PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN MATINYA ORANG ( Studi Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT )
SKRIPSI Maksud Skripsi untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH : MOCHAMAD DANI PURWITO SUASTAMA E1A005231
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN MATINYA ORANG ( Studi Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT) OLEH : MOCHAMAD DANI PURWITO SUASTAMA E1A005231
Maksud Skripsi untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman DISETUJUI DAN DITERIMA PADA TANGGAL AGUSTUS 2012 Penguji I/ Pembimbing I
Penguji II/ Pembimbing II
Penguji III
Pranoto, S.H.,M.H. NIP.19540305 198601 1 001
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.MH. NIP.19640724 199002 1 001
Handry Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H. NIP.19581019 198702 2 001
Mengetahui, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Dekan,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya :
Nama NIM Judul
: Mochamad Dani Purwito Suastama : E1A00523 1 : PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN MATINYA ORANG ( Studi Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT )
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Agustus 2012
MOCHAMAD DANI PURWITO SUASTAMA NIM. E1A005231
iii
HALAMAN MOTTO
- D OA T AN P A US A H A AD AL A H BO HO NG , USAHA TAN PA DOA ADALAH SOMBONG-
-DON’T LOOK BACK IN ANGER(OASIS)-
v
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamiin, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan ridhoNya, beserta junjungan Nabi akhirul jaman Muhammad SAW, serta semoga berkah dan hidayah tersebut tercurah sampai pada diri kita. Alhamdulillah skripsi ini dapat penulis selesaikan, dan tidak luput dari motivasi dan dukungan orang tua, sahabat dan orang-orang yang sangat berjasa dalam pemnulisan ini, sehingga dapat berjalan dengan lancar. Adapun judul skripsi adalah PUTUSAN PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN MATINYA ORANG (Studi Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.Mkt) Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas motivasi dan dukungan, baik langsung maupun tidak langsung yaitu kepada yang terhormat: 1.
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya;
2.
Sanyoto S.H.,M.H. selaku ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
3.
Pranoto, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I;
4.
Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II;
5.
Handry Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Dosen Penguji Skripsi
6.
Drs. Antonius Sidik Maryono,S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik;
v
7.
Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
8.
Ketua Pengadilan Negeri Mojokerto berserta para Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto:
9.
Unit Kegiatan Mahasiswa Justitia English Club (JEC) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;
10. Unit Kegiatan Mahasiswa Lembaga Kajian Hukum dan Sosial (LKHS) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 11. Orang Tua dan Keluarga, Bapak Soenarso dan Ibu Mudji Hastuti; 12. Teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto; 13. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak disebutkan satu per satu. Orang yang bijak adalah orang yang mau menerima kritik dan masukan dengan lapang dada. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap pembacanya. Purwokerto, Agustus 2012
Penulis
vi
ABSTRAK Putusan Nomor 70/Pid.B/2010/PN.M kt dengan kasus “Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang”. Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan Pengadilan Negeri. Putusan ini terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (pasal 359 jo pasal 55 ayat (1) KUHAP). Dalam putusan pemidanaan hakim harus memperhatikan pertimbangan yang menjadi syarat untuk suatu putusan. Adapun pertimbangan hakim dalam suatu putusan pemidanaan yang menjadi dasar penjatuhan pidana adalah pemberatan dan peringanan pidana. Pemberatan ini dinilai sebagai refleksi sifat yangjahat dari terdakwa dan peringanan pidana dinilai sebagai refleksi sifat yang baik dari terdakwa. Tindak pidana kealpaan menyebabkan matinya orang yang merupakan ancaman sanksi pidananya lebih berat, dalam penjatuhan putusan, hakim harus memberikan putusan yang adil. Dengan demikian, dalam pemberian hal pemberatan dan peringanan, hakim harus benar-benar mengimbangkan kedua hal tersebut, dgr putusan pidana nantinya dirasakan masyarakat “seti mpal dengan kesalahan”. Dengan hal pemberatan dan peringanan pidana ini pula yang dapat menjadikan suatu putusan tersebut berbeda-beda. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt, dan juga untuk mengetahui apakah putusan Nomor: 70/Pid.B/2005/PN.Mkt sudah memenuhi rasa keadilan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode pendekatan yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian preskriptif, lokasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu di Pengadilan Negeri Mojokerto. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data sekunder, data tersebut disusun secara sistematis dan analisis data dilakukan dengan metode normatif kualitatif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, yang dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. yaitu telah terbukti dan terpenuhinya unsur “barang siapa, barang siapa, karena kealpaannya menyebabkan matinya orang, orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan itu” ditambah dengan keterangan terdakwa yang membenarkan semua keterangan saksi dalam persidangan. yang ternyata satu dan lainnya saling berhubungan, sehingga dapat ditarik kesimpulan dan menjadi faktafakta yang tetap. Kemudian putusan Nomor 70/Pid.B/2006/PN.Mkt belum memenuhi rasa keadilan dapat dikaitkankan dengan teori keadilan korektif Aristoteles. Mungkin keadilan secara pro sedural telah tercapai, namun keadilan secara subtantif belum dapat tercapai. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tersebut masih belum memenuhi nilai-nilai keadilan yang dituntut oleh masyarakat atau keadilan sebagimana masyarakat menginginkannya. * Kata Kunci : Putusan Pemidanaan, Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang
viii
ABSTRACT Decision Number 70/ Pid.B/20 1 0/PN.Pwt the case of "negligence Causing Death of Person". The decision of punishment is one form of the District Court decision. The verdict is the case, if the court believes that the defendant was found guilty of the offenses charged to him (Article 359 in conjunction with Article 55 paragraph (1) Criminal Procedure Code). In sentencing decisions of judges should be taking into consideration the requirement for a decision. The consideration of the judge in a sentencing decision on which to base the weighting and the imposition of criminal penalty mitigation. Weighting is considered as a reflection of the nature of evil and the mitigation of criminal defendants judged as a good reflection of the nature of the defendant. Criminal acts of negligence causing death of the person that is more severe criminal sanction, the imposition of the verdict, the judge must give a fair verdict. Thus, in terms of weighting and the provision of mitigation, the judge should really balance those two things, DGR criminal verdict will be felt society "commensurate with the error". With the weighting and the mitigation of this offense can also make a different decision. The purpose of this study was to determine the legal reasoning of judges in decisions No.: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt, and also to determine whether the verdict Number: 70/Pid.B/2005/PN.Mkt have sense of fairness. From the approach used in this study is the method of normative juridical approach, the prescriptive research specification, the locations used in this study is in the District Court Mojokerto. In this study the data sources used are secondary data, such data are systematically arranged and performed data analysis with normative qualitative methods. From the research that has been done, it can be concluded that, which is used as the basis for legal reasoning of judges in deciding the case number: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. which has been proven and the fulfillment of the element of "any person, any person, on account of negligence causing the death of people, those who do, who have done or participating in acts that" coupled with the defendant's explanation that justifies all of the statements of witnesses in the trial. which turned out to one another are interconnected, so it can be concluded and become fixed facts. Then if the decision No. 70/Pid.B/2006/PN.Mkt been able to satisfy the justice of dikaitkankan with corrective justice theory of Aristotle. May be procedural fairness has been achieved, but not substantive justice can be achieved. District Court Judge Mojokerto verdict is still not meet the values of justice demanded by the community or society sebagimana want justice. * Keyword: Verdict Criminalization, negligence Causing Death of Person
viii
x
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii HALAMAN MOTTO .......................................................................................... iv PRAKATA .............................................................................................................v ABSTRAK ........................................................................................................... vii ABSTRACT ........................................................................................................ viii DAFTAR ISI.................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1 B. ................................................................................................................ . Perumusan Masalah ..........................................................................................8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 8 D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Pidana ...................................................................................10
1. Pengertian Hukum Acara Pidana ................................................. 10 2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana ..................................... 14 B. Tindak Pidana ...................................................................................... 15 1. Pengertian Tindak Pidana ................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA
2. Pengertian Keaalpaan Menyebabkan Matinya orang .......................... 19 C. Kealpaan .................................................................................................................. 20 1. Pengertian Kealpaan ..............................................................20 2. Unsur Kealpaan ........................................................... 21 3. Macam Kealpaan ......................................................... 23 4. Kealpaan Menyebabkan Matinya orang ..................................... 24 D. Hakim ................................................................................................... 25 1. Pengertian Hakim ........................................................ 25 2. Kedudukan Hakim Yang Bebas Dan Tidak Memihak .............. 27 F. Putusan Pengadilan ................................................................................................ 29 1. Pengertian Putusan Pengadilan ................................................... 29 2. Jenis-Jenis Putusan Pengadilan ..............................................30 3. Syarat-Syarat Sahnya Putusan Pengadilan ................................. 34 BAB III METODE PENELITIAN .............................................................................. 36 1. Metode Pendekatan ........................................................................ 36 2. Spesifikasi Penelitian ..................................................................... 36 3. Sumber Data ................................................................................... 37 4. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 37 5. Metode Penyajian Data .................................................................. 38 6. Metode Analisis Data .................................................................... 38 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian .................................................................................. 39 B. Pembahasan ....................................................................................... 57 BAB V PENUTUP A. Simpulan .............................................................................................. 80
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dengan semakin maju dan kompleksnya zaman dan perubahan yang terjadi di segala aspek, secara tidak langsung memunculkan berbagai hal dalam kehidupan. Mulai dari hal yang positif, tentunya bukan merupakan suatu hambatan dalam kehidupan, namun hal yang negatif merupakan masalah yang butuh sesegera mungkin untuk diselesaikan, mulai dari hal yang terkecil yaitu minum-minuman keras, obat-obatan terlarang, karena hal ini pemicu atau penyebab dari semua kejadian yang ada di masyarakat.
Minum-minuman keras, obat-obatan terlarang ini juga bisa membuat orang itu segan untuk melakukan pembunuhan dengan cara apapun karena adanya rasa dengki, dendam dan lain sebagainya akan timbul akibat pengaruh dari minumminuman keras, dan obat-obatan terlarang. Karena hal ini bisa merusak saraf otak manusia tidak bisa berpikir jernih serta akibat dari perbuatan yang mereka lakukan tersebut. Sebagai konsekuensi ketentuan-ketentuan tersebut, maka azas kesadaran hukum merupakan azas yang harus diprioritaskan dalam pembangunan. Azas kesadaran hukum berarti menyadarkan setiap warga untuk selalu taat kepada
2
hukum, disamping itu mewajibkan pula bagi negara beserta aparatnya untuk menegakkan dan menjamin berlakunya kepastian hukum di Indonersia.1 Tindak pidana pembunuhan sebagaimana kejahatan-kejahatan yang lain, pada umumnya merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang harus ditafsirkan atau patut diperhitungkan sebagai perbuatan yang sangat merugikan bagi pihak korban. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut tanpa adanya suatu penyelesaian hukum atas tindak pidana tersebut. Oleh karenanya setiap tindak pidana yang dilakukan oleh siapapun harus ditindak secara tegas tanpa memandang status, karena hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 338-350 KUHP.2
Seperti kejahatan lainnya yang terjadi dalam masyarakat, pembunuhan dalam bentuk apapun, dengan alasan apapun secara tegas dilarang oleh norma hukum pidana, dan karenanya kaidah hukum pidana selalu bertindak tegas dan tidak pernah membiarkan berlangsungnya kejahatan tersebut secara terus menerus, karena dilihat dari segi terjadinya tindak pidana pembunuhan itu sangatlah merugikan.Kejahatan-kejahatan seperti inilah yang menjadi tugas bagi seluruh aparatur penegak hukum, mulai dari Instansi Kejaksaan,Pengadilan, Kehakiman dan Kepolisian. Dengan demikian, pembangunan hukum sebagai upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan ketertiban dalam negara hukum Indonesia yang
Ilham Gunawan, Penegak Hukum dan Penegak Hukum, Angkasa Bandung, 1993. hal 2 2 R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, hal 15 1
3
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, diarahkan untuk meningkatkan kesadaran hukum, menjamin penegakan, pelayanan dan kepastian hukum serta mewujudkan tata hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional.3
Dengan berfungsinya hukum, berbagai keadaan yang mencerminkan ketidakadilan dapat dihindari. Dalam hal adanya konflik kepentingan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, penyelesaiannya tidak lagi menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan dan nilai-nilai objektif yang tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah.4 Perkembangan pemikiran hukum dan keadilan dari masyarakat akan tampak dip ermukaan sebagai kesadaran hukum masyarakat itu, yang kalau diperinci potensi yang terkandung didalamnya akan terurai sebagai: 1. Harapan, kepercayaan bahwa hukum dapat memberikan kegunaan serta perlindungan, jaminan kepastian dan keadilan hukum. 2. Orientasi, perhatian, kesanggupan, kemauan baik, sikap, kesediaan dan keberanian untuk mentaati hukum karena keyakinan bahwa kebenaran, keadilan dan kepastian hukum adalah bagian hati nurani yang menuju terselenggaranya kepentingan umum. 5 Salah satu hasil dari pembanguan di bidang hukum, yaitu ditetapkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem peradilan pidana yang mempengaruhi pada sistem penyidikan dan pembuktian.
