PLURALISME ISLAM ANALISIS HERMENEUTIKA PUISI JALALUDIN RUMI Muhammad Yusuf el-Badri Lembaga Riset Sakata Indonesia Jl. Puri Intan Nomor 96 Tangerang Selatan Banten Email:
[email protected]
Abstrak: Pengkajian Islam dengan pendekatan sastra dan tasawuf kerap menjadi kontraversi. Kasus Jalaludi Rumi, berbagai tulisan, karya ilmiah yang mengkaji tentang Jalaludin Rumi sampai saat ini masih terus terjadi tapi hanya terfokus pada ‘mencari-cari’ kesalahan dan menyesatkan ajaran sufinya. Puisi Rumi selain berisi tentang cintanya dengan sang kekasihnya -Allah- juga mengajarkan tentang sikap hidup yang toleransi terhadap sesama manusia tanpa batas agama dan kepercayaan. Tulisan ini akan mengungkap pandangan tersebut dengan menjadikan puisi Rumi sebagai objek utama. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (library research) yang menjadikan teks atau dokumen sebagai objek kajian untuk mendalami tema dan atau kategori tertentu yang tertuang pada suatu teks, naskah atau narasi. Oleh karena itu pendekatan hermeneutik dalam studi ini dipandang relevan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rumi sedang tidak membenarkan semua agama. Ia hanya mengatakan bahwa di mana pun seseorang ada dan mencintai Tuhan dan patuh kepada-Nya maka ialah seorang muslim sejati. Muslim yang dimaksud Rumi adalah orang yang mencintai Allah dan mengesakan-Nya. Bukan muslim yang pada tahap pengakuan saja tetapi ia zalim dan durhaka kepada Allah dengan tidak menjalankan perintah Allah Swt. Abstract: Islam Studies with the approach from literature and tasawuf has sometimes become a controversy. In the case of Jalaludin Rumi, some writing and scientific research studying his writing and teaching has still been becoming object of research, but it is only focused on ‚the looking for‛ and condemnation of his Sufism thought. Rumi’s poems not only contain his affection and love to his beloved – Allah – but also contain teaching about a tolerance way of life without any boundaries especially religion and belief. This writing will reveal this insight with Rumi’s poems as the object. This research is library research with texts or documents as the object of study in order to understand the theme and or certain category embedded within texts, narration and manuscript. Therefore in this research, hermeneutic approach is relevant for this study. Based on the explanation in this research it can be concluded that Rumi does not justify the righteousness of all religions. He just said that wherever a mankind exists and he or she loves the God and put his obedience on Him so he or she is the real Muslim. The Muslim according to Rumi is a person who loves Allah and put Him as the only one. Rumi does not refer a term of Muslim to the person who just confesses his or her faith on Allah but he or she does not put his obedience to the Merciful Allah without following His order. Kata-kata kunci: pluralism, hermeneutika, Rumi, tasawuf, sastra Islam
17
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
PENDAHULUAN Kehadiran sastra di tengah masyarakat muslim, kian hari kian tidak mendapat tempat. Lebih dari itu, tidak sedikit pula kalangan muslim memperdebatkan sastra sebagai bagian dari Islam dan tidak sedikit dari mereka yang menolaknya. Sastra yang lahir dari ummat Islam sendiri sering memuat tentang tema fiqh, filsafat, sejarah, tasawuf dan kemanusiaan. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hadi bahwa -kebanyakankarya sastra itu lahir sebagai hasil penafsiran pengarang terhadap al-Qur’an dengan cara takwil dan dijewantahkan melalui estetika sastra.1 Syukron Kamil dalam buku Sastra, Islam dan Politik mengungkapkan penyebab keraguan umat Islam –kalau tidak dapat dikatakan menolak- atas keberadaan sastra disebabkan beberapa hal, pertama, kurangnya perhatian ulama, pemimpin dan cendekiawan muslim terhadap sastra itu sendiri. Karya sastra sering dipandang sebagai hasil imajinasi yang tidak berarti apa-apa. Walaupun jangkauan nilai yang ditawarkannya sangat jauh dari apa yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Penyebab kedua menurut Sukron adalah karena diragukannya pengakuan Islam terhadap kebebasan berkreasi. 2 Selain itu, Islam juga hanya dipandang sebagai hukum atau fiqh. Hamka sendiri sebagai Ulama yang juga Sastrawan mengakui bahwa ulama cenderung melihat sastra dengan kaca mata fiqh. Seolah-olah Islam hanya fiqh semata. Tidak ada Islam kalau tidak ada fiqh. Padahal nabi Muhammad sendiri menegaskan bahwa ia diutus untuk menyempurnakan akhlak. Di sisi lain ajaran -Islam- yang dibawanya adalah rahmat untuk seluruh alam. Jika selama satu abad ini yang berkembang adalah pemikiran Islam. Meskipun melalui proses panjang dan berliku, namun secara berangsur-angsur sudah mulai diterima oleh masyarakat dan ‘ulama’. Sama halnya dengan awal kemunculannya pemikiran Islam pada masa awal, sastra juga mengalami hal yang sama. Sebagai sebuah karya ia sering ditolak dengan berbagai alasan oleh masyarakat muslim. Ada yang dijuluki kiyai cabul seperti Hamka karena menulis kisah cinta melalui novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijk dan Di bawah Lindungan Ka’bah. Alasannya adalah seorang Ulama tidak pantas menulis novel percintaan 3 . Jika seorang Ulama sekaliber Hamka saja masih ditolak karyanya apatah lagi hanya muslim biasa. Selain itu, penolakan terhadap sastra – sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam- disebabkan oleh perbedaan pandangan terhadap Tuhan dan anggapan bahwa karya sastra itu akan merusak dan menyesatkan umat. Di dunia Islam Timur Tengah, kecaman demi kecaman terhadap orang-orang yang mengemukakan nilai-nilai keadilan melalui sastra puisi maupun novel terus terjadi tanpa henti. Sukron Kami menyebutkan bahwa Najib Mahfuz oleh kalangan al-Azhar dituduh sebagai seorang murtad dan bahkan sebagiannya ungkap Sukron seperti Ahmad Abu Zayd dan ‘Umar Abdurrahman menghalalkan darahnya.4
1
Abdul Hadi WM, Hermeneutika, Barat dan Timur,(Jakarta, Sadra, 2013). Sukron Kamil, Sastra, Islam dan Politik, (Jakarta, Dian Rakyat, 2013), 47. 3 Sukron Kamil, Sastra, Islam dan Politik, 48. 4 Sukron Kamil, Sastra, Islam dan Politik, 9-10. 2
18
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
Penolakan terhadap sastra juga terjadi akibat dari cara pandang terhadap karya sastra itu sendiri. Sebagai karya, ia adalah hasil perenungan dan dunianya bersifat khayalan. Ia tidak menggambarkan suatu kehidupan atau melaporkan berbagai masalah dan peristiwa berbeda dengan berita, sejarah dan penelitian. Namun demikian, karya bukan datang tiba-tiba tanpa sebab. Ia lahir dari kehidupan/fakta tapi ia bukan kehidupan melainkan fiksi/rekaan. Sapardi Djoko Damono menjelaskan bahwa dalam memandang karya sastra pembaca sering menganggapnya sebagai sebuah fakta atau kehidupan nyata. Konsekuensi pandangan ini adalah pembaca akan menghubungkan kandungannya dengan pengalaman dan keyakinan sendiri. Jika apa yang dikandungnya sesuai dengan pengalaman pembaca maka ia akan menganggapnya bagus dan menyukainya5. Sebaliknya jika pembaca tidak menyukainya atau kandungannya tidak sesuai dengan kebenaran yang diyakininya maka ia akan menolaknya. Kecuali itu, sastra dalam pandangan sastrawan muslim juga dikelompokkan berdasarkan pesan sastra itu sendiri menjadi dua kelompok yakni kecenderungan tekstual dan kontekstual. Fadhlil Munawwar mengatakan bahwa mazhab pertama berpandangan bahwa sastra harus tekstual formalis dengan mengacu pada teks-teks suci yang berbicara tentang iman akhlak, ibadah untuk misi dakwah Islam. Sedangkan mazhab kedua berpandangan bahwa sastra harus kontekstual-substansial untuk tujuan kemanusiaan dan kebudayaan universal atau rah}matan lil-‘a>lami
Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra dan Pembaca. Fadhlil Munawwar, Sastra Islam Perspektif Taufik al-Hakim.
