran, maka pondok pesantren Al-Qur’aniyyah perlu menyiapkan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga mampu menunjang dan meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren AlQur’aniyyah. 77
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 15 Februari 2008.
Sarana dan prasarana terbagi dalam dua jenis, jenis fisik dan non fisik. Sarana dan prasarana fisik adalah sifatnya menempati dan mendukung keberhasilan pesantren. Sedangkan sarana dan prasarana non fisik yang sifatnya tetap dan mendukung administrasi serta kegiatan belajar mengajar. Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan didukung oleh sarana dan prasarana sebagai berikut: 1. Sarana dan prasarana fisik a. Asrama santri 2 gedung, 1 gedung untuk snatri putra dan 1 gedung untuk santri putri. Semua gedung berlantai 2, dan terdiri dari 8 kamar berukuran besar untuk santri putra, dan 6 kamar untuk santri putri. b. 4 buah gedung sekolah; gedung 1 untuk MA berlantai 3 terdiri dari 15 lokal gedung 2 untuk MTs berlantai 2 juga terdiri dari 12 lokal. Gedung 3 untuk MI 1 lantai terdiri dari 6 lokal dan gedung 4 untuk TK 1 lantai terdiri dari 2 lokal. c. 1 buah Masjid d. 1 buah Aula serba guna/majlis taklim e. 1 buah Perpustakaan f. 1 buah Lab komputer g. 1 buah Wartel h. 1 buah Klinik pesantren i. 1 buah Koperasi j. 1 buah Kantor sekretariat k. 1 buah Kantin l. Perlengkapan sound sistem dan penerangan
m. 1 buah Lapangan olah raga 2. Sarana dan prasarana non fisik a. Tenaga pengajar yang profesional b. Materi-materi pelajaran.78
78
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Februari 2008.
BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI KYAI DAN SANTRI DALAM PENGAJARAN SENI BACA AL-QUR’AN
A. Kyai dan Santri 1. KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, yang biasa disapa dengan kyai Sobron, seorang putra Ceger, Jurang Mangu Timur Pondok Aren Tangerang, tepatnya kelahiran Tangerang, 10 Januari 1964. Ayahnya bernama H. Muhammad Zayyan (Alm) dan Ibunya bernama Hj. Pilus (Almh). Anak terakhir dari lima bersaudara, beliau tumbuh dalam lingkungan agamis. Maklum, di kampungnya banyak berdiri pesantren dan tempat-tempat yang berkecimpung dengan syiar Islam. Tak salah apabila rutinitas generasi mudanya kental beraroma religius. Kyai Sobron mengenyam pendidikan Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Madrasah Tsanawiyyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), sampai perguruan tinggi di PTIQ. Memperdalam Seni tarik suara ia tak pernah ketinggalan untuk terus belajar kepada KH. Husin (Alm), H. Muhammad Ali dan H.
Muhammad Nasir serta Ust. Abdullah (Alm). Kegiatan memperdalam alQur’an, terus ia lakukan hingga saat ini.79 Kyai Sobron, semenjak kecil memang sudah kelihatan tanda-tanda memiliki bakat atau potensi dengan seni baca al-Qur’an. Dengan bakat dan potensi yang beliau punya, maka orang tuanya mendidik dan mengembangkan bakat tersebut, sehingga dengan didikan dan asuhan ibunya beliau seperti sekarang ini, dan tidak lupa dengan bantuan atau didikan dari beberapa ustadz lainnya. Sebuah perjalanan panjang telah dilaluinya, semenjak usia kanak-kanak hingga remaja. Berbagai perlombaan dan kejuaraan MTQ pun sudah diikutinya, dari mulai tingkat RT hingga Nasional, meskipun bukan pada cabang Tilawatil Qur’an. Pada tahun 1985 mencapai puncak impiannya di dunia seni baca al-Qur’an. Beliau dapat memperoleh Juara I Lomba Cerdas Cermat Isi Kandungan al-Qur’an atau Musabaqah Fahmil Qur’an tingkat Nasional.80 Beliau adalah seorang pemuda yang hidup hanya didampingi oleh seorang Ibu yang sudah tua, karena ayahnya meninggal jauh hari, ketika beliau masih kecil. Tetapi itu tak pernah menjadi penghalang bagi dirinya untuk menggeluti dunia al-Qur’an yang memang menjadi kegemarannya semenjak kecil. Keberhasilannya di dunia MTQ, membuat namanya mencuat kepermukaan terutama di wilayah Pondok Aren dan Tangerang. Lalu beliau,
79
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag. Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 80
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag. Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
melanjutkan studinya S1 di PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an) dan S2 di IIQ tentunya dengan kondisi yang serba pas-pasan. Tetapi dorongan dari orangtuannya serta kemauan dan kegigihan akhirnya beliau berhasil menyelesaikan studinya dengan hasil yang cukup memuaskan.81 Di
saat
kuliah,
beliau
dipercaya
untuk
mengajar
di
MTs
Ishlauddiniyyah serta santripun mulai berdatangan untuk belajar mengaji ke tempatnya, semua ia jalani dengan penuh keikhlasan dan ketabahan. Berawal dari kegigihan, ketabahan, kesemangatan, keikhlasan, dan kerja keraslah kyai Sobron mampu meraih kesuksesan demi cita-cita yang luhur yaitu mendirikan pondok pesantren yang bercirikan keal-qur’anan, dan pondok pesantren tersebut dinamakan dengan Al-Qur’aniyyah.82 KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, sebagai pemimpin atau kyai pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, sangat demokratis dalam mengambil suatu keputusan, bersifat sosial, sayang dengan orang lain terutama anak-anak yatim, kaum dhuafa, dan khususnya santri yang belajar di pondok pesantren tersebut. Kyai Sobron sangat pekerja keras, penolong kaum yang lemah, seperti anak-anak yang sudah putus sekolah beliau angkat sebagai anak kemudian disekolahkan sampai berhasil. Karena beliau sangat memikirkan masalah pendidikan. Beliau hadir sebagai orang tua untuk anak-anak yang dibimbingnya, beliau siap 24 jam untuk melayani mereka, hal sekecil apapun itu harus diungkapkan dengan beliau. Sehinggga santri, anak-anak yatim dan kaum dhuafa sangat mengagumi kekharismaan dan ketawadhuan beliau. 81
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 82
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