3 Sukarton Marmosudjono, Penegak Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, hal 2. 4 Ibid, hal 4 5 ibid, hal 5
4
Hukum acara pidana merupakan hukum pidana formil yang mempunyai tujuan untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, artinya kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dip ersalahkan. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang Pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa, apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, oleh karena itu hakim harus berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.6 Prinsip minimum pembuktian yang dianggap cukup menurut sistem pembuktian diatur dalam Pasal 183 KUHAP:
6 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi Dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 252
5
a. Sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah, atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua bukti yang sah; b. Dengan demikian tidak dibenarkan dan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, jika hanya dengan satu bukti saja. Jadi jelaslah bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang harus berdasarkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan dari alat bukti tersebut hakim memperoleh suatu keyakinan bahwa seseorang telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepada dirinya. Alat bukti yang sah menurut Undang-Undang tersebut diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan 5 (lima) alat bukti, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.
Alat-alat bukti tersebut sangat diperlukan, dengan adanya alat-alat bukti tersebut maka hakim akan lebih mudah dalam memperoleh keyakinan. Keyakinan hakim itu tidak lain daripada 2 (dua) hal, yaitu: 1. Bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi; 2. Bahwa pelaku tindak pidana adalah terdakwa sebagaimana didakwakan dan bukan orang lain.
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan sanksi. Suatu perbuatan akan menjadi perbuatan pidana apabila perbuatan itu melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelaku dari perbuatan itu diancam pidana.
6
Dalam KUHP telah diatur berbagai jenis tindak pidana, yang salah satunya adalah tindak pidana karena kealpaan seseorang menyebabkan orang lain mati. Dengan demikian tindak pidana karena kealpaan seseorang yang menyebabkan orang lain mati, merupakan bentuk dari kesalahan yang dapat dimintai pertanggungjawaban, seperti yang tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan sebagai berikut : Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan hukum, tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan hukum Putusan pengadilan dalam hukum dari dulu hingga kini selalu menimbulkan perbedaan pandangan baik itu dikalangan para ahli hukum atau pun para ahli lainnya dilihat dari sudut pandang keilmuan mereka masing-masing. Lebih-lebih di kalangan masyarakat awam baik yang melek ataupun yang buta hukum sama sekali, tetap saja ada kontroversi yang menjadikan debat kusir di warung kopim kafe sampai ke pasar tempat orang berbelanja. Dalam pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari hasil pengamatan penulis, Putusan Pengadilan itu tidak terlepas oleh Pemberi Putusan dalam hal ini Hakim yang memimpin jalannya sidang dari suatu perkara. Kontroversi yang terjadi dalam hal ini perlu dilakukan upaya pemahaman dan sosialisasi, yang tidak terlepas dari peranan Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum yang tugasnya mengadili terdakwa.
7
Untuk mengambil keputusan, Hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan Hakim merupakan salah satu dari ketiga kemungkinan sebagai berikut :
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan keyakinan cukup dibuktikan. 2. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti. 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana.7 Dalam hal ini penulis ingin memahami lebih dalam mengenai Putusan Pemidananaan yang terdapat dalam Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MK. Di dalam Putusan tersebut juga terdapat unsur kealpaan menyebabkan matinya orang yang diatur di dalam Pasal 359 KUHP.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis mengambil judul penelitian “Putusan Pemidanaan dalam Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Matinya Seseorang” (Studi Putusan Pengadilan Nomor : 70/ Pid.B/ 2006/ PN.MKT) B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
7 Santoslolowang, Putusan dan Jenis-Jenis Putusan, (on line), 2012. Diunduh : http://www.santoslolowang.com/hukum/putusan-dan-jenis-jenis-putusan/ (18 April 2012)
8
1. Apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana selama 9 bulan penjara dalam Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT? 2. Apakah Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT sudah memenuhi rasa keadilan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT. 2. Untuk mengetahui Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT sudah memenuhi rasa keadilan. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Untuk memberikan gambaran dan informasi yang jelas tentang Putusan Pemidanaan dan serta menambah pengetahuan bagi mahasiswa dan masyarakat tentang tindak pidana kealpaan menyebakan matinya orang. b. Diharapkan dengan adanya tulisan ini dapat menjelaskan dan memberi sedikit pencerahan bagi segenap civitas akademik Fakultas Hukum UNSOED. 2. Kegunaan Terapan/Praktis Kegunaan secara praktis yaitu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi serta dapat memberikan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti untuk penulisan skripsi yang menyangkut hukum acara pidana khususnya mengenai Putusan
9
Pemidanaan dan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia pada dasarnya berasal dari Perancis yang pada saat itu sedang menjajah Belanda, maka berlakulah hukum pidana Perancis yang disebut “Code Penal”, setelah Perancis dapat diusir maka Belanda menyusun sendiri Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya yang disebut "Nederlandsch Wetboek van Strafrecht". Sedangkan di Indonesia berlakulah asas konkordansi dalam hukum pidana, yaitu suatu asas dimana sedapat mungkin hukum yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum pidana yang berlaku di Belanda. Menurut Andi Hamzah8: Pemerintah merumuskan hukum pidana (materiil) sebagai keseluruhan peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan dimana pidana itu seharusnya menjelma. Hukum acara pidana disebut juga sebagai Hukum pidana formil yaitu: Hukum yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberi definisi tentang hukum acara pidana, tetapi bagian-bagiannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain. Diberi definisi dalam Pasal 11 KUHAP. Akan tetapi definisi dari hukum acara pidana banyak diberikan oleh para sarjana.
8
Andi Hamzah, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4
Ibid., hal. 2 Ibid., hal. 6
9
10
12
Andi Hamzah9, memberikan penjelasan mengenai istilah hukum acara pidana yang diuraikan sebagai berikut: Istilah hukum acara pidana” sudah tepat dibanding dengan istilah “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana” Belanda memakai istilah stravordering yang kalau diterjemahkan akan menjadi tuntutan pidana, bukannya istilah strafprocesrecht yang padanannya acara pidana. Istilah itu menurut Menteri Kehakiman Belanda pada waktu rancangan undangundang dibicarakan di parlemen karena meliputi seluruh pro sedur acara pidana. Oleh karena itu menurut pendapat penulis, istilah Inggris Criminal Procedure Law lebih tepat daripada istilah Belanda. Hanya karena istilah strafvordering sudah memasyarakat, maka tetap dipakai. Orang Perancis memakainya menamainya Coded' Instruction Criminelle. Sedangkan istilah yang sering dipakai di Amerika Serikat ialah Criminal Procedure Rules. Dip akai istilah rules karena di Amerika Serikat bukan raja undangundang yang menjadi sumber hukum formal hukum acara pidana, tetapi juga putusan hakim dan dibukukan sebagai himpunan. Menurut pendapat Van Bemmelen yang dikutip dalam bukunya Andi Hamzah10, memberikan garis definisi mengenai hukum acara pidana sebagai berikut: Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana: a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya; d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran, guna dilimpahkan kepada hakim membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang didakwakan -kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau denda atau tindakan tata tertib; f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; g. Akhirnya melakukan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.
13
Pengertian dari Hukum Acara Pidana yaitu hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.11 Adapun dalam hukum pidana dikenal adanya hukum pidana materiil dan formil. Mengenai hal ini R. Soesilo12, mengungkapkan: Hukum acara pidana itu erat hubungannya dengan hukum pidana. Bahkan dalam hukum acara pidana itu pada hakekatnya termasuk dalam pengertian hukum pidana. Sekarang apakah yang dimaksud dengan hukum pidana itu? Untuk dapat memahami arti hukum pidana terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dinamakan tindak pidana, yang biasa juga disebut dengan kata-kata istilah: peristiwa pidana, perbuatan yang dapat dip idana dan lain sebagainya, atau dalam bahasa asing “strafbaar feit” atau “delict”. Tindak pidana itu ialah suatu perbuatan yang oleh UndangUndang dilarang atau diwajibkan dan apabila dilakukan atau diabaikan, orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana. Kumpulan dari seluruh tindak-tindak pidana inilah yang dinamakan hukum pidana materiil. Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa hukum pidana formal sangat dip erlukan sebagai pelengkap hukum pidana materiil, karena menurut pendapat dari R. Soesilo13, hukum pidana formal memuat sekumpulan peraturan-peraturan hukum yang memberikan pengaturan dan memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan, b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa, dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orangorang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara
R, Soesilo, 1982, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Politea, Bogor, hal. 67 Ibid., hal. 1 13Loc.Cit 11 12
15
menangkap, menahan dan memeriksa orang itu, c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan, dan tempat-tempat lain serta menyita barangbarang itu, untuk membuktikan kesalahan-kesalahan tersangka, d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh Hakim sampai dapat dijatuhkan pidana, dan oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan: yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pendapat para sarjana tersebut di atas bahwa Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana keputusan itu harus dilaksanakan. Berdasarkan uraian tentang pengertian hukum acara pidana yang dikemukakan oleh para sarjana di awal, maka pada hakikatnya tujuan yang diharapkan akan tercapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana dengan disertai penerapan aturan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Bambang Poernomo14, memberikan penjelasan mengenai tujuan hukum acara pidana sebagai berikut: Ilmu hukum acara pidana mempunyai kesamaan dengan tujuan ilmu hukum dengan sifat kekhususan yaitu mempelajari hukum mengenai tatanan penyelenggaraan proses perkara pidana dengan memperhatikan perlindungan masyarakat serta menjamin hak asasi manusia dan mengatur susunan serta wewenang alat perlengkapan Negara penegak hukum untuk
mencapai kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan sarana
17
peraturan hukum acara pidana itu susunan dan wewenang alar perlengkapan Negara penegak hukum dalam proses perkara pidana mempunyai tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran, mengadakan tindakan penuntutan secara tepat dan memberikan putusan dan pelaksanaan secara adil. Hukum Acara Pidana sebenarnya menentukan agar para hakim dapat berusaha menembus kearah diketemukanya kebenaran dari perbuatan yang disangka telah dilakukan seseorang. Dengan demikian hukum acara pidana mengemban misi mencari kebenaran sejati tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatanya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. Oleh karena itu penegak hukum melalui Polisi, Jaksa, Hakim, dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran dan berdasarkan peristiwa yang sungguh- sungguh terjadi. B. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana Menurut pedoman KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaktidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Berbicara mengenai tujuan hukum acara pidana di atas, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut:
a. Mencari dan menemukan kebenaran. b. Pemberian keputusan oleh hakim.