19
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Rumi, maka penulis hanya akan mengungkap beberapa puisi yang terkait dengan pemikirannya tentang agama dan sikap hidup yang terdapat dalam Diwan Syams al-Din al-Tabriz. Menurut Sofyan Hadi seorang sufi dalam mengungkap pengalaman spritualnya memilih media sastra yaitu puisi.7 Untuk memahami puisi sebagai sastra dibutuhkan ilmu sastra yang sering dinamakan dengan kritik sastra. Sebagai hasil kreatifitas, sastra -puisidapat ditafsirkan dengan pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan instrinsik memposisikan puisi sebagai teks yang otonom dan ia tidak membutuhkan hal-hal yang berada diluar teks untuk memahami teks itu sendiri. Penafsiran teks digunakan untuk mengungkap tema, pesan dan dampaknya. Langkah penafsiran itu menurut Sapardi Djoko Damono disebut dengan pendekat hermeneutika. Hermeneutika berarti mengurai teks dengan pembacaan retroaktif (pembacaan ulang) setelah pembacaan heuristik (pembacaan berdasarkan struktur bahasa dan makna). Menurut Acep Iwan istilah Hermeneutik sering dikaitkan dengan kisah mitologi Yunani yang bernama Hermes yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Pengalih bahasaan ini dari dewa yang tidak dimengerti menjadi dapat dimengerti manusia disebut dengan penafsiran. Inilah awal hermeneutika disebut sebagai interpretasi atau penafsiran. 8 Objek analisis hermeneutika adalah teks tertulis. Muhsin Mahfudz mengatakan bahwa teks pada dasarnya adalah simbol yang berdiri sendiri tanpa makna sehingga perlu dimaknai atau diberi makna. Pemaknaan lahir sebagai interpretasi tergantung pada pemberi makna dan konteks yang mendukungnya.9 Hermeneutika sendiri dalam tradisi Arab menurut Sukron Kamil sama dengan takwil. 10 Pada perkembangan selanjutnya setelah Islam datang dengan al-Qur’an sebagai kitab suci pemaknaan ini juga dilakukan dengan cara yang sama. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Komaruddin Hidayat bahwa hermeneutika menurut Zygmunt Bauman adalah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiksi sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan pembaca 11 . Berbeda dengan Sukron Kamil, Muhsin berpendapat cara pemaknaan teks semacam itu dalam Islam adalah ilmu tafsir yang dikenal selama berabad-abad dalam tradisi keilmuan Islam. Dari latar belakang yang terlah diungkapkan di atas, maka tulisan ini akan mengungkap lebih dalam bagaimana pandangan Jalaludin Rumi tentang agama-agama, bagaimana sikap seseorang muslim seharusnya dalam beragama. Tulisan ini akan mengungkap pandangan tersebut dengan menjadikan puisi Rumi sebagai objek utama.
METODE PENELITIAN 7
Sofyan Hadi, Sastra Arab Sufistik Nusantra, (Disertasi UIN Jakarta, 2014), 8. Acep Iwan Saidi, Hermeneutika, Sebuah Cara Memahami Teks, (Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13, 7 April 2008). 9 Muhsin Mahfudz, Hermeneutika sebagai alternatif Pembacaan Teks, (Alfikr, Vol. 17 Nomor 2 tahun 2013). 10 Sukron Kamil, Sastra, Islam dan Politik, (Jakarta, Dian Rakyat, 2013), 112. 11 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta, Paramadina, 1996), 125. 8
20
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (library research) yang menjadikan teks atau dokumen sebagai objek kajian untuk mendalami tema dan atau kategori tertentu yang tertuang pada suatu teks, naskah atau narasi. Oleh karena itu pendekatan hermeneutik dalam studi ini dipandang relevan. Hermenutika menurut P. Ricou berguna untuk memahami dan memaknai teks. Teks yang dimaksud adalah teks sebagai makna dan teks sebagai sesuatu yang hidup dan berubah. Teks yang hidup dan berubah bersifat otonom dan total. Teks ini menurut Ahmad Norma Permata, paling tidak mempunyai empat ciri, pertama, ia mempunyai makna ‘apa yang dikatakan’ terlepas dari pengungkapannya kedua, ia terpelas dari dari pembicara, dalam hal ini adalah pengarang teks itu sendiri, ketiga, makna teks terlepas dari konteks awal ia diciptakan keempat, teks juga lepas dari audiens pertama ketika teks itu ada. 12 Langkah kerja hermeneutik yang ditawarkan oleh Paul Ricour antara lain dimulai dengan mengidentifikasi simbol itu sendiri yang terdapat dalam puisi. Simbol tentu saja mempunyai dua kemungkinan makna yang berbeda, maka di sini dibutuhkan pengalaman dan wawasan untuk mengungkap makna yang sebenarnya. Langkah selanjutnya adalah memaknai simbol sebagai wacana dan simbo sebagai realitas. Langkah ke dua adalah langkah metaforis yaitu dengan mengungkap makna dengan metode pembalikan. Terakhir adalah menemukan makna yang mungkin muncul dari langkah metaforis.13 Ditempatkan dalam kerangka di atas, studi ini difokuskan pada sejumlah puisi yang ditulis Jalaludin Rumi, yang secara heremenuitis memiliki kekuatan puisi dalam bahasa yang digunakannya, analogi dan kedalaman makna yang terkandung dalam puisi itu. Untuk menjelaskan satu maksud dan makna ia mampu menulis dengan banyak ragam analogi. Ia mampu melahirkan makna baru dalam dan menyampaikan ide dan gagasannya dalam puisi. Selain itu kehebatannya sebagai seorang sastrawan yang ahli bahasa nampak dalam pilihan kata dan diksi serta wazan dalam puisinya. Puisi bagi Rumi sebagai ungkapan peristiwa yang penuh dengan simbol, makna yang terkandung dalam simbol itu terlalu dalam jika dimaknai secara tekstual dan terpisah dari ide dan gagasannya tentang cinta. HASIL DAN PEMBAHASAN Pluralisme selama dua dekade terakhir ini menjadi hangat kembali diperbincangkan tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia Internasional. Hal ini muncul sebagai respon terhadap paham-paham agama yang radikal yang menyebabkan konflik antar agama dan sesama muslim. Gerakan radikalisme menurut Zainal merupakan kerinduan terhadap masa kejayaan Islam masa lalu 14 Pluralisme sendiri sering disalahpahami sebagai penyatuan semua agama atau menganggap semua agama benar. Pluralisme juga sering diartikan upaya penyeragaman seperti yang dikatakan oleh Ana
12
P. Ricour, Filsafat Wacana; Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, terj. Musnur hury, (Yogyakarta;Ircisod, 2002), 217-220. 13 P. Ricour, Filsafat Wacana; Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, 101-112. 14 Lebih lanjut lihat Islam Radikal di Sumatera Barat Pasca Orde Baru (1998-2012) kajian historis gerakan ormas yang ditulis oleh Zainal (Disertasi UIN Jakarta, 2014).
21
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Malik Toha. Ia menyebut pluralisme sebagai agama baru15. Perbedaan ini karena memang belum ada kesepakatan di antara para pemikir Islam tentang tentang pluralisme itu sendiri. Istilah pluralisme dalam bahasa Arab paling tidak ada dua; pertama, ta‘addudiya>t al-adya>n dan wihdat al-adya>n. Pandangan pertama berpendapat bahwa pluralisme berarti bahwa setiap manusia harus menerima perbedaan pandangan, keyakinan dan agama. Selain itu juga berpendapat bahwa agama pada hakikatnya hanya satu yaitu mengajarkan manusia untuk meng-Esa-kan Tuhan. Perbedaan agama itu sendiri menurut pandangan ini adalah bagian dari sebuah kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Allah Swt. dalam Qs. Al-Ma>idah [5]; 48.
Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Dalam Tafsir al-Thalabi karangan Abu Ishaq al-Thalabi16 dijelaskan bahwa makna shir’at dan minha>j bahwa ahli Taurat, ahli Injil dan ahli al-Qur’an mempunyai syariat sendiri-sendiri. Dalam masing-masing syariat itu Allah telah menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya. Namun demikian agama ini pada dasarnya hanya satu dan syari’atnya saja yang berbeda-beda. Tujuan Allah menjadikan hal itu berbeda tidak lain adalah untuk menguji manusia sehingga terlihat jelas siapa yang taat dan siapa yang durhaka kepada Allah, oleh karena itu maka hendaklah manusia berlombalomba untuk berbuat baik. 17 Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibn ‘Atiyah 18 dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa makna ًلِ ُك ٍّل َج َعلْنا ِمنْ ُك ْم ِش ْر َعةً َوِمنْهاجا
sebagaimana dikatakan oleh ‘Ali ibn Abi Talib r.a, Qatadah dan jumhur mutakallimin adalah orang Yahudi, Nasrani mempunyai syariat dan metode/jalan masing-masing demikian pula dengan umat orang Muslim. Al-Qadi Abu Muhammad menegaskan bahwa hal ini hanya berlaku pada tataran hukum/ibadah sebab pada hakekatnya agama itu hanya 15
Anas Malik Thoha, Tentang Wacana Pluralisme‛ (insistnet.com, 2013), akses 13 maret 2013. Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Thalabi (w. 427 H/1035 M). Diantara buku yang ditulisnya adalah ‘Ara’is al-Majalis yang berisi tentang kisah para nabi, alKashf wa al-Baya>n fi Tafsir al-Qur’an yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Thalabi. Tafsir ini ditahqiq oleh Imam Abu Muhammad bin ‘Ashu>r. 17 Abu Ishaq, Tafsir al-Tha‘labi, (Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, 2002), Juz IV, 73 18 Nama Lengkapa adalah Abu Muhammad bin Abd al-H}aq bin Galib bin Abd al-Rahma>n bin Tama>m bin ‘At}iyah al-Andalusi al-Muharibi (481- 542 H/1088-1148 M). Ia juga seorang ahli hadis dan sastrwan terkenal pada zamannya. Karangannya yang populer adalah al-Muharrir al-Waji>z fi> Tafsi>r al-Kita>b al-‘Azi>z atau yang lebih dikenal dengan Tafsi>r Ibn ‘Atiyah sebanyak 10 jilid. Karangan lainnya adalah dalam bentuk Majmu’ yang berjudul Fi Khizana>t al-Riba>t} yang berisi tentang riwayat dan nama-nama gurunya. Ada perbedaan para ahli tentang tahun wafatnya ada yang mengatakan pada tahun 541 H dan ada pula yang berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 546 H. Tafsir Ibn ‘Atiyah ini ditahqiq oleh Abd al-Salam Abd al-Shafi Muhammad. 16
22
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
satu untuk semua manusia yaitu mentauhidkan Allah, percaya pada hari kebangkitan dan membenarkan setiap rasul Allah.19 Mengenai hukum/ibadah muncul pula perbedaan dikalangan ulama. Ada yang berpendapat bahwa semua syariat dan cara beribadah yang diajarkan melalui wahyu kepada umat terdahulu secara tidak langsung hilang dan digantikan oleh syariat Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Maka tidak ada lagi agama yang sah dan syariat yang diakui kecuali apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad. Hal ini dijelaskan oleh Fakhr al-Din al-Razi20 dalam tafsir Mafatih al-Gaib bahwa bila al-Qur’an adalah sebagai saksi akan kebenaran kitab terhadulu yakni Zabur dan Taurat maka tidak ada jalan untuk menghapus/ menggantikan hukum yang ada pada kitab-kitab itu. Sebab al-Qur’an hanya bersifat memberitahukan posisi dan kebenaran kitab yang telah diturunkan kepada nabi terdahulu.21 Kelompok kedua, yang menggunakan kata pluralisme dengan istilah wihdat aladya>n berpendapat bahwa agama yang pada prinsipnya datang dari Allah mengajarkan Tauhid. Setiap ajaran dan agama yang mengajarkan tauhid yakni meng-Esa-kan Tuhan adalah Islam. Kelompok ini juga beralasan bahwa semua nabi yang datang sebelum nabi Muhammad Saw juga mengajarkan dan mengakui ke-Esa-an Tuhan. Semua agama yang turun sebelum Nabi adalah Islam. Sebagaimana terdapat dalam QS. A
n [3]; 19
‚Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam‛. Islam dalam ayat tersebut menurut kelompok kedua berlaku universal dan umum. Ia tidak berlaku khusus pada agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saja tapi juga berlaku pada semua agama yang datang sebelumnya. Islam dalam konteks ini berarti penyerahan diri secara total kepada Tuhan dan beramal saleh. Abu Muhammad al-Bagawi menjelaskan bahwa menurut al-Kisa>’i sebelum ayat itu ada kalimat yang dihilangkan ِ ِ ِ َِّ ِ َّ ِ َّ ِ ِْ ِّين ِعْن َد اللَّ ِه ِْ ِّين ِعْن َد اللَّ ِه yaitu اْل ْس ََل ُم َ َشه َد اللهُ أَنَّهُ ََل إلَهَ إَل ُه َو َو َشه َد أ ََّن الدatau boleh juga َاْل ْس ََل ُم بأَنَّهُ ََل إلَه َ َشه َد اللهُ أ ََّن الد إََِّل ُه َو. Islam di sini berarti damai dan penyerahan. Qatadah menegaskan bahwa Islam berarti menyatakan Tidak ada Tuhan selain Allah dan percaya dengan apa yang dibawa oleh para rasul-Nya. Al-Bagawi juga menyebutkan bahwa ketika ayat (Qs. Ali Imran [3]: 20)
19
Ibn ‘At}iyah, Tafsir Ibn ‘Atiyah, (Beirut; Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2002), Jilid ke-II, 200 Fakhr al-Din al-Razi (544-606 H/1150-1210 M) adalah seorang mufassir, ahli ilmu kalam, filosof dan ahli ushul fikih. Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Umar bin Hasan bin Husain al-Ti>mi al-Razi. 21 Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Mafatih} al-Gaib, (Beirut; Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, 2000), Cet. III, Juz. 12, 371 20
23
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Rasulullah Saw membacakannya pada orang ahlul kitab, mereka menjawab kami Islam (menyerah kepada Allah) lalu Rasul Saw bertanya kepada orang-orang Yahudi; apakah kalian bersaksi/meyakini bahwa Isa as. adalah kalimatullah, hamba dan Rasul Allah? Mereka menjawab; kami berlindung kepada Allah. Rasul Saw juga bertanya kepada orang-orang Nasrani; apakah kalian bersaksi/ meyakini bahwa Isa as adalah hamba dan Rasul Allah? Mereka menjawab; kami berlindung kepada Allah, Isa as adalah hamba Allah. Selanjutnya allah mengatakan Jika mereka berpaling dari keyakinan itu maka
Engkau (Muhammad) hanya bertugas menyampakan saja. Dan Allah maha melihat dengan hamba-hamba-Nya. Maksud akhir ayat ini menurut Bagawi adalah Allah Maha Tahu dengan siapa yang beriman dan siapa yang tidak beriman. 22 Dengan demikian kelompok kedua ini memahami bahwa selama ia percaya bahwa hanya ada Satu Tuhan dan mereka beramal maka mereka adalah Islam. Pluralisme yang dimaksud di sini sebagai mana dikatakan oleh Moh. Nur Salim yaitu menerima perbedaan dan keragaman bukan proses penyatuan atau peleburan semua agama menjadi satu 23 . Perbedaan di tengah masyarakat merupakan sebuah keniscyaan yang mesti diterima dengan baik. Pluralitas ini muncul karena perbedaan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang disebut oleh Nur Salim sebagai pluralitas normatif. Kecuali itu, Nur Salim juga menyebutkan pluralitas substantif yang berarti bahwa adanya perbedaan yang tidak dapat dihindari yaitu perbedaan prinsip, akidah dan teologi. Perbedaan inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan agama dan mazhab dalam setiap agama. Setiap orang tidak dapat dipaksa untuk mengikuti satu prinsip, agama maupun mazhab. Oleh karenanya perbedaan itu tidaklah harus dihapuskan dengan penyatuan atau peleburan semua yang berbeda. Bagi sehagian umat Islam terkadang perbedaan mazhab, landasan teologi dan dijadikan alasan untuk saling memaki, menghujat bahkan kafir-mengafirkan. Perbedaan demi perbedaan -terutama yang dijadikan legitimasi pengafiranmenurut Jalaludin Rahmat ditimbulkan oleh cara pandang terhadap terhadap nas yang berkaitan dengan akidah bahkan ada juga yang berkaitan dengan persoalan fikih (furu>’iyah). Jalaludin Rahmat mengatakan perbedaan teologi merupakan imbas dari perbedaan politik. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Sh}ahrasta>ni dalam al-Mila>l
22
Abu Muhammad al-Bagawi, Tafsir al-Bagawi, (Da>r al-Tayyibah li al-Nash wa Tauzi‘, 1997), Cet. Ke IV, Juz II, 20. 23 Moh.Nur Salim, Berdakwah di Zaman Pluralis, (Detakislam, 2014), http://detakislam.com/ index.php/opini/qhodoyaammah/68-berdakwah-di-zaman-pluralis, akses 03 Desember 2014.
