PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)
SKRIPSI Oleh : DIAH SEPTYORINI EIA007140
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)
Oleh : DIAH SEPTYORINI EIA007140
SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012
SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)
Oleh: DIAH SEPTYORINI EIA007140 Untuk memenuhi salah satu persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan disahkan Pada tanggal …………
Para penguji/pembimbing
Penguji I/ Pembimbing I
Penguji II/ Pembimbing II
Penguji III
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001
Budiono, S.H., M.Hum NIP. 19631107 198901 1 001
Dr. Setya Wahyudi, S.H.,M.H. NIP. 19610527 198702 1 001 1 1 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. NIP. 19520603 198003 2 001
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: DIAH SEPTYORINI
NIM
: EIA007140
Program Studi : Ilmu Hukum Judul Skripsi
: PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
ANAK
SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai tulisan atau pikiran saya, kecuali yang tersebut di dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, atas perbuatan tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 15 Agustus 2012 Yang membuat pernyataan
DIAH SEPTYORINI NIM. EIA007140
ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt) Oleh: DIAH SEPTYORINI EIA007140 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt dan bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban perdagangan orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif, sumber data yaitu data sekunder, data dianalisis menggunakan metode analisis normatif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah sebagai berikut: a. Unsur pertama “setiap orang” telah terpenuhi dan terbukti. b. Unsur kedua “melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang anak” telah terpenuhi dan terbukti. c. Unsur ketiga yaitu “dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain” telah terpenuhi dan terbukti. d. Unsur keempat “untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia” telah terpenuhi dan terbukti. 2. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt tidak terpenuhi adanya bentuk perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang, yaitu: a. Tidak ada pemberian restitusi dan kompensasi; b. Tidak ada layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis; c. Tidak ada bantuan hukum; d. Tidak ada pemberian informasi. Kata kunci: perlindungan hukum, anak, korban, perdagangan orang.
ABSTRACT THE LAW PROTECTION TO THE CHILDREN AS THE VICTIM OF HUMAN TRAFFICKING (Case Study in the Public Court Decision Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt) By: Diah Septyorini EI007140 This research aims to find out the Implementation of Element in Article 2 (1) jo Article 17 The Law No.21, 2007 about the Eradication of Criminal Act of Human Trafficking in the Public Court Decision Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt and the form of law protection to the children as the victim of the human trafficking in the Decision of Public Court Purwokerto No. 08/Pid.B/2008/PN.Pwt. This research uses the method of normative juridical approach, descriptive research specification, data source is secondary data, analysis data uses the method of qualitative normative analysis. Based on the research result and discussion, so it can be concluded as following: 1. The implementation of element Article 2 (1) jo Article 17 The Law No.21, 2007 about The Eradication of Criminal Act of Human Trafficking in the Decision of Public Court Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt is as following: a. Main element that “every people” has being fulfilled and proven b. Second element “doing the recruitment, transporting, accepting, delivering, transferring or receiving a child” has being fulfilled and proven. c. Third element “by threatening abuse, using the abuse, kidnapping, isolating, falsification, deceiving, misuse of power or position is very fragile, the trap of debt or giving the payment or usage although it obtains the agreement from the people who has the control for the other people” has being fulfilled and proven. d. Fourth Element “Aim to exploit that people in the Area Of Republic Of Indonesia” has being fulfilled and proven. 2. In the Decision of Public Court of Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt does not fulfill the form of law protection for the victim of the human trafficking, that is: a. There is no any restitution and compensation; b. There is no any medical counseling and service/assistance; c. There is no any law protection; d. There is no any delivering information. Keywords: law protection, children, victim, human trafficking.
PRAKATA
Puji syukur penyusun panjatkan atas kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga skripsi dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)” ini dapat diselesaikan sebagai salah satu rangkaian studi yang harus dipenuhi dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penyusun sangat berterimakasih apabila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun dan koreksi demi kesempurnaan skripsi ini dimasa yang akan datang. Penyusun sadar bahwa banyak hambatan dan kesulitan, namun berkat bantuan
dan
dorongan
dari
banyak
pihak,
akhirnya
penyusun
dapat
menyelesaikannya. Oleh karena itu, perkenankanlah penyusun menyampaikan penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, inayah, anugerah, kesehatan dan segalanya, sehingga sebagai umat-Nya masih diberi kesempatan untuk tetap sujud dan menundukkan diri kepada-Nya. 2. Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto.
3. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I/Penguji I, yang telah berkenan meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Budiono, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II/Penguji II, yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama ini. 5. Bapak Dr. Setya Wahyudi, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji III, yang telah memberikan koreksi dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 6. Ayahanda Widodo, Ibunda Sari tercinta, Mas Agus, Mba Ayu, Lintang, beserta segenap keluarga besarku yang telah memberikan perhatian yang begitu besar sehingga penyusun mendapatkan motivasi lebih untuk terus semangat dalam menyelesaikan studi ini. 7. Doddy Akhmad, yang telah menemani selama dibangku kuliah, diharapkan secepatnya menyusul gelar sarjana. 8. Teman-temanku semua yang selalu memberikan waktu dan semangat tiada henti. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, mohon maaf jika penyusun tidak bisa menyebutkan satu per satu. Akhirnya penyusun berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi diri penyusun maupun bagi kalangan hukum di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT, selalu melindungi dan mengabulkan segala keinginan dan doa kita semua, amin. Purwokerto, 15 Agustus 2012 Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN .............................................................................
i
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .................................................................
iv
ABSTRAK ..............................................................................................................
v
ABSTRACT ............................................................................................................
vi
PRAKATA ..............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
ix
BAB I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...........................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................
6
D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
6
A. Pengertian Perdagangan Orang .........................................................
6
B. Tinjauan Umum Tentang Anak ..........................................................
12
C. Korban Kejahatan dan Perlindungan Hukum ....................................
16
1. Pengertian Korban Kejahatan ......................................................
16
2. Pengertian Perlindungan Hukum .................................................
23
a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi ....................................
32
b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis ...............
37
c. Bantuan Hukum .....................................................................
39
d. Pemberian Informasi ..............................................................
40
D. Pengaturan dan Kebijakan Pemerintah Dalam Menangani Korban Perdagangan Orang ..............................................................
42
1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ...................
42
2. Berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP ..................
55
3. Berdasarkan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ............................................................................................
58
4. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak .............................................................................................
59
5. Berdasarkan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban .........................................................................
62
6. Berdasarkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ....................
67
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................
82
A. Metode Pendekatan ...........................................................................
82
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................
82
C. Sumber Data ......................................................................................
82
D. Metode Pengumpulan Data ...............................................................
83
E. Metode Penyajian Data .....................................................................
83
F. Analisis Data .....................................................................................
83
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................
85
A. Hasil Penelitian .................................................................................
85
1. Keterangan Saksi-saksi ................................................................
86
2. Keterangan Terdakwa ..................................................................
90
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum .................................................
91
4. Fakta hukum ...............................................................................
92
B. Pembahasan .......................................................................................
93
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 08/Pid.B/2008/PN.Pwt .....................................
97
a. Setiap orang ...........................................................................
101
b. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang anak ........................................................................................
102
c. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain .........................................
104
d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia ......................................
106
2. Bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban perdagangan orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 08/Pid.B/2008/PN.Pwt .....................................
110
BAB V. PENUTUP ................................................................................................
124
A. Kesimpulan ........................................................................................
124
B. Saran ..................................................................................................
125
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Korban perdagangan orang mayoritas adalah perempuan dan anak. Permasalahan ini muncul akibat dari beberapa aspek, salah satunya yang mendasari adalah aspek ekonomi seperti banyaknya tingkat pengangguran dan kemiskinan yang semakin meluas di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, Hesti Armiwulan berpendapat sebagai berikut: Banyak juga masyarakat yang menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya salah satunya dengan menghalalkan perdagangan anak. Krisis moneter berkepanjangan dan lesunya perekonomian menyebabkan banyak keluarga kehilangan sumber pendapatannya. Dalam kondisi ini, pelacuran dianggap memberi kesempatan yang lebih baik kepada anak dan perempuan untuk mendapatkan uang. Banyak anak-anak dan perempuan dari desa yang mau meninggalkan kampung halamannya karena tergiur oleh janji-janji yang diberikan oleh para trafficker (orang yang memperdagangkan) untuk bekerja di kota dengan gaji yang besar, tetapi sesampainya di kota diperdaya atau dipaksa untuk menjadi pekerja seks. Namun tidak hanya itu, menurut Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas Hak Asasi Manusia Hesti Armiwulan mengatakan, selain dari aspek ekonomi, kurangnya aspek pendidikan yang diperoleh mayarakat juga menjadi penyebab maraknya perdagangan anak. Dengan kata lain pemahaman masyarakat terhadap permasalahan perdagangan anak masih kurang. 1 Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan perdagangan orang (anak) adalah dengan cara pendekatan komprehensif, hal ini sebagaimana dikatakan oleh Lapian Gandhi L.M sebagai berikut: Banyak ahli mengatakan, perdagangan anak merupakan masalah yang gampang-gampang susah. Salah satunya penanggulangan perdagangan anak itu harus dilakukan dengan cara pendekatan komprehensif, yaitu 1
Hesti Armiwulan. 2009. Tuntaskan Trafficking. diakses melalui http://www.surya.co.id. pada tanggal 7 Maret 2012.
penegakan hukum dan penguatan kapasitas masyarakat. Cara penanggulangan ini juga diakui oleh Drs. Ulaen yang mengatakan bahwa penanggulangan perdagangan anak harus dihentikan dengan pendekatan yang tepat melalui pemberian informasi akan bahayanya perdagangan anak kepada masyarakat dan aparat-aparat desa, serta penegakan hukumnya yang harus dilakukan tanpa pandang bulu dengan pengertian aparat negara yang terkait dengan tindak pidana ini diberi sanksi yang tegas agar timbul rasa jera. 2 Upaya mengentaskan persoalan perdagangan anak itu sendiri harus ada campur tangan antara masyarakat dan pemerintah, karena yang memegang peranan penting adalah kedua belah pihak itu sendiri. Karena kasus perdagangan perempuan dan anak biasanya baru terbongkar jika ada laporan dari keluarga korban yang merasa kehilangan kontak maupun meninggal dunia. Aspek ketidakberdayaan, kemiskinan, ketidakmampuan, dan pengangguran menjadi suatu permasalahan yang menghimpit, sehingga mereka merasa tidak punya pilihan lain dan ikut arus perdagangan anak serta melalaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dimana setiap manusia mempunyai hak untuk tidak diperbudak, tidak disiksa, menentukan kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani. Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Adanya kekhawatiran munculnya berbagai bentuk manipulasi dan eksploitasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak sebagai akibat dari maraknya kejahatan perdagangan manusia memang bukan tanpa 2
Lapian Gandhi L.M dan Geru Hetty A. 2010. Trafficking Perempuan dan Anak. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. hal.169.
alasan. Banyak contoh yang dapat diberikan pada perempuan dan anak-anak, yang seharusnya memperoleh perlakuan yang layak justru sebaliknya dieksploitasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Padahal perempuan dan anak adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. Oleh karena itu, segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus segera dihentikan tanpa terkecuali. Terlebih pada kasus perdagangan manusia, posisi perempuan dan anak benar-benar tidak berdaya dan lemah baik secara fisik maupun mental, bahkan terkesan pasrah pada saat diperlakukan tidak semestinya. Apabila melihat pada berbagai kebijakan (policy) yang dibuat pemerintah berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan dan anak, pada dasarnya kebijakan yang dibuat relatif komprehensif, mulai dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 hingga peraturan-peraturan di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden hingga Keputusan Menteri. UUD 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas telah mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak perempuan dan anak, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan
hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan (servitude) atau perbudakan (slavery). Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia. Sehingga setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali. Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak, salah satunya melalui pencegahan dan pemberantasan perdagangan manusia perlu dilakukan secara terus-menerus demi tetap terpeliharanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas perlindungan terhadap perempuan dan anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap orangorang dewasa maupun pria, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Hal-hal yang diuraikan di atas dialami juga oleh GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITA SARI binti JUMIRAN yang berumur 15 tahun. PUPUT menjadi korban perdagangan anak yang dilakukan oleh DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO, dengan mempekerjakannya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokalisasi Gang Sadar Baturraden Purwokerto. Atas perbuatan tersebut, DIDIK DWI DARYANTO didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang dan melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Menyadari
akan
pentingnya
perempuan
dan
anak
memperoleh
perlindungan hukum yang memadai, khususnya dari berbagai bentuk upaya perdagangan manusia (trafficking in person) di tengah-tengah semakin
menipisnya sikap tenggang rasa dan hormat-menghormati antar sesama warga masyarakat, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PERDAGANGAN ORANG (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt)”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt? 2. Bagaimanakah perdagangan
bentuk orang
perlindungan
dalam
Putusan
hukum
anak
Pengadilan
sebagai
Negeri
korban
Purwokerto
No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dalam
Putusan
No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt.
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban perdagangan
orang
dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt.
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum sebagai sumbangan pikiran dalam rangka pembinaan hukum nasional, khususnya hukum pidana. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah serta instansi-instansi hukum yang terkait, dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak-anak korban perdagangan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perdagangan Orang Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi banyak perhatian, baik di Asia maupun tingkat dunia. Perdagangan perempuan dan anak di Indonesia terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negeri, misalnya perdagangan orang antar pulau, tetapi sudah memasuki wilayah perdagangan orang antar negara. Berkaitan dengan hal tersebut Farhana dan Mimin Mintarsih mengatakan bahwa: Maraknya issue perdagangan perempuan diawali dengan meningkatnya pencari kerja, baik laki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak yang memaksa mereka berimigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri. Dilihat dari awalnya mencari pekerjaan, maka faktor penyebab yang mendorong terjadinya perdagangan perempuan dan anak adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri, serta krisis ekonomi. 3 Farhana dan Mimin Mintarsih lebih lanjut menjelaskan tentang korban perdagangan orang yang umumnya menimpa perempuan dan anak, sebagai berikut: Korban perdagangan orang pada umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak, karena mereka lah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Sebab korban perdagangan perempuan biasanya terjadi diawali dengan penipuan, kemudian diperlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk eksploitasi diantaranya korban bekerja yang mengarah kepada praktik seksual, perbudakan, dan perbuatan transplantasi
3
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia. Jakarta. Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XI. FH. UIJ. hal.44.
organ tubuh sampai pada penjualan bayi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. 4 Terminologi istilah perdagangan orang (perdagangan perempuan) termasuk hal yang baru di Indonesia. Fenomena tentang perdagangan manusia telah ada sejak Tahun 1949 yaitu sejak ditandatangani Convention on Traffic in Person. Hal ini kemudian berkembang ketika banyak laporan tentang terjadinya tindakan perdagangan perempuan pada Beijing Plat Form of Action yang dilanjutkan dengan Convention on Elimination of All Form of Discrimination Agains Women (CEDAW) dan telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No.7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian dipertegas dalam agenda Global Alliance Agains Traffic in Women (GAATW) di Thailand Tahun 1994. Definisi tentang perdagangan perempuan menurut GAATW adalah: Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintas perbatasan, pembelian, penjualan, transfer, pengiriman atau penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekerasan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut, baik dibayar atau tidak untuk kerja yang tidak diinginkan (domestik, seksual atau reproduktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan di dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali. 5 PBB dalam sidang umum Tahun 1994 menyetujui resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan, memberikan definisi: Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan negara dalam 4
Ibid. hal.44. Rut Rosenberg. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak Indonesia. Jakarta. ICME dan ACILS. Hal.6. 5
transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia, seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan. 6 Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam protokol, yaitu protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak. Tambahan untuk konvensi PBB menentang Kejahatan Teroganisasi Transnasional Tahun 2000 menyebutkan definisi perdagangan yang paling diterima secara umum dan digunakan secara luas. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut: a. Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh; b. Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika cara-cara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan; c. Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan manusia, walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang disebutkan dalam ayat (a) pasal ini; d. Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun. 7 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan definisi tentang pengertian perdagangan orang pada Pasal 1 angka 1 sebagai berikut:
6 7
Ibid. hal.6. Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.48.
Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Lampiran Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak menyatakan bahwa: Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Kata “eksploitasi” berdasarkan UU No.21 Tahun 2007 dipisahkan dengan “eksploitasi seksual”. Eksploitasi itu sendiri didefinisikan dalam Pasal 1 angka 7 UU No.21 Tahun 2007, sebagai berikut: Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Sedangkan “eksploitasi seksual” didefinisikan dalam Pasal 1 angka 8 UU No.21 Tahun 2007, sebagai berikut:
Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, terdapat tiga unsur dari perdagangan orang, yaitu: a. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima. b. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. c. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. 8 Siti Muflichah dan Rahadi Wasi Bintoro dilain pihak berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut: a. Memindahkan orang, baik di dalam maupun di luar batas negara (termasuk perekrutan pengangkutan, penampungan, pengiriman pemindahan atau penerimaan). b. Cara-caranya melawan hukum (termasuk ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut). c. Tujuannya eksploitasi atau menyebabkan orang tereksploitasi. 9 Berdasarkan beberapa pengertian yang berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak tersebut di atas, maka terdapat beberapa bentuk perdagangan orang, antara lain: a. Perburuhan migran legal maupun illegal; 8
Joice Soraya. 2008. Makalah: Tinjauan Terhadap Perlindungan Hukum Korban Trafficking. Malang. Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang. hal.7. 9 Siti Muflichah dan Rahadi Wasi Bintoro. 2009. Trafficking: Suatu Studi Tentang Perdagangan Perempuan Dari Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi di Kabupaten Banyumas. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 9 No.1 Januari 2009. hal.127.
b. c. d. e. f. g. h.