18
c. Pelaksanaan keputusan. 15 Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tep at).16 Kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Menurut Pasal 36 ayat (4) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan keputusan tersebut harus berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan.
Selanjutnya tujuan dari proses pidana itu sendiri adalah untuk menentukan suatu kebenaran materil, oleh karena itu dip erlukan adanya suatu sistem yang dapat memberikan panduan untuk dapat diperolehnya kebenaran materil tersebut. C. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana. Dalam rumusan tersebut bahwa yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang diancam sanksi pidana bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.
15
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 7-9.
19 16
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm.9.
20
Rumusan tindak pidana tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “criminal act”. Dalam hal ini meskipun orang telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia mesti dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan untuk m e ne ntu ka n kesa la ha nnya , ya ng d ike na l de ng a n istila h “ cri m ina l responsibility”.17
Istilah Tindak pidana (strafbaar feit) diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Istilah-istilah tersebut dikemukakan oleh para ahli, yakni sebagai berikut: a. Simons Merumuskan bahwa, Strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Kemudian beliau membaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu:
1) Unsur sub yektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar) dari petindak.
21
2) Unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu. b. Wirjono Prodjodikoro Mengemukakan bahwa Tindak pidana adalah pelanggaran normanorma dalam tiga bidang yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintah yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. c. Moeljatno Menyatakan istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan merupakan perbuatan yang anti sosial. d. Roeslan Saleh Menyatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan. e. Vos Merumuskan “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan (gedraging) manusia yang dilarang dan oleh undang-undang diancam pidana. f. Pompe Merumuskan bahwa: “Strafbaar feit “ adalah suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum) terhadap mana pelaku
22
mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan umum.18
Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dip ersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig. Untuk itu, tindak pidana sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia (gedragingen: yang mencakup dalam hal ini berbuat maupun tidak berbuat) yang diperbuat dalam situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku mana dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan sanksi pidana.19 Bahwa orang dapat dipidana selain telah melakukan tindak pidana masih dip erlukan kesalahan. Akan dirasakan sebagai hal yang bertentangan dengan rasa keadilan, jika orang yang tidak bersalah dijatuhi pidana. Dalam hal ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara kesalahan dan tindak pidana ada hubungan erat, di mana kesalahan tidak dapat dimengerti tanpa adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan kata lain orang dapat melakukan tindak pidana tanpa mempunyai kesalahan, tetapi sebaliknya orang
M. Sairman, Sahadia, Pengertian Tindak Pidana, (on Line), 2011. Diunduh:http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2142486-pengertian-tindak-pidana/. (02 April 2011). 18
19
Jan Remmelink, Op. Cit. hlm. 85-86.
19
tidak mungkin mempunyai kesalahan jika tidak melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum.20 3. Tindak Pidana Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain dirumuskan dalam Pasal 359 KUKP yaitu: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Dalam Pasal 359 KUHP tersebut ditegaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian perbuatan, yaitu dengan tidak menyebutkan perbuatan tetapi kesalahannya (kealpaannya) dan tidak menyebutkan kematiaan yang disebabkan oleh penbuat tetapi kematian yang dapat dicelakan kepadanya. Dalam perkara ini (Pasal 359 KUHP). Matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi hal ini terjadi akibat adanya kurang hati-hati atau lalainya terdakwa, maka terdakwa akan dikenakan Pasal tentang pembunuhan. Pasal 359 KUHP mengancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun bagi siapa yang kareana kesalahannya menyebabkan matinya orang lain. Ancaman bagi pelaku kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain ini bukanlah ancaman pidana yang ringan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa kasus-kasus yang dihadapi dalam Pasal 359 KUHP bukanlah kasus yang sederhana maupun ringan. Mengenai kekuranghatihatian bagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang, pada umumnya
20
Suharto, RM, Op. Cit.
20
kekuranghati-hatian yang ditafsir sebagai culpa lata yaitu kesalahan yang bersifat berat.
D. Kealpaan 1. Pengertian Kealpaan Kejahatan pada umumnya dilakukan dengan kesengajaan akan tetapi dalam beberapa hal kejahatan dapat terjadi karena kealpaan. Kealpaan merupakan terjemahan dari kata culpa yang merupakan salah satu bentuk kesalahan disamping kesengajaan atau dolus. Culpa yang dalam doktrin sering disebut sebagai een manco aan coorzienigheid atau een manco aan voorzichtigheid yang berarti suatu kekurangan untuk melihat jauh kedepan tentang kemungkinan timbulnya akibat atau suatu kekurangan akan sikap hati-hati. Dalam Mvt pengertian kealpaan dikatakan : Pada umumnya bagi kejahatan Undang-undang mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan kepada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin begitu besar bahayanya terhadap keamanan umum, terhadap orang atau benda dan bila terjadi akan menimbulkan banyak kerugian-kerugian, sehingga Undang-Undang harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati-hati.21
Tidak berhati-hati dalam hal ini merupakan pengertian mengenai perbuatan. Disini sikap batin dari orang menimbulkan keadaan yang dilarang itu bukanlah yang menentang larangan tersebut, dia tidak menghendaki atau
21 Hindu, Hukum , Kealpaan-Culpa(on line), 2012. Diunduh : http://www.hukumhindu.or.id/kealpaan-culpa/ (15 Juli 2012)
21
menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi karena faktor kesalahan atau kekeliruannya ada dalam batinnya sewaktu dia berbuat, maka berakibat menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata-mata menentang larangan tersebut dengan melakukan yang dilarang itu, tetapi dia juga tidak begitu menindahkan larangan. Noyon Langemeyer dalam bukunya Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu stuktur yang sangat gecompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam prbuatan lahir dan menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu dan dilain pihak keadaan batinnya itu sendiri. Jadi culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan merupakan kesengajaan. Dalam kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan persetujuan yang disadari dari pada bagian-bagian delik sedangkan dalam kealpaan adalah tidak menghendaki. 2. Unsur Kealpaan Kealpaan dianggap sebagai suatu kesalahan yang lebih ringan dibanding dengan kesalahan yang dilakukan dengan sengaja. Manusia pada dasarnya cenderung kurang berhati-hati, bahkan kadang-kadang terjadi pelanggaran kealpaan adalah suatu kebetulan. Seseorang dikatakan mempunyai culpa dalam melakukan prbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan tanpa disertai kehatia-hatian dan perhatian sepenuhnya yg mungkin ia dapat berikan, atau dengan kata lain orang tersebut telah membayangkan kemungkinan timbulnya suatu akibat atau lain-lain keadaan yang menyertai tindakannya akan
22
tetapi dia tidak percaya bahwa tindakan yang ingin dia lakukan akan dapat menimbulkan akibat atau lain-lain keadaan seperti yang telah dia bayangkan itu walaupun sebenarnya dia dapat dan harus menyadari bahwa ia tidak boleh berbuat demikian. VOS memberikan pendapatnya bahwa kealpaan mmpunyai dua unsur yaitu : - Mengadakan penduga-duga terhadap akibat bagi si pembuat. - Tidak mengadakan penghati-hati mengenai apa yang dip erbuat atau tidak diperbuat. Menurut Van Hamel kealpaan mempunyai dua unsur yaitu : - Kurangnya penduga-duga yang dip erlukan - Kurangnya penghati-hatian yang diperlukan. Sementara Simons berpendapat bahwa isi culpa adalah tidak adanya penghati-hatian disamping dapat diduga-duga akan timbul akibat. Unsur-unsur kealpaan yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa dalam batin terdakwa kurang dip erhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat, bahwa dia kurang memperhatikan akan laranga-larangan yang berlaku dalam masyarakat. 3. Macam Kealpaan Tidak semua kealpaan menjadi syarat suatu delik, culpa sebagai syarat delik harus memenuhi rumusan, antara lain dengan :
23
- Tidak menduga-duga, yang diharuskan hukum. - Tidak mengindahkan larangan - Kurang berhati-hati. - Kurang atau tidak mengambil tindakan pencegahan - Lalai melakukan perbuatan yang mengakibatkan hal-hal yang dilarang. Menurut P.A.F. Lamintang unsur-unsur dari rumusan delik yang diliputi oleh culpa dapat meliputi : - Tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan-tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan atau tidak melakukan sesuatu. - Suatu akibat yang dilarang oleh Undang-Undang. - Unsur-unsur selebihnya dari delik. Dalam hukum pidana terdapat dua jenis culpa, yaitu : a)
Cu lp a la ta
Culpa lata adalah culpa yang hebat, culpa berat. Istilah lain untuk culpa lata adalah merkelijke schuld, grove schuld. Menurut pakar adanya culpa lata dapat disimpulkan dalam rumusan kejahatan karena alpa, misal Pasal 359 KUHP. b)
Culpa levissma
Culpa levissma atau lichte culpa adalah alpa ringan. Culpa ringan itu adanya dalam pelanggaran, misalnya Pasal 490 sub (1) dan (4) KUHP. Culpa yang menjadi syarat suatu delik adalah culpa lata sedangka culpa levissna bukan merupakan syarat suatu delik.
24
4. Kealpaan yang Menyebabkan Matinya Orang Lain Kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain dirumuskan dalam Pasal 359 KUKP yaitu: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Dalam Pasal 359 KUHP tersebut ditegaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian perbuatan, yaitu dengan tidak menyebutkan perbuatan tetapi kesalahannya (kealpaannya) dan tidak menyebutkan kematiaan yang disebabkan oleh penbuat tetapi kematian yang dapat dicelakan kepadanya. Dalam perkara ini (Pasal 359 KUHP). Matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi hal ini terjadi akibat adanya kurang hati-hati atau lalainya terdakwa, maka terdakwa akan dikenakan Pasal tentang pembunuhan. Pasal 359 KUHP mengancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun bagi siapa yang kareana kesalahannya menyebabkan matinya orang lain. Ancaman bagi pelaku kealpaan yang menyebabkan matinya orang lain ini bukanlah ancaman pidana yang ringan, sehingga hal ini menunjukkan bahwa kasus-kasus yang dihadapi dalam Pasal 359 KUHP bukanlah kasus yang sederhana maupun ringan. Mengenai kekuranghatihatian bagaimana yang dikehendaki oleh Undang-Undang, pada umumnya kekuranghati-hatian yang ditafsir sebagai culpa lata yaitu kesalahan yang bersifat berat.
25
E. Hakim. 1. Pengertian Hakim Berdasarkan Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 78 yang mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1981, pengertian Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan juga mengenai pengertian Hakim, yaitu pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum di Indonesia. Bahkan bisa dikatakan hakim adalah ujung tombak dalam melakukan upaya penegakan hukum. Hal ini disebabkan setiap perkara pelanggaran hukum pidana pada akhirnya akan dihadapkan pada proses pemeriksaan di pengadilan yang dip impin oleh hakim untuk mendapatkan putusan apakah perbuatan yang dilakukan oleh pembuat atau pelanggar yang diduga melanggar hukum pidana tersebut bersalah atau tidak. Sehingga dalam tugasnya hakim harus dapat menegakkan hukum agar dapat tercipta rasa keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu hakim juga dituntut untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya secara bertanggung jawab dan bijaksana. Berdasarkan pengertian hakim menurut Pasal 31 Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang dan sebagai pelaksana
26
kekuasaan kehakiman dan sebagai wakil negara untuk mengadili setiap pelanggar aturan hukum yang telah ditetapkan oleh para pembuat peraturan (negara).
Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 32 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), sehingga seorang hakim haruslah memenuhi kriteria-kriteria yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Tujuannya agar dalam melaksanakan tugasnya, Hakim mampu memenuhi tanggung jawabnya dan dapat mewujudkan keadilan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim juga wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hal tersebut berarti bahwa hakim harus mampu melaksanakan proses peradilan yang mandiri dan tidak terpengaruh oleh lembaga manapun Hakim mempunyai beberapa kewajiban yang senantiasa harus dilaksanakan. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan mengenai kewajiban hakim, yaitu sebagai berikut : 1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman) 2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. (Pasal 8 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) 3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,
27
salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera. (Pasal 17 ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) 4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat. (Pasal 17 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) 5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. (Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) Hal lain yang juga penting untuk dip erhatikan, adalah Pasal 10 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. 2. Kedudukan Hakim yang Bebas dan Tidak Memihak Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 18 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang merumuskan :
“Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Hal itu ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merumuskan :
28
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Berdasarkan hal tersebut maka Hakim dalam memeriksa seseorang yang diduga melanggar peraturan hukum pada proses persidangan mempunyai kebebasan terutama dalam menjatuhkan putusan. Oleh karena itu,menurut pasal 183 KUHAP kebebasan hakim dapat berwujud :
Pasal 1 : Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan. Pasal 2 : Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Undang-undang memberikan syarat-syarat yang berat agar hakim dapat menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut adalah :
a) Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang. b) Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP. c) Adanya keyakinan hakim. d) Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung jawab. e) Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut. Pasal 3 : Bebas dalam menentukan besarnya pidana yang akan dijatuhkan kepada seseorang. Hakim bebas bergerak dari minimum sampai maksimum khusus, dan bebas memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam hal undang-undang mengancam dengan pidana pokok dan pidana tambahan. Hakim yang bebas berarti Hakim yang tidak membeda-bedakan orang dan tidak memihak dalam melakuka n pemeriksaan pada persidangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (91) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan
29
tidak membeda-bedakan orang. Hakim harus bebas terhadap setiap orang dan tidak pilih-pilih dalam mengadili suatu perkara maupun terhadap
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
30
hukum yang diberlakukan dalam menangani perkara. Kebebasan dalam melaksanakan proses peradilan juga dijamin secara langsung dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4), yang bunyinya adalah sebagai berikut : Ayat (3) “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ayat (4) “Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana”. 6. Putusan Pengadilan Salah satu tahapan dalam proses beracara dalam perkara pidana adalah pengambilan keputusan oleh Pengadilan. Pemberian keputusan oleh hakim terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti didalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Pengertian putusan pengadilan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang berbunyi: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
31
Keputusan dan penetapan adalah tindakan hakim untuk menyelesaikan perkara. Keputusan diambil umumnya setelah mengadakan sidang, sedang penetapan diberikan tanpa melalui sidang pemeriksaan.22 Sedangkan menurut Laden Marpaung23, merumuskan mengenai pengertian putusan pengadilan yang diuraikan sebagai berikut:
Putusan adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai semasak-masaknya yang dapat berb entuk tertulis ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan “putusan’ atau vonis sebagai vonis tetap (definitif), mengenai kata “putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara disidang pengadilan. 1. Jenis-jenis Putusan Pengadilan KUHAP menyebutkan tiga jenis putusan pengadilan, yaitu: a. Putusan Bebas Mengenai putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan:
Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas. Penjelasan KUHAP menjelaskan, maksud dari kata “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas
22
Soedirdjo, 1981, Kasasi Dalam Perkara Pidana (Sifat dan Fungsi) , Ahliyah, Jakarta, hal. 29
23
Laden Marpaung, 1994, Pemberantasan dan Pence gahan Tindak Pidana Ekonomi,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 36
31
dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum
acara pidana ini (KUHAP).
Menurut Martiman Prodjohamidjojo24: Selain hal tersebut diatas, masih ada satu kemungkinan lagi yang dapat ditambahkan, bukan dari segi ketiadaan alat bukti tetapi dari segi lain, yakni kesalahan atau schuld, yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggungjawaban pidana. Bila unsur kesalahan dalam bentuk dolus atau culpa tidak dapat dibuktikan, berarti pada terdakwa tidak ada kesalahan, sehingga terdakwa harus dibebaskan. Bertitik tolak dari dua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan asas batas minimum pembuktian, jika dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim jika:
1. 2.
3.
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti. Atau secara nyata hakim menilai, pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Atau putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan Hakim.25
Putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan, tegasnya terdakwa “tidak dipidana”.
Martiman Prodjohamidjojo, 1988, Pemerataan Keadilan Penangkapan dan Penahanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 161 25 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 327 24
32
Martiman Prodjomidjodjo26, menjelaskan lebih lanjut mengenai putusan bebas yang diuraikan sebagai berikut:
Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP, yang menentukan hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pemariksaan tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum yang dan putusan pengadilan dalam acara cepat. b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP:
Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Menurut Djoko Prakoso27: Putusan hakim yang mengandung pelepasan dari tuntutan hukum, terdakwa memang bersalah melakukan tindak pidana namun kepadanya tidak dapat dijatuhkan hukuman karena tindak pidana yang dilakukan itu bukan kejahatan atau pelanggaran atau perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Martiman Prodjohamidjojo28, putusan hakim yang menyatakan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu bahwa:
Perbuatan yang didakwakan itu tidak terbukti, akan tetapi perbuatannya tidak merupakan tindak pidana , hal ini bisa terjadi jika: 1.
Terdapat kesalaha n dalam merumuskan atau melukiskan perbuatan yang dilakukan terdakwa
Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit. hal. 176 Djoko Prakoso, Op.Cit , hal. 50 28 Martiman Prodjohamidjojo, Op.Cit. hal. 15 26 27
33
kedalam surat dakwaan. Sehingga tidak menc ocoki dengan rumusan k e t e n t u a n p e r a t u r a n h u k u m p id a n a ya n g didakwakan. 2.
Terdakwa dalam keadaan : a. Sakit jiwa atau cacat jiwa (Pasal 44 KUHP) b. Keadaan memaksa (Pasal 48 KUHP) c. Membela diri (Pasal 48 KUHP) d. Melakukan perbuatan yang menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50 KUHP) e. Melakukan perintah yang diberikan oleh atasan yang sah (Pasal 51 KUHP)
Terhadap Putusan lepas dari segala tuntutan hukum ini berdasarkan Pasal 67 KUHAP secara tegas termasuk kedalam salah satu jenis putusan yang tidak dapat diajukan upaya hukum banding, tetapi karena tidak dikecualikan oleh Pasal 244 KUHAP maka dapat diajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. c. Putusan Pemidanaan Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa penjatuhan putusan pemidanaan terhadap seorang terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan akan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan kepada seseorang tiada lain dari pada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman pidana antara minimum dan maksimum yang dicantumkan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
34
Mengenai hukuman pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana disebutkan pidana terdiri atas:
a. Pidana Pokok 1) Pidana Mati 2) Pidana Penjara 3) P id a na K uru ng a n 4) Pidana Denda b. Pidana tambahan: 1) Pencabutan Hak-Hak Tertentu 2) Perampasan Barang-Barang Tertentu Pengunguman Putusan Hakim d. Syarat Sahnya Putusan Mengenai syarat sahnya putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi agar hakim sah dan sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Kalau ketentuan tersebut tidak terpenuhi, kecuali pada huruf g dan i maka putusan akan batal demi hukum. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan hakim dalam dalam menjatuhkan putusan, namun dari segi teknis ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu bagaimana hakim dengan rasio dan hati nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di persidangan, dan mencari, menemukan, dan menerapkan hukum yang tepat sesuai dengan rasa keadilan individu (pelaku), masyarakat (korban), dan negara (undang-undang).29
Pasal 197 ayat (1) KUHAP, menyatakan sebagai berikut: 1) Suatu Putusan Pemidanaan memuat :
35
a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Nama lengkap, temp at lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan , tempat tinggal, agama dan pekerjaan, c) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan, d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang dip eroleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan, f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal, peraturan perundangundanganyang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal, h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidan disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti, j) Keterangan bahwa seluruh surat dinyatakan palsu atau dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat oetentik dianggap palsu, k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan mana panitera. Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, j, k dan I mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kemudian pada penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, yang dimaksud dengan fakta dan keadaan di sini adalah segala apa yang ada dan apa yang ditemukan di sidang oleh pihak dalam proses antara lain penuntut umum, saksi, saksi ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban.
36
BAB III METODE PENELITIAN
1.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif
yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legitis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Selain itu, konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normative yang bersifat otonom tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. 30 2.
Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dilakukan adalah penelitian preskriptif, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta yang ada, sifat preskriptif keilmuan hukum ini merupakan sesuatu yang substansial, mempelajari tujuan hukum, nilai- nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma hukum.31
Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri Cetakan Ke Satu, Ghalia Indah, Jakarta, 1983. hlm.11. 30
31 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2007. hlm. 22.
37
3. Sumber Data Data Sekunder, mencakup : 1.
Bahan hukum primer, yakni data yang bersumber pada peraturan perundang-undangandan dokumen yang berhuhungan dengan obyek yang diteliti.
2.
Bahan hukum sekunder, bersumber pada buku-buku literatur, dan arsip penelitian terdahulu yang bcrkaitan dengan obyek atau materi penelitian.
3.
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus.
Data Primer, bersumber pada hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto yang berkompeten dengan permasalahan yang di teliti sebagai data pendukung data sekunder. 4. Metode Pengumpulan Data Data-data sekunder tersebut diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan yang kemudian diolah dengan cara mengutip, menyadur tulisan-tulisan baik yang berupa buku-buku, dokumen, karya ilmiah maup un peraturan perundang-undangan. Sedangkan data primer diperoleh dari wawancara terhadap hakim Pengadilan Negeri Mojokerto yang berkompeten dengan permasalahan yang diteliti sebagai data sekunder.
38
5.
Metode Penyajian Data Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah dip eroleh kemudian
d is a jika n d a la m b e ntu k te ks na r a tif, ur a ia n - u r a ia n ya ng d is us u n secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. 6.
Metode Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh akan dianalisa secara normatif kualitatif, yaitu
dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah-kaidah hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.
