SKRIPSI
TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi Kasus Putusan No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks)
Oleh MASNUR F B 111 11 399
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
i
HALAMAN JUDUL TINJAUAN YURIDIS TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi Kasus Putusan No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks)
OLEH:
Masnur F B 111 11 399
SKRIPSI
Diajukan dalam Ujian Skripsi Penelitian di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Bagian Hukum Pidana
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
MASNUR FATTAH (B111 11 399), Tinjauan Yuridis Terhadap Tidak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Anngota Kepolisian (Studi Kasus Putusan No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks ), dibawah bimbingan Andi Sopyan selaku pembimbing I dan Amir Ilyas selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi dasar hukum terhadap tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian, dan juga untuk mengetahui pertimbangan hukum oleh majelis hakim dalam penjatuhan putusan dalam tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar. Dengan menggunakan wawancara yang bersifat terbuka, dan analisis data yang dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif. Dari penelitian yang penulis lakukan, diperoleh bahwa : 1.Yang menjadi dasar hukum dalam tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota polisi ini adalah Pasal 369 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dimana ada beberapa tahapan-tahapan dalam penerapan hukum terhadap suatu tindak pidana yang meliputi tahapan pengaduan oleh saksi korban, tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap putusan pengadilan. 2.Majelis Hakim sebelum memutuskan atau menjatuhkan putusan tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepoilisian memberikan pertimbangan-pertimbangan yang juga merupakan pertimbangan hukum dan untuk menghukum terdakwa perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Dan dari putusan Pengadilan Negeri Makassar No.1921/Pid.B/2013/PN.MKS terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana pemerasan dengan pengancaman.
v
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh. Syukur Alhamdulillah, segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA KEPOLISIAN (Studi
Kasus
Putusan
No.1921/Pid.B/2013/Pn.
Mks).”
dapat
diselesaikan. Penyelesaian skripsi ini adalah hal yang membanggakan bagi Penulis hingga saat ini karena menjadi pertanggungjawaban Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UniversitasHasanuddin. Skripsi ini disusun berdasarkan data-data hasil penelitian sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk melaksanakan ujian akhir demi mencapai gelar Sarjana Hukum pada Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari sebuah proses pembelajaran karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, masih ada kekurangan-kekurangan yang diakibatkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Sehingga penulis akan menerima kritik dan
vi
saran dengan menjadikan skripsi ini lebih baik lagi, penulis juga berharap dapat menambah pengetahuan bagi teman-teman yang yang menggeluti bidang yang sama dengan penulis. Dengan rendah hati penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan sedalam-dalamnya untuk orang tua tercinta. Ayahanda Almarhum Drs. H. Abdul Fattah, Ibunda Almarhumah Nurhaya dan Ibu Dra. H. Rosdiana Ibrahim atas doa yang tidak pernah putus, pengertian, kesuksesan
kasih
sayang
penulis.
dan
Kepada
pengorbanan saudara-saudari
untuk
penulis
penulis
demi
Megawati,
Darnawati, Ratnawati, S.Ag , Maswati, S.Ag , Almarhum Maskur terima kasih atas doa, dukungan dan kasih sayangnya sampai saat ini hingga nanti dan kepada keluarga penulis semoga tetap berada dalam lindunganNya. Amin. Dengan segala kerendahan hati, tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak, yakni terurai sebagai berikut: 1.
Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajaran,
Prof. Dr. Farida Pattitingi S.H., M.H Sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ahmadi Miru S.H., M.H sebagai Wakil Dekan I, Dr. Syamsuddin Muchtar SH., M.H sebagai Wakil Dekan II, dan Dr. Hamzah Halim S.H., M.H. sebagai Wakil Dekan III, terima kasih banyak atas perhatian yang telah diberikan selama ini.
vii
2.
Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing
1 serta Bapak Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. selaku Pembimbing 2 yang telah mendorong,
mengarahkan,
dan
membimbing
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini. 3.
Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan stadi dengan baik. 4.
Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S, Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H
dan Dr. Dara Indrawati, S.H., M.H selaku penguji penulis terima kasih atas ilmu-ilmu yang diberikan kepada penulis ketika ujian sedang berlangsung dan setelah ujian selesai. 5. dan
Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana, beserta jajarannya segenap
Dosen
di
lingkungan
Fakultas
Hukum
Universitas
Hasanuddin yang memberikan ilmu pengetahuan yang berharga selama kuliah dari awal hingga akhir studi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 6.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam skripsi ini. Terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama ini. 7.
Seluruh staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
yang telah membantu kelancaran dan kemudahan penulis, sejak mengikuti perkuliahan, proses belajar sampai akhir penyelesaian studi ini.
viii
8.
Keluarga Besar terkhusus untuk D’ Toges terima kasih atas
keceriaan, senyuman, semangat, motivasi serta arahan ke jalan yang lebih baik kepada penulis. 9.
Sahabat seperjuangan di Fakultas Hukum Unhas Andi Eka
Yustika,S.H , Widyah Angraini,S.H , Anggun Dinianti,S.H , Safira Ayu Lestari,S.H , Humaerah,S.H, Rizki Rahmiansyah,S.H. Terima kasih atas keceriaan dan senyumannya, kalian luar biasa. 10.
Teman-teman KKN Reguler Kec. Ulaweng Kab. Bone Gel 87
Universitas Hasanuddin tahun 2014, Terkhusus desa Manurunge kepada Rifyal, Azwar, Lia, Ummu, Vivi, Nur, Hesli. Terima kasih atas suka dan duka yang kita jalani selama masa KKN sehingga menjadi persahabat yang luar biasa hebatnya. 12.
Segenap Keluarga MEDIASI 2011 yang merupakan angkatan
penulis di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah bersamasama dengan penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Unhas. Keberagaman yang ada mengajariku banyak hal mengenai watak dan karakter setiap orang, namun keberagaman tetap mempersatukan kita, MEDIASI 2011. 13.
Teman-teman Madrasah Aliyah Negeri Wajo. Terima kasih atas
semangat yang diberikan kepada penulis. 14.
Kepada Abang-abang Rudi, Iful, Letter, Sahril, Midung, Andis.
Terima kasih atas dukungan, bantuan dan motivasinya.
ix
15.
Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu yang
telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan, pemikiran, bantuan materi maupun non-materi, penulis haturkan terima kasih. Terakhir
penulis
menyadari
bahwa
skripsi
ini
masih
jauh
dari
kesempurnaan, untuk itu dengan penuh kerendahan hati penulis terbuka menerima saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan dalam penyajiannya dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, tiada kata yang penulis patut ucapkan selain doa semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan ridha dan berkah-Nya atas amalan kita.
Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatu. Makassar,
2015
Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .............................................................................
i
PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN ...............................................
iv
ABSTRAK............................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................
vi
DAFTAR ISI .......................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................
1
A. B. C. D.
Latar Belakang Masalah ..................................................... Rumusan Masalah .............................................................. Tujuan Penelitian ................................................................ Kegunaan Penelitian ...........................................................
1 5 5 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................
7
A. Pengertian .......................................................................... 1. Pengertian tinjauan yuridis............................................. 2. Pengertian tindak pidana............................................... . 3. Unsur-unsur tindak pidana.............................................. B. Pengertian tindak pidana pemeasan.................................... C. Unsur-unsur tindak pidana pemerasan................................ D. Pengertian POLRI................................ ............................... E. Tugas kepolisian............................... .................................. F. Wewenang kepolisian................................................ .......... G. Pidana dan pemidanaannya.............................................. ..
7 7 8 13 20 22 26 28 29 32
BAB III METODE PENELITIAN ..........................................................
47
A. B. C. D.
Lokasi Penelitian ................................................................. Jenis dan Sumber data ....................................................... Teknik Pengumpulan Data .................................................. Analisis Data .......................................................................
47 47 48 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................
50
A. Penerapan Ketentuan hukum Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Sebagaimana Dalam Putusan Nomor 1921PID.B/2013/PN.MKS .................................................. 50 B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku pada Perkara Pidana Nomor 1921/PID.B/2013PN.Makassar............................................ 59
xi
BAB V PENUTUP.................................................................................
66
A. Kesimpulan.......................................................................... B. Saran....................................................................................
66 67
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. .
68
xii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari di zaman modern ini, banyak terlihat
dampak dari kemajuan zaman, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya dapat terlihat dengan pesatnya kemajuan dalam dunia teknologi yang sangat membantu manusia dalam melakukan segala kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak langsung, pesatnya perkembangan zaman juga memiliki dampak negatif, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari berupa kejahatan dan pelanggaran hukum yang sudah dilakukan oleh semua kalangan. Seiring dengan perkembangan zaman, tindak kejahatan juga semakin berkembang di berbagai sektor hukum di pelosok dunia khsususnya di Indonesia. Dalam pelaksanaan penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat membuat banyaknya kejahatan dan pelanggaran yang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, pelanggaran terhadap peraturanperaturan
dan
norma-norma
yang
berlaku
semakin
mengalami
peningkatan. Hal ini tampak dari banyaknya kasus-kasus kejahatan yang diberitakan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Maraknya pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku
1
tersebut merupakan salah satu kejadian dan fenomena sosial yang sering terjadi dalam masyarakat belakangan ini. Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat 3 Amandemen Undang–undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa “Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).” Dalam negara hukum, hukum merupakan tiang utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada kecenderungannya untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Artinya bahwa sebuah negara dengan konsep negara hukum selalu mengatur setiap tindakan dan tingkah laku masyarakatnya berdasarkan atas Undang-undang yang berlaku
untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup, agar sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945 yaitu setiap warga negara berhak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kejahatan maupun pelanggaran. Selain untuk mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum dalam kehidupan
bermasyarakat,
tentunya
ada
hal-hal
lain
yang
perlu
diperhatikan untuk menciptakan rasa adil dalam penegakan hukum. Di dalam KUHPidana telah diatur dalam BAB I Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi
2
“suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada “. Hal ini selaras dengan azas legalitas ( principle Of Legality) atau bahasa latinnya “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang artinya tidak ada suatu perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam Undang-undang (Andi Hamzah 1994:25). Dalam sistem hukum di Indonesia, KUHPidana membagi atas kejahatan
(misdrivijen)
dan
pelanggaran
(overtrendingen).
