Pluralisme dan Perseteruan Politik di Indonesia* Thomas B Pepinsky Pengantar Politik Indonesia dewasa ini ditandai oleh pelbagai ketidaksetaraan. Para pakar oligarki telah banyak memberikan analisis mendalam tentang timpangnya distribusi kekayaan material sebagai ciri utama politik Indonesia. Mereka juga mengembangkan analisis komparatif mengenai sistem perpolitikan nasional dengan menggunakan kasus Indonesia untuk mengonseptualisasi oligarki sebagai kategori analisis politik. 1 Analisis tersebut mengupas wujud kelemahan demokrasi Indonesia dan menyoroti kesenjangan antara aturan dan prosedur formal demokrasi dengan penggunaan kekuasaan di bawah pemerintahan demokratis. Pluralisme adalah sebuah kerangka pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk menganalisis politik Indonesia. Pluralisme, sebagaimana analisis Marxis dan analisis politik materialis lainnya, adalah konsepsi politik yang “secara sosial determinis” (socially determinist). 2 Analisis tersebut menampik pandangan bahwa kepentingan material pada dasarnya berbeda dari kepentingan lainnya, sehingga konsekuensi tindakan politiknya juga berbeda. Kelemahan analisis kaum pluralis awal sudah umum diketahui: mereka menawarkan kerangka teoretis, bukan teori segalanya; pluralisme sebagai sebuah konsep paling bermanfaat kalau diterapkan pada analisis statis terhadap berbagai perpecahan yang ada, dan susah digunakan untuk analisis dinamis seperti dari mana perpecahan itu muncul dan mengapa bisa bertahan atau berubah; dan paling penting, konsepsi kekuasaan (dan kepentingannya) yang ditegaskan oleh analisis pluralis itu umumnya bersifat satu dimensi dan reduktif.3 Karena alasan tersebut, banyak analisis politik Indonesia kontemporer yang berada di luar tradisi oligarkis belakangan ini mengabaikan atau bahkan meremehkan asalusul pluralis mereka. Esai ini membedah komplementaritas dan ketegangan di antara pluralisme dan analisis mutakhir tentang oligarki di Indonesia. Tujuan tulisan ini adalah untuk *
Terima kasih kepada Michele Ford dan Matt Winters untuk ulasan mereka pada naskah awal artikel ini. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ahmad Zaim Rofiqi. 1 Lihat, Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: RoutledgeCurzon, 2004); Jeffrey A Winters, Oligarchy (New York: Cambridge University Press, 2011). 2 Theda Skocpol dan Kenneth Finegold, “State Capacity and Economic Intervention in the Early New Deal”, dalam Political Science Quarterly 97, 2 (1982), hal. 259. 3 Lihat, Steven Lukes, Power: A Radical View, 2nd edition. (New York, NY: Palgrave Macmillan, 2005).
1
memperlihatkan bahwa pluralisme “kritis” menawarkan sebuah alat untuk memahami politik Indonesia, selain program penelitian progresif yang dapat mendorong analisis mengenai kekayaan material dan kekuasaan politik lebih jauh daripada penelitian tentang oligarki selama ini. Dialog terbuka antara analisis pluralis dan oligarkis ini memberikan sumbangan pada kajian seputar kekayaan material dan kekuasaan politik (di Indonesia dan negeri lain) dalam tiga aspek. Secara konseptual, membantu para analis membedakan klaim deskriptif dengan klaim kausal terkait kekayaan material, kekuasaan politik, dan hasil yang bersifat politik. Secara teoretis, menantang analisis oligarkis dengan menawarkan argumen kausal yang menandingi dan saling melengkapi tentang efek distribusi sumber daya material yang tidak merata. Secara metodologis, menguraikan praktik produksi pengetahuan para sarjana Indonesia yang mendalami efek kekayaan material terhadap politik Indonesia kontemporer seraya menarik perbandingan terstruktur dengan konteks negara atau kurun historis lain serta menerangkan peran bukti nyata dalam memutuskan pelbagai pendekatan yang saling bersaing. Saya sengaja menggunakan istilah “kritis” di sini tidak secara baku.4 Alih-alih berlaku sebagai teori-teori politik struktural atau materialis, istilah tersebut justru ditujukan sebagai tantangan internal terhadap teori-teori pluralisme itu sendiri mengikuti kelemahan yang dipaparkan di atas dan berusaha mengatasinya dengan mempertanyakan mengapa ada perpecahan dan mengapa kepentingan bisa atau tidak terartikulasi. Hal ini memungkinkan para sarjana beranjak melampaui analisis satu atau dua dimensi kekuasaan dan kepentingan serta memerhatikan sejarah dan struktur sosial dengan sungguh-sungguh.5 Tidak satu pun otokritik pluralis tersebut murni lahir dari esai ini, namun semua itu belum terartikulasi dengan jelas dalam perbincangan berkelanjutan dengan kasus Indonesia kontemporer selama dua dasawarsa.6 Istilah “kritis” yang saya gunakan di sini juga menafikan pencarian satu 4
Saya meminjam istilah “pluralisme kritis” dari Gregor McLennan, Marxism, Pluralism, and Beyond: Classic Debates and New Departures (Cambridge: Polity Press, 1989), hal. 43-56. McLennan mengacu pada kritik Robert Dahl dan Charles Lindblom terhadap analisis pluralis konvensional ekonomi-politik Amerika Serikat. McLennan juga menjadi sumber rujukan istilah “pluralisme konvensional”, sebagaimana diuraikan dalam esai ini. 5 Gabriel Almond menyatakan bahwa literatur kaum pluralis awal yang secara konseptual jauh lebih maju ketimbang para pengkritiknya, dan menyiratkan bahwa sebagian besar kritik itu benar-benar dipahami dengan baik sejak awal 1950-an. Untuk tinjauan ini, lihat tulisan Gabriel A Almond, “Corporatism, Pluralism, and Professional Memory”, dalam Gabriel A Almond (ed.), A Discipline Divided: Schools and Sects in Political Science, (Newbury Park, CA: Sage Publications, 1990), hal. 173-188. 6 Stefan Eklöf mengamati kemunduran debat teoretis di antara model-model politik Indonesia pada akhir kurun Orde Baru; lihat, Stefan Eklöf, Power and Political Culture in Suharto's Indonesia: The Indonesian Democratic Party (PDI) and the Decline of the New Order (1986-98) (Copenhagen: NIAS Press, 2003), hal. 11. Hal ini mungkin mencerminkan kejenuhan akan perdebatan tersebut atau pergeseran umum dari fokus pada tipologi teori ke pengukuran kuantitatif dalam politik komparatif; lihat, David Collier, Jody LaPorte, dan Jason
2
narasi induk dalam politik Indonesia dan merekomendasikan agar praktik kajian-kajian politik Indonesia pertama dan terutama lebih memperhatikan teori taraf menengah dalam melakukan penjelasan sosial.7 Pluralisme, sebagaimana pendekatan analisis sosial lainnya, justru menjadi paling kuat bila mengakui keterbatasan daya penjelasnya. Karena pluralisme bukan sebuah teori yang memprediksi akibat atau hasil tertentu, maka analisis ini tidak dapat difalsifikasi atau diuji. Namun, pluralisme kritis menghasilkan hipotesis di bidang studi kekayaan material dalam politik Indonesia yang dapat difalsifikasi melalui analisis empiris. Konflik politik semasa krisis keuangan dan tata-kelola ekonomi daerah di Indonesia era desentralisasi menawarkan dua studi terkait yang memperlawankan pluralisme dan oligarki sebagai kerangka penjelas bagi isu-isu pokok dalam politik Indonesia kontemporer dengan ketimpangan kekayaan tampak amat sangat mencolok. Esai ini melanjutkan bahasan sebagai berikut. Pertama, menelusuri sejarah singkat teori pluralis dalam analisis politik komparatif dan kemudian mengamati penerapan pluralisme dalam analisis ekonomi-politik Indonesia masa Orde Baru. Melalui tinjauan ini akan semakin jelas, sebagaimana disimpulkan sejumlah sarjana politik Amerika Serikat tahun 1960-an, bahwa analisis pluralis terhadap apa pun yang menyoal “liberalisme kelompokkepentingan” di Indonesia tidaklah tepat. 8 Dari sana, saya langsung beralih ke konsep oligarki sebagaimana dikemukakan Vedi Hadiz dan Richard Robison serta Jeffrey Winters dengan menguraikan titik ketegangan antara analisis oligarkis dan analisis pluralis. Berdasarkan bahasan tersebut, saya kemudian menyajikan dua studi kasus yang saling mengait. Di dalam kedua studi kasus tersebut saya memulai dengan apa yang saya anggap sebagai kekuatan dan manfaat pendekatan berbasis oligarki terhadap masalah kontemporer dalam politik Indonesia dan setelah itu menyodorkan sejumlah persoalan yang pasti dihadapi kritik pluralis beserta solusi yang ditawarkannya. Esai ini ditutup dengan mendiskusikan bagaimana para Indonesianis seharusnya membangun program riset 9 yang progresif dan kumulatif dengan mengkaji politik Indonesia tanpa mengabaikan ketimpangan distribusi kekayaan atau efek korosifnya terhadap jalannya demokrasi Indonesia. Seawright, “Putting Typologies to Work: Concept Formation, Measurement, and Analytic Rigor”, dalam Political Research Quarterly 65, 1 (2012), hal. 217-232. 7 Daniel Ziblatt, “Of Course Generalize, But How? Returning to Middle Range Theory in Comparative Politics”, dalam American Political Science Association-Comparative Politics Newsletter 17, 2 (2006), hal. 811. 8 Tentang pernyataan klasik kritik ini dalam konteks Amerika Serikat; lihat, Theodore M Lowi, The End of Liberalism, edisi revisi (New York: Norton, 1979). 9 Yang saya maksud “progresif” di sini dalam pengertian Lakatosian; lihat, Imre Lakatos, “Falsification and the Methodology of Scientific Research Programs”, dalam Imre Lakatos dan Alan Musgrave (eds.), Criticism and the Growth of Knowledge (New York, NY: Cambridge University Press, 1970), hal. 91-196.