Figur seorang kyai seperti KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, adalah panutan bagi semua santri maupun masyarakat yang ada di sekeliling pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Kyai Sobron sangat berwibawa, kharismatik dan sikap keramah tamahan serta kekeluargaannya yang menyebabkan beliau disegani oleh banyak orang. Hubungan kyai Sobron dengan para santri sangat harmonis, baik dengan santri mukim maupun dengan santri luar, terbukti dengan kasih sayang yang beliau berikan kepada santri mukim, yaitu setiap pagi sebelum para santri berangkat ke sekolah beliau sudah menunggu di depan rumah untuk memberikan uang jajan dan pamitan. Sedangkan dengan santri luar, beliau selalu memberikan pengarahan dan motivasi dalam setiap pelajaran dan beliau juga tidak pernah membedakan dengan santri mukim.83 Jika santri mempunyai masalah, baik masalah terhadap teman ataupun masalah dengan keluarga. Santri yang mempunyai masalah biasanya langsung menceritakan masalahnya kepada kyai Sobron, setelah proses pengajaran seni baca al-Qur’an selesai, dan tidak hanya pada kyai Sobron saja tapi pada setiap ustadz yang mengajar. Ketika kyai Sobron mengetahui permasalahan yang dihadapi santri, maka beliau berusaha menasehati dan memberikan solusi dengan penuh keikhlasan, sehingga masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Beliau selalu melakukan pemantauan dalam perkembangan para santri setiap hari, dan beliau tidak pernah absen dalam melakukan hal tersebut, karena beliau merasa semua santri yang belajar di pondok pesantren dianggap
83
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
seperti anak sendiri dan tidak pernah membedakan satu sama lain. Santripun demikian, mereka menganggap beliau seperti bapak kandung sendiri. 84 Terlebih dalam hal pendidikan, kyai Sobron selalu menegaskan kepada semua santri bahwa: “Pendidikan adalah sumber mata air ilmu yang mutlak diperlukan untuk menjadikan manusia lebih beradab. Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena untuk menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat terutama disisi Allah, haruslah dengan ilmu.”85 Di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah kyai Sobron lebih menekankan pembelajaran yang beliau anggap sesuai dengan ciri khas pondok pesantren tersebut, yaitu keal-qur’anan. Dengan mengajarkan ilmu-ilmu al-Qur’an, tajwid, nagham, ilmu qira’at, tartil, dan tahfidz, serta dengan mengarahkan bakat masing-masing santri kearah pengkaderan generasi muda menjadi seorang qori-qoriah, da’i-da’iyah, hafidz-hafidzah, yang memiliki dasar keagamaan yang berkualitas.86 Kyai Sobron lebih memfokuskan mengajar ilmu-ilmu al-Qur’an dengan pengajaran seni baca al-Qur’an kepada para santri. Setiap malam jum’at ba’da Isya beliau mengajarkan qira’at secara klasikal/bersama-sama di Aula, baik santri luar maupun santri mukim. Di dalam pengajaran seni baca al-Qur’an ini, beliau tidak pernah membedakan satu sama lain santri yang mengikuti pengajaran tersebut, walaupun banyak santri luar yang mengikuti tetapi beliau selalu menunjukkan sikap kekharismatikannya di depan para santri, sehingga semakin banyak santri luar 84
Wawancara Pribadi dengan Rahmatullah, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008. 85
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 86
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
yang mengikuti pengajaran seni baca al-Qur’an yang diadakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.87 Dalam
proses
pengajaran
seni
baca
al-Qur’an,
beliau
selalu
menyampaikan materi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, mulai dari pelajaran ilmu tajwid, ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham), tangga nada (maqom), qira’at sab’ah, maupun maqro-maqro (bacaan). Dalam penyampaian materi beliau selalu melakukan komunikasi kepada santri baik dengan menggunakan pola atau bentuk komunikasi kelompok kecil, yaitu kyai Sobron sebagai seorang komunikator menyampaikan pesan atau materi pelajaran seni baca al-Qur’an kepada santri sebagai komunikan atau yang disebut anggota kelompok kecil. Beliau juga menggunakan pendekatan secara personal dengan komunikasi antarpribadi antara kyai dengan santri, ketika santri mendemonstrasikan materi
pelajaran, semua komunikasi yang
digunakan oleh kyai Sobron bertujuan agar materi yang disampaikan mudah diserap dan diterima oleh santri yang mengikuti pelajaran tersebut. Kyai Sobron, dalam menyampaikan materi dengan menjelaskan secara berulang-ulang dengan penuh kesabaran dan apabila ada materi yang kurang dipahami oleh santri, maka beliau mempersilahkan santri untuk melakukan tanya jawab. Dengan metode pengulangan dan tanya jawab membuat santri semakin memahami pelajaran tersebut dengan baik dan menimbulkan kedekatan antara kyai dan santri, sehingga hubungan antara kyai dan santri semakin harmonis. 88
87 Wawancara Pribadi dengan Sifa Nafiga, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008. 88 Wawancara Pribadi dengan Sifa Nafiga, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008.
Selain metode pengulangan dan tanya jawab, masih banyak lagi metodemetode yang lain yang beliau gunakan dalam pengajaran seni baca al-Qur’an. Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an beliau selalu menginstruksikan kepada santri untuk mempraktekkan materi yang telah diajarkan dan disampaikan dengan maju dihadapan beliau. Metode tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan santri dalam memahami pelajaran seni baca alQur’an. Instruksi yang digunakan oleh kyai Sobron disebut dengan komunikasi instruksional, yaitu komunikasi antara guru atau kyai dengan murid atau santri dalam menginstruksikan materi pelajaran. Beliau mengajar seni baca al-Qur’an tidak hanya malam jum’at saja, tetapi ada hari-hari lain, yaitu hari Sabtu dan Minggu ba’da Ashar. Pada hari Sabtu dan Minggu beliau hanya mengajar khusus santri mukim untuk kelas paling tinggi tingkatannya, yaitu kelas 5 dan 6 atau yang disebut juga tingkat mahir. Pada kelas 5 dan 6 beliau mengajarkan pelajaran seni baca al-Qur’an di dalam kelas. Selain kelas 5 dan 6 masih ada kelas atau tingkatan yang lainnya dan dalam tiap kelas atau tingkatan ada yang mengajarnya, yaitu ustadz-ustadz atau pengajar yang profesional yang sudah berpengalaman dan mendapat kepercayaan dalam pengajaran seni baca al-Qur’an. Setiap pengajar memiliki metode pengajaran yang berbeda-beda dan tidak sedikit yang sama, sedangkan materi yang disampaikan hampir sama semua.89
2. Profil Ustadz Muhammad Halimi, S.Ag
89
Wawancara Pribadi dengan Rahmatullah. Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008.