Adapun
kejahatan diantaranya adalah kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap ketertiban umum, kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kemerdekaan orang lain dan juga kejahatan terhadap harta kekayaan. Kejahatan terhadap harta kekayaan merupakan salah satu kejahatan yang berat sanksinya yang diatur dalam KUHPidana di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan ancaman hukuman dalam beberapa Pasal, salah satunya dalam Pasal 368 (1) KUHPidana yaitu : “Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan, supaya orang itu memberikan barang, yang sama sekali atau sebagaimana termasuk kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena memeras, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.” Kejahatan terhadap harta kekayaan itu banyak ragamnya, yang dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Pencurian; 2. Pemerasan dan pengancaman;
3
3. Penggelapan; 4. Perbuatan curang; 5. Perbuatan merugikan pemilik utang mempunyai utang; 6. Menghancurkan atau merusak barang; 7. Penadahan.
atau
orang
yang
Dalam hal ini, yang akan dibahas lebih dalam adalah mengenai tindak pidana pemerasan (afpersing). Tindak pengancaman (afdreiging) termuat bersama pemerasan dalam satu title XXIII buku II KUHP, yaitu dalam Pasal 369 ( 1 ) KUHPidana yang berbunyi : “Barangsiapa dengan maksud menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum, memaksa orang dengan ancaman akan menista lisan atau dengan surat, atau dengan ancaman akan membuka rahasia supaya orang itu menyerahkan kepadanya suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang ketiga, atau supaya orang itu mengutang atau supaya orang itu mengutang atau menghapuskan piutang, dihukum karena pengancaman dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun”. Tindak pidana pemerasan dan pengancaman diatur dalam satu bab yaitu Bab XXIII. Diaturnya dalam satu bab karena kedua macam kejahatan ini mempunyai sifat yang sama. Sifat yang sama tampak sekali dari tujuan perbuatan materil yang dilakukan dan unsur maksud dari perbuatan yang dilarang, serta unsur perbuatannya masing-masing berupa memaksa. Dalam pengancaman yang dituju untuk dicapai oleh sipelaku sama dengan pemerasan. Yang berbeda adalah cara-cara yang dipergunakan oleh si pelaku untuk mencapai tujuan itu. Sekarang ini lebih banyak yang menggunakan cara pengancaman tetapi tidak dibarengi dengan tindak kekerasan, melainkan dengan cara menista dan membuka rahasia.
4
Seperti dalam kasus Deddy Kusnadi Jamri yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Makassar. Masalah inilah sangat menarik untuk dibahas karena si pelaku juga meruapakan anggota Polri. Oleh karena itu, penulis memilih judul “ TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
KEPOLISIAN
(Study
kasus
Putusan
No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks) “ sebagai judul skiripsi. B.
Rumusan Masalah Agar pembahasan dalam penulisan ini tidak melebar, maka Penulis
merumuskan beberapa masalah untuk dibahas, yaitu : 1. Bagaimanakah penerapan ketentuan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian Putusan No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks ? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana
terhadap
pelaku
dalam
Putusan
No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks? C.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai pada penulisan ini, yaitu : 1. Untuk mengetahui penerapan ketentuan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian dalam Putusan No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks.
5
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana
terhadap
pelaku
dalam
Putusan
No.1921/Pid.B/2013/PN.Mks. D.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan informasi dalam setiap perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. 2. Menjadi masukan bagi masyarakat pada umumnya dan para penegak
hukum
pada
khususnya
dalam
mencegah
dan
menanggulangi terjadinya tindak pidana pemerasan. 3. Menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi kepolisian dalam melaksanakan kewenangannya. 4. Dapat digunakan sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk meneliti lebih lanjut tentang masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian 1. Pengertian Tinjauan Yuridis Tinjauan yuridis bersumber dari pemikiran positivistis didunia hukum,
yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum, cotohnya, sebagaimana dalam Pasal 369 Kitab Undang-undang hukum pidana yang berbunyi: Barangsiapa yang mengambil barang orang lain, dengan maksud memiliki, dengan cara melawan hak, dapat dihukum. Perkataan “Barangsiapa” pada pasal itu menunjukkan pengaturanya yang umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud dimana hukum itu identik dengan kepastian.
7
Lagi pula yang menerapkan aturan hukum itu adalah mausia, dan manusia dalam menerapkan suatu aturan hukum terpengaruh dengan berbagai aspek kemanusiaannya, seperti persepsinya tentang suatu penomena yang menjadi kasus yang harus diberlakukan suatu aturan hukum, nilai-nilai yang dianut manusia tersebut sangat mewarnai penerapan yang dilakukannya. Faktor manusia ini yang dapat menerapkan aturan hukum dengan memberi porsi pada keadilan maupun kemanfaatannya secara kasuistis. 2. Pengertian Tindak Pidana Didalam KUHPidana maupun Undang–undang lainnya yang dibentuk oleh
pemerintah,
tidak
terdapat
definisi
tentang
tindak
pidana
(strafbaarfeit) biasanya hanya menyebutkan tentang kualifikasi atau unsur–unsur delik di dalam Pasal–pasalnya. Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit yang terdiri atas tiga suku kata yaitu straf, baar dan feit. Straf diartika sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, sedangkan feit sebagai tindakan, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan, namun tidak ada penjelasan resmi tentangnya baik di KUHPidana Belanda maupun di KUHPidana Hindia Belanda sehingga para ahli hukum berusaha untuk mendefinisikannya. Menurut (Wirjono Prodjodikoro 1986 : 55) bahwa : “Tindak pidana atau dalam bahasa belanda disebut strafbaarfeit yang merupakan istilah resmi dalam wetboek van strafrecht atau kitab Undang–undang hukum pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia ada istilah dalam bahasa asing yaitu delict yang berarti suatu perbuatan yang berlakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana”
8
Tampaknya pandangan diatas lebih setuju dengan istilah strafaarfeit yang diartikan dengan kata peristiwa pidana yang pembuatnya dapat dijatuhi sanksi pidana. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa delik sama pengertiannya dengan peristiwa pidana seperti yang dikemukakan oleh (Rusli Effendy, 1986 : 53) sebagai berikut : “Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertetangan dengan Undang–undang atau peraturan perundang–undangan lainnya terhadap perbuatan mana diadakan pemidanaan.” Menurut batasan pengertian diatas, tindak pidana adalah peristiwa pidana yang berkaitan dengan rangkaian–rangkaian perbuatan manusia yang pembuatnya diancam pidana. (Moeljatno 193:55)
menerjemahkan
strafbaarfeit
dengan kata
perbuatan pidana dengan alasan sebagai berikut : “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat larangan ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman padanya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian.” Alasan yang dikemukakan oleh Moeljatno berdasarkan penilaian bahwa antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat. Antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua kejadian konkret. Pertama, adanya kejadian tertentu. Kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
9
Lain halnya dengan (Pompe 1959:28) memberikan dua macam definisi, yaitu yang bersifat teorotis dan yang bersifat perundangundangan : “Definisi teoritis, ialah pelanggaran norma (kaidah), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan yang harus diberikan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Sedangakan menurut hukum positif, demikian menurut Pompe peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh Undang– undang ditentukan mengadung handeling (perbuatan) dan nalaten (pegabaian); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan didalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Menurut Van Hamel (A. Z. Abidin Farid, 1995:225), pengertian strafbaarfeit adalah : “Perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang–undang, melawan hukum, strafwaardiq (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te witjen).” Van Hamel mengartikan strafbaarfeit jauh lebih luas, selain kesengajaan, kealpaan dan kelalaian, kemampuan bertanggung jawab bahkan Van Hamel menilai istilah strafbaarfeit tidak tepat dan yang lebih tepat adalah strafwaardigfeit. (P.A.F
Lamintang
1997:187),
mensyaratkan
suatu
perbuatan
dikategorikan delik apabila memenuhi : 1. Dipenuhi semua unsur delik seperti yag terdapat dalam rumusan delik; 2. Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya; 3. Tindakan dari perilaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja; 4. Pelaku tersebut tidak dapat dihukum, sedang syarat yang harus dipenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik.
10
(Andi Zainal Abidin Farid 1995:230), merumuskan delik sebagai berikut : “Perbuatan aktif dan pasif, yang melawan hukum formil dan materil yang dalam hal tertentu disertai akibat dan/atau keadaan yang menyertai perbuatan, dan tidak adanya dasar pembenar.” Menurut (Andi Zainal Abidin Farid 1995:231) istilah deliknya yang paling tepat karena: a. Bersifat universal dan dikenal dimana-mana; b. Lebih singkat, efisien dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati; c. Orang yang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana dan perbutan pidana juga menggunakan istilah delik; d. Belum pernah penulis menemukan istilah perkara prodoto (perdata) atau apa yang kita namakan perkara pidana atau perkara kriminal sekarang ( jadi orang salah mengambil istilah prodoto atau perdata untuk privat); yang pernah penulis temukan adalah istilah perkara pada padu sebagai lawan prodoto (C.van VollenHoven, Het Adatrecht van Nederlandsche Indie I:562 dst); e. Istilah perbuatan pidana (seperti istilah lainnya) selain perbuatanlah yang dihukum, juga ditinjau dari segi bahasa Indonesia mengandung kejanggalan dan ketidaklogisan,karena kata pidana adalah kata benda; didalam bahasa Indonesia kata benda seperti perbuatan harus diikuti oleh kata sifat yang menunjukkan sifat perbuatan itu, atau kata benda boleh dirangkaikan dengan kata benda lain dengan syarat bahwa ada hubungan logis antara keduanya. Pendapat A.Z Abidin Farid yang mengistilahkan perbuatan pidana dengan delik karena karena mempersoalkan manusia sebagai pemangku hak dan kewajiban, yaitu perbuatan aktif dan pasif yang dilarang dan pembuatnya diancam dengan pidana oleh Undang-undang.
11
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas, akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa terjemahan yang dipergunakan para ahli hukum pidana di Indonesia adalah bermacam-macam, sebagai berikut: a. Tindak pidana: b. Perbuatan pidana; c. Peristiwa pidana; d. Perbuatan kriminal; dan e. Delik Menurut wujudnya dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatanperbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat , dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial. Tetapi tidaklah semua perbuatan melawan hukum atau yang bersifat merugikan masyarakat dapat disebut dengan perbuatan pidana. Tidaklah semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi pidana. Jadi tidak dapat kita katakan bahwa hanya perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian besar saja yang dijadikan perbuatan pidana. Adalah kewajiban pemerintah untuk dengan bijaksana menyesuaikan apaapa yang ditentukan sebagai perbuatan pidana itu dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi, syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang
12
dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 3. Unsur-unsur Tindak Pidana Jika kita berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukuan suatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, suatu tindakan itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak melakukan sesuatu”, yang terakhir ini didalam doktrin juga sering disebut sebagai “een nalaten” yang juga berarti “hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh Undangundang)”. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHPidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur , yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana itu adalah : a.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
13
b.
Maksud atau voomemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHPidana;
c.
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan pemalsuan dan lain-lain;
d.
Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHPidana;
e.
Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain trdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHPidana.
Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur obyektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif tindak pidana itu adalah ; 1.
Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid:
2.
Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari perseroan terbtas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3.
Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
Perlu kita ingat bahwa unsur wederrechtelijkheid itu selalu harus dianggap sebagai syarat utama dalam setiap rumusan delik, walaupun
14
unsur tersebut oleh pembentuk Undang-undang telah tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan. Delik sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya mempunyai unsur-unsur secara umum. Menurut S.R Sianturi yang berpandangan monoisme (1986 : 211) unsur-unsur delik pada umumnya yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.