39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat dikumpulkan keterangan sebagai berikut: 1. Duduk perkara Bahwa pada tanggal 10 Agustus 2005 ada sekelompok pemuda yang melakukan minum-minuman keras, pada waktu malam hari itu HK sedang melihat orkes bersama Sulaiman dan Imam Basuki, belum dapat satu lagu kemudian mereka bertiga pulang. Saat itu BW dan S sedang mencari minum-minuman keras, mendapat minuman keras tersebut BW, S, HK, S dan IB berkumpul di depan warung nasi goreng di pos kampling dekat perempatan jalan di Dusun Tambaksari Desa Kertosari Kec. Kutorejo Kab. Mojokerto untuk melakukan minum-minuman keras, setelah habis tiga botol tinggal dua botol minuman keras jenis raja jemblung tersebut dicampur dengan pil yang berwarna kuning yaitu pil CTM (Chlortrimeton) karena minuman keras tersebut tidak bisa membuat mabuk dan kurang enak tanpa dicampur pil CTM (Chlortrimeton) yang tinggal dua botol dicampur pil CTM (Chlortrimeton) tersebut diminum lagi oleh lima orang itu yaitu BW, S, HK, S dan IB. Kemudian M dan L (korban) datang menghampiri kelima orang tersebut lalu ikut bergabung setelah pulang nonton orkes, habis turun dari motor M mencari tempat untuk buang air kecil dan L (korban) ikut
40
minum, kemudian M pulang mengajak L (korban) tetapi L (korban) tidak mau karena masih pengen ikut gabung untuk minum-minuman keras tersebut. Selanjutnya BW sebagai Bandar dalam minum-minuman keras tersebut menawarkan minuman itu dan langsung diminum L (korban) tanpa basa-basi. Pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2005 pukul 01.30 WIB, pada saat itu M sedang nonton pertunjukan Wayang Kulit dan saudara MN, S, N serta Pak Carik dari desa tetangga tempat kejadian tersebut, mereka bercerita bahwa habis memukuli orang yang memakai baju putih lengan panjang sambil diperagakan oleh M dan S, Pak Carik kelihatannya grogi ketika mendengar cerita tersebut, saat itu Muksin dan Sulaiman dalam keadaan mabuk karena di mulutnya berbau minum-minuman keras. 2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum a. Kesatu : 1). Primair: Bahwa Terdakwa BAMBANG WIDARTO bersama-sama dengan SULAIMAN BIN SUNOTO (yang disidangkan secara terpisah) pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2005, sekira jam 06.00WIB, atau tempat di Dusun Tambak Sari Desa Kertosari Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto atau setidaktidaknya pada suatu waktu pada bulan Agustus 2005 bertempat di Dusun Tambak Sari Desa Kertosari Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto atau setidaktidaknya pada suatu temp at yang masih dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Mojokerto, orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan itu dengan sengaja dan dengan direncanaka n lebih dahulu
41
menghilangkan jiwa orang lain yaitu korban Lasiyanto, perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebelum korban Lasiyanto datang, terdakwa Bambang Widarto memasukkan terlebih dahulu fanta dan CTM kedalam minuman keras cap raja jemblung yang akan diminum oleh korban Lasiyanto. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 340 KUHP jo, pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP 2). Subsidair: Bahwa Terdakwa BAMBANG WIDARTO pada Hari, Tanggal, Bulan, Tahun, Waktu dan Tempat yang telah disebutkan diatas, bersama-sama dengan SULAIMAN bin SUNOTO(yang disidangkan secara terpisah), orang yang melakukan menyuruh lakukanatau turut melakukan perbuatan itu dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa dengan sengaja minum-minuman keras cap raja jemblung yg sudah dicampur dengan fanta dan CTM. Terdakwa tidak memberitahu terlebih dahulu kepada korban Lasiyanto bahwa minuman keras tersebut sudah dicampur dengan CTM, sehingga membuat korban Lasiyanto meninggal dunia akibat minum-minuman keras tersebut. Maka perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 338 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP b. Kedua Bahwa Terdakwa BAMBANG WIDARTO pada Hari, Tanggal, Bulan, Tahun, Waktu dan Temp at yang telah disebutkan diatas, orang yang melakukan, menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan itu karena kealpaannya
42
menyebabkan matinya orang lain, perbuatan tersebut dilakukan terdakwa terhadap korban Lasiyanto dengan cara mencampur fanta dan CTM kedalam minuman keras cap raja jemblung yang akan diminum oleh korban Lasiyanto, yang menyebabkan korban Lasiyanto meninggla dunia, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
3. Pembuktian Selanjutnya untuk membuktikan dakwaannya Penuntut Umum telah mengajukan alat bukti berupa Saksi, yang telah memberi keterangan dibawah sumpah pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi 1: PUJAN - bahwa benar pada haru Rabu tanggal 10 Agustus 2005 pada malam hari ada anak-anak minum-minuman keras di muka rumah saksi, di Dusun Tambak Sarim Desa Kertosari, Kecamatan Kutorejo,Kabupaten Mojokerto; - bahwa saksi tahu hal itu karena diberitahu tetangga; - bahwa pada hari; - bahwa pagi harinya, Kamis tanggal 11 Agustus 2005 anak saksi benama Lasiyanto kedapatan meninggal di dalam sungai dusun Tambaksari Desa Kerto sari kecamatan Kutorejo,Kabupaten Mojokerto; - bahwa setelah mayat Lasiyanto diangkat lalu dibawa ke rumah sakit Prof.Dr. Soekandar Mojo sari; - bahwa sebelum meninggal, Lasiyanto minum-minuman keras cap raja jemblong yang dicampur fanta dan CTM;
43
Saksi 2: KURYANTO - bahwa pada hari Kamis tanggal 11 Agustus 2005, jam 06.00 WIB, adik saksi bernama Lasiyanto ditemukan sudah menjadi mayat, tepatnya di sungai dusun Tambaksari, desa Kurto sari, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto; - bahwa Lasiyanto meninggalkan rumah pada Rabu malam tanggal 10 Agustus 2005, katanya mau nonton orkes; - bahwa benar malam itu Lasiyanto bersama Sulaiman dan terdakwa Bambang Widarto Minum-minuman keras ( beralkohol) yang dicampur dengan CTM dan Fanta; - bahwa Lasiyanto setelah dibawa ke rumah sakit lalu dibedah oleh Nuraliu; - Saksi 3: MUTTAKHIN - bahwa saksi mengerti ada orang yang meninggal bernama Lasiyanto; - bahwa malam itu saksi bersama dengan korban Lasiyanto nonton orkes dangdut. - bahwa pada waktu pulang nonton orkes jam 23.30 WIB, saksi dengan Lasiyanto naik motor, disebelah timur simpang empat depan warung nasi goreng, di dusun Tambaksari Desa Kertosari Kecamtan Kutorejo Kabupaten Mojokerto, ada terdakwa bersama teman-temannya yang sedang minum-minuman keras; - bahwa selanjutnya Lasiyanto bergabung dengan terdakwa dan temantemannya minum-minuman keras,sehingga menjadi lima orang dengan Lasiyanto; - bahwa saksi melihat Lasiyanto minum satu kali dengan gelas; - bahwa yang membagikan minuman kepada Lasiyanto adalah terdakwa Bambang Widarto; - bahwa setelah Lasiyanto minum-minuman keras satu kali, saksi lalu pulang sendirian dan tidur; - bahwa saat itu tidak ada orang lain selain yang minum-minuman keras dan tidak ada mobil disekitar situ;
44
Saksi 4: HADI KUSWANTO - bahwa saksi mengerti, Terdakwa diajukan di persidangan sehubungan dengan meninggal dunia / matinya Lasiyanto; - bahwa saksi pertama-tama melihat orkes dengan Sulaiman dan Imam, belum dapat satu lagu lalu pulang; - bahwa Bambang(Terdakwa) dan Saroni mencari/membeli minuman keras, kemudian saksi, Bambang(Terdakwa), Sulaiman dan Imam berku,pu; dan minum-minuman keras tersebut; - bahwa awalnya dua botol minuman keras raja jemblong diminum empat orang tersebut; - bahwa tinggal 1/2 (setengah botol lalu oleh Bambang (Terdakwa) minuman keras tersebut dicampur pil CTM dan Fanta; - bahwa kemudian Muttakhin dan Lasiyanto datang dan ikut minumminuman keras yang telah dicampur dengan CTM dan Fanta tersebut; - bahwa yang menyerahkan minuman keras campuran kepada Lasiyanto adalah terdakwa Bambang; - bahwa saksi melarang Bambang (terdakwa) mencampur minuman keras dengan pil CTM dan Fanta, karena saksi takut; - bahwa sebelum kejadian tersebut, saksi pernah minum-minuman keras dengan Lasiyanto tetapi tidak dicampur dengan pil; - Saksi 5: RETNO TJATUR M (Saksi Ahli) - bahwa saksi pernah didatangi polisi dan menanyakan pil dobel L/LL, lalu dijawab dalam kalangan kesehatan disebut Artane, masuk obat keras yang gunanya untuk pnekanan syaraf; - bahwa bila melebihi dosis obat tersebut dapat mematikan; Saksi 6: Dr.H.ABDUL MALIK,MHA,MM,PhD (Saksi Ahli) - bahwa benar saksi yang melakukan autopsi ( bedah mayat) pada korban Lasiyanto di RSUD Prof.Dr.Soekandar Mojosari, Mojokerto; - bahwa dibagian luar tidak ada tanda penganiayaan lalu mengambil organ dalam berupa jantung, paru-paru, lambung, usus halus, usus besar, hati dan limpa korban untuk dibawa ke Laboratorium Forensik di Polda Jawa Timur untuk dilakukan pemeriksaan secara laboratoris;
45
- bahwa dalam organ Lasiyanto tersebut setelah diperiksa di Laboratorium ternyata mengandung racun; - bahwa bila CTM dicampur dengan minuman keras seperti raja jemb lung, berbahaya dan dapat menggangu jalannya nafas dan dapatv mematikan,tergantung kondisi fisik masing-masing orang; - bahwa di paru-paru korban Lasiyanto tidak ditemukan air, jadi meninggalnya Lasiyanto bukan di sungai; - bahwa memar biru-biru pada diri korban Lasiyanto bukan bekas dipukul, itu merupakan lebam mayat, sebab ada bedanya lebam mayat biasanya lebih besar daripada bekas pukulan; - bahwa bagian otak dan kepala Lasiyanto normal, tidak ada bekas penganiaayan; - bahwa lebam mayat tersebut terjadi karena memasuki saat pembusukan; - bahwa yang mengautopsi Lasiyanto adalah saksi sebagai dokter forensik yang dibantu Nurali; - bahwa pada waktu diautopsi ada luka lecet; - bahwa korban Lasiyanto meninggal sudah lebih dari enam jam; - Saksi 7: SULAIMAN - bahwa saksi bersama dengan terdakwa Imam dan Hadi Kuswanto minum-minuman keras cap raja jemblung sebanyak dua botol, pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2005; - bahwa pada waktu minum tersebut dicampur dengan fanta dan sisa setengah botol; - bahwa sisa setengah botol tersebut lalu dicampur CTM oleh terdakwa; - bahwa pil CTM adalah milik terdakwa; - bahwa Lasiyanto minum-minuman keras yang dicampur fanta dan CTM sebanyak empat gelas; Selain mengajukan alat bukti berupa Saksi, Terdakwa juga memberikan keterangan dip ersidangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 189 ayat (1)
46
KUHAP yaitu sebagai alat bukti Keterangan Terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut: - bahwa dalam perkara ini terdakwa sudah pernah diperiksa di Kantor Polisi, dalam memberikan keterangan di Kepolisian merasa tidak ditekan atau dip aksa, keterangannya apa adanya sesuai yang terdakwa alami; - bahwa keterangan terdakwa sebagainna Berita Acara Pemeriksaan di Kepolisian semuanya sudah benar dan ditanda tangani; - bahwa pada hari Rabu tanggal 10 Agustus 2005 sekira jam 23.30 WIB terdakwa bersama Sulaiman, Iman Basuki, dan Hadi Kuswanto minumminuman keras di depan warung Dusun Tambaksari Desa Kerto sari Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto; - bahwa yang diminum cap raja gemblung yang dicampur fanta sebanyak dua botol; - bahwa sisa setengah botol lalu oleh terdakwa dicampur pil CTM; - bahwa korban Lasiyanto minum empat gelas; - bahwa yang punya ide dan yang mencampur minuman dengan fanta dan pil CTM adalah terdakwa agar cepat mabuk; - bahwa sebelumnya terdakwa tidak pernah minum minuman keras yang dicampur dengan CTM; - bahwa tedakwa tidak memikirkan akibatnya bila minum minuman keras yang dicampur pil CTM; - bahwa terdakwa tidak memperkirakan, apakah teman-temannya yangminum dicampur pil CTM tersebut kuat atau tidak; - bahwa pada hari Sabtu tanggal 19 Juni 2010 sekitar jam 12.30 WIB terdakwa pergi kerumahnya saksi ke-3 dan mengobrol dengan Vivit dan saksi ke-3 dikamar, didepan saksi ke-3 Vivit mengatakan “Dik (saksi ke3) saya mau meracun Sarno”, kemudian terdakwa menimpali “saya tidak ikut-ikutan., saya orang miskin tidak mau ada masalah”, setelah itu Vivit mengeluarkan racun dan saku celananya, mengenai Racun tersebut, Vivit mengatakan racun ikan, setelah itu terdakwa pulang, sampai dirumah sekitar jam 15.30 WIB langsung mandi dan ganti pakaian;
47
