UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG ( ANALISA PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG )
TESIS
NAMA : ERRICA SUJANA NPM
: 1006828136
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN JAKARTA JANUARI 2013
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
i
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG ( ANALISA PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG )
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan
NAMA : ERRICA SUJANA NPM
: 1006828136
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN JAKARTA JANUARI 2013 Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Errica Sujana
NPM
: 1006828136
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 14 Januari 2013
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama
: Errica Sujana
NPM
: 1006828136
Program Studi : Magister Kenotariatan Judul Tesis
: Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Pascasarjana Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 14 Januari 2013
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 14 Januari 2013
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : (1) Ibu Dr. Hj. Siti Hayati Hoesin, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; (2) Ibu Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia; (3) Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Sub Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; (4) Bapak Prof. Wahyono Darmabrata, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (5) Ibu Surini Ahlan Sjarif, S.H., M.H., selaku dosen yang turut serta menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini; (6) Para dosen Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah memberikan berbagai ilmu kepada Penulis selama menjalankan studi di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia; (7) Para staf sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Indonesia yang telah membantu Penulis selama menjalankan studi di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia; (8) Para staf Pengadilan Negeri Tangerang yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data-data yang saya perlukan;
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
v
(9) Orang tua dan keluarga saya yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral; dan (10) Sahabat-sahabat saya yang telah membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pemgembangan ilmu.
Jakarta, 10 November 2012
Penulis
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:
Errica Sujana
NPM
:
1006828136
Program Studi
:
Magister Kenotariatan
Fakultas
:
Hukum
Jenis karya
:
Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : PEMBATALAN
AKTA
PERJANJIAN
PERKAWINAN
SETELAH
PERKAWINAN BERLANGSUNG ( ANALISA PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG ) Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
behak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagia pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Jakarta
Pada tanggal
: 15 Januari 2013
Yang menyatakan
(Errica Sujana) Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama
: Errica Sujana
Program Studi : Magister Kenotariatan Judul
: Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Umumnya suami-istri akan mempertahankan keberlakuan akta perjanjian perkawinan. Seiring hal tersebut, hingga kini belum ada pengaturan mengenai pembatalan akta perjanjian perkawinan. Dapat atau tidaknya pembatalan akta perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung; landasan hukum pertimbangan hakim; dan akibat-akibat hukumnya. Metodelogi penelitian adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Pembatalan akta perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung tidak dapat dilakukan dengan cara apapun juga. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak sesuai diterapkan dalam kasus ini. Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterapkan sejak dikabulkannya pembatalan. Setiap pihak tetap bertanggung jawab pribadi atas segala utangnya.
Kata kunci : Perjanjian perkawinan
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name
: Errica Sujana
Study Program
: Master of Notary
Title
: Cancellation of The Prenuptial Agreement After Marriage (Analysis
of
State
Court
Determination
Number
277/PDT.P/2010/PN.TNG)
Generally husband and wife will retain the enforceability of the prenuptial agreement. As it is, until now there has been no regulation regarding cancellation of the prenuptial agreement. Whether or not cancellation of the prenuptial agreement after marriage; judges considered the legal basis; and the legal consequences. Normative research method and qualitative approach. Cancellation of the prenuptial agreement after marriage can’t be done by any means. Article 1338 Civil Lawbook isn’t applicable in this case. Article 35 and Article 36 Marriage Law applied since the granting of the annulment. Each party remain personally liable for any debts.
Keyword : Prenuptial agreement
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... ABSTRAK ......................................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................... LAMPIRAN ....................................................................................................... 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 1.3 Metode Penelitian .................................................................................. 1.4 Sistematika Penulisan .............................................................................
i ii iii iv vi vii ix x 1 1 20 20 22
2. PERMASALAHAN DALAM PEMBATALAN AKTA .............................. PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN ..................... BERLANGSUNG (ANALISA PENETAPAN NOMOR ............................. 277/PDT.P/2010/PN.TNG) ANTARA DJAYA DAN LIANNA ................. SETIAWAN .................................................................................................. 24 2.1 Hak Dan Kewajiban Suami-Istri ........................................................... 24 2.2 Harta Benda Perkawinan ....................................................................... 27 2.3 Penerapan Ketentuan Lama Dalam Perjanjian Perkawinan .................. 33 2.4 Saat Pembuatan Perjanjian Perkawinan ................................................ 42 2.5 Bentuk Perjanjian Perkawinan .............................................................. 42 2.6 Pemberlakuan Perjanjian Perkawinan ................................................... 49 2.7 Isi Perjanjian Perkawinan ...................................................................... 51 2.8 Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG ......................... 57 2.8.1
Kasus Posisi ............................................................................. 58
2.8.2
Analisa Mengenai Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan ... Setelah Perkawinan Berlangsung ............................................. 61
2.8.3
Akibat Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan ......... Setelah Perkawinan Berlangsung .............................................. 69
3. PENUTUP ..................................................................................................... 75 3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 75 3.2 Saran ...................................................................................................... 76 DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 78
Universitas Indonesia
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup kodrati tidak dapat hidup sendiri.1 Oleh sebab itu, manusia selalu hidup dengan sesamanya. Mereka hidup untuk saling membantu sesamanya. Seiring perjalanan kehidupan seorang manusia akan membutuhkan seorang pendamping dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Seorang manusia akan berusaha menemukan lawan jenis yang bersedia hidup bersama dengannya untuk membina rumah tangga dan meneruskan keturunan, sehingga terbentuk suatu keluarga yang bahagia dan harmonis. Keluarga merupakan bagian terkecil dari suatu masyarakat, yang mana diharapkan dapat menjaga kesinambungan dan kelestarian kehidupan manusia di dunia. Usaha manusia dalam hal menciptakan suatu kehidupan baru bersama dengan pendamping hidupnya lazim disebut sebagai perkawinan. “Suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” 2 “Menurut Prof. Mr. Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.”3 Perkawinan merupakan wujud menyatunya dua sejoli untuk saling mencintai dan saling mengasihi ke dalam satu tujuan yang sama melalui suatu kesepakatan untuk terikat satu sama lain dalam suatu perjanjian yang suci dan sakral guna membentuk ikatan lahir batin sebagai suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. “Suatu
1
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Gitama Jaya, 2004), hlm. 27. 2
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.30, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 23.
3
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 31.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan merupakan perjanjian.” 4 “Perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.” 5 Salah satu tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan yang langgeng bersama pasangan hidup. Namun, jalan menuju kebahagiaan tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan persoalan yang terkadang menggagalkan jalannya rumah tangga. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata didalam salah satu ketentuan pasalnya, yaitu Pasal 26 merumuskan bahwa “undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.”6 Pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syaratsyarat serta peraturan agama dikesampingkan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata melarang adanya perkawinan poligami, yakni perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita (poligini) ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria (poliandri). Larangan tersebut termasuk ketertiban umum yang berarti apabila dilanggar akan selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang dilangsungkan itu. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merumuskan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”7 Berdasarkan rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
4
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: Rizkita, 2008), hlm. 46. 5
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hlm. 47.
6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), ps. 26. 7
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019, ps. 1.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka konsepsi perkawinan menurut sistem hukum nasional di negara Indonesia mengandung beberapa asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut ini : a. Perkawinan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Oleh sebab itu, perkawinan harus merupakan ikatan lahir batin, bukan hanya ikatan lahir ataupun hanya ikatan batin. Diantara suami istri perlu saling membantu dan saling melengkapi supaya
dapat mengembangkan kepribadiannya
masing-masing guna mencapai tujuan akhir, yakni terbentuknya suatu keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan materiil. Kewajiban saling membantu lebih luas dapat diartikan sebagai kewajiban bekerja sama serta saling menasehati. Kerja sama berarti tidak ada kehidupan rumah tangga secara unilateral. Segala sesuatu harus berdasar pada hasil kata sepakat atau lebih tepat saling memberikan bantuan. Kehidupan rumah tangga sebagai lembaga resmi diantara suami-istri tidak lain daripada suatu pelaksanaan manajemen, dimana antara suami sebagai kepala rumah tangga dengan istri sebagai ibu rumah tangga untuk saling membantu dan saling menasehati demi suksesnya kehidupan rumah tangga dalam kebahagiaan yang kekal dan sejahtera.
Pembentukan
keluarga
yang
bahagia
itu
erat
hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami dan istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental; b. Ikatan lahir batin tersebut terjadi diantara seorang pria dengan seorang wanita. Oleh sebab itu, asas yang dianut adalah asas monogami. Dengan kata lain adalah pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi, asas monogami ini bersifat terbuka, yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
mana dalam hal apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan dan diperbolehkan menurut agama pihak yang bersangkutan, serta telah memenuhi persyaratan tertentu dan telah diputus oleh Pengadilan, maka seorang suami dapat memiliki istri lebih dari satu orang, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini merupakan bentuk penyimpangan dari asas monogami perkawinan yang dapat dikesampingkan oleh pihak suami. Prinsip poligami tidak diperkenankan bagi pihak istri, sehingga dengan kata lain seorang istri tidak
diperbolehkan
untuk
mengesampingkan
asas
monogami
perkawinan; c. Kesadaran hukum agama dan/atau keyakinan masing-masing Warga Negara Indonesia bahwa perkawinan harus dilakukan sesuai dengan hukum agama ataupun kepercayaan dari calon suami dan calon istri. Berdasarkan hal ini, maka sah tidaknya suatu perkawinan tergantung pada ketentuan agama dan/atau kepercayaan masing-masing pasangan calon mempelai yang hendak melakukan perkawinan. Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan merupakan perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan merupakan suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai
beserta
keluarga
kerabatnya.
Hukum
agama
telah
menetapkan kedudukan manusia dengan iman dan takwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan
perkawinan
yang
berlangsung
tidak
seagama.
Perkawinan dalam arti ikatan jasmani dan rohani berarti suatu ikatan untuk mewujudkan kehidupan yang selamat bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat, bukan saja lahiriah, tetapi juga batiniah, bukan saja
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
gerak langkah yang sama dalam karya, tetapi juga gerak langkah yang sama dalam berdoa, sehingga kehidupan dalam keluarga berumah tangga itu rukun dan damai, dikarenakan suami dan istri serta anggota keluarga berjalan seiring bersama pada arah dan tujuan yang sama. Oleh karenanya rumah tangga yang baik hendaknya sejak semula sudah dalam satu bahtera hidup yang sama lahir dan batin.
Sahnya
perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya
itu.”
8
Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama. Kata hukum masing-masing agamanya, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti hukum agamanya masing-masing, yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. Perkawinan yang sah jika terjadi antar agama, yang mana dilaksanakan menurut aturan salah satu agama calon suami atau agama calon istri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami-istri dan/atau keluarganya. Selain itu, setiap perkawinan merupakan tindakan yang harus memenuhi administratif pemerintahan dengan jalan pencatatan pada catatan yang ditentukan oleh undang-undang yang termuat dalam daftar catatan resmi Pemerintah oleh pejabat yang berwenang untuk itu, yakni pegawai KUA bagi pasangan Muslim dan pegawai Kantor Catatan Sipil bagi pasangan non Muslim 9 . Perkawinan yang dilakukan hanya dihadapan pegawai pencatatan sipil sah menurut perundangan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan kata lain, sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana hanya berlaku bagi golongan Timur Asing Cina. Akan tetapi, sejak berlakunya Undang-Undang 8
9
Nomor
1
Tahun
1974
Ibid., ps. 2 ayat (1). M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir, 1975), hlm. 8.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
tentang
Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut
perundangan yang berlaku karena tidak dilaksanakan menurut aturan hukum agama; d. Berdasarkan Pasal 26 dan Pasal 81 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka perkawinan itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan. Hal mana jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Apalagi menyangkut masalah perkawinan
yang merupakan perbuatan suci (sakramen) yang
mempunyai hubungan erat sekali dengan keagamaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahiriah atau jasmani, tetapi juga unsur batiniah atau rohani mempunyai peranan yang penting. Terdapat perbedaan pengertian tentang perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata hanya sebagai perikatan perdata, sedangkan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya sebagai ikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan keagamaan. Hal mana dilihat dari tujuan perkawinan yang dikemukakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu dipahami benar-benar oleh masyarakat karena merupakan landasan pokok dari aturan hukum perkawinan lebih lanjut, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan. e. Asas perkawinan abadi, yang mana perceraian merupakan sesuatu yang hendaknya dihindari sejauh mungkin terjadi dalam suatu perkawinan, sehingga diharuskan bagi setiap calon suami dan calon istri telah
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memiliki kematangan jiwa dan raga pada saat melangsungkan perkawinan guna mewujudkan rumah tangga yang bahagia dan kekal. “Dalam suatu perkawinan, prinsip kekal abadi merupakan suatu keharusan, dijunjung tinggi, dan dijaga keberlangsungannya, sekurangkurangnya sejauh mungkin dijaga keutuhannya.”10 Diantara suami-istri terdapat suatu kewajiban untuk saling setia. Penafsiran setia dari segi hukum erat sekali kaitannya dengan pengertian amanah yang bersumber dari kesucian hati untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang berupa pengkhianatan dalam bentuk apapun terhadap kesucian rumah tangga. Kepercayaan antara yang satu dengan yang lain perlu dipelihara dan dipertahankan, baik yang bersifat moral maupun materiil. Kesetiaan merupakan kewajiban moral untuk memanfaatkan kepercayaan yang diberikan pasangannya itu benar-benar dengan itikad baik, bahwa sesuatu tidak akan diselewengkan, baik secara moral maupun materiil. Kesetiaan merupakan tuntutan yang bersifat rohaniah, dimana hati dan perbuatan terlepas dari kecurangan dan penyelewengan; f. “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat” 11 , sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya setiap manusia itu dilahirkan tanpa adanya perbedaan derajat. Keduanya, baik suami maupun istri merupakan makhluk hidup manusia yang dianugerahi akal budi. Diantara keduanya tiada perbedaan kualitas, baik dari segi jasmaniah maupun rohaniah. Perbedaan yang tampak hanyalah secara fungsional semata, yang mana akan menjalin mereka ke dalam suatu kehidupan bersama yang harmonis. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada alasan yang dapat membenarkan untuk merendahkan derajat masingmasing maupun memperlakukan salah seorang diantara mereka dengan
10
Sardjono, (ed.), Perbandingan Hukum Perdata Masalah Perceraian, (Jakarta: Gitama Jaya, 2004), hlm. 6. 11
Indonesia, op. cit., ps. 31 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
cara yang menghina dan menyakitkan hati. Suami harus menghormati istrinya sebagai manusia yang menjadi ibu rumah tangga yang mendampinginya dalam kehidupan. Demikian pula sebaliknya, istri pun harus menghargai suaminya sebagai kepala rumah tangga dalam kehidupan berumah tangga. Dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.12 Bersumber pada kehidupan tradisional atau ajaran tradisi budaya kepribadian bangsa dan masyarakat Indonesia yang hidup erat dalam suasana kekeluargaan, maupun ajaran moral agama yang hidup dalam penghayatan masyarakat Indonesia atas dasar Pancasila, maka kewajiban suami-istri untuk hormat-menghormati termasuk pula sepanjang hal-hal yang menyangkut dengan soal kekeluargaan, yakni kerabat dekat dari keluarga masing-masing pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri.
Secara keseluruhan dari ketentuan-ketentuan pasal yang tercantum didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersirat pula beberapa prinsip lainnya demi menjamin cita-cita luhur dari perkawinan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini diharapkan agar pelaksanaan perkawinan dapat lebih sempurna daripada masa yang sudah -sudah. Oleh karena itu, bukannya tidak mungkin adanya berbagai pembaruan
atau
perubahan
dalam
pelaksanaannya.
Adapun
prinsip-prinsip tersebut ialah a ntara lain : a.