Pekerja rumah tangga (PRT); Pekerja seks komersial/eksploitasi seksual (termasuk phaedopili); Adopsi anak; Pengantin pesanan (mai-order bride); Pengemis; Industri pornograsi, peredaran obat terlarang; Penjualan organ tubuh. 10 Berkaitan dengan perdagangan perempuan dan anak di Indonesia, Musdah
Mulia berpendapat bahwa: Perdagangan perempuan dan anak di Indonesia umumnya bermula dari kegiatan migrasi. Globalisasi telah mempermudah proses migrasi dari satu negara ke negara lainnya. Peluang bermigrasi ini kemudian dimanfaatkan dan dieksploitasi sedemikian rupa menjadi lahan empuk untuk berbagai kegiatan perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan sesungguhnya tidak lain adalah bentuk migrasi yang dilakukan dengan tekanan, bukan atas kemauan sendiri sebab dalam praktiknya perempuan direkrut melalui berbagai bentuk modus penipuan termasuk melalui perkawinan untuk selanjutnya dibawa ke negara lain dengan tujuan diperdagangkan secara paksa dan biasanya disertai ancaman kekerasan. 11 Sedangkan, menurut Koentjoro: Perdagangan perempuan tidak lepas dari masalah prostitusi sebagai bentuk industri bahwa ada peningkatan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, perdagangan perempuan salah satunya dimotivasi oleh pemenuhan “permintaan pasar” (baca laki-laki) dan menjadi bisnis yang sangat menguntungkan tanpa peduli bahwa perempuan yang dijual sebagai pekerja seks tidak diberi keuntungan sepersen pun menjadi pihak yang paling menderita dan seluruh hak-haknya sebagai manusia telah habis dirampas. 12 Terdapat perbedaan antara perdagangan orang (perempuan dan anak) dengan penyelundupan orang, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Joice Soraya: Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak, dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan 10
Ibid. hal.128. Musdah Mulia. 2004. Perdagangan Wanita di Mata Women of Faith. Majalah Basis No.05. 05 Mei – Juni 2004. hal.69. 12 Koentjoro. 2004. Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta. Tinta (CV Qalam). hal.339. 11
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Perdagangan manusia berbeda dengan penyeludupan manusia (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek eksploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur utama dalam perdagangan orang. 13
B. Tinjauan Umum tentang Anak Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) memberikan batasan mengenai pengertian anak atau orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 330 yang rumusannya sebagai berikut: Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Berdasarkan KUHP, batasan usia anak adalah sebelum berumur 16 (enam belas) tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang 13
Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.8.
tuanya, walinya atau pemeliharaannya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lewat dua tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu. Pasal-pasal lain dalam KUHP menegaskan sebagai berikut: 1. Pasal 283 angka 1 KUHP Diancam dengan pidana paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah, barangsiapa menawarkan, memberikan untuk terus maupun untuk sementara waktu, menyerahkan atau memperlihatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan hamil, kepada seorang yang belum cukup umur, dan yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum tujuh belas tahun, jika isi tulisan, gambaran, alat itu telah diketahuinya. 2. Pasal 287 angka 1 KUHP Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinannya, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3. Pasal 290 angka 2 KUHP Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia belum berumur 16 (enam belas) tahun, atau seseorang dikatakan melakukan tindak pidana anak apabila saat melakukan tindak pidana ia belum berumur enam belas tahun. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan definisi yang tegas mengenai anak. Setidaknya terdapat dua pasal yang dapat dianalisis untuk
mencari batasan mengenai anak, yaitu Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 mengemukakan: Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 menegaskan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun masih dikatakan sebagai anak karena masih membutuhkan izin orangtua ketika akan melaksanakan perkawinan (Pasal 6 ayat (2)). Secara lebih khusus lagi terdapat perbedaan antara batasan anak antara laki-laki dan perempuan, yaitu untuk laki-laki batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari 19 (sembilan belas) tahun, sedangkan untuk perempuan batasan anak adalah seseorang yang berumur kurang dari 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1)). Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Batasan usia ”anak” berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia diatur pada Pasal 1 angka 5 yaitu:
Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa batasan untuk dapat disebut anak adalah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Pengertian tentang anak secara khusus (legal formal) dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menegaskan bahwa: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orangtua mengasuh dan mendidik anak-anaknya sampai dengan mereka berusia 18 tahun. Setelah usia tersebut diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali masih bergantung pada orangtuanya karena kedewasaannya belum matang. Pasal 1 angka 5 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menegaskan: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hakhak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Menurut Soesilo Prajogo: Jika dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta hak sipil dan kebebasan. Anak adalah setiap anak yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 14 Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial. Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak. Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Selain itu, pengertian anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan. 15 Para ahli yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, juga mengatakan bahwa: Anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, dan anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa. 16
C. Korban Kejahatan dan Perlindungan Hukum 1. Pengertian Korban Kejahatan Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan, akan tetapi 14
Soesilo Prajogo. 2007. Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Jakarta. Wacana Intelektual. hal.32. 15 Pengertian Anak diakses melalui http://definisi-pengertian.blogspot.com/ pada tanggal 1 Maret 2012. 16 Augustinus. 1987. Pengertian Anak. Jakarta. Suryabrata. hal.14.
dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan, baik secara sosial maupun hukum. Pada dasarnya korban adalah orang, baik sebagai individu, kelompok, ataupun masyarakat yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. Banyak sarjana yang memberikan definisi tentang korban kejahatan. Munculnya berbagai pengertian tentang korban kejahatan sangat dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan (kajian) pemberi definisi. Pengertian korban kejahatan dalam tindak pidana terorisme tentunya akan berlainan dengan pengertian korban kejahatan dalam tindak pidana perbankan, hal yang sama akan terjadi pula pada saat memberikan definisi korban kejahatan dalam lingkup tindak pidana perdagangan manusia (trafficking in person). Pasal 1 angka 1 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan definisi tentang korban sebagai berikut: Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang: Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Menurut Suryono Ekatama, yang dimaksud dengan korban adalah: Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan/atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target atau sasaran kejahatan. 17 Arif Gosita memberikan pengertian korban sebagai berikut: 17
Suryono Ekatama. 2000. Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan. Yogyakarta. UAJ. hal.176.
Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan. 18 Sedangkan Muladi dan Barda Nawawi Arif mengatakan bahwa: Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana dimasing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 19 Kata “korban” itu sendiri dapat mempunyai banyak arti yang bervariasi serta berkembang sehingga dapat pula memberi makna beragam. Iswanto dan Angkasa dalam hal ini mengatakan bahwa korban dapat diartikan sebagai: a. Suatu makhluk hidup yang dikorbankan kepada dewa atau dalam melaksanakan upacara agama; b. Seseorang yang dibunuh, dianiaya atau didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami penindasan, atau penderitaan; c. Seseorang yang mengalami kematian, atau luka-luka dalam usaha menyelamatkan diri; d. Seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak layak. 20 Pengertian tentang korban menurut beberapa ahli, sebagaimana dikutip oleh Iswanto dan Angkasa, adalah sebagai berikut: Bahasa Hebrew (Yahudi) dalam kamusnya (Even Schoschan, Yerusalem, 1969, Vol.VI halaman 2399) mencontohkan pengertian korban antara lain: sebuah pengorbanan pribadi, yaitu “seseorang yang mati dalam sebuah kecelakaan atau kecelakaan umum”, “korban dari persekongkolannya sendiri”, “korban dari gerakan kebebasan”, “korban dari serangan”, “seorang yang menderita”, “korban penipuan”. Dalam Kamus Petit Larousse (Paris, 1965: 1100), “seorang korban adalah 18
Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Akademika Presindo.
hal.47. 19
Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung. Alumni. hal.46. 20 Iswanto dan Angkasa. 2009. Victimologi. Purwokerto. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. hal.6.
seseorang yang secara sukarela menyerahkan hidup dan kebahagiaannya”, “seseorang yang menderita karena kesalahan orang lain atau kesalahannya sendiri”. Kamus de la Langue Francaise dari P. Robert (Parie, 1964: 985) menambahkan pengertian korban adalah “seseorang yang mati dalam suatu bencana atau karena penyakit, atau dalam kecelakaan, pemberontakkan atau perang”. 21 Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Iswanto dan Angkasa, mengartikan korban sebagai: a. Pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaaan hati dsb); b. Orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dsb) sendiri atau orang lain, misalnya banyak yang menjadi korban roulette; c. Orang yang mati; d. Orang yang mati karena menderita kecelakaan, karena tertimpa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dsb. 22 Berdasarkan maknanya, pengertian korban pada hakikatnya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: Pertama, korban dalam arti “sacrifice” artinya bentuk korban (pengorbanan) yang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisik, supranatural, misalnya korban dalam upacara keagamaan dan/atau sejenisnya. Kedua, korban secara keilmuan (victimological). Dalam pengertian kedua ini, meliputi semua bentuk korban yang tidak termasuk dalam pengertian korban yang pertama. Pengertian korban secara vitimological merupakan akibat perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan suka rela atau dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan semuanya benar-benar berisi sifat penderitaan jiwa, raga, harta dan moral serta sifat ketidakadilan.23 Iswanto dan Angkasa lebih lanjut menjelaskan tentang pengertian korban dalam kajian viktimologi, yaitu sebagai berikut: “Korban” dalam kajian viktimologi, maka yang dimaksud korban di sini adalah korban dalam konsep keilmuan (victimological), termasuk di dalamnya antara lain korban akibat dari kejahatan atau perbuatan yang dapat dihukum (victim of crime), korban kecelakaan (victim of accident), korban bencana alam (victim of natural disaster), korban kesewenang-wenangan penguasa atau korban atas pelanggaran hak 21
Ibid. hal.6-7. Ibid. hal.7. 23 Ibid. hal.7-8. 22
asasi manusia (victim of illegal abusses of public power) maupun korban dari penyalahgunaan kekuasan di bidang ekonomi (victim of illegal abuses of economic power). 24 Bagi negara-negara yang akan menyusun suatu perundang-undangan tertentu didalamnya akan diatur pula tentang masalah korban kejahatan, maka untuk menentukan apakah yang dimaksud dengan korban kejahatan, umumnya mengacu pada Resolusi Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa No.40/34 Tahun 1985 angka 1 sebagai berikut: Victims means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss, or substansial impairment of their fundamental rights, throught acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. Secara sederhana definisi di atas dapat diterjemahkan, korban kejahatan adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif, menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. 25 Batasan tentang korban kejahatan dapat ditinjau dari sifatnya, jenisnya dan berdasarkan kerugiannya. Ketiga sudut pandang tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Ditinjau dari sifatnya, ada yang individual dan kolektif. Korban individual karena dapat diidentifikasi sehingga perlindungan korban dilakukan secara nyata, akan tetapi korban kolektif lebih sulit diidentifikasi. Walaupun demikian tetap dapat ditempuh melalui jalur hukum yaitu berupa menuntut ganti kerugian melalui class action. 26 b. Ditinjau dari jenisnya. Menurut Sellin dan Wolfgang, sebagaimana dikutip oleh Nasution, jenis korban dapat berupa: 1) Primary Victimization adalah korban individual. Jadi korbannya orang perorangan, bukan kelompok. 24
Ibid. hal.9-10. Interntional Organization for Migration (IOM) Indonesia. 2006. Combatting Human Trafficking Through Law Enforcement, Jakarta. November 2006. 26 Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Jakarta. Djambatan. hal.120. 25
2) Secondary Victimization dimana yang menjadi korban adalah kelompok seperti badan hukum. 3) Tertiary Victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas. 4) Mutual Victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri, contoh: pelacuran, perzinahan, narkotika. 5) No Victimization, bukan berarti tidak ada korban, melainkan korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi. 27 c. Ditinjau dari kerugiannya, maka dapat diderita oleh seseorang, kelompok masyarakat maupun masyarakat luas. Selain itu kerugian korban dapat bersifat materiil yang dapat dinilai dengan uang dan immaterial, yakni perasaan takut, sedih, kejutan psikis dan lain sebagainya. 28 Apabila memperhatikan beberapa definisi tentang korban diatas, terkandung adanya beberapa persamaan unsur dari korban, yaitu: a. b. c. d.
Orang (yang menderita); Penderitaan yang sifatnya fisik, mental, ekonomi; Penderitaan karena perbuatan yang melanggar hukum; Dilakukan oleh pihak lain. Separovic, sebagaimana dikutip oleh Iswanto
dan
Angkasa,
mengatakan bahwa korban yang dapat mengakibatkan kerugian dan/atau penderitaan baik secara fisik maupun psikologis, dalam masyarakat, berdasarkan kriterium obyek yang menderita, diklasifikasikan menjadi empat, yaitu: a. Korban individual, adalah korban yang diderita oleh seseorang secara individu, misalnya seorang yang mati karena pembunuhan, seorang yang diperkosa, dianiaya, diperdaya, ditipu, dsb. b. Korban kolektif, adalah korban yang dialami oleh beberapa individu secara bersama baik dari satu kelompok maupun bukan. Korban kolektif misalnya korban pembantaian dengan tujuan pemusnahan suatu suku bangsa atau etnik tertentu (genocide), korban dari perang antar golongan. c. Korban abstrak, adalah jenis korban yang sulit untuk dilihat secara jelas bahwa seseorang menjadi korban. Contoh dari korban abstrak adalah korban kejahatan dan pelanggaran terhadap ketertiban umum, misalnya
27
Zaky Alkazar Nasution. 2008. Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking in Person). Semarang. Undip. hal.41. 28 Mardjono Reksodiputro. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Universitas Indonesia. hal.78.
mengendarai motor dalam keadaan mabuk karena pengaruh alkohol, ekshibisionisme, memiliki barang curian, dsb. d. Korban pada diri sendiri, adalah korban yang terjadi pada suatu jenis kejahatan yang dalam literatur sering disebut dengan “kejahatan tanpa korban” (crime without victim). Sebenarnya kejahatan ini ada korbannya, namun yang menjadi korban adalah para pelakunya sendiri, maka seolaholah tidak ada korban. Contoh jenis ini adalah korban aborsi, homoseksual, pecandu obat (drug addition), judi dan bunuh diri. 29 Dalam beberapa perundang-undangan pengertian korban seringkali diperluas tidak hanya pada individu yang secara langsung mengalami penderitaan, tetapi juga termasuk di dalamnya adalah keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi tanggungan korban, contohnya dalam penjelasan Pasal 36 ayat (3) UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
menjadi
Undang-undang,
pengertian korban diperluas meliputi juga ahli warisnya yang terdiri dari ayah, ibu, suami/isteri, dan anak. Ketentuan lengkap Pasal 36 UU No.15 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: (1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi. (2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah. (3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya. (4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
29
Iswanto dan Angkasa. 2009. Op.Cit. hal.10-11.
Berdasarkan ketentuan Pasal 36 tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa secara luas pengertian korban diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun yang mengalami penderitaan juga dapat diklasifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung contohnya adalah isteri kehilangan suami, anak kehilangan orang tua, dsb. 2. Pengertian Perlindungan Hukum Ruang lingkup perlindungan hukum adalah perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah melalui perangkat hukumnya, seperti peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum tersebut dimulai dari seseorang dapat diidentifikasikan sebagai korban perdagangan manusia, proses beracara mulai penyidikan hingga pengadilan, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, hingga kepada proses pemulangan korban perdagangan orang dan reintegrasi sosial. Selain hal tersebut juga masalah pemberian ganti rugi berupa restitusi dan/atau kompensasi yang dapat diberikan kepada korban. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang di Indonesia diatur dalam Pasal 297 KUHP dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk mengetahui bentuk trafficking dan bentuk perlindungan hukum bagi korban trafficking perlu dikemukakan pengertian trafficking dari berbagai peraturan perundang-undangan. Rumusan Pasal 297 KUHP adalah sebagai berikut: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Ketentuan pasal ini mengandung dua kelemahan, yaitu tidak menguraikan pengertian perdagangan orang dan kedua hanya wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa yang disebut sebagai korban. 30 Satjipto Rahardjo di lain pihak berpendapat bahwa: Secara normatif perlindungan hukum terhadap korban trafficking masih diatur dalam Pasal 297 KUHP dan di berbagai peraturan perundangundangan lainnya seperti UU No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan trafficking tersebut sebenarnya mengandung ide-ide atau konsepkonsep yang digolongkan abstrak yang idenya meliputi ide tentang keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan demikian, apabila membicarakan tentang keefektifan, maka pada hakikatnya sedang dibicarakan mengenai usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. 31 Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan melalui hukum terhadap status (kedudukan) ataupun hak seseorang. Hal ini sejalan dengan pendapat Farhana dan Mimin Mintarsih yang menyatakan bahwa: Kata perlindungan merupakan upaya menempatkan seseorang yang diberikan kedudukan istimewa. Sedangkan korban pada dasarnya adalah orang, baik sebagai individu, kelompok, ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari kejahatan. Jadi yang dimaksud perlindungan korban adalah segala pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban dan segala upaya untuk mengembalikan kepada keadaan semula, yaitu kembali ke keadaan korban sebelum menjadi korban. Perlindungan hukum berarti perlindungan yang diberikan melalui hukum (rechts bescherming, legal protection) terhadap status (kedudukan) ataupun hak sebagai warga negara, sebagai penduduk negara, rakyat dan sebagainya.32 Secara konstitusional, negara wajib menyelenggarakan perlindungan bagi warga negaranya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD
30 31
Siti Muflichah dan Rahadi Wasi Bintoro. 2009. Op.Cit. hal.127. Satjipto Rahardjo. 1977. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta. BPHN (Sinar Baru).
hal.153. 32
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.45.
1945, bahwa salah satu tujuan pembentukan pemerintahan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia
dan
untuk
memajukan
kesejahteraan
umum
dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlunya diberikan perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Namun demikian, korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak korban. 33 Farhana dan Mimin Mintarsih dipihak lain menguatkan pendapat tentang perlunya perlindungan hukum bagi korban kejahatan memperoleh perhatian yang serius, sebagai berikut: Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius dapat dilihat dari Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The Seventh United Nation Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, yang berlangsung di Milan, Italia, September 1985. Salah satu rekomendasinya yaitu bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan bagi korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). 34 Dalam memberikan perlindungan bagi korban, hal ini tidak lepas dari masalah keadilan dan hak asasi manusia, dimana banyak peristiwa yang 33
Andi Hamzah. 1986. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Bandung. Binacipta. hal.33. 34 Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.46.
ditemukan, korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, oleh karena itu perlu perhatian dari pemerintah secara serius, dan memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan dalam upaya menegakkan hukum. Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang konkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman dan pembebasan dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu: a. Dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang). b. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan
pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya. 35 Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. 36 Adapun asas-asas yang dimaksud sebagai berikut: a. Asas manfaat Artinya perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. b. Asas keadilan Artinya penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga diberikan pada pelaku kejahatan. c. Asas keseimbangan Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. d. Asas kepastian hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan. 37 Perlindungan terhadap perempuan dan anak sebagai korban kejahatan, dewasa ini semakin gencar dibicarakan, baik secara lingkup nasional terlebih internasional. Banyak konferensi diadakan untuk membicarakan berbagai hal berkaiatan dengan penanggulangan kejahatan perdagangan manusia yang 35
Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta. Kencana. hal.61. 36 Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta. Akademika Pressindo. hal.50. 37 Dikdik. M. Arief Mansur. 2007. Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. hal.164.
cenderung
semakin
meningkat.
Gencarnya
pembicaraan
mengenai
perlindungan perempuan dan anak semata-mata disebabkan semakin banyaknya terjadi kasus-kasus manipulasi dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Banyak informasi yang disampaikan melalui mass media (media cetak maupun elektronik) berkaitan dengan maraknya bentukbentuk eksploitasi dan manipulasi terhadap perempuan dan anak. Apabila eksploitasi terhadap perempuan dan anak tidak segera dihentikan, lambat laun dunia akan kehilangan komunitas perempuan dan anak-anak sebagai salah satu potensi sumber daya manusia yang tangguh. Oleh karena itu, untuk menanggulangi serta memberantas maraknya aktivitas yang bertujuan mengeksploitasi kehidupan perempuan dan anak-anak maka sudah saatnya apabila berbagai komponen masyarakat sekarang ini bahu membahu menemukan solusi untuk mengatasinya. Pada saat membicarakan tentang perlindungan perempuan dan anak sebagai korban kejahatan perdagangan manusia, perlu diketahui apa yang menjadi
batasan
perlindungan
hukum
dan
perdagangan
manusia.