Ustadz Muhammad Halimi, S.Ag adalah pengasuh atau guru di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Selain pengasuh dan guru di pondok pesantren AlQur’aniyyah, beliau juga sebagai bendahara. Beliau lahir di Tangerang 6 april 1977, beliau mulai sekolah dari SD merangkap MI, MTs, MA di MAN 4, dan kuliah di PTIQ.90 Beliau sangat dekat sekali dengan kyai Sobron karena beliau adalah keponakannya, sejak kecil beliau sudah mempunyai bakat dalam seni suara, beliau mempunyai suara yang indah dan merdu kemudian belajar dengan kyai Sobron dari tilawah, tartil, murottal dan al-Qur’an untuk mengasah kemampuannya. Selain dengan kyai Sobron beliau belajar dengan ustadz Abdullah, KH. Muhsin Salim, H. Muhammad Ali, ustadz Suparli, ustadz Zainuddin pimpinan al-Gontori.91 Masa hidup ustadz Halimi dibaktikan di Al-Qur’aniyyah, karena sejak kecil beliau dididik oleh kyai Sobron, untuk menjadi generasi penerus AlQur’aniyyah. Di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah beliau mengajar seni baca al-Qur’an kelas I’dad, kelas 1 dan kelas 2, pada malam senin ba’da sholat Isya. “Di kelas saya mengajarkan materi pelajaran tentang lagu-lagu dalam alQur’an (ilmu nagham), ilmu tajwid, tangga nada (maqom), dan ilmu qira’at sab’ah, tetapi masih dalam pola-pola dasar sesuai dengan tingkatan kelas.”92 Beliau mengajar seni baca al-Qur’an menggunakan metode pengulangan, secara interaktif antara guru atau ustadz dengan santri. Beliau mengajarkan 90
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 91
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 92
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
satu lagu dengan tangga nada diulang-ulang secara terus menerus kemudian santri menirukan, dan selanjutnya santri memperaktekkan satu per satu dihadapan beliau. Kalau santri sudah memahami secara keseluruhan maqromaqro (bacaan) yang telah diajarkan, maka beliau melanjutkan maqro-maqro (bacaan) lain dengan lagu dan tangga nada yang berbeda.93 3. Profil Ustadz Abdul Latif, S.Ag Ustadz Abdul Latif, S.Ag adalah pengasuh atau guru di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Beliau lahir di Tangerang 10 Aguatus 1973, beliau mulai sekolah dari MI, MTs, MA di Jamiyyah Isamiyyah, dan kuliah di PTIQ. Beliau mengabdi di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah semenjak berdirinya pondok pesantren tersebut, selain mengajar seni baca al-Qur’an beliau juga pandai dalam seni kaligrafi. Hasil karya beliau disukai oleh banyak orang. Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an juga beliau banyak disegani oleh santri dengan kepandaiannya berlantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah beliau mengajar seni baca al-Qur’an pada kelas 3 dan 4 atau yang dikenal dengan tingkat menengah.94 Penyampaian materi dan metode yang digunakan dalam pengajaran seni baca al-Qur’an tidak ada bedanya dengan ustadz-ustadz yang lain, selain metode pengulangan, tanya jawab, demonstrasi, beliau juga menggunakan metode motivasi, yaitu metode perlombaan kecil-kecilan setiap santri yang mengikuti pelajaran seni baca al-Qur’an, tujuan adalah untuk memotivasi santri untuk belajar dan berlatih secara terus-menerus. Kyai maupun ustadz 93
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 94 Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
yang mengajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selalu menerapkan pola atau bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda-beda, dan bentuk komunikasi yang digunakan sangat efektif dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, dengan bentuk-bentuk komunikasi yang berbeda-beda membuat santri tidak mengalami kejenuhan dan kebosanan, sehingga pelajaran mudah diserap dan dipahami dengan baik.95 Pola atau bentuk komunikasi yang selalu digunakan oleh kyai maupun ustadz-ustadz yang lain dalam pengajaran seni baca al-Qur’an adalah dengan komunikasi secara verbal, yaitu dengan tatap muka seminggu bisa 2 sampai 3 kali pertemuan. Dan secara klasikal/bersama-sama semua santri dilakukan di Aula dan pengajarnya adalah pimpinan langsung, yaitu kyai Sobron. 4. Profil Santri Rahmatullah adalah salah satu santri dari sekian banyak santri yang mempunyai prestasi yang sangat gemilang dalam pengajaran seni baca alQur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Rahmet biasa di sapa, ia lahir di Kronjo Tangerang Banten, 09 Februari 1985. Ia belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sudah 4 tahun mulai dari tahun 2004.96 Dalam waktu sesingkat itu ia sudah mempunyai banyak pengalaman dalam bidang seni baca al-Qur’an. Pertama datang ke pondok pesantren tersebut dari kosong tidak mengetahui apa-apa yang berkaitan dengan keal-Qur’anan sampai mempunyai pengetahuan di bidang keal-Qur’anan.
95
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 96
Wawancara Pribadi dengan Rahmatullah, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008.
Rahmet adalah santri yang sudah putus sekolah, kemudian beliau asuh seperti anak sendiri dan seperti santri-santri lainnya. Ia disekolahkan dan dikuliahkan oleh kyai Sobron, kyai Sobron juga melihat kemampuan yang Rahmet miliki dalam seni tarik suara, dan mempunyai daya hafalan yang cukup baik, sehingga kemampuan tersebut diasah dan dikembangkan oleh kyai Sobron. Dengan pengasahan dan penggemlengan yang dilakukan oleh kyai Sobron, maka bakat dan kemampuan Rahmet semakin meningkat, kemudian ia diikutkan perlombaan diberbagai tingkat. Ia diikutkan perlombaan MHQ dan MTQ di tingkat Kabupaten di Riau mewakili kota Batam, dan usaha tersebut tidak sia-sia, ia mendapatkan kemenangan yang luar biasa, yaitu mendapat juara pertama.97 “Saya memang sangat senang dengan bidang keal-Qu’ranan, terkadang saat belajar saya banyak mengalami kesulitan, tetapi kesulitan itu dibawa santai, ketika saya ingin pandai dalam seni baca al-Qur’an, saya selalu mendengarkan rekaman-rekaman, kemudian saya juga sering berkonsultasi dengan kyai Sobron agar kesulitan itu dapat teratasi, dan saran yang diberikan oleh kyai Sobron adalah harus banyak-banyak belajar, berlatih secara terus menerus, dan berdoa. Dengan pengajaran seni baca al-Qur’an alhamdulillah menimbulkan pemahaman di dalam diri saya, dahulu saya tidak mengetahui makna yang terkandung di dalam al-Qur’an, sekarang saya mengetahuinya dengan baik, walaupun tidak semua, ilmu-ilmu al-Qur’an, qira’at sab’ah, dan masih banyak lagi. Dengan penyampaian materi yang baik dan dengan pendekatan yang digunakan oleh kyai Sobron, membuat saya semakin memahami semua itu.”98 Sifa Nafiga, adalah santri putri yang belajar di pondok pesantren AlQur’aniyyah, ia biasa dipanggil mega, dan tinggal di Ulujami. Ia belajar di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah kurang lebih sudah 4 tahun.
97
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 98
Wawancara Pribadi dengan Rahmatullah, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008.