3
Pluralisme dalam Politik Indonesia Saripati pluralisme adalah konsepsi tentang politik sebagai persaingan di antara kelompok penekan yang mewakili berbagai kepentingan dalam masyarakat.10 Dalam esai ini saya hanya menguraikan secara singkat perkembangan pluralisme yang telah berubah secara signifikan selama enam dasawarsa terakhir.11 Pada awalnya, pluralisme memiliki ambisi normatif maupun deskriptif serta digunakan tidak hanya untuk mencirikan sifat-dasar konflik politik, tetapi juga untuk melegitimasi praktik kehidupan demokratis.12 Analisis kemudian yang dipelopori Robet Dahl (tokoh kunci dalam debat pluralis awal) mulai memisahkan unsur deskriptif dari komponen normatif dalam analisis politik pluralis. Sementara para sarjana itu tetap setia menekuni analisis normatif politik demokratis di negara-negara kapitalis,13 analisis kritis mereka terhadap pluralisme sebagai sebuah kerangka deskriptif semakin tertuju pada karakterisasi poros inti konflik politik dalam berbagai negara.14 Walaupun berdaya-guna mengoreksi sebagian besar analisis pluralis yang idealistis dan dangkal, pendekatan kritis Dahl terhadap pluralisme tetap tidak mampu menyelamatkan tradisi ini dari kehilangan daya tarik intelektual ketika para ilmuwan politik beralih meninggalkan debat paradigmatis dalam politik komparatif. Kritik Theodore Lowi terhadap “liberalisme kelompok kepentingan” di Amerika Serikat juga turut membantu membenamkan pluralisme konvensional.15 Namun, dorongan kaum pluralis yang menggambarkan politik dan proses penyusunan kebijakan sebagai persaingan di antara berbagai kelompok dengan kepentingan berbeda terhadap hasil kebijakan tetap bertahan. Hal ini sangat jelas dalam 10
Meskipun pluralisme merupakan arus dominan dalam ilmu politik arus-utama hampir di sepanjang abad ke20, analisis atau pendekatan itu tidak pernah diartikulasi secara definitif sebagai teori politik oleh para sarjana yang terkait dengannya. Bahkan, jauh sebelum perdebatan konseptual tentang pluralisme dan alternatifnya mengendur pada tahun 1990-an, sebagian kritikus umumnya melihat pluralisme tidak memiliki kaidah pokok yang disepakati bersama oleh semua penganutnya; lihat Grant Jordan, “The Pluralism of Pluralism: An Antitheory?”, dalam Political Studies 38, 2 (1990), hal. 286-301; McLennan, Marxism, Pluralism, and…, hal. 35. Mengomentari analisis Arend Lijphart terhadap demokrasi konsosional (consociationalism), Gary King, Robert Keohane, dan Sidney Verba, menyatakan bahwa “secara luas diakui bahwa konsep pluralisme sering digunakan dengan cara saling bertentangan, tidak satu pun yang jelas atau cukup konkret untuk disebut sebagai sebuah teori. Deskripsi Ronald Rogowski mengenai pluralisme sebagai ‘teori yang kuat, deduktif, dan konsisten’… tentu merupakan penghargaan kali pertama yang diterimanya.” Lihat, Gary King, Robert O Keohane, and Sidney Verba, “The Importance of Research Design in Political Science”, dalam American Political Science Review 89, 2 (1995): 475-81, hal. 480, Catatan Kaki 3. 11 Tinjauan terbaru tradisi pluralis dan para penerusnya dengan gaya buku-ajar dapat ditemukan dalam John S Dryzek dan Patrick Dunleavy, Theories of the Democratic State (New York: Palgrave Macmillan, 2009), hal. 35- 56, 131-203. 12 Rujukan standarnya adalah David B Truman, The Governmental Process (New York: Alfred A Knopf, 1951). 13 Lihat, Robert A Dahl, A Preface to Economic Democracy (Berkeley: University of California Press, 1985). 14 Lihat, misalnya, Robert A Dahl, “Pluralism Revisited”, dalam Comparative Politics 10, 2 (1978), hal. 191203. 15 Lowi, The End of…. Andrew McFarlane menjuluki teori alternatif Lowi sebagai “plural-elitis.” Politik distributif dan redistributif tersebut tetap penting bagi konsepsi politik dan penyusunan kebijakan; lihat, Andrew S McFarland, “Interest Groups and Theories of Power in America”, dalam British Journal of Political Science 17, 2 (1987), hal. 129-147.
4
silsilah The Rise and Decline of Nations karya Mancur Olson, yang menggunakan tulisan Olson sebelumnya tentang tindakan kolektif dan perilaku kelompok dengan menggali lebih dalam bagaimana koalisi distribusional memengaruhi bentuk politik dan kebijakan.16 Di sini, pemisahan dari aspirasi normatif pluralisme awal telah selesai, karena analisis Olson meragukan “kelompok penekan” itu mewakili segalanya yang menyerupai kepentingan publik dan persaingan di antara mereka akan berdampak baik pada perpolitikan nasional atau kinerja ekonomi.17 Karya-karya komparatif penting berikutnya (yang kurang lebih mencolok) dalam tradisi teoretis ini yang mengait dengan politik distribusional, yakni kepentingan kelas dan kepentingan sektoral memengaruhi politik dan kebijakan, antara lain Peter Gourevitch tentang politik pascakrisis ekonomi, Ronald Rogowski tentang perdagangan dan perkongsian politik, serta Jeffry Frieden tentang ekonomi-politik Amerika Latin.18 Politik distribusional juga terlihat mencolok dalam analisis-analisis seputar pembangunan ekonomi, reformasi ekonomi, dan kebijakan publik, kendati kepentingan sektor atau faktor bisnis hanya berpengaruh sebagian saja terhadap hasilnya.19 Kesimpulannya yang penting adalah pluralisme yang berawal dari ilmu politik Atlantik Utara pertengahan abad ke-20 hampir seluruhnya telah dicampakkan dan dianggap usang, baik oleh kritik internal (Dahl) maupun kritik eksternal yang moderat (Lowi) serta radikal (Lukes). Namun, warisan intelektual pluralisme lestari dalam analisis politik distribusional. Pemahaman saya tentang pluralisme yang diterapkan dalam konteks politik Indonesia kontemporer dimulai dari perspektif bahwa para aktor politik terlibat dalam dunia politik untuk menghasilkan sejumlah kebijakan yang disukai. Konflik politik muncul dari 16
Lihat, Mancur Olson, The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagflation, and Social Rigidities (New Haven: Yale University Press, 1984). 17 Harmon Zeigler, “Interest Groups,” dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan (eds.), Encyclopedia of Government and Politics (New York: Routledge, 1992), hal. 377-392. Teori pilihan publik mengacu pada wawasan serupa, namun kemudian tumbuh berkembang mencakup kritik umum terhadap campur tangan pemerintah yang ditawan oleh kepentingan tertentu; rujukan standarnya adalah James M Buchanan dan Gordon Tullock, The Calculus of Consent: Logical Foundations of Constitutional Democracy (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1962). Kritik teori pilihan publik “mazhab Virginia” terhadap peraturan pemerintah atau pemerintahan aktivis itu secara logis tidak mengikuti ontologi pluralis tentang konflik politik. Olson sendiri “mengeluhkan ‘nilai kontribusi ilmiah Gordon Tullock dan sejawatnya di Mazhab Virginia disamarkan ketika diperlakukan sebagai bagian dari atau pembenaran terhadap ideologi sayap-kanan;’” lihat, Iain McLean, “The Divided Legacy of Mancur Olson”, dalam British Journal of Political Science 30, 4 (2000), hal. 657. 18 Lihat, Jeffry A Frieden, Debt, Development, and Democracy: Modern Political Economy and Latin America, 1965-1985 (Princeton: Princeton University Press, 1991); Peter Gourevitch, Politics in Hard Times: Comparative Responses to International Economic Crises (Ithaca: Cornell University Press, 1986); dan Ronald Rogowski, Commerce and Coalitions (Princeton: Princeton University Press, 1989). 19 Lihat, misalnya, Richard F Doner, “Limits of State Strength: Toward an Institutionalist View of Economic Development”, dalam World Politics 44, 3 (1992), hal. 398-431; Stephan Haggard, Sylvia Maxfield, dan Ben Ross Schneider, “Theories of Business and Business-State Relations”, dalam Sylvia Maxfield dan Ben Ross Schneider (eds.), Business and the State in Developing Countries (Ithaca: Cornell University Press, 1997), hal. 36-60; dan Hector E Schamis, “Distributional Coalitions and the Politics of Economic Reform in Latin America”, dalam World Politics 51, 2 (1999), hal. 236-268.