Azas sukarela Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
“Perkawinan
menentukan
bahwa
perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.” 13 Oleh karena perkawinan mempunyai
12
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 9.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
maksud agar supaya suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka suatu perkawinan harus mendapat persetujuan dari kedua calon suami -istri, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Ketentuan ini tidak
berarti
lainnya
mengurangi
yang
sudah
syarat -syarat
ditentukan.
perkawinan
P asal
t ersebut
m enj ami n t i adanya kawin paksa, ol eh karena adanya perset uj uan dari kedua cal on m empel ai yan g m enjadi s yarat ut am a dal am perkawinan di Indonesi a yang sekarang i n i berl aku. P encegahan t erj adi nya kawi n paksa
juga
t ersi rat
dengan
adan ya
bat as
um ur
m inim um unt uk m elangsungkan perkawinan, yakni 19 t ahun bagi pri a dan 16 t ahun bagi wani ta. Kat a at as perset uj uan kedua calon m em pel ai di dal am ket ent uan P asal 6 A yat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berbeda dengan kata adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri yang disebut dalam ketentuan Pasal 28 Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata.
Kata
persetujuan
dimaksud berarti bahwa orang tua atau wali serta keluarga atau kerabat tidak boleh memaksa anak atau kemenakan mereka untuk melakukan perkawinan, jika mereka tidak setuju terhadap pasangannya atau belum bersedia untuk kawin. Hal ini berarti kedua calon suami-istri itu masih berada di bawah pengaruh kekuasaan orang tua ataupun kerabatnya. Lain halnya dengan kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri, yang mana berarti mereka yang akan melakukan perkawinan
itu bebas menyatakan
persetujuannya untuk melakukan perkawinan. Dalam hal ini mereka terlepas dari pengaruh kekuasaan orang tua atau 13
Indonesia, op. cit., ps. 6 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
kerabatnya, sebagaimana adat perilaku kebiasaan budaya barat, dimana setiap pribadi yang sudah dewasa berakal sehat bebas berbuat untuk melakukan perkawinan ataupun hidup bersama. Hal demikian ini bertentangan dengan hukum adat dan hukum Islam. 14 b.
Partisipasi keluarga Sebenarnya setiap pria maupun wanita yang telah mencapai umur perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 Ayat (1) itu telah dipandang sebagai manusia yang telah dewasa. Mereka dianggap telah mampu bertindak menurut hukum dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Akan tetapi oleh karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, yang mana ia akan menginjak dunia yang baru untuk membentuk suatu keluarga sebagai unit terkecil dari keluarga besar bangsa Indonesia yang sesuai dengan sifat dan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan kekeluargaan, maka diperlukan
partisipasi
keluarganya
untuk
merestui
perkawinan itu. Berdasarkan hal itu, bagi para calon mempelai baik pria maupun wanita yang masih berada di bawah umur 21 tahun
diperlukan izin dari kedua orang
tuanya atau salah seorang orang tuanya yang hidup terlama. Dalam keadaan orang tuanya telah tiada, maka sebagaimana yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (4) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, izin tersebut dapat diperoleh dari walinya, yakni orang yang bertanggung jawab untuk memeliharanya ataupun keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas. Apabila karena satu dan lain sebab izin yang termaksud dalam ketentuan Pasal 6 Ayat
14
H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 42.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(4)
Undang-Undang
Nomor
1
Perkawinan, maka izin tersebut
Tahun dapat
1974
tentang
diperoleh
dari
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal calon mempelai yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didalam ketentuan Pasal 29 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sudah tidak berlaku lagi, seorang laki laki yang belum mencapai usia 18 tahun dan perempuan yan g belum mencapai usia 15 tahun tidak dibolehkan mengikat perkawinan. Jadi terdapat perbedaan batas umur perkawinan antara
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi, kedua perundangan tersebut menetapkan adanya batas umur perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan pada anak-anak, serta dimaksudkan agar lakilaki dan perempuan yang hendak menjadi suami-istri telah benar-benar masak jiwa raganya dalam membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal. Selain itu pula dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian muda dan agar dapat membenihkan keturunan yang baik dan sehat, serta dapat menekan laju kelahiran semakin tinggi yang berdampak terhadap pertambahan penduduk yang semakin cepat. c.
Perceraian dipersulit Perceraian merupakan suatu hal yang harus sangat dihindari dalam perkawinan, karena akan sangat merugikan kedua belah pihak dan terutama anak-anak dari perkawinan tersebut. Berdasarkan hal itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa untuk
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memungkinkan terjadinya perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan dan harus dilakukan didepan sidang Pengadilan.
Menurut
ketentuan
Pasal
19
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat beberapa alasan yang dimungkinkan untuk terjadinya perceraian, yaitu sebagai berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri; dan f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 15
d.
Poligami dibatasi secara ketat Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah monogami. Akan tetapi apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan serta hukum dan agama dari yang bersangkutan juga mengizinkannya, maka
15
Indonesia, Peraturan Pemerintah Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050, ps. 19.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai syarat tertentu dan diputus oleh Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditetapkan beberapa tahapan yang harus ditempuh dan dipenuhi seperti di bawah ini secara berturut-turut : -
istri tidak dapat menjalankan tugas sebagai istri, istri mendapat cacat badan, atau berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istriistrinya beserta anak-anaknya, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istrinya beserta anak-anaknya; dan
-
izin dari Pengadilan. 16
Mengingat
pengaturan
yang
demikian
ketat,
maka
diharapkan angka poligami akan dapat ditekan serendah mungkin. e.
Kematangan calon mempelai Ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut prinsip bahwa calon suami-istri harus telah matang jasmani dan rohaninya untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini dimaksudkan supaya dapat memenuhi tujuan luhur perkawinan serta
16
Indonesia, op. cit., ps. 4 – 5.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
mendapat keturunan yang bai k dan sehat. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini ditentukan batas umur untuk melangsungkan perkawinan, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. f.
memperbaiki derajat kaum wanita Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha memberikan perlindungan bagi para kaum wanita, yakni dengan cara sebagai berikut : a.
dimungkinkan adanya perjanjian dimana wanita dapat ikut menentukan isinya (Pasal 29);
b.
pengaturan tentang harta yang diperoleh selama perkawinan dimana istri mempunyai hak yang sama dengan suami, dan apabila terjadi perceraian, harta hersama diatur menurut hukum (Pasal 35 - 37);
c.
suami
tetap
bertanggung
jawab
pemeliharaan dan pendidikan
atas
semua
biaya
yang diperlukan
anak,
sekalipun terjadi perceraian (Pasal 41 Huruf (b)); d.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk
memberikan
biaya
penghidupan
dan/atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri (Pasal 41 Huruf (c)), dalam hal terjadi perceraian yang menurut pertimbangan Pengadilan perlu ditetapkan demikian; dan e.
Wanita diberi kedudukan yang sama dengan pria dalam menentukan pasangan hidupnya (Pasal 6 Ayat (1)) dan dalam membuat syarat-syarat perjanjian yang diingini oleh kedua belah pihak (Pasal 29).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pada masa sebelum tahun 1974, terdapat berbagai macam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan di Indonesia, yakni sebagai berikut ini : 1.
Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agamanya yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam, jika melaksanakan perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai pria dengan wali dari mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini telah merupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang;
2.
Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adatnya masingmasing;
3.
Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers) Staatsblaad 1933 Nomor 74. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi;
4.
Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Ngara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Aturan ini sekarang sejauh sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi;
5.
Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya (keturunan India, Pakistan, Arab dan lainnya) berlaku hukum adat mereka masing-masing yang biasanya tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianutnya;
6.
Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Termasuk dalam golongan ini orang-orang Jepang atau orang-orang lain yang menganut asas-asas hukum keluarga yang sama dengan asas-asas hukum keluarga Belanda;
7.
Bagi perkawinan campuran berlaku Ordonansi Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwilijken). Aturan ini sekarang sejauh sudah
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak berlaku lagi. Setelah itu pada tahun 1974 dilakukan unifikasi dibidang hukum perkawinan
atau
diundangkannya
hukum
keluarga
Undang-Undang
di
Nomor
Indonesia,
yaitu
dengan
1
1974
tentang
Tahun
Perkawinan, yang diberlakukan bagi seluruh Warga Negara Indonesia yang diharapkan dapat menghapus pluralisme hukum perkawinan. Ide unifikasi hukum sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita kesatuan dan persatuan nasional disegala bidang, termasuk kesatuan hukum tentang perkawinan yang berlaku untuk semua warga Negara. “Peraturan perundangan tersebut sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan, diberlakukan berdasarkan Pasal II dan Pasal IV Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.”17 Dengan demikian baik golongan Tionghoa dan Timur Asing yang selama ini berlaku hukum perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sendirinya tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Demikian pula terhadap mereka yang beragama Kristen ataupun yang melakukan perkawinan campuran semuanya tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini dengan sendirinya melenyapkan arti yang terkandung pada Pasal 131 Indische Staat Reglemen yang telah membagi-bagi golongan penduduk Indonesia dalam 3 kelom pok golongan penduduk Indonesia sebagai hasil ciptaan penjajahan Hindia Belanda dulu, yakni golongan Eropa, Timur Asing dan Bumi Putra. Unifikasi dibidang hukum perkawinan atau hukum keluarga di Indonesia pada pokoknya berusaha menampung aspirasi emansipasi tuntutan perkembangan peningkatan taraf peradaban bangsa dibidang perkawinan
dan
menempatkan
kedudukan
suami-istri
dalam
17
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 1 – 2.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan berada dalam kedudukan yang sama derajatnya, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya perkawinan merupakan peristiwa hukum, yang mana merupakan suatu peristiwa yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. “Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat hukum, yakni antara lain mengenai hubungan hukum antara suami-istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.”18 Pada dasarnya Indonesia sebagai negara yang memiliki budaya ketimuran beranggapan bahwa suatu perjanjian mengenai harta benda perkawinan bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan oleh calon pasangan suami-istri
dalam
hal
berkehendak
untuk
mengadakan
hubungan
perkawinan. Hal tersebut dirasakan tidak lazim dilakukan. Dinamika kehidupan masyarakat kini memperlihatkan kecenderungan semakin berkurangnya
pengaruh
ikatan
keluarga
yang
berarti
mengurangi
kemungkinan tidak terbentuknya harta bersama dalam suatu kesatuan hidup rumah tangga. 19 Dengan demikian, seiring dengan perkembangan zaman saat ini, manusia lebih berpandangan kritis dalam menyikapi persoalan harta kekayaannya, khususnya bagi pasangan yang hendak memasuki kehidupan berumah tangga. Manusia sekarang sudah memiliki pertimbangan yang sangat matang dalam hal melakukan penghitungan terkait keuntungan dan kerugian materi yang akan diperolehnya akibat dilakukannya perkawinan. Mereka berupaya dengan segala cara dalam hal melindungi harta kekayaannya. Selain itu pula karena didukung oleh perkembangan gerakan emansipasi wanita saat ini, yang mana banyak terdapat wanita karier yang juga bekerja dan memperoleh penghasilan. Ada pula faktor pendukung lainnya yang dapat menjadi bahan pemikiran para calon pasangan suami-
18
Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan), (Jakarta: Rizkita, 2009), hlm. 128. 19
Maria, Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan Jujur Menurut Hukum Adat Karo, Hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 1994), hlm. 11.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
istri dalam berupaya menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, seperti masalah perselisihan mengenai perebutan harta benda perkawinan pada saat ikatan perkawinan terpaksa harus diakhiri dengan jalan perceraian. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, manusia sekarang ini merasa memerlukan suatu hal guna melindungi harta kekayaannya, yakni melalui pembuatan perjanjian perkawinan. Calon
suami-istri
sebelum
perkawinan
dilangsungkan
atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian perkawinan.
“Perjanjian perkawinan ialah suatu perjanjian yang diadakan atau dibuat oleh calon suami dan calon istri sebelum perkawinan dilangsungkan, yang bertujuan untuk mengatur hak dan kewajiban suami-istri tersebut atas harta kekayaan masing-masing yang dibawa ke dalam perkawinan, menyimpang dari prinsip harta campuran bulat.”20
Perjanjian perkawinan diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara pihak yang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain yang mempunyai hak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.21 Apabila ditinjau kepada ketentuan undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka pada rasionya perjanjian perkawinan itu dibuat untuk menghindari sistem pengaturan yang diatur dalam pasal tersebut, yang mana menganut sistem percampuran harta kekayaan dalam perkawinan. Segala harta, baik itu harta kekayaan bawaan pihak suami maupun harta kekayaan bawaan pihak istri dengan sendirinya menurut hukum bersatu menjadi harta kekayaan milik bersama.
20
Sejak
saat
berlangsungnya
pernikahan
menurut
hukum
Wahyono Darmabrata, op. cit., hlm. 161.
21
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, cet. 9, (Bandung: Sumur Bandung, 1991), hlm. 11.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
terwujudlah penggabungan harta benda bersama secara keseluruhan antara suami-istri, sekadar hal itu tidak dibuat ketentuan lain pada waktu terjadinya akad nikah. Dengan demikian, perjanjian perkawinan dimaksudkan tiada lain daripada guna menghindari atau sebagai pengecualian atas percampuran harta kekayaan bersama. Pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, apabila perubahan tersebut dilakukan secara sepihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri saja. Dengan kata lain, perubahan secara unilateral tidak diperbolehkan. Akan tetapi, dimungkinkan terjadinya perubahan secara bilateral. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan dapat dilakukan perubahan atas dasar kehendak bersama dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Pada dasarnya setiap calon pasangan suami-istri yang telah bersepakat untuk melakukan pembuatan perjanjian perkawinan akan tetap mempertahankan keberlakuan perjanjian perkawinan tersebut sepanjang perkawinannya berlangsung. Terkadang beberapa pasangan suami-istri juga melakukan perubahan terhadap perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya, namun mereka bukan berniat untuk membatalkan perjanjian perkawinan tersebut. Mereka umumnya akan tetap berupaya menjaga komitmen awal mereka pada saat perkawinan belum berlangsung hingga selama perkawinan mereka
berlangsung.
Pembatalan
perjanjian
perkawinan
memang
merupakan sesuatu hal yang kurang lazim dilakukan oleh pasangan suamiistri setelah sekian lama masa mereka bersama-sama membina rumah tangga dengan perpisahan harta, meskipun pada dasarnya setiap perkawinan itu mengandung asas harta campuran bulat. Setiap tindakan hukum apapun pasti akan menimbulkan konsekuensi hukum. Oleh sebab itulah, setiap pasangan suami-istri yang hendak melakukan pembatalan terhadap perjanjian perkawinan yang telah dibuatnya perlu melakukan pertimbangan yang sangat masak untuk tindakannya itu. Salah satu hal yang harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan mereka adalah bahwa perjanjian
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Mengenai
pembatalan perjanjian perkawinan oleh pasangan suami-istri,
dilihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya didalam ketentuan yang mengatur tentang perjanjian perkawinan pun tidak terdapat pengaturan mengenai hal ini. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung (Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG).”
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti, yakni sebagai berikut ini : 1. Apakah suatu pembatalan akta perjanjian perkawinan dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung? 2. Bagaimanakah landasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut? 3. Bagaimanakah akibat-akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga setelah dikeluarkannya penetapan oleh Pengadilan Negeri ?
1.3
Metode Penelitian Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dilakukan untuk memahami kaedah-kaedah hukum yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dan menemukan asas hukum yang dirumuskan secara tersurat maupun tersirat.22 Tipologi penelitian ini adalah penelitian diagnostik dan penelitian evaluatif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu gejala 23 , yang mana dalam hal ini terkait dengan pembatalan akta perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang telah lama hidup bersama dalam suatu ikatan perkawinan. Penelitian ini juga dilakukan untuk memberikan suatu kejelasan mengenai landasan hukum melakukan pembatalan akta perjanjian perkawinan oleh pasangan suamiistri di Indonesia serta mengenai akibat-akibat hukum apabila dilakukan pembatalan akta perjanjian perkawinan terhadap pasangan suami-istri yang bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga. Alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dengan tujuan untuk mengumpulkan data-data yang bersumber dari : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat guna mendapatkan landasan hukum. Bahan hukum ini meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 277/PDT.P/2010/PN.TNG. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang tidak mengikat, tetapi dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer serta menemukan landasan teori. Bahan hukum ini diperoleh melalui buku-buku, koran-koran, dan jurnal-jurnal ilmiah yang berkaitan dengan perkawinan.
22
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10. 23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.