24
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
wa al-Niha>l bahwa ‚tidak pernah darah ditumpahkan dan pedang dihunus dalam Islam kecuali pertikaian masalah imamah (kepemimpinan)‛.24 Dari ungkapan tersebut jelas bahwa pertentangan antara umat Islam yang sampai pada perselisihan dan perpecahan semata-mata karena perbedaan padangan dalam persoalan politik yang pada gilirannya menjadikan perbedaan fikih dan akidah sebagai instrumen perpecahan selanjutnya. Untuk mengatasi perbedaan pandangan baik dalam masalah akidah maupun perbedaan fikih agar tidak sampai pada perpecahan dan perang, para pemikir Islam menawarkan solusi pluralisme. Mengenai pluralitas ini Jalaluddin Rumi juga mengemukakan bagaimana agar semua umat menghargai perbedaan agama dan pandangan tanpa kekerasan. Menghargai perbedaan itu menurut Rumi harus atas dasar cinta. Pandangan pluralisme Rumi dikemukakannya dengan media sastra yakni puisi yang akan dijelaskan pada bagian analisis puisi Rumi. Jalaludin Rumi adalah seorang fakih (pakar ilmu fikih) terutama fikih mazhab Hanafi. Selain seorang fakih ia juga terkenal sebagai sastrawan muslim yang banyak dijadikan rujukan oleh hampir sastrawan dunia muslim maupun non muslim. Jalaludin Rumi mempunyai nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Qa>sim bin Habi>b bin Abd Alla>h bin Abi Bakr al-S}iddi>q.25 Nama Jalaludin Rumi sendiri sering disebut dengan sebutan Maulana Jalaludin. Hal ini untuk membedakan dengan Jalaludin yang lain seperti Jalaludin gelar dari Hasan bin Ahmad bin Qa>di al-Quda>t bin Hisa>m al-Din al-Hasan dan Jalaludin; al-Ima>m Muhammad ibn alIma>m Saif al-Din Sa‘i>d bin al-Mutahhir bin Sa‘i>d al-Bakharazi serta Jalaludin alKhabbazi ‘Umar bin Muhammad bin ‘Umar al-Ima>m.26 Muhy al-Din al-Hanafi mengatakan bahwa Maulana Jalaludin Rumi merupakan salah seorang Imam ‘Arif fikih mazhab Hanafi. 27 Ibn Hajar menegaskan bahwa Rumi salah satu Imam mazhab fikih Hanafi, yang mahir dalam ilmu nahu/tatabahasa arab, cerdas dan zuhud. Ia sangat terkenal sebagai ilmuan yang sering melakukan perjalanan dan pertemuan ilmiah dan mengajar. Ia bahkan termasuk ulama yang disegani oleh penguasa ketika itu bahkan ia dikenal pula dengan Sultan Maulana Jalaludin. ia tetap dihormati oleh penguasa negerinya sampai ia sudah tiada. Jalaludin Rumi wafat pada tahun 712 dan diwafatkan di Qonia (sebuah kota di Turki).28 Mengenai waktu kelahiran dan wafatnya ada terdapat perbedaan para sejarawan. Ada yang mengatakan ia hidup pada
24
Jalaludin Rahmat, Islam dan Pluralisme; Akhlak al-Qur’an menyikapi Perbedaan, (Jakarta; Serambi, 2006), 70. 25 Ibn Hajr al-Asqalani, al-Durur al-Ka>minat fi> A‘ya>n al-Mi’ah al-Thaminah, (India;Majlis alDa>irah al-Ma‘arif al-Uthmaniyah,1972), Juz I, 352, Jamaludin, al-Manhal al-Sufi wa al-Mustaufi Ba‘d alWafi>, (al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Ammah li al-Kutub, tt), Juz II, 127 26 Abd Qadir Qurashi, Jawahir al-Madiyah fi> Tabaqa>t al-Hanafiyah, (Krastishi;Mair Muhammad Kutub Khanah, tt), Juz II, 367 27 Abd Qadir Qurashi, Jawahir al-Madiyah fi> Tabaqa>t al-Hanafiyah, (Krastishi;Mair Muhammad Kutub Khanah, tt), Juz II, 28 Ibn Hajr al-Asqalani, al-Durur al-Ka>minat Fi> A‘ya>n al-Mi’ah al-Thaminah, (India;Majlis alDa>irah al-Ma‘arif al-Uthmaniyah,1972), Juz I, 352
25
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
tahun 620-712 H/1223-1312 M.29 Ada juga yang menulis bahwa ia hidup pada tahun 604672 H/1207-1273 M.30 Jalaludin Rumi lahir di Balkh (sebuah desa di Persia, sekarang Iran) lalu dibawa pindah oleh ayahnya ke Bagdad. Dalam Ensiklopedi sejarah dituliskan bahwa ia lahir pada tanggal 6 rabi‘ al-Awwal 604 H bertepatan dengan 30 september 1207 M. Ketika berumur empat tahun (ada yang mengatakan ketika ia berumur menjelang tiga tahun) ia dibawa oleh ayahnya ke Bagdad (607 H). Ia juga sering ikut belajar tempat ayahnya bekerja sebagai seorang guru. Tak lama berselang ayahnya kemudian melakukan perjalan ilmiah dan tinggal sementara di berbagai daerah seperti Makkah, Damaskus, untuk mengajarkan hingga akhirnya menetap di Qoniah pada tahun 623 H/1226 M. 31 Pada waktu di kota Qonia tersebut Jalaludin Rumi sudah menguasai ilmu fikih dan ilmu keislaman lainnya. Abd al-Hayy al-Husni mengatakan bahwa salah seorang guru jalaludin Rumi yang terkenal adalah Syaikh Qutb al-Din al-Razi.32 Ia pun sempat belajar di kota Qonia selama 4 tahun. Setelah ayahnya wafat pada tahun 628 H ia juga meninggalkan aktifitas belajar dan dunianya hingga pada tahun 642 H. ia menjadi seorang sufi. Selama itu ia hanya melakukan riyadah dan mendengarkan musik dan membuat puisi. Ia juga menulis puisi dalam kumpulan yang berjudul al-Mathnawi yang diterbitkan di Persia (Iran sekarang) dan diterjemahkan dan disharah ke dalam bahasa Turki. Puisinya itu juga diterbitkan dalam bahasa persia dan bahasa Arab.33 Jalaludin Rumi akhirnya bertemu dengan salah seorang sufi yang terkenal yaitu Sams al-Di>n Tabri>zi yang mempengaruhi kesastrawanan dan cara berfikirnya. Pada saat yang bersamaan ia juga ditemui oleh delegasi penguasa Qonia dan ketika itulah ia dikenal dengan nama Jalaludin. Ia pun diberi madrasah khusus oleh raja untuk mengajar. 34 Selain seorang Imam Mazhab fikih Hanafi, Jalaludin juga seorang ahli hadis dan ahli tafsir. Ketika mengajar di madrasahnya -yang dibangun oleh Sultan Fairuz Syah- ia mengajarkan fikih, hadis dan ilmu tafsir. Di antara ulama yang belajar kepada Jalaludin Rumi adalah Syaikh Yusuf bin Jama>l al-Multani. Bangunan itu dibuat oleh Fairuz Syah dibangun khusus di atas telaga. Madrasah tersebut di buat dengan tiang yang tinggi, lapangan yang luas, dan kubah yang banyak sehingga terkesan sangat mewah. Madrasah yang dibangun oleh Sultan Fairuz Syah diberi nama dengan Madrasah Fairuz Shaziyah. 35 Tidak ada bangun yang seindah dan semewah itu sebelumnya dan sesudahnya. Al-Biruni mengatakan bahwa bangunan Madrasah tersebut merupakan salah satu keajaiban dunia dari segi keluasan pekarangan, keindahan serta kesejukan udaranya.36 29
Jamaludin, al-Manhal al-Sufi wa al-Mustaufi Ba‘d al-Wafi>, (al-Hai’ah al-Misriyah al-‘Ammah li al-Kutub, tt), Juz II, 127 30 Khair al-Din al-Zarkali, al-A‘la>m (Da>r al-Ilm li al-Mala>yin, 2002), Juz VII, 30 31 Abd Qa>dri al-Saqa>f (ed), al-Mausu> al-Tarikhiyah, (Mauqi‘ al-Durur, 2011), Juz 6, 52 32 Abd al-Hayy al-Husni, Nazhah al-Khawa>tir wa Bahjah al-Masa>mi‘ wa al-Nawa>zir, (Beirut; Da>r Ibn Hazm, 1999), Juz II, 150 33 Khair al-Din al-Zarkali, al-A‘la>m (Da>r al-Ilm li al-Mala>yin, 2002), Juz VII, 30. 34 Abd Qa>dri al-Saqa>f (ed), al-Mausu> al-Tarikhiyah, (Mauqi‘ al-Durur, 2011), Juz 6, 52. 35 Abu Sa‘Id al-Misr (ed), al-Mausu>‘ah al-Maujizah fi Ta>rikh al-Islami, tt, Juz IV, 94. 36 Abd al-Hayy al-Husni, Nazhah al-Khawa>tir wa Bahjah al-Masa>mi‘ wa al-Nawa>zir, (Beirut; Da>r Ibn Hazm, 1999), Juz II, 150.