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan pidananya terhadap Terdakwa 4 Januari 2006, Nomor:Reg. Perkara PDN 560/MKRTO/EP/1 1/2006 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto yang mengadili perkara ini memutuskan: 1). Menyatakan bahwa Terdakwa BAMBANG WIDARTO bersalah melakukan tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan matinya orang sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 359 KUHP; 2). Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BAMBANG WIDARTO dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6(enam) bulan. Dengan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dan memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan Dalam Rumah Tahanan Negara Mojokerto; 3). Menyatakan barang bukti: - 1 (satu) potong kaos warna orange; - 1 (satu) potong celana jeans warna abu-abu, - 1 (satu) buah sandal jepit warna hitam. Dikembalikan kepada keluarga korban; - 2(dua) botol kosong bekas minuman cap raja jemblang, dirampas untuk dimusnahkan 4). menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah);
48
5. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang mengadili perkara ini pada pokoknya adalah sebagai berikut: Menimbang, bahwa atas keterangan para saksi diatas, Terdakwa telah membenarkan dipersidangan; Menimbang, bahwa dipersidangan telah diajukan saksi-saksi dan terdakwa yang telah memberikan keterangan sebagaimana telah tercatat dan dibenarkan oleh terdakwa, yang ternyata satu dan lainnya saling berhubungan, sehingga dapat ditarik kesimpulan dan menjadi fakta-fakta yang tetap; Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa dengan dakwaan alternatif: KESATU: Primair KUHP;
: melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1
Subsidair KUHP;
: melanggar Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 ATAU
KEDUA: melanggar Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 KUHP; M enimbang, bahwa dalam tumtutannya, Penuntut Umun tidak
49
dakwaan tersebut dalam pembuktian dinyatakan tidak terbukti dan langsung menguraikan dakwaan kedua; Menimbang, bahwa dengan demikian majelis juga mengikuti penuntut umum untuk langsung mempertimbangkan dakwaan kedua: Menimbang bahwa dakwaan kesatu primair dan subsidair tersebut harus dinyatakan tidak terbukti dan membebaskan terdakwa dari dakwaan kesatu primair dan sub sidair; Menimbang bahwa terdakwa oleh penuntut umum dalam dakwaan kedua didakwa melanggar pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP yang unsurunsurnya adalah 1. Barang Siapa; 2. Karena Kealpaannya Menyebabkan Matinya Orang; 3. Orang Yang Melakukan, Yang Menyuruh Lakukan, atau Turut Melakukan Perbuatan Itu; Menimbang, bahwa yang dimaksud “barang siapa” adalah subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum yang terdiri dari orang dan badan hukum; Menimbang, bahwa dalam perkara ini jaksa Penuntut Umum telah mengajukan seorang Terdakwa bernama Bambang Widarto yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, bahwa terdakwa Bambang Widarto seorang yang
50
telah dewasa yang sehat jasmani dan rohani, sehingga terdakwa Bambang Widarto adalah seorang subjek hukum pendukung hak dan kewajiban; Menimbang, bahwa sejak dari berita acara penyidikan, dalam surat dakwaan dan dipersidangan, nama terdakwa tertulis Bambang Widarto; Menimbang, bahwa sejak dip ersidangan terdakwa mengaku bernama Bambang Widarto dengan identitas lengkap, yang mana tidak ada perbedaan identitas mulai dari berita acara penyidikan, surat dakwaan dan kenyataan di persidangan,dengan demikian tidak ada kekeliruan subjek dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa menurut pengamatan Majelis Hakim, selama pemeriksaan dipersidangan Terdakwa sehat jasmani dan rohani, tidak sedang dibawah pengampuan, mampu merespon jalannya persidangan dengan baik, sehingga dengan demikian Terdakwa telah memenuhi kriteria sebagai subyek hukum sehingga mampu untuk mendukung setiap hak dan kewajibannya oleh karena itu dipandang mampu mempertanggung jawabkan atas segala perbuatannya, dengan demikian unsur “barang siapa” telah terpenuhi; Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan kealpaannya adalah karena kurang hati-hati, ceroboh, kurang perhitungan; Menimbang, bahwa untuk mempertimbangkan unsur ini, perlu dipertimbangkan dari bukti-bukti baik yang diajukan penuntut umum maupun yang diajukan oleh penasihat hukum terdakwa sehingga dapat ditemukan kebenaran materiil dalam perkara ini;
51
Menimbang, bahwa dipersidangan saksi Muttakhin, Hadi Kuswanto, Imam Basuki, Sulaiman dan terdakwa menerangkan bahwa benar korban Lasiyanto ikut minum-minuman keras yang diadakan oleh terdakwa, dimana terdakwa sebagai bandar (yang membagikan) minuman keras kepada teman-temannya, termasuk Lasiyanto;
Menimbang, bahwa dipersidangan saksi Imam Basuki, Sulaiman, Hadi Kusanto, dan terdakwa Bambang Widarto menerangkan bahwa benar yang mencampur minuman keras cap raja gemb lung sebanyak setengah botol dengan CTM dan fanta adalah terdakwa Bambang Widarto, CTM milik Bambang Widarto; Menimbang, bahwa penyampuran CTM dan fanta ke dalam minuman keras cap raja jemblung tersebut dilakukan terdakwa sebelum Lasiyanto datang ke temp at minum-minuman keras tersebut; M e nim b a ng, ba hw a s a ks i Dr.H. Ab du l M a lik, M H A, M M , P hd dip ersidangan menerangkan, minuman keras seperti cap raja jemblung jika dicampur dengan CTM dan fanta dapat menyebabkan kematian bagi peminumnya, tergantung kondisi fisik masing-masing peminumnya; Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan laboratorium forensik Polda Jawa Timur, bahwa Lasiyanto meninggal karena adanya racun di usus Lasiyanto;
M e nim b a ng, b a hw a sa ks i Dr.H. Ab du l M a lik, M H A, M M ,P hd,
52
bekas penganiayaan,serta bukan karena mati tenggelam karena paru2paru korban tidak mengandung air; Menimbang, bahwa dip ersidangan terdakwa Bambang Widarto menerangkan, bahwa benar ia yang mencampur minuman keras cap raja jemb lung dengan fanta dan CTM serta yang membagikan minuman tersebut kepada temantemannya, termasuk korban Lasiyanto, dimana terdakwa tidak pernah mengetahui maupun menanyakan adanya penyakit dari Lasiyanto;
Menimbang, bahwa dengan demikian terdakwa Bambang Widarto tidak dapat mengetahui sajauh mana kondisi fisik dan kemampuan fisik dari korban Lasiyanto untuk minum-minuman keras cap raja jemblung yang dicampur fanta dan CTM, disinilah letak ceroboh dan kurang hati-hati dari terdakwa yang begitu saja memberikan minuman keras tersebut kepada korban;
Menimbang, bahwa karena kondisi fisik dan kemampuan fisik Lasiyanto yang kurang baik tersebut, setelah minum-minuman keras cap raja jemb lung yang dicampur fanta dan CTM oleh terdakwa, maka Lasiyanto meninggal sebagaimana dari hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Polda Jawa Timur terhadap organ dalam korban Lasiyanto; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat “Karena Kealpaannya Menyebabkan Orang Mati” telah terpenuhi;
53
Menimbang, bahwa telah terbukti bahwa terdakwa Bambang Widarto adalah yang membeli, mempunyai CTM, dan kemudian menumbuk CTM tersebut lalu dicampurkan ke minuman keras cap raja jemblung dan yang membagikan atau menyerahkan ke korban Lasiyanto, maka terbuktilah terdakwa Bambang Widarto yang melakukan perbuatan itu;
Menimbang, bahwa semua unsur yang terdapat dalam pasal 359 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP dapat dibuktikan, maka secara sah dan meyakinkan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum, kedua karena terdakwa haruslah dijatuhi pidana setimpal dari pidana yang dilakukan itu; Menimbang bahwa selama proses persidangan Majelis tidak menemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar pada diri terdakwa,karenanya haruslah terdakwa mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya tersebut;
Menimbang, bahwa selama proses perkara ini terdakwa berada dalam tahanan, maka pidana yang dijatuhkan dikurangkan sepenuhnya dari penahanan yang telah dijalani terdakwa; Menimbang, bahwa cukup alasan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan maka status
54
1 (satu) potong celana jeans warnaabu-abu, dan satu buah sandal jepit warna hitam dikembalikan kepada keluarga korban, sedangkan 2(dua) buah botol kosong bekas temp at minuman cap raja jemb lung dirampas untuk dimusnahkan; Menimbang, bahwa secara sah dan meyakinkan terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana maka kepadanya haruslah dibebani untuk membayar biaya perkara;
Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana atas diri terdakwa tersebut, Majelis Hakim akan memperhatikan sifat yang baik dan sifat yang jahat dari terdakwa yang ditentukan pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, serta hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan terdakwa sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat 1 huruf (f) KUHAP; Hal-hal Yang Meringankan: - terdakwa belum pernah dihukum; - terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari; Hal-hal Yang Memberatkan: - sifat dan hakekat perbuatan terdakwa yang menyebabkan orang lain meninggal; - perbuatan terdakwa minum minuman keras di jalanan menggangu dan meresahkan masyarakat,serta merusak moral generasi muda; Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan pada diri terdakwa jika ditinjau dari kepentingan masyarakat,negara maupun terdakwa itu sendiri menurut hemat Majelis sudah suatu putusan yang tepat dan adil;
55
Menimbang, bahwa pidana yang dijatuhkan pada diri tedakwa bukan suatu balas dendam dari Majelis Hakim pada diri terdakwa, akan tetapi semata-mata hanyalah pelajaran yang diberikan Majelis kepada diri terdakwa, agar selama menjalani pidananya itu terdakwa dapat merenungkan kembali, bahwa apa yang ia lakukan itu merupakan suatu tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana dengan harapan agar setelah selesai menjalani pidananya tersebut maka terdakwa tidak akan mengulangi lagi perbuatannya itu;
Menimbang, bahwa Berita Acara sidang dengan putusan ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,maka jika ada dalam Berita Acara sidang yang belum masuk dalam putusan ini akan tetapi ada relevansinya dengan perkara ini, maka guna menyingkat dianggap telah dimuat secara lengkap;
b. Amar Putusan Mengingat, Pasal-pasal dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor Nomor 2 Thun 1986 jo Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Udang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1 ) ke-1 KUHP dan Ketetuan-ketentuan Hukum lainnya yang berkenaan dengan perkara ini:
MENGADILI:
5 6
1. M e nyataka n terdakwa B AM B ANG W ID ARTO, ya ng ide ntitas
57
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN BERENCANA”;
2. Membebaskan ia oleh karena itu dari dakwaan “KESATU, PRIMAIR”; 3. Menyatakan bahwa terdakwa yang bernama BAMBANG WIDARTO tersebut diatas secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN”;
4. Membebaskan ia oleh karena itu dari dakwaan “KESATU SUBSIDAIR”; 5. Menyatakan bahwa terdakwa BAMBANG WIDARTO tersebut diatas secara sah dan meyakinkan terbukti berslah melakukan tindak pidana “KARENA KEALPAANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI”
6. Menghukum ia oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (sembilan ) bulan penjara
7. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;
8. Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan; 9. Menetapkan Barang Bukti berupa : - 1 (satu) buah kaos warna orange
58
- 1 (satu) buah celana jeans warna abu-abu
59
- 1 (satu) buah sandal jepit warna hitam, dikembalikan kepada keluarga korban
- 2(dua) buah botol kosong bekas tempat minuman keras dap raja jemblung, dirampas untuk dimusnahkan
10. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah)
B. Pembahasan 1. Dasar pertimbangan hukum hakim menjatuhkan Pidana 9 bulan penjara dalam Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. :
Dalam menjatuhkan putusan, pertimbangan hakim berkaitan erat pada masalah pembuktian, seperti yang dirumuskan oleh M. Yahya Harahap, bahwa: “Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”.32 Pernyataan ini dip ertegas dalam penjelasannya yaitu, bahwa : “Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan menurut undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang terdakwa.”33
32 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, Jakarta, Sinar Grafika, 1985. hlm. 793. 33 Ibid. hlm. 1.
