Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
POLA HORMONAL INDUK SAPI BALI YANG DIBERI SUPLEMENTASI MULTINUTRIEN BLOK SEBELUM DAN SESUDAH MELAHIRKAN (Hormonal Patterns of Pre-and Postcalving Bali Cows Supplemented with Multi-Nutrient Blocks) H.L.L. BELLI1 dan W. HOLTZ2 1 Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur Institut Fur Tierzucht und Haustiergenetik der Georg-August-Universitat Gottingen, Germany
2
ABSTRACT The influence of multinutrient blocks during pre and postcalving on progesterone and prolactin profiles of Bali cows were evaluated. Seventeen multiparous pregnant cows with BCS 1 to 2, approximately 90 day before the expected date of calving, were divided randomly into groups A (n=9) and B (n=8), and were grazed on the native pasture as a basal diet, wihile those of group B received 1.25 kg multi nutrient blocks, whose constitute was as follows (%): molasses (28), urea (5), coconut cake (15), fishmeal (5), rice bran (25), lime (8.5), salt (7.5), grit (5) and ultramineral (l). Cows were weighed and assessed for BCS (on a five-point scale) every two weeks, commencing at 12 weeks prior to calving, within 24 day after calving up to 16 weeks after calving. Plasma progesterone was measured twice weekly using RIA procedure while serum prolactin concentrations was measured using an ELISA at weekly interval. Bali cow grazing on natural pasture had a similar pattern of prepartum progesterone profile to Bali cows supplemented with multi-nutrient blocks. Plasma progesterone of both groups was low after parturition, but 4 cows from non-supplemneted and 5 cows from supplemented group had a transient rise of progesterone prior to the first estrus. Supplementation with multi-nutrient blocks to pre- and postcalving Bali cows grazing on natural pasture did not affect serum prolactin concentration. The fluctuated of serum prolactin levels were still substantially lower than the prolactin level occurred at calving. The magnitude of prolactin concentrations in Bali cows is much lower than in other breeds. Plasma progesterone concentrations between the two gropus around precalving period were not sifnificantly affected by the multinutrient block. Key Words: Progesterone, Prolactin, Bali Cow, Multinutrient ABSTRAK Pengaruh multinutrien blok terhahap profil hormon progesteron dan prolactin induk sapi Bali sebelum dan sesudah melahirkan telah diteliti. Sebanyak 17 induk multipara dengan BCS 1-2 (skala 5), kuang lebih 90 hari sebelum parturisi dibagi ke dalam kelompok A (n=9) dan B (n=8), yang digembalakan atau merumput pada padang penggembalaan alam sebagai ransum basal, sementara kelompok B memperoleh suplemen multinutrien blok dengan komposisi (%) sebagai berikut: molases (28), urea (5), bungkil kelapa (15), tepung ikan (5), dedak padi (25), kapur (8,5), garam (7,5), grit (5) dan ultramineral (1). Ternak ditimbang dan dinilai BCS nya setiap 2 minggu, dalam 24 jam setelah melahirkan sampai 16 minggu postpartum. Plasma progesteron diukur 2 kali seminggu menggunakan metode RIA sedang serum prolactin diukur denggunakan metode ELISA setiap minggu. Induk sapi yang hanya digembalakan mempunyai pola profil progesteron yang sama dengan induk yang diberi suplemen multinutrien blok. Plasma progesteron dari kedua kelompok ternah rendah setelah partus, tetapi 4 induk dari kelompok yang hanya digembalakan serta 5 induk dari kelompok suplemen mempunyai pola peningkatan progesteron sementara sebelum estrus pertama postpartum. Suplementasi multinutrien blok pada induk sapi yang digembalakan sebelum dan sesudah melahirkan tidak berpebgaruh terhadap konsentrasi serum prolactin. Fluktuasi serum prolactin postpartum secara substansial lebih rendah dibanding level prolactin pada saat parturisi.Besaran konsentrasi prolactin induk sapi Bali sangat rendah dibanding dengan bangsa sapi lainnya. Kata Kunci: Progesteron, Prolactin, Sapi Bali, Multinutrien
164