“Di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah mayoritas diajarkan adalah bidang keal-Qur’anan tapi disini juga diajarkan kitab kuning, pengalaman kealQur’anan bagi saya, hampir sama dengan Rahmet, yaitu dulu saya tidak mengetahui ada qira’attussab’ah, dan imam-imam riwayat lain sekarang saya mengetahui semua itu. Ternyata membaca al-Qur’an harus dengan suara indah dan merdu itu juga saya baru mengetahuinya. Walaupun suara saya kurang bagus tetapi saya sangat menyukai seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, karena proses pengajarannya sangat asyik dan menyenangkan, tidak monoton dan hubungan antara kyai dengan santri cukup baik, sehingga santri banyak yang menyenangi pelajaran seni baca al-Qur’an ini walaupun susah.”99 Mega adalah santri yang belum mempunyai prestasi dalam bidang seni baca al-Qur’an, tetapi semua itu bukan jadi kendala dalam mempelajari seni baca al-Qur’an, walaupun ia mempunyai kekurangan dalam hal suara, ia mempunyai kemauan yang cukup besar untuk bisa dan belajar seni baca AlQur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah.100 Ia mempunyai prinsip bahwa: “Sesulit apapun pelajarannya, kalau kita menyenangi pelajaran dan ustadz atau gurunya maka akan terasa mudah dirasakan. Apalagi dengan penyampaian materi yang menyenangkan dengan menggunakan komunikasi yang baik, maka semakin mudah diterima dan dipahami pelajaran tersebut.”101 Dalam pengajaran seni baca al-Qur’an diajarkan oleh guru atau ustadz yang berpengalaman, terutama seorang kyai Sobron yang sangat rendah hati, tawwadhu, sayang dengan santri walapun banyak santri luar yang mengikuti pelajaran
seni
baca
al-Qur’an,
maka
semuanya
dirasakan
sangat
menyenangkan.102
99 Wawancara Pribadi dengan Sifa Nafiga, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008. 100
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 101
Wawancara Pribadi dengan Sifa Nafiga, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008. 102
Wawancara Pribadi dengan Sifa Nafiga, Santri Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 21 Maret 2008.
Dari 10 orang santri hanya Rahmatullah dan Sifa Nafiga yang penulis jelaskan profilnya, mereka sebagai perwakilan dari tingkat mahir yang dijadikan sampel.
B. Program Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dengan ciri khas keal-Qur’anan, mendidik dan mengajarkan para santri agar dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta dapat melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan indah sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at. Untuk itu, pondok pesantren Al-Qur’aniyyah menetapkan programprogram pengajaran seni baca al-Qur’an untuk menerapkan kedisiplinan ilmu yang harus ditempuh oleh para santri. Program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah ini terbagi menjadi tiga jenjang/kategori, antara lain: 1. Tingkat Dasar Tingkat dasar adalah tingkatan pada tahap awal dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, di mana santri yang belajar seni baca alQur’an berasal dari tingkat pemula, dan kelas persiapan (i’dad). Dalam tingkatan ini, seorang kyai hanya baru memperkenalkan pola-pola dasar kepada santri, yaitu berupa pengenalan tentang lagu-lagu dalam seni baca al-Qur’an secara garis besar, seperti lagu bayyati, lagu shaba, lagu nahawand, lagu hijaz, lagu rost, lagu sika, dan lagu jiharka. Pada tingkatan
ini santri belum diperkenalkan kepada tangga nada lagu dalam seni baca al-Qur’an. 2. Tingkat Menengah Tingkat menengah adalah tingkatan di mana santri sudah mulai memasuki tahap pengembangan dalam proses pengajaran seni baca alQur’an. Pada tahap ini, para santri mulai diadakan praktek untuk lagu-lagu yang sudah diperkenalkan pada tingkat dasar, dan lagu-lagu ini biasanya diungkapkan oleh seorang kyai dalam tausyih, yakni melagukan sejumlah kalimat syair sebatas patokan alunan suara tentang nada dalam suatu lagu.103 Kemudian dari lagu tersebut seorang kyai mempraktekkannya ke dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan setelah itu santri mulai diperkenalkan dengan tangga nada lagu dalam seni baca al-Qur’an. Tangga nada dalam pengajaran seni baca al-Qur’an disebut dengan maqom, yaitu tangga nada yang terdapat dalam lagu-lagu seni baca al-Qur’an. Dalam satu lagu biasanya terdapat beberapa tangga nada di dalamnya, tujuan dari pengenalan tangga nada adalah agar santri mampu menerapkan tangga nada tersebut
ke dalam lagu-lagu yang sudah diajarkan pada tingkat
sebelumnya. Lagu-lagu dalam seni baca al-Qur’an disebut dengan ilmu nagham. Lagu-lagu al-Qur’an adalah lagu-lagu khusus yang disuarakan secara indah dalam membaca al-Qur’an. Lagu-lagu yang dilantunkan adalah lagulagu yang sesuai dengan kaidah-kaidah membaca al-Qur’an yang 103
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
senantiasa mengekspresikan secara indah. Lagu-lagu dengan tangga nada, seperti lagu bayyati dengan nada koror, bayyati dengan nada nawa, bayyati dengan nada jawab, dan bayyati dengan nada jawabul jawab. Kemudian lagu shaba dengan nada asyiroan (nawa), shaba dengan nada ajami (jawab), dan shaba dengan nada quflah bustanjar, dan lain sebagainya. 3. Tingkat Mahir Tingkat mahir adalah tingkatan paling tinggi dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, yaitu santri sudah mulai diperkenalkan dari tingkat dasar sampai tingkat menengah. Dalam tingkatan ini, santri sudah menuju pada pola pengembangan bakat secara menyeluruh. Di mana bakat yang dimiliki oleh santri sudah mulai dikembangkan, dikemas, dan dilatih secara terus-menerus, agar bakat atau kemampuan tersebut bisa diaplikasikan dengan baik ke dalam surat yang sudah ditentukan. Setelah bakat santri sudah terlihat oleh seorang kyai, maka seorang kyai mulai mengukur dan menilai sejauh mana kemampuan atau bakat yang mereka miliki, setelah mendapatkan hasil yang baik, maka santri bisa mengaplikasikan kemampuan mereka ke dalam surat-surat yang lain dari maqro yang sudah diajarkan. Dengan begitu, santri sudah bisa berjalan sendiri sesuai dengan kemampuan dan bakat yang mereka miliki, serta sudah bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.104 Menurut penulis adanya tingkatan-tingkatan yang dilakukan oleh seorang kyai adalah sebagai langkah awal untuk menentukan bagaimana metode penyampaian pesan atau materi pengajaran seni baca al-Qur’an, serta 104
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
bentuk komunikasi apa yang harus dilakukan oleh seorang kyai. Dalam hal penyampaian materi kepada santri dalam tingkatan-tingkatan ini, kyai berusaha memberikan pendekatan-pendekatan komunikasi kepada santri dengan pendekatan yang bervariasi yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing santri. Tujuan dari program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selain untuk mendidik dan mengajarkan para santri agar dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta dapat melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan indah sesuai dengan ilmu lagu-lagu al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at, terdapat tujuan-tujuan lain di dalam program pengajaran seni baca al-Qur’an tersebut, yaitu tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang, di antaranya adalah: I. Jangka Pendek 1. Mengklasifikasikan bakat dan minat santri putra dan putri. 2. Mempersiapkan para santri secara intensif untuk dapat tampil di depan umum. 3. Menampilkan santri putra dan putri untuk dapat tampil pada setiap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan baik secara internal maupun eksternal. II. Jangka Menengah 1. Mengikutsertakan santri
putra dan putri pada setiap kegiatan
perlombaan yang bersifat eksternal.
2. Mengukur kemampuan santri putra dan putri dengan santri dan organisasi lain pada perlombaan yang bersifat eksternal. 3. Melatih dan membina santri putra dan putri untuk dapat menjadi seorang pemimpin baik, untuk dirinya maupun untuk orang lain dengan cara menjadikannya sebagai pengurus pondok.