60
Perihal mengenai pembuktian, ada beberapa definisi tentang pembuktian yang dikemukakan para Sarjana:
a. Bambang Purnomo : Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kegiatan masa lalu yang relevan dengan apa yang didakwakan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.34 Selanjutnya Bambang Purnomo 35 berpendapat tentang tujuan dari pembuktian sebagai berikut:
“Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran yang mutlak sulit untuk ditemukan. Setiap pembuktian menurut hukum pada dasarnya suatu proses untuk mene muka n sub stansi/hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang dalam hubungannya dengan suatu perkara pidana.” b. Martiman Prodjohamidjojo: Pembuktian mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Bambang Purnomo, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia Dalam UU No.8 Tahun 1981. Yogyakarta, Liberty, 1985. hlm. 38. 35 Ibid. 34
61
Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati ini, yaitu melalui :
1). Pe n yid ika n; 2). P e nu ntu ta n; 3). Pemeriksaan di Pengadilan; 4). Pelaksanaan, pengamatan dan pengawasan. Sehingga cara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana keseluruhan.36
c. M. Yahya Harahap: Pembuktian ialah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh Undang-undang dan yang boleh dip ergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.37
Pernyataan ini dip ertegas dalam penjelasannya yaitu, bahwa : “Pembuktian juga merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan menurut undang-undang dan yang bole h dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan dari seorang terdakwa.”38 Selanjutnya Yahya Harahap menyatakan bahwa sehubungan dengan pembahasan sistem pembuktian, ada prinsip yang sangat perlu untuk dibicarakan,
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm. 12. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP jilid II, Jakarta, Sinar Grafika, 1985. hlm. 793. 38 M. Yahya Harahap, Ibid. 36
37
60
yakni masalah asas minimum pembuktian. Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan:
1). Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; 2). Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan keterangan dua orang saksi yang saling berkesesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan keduanya saling berkesesuaian.39 d. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril: Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa harus dinyatakan bersalah. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian.40
M. Yahya, Harahap. Op. Cit. hlm. 805. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. hlm. 102-103. 39 40
b. Djisman Samosir: Mengenai alat-alat bukti dan pembuktian yaitu, dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim untuk pengambilan keputusannya. Alat-alat bukti ini adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu. Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut.41 Menurut R. Soesilo,42 tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam perkara itu, bukan semata-mata untuk mencari kesalahan seseorang. Walaupun didalam prakteknya kepastian absolut tidak akan tercapai, akan tetapi dengan pembuktian serta kupasan dengan bukti-bukti yang ada, akan tercapai kebenaran yang patut dapat dipercaya, jangan sampai orang yang tidak bersalah mendapatkan hukuman. Hakim di Indoesia wajib mengikuti ketentuan hukum acara pidana yang menganut prinsip teori pembuktian Negatief wettelijk bewijs theori seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
41 C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Binacipta, Bandung. 1985. hlm. 79. 42 R. Soesilo, Op. Cit. hlm. 110.
subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling
63 62
Kehakiman, Pasal 183 KUHAP, maupun yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 294 HIR. Untuk menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak hanya cukup berdasarkan keyakinan hakim semata. Atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan tadi “dibarengi” pula dengan keyakinan hakim. untuk menetukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, b. Dan keyakinan hakim juga harus didasarkan atas ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktian negative ini merupakan gabungan dari system pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan system pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction-in time). Dalam system ini hakim hanya boleh menghukum dan ia mempunyai keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana. Sistem ini merupakan keseimbangan antara kedua system yang saling bertolak belakang secara ekstrim.
Dengan demikian system ini memadukan unsure obyektif dan unsure
subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling
63
dominan diantara kedua unsure tersebut. Jika salah satunya itu tidak ada maka tidak cukup untuk mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.43 Dalam sistem Negatief wettelijk ada dua hal yang merupakan syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Wettelijk, oleh karena alat-alat bukti yang sah ditetapkan oleh undangundang. 2. Negatief, oleh karena dengan alat-alat bukti yang sah dan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, akan tetapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.44 Berkaitan dengan sistem pembuktian maka alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa. Dari data diatas, Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. berdasarkan
pada keterangan saksi, keterangan ahli, Petunjuk dan keterangan terdakwa dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan
43 44
Yahya Harahap, Op.cit. hlm. 257-258. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm.14-15.
subyektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling
64
dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Dalam perkara No. 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. saksi-saksi yang memberi keterangan di persidangan yang dihadapkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut : 1. Saksi Muttakhin 2. Saksi Hadi Kuswanto 3. Saksi Sulaiman Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium. Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu. Dalam perkara No. 70/Pid.B/2006/PN.Mkt, Saksi Pujan dan Kuryanto adalah Saksi de auditu.
65
Karena mereka hanya mendengar kabar dari orang lain bahwa korban Lasiyanto sudah meninggal. 2. Alat Bukti Keterangan Ahli Alat bukti keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu Pasal 186 KUHAP. Akibatnya jika hanya bertitik tolak pada pasal dan penjelasan pasal 186 saja, maka tidak memberi pengertian apa-apa kepada kita. Untuk mencari dan menemukan pengertian yang lebih luas dan terperinci, yaitu dengan cara menghubungkan beberapa ketentuan yang terpencar dalam pasal-pasal KUHAP. Mulai dari pasal 1 angka 28, pasal 120, pasal 133, dan pasal 179, dengan jalan merangkaikan pasal-pasal ini baru jelas arti dan seluk beluk pemeriksaan keterangan ahli. Yang pertama adalah Pasal 1 angka (28) KUHAP, menyebutkan bahwa Keterangan Ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang dip erlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan Memperhatikan bunyi pasal 1 angka 28 tersebut, maka dapat menarik pengertian: a. keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang sedang diperiksa.
66
b. Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa “menjadi terang” demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.45 Kesimpulan yang dapat diambil dari ketentuan tersebut, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah, adalah:
a. keterangan itu harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang mempunyai “keahlian khusus” tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. b. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.46 Selanjutnya Pasal 120 KUHAP yang menyatakan, keterangan ahli ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya. Dengan demikian dari ketentuan pasal 120 dapat mempertegas pengertian dari keterangan ahli, yakni:
a. secara umum yang dimaksud dengan keterangan ahli yang dapat dianggap bernilai sebagai alat bukti yang sah ialah keterangan seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang sesuatu hal. b. dan keterangan yang diberikannya sebagai ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya ialah berupa keterangan “menurut pengetahuannya”.47 Kemudian pasal 133 KUHAP yang lebih menitik beratkan masalahnya kepada keterangan ahli kedokteran kehakiman. Yakni ahli yang khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan bedah mayat dan forensik. Akan tetapi pada hakekatnya ahli kedokteran kehakiman pun sebenarnya
M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 822. Ibid. hlm. 822-823. 47 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 823. 45
46
67
tiada lain daripada ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan kejahatan tindak pidana penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Atau dengan kata lain, ahli kedokteran kehakiman ialah seorang ahli yang khusus memiliki keahlian yang berhubungan dengan korban yang mengalami luka, keracunan, ataupun mati yang diduga diakibatkan karena peristiwa pidana.48
Dalam pasal 179 KUHAP jika ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, nampaknya sejalan dan sejiwa dengan pasal-pasal yang telah diuraikan diatas. Hal ini jelas tedapat pada pasal 179 ayat 2 kalimat terakhir, yang menyebutkan bahwa ahli tersebut akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarbenarnya “menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya”. Yang menegaskan bahwa agar suatu keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah: a. keterangan yang diberikan oleh seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” dalam bidang keahliannya. b. Bentuk keterangan yang mereka berikan supaya dapat dinilai sebagai alat bukti, merupakan keterangan yang berbentuk “menurut pengetahuan” dalam bidang keahliannya.49 Keterangan ahli dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu tulisan dalam bentuk laporan dan secara lisan yang diberikan di persidangan.50 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
Ibid. hlm. 824 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 824-825. 50 Martiman, Prodjohamidjojo, Op. Cit, hlm. 137. 48 49
68
umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang pengadilan diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan, keterangan tersebut setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. Dalam Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt, alat bukti keterangan ahli diajukan dalam persidangan yaitu dr.H.Abdul Malik,MHA,MM,Phd adalah Ahli dalam bidang Medis Forensik, yang diajukan dalam persidangan guna memberikan keterangan terkait korban yang bernama Lasiyanto. 3. Alat Bukti Petunjuk Diatur dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan bahwa: “Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP, petunjuk hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi, b. Surat, c. Keterangan Terdakwa.
69
Menurut M. Yahya Harahap51, petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan , kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.
Baik yang diatur dalam rumusan Pasal 188 ayat (1) maupun menurut rumusan M. Yahya Harahap, penekanannya terletak pada kata “persesuaian”, yakni dengan adanya persesuaian kejadian, keadaan atau perbuatan maupun persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri.52
Adapun mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatannya dengan alat bukti yang lain.
1) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas me nila inya dan me mperguna ka nnya sebagai upa ya pembuktian. 2) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. Agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.53 4. Alat Bukti Keterangan Terdakwa. Bentuk keterangan terdakwa yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah:
M. Yahya, Harahap. Op. Cit. hlm. 839. M. Yahya Harahap, Op. Cit. hlm. 839. 53 Ibid. hlm. 844. 51 52
70
1) Keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan. 2) dan keterangan itu dicatat dalam Berita Acara Penyidikan. 3) Serta Berita Acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.54 Nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau pengakuan terdakwa adalah sebagai berikut:
1) Sifat kekuatan pembuktian adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alas an-alasannya. Janganlah hendaknya penolakan akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alas an yang di dukung oleh argumentasi yang tidak proposional dan akomodatif. 2) Harus memenuhi batas minimum pembuktian H a k im d a la m m e n ila i ke te r a ng a n te r d a k w a ha r u s memperhatikan asas minimum pembuktian. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti yang lain. 3) Harus memenuhi asas keyakinan hakim. Penilaian mengenai keterangan terdakwa harus dibarengi keyakinan hakim. Asas keyakinan hakim harus melekat pada setiap putusan yang diambil sesuai dengan system pembuktian menurut undang-undang secara negatif.55 Seperti yang kita ketahui bahwa di depan persidangan dalam Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. terdakwa memberikan keterangan telah mengakui dakwaan Penuntut Umum dan membenarkan semua keterangan yang diberikan
54 55
Yahya , harahap, Op. Cit. hlm. 303. Ibid. hlm. 311.
71
oleh Saksi dip ersidangan. Pengertian Alat bukti keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP: “Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang dialami sendiri”. Meskipun terdakwa memberikan keterangan yang mengakui dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan membenarkan semua keterangan Saksi yang diajukan dipersidangan, namun hal ini belum cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa itu sendiri, hal tersebut diatur dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP, yang menyebutkan bahwa: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat-alat bukti yang sah”. Tidak lepas dari alat-alat bukti sah yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, ada hal lain yang menjadi dasar pertimbangan hakim, yaitu telah terpenuhinya dakwaan kesatu primair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa yang mempunyai unsurunsur sebagai berikut: 1. Barang Siapa; 2. Karena kealpaannya Menyebabkan Matinya Orang; 3. Orang Yang Melakukan, Yang Menyuruh Lakukan, Turut Melakukan Perbuatan Itu. Dengan demikian, maka perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan kedua.