5
perbedaan kepentingan pelbagai aktor, baik individu maupun kelompok. Dampak atau hasil politik dibentuk oleh sumber daya yang tersedia bagi kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan institusi yang mengumpulkan atau menyalurkan preferensi individu atau kolektif. Institusi tersebut justru menjadi sasaran manipulasi para aktor dan kelompok yang hendak ia kendalikan. Dengan kata lain, konflik institusi politik semacam itu mencerminkan konflik yang lebih mendasar atas distribusi, redistribusi, dan rekognisi. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa konflik tersebut akan selalu menghasilkan keseimbangan atau kebijakan yang optimal secara sosial, atau bahwa kelompok kepentingan yang ada memang dikenal mewakili kepentingan sebagaimana klaim mereka. Modifikasi Pluralisme dan Ekonomi-Politik Orde Baru Pluralisme konvensional tidak pernah menjadi kerangka analitis yang serius bagi telaah mengenai politik Indonesia. Namun, pluralisme yang membentuk agenda penelitian tentang Orde Baru. Persoalannya adalah bagaimana mencocokkan tinjauan bahwa rezim Soeharto tidak menghadapi ancaman yang berarti dari setiap kelompok oposisi terorganisasi dengan tinjauan bahwa adalah mungkin menyingkap bukti nyata adanya politik distribusional yang berdampak terhadap hasil kebijakan; di bidang deregulasi finansial hingga kebijakan harga beras dan gula, kepentingan dan kelompok relatif lemah mampu memengaruhi hasilhasil kebijakan yang menguntungkan mereka, dan preferensi pemerintah sangat jarang ditentukan oleh hasil kebijakannya sendiri.20 Penelusuran pluralisme dalam politik Orde Baru diperkuat oleh kecenderungan serupa dalam kajian negara-negara komunis Eropa saat itu yang berupaya menunjukkan kegunaan kerangka konseptual pluralis untuk mempertajam analisis politik di bawah komunisme.21 Dengan demikian, muncul istilah “pluralisme yang dimodifikasi” dalam studi ekonomi-politik Orde Baru. Pluralisme yang dimodifikasi menggabungkan konsep persaingan kelompok dengan beberapa ciri khas sistem politik Orde Baru—secara tradisional, baik jaringan birokrasi yang luas ataupun sistem politiknya dari atas ke bawah⎯untuk menggambarkan sistem politik cangkokan. Contohnya antara lain “pluralisme birokratis” sebagaimana digunakan Dwight King dan Donald Emmerson,22 “pluralisme terkendali” John Bresnan,23 serta “pluralisme 20
Lihat, R William Liddle, “The Politics of Shared Growth: Some Indonesian Cases”, dalam Comparative Politics 19, 2 (1987), hal. 127-146; M Hadi Soesastro, “The Political Economy of Deregulation in Indonesia”, dalam Asian Survey 29, 9 (1989), hal. 853-869. 21 Untuk tinjauan; lihat, Gabriel A Almond dengan Laura Roselle, “Model Fitting in Communist Studies”, dalam Almond (ed.), A Discipline Divided…, hal. 66-116. 22 Donald K Emmerson, “Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia”, dalam Asian Survey 23, 11 (1983), hal. 1220-1241; dan Dwight Y King, “Bureaucracy and Implementation of Complex
6
terbatas” Hadi Soesastro dan Peter Drysdale. 24 Pluralisme birokratis barangkali secara teoretis merupakan pluralisme paling maju di antara pluralisme yang dimodifikasi, menggambarkan garis silsilah teoretis cukup panjang yang ditelusuri Emmerson hingga tulisan-tulisan awal Juan Linz.25 Dalam hal ini, pluralisme yang dimodifikasi membawa sejumlah model teoretis yang kali pertama dipakai untuk mengkaji dan menelaah rezim otoritarian Eropa Selatan dan Amerika Latin pasca-Perang Dunia II. Analisis tersebut juga menyingkap hal mendasar menyangkut kebijakan sebagai titikpusat konflik politik. Fokus analitis mengenai hasil kebijakan itu memang didominasi persoalan ekonomi, namun sumber daya material dan kepentingan ekonomi menempati posisi tidak istimewa dalam analisis pluralis yang dimodifikasi atau dalam khazanah literatur pluralis yang berkembang saat itu di Indonesia.26 Pendek kata, hubungan di antara pluralisme yang dimodifikasi dengan konsep pluralisme yang lebih luas (misalnya, otoritarianismebirokratis27) tidak pernah diuraikan dengan saksama.28 Tidak jelas apakah pluralisme yang dimodifikasi merupakan subtipe pluralisme yang timpang (semacam pluralisme minus demokrasi elektoral) atau subtipe otoritarianisme yang pantas (pemerintahan otoriter plus konflik kelompok yang bisa diidentifikasi). 29 Secara umum, masalah yang menghambat analisis pluralis komparatif terhadap rezim Orde Baru adalah sulitnya menggambarkan ciri konseptual pluralisme yang dihilangkan para sarjana saat mereka menggunakan istilah “birokratis” dan istilah pengubah lainnya. Persoalan ini mengingatkan kembali pada kritik pluralisme awal sebagai sebuah kerangka teoretis tanpa seperangkat prinsip-prinsip dasar yang koheren dan disepakati para penganut dan pendukungnya. Menyelamatkan pluralisme sebagai alat untuk memahami politik Indonesia dari kekacaubalauan definisi dan subtipe cacat/wajar memang memerlukan sebuah strategi sama Tasks in Rapidly Developing States”, dalam Studies in Comparative and International Development 30, 4 (1995/1996), hal. 78-92. 23 Lihat, John Bresnan, Managing Indonesia: The Modern Political Economy (New York: Columbia University Press, 1993). 24 M Hadi Soesastro and Peter Drysdale, “Survey of Recent Developments”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 26, 3 (1990), hal. 3-44. 25 Emmerson, “Understanding the New…”, hal. 1222; Juan J Linz, Totalitarian and Authoritarian Regimes (Boulder: Lynne Rienner, 2000). 26 Dahl, “Pluralism Revisited….” 27 Lihat, Guillermo A O'Donnell, Bureaucratic Authoritarianism: Argentina, 1966-1973, in Comparative Perspective (Berkeley: University of California Press, 1988). 28 Hal ini serupa dengan masalah umum penggolongan rezim Orde Baru; lihat, Dwight Y King, “Indonesia's New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?”, dalam Benedict Anderson dan Audrey Kahin (eds.), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1982), hal. 104-116. 29 Tentang subtipe timpang (diminished) versus subtipe pantas (proper); lihat, David Collier dan Steven Levitsky, “Democracy with Adjectives: Conceptual Innovation in Comparative Research”, dalam World Politics 49, 3 (1997), hal. 430-451.
7
sekali berbeda daripada yang ditemukan dalam pendekatan pluralis yang dimodifikasi. Alihalih melukiskan politik Indonesia dengan istilah pluralis, pluralis yang dimodifikasi, atau istilah lain⎯dengan demikian meletakkan keseluruhan politik Indonesia dalam sebuah ruang tipologis⎯tugas pluralisme dalam ekonomi-politik modern adalah menyediakan sebuah alat yang bisa digunakan untuk menganalisis masalah tertentu dalam politik Indonesia. Alat tersebut berupa analisis kepentingan dan artikulasinya di bidang politik. Kegunaan pendekatan pluralis dalam satu domain konseptual atau empiris tidak harus mengisyaratkan kegunaan globalnya bagi semua persoalan dalam politik Indonesia. Para pendukung pendekatan ini seharusnya skeptis terhadap kemampuan mereka dalam membaca kepentingan perilaku yang teramati atau profil ekonomi dan sosial beberapa aktor atau kelompok, dan secara eksplisit akan berteori tentang hubungan antara kepentingan dan struktur kelembagaan tertentu saat menegaskan pengaruh kepentingan terhadap kebijakan atau hasil kebijakan lainnya. Sebagaimana kritik Lukes terhadap kekuasaan, pluralisme kritis juga harus peka terhadap “dominasi rekognisi” (recognitional domination) , yakni kepentingan individu atau kelompok dirujukkan kepada mereka oleh faktor eksternal, struktur sosial, atau institusi negara.30 Karena itu, pluralisme tidak seharusnya dianggap sebagai teori atau deskripsi tentang politik Indonesia sebagaimana pluralisme yang dimodifikasi. Ini adalah sebuah kerangka yang bisa digunakan untuk mengorganisasi pengamatan tentang konflik politik di Indonesia dan menyusun teori mengenai asal-usul serta konsekuensi konflik tersebut. Ada dua sumbangannya terhadap studi sumber daya material dan kekuasaan politik. Pertama, mencirikan dan membedakan tujuan para aktor yang dilimpahi materi. Kedua, menyejajarkan kepentingan material dengan kepentingan non-material untuk memahami bagaimana keduanya berinteraksi dalam membentuk dan memengaruhi tindakan politik. Hal yang penting, ini tentu bukan sebuah seruan untuk membahas politik Indonesia secara lebih komprehensif atau inklusif. Bagi sejumlah sarjana politik Indonesia yang menolak oligarki sebagai kerangka konseptual, salah satu strategi untuk menunjukkan keunggulan beberapa konsepsi alternatif mengenai politik Indonesia adalah dengan memperlihatkan aspek-aspek tertentu politik Indonesia yang tidak bisa dijelaskan konsep oligarki. Hal seperti itu pasti berlimpah, sebagaimana dipaparkan sendiri oleh sebagian teoritikus oligarki bahwa banyak hal yang tidak mereka jelaskan–pada dasarnya, setiap 30
Lukes, Power…, hal. 120. Lukes mengilustrasikan “dominasi rekognisi” ini dengan merujuk analisis Martha Nussbaum mengenai identitas perempuan di India yang melulu diberikan definisi dalam kaitannya dengan kepentingan laki-laki; lihat, Martha C Nussbaum, Women and Human Development: The Capabilities Approach (New York: Cambridge University Press, 2000).
8
sumber kekuasaan bukan berarti sumber kekayaan material. Pendekatan “hal lain yang juga penting” seperti itu bukan strategi yang hendak digunakan di sini, karena pendekatan tersebut tidak menyentuh pendekatan oligarki secara langsung dan juga tidak menjelaskan kondisi di mana sumber daya material memang memiliki daya penjelas. Pada bagian berikutnya saya berusaha menyelami gagasan yang sangat meyakinkan bahwa sumber daya material niscaya berperan di segala aspek ekonomi-politik Indonesia, dari kebijakan makro-ekonomi nasional hingga konflik sumber daya lokal. Oligarki dan Pluralisme: Ketegangan Dipahami sebagai sebuah pendekatan konflik politik ketimbang sejenis tatanan politik atau sistem relasi kekuasaan, pluralisme bukannya tidak sesuai dengan oligarki sebagaimana didefinisikan Winters sebagai “politik perlindungan kekayaan oleh para aktor yang berlimpah materi”.31 Kaum oligark mungkin tidak begitu peduli dengan kebijakan atau peristiwa politik yang tidak memengaruhi jaminan kekayaan material mereka; di sini, lensa pluralis dapat menerangkan jenis politik seperti apa yang mengikutinya. Pendekatan pluralis bisa menjelaskan apa sebenarnya pertarungan yang terjadi di antara kaum oligark adalah saat mereka berbaris di sisi berseberangan dalam sebuah debat kebijakan. Terakhir, analisis pluralis pada asasnya melihat kaum oligark sebagai sebuah kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lainnya, khususnya dalam sejumlah kasus yang disebut Winters “oligarki sipil”, tempat kaum oligark menyerahkan persenjataan dan dibatasi undang-undang.32 Richard Robison dan Vedi Hadiz menggunakan definisi oligarki yang berbeda untuk menggambarkan kasus Indonesia. Oligarki dalam analisis mereka adalah, sistem pemerintahan tempat hampir semua kekuasaan politik dipegang oleh segelintir orang kaya … orang-orang yang membentuk dan memengaruhi kebijakan publik agar menguntungkan mereka secara finansial melalui subsidi langsung kepada perusahaan perkebunan besar atau perusahaan dagang, kontrak-kontrak pemerintah yang menguntungkan, serta langkah-langkah proteksionis yang bertujuan merugikan pesaing ekonomi mereka⎯sambil menampilkan sedikit perhatian terhadap kepentingan warga yang lebih luas. “Oligarki” juga digunakan sebagai istilah kolektif merujuk pada semua anggota kelompok kecil penguasa korup dalam sistem tersebut.
31
Winters, Oligarchy, hal. 7. Dalam tulisan lain, Winters dan Benjamin Page melihat oligarki bisa hadir di dalam lanskap politik yang secara umum pluralis, seperti di Amerika Serikat; Jeffrey A Winters dan Benjamin I Page, “Oligarchy in the United States?”, dalam Perspectives on Politics 7, 4 (2009), hal. 731-751. Setiap bahasan tentang politik Indonesia dengan pendekatan pluralis atau sebaliknya yang mengingkari adanya politik tertentu (riel ataupun potensial) semata-mata karena mempertahankan kekayaan tidak sesuai dengan pendekatan oligarki Winters. 32 Meskipun pada prinsipnya benar, saya tidak bisa membayangkan seperti apa analisis itu dalam praktiknya. Winters dan Page tampaknya skeptis memperlakukan kaum oligark sebagai sebuah kelompok kepentingan; Winters dan Page, “Oligarchy?..”, hal. 738.
