KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Penulisan Skripsi
Disusun Oleh : Bayu Dwi Mulyanto E1A008184
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
1
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : Bayu Dwi Mulyanto E1A008184
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
2
KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.PBG)
Oleh: BAYU DWI MULYANTO E1A008184 Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan disahkan Pada tanggal
November 2012
Para Penguji/Pembimbing Penguji I/ Pembimbing I
Penguji II/
Penguji III
Pembimbing II
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H. Handri Wirastuti .S., S.H.,M.H. NIP. 19640724 199002 1 001
NIP. 19581019 198702 2 001
Mengetahui Dekan,
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
Pranoto, S.H.,M.H.
NIP. 19540305 198901 1 001
3
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.PBG) Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenaranya. Apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto,
November 2012
Bayu Dwi Mulyanto E1A008184
4
ABSTRAK Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 27 KUHAP. Pada umumnya alat bukti saksi adalah yang paling menentukan dalam menilai apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Namun dalam kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, hakim menghadirkan saksi yang memiliki hubungan keluarga dengan terdakwa yakni istri terdakwa sendiri. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga). Didalam meneliti skripsinya, ditemukan permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut, 1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga tersebut? Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, alasan hakim menghadirkan saksi keluarga dalam persidangan karena Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai saksi yang merupakan alat bukti utama pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dapat membuat terang duduk persoalan yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara tegas oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan Pasal 169 KUHAP, mengenai terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut. Sedangkan keterangan dari saksi keluarga tersebut setelah mendapat persetujuan secara tegas dari Jaksa Penuntut Umun maka dapat berlaku sebagai alat bukti yang sah yang diserahkan kepada kebijakan hakim untuk menambah keyakinannya sepanjang keterangannya bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain berdasarkan pada Pasal 185 ayat (7) KUHAP, dan tidak termasuk dalam Testimonium de auditu. Kata Kunci : Pembuktian, Saksi Keluarga, Tindak Pidana Pembunuhan
5
ABSTRACT Eyewitness description is one of the evidence appliance in criminal which in the form of description of eyewitness regarding a crime which he hears and he experienced of by himself with mentioned the reason from the knowledge he has, pursuant to Section 1 number 27 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP). Generally eyewitness evidence appliance is most determining in assessing do that is murdering of an criminal act really do and conducted by defendant. But in murdering of an criminal act case as decided in Decision District Court Of Purbalingga Number : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, judge attended the eyewitness who she has owning blood relationship with defendant that is the defendant wife himself. Based on above description, writter interest to compile the thesis with title is : STRENGTH OF APPLIANCE EVIDENCE EYEWITNESS FAMILY IN THE MURDERING OF AN CRIMINAL ACT ( Study To Decision Number : 07/Pid.B/2009/ PN.PURBALINGGA). In the research, found any problems which can formulated as follows 1. Why does family eyewitness attended in conference at Decision Number : 07/Pid.B/2009/ PN.PURBALINGGA 2. How does the strength of verification of family eyewitness description in murdering of an criminal act at Decision Number : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga? Pursuant to research result at Decision District Court Of Purbalingga Number : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, the judge reason attended family eyewitness in conference because Description from defendants wife of his own will desire as eyewitness was the first evidence appliance at the rule of Section 184 sentence ( 1) Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP) can make boldly of arising out case position in conference after agreed expressly by The Publik Procecutor pursuant to Section 169 Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), about the happening of murdering of an criminal act. Awhile description of the family eyewitness after getting the expressly permission from Publik Procecutor so can apply as a means of valid evidence which delivered to policy of the judge to added the confidence of as long as their description chiming in with other eyewitness description pursuant to Section 185 sentence ( 7) Criminal Procedure Code for the legal basis (KUHAP), and was not the included in the Testimonium auditu de.
Keyword : Verification, Eyewitness Family, Murdering of an Criminal Act
6
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga)”. Berbagai kesulitan dan hambatan Penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini juga tidak lepas dari bimbingan, dorongan, bantuan materiil dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Maka dari itu, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan izin terhadap penelitian ini. 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun serta banyak menambah wawasan dan ilmu pengetahuan khususnya dalam lingkup Hukum Acara Pidana bagi penulis, sehingga penulis mendapatkan kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan skripsi sampai selesai. 3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, kritik, arahan, dan saran yang sangat membangun dalam penyusunan skripsi ini.
7
4. Pranoto, S.H.,M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang turut menilai dan memberi masukan pada skripsi penulis. 5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis selama mengikuti kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah banyak membantu dalam proses menuju kelulusan. 7. Kedua orang tua tercinta, yang selalu mendoakan, memberi nasihat dan motivasi selama penulis mengerjakan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan Penulis. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Purwokerto,
November 2012
Bayu Dwi Mulyanto E1A008184
8
PERSEMBAHAN Sebelumnya saya ucapkan terlebih dahulu terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Alloh SWT yang telah memberikan selalu jalan yang terbaik untuk saya. Dan kemudian skripsi ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya sayangi....
Kedua Orang Tua Tercinta Bapak Joko S dan Ibu Puji P yang aku sayangi dan selalu memberi nasihat, motivasi, senantiasa menyemangati ku, dan yang terpenting adalah memberiku biaya selama menyelesaikan skripsi, hehe . Dan pastinya doa yang tak pernah putus yang membawaku menyandang gelar Sarjana Hukum. Thank You and Love you so much !
Sahabat-Sahabat Tersayang Untuk Siho, Anas, Johan, Woko, Boneto, dan semua yang belum bisa aku sebutin satu persatu yang selalu menemaniku hingga akhir kuliah, dan khususnya untuk Lusiana Tamimatus,S.H., terima kasih karena telah banyak sekali membantuku, memberi saran dan motivasi selama aku mengerjakan skripsi. Adanya kalian membuatku tak pernah bosan dan stres dalam mengerjakan skripsiku setiap harinya. Miss You All .
Seseorang Yang Kucinta Dwi Agestin N.A,. terima kasih c’Putku karna selalu memberikan semangat, motivasi, nasihat, doa, dan juga selalu setia mendengarkan segala keluh kesah ku pada saat mengerjakan skripsi. Terima kasih juga untuk ibuku tercinta yang selalu mendoakan dan memberi semangat. Love You.
9
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN................................................................... i HALAMAN JUDUL………………………………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………………. iv ABSTRAK…………………………………………………………………. v ABSTRACT……………………………………………………………….. vi PRAKATA………………………………………………………………... vii PERSEMBAHAN……………………………………………....…………. ix DAFTAR ISI………………………………………………………………. x BAB I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Perumusan Masalah ................................................................. 3 C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4 D. Kegunaan Penelitian ................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN UMUM A. Pengertian Hukum Acara Pidana ............................................ 6 B. Tujuan Hukum Acara Pidana .................................................. 7 C. Asas-asas Hukum Acara Pidana .............................................. 9 D. Teori dan Sistem Pembuktian ................................................ 21 E. Alat Bukti 1. Pengertian Alat Bukti ....................................................... 26 2. Jenis Alat Bukti ................................................................ 28 F. Keterangan Saksi 1. Pengertian Keterangan Saksi ............................................ 30 2. Hak-Hak Saksi .................................................................. 34 3. Syarat Sah Keterangan Saksi ............................................ 34 4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri ............................ 39 5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi ................... 40 6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi ................. 41
10
G. Keterangan Ahli 1. Pengertian Keterangan Ahli .............................................. 42 2. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli .............................. 42 3. Bentuk Keterangan Ahli .................................................... 43 H. Alat Bukti Surat 1. Pengertian Surat ................................................................ 45 2. Nilai Kekuatan Pembuktian Surat ..................................... 46
I. Alat Bukti Petunjuk 1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk ......................................... 48 2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk ............................. 48 3. Syarat Alat Bukti Petunjuk ................................................ 49 4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk ................................ 49 J. Keterangan Terdakwa ............................................................ 50 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Pendekatan ................................................................ 52 B. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 52 C. Lokasi Penelitian .................................................................... 53 D. Sumber Data ........................................................................... 53 E. Metode Pengumpulan Data .................................................... 53 F. Metode Penyajian Data .......................................................... 54 G. Metode Analisis Data ............................................................. 54 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ...................................................................... 55 B. Pembahasan ........................................................................... 92 BAB V. PENUTUP A. Simpulan ............................................................................... 102 B. Saran ..................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Proses penyelesaian perkara pidana terdiri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan pemberian putusan pengadilan serta pelaksanaannya. Keseluruhan proses tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan dalam tiap tingkatan proses terdapat aparat penegak hukum yang memiliki tugas khusus dalam proses tersebut menurut yang diatur dalam KUHAP1.
Proses peradilan hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam melakukan pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim pada prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana yang didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP maka untuk menentukan seseorang
itu bersalah
maka kesalahannya harus
dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana2. 1
Irdan Dahlan, 1997,Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hal. 9 Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta Artha Jaya,.hal. 8 2
12
Hukum Acara Pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan : "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya” Ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat
diketahui bahwa pada acara
pembuktian penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurangkurangnya dua alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ialah : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa. Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan saksi3. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP : 3
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika,.hal 265
13
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya. Pada umumnya alat bukti keterangan saksi yang menentukan dalam menilai apakah tindak pidana pembunuhan itu benar-benar terjadi dan dilakukan oleh terdakwa. Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa (Ro), untuk melindungi anaknya maka terdakwa mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa dan kemenakan terdakwa yang menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut hakim memperoleh petunjuk dan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan. Uraian di atas terdapat dalam Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga dan sekaligus menjadi bahan judul skripsi yakni : KEKUATAN ALAT BUKTI SAKSI PEMBUNUHAN
B. Perumusan Masalah
KELUARGA DALAM TINDAK PIDANA
14
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
maka
dapat
diambil
suatu
permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga tersebut?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui alasan saksi keluarga dihadirkan dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga. 2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi yang memberatkan dalam tindak pidana pada pembunuhan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga.
D. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian dalam penulisan karya tulisan ini adalah: 1. Kegunaan Teoritis Memberikan sebuah informasi, menambah wacana berpikir dan kesadaran bersama dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya di bidang ilmu hukum pidana berkenaan dengan kekuatan alat bukti saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan. 2. Kegunaan Praktis
15
Karya tulis ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran terutama dalam rangka menyempurnakan peraturan – peraturan di bidang hukum pidana khususnya tentang kekuatan alat bukti. Bagi Penulis secara pribadi, hal ini merupakan salah satu bentuk latihan menyusun suatu karya ilmiah walaupun masih sangat sederhana. Penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada praktisi, civitas akademik, masyarakat, dan pihak pemerintah Indonesia sendiri.
16
BAB II TINJAUAN UMUM A. Pengertian Hukum Acara Pidana Ruang lingkup hukum pidana yang luas baik hukum pidana substantif (materiil) maupun hukum pidana (formal) disebut hukum acara pidana, yang berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materiil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana.
Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakkan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana biasa disebut juga sebagai hukum pidana formal yaitu : hukum yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana4.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebenarnya tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain. Memahami apa hukum acara pidana itu, maka dibawah ini diberikan beberapa definisi baik menurut Sarjana Barat maupun Sarjana Timur. a.
R. Soesilo Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana cara putusan itu harus dilakukan5.
b. Simons 4
Andi, Hamzah, 2009, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 4 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), Bogor: Politea, hal. 3 5
17
Hukum acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapan mempergunakan haknya untuk memidana dan menjatuhi pidana. c.
Wiryono Prodjodikoro Hukum acara pidana berhubungan dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapaitujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.
d. Sudarto Hukum acara pidana adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak-pihak atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar6.
Secara singkat dapat diartikan bahwa norma hukum acara pidana menjadi saluran tertentu untuk menyelesaikan kepentingan apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Pada dasarnya norma hukum acara pidana mengatur, atau memerintahkan, atau melarang untuk bertindak, dalam mennyelenggarakan upaya manakala ada sangkaan/terjadi perbuatan pidana agar dapat dilakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan hukum, pemeriksaan perkara, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan oleh petugas yang berwenang dengan keharusan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta Negara7.
B. Tujuan Hukum Acara Pidana
6
Suryono, Sutarto , 1987, Sari Hukum Acara Pidana1, Semarang: Yayasan Cendikia Dharma,
7
Bambang, Poernomo, 1988, Orientasi Hukum Acara Pidana, Jogjakarta: Amarta Buku, hal. 2
hal. 5
18
Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai. Sebuah peraturan hukum yang dibentuk tidak memiliki tujuan akan tidak memiliki nilai kegunaan. Semakin baik tujuan yang hendak dicapai semakin bernilai dan ditaati pula peraturan itu oleh masyarakat pencari keadilan. Tujuan hukum acara pidana seperti dikutip dalam buku Moch. Faisal Salam dalam pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman, memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut: “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelakunya yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya memintakan pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Kebenaran yang hendak dicari dan didapatkan oleh hukum acara pidana itu sendiri sudah barang tentu kebenaran yang selengkap-lengkapnya sesuai dengan sifat keterbatasan aparat penegak hukum yang melaksanakan hukum acara pidana itu sendiri. Untuk mencapai suatu kebenaran yang mutlak adalah suatu hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia8.
Tujuan hukum acara pidana mencari dan menemukan kebenaran material itu hanya merupakan tujuan antara dan tujuan akhir sebenarnya ialah mencapai suatu ketertiban dan ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat9.