26
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
Meski ia sudah mempunyai tempat dan banyak murid untuk mengajar, namun ia memutuskn untuk hidup menjadi seorang sufi dan ia hanya sibuk membuat puisi lalu membuat tarekat yang kemudian dikenal dengan tarekat Maulawi. Nama tarekat ‚Maulawi‛ itu sendiri diambil dari nama Maulana Jalaludin Rumi. 37 Puisinya yang terkenal terdapat dalam kitab Mathnawi. Kekuatan puisi Jalaludin Rumi terdapat dalam bahasa yang digunakannya, analogi dan kedalaman makna yang terkandung dalam puisi itu. Untuk menjelaskan satu maksud dan makna ia mampu menulis dengan banyak ragam analogi. Ia mampu melahirkan makna baru dalam dan menyampaikan ide dan gagasannya dalam puisi. Selain itu kehebatannya sebagai seorang sastrawan yang ahli bahasa nampak dalam pilihan kata dan diksi serta wazan dalam puisinya. Puisi bagi Rumi sebagai ungkapan peristiwa yang penuh dengan simbol, makna yang terkandung dalam simbol itu terlalu dalam jika dimaknai secara tekstual dan terpisah dari ide dan gagasannya tentang cinta. Jalaludin Rumi membuat puisi tidak hanya sekedar menyampaikan gagasan dan ide serta imajinasi tapi juga sebagai penjelasan dan penafsiran makna al-Qur’an dan maqasid syari‘ah untuk membentuk karakter muslim bagi yang membacanya. Puisinya berisi tentang intisari al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam. Ajaran islam sendiri menurut rumi adalah ajaran cinta, dimana setiap orang diajarkan untuk saling mengerti dan mencintai makhluk. Pandangan seperti ini sangat lumrah dalam ajaran tasawuf. Sebahagian pemikir mengatakan bahwa tasawuf pada dasarnya mengajarkan akhlak untuk mencapai keislaman sejati. Sebab nabi sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Dan al-Qur’an adalah akhlah rasul Saw. Jadi Rumi mengungkapkan ide dan gagasannya sebagaimana terdapat dalam banyak puisinya berada dalam konteks akhlak dan cinta bukan dalam konteks hukum. Guna mengungkap makna teks yang ditulis Rumi dalam konteks akhlak maka analisis yang tepat digunakan adalah analisis hermeneutika. Selain alasan tersebut pemilihan hermeneutika untuk menganalisis juga memandang puisi sebagai hasil budaya yang mengungkap ide, gagasan dan perasaan seorang pengarang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Ignas Kleden seperti dikutip Djoko Saryono bahwa sebagai hasil budaya ia memuat simbol yang berkaitan dengan penghayatan akal budi manusia dalam menjalani hidup.38 Dan sastra termasuk bagian dari wadah yang untuk menyampaikan ide, perasaan dan gagasan seorang pengarang. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari penghayatan pengarang serta imajinasi yang mendalam sehingga melahirkan simbolsimbo yang diurai menjadi puisi. Pengarang dalam hal ini tidak lain adalah pembicara pertama tentang teks sastra. Dalam kaitannya dengan puisi Rumi, Rumi –dengan meminjam istilah P. Ricour- adalah pembicara pertama terhadap puisi-puisinya. Oleh karenanya, meskipun puisinya sudah membaku dalam bentuk teks namun keberadaan pengarang dan konteksnya dalam melahirkan karya masih tetap diperlukan sebagai mana disinggung di atas. 37
Abd Qa>dri al-Saqa>f (ed), al-Mausu>‘ah al-Tarikhiyah, (Mauqi‘ al-Durur, 2011), Juz 6, 52. Djoko Sarjono, Hermeneutika Sebagai Piranti Analisis Budaya dari Karya sastra, Jurnal Bahasa dan Seni, Vol. 31, Nomor 2, 2003, 231. 38
27
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Hermenutika menurut P. Ricou berguna untuk memahami dan memaknai teks. Teks yang dimaksud adalah teks sebagai makna dan teks sebagai sesuatu yang hidup dan berubah. Teks yang hidup dan berubah bersifat otonom dan total. Teks ini menurut Ahmad Norma Permata, paling tidak mempunyai empat ciri, pertama, ia mempunyai makna ‘apa yang dikatakan’ terlepas dari pengungkapannya kedua, ia terpelas dari dari pembicara, dalam hal ini adalah pengarang teks itu sendiri, ketiga, makna teks terlepas dari konteks awal ia diciptakan keempat, teks juga lepas dari audiens pertama ketika teks itu ada.39 Nur Syamsiah mengatakan bahwa dalam menggunakan hermeneutika sebagai analisis teks, maka sebenarnya sedang menggali makna dengan mempertimbangkan keberadaan pengarang, teks dan pembaca untuk menemukan makna baru dalam sebuah teks. Langkah kerja hemeneutik yang ditawarkan oleh Paul Ricour antara lain dimulai dengan mengidentifikasi simbol itu sendiri yang terdapat dalam puisi. Simbol tentu saja mempunyai dua kemungkinan makna yang berbeda, maka di sini dibutuhkan pengalaman dan wawasan untuk mengungkap makna yang sebenarnya. Langkah selanjutnya adalah memaknai simbol sebagai wacana dan simbo sebagai realitas. Langkah ke dua adalah langkah metaforis yaitu dengan mengungkap makna dengan metode pembalikan. Terakhir adalah menemukan makna yang mungkin muncul dari langkah metaforis.40 Puisi Rumi sebagai hasil imajinasi dan penghayatannya terhadap agama sarat dengan makna yang tidak dapat dibaca secara tekstual saja. Ia bahkan akan menjadi salah jika diberi makna dari bacaan zahir teks semata. Kesalahan demi kesalahan memahami teks tersebut akhirnya membuat banyak orang berkesimpulan bahwa Jalaludin Rumi sudah murtad bahkan kafir. Ketidakmampuan seseorang memahami pemikiran Jalaludin Rumi yang terdapat dalam teks puisi sampai sekarang ia harus menerima tuduhan sebagai seorang kafir. Salah satu pemikiran yang sering disalahpahami adalah tentang pandangannya terhadap agama lain seperti yang diungkap sebagai berikut;41
Jiwaku ini, wahai Cahaya yang bersinar terang Tidaklah jauh dari ku, benar-benar tidak jauh Cintaku ini, wahai Cahaya yang bersinar terang Tidak lah jauh dari ku, benar-benar tidak jauh Lihatlah ke sorban ini, ku pakai di kepalaku Lihat jugalah ke sabuk ini, ku ikat di pinggangku Ku bawa sabuk ini, (sebenarnya) aku tidak membawa apa-apa Sebenarnya aku sedang membawa Cahaya yang tidak jauh dari ku Saya adalah muslim, saya juga Yahudi dan Nasrani Aku berwakal kepada mu al-Haq Yang Maha Tinggi Yang tidak jauh dari ku Aku tidak memiliki apa pun selain Tuhan Yang Satu Baik di masjid atau gereja bahkan di tempa para berhala 39