9
Istilah itu selalu mengandung konotasi negatif atau menghina, baik ketika digunakan di masa klasik maupun kontemporer.33
Definisi itu tidak selaras dengan takrif pluralisme konvensional karena dalam pengertian konvensional kelompok kepentingan dan aktor-aktor kolektif lain yang tidak ditentukan oleh kekayaan mereka tetap memiliki dan menjalankan kekuasaan. Namun definisi itu sepenuhnya senada dengan pluralisme kritis sebagaimana dipaparkan di atas, hanya selama ada konflik distribusional yang dapat diidentifikasi di antara “orang-orang… kaya” yang membentuk dasar bagi tindakan politik. Tanpa konflik tersebut, tidak ada yang bisa dijelaskan oleh seorang pluralis. Bahkan, analisis pluralis kritis bisa menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok kepentingan saling bertentangan yang diamati seorang pluralis naif benar-benar merupakan manifestasi pertarungan di antara kaum oligark dan elite yang secara strategis telah “dieksternalisasi” ke dalam masyarakat (fenomena yang akrab bagi setiap pengamat unjuk-rasa bayaran di Indonesia pasca-Soeharto). Menjelaskan konsekuensi politik dari berbagai konfigurasi kekuasaan dan kepentingan merupakan hal sangat penting bagi tradisi pluralis. Namun oligarki maupun pluralisme konvensional tidak mampu membuat klaim kausal sendiri. Dalam hal ini, tipologi oligarki seperti dikemukakan Winters⎯ragam oligarki menurut tingkat fragmentasi, sumber koersi, dan apakah oligarki liar atau jinak⎯amat sangat berguna. Tidak ada klaim yang muncul dari tipologi oligarki ini tentang apa yang menyebabkan satu jenis oligarki berbeda dengan lainnya. Yang ada hanyalah pernyataan-pernyataan konstitutif tentang apa yang melandasi satu tipe oligarki berdasarkan klaim teoretis yang mendahului soal bagaimana kaum oligark bisa berkaitan satu sama lain dalam menyelenggarakan kekerasan. Ada sejumlah pengamatan tentang apa yang dilakukan kaum oligark menurut tipe oligarkinya. Namun klaim sebab-akibat tentang konsekuensi oligarki bagi kebijakan dan hasil politik tidak dapat ditarik begitu saja berdasarkan tipologi itu semata. Kelemahan tersebut tentunya juga dimiliki pluralisme konvensional. Pemahaman Richard Robison dan Vedi Hadiz akan oligarki juga tidak memberikan penjelasan kausal mengenai hasil politik. Namun itu bukan merupakan penjabaran konsep oligarki sebagai kategori teoretis, melainkan praktik oligarki (sebagaimana didefinisikan oleh kedua penulis) di Indonesia. Gambaran tentang kasus Indonesia ini memang tidak kurang 33
Lihat, Robison dan Hadiz, Reorganising Power…, hal. 16-17, Catatan 6. Sumber aslinya adalah Paul M Johnson, “Oligarchy”, A Glossary of Political Economy Terms, http://www.auburn.edu/~johnspm/gloss/oligarchy (diakses 13 Februari 2013).
10
teoretis dibanding Jeffrey Winters, tetapi deskripsi itu lebih menekankan perkembangan historis struktur kekuasaan politik dan perubahannya dari waktu ke waktu. Bagaimanapun juga, terlepas dari kesesuaian kedua konsepsi oligarki tersebut dan apa yang saya gambarkan sebagai pluralisme kritis, tidak benar jika oligarki dan pluralisme merupakan proyek teoretis seperti empat persegi panjang. Hal ini membuat hubungan antara oligarki dan pluralisme berbeda dari hubungan antara oligarki dan demokrasi yang dianggap kompatibel, baik oleh Vedi Hadiz dan Richard Robison maupun Jeffrey Winters.34 Pluralisme kritis menuntut adanya analisis terhadap oligarki, kekuasaan politik, dan ketimpangan material di Indonesia. Bagi para sarjana yang bekerja dalam tradisi pluralis, setiap upaya mengkaji politik tanpa merujuk pada kebijakan dan konsekuensinya tidaklah lengkap. Di sini, kebijakan dipahami sebagai “sebuah prinsip atau serangkaian tindakan yang diambil atau diajukan sebagai hal yang menyenangkan, menguntungkan, atau diperlukan”.35 Kebijakan adalah titik-pusat bagi tradisi pluralis karena senantiasa menjadi obyek kontestasi politik; bisa seluas dan berisi platform partai sosial demokrat atau sepicik dan sekorup upaya mengarahkan regulator untuk mengusik pesaing bisnis. 36 Kebijakan memiliki pengaruh langsung (misalnya, mengganggu bisnis pesaing) dan tidak langsung (misalnya, keputusan investasi para pendatang pasar potensial yang menghindari gangguan). Dalam tradisi pluralis, program riset progresif dalam studi politik Indonesia akan menjadi salah satu program yang bisa menghasilkan teori-teori hasil politik dan pilihan kebijakan, serta dapat menjelaskan mengapa hasil kebijakan politik itu bervariasi melintasi ruang dan waktu melalui hipotesis yang bisa dibuktikan ketidakbenarannya yang berasal dari teori-teori tersebut. Studi mengenai korupsi di Indonesia pasca-Soeharto menunjukkan perbedaan antara teori tipologis dengan penjelasan kausal, dan oleh karena itu juga perbedaan antara pendekatan yang berakar pada oligarki versus tradisi pluralis. Para teoretikus oligarki mencatat bahwa kekuasaan orang-orang super-kaya di Indonesia mengalami “reorganisasi” 34
Dalam pengertian konvensional, pluralisme dan demokrasi tidak dapat dipisahkan menurut definisi konsep pluralisme itu sendiri. Pendekatan Dahl sangat jelas: “semua negara demokratis adalah demokrasi pluralis”; Robert A Dahl, Dilemmas of Pluralist Democracy: Autonomy vs. Control (New Haven: Yale University Press, 1982), hal. 5. Walaupun secara teoretis penting bagi tradisi pluralis, poin ini memiliki sedikit konsekuensi saat digunakan untuk mencirikan politik di negeri-negeri yang ditandai dengan ketimpangan besar sumber daya material. Seorang materialis yang gigih dapat menyatakan bahwa hubungan yang relatif otonom di negeri-negeri demokrasi pluralis seperti Indonesia itu hanya berada di luar kepentingan kaum oligark atau elite ekonomi. 35 Ini adalah definisi standar kamus. "policy, n.1," OED Online (Oxford University Press, December 2012), http://www.oed.com/view/Entry/146842?rskey=uMAZca&result=1&isAdvanced=false (diakses 10 Februari 2013). 36 Perhatikan lebih lanjut bahwa kebijakan mungkin saling berlekatan atau bertentangan; bahwa kebijakan bisa saja diusahakan oleh politikus, pendukung mereka, atau lapisan masyarakat yang kehilangan hak sama sekali; dan bahkan kebijakan itu mungkin saja ilegal.
11
ketimbang berkurang sejak transisi demokrasi.37 Dalam tipologi Winters, oligarki Indonesia telah bertransformasi dari oligarki kesultanan menjadi “oligarki penguasa yang liar”. 38 Pengamatan terkait struktur elite politik dan relasi bisnis politik (istilah “oligarki” tidak digunakan) awal pasca-Orde Baru dibuat terpisah oleh Andrew MacIntyre dan Ross H McLeod, kedua pakar ini disebut-sebut bertolak dalam tradisi teoretis yang berbeda dari sarjana oligarki. 39 Dengan memusatkan perhatian pada kasus-kasus korupsi, keduanya menyatakan bahwa logika dasar politik uang berubah setelah Orde Baru tumbang. Namun, MacIntyre dan McLeod mengajukan hipotesis yang dapat menjelaskan bagaimana pelbagai organisasi elite politik atau relasi bisnis politik memengaruhi keseluruhan struktur dan kadar korupsi. Mereka pun menyiratkan, mengikuti model kanonik organisasi industri korupsi,40 bahwa tanpa adanya mekanisme yang bisa mengikat dan menangkap tangan ribuan politikus dan pejabat rendahan, suap di Indonesia pasca-Soeharto lebih kecil ukurannya tetapi jumlahnya lebih banyak ketimbang masa Orde Baru. Akibatnya, korupsi di Indonesia pascaSoeharto lebih banyak mengancam investasi ketimbang korupsi di bawah pemerintahan Orde Baru, setidaknya pada saat MacIntyre dan McLeod tengah menyusun tulisan.41 Sepengetahuan saya, hipotesa ini belum diuji secara formal, dan bukti pendukung yang tersedia bersifat sementara dan tidak lengkap bertumpu pada anekdot serta berselimut maklumat bahwa “semua orang tahu.” Bagaimanapun juga, argumen MacIntyre dan McLeod selaras dengan program riset yang mulai bergeser dari pembahasan deskriptif tentang perubahan organisasi “politik uang” ke pembahasan kausal akan dampaknya terhadap investasi di Indonesia pasca-Soeharto. Ini adalah argumen yang dapat difalsifikasi, kendati hingga saat ini tidak ada upaya sistematis yang dilakukan untuk memulai hal itu. Ringkasnya, titik-titik ketegangan antara pendekatan analitis berlandaskan oligarki dan pluralisme kritis tidak terletak pada konseptualisasi oligarki atau fokus analitis terhadap fondasi sosial konflik politik, melainkan pada fokus kebijakan sebagai objek kontestasi politik dan pengembangan penjelasan kausal terkait hasil politik. Titik ketegangan tersebut sangat penting bagi studi politik Indonesia. Bagian berikutnya akan menyelami soal tersebut 37
Demikianlah judul buku Robison dan Hadiz, Reorganising Power…. Winters, Oligarchy, hal. 181. 39 Andrew MacIntyre, “Institutions and the Political Economy of Corruption in Developing Countries”, Makalah dipresentasikan pada “Workshop on Corruption”, Stanford University, 31 Januari-1 Februari 2003; dan Ross H McLeod, “Soeharto's Indonesia: A Better Class of Corruption”, dalam Agenda 7, 2 (2000), hal. 99-112. Saya tidak menyatakan bahwa keduanya merasa nyaman disebut kaum pluralis (kritis) atau sarjana yang bergumul dalam tradisi atau kerangka pluralis. Bagaimanapun juga, seluruh pemikiran dan wawasan mereka selaras dengan pendekatan saya dalam menyusun analisis pluralis mengenai korupsi di Indonesia. 40 Andrei Shleifer dan Robert W Vishny, “Corruption”, dalam Quarterly Journal of Economics 108, 3 (1993), hal. 599-617. 41 Kedua penulis melihat sistem hukum di Indonesia sama sekali tidak efektif. 38
12
dengan menyajikan dua studi terkait konflik politik di Indonesia dalam konteks ketidaksetaraan kekayaan material dan kekuasaan politik yang sangat besar. Oligarki dan Pluralisme Saya membahas dua isu politik penting dalam sejarah Indonesia selama dua puluh tahun terakhir untuk menunjukkan bahwa hanya terfokus pada oligarki saja akan menyumbat pertanyaan mendasar soal politik dan penyusunan kebijakan: krisis ekonomi 1997-1998 dan ekonomi-politik daerah era desentralisasi. Dalam kasus krisis ekonomi, saya memperlihatkan bahwa sekalipun mengabaikan sepenuhnya kepentingan non-material, pendekatan pluralis menjadi satu-satunya kerangka teoretis yang bisa menangkap aneka konflik di seputar penyesuaian kebijakan dalam koalisi Orde Baru yang mengatur gerak runtuhnya perekonomian Indonesia dan akhirnya rezim Orde Baru sendiri. Dalam kasus desentralisasi, saya menunjukkan bahwa pengaruh sumber daya material dalam konflik politik senantiasa bergantung pada faktor non-material, sehingga mustahil memahami dampak ketidaksetaraan material terpisah dari kondisi tempat tersebarnya sumber daya tersebut. Kepentingan Material, Penyesuaian Kebijakan, dan Perubahan Rezim Awal 1990-an, sebagian besar analis Orde Baru sependapat bahwa Soeharto sebagai pribadi memegang kekuasaan politik luar biasa. Tatkala mencirikan sistem pemerintahan di bawah pimpinan Soeharto, para sarjana oligarki merujuk segelintir konglomerat (hampir semuanya laki-laki) dengan posisi ekonomi bergantung pada kedekatan hubungan pribadi dengan Soeharto dan yang mengeruk keuntungan serta memupuk kekayaan sangat besar. Para sarjana tersebut, seperti sarjana dari tradisi pemikiran lain, mengenali orang-orang kaya itu sebagai penggerak sekaligus pengguncang perekonomian Indonesia semasa Orde Baru. Kehidupan pribadi dan kerajaan bisnis beberapa tokoh seperti William Soeryadjaya dan Liem Sioe Liong sesungguhnya bisa digunakan untuk memetakan perkembangan ekonomi-politik Indonesia.42 Argumen utama Richard Robison dan Vedi Hadiz adalah banyak di antara sosok berpengaruh itu tidak hanya berhasil menjaga harta kekayaan saja, tetapi juga posisi politik mereka pada masa transisi demokrasi di Indonesia, sesuatu yang mungkin tidak diduga oleh para analis transisi demokrasi Indonesia yang paling optimistis. Sementara itu, seperti disebutkan sebelumnya, Jeffrey Winters menyatakan bahwa politik mempertahankan kekayaan di Indonesia sedang dalam proses bergerak dari oligarki kesultanan menuju 42
Marleen Dieleman dan Wladimir M. Sachs, “Coevolution of Institutions and Corporations in Emerging Economies: How the Salim Group Morphed into an Institution of Suharto's Crony Regime”, dalam Journal of Management Studies 45, 7 (2008), hal. 1274-1300; Yuri Sato, “The Astra Group: A Pioneer of Management Modernization in Indonesia”, dalam The Developing Economies 34, 3 (1996), hal. 247-280.