8 9
Suryono Sutarto, Op. Cit, hal. 4 Andi Hamzah, 2009, Op.Cit, hal. 19
19
Bambang Poernomo10 memberikan penjelasan tujuan hukum acara pidana sebagai berikut: Tujuan ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum untuk mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alat perlengkapan negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaannya secara adil. Sedangkan menurut Tanusubroto11: Hukum acara pidana mempunyai tujuan mengemban isi mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah12 yaitu sebagai berikut: 1.
Mencari dan menemukan kebenaran.
2.
Pemberian keputusan oleh hakim.
3.
Pelaksana keputusan.
C. Asas-Asas Hukum Acara Pidana Suatu kegiatan baik itu kegiatan masyarakat, berbangsa maupun bernegara harus mempunyai cita-cita yang menjadi dasar agar tujuan kegiatan tersebut dapat tercapai dengan baik. Cita-cita yang menjadi dasar ataupun sesuatu kebenaran yang
10
Bambang, Poernomo, 1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Jogjakarta: Liberty, hal. 29 11 Tanusubroto, 1984, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Bandung: Armioo, hal. 2 12 Andi Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 8
20
menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir/berpendapat lazim disebut asas. Asas itu mempunyai peranan yang sangat penting di dalam suatu kegiatan.
Demikian pula dalam hukum acara pidana juga ditemukan asas-asas yang menjadi prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam melaksanakan/menyelesaikan suatu perkara di Badan-Badan Peradilan. Asas-asas hukum acara pidana tumbuh berkembang dari nilai-nilai hukum, dan kesadaran hak asasi, serta peradaban dalam kehidupan manusia di tengah-tengah kelompok masyarakat atau bangsa-bangsa yang tertuang sebagaian besar ke dalam hukum positif.
KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.
Adapun asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana adalah: 1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009, yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, tepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apalagi jika keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia.
21
Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif, sehingga
tidak
memberikan
penderitaan
yang
berkepanjangan
kepada
tersangka/terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang berbunyi: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”.
Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, tepat, dan biaya ringan, antara lain, tersangka atau terdakwa berhak: a. Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, c. Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.
Hak mendapat pemeriksaan segera ini diatur dalam Pasal 50 KUHAP. Mengenai pelimpahan ke pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sebagai tingkat banding juga telah ditentukan batas waktu dalam KUHAP agar terlaksana penyelesaian yang tepat. Tentang asas sederhana dan biaya ringan dalam KUHAP diatur: a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata adalah seorang korban yang mengalami kerugian akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa (Pasal 98); b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”;
22
c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksanaan dari prinsip mempercepat dan menyederhanakan proses penahanan; d. Peletakan asas diferensiasi fungsional, nyata-nyata memberi makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, tumpang tindih atau overlapping, dan saling bertentangan. Menurut Bambang Poernomo13: Proses perkara pidana yang dilaksanakan dengan cepat diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja dalam waktu yang singkat. Proses yang sederhana diartikan penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang berjalan dalam satu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran dalam bekerja yang berbelit-belit. Biaya yang murah diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan. 2. Asas Praduga Tak bersalah atau Presumption of Innocent Asas ini kita jumpai dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP. Asas ini juga dirumuskan dalam Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Setiap orang yang disangka, diatngkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap” Menurut M. Yahya Harahap14: Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator” atau accusatory procedure 13
Bambang, Poernomo, 1988, Op. Cit, hal.66 M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Garfika, hal. 40 14
23
(accusatorial system). Prinsip akusator enempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalm setiap tingkat pemeriksaan: - Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, - Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan.
Asas praduga tak bersalah yang dianut KUHAP, memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang “inkisitur” atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang.
Jaminan terhadap asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan akusatur dalam penegakan hukum, terlihat dalam KUHAP adanya seperangkat hak-hak kemanusiaan terhadap tersangka atau terdakwa yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Maka secara teoritis pemberian hak ini telah menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa berada dalam posisi yang sama derajat dengan pejabat aparat penegak hukum.
3. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi kewenangan untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa diatur dalam Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 KUHAP.
24
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Sehingga hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.
Hubungan penuntut umum dengan hak penuntutan dikenal dua asas, yaitu yang disebut asas legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan asas oportunitas (penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum).
Menurut A.Z. Abidin Farid seperti yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut yaitu asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Pasal 35 c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia denga tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia, berbunyi: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum”. Andi Hamzah15 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menuntut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. 15
Andi, Hamzah, 2009, Op. Cit, hal. 16
25
Mengenai kriteria kepentingan umum itu, di dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dana masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi.
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Landasan persamaan hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum, ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat penegak hukum terhadap tersangka/terdakwa, tidak ada atau tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu yang menyangkut pemeriksaan terhadap diri tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan yang menyangkut diri dan kesalahan yang disangkakan kepada tersangka sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepadanya. Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan: “Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.
Jadi, pada saat membuka persidangan pemeriksaan perkara seseorang terdakwa, hakim ketua harus menyatakan “terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan tersebut atau tidak terpenuhinya ketentuan itu mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum”.
26
Kekecualian terhadap kesusilaan dan anak-anak persidangan dilakukan dengan “pintu tertutup” alasannya karena kesusilaan dianggap masalah pribadi. Tidak patut untuk mengungkapkan dan memaparkan secara terbuka dimuka umum. Begitu juga dengan anak-anak, melakukan kejahatan karena kenakalan, ditakutkan jiwa batin si anak akan mengalami goresan atau luka.
Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat dihadiri oleh umum, sehingga dapat lebih menjamin obyektifitas peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Dilain pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anakanak. Menurut Andi Hamzah16: Ketentuan tersebut terlalu limitatif. Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalm sidang yang terbuka untuk umum. 5. Asas Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (1)
16
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sapta Artha Jaya), hal. 19
27
dan Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut sebagai asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir 3 huruf a berbunyi: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak mengadakan perbedaan perlakuan”. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) berbunyi: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” Menurut Andi Hamzah17: Dalam bahasa Sansekerta ”tan hana dharma manrua”yang dijadikan motto Persaja (Persatuan Jaksa). 6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapatkan Bantuan Hukum
Asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat/penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur di dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP yang pada dasarnya tersangka/terdakwa mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas antara lain:
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka/terdakwa ditangkap atau ditahan. b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkar pemeriksaan dan pada setiap waktu.
17
Ibid, hal. 20
28
d. Penyidik dan penuntut umum tidak mendengarkan pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka kecuali pada perkara/kejahatan terhadap keamanan negara. e. Tersangka atau penasehat hukum berhak mendapat turunan berita guna kepentingan pembelaan. f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.18
7. Asas Akusator dan Inkisitor (accusatoir dan inqisitoir) Asas akusator adalah asas atau prinsip akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:
1. Adalah subjek: bukan menjadi objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, 2. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip inkisator adalah “kesalahan” (tindak pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Kebebasan memberi dan mendapatkan penasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan. Menurut Andi Hamzah19: Sebagaimana yang telah diketahui, asas akusator itu berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan.
18 19
M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal. 21 Ibid, hal. 24
29
Definisi asas inkisitor yaitu asas yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek dalam setiap pemeriksaan. Asas ini masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas inkisator ini saat ini sudah ditinggalkan oleh aparat penegak hukum karena tidak adanya perlindungan hakhak bagi tersangka atau terdakwa. Karena dalam asas inkisitor pengakuan tersangka atau terdakwa merupakan alat bukti yang sangat penting sehingga seringkali tersangka atau terdakwa diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan hak-hak asasi kemanusiaan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana. Asas inkisitor, Andi Hamzah20 berpendapat: Asas inkisitor sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan. Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor telah ditinggalkan oleh banyak negara beradab. Selaras dengan itu, berubah pula sistem pembuktian yang alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan keterangan terdakwa, begitu pula penambahan alat bukti berupa keterangan ahli.
8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini beda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. M. Yahya Harahap21 juga berpendapat: 20 21
Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 24 M. Yahya, Harahap, 2010, Op. Cit, hal.113
30
Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak boleh pemeriksaan dengan perantaraan tulisan baik terhadap terdakwa maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang sidang. Semua pertanyaan diajukan dengan lisan dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang berbunyi: Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakili disidang.22
D. Teori atau Sistem Pembuktian Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan23. Teori dan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
a. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction-in Time) Menurut Djoko Prakoso yang dikutip dari buku Makarao24:
22
Andi Hamzah, 1996, Op. Cit, hal. 23 Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 251 24 Makarao Taufik.M, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Ghalia Indonesia, hal. 37 23
31
Sistem ini dianggap cukuplah, bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini hakim dapat menurut perasaan belaka dalam menentukan apa suatu keadaan harus dianggap telah terbukti. Arti teori ini adalah jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani atau sifat bijaksana seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem pembuktian ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem ini memberikan kebebasan kepada hakim yang terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukum sulit untuk melakukan pembelaan. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati. Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan logis (Conviction-Raisonee) Sistem inipun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka
32
pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Tegasnya dalam sistem ini keyakinan hakim harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan reasoning itu harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan yang dapat diterima akal sehat. c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah merupakan pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim atau conviction-in time. Pembuktian menurut Undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut Martiman Prodjohamidjojo25: Sistem positief wettlijk merupakan sistem dimana pada pembuktian didasarkan pada semata-mata alat bukti yang sah yang disebutkan oleh undang-undang, akan tetapi tidak didukung dengan oleh keyakinan hakim.
Teori ini disebut teori pembuktian menurut undang-undang melulu. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Menurut D. Simon yang dikutip dari buku Andi Hamzah26:
25
Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Jakarta: Ghalia, hal.133 26 Ibid, hal. 247
33
Sistem atau teori berdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras. M. Yahya Harahap27 memberi pendapat: Pada pokoknya apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menyatakan keyakinan hati nurani akan kesalahan terdakwa. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negative wettelijk stelsel) Sistem pembuktian ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim, yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang dan harus didukung oleh keyakinan hakim. Dimana untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen : a.
Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
b.
Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori seperti terdapat 27
M. Yahya, Harahap, 2000, Op. Cit, hal.257
34
dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009. Pasal 183 KUHAP menyebutkan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 menyebutkan : “Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Menurut Martiman Prodjohamidjojo28: Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief adalah walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen: a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;
28
hal.14
Martiman Prodjohamidjojo, 1983 , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia,
35
b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang . Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di dalamnya yaitu : a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa : 1.
Tindak pidana telah terjadi; dan
2.
Terdakwa telah bersalah. Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif
dari bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian.
Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal-pasal lain yang menegaskan prinsip umum, antara lain:
1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nully testis”.
36
2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. E. Alat Bukti 1. Pengertian Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa29. Alat – alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa30. 1.
Menurut Waluyo Alat bukti adalah sesuatu hal (barang atau non barang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat digunakan untuk memperkuat dakwaan.
2.
Menurut Andi Hamzah Alat
bukti
adalah
upaya
pembuktian
melalui
alat-alat
yang
diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan misalnya keterangan terdakwa, saksi,
29 30
107.
R. Atang, Ranoemihardja, 1980, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Tarsito)., hal.57. Darwan, Prints. 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan)., hal.
37
ahli, surat dan petunjuk, dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah31. 3.
Menurut Sabuan dkk Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang kepastian pernah terjadinya tindak pidana32.
4.
Menurut Hari Sasangka Pengertian alat bukti tersebut kemudian ditambahkan dengan adanya satu unsur lagi yaitu berkenaan dengan tujuan diajukannya alat bukti tersebut yaitu untuk memberi keyakinan kepada Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa33.
2. Jenis Alat Bukti Ilmu hukum acara perdata dalam membuktikan suatu dalih tentang hak dan kewajiban di dalam sengketa pengadilan, macamnya telah ditentukan oleh Undang-Undang yaitu: 1. Alat bukti tertulis; 2. Alat bukti saksi; 3. Alat bukti persangkaaan; 4. Alat bukti pengakuan; 5. Alat bukti sumpah.
31
Andi Hamzah, 1996, Op Cit, hal. 158 Sabuan, Ansori dkk, 1990. Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa)., hal 56 33 Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung; Mandar Maju, hal. 74. 32
38
Dalam hukum acara perdata penyebutan alat bukti tertulis (surat) merupakan alat bukti yang utama, karena surat justru dibuat untuk membuktikan suatu keadaan, atau kejadian yang telah terjadi atau perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang nantinya (Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg/Pasal 1866 BW). Hal ini berbeda dengan penyebutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana yang urutan alat bukti itu diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Keterangan saksi disini adalah alat bukti yang utama, karena seseorang didalam melakukan kejahatan tentu akan berusaha menghilangkan jejaknya, sehingga dalam perkara pidana, pembuktian akan dititikberatkan pada keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) KUHAP).
Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa34. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Perluasan pengertian alat bukti yang sah dalan KUHAP sesuai dengan perkembangan teknologi telah diatur dalam Pasal 26 A UU No. 31 Tahun 1999 yaitu: Alat bukti yang sah dalam 34
http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012
39
bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, khususnya untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari: a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Semua alat bukti tersebut tentunya untuk dipergunakan membuktikan peristiwa yang dikemukakan di muka persidangan.
F. Keterangan Saksi 1. Pengertian Saksi Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti: a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya, supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi; b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian, hal; c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.