10.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum pendukung yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder serta menemukan terminologi yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum ini diperoleh dari sumber berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, dan ensiklopedia yang berkaitan dengan bidang hukum perkawinan. Metode analisis data atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif terhadap data-data yang telah terkumpul. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami makna dibalik datadata yang terkumpul serta mempersepsikan dan menguji data-data tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka bentuk hasil atau laporan penelitian ini adalah evaluatif analitis. Dalam hal ini penulis bertujuan memperoleh kepastian hukum mengenai pembatalan perjanjian perkawinan dan akibat hukum yang dapat ditimbulkannya.
1.4
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dicantumkan terlebih dahulu supaya dapat memberikan gambaran secara garis besar tentang apa yang akan diuraikan dalam setiap bab. Sistematika penulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yakni sebagai berikut : BAB
1
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB
2
PERMASALAHAN PERJANJIAN
DALAM PERKAWINAN
PERKAWINAN (STUDI
PEMBATALAN SETELAH BERLANGSUNG
KASUS
PENETAPAN
NOMOR
277/PDT.P/2010/PN.TNG. ANTARA DJAYA DAN LIANNA SETIAWAN)
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Dalam bab ini akan diuraikan tentang penerapan ketentuan lama dalam perjanjian perkawinan, saat pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan, pemberlakuan perjanjian perkawinan, isi perjanjian perkawinan, serta mengenai kasus posisi dan analisa
hukum
atas
Penetapan
Nomor
:
277/PDT.P/2010/PN.TNG. BAB
3
PENUTUP Dalam bab terakhir ini akan ditarik simpulan dari hasil penelitian beserta saran-saran yang dianggap perlu.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 2 PERMASALAHAN DALAM PEMBATALAN AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG (STUDI KASUS PENETAPAN NOMOR 277/PDT.P/2010/PN.TNG. ANTARA DJAYA DAN LIANNA SETIAWAN)
Hak dan Kewajiban Suami-Istri
2.1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan suatu pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami-istri yang antara lain sebagai berikut :24 a.
Suami-istri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
b.
Suami-istri wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya (Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
c.
Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-istri (Pasal 105 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
d.
Suami wajib memberi bantuan kepada istrinya (Pasal 105 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
e.
Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal 105 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
f.
Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 Ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
g.
Suami tidak diperbolehkan memindahkan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan dari istrinya terlebih dahulu (Pasal 105 Ayat (5) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
24
P. N. H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 47 – 48.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
h.
Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
i.
Setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
j.
Setiap suami wajib membantu istrinya dimuka hakim (Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
k.
Menurut ketentuan Pasal 111 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bantuan suami kepada istrinya tidak diperlukan dalam hal : 1. Istri dituntut dimuka hakim karena suatu perkara pidana; dan 2. Istri
mengajukan
tuntutan
terhadap
suaminya
untuk
mendapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan. l.
Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin dari suaminya (Pasal 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari suami-istri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tercantum didalam ketentuan Pasal 30 sampai dengan Pasal 34, yakni sebagai berikut : 25 a. Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga
yang
menjadi
sendi
dasar
dari
susunan
masyarakat; b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum; d. Suami merupakan kepala keluarga, sedangkan istri merupakan ibu rumah tangga;
25
P. N. H. Simanjuntak, op. cit., hlm. 68 – 69.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
e. Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, dimana rumah tempat kediaman ini ditentukan secara bersamasama; f. Suami-istri wajib saling mencintai, saling menghormati, saling setia, dan saling memberikan bantuan baik lahir maupun batin; g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaikbaiknya; i. Apabila baik suami maupun istri telah melalaikan kewajibannya, maka
masing-masing
dapat
mengajukan
gugatan
kepada
Pengadilan.
Ketentuan Pasal 31 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mensejajarkan antara hak dan kedudukan suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat adalah sangat sesuai dengan tata hidup dan kehidupan masyarakat modern sekarang yang sangat jauh sekali berbeda dengan tata hidup dan kehidupan masyarakat pada masa berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana wanita yang berada dalam ikatan perkawinan dianggap dan dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Hal ini tercermin dalam hal : a. Membuat perjanjian yang memerlukan bantuan atau izin dari suaminya (Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); dan b. Menghadap dimuka hakim harus dengan bantuan suaminya (Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Harta Benda Perkawinan
2.2
Harta benda perkawinan berdasarkan ketentuan dalam sistem hukum nasional
Negara
Indonesia
diatur
dalam
ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang harta bersama menurut undang-undang dan pengurusannya diatur dalam Bab VI Pasal 119 sampai dengan Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari tiga bagian, yakni sebagai berikut: 1. Bagian pertama tentang harta bersama menurut undang-undang, yang tercantum didalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 123 Kitab UndangUndang Hukum Perdata; 2. Bagian kedua tentang pengurusan harta bersama yang diatur dalam Pasal 124 dan Pasal 125 Kitab Undnag-Undang Hukum Perdata; dan 3. Bagian ketiga tentang pembubaran gabungan harta bersama dan hak untuk melepaskan diri daripadanya, yang diatur dalam Pasal 126 sampai dengan Pasal 138 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Asas
yang dianut pada ketentuan
Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mengenai harta perkawinan merupakan asas percampuran bulat. Hal tersebut dapat disimpulkan berdasarkan ketentuan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri.26
26
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 119.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Akan tetapi, kewenangan untuk bertindak atas harta benda perkawinan tersebut
berada
dikekuasaan
suami sebagai
kepala rumah tangga
atau perkawinan, baik harta pribadi istrinya (Pasal 105 Kitab UndangUndang Hukum Perdata) maupun harta persatuan (Pasal 124 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sejak pelaksanaan perkawinan karena hukum terdapat kebersamaan harta secara menyeluruh meliputi harta yang sudah ada maupun yang belum ada. Kebersamaan harta itu pada umumnya meliputi semua benda bergerak dan tidak bergerak yang sudah ada, yang akan ada, ataupun yang diperoleh secara cuma-cuma milik masing-masing pihak, baik suami maupun istri, sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 120 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam hal beban, kebersamaan harta itu pada umumnya meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing pihak, baik suami maupun istri yang terjadi sebelum ataupun sesudah dilangsungkannya perkawinan, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 121 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 27 Percampuran itu berlaku secara bulat tanpa mempersoalkan bawaan masing-masing. Semua bawaan baik yang berasal dari bawaan suami maupun bawaan istri dengan sendirinya satu kekayaan bersama dalam keluarga selaku milik bersama dari suami-istri, kecuali sebelum perkawinan mereka mengadakan perjanjian perkawinan yang memuat ketentuan bahwa dengan perkawinan tidak akan terjadi percampuran kekayaan sama sekali. Dengan kata lain, harta benda yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan akan bercampur menjadi satu kesatuan sebagai harta benda bersama diantara mereka berdua. Menurut ketentuan Pasal 124 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu. Ia diperbolehkan
untuk
menjualnya,
memindahtangankannya,
dan
membebaninya tanpa bantuan istrinya, kecuali dalam hal-hal berikut ini :
27
Hartono Soerjopratiknyo, Akibat Hukum dari Perkawinan Menurut Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983), hlm. 76.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
a.
Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tidak bergerak dan semua barang bergerak
dari persatuan, kecuali untuk memberikan
kedudukan kepada anak-anaknya; b.
Tidak diperbolehkan juga menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun diperjanjikan bahwa ia tetap menikmati pakai hasil atas barang itu;
c.
Meskipun terdapat persatuan, didalam suatu perjanjian perkawinan dapat ditentukan bahwa barang-barang tidak bergerak dan piutang atas nama istri yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan dari istri yang bersangkutan tidak dapat dipindahtangankan ataupun dibebani. Selain itu pula dalam hal suami tidak dapat hadir ataupun tidak dapat menyatakan kehendaknya padahal sangat diperlukan tindakan dengan segera, maka istri dapat meminta izin dari Pengadilan Negeri untuk memindahtangankan
ataupun
membebani
harta
persatuan
itu
28
,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 125 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Harta bersama bubar demi hukum, karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang, dan karena pemisahan harta, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 126 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan asas yang dianut pada ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap pengaturan mengenai harta perkawinan merupakan asas perpisahan harta benda perkawinan. Hal tersebut dapat disimpulkan sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa :
28
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 125.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.29
Dengan kata lain, harta benda yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam perkawinan, yang mana disebut juga sebagai harta bawaan tetap menjadi milik masing-masing pihak, baik suami ataupun istri, sedangkan harta yang diperoleh oleh suami dan istri selama perkawinan akan bercampur menjadi satu kesatuan diantara mereka berdua, yang mana disebut juga sebagai harta bersama ataupun harta gono-gini. Suami dan istri bersama-sama berhak untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik. Syarat persetujuan kedua belah pihak tersebut hendaknya dipahami sedemikian rupa dengan luwes, yang mana tidaklah dalam segala hal mengenai penggunaan atau pemakaian harta bersama ini diperlukan adanya persetujuan kedua belah pihak secara formil atau secara tegas. Dalam beberapa hal tertentu, persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai persetujuan yang diam-diam, misalnya dalam hal mempergunakan atau memakai harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari. Ini adalah untuk menghindari kekakuan diantara suami dan istri dalam pergaulan hidup bersama-sama ditengah masyarakat. Berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa
setiap
calon
pasangan
suami-istri
dapat
melakukan penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai harta benda perkawinan. Dalam hal mereka menghendaki dilakukannya penyimpangan tersebut, maka hal ini hanya dapat ditempuh dengan cara pembuatan perjanjian pra nikah atau yang lazim
29
Indonesia, op.cit., ps. 35.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
disebut juga dengan perjanjian perkawinan. Ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan pada dasarnya bersifat memaksa, sehingga para pihak tidak boleh menyimpang atau menentukan lain dan mereka harus tunduk pada ketentuan tersebut.30 Sedangkan pengaturan mengenai hukum perjanjian merupakan ketentuan hukum pelengkap, yang mana boleh diadakan penyimpangan-penyimpangan, sehingga “para pihak dapat mengesampingkan aturan hukum perjanjian yang ada; dapat diganti dengan kesepakatan para pihak sendiri.”31 Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikenal adanya dua macam harta benda dalam perkawinan, yakni:32 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Demi tercapainya harta kekayaan bersama itu hanya diperlukan satu syarat saja bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan. Tidak ada syarat-syarat lain selain daripada syarat tersebut. Tidak ada ketentuan hukum yang mensyaratkan adanya keharusan dari pihak istri untuk turut aktif mengumpulkan harta kekayaan. Mengenai harta bawaan dari masingmasing suami-istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau hibah ataupun warisan, setiap pihak baik suami maupun istri memiliki hak sepenuhnya dan hak untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bendanya tersebut.
30
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata (Pembahasan Mengenai Asas-Asas Hukum Perdata), (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 17. 31
Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hlm. 3. 32
Indonesia, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Apabila Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihubungkan dan kemudi an dibandingkan dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka sebenarnya apa yang diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini sudah tertampung pengaturannya dalam Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian tidaklah masalah seandainya Pasal 37 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut tidak ada. Terulangnya pengaturan pada Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap sesuatu yang telah diatur dalam Penjelasan Pasal 35 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sama halnya seperti terulangnya pengaturan pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, yakni mengenai alasan perceraian, yang mana sudah diatur dalam Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Walaupun demikian, Penjelasan Pasal 37 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan suatu penjelasan yang lebih lanjut, lebih terperinci, dan penegasan terhadap yang dimaksud dari dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memberikan maksud dari hukum lainnya, yaitu untuk membuka kemungkinan hukum lain daripada hukum agama dan hukum Adat terkait dengan pengaturan tentang harta bersama. Umpamanya Hukum Perdata Barat (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) terkait dengan pengaturan harta bersama bagi orang-orang golongan Timur Asing Tionghoa, orang-orang golongan Eropa, dan orangorang yang dipersamakan dengan mereka yang berada di Indonesia. Terbukanya hukum lain daripada hukum agama dan hukum adat bagi pengaturan harta bersama merupakan suatu hal
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
guna
Universitas Indonesia
menghindari terjadinya kevakuman hukum dalam tatanan hukum di negara kita. 33
Penerapan Ketentuan Lama Dalam Perjanjian Perkawinan
2.3
Bagi negara-negara yang masyarakatnya bersifat heterogen, maka hukum perdatanya tidak menggambarkan adanya kesatuan pengaturan masyarakat, namun menggambarkan adanya keanekaragaman pengaturan masyarakat. Dengan kata lain, tidak ada satu undang-undang yang berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia bukanlah merupakan satu kesatuan hukum, melainkan bersifat beraneka ragam. Dalam hal ini berarti bahwa bagi berbagai macam golongan warga negara yang menjadi anggota masyarakat Indonesia berlaku hukum perdatanya sendiri-sendiri, yaitu : a. Bagi golongan warga negara Indonesia asli berlaku hukum perdata adat yang terdiri dari kaidah-kaidah hukum yang untuk sebagian besar berupa kaidah hukum yang tidak tertulis, akan tetapi hidup bagi mereka dalam arti ketaatan dan perwujudannya dalam tingkah laku kehidupan masyarakat mereka; b. Bagi golongan warga negara keturunan Timur Asing Cina dan Eropa berlaku hukum perdata yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan catatan bahwa bagi golongan warga negara keturunan Timur Asing Cina sepanjang mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tersebut ada pengecualian atau ada penyimpangan-penyimpangan, yaitu Bagian 2 dan 3 dari Bab IV Buku I mengenai acara-acara yang mendahului perkawinan dan mengenai pencegahan perkawinan tidak berlaku bagi mereka, juga bagi mereka berlaku suatu peraturan
33
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1978), hlm. 29.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi), yang diatur dalam Stb. 1917 – 129 jis. Stb. 1919 – 81, 1924 – 557, 1925 – 92, Bab II, sedang untuk mereka berlaku satu peraturan tentang catatan sipil yang termuat dalam Stb. 1917 – 180 jo. 1919 – 81, di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); c. Bagi golongan warga negara Timur Asing lain, yaitu golongan Arab, India, Pakistan, dan sebagainya berlaku sebagian Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yaitu bagian yang mengatur hukum kekayaan (Stb. 1924 – 556, mulai berlaku 1925). Bagian hukum keluarga dan hukum perorangan dari Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) tidak berlaku bagi mereka itu. Oleh karena itu, mereka tunduk pada hukum adat yang mereka bawa dari negara asalnya, begitu pula halnya dengan hukum waris mereka. Selanjutnya hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia sendiri bersifat berbhineka, ditinjau dari segi yuridis formal berdasarkan Pasal 131 jo. 163 Indische Staatsregeling, dan juga ditinjau dari segi ethnis, karena hukum yang berlaku bagi masyarakat Indonesia beraneka ragam tergantung pada corak susunan masyarakat dari daerah masing-masing. Keadaan hukum perdata di Indonesia tersebut menggambarkan adanya kebhinekaan. Adanya pembedaan hukum yang diberlakukan bagi golongan Eropa,
Indonesia,
dan
Timur
Asing,
dengan
kemungkinan
diberlakukannya hukum Eropa bagi golongan-golongan bukan golongan Eropa atau kemungkinan yang dibuka bagi golongan bukan Eropa untuk menundukkan diri pada hukum Eropa yang dapat membawa akibat bahwa hukum perdata yang berlaku di Indonesia bukan merupakan satu kesatuan hukum, melainkan bersifat beraneka ragam. Sistem dualisme hukum perdata itu didasarkan atas sistem penggolongan penduduk berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling. Dalam kaitan dengan kebhinekaan hukum perdata di Indonesia ini, pada tahun 1966 telah dikeluarkan Instruksi Presidium Kabinet Nomor
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
31/U/In/12/1966 yang memuat perintah kepada para pejabat catatan sipil diseluruh Indonesia agar dalam melaksanakan peraturan catatan sipil untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling. Juga ditentukan bahwa Instruksi Presidium Kabinet tersebut di atas tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan hukum perdata lainnya. Terkait dengan adanya Instruksi Presidium Kabinet tersebut, Prof. R. Sardjono, S.H. berpendapat bahwa meskipun dalam Instruksi tersebut disebut tentang tidak dipergunakannya lagi penggolongan penduduk Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling, namun pada hakekatnya Instruksi Presidium Kabinet tersebut tidak dapat menghapuskan pluralisme dalam bidang hukum perdata di Indonesia. Di Indonesia masih tetap berlaku berbagai macam sistem hukum yang berlainan bagi berbagai lapisan masyarakat. Instruksi
Presidium
Kabinet
tersebut
tidak
dapat
menghapuskan