III. Jangka Panjang 1. Mempersiapkan santri putra dan putri untuk dapat mengisi pada setiap kegiatan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, termasuk menggantikan Asatidzah yang berhalangan hadir. 2. Menerjunkan santri putra dan putri ke masyarakat pada setiap kegiatan baik bila dibutuhkan. 3. Mencetak santri putra dan putri untuk menjadi manusia yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.105
C. Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca AlQur’an 1. Proses Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pengajaran seni baca al-Qur’an diajarkan oleh kyai Sobron pondok pesantren Al-Qur’aniyyah satu kali dalam seminggu, yaitu pada malam jum’at. Kegiatan belajar mengajar tersebut diadakan di Aula secara klasikal/bersama-sama dan waktu belajarnya ba’da sholat Isya. Adapun KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A memberikan pengajaran tersebut, pada tahap 105
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
awal, adalah seorang kyai Sobron melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara melagukan kata demi kata dan kalimat demi kalimat yang sesuai dengan aturan ilmu tajwid dan ilmu qira’at terlebih dahulu, kemudian para santri mengikutinya secara bersama-sama. Sebelum para santri menguasai satu bait secara baik dan benar, maka seorang kyai tidak melanjutkan bait berikutnya secara terburu-buru melainkan mengulanginya berulang kali sampai para santri dapat menguasainya. Bait al-Qur’an tersebut disimak dan dipahami oleh santri yang mengikuti seni baca al-Qur’an. Kemudian berlanjut kepada tahap berikutnya, yaitu kyai memerintahkan kepada para santri yang telah menguasai bait al-Qur’an yang diajarkan, untuk mendemonstrasikannya dengan maju secara individual maupun kelompok, mulai dari lagu bayyati dengan tangga nadanya sampai lagu jiharka dengan tangga nadanya. Setelah individu maupun kelompok santri selesai membaca di depan. Untuk selanjutnya para santri lainnya secara bersama-sama mengikutinya sampai selesai. Seiring para santri mendemonstrasikan bait al-Qur’an, kyai Sobron hanya mendengar dan menyimak serta mengamati kemampuan mereka. Dengan demikian, kyai Sobron bisa menilai dan mengukur sejauhmana bakat atau kemampuan yang mereka miliki.106 Menurut informan pola/bentuk komunikasi yang digunakan oleh kyai Sobron dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren AlQur’aniyyah, dapat diartikan sebagai suatu rencana yang digunakan oleh seorang kyai Sobron dalam menyampaikan materi atau pesan pelajaran seni 106
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
baca al-Qur’an kepada para santri selaku komunikan dengan berbagai macam bentuk. Untuk itu, pola komunikasi yang digunakan oleh kyai Sobron dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, yaitu secara langsung melalui tatap muka dengan lisan, dan menggunakan pola komunikasi kelompok kecil antara seorang kyai Sobron dengan para santri. Dalam
proses
pengajaran
tersebut
kyai
Sobron
menggunakan
komunikasi instruksional, di mana pelaksanaannya komunikasi instruksional yang terjadi dalam mencapai tujuan tersebut lebih banyak menginstruksikan kepada santri untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemahaman tentang materi pengajaran seni baca al-Qur’an. 2. Materi, Lagu dan Metode dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an a. Materi Materi dalam pengajaran seni baca al-Qur’an merupakan ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung makna dan isi pesan-pesan baik dalam bentuk perintah (amr), larangan (nahy), harapan dan himbauan dan lain-lain. Agar para santri dapat lebih mengenal dan memahami isi dan makna kandungan al-Qur’an, ada beberapa materi yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diberikan oleh kyai dalam pengajaran seni baca al-Qur’an di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Materi Keimanan Materi Akhlak Materi Ibadah Materi Halal Bihalal Materi Tasyakuran Materi Peringatan Hari-hari Besar Islam Materi Peringatan Hari-hari Besar Kenegaraan Materi Upacara Pernikahan
9. Materi Santunan Anak-anak Yatim. 107 Selain materi yang berupa makna dan isi kandungan ayat-ayat alQur’an yang diajarkan oleh kyai Sobron kepada santri, namun kyai juga mengajarkan materi ilmu tajwid, qira’at sab’ah dan lain sebagainya. Karena ilmu tajwid merupakan pokok hukum dalam bacaan al-Qur’an. Bila santri belum memahami ilmu tajwid, maka santri akan terus menerus menghafalnya. Ini adalah tingkat awal yang dilaksanakan oleh kyai Sobron kepada santri, untuk mengenal ilmu tajwid dan dapat menerapkannya dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an. Santri harus dapat menguasai ilmu tajwid, bukan hanya sekedar mengetahui tetapi harus mempraktekkannya dengan baik dan benar ketika berlangsungnya proses pengajaran seni baca al-Qur’an.108 b. Lagu dan Tangga Nada (Ilmu Nagham Al-Qur’an) Membaca al-Qur’an selain wajib menggunakan ilmu tajwid, para santri juga dianjurkan agar membaca al-Qur’an dengan suara yang indah dan merdu. Dalam membaca al-Qur’an, para santri hendaknya mengalunkan lagu-lagu yang sejalan dengan keagungan kitab suci alQur’an, yaitu dengan lagu-lagu Arabi, diantaranya: 1. Bayyati Bayyati memiliki 4 (empat) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Qorror (dasar) b. Nawa (menengah) c. Jawab (tinggi) d. Jawabul Jawab (paling tinggi)
107 Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008. 108 Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
2. Shobaa Shobaa memiliki 3 (tiga) tingkatan tangga nada, yaitu: c. Asyiron (nawa) d. Ajami (jawab) e. Quflah Bustanjar 3. Hijaz Hijaz memiliki 3 (tiga) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Hijaz Kar b. Hijaz Kar Kur c. Alwan Hijaz 4. Nahawand Nahawand memiliki 3 (tiga) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Nawa (menengah) b. Jawab (tinggi) c. Quflah Mahur 5. Rost Rost memiliki 5 (lima) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Nawa (menengah) b. Jawab (tinggi) c. Quflah Zinjiron d. Syabir Alarrost e. Alwan Rost 6. Sika Sika memiliki 3 (tiga) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Iraqi (nawa) b. Turki (jawab) c. Variasi Raml 7. Jiharka Jiharka memiliki 2 (dua) tingkatan tangga nada, yaitu: a. Nawa (menengah) b. Jawab (tinggi).109 c. Metode Metode
pembelajaran
di
pondok
pesantren
Al-Qur’aniyyah
merupakan hal setiap kali mengalami perkembangan dan perubahan, 109
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