13
“oligarki penguasa yang tak terkendali”43 dengan uang menjadi inti politik, tetapi dengan cara yang berbeda saat masih berada di bawah rezim Orde Baru.44 Pendek kata, pendekatanpendekatan tersebut mengakui bahwa oligarki Indonesia telah berubah, namun tidak dilenyapkan, melalui proses demokratisasi. Jika kelompok kepentingan, asosiasi pengusaha, serikat buruh, dan kelompok lainnya tidak berhasil melobi atau mengampanyekan isu-isu berkesinambungan atau platform yang terpadu, maka kerangka pluralis konvensional mengenai persaingan kelompok kepentingan tidak sesuai menggambarkan politik Indonesia, setidaknya pada aras nasional. Namun, seandainya para analis tetap terfokus di aras nasional, analisis yang cermat mengenai politik distribusional dalam tradisi pluralis amat diperlukan untuk memahami peristiwa paling penting dalam sejarah Indonesia modern sejak konsolidasi Orde Baru pada 1971: ambruknya perekonomian Indonesia pada 1997 dan tumbangnya Orde Baru pada 1998. Sebagaimana saya uraikan di tempat lain, Krisis Keuangan Asia tidak menghasilkan pertarungan bebas di antara mereka yang kemudian disebut kaum oligark, atau penolakan kaum oligark bersama elite bisnis dan elite politik terhadap rezim Soeharto,45 atau juga tidak begitu mengganggu model politik-ekonomi yang pada dasarnya sudah cacat. 46 Krisis finansial tersebut justru menghasilkan konflik distribusional yang khas di antara dua faksi pemilik kapital: modal tetap dan modal bergerak.47 Akar konflik adalah perselisihan pendapat tentang bagaimana menyesuaikan diri dengan krisis yang kemudian memunculkan dua paket kebijakan penyesuaian yang secara teknis bertolak belakang dengan implikasi distribusional yang juga berbeda. Kelompok individu yang disebut kaum oligark hanyalah sekumpulan aktor yang terbelah menjadi dua fraksi dengan masing-masing fraksi mencakup pelbagai kepentingan bisnis yang lebih kecil. Karena itu, konflik distribusional memecah kaum oligark dan mencipta kepentingan bersama di antara kaum oligark dengan aktor-aktor yang memiliki kekayaan lumayan besar.
43
Winters, Oligarchy, hal. 181. “Permainan bagi-bagi kurang terpuji” ini sebanding dengan analisis Aspinall mengenai “proyek”; lihat, Edward Aspinall, “A Nation in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia”, dalam Critical Asian Studies 45, 1 (2013), hal. 27-54. 45 Hal ini dinyatakan Winters dengan mengutip Rizal Ramli, “Sampai sekarang setiap orang menyanjungnya dan menendangnya karena tahu dia sudah jatuh”; Winters, Oligarchy, hal. 178. 46 Bagi Robison dan Hadiz: “Kami memperhatikan krisis telah menggerus perekat politik dan keuangan yang menyelubungi sistem sangat lemah dan rapuh ini yang sepenuhnya bergantung pada perlindungan negara otoriter dan sistem kekuasaan yang korup, serta keterlibatan dengan kapital global yang tak mudah diatur…”. Robison dan Hadiz, Reorganising Power, hal. 149. 47 Thomas B Pepinsky, “Capital Mobility and Coalitional Politics: Authoritarian Regimes and Economic Adjustment in Southeast Asia”, dalam World Politics 60, 3 (2008), hal. 438-474. 44
14
Perspektif ini memperlihatkan bahwa respons kebijakan yang ternyata tidak efektif pada masa akhir berkuasanya Orde Baru sangat jauh dari irasional atau ideologis. 48 Sebaliknya, respons tersebut pada dasarnya bersifat politis⎯politik rendahan yang dijalankan para oligark dan pengusaha kecil yang sama-sama berusaha menghindar dari kebangkrutan. Persoalan muncul akibat ulah mereka sendiri, karena beban perusahaan semakin berat dan debitor mengabaikan risiko nilai tukar ketika memperoleh pinjaman dalam mata uang asing. Konfliknya pun sederhana: upaya menerapkan kontrol modal secara langsung bertentangan dengan kepentingan modal bergerak, tetapi patokan nilai tukar dan kebijakan makro-ekonomi ekspansif yang diinginkan perusahaan-perusahaan lokal yang telah mengakar kuat di Indonesia hanya mungkin jika dengan akun modal tertutup.49 Pengamatan bahwa kaum super-kaya di Indonesia berusaha melindungi harta kekayaan masing-masing sebanyak mungkin semasa krisis justru tidak memberikan informasi apapun tentang hakikat pertarungan kebijakan di atas. Koalisi distribusional yang dipicu krisis mata uang pada 1997 jelas bukan kelompok kepentingan sebagaimana dipahami dalam pengertian konvensional, dan mereka tidak bertindak sebagai aktor yang koheren mewakili sejumlah kepentingan sosial atau ekonomi. Namun konflik politik pada bulan-bulan terakhir Orde Baru pada dasarnya adalah konflik tentang bagaimana membagi beban penyesuaian krisis ekonomi di antara berbagai sekutu rezim. Selain itu, konflik tersebut tidak hanya berbentuk kebijakan penyesuaian pada akhir rejim Orde Baru, konflik itu juga menjelaskan tumbangnya pemerintahan Soeharto dan bagaimana cara jatuh rezim ini. 50 Namun, seandainya berakhirnya Orde Baru tidak bisa dipastikan⎯jika penyebab “sejati” tumbangnya rezim itu sesungguhnya adalah karena kepikunan Soeharto, mobilisasi oposisi masyarakat sipil dan keberanian pengunjuk-rasa, resistansi para elite oposisi, pembangkangan di tubuh 48
Sebaliknya dalam tulisan lain, Robison dan Andrew Rossner keliru menjelaskan hakikat konflik kebijakan semasa krisis; lihat, Richard Robison dan Andrew Rosser, “Contesting Reform: Indonesia's New Order and the IMF”, dalam World Development 26, 8 (1998), hal. 1593-1609. Alih-alih pada dasarnya konflik ideologis antara IMF dengan “Soeharto, kelompok politico-business, dan para konglomerat” (hal. 1599-1603), ini adalah distribusi konflik di dalam kubu kedua tentang bagaimana keluar dari krisis tanpa mengobrak-abrik sumber daya ekonomi sebagian fraksi pemilik kapital. Robison dan Hadiz juga mengenyampingkan perseteruan mendasar di dalam koalisi pemerintahan Soeharto ketika menggambarkan program-program yang dicanangkan IMF “dihambat oleh resistansi sebagian besar kaum politico-business …”; Robison dan Hadiz, Reorganising Power…, hal. 157. Mengelola mata uang kembar dan krisis perbankan dalam setiap perekonomian sedang berkembang merupakan pilihan yang sulit karena berkiat kelindan dengan kebijakan nilai tukar dan neraca modal. Kenyataan bahwa IMF mengamanatkan paket kebijakan “neoliberal” tidak membuat konflik kebijakan ini bertambah parah ketimbang tidak ada IMF, sebagaimana diperlihatkan dalam kasus Malaysia; lihat, Pepinsky, “Capital Mobility….” 49 Kasus Malaysia pada 1998 serta Cile dan Meksiko pada 1982 menunjukkan langkah penyelesaian ini serta politik distribusional dalam respons terhadap kebijakan itu. 50 Lihat, Thomas B Pepinsky, Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes: Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective (New York: Cambridge University Press, 2009).