berlakunya undang-undang, yakni Pasal 131 dan Pasal 163 Indische Staatsregeling, sehingga pada hakekatnya Instruksi Presidium Kabinet tersebut tidak menghapuskan pluralisme dalam bidang hukum perdata di Indonesia. Pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia telah berlaku berbagai macam peraturan perundang-undangan antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata khususnya dalam Buku I yang mengatur tentang orang; b. Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke Reglement Staatblad 1898 Nomor 158); c. Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia atau HOCI (Huwelijke Ordonantie Christen Indonesiers, Staatblad 1933 Nomor 74) yang merupakan peraturan perkawinan untuk calon mempelai yang beragama Kristen.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Peraturan perundang-undangan tersebut sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diberlakukan atas dasar ketentuan Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal
I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
menentukan bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.”34 Aturan Peralihan tersebut di atas dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, oleh karena memang tidak mungkin untuk dengan segera dan secara menyeluruh mengubah semua hukum serta bidang hukumnya menurut cita-cita yang terkandung didalam UndangUndang Dasar 1945. Oleh karena itu, hukum yang berlaku hingga saat ini dan yang untuk sebagian besar masih berasal dari zaman pemerintahan penjajahan
Belanda
dan
Jepang
untuk
sementara
waktu
harus
dipertahankan, meskipun keadaan demikian dirasakan sebagai hal yang tidak seharusnya. Hal itu dikarenakan dalam suatu negara yang merdeka masih saja berlaku peraturan perundang-undangan yang sifat dan tujuannya sedikit atau banyak tidak dapat dilepaskan dari jalan pikiran pihak yang menjajah, yang dalam tindakannya terutama dan mungkin sekali
juga
dalam
keseluruhannya
hanya
mengejar
dipenuhinya
kepentingannya sendiri (kepentingan penjajah). Perundang-undangan tersebut tidak jarang merugikan masyarakat. Hal itu dapat dihindari jika dalam melaksanakan hukum tersebut dijalankan melalui penafsiranpenafsiran yang bermaksud untuk menyesuaikan hukum itu dengan tuntutan-tuntutan zaman guna menghindari timbulnya ketidakadilan hukum dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan kedudukan Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang mana merupakan undang-undang dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang memuat ketentuan-ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman
34
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, ps. I Aturan Peralihan.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada saat ini, sehingga diperlukan adanya penyesuaian ketentuan demikian itu dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini. Dalam hal ini berarti bahwa penyesuaian tersebut hendaknya dilakukan hanya terhadap pelaksanaan ketentuan yang dapat menimbulkan kerugian ataupun ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam rangka upaya melakukan penyesuaian hukum tersebut, maka pembentuk undang-undang telah pula mengadakan perubahanperubahan dalam pemberlakuan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yakni sebagai berikut ini : a. Penghapusan ketentuan-ketentuan hukum perdata dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang Kebendaan, sepanjang mengenai bumi, air, dan udara, kecuali ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hipotik dan gadai, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria; b. Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang Perikatan dan sebagian besar isinya mengatur mengenai hukum perjanjian masih secara utuh berlaku; c. Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berjudul tentang Pembuktian dan Daluwarsa serta sebagian besar isinya mengatur mengenai hal pembuktian, yang mana menurut aliran modern sebaiknya dikeluarkan dari sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karena hukum pembuktian dianggap bukan merupakan hukum materiil, sebagaimana tujuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melainkan hukum perdata formil atau hukum acara; d. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak seutuhnya berlaku, kecuali bagi golongan Timur Asing Cina. Dalam bidang hukum perkawinan telah disusun suatu undang-undang nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Bagi Indonesia, adanya suatu undang-undang nasional yang mengatur mengenai perkawinan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Hal ini memberikan suatu gambaran bahwa peraturan perundangundangan yang sebelumnya belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dirasakan dapat menimbulkan kendala dalam pengaturan hukum perkawinan di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat menampung prinsip-prinsip yang ada pada berbagai peraturan atau pengaturan perkawinan yang berlaku pada berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia dan mengaturnya dalam satu undang-undang agar dapat dipergunakan sebagai pegangan atau pedoman yang dapat menampung prinsip-prinsip tersebut, serta dapat memberikan landasan hukum bagi diberlakukannya undang-undang tersebut bagi semua warga negara atau masyarakat yang bersifat sangat heterogen. Cita-cita unifikasi memang menjadi dorongan yang kuat dalam pembentukkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal tersebut dilandasi pengalaman masa lampau yang telah dilalui oleh bangsa Indonesia, yang mana terdapat pemberlakuan peraturan perkawinan yang berbeda-beda atas golongan-golongan penduduk di Indonesia. Oleh sebab itulah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diharapkan dapat mewujudkan unifikasi. Namun demikian terdapat suatu ketentuan yang tercantum didalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana dapat ditafsirkan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan tersebut di atas sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap masih tetap berlaku. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan peraturan perkawinan yang diberlakukan bagi seluruh warga negara Indonesia yang diharapkan dapat menghapuskan pluralisme hukum perkawinan dan menghendaki terciptanya unifikasi hukum dalam pengaturan perkawinan di Indonesia. Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menyatakan tidak berlakunya sebelumnya,
aturan
perkawinan
lama
yang mencerminkan
atau
adanya
peraturan kebhinekaan,
perkawinan sepanjang
materinya telah diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa :
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.35
Ketentuan pasal tersebut jelas-jelas menunjukkan ketentuanketentuan dalam berbagai ketentuan, dan menyatakan tidak berlaku ketentuan tersebut sepanjang sudah diatur dengan undang-undang ini. Ketentuan pasal tersebut tidak dengan jelas menentukan ketentuan mana yang dinyatakan tidak berlaku dan ketentuan mana yang berlaku, serta kriteria seperti apa yang menunjukkan bahwa suatu ketentuan itu telah diatur didalam undang-undang ini. Oleh karena itu dapat menimbulkan berbagai penafsiran dan juga merupakan sumber pluralisme hukum dan ketidakpastian hukum. Berdasarkan pasal tersebut, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuka penafsiran bahwa peraturan perundang-undangan perkawinan lama pada hakekatnya tidak dihapuskan secara keseluruhan, terutama peraturan perundang-undangan yang berlaku
35
Indonesia, op. cit., ps. 66.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketentuan Pasal 66 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu mendapat perhatian secara khusus.
36
Peraturan perkawinan yang dihapuskan
hanyalah peraturan perundang-undangan yang masalahnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan mengenai hal yang belum diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat ditafsirkan masih diberlakukan peraturan perundang-undangan yang lama. Hal ini yang kemudian memberikan gambaran bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ternyata juga belum dapat mewujudkan unifikasi secara utuh, dengan adanya celah penafsiran, yang dapat diambil dari perumusan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu adanya pluralisme hukum dibidang hukum perkawinan. Dengan demikian maka kiranya dapat ditafsirkan bahwa antara tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menghendaki
terciptanya
unifikasi
hukum
dalam
bidang hukum
perkawinan dengan hakekat pengaturan materinya dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, ternyata masih belum sepenuhnya dapat terwujud. Dengan kata lain, masih terdapat kemungkinan penafsiran bahwa dibidang hukum perkawinan pada hakekatnya masih terdapat pluralisme hukum. Selain hal tersebut di atas, pengaturan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan dalam Bab V dan tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan itu sendiri. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai perjanjian perkawinan hanya dalam satu pasal, yaitu Pasal 29 yang menentukan sebagai berikut ini :
36
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 7.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut; (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan; (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; (4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.37
Didalam ketentuan pasal tersebut di atas, tidak ditentukan perjanjian tersebut mengenai apa, umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian
tersebut
luas
sekali,
dapat
mengenai
berbagai
hal.
Memperhatikan kekaburan terhadap gambaran yang sebenarnya dimaksud dalam ketentuan Pasal 29 itu sendiri.38 Dalam rangka mencari penjelasan Pasal 29 tersebut hanya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik talak.39 Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dalam hal penggunaan sumber hukum yang diterapkan sebagai acuan dalam rangka pembuatan perjanjian perkawinan, menurut hemat Penulis khususnya dalam kasus pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat antara Djaya dan Lianna Setiawan dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan lama yang tercantum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 37
Indonesia, op. cit., ps. 29.
38
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir Trading Co, 1975), hlm. 83. 39
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1987), hlm.
32.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Saat Pembuatan Perjanjian Perkawinan
2.4
Berdasarkan salah satu unsur yang terkandung didalam ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka perjanjian perkawinan dibuat oleh calon pasangan suami-istri pada saat sebelum dilangsungkannya perkawinan. 40 Sedangkan pengaturan yang tercantum didalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa perjanjian perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan oleh calon pasangan suami-istri.41 Ketentuan perundang-undangan memang tidak menentukan secara tegas mengenai jangka waktu antara pembuatan perjanjian perkawinan dengan saat dilangsungkannya perkawinan. Sehubungan dengan hal ini, perjanjian perkawinan antara Djaya dan Lianna Setiawan dilakukan pembuatannya pada tanggal 6 Maret 2002 saat sebelum mereka melangsungkan perkawinannya dihadapan pemuka agama Kristen di Jakarta pada tanggal 9 Maret 2002. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan mereka tersebut telah sesuai atau tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka perjanjian perkawinan tersebut dapat diberlakukan diantara mereka sejak saat perkawinan berlangsung.
2.5
Bentuk Perjanjian Perkawinan Dewasa ini, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin meningkatnya tuntutan akan kebutuhan masyarakat terkait suatu jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam setiap perbuatan hukum yang dilakukan. Adapun pemenuhan akan kebutuhan alat bukti tertulis yang paling kuat dan penuh dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum melalui pembuatan
40
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
41
Indonesia, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
akta otentik. Ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan suatu pengertian dari akta otentik, yaitu “suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” 42 Selain itu ada pula pengertian mengenai akta otentik juga diatur didalam ketentuan Pasal 1 Angka (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa “akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.”43 Ketentuan Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara tegas menetapkan bahwa setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris atas ancaman kebatalan.
44
dimaksudkan supaya
mempunyai
perjanjian perkawinan
Ketentuan tersebut kekuatan
pembuktian yang kuat dan agar terdapat suatu kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-istri yang bersangkutan atas harta benda mereka, mengingat bahwa perjanjian perkawinan mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perkawinan mereka. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Nurnazly Soetarno, S.H. yang berpendapat bahwa sebaiknya perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta otentik untuk lebih menjamin kepastian hukum dan agar pihak ketiga mengetahui tentang adanya perjanjian perkawinan tersebut. Kalau perjanjian perkawinan dibuat dengan akta di bawah tangan, maka kekuatan mengikatnya masih diragukan, artinya masih bisa dibantah. Kekuatan pembuktian dari akta di bawah tangan tergantung pada pengakuan para pihak yang turut menandatangani akta tersebut. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian akta di bawah tangan itu tidak kuat sebab dibutuhkan adanya itikad baik dari para pihak. Pengaturan mengenai
42
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 1868.
43
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN No. 117 Tahun 2004, TLN No. 4432, ps. 1 angka (7). 44
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menjelaskan bahwa:
suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu.45
Oleh karena itu, sebaiknya perjanjian perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik.46 Suatu akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris dapat memuat : a. Kehendak para pihak; b. Kesepakatan para pihak; c. Perbuatan hukum penyimpangan dari harta bersama perkawinan; d. Ketetapan hak dan kewajiban para pihak; dan e. Kepastian bahwa apa yang diperjanjikan diantara para pihak dengan
yang dipersyaratkan oleh peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian perkawinan telah sesuai sebagaimana seharusnya. Oleh sebab itu, dalam proses perbuatan hukum pembuatan perjanjian perkawinan hendaknya dilakukan dihadapan seorang notaris. Hal ini dikarenakan bahwa seorang notaris dapat berperan serta dalam membantu terciptanya suatu kondisi yang seimbang bagi calon suami maupun calon istri yang menghadap kepadanya sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam
45
Ibid., ps. 1875.
46
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op. cit., hlm.73.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan seorang notaris dapat disimpulkan dari kewenangan dan kewajibannya, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 15 dan 16 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan Pasal 15 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa:
notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.47
Sedangkan ketentuan Pasal 16 Ayat (1a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menetapkan bahwa “dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.”48 Dengan demikian, notaris itu bersikap netral karena ketidakberpihakannya terhadap salah satu pihak yang menghadap kepadanya, sehingga seorang notaris dapat diupayakan keterlibatannya untuk membuat akta perjanjian perkawinan dan berperan melindungi kepentingan para pihak serta mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari diantara para pihak tersebut. Akan tetapi dari seluruh alasan yang disebutkan di atas masih terdapat suatu arti penting untuk dibuatnya perjanjian perkawinan dalam bentuk akta otentik dihadapan seorang notaris, yaitu terjaminnya kepastian hukum bagi para penghadap yang
47
Indonesia, op. cit., ps. 15.
48
Ibid., ps. 16 ayat (1a).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
bersangkutan. Berdasarkan hal itu, maka sudah seyogianyalah diciptakan suatu kepastian hukum dalam proses pembuatan perjanjian perkawinan dengan maksud supaya hak dan kewajiban masing-masing pihak, yang mana dalam hal ini kedua calon mempelai menjadi jelas dan terjamin oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa kedua pihak, yakni calon suami dan calon istri atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.49 Ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang
tidak mensyaratkan secara tegas seperti
halnya yang tercantum didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mana suatu bentuk hukum tertentu sebagai syarat sahnya suatu perjanjian perkawinan. Satu-satunya persyaratan mengenai bentuk hukum suatu perjanjian perkawinan yang terkandung didalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis.50 Berdasarkan hal itu, para pihak dalam hal ini adalah calon suami dan calon istri dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka, baik dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta otentik. Dalam hal ini, apabila suatu perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, maka hal itu berarti bahwa para pihak dapat membuatnya sendiri tanpa memerlukan bantuan dari pihak manapun, asalkan kemudian perjanjian
perkawinan
tersebut
disahkan
oleh
pegawai
pencatat
perkawinan mereka. Dengan demikian, bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
49
Indonesia, loc. cit.
50
Ibid.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan lebih sederhana daripada ketentuan dalam Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan cukup dibuat secara tertulis yang kemudian disahkan oleh Pejabat Pencatat Perkawinan 51 , sedangkan menurut Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta otentik.52 Persetujuan perjanjian perkawinan itu dibuat secara tertulis yang kemudian disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian perkawinan dilekatkan pada akta nikah dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. 53 “Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain saat untuk itu tak
boleh
ditetapkannya.” 54
Setelah
dilakukan
pengesahan oleh pegawai pencatat, maka segala ketentuan yang diatur didalam perjanjian tersebut menjadi sah berlaku terhadap calon suami-istri yang bersangkutan dan juga terhadap pihak ketiga sepanjang isi ketentuan yang menyangkut pihak ketiga. Perjanjian perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di Kantor Panitera Pengadilan Negeri di wilayah hukum, dimana perkawinan tersebut dilangsungkan. Pendaftaran perjanjian perkawinan maupun perubahanperubahannya (apabila ada) merupakan pemenuhan terhadap asas publisitas. Apabila pendaftaran perjanjian perkawinan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri belum dilakukan, maka pihak ketiga boleh menganggap suami-istri
yang
bersangkutan
melangsungkan
perkawinan
51
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (1).
52
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 147.
dalam
53
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), hlm. 30. 54
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
percampuran harta kekayaan.55 Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, bilamana terdapat ketentuan-ketentuan didalamnya yang bertentangan dengan kaedah hukum, agama, ataupun kesusilaan yang berlaku. Ketiadaan pengaturan hukum yang mensyaratkan secara tegas penuangan perjanjian perkawinan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan seorang pejabat yang berwenang, yang mana dalam hal ini adalah seorang notaris serta adanya kewajiban para pihak dalam perjanjian perkawinan yang kemudian setelah pembuatannya diharuskan untuk meminta pengesahannya kepada pegawai pencatat perkawinan itu merupakan sesuatu hal yang dapat sangat menimbulkan suatu kesalahan persepsi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pegawai pencatat perkawinan.