sesuai dengan penemuan metode yang lebih efektif dan efisien untuk mengajarkan materi palajaran. Metode pengajaran yang digunakan oleh kyai Sobron dan para ustadz berkaitan fungsi dalam pendidikan, yakni sebagai pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, pembentukan watak santri dalam keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua bidang yang digunakan. Berkaitan dengan penggunaan metode pengajaran, yaitu suatu cara penyampaian bahan pelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, maka fungsi metode mengajar tidak dapat diabaikan oleh seorang kyai pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, karena metode mengajar tersebut turut menentukan berhasil tidaknya suatu proses belajar mengajar dan merupakan bagian yang integral dalam suatu sistem pengajaran, tentunya didukung juga oleh bentuk atau pola komunikasi yang baik.110 Kyai Sobron dalam mencetak para santri agar dapat membaca alQur’an secara fasih, benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta melantunkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan ilmu tentang lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at yang berlaku, maka diterapkan metodemetode pengajaran dalam menyampaikan materi atau pesan kepada santri untuk mempermudah memahami materi atau pesan tersebut. Adapun metode-metode yang digunakan oleh kyai, adalah sebagai berikut: 1. Metode Penugasan Metode penugasan merupakan salah satu cara di dalam penyajian bahan pelajaran kepada santri dimana kyai memberikan sejumlah tugas
110
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
kepada santri untuk mempelajari bahan atau materi, kemudian santri diperintahkan untuk mempertanggungjawabkannya. Menurut informan dalam metode ini seorang kyai atau ustadz menggunakan komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok kecil, yaitu kyai menugaskan santri untuk mengucapkan kalimat atau bait lagu, dan santri melanjutkan kalimat atau bait lagu yang telah diucapkan oleh kyai atau ustadz. 2. Metode Hafalan Sebagai sebuah metode pengajaran, hafalan pada umumnya diterapkan pada pelajaran yang bersifat nagham (syair). Dalam metode ini santri diberikan tugas untuk menghafal beberapa bait atau baris kalimat dari sebuah al-Qur’an dengan lagu dan tangga nadanya, untuk kemudian membacakannya di depan seorang kyai. Menurut informan metode ini, biasanya dilakukan dengan cara tatap muka melalui komunikasi interpersonal, di mana setiap santri diharuskan membacakan tugas hafalannya dihadapan kyai atau ustadz, jika santri hafal dengan baik, maka santri diperbolehkan untuk melanjutkan tugas hafalan berikutnya. 3. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab adalah penyampaian pelajaran dengan cara guru
mengajukan
pertanyaan
dan murid
menjawabnya,
atau
sebaliknya. Seorang kyai menyampaikan materi pembelajaran lagu dan nada yang terdapat dalam seni baca al-Qur’an kepada para santri secara
langsung melalui tatap muka dengan lisan dan menggunakan komunikasi kelompok kecil, setelah santri mendengarkan materi tersebut dengan baik, maka kyai mempersilahkan kepada santri yang hendak bertanya apabila materi lagu dan nada yang diajarkan dirasa belum dimengerti dan dipahami, kemudian kyai akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh santri dengan baik. Menurut informan metode ini dimaksudkan untuk merangsang santri untuk meningkatkan kembali materi yang telah disampaikan dahulu, serta untuk mengetahui pemahaman santri terhadap materi yang disampaikan oleh seorang kyai. Dalam metode tanya jawab ini, seorang kyai melayani para santri yang belum mengerti mengenai materi yang telah disampaikan atau juga ingin mendapat pengetahuan yang lebih mendalam dari pengajaran seni baca al-Qur’an yang telah disampaikan. 111 4. Metode Membaca Metode membaca dilakukan dengan cara membaca bersama-sama atau tadarus. Dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an, seorang kyai menggunakan metode membaca, yaitu membacakan ayat-ayat alQur’an dengan seninya, lalu santri mengulangi kata demi kata sama secara bersama-sama seperti yang dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz. Menurut informan dalam metode ini kyai menggunakan komunikasi kelompok kecil karena bentuk komunikasi seperti ini sangat membantu kyai dalam mengetahui kemampuan santri dalam 111
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
mengubah sikap dan tindakan santri dalam sehingga memahami materi yang disampaikan dengan baik. 5. Metode Menyimak Ketika kyai melafadzkan ayat-ayat al-Qur’an dengan seninya, santri di harapkan menyimak, menghayati dan mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dilafadzkan oleh kyai. Menurut informan bentuk komunikasi yang digunakan oleh kyai dalam metode ini adalah komunikasi interpersonal, karena dengan bentuk komunikasi seperti ini santri dapat lebih fokus terhadap materi yang disampaikan oleh kyai atau ustadz. 6. Metode Demonstrasi Demostrasi merupakan bentuk penyampaian pesan atau materi dengan cara mempraktekkan, memperagakan barang, kejadian, aturan dan urutan melakukan sesuatu kegiatan baik secara langsung maupun melalui penggunaan media komunikasi yang relevan dengan materi yang sedang disajikan. Demonstrasi dalam hubungannya dengan penyajian informasi dapat diartikan sebagai upaya peragaan atau praktek tentang cara melakukan sesuatu atau mengerjakan sesuatu. Menurut informan komunikasi yang digunakan oleh kyai kepada santri dalam metode demonstrasi adalah komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok kecil, di mana santri yang sudah menguasai materi
yang
telah
disampaikan
oleh
kyai,
kemudian
santri
mendemonstrasikan kemampuan mereka dihadapan kyai dan santrisantri lainnya.
Metode ini sangat merangsang santri untuk lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran seni baca al-Qur’an, dapat membantu santri untuk mengingat lebih lama materi pelajaran yang telah disampaikan, karena santri tidak hanya mendengar tetapi juga melihat bahkan mempraktekkannya secara langsung. Metode ini akan dapat berjalan lebih efektf dan efisien, apabila materi yang didemonstrasikan ditindaklanjuti oleh santri dalam kehidupan sehari-hari maupun dengan latihan secara kontinyu sehingga santri tidak lupa dengan materi tersebut. Dengan penggunaan metode ini, kyai dengan mudah mengukur dan manilai kemampuan santri dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an. 7. Metode Motivasi Metode motivasi merupakan suatu pendorong atau penyemangat bagi para santri yang mengikuti pelajaran. Bagi santri yang mempunyai kepandaian atau kemampuan dalam penguasaan materi. Santri yang sudah terlihat kemampuan dan kemahirannya dalam menguasai materi yang disampaikan oleh kyai, maka seorang kyai memprediksikan bahwa santri tersebut sudah bisa dikatakan santri yang bagus dan baik dalam penilaian. Dengan begitu, santri yang sudah mahir dalam seni baca al-Qur’an akan diikuti perlombaan dalam berbagai tingkatan, kemudian seorang kyai akan menerjunkan santri untuk memanfaatkan ilmu yang sudah didapat ke masyarakat.112
112
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
Menurut informan metode-metode yang digunakan oleh KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, pimpinan pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam pengajaran seni baca al-Qur’an mencetak santri agar dapat membaca alQur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu lagu-lagu dalam al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qiro’at yang berlaku ternyata tidak sia-sia, terbukti kebanyakan santri yang mempunyai kemampuan dan bakat yang mereka miliki dari pengajaran seni baca al-Qur’an.