Perbuatan aktif (positif) dan pasif (negatif) Melawan hukum formil dan materil Akibat (khusus untuk delik materil) Keadaan yang menyertai perbuatan (khusus untuk delik tertentu) Tidak adanya dasar pembenar Adapula unsur-unsur pertanggungjawaban pembuat, yang oleh para
ahli yang menganut pandagan monistis disebut unsur-unsur subyektif adalah sebagai berikut ; 1. Kesalahan yang terdiri atas ; a. Kesengajaan b. Culpa lata (alpa dan lalai) 2. Kemampuan bertanggung jawab 3. Tidak adanya unsur pemaaf Sebagaimana diketahui, bahwa kesalahan (schuld) dalam hukum pidana dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu : 1. Dolus atau opzet atau kesengajaan Menurut Memori Van Toelicting (Rusli Effendy, 1989:80), dolus atau sengaja berarti menghendaki mengetahui (willens en wettens) yang
berarti
si
pembuat
harus
menghendaki
apa
yang
dilakukannya dan harus mengetahui apa yang dilakukannya.
15
Tingkatan sengaja dibedakan atas tiga tingkatan yaitu : a. Sengaja sebagai niat : dalam arti ini akibat delik adalah motif utama untuk suatu perbuatan yang seandainya tujuan itu tidak ada maka perbuatan tidak akan dilakukan. b. Sengaja kesadaran akan kepastian : dalam hal ini ada kesadaran bahwa dengan melakukan perbuatan itu pasti akan terjadi akibat tertentu dari perbuatan itu. c. Sengaja insyaf akan kemungkinan : dalam hal ini dengan melakukan perbuatan itu telah diinsyafi kemungkinan yang dapat terjadi dengan dilakukannya perbuatan itu. 2. Culpa atau kealpaan atau ketidaksengajaan Menurut Memorie Van Toelicting (memori penjelasan) atas risalah penjelasan Undang-undang culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Culpa itu baru ada kalau orang dalam hal kurang hatihati, alpa dan kurang teliti atau kurang mengambil tindakan pencegahan. Yurisprudensi menginterpretasikan culpa sebagai kurang mengambil tindakan pencegahan atau kurang hati-hati. Lebih lanjut, (Rusli Effendy 1989:26) menerangkan bahwa kealpaan (culpa) dibedakan atas : 1) Kealpaan dengan kesadaran (bewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah toh timbulnya juga akibat tersebut. 2) Keaalfaan tanpa kesadaran (onbeuste schuld). Dalam hal ini si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman
16
oleh Undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat. Mengenai Memorie Van Toelicting (memori penjelas) tersebut, Satochid Kartanegara (Ledeng Marpaung, 2005 : 13) mengemukakan bahwa : “Yang dimakasud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.” Sedangkan menurut D. Simons (Leden Marpaung, 2005 : 25) mengemukakan bahwa kealpaan adalah : “Umumnya keaalpaan itu terdiri atas dua bagian yaitu, tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mngkin akan timbul suatu sebab akibat yang dilarang Undang-undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun iya telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduga akibat itu lebih dahulu oleh sipelaku adalah suatu syarat mutlak . suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya sebgai kealpaan. Tentu dalam hal mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduga lebih dahulu” itu harus diperhatikan pribadi si pelaku kealpaan tentang keadaan-keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan-keadaan itu tidak ada”. Menurut (Moeljatno 2002 :63), unsur-unsur delik adalah sebagai berikut : a. b. c. d. e.
Kelakuan dan akibat (perbuatan) Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan Keadaan tambahan yang memberatkan Unsur-unsur yang melawan hukum yang objektif, dan Unsur melawan hukum subyektif
17
Lebih lanjut (Moeljatno 2002:64) yang menganut aliran dualistis menyatakan bahwa syarat-syarat pemidanaan terdiri atas perbuatan melawan hukum dan pertangungjawaban pembuat : a. Unsur perbuatan (Handlung) 1) Perbuatan yang mencocoki rumusan delik 2) Melawan hukum 3) Tidak ada alasan pembenar b. Unsur pembuat (Handlende) 1) Kemampuan bertanggung jawab 2) Ada kesalahan dalam arti luas, meliputi dolus (sengaja atau opzet) atau culpa lata (kelalaian). Aliran dualistis tentang delik memandang bahwa, untuk memidana seseorang yang melakukan delik harus ada syarat-syarat pemidanaan yang terbagi atas perbuatan (feit) dan pembuat (dader), karena masingmasing
punya
unsur
tersendiri,
(Wirjono
Prodjodikoro
2003:59)
menguraikan unsur melawan hukum sebagai berikut : “Dalam kandungan KUHPidana , yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seseorang manusia sebagai oknum. Ini mudah dilihat pada rumusan-rumusan tindak pidana dalam KUHPidana menampakkan daya pikir sebagai syarat bagi hukuman/pidana yang termuat dalam Pasal-pasal KUHPidana yaitu hukuman penjara, kurungan atau denda.” Pendapat di atas lebih dipertajam maknanya oleh (Sianturi 1986:211) bahwa unsur-unsur delik adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Subjek Kesalahan Bersifat melawan hukum (dari tindakan) Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang / perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana, dan 5. Waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya)
18
Van Hamel yang berpandangan monitis (Andi zaenal Abidan Farid 1995 : 225) mngemukakan unsur-unsur delik sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perbuatan Perbuatan itu ditentukn oleh hukum pidana tertulis Melawan Hukum Benilai atau patut dipidana Kesengajaan, Kealpaan/Kealaian Kemampuan bertanggungjawab
Berdasarkan pandangan kedua aliran diatas, terdapat perbedaan secara prinsipal, yakni aliran monoisme menitikberatkan kejamnya pada masalah delik saja. Karena unsur perbuatan dan pembuat tidak dipisahkan dan jika salah satu unsur yang tidak terpenuhi berarti tidak ada delik sedangkan delik pada pandagan dualistis hanya meliputi unsur perbuatan saja, sedangkan unsur pembuatnya tidak dimasukkan dalam unsur delik tetapi termasuk unsur-unsur pertanggngjawaban pembuat. Kalau dikaitkan dengan pengertian delik, maka dapat dirumuskan bahwa tindak pidana sebagai suatu tindakan pada waktu, tempat dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dalam pidana oleh Undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab). Perlu dikemukakan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum, sebagaimana ternyata diatas, perbuatan tadi sudah demikian wajar bersifat melawan hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan tersendiri dan tidak perlu disebutkan.
19
B.
Pengertian tindak pidana pemerasan Istilah Pemerasan berasal dari kata “ Peras “ atau “ Perah“, yang
artinya menawarkan air dengan tangan atau alat. Memeras adalah mengambil keuntungan dari orang lain atau dalam arti meminta uang dengan ancaman. Orangnya disebut pemeras, Pemerasan berarti Perbuatan atau hal memeras orang lain untuk mendapatkan keuntungan dengan ancaman atau paksaan. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHPidana Tindak Pidana Pemerasan dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut : 1. Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memeberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. 2. Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini. Tindak Pidana ini sangat mirip dengan Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan dari Pasal 365 KUHPidana. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencurian, pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan, korban, setelah dipaksa dengan kekerasan, menyerahkan barangnya kepada pemeras. Misalnya, ditengah jalan raya seorang A di todong dengan pistol oleh B, yang kemudian mengambil sendiri dompet berisi uang dari saku A, maka yang terjadi adalah pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana. Lain halnya jika A ditodong oleh B dan kemudian
20
atas permintaan B, A menyerahkan dompetnya berisi uang kepada B , maka yang terjadi adalah pemerasan dari Pasal 368 KUHPidana. Tindak Pidana Pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHPidana sebenarnya tediri dari dua macam Tindak Pidana , yaitu Tindak Pidana Pemerasan (afpersing) dan Tindak Pidana Pengancaman (afdreiging). Kedua macam Tindak Pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua Tindak Pidana ini biasanya disebut dengan nama yang sama, yaitu “ Pemerasan “ serta diatur dalam bab yang sama. Sekalipun demikian, tidak salah kiranya apabila orang menyebut bahwa kedua Tindak Pidana tersebut mempunyai sebutan sendiri, yaitu “Pemerasan“ untuk Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 368 KUHPidana dan pengancaman untuk Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 369 KUHPidana. Dalam KUHPidana sendiripun juga menggunakan dua nama tersebut untuk menunjuk pada Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHPidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 368 ayat (2) KUHPidana Tindak Pidana Pemerasan diperberat ancaman pidananya : 1. Tindak Pidana Pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya apabila pemerasan dilakukan di jalan umum atau diatas kereta api atau trem yang sedang berjalan. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 368 ayat (2) Jo pasal 365 ayat (2) ke-1
21
2.
3.
4.
5.
6.
KUHPidana dengan ancaman pidana selama dua belas tahun penjara. Tindak Pidana Pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHPidana dengan ancaman pidana dua belas tahun penjara. Tindak Pidana Pemerasan, dimana untuk masuk ke tempat kejahatan dilakukan dengan cara membongkar, merusak atau memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHPidana dengan pidana penjara dua belas tahun. Tindak Pidana Pemerasan itu mengakibatkan terjadi luka berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHPidana ancaman pidananya sama dengan yang diatas, yaitu dua belas tahun penjara. Tindak Pidana Pemerasan itu mengakibatkan matinya orang. Diatur dalam ketentuan Pasal 368 ayat (2) Jo Pasal 365 ayat (3) KUHPidana dengan ancaman pidana yang lebih berat yaitu lima belas tahun penjara. Tindak Pidana Pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat atau kematian serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai hal-hal yang memberatkan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 365 ayat (1) dan ayat (2) KUHPidana. Berdasarkan Pasal 368 ayat (4) KUHPidana Tindak Pidana Pemerasan ini diancam dengan Pidana yang lebih berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu paling lama 20 tahun penjara.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka terdapat 6 bentuk Tindak Pidana Pemerasan dengan ancaman pidana yang diperberat. C.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerasan Unsur-unsur yang ada didalam ketentuan Pasal 368 KUHPidana
yaitu : a. Unsur Objektif, yang meliputi unsu-unsur : 1. Memaksa; 2. Orang lain; 3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain);
22
4. Supaya memberi hutang; 5. Untuk menghapus piutang. b. Unsur Subyektif, yang meliputi unsur-unsur : 1. Dengan maksud; 2. Untuk menguntunngkan diri sendiri atau orang lain. Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Unsur “ Memaksa “. Dengan istilah “ Memaksa “ dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Dari pengertian memaksa yang demikian itu dalam kaitannya dengan pemerasan dapat diterangkan sebagai berikut. Seseorang (pelaku) mempunyai suatu keinginan, mana berupa agar orang menyerahkan benda atau orang lain memberi hutang ataupun menghapuskan piutang. Keinginan itu tidak akan terwujud apabila ia memintanya begitu saja, karena keinginan itu bertentangan antara kehendak pelaku dengan kehendak orang itu (korban). Keinginan korban untuk tidak menyerahkan benda, tidak memberi hutang maupun tidak untuk menghapuskan piutang harus dikalahkan/ditundukkan, agar kehendak pelaku yang dipenuhi. Untuk itu haruslah dilakukan perbuatan memaksa dengan cara demikian ini membawa akibat bagi korban seperti rasa takut, cemas dan hal ini menjadikan dirinya tidak berdaya. Keadaan ketidakberdayaan inilah yang menyebabkan korban
23
meyerahkan benda dan lain sebagainya tadi, sesuatu yang dikehendaki pelaku. Hal ini juga membedakan pemerasan dan penipuan Pasal 378. Pada penipuan korban menyerahkan benda, memberi hutang dan menghapuskan piutang adalah atas kehendaknya sendiri, dilakukannya secara sukarela, tanpa ada rasa keberatan atau tertekan. Kini dapat disimpulkan bahwa perbuatan memaksa dalam pemerasan itu adalah suatu perbuatan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat menekan yang ditujukan pada seseorang, yang dapat menimbulkan rasa takut atau rasa cemas, menyebabkan ketidakberdayaan, sehingga orang itu dengan terpaksa memberikan benda, memberikan hutang dan menghapuskan piutang, suatu yang dikehendaki petindak dan bertentangan dengan kemauan orang itu sendiri. 2. Unsur “ Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang “ . Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar-benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi apabila orang yang diperas itu
24
telah menyerahkan barang/benda yang dimksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas. 3. Unsur “ Supaya memberi hutang “. Berkaitan dengan pengertian “ Memberi Hutang “ dalam rumusan Pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yang benar. Memberi hutang disini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki. 4. Unsur “Untuk menghapus Hutang“. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. 5. Unsur “Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain“. Yang dimaksud dengan “Menguntungkan diri sendiri atau orang lain”
25
adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Yang menjadi syarat bagi telah terjadinya atau selesainya pemerasan bukan pada terwujudnya penambahan kekayaan itu, melainkan pada apakah dari perbuatan memaksa itu telah terjadi penyerahan barang oleh seseorang ataukah belum. Menguntungkan diri adalah maksud dari pelaku saja, dan tidak harus telah terwujud, maksud mana sudah ada dalam dirinya sebelum melakukan perbuatan memaksa. Ini merupakan unsur kesalahan dalam pemerasan. Sedangkan yang diartikan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, ialah si pelaku sebelum melakukan perbuatan memaksa dalam dirinya telah ada suatu kesadaran bahwa maksud menguntungkan (menambah kekayaan) bagi diri sendiri atau orang lain dengan memaksa seseorang itu adalah bertentangan dengan hukum. D.