40
Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 butir 26 pengertian saksi adalah: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban, saksi adalah: Orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di siding pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Perbedaannya dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam Undang-undang ini mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi, sedangkan menurut KUHAP mulai tahap penyidikan.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP ialah: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dari ketentuan tersebut di atas, dapat ditarik unsur-unsur terpenting yaitu: a. Adanya peristiwa pidana; b. Dengar sendiri; c. Lihat sendiri; d. Alami sendiri; e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
41
Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana dengan mata kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan. Sedangkan kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana, terutama dalam bentuk-bentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun penganiayaan, korban yang dapat dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang bersangkutan35. Seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri. Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti dengan redaksional, bahwa : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
35
M. Yahya Harapan, 2000, Op.Cit, hal.141-142
42
Saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi. Keterangan saksi tidak
termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif. Selain itu Leden Marpaung juga menegaskan bahwa36: ” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun”. Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain. Suatu hal yang sangat perlu dikemukakan dalam pembicaraan saksi adalah yang berhubungan dengan keterangan saksi itu sendiri yaitu seberapa jauh luas dan mutu saksi yang harus diperoleh atau digali oleh penyidik dalam
36
Leden Marpaung,1992, Proses Penangaan Perkara Pidana Bagian Pertama Penyidikan dan Penyelidikan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 81
43
pemeriksaan. Kemudian seberapa banyak saksi yang diperlukan ditinjau dari daya guna kesaksian tersebut. Oleh karena itu, para penyidik harus benar-benar selektif untuk memilih untuk memeriksa saksi-saksi yang berbobot sesuai dengan patokan landasan hukum yang ditentukan, yang dianggap memenuhi syarat keterangan saksi yang yustisial37. 2. Hak-hak Saksi Adapun Hak-hak saksi dalam KUHAP, yaitu: 1. Hak untuk diperiksa tanpa hadirrnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (Pasal 173 KUHAP); 2. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP); 3. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP); 4. Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP); 5. Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (Pasal 229 ayat 1 KUHAP). 3. Syarat sah keterangan saksi Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : (1).
37
Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam :
Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42
44
Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji : a.
Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b.
Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarsebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya. Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji: a. Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan, b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan38. (2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu: 38
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 286
45
a. Adanya peristiwa pidana; b. Dengar sendiri; c. Lihat sendiri; d. Alami sendiri; e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan: a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian. b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri. Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung
46
diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain39. (3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. (4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk
39
Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76
47
membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah: a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus didukung dengan dua orang saksi; b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang lain.
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa: Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu
48
alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain40. Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi41. Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif42. Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi, namun demikian agar di dalam persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa. 4. Keterangan Saksi Yang Berdiri Sendiri-Sendiri Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa: Keterangan saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan, dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya kejadian atau keadaan tertentu. 40
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118 42 H. R. Abdussalam, 2006, Op.Cit, hal. 142 41
49
Ketentuan tersebut jelaslah keterangan saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Saksi yang banyak tetapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing dari mereka hanya akan dikategorikan sebagai saksi tunggal yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan tidak cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Cara Penilaian Kebenaran Keterangan Saksi Melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu: a.
Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling persesuaian ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim. Penjabaran persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang lain tersebut. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan saksi, mengapa saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi.
6. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi
50
a. Mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. Pada alat bukti keterangan saksi, tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna dan juga tidak melekat di dalamnya sifat pembuktian yang mengikat dan menentukan. Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Oleh karena itu, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. b. Nilai kekuatan pembuktian tergantung pada penilaian hakim. Menurut M.Yahya Harahap43 : Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.
G. Keterangan Ahli Keterangan seorang ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang menyatakan keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan 44. 1.
Pengertian Keterangan Ahli Pengertian keterangan ahli diatur dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP, yaitu: Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan ol seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
43
M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274 Lamintang, , 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, hal 112 44
51
Menurut Wiryono Prodjodikoro45 perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli adalah: Bahwa keterangan saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar kehalian yang dimiliki, yang memberikan suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal lainnya. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, dalam Pasal 161 ayat (2) KUHAP, yaitu: Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpa tidak mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan untuk menambah atau menguatkan keyakinan hakim. 2.
Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli Pada pemeriksaan penyidikan, demi kepentingan peradilan, pennyidik berwenang mengajukan permintaan seorang ahli dan hal ini ditegaskan dalam Pasal 133 KUHAP. Jika keterangan ahli bersifat diminta, maka ahli tersebut membuat laporan sesuai yang dikehendaki penyidik. Laporan keterangan ahli dimasukkan dalam Berita Acara Penyidikan. Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP. Alinea kedua penjelasan Pasal 186 KUHAP menegaskan: Jika hal itu tidak dibenarkan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Peeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.
45
Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 120
52
M.Yahya Harahap berpendapat mengenai ketentuan Pasal 133 KUHAP dan dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dapat melalui prosedur sebagai berikut: a. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan, dan b. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang. 3.
Bentuk Keterangan Ahli Martiman Prodjohamidjojo berpendapat : Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu tulisan dalam bentuk laporan dan secara lisan yang diberikan. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP bahwa: Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat suumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika dalam hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan. Keterangan tersebut setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, alat bukti ini sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah: a. Pada segi alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP alinea pertama yang berbunyi:
53
“Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, yang dituangkan dalam bentuk suatu laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan”. Bentuk alat bukti yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP yakni, laporan yang dibuat oleh seorang ahli atas permintaan penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan. b. Pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat. Alasannya, ketentuan Pasal 187 huruf c KUHAP telah menentukan salah satu diantara alat bukti surat, yakni surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. 4.
Nilai Kekuatan Pembuktian Yang Melekat Pada Alat Bukti Keterangan Ahli Menurut M.Yahya Harahap46: a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal tersebut terserah kepada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepada alat bukti keterangan ahli. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli tersebut. b. Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu buku yang lain, tidak cukup dan tidak memadai untuk mebuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasala 183 KUHAP ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan seorang saksi saja tidak cukup untuk mebuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi keterangan ahli.
H. Alat Bukti Surat
46
M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 283-284
54
1.
Pengertian Surat Menurut
Asser
Anema
yang
dikutip
oleh
Andi
Hamzah47
mendefinisikan suratsebagai berikut: “Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran”.
Seperti alat bukti, alat bukti suratpun hanya diatur dalam satu Pasal yaitu dalam Pasal 187 KUHAP, M.Yahya Harahap berpendapat: Surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang adalah: a. Surat yang dibuat atas sumpah jabatan; b. Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 ayat (1) KUHAP, yaitu surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c KUHAP yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengarnya, dilihat, atau dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang mamuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya; d. Surat lain yanghanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain. Pasal 187 KUHAP membedakan surat menjadi tiga, yaitu: 1. Akta Otentik
47
Andi Hamzah, 2009, Op Cit, hal. 271
55
Pasal 187 huruf a dan huruf b KUHAP, berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum seperti notaris, juru sita, hakim dan lain-lain yang dibuat dengan sengaja untuk menjadi alat bukti. 2. Akta Dibawah Tangan Akta dibawah tangan, berupa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya. 3. Surat Biasa Surat biasa atau surat lain jika ada hubungannya dengan isi alat bukti yang lain (Pasal 187 huruf d). Surat ini tidak sengaja dibuat untuk menjadi bukti, akan tetapi karena isinya ada hubungannya dengan alat bukti lain, maka surat tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti tambahan yang memperkuat alat bukti lain.
2.
Nilai Kekuatan Pembuktian Surat 1. Ditinjau dari segi formal Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang tersebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk surat yang disebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundangundangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formil perbuatannya, serta dibuat dan berisi keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang dan pembuatan surat keterangan yang terkandung dalam surat tadi dibuat atas sumpah jabatan, maka ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut dalam Pasa 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna. Oleh karena itu, alat bukti surat resmi mempunyai pembuktian formal sempurna. Bentuk dan isinya tersebut yaitu: a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain.
56
b. Semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan perbuatannya. c. Juga tidak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang di dalamnya, sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain. d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain baik berupa keterangan saksi, keterangan terdakwa, atau keterangan ahli.
2. Ditinjau dari segi materiil Ditinjau dari segi materiil, semua alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada diri alat bukti surat ini tidak melekat kekuatan yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian surat inipun sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan saksi. Hal ini samasama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Sifat kesempurnaan formil tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas dalam mempergunakan atau menyingkirkannya. Menurut M. Yahya Harahap48, dasar alasan ketidakterikatan hakim atas bukti surat tersebut didasarkan pasa beberapa asas, yaitu: a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran atau menemukan kebenaran materiil. Dengan hakim bebas menilai kebenaran yang terkandung pada alat bukti surat; 48
M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 288-290
57
b. Asas keyakinan hakim; c. Asas batas minimum pembuktian. Bertitik tolak pada prinsip ini, bagaimanapun sempurnanya suatu alat bukti surat, kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri sendiri. Dia harus dibantu lagi dengan dukungan paling sedikit satu alat bukti lain guna emenuhi apa yang ditentukan oleh asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. I. Alat Bukti Petunjuk
1. Pengertian Alat Bukti Petunjuk KUHAP mengatur mengenai alat bukti petunjuk, dapat dilihat dalam Pasal 188 KUHAP. Pengertiannya diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yaitu: Perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain karena persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 2. Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk Pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Hakim diwajibkan menghukum orang, apabila hakim berkeyakinan bahwa peristiwa pidana yang bersangkutan adalah terbukti. Hakim tidak boleh sesuka hati mencari petunjuk dari segala sumber. Sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk, terbatas dari alat-alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
58
3. Syarat-syarat Alat Bukti Petunjuk
Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti yang sah haruslah: 1. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi; 2. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi; 3. Berdasarkan pengamatan hakim, baik dari keterangan terdakwa maupun saksi dipersidangan. 4. Nilai Kekuatan Pembuktian Petunjuk Terdapat pada Pasal 188 ayat (3) KUHAP mengenai: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan pebuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya. Menurut M.Yahya Harahap49, adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, serupa dengan sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain: 1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. 2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. J. Keterangan Terdakwa 49
M. Yahya Harahap, 2000, Op Cit, hal. 296
59
Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Penempatan terakhir ini merupakan salah satu alasan yang dipergunakan untuk menempatkan proses peeriksaan terdakwa dilakukan belakangan, sesudah pemeriksaan saksi. Keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan, yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Menurut M.Yahya Harahap50, untuk memahami pengertian terdakwa sebagai alat bukti, adalah sebagai berikut: 1. Keterangan itu dinyatakan di dlalam sidang pengadilan; 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri; 3. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri. KUHAP menggunakan istilah “keterangan terdakwa”, sedangkan HIR menggunakan istilah “pengakuan terdakwa”. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian keterangan lebih uas dari istilah pengakuan terdakwa dan juga barangkali lebih simpatik dengan alasan sebagai berikut:
1. Ditinjau dari segi keleluasaan pengertian Pada
istilah
“keterangan
terdakwa”
sekaligus
meliputi
“pengakuan” dan “pengingkaran”. Sedangkan istilah “pengakuan tertuduh” hanya terbatas pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. Oleh karena itu, keterangan terdakwa 50
Ibid, hal.298-299
sebagai
alat
bukti,
sekaligus
meliputi
pernyataan
60
“pengakuan” dan “pengingkaran” dan menyerahkan penilainnya pada hakim, yang mana dari keterangan itu bagian yang berisi pengingkaran.
2. Istilah keterangan terdakwa lebih simpatik dan manusiawi Pada istilah pengakuan terdakwa, seolah-olah terdapat unsur paksaan kepada terdakwa untuk mengakui saja kesalahannya. Istilah ini juga mengandung kekuranguasaan mengutarakan segala sesuatu yang ia perbuat, dilihat, dan dialami sendiri oleh terdakwa dan bertendensi seolah-olah pemeriksaan itu semata-mata mengejar pengakuan terdakwa. Lain halnya dengan istilah keterangan terdakwa yang dirasa lebih simpatik dan manusiawi dan bertendensi memberikan
kebebasan
yang
luas
kepada
terdakwa
untuk
mengutarakan segala sesuatu yang diketahuinya.
K. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi yang legistis positivistis. Konsepsi ini memandang hukum sebagai identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terhadap dan terlepas dari kehidupan masyarakat51. 51
hal.11
Rony Hanitijo Soemitro, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang,
61
2.
Spesifikasi penelitian Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalah perskriptif, yaitu dimana ilmu hukum mempelajari tujutan hukum, nilai-nilai keadilan,validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum52. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta hukum yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari luar, melainkan masuk ke sisi instrinsik dari hukum.
3.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Negeri Purbalingga.
4.
Sumber Data a.
Data sekunder Data yang bersumber dari bahan hukum, meliputi 1)
Bahan hukum primer Bahan-bahan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku,
literatur,
dokumen-dokumen
yang
berkaitan
pokok
permasalahan dan Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga. 2)
Bahan hukum sekunder Bahan-bahan yang bersumber dari literatur-literatur, artikel, makalah seminar, dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan permasalahan yang diteliti guna mendukung penelitian.
52
Peter, Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana,, hal. 22.
62
b.
Data Primer Data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dengan mengadakan wawancara dengan panitera Pengadilan Negeri Purbalingga.
5.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a.
Data sekunder Data sekunder diperoleh dengan menginventarisasi peraturan perundangundangan, mempelajari keputusan, buku literature, artikel, makalah, seminar, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut.
b.
Data primer Data primer diperoleh dengan cara wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Purbalingga.
6.
Metode Penyajian Data Deskriptif analitif diuraikan atau disajikan secara sistematis. Untuk bahan hukum sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut, Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang bersangkutan.
7.
Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
63
64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1.
Identitas Terdakwa TURSINO Alias TURSIN Bin BADRUN, beralamat Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purblingga, dalam hal berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 02/Pan.Pid.PH/2009 PN.Pbg. tertanggal 29 Januari 2009 didampingi Penasihat Hukum EKO YULI PRIHATIN, SH Advokat berkantor di 31. Jasara I No. 07 Klampok, Purwareja Klampok Banjamegara, selanjutnya disebut terdakwa.