D. Analisis Pola Komunikasi Kyai dan Santri Dalam Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pola komunikasi yang sering digunakan oleh KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, dan para ustadz dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan Komunikasi Antar Pribadi Pendekatan komunikasi antar pribadi (komunikasi interpersonal) dilakukan oleh kyai Sobron dan santri secara tatap muka melalui lisan, komunikasi ini berlangsung dalam proses pengajaran seni baca al-Qur’an di dalam kelas, santri yang telah menguasai materi yang diajarkan oleh kyai Sobron, kemudian mendemonstrasikannya dihadapan beliau. Apabila santri yang mempunyai kekurangan dalam penguasaan materi, maka santri berkonsultasi langsung secara pribadi kepada beliau, santri mengungkapkan permasalahan yang dihadapinya kemudian beliau memberikan solusinya.
Komunikasi antar pribadi ini terjadi di dalam maupun di luar proses pengajaran seni baca al-Qur’an. Dengan bentuk komunikasi ini, hubungan antara kyai Sobron dan santri sangat baik, sehingga materi yang diajarkan cepat dikuasainya. Bentuk komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh beliau, sangat membantu santri yang mempunyai kesulitan dalam pelajaran dapat dihadapi. Pentingnya situasi komunikasi antar pribadi (interpersonal), bagi beliau ialah karena ia dapat mengetahui secara langsung diri santri selengkap-lengkapnya, artinya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilakunya. Dengan demikian beliau dapat mengarahkannya kepada santri suatu tujuan sebagaimana yang ia inginkan, yaitu proses pengajaran yang efektif. 113 2. Komunikasi Kelompok Kecil Komunikasi kelompok kecil dalam pengajaran seni baca al-Qur’an, terjadi antara kyai Sobron atau ustadz dengan santri dapat terjadi dialog atau tanya jawab, dibandingkan dengan komunikasi antar pribadi (interpersonal). Di pondok pesanteren Al-Qur’aniyyah, santri yang berada di dalam kelas dikatakan sebagai kelompok yang relatif kecil, berbeda dengan kelompok besar. Individu-individu dalam kelompok kecil bersifat rasional sehingga setiap materi seni baca al-Qur’an yang disampaikan kepada santri akan ditanggapi secara kritis. Dalam situasi kelompok kecil ini, seorang kyai bisa mengubahnya menjadi komunikasi secara pribadi. Dalam situasi kelompok kecil, kyai Sobron sebagai seorang komunikator memperhatikan umpan balik santri, sehingga beliau dapat segera mengubah 113
Wawancara Pribadi dengan Ust. Muhammad Hilimi, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
gaya komunikasi, dikala kyai Sobron mengetahui bahwa umpan balik dari santri bersifat negatif, situasi kelompok kecil berlangsung secara tatap muka, maka tanggapan santri dapat segera diketahui. Umpan balik yang diperlukan seorang kyai Sobron atau ustadz adalah yang bersifat verbal, karena komunikasinya ditunjukkan kepada kognisi santri. Jadi, permasalahannya mengerti atau tidak semuanya itu harus dinyatakan dengan kata-kata. Keuntungan bagi seorang kyai menggunakan komunikasi kelompok kecil dalam penyampaian materi terdapat kontak langsung secara pribadi, umpan balik secara langsung, suasana lingkungan komunikasi dapat diketahui, sehingga kyai dapat mengetahui tanggapan dan reaksi santri pada saat menyampaikan materi pelajaran seni baca al-Qur’an. Sehingga bila komunikasinya tidak berhasil, saat itu juga seorang kyai Sobron atau ustadz akan mengubah taktiknya. 114 3. Komunikasi Instruksional Komunikasi instruksional yang digunakan oleh kyai Sobron dalam pengajaran seni baca al-Qur’an melalui komunikasi secara verbal, yaitu komunikasi secara langsung dengan lisan. Setiap harinya seorang kyai selalu menggunakan komunikasi tersebut dalam penyampaian materi pelajaran. Hal ini bisa terlihat dari adanya instruksi dari kyai kepada santri, dan instruksional tersebut berupa: a. Santri diwajibkan untuk membaca dan mendemonstrasikan materi pelajaran yang sudah disampaikan oleh seorang kyai.
114
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
b. Santri diwajibkan untuk mengikuti pelajaran seni baca al-Qur’an setiap hari kamis, jam 19.30 wib. Dan hari-hari lain yang sudah ditentukan. c. Mengingat waktu belajar
yang sangat terbatas, maka untuk
meningkatkan wawasan santri mengenai pengajaran seni baca alQur’an, maka ada komunikasi instruksional yang mewajibkan santri untuk mengikuti pengajaran tersebut, kehadiran, keaktifan, dan diperhitungkan
sebagai
faktor
penilaian
akhir
masa
belajar
mengajar.115
E. Hasil Yang Dicapai dari Pengajaran Seni Baca Al-Qur’an Pondok
pesantren
Al-Qur’aniyyah
medapatkan
mendapatkan
keberhasilan yang sangat gemilang atas sebuah prestasi yang diraihnya, dan selama ini dapat dimungkinkan karena didukung oleh bentuk atau pola komunikasi pengajaran yang baik, metode pengajaran yang baik, tenaga pengajar yang profesional dan kurikulum yang baik pula. Ada beberapa hasil yang dicapai oleh pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, diantaranya: 1. Pemahaman Dengan pola-pola komunikasi yang digunakan dan penerapan metodemetode pengajaran dalam pengajaran seni baca al-Qur’an banyak sekali santri yang benar-benar memahami pelajaran yang disampaikan oleh KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A. Dengan pelajaran tersebut santri dapat mengetahui makna dan isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an, ilmu tajwidnya, mengetahui
115
Wawancara Pribadi dengan, KH. Drs. M. Sobron Zayyan, M.A, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Qur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
lagu-lagu dan tangga nada yang sesuai dengan kaidah-kaidah seni baca alQur’an. Dengan begitu, ilmu yang didapat dengan pemahaman santri dalam pengajaran seni baca al-Qur’an bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Misalnya, ketika santri sedang tadarus, menjadi imam sholat, mereka menggunakan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an secara tartil, murotal dengan ilmu tajwid dan lagu yang terdapat di dalamnya. 2. Mencetak Qori dan Qori’ah Tujuan dari pondok pesantren Al-Qur’aniyyah adalah mencetak santri agar dapat membaca al-Qur’an secara fasih, baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta mampu melantunkannya sesuai dengan ilmu nagham dan ilmu qira’at yang berlaku sehingga santri bisa menjadi qori dan qori’ah yang profesional. Pengasahan kemampuan bakat santri dalam seni baca al-Qur’an dilakukan dengan cara mengikuti perlombaan dengan berbagai tingkatan, setelah santri mengikuti perlombaan tersebut kemudian mendapatkan hasil yang gemilang, dengan bernagai macam hadiah terutama pergi haji dan umroh, maka santri dikatakan sukses dalam pelajaran seni baca Al-Qur’an, sehingga santri tersebut dikatakan sebagai qori dan qori’ah yang profesional . Adapun keberhasilan dalam mencetak qori dan qori’ah, pondok pesantren Al-Qur’aniyyah juga melahirkan beberapa qori internasional dan qori nasional, di mana qori internasional yang belum lama mengikuti perlombaan di Libia perwakilan DKI Jakarta, yaitu H. Agus Burhannudin. Pada tingkat nasional, yaitu H. Romelih, ia mewakili Palangkaraya,