15
militer, gabungan semua itu, atau faktor lain⎯kepentingan distribusional tetap penting dalam mencirikan konflik kebijakan semasa krisis. Tidak ada penjelasan lain yang koheren tentang mengapa rezim Orde Baru pura-pura bersedia menerapkan paket penyesuaian IMF, mengapa kaum oligark dan kalangan pengusaha menengah-bawah berkeberatan (dan menolak karena alasan-alasan yang mereka lakukan), bagaimana koalisi distribusional muncul untuk menentang IMF maupun rezim Soeharto, dan mengapa Soeharto atau kroni terdekatnya peduli tentang hal itu. Menurut para sarjana yang berkutat dalam tradisi oligarki, krisis ekonomi membuat para elite dan oligark harus saling bertarung hingga akhirnya mencampakkan Soeharto, sebuah analisis yang salah menanggapi konflik mendasar di dalam koalisi rezim itu. Analisis berdasarkan tradisi oligarki itu juga mengabaikan⎯karena tidak punya perangkat untuk mengamati—pengamatan mendasar bahwa kediktatoran paling brutal pun bisa mengisolasi diri untuk sementara waktu dari pasar keuangan global saat menghadapi krisis perbankan dan krisis mata uang yang tak terduga, serta menggunakan kesempatan itu untuk menggenjot perekonomian dan membungkam lawan-lawan politiknya.51 Pendekatan yang berakar pada tradisi pluralis umumnya mempersoalkan, pertama, apa konsekuensi distribusional dari berbagai langkah penyesuaian ekonomi dan, kedua, koalisi politik yang mana yang perlu diberdayakan (karena alasannya dapat didedah dari evolusi historis rezim tertentu). Kedua pertanyaan tersebut menerangkan bagaimana pertarungan di seputar kebijakan penyesuaian berlangsung di Indonesia dan menyediakan contoh baku analisis komparatif untuk kasus Indonesia yang memudahkan perbandingan langsung, baik dengan Malaysia semasa Krisis Keuangan Asia maupun beberapa pemerintahan diktator Amerika Latin semasa krisis utang tahun 1980-an.52 Kasus di seputar konflik kebijakan penyesuaian dan runtuhnya Orde Baru tersebut menggambarkan bahwa kekuatan politik distribusional sebagai kerangka yang bisa digunakan untuk memahami tindakan bahkan para pelaku ekonomi yang paling kuat dan kaya di Indonesia. Saya tidak menyimpulkan dari pembahasan ini bahwa pendekatan pluralis terhadap konflik kebijakan pada tahun terakhir Orde Baru membutuhkan pemikiran ulang fundamental mengenai teori oligarki sebagaimana dituangkan Richard Robison maupun Vedi Hadiz atau Jeffrey Winters. Sebaliknya, pergulatan politik di seputar kebijakan pemulihan semasa krisis keuangan di Indonesia menunjukkan keterbatasan analisis yang terfokus pada 51
Kasus Malaysia setelah 1 September 1998 adalah sebuah contoh. Malaysia memberangus oposisi dalam negeri persis satu hari setelah pemerintah menerbitkan peraturan tentang kendali kapital dan mematok nilai tukar mata uang. 52 Lihat, Pepinsky, Economic Crises….
16
oligarki dalam memahami konflik politik di antara warga negara Indonesia yang memiliki harta berlimpah dan sangat berkuasa. Kepentingan Material, Desentralisasi, dan Politik Lokal Desentralisasi merupakan perubahan mendasar kedua setelah demokratisasi ekonomipolitik Orde Baru yang berlangsung usai Krisis Finansial Asia. Desentralisasi telah memberdayakan dan memperkuat aktor politik tingkat daerah dengan cara baru serta menaruh tekanan baru di pundak politikus lokal agar senantiasa memenuhi tuntutan para konstituen. Namun, hasil desentralisasi di sejumlah bidang mengecewakan banyak pihak: korupsi dan politik uang tetap marak, reformasi daerah berjalan di tempat, pemerintah kabupaten tetap mandul, dan berlimpah penyakit lainnya. Vedi Hadiz menelusuri sebagian besar patologi tersebut hingga tiba pada pengamatan mendasar bahwa kepentingan kelompok “predatoris” di tingkat lokal tidak dilumpuhkan usai runtuhnya Orde Baru beserta demokratisasi dan desentralisasi yang mengikutinya.53 Justru sebaliknya: perubahan rezim di Jakarta malah menghasilkan tekanan baru bagi elite lokal untuk memanfaatkan kekuasaan yang dilimpahkan kepada mereka demi melindungi kepentingan ekonomi dan politik mereka sendiri. Bahkan orang luar yang mengaku diri reformis pun harus mematuhi aturan main “bagi-bagi hasil” itu, seperti komentar Hadiz, Robison, dan Winters ketika membahas munculnya salah satu tokoh pembaru yang populis, Joko Widodo.54 Para sarjana yang bergelut dalam banyak tradisi teoretis menarik kesimpulan bahwa desentralisasi tidak membawa hasil sebagaimana dijanjikan sebagian besar pendukungnya yang paling lantang, beberapa di antaranya membeberkan sejumlah kasus empiris yang bisa diterangkan oleh analisis teoretis bertumpu pada oligarki. 55 Hal demikian dikemukakan dalam tinjauan sejumlah karya utama soal politik lokal dan demokratisasi Indonesia yang melihat keseimbangan pendapat ilmiah yang ada tentang demokratisasi dan desentralisasi 53
Lihat, Vedi R Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asian Perspective (Stanford: Stanford University Press, 2010). 54 Lihat, Vedi R Hadiz dan Richard Robison, “Political Economy and Oligarchy” dan Jeffrey Winters, “Oligarchic Power in Indonesia”, dalam edisi khusus ini. 55 Literatur tentang topik ini telah berkembang luas. Beberapa di antaranya yang memberi sumbangan besar adalah Iwan Jaya Azis dan Maria Monica Wihardja, “Theory of Endogenous Institutions and Evidence from an In-depth Field Study in Indonesia”, dalam Economics and Finance in Indonesia 58, 3 (2010), hal. 330-334; Michael Buehler, “Decentralisation and Local Democracy in Indonesia: The Marginalisation of the Public Sphere”, dalam Edward Aspinall dan Marcus Mietzner (eds.), Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (Singapore: ISEAS, 2010), hal. 267-285; Blane Lewis, “Tax and Charge Creation by Regional Governments under Fiscal Decentralization: Estimates and Explanations”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 39, 2 (2003), hal. 177-192; Michael S Malley, “New Rules, Old Structures and the Limits of Democratic Decentralisation”, dalam Edward Aspinall dan Greg Fealy (eds.), Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2003), hal. 102-116; Thomas B Pepinsky dan Maria M Wihardja, “Decentralization and Economic Performance in Indonesia” dalam Journal of East Asian Studies 11, 3 (2011), hal. 337-371.
17
senantiasa sangat berhati-hati dalam menyatakan keduanya akan menghasilkan hal-hal jelas positif dari segi keterwakilan atau kesejahteraan rakyat, di Indonesia atau di tempat lain.56 Karena itu, ekonomi-politik kritis tidak banyak membantu menggambarkan hasil desentralisasi Indonesia yang cukup mengecewakan. Sebaliknya, pemikiran mendalam yang ditawarkan analisis kritis soal upaya mempertahankan kekayaan dan elite predatoris bahwa pembaruan kelembagaan bisa mengubah karakter politik lokal tanpa menyingkirkan elite daerah yang menduduki posisi kekuasaan sebelum reformasi. Elite lokal tersebut “memiliki saham besar dalam hal lokalisasi kekuasaan, dan oleh karena itu demokratisasi dan desentralisasi,”57 namun tidak dalam hal representasi kerakyatan atau akuntabilitas. Bahkan, saya yakin para analis desentralisasi Indonesia paling skeptis sekalipun gagal menangkap arti penting argumen tersebut untuk Indonesia hari ini. Analisis pluralis konvensional tentang politik lokal sebagai ajang kompetisi berbagai kelompok kepentingan belum begitu banyak menawarkan daya tarik empiris dalam menganalisis beberapa topik penting mengenai politik lokal di Indonesia. Namun demikian, mengingat pluralisme kritis mempersoalkan mengapa suatu kepentingan harus atau tidak dapat diartikulasikan, mesti bergerak melampaui analisis satu-dua dimensi kekuasaan dan kepentingan, serta memperhatikan sejarah dan struktur sosial dengan sungguh-sungguh, maka pluralisme memberikan sebuah kerangka dasar yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana politik lokal meragam di seluruh Indonesia dan mengapa hal ini penting. Pertama-tama mengenai soal artikulasi kepentingan. Analisis pluralis konvensional di Indonesia gagal karena politik lokal di Indonesia pada umumnya tidak menyediakan forum bagi artikulasi kelompok kepentingan atau apa pun yang menyerupai kepentingan publik (dengan
asumsi
hal
semacam
itu
ada).
Namun,
sejumlah
kepentingan
dapat
diartikulasikan⎯dan memang terwakili—dalam beberapa konteks tertentu. Mengapa? Salah satu penjelasan bahwa kepentingan tersebut bisa terwakili adalah ketika elite ekonomi dan politik telah memiliki susunan tertentu, misalnya yang Christian von Lubke sebut sebagai “oligarki yang diperebutkan”, tempat elite lokal saling bersaing sewajarnya yang memungkinkan sejumlah kepentingan pribadi dapat mencari keterwakilan.58 Penjelasan lain 56
Michael Buehler, “Review of Nankyung Choi, Local Politics in Indonesia: Pathways to Power”, dalam Publius: The Journal of Federalism 42, 4 (2012), hal. e9; Marcus Mietzner, “Review of Vedi R Hadiz, Localising Power in Post- Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective”, dalam South East Asia Research 19, 3 (2011), hal. 669-672. 57 Hadiz, Localising Power…, hal. 88. 58 Christian von Lübke, “Striking the Right Balance. Economic Concentration and Local Government Performance in Indonesia and the Philippines”, dalam European Journal of East Asian Studies 11, 1 (2012), hal.