P. Ricour, Filsafat Wacana; Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, terj. Musnur hury, (Yogyakarta;Ircisod, 2002), 217-220 40 P. Ricour, Filsafat Wacana; Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa, terj. Musnur hury, (Yogyakarta;Ircisod, 2002), 101-112 41
28
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
Wajah Mu Yang Mulia sebagai tujuan adalah kenikmatan bagi ku Tidaklah jauh dari ku, Ia benar-benar dekat. Puisi tersebut sering dipahami oleh kebanyakan orang sebagai pengakuan Jalaludin Rumi sebagai seorang yang membenarkan semua agama tanpa melihat secara utuh. Yang sering diungkap hanya kalimat Saya adalah muslim, saya juga Yahudi dan Nasrani sebagai legitimasi untuk mengafirkan Rumi dan menuduh tarekat Maulawiyah sebagai ajaran sesat. Demikian juga dengan puisi Jalaludin Rumi lainnya ia mengatakan;
Lampu-lampu itu berbeda-beda, Namun Cahaya itu sama; Ia datang dari Atas Apabila engkau terus memandangi lampu Engkau akan bingung; karena yang muncul penampakan jumlah dan keragaman Tetapkanlah pandanganmu pada Cahaya engkau akan terlepas dari dualisme yang melekat pada pada tubuh yang terbatas Wahai engkau yang merupakan inti keberadaan Pertentangan antara muslim, zoroaster dan Yahudi tergantung pada pendirian Beberapa orang India melihat seekor gajah Untuk ditunjukkan dalam arena Karena melihatnya dengan mata tidak mungkin Maka setiap orang meraba dengan telapak tangannya Tangan yang menyentuh belalainya akan berkata; Binatang ini seperti pipa air Yang meraba telinganya akan mengatakan ; Ia seperti kipas dan seterusnya. Jika dimaknai secara tekstual memang terkesan Rumi sedang membenarkan semua agama. Namun jika diurai secara bahasa maka pada puisi pertama Rumi sedang mengandaikan sorban dan ikat pinggangnya dengan Cahaya atau Allah Swt. Dalam puisi itu ada adat tasybih yang dihilangkan yaitu kaf yang berarti seperti atau laksana. Jika sampai disitu maka orang akan berpendapap bahwa rumi sedang menyamakan allah dengan benda-benda yang tidak ada artinya. Melihat puisi dengan menggunakan pengandaian tentu juga harus dilihat aspek apa yang dia samakan yang dalam ilmu bahasa disebut dengan wajh shibh. Dalam puisi jelas Rumi mengandaikan Tuhan dari aspek kedekatannya dengan Tuhan itu sendiri. Jadi makna puisi tersebut adalah bahwa Rumi dari segi kedekatannya dengan Tuhan sama seperti ikat pinggang dan sorban yang ia bawa ke mana pun ia pergi. Ia tidak terpisahkan dalam kondisi apa pun. Demikian juga dengan puisi kedua yang menganggap fir’aun sebenarnya seorang yang mengakui adanya Tuhan. Pengakuan ini menurut Rumi berkaitan dengan Taqdir Allah sendiri yang menjadikan Fir’aun sebagai pelajaran untuk manusia. Ia tidak sedang mengatakan bahwa Fir‘aun seorang yang taat tapi lebih dari itu ia sedang mengatakan bahwa Fir’aun ditakdirkan untuk itu namun bukan takdir itu sendiri. Siapa pun tidak dapat mengubah apa yang telah Allah takdirkan kepada setiap orang. Selama seseorang 29
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
menyembah Tuhan Yang Esa maka tidak ada jalan untuk menganggapnya sebagai kafir atau murtad. Puisi ketiga Rumi mengibaratkan pencaharian Tuhan dengan seorang yang meraba seekor gajah. Seseorang akan mempunyai persepsi masing-masing tentang Tuhan sebagai mana ia mengatakan gajah seperti pipa air, kipas dan sebagainya. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa ia tetaplah gajah yang satu. Artinya bagaimanapun Rumi menghargai pendapat, agama dan cara orang beribadah kepada Tuhan, ia berpendirian bahwa seseorang itu akan benar jika ia mengakui Satu Tuhan. Dengan kata lain, apa pun agamanya –sebagai sebutan formalis dan identitas- selama ia mengakui bahwa Tuhan adalah Satu maka ia adalah seorang muslim. Selain itu, semua puisi Rumi diciptakannya dalam konteks cintanya kepada Tuhan. Ketika cinta sudah memehuhi hati seseorang, sebutan apapun tidaklah penting baginya. Demikian pula jika dikaitkan dengan identitas agama, sebutan sebagai seorang muslim atau non muslim bagi seorang yang hatinya penuh oleh cinta kepada Tuhan tidaklah pentingn. Bahkan baginya untuk beramal dan menyembah Tuhan tidak tergantung pada ada atau tidaknya surga. Ia beramal bukan karena takut pada neraka. Seorang muslim bagi Rumi adalah seorang yang hanya beramal untuk mengaharapkan cinta Allah saja. Sehingga pandangan ini dalam pendapat Rumi bahwa Di dunia ini tidak akan terjadi apapun kecuali atas dasar cinta. Rumi mengungkapkan;
Cinta adalah laut tak bertepi, langit hanyalah serpihan buih belaka Ketahuilah, langit berputar karena gelombang cinta Andai tak ada cinta, dunia akan membeku. Sebagai seorang pemikir sekaligus sastrawan Rumi berusaha memberikan pengertian-pengertian bahwa tidak akan ada hidup tanpa cinta. Jika seseorang hidup tanpa ada rasa cinta maka kehidupan tidak akan pernah damai dan kehidupan manusia akan berantakan. Manusia akan hidup dalam ketakutan terhadap sesama mereka. Untuk membangun cinta di dunia menurut Rumi pengorbana merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan. Tidak ada cinta tanpa pengorbanan.
Bila bukan karena Cinta, bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan? Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)? Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi memperoleh Ruh yang menghamiliMaryam? Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju, tidak dapat terbang serta mencari padang ilalang bagai belalang Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna dan naik ke atas laksana tunas Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesunggunya adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan.