Rahmatullah mewakili Lampung, Muttamimah dan Munfarrih mewakili Propinsi Banten.116
116
Wawancara Pribadi dengan Ust. Abdul Latif, S.Ag, Pengurus Pondok Pesantren AlQur’aniyyah, Tangerang, 20 Maret 2008.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, mendapatkan keberhasilan yang sangat gemilang atas sebuah prestasi yang diraih dalam pengajaran seni baca alQur’an, dan selama ini dapat dimungkinkan karena didukung oleh bentuk atau pola komunikasi pengajaran yang baik, metode pengajaran yang bagus, tenaga pengajar yang profesional dan kurikulum yang baik pula. Sehingga dapat memungkinkan bagi pengurus dan pengelolah pondok pesantren mampu menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang kaya akan disiplin, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Berdasarkan uraian tentang kondisi objektif kegiatan pondok pesantren AlQur-aniyyah dalam mengarahkan bakat masing-masing santri kearah pengkaderan generasi muda menjadi seorang qori-qoriah, da’i-da’iyah, hafidz-hafidzah, yang memiliki dasar keagamaan yang berkualitas, yaitu dengan penggunaan pola-pola komunikasi dan metode pengajaran dilakukan oleh seorang kyai pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dapat menentukan hasil akhir yang memuaskan. Akhirnya dari uraian tersebut dapat penulis simpulkan bahwa: 1. Pola komunikasi yang digunakan oleh kyai pondok pesantren AlQur’aniyyah terhadap santri dalam pengajaran seni baca Al-Qur’an dari berbagai tingkatan, terutama pada tingkatan mahir ialah pola komunikasi verbal yaitu komunikasi secara tatap muka dengan menggunakan lisan dalam penyampaian materi pelajaran. Selain itu, kyai juga menggunakan
komunikasi instruksional, komunikasi antar pribadi (interpersonal), dan komunikasi
kelompok
kecil.
Pondok
pesantren
Al-Qur’aniyyah
menetapkan program-program pengajaran seni baca al-Qur’an untuk menerapkan kedisiplinan ilmu yang harus ditempuh oleh para santri. Program pengajaran seni baca al-Qur’an yang diterapkan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah selain untuk mendidik dan mengajarkan para santri agar dapat membaca al-Qur’an dengan baik dan benar sesuai dengan ilmu tajwid, serta dapat melantunkan ayat-ayat al-Qur’an dengan indah sesuai dengan ilmu lagu-lagu al-Qur’an (ilmu nagham) dan ilmu qira’at, terdapat tujuan-tujuan lain di dalam program pengajaran seni baca alQur’an tersebut, yaitu tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang. Dan keberhasilan yang dicapai oleh pondok pesantren Al-Qur’aniyyah dalam pengajaran seni baca al-Qur’an adalah pemahaman bagi para santri terhadap isi dan makna al-Qur’an serta ilmu dan kaidah yang terkandung dalam al-Qur’an, mengenal lagu-lagu maupun nada-nada dalam al-Qur’an, sehingga tercetak qori dan qoriah dari berbagai tingkatan, mulai dari tingkat biasa sampai tingkat internasional.
B. Saran Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis terhadap kegiatan pengajaran seni baca Al-Qur’an yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah. Penulis ingin memberikan sedikit saran kepada pondok pesantren Al-Qur’aniyyah sekaligus kepada pengurus-pengurus dan kepada para santri yang sekiranya dapat
bermanfaat, guna dijadikan bahan pertimbangan untuk melangkah selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pengajaran tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Bagi pengurus, perlu adanya peningkatan kualitas para guru, agar kegiatan belajar mengajar dapat terlaksana dengan baik. Serta diharapkan adanya peningkatan dan lebih mengoptimalkan hasil-hasil pembinaan terhadap santri. Semua itu, dapat dilakukan dengan cara merekrut tenaga-tenaga profesional yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam seni baca al-Qur’an. 2. Agar santri menjadi generasi yang kreatif dan maju, perlu kiranya usaha untuk membekali mereka dengan pengalaman-pengalaman. 3. Perlu adanya kelas khusus bagi santri dalam rangka pengembangan bakat dan kemampuan dalam seni baca al-Qur’an. 4. Bagi pondok pesantren Al-Qur’aniyyah, agar kegiatan pengajaran seni baca al-Qur’an yang dilaksanakan di pondok pesantren Al-Qur’aniyyah berjalan dengan baik perlu kiranya menjalin kerja sama dengan berbagai pondok pesantren lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saipuddin, Wawasan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1986. Basyiruddin Usman, Asnawir, Media Pembelajaran, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1. ……………………………………………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, Cet. Ke-1. ……………………………………………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Cet, Ke-7. ……………………………………………, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet, Ke-3. Dirdjosanjoto, Pradjata, Memelihara Umat Kyai Pesantren-Kyai Langgar Jawa, Yogyakarta: LKIS, 1999, Cet, Ke-1. Effendi, Onong Uchjana, Spektrum Komunikasi, Bandung: Bandar Maju, 1992, Cet, Ke-1. …………………………., Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, Cet, Ke-4. ………………………., Kepemimpinan dan Komunikasi, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996. Cet. Ke-1. ……………………….., Dinamika Rosdakarya, 2004, Cet-Ke-6.
Komunikasi,
Bandung:
PT.
Remaja
………………………., Kepemimpinan dan Komunikasi, Yogyakarta: PT. AlAmin Press, 1992, Cet, Ke-1. Haedari, Amin dkk, Masa Depan Pesantren, Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta: IRD Press, 2004.
Liliweri, Alo, Komunikasi Antar Pribadi, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 1991,Cet. Ke-1. Langgulung, Hasan, Prndidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1983, Cet, Ke-3. Moleong, Lexy. J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2007, Cet, Ke-23. Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997. Puis A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Rosyidi, T. A. Lathief, Dasar-dasar Retorika Komunikasi dan Informasi, Medan: 1985. Salim, Muhsin, Ilmu Nagham Al-Qur’an, Jakarta: Kebayoran Widya Ripta, 2000.
Sabri, Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta, 2005, Cet. Ke-1.
Sudjana, Nana, Cara Belajar Siswa Aktif, Bandung: Sinar baru, 1989.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. Ke-13. Suyakhmad, Winayno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsiti, 1986, Cet, Ke-7. Susanto, Astrid. S, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung: Bina Cipta, 1947. ………………….., Komunikasi Dalam Teori dan Praktek 1, Bandung: Bina Cipta, 1998. Usman, Basyiruddin, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Widjaja, H. A. W, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet. Ke-3.
…………………, Ilmu KomunikasiPengantar Studi, Jakarta: Rine Cipta, 2000, Cet, Ke-2. Yusuf, Pawit M, Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional, Jakarta: Jakarta Press, 2002, Cet, Ke-1. Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M. 1986.