Pengertian POLRI (Polisi Republik Indonesia) Istilah Polisi sepanjang sejarah mempunyai arti yang berbeda-beda,
sehingga pengertian Polisi diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Polisi sebenarnya dari bahasa Yunani “Politea” yang berarti seluruh pemerintahan negara kota, Negara Yunani pada abad
26
sebelum masehi terdiri dari kota-kota saja dan disebut sebagai “Negara Kota”. 2. Di Negara Belanda pada jaman dahulu Polisi dikenal melalui konsep catur praja dan van valenhonen yang membagi pemerintah menjadi 4 (empat) yaitu: - Beestur (Pemerintahan) - Politie (Polisi) - Rechtspraak (Yurisdiksi) - Regeling (Peraturan) 3. Dengan demikian Polisi dalam pengertian ini sudah dipisahkan dari Beestur dan merupakan bagian dari pemerintahan sendiri, dan pada pengertian ini Polisi termasuk organ pemerintahan yang mempunyai wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap kewajiban umum. 4. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikemukakan bahwa istilah Polisi mengandung pengertian sebagai berikut: -
Badan
Pemerintahan
(kelompok
Pegawai
Negeri
yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum. -
Pegawai Negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban umum.
5. Pengertian kepolisian menurut Undang-undang No. 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa :
27
“Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga
polisi
sesuai
dengan
peraturan
perundang-
undangan.” E.
Tugas Kepolisian Pada Bab III Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, tugas
pokok Kepolisian adalah: 1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat 2. Menegakkan hukum 3. Memberikan pelayanan, pengayoman, dan perlindungan kepada masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 merupakan implementasi dari tugas pokok dalam melaksanakan tugas pokok tersebut yaitu: 1. Pengatur penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan. 2. Penyelenggara dalam segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dijalan raya. 3. Pembina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dalam kesadaran hukum, peraturan, dan perundang-undangan beserta upaya pemanfaatannya. 4. Peserta aktif dalam pembinaan hukum nasional. 5. Pemelihara ketertiban dan penjamin keamanan umum. 6. Koordinator, pengawas, pembina teknis pada: a. Kepolisian khusus b. Penyidikan pegawai negeri sipil c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa 7. Penyelidik dan penyidik, terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum, peraturan dan perundang-undangan. 8. Penyelenggara identifikasi kepolisian, termasuk kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, psikologi kepolisian dalam tugas kepolisian. 9. Pelindung untuk menyelamatkan jiwa raga, harta benda, masyarakat, lingkungan hidup dari segala bentuk gangguan ketertiban atau bencana. Termasuk dalam memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
28
10. Pelayan masyarakat dalam menangani kepentingan persoalan sebelum ditangani oleh instansi atau pihak berwenang. 11. Pelayanan masyarakat yang membutuhkan pelayanan bantuan polisi sesuai dengan lingkup tugas kepolisian. Pelaksana tugas lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. F.
atau yang atau dan
Wewenang Kepolisian Adapun wewenang Kepolisian dalam melaksanakan tugas-tugasnya
berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 yaitu: 1. Menerima laporan dan pengaduan. 2. Membantu menyelesaikan perselisihan di masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum. 3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. 4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. 5. Mengeluarkan peraturan kepolisian yang sesuai dengan ruang lingkup administrasi kepolisian. 6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai dari tindakan kepolisian dalam upaya pencegahan. 7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian. 8. Mengambil sidik jari, identitas, dan memotret seseorang. 9. Mencari keterangan dan barang bukti. 10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional. 11. Mengeluarkan surat izin atau keterangan kepolisian yang diperlukan masyarakat dalam rangka pelayanan Polri kepada masyarakat. 12. Memberikan bantuan pengamanan dalam persidangan, pelaksanaan Putusan pengadilan, kegiatan instansional dan masyarakat. Jika tugas dan wewenang kepolisian dikaitkan dengan skep Kapolri Nomor 7 Tahun 2005. Maka tugas dan wewenang kepolisian untuk oknum Polri yang berada di lini terdepan pelayanan kepolisian yaitu satuan fungsi : 1. Samapta 2. Lantas 3. Reskrim
29
4. Intelkam 5. Babinkamtibmas Dalam hubungannya dengan proses perlindungan, pengayoman, dan pelayanan bentuk kegiatannya seperti dibawah ini: a. Satuan fungsi teknis Samapta 1. Perlindungan Melaksanakan patroli dan penjagaan, menjaga keamanan, ketertiban masyarakat dan kelancaran lalu lintas, melakukan lidik dan sidik kasus, melindungi keselamatan jiwa, raga, harta dan lingkungan. 2. Pengayoman Menjaga stabilitas, keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas 3. Pelayanan Melayani kepentingan masyarakat sebelum ditanganani oleh institusi yang berwenang dan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dan kewenangan Polri. b. Satuan fungsi teknis Lantas 1. Perlindungan Memanajemen rekayasa lantas, menegakkan hukum, Dikmas lantas, Gatur dan patroli wilayah lalu lintas, mengendalikan lalu lintas. 2. Pengayoman Mengkaji masalah lalu lintas, Dikmas dan Turjawali lalu lintas, pusat informasi masalah lalu lintas dan surat-surat kendaraan bermotor, pengendali rekayasa dan penegak hukum lalu lintas. 3. Pelayanan Pusat registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dan Surat Izin Mengemudi (SIM), Dikmas dan Turjawali lalu lintas, pusat pelayanan publik, informasi pengkajian, dan rekayasa masalah lalu lintas. c. Satuan fungsi teknis Reskrim 1. Perlindungan Menyimpan barang bukti, melindungi saksi, korban dan saksi, mengamankan TKP, memanggil dan memeriksa tersangka, menangkap dan menahan tersangka dan barang. 2. Pengayoman Mencari informasi pelaku kejahatan, barang bukti dan saksi, mengolah dan mengamanankan dan tindak perkara Tempat Kejadian Peristiwa (TKP), memanggil dan memeriksa saksi dan tersangka, menangkap tersangka dan menggeledah.
30
3. Pelayanan Menerima laporan dan pengaduan, mengolah, mengamankan, tindak perkara Tempat Kejadian Peristiwa (TKP), memanggil dan memeriksa saksi dan tersangka, menangkap dan menhan tersangka. d. Satuan fungsi teknis Intelkam 1. Perlindungan Mengidentifikasi gejala kerawanan, mengambil kesimpulan yang akurat, mengamankan sumber informasi, membangun jaringan intelijen. 2. Pengayoman Mengidentifikasi gejala kerawanan, mengambil kesimpulan yang akurat, menyajikan hasil kepada pimpinan, menyiapkan dokumen kepolisian, memberikan informasi dan membangun jaringan intelijen. 3. Pelayanan Mengidentifikasi gejala kerawanan, mengambil kesimpulan yang akurat, menyajikan hasil kepada pimpinan, menyiapkan dokumen kepolisian, memberikan ijin kepolisian e. Satuan fungsi teknis Babinkamtibnas 1. Perlindungan Rehabilitasi, mengumpulkan potensi, dan memberdayakan partisipasi masyarakat. 2. Pengayoman Mengumpulkan dan memberdayakan potensi masyarakat, penyuluhan keamanan dan ketertiban nasional, melakukan kemitraan dengan pemerintahan dan masyarakat. 3. Pelayanan Memberikan bimbingan, pembinaan, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan keamanan dan ketertiban nasional serta rehabilitas masyarakat dan menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban nasional dengan masyarakat. Agar tugas dan wewenang ini dapat dijalankan dengan baik, setiap oknum Polri agar memiliki kemauan dan kemampuan dalam: 1. Mempelajari dan memahami hukum dan perundang-undangan yang berhubungan dengan kepolisian. 2. Meningkatkan kinerja dan profesionalitas. 3. Berkomunikasi insani.
31
G.
Pidana dan pemidanaan Sanksi pidana merupakan reaksi dari akibat dan konsekuensi
pelanggaran dari suaatu perbuatan melawan hukum. Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku. Sanki juga berfungsi sebagai alat penderitaan agar menimbulkan efek jera bagi sipelaku. Kalangan merupakan
hukum
penderitaan,
lazimnya
beranggapan
sedangkan
imbalan
bahwa
hukuman
merupakan
suatu
kenikmatan sehingga akibat–akibanya pada perilaku serta merta akan mengikutinya. Para pakar memberikan pandangan berbeda–beda dalam suatu definisi tentang sanksi. Pengertian sanksi oleh para ahli antara lain sebagai berikut ( Hambali, 2005 : 23 ) : a.
b.
c.
d.
e.
f.