Batasan/pengertian perlindungan dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 angka 6 adalah sebagai berikut: Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Ada dua kemungkinan jenis program perlindungan saksi dan/atau korban yang dapat digunakan dalam penyidikan trafficking manusia, yaitu:
a. Sebuah program perlindungan penuh terhadap saksi yang diawasi dan dikelola oleh negara. b. Skema campuran yang mencakup keselamatan, dukungan dan pendampingan yang disediakan berdasarkan kerjasama antara penyidik dengan lembaga pendampingan korban. 38 Dalam beberapa literatur banyak ditemukan batasan/pengertian kejahatan perdagangan manusia, sebagai suatu kejahatan yang bermaksud untuk melakukan perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran
atau
memperoleh
keuntungan
agar
dapat
memperoleh
persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh. 39 Perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam segala aktivitas yang hendak mengeksploitasinya secara illegal pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia, sebagai suatu hak yang melekat pada manusia, yang diperoleh sejak lahir dan pemberian Tuhan yang tidak dapat dikurangi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Anis Hamim dan Ruth Rosenberg bahwa: Setiap bentuk perdagangan perempuan dan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), hak anak dan hak buruh yang 38
Interntional Organization for Migration (IOM). Indonesia. 2006. Combatting Human Trafficking Through Law Enforcement. Jakarta. November 2006. 39 Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas, dan Menghukum Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak. Suplemen Konvensi PBB untuk Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas. Tahun 2000.
memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim, dan dijual kembali. Fenomena yang berlaku di seluruh dunia ini terus berkembang dan berubah dalam bentuk dan kompleksitasnya yang tetap hanyalah kondisi eksploitatif yang ditempatkannya terhadap manusia. 40 Konsep Hak Asasi Manusia menurut Leach Levin, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Tholchah Hasan, memiliki dua pengertian dasar, yaitu: Pertama, bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan atau dicabut adalah hak asasi manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap insan. Tujuan dari hak tersebut adalah untuk menjamin martabat setiap manusia. Kedua, adalah hak-hak menurut hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum yang dibuat sesuai dengan proses pembentukan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara nasional maupun internasional. 41 Eksploitasi terhadap perempuan dan anak dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga keterlibatan semua komponen masyarakat untuk turut mengatasi maraknya perdagangan manusia merupakan faktor yang sangat penting. Mengenai fenomena meningkatnya kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, Frank Tannembaum, sebagaimana dikutip oleh J.E Sahetapy, menyatakan crime is eternal-as eternal as society, artinya dimana ada manusia disana pasti ada kejahatan. 42 Menurut George W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya: a. Pengertian secara praktis Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yan merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan 40
Anis Hamim dan Ruth Rosenberg. 2003. Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Dalam Perdagangan Perdagangan dan Anak di Indonesia. Jakarta. USAID. hal.6. 41 Muhammad Tholchah Hasan. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung. Refika. hal.xii. 42 J.E. Sahetapy. 1979. Kausa Kejahatan. Surabaya. Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair. hal.1.
norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi, baik berupa hukuman maupun pengecualian; b. Pengertian secara religius Kejahatan dalam arti religius ini mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa; c. Pengertian secara yuridis Kejahatan dalam arti yuridis ini maka kita dapat melihat misalnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari Buku Kedua, itulah yang disebut dengan kejahatan. Selain Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi atau pada ketentuan lain menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan. 43 Kedudukan perempuan dan anak yang sama dengan pria dewasa di hadapan hukum, sebagai perwujudan dari equality before the law, membawa konsekuensi pada dimilikinya pertanggungjawaban yang sama pula dihadapan hukum pada setiap orang yang melakukan pelanggaran, kejahatan atau perilaku lain yang menyimpang terhadap anak-anak. Kejahatan perdagangan manusia, selama ini sudah terorganisir dengan rapi bahkan sudah masuk dalam jaringan perdagangan internasional, dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang modern serta sumber dana yang relatif tidak terbatas. Penanggulangan kejahatan ini yang terkesan sektoral dan tidak terkordinasi dengan baik tentunya akan menjadi penghambat proses penegakan hukumnya. Untuk itu, peran serta dari semua pihak sangat diperlukan bagi tercapainya perlindungan hukum yang ideal. Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana trafficking, Bentuk perlindungan hukum bagi korban kejahatan tersebut dapat 43
Gerson W. Bawengan, 1991. Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta. Pradya Paramitha. hal.57.
diwujudkan melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Dikdik M. Arief Mansur dalam hal ini berpendapat bahwa: Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. 44 Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban kejahatan melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum tersebut, maka dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Restitusi dan kompensasi merupakan bagian dari kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan korban. Dalam viktimologi, tujuan membuat merupakan
kebijakan tujuan
guna yang
mengurangi terpenting,
penderitaan karena
akan
bagi dapat
korban lebih
memberdayakan masyarakat serta menjamin kehidupannya. 45 Pengertian restitusi menurut Pasal 1 angka 13 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah: Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Istilah restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang sering dipakai secara bergantian yang sebenarnya menggambarkan dua titik pandang yang berbeda. Iswanto dan Angkasa dalam hal ini mengatakan sebagai berikut: 44 45
Dikdik. M. Arief Mansur. 2007. Op.Cit. hal.31. Iswanto dan Angkasa. Op.Cit. hal.37.
Kompensasi dalam viktimologi adalah berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat. Perbuatan jahat tersebut merugikan korban. oleh karena itu, dapat disebut kompensasi atas kerugian baik fisik, morel maupun harta benda yang diderita korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga merupakan suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang berkarakter perdata. Dengan demikian tergambar suatu tujuan non pidana dalam kasus pidana. Kebalikan dari kompensasi adalah restitusi. Restitusi dalam viktimologi adalah berkaitan dengan perbaikan atau restorasi perbaikan atas kerugian baik fisik, morel maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas serangan jahat. Restitusi juga merupakan indikasi pertanggungjawaban pembuat tindak pidana atau penjahat, jadi restitusi merupakan suatu tindakan restitutif terhadap penjahat atau pembuat yang berkarakter pidana yang menggambarkan suatu tujuan koreksional dalam kasus pidana. Jelasnya bahwa kompensasi korban diminta oleh korban atas dasar bentuk permohonan dan apabila dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara), sedangkan restitusi dituntut oleh korban agar diputus oleh pengadilan dengan proses peradilan pidana dan apabila diterima tuntutannya dibayar oleh penjahat atau pembuatnya. 46 Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban kejahatan yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana. Jeremy Bentham mengatakan: Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya. Perbedaan antara kompensasi dan restitusi adalah “kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana.” 47 Joice Soraya di pihak lain berpendapat bahwa: Restitusi lebih diarahkan pada tanggungjawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak 46
Ibid. hal.37-38. Jeremy Bentham. 2006. Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Bandung. Nusamedia & Nuansa. hal.316. 47
ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban. Biasanya korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi dan pemulihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan bagi korban yang berstatus sebaliknya. 48 Selanjutnya pada Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 dirumuskan sebagai berikut: (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. (3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. (4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. (6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 tersebut, Joice Soraya memberikan pendapatnya sebagai berikut: Aturan atau undang-undang tidak menentukan dan merumuskan secara tegas, UU No.21 Tahun 2007 hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan. Dari pasal 48 tersebut dapat dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam 48
Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.20-21.
bentuk uang. Dengan demikian tujuan ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang. Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggungjawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Apabila anggota masyarakat menjadi korban tindak pidana maka pemerintah dianggap gagal dalam memenuhi kewajibannya yakni mencegah atau melindungi masyarakat dari kejahatan. Perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis dan sosial. 49 Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkret dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku.
49
Ibid. hal. 20-21.
Gelaway merumuskan 5 tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
meringankan penderitaan korban; sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana; mempermudah proses peradilan; dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam. 50 Tujuan dari kewajiban mengganti kerugian tersebut dijelaskan lebih
lanjut oleh Joice Soraya, bahwa: Tujuan pertama, untuk meringankan penderitaan korban dapat dipahami sebagai upaya meringankan beban korban, baik penderitaan fisik maupun non fisik. Akan tetapi harus pula ditentukan kerugian apa saja yang kiranya layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan dibebankan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pelaku. Tujuan kedua, ganti kerugian yang hanya dapat diterapkan untuk jenis pidana yang dapat diganti dengan bentuk lain yang memberikan efek meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Tujuan ketiga, berkenaan dengan persepsi dan sikap masyarakat dalam menerima kembali kehadiran pelaku kejahatan. Sikap untuk memilih memberikan ganti kerugian kepada korban akan lebih memberi peluang kepada pelaku untuk masuk kembali sebagai anggota masyarakat dibandingkan jika ia harus menjalani masa pidana. Tujuan keempat, akan mempermudah proses peradilan. Tujuan kelima, berkaitan dengan tujuan ketiga yang merupakan langkah untuk mereduksi reaksi masyarakat berupa tindakan balas dendam. Inti tujuan dari kewajiban pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat dan tolok ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajiban sebagai manusia. Untuk itu diperlukan aturan dalam perundang-undangan yang tegas, sederhana dan mudah dimengerti sehingga dapat dihindari adanya diskriminasi dalam penerapan dari penegakan hukum ataupun intimidasi dari pihakpihak tertentu yang akan lebih memperburuk posisi korban dalam
50
Ibid. hal.18.
penderitaan berkepanjangan. Pada tahap ini korban akan menderita kerugian sebagai korban kejahatan dan sebagai korban struktural. 51 b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis Korban perdagangan orang memiliki hak atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Pasal 51 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hal ini merumuskan bahwa: (1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. (2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalahmasalah kesehatan dan sosial di daerah. Penjelasan Pasal 51 lebih lanjut merumuskan: Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rehabilitasi kesehatan” dalam ketentuan ini adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis. Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” dalam ketentuan ini adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan
51
Ibid. hal.19.
memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut. Ayat (2) Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial, dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis merupakan tanggungjawab negara untuk melaksanakannya, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 52 UU No. 21 tahun 2007 sebagai berikut: (1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. (2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. (3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari tindak pidana trafficking, dapat bersifat fisik maupun psikis. Farhana dan Mimin Mintarsih memberikan penjelasan bahwa: Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar
yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena itu diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping korban harus bisa mengusahakan agar dirinya tetap berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya. 52 Joice Soraya dipihak lain berpendapat bahwa: Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban. Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang yang dipercaya dan dapat menimbulkan rasa aman terhadap dirinya. Di beberapa negara bantuan yang berbentuk konseling disediakan oleh negara atau lembaga independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban kejahatan. Konseling bagi korban di Indonesia dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang banyak di kota besar. Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan laporan tertulis atau visum. 53 c. Bantuan Hukum Pemeriksaan terhadap korban perdagangan orang yang masih anakanak, wajib didampingi oleh penasehat hukum atau wajib mendapatkan bantuan hukum. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 39 selengkapnya merumuskan: (1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orangtua, wali, orangtua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. (3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
52 53
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.51. Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.21.
Pendampingan
hukum
terhadap
korban
trafficking
sangat
diperlukan, karena kebanyakan korban tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah
hukum
apa
saja
yang
bisa
ditempuh
untuk
menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Farhana dan Mimin Mintarsih, bahwa: Korban trafficking hendaknya diberikan bantuan hukum. Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib memfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga Swadaya Masyarakat juga mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap korban tindak pidana termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disebabkan banyak dari korban yang tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur pelaporan ke pihak POLRI, kemudian bagaimana mendapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang bukti, serta langkahlangkah hukum lain yang tidak diketahui oleh korban karena tidak mempunyai pengetahuan khusus untuk itu. Dengan demikian pemberian bantuan hukum terhadap korban, diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban, karena masih banyak korban yang memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak, dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban trafficking. 54 d. Pemberian Informasi Informasi wajib diberikan kepada korban atau keluarganya selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Pasal 36 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hal ini merumuskan: (1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. 54
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.51-52.
(2) Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Penjelasan Pasal 36 merumuskan bahwa: Ayat (1) Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan. Pemberian informasi juga berkaitan dengan peran serta masyarakat sebagai upaya membantu, mencegah, dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 60 UU No.21 Tahun 2007 dalam hal ini merumuskan: (1) Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana, maka korban sangat memerlukan informasi yang berperan penting dalam menerapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Hal ini sejalan dengan pendapat Joice Soraya bahwa: Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya, berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat
kepolisian, karena melalui informasi diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya adalah melalui website dibeberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional. 55 D. Pengaturan dan Kebijakan Pemerintah dalam Menangani Korban Perdagangan Orang Kebijakan perlindungan pada korban pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perlindungan. Berdasarkan konsep tersebut, peran negara guna menciptakan suatu kesejahteraan sosial tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan materiil dari warga negaranya, tetapi lebih dari itu guna terpenuhinya rasa kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas. Indonesia telah memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Perlindungan Korban Kejahatan yaitu melalui UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, Indonesia juga memiliki beberapa ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum. Perundangundangan yang di dalamnya memberikan pengaturan tentang perlindungan korban kejahatan, diantaranya: 1. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam KUHP dapat dijumpai sejumlah pasal yang menunjukkan bahwa sejak dahulu atau sejak KUHP diberlakukan, perdagangan manusia dianggap sebagai perbuatan yang tidak manusiawi yang layak mendapat sanksi pidana. Pasal 297 KUHP secara tegas melarang dan mengancam dengan pidana 55
Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.22.
perbuatan memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki. Ketentuan tersebut secara lengkap merumuskan: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 56 Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum tidak memberikan penjelasan mengenai kata “perdagangan”.
R. Soesilo memberi penjelasan terhadap
Pasal 297, bahwa: … yang dimaksudkan dengan perniagaan atau perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula disini mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirimkan ke luar negeri yang maksudnya tidak lain akan dipergunakan untuk pelacuran… 57 Penjelasan R. Soesilo tersebut mempersempit arti dari memperniagakan kepada tujuan “prostitusi”. Penjelasan R. Soesilo kemudian diperkuat oleh Noyon-Langemeyer seperti dikutip oleh Wirjono Prodjodikoro, yang mengatakan bahwa: Perdagangan perempuan harus diartikan sebagai: semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan tergantung dari kemauan orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga (prostitusi). Dalam pengertian tersebut tidak termasuk suatu perdagangan budak belian pada umumnya. 58 Dilihat dari rumusan dalam Pasal 297, memang tidak ada unsur pembatasan tujuan perdagangan perempuan dan anak laki-laki, sehingga
56
Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta. Bumi Aksara.
hal.109. 57
R. Soesilo. 1995. KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politea. hal.217. 58 Wirjono Prodjodikoro. 1980. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta. PT Eresco. hal.128-129.
seharusnya pasal ini dapat saja dikenakan pada siapapun yang melakukannya, terlepas dari tujuannya. Pasal 301 melarang dan mengancam pidana paling lama 4 tahun penjara terhadap seseorang yang menyerahkan seorang anak berumur di bawah 12 tahun yang dibawah kuasanya yang sah, sedang diketahuinya anak itu akan dipakai untuk atau akan dibawa waktu mengemis atau dipakai untuk pekerjaan yang berbahaya atau pekerjaan yang merusak kesehatannya. Pasal 301 rumusannya sebagai berikut: Barangsiapa memberi atau menyerahkan kepada orang lain seorang anak yang ada dibawah kekuasaannya yang sah dan umurnya kurang dari dua belas tahun, padahal diketahui bahwa anak itu akan dipakai untuk melakukan pengemisan atau untuk pekerjaan yang berbahaya, atau yang dapat merusak kesehatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pasal 301 khusus bagi perbuatan yang korbannya adalah anak-anak di bawah 12 tahun, dengan pelakunya adalah orang yang mempunyai kuasa yang sah atas anak tersebut, misalnya orangtua atau wali. Bila dihubungkan dengan Pasal 297 KUHP, maka pasal ini subyeknya terbatas pada orang yang punya kuasa yang sah terhadap anak tersebut. Batasan usia korban lebih jelas yaitu dibawah 12 tahun dan tujuan pemindahan penguasaan si anak lebih luas, tidak semata-mata untuk prostitusi. Pasal 324 KUHP mengatur tentang perniagaan budak. Pasal 324 KUHP rumusannya sebagai berikut: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun.