18
yang mungkin terjadi adalah elite lokal dapat memilih untuk mencari dukungan politik dari berbagai lapisan masyarakat, terkadang menjangkau dan merangkul serta melayani dan mewakili masyarakat miskin sebagaimana mestinya. 59 Kemungkinan lain, Ryan Tans memperlihatkan di tengah maraknya politik uang dalam pemilu daerah di Indonesia, masih dapat diidentifikasi beberapa jenis koalisi politik dalam berbagai konteks lokal: mafia, mesin, dan koalisi yang memobilisasi.60 Koalisi yang memobilisasi adalah yang paling kondusif bagi representasi kelompok kepentingan dalam corak pluralis, dan mesin lebih cenderung menyediakan barang-barang publik ketimbang mafia. Tans menunjukkan bahwa berbagai koalisi yang muncul dalam situasi yang berbeda sangat bergantung pada sumber daya, baik material maupun non-material, yang tersedia bagi politikus lokal. Berdasarkan pendekatan ini, setiap analisis terhadap politik uang yang mengabaikan sumber daya non-moneter yang dicurahkan politikus lokal, atau tujuan digunakannya sumber daya moneter, bakal gagal menangkap variasi itu.61 Langkah berikutnya dalam membangun dan mengembangkan program riset progresif berdasarkan analisis Ryan Tans adalah dengan menguraikan konsekuensi jenis koalisi tertentu terhadap penyusunan kebijakan dan hasil politik. Misalnya, koalisi yang memobilisasi kemungkinan besar dapat mengamankan barang-barang publik lebih banyak ketimbang mengerahkan mafia atau mesin, dan arus sumber daya keuangan mengalir ke konstituen dikombinasikan dengan upaya mobilisasi yang mengakui dan/atau menguatkan identitas dan kepentingan kelompok. Analisis berdasarkan tradisi pluralis semacam itu menekankan bahwa faktor-faktor penentu artikulasi kepentingan dalam politik lokal di Indonesia hanya terlihat dengan memperhatikan interaksi sumber daya material dan nonmaterial yang tersedia bagi politikus lokal. Karena itu, konsep interaksi menjadi sangat penting: menolak anggapan yang dipertahankan seorang sarjana materialis bahwa sumber daya non-material berada di luar ruang lingkup teorinya. Sebaliknya, arti penting sumber daya material senantiasa bergantung pada faktor non-material. Selain itu, dengan menetapkan ex ante faktor penentu jenis koalisi dan konsekuensi politik koalisi terhadap kebijakan dan hasil politik, penjelasan tersebut dapat dengan mudah difalsifikasi dan menjadi subjek analisis komparatif kritis. 17-44. “Oligarki” yang digunakan Von Lübke sebagai basis kerangka analitis tidak sama dengan istilah oligarki yang digunakan Winters, Robison, maupun Hadiz. 59 Andrew Rosser, Ian Wilson, dan Priyambudi Sulistiyanto, “Leaders, Elites, and Coalitions: The Politics of Free Public Services in Decentralised Indonesia”, Developmental Leadership Program Research Paper 16, 2011. 60 Lihat, Ryan Tans, Mobilizing Resources, Building Coalitions: Local Power in Indonesia (Honolulu: East West Center, 2012). 61 Tans, Mobilizing Resources, Building Coalitions…, hal. 56-57.
19
Semua analisis pluralis memperhatikan sejarah dan struktur sosial dengan serius, namun pluralisme kritis harus menggunakan sejarah dan struktur untuk membantu memahami mengapa kepentingan gagal terartikulasi. Hal ini dalam konteks desentralisasi di Indonesia berarti menelisik warisan pemerintahan otoriter dan bagaimana semua itu membentuk sekaligus memengaruhi sumber daya dan strategi yang tersedia bagi para aktor politik lokal. Michael Buehler mengamati bahwa reformasi dan akuntabilitas telah dilumpuhkan oleh fakta sederhana bahwa elite lama tetap mendominasi politik lokal di era desentralisasi.62 Kenyataan demikian selaras dengan pendekatan oligarkis terhadap ekonomipolitik lokal, namun tidak menunjukkan teori apapun. Hal tersebut justru mencerminkan kesinambungan negara Indonesia yang tiada terputus,63 meminjam langgam bahasa Benedict Anderson, “mengekskresi … orang-perorang dalam sebuah proses berkelanjutan, sering kali dalam kurun waktu panjang”. 64 Hal lain yang kian merumitkan analisis ini adalah heterogenitas di kalangan elite Orde Baru, kategori yang secara deskriptif cukup sederhana namun luas dan sulit dipakai secara konseptual justru karena rezim Orde Baru sudah terlampau meresap di ruang publik dan kehidupan berasosiasi. Hal ini membuat hampir semua elite pasca-Orde Baru ternoda akibat keterkaitan dengan rezim Orde Baru, terlepas dari latar belakang atau kepentingan atau sumber daya atau tindakan mereka di era pascaSoeharto.65 Pendekatan pluralis mengakui kehadiran elite lama warisan Orde Baru di setiap pemilu daerah tidak memberikan banyak informasi tentang apa yang telah dilakukan atau bagaimana kehadiran mereka memengaruhi kebijakan atau politik lokal. Mungkin saja para elite warisan Orde Baru tidak tanggap akan gagasan artikulasi kepentingan karena tersosialisasi dalam model pengelolaan kepentingan yang bersifat korporatis. Mungkin saja elite warisan Orde Baru itu memiliki akses yang berbeda terhadap sumber daya material, sehingga membuat mereka merasa tidak perlu mewakili kepentingannya demi menjamin kelangsungan hidup politik masing-masing. Mungkin saja beberapa jenis elite lama peninggalan Orde Lama tidak bertindak dengan cara yang sama: politikus seumur hidup barangkali berbeda dengan birokrat yang beralih rupa menjadi politikus. Selain terhadap 62
Tentang latar belakang politik dan administratif calon anggota legislatif untuk pemilu tingkat provinsi; lihat, Buehler, “Decentralisation and Local…”; Marcus Mietzner, “Local Democracy: Old Elites are Still in Power, but Direct Elections Now Give Voters a Choice”, dalam Inside Indonesia 17(2006), hal. 17-18. Pola tersebut, berdasarkan data mentah, tampaknya mirip dengan pemilu di tingkat kabupaten; Michael Buehler, percakapan pribadi, Januari 2013. 63 Buehler, “Decentralisation and ….” 64 Benedict R O'G Anderson, “Old State, New Society: Indonesia's New Order in Comparative Historical Perspective”, dalam Journal of Asian Studies 42, 3 (1983), hal. 478. 65 Lihat juga Tans, Mobilizing Resources, Building Coalitions…, hal. 56-57.
20
ragam pemerintahan lokal di seluruh daerah, argumen-argumen tersebut juga mengandung implikasi yang berbeda bagi masa depan reformasi. Masing-masing argumen mengakui warisan sejarah Orde Baru sebagai hal sangat mendasar untuk memahami politik lokal kontemporer. Tidak satu pun kemungkinan tersebut mengikuti pendekatan oligarkis atau berasal dari pengamatan bahwa reforma desentralisasi tidak serta-merta menyingkirkan elite Orde Baru dari panggung politik lokal. Arahan terakhir bagi analisis pluralis kritis terhadap politik lokal di Indonesia era desentralisasi adalah bagaimana mengatasi konsepsi kekuasaan yang bersifat satu dan dua dimensi. Dimensi ketiga kekuasaan dari Lukes adalah kekuatan untuk membentuk bagaimana yang lain bisa memahami kepentingannya sendiri yang sangat penting bagi analisis pluralis karena menolak asumsi bahwa kepentingan tersebut memang “nyata”, meski diyakini demikian oleh pihak tertentu yang mengklaim bertindak berdasarkan kepentingan itu. Argumen demikian memiliki konsekuensi metodologis terhadap setiap analisis konflik politik dan kekuasaan yang diterapkan sama bagi pluralisme maupun pendekatan materialis apapun dalam analisis sosial, termasuk oligarki.66 Bagi analisis pluralis, tantangan terbesar adalah mekanisme artikulasi kepentingan bisa saja dirusak oleh tindakan disengaja kaum oligark dan para elite, yang mungkin tidak bertindak secara langsung, dengan menghantam serikat buruh atau memenjarakan para aktivis dan pelopor gerakan lainnya, tetapi secara tidak langsung menciptakan kondisi dominasi (ideologis atau struktur) yang memastikan kelompokkelompok yang berpotensi membentuk asosiasi kepentingan bersama meragukan hal semacam itu mungkin atau patut diperjuangkan.67 Fenomena tersebut telah lama menjadi perhatian para pakar ekonomi politik kritis⎯ini merupakan inti dari perdebatan panjang tentang dominasi ideologi dan konflik 66
Kritik Lukes menyingkap adanya perbedaan halus dalam pemahaman tentang kekuasaan dan kepentingan di antara Jeffery Winters dengan Vedi Hadiz dan Richard Robison. Winters secara eksplisit memahami kekuasaan dari sisi pendekatan “sumber daya kekuasaan”; lihat, Winters, Oligarchy, hal. 6. Pendekatan ini bermaksud mengatasi perdebatan seputar sifat-dasar kekuasaan yang berakar pada tradisi behavioralis, sehingga dimensi ketiga kekuasaan tak lain sekadar, “strategi tak langsung penyebaran sumber daya kekuasaan rasional”; Walter Korpi, “Power Resources Approach vs. Action and Conflict: On Causal and Intentional Explanations in the Study of Power”, dalam Sociological Theory 3, 2 (1985), hal. 41. Namun, pendekatan sumber daya kekuasaan membuat klaim kausal semakin jelas dan langsung mengenai hubungan antara kekuatan Kiri dan hasil-hasil kepentingan seperti perkembangan negara kesejahteraan; lihat Walter Korpi, “The Power Resources Approach”, dalam Christopher Pierson dan Francis G Castles (eds.), The Welfare State Reader (Cambridge: Polity Press, 2006), hal. 76-88. Bahkan, salah satu implikasi logis dari pendekatan sumber daya kekuasaan adalah mustahil mempelajari kekuasaan salah satu jenis aktor dalam keterpencilan, karena hasilnya sangat tergantung pada distribusi kekuasaan relatif di antara para aktor (bagi Korpi: antarkelas). Vedi Hadiz dan Richard Robison tidak seperti Jeffery Winters. Mereka tidak begitu tertarik dengan teori sumber daya kekuasaan. 67 Tentu saja, seluruh poin kritik Lukes bahwa kepentingan terpendam itu tidak pernah dapat diamati membuat tugas mempertalikan kepentingan (sebagaimana konsep kekuasaan) menjadi “niscaya selalu diperebutkan”; Lukes, Power…, hal. 124, 144-151.
21
kelas di negeri-negeri demokrasi kapitalis 68 ⎯dan pendekatan pluralisme kritis harus “menangani” hal itu dengan sungguh-sungguh. Namun pluralisme kritis adalah sebuah kerangka bagi penjelasan sosial dan usaha pokok saat kerangka ini diterapkan di Indonesia adalah meneoretisasi penggunaan kekuasaan (dengan segala dimensinya) dalam rupa yang bisa menjelaskan variasi artikulasi kepentingan yang melintasi ruang dan waktu. Tugas semacam ini dapat diilustrasikan dalam konteks ekstraksi sumber daya alam Indonesia di era desentralisasi. Eksploitasi sumber daya alam oleh kaum oligark lumrah terjadi di seluruh Nusantara. Sampai sekarang, meski kepentingan bersama kaum oligark bisa meredam (atau menekan bahkan mengganyang) resistansi masyarakat lokal terhadap eksploitasi sumber daya, politik perlawanan lokal terlihat cukup kental dan bervariasi. Resistansi terhadap perusakan hutan dan pengembangan usaha perkebunan besar di Papua biasa memakai bahasa pendudukan kolonial dan perjuangan bersenjata yang tidak ada di Kalimantan.69 Bagi para pengeruk sumber daya alam di Papua, ini memerlukan praktik yang amat berbeda—meski kekerasan, pemaksaan, uang suap, dan dominasi selalu hadir dalam berbagai bentuk di kedua konteks itu. Alasan perbedaan “perlakuan” terhadap Papua dan Kalimantan dalam hal ini cukup jelas. Poin teoretisnya adalah bahwa setiap analisis kritis terhadap ekstraksi sumber daya di Indonesia dewasa ini tidak bisa dibatasi hanya pada kepentingan elite ekonomi atau kaum oligark semata. Para aktor penguasa ekonomi dengan kekayaan dan sumber daya material nyaris tak tertandingi itu akan selalu mencoba memengaruhi pemahaman masyarakat lokal sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi strategi yang harus ditempuh untuk melakukan hal itu diperkirakan sangat beragam. Penyelidikan tersebut selaras di dalam lingkup tradisi pluralis. Tidak satu pun sarjana yang bergelut dengan tradisi oligarkis akan menyangkal bahwa ada variasi penting dalam konteks politik lokal dan penyusunan kebijakan di Indonesia. Vedi Hadiz sendiri menganalisis bagaimana politik lokal telah berkembang begitu jauh di pelbagai kabupaten. Namun, baik analisis maupun aparatus teori oligarki, tidak menyediakan kerangka untuk membangun penjelasan tentang mengapa atau bagaimana politik bisa beragam. Pengamatan historis bahwa ragam politik merupakan hasil dari kondisi setempat tentu saja tidak dapat difalsifikasi saat diungkapkan seperti itu. Hal demikian juga tidak tepat. Faktor 68
Lihat, Antonio Gramsci, Selections from the Prison Notebooks, diterjemahkan oleh Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell Smith (New York: International Publishers, 1971). 69 Bandingkan dengan Longgena Ginting dan Oliver Pye, “Resisting Agribusiness Development: The Merauke Integrated Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia”, dalam ASEAS⎯Austrian Journal of South-East Asian Studies 6,1 (2013), hal. 160-182; dan Leslie Potter, “Dayak Resistance to Oil Palm Plantations in West Kalimantan, Indonesia”, Dipresentasikan pada the 17th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia, Melbourne, 1-3 Juli 2008; lihat, http://artsonline.monash.edu.au/mai/files/2012/07/lesleypotter.pdf.
22
mana, dalam kondisi apa, menjelaskan keragaman politik lokal seperti apa, dan dengan konsekuensi seperti apa? 70 Analisis berdasarkan tradisi pluralis tentunya tidak harus mengikuti sosiologi pluralis konvensional yang mendefinisikan politik lokal sebagai persaingan kelompok kepentingan, namun sebaiknya semua analisis tersebut dipergunakan sebagai bahan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Kesimpulan Esai ini menelusuri perkembangan pluralisme sebagai kerangka analisis komparatif konflik politik di Indonesia. Kritik tajam pluralisme konvensional terhadap ilmu politik Atlantik Utara sejak pertengahan abad ke-20 membuat sebagian besar tradisi pluralis dicampakkan sebagai paradigma atau proyek teori besar dalam politik komparatif, namun tradisi tersebut tetap bertahan dalam analisis politik distribusional. Diperlihatkan lebih lanjut bahwa pluralisme kritis menyediakan sebuah kerangka yang berguna untuk memahami politik Indonesia, juga mengakui adanya ketimpangan mencolok dalam hal kekayaan material dan kekuasaan politik yang mewarnai Indonesia pasca-Soeharto. Argumen ini menampik tipologi teori yang saya sebut “pluralisme yang dimodifikasi” terhadap ekonomi-politik Orde Baru dengan memberikan penekanan khusus pada penjelasan kausal sebagai tugas utama studi politik Indonesia. Argumen ini menantang pendekatan politik Indonesia yang menekankan oligarki sebagai kerangka analitis utama. Mengulang kembali titik ketegangan yang diuraikan di atas, tantangannya bukan pada definisi oligarki yang dikemukakan Winters sebagai politik mempertahankan kekayaan dan konseptualisasinya tentang bagaimana ragam oligarki melintas ruang dan waktu, dan juga bukan pada pandangan Hadiz dan Robison bahwa elite penguasa bisa bertahan dalam era demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia dengan memanfaatkan tatanan kelembagaan baru untuk melindungi kepentingan mereka. Sebaliknya, pluralisme kritis justru menggugat kapasitas penjelas kerangka tersebut. Ketika menelaah kembali isu-isu utama yang dihadapi para sarjana yang mengkaji kekayaan material dan konflik politik di Indonesia kontemporer⎯krisis keuangan 1997-1998 dan tumbangnya Orde Baru, politik uang dan kesinambungan elite dalam pemilu lokal, eksploitasi sumber daya 70
Salah satu kontras menarik yang digambarkan dengan sangat baik, tetapi tidak berteori secara eksplisit, adalah perbedaan keberhasilan politik sejumlah preman dan bajingan di Jawa Timur dan Sumatera yang berkuasa sejak masa Orde Baru. Di Jawa Timur, “bekas penegak Orde Baru itu khususnya kurang berhasil terjun ke dalam politik lokal ketimbang rekan sejawat mereka di Sumatera Utara”; Hadiz, Localising Power…, hal. 116. Beberapa penjelasan atas kegagalan dan keberhasilan relatif sejumlah kandidat dalam bahasan ini mencakup kekuatan organisasi tradisional Nahdlatul Ulama di Jawa Timur (yang mampu mengatasi persaingan di kalangan preman lokal dengan mengubah keseimbangan kekuasaan kelompok-kelompok paramiliter), perbedaaan riwayat geng-geng pemuda di Medan versus Surabaya, serta beragam jenis keterlibatan militer dalam dunia kriminal; lihat, Hadiz, Localising Power…, hal. 133-142 khususnya hal. 139-140.
23
alam, dan sebagainya⎯saya menunjukkan beberapa keterbatasan pendekatan oligarki sebagai kerangka analisis dan kegunaan pendekatan pluralis kritis. Topik-topik tersebut justru merupakan bidang garapan pendekatan berbasis oligarki yang bertaut erat dengan imbas kekayaan material (dan ketimpangan distribusi sangat luar biasa) terhadap politik Indonesia seharusnya yang paling berguna. Bahwa pendekatan oligarki tidak menyediakan kerangka analitis untuk menjelaskan persoalan tersebut seharusnya dilihat sebagai sebuah tantangan bagi mereka yang mengandalkan oligarki sebagai lensa utama saat berusaha memahami kasus Indonesia. Hal ini juga berimplikasi pada kegunaan komparatif dari tesis-tesis oligarki. Pluralisme kritis tidak hanya “menggugat” oligarki dengan memberikan penjelasan tandingan⎯bersumber dari perhatian seksama terhadap kebijakan sebagai objek utama kontestasi⎯terkait isu-isu fundamental dalam politik Indonesia. Pluralisme kritis juga menyertakan praktik produksi pengetahuan tandingan di mana tugas penjelasan kausal menjadi pelengkap bagi deskripsi teoretis dan pengembangan konseptual. Penjelasan kausal membutuhkan sejumlah teori yang mengaitkan variabel kausal dengan hasil kepentingan di dalam ruang lingkup yang jelas dan menghasilkan argumen yang dapat difalsifikasi. Dalam hal ini, pluralisme kritis yang saya paparkan dalam risalah ini berisi pernyataan preskriptif tentang bagaimana seharusnya menganalisis kekuasaan, konflik, dan ketimpangan material di Indonesia. Ini bukan hanya soal pluralisme kritis menafsirkan politik Indonesia secara berbeda dibanding pendekatan lain. Lebih dari itu, studi politik Indonesia harus mengikuti kemajuan disiplin ilmu-ilmu sosial yang lebih luas dan memakai peralatan lebih canggih untuk menimbang pendekatan dan perspektif yang saling bersaing. Seharusnya kesimpulan ini tidak mengaburkan kesamaan antara tradisi pluralis dengan pendekatan oligarkis. Saya telah mengemukakan di tempat lain bahwa pendekatan ekonomi-politik kritis Vedi Hadiz, Richard Robison, dan sarjana lainnya dalam “mazhab” Murdoch memiliki wawasan mendasar yang mirip dengan pendekatan paling rasional terhadap institusi dalam ilmu politik. 71 Pandangan atau wawasan itu adalah bahwa kepentingan, bukan institusi, merupakan kunci semua penjelasan politik dan penyusunan kebijakan yang koheren. Sebuah program riset progresif yang mengupas landasan sosial ekonomi-politik Indonesia akan dibangun berdasarkan perspektif yang sama tentang asalmuasal perseteruan politik itu. Program tersebut juga akan memperhatikan dengan sungguh 71
Thomas B Pepinsky, “The Institutional Turn in Comparative Authoritarianism”, dalam British Journal of Political Science (akan terbit). Versi awal esai tersebut berjudul “Rochester and Murdoch in Kuala Lumpur.” Bandingkan dengan kritik institusionalisme naif dalam Vedi R Hadiz, “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives”, dalam Development and Change 35, 4 (2004), hal. 697-718.
24
sungguh tugas menyusun penjelasan yang dapat menunjukkan kegunaan penjelasan berbasis kepentingan untuk menangkap banyaknya variasi dalam konflik politik dan hasil-hasil kebijakan dalam masyarakat yang tidak setara seperti di Indonesia.*** BIODATA Thomas B Pepinsky adalah Guru Besar Madya (associate professor) Department of Government (sejak 2013) dan anggota the Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat. Guru Besar Muda (assistant professor) Ilmu Politik (2007-2008), University of Colorado-Boulder, ini juga menjabat Wakil Direktur Cornell Modern Indonesia Project. Memperoleh gelar PhD dari Yale University (Mei 2007). Penelitiannya terpusat di sekitar dua tema: hubungan antara kepentingan ekonomi dan hasil politik serta interaksi antara politik domestik dan ekonomi global. Penulis buku Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes (2009) dan penyunting buku (bersama Michele Ford) Beyond Oligarchy? (segera terbit) ini tengah memusatkan penelitian tentang politik keuangan negara-negara berkembang, otoritarianisme dan kelangsungan hidup rezim, serta politik Islam di Indonesia. Dia mengajar mata kuliah perbandingan politik, ekonomi-politik internasional, serta politik dan ekonomi-politik Asia. Selain mempelajari perbandingan politik dan ekonomi politik, terutama di negara-negara berkembang, dia juga tertarik dengan soal membangun penjelasan dan menyarikannya dalam ilmu-ilmu sosial.
25