2.
Duduk Perkara Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 W1B atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidaktidaknya pada sustu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahuiu merampas nyawa orang lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban SISWANTO. Sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak terdakwa tinggal
65
serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun ditambah perilaku korban yang suka minum-minuman keras dan sering membuat masalah dirumah sehingga
terdakwa
merasa
tidak
nyaman
dengan
keberadaan
korban
SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga terdakwa sehingga selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dacla sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang
66
dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh di atas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya dan pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia. Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor : 133/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr. Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan banyak. Dikarenakan dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain maka sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 338 KUHP. 3. Dakwaan Penuntut Umum
67
Jaksa Penuntut Umum mengajukan terdakwa dengan bentuk surat dakwaan subsidair adalah sebagai berikut : 1. Primair Terdakwa TURISNO Alias TUR.SIN Bin BADRUN pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 W1B atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidaktidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan, sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : a.
Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun ditambah perilaku korban yang suka mihum-minuman keras dan sering membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa tidak nyaman dengan keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam
68
sehingga terdakwa selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya ; b.
Hari Minggu tanggal Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan. semua orang yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknva yang masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban berada di dalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup
69
parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan dilemari dapur di dalam kantong kandi dan menuju dan merasa dirinya terancam sehingga terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya ;
c.
Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB korban SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang yang ada dirumah bahkan, mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi diluar rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANI kemudian dengan memegang sebilah pisau Iipat, terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dergan menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang
70
dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan dilemari dapur didalam kantong kandi dan menuju kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan dirumah saudara MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya dan pada saat mereka masuk ke dalam rumah, mereka menemukan korban SISWANTO dalam keadaan terelungkup didepan pintu kamar dengan kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia ; d.
Akibat perbuatan terdakwa tersebut diatas mengakibatkan korban SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/98 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr. Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 340 KUHP.
2.
Subsidair
71
Terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu masih dalam tahun 2008 bertempat di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga atau setidaktidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan, melakukan penganiayaan yang mengakibatkan kematian yaitu korban SISWANTO yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : a. Awal mulanya adanya ketidak cocokan dan perselisihan antara terdakwa TURISNO Alias TURSIN Bin BADRUN dengan adik iparnya yaitu korban SISWANTO yang sebelumnya korban SISWANTO tinggal dalam satu rumah ikut ibunya yang bernama MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga tetapi sejak terdakwa tinggal serumah dengan mertuanya kemudian korban SISWANTO pindah rumah kerumah orang tua istrinya dan dengan adanya keadaan hubungan antara terdakwa dengan korban SISWANTO yang tidak rukun ditambah perilaku korban yang suka minum-minuman keras dan sering membuat masalah dirumah sehingga terdakwa merasa ttdak nyaman dengan keberadaan korban SISWANTO dan merasa dirinya terancam sehingga terdakwa setiap harinya selalu mengantongi pisau lipat yang akan digunakan untuk menjaga keselamatannya; b. Hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17,00 WIB korban SISWANTO yang dalam keadaan mabok marah-marah dengan semua orang yang ada dirumah bahkan mengancam anak terdakwa dengan mengacungkan
72
sebuah golok ke leher anak terdakwa yang membuat istri terdakwa yaitu saksi RONIASIH ketakutan dan keluar rumah untuk minta pertolongan sehingga terdakwa yang sedang menggendong anaknya yang masih bayi di rumah menyerahkan anaknya tersebut kepada saksi EVI INDRIANl kemudian dengan memegang sebilah pisau lipat, terdakwa mendobrak pintu kamar dimana korban berada didalam dengan anak terdakwa setelah itu korban yang sedang memegang golok menyerang terdakwa tetapi dapat ditangkis oleh terdakwa yang selanjutnya terdakwa menusukan bagian dada sebelah kiri korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban mengaduh kesakitan sehingga korban membalikan badan untuk menjauh dari terdakwa tetapi pada saat posisi korban membelakangi terdakwa kemudian terdakwa menusuk punggung korban sebanyak 2 (dua) kali dengan menggunakan sebilah pisau lipat yang dipegang dengan menggunakan tangan kanan sehingga korban terjatuh diatas tempat tidur yang ada dikamar tersebut dan dengan sisa tenaganya korban SISWANTO berusaha bangkit dan berjalan keluar kamar untuk mencari pertolongan akan tetapi karena luka-luka yang diderita cukup parah sehingga korban SISWANTO terjatuh dipintu kamar sedang terdakwa keluar rumah untuk mengambil clurit yang terdakwa simpan dilemari dapur didalam. kantong kandi dan menuju kedalam rumah untuk menyerang korban SISWANTO lagi tetapi niat terdakwa tersebut dicegah saksi RONIASIH dengan merebut clurit tersebut dan dibuang dipekarangan belakang rumah dan dengan adanya keributan
73
dirumah saudara MAINEM tersebut membuat beberapa warga ingin melihat kejadian sebenarnya dan pada saat mereka masuk kedalam rumah, mereka menemukan korban SISWANTO dalam keadaan tertelungkup didepan pintu kamar dengan kondisi luka parah dan diketahui telah meninggal dunia; c. Akibat
perbuatan
terdakwa
tersebut
diatas
mengakibatkan
korban
SISWANTO meninggal dunia sebagaimana Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr, Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga dengan kesimpulan hasil pemeriksaan korban meninggal karena adanya robekan jantung oleh karena benda tajam yang mengenai dada korban sehingga menimbulkan perdarahan banyak. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pasal 338 KUHP. 4.
Pembuktian Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, yaitu : 1.
Alat Bukti Saksi 1. Saksi WINARJO Bin SUTASANTANA; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa serta tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda, tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Saksi mengetahui tentang perkara ini yaitu adanya pembunuhan
yang melakukan adalah terdakwa lalu korban dalam
74
pembunuhan tersebut adalah SISWANTO. Pembunuhan itu terjadi dirumah sdr, MAINEM di Dukuh Karangso Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45. WIB. Saksi tidak melihat sendiri pembunuhan tersebut, tapi diberitahu oleh MUSTIRAH kalau di rumahnya MAINEM ada percekcokkan antara terdakwa dengan korban. Setelah mendengar kabar tersebut, saksi segera menuju TKP (Tempat Kejadian Perkara). Setelah sampai di TKP (Tempat Kejadian Perkara) saksi melihat korban terkapar dilantai berlumuran darah antara ruang tengah dan tamu. Atas kejadian tersebut saksi keluar untuk meminta tolong kepada masyarakat dan kebetulan ada Pak Lurah.
Saksi bertanya terdakwa
bilang "Tur ini bagaimana ?" . Kejadian selanjutnya terdakwa mendekati saksi dengan berkata "Mas biar mati-mati sekalian" tindakan saksi selanjutnya adalah telepon Polsek Kailmanah untuk melaporkan kejadian tersebut. Selanjutnya saksi perintahkan kepada pemuda setempat untuk mengamankan terdakwa supaya tidak melarikan diri dan diamankan dirumah Pak RT sambil menunggu kedatangan petugas dari Kepolisian datang. Lalu posisi korban telungkup dengan kepala disebelah timur, saksi melihat korban luka-luka dibagian punggung bekas tusukan. Pada saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) saksi melihat terdakwa di tempat tersebut. Saksi mengetahui yang melakukan
75
pembunuhan terhadap SISWANTO adalah terdakwa dari Mustirah. Pada saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat terdakwa membawa senjata tapi tidak melihat korban memegang golok. Saat saksi di TKP (Tempat Kejadian Perkara) melihat golok tergeletak disebelah tembok, dan alat yang digunakan untuk menusuk korban adalah pisau. Jarak rumah saksi dengan TKP (Tempat Kejadian Perkara) sekitar 100 meter. Saksi tidak kenal dengan barang bukti berupa pisau dan clurit, sedangkan bendo tahu yang dilihat di TKP (Tempat Kejadian Perkara), kaos putih dan celana pendek adalah mllik terdakwa sedangkan kaos merah dan celana jeans panjang adalah milik korban. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 2. Saksi EVI INDRIANI Binti SUMONO HADI; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan ada hubungan keluarga karena istri terdakwa adalah kakak sepupu saksi serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Lalu saksi mengetahui tentang perkara ini adalah masalah pembunuhan, yang melakukan pembunuhan adalah terdakwa, korbannya dalam pembunuhan tersebut SISWANTO. Pembunuhan terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumah lbu HAINEM di Desa
Blater
Purbalingga.
Rt.02
Rw.03
Kecamatan
Kalimanah
Kabupaten
76
Awal kejadiannya ketika itu saksi sedang duduk-duduk diteras rumahnya saksi MUSTIRAH, terdakwa keluar dari rumahnya dengan membopong anaknya yang terkecil dan anak tersebut diserahkan kepada saksi. Terdakwa itu tinggal serumah dengan Ibu KALNEM dan rumah saksi dekat dengan rumah korban yaitu teras rumah korban. Setelah terdakwa menyerahkan bayinya kepada saksi tidak lama kemudian saksi mendengar pintu rumah dikunci dari dalam oleh korban. Beberapa menit setelah pintu ditutup oleh korban tidak lama kemudian terdengar suara saksi RONIASIH dari dalam rumah "Sis jangan begitu !". Yang berada dirumah tersebut adalah korban, saksi RONIASIH (Istri terdakwa) dan 2 orang anak korban serta anak terdakwa, tidak lama kemudian terdakwa keluar dari rumah bersama istrinya. Terdakwa masuk kedalam rumah setelah mendengar suara istrinya dengan mendobrak pintu belakang yang dikunci oleh korban dari dalam. Setelah melihat kejadian tersebut saksi pulang kerumah dengan mengajak suami saksi supaya jangan ikut-ikutan, setelah dirumah saksi melihat terdakwa di halaman rumah saksi dengan membawa pisau lipat dan clurit setelah keluar dari rumah korban. Dari pisau yang dibawa oleh terdakwa itu saksi melihat ujungnya ada darahnya, pada saat kejadian terdakwa memakai kaos putih dan celana pendek hitam. Saksi tidak masuk kerumah korban karena takut dan masuk setelah korban dibawa kerumah sakit, tidak lama kemudian saksi melihat korban dibawa kerumah sakit. Dirumah korban tersebut saksi melihat darah yang
77
berceceran ditempat korban jatuh, setelah saksi masuk kedalam rumah korban, tidak terdengar suara apa-apa. Sebelum kejadian saksi masuk kerumah korban dengan membawa anaknya yang bernama Windi, saksi masuk kerumah lewat pintu depan, terdakwa masuk kedalam rumah melalui pintu belakang yang sebelumnya telah ditutup dari dalam oleh korban. Sebelumnya terdakwa mengatakan, ketika menyerahkan anaknya kepada saksi dengan kata-kata "saya titip anak saya untuk digendong”. Saksi tidak tahu apakah ada permasalahan antara terdakwa dengan korban ataukah tidak, sikap terdakwa dalam kehidupan kesehariannya biasa-biasa saja karena ia baru pulang dari Jakarta. Saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa terdakwa pada saat itu, sedangkan kaos putih, celana pendek adalah yang dipakai oleh terdakwa dan kaos merah serta celana jeans adalah yang dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut di atas terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 3. Saksi SUTARYONO Bin SARIDI; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar. Saksi kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa, yang saksi ketahui tentang perkara ini adalah masalah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dan korbannya
78
SISWANTO. Korban bertempat tinggal dirumah Ibunya bernama KAMINEM. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB di rumahnya Ibu KAMINEM di Desa Slater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga. Awal mula kejadian yang saksi ketahui ketika sedang dudukduduk diteras rumah Ibu Muslinah bersama istri saksi tiba-tiba korban menutup pintu rumah belakang dari dalam. Setelah korban menutup pintu belakang dari dalam, saksi mendengar suara istri terdakwa yang berada didalam rumah korban dengan kata-kata “Sis Jangan begitu" disusul dengan kata-kata "Pak tolong pak". Setelah terdakwa mendengar suara istrinya, terdakwa masuk kedalam rumah korban dengan mendobrak pintu belakang yang tadinya ditutup oleh korban. Lalu terdakwa masuk ke rumah korban saksi pulang kerumah bersama istri, setelah "sampai dirumah saksi melihat terdakwa membawa pisau lipat yang diujungnya ada darahnya. Tindakan masyarakat karena keadaan terdakwa mencurigakan maka pisau yang dibawa terdakwa diamankan oleh Pak Jiran. Pada saat itu saksi tidak melihat korban ditempat kejadian. Saksi melihat korban setelah diotopsi dirumah sakit, dan setelah korban diotopsi saksi melihat luka-luka pada korban yaitu di punggung yang menembus sampai ke jantung. Di TKP Polisi telah memasang garis pembatas ketika korban masih di TKP sebelum dibawa kerumah sakit, posisi rumah saksi dengan
79
rumah korban berjajaran. Ibu Kaminem (Ibunya korban), korban dan anaknya serta terdakwa bersama istrinya tinggal di rumah korban. Sebelah rumah korban adalah rumahnya saksi Mustinah, sedangkan jarak rumah saksi dengan namah korban sekitar 1 meter, dibelakang rumah saksi adalah rumahnya Ibu Hustinah dan selanjutnya rumahnya Tukirman. Saat kejadian saksi sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu Mustinah, sebelum kejadian pembunuhan saksi bersama terdakwa sedang duduk-duduk diteras rumahnya Ibu Mustinah bersama terdakwa sambil ngobrol-ngobrol. Pada saat saksi bersama terdakwa duduk duduk di teras korban sedang mencuci sepeda motor didepan rumahnya, rumah saksi tembus dengan rumahnya saksi Mustinah. Sesaat sebelum kejadian pembunuhan tersebut terdakwa menyerahkan anak bayinya kepada istri saksi untuk digendong, lalu korban menutup pintu belakang dan menguncinya dari dalam Roniasih istri terdakwa bilang "Sis jangan begitu" dan disusui dengan kata-kata "Pak tolong pak". Pada saat itu saksi tidak melihat saksi Roniasih, hanya mendengar suaranya saja "Pak tolong pak" terdakwa bangkit dari duduknya dan masuk kerumah dengan mendobrak pintu belakang. Saat terdakwa masuk kedalam rumah dengan mendobrak pintu belakang saksi tidak melihat terdakwa membawa pisau tapi setelah terdakwa keluar, saksi melihat kalau terdakwa membawa pisau di tangan kanan. Ketika pintu didobrak oleh Terdakwa, saksi dan istrinya pulang dan masuk kerumah sendiri, dan setelah terdakwa masuk
80
kerumah saksi tidak tahu apa yang terjadi. Waktu kurang lebih 5 menit terdakwa keluar rumah dan di pojok rumah, saksi melihat terdakwa membawa clurit dan pisau, selanjutnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan pisau dan clurit diamankan oleh saksi Tukirman Fikan. Selanjutnya setelah terdakwa masuk ke rumah korban, saksi Mustinah memberitahukan hal itu kepada saksi Minarjo untuk minta tolong. Atas pemberitahuan tersebut saksi Minarjo lalu datang ke TKP (Tempat Kejadian Perkara), ketika terdakwa keluar dengan membawa pisau dan clurit bersama istrinya, saksi jiran berkata kepada terdakwa "Istighfar sing waras ngalah" (yang membaca Istigfar orang yang waras supaya mengalah). Bahwa saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa pisau lipat, clurit yang dibawa terdakwa, kaos putih dan celana pendek adalah yang dipakai terdakwa serta kaos warna merah dan celana jeans yang dipakai korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 4. Saksi MUSTINAH Binti REBIN; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa karena saksi kemenakannya dan tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Yang saksi ketahui dalam perkara ini adalah masalah pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa dan korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut
81
terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukui 16.45 WIB dirumahnya Ibu Mainem di Desa Blater, Kabupaten Purbalingga . Sebelum kejadian pembunuhan saksi melihat korban masuk kerumah dengan menjewer anaknya yang bernama Winardi, pada saat itu saksi sedang duduk-duduk diteras rumah bersama saksi Evi Indrianti, terdakwa, saksi Sutaryono dan Yu Misem. Saat kejadian itu saksi bilang kepada terdakwa bahwa korban sedang mabuk, kamu jangan ikut campur, selanjutnya dari dalam rumah korban terdengar suara saksi Roniasih (Istri terdakwa) berteriak "Jangan begitu Sis, pak tolong pak". Setelah mendengar suara istrinya tersebut terdakwa terus masuk kerumah lewat belakang dengan mendobrak pintu, kemudian saksi terus pergt untuk meminta tolong kepada saksi Winarjo. Sewaktu saksi pulang dari rumah saksi Winarjo, saksi melihat terdakwa sedang ribut-ribut dengan istrinya di depan rumah saksi Evi dan saksi bilang "Diapakan Sin ko kejem temen" (Korban diapakan ko kamu kejam sekali). Setelah itu saksi masuk ke rumah korban dan melihat korban sudah jatuh tertelungkup dan banyak darah berceceran, saksi melihat ada luka-luka bekas tusukan di punggung korban. Saksi melihat hanya ada satu luka pada korban yaitu dipunggung, saksi tidak bertanya kepada terdakwa karena dia terus pergi. Sebelum masuk kedalam rumah korban Siswanto terdakwa teiah menitipkan anaknya. Terdakwa ikut duduk-duduk di teras rumah saksi, pada saat sedang duduk-duduk di teras yang dibicarakan masalah biasa saja. Atas
82
keterangan
saksi-tersebut
diatas
terdakwa
membenarkan
dan
menyatakan tidak keberatan. 5. Saksi TUKIRMAN Bin MANGUNWIREJA; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa. Saksi mengetahui dalam perkara ini adalah masalah pembunuhan, yang melakukan pembunuhan adalah terdakwa, korbannya Siswanto. Pembunuhan tersebut terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.45 WIB, di rumahnya Ibu Mainem di Desa Blater Rt.02 Rw.08 Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga. Pada saat itu saksi sedang mencuci sepeda motor di depan rumah yang jaraknya tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara. Saksi baru tahu ada pembunuhan setelah dipanggil oleh saksi Minarjo saat itu saksi Minarjo keluar dari dalam rumah korban sambil meminta tolong kepada saksi. Sebelumnya saksi sudah pernah bertemu terdakwa, saksi melihat terdakwa karena ada suara teriakan dari istri terdakwa sambil merebut pisau yang dipegang oleh terdakwa. Pada saat itu saksi bilang kepada terdakwa "lepaskan dulu", atas kata-kata saksi tersebut terdakwa terus melepaskan pisaunya dan diamankan. Korban kesehariannya sering mabuk-mabukan dan suka bikin onar dalam keluarga, karena sering minta uang kepada orang
83
tuanya untuk beli minum-minuman. Saksi tidak tahu hubungan terdakwa dengan korban karena terdakwa baru pulang dari Jakarta beberapa bulan sebelumnya. Terdakwa mempunyai sifat tertutup dan jarang bergaul sedangkan korban suka bergaul dan senang mabuk-mabukan. Pada saat kejadian saksi mengenal saksi Roniasih (istri terdakwa) berteriak meminta tolong dan melihat saksi Roniasih berusaha merebut pisau yang dipegang suaminya. Saksi lalu merebut pisau yang dipegang oleh terdakwa, kemudian saksi amankan, dan pisau tersebut oleh saksi kemudian diserahkan kepada Pak RT . Pada saat itu yang diteriakan oleh saksi Roniasih adalah "Pak tolong pak", dan terdakwa memegang pisau dan clurit yang diujungnya ada darahnya. Setelah kejadian saksi baru tahu kalau terdakwa telah melakukan pembunuhan terhadap korban. Atas kejadian tersebut saksi terus datang kerumah korban, dan melihat korban dalam keadaan telungkup berlumuran darah, pada saat itu saksi melihat darah yang berceceran dilantai disekitar korban. Sebelum saksi menyerahkan terdakwa kepada pemuda untuk diamankan saksi tidak sempat bertanya kepada terdakwa mengenai kronologis kejadiannya. Saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan di persidangan berupa pisau lipat, clurit adalah yang dibawa terdakwa pada saat itu, kaos putih, celana pendek adalah yang dipakai oleh terdakwa dan kaos merah serta celana jeans adalah yang dipakai korban serta Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr. Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga
84
adalah benar Visum korban. Atas keterengan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 6. Saksi JIRAN Bin YASMAREJA; Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai bertkut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak keluarga sedarah ataupun semenda dengan terdakwa. Pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 17.00 WlB di Dukuh Karangso Desa Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga telah terjadi pembunuhan. Awal mula kejadian pada saat itu saksi mendengar ada ribut-ribut yang datangnya dari rumah korban, selanjutnya saksi berusaha ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ketika saksi berada didepan rumah saksi Evi, saksi melihat terdakwa kedua tangannya -memegang senjata tajam, tangan kanan memegang clurit dan tangan kiri memegang pisau. Pada saat itu saksi juga melihat istri terdakwa memegangi terdakwa dan diajak menjauh dari rumah korban, melihat kejadian itu saksi bilang “Sin sing waras ngalah" (Sin jangan emosi berfikirlah yang sehat). Beberapa saat kemudian datang saksi Winarjo
yang
memberitahu
kalau
Siswanto
(korban)
sudah
"nglempuruk" (tergeletak) berlumuran darah. Kehidupan sehari-hari korban senang mabok-mabokan. Saksi sudah lama kenai dengan terdakwa sejak kecil karena tetangga. Pada saat kejadian pembunuhan saksi sedang duduk-duduk diteras sendirian.
85
Selanjutnya dari arah utara saksi mendengar suara ribut-ribut, dan saksi melihat terdakwa dipegangi istrinya, selanjutnya saksi bilang "Sin sing waras ngalah”, jarak rumah saksi dengan rumah korban sekitar 50 meter. Pada saat itu terdakwa dalam keadaan takut. Saksi tidak masuk ke dalam rumah korban untuk melihat keadaan korban. Saksi tidak masuk kerumah korban karena takut korban berdarah dan diketahui kalau korban meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa dari cerita orangorang. Sebelumnya saksi tidak melihat antara terdakwa dengan korban tidak ada permasalahan / perselisihan. Ketika melihat terdakwa membawa senjata tajam, saksi menyuruh supaya senjata tajam diamankan. Pada saat mengamankan pisau yang dibawa terdakwa saksi tidak meneliti apakah ada darahnya ataukah tidak. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, pisau adalah yang dipegang oleh terdakwa saat itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya, kaos putih, celana hitam, celana jeans dan kaos merah saksi tidak tahu. Atas keterangan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 7. Saksi RONIASIH Alias NY TURSINO Binti SANWIREJA; Saksi adalah istri terdakwa, tetapi oleh karena terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum tidak berkeberatan, maka saksi memberikan keterangannya dibawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan dalam Berita Acara Penyidik sudah benar. Pada hari Minggu tanggal 2 Nopember
86
2008 sekitar pukul 16.45 WlB telah terjadinya pembunuhan di Desa Blater Kecamatan Kalimanah Kabupaten Purbalingga di rumah korban Siswanto yang dilakukan oleh terdakwa. Pada waktu kejadian yang ada di rumah korban Siswanto adalah saksi, terdakwa dan anak saksi bernama Rachman, korban Siswanto dan anaknya bernama Widi. Ketika korban masuk ke rumah, saksi tidak melihat apakah korban membawa anaknya ataukah tidak tapi anak korban datang sambil menangis katanya habis dijewer sama korban/ melihat anak korban menangis, saksi lalu menyuruh mandi sekalian karena kebetulan saksi sedang memandikan anaknya. Setelah anak saksi selesai mandi, saksi mendengar anak saksi berteriak dan waktu itu saksi melihat korban sedang mengancam anak saksi dengan bendo sambil berkata "kamu nantang saya". Melihat kejadian seperti itu saksi berteriak minta tolong sambil keluar lewat pintu belakang pada waktu keluar berpapasan dengan terdakwa dipintu karena terdakwa akan rumah. Setelah beberapa saat saksi di luar melihat terdakwa dan korban sedang dorong-dorongan pintu, setelah saksi masuk ke dalam dan keluar rumah. Saksi melihat terdakwa yang memegang pisau yang ada darahnya,
tindakan saksi selanjutnya ketika saksi melihat terdakwa
keluar dari dalam rumah dan sambil membawa pisau. Kemudian saksi menarik keluar terdakwa untuk mencegah jangan sampai terjadi lagi perkelahian anrara terdakwa dengan korban. Lalu terdakwa saksi amankan di rumah saksi Jiran, tetapi saksi tidak melihat terdakwa masuk
87
ke dalam rumah dengan membawa pisau ataupun clurit. Setelah terdakwa dorong-dorongan dipintu dengan korban terdakwa masuk ke rumah, saat terjadi dorong-dorongan dipintu saksi tidak melihat korban membawa senjata tajam atau tidak. Saksi melihat sendiri terdakwa melakukan penusukkan kepada korban karena pada saat itu saksi berada di rumah korban, tempat melakukan pembunuhan di rumah Ibu saksi. Orang yang tinggal di rumah ibu saksi adalah ibu saksi, saksi, suami beserta anak saksi, korban Siswanto, istri dan anak korban. Awal kejadian pembunuhan didahului korban meminta uang kepada ibu saksi dengan cara mau menjual padi yang ada di rumah, tetapi padi tersebut belum dijual karena korban dibohongi dengan mengatakan padi itu milik saksi. Tujuan dibohongi seperti itu agar korban membatalkan niatnya, karena tidak diijinkan menjual padi maka korban bilang minta uang untuk beli minuman kepada ibu saksi. Keinginan korban untuk menjual padi dilanjutkan pada hari berikutnya ketika Minggu pagi sekitar puku; 16.00 WIB saksi menelpon kaka saksi di Jakarta memberitahukan kalau korban sering minta uang kepada ibu. Atas berita tersebut dijawab oleh kakak saksi, ibu disuruh ke Jakarta saja; kemudian ibu saksi terus pergi ke Jakarta. Ketika saksi berada didapur saksi melihat terdakwa pintu sambil sempoyongan dan berkata "kalau ibu mau saya bunuh”. Tidak lama kemudian saksi mendengar teriakan anak saksi sedang diancam oleh korban sambil memegang
88
golok, melihat kejadian seperti itu saksi lari membuka pintu untuk minta tolong, namun dikejar oleh korban. Pada waktu terdakwa keluar rumah dengan mengendong anaknya, setelah pintu, dibuka terdakwa dan korban berpapasan didepan pintu dan saling mendorong pintu. Saksi keluar rumah untuk minta tolong kepada tetangganya saksi keluar rumah sekitar satu menit, dan ketika masuk ke rumah lagi saksi melihat korban sudah telungkup ditempat tidur. Lalu melihat korban telungkup ditempat tidur dari jarak kurang lebih 6 meter sehingga tidak melihat luka-luka pada tubuh korban. Kemudian saksi memegang terdakwa yang sudah membawa senjata tajam tujuannya untuk menghalang-halangi terdakwa supaya tidak menganiaya korban. Saksi tidak melihat pisau yang dipegang oleh terdakwa ada darahnya atau tidak. Melihat kejadian ini saksi menangis karena terdakwa dan korban jadi berantem. Beberapa saat setelah keluar dari rumah korban, terdakwa diamankan di rumah saksi Jiran. Ketika mengamankan terdakwa saksi bilang senjata supaya di Ietakkan. Sebelum kejadian pembunuhan tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah. Dalam kesehariannya korban suka minum-minum, bergaulnya dengan anakanak pengangguran sedangkan terdakwa tidak bekerja. Pada waktu berpapasan dengan terdakwa saksi tidak melihat terdakwa membawa senjata tajam. Saksi tidak melihat korban berjalan keluar, namun melihat ketika korban tengkurap ditempat tidur. Sebelum kejadian antara
89
terdakwa dengan korban tidak saling bertegur sapa. Saksi kenal dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, golok milik adik saksi yang bernama Windianto, pisau, kaos putih celana pendek milik terdakwa, kaos merah dan celana panjang jeans milik korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. 8. Saksi SUSIANTI Alias NY. SISWANTO Binti KUSWANTO. Dibawah sumpah menerangkan yang pada pokoknya sebagai berikut : Saksi pernah diperiksa penyidik dan keterangan Rerita Acara Penyidik sudah benar dan kenal dengan terdakwa dan tidak ada keluarga sedarah ataupun semenda serta tidak ada hubungan kerja dengan terdakwa yang saksi ketahui dalam perkara ini adalah suaminya telah meninggal dunia karena dibunuh dan yang melakukan pembunuhan terhadap suami saksi adalah terdakwa. Saksi mengetahui kejadian pembunuhan pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 19.00 WIB, karena disuruh pulang katanya anak saksi sedang sakit. Setelah pulang ke Blater ternyata suami saksi (korban) sudah meninggal dunia dan pada saat kejadian saksi sedang berada di rumah orang tuanya di desa Slinga. Terakhir bertemu dengan korban pada hari Minggu sekitar pukul 10.00 WIB, korban pamit mau ke rumah orng tuanya di Blater. Saat kejadian pembuuhan saksi tidak melihat langsung, saksi tahunya pada malam harinya dari cerita orang-orang, kalau suami meninggal dunia karena ditusuk oleh terdakwa. Ketika saksi datang
90
kerumah orang tua korban di Desa Blater ternyata korban sudah tidak ada, dirumah orang tua korban sudah tidak ada bekas-bekas darah karena sudah dibersihkan. Kesehariannya korban suka minum-minuman keras korban tidak mempunyai pekerjaan tetap, pekerjaan serabutan pernah juga bekerja di Jakarta. Antara saksi dengan terdakwa tidak ada permasalahan. Meninggalnya suami saksi saksi pasrah, tidak ada rasa dendam kepada terdakwa. Kejadian yang telah dilakukan terdakwa sudah saksi maafkan, masalah pemakaman korban sudah diurus oleh saudara-saudaranya di Desa Blater. Saksi tidak tahu siapa yang membawa korban kerumah sakit. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa clurit, golok, pisau, kaos putih celana pendek saksi tidak kenal, kaos merah dan celana panjang jeans milik korban. Atas keterangan saksi tersebut diatas terdakwa membenarkan dan menyatakan tidak keberatan. a.