Hal ini dikarenakan bahwa seorang pegawai pencatat
perkawinan itu pada dasarnya memiliki tugas untuk melakukan pencatatan saja terhadap peristiwa penting yang dialami seseorang dalam register pencatatan sipil. Menurut ketentuan Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dimaksud dengan “peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan.” 56 Dalam hal ini, kesalahan persepsi yang dapat timbul adalah bahwa tidak semua jenis perjanjian perkawinan perlu dilakukan pengesahan, hanya perjanjian perkawinan dalam bentuk akta di bawah tangan saja yang memerlukan pengesahan. Berdasarkan hal itu, maka pegawai pencatat perkawinan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pengesahan suatu perjanjian perkawinan yang telah dibuat dalam bentuk akta otentik oleh notaris, melainkan hanya bertugas untuk melakukan pencatatannya saja. Hal ini erat kaitannya
55
R. Subekti, op. cit., hlm. 38.
56
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, UU No. 23 Tahun 2006, LN No. 124 Tahun 2006, TLN No. 4674, ps. 1 angka (17).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
dengan kredibilitas seorang notaris dalam menjalankan jabatannya serta dikarenakan suatu akta otentik yang dihasilkan oleh seorang notaris merupakan suatu akta yang keabsahan dan kekuatan pembuktiannya tidak perlu diragukan lagi, sehingga tidak diperlukan pengesahan kembali oleh pegawai pencatat perkawinan. Demikian pula halnya yang terjadi pada perjanjian perkawinan diantara Djaya dan Lianna Setiawan, yang mana dalam kasus ini mereka tunduk terhadap pengaturan didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai kewajiban untuk meminta pengesahan kepada pegawai pencatat perkawinan. Pengesahan perjanjian perkawinan mereka dilakukan pada saat bersamaan dengan pencatatan perkawinannya, meskipun pada kenyataannya hal tersebut tidak diperlukan dikarenakan bahwa perjanjian perkawinan mereka telah dibuat dalam bentuk akta otentik dihadapan Tuan Slamet Suryono Hadi S., Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta.
2.6
Pemberlakuan Perjanjian Perkawinan Unsur berlakunya perjanjian perkawinan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 147 yang secara garis besar menentukan bahwa perjanjian perkawinan mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan, lain saat itu tidak boleh ditetapkan. 57 Pasal 152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:
ketentuan tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undangundang seluruhnya atau untuk sebagian, tak akan berlaku untuk pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dibukukan dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah dilangsungkan, atau, jika 57
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perkawinan berlangsung di luar negeri, di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.58
Sedangkan pengaturan didalam Pasal 29 Ayat (3)
Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa perjanjian
perkawinan
mulai
berlaku
sejak
saat
perkawinan
dilangsungkan.59 Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan bahwa berlakunya perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga, sejak saat perkawinan tersebut dilangsungkan, sama halnya seperti berlakunya perjanjian perkawinan terhadap suami-istri tersebut.60 Ketiadaan
ketentuan
lainnya
mengenai
saat
berlakunya
perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan haruslah ditafsirkan bahwa undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain daripada yang telah ditetapkan secara tegas didalam salah satu pasalnya tersebut. Perjanjian perkawinan tersebut berlaku bagi suami-istri yang bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut di atas, baik yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan suatu ketentuan hukum yang bersifat memaksa, sehingga tidak boleh dikesampingkan. Perjanjian perkawinan wajib didaftarkan supaya umum dapat mengetahuinya karena daftar tersebut dapat dilihat oleh siapapun. Hal ini juga sangat berguna bagi kepentingan pihak ketiga untuk mengetahui akibat-akibat yang mungkin dihadapinya dalam hal pihak ketiga tersebut hendak mengadakan perjanjian utang-piutang dengan suami-istri yang bersangkutan, khususnya terkait dengan pelaksanaan eksekusi atau sita jaminan. 58
Ibid., ps. 152.
59
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (3).
60
Ibid., ps. 29 ayat (1).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Isi Perjanjian Perkawinan
2.7
Berdasarkan ketentuan Hukum Perdata, setiap calon suami maupun calon istri mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri akibat-akibat dari perkawinannya, khususnya mengenai harta benda mereka. Setiap calon suami maupun calon istri dapat memilih pengaturan harta benda mereka, seperti terjadinya percampuran seluruh harta benda mereka menjadi satu kesatuan ataupun hanya bercampur sebagian saja dan sebagian lagi terpisah ataupun sama sekali tidak ada percampuran harta benda, sehingga masing-masing calon mempelai menguasai sendiri penguasaan harta bendanya. Hukum perkawinan meliputi pula hal-hal yang berkaitan dengan harta kekayaan perkawinan. Dalam hal hukum harta benda perkawinan, pada prinsipnya para pihak diberikan peluang untuk menentukan hak dan kewajiban mereka, namun hal tersebut dalam batas-batas
yang
diperbolehkan atau ditentukan oleh undang-undang. Berikut ini merupakan pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian perkawinan, yakni sebagai berikut :61 a. Dilarang menentukan isi perjanjian perkawinan yang bertentangan dengan ketertiban umum (Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); b. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya si istri melepaskan hak untuk menuntut perpisahan meja dan tempat tidur, menuntut perceraian, ataupun menuntut pemisahan harta kekayaan; c. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya mengurangi kekuasaan suami atau istri (Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); d. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya menyimpang dari ketentuan-ketentuan mengenai kekuasaan orang tua, misalnya
61
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, loc. cit.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
didalam
perjanjian
perkawinan
ditentukan
bahwa
istri
yang
menjalankan kekuasaan orang tua, maka perjanjian perkawinan demikian tidak diizinkan (Pasal 140 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata); e. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya mengurangi hak suami sebagai kepala rumah tangga (Pasal 140 Kitab UndangUndang Hukum Perdata). Terhadap larangan tersebut, undang-undang menentukan pengecualian, yakni antara lain : 1. Istri berhak mengadakan perjanjian perkawinan yang menjamin atau memberi pada istri kewenangan untuk mengurus harta baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang menjadi miliknya dan hak mengurus segala penghasilan yang diperolehnya. Dalam hal ini, hak untuk mengurus tidak termasuk hak untuk memindahtangankan, untuk hal itu istri harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari suaminya (Pasal 140 Ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Perdata); 2. Istri dapat memperjanjikan bahwa segala benda bergerak atau efek atas namanya yang dibawa ke dalam perkawinan tidak dijual atau dibebani tanpa persetujuannya (Pasal 140 Ayat (3) Kitab UndangUndang Hukum Perdata). f. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya bertentangan dengan
ketentuan
yang diadakan
oleh
undang-undang untuk
melindungi hak suami atau istri yang masih hidup, misalnya hak untuk menjadi wali dalam hal salah seorang meninggal dunia terlebih dahulu, maka perjanjian perkawinan demikian tidak boleh diperjanjikan karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang tersebut; g. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang bertujuan untuk melepaskan hak seseorang dari salah seorang dari mereka itu atas harta peninggalan anak-anak keturunan mereka (Pasal 141 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata);
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
h. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang tujuannya untuk mengatur harta peninggalan keturunan mereka. Pasal 141 Kitab Undang-Undang
Hukum
Perdata
menentukan
bahwa
dengan
mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami-istri
tidak
diperbolehkan melepaskan hak-hak yang diberikan oleh undangundang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis lurus kebawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu; i. Dilarang mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya bahwa salah seorang diantara mereka akan memikul beban lebih berat mengenai kewajiban untuk membayar pelunasan utang mereka. Pasal 142 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa tak bolehlah mereka memperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang lebih besar daripada bagiannya dalam laba persatuan; j. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang bertujuan untuk mengatur harta kekayaan menurut ketentuan perundangundangan negara lain, menurut kekuasaan atau undang-undang yang berlaku sebelum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa pun
tidak
bolehlah
mereka
dengan
kata-kata
sepintas
lalu
memperjanjikan bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, atau oleh beberapa adat kebiasaan, atau oleh undang-undang, kitab undang-undang atau peraturan-peraturan daerah, yang dahulu pernah berlaku di Indonesia atau dalam kerajaan Belanda dan daerah-daerah jajahannya; k. Dilarang untuk mengadakan perjanjian perkawinan yang isinya mengatur bahwa istri melepaskan haknya (untuk melepaskan hak) atas harta kekayaan bersama (Pasal 132 – 153 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).62
62
Ibid., ps. 132 – 153.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mencatat hal-hal yang tidak boleh dilanggar dalam perjanjian perkawinan, yakni tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. 63 Pengertian hukum dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meliputi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dengan demikian, perjanjian perkawinan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum adat yang hidup dalam kesadaran masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, perjanjian perkawinan juga tidak boleh melanggar ketentuan agamanya masing-masing calon suami-istri. Hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila, khususnya sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perkawinan merupakan perjanjian dalam bidang hukum keluarga yang
ketentuan-
ketentuannya cenderung bersifat memaksa, sehingga tidak dapat dikesampingkan secara bebas oleh para pihak. Hal ini dikarenakan bahwa pada asasnya suatu perkawinan harus berlangsung kekal, sehingga ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan dimaksudkan untuk mendukung prinsip kekal abadinya perkawinan tersebut, yang mana hal tersebut diwujudkan dalam sifat memaksa pengaturan ketentuanketentuan perkawinan. Para pihak tidak dapat menyimpang dari ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan, sehingga mereka harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan ketentuan perkawinan bersifat memaksa. Perkawinan mengandung unsur ketertiban umum. Oleh karenanya, para pihak tidak dapat secara bebas mengatur hak dan kewajiban mereka demi mencegah
dampak
pada
timbulnya
kesewenang-wenangan
dan
terabaikannya hak-hak asasi manusia. Demi mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul akibat
63
berakhirnya
suatu
perkawinan,
maka
undang-undang
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (2).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
memperkenankan calon suami dan calon istri untuk mengadakan suatu perjanjian perkawinan, yang sebaiknya hanya terkait dengan pengaturan terhadap harta benda perkawinan saja. Masing-masing pihak yang terkait dalam perjanjian perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang diatur dan dilindungi oleh hukum. Dalam hal terdapat salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ataupun adanya pihak lain yang merasa kepentingannya dirugikan, maka pihak tersebut diperkenankan untuk menuntut haknya itu berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam perjanjian tersebut. Apabila ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 35 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menentukan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, dapatlah disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan itu adalah perjanjian tentang harta benda perkawinan.64 Terdapat berbagai pendapat dalam ilmu hukum terkait isi yang dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan antara lain sebagai berikut ini : a. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat memuat apa saja yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suamiistri maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. Pendapat ini didasarkan pada pola pengaturan perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan diatur didalam Bab V Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mendahului pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami-istri yang diatur didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
64
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, op. cit., hlm. 77.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan dan pengaturan mengenai harta benda perkawinan yang diatur didalam Bab VII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. b. Prof. R. Sardjono, S.H. berpendapat bahwa sepanjang tidak diatur didalam peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat ditafsirkan lain, maka lebih baik ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan sebaiknya hanya meliputi hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan. Pendapat ini didasarkan pada sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan apa yang diatur didalam kodifikasi tersebut, dengan berpegang pada Pasal 139 jo. Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keleluasaan suami-istri
didalam
menentukan
hak
dan
kewajiban
mereka
dikhawatirkan akan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dan dikhawatirkan dapat merupakan peluang bagi suami-istri untuk menentukan hak dan kewajiban secara leluasa atau bebas, sedangkan prinsip dibidang hukum keluarga asas kebebasan berkontrak tidak dapat diterapkan. Hak dan kewajiban suami-istri dikhawatirkan terlalu longgar untuk dapat diperjanjikan didalam perjanjian perkawinan. c. Nurnazly Soetarno, S.H. berpendapat bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat memperjanjikan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dibidang hukum kekayaan, dan hal itu hanya menyangkut mengenai harta yang benar-benar merupakan harta pribadi suami-istri yang bersangkutan, yang dibawa ke dalam perkawinan. Mengenai harta bersama undang-undang tidak menentukan secara tegas bahwa hal itu dapat diperjanjikan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka menurutnya hal itu juga tidak dapat diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan. Demikian juga harta yang bukan merupakan harta pribadi suami-istri yang dibawa masuk ke dalam perkawinan, tidak dapat diperjanjikan, karena harta itu dapat merupakan harta pusaka yang merupakan harta kekayaan milik clannya.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Ketentuan Pasal 1 perjanjian perkawinan antara Djaya dan Lianna Setiawan menunjukkan bahwa para pihak menghendaki supaya harta sepanjang perkawinan mereka terpisah sama sekali. Para pihak tersebut di atas pada ketentuan Pasal 1 perjanjian perkawinan telah secara tegas menyatakan bahwa diantara kedua belah pihak tidak akan terjadi percampuran harta benda, baik percampuran untung dan rugi maupun percampuran hasil dan pendapatan. Penegasan tersebut harus disebutkan dalam perjanjian perkawinan yang dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut, maka masingmasing pihak baik suami maupun istri tetap menjadi pemilik atas barangbarang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan dan di samping itu karena setiap bentuk persatuan telah mereka kecualikan, maka hasil yang diperoleh mereka masing-masing sepanjang perkawinan, baik yang berupa hasil usaha maupun hasil yang keluar dari harta milik pribadi mereka, akan tetap menjadi milik pribadi dari masing-masing suami dan istri yang bersangkutan.65 Berdasarkan hal itu, maka para pihak dalam hal ini tunduk terhadap ketentuan lama pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2.8
Analisa Penetapan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG. Dalam rangka penelitian mengenai pembatalan akta perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung ini, penulis akan mengangkat dan mengkaji suatu keputusan hakim sebagai studi kasus berdasarkan Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Tangerang dengan Nomor 277/PDT.P/2010/PN.TNG., pada hari Rabu tanggal 21 Juli 2010 yang ditetapkan oleh I Made Supartha, S.H., selaku Hakim Tunggal yang memeriksa atau menyidangkan permohonan pembatalan tersebut di Pengadilan Negeri Tangerang dengan dibantu oleh Antonius Suanie, S.H.,
65
J. Satrio, op. cit., hlm. 164.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
M.H., selaku Panitera Pengganti. Berikut ini akan disampaikan uraian kasus dan analisa hukum dari Penetapan tersebut.