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PENDAHULUAN Aktivitas ovarium bovine umumnya direfleksikan oleh kehadiran atau absennya corpus luteum (CL), karenanya beberapa peneliti memberikan perhatian terhadap pengukuran hormon progesteron. Konsentrasi progesteron dalam plasma sapi yang berada di atas level basal yang rendah menunjukkan suatu kondisi keberadaan aktivitas sekresi jaringan luteal, karena kemungkinan sumber progesteron lainnya tidak ada pada ternak yang tidak bunting (LAMMING dan BULMAN, 1976). Selanjutnya CORAH et al. (1974) melaporkan bahwa tingkat energi sebelum melahirkan tidak berpengaruh terhadap level progesteron sebelum dan sesudah melahirkan. Sebaliknya GAUTHIER et al. (1983) menemukan adanya pengaruh nutrisi terhadap progesteron pada sapi dara dan induk bunting. Mereka mendapatkan bahwa hal ini dapat mengarah kepada rendahnya level gonadotropin pada induk dengan nutrisi rendah selama awal periode postpartrum, yang pada gilirannya dapat menunda permulaan siklus. Lebih lanjut RHIND et al. (1985) menyatakan bahwa level nutrisi mempengaruhi konsentrasi plasma prolactin. LACASSE et al. (1994) yang mengukur suatu kenaikan konsentrasi prolactin prepartum dengan memberikan level nutrisi yang tinggi berspekulasi bahwa kenaikan prolactin berhubungan dengan meningkatnya lipogenesis pada sapi dara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakteristik profil plasma progesteron selama interval waktu sebelum dan sesudah melahirkan serta profil serum prolactin di sekitar parturisi sampai 16 minggu sesudah melahirkan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di desa Noelbaki , kurang lebih 17 km dari Kupang. Sebanyak 17 induk sapi Bali multipara dengan BCS 1–2, kurang lebih 90 hari menjelang melahirkan, secara random dialokasikan ke dalam salah satu dari 2 kelompok makanan. Sembilan induk (kelompok A) hanya merumput pada padang penggembalaan alam sedang 8
induk lainnya (kelompok B) disamping digembalakan bersama kelompok A, diberikan tambahan 1,25 kg multinutrien blok dengan komposisi sebagai berikut (%):molases (28), urea (5), bungkil kelapa (15), tepung ikan (5), dedak padi (25), kapur (8,5), garam (7,5), grit (5) dan ultramineral (1). Ternak ditimbang dan body condition score (BCS) dinilai pada skala 1–5 pada interval 2 minggu, dalam waktu 24 jam setelah melahirkan sampai 16 minggu kemudian. Sampel darah diambil dari vena jugularis dua kali seminggu untuk mengukur konsentrasi progesterone menggunakan metode radioimmunoassay (RIA) sebagaimana direkomendasikan FAO/IAEA, serum prolactin diukur setiap minggu menggunakan metode ELISA buatan Boehringer MannheimGermany, yang dilakukan saat melahirkan sampai 4 bulan kemudian atau pada Juli 1999. Rata-rata konsentrasi plasma progesteron dan prolactin dianalisi menggunakan multivariate analysis of vaiance (manova). Untuk pengukuran data yang terulang digunakan general linear model (GLM) menurut SAS (1988). HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi plasma progesteron selama 12 minggu prepartum dapat dilihat pada Gambar 1. Konsentrasi progesteron pada 12 minggu sebelum melahirkan adalah berturut-turut 5,7 ng/mL untuk induk yang tidak diberi suplemen serta 4,7 ng/mL pada induk yang diberi suplemen. Hal ini menunjukkan bahwa level progesteron tidak dipengaruhi oleh suplementasi multinutrien blok. Sejak minggu ke 12 sampai minggu ke 1 menjelang melahirkan, level progesteron menurun secara gradual sampai pada level 3,7 ng ± 0,3 ng/mL dan 3,1 ± 0,3 ng/mL masing-masing pada induk kontrol dan yang mendapat suplemen, dan secara keseluruhan adalah 3,4 ± 0,5 ng/mL. Selanjutnya konsentrasi progesteron menurun secara tajam 1–2 hari sebelum parturisi dan tetap pada level tersebut sampai mencapai level basal setelah parturisi. Konsentrasi progesteron antara kedua kelompok induk selama periode ini secara signifikan tidak dipengaruhi oleh suplementasi
165
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
multinutrien blok walaupun induk yang diberi suplemen cenderung memiliki level Supplemented
progesteron sedikit lebih rendah (pada minggu ke 11 dan ke 10) dibanding induk kontrol.