Keterangan Terdakwa Dipersidangan terdakwa TURSINO Alias TURSINO Bin BADRUN memberikan keterangan sebagai berikut : Terdakwa sudah pernah diperiksa di KepoLisian sebungan dengan perkara ini. Keterangan yang telah terdakwa berikan sesuai dengan BAP (Berita Acara Penyidikan) sudab benar dan pembunuhan terjadi pada hari Minggu tanggal 2 Nopember 2008 sekitar pukul 16.30 WIB, terdakwa telah melakukan pembunuhan dengan korban Siswanto. Tempat kejadian pembunuhan tersebut di Dukuh Karangso Desa Blater Keramatan
91
Kalimanah Kabupaten Purbalingga, tepatnya dirumah Ibu mertua terdakwa. Orang yang tinggal dirumah tersebut adalah terdakwa, istri dan anak-anak terdakwa serta Ibu mertua terdakwa. Korban sudah pindah ke Desa Slinga sekitar 2 (dua) bulan sebelum kejadian. Sebelumnya antara terdakwa dan korban tidak ada masalah. Tingkah laku korban dalam keluarga sering membuat onar antara lain minum dan mabuk-mabukan serta sering mengancam terhadap keluarga terdakwa jika meminta uang. Keluarga terdakwa, korban tidak pernah mengganggu istri dan anak terdakwa. Sebelum kejadian terdakwa sedang menidurkan anak-anak yang kecil di rumah tiba-tiba korban masuk samsil memarahi anaknya. Ketika anak korban sedang menangis oleh istri terdakwa sedang dimandikan di kamar mandi. Terdakwa kemudian keluar rumah sambil membopong anak terdakwa yang kemudian dititipkan kepada saksi Evi tetangga terdakwa. Saat sedang duduk-duduk di teras rumah mbak Mis, tiba-tiba istri terdakwa keluar rumah lewat pintu belakang dengan berteriak minta tolong "Pak minta tolong si Rakhman" . Istri terdakwa keluar lewat pintu belakang, sedangkan korban membuntuti sampai depan pintu, kemudian terdakwa masuk dari dipintu berpapasan dengan istri terdakwa. Setelah masuk terdakwa melihat korban memegang kemudian terdakwa mengamhil pisau yang disimpan di rak almari kemudian keluar rumah dan saat itu dicegah oleh istri terdakwa. Tindakan terdakwa selanjutnya masuk kedalam rumah lagi, ketika masuk dari pintu melihat anak terdakwa didalam sedang diancam oleh korban dengan membawa bendo. Melihat
92
kejadian seperti itu terdakwa berusaha menyelamatkan anaknya, atas tindakan tersebut korban menyerang terdakwa, atas serangan korban tersebut kemudian terdakwa menangkis dan menusuk perut korban. Setelah terdakwa menusuk perut depan kemudian menusuk perut samping dan punggung, terus korban jatuh ditempat tidur dan tidak lama kemudian korban mau lari. Melihat korban mau lari, terdakwa khawatir jangan-jangan mau menyerang, kemudian terdakwa mengambil clurit yang disimpan
didekat
pintu; Bahwa terdakwa menusuk korban sebanyak dua kali, pada saat terdakwa menusuk punggung korban, terdakwa tidak tahu tembus ataukah tidak. Maksud terdakwa mengambil clurit tersebut untuk membela diri barang kali korban mau membalas, setelah menusuk korban terdakwa keluar dan diluar saksi Jiran bilang yang waras ngalah. Korban datang dari Slinga ke Blater sekitar pukul 11.00 WIB, ketika korban datang yang dicari ibu mertua terdakwa dan ia minta uang. Pada saat itu korban dalam keadaan mabuk karena habis minuman keras. Terdakwa menaruh pisau ditempat itu sekitar dua hari sebelum kejadian dan biasa ditaruh disitu. Pisau tersebut dipergunakan untuk mengupas mangga, terdakwa, merasa tidak senang dengan korban sejak 2 (dua) hari sebelum kejadian karena suka memeras kepada ibu mertua terdakwa. Terdakwa menusuk perut korban sebanyak 2 (dua) kali dan punggung 1 (satu) kali, terdakwa mengambil clurit setelah korban jatuh ditempat tidur, karena takut korban mau membalas maka
93
terdakwa mengambil clurit yang dikeluarkan dari kantongnya tetapi dicegah istri terdakwa, setelah pisau dan clurit diamankan kemudian terdakwa menyerahkan diri kepada kepala desa. Terdakwa menusuk korban karena takut mau ditusuk korban, tujuan terdakwa mengambil pisau karena korban sudah membawa golok, akibat tusukan terdakwa korban terjatuh dan mengerang minta tolong. Setelah korban ditusuk masih mengejar anak terdakwa, pada waktu terdakwa menusuk korban yang ada di dalam adalah anak terdakwa dan anak korban. Ketika terjadi perkelahian korban menggunakan golok kemudian ditangkis korban ditusuk perutnya dengan pisau, tujuan terdakwa mengambil clurit untuk membela diri. Setelah terdakwa menusuk korban kemudian ditangkap oleh saksi Tukirman dan saksi Jiran, setelah terdakwa ditangkap kemudian dilaporkan kepada ketua RT. Sebelum kejadian tersebut antara terdakwa dengan korban tidak ada masalah, sebelum melakukan pembunuhan terhadap korban terdakwa tidak terpikirkan / niat terlebih dahulu. Terdakwa mengambil pisau ditempatnya karena tahu kalau disitu ada pisau yang biasa untuk mengupas mangga, ketika terjadi perkelahian terdakwa menangkis tangan korban yang memegang golok, perkelahian terjadi di dalam rumah. Saat terdakwa ditanya oleh saksi Winarjo "Tur ini bagaimana?” dan terdakwa jawab biar mati-mati sekalian", maksudnya korban mau dibawa ke rumah sakit tidak punya uang / biaya juga takut korban mau membunuh Ibu mertua. Ketika Istri terdakwa melihat terdakwa memegang pisau setelah masuk yang kedua kalinya,
94
terdakwa menusuk korban dua kali dan setelah korban membalik terdakwa menusuk punggungnya. Setelah mengambil pisau terdakwa keluar tujuannya untuk melindungi istri dan terdakwa sendiri, ketika pintu dikunci terdakwa mendobrak kemudian masuk dan melihat korban masih mengancam anak terdakwa. Atas kejadian tersebut terdakwa merasa bersalah, menyesal, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan belum pernah dihukum. Terhadap barang bukti yang diajukan dipersidangan berupa pisau, kaos putih celana hitam adalah milik terdakwa, clurit, golok miliknya adik terdakwa, kaos merah celana jeans, sandal milik korban dan karpet miliknya anak terdakwa serta terdakwa membenarkan foto rekontruksi yang diajukan dipersidangan.
b. Bukti surat berupa Visum Et Repertum atas nama korban SISWANTO, Nomor : Visum Et Repertum Nomor : 183/VER/RSUD/52/XI/08 tanggal 4 Nopember 2008 yang dibuat oleh dr Yusuf Avianto, dokter pada RSUD Purbalingga. c. Barang bukti berupa : 1) 1 (satu) bilah pisau lipat stenlist panjang 30 cm; 2) 1 (satu) bilah clurit stenlist panjang 50 cm; 3) 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih; 4) 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan Cl BF warna putih; 5) 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut satu ikat pinggang plastik warna hitam panjang satu meter dengan timangan besi;
95
6) Bercak darah yang berada dilantai diambil dengan kapas dan karpet satu stel sandal slop ada bercak darah, perlak plastik. 7) 1 (satu) buah ssrung clurit terbuat dari kulit warna coklat sarung golok dan; 8) 1 (satu) buah golok tanpa sarung. PUTUSAN PENGADILAN NEGERI A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim 1. Hal-hal yang memberatkan : Perbuatan terdakwa mengakihatkan orang lain meninggal dunia. 2. Hal-hal yang meringankan : a. Terdakwa terus terang mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; b. Terdakwa melakukan perbuatan tersebut semata-mata karena untuk melindungi anak dan istri terdakwa; c. Terdakwa mempunyai tanggung jawab keluarga. 3. Mengingat ketentuan Pasal 338 KUHP, Undang-Undang Nomor ; 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP, serta peraturan lain yang bersangkutan. B. Amar Putusan Pengadilan Negeri : 1. Menyatakan terdakwa TURSINO Ailas TURSIN bin BADRUN tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaaan Primair; 2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan Primair tersebut;
96
3. Menyatakan terdakwa TURISNO alisas TURSIN bin BADRUN terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “PEMBUNUHAN"; 4. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana 8 (delapan) tahun; 5. Menetapkan lamanya terdakwa, berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa; 6. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 7. Menetapkan barang bukti berupa : a. 1 (satu) bilah pisau lipat stenlis panjang 30 cm gagang lapis kayu; b. 1 (satu) bilah clurit stenlis panjang 50 cm bergagang kayu; c. 1 (satu) buah sarung clurit terbuat dari kulit warna coklat; d. 1 (satu) buah sarung golok terbuat dari kayu; e. 1 (satu) bilah golok tanpa sarung panjang 40 cm; f. 1 (satu) potong pakaian/baju kaos oblong warna putih; g. 1 (satu) potong celana pendek kolor jean 3 warna hitam; h. 1 (satu) potong kaos oblong warna merah bagian depan ada tulisan GLOBE warna putih tanpa krah dalam keadaan sobek dan ada bercak darah serta terdapat beberapa lobang; i. 1 (satu) potong celana panjang jeans warna biru berikut ikat pinggang plastik warna hitam panjang 1 meter dengan timangan besi; j. Bercak darah dilantai yang diambil dengan kapas dan karpet; k. 1 (satu) stel sandal slop ada bercak darah; l. 1 (satu) lembar perlak plastik warna merah dan ada bercak darah.
97
8. Poin 6 s/d 12 dikembalikan kepada ahli warisnya atau keluarga korban Siswanto; 9. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah). B. Pembahasan 1. Alasan Hakim Pengadilan Negeri dapat menghadirkan saksi keluarga dalam persidangan pada Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga Menentukan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman dan hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. Hakim dalam menentukan siapa yang bersalah karena telah melakukan tindak pidana dalam proses peradilan tidaklah mudah, untuk itu hakim dalam melakukan pemeriksaan harus melihat tentang alat-alat bukti sah. Artinya hakim pada prinsipnya dalam menjatuhkan putusan selalu mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah, oleh karena itu dalam usaha membuktikan apakah tindak pidana yang didakwakan penuntut umum itu terbukti atau tidak. Hakim harus berhati-hati dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian, karena dengan
98
pembuktian ini ditentukan nasib seorang terdakwa, dengan terciptanya KUHAP maka untuk menentukan seseorang
itu bersalah
maka kesalahannya harus
dibuktikan terlebih dahulu. Dengan demikian polisi, jaksa dan hakim sebagai aparat penegak hukum tidak boleh semaunya menjalankan acara pidana, tetapi harus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana53. Memeriksa perkara pidana di sidang pengadilan Hakim senantiasa berusaha untuk membuktikan. a. Apakah betul suatu peristiwa itu telah terjadi; b. Apakah betul peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana; c. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan; d. Siapa orangnya yang telah bersalah berbuat peristiwa itu 54.
Alat bukti yang sah (Wettige Bewijsmiddlen) dan keyakinan hakim (Overtuiging des recyters) satu sama lain saling berhubungan sedemikian rupa, dalam arti bahwa keyakinan hakim adalah dilahirkan atau timbul karena adanya alat-alat bukti yang sah. Alat – alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa 55.
Menurut Bambang Poernomo56:
53
Andi Hamzah, 1996, Op.Cit,.hal. 8 Soesilo, R,1992,Tugas Kewajiban Dan Wewenang Penyidik, Jaksa, Hakim (Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP), Bogor,Politeia, 1.hal. 120 55 Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 107. 56 Poernomo, Bambang, 1986, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta,Liberty, hal.43 54
99
Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip teori pembuktian negatief wettelijk bewijs theori seperti yang dimaksud dalam Pasal 294 ayat (1) HIR. Pasal 6 Undang-Undang Pokok Kehakiman No.14 Tahun 1970, dan Pasal 183 KUHAP. Hukum
Acara
Pidana
Indonesia yang menganut sistem pembuktian
menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) yang dalam hal ini sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan : "Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh kenyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya” Berdasarkan definisi pembuktian tersebut, dapat diketahui sebagai berikut: a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa : 1. Tindak pidana telah terjadi; dan 2. Terdakwa telah bersalah. Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP dapat diketahui bahwa pada acara pembuktian penyidik Polri atau penuntut umum harus menyampaikan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP ialah : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa. Menurut Sabuan dkk57: Mendefinisikan alat bukti dengan lebih sederhana yaitu alat yang dipakai untuk dapat membantu hakim dalam menggambarkan kembali tentang kepastian pernah terjadinya tindak pidana.
57
Sabuan, Ansori dkk. Op.Cit, hal 56
100
Salah satu alat bukti yang sering dipergunakan oleh penyidik, jaksa dan hakim adalah keterangan saksi dan pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Pentingnya kedudukan saksi telah dimulai pada saat proses awal pemeriksaan, begitu pula dalam proses selanjutnya di Kejaksaan maupun Pengadilan, keterangan saksi menjadi acuan Hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa58. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakan hukum. Boleh dikatakan, tidak ada perkara yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan keterangan saksi59. Saksi memiliki pengertian orang yang melihat atau mengetahui , seperti: a. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya, supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi; b. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian/hal; c. Orang yang memberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. Proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah penting. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus
58 59
http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012 M. Yahya Harahap, 2000, Loc.Cit,.hal 265
101
pidana dimaksud60. Kemudian agar suatu kesaksian mempunyai kekuatan sebagai alat bukti, maka harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut61 :
a. Syarat objektif, merupakan syarat untuk objektifitas suatu kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi, yaitu : - Tidak boleh ada hubungan kekeluargaan dengan salah satu pihak; - Tidak boleh ada hubungan kerja; - Mampu bertanggung jawab yakni sudah dewasa, sudah berumur 15 tahun ke atas, atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan. b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan dilakukan oleh seorang saksi, yaitu : - Harus datang di sidang pengadilan; - Harus menerangkan dibawah sumpah; - Tidak unus testis nullus testis. c. Syarat subjektif / material, merupakan syarat mengenai materi yang harus diterangkan oleh seorang saksi, yaitu : - Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh seorang saksi; - Dasar - dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar dan mengalami apa yang diterangkan. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat yang telah dientukan. Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP:
60 61
Andi, Hamzah, 2009, Op.Cit, hal.269 Hari Sasangka, Op.Cit, hal.91
102
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan , penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka pengertian saksi mengandung beberapa unsur yang harus dimiliki sebagai alat bukti yang sah, yakni sebagai berikut : a. Ada seseorang; b. Dapat memberikan keterangan atau kesaksian; c. Keterangan atau kesaksian lisan maupun tertulis (tanda tangan) yang menerangkan apa yang dialami, disaksikan, dilihat atau didengar sendiri dalam suatu keadaan atau kejadian; d. Guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sehingga hakim dalam memberikan putusannya haruslah mempunyai keyakinan dengan melihat dan menilai berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan kemuka sidang pengadilan.
Kegiatan pembuktian sangat mendukung untuk memperoleh kebenaran dan keadilan materil menurut hukum. Dari pembuktian inilah hakim memperoleh keyakinan yang kuat tentang bersalah atau tidaknya seorang terdakwa yang dihadapkan di depan persidangan, sehingga dengan demikian hakim dapat memberi putusan (vonis) yang seadil-adilnya62. Keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan yang sesuai dengan yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP : 62
juni 2012.
Op Cit. http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28
103
Ketererangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya. Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu: - Adanya peristiwa pidana; - Dengar sendiri; - Lihat sendiri; - Alami sendiri; - Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Kesaksian berdasarkan apa yang didengar sendiri oleh saksi sebagai keterangan yang bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Harus secara langsung didengar sendiri oleh saksi terkait dengan tindak pidana yang bersangkutan. Sementara kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dilihat sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang melihat suatu tindak pidana dengan mata kepalanya sendiri baik sebagian maupun secara keseluruhan. Sedangkan kesaksian yang berdasarkan pada apa yang dialami sendiri oleh saksi diartikan sebagai saksi yang sekaligus menjadi korban dari suatu tindak pidana, terutama dalam bentukbentuk tindak pidana seperti perkosaan maupun penganiayaan, korban yang dapat dijadikan saksi utama dari tindak pidana yang bersangkutan63. Hal tersebut mengartikan bahwa saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu
63
Op.Cit, M. Yahya Harapan, 2000, hal.141-142
104
persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi64. Leden Marpaung juga menegaskan bahwa65: ” Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam bentuk apapun”. Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif66. Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya maka terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban yang disaksikan oleh istri terdakawa sendiri (Ro). Pada sidang pengadilan terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa yang menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut hakim memperoleh petunjuk dan dapat menambah keyakinannya.
64
Wirjono Prodjodikoro,1983, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bandung; Sumur ,
65
Leden Marpaung, Op.Cit, hlm 81
hal.118 66
H. R. Abdussalam, 2006, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, Jakarta, Restu Agung,., hal. 142.
105
Namun pada dasarnya ada 3 (tiga) golongan pengecualian, yakni ketentuan
Pasal 168 KUHAP menjelaskan mengenai orang-orang yang dikecualikan untuk menjadi saksi yaitu: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa. Akan tetapi pada pasal 168 KUHAP memberikan celah kepada saksi yang mempunyai hubungan darah dengan terdakwa untuk dimintai keterangannya. Hal tersebut dapat terjadi apabila adanya persetujuan Penuntut Umum atau terdakwa yang menghendaki keterangan dari saksi yang mempunyai hubungan keluarga tersebut. Orang-orang yang disebutkan pada Pasal 168 KUHAP
tetap dapat
memberikan keterangan dalam acara persidangan berdasarkan pada ketentuan Pasal 169 KUHAP yang menyebutkan bahwa: 1.
2.
Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah.
Selain itu, dengan posisi pasal 169 KUHAP ini memberikan kemudahan dalam penyelesaian suatu perkara tindak pidana seperti tindak pidana pembunuhan yang terdapat pada Putusan Nomor : 07/Pid.b/2009/PN.Purbalingga dan pasal ini juga
106
mendukung azas beracara di pengadilan yakni azas beracara cepat, mudah dan biaya murah.
Prosedur pemeriksaannya, Hakim ketua sidang yang memeriksa istri terdakwa sebagai saksi (dan juga orang-orang lain seperti tersebut dalam Pasal 168 KUHAP)67:
a. Pertama kali Hakim ketua sidang harus menanyakan kepada istri yang menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi. b. Kalau istri terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut tidak didengar sebagai saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat memeriksa saksi; c. Kalau istri terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengundurkan diri dari menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang selanjutnya wajib menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa, apakah penuntut umum dan terdakwa setuju jika istri terdakwa tersebut menjadi saksi. d. Kalau penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui istri terdakwa menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut, sebelum memberikan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal 169 ayat (1) KUHAP); e. Kalau penuntut umum dan atau terdakwa tidak menyetujui istri terdakwa menjadi saksi, maka istri terdakwa tersebut didengar keterangannya di luar sumpah. Orang yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si istri terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa atau penuntut umum tidak membuat istri terdakwa itu meninggalkan kursi saksi, tapi mengakibatkan istri terdakwa tidak perlu bersumpah.
67
http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yangmemiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-dengan-terdakwa.html, diakses tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45
107
Saksi keluarga juga sama halnya dengan saksi-saksi biasa yang memiliki kewajiban sebagai seorang saksi, adalah sebagai berikut :
a. Kewajiban untuk menghadap Dalam suatu proses peradilan jika diperlukan adanya saksi maka hakim menyuruh memanggil para saksi untuk menghadap hadir dalam sidang peradilan, dan kepada saksi yang dipanggil wajib menghadap dalam proses peradilan tersebut. Adanya kewajiban tersebut karena adanya sanksi, dengan demikian kewajiban panggilan menghadap terhadap saksi harus dipenuhi karena adanya sanksi tersebut. Dalam hal ini Prof. R. Subekti juga berpendapat68 :
1) Dihukum untuk membayar biaya - biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi; 2) Secara paksa dibawa ke muka Pengadilan; 3) Dimasukkan dalam penyanderaan (“gijzeling”). Dari uraian tersebut jelas terlihat bahwa kewajiban untuk menghadap di muka persidangan harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi saksi dalam suatu perkara, agar tidak terjerat hukuman atau sanksi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang - undangan yang ada, sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 159 ayat (2) KUHAP : “Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.” 68
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1978), hlm. 39
108
dan terhadap pembebasan hukuman dimaksud hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang sah dan dipenuhi oleh pengadilan.
b. Kewajiban untuk bersumpah atau berjanji Dalam suatu perkara kewajiban saksi untuk mengucapkan sumpah atau janji merupakan syarat mutlak untuk suatu kesaksian. Jadi sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing - masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya.
Selanjutnya jika ternyata seorang saksi menolak untuk melakukan pengucapan sumpah yang merupakan syarat mutlak untuk memberikan kesaksian, maka menurut ketentuan Pasal 161 ayat (1) dan (2) KUHAP, saksi tersebut dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari dan jika setelah masa penyanderaan berakhir saksi tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim. Dengan demikian adanya sanksi terhadap saksi yang tidak mau disumpah atau mengucapkan janji maka pengucapan sumpah atau janji merupakan suatu kewajiban. c. Kewajiban memberikan keterangan yang benar
Seorang saksi juga memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar dalam proses perkara di pengadilan. Dalam KUHAP hal tersebut
109
tidak diatur dengan tegas, akan tetapi dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 148 H.I.R. tersirat bahwa saksi wajib memberikan keterangan yang benar. Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi pada Putusan Pengadilan
Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga yaitu istri terdakwa (Ro) yang melihat terdakwa (TSN) menyimpan pisau lipat yang sudah dipersiapkan mengingat korban (SSW) yang suka mabuk dan ugal-ugalan setiap pulang kerumah, sehingga pisau lipat tersebut dipersiapkan untuk melakukan pembelaan. Istri terdakwa tahu secara jelas dan runtut mengenai asal usul duduk perkara juga melihat sendiri terdakwa melakukan penusukan kepada korban dan keterangan tersebut dibenarkan oleh terdakwa serta jaksa penuntut umum, sehingga keterangannya tersebut menjadi alasan mengapa istri terdakwa perlu dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi yang sah karena pada dasarnya keterangan saksi adalah hal utama yang dapat membuat terang suatu tindak pidana. Kehadiran istri terdakwa pada pesidangan yang telah memenuhi syarat sebagai saksi seperti yang dijelaskan pada Pasal 1 Angka 27 KUHAP adalah untuk memberikan keterangan mengenai penyebab utama terjadinya tindak pidana pembunuhan yang terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, dan keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de auditu. Keterangan saksi diberikan di bawah sumpah sehingga keterangan saksi tersebut dapat dijadikan hakim sebagai bahan petimbangan untuk menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
110
pembunuhan terhadap korban (SSW) serta untuk menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa (TSN) selama 8 (delapan) tahun. 2. Kekuatan pembuktian keterangan saksi keluarga dalam tindak pidana pembunuhan terhadap Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga Pembuktian merupakan hal terpenting dalam suatu proses pemeriksaan dalam persidangan, karena dalam pembuktian inilah ditentukan nasib dari terdakwa. Tujuan dari pembuktian ini adalah untuk mencari kebenaran yang ada dalam perkara yang diharapkan dapat mendekati kebenaran yang sebenarbenarnya atau disebut dengan kebenaran materiil. Menurut M. Yahya Harahap69: “Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah”. Sedangkan Menurut Martiman Prodjohamidjojo70 : “Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui : a. Penyidikan; b. Penuntutan; c. Pemeriksaan di persidangan; d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.”