Hoefnagels, sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan Undang – undang, dimulai dari penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampa pada penatuhan vonis oleh hakim. Poernomo, sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana (strafbedreiging) dan mempunyai tugas agar norma yang telah ditetapkan dalam hukum dan Undang–undang ditaati sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma. Utrecht, sanksi juga diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain yang dilakukan oleh manusia atau organisasi sosial. Arrasyid, sanksi terhadap pelanggaran tatanan hukum yang dapat dipaksakan dan dilaksanakan serta bersifat memaksa yang datangnya dari pemerintah merupakan perbedaan yang menonjol dengan pelanggaran terhadap tatanan lainnya. Sudikno, pada hakikatnya sanksi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang telah terganggu oleh pelanggaran–pelanngaran kaidah dalam keadaan semula. Kanter dan Sianturi, sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seeoang mentaati norma–norma yang berlaku.
32
g.
Hambali Thalib, sanksi hukum dalam arti sanksi negatif yang unsur–unsurnya dapat dirumuskan sebagai reaksi terhadap akibat atau konsekuensi terhadap pelanggaran atau penyimpangan kaidah sosial, baik kaidah hukum maupun kaidah sosial nonhukum, dan merupakan kekuasaan untuk memaksakan ditaatinya kaidah sosial tertentu.
Lebih lanjut (kanter dan Sianturi, 1982 : 30), tugas sanksi adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma ditaati oleh setiap orang, dan juga merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum. Dari definisi beberapa pakar hukum tersebut, dapat dipahami bahwa pidana mengandung unsur atau ciri–ciri sebagai berikut : a.
Pidana
pada
hakikatnya
merupakn
suatu
pengenaan
penderitaan atau nestapa atau akibat–akibat lain yang tidak menyenangkan. b.
Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan atau oleh yang berwenang.
c.
Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan delik menurut Undang–undang.
Pengertian serta unsur–unsur sanksi dan pidana sebagaimana telah sebelumnya dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan sanksi dalam hukum pidana (sanksi pidana) adalah reaksi yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang mempunyai kekuasaan (berwenang) berupa pengenaan penderitaan atau akibat–akibat lain yang tidak menyenangkan kepada seseorag yang telah melakukan pelanggaran kaidah hukum atau delik menurut Undang–undang.
33
a.
Tujuan Pemidanaan Dalam memberikan efek jera kepada seorang pelaku kejahatan
sebagai konsekensi dari perbuatannya maka hukum pidana dapat dikatakan sebagai jalan terakhir yaitu apabila upaya hukum lain selan hukum
pidana
dianggap
tidak
mampu
dalam
memberikan
atau
menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan masyarakat. ( Waluyadi, 2003 : 30 ) berpendapat : “Hukum pidana juga dapat diakatakan sebagai crimum meridium, yaitu sebagai upaya antisipatif prepentif agar manusia mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ia memperkosa atau melanggar hak–hak orang lain ( baik nyawa atau harta ) dengan jalan memperkenalkan hukum pidana sedini mungkin.” Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya pencegahan untuk tidak dilakukannya delik atau mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi segenap kepentingan daripada subjek hukum dari pihak–pihak yang tidak bertanggung jawab. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi degan penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan secara tegas kepada pihak– pihak yang telah terbukti melanggar hukum. Tujuan dasar dari adanya pidana bagi seseorang yang telah melanggar norma–norma hukum pidana adalah dengan pertibangan untuk membalas sipelaku delik. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan–alasan yang membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi). Diantaranya teori absolut dan teori relatif (Leden Marpaung, 2008 : 4 )
34
a. Teori absolut Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat. b. Teori Relatif Teori ini dilandasi oleh tujuan sebagai berikut : 1. Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka mengalami hukuman yang serupa (generate preventive). 2. Memperbaiki pribadi terpidana Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali pada masyarakat sebagai orang baik dan berguna. 3. Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya. Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman seumur hidup. Jadi tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk melindungi dan juga memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan. Hukum pidana tidak hanya melihat penderitaan korban atau penderitaan terpidana, tetapi melihat ketentraman masyarakat sebagai suatu kesatuan yang utuh (Leden Marpaung 2008:5). b.
Jenis-jenis pidana Di dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) sesuai Pasal
10, sanksi pidana terdiri dari : 1. Pidana pokok, antara lain : a. Pidana mati b. Pidana penjara
35
c. Pidana kurungan d. Denda 2. Pidana tambahan, anatara lain : a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan beberapa barang tertentu c. Pengumuman Putusan Hakim c.
Pidana pokok 1. Pidana Mati Di dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana, pidana mati termasuk urutan pertama jenis dari pidana pokok yang dalam prakteknya Undang-undang masih memberikan alternatif dengan ukuran hukuman seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun (Pasal 340 KUHP). Menurut (Waluyadi, 2003 : 179 ), di dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang No.2 PNPS Tahun 1964, secara garis besar memuat tata cara tentang pelaksaan hukuman mati. Diantara ketentuan yang terpenting adalah : a. Dalam waktu tiga puluh hari, sebelum pelaksanaan hukuman mati, wajib diberitahukan kepada terdakwa tentang pelaksanaanya hukuman mati tersebut, oleh pihak yang diberi kewenangan untuk itu (Jaksa Tinggi atau Jaksa ). b. Bagi terdakwa yang kebetulan wanita, dalam keadaan hamil, maka pelaksanaan hukuman mati harus ditunda sampai lahirnya bayi yang dikandungnya.
36
c. Tempat dilaksanakannya hukuman mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yang biasanya akan ditentukan menurut wilayah hukum Pengadilan Negeri dimana terdakwa tersebut dijatuhi pidana mati oleh hakim. d. Pelaksaan hukuman mati, dilaksanakan oleh regu tembak yang dipimpin oleh polisi di wilayah hukum yang
bersangkutan
bertanggng
jawab
terhadap
hukuman mati, setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi atau Jaksa. e. Pelaksanaan hukuman mati tidak diperbolehkan di depan umum. f.
Setelah selesai pelaksanaan hukuman mati (ditembak) maka jenasa diserahkan kepada keluarganya.
g. Sebelum
pelaksanaan
hukuman
mati
(sebelum
ditembak) dalam waktu tiga hari (tiga kali dua puluh empat jam) harus memberitahukan kepada terdakwa untuk menyampaikan kata-kata atau pesan terakhir kepada seseorang yang dianggap penting dan perlu oleh terdakwa. h. Setelah pelaksaan hukuman mati, maka Jaksa atau Jaksa Tinggi harus membuat berita acara tentang pelaksanan hukuman mati yang kemudian diserahkan
37
kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan yang kemudian harus dicantumkan dalam surat kePutusan. i.
Kepala polisi di daerah yang bersangkutan atau yang ditunjuk (perwira polisi) harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati, sementara bagi penasehat hukumannya dapat menghadiri hukuman mati tersebut apabila ia menghendaki atau atas permintaan terpidana.
Berdasarkan Pasal 67, Pasal 244,dan Pasal 263 KUHAP, terhadap Putusan (hukuman) mati dapat dimintakan Banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali. Disamping upaya hukum tersebut berdasarkan Undang-undang No.3 Tahun 1950 tentang Grasi, terhadap pidana mati diperbolehkan mengajukan grasi kepada Presiden. 1. Pidana penjara Pada prisipnya hukuman penjara ini, baik untuk seumur hidup maupun penjara untuk sementara waktu, merupakan alternatif dari pidana mati. (Lamintang, 1988 : 69) mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan hukuman penjara adalah : “Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Permasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peratutran tata tertib yang berlaku didalam Lembaga Permasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut”. Perihal mengenai hukuman penjara telah diatur dalam Pasal 12 KUHP, yang mengatur :
38
a. Pidana penjara seumur hidup atau sementara. b. Lamanya pidana penjara sementara itu sekurang-kurangnya satu hah dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. c. Pidana penjara sementara boleh dijatuhkan selama-lamanya dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan dengan pidana yang menurut pilihan hakim sendiri boleh dipidana dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup dan penjara sementara dan dalam hal masa lima belas tahun itu dilampaui, sebab pidana ditambah, karena ada gabungan kejahatan atau karena berulang melakukan kejahatan atau ketentuan Pasal 52. d. Lamanya pidana itu sekali-kali tida boleh lebih dari dua puluh tahun. Jika berpedoman pada Pasal 12 KUHP tersebut, maka seseorang dapat dipidana sehubungan dengan kejahatan yang telah dilakukan berkisar antara satu hari sampai dengan dua puluh tahun. Satu hari menurut hukum adalah serentetan waktu selama 24 (dua puluh empat) hari (Pasal 97 KUHP). 2. Pidana Kurungan Perihal mengenai hukuman kurungan ini telah diatur dalam Pasal 18 KUHP, yang mengatur : a. Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya satu tahun. b. Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan dalam hal hukuman melebihi satu tahun,sebab ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena ketentuan Pasal 52. c. Pidana kurungan tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan. Hukuman kurungan ialah hukuman yang dijatuhkan di dalam penjara, sama halnya dengan hukuman penjara. Namun terdapat beberapa perbedaan yang membedakannya dengan hukuman penjara, antara lain :
39
a. Hukuman penjara dapat dijalankan
di dalam penjara mana
saja, sedangkan hukuman dijalankan di daerah dimana terhukum bertempat tinggal waktu hukuman itu dijatuhkan. b. Orang yang dipidana hukuman kurungan , pekerjaannya lebih ringan daripada orang yang dipidana hukuman penjara. c. Orang yang dipidana dengan pidana dengan pidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang akan ditetapkan dalam perundang-undangan (Pasal 23 KUHP). d. Masa waktu terpendek secara umum bagi hukuman kurungan adalah satu hari dan selama-lamanya satu tahun, dan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan dalam hal gabungan delik, berulangkali melakukan delik tersebut menyertakan bendera Republik Indonesia, maka ditambah sepertiga (Pasal 52 KUHP). 3. Pidana Denda Menurut kitab Undang-undang hukum Pidana bahwa hukuman denda yang merupakan urutan keempat dari pidana pokok, tidak selalu berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan alternatif dari pidana penjara, pidana kurungan dan juga pelanggaran lalu lintas (untuk pelanggaran lalu lintas sesuai dengan Undangundang No.14 Tahun 1992).