Non-supplemented
7.0
Progesteron (ng/mL)
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 -12
-11
-10
-9
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
Minggu sebelum beranak
Gambar 1. Konsentrasi Progesteron (rata-rata se) dalam plasma selama 12 minggu terakhir kebuntingan pada induk sapi kontrol dan yang diberi perlakuan suplemen
Selama awal periode postpartum konsentrasi plasma progesteron pada kedua kelompok, menurun dari rata-rata 2,5 dan 2,2 ng/mL pada hari ke 2 sebelum melahirkan ke level basal 0,01 ng/mL, dan selanjutnya berfluktuasi dari tak terdeteksi dan 0,12 ng/m sampai permulaan fase luteal. Pada 4 ekor induk dari kelompok kontrol dan 5 induk dari kelompok suplemen, konsentrasi progesteron meningkat sementara mencapai lebih dari 1,0 ng/mL selama 3–4 hari sebelum terjadi estrus pertama postpartum. Penurunan terjadi selama 5 hari kemudian meningkat lagi pada level fase luteal, sedang 8 induk lainnya (5 induk kontrol dan 3 induk suplemen) tidak menunjukkan peningkatan sementara progesteron sebelum estrus pertama. Pola progesteron pada periode ini dapat dilihat pada Gambar 2. Menurunnya konsentrasi progesteron pada minggu ke satu sebelum parturisi sejalan dengan laporan MUKASA-MUGERWA et al. (1991). Walaupun level progesteron pada penelitian ini tidak sama besarannya seperti yang dilaporkan oleh CORAH et al. (1974) pada sapi potong, terdapat kecendrungan mengikuti pola progesterone prepartum. Selanjutnya, STABENFELD et al. (1970) melaporkan bahwa progesteron yang menurun secara gradual selama 2 minggu terakhir kebuntingn,
166
mendahului menurunnya progesteron secara tiba-tiba sebelum parturisi meskipun tidak dianalisis secara statistik. Konsentrasi progesteron dari kedua kelompok induk sapi adalah rendah sesudah parturisi, sesuai dengan pengamatan HUMPREY et al. (1983) yang melaporkan bahwa konsentrasi progesteron pada periode ini adalah tak terdeteksi sampai sebelum estrus pertama postpartum.Demikian pula MCNEILLY (1988) yang melaporkan bahwa sebelum ovulasi pertama postpartum pada sapi, konsentrasi progesteron yang tetap pada level basal, menunjukkan absennya CL fungsional. Induk sapi pada kedua kelompok dalam penelitian ini masih memiliki sejumlah progesteron tak terdeteksi sampai mencapai 0,12 ng/mL pada hari ke 101,9 dan 112,8 postpartum masing-masing pada kelompok kontrol dan kelompok suplemen, dan oleh karena itu dianggap sebagai periode anestrus postpartum. Hal ini sesuai dengan laporan UNDU (1996), yakni konsentrasi progesteron postpartum adalah 0,01 sampai 0,13 ng/mL pada induk sapi Bali di Sulawesi Selatan. Peningkatan sementara konsentrasi progesterone sebelum estrus pertama terjadi secara jelas pada penelitian ini. Peningkatan plasma progesterone dalam jangka pendek
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
(Gambar 2) yang terjadi pada 4 dan 5 induk untuk kelompok control dan kelompok suplemen mendahului dimulainya siklus ovarium atau siklus estrus telah dikemukakan sebelumnya oleh sejumlah peneliti (ARIJE et al., 1974; CORAH et al., 1974; HUMPREY et al., 1983; DIMMICK et al., 1991). Peningkatan progesterone dalam waktu singkat bagaimanapun nampaknya merupakan sesuatu yang esensiel dalam mengorganisir fungsi luteal normal berikutnya (RAMIREZ-GODINEZ et al., 1981). Sumber dari peningkatan sementara progesterone dalam peripheral ini belum secara jelas diidentifikasi, walaupun sebelumnya telah dikatakan kemungkinan berasal dari folikel
yang mengalami luteinisasi (CORAH et al., 1974), atau disebabkan oleh sejumlah kecil jaringan luteal yang berada di dalam ovarium sebagaiman dilaporkan oleh Berardinalli dkk. (1979). Setelah permulaan peningkatan progesterone dalam darah, selanjutnya hewan memperlihatkan tanda-tanda estrus, ovulasi, dan konsepsi (setelah IB), sesuai pendapat RAMIREZ-GODINEZ et al., (1981). Lebih lanjut RAMIREZ-GODINEZ et al., (1982) menyatakan bahwa suatu peningkatan konsentrasi progesterone sebelum ovulasi pertama diperlukan untuk menjadikan fase luteal pertama menjadi fase luteal dengan interval yang normal.