30
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
Atas nama cinta semuanya membutuhkan pengorbanan. Apa yang dikatakan oleh Rumi di atas merupakan bentuk pengorbanan antar satu makhluk terhadap makhluk lain yang berakhir pada kebutuhan manusia. Pengorbanan itu dilakukan semata-mata untuk sebuah cinta pada Tuhan Yang Maha Agung. Setiap makhluk diciptakan Allah Swt., Tuhan Yang Maha Besar, mempunyai keinginan untuk segera bertemu dan rindu kepada asal Penciptanya. Selama ini Jalaludin Rumi dipandang hanya sebagai seorang sufi dengan konsep cintanya. Konsep cinta Rumi senantiasa diartikan hanya membicarakan hubungan manusia dengan Tuhan saja. Sehingga sangat jarang bahkan hampir tidak ada yang mengungkap pemikiran Jalaludin Rumi selain ajaran tentang keber-agama-an dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia melalui puisi yang ditulisnya. Sejatinya selain ajaran cinta kepada Allah yang ditertuang dalam puisinya, Rumi juga mengajarkan sikap toleransi dalam beragama tanpa saling menyalahkan dan merasa benar. Puisinya di atas merupakan sala satu dari banyak puisi yang mengungkapkan bahwa cinta pada Tuhan tidak serta-merta bebas dan lepas dari lingkungan dan alam. Beragama –ber-Islam- menurut Jalaludin Rumi, jika dikaitkan dengan kehidupan ber-agama, maka ber-Islam tidak semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta tapi juga hubungan dengan manusia dan manusia lainnya. Semua hubungan dengan manusia harus dijalankan atas dasar cinta. Benci pada manusia pada hakekatnya merupakan penyakit hati dan akan mengotori hati manusia. Hati yang tidak bersih dan suci bagaimana ia akan mampu mencintai Tuhan Yang Maha Suci. Tidak mungkin hal yang kotor dapat menemui yang bersih. Jika kotoran dan penyakit hati harus diobati dan disembuhkan. Jalaludin Rumi sangat menganjurkan agar manusia hidup dengan menjadikan cinta sebagai dasar. Cinta itu akan menghilangkan segala prasangka dan kebencian yang hanya akan membatasi dan menghambat hati manusia untuk mengenal Allah Swt. Jika hidup toleransi merupakan bagian dari pluralisme Rumi mengajarkan lebih dari sekedar toleransi dalam hidup. Perlunya manusia untuk berbaik sangka terhadap apa yang terjadi dengan manusia lain karena tidak seorangpun tahu bahwa ia sedang diuji. Sebaliknya tidak semua perbuatan yang tidak baik dilakukan oleh seseorang atas kehendaknya sendiri. Rumi dalam hal ini memandang bahwa setiap prilaku yang dilakukan oleh manusia tanpa ia mampu menolaknya adalah taqdir Allah terhadap manusia dan ujian terhadap manusia lain. Hal itu sebagaimana terdapat dalam puisinya:
Baik Musa maupun Fir’aun adalah Pemuja Yang Maha Besar Sekalipun tampak yang pertama menemukan jalan dan yang lain kehilangan jalan di siang hari Musa berseru kepada Tuhan; di Tengah malam Fir’aun mulai merintih. Dalam ungkapan di atas, Jalaludin Rumi memposisikan Musa dan Fir’aun dengan sejajar. Ia menganggap Musa as. beribadah secara terang-terangan dan Fir‘aun secara
31
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
tidak sadar juga mengakui kekuasaannya tergantung pada Yang Maha Kuasa42. Musa pada puisi ini adalah simbol seorang muslim yang taat dan mengakui ke-Esa-an Tuhan secara nyata. Sementara itu Fir‘aun adalah simbol manusia ingkar kepada Allah yang ia sendiri tidak dapat memahami apa yang terjadi dengan dirinya sebagai takdir Ilahi. Ia juga tidak dapat menolak diri sebagai seorang yang inkar kepada Allah. Keinkarannya kepada Tuhan sesuai dengan kehendak dan pengetahuan Allah. Bagi Rumi selama manusia mengakui Tuhan Yang Esa maka selama itu pula ia adalah seorang hamba Tuhan. Menurut Pandangan Rumi, penamaan seperti kafir, murtad, Kristen, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya tidak akan berarti apa-apa jika ia mengesakan dan mencitai Tuhan Yang Satu. Ia mengatakan;
Lihatlah, karena aku tak tahu tentang diriku Dengan nama Tuhan, apa yang harus ku perbuat kini? Jika pada bait di atas ia ‘mengaku’ sebagai muslim, yahudi, nasrani dan zoroaster namun dalam bait berikutnya berbeda dan seolah ia menegaskan kembali bahwa ia bukan sebutan muslim atau non muslim baginya yang penting, dalam bait ini ia menyebutkan;
Aku tidak menyembah salib ataupun sabit, Aku bukan seorang gabar maupun Yahudi Rumahku bukan di Timur maupun di Barat, bukan di daratan Maupun lautan Aku tak beranak-keluarga dengan Malaikat ataupun jembalang. Ini berarti bahwa tuduhan terhadap Rumi sebagai seorang yang kafir atau murtad tidak dapat diterima. Sebab tidak sedang menganggap dirinya sebagai pengikut ajaran yahudi, nasrani maupun kristen dalam konteks ritual. Sekaligus menegaskan bahwa ia juga tidak sedang menyatukan semua agama dan menganggap semua agama benar. Tetapi ia hanya mengajarkan bahwa tidak penting muslim atau non muslim, yahudi atau nasrani, yang penting adalah ia menyembah Tuhan yang satu. Dalam kesempatan lain Rumi mengatakan:
Dalam agama kita berpergian diakui sebagai peperangan dan bahaya Dalam agama Yesus ia berarti Mengasingkan diri ke gua dan pegunungan Sunnah ada jalan paling aman Dan orang beriman adalah teman perjalan paling baik Jalan menuju Tuhan itu penuh rintangan dan kepedihan Bukan jalan bagi orang seperti perempuan Di atas jalan ini jiwa manusia di uji dengan ketakutan Sebab sebuah bahaya digunakan untuk menjaring sekam padi. Dalam puisi ini Rumi tidak menyamakan atau menganggap benar apa yang ada dalam agama kristen. Ia hanya sedang mengatakan bahwa untuk menemui Tuhan itu bukan perkara mudah. Dalam kalimat di atas secara bahsa ia menyerupakan perang dalam Islam dan pengasingan dalam kristen dalam merupakan upaya pencaharian Tuhan. Jalan 42
Renold A Nicholson, Jalaludin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufinya, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), hal. 122
32
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
yang ditempuh oleh setiap orang yang ingin bertemu dengan Tuhan tidaklah sama. Perumpamaan tersebut dikatakan rumi dalam dalam konteks kesusahan dan itu terdapat dalam bait:
Sunnah ada jalan paling aman Dan orang beriman adalah teman perjalan paling baik Jalan menuju Tuhan itu penuh rintangan dan kepedihan. Sunnah yang dimaksud tentu saja apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad Saw kepada manusia. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab bahwa taqwa itu adalah hati-hati dalam perjalanan. Sebab perjalanan taqwa itu penuh dengan rintangan dan bahaya. Dan bahaya yang paling besar menurut Rumi adalah hawa nafsu yang ada dalam setiap tubuh manusia. Ia terkadang menimbulkan kebencian dan amarah yang hanya akan mengurangi cinta dan kesucian hati. Pada kesempatan lain terdapat pula pandangan Rumi terhadap umat kristen dan kecaman Rumi terhadap orang-orang yang menganggap Isa as sebagai Tuhan sehingga ia mengatakan;
Sang musuh agama Isa menyusun dua belas kitab Injil Masing-masing dari awal hingga akhir bertentangan Setiap golongan agama hanya meramalkan tujuan sebagaimana Diri mereka memahaminya Akibatnya mereka jatuh menjadi tawanan ketakutan Untuk meramalkan tujuan Tidaklah semudah menyilangkan kedua belah tangan Bila tidak bagaimana terdapat banyak ajaran yang berbeda?. Ini merupakan bukti bahwa kristen yang diakui dan dianggap benar oleh Rumi bukanlah yang ada saat ini namun yang ada dan murni ajaran nabi Isa as. Ajaran kristen yang ada saat ini menurut Rumi adalah ajarang yang dibuat oleh orang yang tidak senang dengan agama Ibrahim yang mengajarkan Satu Tuhan. Sehingga ia menyinggung;
Dalam kitab lain dia berkata; semua bentuk yang Bermacam-macam hanya satu Siapapun yang melihatnya ganda adalah Orang yang matanya rusak Dalam kitab lain ia berkata; Bagaimana seratus bisa menjadi satu? Dia yang beranggapan itu sungguh telah gila. Demikian pula sikap Rumi terhadap perbedaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ia mengatakan;
Dengan cara inilah seorang Yahudi menceritakan mimpinya Oh, banyak orang Yahudi yang akhirnya patut dipuji Jangan menolak orang yang kafir Karena dapat diharapkan kelak dia mati sebagai muslim Pengetahuan apakah yang engkau miliki tentang akhir hayatnya Sehingga engkau mengambil sikap untuk memalingkan wajahmu darinya? 33
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Dengan banyaknya perbedaan yang saling bertentangan yang terjadi dalam ajaran nabi Isa maka bagaimana pun ia harus tetap dihormati dan dihargai. Sebab tidak ada seorang pun tahu apa yang terjadi di akhir hidupnya selain Allah. Oleh sebab itu pluralisme Rumi semata-mata memadang perbedaan sebagai sebuah kenyataan bukan membenarkan semua agama dan tidak pula menganggap semua agama benar. Menurut Lutfi Allah bin Abd Adhim Khaujah dalam kitab Fata>wa wa Ishtishara>t Mauqi‘a al-Islam al-Yaum bahwa Jalaludin Rumi adalah seorang pluralisme agama (Wihdat al-Adya>n) 43 . Wihdat al-adya>n yang berarti bahwa Islam adalah agama Ibrahimiyah, ajaran yang mengajarkan hanya ada Satu Tuhan. Dengan demikian Lutfi menyimpulkan bahwa Pluralisme Jalaludin Rumi adalah pluralisme dengan istilah wihdat al-adyan yang berarti bahwa agama yang mempercayai hanya ada Satu Tuhan, atau agama Ibrahimiyah. Bagi Rumi sebutan sebagai seorang muslim, yahudi atau nasrani tidaklah penting dalam agama. Sebab agama hanya mengajarkan bagaimana ber-Tuhan dan mencintai-Nya. Jika ia mempercayai ajaran Ibrahimiyah maka bagaimana mungkin ia tidak menerima Islam dan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Sebab setiap nabi mengajarkan agar ia mengikut pada nabi setelahnya. Demikian pula dengan Isa yang menganjurkan untuk mengikut nabi setelah yakni Muhammad Saw. Tuduhan terhadap Rumi bahwa ia adalah seorang yang menyatukan agama tidaklah benar, sebab bagaimana mungkin seorang pengikut agama Ibrahim tidak mengikuti perintah nabi-nabi sesudahnya. Seorang pengikut agama Ibrahim yang benar dan taat sudah pasti akan mengikuti agama dan ajarang yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. Demikian juga dengan tuduhan terhadap Rumi yang mentolerir keberadaan agama lain sebagai ajarang yang benar, ini terbukti Jalaludin Rumi selalu menerima orang yang yang ingin menjadi murid untuk belajar dengannya tentang Tuhan dan Islam yang sebenarnya –dalam arti taat kepada Allah-. Bahkan ia juga berwasiat kepada murid-muridnya. Diantaranya ia mengatakan;
Aku berwasiat kepada kalian dengan Taqwa kepada Allah secara rahasia maupun terang-terangan, sedikitlah tidur, makan dan bicara, jauhi ma‘siyat dan berhala, rajinlah berpuasa dan konsisten dengan qiyam al-Lail, tinggalkan hawa nafsu, asingkan diri dari manusia, tinggalkan majlis orang-orang bodoh dan awam, bertemanlah dengan orang saleh dan mulia, sebaik-baik manusia adalah yang berguna untuk orang lain, dan sebaik-baik perkataan itu adalah perkataan singkat tapi bisa menjadi petunjuk.44 Apa yang diwasiatkan oleh Rumi terhadap murid-muridnya itu tidak lain adalah apa yang juga diajarkan oleh nabi Muhammad Saw yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnanya. Tentu saja Taqwa yang diajarkan Rumi tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama Islam yang juga menganjurkan Taqwa. Untuk mencapai itu sudah barang tentu ia juga mengajarkan hal-hal atau amalan wajib bagi setiap muridnya. Sebab tidak ada amalan wajib jika tidak ada amalan sunah. Dalam pandangan Rumi amalan wajib tidak
43 44
34
Tim penulis, Fata>wa wa Ishtishara>t Mauqi‘a al-Islam al-Yaum, http://www.islamtoday.com Abu Sa‘Id al-Misr (ed), al-Mausu>‘ah al-Maujizah fi Ta>rikh al-Islami, tt, Juz IV, 94.
Pluralisme Islam Puisi Jalaludin Rumi (Muhammad Yusuf)
lain adalah amalan bagi orang yang tingkat imannya kepada Allah paling rendah. Sebagaimana Nabi Saw yang juga menganjurkan amalan sunah untuk dekat dengan Allah. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rumi sedang tidak membenarkan semua agama. Ia hanya mengatakan bahwa di mana pun seseorang ada dan mencintai Tuhan dan patuh kepada-Nya maka ialah seorang muslim sejati. Muslim yang dimaksud Rumi adalah orang yang mencintai Allah dan mengesakan-Nya. Bukan muslim yang pada tahap pengakuan saja tetapi ia zalim dan durhaka kepada Allah dengan tidak menjalankan perintah Allah Swt.. Pandangan Rumi tentang agama akan semakin nampak ketika menganalisis seluruh Puisinya dengan sangat baik. Dengan mengurai satu persatu kata dan simbol yang digunakannya. Lalu memaknai dengan pandangan yang mendalam. DAFTAR PUSTAKA ‘At}iyah, Ibn. Tafsir Ibn ‘Atiyah, Beirut; Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2002. Al-Asqalani, Ibn Hajr. al-Durur al-Ka>minat Fi> A‘ya>n al-Mi’ah al-Thaminah. India; Majlis al-Da>irah al-Ma‘arif al-Uthmaniyah, 1972. Al-Bagawi, Abu Muhammad. Tafsir al-Bagawi. Da>r al-Tayyibah li al-Nash wa Tauzi‘, 1997. Al-Husni, Abd al-Hayy. Nazhah al-Khawa>tir wa Bahjah al-Masa>mi‘ wa al-Nawa>zir. Beirut; Da>r Ibn Hazm, 1999. Al-Misr, Abu Sa‘id, (ed). al-Mausu>‘ah al-Maujizah fi Ta>rikh al-Islami, Juz IV, tt. Al-Ra>zi, Fakhr al-Di>n. Mafatih} al-Gaib. Beirut; Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, 2000. Al-Saqa>f, Abd Qa>dri, (ed). al-Mausu> al-Tarikhiyah. Mauqi‘ al-Durur, 2011. Al-Zarkali, Khair al-Din. al-A‘la>m ,Da>r al-Ilm li al-Mala>yin, 2002. Hadi, Sofyan. Sastra Arab Sufistik Nusantra. Disertasi UIN Jakarta, 2014. Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutika. Jakarta, Paramadina, 1996. Ishaq , Abu. Tafsir al-Tha‘labi. Da>r al-Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, 2002. Jamaludin. al-Manhal al-Sufi wa al-Mustaufi Ba‘d al-Wafi>. al-Hai’ah al-Misriyah al‘Ammah li al-Kutub, tt. Mahfudz , Muhsin. Hermeneutika sebagai alternatif Pembacaan Teks. Alfikr, Vol. 17 Nomor 2 tahun 2013. Nicholson, Renold A. Jalaludin Rumi, Ajaran dan Pengalaman Sufinya. Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000. Qurashi, Abd Qadir. Jawahir al-Madiyah fi> Tabaqa>t al-Hanafiyah. Krastishi;Mair Muhammad Kutub Khanah, tt. 35
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 11, No. 1, Januari 2015: 17-36
Rahmat, Jalaludin. Islam dan Pluralisme; Akhlak al-Qur’an menyikapi Perbedaan, Jakarta; Serambi, 2006. Ricour, Paul. Filsafat Wacana; Membelah Makna Dalam Anatomi Bahasa. terj. Musnur hury, Yogyakarta;Ircisod, 2002. Saidi, Acep Iwan. Hermeneutika, Sebuah Cara Memahami Teks. Jurnal Sosioteknologi, Edisi 13, 7 April 2008. Salim,
Moh. Nur. Berdakwah di Zaman Pluralis. Detakislam, 2014. http://detakislam.com/index.php/opini/qhodoyaammah/68-berdakwah-di-zamanpluralis, akses 03 Desember 2014.
Sarjono, Djoko. Hermeneutika Sebagai Piranti Analisis Budaya dari Karya sastra, Jurnal Bahasa dan Seni, Vol. 31, Nomor 2, 2003. Thoha, Anas Malik. Tentang Wacana Pluralisme‛ (insistnet.com, 2013), akses 13 maret 2007. Tim
penulis, Fata>wa wa http://www.islamtoday.com.
Ishtishara>t
Mauqi‘a
al-Islam
al-Yaum,
WM, Abdul Hadi. Hermeneutika, Barat dan Timur. Jakarta, Sadra, 2013. Zainal, Islam Radikal di Sumatera Barat Pasca Orde Baru (1998-2012) Kajian Historis Gerakan Ormas. Disertasi UIN Jakarta, 2014.
36