40
( Waluyadi, 2003 : 202 ) mengatakan, menurut KUHP maupun
di
dalam
Undang-undang
yang
lainnya,
dapat
disimpulkan bahwa hukuman denda mengalami posisi sebagai berikut : a. Hukuman denda itu merupakan hukuman utama dengan tidak memberikan jenis pidana lain untuk mengganti pidana denda. b. Hukuman denda merupakan hukuman alternatif, sementara pidana utamanya adalah pidana kurungan. c. Pidana denda juga merupakan jenis pidana alternatif dari pidana penjara. d. Hukuman denda itu merupakan pidana utama, sementara pidana kurungan sebagai alternatif. e. Denda itu dijatuhkan berbarengan denagn pidana penjara. f. Pidana denda yang dijatuhkan bersama dengan pidana kurungan, sesuai dalam Pasal 406, Pasal 489, Pasal 529, dan Pasal 532 KUHP. g. Mengenai penjatuhan hukuman denda yang terpisah dan atau disatukan dengan jenis hukuman yang lainnya dapat dilihat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1971 tentang Delik Korupsi , sebagaiman telah diubah dengan Undangundang No.31 Tahun 1999. Lebih lanjut (Waluyadi, 2003:205) pada perinsipnya perihal mengenai pidana denda keberadaannya harus mengacu pada hal-hal sebagai berkut: a. Besarnya denda itu sekurang-kurangnya dua puluh lima sen. b. Bilamana dijatuhkan pidana denda, dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan. c. Lamanya pidana kurungan pengganti denda itu sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan. d. Lamanya itu dalam Putusan hakim ditentukan sebagai berikut : 1. Jika denda atau setengah rupiah atau kurang, gantinya satu hari. 2. Jika lebih dari itu bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari. e. Pidana kurungan itu dapat dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan dalam hal maksimum denda itu ditambah,
41
f.
karena ada gabungan kejahatan, karena berulang membuat kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 KUHP. Lamanya pidana kurungan itu sekali-kali tidak lebih dari delapan bulan ( Pasal 30 KUHP ).
d. Pidana Tambahan 1. Pencabutan beberapa hak tertentu Hal-hal yang menyangkut pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, di dalam KUHP telah diatur dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 KUHP. Pencabutan tentang hak tertentu yang tertuang dalam Pasal 10 KUHP penjatuhannya oleh Hakim tidak dapat dijatuhkan secara terpisah (tidak dapat dipisahkan) dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya, apabila Hakim hendak menjatuhkan pidana berupa pencabutan beberapa hak tertentu , seorang Hakim harus menyertakan didalamnya pencabutan beberapa hak tertentu bersama dengan pidana pokok. Dari penjelasan diatas terlihat secara garis besar bahwa apapun
jenis
menyertakannya
kejahatannya. pidana
Hakim
tambahan
dapat
berupah
sekalikus pencabutan
beberapa hak tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat dari (Wluyadi 2003:213), dengan mengatakan : “Undang-undang ternyata tidak menjelaskan secara limitatif tentang kriteria yang dapat dipedomani oleh hakim sehingga ia menyertakan pidana tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu. Dalam arti, apakah seluruh kejahatan dan pelanggaran yang terdapat di dalam KUHP dapat dikenakan pidana tambahan tersebut, disamping pidana pokoknya “.
42
Lebih lanjut Waluyadi menjelaskan, undang-undang hanya menjelaskan pada Pasal 128 KUHP, bahwa : a. Jika pidana karena kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 104 dapat dijatuhi pidana pencabutan hak-hak tersebut pada Pasal 35 ke-1 sampai dengan ke-5; b. Pada waktu menjatuhkan pidana salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 106-108, Pasal 110-125, maka dapat dijatuhkan pula pidana pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan ke-5; c. Pada waktu menjatuhkan pidana sebab kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 127 maka yang bersalah dapat dipecat dari jabatan yang dijalankan pada waktu melakukan kejahatan itu, dari hak yang tersebut dalam Pasal 35 ke-1 sampai dengan ke-4 dan dapat pula diperintahkan supaya Putusan Hakim di umumkan. Jika pembuat Undang-undang tidak menjelaskan dan menegaskan bahwa hanya kejahatan-kejahatan seperti tersebut dalam Pasal 104, Pasal 106-108, dan Pasal 110-125 KUHP sementara Pasal diluar itu tidak ditegaskan untuk tidak dibebani pidana tambahan berupa pencabutan beberapa hak tertentu , akan memberikan pengertian bahwa jenis pidana tersebut di mungkinkan untuk dijatuhkannya. Jika demikian yang terjadi, maka akan kembali kepada keyakinan Hakim. Dalam arti , apakah sesuatu kejahatan itu perlu dijatuhi pidana tambahan berupa beberapa pencabutan beberapa hak tertentu atau tidak sangat tergantung kepada penilaian Hakim. 2. Perampasan beberapa barang tertentu Secara sederhana dapat diketahui bahwa perampasan barang adalah pengalihan kekuasaan atas barang untuk
43
kepentingan hukum. Istilah lain dari kata perampasan barang ini dapat kita temukan di dalam KUHAP (Kitab Undang-ndang Acara Pidana) yang dikenal dengan penyitaan yaitu serangkain tindak penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasannya benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud
maupun
tidak
berwujud
untuk
kepentingan
pembuktian dalam penyelidikan, penuntutan , dan peradilan (Pasal 1 ke-16 KUHAP). Mengacu pada KUHP dan KUHAP akan memberikan penafsiran yang berbeda dalam memberikan dua jenis fungsi dan maksud dari penyitaan itu. Menurut KUHAP, penyitaan akan dilaksanakan oleh penyidik (penyidik polri dan atau penyidik pegawai negeri sipil yang diberi kewenangan untuk itu) guna kepentingan proses peradilan (penyidikan, penuntutan, perdilan; sidang pengadilan), atau dengan kata lain bahwa maksud dari penyitaan dalam KUHAP adalah untuk kepentingan pembuktian. Berbeda dengan KUHAP, penyitaan menurut KUHP adalah demi untuk kepentingan negara yang dinyatakan dengan kePutusan Hakim sebagai hukuman tambahan di samping hukuman pokok, ini sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 39 KUHP, yang mengatur :
44
a.
b.
c.
Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan, boleh dirampas. Jika seorang dipidana karena melakukan kejahatan dengan tidak sengaja atau karena melakukan pelanggaran, boleh juga dijatuhkan pidana rampasan itu dalam hal yang ditentukan dalam Undang-undang Pidana rampasan itu boleh juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah tentang barang yang sudah disita. Pasal 39 KUHP tersebut merupakan atas umum dari
penyitaan, yang menerangkan bahwa pada dasarnya barangbarang dapat disita dan penyitaannya harus berbarengan dengan dijatuhi hukuman pokok mliputi : a. Benda yang diperoleh dari kejahatan b. Benda yang dipakai untuk melakukan kejahatan c. Benda yang dipakai untuk melakukan kejahatan karena tidak sengaja dan atau karena melakukan pelanggaran melalui Undang-undang. 3. Pengumuman Putusan hakim Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua Putusan pengadilan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum. Ketentuan ini, dalam hukum acara pidana sering disebut sebagai asas-asas umum pemeriksaa sidang pengadilan. Di
samaping
ketentuan
Pasal
195
KUHAP
yang
menegaskan agar semua Putusan diucapakan dalam situasi sidang yang terbuka untuk umum, maka dalam permulaan
45
sidang pun disyaratkan hendaknya dilaksanakan dengan terbuka untuk umum serta menggunakan bahasa Indonesia yang dapat dimengerti oleh terdakwa atau sanksi,sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 153 KUHAP yang menentukan bahwa : 1. Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang. 2. a) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan disidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan sanksi. b) ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajuakan pernyataan yang mengakibatkan terdakwa atau sanksi memberikan jawaban yang tidak bebas. 2. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang dapat menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa anak-anak. 3. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 menyebabkan batalnya Putusan demi hukum. 4. Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
46
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam
penulisan
ini,
Penulis
melakukan
penelitian
untuk
memperoleh data atau menghimpun berbagai data, fakta dan informasi yang diperlukan. Data yang di dapatkan harus mempunyai hubungan yang relevan dengan permasalahan yang dikaji, sehingga memiliki kualifikasi sebagai suatu sistem ilmiah yang proporsional. A.
Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan, maka
Penulis memilih lokasi penelitian di Makassar yaitu tepatnya di Pengadilan Negeri Makassar. Alasan Penulis mengambil tempat penelitian di Pengadilan Negeri Makassar disebabkan hubungan judul skripsi yang dianggap bersesuaian dengan tempat penelitian. B.
Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
digolongkan dalam 2 (dua) bagian yaitu: 1. Data primer, merupakan data empirik yang diperoleh secara langsung di lapangan atau lokasi penelitian melalui teknik wawancara pada lokasi penelitian. 2. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dan dikumpulkan melalui literatur atau studi kepustakaan, peraturan perundangundangan, artikel-artikel hukum, karangan ilmiah, internet, buku-
47
buku, surat kabar, majalah, koran dan bacaan-bacaan lainnya yang berhubungan erat dengan masalah yang akan diteliti. C.
Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka memperoleh data yang relevan dengan pembahasan
tulisan ini, maka Penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1.
Penelitian pustaka (liberary research). Pengumpulan data pustaka diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan hal-hal yang diteliti, berupa buku dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Disamping itu juga data yang diambil Penulis ada yang berasal dari dokumendokumen penting maupun dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penelitian lapangan. Penelitian lapangan ini ditempuh dengan cara, yaitu:
Observasi,
yaitu
mengumpulkan
data
dengan
cara
pengamatan langsung dengan objek penelitian. D.
Wawancara (interview).
Analisa Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis
secara kualitatif, yaitu analisis kualitatif menggambarkan keadaankeadaan yang nyata dari obyek yang akan dibahas dengan pendekatan yuridis formal dan mengacu pada doktrinal hukum, analisis bersifat
48
mendeskripsikan
data
yang
diperoleh
dalam
bentuk
wawancara
selanjutnya diberi penafsiran dan kesimpulan.
49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penerapan Ketentuan Hukum Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Oleh Anggota Kepolisian sebagaimana dalam Putusan nomor 1921PID.B/2013/PN.MKS. Hakim dalam memeriksa perkara pidana, berupaya mencari dan membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta memegang teguh pada surat dakwaan yang dirumuskan oleh penuntut umum, apabila surat dakwaan tersebut terdapat kekurangan
atau
kekeliruan,
maka
hakim
akan
sulit
untuk
mempertimbangkan dan menilai serta menerapkan ketentuan pidana dalam perkara pidana tersebut. Suatu tindak pidana menimbulkan suatu bencana bagi korbannya dimana selalu ada hal yang mendasari (sebab) dengan melahirkan suatu akibat. Pada penjelasan dengan menggunakan logika deduktif, tindak pidana terjadi apabila terdapat suatu perbuatan oleh seseorag yang mengarah pada timbulnya akibat hukum bagi pelaku tindak pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban yang diberikan atas perbuatannya. Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya dapat dipertanggungjawabkan dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat
50
dihukum.
Apabila
seseorang
melakukan
tindak
pidana
maka
perbuatannya tersebut harus dipertanggungjawabkan. Berdasarkan dengan persoalan di atas, maka penulis terlebih dahulu membahas mengenai uraian posisi kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 1921/PID.B/2013/PN.Makassar. A.