2.8.1
Kasus Posisi Pada tanggal 8 juli 2010, para pemohon melalui kedua orang kuasa hukumnya yang masing-masing bernama Dadi Waluyo, Sarjana Hukum dan Wahyu Baskoro, Sarjana Hukum yang berkantor di Perumahan Telaga Bestari Blok AX/21, Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, sebagaimana ternyata didalam Surat Kuasa Khusus tertanggal 2 Juli 2010 mengajukan permohonan penetapan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tangerang. Para pemohon tersebut terdiri dari : 1. Nama
: Djaya
Pekerjaan
: wiraswasta
Tempat/tanggal lahir
: Jakarta, 2 Januari 1968
Agama
: Katolik
2. Nama
: Lianna Setiawan
Pekerjaan
: ibu rumah tangga
Tempat/tanggal
: Jakarta, 3 Desember 1977
Agama
: Kristen
Keduanya beralamat di Jalan Kelapa Sawit XV BG. 14/9, Rukun Tetangga 008, Rukun Warga 013, Kelurahan Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Djaya dan Lianna Setiawan melalui kedua orang kuasa hukumnya tersebut di atas mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perkawinan yang berlaku diantara mereka, sebagaimana ternyata didalam surat permohonan yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tangerang dengan nomor register : 277/PDT.P/2010/PN.TNG. Para
pemohon
didalam
surat
permohonannya
mengemukakan bahwa pada tanggal 6 Maret 2002 kedua calon mempelai, yaitu Djaya dan Lianna Setiawan telah bersepakat untuk mengadakan pengaturan tersendiri terhadap harta benda perkawinan, yakni dengan cara membuat suatu perjanjian perkawinan. Dalam hal ini mereka datang menghadap kepada salah seorang Notaris di Tangerang yang bernama Slamet Suryono Hadi S., Sarjana Hukum guna penyusunan kehendak mereka tersebut dalam bentuk akta otentik dengan judul Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9. Setelah itu pada tanggal 9 Maret 2002 mereka telah melangsungkan perkawinan dihadapan pemuka agama Kristen yang bernama Jonathan Subianto di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi, Jakarta. Kemudian pada tanggal 11 Maret 2002 mereka mencatatkan perkawinan tersebut di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, sebagaimana ternyata dalam Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 81/I/PP/2002. Selama 6 (enam) tahun perkawinan atau hingga tahun 2008 mereka telah dikarunia 4 (empat) orang anak, yakni 3 (tiga orang) anak laki-laki dan 1 (satu) orang anak perempuan yang masing-masing bernama : 1. Haxeld Divant Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada tanggal 26 Oktober 2003, sebagaimana ternyata didalam Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 1177/U/JB/2003, tanggal 12 November 2003; 2. Andrew Btrand Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada tanggal 6 Mei 2005, sebagaimana ternyata didalam Kutipan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Akta Kelahiran Nomor : 670/U/JB/2005, tanggal 20 Mei 2005; 3. Vegand Lfrant Djaya, laki-laki, lahir di Jakarta, pada tanggal 8 Maret 2007, sebagaimana ternyata didalam Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 530/U/JB/2007, tanggal 23 Maret 2007; 4. Evelyn Audrey Djaya, perempuan, lahir di Jakarta, pada tanggal 11 Agustus 2008, sebagaimana ternyata didalam Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 19172/KLU/JP/2008, tanggal 15 Agustus 2008.
Perkawinan para pemohon yang bersangkutan sudah berlangsung selama hampir 8 (delapan) tahun terhitung sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, yaitu saat permohonan penetapan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tangerang. Hubungan perkawinan dalam membina rumah tangga para pemohon tersebut cukup harmonis, rukun, dan bahagia karena mereka pada dasarnya saling mencintai dan menyayangi serta mempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, para pemohon atas kesepakatan bersama dengan dilandasi itikad baik dan demi kelangsungan perkawinan keduanya serta kehidupan anak-anak dimasa mendatang bermaksud mengajukan pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9 tertanggal 6 Maret 2002, sebagaimana tersebut di atas. Dalam rangka pengajuan permohonan pembatalan tersebut para pemohon yang diwakili kedua orang kuasa hukumnya mempergunakan dasar hukum dari ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Berikut ini hal-hal yang dimohonkan oleh para pemohon kepada Ketua/Hakim Pengadilan Negeri Tangerang : 1. Mengabulkan permohonan para pemohon tersebut; 2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S., Sarjana
Hukum,
sebagaimana
tertuang
dalam
Akta
Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, batal demi hukum; 3. Memerintahkan
seperlunya
kepada
Kantor
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang / Kota Tangerang Selatan, untuk mencatat dan/atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan para pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor : 81/I/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002; dan 4. Biaya-biaya menurut hukum.
2.8.2
Analisa Mengenai Pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung Pada dasarnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, apabila perubahan tersebut dilakukan secara sepihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri saja. Dengan kata lain, perubahan secara unilateral tidak diperbolehkan. Akan tetapi, dimungkinkan terjadinya perubahan secara bilateral. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan dapat dilakukan perubahan atas dasar kehendak bersama dari kedua belah pihak, baik dari pihak suami maupun dari pihak istri. Ketentuan Pasal 148 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “segala perubahan dalam perjanjian,
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
yang sedianya pun boleh diadakan sebelum perkawinan, tak dapat diselenggarakan dengan cara lain, melainkan dengan akta dan dalam bentuk yang sama, seperti akta perjanjian itu dulu pun dibuatnya.” 66 Selama daripada itu, tiada suatu perubahan pun boleh berlaku, jika penyelenggaraannya tidak dihadiri dan tidak disetujui oleh segala mereka, yang dulu telah menghadiri dan menyetujui perjanjian. Selanjutnya ketentuan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Perdata menentukan bahwa “setelah perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dengan cara bagaimanapun, tak boleh diubah.”67 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa yang tidak
boleh
dikesampingkan. Dalam hal suatu ketika perkawinan terputus karena perceraian dan kemudian perkawinan tersebut disambung kembali,
maka bentuk harta
perkawinan
yang berlaku
sebelumnya harus tetap tidak berubah. Hal ini dimaksudkan demi melindungi kepentingan pihak ketiga (kreditur) terkait jaminan harta debitur atas piutang kreditur supaya pihak ketiga tidak sewaktu-waktu dihadapkan kepada situasi yang berubahubah dan dapat merugikan dirinya. Ketentuan Pasal 29 Ayat (4) menyatakan bahwa “selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.” 68 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian perkawinan bersifat tetap sepanjang perkawinan berlangsung. Akan tetapi, dapat dimungkinkan
66
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 148.
67
Ibid., ps. 149.
68
Indonesia, op. cit., ps. 29 ayat (4).
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
adanya penyimpangan dengan pembatasan-pembatasan atau syarat-syarat sebagai berikut : a. Atas persetujuan dari kedua belah pihak; dan b. Tidak merugikan pihak ketiga. Persyaratan
atau
pembatasan
pertama
di
atas
menegaskan bahwa perubahan perjanjian perkawinan tidak boleh terjadi karena paksaan. Layaknya suatu perjanjian pada umumnya harus dilandasi dengan sepakat yang bebas. Pihak ketiga pada persyaratan atau pembatasan yang kedua di atas adalah orang-orang yang memiliki kepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu keluarga. Pihak ketiga yang dimaksudkan adalah kreditur. Jaminan atas piutangpiutang kreditur berhubungan erat dengan keadaan dan bentuk harta
perkawinan
debiturnya.
Pembentuk
undang-undang
mencantumkan persyaratan atau pembatasan ini dengan maksud mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh suami-istri secara sengaja guna menghindari diri dari tanggung jawab mereka terhadap utang-utangnya kepada pihak ketiga. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menetapkan seberapa besar perubahan tersebut dapat diadakan. Oleh karena Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pembatasan tersebut, maka para pihak dapat mengadakan perubahan yang seluas-luasnya,
seperti
memisahkan
sama
sekali
harta
perkawinan (tidak adanya harta bersama) ataupun adanya percampuran harta secara bulat dalam perkawinan (tidak adanya harta pribadi). Dalam kasus ini, I Made Supartha, Sarjana Hukum, selaku
Hakim
yang
bertindak
untuk
memeriksa
atau
menyidangkan permohonan dari para pemohon, yaitu Djaya dan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Lianna
Setiawan,
berpendapat
dalam
salah
satu
pertimbangannya bahwa permohonan para pemohon tersebut di atas cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan undangundang, sehingga permohonan tersebut dapat dikabulkan untuk seluruhnya. Hakim tersebut menerapkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai landasan hukum dalam pertimbangannya tersebut. Ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian yang dinamakan dengan sistem terbuka (open system) yang mempunyai arti bahwa para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dapat dengan bebas menentukan hak dan kewajibannya. Asas ini disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai
undang-undang
bagi
mereka
yang
membuatnya”69, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan menekankan pada kata „semua‟, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan
suatu
pernyataan
kepada
masyarakat
bahwa
diperbolehkan membuat perjanjian yang berisi tentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Dengan perkataan lain, dalam hal perjanjian, masyarakat diperbolehkan membuat undang-undang yang berlaku bagi para pihak yang membuatnya. 70 Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila tidak diadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian yang dibuat. Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum, dan agama.
69
70
Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op. cit., ps. 1338 ayat (1). Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hlm. 13.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Perkawinan
dapat
dikatakan
merupakan
suatu
perjanjian dalam arti yang luas karena untuk sahnya suatu perkawinan diperlukan adanya syarat persesuaian kehendak, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 28 dan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam bidang hukum keluarga yang mempunyai sifat dan ciri yang berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perkawinan merupakan ikatan dalam bidang hukum keluarga yang mempunyai ciri tersendiri, yakni ketentuan-ketentuan yang mengaturnya bersifat memaksa yang berarti bahwa akibat yuridis dari perkawinan yang merupakan perjanjian itu terlepas dari
kewenangan
para
pihak.
Perkawinan
meskipun
mengandung unsur kesepakatan, akan tetapi berbeda dengan perikatan yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berpegang pada prinsip kebebasan berkontrak yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian hukum perkawinan pada prinsipnya tidak mengandung asas kebebasan berkontrak, sehingga oleh karenanya para pihak tidak boleh menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata merupakan perikatan dalam bidang hukum kekayaan yang tidak mengenal prinsip kekal abadinya ikatan tersebut. Perikatan-perikatan yang dimaksud dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada prinsipnya hanya berlaku untuk sesaat, yang mana apabila masing-masing pihak telah melaksanakan kewajiban dan memperoleh apa yang menjadi haknya, maka perikatan tersebut akan berakhir. Selain
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
itu pula, ciri perikatan dibidang hukum kekayaan juga terdapat keleluasaan yang diberikan kepada para pihak dalam perjanjian didalam menentukan hak dan kewajiban mereka serta diberikan kewenangan untuk menyimpang dari ketentuan yang diatur didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Adakalanya terdapat pula suatu perjanjian yang meskipun dengan persetujuan bersama tidak boleh dicabut kembali, misalnya suatu perjanjian perkawinan, sebagaimana ditafsirkan berdasarkan ketentuan Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penarikan kembali atau pengakhiran oleh salah satu pihak hanya dapat dimungkinkan pada perjanjian-perjanjian, yang mana hal itu diizinkan. Biasanya
dalam perjanjian-
perjanjian yang kedua belah pihak terikat untuk suatu waktu yang tidak tertentu, diperbolehkan pengakhiran oleh salah satu pihak dengan tidak diwajibkan untuk menyebutkan suatu alasan tertentu, misalnya dalam perjanjian kerja dan perjanjian penyuruhan (pemberian kuasa). 71 Perkawinan merupakan suatu lembaga hukum yang mempunyai sifat dan corak pengaturan tersendiri yang berbeda dengan perjanjian dalam bidang hukum kekayaan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka landasan hukum yang mendasari pertimbangan hakim didalam memeriksa dan menyidangkan permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan dari para pemohon itu tidak dapat diterapkan pada perkara ini. Hakim didalam memutus suatu perkara berpegang pada undang-undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam
71
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 139.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
masyarakat. Tindakan hakim tersebut dilandasi atas dasar ketentuan didalam Pasal 20 dan Pasal 22 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene
Bepalingen van wetgeving
voor
Indonesie). Pasal 20 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie) menyatakan bahwa hakim harus memutus perkara berdasarkan undang-undang. Pasal 22 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie) menyatakan
bahwa hakim yang
menolak untuk mengadakan keputusan terhadap perkara, dengan dalih undang-undang tidak mengaturnya, terdapat kegelapan atau ketidaklengkapan dalam undang-undang, dapat dituntut karena menolak mengadili perkara. Undang-Undang itu tidak sempurna, ada kalanya tidak lengkap ataupun tidak jelas. Meskipun demikian adanya, undang-undang tetap harus dilaksanakan. Dengan demikian hakim tidak dapat menangguhkan atau menolak menjatuhkan
putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap ataupun tidak jelas. Dalam hal undang-undang tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka hakim harus mencari atau menemukan hukumnya
(rechtsvinding).
Interpretasi
atau
penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas dapat diterapkan pada peristiwanya. Berbeda halnya yang terjadi pada kasus pembatalan akta perjanjian perkawinan yang dimohonkan oleh Djaya dan Lianna Setiawan, dimana I Made Supartha, Sarjana Hukum, selaku hakim harus memeriksa dan mengadili perkara ini yang
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pada kenyataannya tidak ada peraturannya yang khusus mengenai hal tersebut. Dalam hal ini, hakim menghadapi kekosongan
atau
ketidaklengkapan
peraturan
perundang-
undangan yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada atau tidak lengkap hukumnya. Dengan demikian untuk mengisi kekosongan tersebut hakim dapat menggunakan metode berpikir analogi, metode penyempitan hukum, dan metode argumentum a contrario.72 Pada kasus ini, metode yang sebaiknya diterapkan oleh hakim adalah metode argumentum a contrario dengan titik berat
diletakkan pada
ketidaksamaan peristiwa. Metode
argumentum a contrario digunakan apabila suatu peristiwa tidak diatur secara khusus oleh undang-undang, akan tetapi kebalikan daripada peristiwa tersebut diatur secara khusus. 73 Dalam hal ini, mengenai pembatalan suatu perjanjian perkawinan tidak terdapat pengaturannya secara khusus, baik pada Kitab UndangUndang Hukum Perdata maupun pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut telah diatur secara khusus mengenai perubahan suatu perjanjian perkawinan. Penggunaan cara penafsiran ini didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Hakim
didalam
pertimbangannya
cenderung
berdasarkan kepada ketentuan lama yang tercantum pada Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian
72
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 21. 73
Ibid., hlm. 27.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
melalui metode argumentum a contrario, hakim mengabulkan permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan pada Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dapat diberlakukan karena telah terdapat pengaturannya kembali didalam Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh karena itu, apabila diterapkan metode argumentum a contrario pada ketentuan Pasal 29 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suatu akta perjanjian perkawinan tidak dapat dibatalkan, meskipun dengan kesepakatan para pihak.
2.8.3
Analisa
Mengenai
Akibat
Hukum
Pembatalan
Akta
Perjanjian Perkawinan Setelah Perkawinan Berlangsung Pada kasus permohonan pembatalan Akta Perjanjian Perkawinan antara Djaya dan Lianna Setiawan, hakim dalam hal ini telah menetapkan beberapa hal sebagai berikut ini : 1. Mengabulkan permohonan para pemohon tersebut; 2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S., Sarjana
Hukum,
sebagaimana
tertuang
Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal
dalam
Akta
6 Maret 2002
tersebut, batal demi hukum; 3. Memerintahkan
seperlunya
kepada
Kantor
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang, untuk mencatat dan/atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan para
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor : 81/I/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002; 4. Membebankan biaya perkara ini kepada para pemohon sebesar Rp.141.000,- (seratus empat puluh satu ribu rupiah).
Batal demi hukum memiliki makna bahwa sesuatu menjadi tidak berlaku ataupun tidak sah karena berdasarkan hukum
(atau
dalam
arti
sempit
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan). Dengan demikian, batal demi hukum menunjukkan bahwa tidak berlaku atau tidak sahnya sesuatu tersebut terjadi seketika, spontan, otomatis, atau dengan sendirinya, sepanjang persyaratan atau keadaan yang membuat batal demi hukum itu terpenuhi. Sedangkan dapat dibatalkan sangat berbeda maknanya dengan batal demi hukum. Dapat dibatalkan menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. Selain itu, dapat dibatalkan juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok persoalan
tidak
selalu
harus
dibatalkan,
tetapi
apabila
dikehendaki, maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, apabila sesuatu hal dapat dibatalkan, maka bisa terjadi dua kemungkinan, yakni :74 a. Sesuatu
itu
benar-benar
batal
karena
dinyatakan
pembatalannya, atau b. Sesuatu itu tidak jadi
batal karena tidak dimintakan
pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal.