Progesteron (ng/mL)
S
NS
5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
-7
-4
0
4
7
11
14
18
14
18
Hari setelah pertama berahi
a
Progesteron (ng/mL)
S
NS
5.5 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -7
-4
0
4
7
11
Hari setelah pertama berahi
b
167
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Gambar 2. Pola progesteron postpartum pada 4 induk kelompok kontrol dan 5 induk kelompok suplemen yang menunjukkan puncak progesteron dalam waktu pendek (a) dan sisa induk lainnya yang tidak menunjukkan tren tersebut (b)
Prolactin (ng/mL)
S
NS
2,8 2,6 2,4 2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
We e ks of lactation Minggu laktasi
Gambar 3. Konsentrasi serum prolactin (rata-rata ± se) dari induk sapi Bali yang digembalakan dan yang mendapat suplemen multinutrien blok
Konsentrasi serum prolactin tidak dipengaruhi baik oleh suplementasi multinutrien blok maupun oleh tahapan laktasi, dimana kedua kelompok mengikuti tren yang sama selama pengamatan (Gambar 3). Namun fluktuasi level serum prolactin secara substansial lebih rendah dari level prolactin pada saat parturisi. Segera setelah melahirkan, level prolactin pada induk sapi kelompok kontrol adalah 1,9 ± 0,2 ng/mL dan induk kelompok suplemen 2,3 ± 0,3 ng/mL, kemudian menurun pada level 1,7 ± 0, 1 ng/mL dan 1,9 ± 0,2 ng/mL, dan bertahan pada level ini sampai minggu ke 16 laktasi. Rata-rata konsentrasi serum prolactin pada penelitian ini sama untuk kedua kelompok induk, tidak dipengaruhi oleh suplemen yang diberikan (Gambar 3). Nampaknya, bahwa level nutrisi dari multinutrien blok tidak dapat mempengaruhi konsentrasi prolactin selama 16 minggu masa laktasi. Hasil penelitian ini sama dengan studi sebelumnya yang dilakukan oleh LOUDON et al. (1989) dan MOORBY et al. (2000). Lebih tingginya level prolactin pada kedua kelompok induk yang terjadi sesaat setelah melahirkan menunjukkan terjadinya kondisi stress pada saat melahirkan. Kondisi ini sejalan
168
dengan AMENOMORI et al. (1970) yang menemukan adanya peningkatan yang besar prolactin pada sirkulasi peripheral pada minggu terakhir menjelang parturisi, terutama mendekati parturisi. Disamping itu, besaran kinsentrasi prolactin pada induk sapi Bali sangat rendah dibanding pada bangsa lain. Dilaporkan bahwa konsentrasi prolactin ratarata 33 ± 3 ng/mL pada minggu ke 4 laktasi dan 68 ± 9 ng/mL pada minggu ke 16 laktasi pada sapi Holstein (Koprowski dan Tucker, 1973) dan 92,9 ng/mL pada hari ke 35 dan 105 laktasi pada sapi dara Angus x Simmental cross (ALDRICH et al., 1995). Pada sebagian besar spesies, penekanan sekresi prolactin selama laktasi mempunyai efek dramatis terhadap sekresi susu (TAYLOR dan PEAKER, 1975); sebaliknya, hubungan antara serum prolactin dengan produksi susu pada sapi adalah rendah (KOPROWSKI dan TUCKER, 1973) terutama pada awal masa laktasi. Pada sapi, perlakuan agar pituitary mensekresi prolactin tidak berhasil meningkatkan produksi susu (PLAUT et al., 1987). Selain itu KNIGHT et al.. (2000) mengadakan hipotesis bahwa sintesis dan sekresi lemak terbesar dibawah kontrol GH, sementara prolactin lebih terlibat dalam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
produksi lactose dan karena itu meningkatkan volume susu. Kelihatannya, jaringan kelenjar mammary ruminansia memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap prolactin dan dapat mengasingkan jumlah besar dari hormon walaupun sedikit saja yang berada dalam sirkulasi. Dapat disimpulkan bahwa induk sapi Bali yang digembalakan di padang penggembalaan alam memiliki pola profil progesterone yang sama dengan induk yang diberi suplemen multinutrien blok pada periode sebelum dan sesudah parturisi. Plasma progesterone pada kedua kelompok induk tersebut adalah rendah sesudah parturisi, tetapi pada 4 ekor induk dari kelompok kontrol dan 5 induk dari kelompok suplemen, konsentrasi progesteron meningkat sementara sebelum terjadi estrus pertama postpartum. Suplementasi dengan multinutrien blok terhadap induk sapi Bali yang digembalakan pada padang rumput alam sebelum dan sesudah melahirkan tidak mempengaruhi konsentrasi serum prolactin. Besaran konsentrasi prolactin pada induk sapi Bali sangat rendah dibanding pada bangsa sapi lainnya. DAFTAR PUSTAKA Aldrich, S.L., L.L. Berger, B.A. Reiling, D.J. Kesler and T.G. Nash. 1995. Parturition and periparturien reproductive and metabolic hormone concentrations in perinatally androgenized beef heifers. J. Anim. Sci. 73: 3712−3718. AMENOMORI, Y., C.L. CHEN and J. MEITES. 1970. Serum prolactin levels in rats during different reproductive states. Endocrinology 86: 506. ARIJE, G.R., J.N. WILTBANK and M.L. HOPWOOD. 1974. Hormone levels in pre- and postparturient beef cows. J. Anim. Sci. 39: 228−247. BERARDINELLI, J.G., R.A. DAILEY, R.L. BUTCHER and E.K. INSKEEP. 1979. Source of progesterone prior to puberty in beef heifers. J. Anim. Sci. 49: 1276–1280. CORAH, L.R., A.P. QUEALY, T.G. DUNN and C.C. KALTENBACH. 1974. Prepartum and postpartum levels of progesterone and estradiol in beef heifers fed two levels of energy. J. Anim. Sci. 39: 380–385.