(Pasal 324 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Kata perniagaan atau perdagangan dalam pasal ini tidak harus ditafsirkan membeli kemudian menjualnya kembali. Perbuatan membeli saja atau menjual saja sudah masuk dalam lingkup ketentuan pasal ini. Dalam pasal ini ada unsur keterlibatan pelaku tidak secara langsung. Kata turut serta dalam pasal ini harus diartikan sebagai terjadinya penyertaan yang diatur dalam Pasal 55, 56, dan 57 KUHP, yang bentuknya dapat berupa menyuruh, menggerakkan, turut melakukan ataupun membantu melakukan yang dapat diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku. Pertanggungjawaban pidana yang terdapat dalam Pasal 324 baru sebatas terhadap orang, dan belum mencantumkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku perdagangan/perniagaan budak. Sistem perumusan pidananya pun baru berupa sistem pidana tunggal, dan belum mencantumkan adanya ganti rugi yang dapat diterima oleh korban kejahatan. Pasal 325 KUHP mengatur pidana terhadap nahkoda kapal yang mengangkut budak untuk diperjualbelikan. Pasal 325 tersebut selengkapnya merumuskan bahwa: Barang siapa sebagai nahkoda bekerja atau bertugas di kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak, atau dipakai kapal itu untuk perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini adalah menjalankan pekerjaan sebagai nahkoda padahal mengetahui kapal digunakan untuk menjalankan perniagaan budak atau memakai kapal untuk perniagaan budak. Jika Pasal 325 mengatur pidana tentang nahkoda kapal yang kapalnya dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak, maka Pasal 326 KUHP mengatur pidana tentang awak kapal yang bekerja di sebuah kapal yang dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak. Adapun rumusan Pasal 326 adalah sebagai berikut: Barangsiapa bekerja sebagai awak kapal di sebuah kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan atau keperluan perniagaan budak, atau dengan sukarela tetap bertugas setelah mendengar kapal itu dipergunakan untuk tujuan atau keperluan perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal yang berlaku khusus bagi anak buah kapal ini melarang perbuatan masuk bekerja sebagai anak buah kapal padahal mengetahui kapal digunakan untuk perniagaan budak atau dengan kemauan sendiri tetap menjadi anak buah kapal walaupun mengetahui kapal digunakan untuk perniagaan budak. Perbuatan awak kapal yang bekerja di sebuah kapal yang dipergunakan untuk perniagaan budak, adalah perbuatan yang diancam pidana dimana awak kapal adalah murni sebagai pelaku. Namun keterlibatan awak kapal dalam tindak pidana perdagangan manusia atau perniagaan budak, apabila dikaitkan dengan konsep penyertaan, dapat digolongkan sebagai orang yang membantu atau memudahkan terjadinya perdagangan manusia atau perniagaan budak tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 324. Seperti halnya dengan nahkoda, ancaman pidana bagi awak kapal yang dapat
digolongkan sebagai pembantu tindak pidana atau turut serta tidak mengikuti Pasal 57 KUHP yang mengurangi sepertiga dari pidana pokok, namun ditetapkan secara khusus. Selain pasal-pasal tersebut di atas, dalam KUHP juga mengatur ancaman pidana terhadap keterlibatan seseorang dalam tindak pidana perdagangan budak dengan cara turut campur dalam (1) menyewakan, (2) memuati, atau (3) menanggung asuransi kapal yang diketahuinya dipakai untuk perniagaan budak belian. Pasal 327 KUHP secara lengkap merumuskan sebagai berikut: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain, secara langsung atau tidak langsung bekerja sama untuk menyewakan, mengangkutkan atau mengasuransikan sebuah kapal, sedang diketahuinya bahwa kapal itu dipergunakan untuk tujuan perniagaan budak, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Menurut pasal ini bila yang disewakan, dimuati, diasuransikan adalah kapal maka yang harus diberlakukan adalah Pasal 327, namun apabila alat transportasinya bukan kapal, maka yang berlaku adalah Pasal 324. Dalam Pasal 327 terdapat unsur penyertaan yaitu antara penyewa atau pengangkut dengan pemilik, apabila mengetahui bahwa kapal dipergunakan untuk perniagaan budak. Namun dalam pasal tersebut, penyewa atau pengangkut dan pemilik mendapat ancaman pidana yang lebih rendah daripada nahkoda dan awak kapal yang bekerja di kapal yang dipergunakan sebagai sarana perniagaan budak.
Penculikan adalah salah satu dari tindak pidana lain yang berhubungan dengan perdagangan manusia. Penculikan diatur dalam Pasal 328 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut: Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara. Pada waktu membawa pergi, pelaku harus mempunyai maksud untuk membawa korban dengan melawan hak di bawah kekuasaannya sendiri atau kekuasaan orang lain atau menjadikannya terlantar. Pasal 329 mengatur tentang masalah-masalah penipuan dalam mencari pekerjaan. Pasal 329 rumusannya adalah sebagai berikut: Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang itu telah membuat perjanjian untuk bekerja di suatu tempat tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 329 KUHP dimaksudkan untuk mengatasi masalah penipuan dalam mencari pekerjaan. Bila dihubungkan dengan masalah perdagangan manusia, maka unsur yang penting dan harus dibuktikan adalah penipuannya itu karena pada awalnya pasti telah ada persetujuan dari korban untuk dibawa bekerja ke suatu tempat. Pasal 330 KUHP adalah salah satu tindak pidana lain yang berhubungan dengan kejahatan perdagangan manusia. Pasal ini hampir sama
dengan pasal penculikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 328 KUHP, namun yang membedakan adalah orang yang sengaja ditarik masih belum dewasa dan tidak ada unsur maksud membawa orang itu dengan melawan hak di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain atau agar orang itu terlantar. Adapun rumusan Pasal 330 KUHP selengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 330 ayat (1) KUHP mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 7 tahun, sedangkan Pasal 330 ayat (2) KUHP merupakan delik pemberatan, yaitu apabila dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau apabila korban belum berumur dua belas tahun, maka pelaku diancam dengan pidana penjara yang lebih berat, yaitu 9 tahun. Pasal 331 KUHP melarang perbuatan orang menyembunyikan yang belum dewasa dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari pengusutan pejabat kehakiman atau kepolisian. Perbuatan ini diancam dengan penjara paling lama empat tahun, atau jika anak itu berumur di bawah dua belas tahun, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Rumusan Pasal 331 KUHP adalah sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, atau jika anak itu umurnya dibawah dua belas tahun, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 331 KUHP mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara paling lama 4 tahun, dan memiliki delik pemberatan, yaitu apabila orang yang disembunyikan umurnya dibawah 12 tahun, maka pelaku diancam dengan pidana penjara yang lebih berat, yaitu 7 tahun. Pasal 332 KUHP mengatur tentang ancaman pidana terhadap orang yang membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur. Rumusan Pasal 332 KUHP adalah sebagai berikut: (1) Bersalah melarikan wanita diancam dengan pidana penjara: 1. paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orangtuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya, dengan maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan; 2. paling lama sembilan tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan. (3) Pengaduan dilakukan: 1. jika wanita ketika dibawa pergi belum dewasa, oleh dia sendiri atau orang lain yang harus memberi izin bila dia kawin; 2. jika wanita ketika dibawa pergi sudah dewasa, oleh dia sendiri atau oleh suaminya. (4) Jika yang membawa pergi lalu kawin dengan wanita yang dibawa pergi dan terhadap perkawinan itu berlaku aturan aturan Burgerlijk Wetboek, maka tak dapat dijatuhkan pidana sebelum perkawinan itu dinyatakan batal. Dalam pasal ini terdapat ancaman pidana terhadap orang yang membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur meskipun dengan
kemauannya sendiri. Apabila tindakan membawa pergi perempuan bertujuan untuk mengeksploitasi perempuan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai perdagangan manusia/perempuan. Pasal ini juga memberikan pemberatan ancaman pidana terhadap pelaku yang melarikan wanita dengan menggunakan tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan. Pasal 332 KUHP merupakan delik aduan absolut, yaitu harus ada pengaduan terlebih dahulu untuk menuntut perbuatan pelaku. Menurut Pasal 332 ayat (3), jika wanita yang dibawa pergi belum cukup umur, pengaduan dilakukan oleh wanita itu sendiri atau orang lain yang harus memberi ijin bila wanita itu menikah (orangtua/wali), namun jika wanita yang dibawa pergi sudah cukup umur, maka pengaduan dilakukan oleh wanita itu sendiri atau suaminya. Pasal 332 KUHP memiliki delik pemberatan, yaitu paling lama 9 tahun terhadap pelaku yang melarikan wanita dengan menggunakan tipu muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan. Ada 3 perbuatan yang dapat dipidana oleh Pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan seseorang, meneruskan penahanan atau memberikan tempat untuk menahan, dengan melawan hak. Perbuatan secara melawan hukum, merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan penahanan, merupakan
perbuatan
yang
dapat
digolongkan
kedalam
kejahatan
perdagangan manusia, bila bertujuan untuk eksploitasi, sedangkan perbuatan memberikan tempat untuk menahan, dapat dikategorikan membantu perdagangan manusia, karena memberikan sarana untuk terjadinya kejahatan perdagangan manusia. Rumusan Pasal 333 KUHP adalah sebagai berikut:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (4) Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini berlaku juga bagi orang yang dengan sengaja memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan yang melawan hukum. Berdasarkan Pasal 333 KUHP ini terdapat pemberatan pidana karena akibat dari perbuatan merampas kemerdekaan tersebut, yaitu paling lama 9 tahun jika korban mengalami luka berat dan paling lama 12 tahun, jika mengakibatkan korban mati. Unsur pasal yang terdapat dalam Pasal 297, 330, 331, dan 332, yang menyebutkan “belum cukup umur” dapat menimbulkan permasalahan tersendiri karena dalam KUHP tidak ada satu ketentuan pun yang secara tegas memberikan batasan usia belum dewasa atau belum cukup umur. Dalam pasal-pasal yang mengatur tentang korban di bawah umur, ada pasal yang hanya sekedar menyebutkan bahwa korbannya harus di bawah umur (Pasal 283, 292, 293, 295, 297, 300, 330, 331, 332), tetapi ada pula pasal-pasal yang secara khusus menyebutkan usia 12 tahun (Pasal 287, 301, 330, 331), dan usia 15 tahun (Pasal 287, 290), 17 tahun (Pasal 283). Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, maka tidak ada patokan yang jelas mengenai unsur ini. Apabila berpegang pada usia dewasa menurut BW, maka belum berusia 21 tahun atau belum menikah lah yang menjadi batas untuk menentukan bahwa orang tersebut belum dewasa. Akan tetapi bila mengikuti UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka batas
usia belum dewasa adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, sedangkan menurut UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dapat digolongkan sebagai “anak” adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Moeljatno menuliskan dalam catatan penerjemah pada KUHP, bahwa: Menurut Staatsblad 1931 No.54, jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjarig” (belum cukup umur) terhadap golongan bumiputera, maka yang dimaksud ialah mereka yang umurnya belum cukup dua puluh satu tahun dan belum kawin sebelumnya. Jika sebelum umur dua puluh satu tahun, perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi “belum cukup umur”. 59 Pasal-pasal diatas (Pasal 297, 301, 324, 325, 326, 327, 329, 330, 331 dan 332 KUHP) mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara. Sistem ini mewajibkan hakim untuk menentukan atau menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku, namun belum ada mengenai ganti rugi yang dapat diperoleh korban perdagangan manusia akibat perbuatan pelaku. Dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentuk perlindungan secara tidak langsung karena belum mencantumkan perlindungan secara langsung atau konkret misalnya adanya ganti rugi. Selain memberikan perlindungan terhadap korban perdagangan manusia secara tidak langsung (abstrak), KUHP juga memberikan perlindungan secara langsung (konkret). Perlindungan secara langsung tersebut diatur dalam Pasal 14a dan Pasal 14c yang pada intinya menyatakan bahwa apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana 59
Moeljatno. 2001. Op.cit. hal.40.
kurungan, maka hakim dapat memerintahkan agar pidana tidak usah dijalani, dengan menetapkan syarat umum (terpidana tidak akan melakukan tindak pidana), maupun syarat khusus yaitu terpidana dalam waktu tertentu, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi. Rumusan Pasal 14a adalah sebagai berikut: (1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu. (2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat (2). (3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan. (5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaankeadaan yang menjadi alasan perintah itu. Pasal 14c merumuskan bahwa: (1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan. (3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik terpidana. Berdasarkan pasal tersebut, korban tindak pidana perdagangan manusia dapat memperoleh ganti kerugian atau restitusi dari pelaku tindak pidana perdagangan manusia, namun ganti kerugian itu hanya bisa didapatkan oleh korban apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana kurungan, dan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, diberikan sebagai syarat agar pelaku tersebut tidak menjalani pidana penjaranya. Jadi pelaku dapat bebas dari pidana atas perbuatannya dengan memberikan ganti kerugian kepada korban kejahatan. Hal ini tentu saja kembali menimbulkan rasa ketidakadilan pada korban. KUHP memberikan perlindungan kepada korban perdagangan manusia, berupa penggantian kerugian yang diderita korban perdagangan manusia yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia melalui ketetapan hakim dalam menjatuhkan pidana, yaitu pidana bersyarat atau sebagai pengganti pidana pokok. Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korban kejahatan berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan ini tidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu: a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, jadi hanya sebagai “syarat khusus” untuk dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan; c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. 60 2. Berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP Selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan dengan diperiksa dan diadilinya pelaku kejahatan, telah melindungi korban kejahatan secara tidak langsung karena pelaku kejahatan tidak akan lagi mengganggu masyarakat/korban,
namun
pelaku
kejahatan
bertanggungjawab
secara
pidana/dihukum,
tidak
cukup
hanya
tetapi
juga
harus
bertanggungjawab secara keperdataan supaya semakin menambah efek jera sekaligus bertanggungjawab secara pribadi kepada korban. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatur beberapa hak hukum yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu proses peradilan pidana, yaitu: a. Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, terhadap tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan. Hal ini penting untuk diberikan guna menghindari adanya upaya dari pihakpihak tertentu dengan berbagai motif (politik, uang, dan sebagainya) yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan, karena bagaimanapun juga dalam suatu proses pemeriksaan pidana, sekalipun pelaku/tersangka berhadapan dengan negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum, tetapi korban sebagai pihak pelapor dan/atau yang menderita kerugian tetap berkepentingan atas pemeriksaan tersebut. b. Hak korban kejahatan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagi saksi. Kesaksian dari (saksi) korban sangat penting untuk memperoleh suatu kebenaran materil, oleh karena itu, untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi perlu sikap pro-aktif dari aparat penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya pada saat mengajukan diri sebagai saksi. 60
Barda Nawawi Arief. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana. Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.1 1998. hal.17.
c. Hak untuk menuntut ganti kerugian yang diderita akibat kejahatan. Hak ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada korban suatu tindak pidana dalam mengajukan gugatan ganti kerugian, yaitu melalui cara percepatan proses pemberian ganti kerugian kepada pihak korban kejahatan atau keluarganya oleh tersangka melalui penggabungan perkara pidananya dengan gugatan ganti kerugian. Perlu kiranya diketahui bahwa permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir maka permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. d. Hak bagi keluarga korban untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi melakukan otopsi. Mengijinkan atau tidak mengijinkan polisi untuk melakukan otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan korban kejahatan, mengingat masalah otopsi ini bagi beberapa kalangan sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat istiadat, serta aspek kesusilaan/kesopanan lainnya. 61 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melalui Pasal 98-101 memberikan kesempatan kepada korban tindak pidana perdagangan manusia untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku perdagangan manusia melalui penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Rumusan Pasal 98 KUHAP adalah sebagai berikut: (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. (2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. Menurut Pasal 98 KUHAP, korban yang mengalami kerugian dapat menuntut ganti rugi melalui penggabungan gugatan ganti kerugian dengan diajukan sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Pasal 99
61
Theo. 2003. Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi. Jakarta. Media Hukum dan Keadilan Vol. II. No.9. Juni 2003. hal.31.
KUHAP menyatakan putusan hakim mengenai tuntutan ganti rugi tersebut hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Jadi berdasarkan Pasal 99 KUHAP, korban hanya berhak mendapatkan ganti rugi sebanyak biaya yang telah dikeluarkan oleh korban dalam tindak pidana tersebut. Pasal 99 KUHAP belum memungkinkan korban untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma) yang dialami korban. Rumusan Pasal 99 KUHAP adalah sebagai berikut: (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Berdasarkan Pasal 100 KUHAP, penggabungan perkara gugatan ganti kerugian juga berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Namun apabila perkara pidananya tidak mengajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Pasal 100 KUHAP merumuskan bahwa: (1) Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Ketentuan dan aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain. Pasal 101 KUHAP merumuskan: Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain. Pasal-pasal dalam KUHAP tersebut belum memberikan pengaturan mengenai pelaku yang tidak sanggup atau tidak mau membayar ganti rugi. 3. Berdasarkan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Perlindungan korban sebagai akibat dari terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat telah diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia berupa perlindungan fisik dan mental terhadap saksi dan korban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. Pasal 34 merumuskan bahwa: (1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. (3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mengenai hal ini, Harkristuti Harkrisnowo, dalam sebuah seminar menyatakan: Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat seharusnya hak-hak korban dan saksi lebih diperhatikan, hal ini berkenaan dengan para tersangka
yang umumnya berasal dari kelompok yang setidaknya pernah memegang kekuasaan dan memiliki akses pada senjata. 62 Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi ini dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum dan aparat keamanan dan/atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban. Bentuk perlindungan hukum lainnya adalah dalam bentuk pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada korban. Rumusan Pasal 35 adalah sebagai berikut: (1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan/atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. (2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. (3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Khusus mengenai pemberian restitusi terhadap korban kejahatan, Soedjono Dirjosisworo berpendapat bahwa: Namun mengenai restitusi betapapun akan sukar dilaksanakan karena apabila apa yang harus diterima korban dari pelaku atau orang ketiga tidak dapat dipenuhi karena ketidakmampuan yang benar-benar dapat dibuktikan atau karena pelaku tidak rela membayar sebab ia harus menjalani pidana yang berat.63 4. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Banyaknya kasus kekerasan serta perdagangan anak yang terjadi di Indonesia dianggap sebagai salah satu indikator buruknya kualitas perlindungan anak. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup
62
Harkristuti Harkrisnowo. 2002. Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, Makalah disampaikan pada Roundtable Discussion. Jakarta. 63 Soedjono Dirdjosisworo. 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti. hal.102.
mandiri tentunya sangat membutuhkan orang-orang sebagai tempat berlindung. Rendahnya kualitas perlindungan anak di Indonesia banyak menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan hukum kepada anak sehingga anak dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia. Padahal berdasarkan UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua. Pasal 3 UU No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak merumuskan bahwa: Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah memuat ketentuan mengenai perdagangan anak dalam beberapa pasalnya, antara lain pada Pasal 78 memberikan ancaman pidana kepada orang yang melakukan pembiaran terhadap anak padahal diketahuinya bahwa anak itu adalah korban perdagangan manusia. Rumusan Pasal 78 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 78 UU No.23 Tahun 2002, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
mengetahui dan sengaja membiarkan anak; dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60; anak yang berhadapan dengan hukum; anak dari kelompok minoritas dan terisolasi; anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; anak yang diperdagangkan; anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza); h. anak korban penculikan; i. anak korban perdagangan; j. anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59; k. padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu. Apabila unsur di point a dan k terpenuhi, kemudian salah satu dari unsur point b sampai dengan j, maka terpenuhilah delik dalam Pasal 78 ini. Anak menurut rumusan Pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 adalah: Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 83 UU No.23 Tahun 2002 memberikan ancaman pidana kepada orang yang memperdagangkan anak untuk diri sendiri atau dijual. Rumusan Pasal 83 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 83 UU No.23 Tahun 2002, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d. e.
memperdagangkan; menjual; atau menculik anak; untuk diri sendiri; atau untuk dijual.
5. Berdasarkan UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Dasar
pertimbangan
perlunya
undang-undang
yang
mengatur
perlindungan korban kejahatan (dan saksi) untuk segera disusun dengan jelas dapat dilihat pada konsiderans menimbang huruf b UU No.13 Tahun 2006, merumuskan bahwa: Bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Pada saat saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan, tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Hal inilah yang menjadi tujuan dari UU No.13 Tahun 2006. Dalam UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga diatur adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang dapat disingkat dengan LPSK yaitu lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban.
Perlindungan yang dimaksud dalam undang-undang ini dirumuskan dalam Pasal 1 angka 6, yaitu: Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Tujuan perlindungan berdasarkan Pasal 2 UU No.13 Tahun 2006 adalah: Undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. UU No.13 Tahun 2006 memberikan perlindungan secara langsung atau konkret dan secara tidak langsung atau abstrak. Hampir secara keseluruhan dari Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban ini mengatur tentang upaya melindungi korban kejahatan secara konkret atau langsung, namun beberapa pasal dalam undang-undang ini mengatur pemberian perlindungan terhadap korban secara abstrak atau tidak langsung, antara lain: Pasal 37 memberikan sanksi pidana terhadap orang yang memaksakan kehendaknya
sehingga
menyebabkan
saksi
dan/atau
korban
tidak
memperoleh perlindungan baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu. Rumusan Pasal 37 UU No.13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 37 UU No.13 Tahun 2006 memberi rumusan tindak pidana, yaitu: a. memaksakan kehendaknya; b. baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu; c. yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan; d. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d; e. sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun. Pasal 37 memberikan perlindungan terhadap keamanan saksi dan/atau korban baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara lain yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak dapat memberikan kesaksian pada tahap pemeriksaan manapun, baik penyidikan, penuntutan, maupun pengadilan. Pasal 38 UU No.13 Tahun 2006 melarang orang untuk menghalanghalangi dengan cara apapun agar saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan. Pasal 38 selengkapnya merumuskan bahwa: Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 38 UU No.13 Tahun 2006, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. menghalang-halangi dengan cara apapun; b. sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan; c. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1). Pasal 38 memberikan perlindungan terhadap keamanan saksi dan/atau korban dengan cara apapun, cara-cara lain yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan. Dalam Pasal 39 UU No.13 Tahun 2006, telah terjadi perluasan pemberian perlindungan yang tidak lagi terbatas hanya kepada korban kejahatan, namun juga kepada keluarga korban. Rumusan Pasal 39 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 39 UU No.13 Tahun 2006, memberikan rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya; b. kehilangan pekerjaan; c. karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan. Pasal 39 memberikan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban beserta keluarganya dari kehilangan pekerjaan karena saksi dan/atau korban memberikan keterangan yang benar di sidang pengadilan.
Pasal 40 memberikan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan. Pasal 40 secara lengkap merumuskan: Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hakhak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 40 UU No.13 Tahun 2006, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
menyebabkan dirugikannya; atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1); karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan. Pasal 40 memberikan perlindungan terhadap dirugikannya atau
dikuranginya hak-hak saksi dan/atau korban keamanan saksi dan/atau korban baik disengaja maupun tidak dan dengan cara apapun, karena korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan. Larangan terhadap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK, dirumuskan dalam Pasal 41 UU No.13 Tahun 2006 sebagai berikut: Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 41 UU No.13 Tahun 2006, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d. e.
memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban; yang tengah dilindungi; dalam suatu tempat khusus; yang dirahasiakan oleh LPSK; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j. Pasal 41 UU No.13 Tahun 2006 memberikan perlindungan terhadap
keamanan saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi oleh LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Saksi dan korban yang sedang dilindungi LPSK, harus dirahasiakan keberadaannya, dan orang yang memberitahukan tentang keberadaan saksi dan/atau korban dengan cara apapun dapat dikenai pidana. 6. Berdasarkan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
memberikan
definisi
yang
lebih
khusus
lagi
dibandingkan KUHP dan memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai wujud perlindungan terhadap korban perdagangan manusia. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 2 UU No.21 Tahun 2007 mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik secara melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi. Pasal 2 merumuskan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 2 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat; c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain; d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut; e. Di wilayah Negara Republik Indonesia. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b, kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 undang-undang ini. Selanjutnya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) merumuskan bahwa: Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frase “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Sedangkan pengertian eksploitasi yang dimaksudkan dalam UU No.21 Tahun 2007, dirumuskan pada Pasal 1 angka 7 sebagai berikut: Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Pasal 3 UU No.21 Tahun 2007, memberikan pengaturan pidana terhadap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk dieksploitasi baik di wilayah Negara Republik Indonesia maupun di negara lain. Orang yang melakukan tindak pidana ini diancam dengan pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun serta denda minimal Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan maksimal Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Rumusan Pasal 3 UU No.21 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 3 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. Memasukkan orang; b. Ke wilayah Negara Republik Indonesia; c. Dengan maksud untuk dieksploitasi;
d. Di wilayah Negara Republik Indonesia; e. Atau dieksploitasi di negara lain. Unsur di point a, b, c, dan d dapat digunakan apabila pelaku perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat tujuan perdagangan manusia atau tujuan eksploitasi, sedangkan point e digunakan apabila pelaku menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai tempat transit atau persinggahan sebelum pelaku membawa korban perdagangan manusia ke negara lain sebagai tempat tujuan. Berbeda dengan Pasal 3, Pasal 4 UU No.21 Tahun 2007 memberikan pidana kepada setiap orang yang membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Rumusan Pasal 4 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang membawa Warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 4 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
membawa warga negara Indonesia; ke luar wilayah negara Republik Indonesia; dengan maksud untuk dieksploitasi; di luar wilayah negara Republik Indonesia. Unsur di point a, b, c, dan d dapat digunakan apabila pelaku
perdagangan manusia menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai
sumber perdagangan manusia untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia. Pasal 5 memberikan larangan kepada setiap orang untuk melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi. Rumusan Pasal 5 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 5 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
melakukan pengangkatan anak; dengan menjanjikan sesuatu; atau memberikan sesuatu; dengan maksud untuk dieksploitasi. Pasal 5 UU No.21 Tahun 2007 memberikan perlindungan terhadap
anak sebagai korban perdagangan manusia dari usaha-usaha pengangkatan anak untuk mengeksploitasi anak tersebut. Pasal 6 UU No.21 Tahun 2007, memberikan larangan untuk melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Rumusan Pasal 6 selengkapnya adalah: Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 6 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
melakukan pengiriman anak; ke dalam atau ke luar negeri; dengan cara apa pun; mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Pasal 6 memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban
perdagangan manusia dari usaha-usaha pengiriman anak baik di dalam negeri (antar daerah) maupun ke luar negeri yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Definisi anak menurut rumusan Pasal 1 angka 5 UU No. 21 tahun 2007 adalah: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pasal 9 UU No. 21 Tahun 2007 mengatur tentang sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, namun tindak pidana itu tidak terjadi. Rumusan Pasal 9 adalah sebagai berikut: Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah). Pasal 9 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
berusaha; menggerakkan orang lain; supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang; tindak pidana itu tidak terjadi.
Pasal 9 memberikan pengaturan mengenai penggerak dari tindak pidana perdagangan manusia. UU No.21 Tahun 2007 tidak menjelaskan yang dimaksud dengan “menggerakkan orang lain” tersebut. Pasal 10, 11, dan 12 menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan, merencanakan, atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, menggunakan, atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana
perdagangan
orang,
mempekerjakan
korban
tindak
pidana
perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Ketentuan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU No.21 Tahun 2007 selengkapnya merumuskan sebagai berikut: Pasal 10: Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 11: Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Pasal 12: Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau
perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 sampai dengan Pasal 12 UU No.21 Tahun 2007 tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa delik pembantuan, percobaan, permufakatan jahat serta menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan manusia atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan manusia, diatur dengan pasal tersendiri dalam UU No.21 Tahun 2007 ini. Pasal-pasal tersebut mengatur bahwa pelaku yang memenuhi delik pembantuan, percobaan, permufakatan jahat serta menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan manusia atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan manusia, dipidana dengan pidana yang sama seperti pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 53 KUHP tentang percobaan, dimana apabila seseorang telah melakukan permulaan perbuatan namun tidak selesai bukan karena kehendak dari pelaku, maka hukumannya dikurangi sepertiga. Begitu pula dengan pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 56 dan 57 KUHP, dimana ancaman pidana bagi pelaku pembantuan dikurangi sepertiga dari pidana pokoknya. Selanjutnya pada Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 memberikan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia yang masih anak-anak. Jika tindak pidana seperti Pasal 2, 3, dan 4 dilakukan terhadap
anak, maka ancamannya ditambah sepertiga. Rumusan Pasal 17 adalah sebagai berikut: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 17 ini hanya memberi pemberatan pidana jika korban perdagangan manusia adalah anak-anak. Menurut undang-undang ini anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Seperti halnya tindak pidana memberi keterangan palsu pada dokumen Negara atau memalsukan dokumen Negara sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 19 yaitu: Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Penjelasan Pasal 19 merumuskan bahwa: Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat nikah, sedangkan “dokumen lain” meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.
Pasal 19 UU No. 21 tahun 2007 memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
Memberikan atau memasukkan keterangan palsu; Atau memalsukan; Dokumen negara atau dokumen lain; Untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Tindak pidana ini adalah tindak pidana lain yang berhubungan dengan
tindak pidana perdagangan manusia yang sering terjadi. Selama ini proses penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana ini baru menggunakan KUHP. Pasal 20 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan dengan kesaksian palsu, alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum. Pasal 20 selengkapnya merumuskan sebagai berikut: Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Pasal 20 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
memberikan kesaksian palsu; menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu; atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum; di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 21 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang berupa penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang. Pasal 21 merumuskan bahwa: (1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Penjelasan Pasal 21 merumuskan bahwa: Yang dimaksud dengan “petugas di persidangan” adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang. Pasal 21 tidak hanya memberi perlindungan kepada korban perdagangan manusia yang menjadi saksi di persidangan tindak pidana perdagangan manusia, namun juga memberi perlindungan hukum kepada petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan manusia. Pasal 21 memiliki delik pemberatan pidana karena akibat perbuatan pelaku yaitu sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 21 UU No.21 Tahun 2007 memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d.
melakukan penyerangan fisik; terhadap saksi atau petugas; di persidangan; dalam perkara tindak pidana perdagangan orang. Pasal 22 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang berupa mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 22 selengkapnya merumuskan bahwa: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 22 UU No.21 Tahun 2007 memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g.
dengan sengaja; mencegah, merintangi, atau menggagalkan; secara langsung atau tidak langsung; penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan; di sidang pengadilan; terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi; dalam perkara perdagangan orang. Pasal 22 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang dengan
sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara perdagangan manusia. KUHP melalui Pasal 221 sebenarnya telah memberi pengaturan mengenai hal tersebut, yaitu: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah: 1. barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh penjahat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian; 2. barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. (2) Aturan di atas tidak berlaku bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/isterinya atau bekas suami/isterinya. Namun Pasal 22 UU No.21 Tahun 2007 memberi pengaturan tersendiri dalam hal terjadinya delik terhadap persidangan tindak pidana perdagangan manusia dengan ancaman pidana yang lebih besar jika dibandingkan dengan ancaman pidana pada KUHP, yaitu pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat
puluh
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 23 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Rumusan Pasal 23 selengkapnya adalah: Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan: a. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. menyembunyikan pelaku; atau d. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 23 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana, yaitu: a. membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang; b. dari proses peradilan pidana; c. dengan cara: 1) memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku. 2) menyediakan tempat tinggal bagi pelaku. 3) menyembunyikan pelaku. 4) menyembunyikan informasi keberadaan pelaku. Pasal 23 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana. KUHP melalui Pasal 221 sebenarnya telah memberi pengaturan mengenai hal tersebut, namun UU No.21 Tahun 2007 memberi pengaturan tersendiri dalam hal terjadinya delik terhadap persidangan tindak pidana perdagangan manusia dengan ancaman pidana yang lebih besar jika dibandingkan dengan ancaman pidana pada KUHP, yaitu pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 24 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberi pengaturan tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban yang harus dirahasiakan. Pasal 24 merumuskan: Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah). Pasal 24 UU No.21 Tahun 2007 memberi rumusan tindak pidana sebagai berikut: a. memberitahukan identitas saksi atau korban; b. padahal kepadanya telah diberitahukan; c. bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan. Pasal 24 memberikan ancaman pidana terhadap pelaku yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan. Aturan dalam Pasal 24 memberi perlindungan terhadap keamanan saksi dan korban yang sebenarnya telah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun dalam Pasal 24 UU No.21 Tahun 2007, mengancam pidana terhadap pelaku yang memberitahukan identitas saksi dan korban kepada siapapun tanpa
melihat akibatnya, apakah keamanan saksi dan korban menjadi terancam ataupun tidak.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Ronny Hanitijo Soemitro memberikan pengertian mengenai pendekatan yuridis normatif sebagai berikut: Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan normanorma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup, dan terlepas dari sistem sosial lainnya. 64
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan dari obyek atau masalah yang diteliti tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang bersifat umum, khususnya untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt.
C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini data sekunder berupa Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt. Digunakan pula data sekunder dalam penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, dokumen, yurisprudensi. 64
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia. hal.13.
D. Metode Pengumpulan Data Data sekunder ini diperoleh dengan cara mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku literatur, dokumen dan putusan pengadilan atau yurisprudensi yang berkaitan dengan obyek atau materi penelitian.
E. Metode Penyajian Data Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis. Sistematis disini maksudnya adalah keseluruhan bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer yang diperoleh sebagai hasil penelitian akan dihubungkan satu dengan yang lainnya sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis menggunakan metode analisis normatif kualitatif, yaitu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, kemudian dilakukan pembahasan. Berdasarkan hasil pembahasan diambil kesimpulan secara induktif sebagai jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Soerjono Soekanto dalam hal ini memberikan pendapatnya bahwa normatif kualitatif yaitu dilakukan dengan cara menjabarkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum, teori-teori, serta doktrin hukum dan kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan. 65
65
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press. hal.98.
Sedangkan Roni Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa penelitian normatif adalah penelitian yang bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang bersifat ungkapan monografis. 66
66
Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Op.Cit. hal.98.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan manusia untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang. Oleh karena itu, untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Bantuan dan perlindungan terhadap korban adalah berkaitan dengan hakhak asasi korban seperti hak mendapatkan bantuan fisik, hak mendapatkan bantuan penyelesaian permasalahan, hak mendapatkan kembali haknya, hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi, hak memperoleh perlindungan dari ancaman, dan hak memperoleh ganti kerugian (restitusi/kompensasi) dari pelaku maupun negara. KUHAP hanya memberikan perlindungan hukum kepada korban dalam bentuk pemberian ganti kerugian melalui penggabungan perkara, dan tidak mengatur mengenai bentuk perlindungan hukum lainnya. Tidak diaturnya secara khusus perlindungan hukum untuk korban kejahatan khususnya korban perdagangan manusia telah menimbulkan ketidakadilan, karena seringkali Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban hanya menjatuhkan tuntutan atau Hakim hanya memberikan hukuman yang relatif ringan terhadap pelakunya. Namun
demikian kekosongan pengaturan dalam KUHAP ini telah teratasi dengan ditetapkannya UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt dijelaskan bahwa telah terjadi tindak pidana perdagangan anak yang dilakukan oleh DIDIK DWI DARYANTO terhadap korban EKO PUSPITA SARI yang berumur 15 tahun, dengan mempekerjakannya sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lokalisasi Gang Sadar Baturraden Purwokerto. Atas perbuatan tersebut, DIDIK DWI DARYANTO didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang dan melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Terdakwa ditahan berdasarkan Surat Perintah/Penetapan Penahanan sebagai berikut: 1. Penyidik sejak tanggal 07 Desember 2008 sampai dengan tanggal 26 Desember 2008. 2. Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 27 Desember 2008 sampai dengan tanggal 04 Januari 2009. 3. Penuntut Umum sejak tanggal 05 Januari 2009 sampai dengan tanggal 15 Januari 2009. 4. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 15 Januari 2009 sampai dengan tanggal 13 Februari 2009. 5. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 14 Februari 2009. Berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.08/Pid.
B/2008/PN.Pwt, diperoleh data sebagai berikut: 1. Keterangan Saksi-saksi Saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT Saksi masih di bawah umur dalam memberikan keterangan tidak disumpah. Menerangkan: - Umur saksi 15 tahun, lahir tanggal 16 Desember 1993 di Semarang dengan nama EKO PUSPITA SARI;
-
-
-
-
-
-
Saksi kenal Terdakwa pertama kali pada tahun 2008 dikenalkan oleh teman saksi ketika masih di Semarang; Ketika diperkenalkan, Terdakwa mempunyai pekerjaan sebagai bapak kost di Baturraden Purwokerto; Saksi menyatakan ingin ikut bekerja dan meminta alamat rumah Terdakwa, selanjutnya saksi datang sendiri ke rumah Terdakwa menggunakan travel dari Semarang ke Baturraden turun di depan Gang Sadar yang sudah ditunggu sendiri oleh Terdakwa; Saksi tidak ditawari oleh Terdakwa untuk menjadi PSK, tetapi saksi sendiri yang meminta ikut bekerja sebagai PSK dan menjadi anak kost terdakwa di Gang Sadar 2; Sebelumnya saksi pernah menjadi wanita panggilan selama satu tahun di Semarang; Saksi pernah sekolah sampai kelas III SMP dan keluar tahun 2008 karena orangtua tidak mampu membiayai; Terdakwa tidak mengetahui umur saksi yang sebenarnya karena pengakuan dan fotocopy KTP yang saksi serahkan kepada Terdakwa adalah palsu dimana dalam KTP nama saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT, tempat lahir Bandung tanggal 25 Desember 1990, tetapi Terdakwa tahu umur saksi pada waktu itu belum genap 18 tahun; Bahwa yang mengurus dan membuatkan KTP saksi adalah pacarnya bernama Rozi; Oleh karena umur saksi belum genap 18 tahun maka oleh Terdakwa tidak boleh langsung bekerja tetapi disuruh menunggu dan Terdakwa memberikan peraturan kerja yang harus ditaati diantaranya bekerja ikut Terdakwa sebagai PSK setiap melayani tamu jangka waktu 2 jam/short time mendapat bayaran Rp 100.000,00 dan bila diperpanjang maka bayarannya ditambah setiap 2 jamnya dikalikan Rp 100.000,00 dan uang Rp 100.000,00 yang saksi dapat setiap short time disetorkan kepada Terdakwa Rp 50.000,00 dan untuk saksi Rp 50.000,00. Setiap saksi melayani tamu dilakukan di hotel tempat tamu memesannya dan tidak pernah di rumah Terdakwa; Yang dimaksud MELAYANI TAMU adalah berhubungan intim layaknya suami isteri atau menemani tamu karaoke; Tamu bisa kenal dengan saksi dengan cara ada yang langsung datang sendiri ke rumah Terdakwa atau melalui penghubung; Saksi baru 2 minggu bekerja sebagai PSK di tempat Terdakwa dan setiap malam dapat melayani 1 sampai 2 orang tamu; Selama saksi bekerja di tempat Terdakwa telah menyetor sebanyak Rp 500.000,00. Bersama saksi ada 4 (empat) orang lain yang menjadi anak kost/PSK di rumah Terdakwa masing-masing bernama NOVI, MEMEY, NINDI, LILIS, dan saksi sendiri PUPUT. Pada hari Sabtu tanggal 6 Desember 2008 saksi di rumah Terdakwa telah diajak saksi Subagyo sebagai penghubung, untuk melayani tamu dan ketika
saksi menemui tamu yang memesannya kemudian setelah jalan ditanya identitasnya selanjutnya saksi dibawa ke kantor polisi dan diperiksa; - Saksi membenarkan surat-surat bukti yang diperlihatkan di persidangan. Atas keterangan tersebut, Terdakwa menyatakan benar. Saksi SUBAGYO Menerangkan: - Saksi bekerja sebagai tukang ojek di Lokawisata Baturraden dan kadang sebagai pengantar tamu di Gang Sadar 2; - Saksi sebagai pengantar tamu bertugas menemani tamu mencari PSK, menjemput di kompleks sesuai pesanan tamu atau mencari tempat penginapan; - Pada hari Sabtu 6 Desember 2008 sekitar pukul 23.15 WIB, saksi mendapat pesanan untuk mengambilkan PSK bernama PUPUT di rumah Terdakwa di Gang Sadar 2; - Setahu saksi, PUPUT adalah anak buah terdakwa dan sudah 2 minggu bekerja sebagai PSK; - Saksi sudah 3 kali menjemput saksi PUPUT untuk menemui tamu yang memesannya; - Setiap menjemput PSK pesanan tamu, saksi diberi upah Rp 10.000,00 oleh tamu dan Rp 10.000,00 oleh bapak/ibu kostnya; - Tarif PSK di baturraden setahu saksi setiap 2 jam Rp 100.000,00 dan uang tersebut oleh PSK diserahkan kepada pengasuhnya Rp 50.000,00 dan Rp 50.000,00 untuk keperluan PSK; - Bahwa Terdakwa sebagai pengasuh PSK berjalan 3 bulan dan memiliki 5 orang anak bernama PUPUT, NOVA, NINDI, MEMEY dan LILIS; - Saksi tidak mengetahui umur saksi korban; Atas keterangan Saksi tersebut Terdakwa menyatakan benar. Saksi TRIYONO alias TRIO Menerangkan: - Saksi bekerja di Gang Sadar 2 sebagai pencatat PSK yang keluar untuk menemui tamu; - Sebagai petugas pencatat, hal yang dicatat adalah nama PSK, germo dan nama penghubung atau calo; - Tujuan pencatatan adalah sebagai sarana kontrol keluarnya PSK dan juga untuk menarik uang jimpitan tiap PSK; - Saksi bertanggungjawab kepada Ketua Paguyuban warga kost Gang Sadar 1 dan 2 yaitu Haris Sukisno atau Harry Utoyo; - Pada hari Sabtu 6 Desember 2008 sekitar pukul 23.10 WIB saksi bertugas sebagai pencatat PSK mencatat ada PSK bernama PUPUT yang merupakan anak asuh terdakwa keluar dari Gang Sadar 2 untuk melayani tami dengan calo SUBAGYO; - Tarif PSK untuk waktu 2 jam adalah Rp 100.000,00 dan uang tersebut dibagi dua antara PSK dengan bapak kostnya masing-masing Rp 50.000,00.
-
Bagian untuk pengasuh disetorkan untuk paguyuban Rp 5.000,00 dan untuk calo Rp 10.000,00. - Saksi mengenal barang bukti catatan keluar PSK karena yang menulis saksi sendiri; Atas keterangan Saksi tersebut, Terdakwa menyatakan tidak keberatan. Saksi SRI UTAMI alias NOVA Menerangkan: - Saksi kenal dengan Terdakwa karena bertetangga, kemudian Saksi menawarkan diri ikut Terdakwa untuk bekerja sebagai PSK di Gang Sadar 2; - Saksi tinggal di kontrakan Terdakwa di Gang Sadar 2 bersama empat orang PSK lainnya, yaitu SULASTRI alias LILIS asal Pemalang, RETNO alias NINDI asal Semarang, SRI MARYANI alias MEMEY asal Tasikmalaya dan GIVA alias PUPUT asal Semarang; - Pekerjaan PSK adalah melayani tamu sesuai permintaan dan kebanyakan melakukan hubungan seks atau menemani karaoke; - Bayaran untuk jasa satu kali dengan jangka waktu 2 jam sebesar Rp 100.000,00 dan bila tamunya menambah waktu maka akan dikenakan tarif yang sama per dua jam; - Uang Rp 100.000,00 tersebut dibagi dua dengan Terdakwa, masing-masing Rp 50.000,00. - Uang Rp 50.000,00 yang diterima Terdakwa digunakan untuk calo Rp 10.000,00 dan untuk paguyuban sebesar Rp 5.000,00. Atas keterangan Saksi tersebut, Terdakwa menyatakan tidak keberatan. Saksi HARRIS SUKISNO alias HARRY UTOYO Menerangkan: - Saksi bekerja sebagai ketua paguyuban warga kost (PSK) Gang Sadar 1 dan Gang Sadar 2; - Tugas dan kewajiban ketua paguyuban adalah menjaga ketertiban dan keamanan, menjaga kesehatan lingkungan dan melestarikan kesejahteraan anggota; - Anggota paguyuban adalah pengasuh (mucikari) dan masing-masing pengasuh mempunyai PSK dengan jumlah yang berbeda-beda; - Kewajiban pengasuh yaitu melindungi keamanan, kesehatan dan kesejahteraan anak asuhnya; - Pengasuh berkewajiban membayar jimpitasn sebesar Rp 5.000,00 kepada paguyuban setiap ada anak asuhnya yang menemui tamu; - Terdakwa adalah salah satu anggota paguyuban dan telah menjadi mucikari di Gang Sadar 2 sejak Juni 2008; - Saksi mengetahui Terdakwa mempunyai anak asuh bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI; - PUPUT bekerja sebagai PSK di tempat Terdakwa sudah sekitar 3 minggu; - Setahu saksi, KTP yang ditunjukkan Terdakwa umur PUPUT baru 17 tahun 11 bulan belum genap 18 tahun;
-
Saksi telah berusaha mengingatkan Terdakwa agar sementara waktu tidak mempekerjakan PUPUT karena umurnya belum genap 18 tahun; - Tanggungjawab terhadap PSK apabila terjadi sesuatu adalah bapak asuhnya dalam hal ini adalah Terdakwa; Atas keterangan Saksi tersebut, Terdakwa menyatakan tidak keberatan. Saksi AGUNG KRIS HARTONO Menerangkan: - Pada hari Minggu tanggal 7 Desember 2008 sekitar pukul 00.30 WIB melaksanakan tugas penyelidikan bersama-sama dengan Aiptu GUNAWAN WIDODO, Brigadir SUSANTO dan Briptu PRIAMBODO; - Saksi bersama team selanjutnya pada saat itu melakukan penangkapan terhadap DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO karena yang bersangkutan telah mempekerjakan anak di bawah umur untuk dieksploitasi secara ekonomi dan seksualitas; - Bahwa yang dipekerjakan Terdakwa adalah anak perempuan bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun); - Saksi bersama team petugas Polwil Banyumas pada hari Jumat tanggal 5 Desember 2008 melaksanakan tugas penyelidikan di Gang Sadar dan mendapat informasi dari warga bahwa Terdakwa mempunyai anak buah bernama PUPUT yang masing sangat muda dan kemungkinan berusia di bawah 18 tahun; - Selanjutnya saksi menemui penghubung PSK yang diketahui bernama SUBAGYO dan memesan supaya diambilkan PSK bernama PUPUT anak buah terdakwa dan kemudian saksi dipertemukan dengan PSK bernama PUPUT; - Saksi PUPUT pada saat itu mengaku bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT dan lahir tanggal 25 Desember 1990 (masih kurang dari 18 tahun); - Setelah saksi mengetahui umur saksi korban belum genap 18 tahun, selanjutnya saksi melakukan pemeriksaan terhadap Terdakwa dengan meminta fotocopy KTP yang tertulis atas nama GIVA PUSPITA RAHMATALIA lahir di Bandung tanggal 25 Desember 1990; - Setelah Saksi mendapatkan fotocopy KTP selanjutnya melakukan pemeriksaan terhadap JUMIRAN orang tua PUPUT dan diketahui bahwa nama aslinya adalah EKO PUSPITASARI yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun); - Saksi benar mengetahui barang bukti yang diajukan di persidangan berupa: * 1 buah buku catatan PSK milik Terdakwa. * 1 lembar catatan keluar masuk PSK dari Pos Pencatatan keluar masuk PSK Gang Sadar 2 tertanggal 6 Desember 2008. * 1 lembar fotocopy Kartu Keluarga No.115013/97/06054 a.n. Jumiran. * 1 lembar fotocopy turunan Surat Kelahiran No.474.1/133A a.n. EKO PUSPITASARI.
Atas keterangan Saksi tersebut, Terdakwa menyatakan benar dan tidak keberatan. 2. Keterangan Terdakwa -
-
-
-
-
-
-
Keterangan Terdakwa dalam BPA sudah benar, Pada hari minggu 7 Desember 2008 sekitar pukul 00.30 WIB terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah ditangkap oleh Petugas Polwil Banyumas karena telah mempekerjakan anak di bawah umur untuk dieksploitasi secara ekonomi dan seksualitas; Perbuatan yang Terdakwa lakukan adalah pada hari Rabu tanggal 19 November 2008 telah melakukan perekrutan, menampung dan mempekerjakan seorang anak perempuan bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun) sebagai PSK di Gang Sadar 2; Terdakwa kenal dengan GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN pada hari Sabtu tanggal 15 November 2008 di Semarang dan sejak awal Terdakwa sudah mengetahui bahwa yang bersangkutan seorang PSK; Sebelum Terdakwa mempekerjakan PUPUT sebagai PSK di Gang Sadar 2, Terdakwa telah menjelaskan jenis pekerjaan yang harus dikerjakan, yaitu melayani tamu yang meminta berhubungan seks atau menemani karaoke dan harus mau karena setiap tamu yang memesan akan memberikan jasa berupa uang; Setiap menemani tamu selama 2 jam setiap PSK akan mendapat uang sebanyak Rp 100.000,00 dan bila waktunya bertambah maka setiap kelebihan 2 jam akan mendapat Rp 100.000,00. Uang jasa yang diterima, 50% untuk Terdakwa sebesar Rp 50.000,00 digunakan untuk: * Memberi komisi untuk calo PSK Rp 10.000,00. * Membayar jimpitan kepada paguyuban Rp 5.00,00. * Mencukupi kebutuhan tempat tinggal, makan, minum, dan hiburan untuk PSK di rumah Terdakwa; * Digunakan untuk kebutuhan hidup Terdakwa dan keluarganya. Selain PUPUT, Terdakwa juga mempekerjakan 4 orang PSK lainnya yaitu MEMEY, LILIS, NINDI, dan NOVA; Setiap PSK yang keluar dipesan tamu selalu dicatat dalam buku keluar dan yang dicatat adalah nama PSK, nama penghubung, dan jam keluar; PUPUT telah menjadi PSK di rumah Terdakwa selama 2 minggu dan setiap harinya melayani tamu antara 2 sampai 3 orang; Dari usahanya ini Terdakwa setiap bulan dapat menerima keuntungan penghasilan sebesar Rp 5.000.000,00; Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta belum pernah dihukum.
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum telah mendakwa Terdakwa dengan dakwaan yang disusun secara alternatif sebagai berikut: Pertama : Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kedua
: Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 88 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketiga
: Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 183 jo Pasal 74 ayat (2) huruf b UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Fakta hukum Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa sebagaimana diuraikan di atas, dihubungkan dengan barang bukti, ternyata mempunyai hubungan yang erat dan saling bersesuaian, sehingga dengan demikian Hakim memperoleh kenyataan yang dapat ditetapkan sebagai fakta hukum dalam perkara ini, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: -
-
-
Bahwa pada hari minggu 7 Desember 2008 sekitar pukul 00.30 WIB terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah ditangkap oleh Petugas Polwil Banyumas karena telah mempekerjakan anak di bawah umur untuk dieksploitasi secara ekonomi dan seksualitas; Bahwa Terdakwa kenal dengan GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN pada hari Sabtu tanggal 15 November 2008 di Semarang dan sejak awal Terdakwa sudah mengetahui bahwa yang bersangkutan seorang PSK; Bahwa selanjutnya Terdakwa pada hari Rabu tanggal 19 November 2008 telah melakukan perekrutan, menampung, dan mempekerjakan seorang anak perempuan bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias
-
-
-
-
-
-
-
EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun) sebagai PSK di Gang Sadar 2; Bahwa sebelum Terdakwa mempekerjakan PUPUT sebagai PSK di Gang Sadar 2, Terdakwa telah menjelaskan jenis pekerjaan yang harus dikerjakan, yaitu melayani tamu yang meminta berhubungan seks atau menemani karaoke dan harus mau karena setiap tamu yang memesan akan memberikan jasa berupa uang; Bahwa setiap menemani tamu selama 2 jam setiap PSK akan mendapat uang sebanyak Rp 100.000,00 dan bila waktunya bertambah maka setiap kelebihan 2 jam akan mendapat Rp 100.000,00; Bahwa setiap PSK yang menjadi anak asuh terdakwa melayani tamu dan mendapat uang jasa, maka dari uang jasa tersebut dibagi 2 besarnya 50% untuk Terdakwa dan 50% untuk asuhan terdakwa; Bahwa uang jasa 50% yang diterima Terdakwa sebesar Rp 50.000,00 dari short time selama 2 jam oleh Terdakwa digunakan untuk: * Memberi komisi untuk calo PSK Rp 10.000,00. * Membayar jimpitan kepada paguyuban Rp 5.000,00. * Mencukupi kebutuhan tempat tinggal, makan, minum, dan hiburan untuk PSK di rumah Terdakwa. * Digunakan untuk kebutuhan hidup Terdakwa dan keluarganya. Bahwa selain GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT, Terdakwa juga mempekerjakan 4 orang PSK lainnya yaitu MEMEY, LILIS, NINDI, dan NOVA; Bahwa Setiap PSK yang keluar dipesan tamu selalu dicatat dalam buku keluar dan yang dicatat adalah nama PSK, nama penghubung, dan jam keluar; Bahwa PUPUT telah menjadi PSK di rumah Terdakwa selama 2 minggu dan setiap harinya melayani tamu antara 2 sampai 3 orang; Bahwa dari usahanya ini Terdakwa setiap bulan dapat menerima keuntungan penghasilan sebesar Rp 5.000.000,00; Bahwa Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya; Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.
B. Pembahasan KUHP mengatur mengenai perdagangan orang, tetapi tidak secara khusus mengatur tentang perdagangan anak. Pasal 297 KUHP merumuskan bahwa: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Kekosongan hukum dalam hal pengaturan mengenai perdagangan anak ini terisi dengan ditetapkannya UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penjelasan Umum alinea 3 UU No.21 Tahun 2007 merumuskan bahwa: Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Penjelasan Umum alinea 5 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lebih jauh menegaskan: Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antar negara. Indonesia memberlakukan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk memberantas perdagangan orang domestik maupun internasional. Hubertus Ubur dalam hal ini mengatakan bahwa: UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini memberikan harapan karena definisi "perdagangan orang" sejalan dengan dengan definisi internasional yang terdapat di dalam Protokol Palermo untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan orang, terutama pada Perempuan dan Anak ("Protokol Palermo"). Meski demikian, undang-undang ini tidak mengadopsi sebuah perlindungan penting yang diberikan oleh Palermo Protocol, dengan mana "perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang anak untuk tujuan
eksploitasi dianggap sebagai 'perdagangan orang' bahkan apabila tidak melibatkan (ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk bentuk lain pemaksaan atau penculikan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan)". Hasil akhirnya adalah bahwa definisi untuk perdagangan orang di Indonesia kurang protektif dibanding dengan dengan standar internasional. 67 Kelebihan UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu: Undang-undang ini telah memberikan batasan yang tegas mengenai eksploitasi, eksploitasi seksual dan kekerasan, dan telah mengatur sanksi terhadap tindak pidana perdagangan orang. Namun kelemahannya penegakan undang-undang ini membutuhkan peran aktif aparat penegak hukum oleh karena delik ini bukan delik aduan. Jadi aparat penegak hukum dituntut untuk mencari informasi yang luas mengenai kegiatan perdagangan anak dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. 68 Dalam Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak pada huruf C tentang Pengertian, digunakan definisi trafficking sebagai berikut: Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.
67
Hubertus Ubur. 2005. Masalah Trafiking Anak untuk Menjadi Pekerja Rumah Tangga: Penjelasan Teori Fungsional dan Teori Pilihan Rasional. Jakarta: Majalah Ilmiah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Tahun XX No.2. Juli-Desember 2005. hal.81. 68 Ibid. hal.82.
Wirjono Prodjodikoro mengartikan perdagangan perempuan sebagai berikut: Termasuk dalam perbuatan ini adalah perbuatan mereka yang biasanya mencari perempuan-perempuan atau wanita-wanita di bawah umur untuk dijual sebagai pelacur.69 Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi banyak perhatian, baik di Asia maupun tingkat dunia. Perdagangan perempuan di Indonesia terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negeri, misalnya perdagangan orang antar pulau, tetapi sudah memasuki wilayah perdagangan orang antar negara. Berkaitan dengan hal tersebut Farhana dan Mimin Mintarsih mengatakan bahwa: Maraknya issue perdagangan perempuan diawali dengan meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak yang memaksa mereka berimigrasi ke luar daerah sampai ke luar negeri. Dilihat dari awalnya mencari pekerjaan, maka faktor penyebab yang mendorong terjadinya perdagangan perempuan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi. 70 Farhana dan Mimin Mintarsih lebih lanjut menjelaskan tentang korban perdagangan orang yang umumnya menimpa perempuan dan anak, sebagai berikut: Korban perdagangan orang pada umumnya terjadi pada perempuan dan anak-anak, karena mereka lah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Sebab korban perdagangan perempuan biasanya terjadi diawali dengan penipuan, kemudian diperlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk eksploitasi diantaranya korban bekerja yang mengarah kepada praktik seksual, perbudakan, dan perbuatan transplantasi organ tubuh sampai pada penjualan bayi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. 71
69
Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung. PT. Refika Aditama. hal.123. 70 Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.44. 71 Ibid. hal.44.
Salah satu kasus tindak pidana perdagangan orang dengan korban anakanak adalah sebagaimana yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang dilakukan oleh terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO terhadap korban bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun) dan dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) di Kompleks Gang Sadar 2 Desa Karangmangu Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas. Atas tindak pidana perdagangan orang dengan korban anak-anak tersebut, pengadilan telah memutuskan bersalah kepada Terdakwa
dengan
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt. 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt Pada kasus tindak pidana perdagangan orang terhadap korban GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN, berdasarkan hasil pemeriksaan di Pengadilan terhadap alat-alat bukti yang berupa keterangan Saksi-saksi dan keterangan Terdakwa, maka didapat analisis yuridis tindak pidana perdagangan orang tersebut sebagai berikut: a. Keterangan saksi korban GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI, saksi SUBAGYO, Saksi TRIYONO alias TRIO, saksi SRI UTAMI alias NOVA, saksi HARRIS SUKISNO alias HARRY UTOYO, saksi AGUNG KRIS HARTONO, dan keterangan terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO saling bersesuaian, bahwa:
1) Pada hari Minggu 7 Desember 2008 sekitar pukul 00.30 WIB terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah ditangkap oleh Petugas Polwil Banyumas karena telah mempekerjakan anak di bawah umur untuk dieksploitasi secara ekonomi dan seksualitas; 2) Terdakwa kenal dengan GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN pada hari Sabtu tanggal 15 November 2008 di Semarang dan sejak awal Terdakwa sudah mengetahui bahwa yang bersangkutan seorang PSK; 3) Selanjutnya Terdakwa pada hari Rabu tanggal 19 November 2008 telah melakukan perekrutan, menampung dan mempekerjakan seorang anak perempuan bernama GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun) sebagai PSK di Gang Sadar 2; 4) Sebelum Terdakwa mempekerjakan PUPUT sebagai PSK di Gang Sadar 2, Terdakwa telah menjelaskan jenis pekerjaan yang harus dikerjakan, yaitu melayani tamu yang meminta berhubungan seks atau menemani karaoke dan harus mau karena setiap tamu yang memesan akan memberikan jasa berupa uang; 5) Setiap menemani tamu selama 2 jam setiap PSK akan mendapat uang sebanyak Rp 100.000,00 dan bila waktunya bertambah maka setiap kelebihan 2 jam akan mendapat Rp 100.000,00; 6) Setiap PSK yang menjadi anak asuh terdakwa melayani tamu dan mendapat uang jasa, maka dari uang jasa tersebut dibagi 2 besarnya 50% untuk Terdakwa dan 50% untuk asuhan terdakwa; 7) Uang jasa 50% yang diterima Terdakwa sebesar Rp 50.000,00 dari short time selama 2 jam oleh terdakwa digunakan untuk: a) Memberi komisi untuk calo PSK Rp 10.000,00. b) Membayar jimpitan kepada paguyuban Rp 5.000,00. c) Mencukupi kebutuhan tempat tinggal, makan, minum dan hiburan untuk PSK di rumah Terdakwa; d) Digunakan untuk kebutuhan hidup Terdakwa dan keluarganya. 8) Setiap PSK yang keluar dipesan tamu selalu dicatat dalam buku keluar dan yang dicatat adalah nama PSK, nama penghubung, dan jam keluar; 9) PUPUT telah menjadi PSK di rumah Terdakwa selama 2 minggu dan setiap harinya melayani tamu antara 2 sampai 3 orang; 10) Dari usahanya ini Terdakwa setiap bulan dapat menerima keuntungan penghasilan sebesar Rp 5.000.000,00. b. Akibat perbuatan Terdakwa, berakibat korban GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI yang masih berusia dibawah umur telah dipisahkan dari keluarga dan komunitasnya serta tereksploitasi secara ekonomi dan seksualitas.
Terhadap peristiwa tindak pidana perdagangan orang dengan korban anak-anak tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan alternatif, yaitu: Pertama :
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Atau Kedua
:
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 88 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
:
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 183 jo Pasal 74 ayat (2) huruf b UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Atau Ketiga
Karena
dakwaan
disusun
secara
alternatif,
Majelis
Hakim
membuktikan dakwaan yang paling cocok sesuai dengan fakta di persidangan, dimana korban GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI, yang lahir pada tanggal 16 Desember 1993 (kurang dari 15 tahun) dan dipekerjakan sebagai PSK di Gang Sadar 2 untuk tujuan mengeksploitasi korban baik secara ekonomi maupun seksualitas, maka Majelis Hakim setelah mempertimbangkan fakta hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa dari 3 (tiga) dakwaan alternatif berkesimpulan dan mempertimbangan dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum yaitu pelanggaran terhadap Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 2 ayat (1) UU No.21 Tahun 2007 mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan seorang pelaku perdagangan manusia baik secara
melawan hukum maupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang bertujuan untuk mengeksploitasi, yaitu sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 1 angka 8 UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tentang eksploitasi seksual sebagai berikut: Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Pasal 2 ayat (1) UU No.21 Tahun 2007, memberi rumusan tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut: a. Adanya perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; b. Adanya ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahguanaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat; c. Walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain; d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut; e. Di wilayah Negara Republik Indonesia. Adanya salah satu unsur saja di point a dan salah satu unsur di point b, kemudian memenuhi unsur di point d dan e, maka orang yang melakukan tindakan tersebut (pelaku) dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 2 ayat
(1) undang-undang ini. Selanjutnya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menegaskan bahwa: Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frase “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Selanjutnya pada Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 memberikan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia yang masih anak-anak. Jika tindak pidana seperti Pasal 2, 3, dan 4 dilakukan terhadap anak, maka ancamannya ditambah sepertiga. Secara lengkap bunyi Pasal 17 adalah sebagai berikut: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 17 ini hanya memberi pemberatan pidana jika korban perdagangan manusia adalah anak-anak. Menurut undang-undang ini anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tersebut di atas, maka pasal-pasal ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Setiap orang; b. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang anak; c. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain;
d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia. Penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Setiap orang Pengertian “setiap orang” menurut Pasal 1 angka 4 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut: Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Setiap orang adalah subyek hukum yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang identitasnya sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum. Dengan kata lain setiap orang juga dimaksudkan siapa saja selaku subyek hukum yang identitasnya, sehat jasmani dan rohani, mampu
bertindak
sendiri
dengan
kemauannya,
serta
dapat
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Unsur “setiap orang” adalah siapa saja yang menjadi subyek hukum dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan, dalam pemeriksaan telah diajukan pertanyaan kepadanya dan dapat membantah maupun membenarkannya. Setiap orang adalah siapa saja yang menjadi pelaku dalam tindak pidana. Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum telah menghadapkan terdakwa yang bernama DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO ke persidangan, setelah mendengar keterangan Saksi-saksi
dan keterangan Terdakwa sendiri di persidangan, didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO. Dengan demikian unsur pertama “setiap orang” telah terpenuhi dan terbukti. b. Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang anak Unsur kedua ini bersifat alternatif (pilihan), bahwa dengan dipenuhinya salah satu elemen dari unsur tersebut maka unsur kedua menjadi terpenuhi pula. Pengertian perekrutan menurut Pasal 1 angka 9 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah: Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pengertian anak adalah: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sesuai dengan fakta yang diperoleh di persidangan, diketahui bahwa sejak hari Rabu tanggal 19 November 2008 sekitar pukul 21.30 WIB bertempat di rumah kontrakan Terdakwa di Gang Sadar 2 Desa Karangmangu Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas, terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah menampung saksi
korban GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN untuk dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), padahal Terdakwa mengetahui bahwa yang bersangkutan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan keterangan saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI yang menerangkan bahwa ia lahir pada tanggal 16 Desember 1993 atau baru berumur 15 tahun dan didukung pula oleh turunan surat keterangan lahir No.474.1/33 tanggal 1 Januari 1994 yang ditandatangani oleh Kepala Kelurahan Kembangarum yaitu SURADI. Selanjutnya dengan menerima dan menampung GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI tersebut maka Terdakwa telah memisahkan seseorang dari keluarga dan komunitasnya, sehingga Terdakwa telah terbukti melakukan perekrutan atau penerimaan seorang anak sebagaimana dimaksud undang-undang. Berdasarkan uraian tersebut maka unsur kedua “melakukan perekrutan, penampungan, penerimaan seseorang anak” telah terpenuhi dan terbukti. Hal ini sejalan dengan Protokol Palermo yang dikutip oleh IOM Indonesia, bahwa: Protokol Palermo tentang Perdagangan Manusia memberikan definisi yaitu perekrutan, pengiriman ke suatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Sedangkan perdagangan manusia untuk korban yang berupa anak, Protokol Palermo memberikan definisi perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan
seorang anak untuk maksud eksploitasi dianggap sebagai ‘trafficking manusia’. 72 c. Dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain Unsur ketiga inipun bersifat alternatif (pilihan), sehingga dengan dipenuhinya salah satu elemen dari unsur tersebut, maka unsur ketiga menjadi terpenuhi pula. Berdasarkan fakta di persidangan, bahwa setiap PSK yang merupakan anak asuh terdakwa termasuk diantaranya GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN tersebut telah diberikan fasilitas oleh Terdakwa, antara lain tempat tinggal, makan, dan pemeriksaan. Terhadap PSK tersebut juga mendapatkan penghasilan setiap kali jasanya dipakai oleh tamu untuk short time atau sekitar 2 jam, yaitu Rp 100.000,00 yang dibagi dua dengan Terdakwa, masing-masing sebesar Rp 50.000,00. Namun apabila PSK tersebut mendapat tips dari tamu maka tips tersebut menjadi hak PSK yang bersangkutan. Sesuai dengan keterangan saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN bahwa ia bekerja sebagai PSK di tempat kost Terdakwa di Gang Sadar 2 Desa
72
International Organization for Migration (IOM) Indonesia. 2006. Fenomena Trafficking Manusia dan Konteks Hukum Internasional. Jakarta. (IOM) Indonesia. Nov 2006. hal.199-200.
Karangmangu Kecamatan Baturraden atas kemauannya sendiri dan sepengetahuan orangtua saksi selaku yang memegang kendali atas saksi. Saksi juga menerangkan bahwa ia mendapatkan fasilitas dari Terdakwa antara lain berupa tempat tinggal dan makan. Keterangan ini bersesuaian dengan keterangan saksi TRI UTAMI alias NOVA dan telah dibenarkan serta diakui oleh Terdakwa di persidangan. Dengan demikian, unsur ketiga yaitu “penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain” telah terpenuhi dan terbukti. DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah melakukan tindak pidana berupa menampung atau menerima anak-anak di bawah umur 18 tahun dan mengirim anak ke daerah lain untuk dipekerjakan dengan tujuan eksploitasi seksual, atau mempekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) atau pelacur. Hal ini sejalan dengan Protokol Palermo yang dikutip oleh IOM Indonesia sebagai berikut: Menurut Pasal 3 c dan d Protokol Palermo, untuk korban anak atau di bawah 18 tahun, dapat digolongkan sebagai perdagangan manusia (anak) apabila muncul kegiatan dan maksud eksploitatif, sedangkan sarana yang digunakan dapat diabaikan. Berdasarkan definisi yang diberikan dalam Protokol Palermo, dapat disimpulkan bahwa unsur cara seperti ancaman, penipuan, pemaksaan, penculikan maupun kebohongan tidak perlu dibuktikan apabila korban perdagangan manusia adalah anak-anak (di bawah 18 tahun). 73 d. Untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia 73
Ibid. hal.200.
Pengertian eksploitasi menurut Pasal 1 angka 7 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah: Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Melawan hukum adalah setiap perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga meliputi setiap perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kesopanan dan kesusilaan yang hidup dalam pergaulan masyarakat. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa: Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frase “mengeksploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsurunsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Sedangkan pengertian eksploitasi seksual dirumuskan dalam Pasal 1 angka 8 UU No.21 Tahun 2007 sebagai berikut: Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan. Diketahui bahwa sejak hari Rabu tanggal 19 November 2008 bertempat di rumah kontrakan terdakwa di kompleks Gang Sadar 2 Desa Karangmangu Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas, terdakwa
DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah menampung saksi GIVA
PUSPITA
RAHMATALIA
alias
PUPUT
alias
EKO
PUSPITASARI binti JUMIRAN untuk dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Selanjutnya satu minggu kemudian saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN mulai melayani tamu baik untuk melakukan hubungan seks maupun hanya sebagai teman untuk karaoke dengan imbalan uang sejumlah Rp 100.000,00 untuk short time atau sekitar 2 jam yang dibagi dua dengan Terdakwa masing-masing Rp 50.000,00. Sehingga Terdakwa mendapat keuntungan sebesar Rp 50.000,00 dari saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN, yang merupakan anak asuh terdakwa dibawa tamu untuk jangka waktu 2 jam, sebagaimana diterangkan oleh saksi SUBAGYO, GIVA
PUSPITA
RAHMATALIA
alias
PUPUT
alias
EKO
PUSPITASARI binti JUMIRAN, TRIYONO, SRI UTAMI dan HARRI SUKISNO. Terdakwa di persidangan juga telah membenarkan keterangan Saksi-saksi tersebut dan telah mengakui bahwa dengan mempekerjakan saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias PUPUT alias EKO PUSPITASARI
binti
JUMIRAN
dan
PSK
lainnya,
Terdakwa
memperoleh keuntungan Rp 5.000.000,00 untuk setiap bulannya. Sehingga dalam hal ini Terdakwa nyata-nyata telah secara melawan hukum mengeksploitasi saksi GIVA PUSPITA RAHMATALIA alias
PUPUT alias EKO PUSPITASARI binti JUMIRAN, karena Terdakwa telah memanfaatkan saksi untuk mendapatkan keuntungan secara materiil.
Dengan
demikian
unsur
keempat
“untuk
tujuan
mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia” telah terpenuhi dan terbukti. Hal ini sejalan dengan PBB dalam sidang umum tahun 1994 menyetujui resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan, memberikan definisi: Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari Negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual dan ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu, pekerja gelap, dan adopsi palsu demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan. 74 Definisi lain yang secara substansial lebih rinci dan operasional dikeluarkan oleh PBB dalam protokol yaitu Protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan anak-anak. Pasal 3 protokol ini menyatakan sebagai berikut:
74
Rut Rosenberg. 2003. Op.Cit. hal.6.
1) Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang, baik di bawah ancaman atau secara paksa atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan atau penyalahgunaan wewenang atau situasi rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan guna memperoleh persetujuan dari seseorang yang memiliki kontrol atas orang lain untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual yang lain, kerja paksa atau wajib kerja paksa perbudakan atau praktik-praktik yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh; 2) Persetujuan korban perdagangan manusia atau eksploitasi yang dimaksud dalam ayat (a) pasal ini menjadi tidak relevan ketika caracara yang disebutkan pada ayat (a) digunakan; 3) Perekrutan, pengangkutan, pemindahan dan penampungan atau penerimaan anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan manusia walaupun ketika hal ini tidak melibatkan cara-cara yang disebutkan dalam ayat (a) pasal ini; 4) Anak-anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun. 75 Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur yang terdapat pada pasal yang didakwakan dalam Dakwaan Pertama Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi, maka kesalahan Terdakwa sebagaimana yang didakwakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah terbukti. Oleh karena Dakwaan Pertama Jaksa Penuntut Umum tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan dalam persidangan tidak ditemukan hal-hal yang meniadakan hukum, yaitu alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka Terdakwa harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. 2. Bentuk perlindungan hukum anak sebagai korban perdagangan orang dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
08/Pid.B/2008/PN.Pwt
75
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.48.
Purwokerto
No.
Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan manusia adalah melindungi hak setiap orang yang menjadi korban kejahatan perdagangan manusia untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan undang-undang. Oleh karena itu, untuk setiap pelanggaran hukum yang telah terjadi atas korban serta dampak yang diderita oleh korban, maka korban tersebut berhak untuk mendapat bantuan dan perlindungan yang diperlukan sesuai dengan asas hukum. Perlindungan korban perdagangan manusia dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang konkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun non-materi. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat non-materi dapat berupa pembebasan dari ancaman dan pembebasan dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. Muladi dan Barda Nawawi Arif dalam hal ini mengatakan bahwa: Perlindungan terhadap korban perdagangan manusia dapat dilakukan melalui hukum, baik hukum administrasi, perdata, maupun pidana. Penetapan tindak pidana perdagangan manusia dan upaya penanggulangan perdagangan manusia dengan hukum, melalui berbagai tahap, sebenarnya terkandung pula upaya perlindungan bagi korban perdagangan manusia, meski masih bersifat abstrak atau tidak
langsung. Namun, dapat dikatakan bahwa dewasa ini, pemberian perlindungan korban kejahatan oleh hukum pidana masih belum menampakan pola yang jelas. Perumusan (penetapan) perbuatan perdagangan manusia sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan secara tidak langsung, terhadap korban kejahatan. 76 Sudaryono di pihak lain berpendapat bahwa: Perlindungan korban (tentunya termasuk anak) kejahatan dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan). Sementara itu, perlindungan yang konkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun nonmateri. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat nonmateri dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan. 77 Barda Nawawi Arief menyatakan: Adanya perumusan (penetapan) perbuatan kekerasan terhadap korban sebagai tindak pidana (dengan sanksi pidana) dalam peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan pemberian perlindungan “in abstracto”, secara tidak langsung terhadap korban kejahatan (kekerasan). 78 Pemberian pidana kepada pelaku kejahatan memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna. Lebih-lebih apabila korban menderita kerugian secara fisik maupun secara psikis. Perlindungan juga dapat diberikan dalam bentuk lain, misalnya pelayanan medis maupun 76
Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Op.Cit. hal.87. Sudaryono. 2007. Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.10. No.1. Maret 2007. Surakarta. UMS. hal.95. 78 Barda Nawawi Arief. 1997. Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana. Makalah Seminar Nasional “Perlindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana” (Upaya Pembaharuan KUHAP), Surakarta. Fakultas Hukum UMS. 17 Juli 1997. hal.2. 77
psikologis juga diperlukan terhadap para korban untuk memulihkan kepercayaan diri mereka, mengembalikan semangat hidupnya, juga santunan berupa biaya ganti kerugian sebagai kompensasi sebagai biaya pengobatan bagi korban. Pelindungan ini sangat diperlukan bagi korban perdagangan manusia yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma). Pemberian perlindungan korban perdagangan manusia ini dapat dilakukan negara dengan pertimbangan bahwa negara gagal dalam memberikan rasa aman kepada warga negaranya yang dalam hal ini adalah korban perdagangan manusia tersebut. Perlindungan
hukum
korban
kejahatan
sebagai
bagian
dari
perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. 79 Berkaitan dengan perlindungan hukum bagi korban kejahatan melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum tersebut, maka dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Pengertian restitusi menurut Pasal 1 angka 13 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah: Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
79
Dikdik M. Arief Mansur. 2007. Op.Cit. hal.31.
Terdapat perbedaan pada istilah restitusi dan kompensasi, sebagaimana dikatakan oleh Iswanto dan Angkasa sebagai berikut: Kompensasi dalam viktimologi adalah berkaitan dengan keseimbangan korban akibat dari perbuatan jahat. Perbuatan jahat tersebut merugikan korban, oleh karena itu dapat disebut kompensasi atas kerugian baik fisik, morel maupun harta benda yang diderita korban atas suatu tindak pidana. Kompensasi juga merupakan suatu indikasi pertanggungjawaban masyarakat atas tuntutan pembayaran kompensasi yang berkarakter perdata. Dengan demikian tergambar suatu tujuan non pidana dalam kasus pidana. Kebalikan dari kompensasi adalah restitusi. Restitusi dalam viktimologi adalah berkaitan dengan perbaikan atau restorasi perbaikan atas kerugian baik fisik, morel maupun harta benda, kedudukan dan hak-hak korban atas serangan jahat. Restitusi juga merupakan indikasi pertanggungjawaban pembuat tindak pidana atau penjahat, jadi restitusi merupakan suatu tindakan restitutif terhadap penjahat atau pembuat yang berkarakter pidana yang menggambarkan suatu tujuan koreksional dalam kasus pidana. Jelasnya bahwa kompensasi korban diminta oleh korban atas dasar bentuk permohonan dan apabila dikabulkan dibayar oleh masyarakat (negara), sedangkan restitusi dituntut oleh korban agar diputus oleh pengadilan dengan proses peradilan pidana dan apabila diterima tuntutannya dibayar oleh penjahat atau pembuatnya. 80 Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban kejahatan yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana. Jeremy Bentham mengatakan: Ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya. Perbedaan antar akompensasi dan restitusi adalah “kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana.” 81 Joice Soraya dipihak lain berpendapat bahwa:
80 81
Ibid. hal.37-38. Jeremy Bentham. 2006. Op.Cit. hal.316.
Restitusi lebih diarahkan pada tanggungjawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur untuk menentukan jumlah atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada status sosial pelaku dan korban. Biasanya korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi dan pemulihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan bagi korban yang berstatus sebaliknya. 82 Selanjutnya pada Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 dirumuskan sebagai berikut: (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. (3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. (4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. (6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 tersebut, Joice Soraya memberikan pendapatnya sebagai berikut: Aturan atau undang-undang tidak menentukan dan merumuskan secara tegas, UU No.21 Tahun 2007 hanya menjelaskan bahwa restitusi adalah hak korban atau ahli warisnya dan restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan, tidak 82
Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.20-21.
dijelaskan ukuran besar atau indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti rugi yang diberikan. Dari Pasal 48 tersebut dapat dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut restitusi itu dalam bentuk uang. Dengan demikian tujuan ganti rugi yaitu pemenuhan atas tuntutan berupa imbalan sejumlah uang. Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara bertanggungjawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya. Apabila anggota masyarakat menjadi korban tindak pidana maka pemerintah dianggap gagal dalam memenuhi kewajibannya yakni mencegah atau melindungi masyarakat dari kejahatan. perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara. Rehabilitasi adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis dan sosial. 83 Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti rugi terkandung dua manfaat yaitu untuk memenuhi kerugian materiil dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban. Sedangkan dilihat dari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang
83
Ibid. hal.20-21.
dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu yang konkret dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Gelaway merumuskan lima tujuan dari kewajiban mengganti kerugian yaitu: 1) 2) 3) 4) 5)
meringankan penderitaan korban; sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana; mempermudah proses peradilan; dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam. 84 Tujuan dari kewajiban mengganti kerugian tersebut dijelaskan lebih
lanjut oleh Joice Soraya, bahwa: Tujuan pertama. untuk meringankan penderitaan korban dapat dipahami sebagai upaya meringankan beban korban, baik penderitaan fisik maupun non fisik. Akan tetapi, harus pula ditentukan kerugian apa saja yang kiranya layak diberikan ganti kerugian. Ganti kerugian yang akan dibebankan kepada pelaku harus tetap dipandang sebagai bentuk pidana dan harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi pelaku. Tujuan kedua, ganti kerugiaan yang hanya dapat diterapkan untuk jenis pidana yang dapat diganti dengan bentuk lain yang memberikan efek meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Tujuan ketiga, berkenaan dengan persepsi dan sikap masyarakat dalam menerima kembali kehadiran pelaku kejahatan. Sikap untuk memilih memberikan ganti kerugian kepada korban akan lebih memberi peluang kepada pelaku untuk masuk kembali sebagai anggota masyarakat dibandingkan jika ia harus menjalani masa pidana. Tujuan keempat, akan mempermudah proses peradilan. Tujuan kelima, berkaitan dengan tujuan ketiga yang merupakan langkah untuk mereduksi reaksi masyarakat berupa tindakan balas dendam. Inti tujuan dari kewajiban pemberian ganti kerugian tidak lain untuk mengembangkan keadilan dan kesejahteraan korban sebagai anggota masyarakat dan tolok ukur pelaksanaannya adalah dengan diberikannya kesempatan kepada korban untuk mengembangkan hak dan kewajiban sebagai manusia. Untuk itu diperlukan aturan dalam perundang-undangan yang tegas, sederhana, dan mudah dimengerti sehingga dapat dihindari adanya diskriminasi dalam 84
Ibid. hal.18.
penerapan dari penegakan hukum ataupun intimidasi dari pihakpihak tertentu yang akan lebih memperburuk posisi korban dalam penderitaan berkepanjangan. Pada tahap ini korban akan menderita kerugian sebagai korban kejahatan dan sebagai korban struktural. 85 b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis Korban perdagangan orang memiliki hak atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Pasal 51 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hal ini merumuskan bahwa: (1) Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang. (2) Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalahmasalah kesehatan dan sosial di daerah. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis merupakan tanggungjawab negara untuk melaksanakannya, hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 52 UU No.21 Tahun 2007 sebagai berikut: (1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. (2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud 85
Ibid. hal.19.
pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. (3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari tindak pidana trafficking, dapat bersifat fisik maupun psikis. Farhana dan Mimin Mintarsih memberikan penjelasan bahwa: Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena itu, diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping korban harus bisa mengusahakan agar dirinya tetap berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya. 86 Joice Soraya di pihak lain berpendapat bahwa: Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban. Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang yang dipercaya dan dapat menimbulkan rasa aman terhadap dirinya. Di beberapa negara bantuan yang berbentuk konseling disediakan oleh negara atau lembaga independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani korban kejahatan. Konseling bagi korban di Indonesia dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang banyak di kota besar. Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan. dan laporan tertulis atau visum. 87
86 87
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.51. Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.21.
c. Bantuan Hukum Pemeriksaan terhadap korban perdagangan orang yang masih anakanak, wajib didampingi oleh penasehat hukum atau wajib mendapatkan bantuan hukum. Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (2) UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pasal 39 selengkapnya merumuskan: (1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. (2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orangtua, wali, orangtua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. (3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Pendampingan
hukum
terhadap
korban
trafficking
sangat
diperlukan, karena kebanyakan korban tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah
hukum
apa
saja
yang
bisa
ditempuh
untuk
menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Farhana dan Mimin Mintarsih, bahwa: Korban trafficking hendaknya diberikan bantuan hukum. Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib menfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. LSM juga mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap korban tindak pidana termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disebabkan banyak dari korban yang tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur pelaporan ke pihak POLRI, kemudian bagaimana mendapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang bukti, serta langkah hukum lain yang tidak diketahui oleh korban karena tidak mempunyai pengetahuan khusus untuk itu. Dengan demikian pemberian bantuan hukum terhadap korban, diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban, karena masih banyak korban yang memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh
bantuan hukum yang layak, dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban trafficking. 88 d. Pemberian Informasi Informasi wajib diberikan kepada korban atau keluarganya selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Pasal 36 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam hal ini merumuskan: (1)
(2)
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Pemberian informasi juga berkaitan dengan peran serta masyarakat
sebagai upaya membantu mencegah dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. Pasal 60 UU No.21 Tahun 2007 dalam hal ini merumuskan: (1) (2)
Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang. Berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak
pidana, maka korban amat memerlukan informasi yang berperan penting dalam menerapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian. Hal ini sejalan dengan pendapat Joice Soraya bahwa: Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya, berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang 88
Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Op.Cit. hal.51-52.
dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian, karena melalui informasi diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya adalah melalui website dibeberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional. 89 Majelis Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt dalam menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan agar hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa dirasa telah memenuhi rasa keadilan. Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat dan tidak mendukung program pemerintah. Hal-hal yang meringankan: a. Di persidangan Terdakwa telah mengakui perbuatannya salah dan menyesal; b. Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; c. Terdakwa belum pernah dihukum; d. Terdakwa masih muda sehingga diharapkan setelah selesai menjalani pidana akan kembali menjadi warga masyarakat yang baik. Mengingat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta pasal-pasal lain dari undang-undang yang bersangkutan, maka Majelis Hakim mengadili: a. Menyatakan terdakwa DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana PERDAGANGAN ORANG. b. Memidana terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 120.000.000,00 (seratus dua 89
Joice Soraya. 2008. Op.Cit. hal.22.
c. d. e.
f.
puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan hukuman kurungan selama 3 (tiga) bulan. Menetapkan masa penahanan yang telah dijatuhi oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan terdakwa tetap ditahan. Menetapkan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) buah buku catatan keluar PSK milik DIDIK DWI DARYANTO bin DARYONO; 2) 1 (satu) lembar fotocopy KTP a.n. GIVA PUSPITA RAHMATALIA; 3) 1 (satu) lembar catatan keluar masuk PSK dari Pos Pencatatan Keluar Masuk PSK Gang Sadar 2 tertanggal 6 Desember 2008; 4) 1 (satu) lembar fotocopy Kartu Keluarga Nomor: 115013/97/06054 Kepala Keluarga a.n. Jumiran; 5) 1 (satu) lembar fotocopy turunan Surat Kelahiran No.474.1/33A a.n. EKO PUSPITA SARI. Menyatakan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah). Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt
dikaitkan dengan beberapa teori tentang bentuk perlindungan hukum korban perdagangan sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt tersebut tidak memenuhi adanya bentuk perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pemberian restitusi dan kompensasi Dalam
Putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt tidak dinyatakan adanya pemberian restitusi
dan
kompensasi
yang
dibebankan
kepada
pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli
warisnya, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 dan Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. b. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis Korban tidak diberi layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis, namun langsung dikembalikan ke orang tuanya. Hal ini tidak sejalan dengan rumusan Pasal 51 dan Pasal 52 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mewajibkan pemerintah untuk memberikan layanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi social. c. Bantuan hukum Pendampingan hukum terhadap korban tidak diberikan, padahal negara wajib memfasilitasinya. Negara dalam hal ini baru sebatas mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak
pidana.
Pemberian
bantuan
hukum terhadap
korban
seharusnya diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban, karena masih banyak korban yang memiliki tingkat kesadaran hukum yang rendah. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak, dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban trafficking. Kondisi ini tidak sejalan dengan rumusan Pasal 39 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mewajibkan negara untuk memberikan bantuan hukum pada korban.
d. Pemberian informasi Pemberian informasi kepada keluarga korban berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Perlindungan hukum dalam bentuk pemberian informasi kepada keluarga korban tidak dilakukan. Hal ini tampak dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt yang tidak menghadirkan orang tua korban sebagai saksi dalam persidangan. Hal ini tidak sesuai dengan rumusan Pasal 36 dan Pasal 60 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang memberikan hak bagi korban dan keluarga korban untuk mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban perdagangan orang (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt), maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1
Penerapan unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt adalah sebagai berikut: a. Unsur pertama “setiap orang” telah terpenuhi dan terbukti. b. Unsur kedua “melakukan perekrutan, penampungan, penerimaan seseorang anak” telah terpenuhi dan terbukti. c. Unsur ketiga yaitu “dengan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain” telah terpenuhi dan terbukti. d. Unsur keempat “untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia” telah terpenuhi dan terbukti. e. Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur yang terdapat pada pasal yang didakwakan dalam Dakwaan Pertama Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi, maka kesalahan Terdakwa sebagaimana yang didakwakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 17 UU No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah terbukti. Oleh karena Dakwaan Pertama Jaksa Penuntut Umum tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sedangkan dalam persidangan tidak ditemukan hal-hal yang meniadakan hukum, yaitu alasan pemaaf maupun alasan pembenar, maka Terdakwa harus dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
2. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.08/Pid.B/2008/PN.Pwt tidak terpenuhi adanya bentuk perlindungan hukum bagi korban perdagangan orang, yaitu: a. Tidak ada pemberian restitusi dan kompensasi, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 dan Pasal 48 UU No.21 Tahun 2007. b. Tidak ada layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 51 dan Pasal 52 UU No.21 Tahun 2007. c. Tidak ada bantuan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 39 UU No.21 Tahun 2007. d. Tidak ada pemberian informasi, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 36 dan Pasal 60 UU No.21 Tahun 2007.
B. Saran Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 21 Tahun 2007 terutama menyangkut masalah: 1. Kewenangan Jaksa mengajukan restitusi [Penjelasan Pasal 48 ayat (1)]. Kewenangan ini seharusnya diatur dalam batang tubuh (bukan dalam penjelasan pasal) dan seharusnya ada ketegasan wajib dilaksanakan oleh JPU, bukan “dapat”. Selain itu, sepanjang frase “hal itu tidak mengurangi hak korban untuk mengajukan restitusi” harus dijelaskan bahwa hak korban itu harus diajukan melalui gugatan perdata, bukan pada saat pemeriksaan perkara pidana. 2. Penitipan restitusi [Pasal 48 ayat (5)]. Penitipan restitusi seharusnya diwajibkan dan dilakukan sejak tahap penyidikan untuk menghindari pelaku mengalihkan harta kekayaannya, alternatif lainnya ialah penitipan restitusi
diganti dengan sita jaminan yang dapat dilakukan sejak penyidikan agar ada jaminan putusan restitusi dapat dilaksanakan. 3. Pidana kurungan pengganti [Pasal 50 ayat (4)]. Pidana kurungan pengganti seharusnya dihilangkan dan diganti ketentuan bahwa restitusi wajib dibayar oleh pelaku dan akan menjadi hutang pelaku dan ahli waris jika ia belum mampu membayar, sehingga kapan saja pelaku/ahli warisnya punya kekayaan jaksa wajib melakukan penyitaan. Hal ini lebih sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang menitikberatkan perlindungan bagi korban dalam bentuk ganti rugi. Alternatif lain bila hal itu sulit dilakukan ialah batas maksimalnya pidana pengganti disesuaikan dengan kerugian korban, karena bila batas maksimalnya hanya 1 (satu) tahun sedangkan nilai kerugian korban sangat besar, maka pelaku akan lebih memilih pidana pengganti dan ini sangat bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Teks: Arief, Barda Nawawi. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana. Augustinus. 1987. Pengertian Anak. Jakarta: Suryabrata. Bawengan, Gerson. W. 1991. Pengantar Psikologi Kriminil. Jakarta: Pradya Paramitha. Bentham, Jeremy. 2006. Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Bandung: Nusamedia & Nuansa. Dirdjosisworo, Soedjono. 2000. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Citra Bandung: Aditya Bakti. Ekatama, Suryono. 2000. Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan. Yogyakarta: UAJ. Gosita, Arif. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Akademika Presindo. Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni. Hamim, Anis dan Ruth Rosenberg. 2003. Kajian Perundang-Undangan Indonesia, Dalam Perdagangan Perdagangan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID. Hasan, Muhammad Tholchah. 2001. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi atas Hak Asasi Perempuan). Bandung: Refika. Iswanto dan Angkasa. 2009. Victimologi. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Koentjoro. 2004. Tutur dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: Tinta (CV Qalam). Prajogo, Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Jakarta: Wacana Intelektual. L.M, Lapian Gandhi dan Geru Hetty A. 2010. Trafficking Perempuan dan Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mansur, Dikdik. M. Arief. 2007. Urgensi Perlidungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Moeljatno. 2001. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi. Jakarta: Djambatan. Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta: PT Eresco. Rahardjo, Satjipto. 1977. Masalah Penegakan Hukum. Jakarta: BPHN (Sinar Baru). Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana. Bandung: Binacipta. Reksodiputro, Mardjono. 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Universitas Indonesia. Rosenberg, Rut. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak Indonesia. Jakarta: ICME dan ACILS. Sahetapy, J.E. 1979. Kausa Kejahatan. Surabaya: Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Unair. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Soesilo, R. 1995. KUHP serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politea. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Jurnal/Karya Ilmiah: Arief, Barda Nawawi. 1997. Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana. Makalah Seminar Nasional “Perlindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana” (Upaya Pembaharuan KUHAP), Fakultas Hukum Surakarta: UMS. 17 Juli 1997. Arief, Barda Nawawi. 1998. Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana. Artikel Dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.1. Farhana dan Mimin Mintarsih. 2008. Upaya Perlindungan Korban Terhadap Perdagangan Perempuan (Trafficking) di Indonesia. Jurnal Reformasi Hukum. Vol. XI, No. 1. Juni 2008. Jakarta: FH. UIJ. Harkrisnowo, Harkristuti. 2002. Urgensi Pengaturan Perlindungan Korban dan Saksi, Makalah disampaikan pada Roundtable Discussion, Jakarta. International Organization for Migration (IOM) Indonesia. 2006. Fenomena Trafficking Manusia dan Konteks Hukum Internasional. Jakarta: (IOM) Indonesia. Nov 2006. Interntional Organization for Migration (IOM) Indonesia. 2006. Combatting Human Trafficking Through Law Enforcement, Jakarta. November 2006. Muflichah, Siti dan Rahadi Wasi Bintoro. 2009. Trafficking: Suatu Studi Tentang Perdagangan Perempuan Dari Aspek Sosial, Budaya dan Ekonomi di Kabupaten Banyumas. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 9 No.1 Januari 2009. Mulia, Musdah. 2004. Perdagangan Wanita di Mata Women of Faith Majalah Basis No 05. 05 Mei – Juni 2004. Nasution, Zaky Alkazar. 2008. Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dan Anak Korban Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons). Semarang: Undip. Soraya, Joice. 2008. Makalah: Tinjauan Terhadap Perlindungan Hukum Korban Trafficking. Malang: Fakultas Hukum Universitas Kanjuruhan Malang. Sudaryono. 2007. Kekerasan Pada Anak Bentuk, Penanggulangan, dan Perlindungan Pada Anak Korban Kekerasan. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 10, No. 1, Maret 2007. Surakarta: UMS. Theo. 2003. Upaya Perlindungan Korban Kejahatan Melalui Lembaga Restitusi dan Kompensasi. Media Hukum dan Keadilan Vol. II, No. 9. Juni 2003. Jakarta. Ubur, Hubertus. 2005. Masalah Trafiking Anak untuk Menjadi Pekerja Rumah Tangga: Penjelasan Teori Fungsional dan Teori Pilihan Rasional. Majalah Ilmiah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Tahun XX No. 2. JuliDesember 2005. Jakarta.
Website: Armiwulan, Hesti. 2009. TuntaskanTrafficking.diakses http:/www.surya.co.id. pada tanggal 7 Maret 2012.
melalui
Pengertian Anak diakses melalui http://definisi-pengertian.blogspot.com/ pada tanggal 1 Maret 2012.