74
Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian, (Jakarta: National Legal Reform Program, 2010), hlm. 4 – 5.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Apabila pelanggaran suatu ketentuan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, maka akibat pada umumya adalah batal demi hukum atau batal absolut. Sedangkan apabila pelanggaran suatu ketentuan dimaksudkan untuk melindungi orang tertentu atau kelompok tertentu, maka akibatnya adalah dapat dibatalkan atau batal relatif. 75 Dengan perkataan lain, kebatalan absolut berlaku terhadap para pihak maupun pihak ketiga, sedangkan kebatalan relatif hanya berlaku bagi orang tertentu saja. Pada umumnya akibat hukum dari suatu kebatalan adalah berlaku surut dan kembali pada keadaan semula (ex tunc). Pada perbuatan hukum yang nonexistent tidak perlu dimohonkan pembatalannya karena secara yuridis dogmatis perbuatan tersebut tidak ada, sedangkan pada perbuatan hukum yang cacat lainnya dapat dimohonkan dengan putusan atau dengan penetapan pengadilan negeri. Apabila cacat pada perbuatan hukum berakibat batal demi hukum, penetapannya bersifat deklaratoir, sedangkan untuk perbuatan hukum yang dapat dibatalkan sifat keputusannya adalah konstitutif.76 Putusan deklaratoir, yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu keadaan yang resmi menurut hukum. Putusan deklaratoir biasanya berbunyi „menyatakan‟. Putusan konstitutif, yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain. Putusan konstitutif biasanya
75
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Dibidang Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 382. 76
Ibid., hlm. 384.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
berbunyi „menetapkan‟. Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak saat putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Hakim di dalam penetapannya tersebut di atas tidak secara tegas menyatakan akibat-akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari akta perjanjian perkawinan yang dinyatakan batal demi hukum tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Penulis menyimpulkan bahwa akibat hukum dari akta perjanjian perkawinan yang telah dinyatakan batal demi hukum adalah mengenai perbuatan hukum perjanjian perkawinan tersebut sejak terjadinya perbuatan hukum itu tidak mempunyai akibat hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Dengan perkataan lain bahwa dari semula dianggap tidak pernah ada ataupun tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian perkawinan tersebut. Dengan adanya pernyataan hakim yang bersifat deklaratoir
tersebut,
yaitu
menyatakan
Akta
Perjanjian
Pernikahan Nomor 9 tanggal 6 Maret 2002 batal demi hukum, maka menyiratkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut dianggap tidak pernah berlaku di antara para pemohon, sehingga tidak mempunyai akibat hukum apapun terhadap para pemohon maupun pihak ketiga. Penulis berpendapat dalam hal ini hakim hendaknya memberikan suatu putusan yang bersifat konstitutif karena jelas terlihat bahwa muncul suatu keadaan baru yang tercipta setelah pembatalan tersebut dilakukan. Keadaan baru tersebut akan berlaku terhadap para pemohon dan pihak ketiga. Kondisi demikian ini akan menimbulkan suatu konsekuensi hukum yang sangat erat kaitannya terhadap pengaturan harta benda dalam perkawinan para pihak atau para pemohon yang bersangkutan. Akibat hukum dari terciptanya suatu keadaan yang baru itu berdasarkan ketentuan di dalam
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
akan menyebabkan harta benda yang
diperoleh selama perkawinan tersebut, yang mana sebelumnya tidak terdapat suatu persatuan harta sama sekali akan kembali memunculkan adanya harta bersama diantara suami-istri tersebut, sedangkan mengenai harta bawaan akan tetap berada di bawah penguasaan masing-masing pihak yang membawanya ke dalam perkawinan tersebut. Mengenai harta bersama, suami-istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing suami-istri, baik yang diperoleh karena hibah maupun karena warisan tiap-tiap pihak mempunyai hak sepenuhnya
untuk
melakukan
perbuatan
hukum atas harta bendanya. Harta bersama meliputi : a. Hasil dan pendapatan suami; b. Hasil dan pendapatan istri; c. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, meskipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asalkan kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan; dan d. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami-istri sepanjang perkawinan. Harta bersama tidak membedakan dari mana atau dari siapa harta benda tersebut berasal. Dengan demikian, pada prinsipnya harta bersama itu diatur bersama dan dipergunakan bersama serta dalam segala sesuatunya harus ada persetujuan bersama. Di
samping
itu
pembatalan
akta
perjanjian
perkawinan dapat pula menimbulkan akibat hukum terhadap pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap adanya perubahan pada pengaturan atas harta benda suami-istri yang bersangkutan. Pihak ketiga yang dimaksud biasa disebut sebagai kreditur. Dalam hal ini, oleh karena sebelum dilakukannya
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
pembatalan akta perjanjian perkawinan atau dengan perkataan lain bahwa pada mulanya di dalam perkawinan antara Djaya dan Lianna
Setiawan
terdapat
suatu
perjanjian
pisah
harta
seluruhnya, maka masing-masing suami-istri tetap bertanggung jawab atas utang-utang yang dibuatnya dahulu kepada kreditur sebelum dilakukan pembatalan perjanjian perkawinan. Dengan demikian, masing-masing suami-istri tersebut akan menanggung segala utang yang dibuatnya itu dengan harta pribadinya. Akan tetapi apabila ternyata harta pribadi masing-masing suami-istri tersebut tidak mencukupi pelunasan utang tersebut, maka kreditur dapat meminta pelunasan atas piutangnya itu dari harta bersama,
meskipun
pada
asasnya
harta
bersama
itu
diperuntukkan untuk melunasi utang bersama yang dibuat oleh suami-istri.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
BAB 3 PENUTUP
3.1
Kesimpulan Berikut ini merupakan jawaban-jawaban yang dapat disimpulkan oleh
Penulis
dari
beberapa
permasalahan
dalam
penelitian
ini,
sebagaimana ternyata dari uraian – uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu dalam penulisan ilmiah ini. Menurut hemat Penulis pertama bahwa berdasarkan penerapan metode argumentum a contrario terhadap ketentuan Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suatu pembatalan akta perjanjian perkawinan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung merupakan suatu hal yang tidak dapat dilakukan dengan cara apapun juga, meskipun dengan kesepakatan para pihak yang berssangkutan. Kedua, penggunaan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pembatalan akta perjanjian perkawinan pada kasus ini, menurut hemat Penulis tidaklah sesuai untuk diterapkan dalam memeriksa dan menyidangkan kasus ini. Hal tersebut dikarenakan bahwa perkawinan merupakan suatu perikatan yang bersifat kekal abadi dan tidak mengenal adanya asas kebebasan berkontrak diantara para pihak. Ketiga, menurut hemat penulis akibat-akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian perkawinan tersebut bagi pasangan suami-istri yang bersangkutan setelah dikeluarkan penetapan dari Pengadilan Negeri adalah akan terciptanya suatu persatuan harta bersama diantara suami-istri tersebut, sedangkan harta bawaan akan tetap berada di bawah penguasaan masing-masing pihak
yang membawanya
ke dalam perkawinan,
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 35 dan Pasal 36 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimulai sejak saat dikabulkannya pembatalan akta perjanjian perkawinan mereka. Di
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
samping itu, ada pula akibat hukum terhadap pihak ketiga yang mungkin dapat ditimbulkan dari adanya perubahan pada pengaturan atas harta benda dalam perkawinan suami-istri tersebut, yaitu setiap pihak akan tetap bertanggung jawab atas segala utang yang telah dibuatnya dahulu sebelum dikabulkannya pembatalan akta perjanjian perkawinan mereka itu dengan harta pribadinya dan apabila ternyata belum dapat mencukupi pelunasan utang tersebut, maka kreditur berhak mengambilnya dari harta bersama mereka.
3.2
Saran Berikut ini merupakan beberapa saran dari Penulis berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas : a. Disadari bahwa pada era modern seperti saat ini sudah banyak dijumpai calon pasangan suami-istri yang cermat dalam hal melakukan pengaturan terkait kedudukan harta benda dalam perkawinan mereka, yang mana merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh di dalam membina suatu rumah tangga. Pengaturan tersebut biasa disebut dengan perjanjian perkawinan. Namun ternyata sangatlah disayangkan bahwa pengaturan mengenai perjanjian perkawinan pada ketentuan baru yang tercantum di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dirasakan belum cukup memberikan suatu kepastian hukum kepada masyarakat terkait penyimpangan terhadap pengaturan harta benda perkawinan, khususnya mengenai pembatalan perjanjian perkawinan. Selain itu pula, adanya ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dirasakan akan menimbulkan pluralisme hukum perkawinan di Indonesia yang justru membuat adanya ketidakpastian hukum di masyarakat. Oleh sebab itulah, Penulis berharap akan adanya suatu Peraturan Pelaksana lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat mengenai pengaturan
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
perjanjian perkawinan secara lebih lengkap, sehingga dengan tegas dapat
meniadakan pengaturan di dalam ketentuan-ketentuan lama
mengenai perkawinan demi terciptanya suatu kepastian hukum perkawinan di Indonesia; b. Penulis menyarankan kepada calon-calon pasangan suami-istri yang hendak melakukan pembuatan
perjanjian perkawinan agar lebih
memahami segala konsekuensi yang akan diterimanya setelah perjanjian perkawinan perkawinan tersebut berlaku di antara mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dengan sangat matang, supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari dengan melakukan pembatalan perjanjian perkawinan, mengingat bahwa tidak adanya pengaturan secara tegas dan khusus mengenai pembatalan tersebut; dan c. Berkenaan dengan permohonan pembatalan perjanjian perkawinan pada kasus tersebut di atas, Penulis berharap supaya hakim lebih cermat dalam memberikan putusannya dengan dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak bertentangan dengan rasa keadilan dan kepatutan hukum. Dalam hal ini Penulis berharap kepada setiap hakim di dalam memberikan suatu putusan, meskipun ia terikat dengan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 Staatsblad 1847 Nomor 23 (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie), namun bukan berarti bahwa ia memiliki kewajiban untuk mengabulkan setiap perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
A. Buku Abdurrahman dan Riduan Syahrani. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Alumni, 1978. Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
Perdata
Dibidang
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata Asas-Asas Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Gitama Jaya, 2004. Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan Hak dan Kewajiban Suami Isteri Harta Benda Perkawinan). Jakarta: Rizkita, 2009. Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata (Pembahasan Mengenai Asas-Asas Hukum Perdata). Jakarta: Gitama Jaya, 2005. Darmabrata, Wahyono. Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Rizkita, 2008. Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga Di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004. Erawati, Elly dan Herlien Budiono. Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian. Jakarta: National Legal Reform Program, 2010. Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 2007. Harahap, M. Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir, 1975. Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Medan: Zahir Trading Co, 1975. Malik, Rusdi. Memahami Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Universitas Trisakti, 2009. Mamudji, Sri. et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Maria. Kedudukan Suami Istri dalam Perkawinan Jujur Menurut Hukum Adat Karo, Hubungannya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Medan: Universitas Sumatera Utara, 1994. Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni, 1985. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Cet. 9. Bandung: Sumur Bandung, 1991. Prodjohamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia Legal Center Publishing, 2002.
Indonesia.
Jakarta:
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Sardjono. (Ed.). Perbandingan Hukum Perdata Masalah Perceraian. Jakarta: Gitama Jaya, 2004. Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Simanjuntak, P.N.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2005. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet.3. Jakarta: UI-Press, 1986. Soerjopratiknyo, Hartono. Akibat Hukum dari Perkawinan Menurut Sistem Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1998. Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cet.30. Jakarta: Intermasa, 2002. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI Press, 1974.
B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Administrasi Kependudukan. UU No. 23 Tahun 2006. LN No. 124 Tahun 2006. TLN No. 4674. Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
Indonesia. Undang-Undang Jabatan Notaris. UU No. 30 Tahun 2004. LN No. 117 Tahun 2004. TLN No. 4432. Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No. 3019. Indonesia. Peraturan Pemerintah Perkawinan. PP No. 9 Tahun 1975. LN No. 12 Tahun 1975. TLN No. 3050. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
Universitas Indonesia
x
LAMPIRAN
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
PENET AP AN NOMOR 277/PDT.P/2010/-*N.TNG. "DEMI KEADILAN 13ERDASARKAIN IaTUHANAN YANG MAHA ESA" Pengadilan Negeri Tangerang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam tingkat pertama telah memberikan penetapan sebagai berikut dalam perkara permohonan Bari : 1. Nama
: DJAYA
Pekerjaan
: Wiraswasta
Tempat/Tgl.Lahir
: Jakarta, 02 Januari 1968
Agama
: Katholik
2. Nama
: LIANNA SETIAWAN
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Tempat/Tgl.Lahir
: Jakarta, 03 Desember 1977
Agama
: Kristen
Keduanya beralamat di J1. Kelapa Sawit XV BG.14/9 Rt.008/013 Kelurahan Pakulonan Barat, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang ; Dalam hal ini diwakili oleh Kua.sanya DADI WALUYO, SH. dan WAHYU BASKORO, SH., Para Advokat / Penasehat Hukum beralamat di Perumahan Telaga Bestari Blok AX / 21 Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 2 Juli 2010, selanjutnya disebut sebagai : - - - PARA PEMOHON; Pengadilan Negeri tersebut ; Telah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tangerang Nomor : 277/PEN/PDT.P/2010/PN.TNG. tanggal 12 Juli 2010, tentang Penetapan Penunjukkan Hakim Tunggal yang memeriksa/menyidangkan permohonan tersebut ; Telah membaca Penetapan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Nomor : 277/PEN/PDT.P/2010/PN.TNG. tanggal 14 Juli 2010, tentang Penetapan hadri sidang ; Telah membaca surat permohonan Kuasa Para Pemohon ; Telah memperhatikan surat-surat bukti ; Telah mendengar keterangan Kuasa Para Pemohon dan saksi-saksi ; TENTANG PERMOHONANNYA Menimbang, bahwa Para Pemohon didalam surat permohonannya tertanggal 8 Juli 2010, yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tangerang pada tanggal 08
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
T
Juli 2010 dibawah Register Nomor : 277/PDT.P/2010/P1•1.TING., telah mengermikakan harhal sebagai berikut : I. Bahwa Para Pemohon telah melangsungkan perkawinan dihadapan pernuka Agama Kristen bernama Jonatan Subianto pada tanggal 9 Maret 2002 di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi — Jakarta ; 2. Bahwa perkawinan Para Pemohon tersebut telah dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002, bukti P — 1 ; 3. Bahwa dalam pencatatan perkawinan Para Pemohon tersebut telah disahkan Akta Perjanjian Pernikahan, yang dibuat di Tangerang dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002, tercatat dalam daftar pengesahan di Jakarta Nomor : 61/I/PPP/2002, bukti P — 2 ; 4. Bahwa selama perkawinan, Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak masing-masing bernama 1. HAXELD DIVANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 26 Oktober 2003, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 1177/U/JB/2003, tanggal 12 Nopember 2003, bukti P — 3a ; 2. ANDREW BTRAND DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 6 Mei 2005, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 670/U/JB/2005, tanggal 20 Mei 2005, bukti P — 3b ; 3. VEGAND LFRANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 8 Maret 2007, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 530/U/JB/2007, tanggal 23 Maret 2007, bukti P — 3c ; 4. EVELYN AUDREY DJAYA, perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 11 Agustus 2008, sesuai dengan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 19172/KLU/JP/2008, tanggal 15 Agustus 2008, bukti P — 3d ; 5. Bahwa oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan perkawinan Para Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun, dimana hubungan perkawinan dalam membina rumah tangga Para Pemohon tersebut cukup harmonic, rukun dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta dan menyayangi serta mempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan dilandasi itikad balk Para Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan kehidupan anak-anak dimana mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, bukti P — 2 diatas ;
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
I171F711111 111J1' 11171 TIFT
1117IIIIPIIII.MIIPIIMIIII?IIII!9111rl11 IIIiP1111111i1MINIIIMII IIIIIIiMlllll MIRIIIIIIIMIllMMIlu= MID
071
3 ::•,., -•,.. _ •.: • ,,....., t -1'.14,_, ..., '..!, 6. Bahwa oleh karena permohonan Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahailiti diraildasi 5'... .. '
,.:".