Posisi Kasus Bahwa ia terdakwah Deddy Kusnadi Jamri, Pada hari Minggu
tanggal 10 Agustus 2011 sekitar pukul 19.30 WITA, atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Agustus 2011, bertempat di Jln. Mesjid Raya (samping ATM BCA) kota Makassar atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum PN. Makassar yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum , dengan ancaman pencemaran, baik secara lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang sesuatu berupa uang tunai sejulah Rp. 18.000.000,(delapan belas juta rupiah) yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain yaitu milik saksi korban Sri Mulyono dan Nafiatin Nazilah, atau supaya membuat hutang ataupun menghapuskan piutang. -
-
Berawal pada saat mereka saksi yaitu Nafiatin Nazilah dan saksi Sri Mulyono berada di pantai akkarena dimana saat itu saksi Nafiatin ingin menyampaikan permasalahan keluarganya kepada Sri mulyono dimana saat itu keduanya berada didalam mobil saksi Sri Mulyono. Bahwa selanjutnya keduanya menuju pulang kerumah namun dalam perjalan tepatnya di JL. Mesjid Raya Makassar (samping ATM BCA), terdakwa Dedi Kusnady Jamri dengan mengendarai
51
-
-
-
-
-
-
B.
sepeda motor menghentikan kendaraan saksi korban yang saat itu mengaku seorang anggota polisi dan bernama Briptu Rusdi yang berdinas di Samapta Polda Sul-Sel. Bahwa saat itu terdakwa menyuruh pada saksi korban untuk turun dari mobil dan mengatakan kepada kedua saksi korban kalau telah melakukan perbuatan Asusila saat berada di Pantai Akkarena, dan juga saat itu terdakwa mengatakan akan menyampaikan kepada keluarga mereka saksi juga akan dilaporka ke Kantor Polisi. Bahwa atas ancaman terdakwa itu mereka saksi ketakutan dan selanjutnya terdakwa meminta kepada mereka saksi uang sejmlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah), sehingga akhirnya mereka saksi memberikan uang sejumlah Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) kepada terdakwa. Bahwa setelah beberapa hari kemudian terdakwa kembali meminta uang kepada mereka saksi sebanyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dimana saat itu mereka saksi hanya dapat memberikan tambahan sebanayak Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah), dan sisanya sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) akan mereka saksi berikan selanjutnya. Bahwa selang beberapa hari kemudian terdakwa meminta sisa uang sejumlah Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah), dimana saat itu mereka saksi menyadari kalau dirinya telah diperas oleh terdakwa sehingga keduanya melaporkan kepada pihak yang berwajib. Bahwa selanjutnya mereka saksi menghubungi terdakwa untuk menyerahakan sisa uang sebanyak Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) dan berjanji bertemu di depan Bank BCA Panakukkang Makassar, dan setelah terdakwa sudah berada ditempat yang mereka saksi sepakati untuk bertemu selanjutnya terdakwa ditangkap oleh petugas polisi. Bahwa selanjutnya terdakwa dan barang bukti diserahkan ke Polda Sul-Sel untuk proses lebih lanjut. Bahwa atas perbuatan terdakwa tersebut mereka saksi mengalami kerugian sebesar Rp. 18.000.000,- (delapan belas juta rupiah). Dakwaan penuntut umum Isi dari dakwaan penuntut umum terhadap kasus tersebut yang
dibacakan dihadapan persidangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar, pada pokonya sebagai berikut : Bahwa dalam dakwaan terdakwah didakwa telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam tindak pidana dalam Pasal 369
52
Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pemerasan dengan pengancaman yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Unsur Barangsiapa. 2. Unsur Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu; 3. Unsur yang seluruhnya atau sebahagian milik orag lain. Ad. 1 Unsur Barangsiapa; Yang dimaksud unsur barangsiapa adalah setiap orang atau siapa saja
yang
merupakan
dipertanggung
jawabkan
subjek secara
hukum, hukum,
yang yang
perbuatannya mana
dapat
identitasnya
tercantum dalam surat dakwaan dan diakui oleh terdakwa. Ad. 2 Unsur Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu; Bahwa fakta yang terungkap dimuka persidangan berdasarkan saksi-saksi dan terdakwa sendiri, dimana saat itu terdakwa telah memaksa saksi korban untuk menyerahkan sesuatu barang berupa uang tunai sejumlah Rp.18.000.000,- (delapan belas juta rupiah), dimana saat itu terdakwa mengancam kalau saksi korban tidak memberi maka terdakwa menyampaikan kepada keluarga saksi kalau saksi korban dan
53
rekannya telah berdua-duaan
di pantai Akkarena, atas ancaman
terdakwa tersebut saksi korban merasa ketakutan dan mengkuti keinginan terdakwa dan memberikan uang sejumlah yang diminta terdakwa. Ad. 3 Unsur yang seluruhnya atau sebahagian milik orang lain; Bahwa sesuai fakta dipersidangan berdasarkan keterangan saksisaksi, keterangan terdakwa sendiri, dimana uang sebesar Rp.18.000.000,(delapan belas juta rupiah) adalah uang milik saksi Naviatin dan Sdr. Sri Mulyono yang merupakan rekan saksi Naviatin, dan sama sekali dimuka persidangan terdakwa tidak dapat membuktikan kalau uang tersebut sebagai miliknya. Dengan demikian unsur inipun telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum. C.
Tuntutan oleh Penuntut Umum Tuntutan penuntut umum yang dibacakan di depan persidangan
Pengadilan Negeri Makassar, maka dasarnya kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili agar memutuskan : 1. Menyatakan
terdakwa
DEDI
KUSNADY
JAMRY,
bersalah
melakukan Tindak Pidana Pemerasan Dan Pengancaman, sesuai dengan Pasal 369 ayat (1) KUHP dalam dakwaan Pertama. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DEDI KUSNADY JAMRI dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, dikurangi selama terdakwa ditahan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3. Menyatakan barang bukti berupa :
54
-
1 (satu) Unit Sepeda Motor Kawasaki Ninja R No.Pol DD 3220 DO.
4. Menetapkan agar terdakwa, membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah). Demikian surat tuntutan ini kami bacakan dan serahkan dalam sidang hari ini Selasa tanggal 21 Januari 2014. D.
Penerapan Ketentuan Pidana oleh Hakim Adapun penerapan ketentuan pidana oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara ini pada dasarnya adalah sebagai berikut : Hakim memperhatikan pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dengan perkara pidana yaitu Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Pengancaman yang unsurunsurnya adalah sebagai berikut : - Unsur Barangsiapa. - Unsur Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang
lain
secara
melawan
hukum,
memaksa
seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu; - Unsur yang seluruhnya atau sebahagian milik orang lain. Majelis hakim berpendapat, bahwa penuntut umum telah berhasil membuktikan
dakwaannya
oleh
karenanya
terdakwah
dinyatakan
bersalah dan harus pula dijatuhi hukuman yang setimpal dengan
55
kesalahannya berdasarkan Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Pengancaman. Majelis hakim menerapkan ketentuan pidana berupa pidana penjara selama : 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari. Hakim menjatuhkan pidana penjara yang minimal karena di tengah-tengah penyelesaian kasus, kedua belah pihak telah sepakat untuk saling memafkan karena kedua belah pihak masih ada hubungan keluarga dan meminta kepada Jaksa dan Hakim supaya tersangka di jatuhi hukuman yang ringan. Oleh karenanya hakim mempertimbangkan hal tersebut dan masih banyak hal lainnya maka hakim menjatuhkan sanksi yang sangat ringan. Dalam konteks perkara ini, terpidana dinilai oleh hakim melakukan serangkian
pemerasan
dengan
pengancaman
yang
menimbulkan
kerugian dari si korban maupun keluarganya. Nathan Lambe (wawancara 01 Juli 2015) “Berpendapat bahwa untuk perkara pemerasan yang di sertai pengancaman sebenarnya terhadap korban ini tentunya sangat merugikan korban namun karena belakangan diketahui bahwa ada hubungan
kekeluargaan
makanya
ingin
diselesaikan
secara
kekeluargaan, maka terpidana dijatuhi hukuman sesuai dengan Pasal yang
dilanggarnya
dalam
KUHP
tentang
Pemerasan
dengan
pengancaman. E.
Analisis Penulis Hakim dalam memeriksa perkara pidana, berupaya mencari dan
membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap dalam
56
persidangan, serta memegang teguh pada surat
dakwaan yang
dirumuskan oleh penuntut umum. Berdasarkan posisi kasus sebagimana telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan syarat dapat di pidananya seorang
terdakwa,
hal
ini
didasarkan
pada
pemeriksaan
dalam
persidangan, alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk di dalamnya keterangan saksi yang saling berkesesuaian ditambah keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar menyatakan bahwa unsur perbuatan terdakwa telah mencocoki rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 369 ayat (1) tentang Pemerasan dengan Pengancaman . Berkaitan dengan masalah di atas, penulis melakukan wawancara dengan salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Makassar Nathan Lambe, S.H., M.H (wawancara 01 Juli 2015) yang mengatakan bahwa: “ Bahwa penerapan ketentuan pidana terhadap terdakwah di lihat dari tuntutan penuntut umum di dalam surat dakwaan dan KUHP yang di langgar oleh terdakwah, dalam hal ini Deddy Kusnadi Jamri”. Adapun efektifitas penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana pemerasan dengan pengancaman dalam Putusan perkara Nomor: 1921/Pid.B/2013/PN.Mks adalah menurut Nathan Lambe, S.H., M.H (wawancara 01 juli 2015) yang mengatakan bahwa:
57
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan 15 hari agar terdakwa jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi”. Pemidanaan merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peran Hakim sangat penting. Ia mengkonkretkan sanksi pidana yang terdapat dalam suatu peraturan dengan menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Jadi pidana yang dijatuhkan diharapkan dapat menyelesaikan konflik atau pertentangan dan juga mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Karena pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia melainkan hanya untuk memberikan efek jera. Uraian di atas di perkuat oleh Nathan Lambe, S.H., M.H, salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar yang menyatakan sebagai berikut : “Tujuan Hakim memberikan sanksi pidana kepada terpidana yaitu agar terpidana tidak lagi mengulangi perbuatannya. Seperti yang telah diketahui bahwa tujuan pemidanaan bukanlah sebagai sarana balas dendam, yang memandang pidana sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat melakukan suatu tindak pidana. Hal ini sebabkan tujuan pemidanaan mengalami perkembangan ke arah yang rasional”.
58
B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap
Pelaku
Pada
Perkara
Pidana
Nomor
:
1921/PID.B/2013/PN.Makassar. Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Penting kiranya untuk memberikan pemahaman bahwa sebuah keadilan itu bersifat abstrak, tergantung pada sisi mana kita memandangnya. Oleh karena itu dalam rangka memaksimalkan tujuan hukum maka kita tidak hanya memenuhi rasa kepastian hukum tetapi juga rasa keadilan. Berikut ini penulis akan menguraikan mengenai pertimbangan hakim dalam Putusan perkara No. 1921/Pid.B/2013/PN.Mks. A.