Penegakan hukum dalam hal adanya kejahatan atau pelanggaran dilakukan oleh peradilan dengan putusan hakim. Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonis). Menurut Pasal 1 ayat (11) KUHAP memberikan definisi tentang putusan sebagai berikut:
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur oleh UndangUndang Hukum Acara Pidana ini”. Selanjutnya pengertian putusan pengadilan menurut Leden Marpaung56 adalah:
“Hasil kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”. Ada juga yang mengartikan “Putusan” atau Vonis sebagai vonis tetap (definitive), mengenai kata “Putusan” yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan”. Mengenai syarat sahnya putusan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi agar hakim sah dan sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Kalau ketentuan tersebut tidak terpenuhi, kecuali pada huruf g dan i maka putusan akan batal demi hukum. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan hakim dalam dalam menjatuhkan putusan, namun dari segi teknis ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu bagaimana hakim dengan rasio dan hati nuraninya mampu mengungkap fakta berdasarkan bukti-bukti yang diajukan di persidangan, dan mencari, menemukan,
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Ke II, Sinar Grafika, Jakarta, 1992. hlm. 36. 56
73
dan menerapkan hukum yang tepat sesuai dengan rasa keadilan individu (pelaku), masyarakat (korban), dan negara (undang-undang).57
Apabila hakim sudah yakin dengan keyakinannya serta berdasarkan faktafakta hukum yang telah terbukti dalam persidangan, maka hakim dapat memutus suatu perkara dengan putusan yang mengandung penghukuman Terdakwa, sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang merumuskan: “ Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana”. Dari uraian diatas maka Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. yang berdasarkan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim telah menjatuhkan putusan pidana penjara kepada terdakwa selama 9 bulan, dengan alat bukti berupa keterangan saksi, Keterangan Ahli, Petunjuk, dan Keterangan Terdakwa yang menimbulkan keyakinan Hakim. 2. Putusan Nomor: 70/Pid.B/2006/PN.Mkt. Belum Memenuhi Rasa Keadilan Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau realitas absolut dan
Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses Persidangan Perkara Pidana, Galaxi Puspa Mega, Jakarta, 2002. hlm. 121. 57
74
mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan ,melalui upaya filosofis yang sangat sulit atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini. Dalam skripsi ini penulis akan menguraikan teori keadilan Aristoteles.
1. Teori Keadilan Aristoteles Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nichomachean ethnics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”58. Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesaman proposional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga negara adalah sama di depan hukum.
Blogspot, Insanicita, Teori-Keadilan, (on line), 2012. Diunduh : http://insanicita.blogspot.com/2012/03/teori-keadilan-aristoteles.html / (15 Juli 2012) 58
75
Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan hukum pidana59.
Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus kepada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat, Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat60.
Scribd, Metode Penemuan Hukum, (online), 2012. Diunduh : http://www.scribd.com/doc/70490069/METODE-PENEMUAN-HUKUM / (8 Juli 2012) 60 Myleaf-Clover, Manusia dan Keadilan, (online), 2012, Diunduh : http://myleaf-clover.blogspot.com/2012/04/manusia-dan-keadilan.html / (9 Juli 2012) 59
76
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya”kesetaraan” yang sudah map an atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang berdasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasrkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia. Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia , sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan. Dari 2 hal berb eda tersebut
77
titik pertautannya adalah hukum dibuat untuk menegakkan keadilan walaupun dalam penegakkannya ada ketidakadilan sebagai akibat prose hukum yang terjadi. Hukum dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat sebagai sarana penegakan tertib sosial, atas dasar kesepakatan bersama dengan mengambil nilai-nilai yang berkembang di kelompoknya.
Hukum yang ideal adalah hukum yang berada dititik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan mengacu pada pasal-pasal hukum) dan rasa keadilan (moralitas norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil). Jika keseimbangan itu terusik, maka akan terjadi kondisi disharmoni sosial yang berakibat gesekan antar masyarakat. Jika gesekan itu meluas, maka diperlukan kesepakatan baru untuk merubah tatanan nilai berupa hukum,sebab hukum bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis mengikuti perkembangan jaman, dapat ditafsirkan secara luas serta menjangkau segala pranata kehidupan61.
Indonesia sebagai sebuah tatanan sosial juga mengalami perubahan. Perubahan timbul akibat pesatnya teknoligi dan perkembangan masyarakat. Perubahan itu menjadikan hukum yang dulu dianggap sudah cukup memenuhi perasaan keadilan, kini keberadaannya di pertanyakan dan sebagianbesar meminta untuk dirubah. Gagasan pembaharuan hukum mengalir begitu deras, dengan diiringi tuntutan pembaharuan penegak
61 Alisafaat, Pemikiran Keadilan Plato Aristoteles dan John Rawls, (online), 2012, Diunduh :http://alisafaat.wordpress.com/2008/04/10/pemikiran-keadilan-plato-aristoteles-danjohn-rawls/ (12 Juli 2012)
78
hukum. Perubahan tatanan sosial juga menjadikansesuatu dulu yang dianggap tidak bisa dip erbincangkan sekarang dengan mudah, dikritisi dan dibahas semisal putusan pengadilan yang muaranya kembali pada puas tidaknya rasa keadilan. Sebagai negara yang menganut civil law system, hukum Indonesia menganut rancangan system yang taat pada undangundang dengan konskuensi para hakim di Indonesia adalah pelaksana hukum bukan pencipta hukum, sebagaimana dalam Negara-Negara dengan system common law. Memang dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 memberikan ruang bagi hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam arti melakukan penemuan hukum, tetapi hal itu tidak boleh menabrak isi dan falsafah dari peraturan-peraturan yang sudah ada. Kondisi itu menyebabkan penegakan hukum Indonesia lebih mengarah pada keadilan procedural (berdasarkan peraturan) daripada keadilan subtantif ( berdasarkan nilai sosial). Tetapi apakah putusan hakim Indonesia tidak mencerminkan rasa keadilan?. Sudah lazim dilakukan, hakim dalam membuat putusan harus berpedoman pada asas hukum acara. Kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan hukum acara dapat menyebabkan putusan batal demi hukum. Dalam memutus perkara hakim harus berpedoman pada alat bukti yang cukup, keterangan saksi, fakta di persidangan dan pertimbangan hukum sebagai dasar pembuktian adanya tindak pidana. Menjadi soal
79
terkadang sistem pembuktian dalam persidangan menjadi begitu rumit dan berbelit-belit, dikarenakan lemahnya jaksa dalam menyusun dakwaan ataupun kurang sempurnanya penyidik dalam menyusun berita acara penyidikan. Hal itu yang menyebabkan permasalahan hukum serius seperti tindak pidana kealpaan, pembunuhan berencana atau kejahatan terencana lain menjadi sulit untuk dibuktikan diabnding dengan kejahatan ringan. Dengan berpandangan bahwa semua perkara masuk pengadilan harus di hukum, menandakan asas keadilan tidak terpenuhi dan hakim telah bertindak berat sebelah.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Mojokerto tertanggal 26 Januari 2006, Bambang Widanto sebagai terdakwa telah secara benar tebukti telah melakukan tindak pidana Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang, namun putusan terhadap terdakwa Bambang Widarto masih jauh dari tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntu Umum. Apabila kita berangkat dari nilai keadilan sebagaimana yang telah diuraikan, apakah putusan tersebut sudah memenuhi rasa keadilan?. Mungkin keadilan secara pro sedural telah tercapai, namun keadilan secara subtantif belum dapat tercapai. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tersebut masih belum memenuhi nilainilai keadilan yang dituntut oleh masyarakat atau keadilan sebagaimana masyarakat menginginkannya. Keadilan akan menjadi ketidakadilan manakala Hakim bertindak tidak sesuai dengan Undang-Undang, ketika berlangsung persidangan hingga putusan dibacakan. Sikap Hakim memandang semua perkara harus
80
dihukum, justru merupakan ketidakadilan yang juga tidak memuaskan sebagian pihak. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk menilai ketidakadilan dalam putusan Hakim adalah dengan mempelajari dengan seksama apa yang menjadi dasar putusan tersebut, sebab putusan adalah mahkota bagi hakim. Dengan tida berburuk sangka, semoga semua putusan Hakim di Indonesia benar-benar didasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan Putusan Nomor: 70/Pid.B/20006/PN.Mkt. yaitu : a) Saksi Pujan, membenarkan bahwa terdakwa dan korban minumminuman keras cap raja jemblong yang sudah dicampur dengan CTM dan Fanta b) Saksi Kuryanto, membenarkan bahwa terdakwa dan korban minum-minuman keras sehabis menonton orkes. c) Saksi Hadi Kuswanto, membenarkan bahwa terdakwa mencampur minuman keras cap raja jemblong dengan CTM dan Fanta sebelum diminum korban. d) Saksi Dr.H.Abdul Malik,MHA,MM,PhD, membenarkan bahwa di dalam organ tubuh korban mengandung racun, dan terpenuhinya Unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan kedua oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu unsur “barang siapa, karena kealpaannya menyebabkan matinya orang, orang yang melakukan, yang menyuruh lakukan atau turut melakukan perbuatan itu” ditambah dengan keterangan
82
terdakwa yang membenarkan semua keterangan saksi dalam persidangan, yang ternyata satu dan lainnya saling berhubungan. 2. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto tersebut masih belum memenuhi nilai-nilai keadilan karena : a) putusan terhadap terdakwa Bambang Widarto masih jauh dari tuntutan yaitu 1 Tahun 6 Bulan, yang diajukan oleh Jaksa Penuntu Umum. b) Hakim telah mengesampingkan fakta-fakta yang terdapat di dalam persidangan. B. Saran a) Hendaknya aparat hukum terutama aparat Pengadilan khususnya hakim harus mengetahui bahwa putusan Pengadilan merupakan suatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nanti oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan sebaik-baiknya sebab dengan putusan tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum-hukum keadilan dalam perkara yang mereka hadapi dan mereka betul-betul merasa mendapatkan keadilan yang diharapkan para pencari keadilan tersebut.
b) Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses pembentukan hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.
83
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. __ _________ . 2009. Hukum Acara Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2000. Pembahasan Permasalahan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding Kasasi Dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, Yahya. 1985. Pembahasan Permasalahan dan Pen erapan KUHAP jilid II. Jakarta: Sinar Grafika. ___________ . 1985. Pembahasan Permasalahan dan Pen erapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Hartanti, Evi. 2007. Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. Marzuki, Peter Mahmud. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta : .Kencana Prenada Media Group. Marpaung, Laden. 1994. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta: Sinar Grafika. Nugroho, Hibnu. 2011. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Poernomo, Bambang. 1985. Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana Indonesia dalam Undang-Undang RI No.8 Tahun 1981. Yogyakarta: Liberty. Poernomo, Bambang. 1993. Pola Dasar Dan Azaz Umum Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Liberty. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. R.M., Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil (Unsur-Unsur Obyektif Sebagai Dasar Dakwaan) Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika.
84
Soemitro, Rony Hanitijo. 1983. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri Cetakan Ke Satu. Jakarta: Ghalia Indah. Soesilo, R. 1982. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Bogor: Politeia. B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). , Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Inte r ne t Santoslolowang, Putusan dan Jenis-Jenis Putusan, (on line), 2012. Diunduh : http://www.santoslolowang.com/hukum/putusan-dan-jenis-jenisputusan/ (18 April 2012) Scribd, Metode Penemuan Hukum, (online), 2012. Diunduh : http://www.scribd.com/doc/70490069/METODE-PENEMUANHUKUM/ (8 Juli 2012) Myleaf-Clover, Manusia dan Keadilan, (online), 2012. Diunduh : http://myleaf-clover.blogspot.com/2012/04/manusia-dankeadilan.html/ (9 Juli 2012) Alisafaat, Pemikiran Keadilan Plato Aristoteles dan John Rawls, (online), 2012. Diunduh : http://alisafaat.wordpress.com/2008/04/10/pemikiran-keadilanplato-aristoteles-dan-john-rawls/ (12 Juli 2012) Blogspot, Insanicita, Teori-Keadilan, (on line), 2012. Diunduh : http://insanicita.blogspot.com/2012/03/teori-keadilanaristoteles.html / (15 Juli 2012) D. Putusan Pengadilan dan Sumber Lain Putusan Nomor : 70/Pid.B/2006/PN.MKT.
85
86
87
88
89