17:7.7 ..:17,1 :.'•
dengan itikad baik dan atas kesepakatan bersama antara Para Pemohon, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, permohonan Para Pemohon cukup beralasan menurut hukum ; 7. Bahwa untuk pembatalan Akta Perjanjian Penikahan tersebut sebelumnya harus ada suatu Penetapan dari Pengadilan Negeri Ta.ngerang, karena Para Pemohon berdomisili dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Tangerang ; Berdasarkan alasan tersebut diatas, Para Pemohon memohon kepada KetuafHakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang memeriksa permohonanan ini kiranya berkenan untuk 1: Mengabulkan permohonan Para Pemohon tersebut ; 2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam. Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, batal demi hukum ; Memerintalikan seperlunya kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang / Kota Tangerang Selatan, untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir tertuang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan Para Pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor : 81/I/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002; 4. Biaya-biaya menurut hukum ; Menimbang, bahwa pada Mari persidangan yang telah ditetapkan, Para Pemohon datang menghadap Kuasanya kepersidangan yang bernama DAN WALUYO, SH. dan WAHYTJ BASKORO, SR., Para Advokat / Penasehat Hukum beralarnat di Perumahan Telaga Bestari Blok AX / 21 Wanakerta, Kecamatan Sindang Jaya, Tangerang, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 2 Juli 2010 ; Menimbang, bahwa dipersidangan Hakim membacakan permohonan Para Pemohon, dan atas pertanyaan Hakim, Kuasa Para Pemohon menyatakan tetap pada permohonannya semula ; Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Kuasa Para Pemohon telah menyerahkan surat-surat bukti fotocopy bermeterai cukup yang diberi tanda P-I sampai dengan P-9, surat-surat bukti fotocopy tersebut telah dicocokkan dengan aslinya oleh Hakim sebagai berikut 1.
Foto copy Kutipan Akta Perkawinan No.81/I/PP/2002 antara DJAYA dan Lianna SETIAWAN tanggal 11 Maret 2002 dari Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, diberi .tanda P-1 ;
2.
Foto copy Salinan Akta Perjanjian Pernikahan No.9 tanggal 6 Maret 2002, dari Notaris Slamet Suryono Hadi S, SH., diberi tanda P-2 ; Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
4
•,,
ti z
1
u
--ri Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.1177/U/J13/2003'—ataS''''ndfn
3.
:—ITAXELD
DIVANT DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 12 Nopember 2003, diberi tanda P-3.a ; 4.
Foto copy Kutipan Akta. Kelahiran No.670/U/JB/2005 atas nama : ANDREW BTRAND DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 20 Mei 2005, diberi tanda P-3.b ;
5: Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.530/U/JB/2007 atas nama : VEGAND LFRANT DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 23 Maret 2007, diberi tanda P-3.c ; 6.
Foto copy Kutipan Akta Kelahiran No.19172/KLU/JP/2008 atas nama : EVELYN AUDREY DJAYA, yang diterbitkan oleh Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Barat, tanggal 15 Agustus 2008, diberi tanda P-3.d ;
7.
Surat Pernyataan membatalkan Perjanjian Pernikahan dari DJAYA dan LIANNA SETIAWAN,•tertangal 29 Juni 2009, yang diberi tanda P-4 ;
8: Foto copy Kutipan Akte Kelahiran No.434/DP/1968 atas nama DJAJA, yang diterbitkan oleh Pegawai Luar Biasa Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Pusat, tanggal 14 Pebruari 1968, diberi tanda P-5 ; 9.
Foto copy Kutipan Akte Kelahiran No.3989/JB/1977 atas nama : LIANNA, yang diterbitkan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatatan Sipil Wilayah Jakarta Barat, tanggal 16 Desember 1977, diberi tanda P-6 ;
10.
Foto copy Kartu Tanda Penduduk No.3603280201680001 atas narna DJAYA, tanggal 28 April 2010 dan Kartu Tanda Penduduk No.3603284312770001 atas nama LIANNA SETIAWAN, tanggal 28 April 2010, diberi tanda P-7 ;
11.
Foto copy Kartu Keluarga No.3603281708070004 tanggal 06 Mei 2010 atas narna kepala keluarga DJAYA, dari Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, diberi tanda P-8 ;
12.
Foto copy Salinan Akta Pembatalan No.19 tanggal 07 Mei 2010 yang dibuat dihadapan Notaris Udin Narsudin, SH., diberi tanda P-9 ;
Surat-surat bukti yang diberi tanda P-1 sampai dengan P-9 adalah berupa foto copy yang telah diberi materai secukupnya dipersidangan oleh Hakim telah diperiksa dan dicocokan serta disesuaikan dengan surat aslinya temyata foto copy tersebut cocok dan sesuai dengan aslinya, kecuali bukti P-4 adalah aslinya ;
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengar keterangan 2 (dua) orang saksi yang telah disumpah menurut cara agamanya dan mereka menerangkan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut : Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
-
1. Sakes:
PIE TSIS
Bahwa saksi kenal den2ari Pemohon karena saksi adalah dahulu tetangga dari Para
-
Pemohon ; Bahwa benar Para Pemohon adalah suami isteri ;
-
Bahwa Para Pemohon melangsungkan perkawinan di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi — Jakarta pada tanggal 9 Maret 2002 ; -
Bahwa dari perkawinannya Para Pemohon dikaruniai 4 (empat) orang anak ;
-
Bahwa setahu saksi sebelum menikah mereka membuat Perjanjian Pernikahan di Notaris ;
-
Bahwa sekarang saksi tahu mereka telah sama-sama membuat pernyataan untuk mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut;
-
Bahwa tujuan mereka mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut bertujuan untuk masa depan anak-anaknya ;
2. Saksi TJITRA : -
Bahwa saksi kenal dengan Pemohon karena saksi adalah dahulu tetangga dari Para Pemohon
-
Bahwa benar Para Pemohon adalah suami isteri, mereka melangsungkan perkawinan di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi Jakarta, bulan Maret 2002;
-
Bahwa dari perkawinannya Para Pemohon dikaruniai 4 (empat) orang anak ; Bahwa setahu saksi sebelum menikah mereka membuat Perjanjian Pernikahan di Notaris ; Bahwa sekarang saksi tahu mereka telah sama-sama membuat pernyataan untuk mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut;
-
Bahwa tujuan mereka mencabut Perjanjian Pernikahan tersebut bertujuan untuk masa depan anak-anaknya ;
Menimbang, bahwa terhadap keterangan saksi-saksi tersebut, Kuasa Para Pemohon menyatakan tidak keberatan dan membenarkan keterangan saksi-saksi tersebut ; Menimbang, bahwa selanjutnya Kuasa Para Pemohon menyatakan tidak akan mengajukan hal lain lagi dan selain mohon penetapan ; Menimbang, bahwa selanjutnya guna menyingkat uraian penetapan ini maka segala apa yang terjadi selama berlangsungnya pemeriksaan perkara ini seperti yang terurai dalam berita acara persidangan dianggap telah pula termasuk dalam penetapan ini ;
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
6 “.• e •
tZ4)
TENTANG HUKUMNYA
V
•tilv
::::::,. :.1 1 t!: t..,449 Li i , ......,...,,,,,3
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon aklalah' sebagaimana diuraikan tersebut diatas ; Menimbang, bahwa alasan permohonan Para Pemohon tersebut pada pokoknya, oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan perkawinan Para Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun, dimana hubungan perkawinan dalam membina rumah tangga Para Pemohon tersebut cukup harmonis, rukun dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta dan menyayangi serta mempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan dilandasi itikad baik Para Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan kehidupan anak-anak dimana mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut ; Menimbang, bahwa selanjutnya Para Pemohon menerangkan pula permohonan Pembatalan Perjanjian Pernikahan ini dilandasi dengan itikad baik dan atas kesepakatan bersama antara Para Pemohon ; Menimbang, bahwa untuk menQuatkan dalil permohonannya, Para Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti bertanda P-1 sampai dengan P-9 dan 2 (dua) orang saksi bernama LIM PIE TJIS dan TJITRA, sebagaimana telah diuraikan tersebut diatas ; Menimbang, bahwa dalam mengajukan permohonan Pembatalan Perjaniian Pernikahan Para Pemohon tersebut, terlebih dahulu hams mendapat ijin atau Penetapan dari Pengadilan Negeri ; Menimbang, bahwa sesuai dengan bukti P-7 dan P-8 berupa Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga atas nama Para Pemohon dari Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, maka Hakim berpendapat bahwa Pengadilan Negeri Tangerang berwenang untuk memeriksa/menyidangkan serta memberikan Penetapan dalam permohonan ini ; Menimbang, bahwa Para Pemohon bermaksud agar Perjanjian Pernikahan yang dibuat Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukurn, Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut dinyatakan batal demi hukum ; Menimbang, bahwa selain dari pada itu Para Pemohon menginginkan pula agar Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta mencatat atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Perjanjian Pernikahan terseblit, pada Kutipan Akta Perkawinan Para Pemohon Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002 ; Menimbang, bahwa setelah Hakim mempelajari permohonan Para Pemohon, yang 1...11.f:
n "I,-
onirci■
vrnrt,
;r]1111711,
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
D 'HO AAm fthnn
.
1
7
A t:
dipersidangan, maka Hakim memperoleh fakta dan keadaan Sarriggat--dapat„.,men'arik: kesimpulan pada pokoknya sebagai berikut •: -
bahwa Para Pemohon dalam Posita permohonannya mendalilkan telah rneiangsungkan perkawinan dihadapan pernuka Mama Kristen bernama Jonatan Subianto pada tanggal 9 Maret 2002 di Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat, Samanhudi Jakarta ;
-
Bahwa perkawinan Para Pemohon tersebut telah dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta, sesuai dengan Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002 ;
-
Bahwa pada Akta Perkawinan Para Pemohon tersebut telah disahkan Perjanjian Pemikahan, yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 ;
-
Bahwa dalam perkawinan Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak masing-masing bernama : 1. HAXELD DIVANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 26 Oktober 2003; 2. ANDREW BTRAND DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 6 Mei 2005 ; 3. VEGAND LFRANT DJAYA, laki-laki, lahir di Jakarta, tanggal 8 Maret 2007 ; 4. EVELYN AUDREY DJAYA, perempuan, lahir di Jakarta, tanggal 11 Agustus 2008 ;
-
Bahwa oleh karena Para Pemohon telah dikaruniai 4 (empat) orang anak dan perkawinan Para Pemohon sudah berjalan selama lebih kurang 8 (delapan) tahun, dimana hubungan perkawinan dalam membina nunah tangga Para Pemohon tersebut cukup harmonis, rukun dan bahagia, karena pada dasarnya Para Pemohon saling cinta dan menyayangi serta rnempunyai pengertian yang tinggi satu sama lain, dengan dilandasi itikad baik Para Pemohon demi kelangsungan perkawinan Para Pemohon dan kehidupan anak-anak dimasa mendatang, maka Para Pemohon bermaksud mengajukan Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut ;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian fakta dan pertimbangan tersebut diatas, Hakim berpendapat bahwa permohonan Para Pemohon tersebut cukup beralasan dan tidak bertentangan dengan Undang-undang karenanya dapat dikabulkan ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Para Pernohon dikabulkan, Hakim memandang perlu untuk memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Tangerang atau Pejabat yang ditunjuk, untuk mengirimkan sehelai salinan Penetapan ini kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Propinsi DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang, Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
1.'".v.2. 13
,11111E11111:11111:41111,14t
1111 4 ,11.1111,./111.1
,111.11C,11M1
I/ IMMIE111111141131/M1.141.1:
untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Perjanjian Pernikahan Para Pemohon, pada Kutipan Akta Perkawinan Nomor : 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002 ; Menimbang, bahwa karma permohonan ini adalah untuk kepentingan Para. Pemohon sendiri maka biaya perkara yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada Para Pemohon ; Menimbang, bahwa berdasarkan hal—hal tersebut diatas maka permohonan Para Pemohon beralasan menurut hukum sehingga dapat dikabulkan untuk seluruhnya; Memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata serta Peraturan hukum yang berkenaan dengan masalah itu ; MENETAPKAN: 1. Mengabulkan pennohonan Para Pemohon tersebut ; 2. Menyatakan Akta Perjanjian Pernikahan yang dibuat di Tangerang, dihadapan Notaris Slamet Suryono Hadi S, Sarjana Hukum, sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Pernikahan Nomor 9, tanggal 6 Maret 2002 tersebut, batal demi hukum ; 3. Memerintahkan seperlunya kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta dan Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tangerang, untuk mencatat dan atau memberi catatan pinggir tentang Pembatalan Akta Perjanjian Pernikahan Para Pemohon tersebut, pada Kutipan Akta Nomor 81/1/PP/2002 tanggal 11 Maret 2002; 4. Membebankan biaya perkara ini kepada Para Pemohon sebesar Rp. 141.000,- (seratus empat puhth satu ribu rupiah) ;
Demikianiah ditetapkan pada hari : RABU tanggal : 21 JULI 2010; penetapan many pada hari itu juga diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh karni : I MADE SUPARTHA, SH., sebagai Hakim Pengadilan Negeri Tangerang dan dibantu oleh: ANTONIUS SUANIE, SH.MH., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon tersebut;
PANITERA PENGGANTI,
HAKIM tersebut,
t.t.d.
t.t.d.
ANTONIUS SUANIE, SH.MH.
I MADE SUPARTHA, SH.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
•• '
n
•N•
Perincian Biaya : P N B P - - - - - - - - - - - - - - - - - - Rp. - - - 30.000,-
Biaya Panggilan
Rp.
100.000,-
-
Meterai
Rp.
6.000,-
-
Redaksi - - - - - - - - - - - - - - - - - -— Rp. - - - - 5.000,Jumlah - - - - - - - - - - - - - - - - - - — Rp. - - -141.000,-
FOTO COPY SESUA DENGA1,4 ASLINYA DKELUARKAN ATAS PERMOHONAN E RR IC A. SU4 Volk
F AU. Vtut
.
UNTUK KEPERLUAN P,ISET St
ERANG,,P3,:.: , 0
ENA
r
B
Uz-
r4 VIM ETA Rs
//
Lib 1JKLIM LIDA. 1-4. •
•'4.• "4.
\‘)
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
-74
PERJANJIAN PERKAWINAN NOMOR : 9
PASAL 1 Antara kedua belah pihak yang akan menikah tidak akan terjadi percampuran harta benda, baik percampuran untung rugi maupun percampuran penghasilan dan pendapatan. Jadi singkatnya harta masing-masing pihak terpisah sama sekali dari pihak lainnya.
PASAL 2 Harta benda yang dimiliki dan dibawa oleh masing-masing pihak pada waktu pernikahan dilangsungkan dan/atau yang diperoleh dikemudian hari akan tetap menjadi miliknya masingmasing pihak, demikian pula utang-utang yang terjadi sebelum dan sesudah pemikahan yang dimaksud akan tetap dipikul dan dibayar oleh masing-masing pihak.
PASAL 3 Pihak istri berhak mengurus dan menguasai harta bendanya sendiri, baik barang-barang bergerak serta berhak pula menggunakan dengan bebas segala hasil dan pendapatannya sendiri yang diperoleh dengan cara apapun dan seberapa perlu pihak istri dengan ini diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pihak suami untuk melakukan segala tindakan, baik yang mengenai pengurusan maupun yang mengenai tindakan pemilikan dengan tidak diperlukan bantuan dari pihak suami.
PASAL 4 Segala biaya-biaya rumah tangga, termasuk juga biaya-biaya penghidupan dan pendidikan anak-anak yang lahir dari pernikahan itu semuanya ditanggung dan dibayar oleh pihak suami sehingga pihak istri bebas dari kewajiban tersebut.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013
PASAL 5 Pakaian dan perhiasan badan yang diperuntukkan dan dipakai oleh masing-masing pihak pada waktu pernikahan berakhir karena perceraian maupun karena meninggalnya salah satu pihak tetap menjadi hak dan miliknya masing-masing.
PASAL 6 Barang-barang perabotan rumah tangga yang ada didalam rumah dimana suami istri tersebut hertempat tinggal pada waktu pernikahan berakhir atau pada waktu diadakan perhitungan menurut hukum, akan dianggap kepunyaan pihak pertama dan pihak kedua masing-masing untuk bagian yang sama besarnyya atau diberikan pada salah satu pihak, karena pihak yang lain mengalah dan menyerahkan.
PASAL 7 Harta benda yang dibavva oleh masing-masing pihak dalam perkawinan dan/atau yang didapat dengan cara apapun juga oleh masing-masing pihak pada waktu sesudah pernikahan dilangsungkan harus ternyata dari surat-surat. Apabila pihak istri atau para ahli warisnya tidak mempunyai bukti demikian, maka pihak istri atau para ahli warisnya berhak membuktikan wujudnya dan harga dari harta benda pihak istri itu olch saksi-saksi, bahkan bila perlu juga oleh pengetahuan orang banyak.
Pembatalan akta..., Errica Sujana, FH UI, 2013