69
70
M. Yahya Harahap, 2009, Op.Cit, Hal.252. Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm. 12.
111
Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti, dengan cara, dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dapat mewujudkan kebenaran sejati. Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasar pada hasil perolehan dan penjabaran yang tidak keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian, dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh saling berdiri sendiri. Sistem pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian negative wettelijk bewijs teori seperti terdapat dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No.48 Tahun 2009. Pasal 183 KUHAP menyebutkan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
112
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 menyebutkan : “Tiada seorangpun dapat di jatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Menurut Martiman Prodjohamidjojo71: Istilah negatif wettelijk berarti wettelijk adalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undnag-undang. Sedangkan negatief adalah walaupun terdapat alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan undang-undang, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetap masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim. Sistem ini, salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Betitik tolak dari uraian tersebut , untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen: a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; b. Dengan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang . Sistem ini memadukan unsur-unsur objektif dan unsur subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara unsur tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada, maka tidak cukup untuk mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Menelaah dari ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang terkandung di dalamnya yaitu : 71
Ibid, hal.14
113
a. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, b. Dan dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin, bahwa : 1. Tindak pidana telah terjadi; dan 2. Terdakwa telah bersalah. Kata “sekurang-kurangnya” dua alat bukti, yang memberikan limitatif dari bukti minimum, yang harus disimpulkan pada acara pembuktian. Sebenarnya prinsip minimum pembuktian bukan saja diatur dan ditegaskan dalam Pasal 183 KUHAP, tapi dijumpai dalam pasal lain. Namun sebagai aturan umum (general rule) dari prinsip minimum pembuktian, diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasalpasal lain yang menegaskan prinsip umum, antara lain: 1. Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Atau lebih dikenal dengan istilah “unus testis nullus testis”. 2. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan atau pengakuan terdakwa (confession by on accused) saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan. Pada Putusan Nomor 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, terdapat beberapa alat bukti yang diajukan di persidangan, diantaranya alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan juga keterangan terdakwa.
Membuktikan kesalahan dari terdakwa maka penyidik mengunakan alatalat yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP. Salah satu
114
alat bukti yang digunakan oleh penyidik adalah alat bukti keterangan saksi. KUHP dan KUHAP mengatur kewajiban setiap orang untuk menjadi saksi. Pasal 224 KUHP dan Pasal 522 KUHP mengancam sanksi pidana kepada setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menjadi saksi, ahli, atau juru bahasa. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang berkedudukan paling utama dalam Pasal 184 KUHAP, karena keterangan dari saksi dapat membuat terang suatu tindak pidana. Terlebih lagi apabila keterangan saksi tersebut dapat dinyatakan dalam persidangan dan menjadi alat bukti yang sah menurut pasal 185 KUHAP. Untuk mengetahui nilai keterangan saksi keluarga yang tergolong pada Pasal 168 KUHAP di atas, harus memperhatikan kembali pada Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP, yaitu : a. Keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. b. Tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim. c. Atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian. Dari uraian di atas dapat diketahui keterangan yang disampaikan oleh keluarga dapat digunakan meyakinkan hakim dan atau dapat bernilai serta dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah, sepanjang keterangan saksi tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah yang sudah memenuhi batas minimum pembuktian dan tidak termasuk dalam Testimonium de auditu72. Namun
72
Lamintang, , 2010, Op.Cit, hal 112
115
Keterangan saksi keluarga tersebut yaitu isteri terdakwa yang tergolong dalam orang yang dikecualikan untuk menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP, dapat diketahui bahwa alat bukti keterangan saksi tersebut merupakan alat bukti yang sah dan utama dalam perkara pidana Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga karena telah ditentukan oleh Pasal 169 KUHAP yang menyatakan bahwa : 1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah. 2. Tanpa persetujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : Syarat sahnya keterangan saksi, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : (1).
Harus mengucapkan sumpah atau janji, hal ini diatur dalam : Ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun sumpah atau janji : a.
Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,
b.
Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan
memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarsebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi Pasal 160 ayat
116
(4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji:
a.
Pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum” saksi memberi keterangan,
b. Tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan73.
(2). Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti. Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, dan keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Dari ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui yaitu: a. Adanya peristiwa pidana; b.Dengar sendiri; c. Lihat sendiri; d.Alami sendiri; e. Dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 185 ayat (1) KUHAP, menyebutkan: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Dalam penjelasannya dalam keterangan saksi itu tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. 73
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 286
117
Ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP dan dihubungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP menurut M.Yahya Harahap disimpulkan: a. Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar apa yang dilihat atau dialami sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan pembuktian. b. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai saksi. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketetntuan Pasal 185 ayat (5) KUHAP. Oleh karena itu keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Agar seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi haruslah memenuhi syarat yaitu dapat memberikan keterangan terhadap peristiwa pidana yang didengarnya sendiri, dilihat sendiri, dan dialaminya sendiri. Pengertian kata “sendiri” berarti setiap hal-hal yang secara langsung diketahui oleh saksi, akan tetapi baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi dan tidak mencakup keterangan yang diperoleh dari orang lain74. (3). Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal
74
Darwan, Prints, 1989, Op.Cit, hal. 76
118
185 ayat (1) KUHAP. Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. (4). Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Pasal 185 ayat (2) KUHAP menentukan keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saja, tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP, adalah: c. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa, paling sedikit harus didukung dengan dua orang saksi; d. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka kesaksian tadi harus dicukupi atau ditambah dengan satu alat bukti yang lain.
119
Untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti permulaan yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lainnya, hal ini berkaitan dengan Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menegaskan bahwa: Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dengan syarat apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Azas dalam pemeriksaan saksi adalah unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi azas tersebut dapat dikesampingkan dengan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain75. Selain itu saksi dalam memberikan keterangan hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyebabkan seorang saksi mengetahui hal-hal sesuatu. Suatu pendapat atau suatu persangkaan yang disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi76. Pada dasarnya setiap orang yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa yang ada sangkut pautnya dengan tindak pidana dapat menjadi saksi, namun demikian agar di dalam 75 76
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op Cit, 2003, hal. 42. Wirjono Prodjodikoro,1983, Op.Cit, hal. 118
120
persidangan bisa didapatkan keterangan saksi yang sejauh mungkin objektif dalam arti tidak memihak atau merugikan terdakwa. Kasus tindak pidana pembunuhan sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga, berawal korban (SSW) hendak membunuh anak terdakwa, untuk melindungi anaknya maka terdakwa (TSN) mendahului membunuh korban. Pada sidang pengadilan terdakwa menerangkan bahwa terdakwa tidak bermaksud untuk membunuh korban tetapi semata-mata untuk melindungi keluarganya dan dilakukan dalam keadaan terpaksa, sehingga dalam perkara tersebut hakim mendasarkan pada alat bukti keterangan saksi keluarga yaitu isteri terdakwa (Ro) yang menerangkan bahwa terdakwa selalu membawa pisau lipat untuk melindungi keluarganya dari ancaman korban. Berdasarkan keterangan saksi keluarga tersebut hakim dapat memperoleh petunjuk dan dapat menambah keyakinannya. Dalam praktiknya untuk melihat kebenaran saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP, yaitu: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain. Saling persesuaian ini harus jelas nampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim. Penjabaran persesuaian ini harus sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain. Dalam hal ini, jika yang diajukan oleh penuntut umum dalam persidangan di pengadilan terdiri dari saksi dengan alat-alat bukti yang lain baik berupa ahli, surat atau petunjuk, maka hakim dalam sidang pengadilan maupun dalam pertimbangannya harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi tadi dengan alat bukti yang lain tersebut. c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu. Disinilah hendaknya hakim mencoba mencari alasan saksi, mengapa saksi memberikan keterangan yang seperti itu. Tanpa mengetahui alasan saksi yang pasti, maka akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi.
121
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor : 07/Pid.B/ 2009/PN.Purbalingga, keterangan yang disampaikan oleh saksi keluarga tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, yaitu diserahkan kepada kebijakan hakim karena hakim wajib mendengar keterangan dari kedua belah pihak77. Menurut M.Yahya Harahap78 : Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas, yang tidak mempunyai nilai kekauatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Hal tersebut tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan pembuktian atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya.
Keterangan dari saksi tersebut dapat digunakan meyakinkan hakim dan bernilai sebagai alat bukti yang sah setelah mendapat pesetujuan dari Jaksa Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 169 KUHAP serta dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk karena memliki persesuaian dengan keterangan saksisaksi lain dan keterangan dari terdakwa
sehingga alat bukti saksi tersebut
diperlukan oleh hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan bahwa terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap korban (SSW) serta menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa (TSN) selama 8 (Delapan) tahun. Hakim dalam mempertimbangkan keterangan 77 78
dari
saksi
yang
dihadirkan
di
persidangan
Adji, Oemar Seno, 1980, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, hal.42 M. Yahya Harahap, 2009, Op Cit, hal. 273-274
harus
dapat
122
mempertanggungjawabkan keputusannya, apakah akan menggunakan keterangan saksi sebagai pendapatnya sendiri yang kemudian dipergunakan dalam pertimbangan putusan, ataukah menolak keterangan saksi karena tidak sesuai dengan pendapatnya. Hakim tidak bisa menolak atau menerima keterangan seorang saksi semata-mata tanpa landasan yang jelas.
123
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Purbalingga
Nomor
:
07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga,
maka
dapat
disimpulkan sebagai berikut : 1) Hakim Pengadilan Negeri Purbalingga menghadirkan saksi keluarga dalam
persidangan
pada
Putusan
Nomor
:
07/Pid.B/2009/
PN.Purbalingga karena : a. Keterangan istri terdakwa atas kehendaknya sendiri sebagai saksi yang merupakan alat bukti utama yang dapat membuat terang duduk persoalan yang timbul dalam persidangan setelah disetujui secara tegas oleh Jaksa Penuntut Umum, untuk menjelaskan mengenai terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut. b. Untuk menjelaskan lebih lanjut duduk perkara secara sebenar-benarnya di bawah sumpah mengenai penyebab terjadinya tindak pidana pembunuhan tersebut.
2) Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Keluarga dalam Putusan Nomor : 07/Pid.B/2009/ PN.Purbalingga merupakan alat bukti yang sah setelah disetujui secara tegas oleh Penuntut Umum dan hakim bebas untuk mempergunakan atau menolak keterangan saksi. Keterangan
saksi
keluarga tersebut dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk meyakinkan hakim karena keterangan saksi tersebut mempunyai persesuaian dengan keterangan saksi-saksi lain dan alat bukti lain yang
124
sah yang sudah memenuhi batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP dan tidak termasuk dalam Testimonium de auditu. B. Saran Sebaiknya hakim tetap objektif dalam mempertimbangkan dan memutus suatu perkara. Selalu jeli dalam menilai keterangan saksi-saksi, walaupun saksi yang memiliki hubungan darah dengan terdakwa namun selama keterangannya tersebut memiliki persesuaian dengan alat bukti lainnya, keterangan tersebut harus tetap dapat diterima hakim sebagai dasar petimbangan dan keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara.
125
DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Abdussalam, H. R, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, Restu Agung, Jakarta, 2006. Adji, Oemar Seno, Hukum Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980. Ansori, Sabuan, dkk. Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990. Atang, Ranoemihardja. R, Hukum Acara Pidana,Tarsito, Bandung, 1980. Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1997. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, CV. Sapta Artha Jaya,1996. _______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. _______, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2009. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika, 2000. _______, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2009. _______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid II, Jakarta,Pustaka Kartini, 2010. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung; Mandar Maju, 2003. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2008. Dahlan, Irdan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1997. Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Makarao, Taufik Mohammad, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.
126
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005. Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Eksekusi). Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Poernomo, Bambang, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta,Liberty, 1986. ________, Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia, Amarta Buku Yogyakarta, Yogyakarta, 1988. _________, Pola
Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Jogjakarta, 1993.
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Djambatan, 1989. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung, 1983. Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti jilid 2, Ghalia, Jakarta, 1990. _________ , Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia, Jakarta, 1983 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP bagi Penegak Hukum), Politea, Bogor, 1982. Soemitro, Rony Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Semarang, 2005. Sutarto, Suryono, Sari Hukum Acara Pidana1, Yayasan Cendikia Dharma, Semarang, 1987. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Armioo, Bandung, 1984. B. Peraturan Perundang – undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ________, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ________, Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, No. 27 Tahun 1983, LN No. 10 Tahun 195, TLN No. 27.
127
C. Sumber Hukum Lain Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Nomor: 07/Pid.B/2009/PN.Purbalingga Artikel nonpersonal, 2007, “Tipologi Penelitian Hukum”. http://id-shvoong.com/law-and-politics/1922279-alat- bukti, diakses tanggal 28 juni 2012. Artikel hukum, 2008, “Kekuatan Pembuktian Saksi Keluarga”. http://www.google.co.id/url.kekuatanpembuktiansaksikeluarga&source, tanggal 11 juli 2012, jam 12.28
diakses
Satyawati Yuni Irianti, S.H., M.Hum, 2008, “Saksi Yang Memiliki Hubungan Darah Dan Orang Yang Mempunyai Ikatan Kerja Dengan Terdakwa”. http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/info-hukum/artikel-hukum/2074-saksi-yangmemiliki-hubungan-darah-dan-orang-yang-mempunyai-ikatan-kerja-denganterdakwa.html, diakses tanggal 1 Oktober 2012, jam 12.45