Pertimbangan Hakim Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar yang
memeriksa dan mengadili perkara ini pada dasarnya sebagai berikut : Menimbang, bahwa di persidangan terdakwah telah memberikan keterangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : - Bahwa benar pada hari Minggu tanggal 10 Agustus 2011 sekira pukul 19.30 bertempat di Jl. Mesjid Raya Makassar (disamping ATM Bank BCA), terdakwa meminta uang kepada saksi Naviatin dan saksi Sri Mulyono sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
59
- Bahwa benar saat itu terdakwa memperkenalkan diri sebagai anggota polisi bernama Briptu Rusdi yang bertugas di Polda Sulselbar. - Bahwa benar selanjutnya terdakwa mengambil alih kemudi dan menyuruh saksi Naviati dan saksi Sri Mulyono untuk naik keatas mobil dimana saat itu akan dibawa ke Polsek dan saat itu terdakwa meminta uang sejumlah Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). - Bahwa benar saat itu saksi dan rekannya mengikuti keinginan terdakwa selanjutnya saksi mengambil uang di ATM BCA yang akhirnya terkumpul hingga Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah). - Bahwa benar selanjutnya dilakukan penahanan terhadap diri terdakwa, dimana selanjutnya melalui saksi Hamzah Bambeng dimana merupakan sahabat dari Orang Tua terdakwa yang juga Anggota Polisi akhirnya melakukan perdamaian dengan saksi dengan mengembalikan uang milik saksi sejumlah Rp.18.000.000,- (delapan belas juta rupiah) dan tertuang dalam surat pernyataan damai yang mana saksi Naviatin dan rekannya menyatakan tidak keberatan atas perbuatan terdakwa. - Bahwa terdakwa membenarkan keterangannya dalam BAP dan membenarkan barang bukti yang diperlihatkan dimuka persidangan. - Bahwa benar uang yang terdakwa terima adalah untuk kepentingan terdakwa sendiri dan tidak untuk diserahkan kepada siapa-siapa. Menimbang, bahwa dalam berkas perkara telah terlampir pula : - Barang bukti berupa 1 (satu) unit sepeda motor Kawasaki Ninja R No. DD 3220 DO. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan saling bersesuaian yang didukung pula dengan barang bukti yang ada, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan”. Menimbang, bahwa terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum didakwa telah melakukan tindak pidana dengan dakwaan : Pertama pasal 369 ayat 1 KUHP Atau, Kedua pasal 335 ayat 1 ke-1 KUHP tentang pemerasan dengan pengancaman. Menimbang, bahwa oleh karena Jaksa Penuntut Umum di susun secara alternative maka majelis hakim akan memilih untuk membuktikan dakwaan mana yang akan dibuktikan sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Menimbang, bahwa dalam dakwaan terdakwa didakwa telah melakukan tindak pidana sebagimana diatur dan diancam tindak pidana
60
dalam Pasal 369 Ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Pengancaman yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Unsur Barangsiapa. 2. Unsur Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu; 3. Unsur yang seluruhnya atau sebahagian milik orag lain. Menimbang, bahwa oleh semua unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagimana yang diatur dalam Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Pengancaman yakni “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu”. Menimbang, bahwa oleh karena dipersidangan Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang menjadi dasar alasan untuk menghapuskan pidana atas diri terdakwa, baik alasan pemaaf ataupun alasan pembenar, sehingga oleh karenanya terdakwa harus dinyatakan dapat mempertanggung jawabkan perbuatnnya. Menimbang, bahwa sebelum majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan hukuman bagi diri terdakwa: Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat ; Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannnya persidangan; - Terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya ; - Terdakwa brsikap sopan selama persidangan ; Menimbang, bahwa dengan memperhatiakan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan tersebut, Majelis berpendapat bahwa pidana yang akan dijatuhkan telah sesuai dan setimpal dengan perbuatann terdakwa, oleh karenanya dipandang tepat dan adil. Menimbang, bahwa karena terdakwa dalam status tahanan maka lamanya terdakwa dalam tahanan akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menimbang, bahwa karena terdakwa berada dalam tahanan dan agar terdakwa tidak melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka sudah selayaknya terdakwa diperintahkan untuk tetap dalam tahanan.
61
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka hukuman yang akan dijatuhkan sebagimana yang akan disebutkan dalam amar Putusan ini dipandang telah setimpal dengan kesalahan terdakwa. Sehingga terdakwa dengan ini dijatuhi hukuman yang terdapat dalam Amar Putusan : 1. Menyatakan tedakwa DEDDY KUSNADI JAMRI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pemerasan” ; 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa DEDDY KUSNADI JAMRI oleh karena itu pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari ; 3. Menetapkan lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ; 4. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan ; 5. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) unit sepeda motor Kawasaki Ninja R No. Pol. DD 3220 DO dikembalikan kepada terdakwa ; 6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5000.- (lima ribu ruiah).Menurut Nathan Lambe, S.H., M.H, bahwa perbuatan terpidana berdasarkan alat-alat bukti, seperti keterangan-keterangan saksi yang diajukan serta fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan, telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemerasan dengan pengancaman. Hal ini dapat dinilai dengan melihat dan mempertimbangkan perbuatan terpidana yang melakukan serangkaian pengancaman untuk melakukan pemerasan terhadap korbannya dengan tidak memperdulikan kerugian yang akan didatangkan dari perbuatannya tersebut. B.
Analisis Penulis Konsekuensi dengan adanya hukum adalah keputusan hakim harus
mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari
62
keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan dan kekalahan oleh pencari keadilan. Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan Putusan harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat, yakni tidak hanya berdasarkan pertimbangan yuridisnya tetapi terdapat juga pertimbangan sosiologisnya, yang mengarah pada latar belakang terjadinya kejahatan. Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah serta, menciptakan hukum sendiri yang bersendikan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan pancasila sebagai sumber dari segala hukum. Berdasarkan Putusan Nomor 1921/Pid.B/2013/PN/Mks, menyatakan bahwa terdakwa An. Deddy Kusnadi Jamri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pemerasan. Maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari. Dengan demikian perbuatan terdakwa adalah perbuatan yang melawan hukum dan tidak terdapat alasan pembenar, terdakwa juga adalah orang yang menurut hukum mampu bertanggung jawab apa yang dilakukannya melakukan serta tidak ada alasan pemaaf. Sehingga dengan demikian Putusan hakim yang berisikan pemidanaan sudah tepat. Menurut pendapat penulis, penjatuhan pidana yang di lakukan oleh hakim dilakukan sebagai efek jera kepada pelaku agar tidak megulangi perbuatannya di kemudian hari. Dengan banyak pertimbangan di antaranya terdakwa merupakan tulang punggung keluarga dan adanya
63
perdaiman antara kedua belah pihak maka terdakwa mendapatkan pidana penjara yang di jatuhkan oleh hakim selama 2 (dua) bulan dan 15 (lima belas) hari, dan menurut penulis sudah tepat karena dari analisis di peroleh kesimpulan bahwa terdakwa dan korban sudah saling memaafkan dan korban tidak keberatan atas perbuatan terdakwa. Tetapi karena masalah ini sudah di laporkan dan masuk dalam rana persidangan maka harus di proses sesuai dengan hukum yang berlaku. Pertimbangan adalah hal yang sangat penting dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa apalagi terdakwa yang masih di anggap belum dewasa, seorang hakim haruslah memutuskan sebuah Putusan dengan pertimbangan yang berasal pada hati nuraninya lalu kemudian ke pikirannya agar dapat menghasilkan Putusan yang seadil-adilnya, untuk itu dalam kasus ini seorang terdakwa bisa diberikan hukuman yang ringan (tidak menjatuhkan hukuman maksimal pada Pasal 369 ayat (1)) yaitu 4 (empat tahun) agar kelak dikemudian hari dapat memperbaiki dirinya menjadi lebih baik. Bahwa sebelum menjatuhkan Putusan terhadap terdakwa, terlebih dahulu Majelis perlu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan terdakwa sehingga Putusan yang akan dijatuhkan dapat mencapai rasa keadilan. Dalam kasus ini terdakwa bergabung sebagai anggota kepolisian dimana diketahui bahwa sebagai seorang anggota kepolisian harus memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Sedangkan yang terjadi
64
pada kasus ini justru anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana Indonesia merupakan negara hukum jadi siapapun yang melanggar aturan hukum dapat dikenakan hukuman.
65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasrkan hasil penelitian dan pembahasan,
maka penulis
menyimpulkan beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Penerapan
Ketentuan
Hukum
Pidana
Pelaku
Tindak
Pidana
Pemerasan pada Perkara Pidana yang terdapat dalam Putusan Nomor 1921/Pid.B/2013/PN.Mks telah menerapkan Pasal 369 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Pengancaman, yang sudah sesuai dengan faktor perbuatan pelaku yang mengancam korbannya untuk di peras dan sanksi yang diberikan pun sudah sesuai dengan pidana materil. Serta selama pemeriksaan di persidangan tidak ditemukan alasan-alasan penghapusan pertanggungjawaban pidana, sehingga terdakwah
dinyatakan
mampu
bertanggungjawab
dan
harus
mendapatkan sanksi yang setimpal atas perbuatnnya. 2. Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
pelaku
pada
perkara
Putusan
Nomor
1921/Pid.B/3013/PN.Mks, dalam pertimbangan hukum oleh hakim lebih mengutamakan perbaikan diri terhadap terdakwa ini terlihat dalam pemberian hukuman yang paling ringan berdasarkan pasal 369 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pemerasan dengan Pengancaman. Seharusnya mendapat hukuman yang sesuai yang diatur dalam Pasal tersebut tetapi karena berbagai pertimbangan
66
hakim untuk memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk bisa lebih memperbaiki diri agar kelak tidak mengulangi lagi perbuatanperbuatannya yang melanggar hukum. B. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Hendaknya hakim dalam memutuskan perkara terlebih dahulu mempertimbangkan
dampak
yang
ditimbulkan
dari
perbuatan
seseorang yang melakukan tindak pidana. 2. Diharapkan pemerintah dan masyarakat berperan aktif dalam menciptakan suasana yang kondusif dalam masyarakat seperti memberikan penyuluhan hukum dilingkungan masyarakat sebagai upaya preventif dengan membangun kecerdasan spiritual.
67
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali. 2002.Menguat Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis). PT. Toko Gunung Agung Tbk : Jakarta. Andi Hamsah. 1994.Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasar Teori dan Praktek. PT. Rineka Cipta: Jakarta. -----------------------, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika: Jakarta. Djoko Prakoso. 1988. Hukum Panitensier di Indonesia. Liberty: Jakarta. E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika: Jakarta. Hambali Thalib. 2005. Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan. Umitoha Ukhuwah Grafiaka: Makassar. Kelana. 1994. Hukum Kepolisian. Gramida widia Sarana Indonesia: Bandung. Leden Marpaung. 1996. Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Pengertian dan Penerapannya. PT. Radja Grafindo Persada: Jakarta. P.A.F. Lamintang. 2011. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. ----------------. 1984. Delik-delik Khusus. Bina Cipta: Bandung. ----------------. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru: Bandung. Rusli Effendy. 1989. Asas Asas Hukum Pidana. Leppen UMI:Ujung Pandang. Tim Penyusun Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 2010. Pedoman Penulisan dan Pelaksanaan Ujian Skripsi, Yamina Jaya: Makassar. Tongat. 2002. Hukum Pidana Materil. UMM Press: Malang. Waluyadi. 2003. Hukum Pidana Indonesia. Djambatan: Jakarta. Wirjono Projodikoro. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu Indonesia. PT. Refuka Aditama: Bandung.
68
Zainal Abidin Farid. 1994. Hukum Pidana 1. Sinar Grafika: Jakarta. Sumber lain : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Putusan Pengadilan Nomor. 1921/Pid.B/2013/PN.MKS http://septian-septiancom.blogspot.com/2011/02/pidana-pemerasan-danancaman.html
69