DIMMICK, M.A., T. GIMENEZ and J.C. SPITZER. 1991. Ovarian endocrine activity and development of ovarian follicles during the postpartum interval in beef cows. GAUTHIER, D., M. TERQUI and P. MAULEON. 1983. Influence of nutrition on pre-partum plasma levels of progesterone and total estrogen and post-partum plasma levels of LH and FSH in suckler cows. Anim. Prod. 37: 89–96. HUMPHREY, W.D., C.C. KALTENBACH, T.G. DUNN, D.R. KORITNIK and G.D. NISWENDER. 1983. Characterization of hormonal patterns in beef cow during postpartum anestrus. J. Anim. Sci. 56: 445–453. KOPROWSKI, J.A. and H.A. TUCKER. 1973. Serum prolactin during various physiological states and and its relationship to milk production in the bovine. Endocrinol. 92: 1480. LACASSE, P., E. BLOCK and PETITCLERC, D. 1994. Effect of plane of nutrition before and during gestation on the concentration of hormones in dairy heifers. J. Dairy Sci. 77: 439–445. LAMMING, G.E. and D.C. BULMAN. 1976. Use of milk progesterone radioimmunoassay in the diagnosis and treatment of subfertility in dairy cows. Br. Vet. J. 132: 507–517. MOORBY, J. M., R.J. DEWHURST, J.K.S. TWEED, M.S. DHANOA and N.F.G. BECK. 2000. Effects of altering the energy and protein supply to dairy cows during the dry period. 2. Metabolic and hormonal responses. J. Dairy Sci. 83: 1795–1805. MUKASA-MUGERWA, E., A. TEGEGNE and H. KETEMA. 1991. Patterns of postpartum estrus onset and associated plasma progesterone profiles in Bos indicus cows in Ethiopia. Anim. Reprod. Sci. 24: 73–84. PLAUT, K., D.E. BAUMAN, N. AGERGAARD and R.M. ACKERS. 1987. Effect of exogenous prolactin administration on lactational performance of dairy cows. Domest. Anim. Endocrinol. 4: 279–290. RAMIREZ-GODINEZ, J.A., G.H. KIRACOFE, R.M. MCKEE, R.R. SCHALLES and R.J. KITTOK. 1981. Reducing the incidence of short estrous cycles in beef cows with norgestemet. Theriogenol. 15: 613–623. RAMIREZ-GODINEZ, J.A., G.H. KIRACOFE, R.R. SCHALLES and G.D. NISWENDER. 1982. Endocrine patterns in the postpartum beef cow associated with weaning: a comparison of the short and subsequent cycle. J. Anim. Sci. (Suppl. 1). 55: 153–158.
169
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
RHIND, S.M., I.D. LESLIE, R.G. GUNN and J.M. DONEY. 1985. Plasma FSH, LH, prolactin and progesterone profiles of Cheviot ewes with different levels of intake before and after mating, and associated effects on reproductive performance. Anim. Reprod. Sci. 8: 301–313. SAS. 1988. SAS/STAT User’s Guide (Release 6.03). Statistics. SAS. Inst. Inc., Cary, NC.
170
STABENFELD, G.H., B.I. OXBORN and L.L. EWING. 1970. Peripheral plasma progesterone levels in the cow during pregnancy and parturition. An. J. Physiol. 218: 571–577. UNDU, A.R. 1996. Korelasi antara progesterone darah dengan progesterone feses induk sapi Bali bunting tua sampai periode setelah melahirkan. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang..