PLURALISME DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA: Menggugat Ketidakberdayaan Sistem Pendidikan Agama Kautsar Azhari Noer Beberapa tahun yang lalu, kepada orang-orang asing yang datang ke Indonesia, kita masih dapat membanggakan bahwa kita sebagai bangsa yang plural secara etnik, kultural dan keagamaan dapat menciptakan serta memelihara kerukunan antar-etnik dan antar-agama. Kerukunan antar-etnik dan antar-agama itu dibarengi oleh kebangkitan agama-agama, terutama kebangkitan Islam yang ditandai oleh syi’arnya yang semarak. Tetapi kerukunan yang kita banggakan itu dikejutkan--- dan sekaligus diuji --- oleh banyak kerusuhan yang terjadi sejak 1996 sampai sekarang. Pluralisme menjadi terancam dan persatuan bangsa menjadi kerkoyak-koyak. Terlepas dari berbagai analisis tentang apakah akar konflik-konflik sosial itu terletak pada wilayah politik, sosial, budaya, atau agama, tidak salah jika wilayah pendidikan, khususnya pendidikan agama, mulai dipersoalkan banyak orang. Ketidakberdayaan sistem pendidikan agama wajar digugat. Ketika pluralisme tidak dihargai banyak orang di Indonesia, apa yang salah dengan --- dan dalam --- sistem pendidikan agama? Apakah pendidikan agama selama ini sia-sia tanpa pengaruh terhadap anak didik? Pendidikan agama macam apakah yang mampu menumbuhkan sikap menghargai pluralisme? Melalui pendidikan agama, nilai-nilai apa yang perlu ditumbuhkan pada anak didik agar ia menghargai pluralisme? Pluralisme Versus Ekslusivisme Sebelum pertanyaan-pertanyaan ini dijawab, ada baiknya pembicaraan tentang arti pluralisme dan persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya dimulai terlebih dahulu. “Pluralisme” dan “pluralitas” adalah dua kata yang sering dipakai secara bergantian tanpa ada penjelasan tentang apakah dua kata ini mempunyai arti yang sama atau berbeda. Ada kalanya pluralisme dan pluralitas mempunyai arti yang sama, yaitu keadaan yang bersifat plural, jamak atau banyak.1 Dalam tulisan ini, untuk menghindari kerancuan arti, pluralisme harus dibedakan dengan pluralitas. Pluralisme, karena itu, bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Pluralisme bukan pula sekedar pengakuan bahwa keadaan atau fakta seperti itu memang ada dalam kenyataan. Pluralisme adalah suatu sikap yang mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak itu. Pluralisme di sini dapat pula berarti kebijakan atau politik yang mendukung pemeliharaan kelompok-kelompok yang berbeda-beda asal etnik, pola budaya, agama, dan seterusnya.2 Dalam konteks Teologi agama-agama, pluralisme mengacu kepada teori atau sikap bahwa semua agama, meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju kepada satu tujuan yang sama: Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang hollygious! 1
Webster’s New World Dictionary of American English, Third College Edition (Cleveland & New York: Webster’s New World, 1998), hal. 1040; The New Collins International Dictionary of the English Language (Singapore: William Collins & Graham Brash, 1983), hal. 872. 2 Webster’s New World Dictionary of American English, hal. 1040; The New Collins International Dictionary of the English Language, hal. 872.
Pluralitas etnik, kultural, keagamaan, dan lain-lain di mana pun di dunia ini adalah fakta yang tidak mungkin diingkari karena pluralitas itu hukum alam. Mengingkari pluralitas adalah mengingkari hukum alam. Yang menjadi persoalan bukan pluralitas itu sendiri, yang menjadi persoalan adalah bagaimana sikap kita terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembangkan pluralitas itu? Apakah masing-masing kita toleran terhadap dan hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan orang lain atau kelompok lain yang berbeda etnik, kultur, agama dan seterusnya? Apakah masing-masing kita harus membenci dan memusuhi orang lain atau kelompok lain karena orang itu atau kelompok itu berbeda etnik, kultur dan agama? Etnik atau ras seseorang bukan ditentukan oleh pilihannya, tetapi ditentukan oleh keturunannya. Apakah adil, atau bermoral jika kita membenci seseorang karena etniknya, yang bukan pilihannya itu, berbeda dengan etnik kita? Salah satu pedoman untuk memperlakukan, bertingkah laku, atau bersikap terhadap orang lain adalah apa yang kita rasakan ketika orang lain berbuat yang serupa kepada kita. Perlakuan yang baik bagi diri kita adalah baik bagi orang lain. Perlakuan yang buruk bagi diri kita adalah buruk bagi orang lain. Apabila kita dibenci dan dimusuhi oleh orang lain karena etnik kita, meskipun di antara kelompok etnik kita ada yang berbuat tidak benar, perlakuan orang itu adalah buruk dan tidak bermoral. Karena itu, apabila seseorang atau sekelompok orang kita benci dan musuhi karena etnik orang itu atau kelompok itu, meskipun di antara kelompok etnik itu ada yang berbuat tidak benar, perlakuan kita itu adalah buruk dan tidak bermoral. Perbuatan yang tidak benar dan tidak adil itu masih tetap terjadi di mana-mana di dunia ini. Kebencian terhadap etnik tertentu di Serbia, di Kosovo, dan juga di Indonesia, adalah sikap tidak bermoral yang tidak menghargai pluralitas etnik. Agama yang dianut seseorang, pada umumnya, bukan pula ditentukan oleh pilihannya. Agama saya adalah Islam. Saya menganut Islam bukan karena pilihan, tetapi karena keturunan, karena kedua orangtua saya menganut Islam, karena sanak keluarga, tetangga dan masyarakat di lingkungan saya dilahirkan dan dibesarkan menganut Islam. Sejak kecil saya didik secara Islam; waktu baru lahir suara azan diperdengarkan pada telinga saya, saya diajarkan salat dan mengaji. Saya tidak menyesal menganut Islam. Sebaliknya, saya bangga menganut Islam dan berusaha meningkatkan pemahaman, penghayatan dan pengamalan saya akan Islam. Apa yang terjadi pada diri saya, atau apa yang saya alami, tentu juga terjadi, atau dialami, oleh banyak orang Muslim. Andai kata, saya dilahirkan di Israel dan kedua orang tua saya adalah Yahudi, hampir pasti saya akan jadis eorang Yahudi; andai kata saya dilahirkan di Spanyol dan kedua orangtua saya adalah Kristen, hampir pasti saya akan jadi seorang Kristen; andai kata saya dilahirkan di India dan kedua orangtua saya adalah Hindu, hampir pasti saya akan jadi seorang Hindu; andai kata saya dilahirkan di Thailand dan kedua orangtua saya adalah seorang Buddhis, hampir pasti saya akan jadi seorang Buddhis; tetapi saya dilahirkan di Indonesia, persisnya di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatera Barat, dan kedua orangtua saya adalah Muslim, dan saya, tentu saja dapat diketahui, adalah seorang Muslim.3 Karena saya dilahirkan di tempat orang-orang Sunni dan kedua orangtua saya adalah Sunni, tentu saja saya adalah seorang Sunni. Sejak kecil, Islam yang saya pahami adalah Islam yang mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang membawa keselamatan. Orang yang tidak menganut Islam pasti akan masuk neraka. Dengan demikian, saya memegang sikap eksklusivisme. Sejak pertengahan 1980-an, mungkin karena banyak mempelajari agama-agama lain dan tasawuf, saya mulai meninggalkan sikap eksklusivisme dan beralih kepada sikap pluralisme. Saya berdoa kepada Tuhan semoga saya selalu ditunjukkan jalan yang lurus dan benar di mata Tuhan. Ada beberapa sebab yang menimbulkan sikap eksklusivisme pada seseorang. Salah satu sebab itu adalah sifat agama yang dogmatis yang diterimanya sejak kecil yang mengajarkan bahwa 3
Pernyataan ini senada dengan dan diilhami oleh pernyataan John H. Hick dalam karyanya Philosphy of Religion, Second Edition (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1979), hal. 119.
agama yang dianutnya itu adalah satu-satunya agama yang benar dan satu-satunya agama yang membawa keselamatan. Sebab lain adalah suasana hidup dalam masyarakat yang hanya terdiri dari satu kelompok agama. Orang yang hidup dalam masyarakat seperti itu tidak pernah bergaul dengan orang lain dari kelompok agama lain. Terkait dengan sebab kedua adalah sebab ketiga, yaitu tidak pernah mengenal atau mempelajari agama lain. Sebaliknya, sikap pluaralisme dapat lebih mudah muncul dalam agama yang tidak dogmatis dan tidak terlembaga, yang mengajarkan banyak jalan menuju Yang Absolut. Sebab lain yang dapat menimbulkan sikap pluralisme adalah suasana hidup bergaul dengan berbagai kelompok agama yang berbeda. Sikap pluralisme dapat pula muncul karena pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang agama-agama lain. Seminar atau diskusi yang kita hadiri dipandang sebagai dialog antar-agama atau dialog antar-iman. Pelaku-pelaku dialog antar-agama adalah orang-orang beragama, dan karena itu, dialog ini adalah dialog antara orang-orang beragama atau dialog antar-umat beragama. Pelaku-pelaku dialog antar-iman adalah orang-orang beriman, dan karena itu, dialog ini adalah dialog antar orangorang beriman atau dialog antar-umat beriman. Mari kita renungkan siapa sebenarnya pelakupelaku dialog. Jika masing-masing peserta dialog ini adalah seorang eksklusivis, tentu peserta lain yang tidak seagama dengannya akan dia pandang sebagai orang kafir atau orang yang tidak beriman dan akan masuk neraka. Maka dari sudut pandangan peserta itu, yang memandang dirinya sebagai orang beriman, dialog yang dilakukannya itu bukan dialog antar orang-orang beriman, tetapi adalah dialog antar orang beriman dan orang kafir. Dapat juga dikatakan bahwa dialog itu adalah “dialog antara orangorang kafir” karena masing-masing orang atau kelompok agama memandang lawan dialog mereka sebagai orang kafir. Dialog itu dapat disebut dialog antara orang-orang beriman jika semua peserta adalah kaum pluralis, yang memandang bahwa semua lawan dialog mereka adalah orang-orang beriman. Seorang eksklusivis cenderung berusaha untuk memonopoli kebenaran, cenderung tertutup, tidak mau mendengarkan dan memahami orang lain, dan cenderung bersikap otoriter. Sikap memonopoli kebenaran, pada gilirannya membuat seorang eksklusivis merasa dirinya mempunyai hak istimewa untuk menentukan mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana aliran yang benar dan mana aliran yang sesat, mana yang disebut agama dan mana yang tidak dapat disebut agama, dan mungkin siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka. Sikap sekelompok orang Muslim tertentu di Indonesia belum lama ini yang memandang Syi’ah sebagai aliran sesat dan, Karena itu, tidak berhak hidup di Indonesia, adalah salah satu contoh empiris sikap memonopoli kebenaran. (Tentu juga harus dicatat bahwa orang-orang yang dipandang sebagai pengikut Syi’ah di Indonesia menunjukkan sikap yang tidak berkenan bagi saudara-saudara mereka non-Syi’I yang mayoritas). Sikap pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru terhadap Konfusianisme (agama Konghucu) bahwa Konfusianisme bukan agama adalah contoh lain sikap memonopoli kebenaran, hak untuk menentukan apa yang disebut agama. Sikap saling mencurigai, saling membenci, dan saling memusuhi antar-umat beragama di Indonesia, meskipun lebih banyak ditimbulkan oleh faktor politik, tidak terlepas dari sikap eksklusivisme yang bersifat teologis. Jelas sekali bahwa sikap ini mengganggu hubungan harmonis antara umat beragama dan merusak kehidupan sosial dan politik di negeri ini. Ketika agama “dimanfaatkan” untuk (atau mungkin juga “memanfaatkan”) kepentingan politik, maka akibat dari sikap saling mencurigai, saling membenci, dan saling memusuhi, semakin memperburuk kehidupan sosial dan politik suatu bangsa. Inilah yang terjadi sekarang di Indonesia. Saya akan memberikan beberapa contoh sikap saling mencurigai antar-umat beragama di Indonesia. Saya mendengar seorang Kristen di tahun 1980-an, saat menyaksikan kampanye Partai Persatuan Pembangunan di Lapangan Sepak Bola PSPT Tebet Timur, Jakarta, mengatakan bahwa umat Kristen di Indonesia akan ditindas jika Partai Persatuan Pembangunan menang dalam pemilihan umum. Sebelum Sidang Umum MPR pada Maret 1998, kita menyaksikan orang-orang Muslim yang mengkampayekan B.J. Habibie sebagai calon wakil presiden dari umat Islam (yang diharapkan menjadi presiden setelah Soeharto turun – sekarang memang ia menjadi presiden
(sementara) karena dia adalah orang ICMI dan dekat dengan umat Islam. Para pendukung Habibie ini mengingatkan agar menolak Try Sutrisno karena dia adalah orang yang dekat dengan Benny Moerdani orang Kristen yang dianggap bertanggung jawab atas “Peristiwa Tanjung Priok” yang menelan banyak korban: orang-orang Muslim. Salah satu sebab Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais kurang berkenan di hati banyak orang dari umat Islam adalah masuknya beberapa nama non-Muslim dalam Pengurus PAN, seperti Christianto Wibisono dan Th. Sumartana. Banyak orang Muslim memprotes dominasi jumlah calon legislatif non-Muslim dalam PDI Perjuangan. Kontak-kontak historis masa lalu antara umat Kristen dan umat Islam yang diwarnai oleh pengalaman pahit dan memilukan meninggalkan luka dalam yang sulit dihilangkan. Pengalaman Perang Salib antara umat Kristen dan umat Islam; pengusiran umat Islam dari Spanyol oleh penguasa-penguasa Kristen, ekspansi daerah kekuasaan Islam di Semenanjung Balkan, Eropa, oleh Turki Usmani; konflik berdarah antara umat Islam dan Kristen di Eritrea, Afrika; penjajahan Belanda yang Kristen terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam; perang saudara antara umat Islam dan umat Kristen di Filipina Selatan; perang saudara antara umat Islam dan umat Kristen di Bosnia; konflik berdarah antara kaum separatis keturunan Albania yang mayoritas umat Islam dan orang-orang Serbia yang Kristen di Kosovo, Yugoslavia; itu semua adalah pengalaman buruk yang meninggalkan luka dalam bagi umat Kristen dan umat Islam. Orang-orang Muslim sering mendapat kesan bahwa orang-orang Kristen selalu hidup dengan rasa damai dan tenteram di Negara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Muslim. Indonesia adalah salah satu contoh Negara yang mayoritas penduduknya adalah orangorang Muslim yang sangat toleran kepada orang-orang Kristen sehingga orang-orang Kristen dapat hidup dengan rasa tenang dan tenteram. Orang-orang Muslim sering mendapat kesan bahwa orangorang Muslim selalu hidup tertindas dan tersiksa oleh orang-orang Kristen di Negara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kristen. Salah satu bukti yang sering disebutkan adalah penindasan orang-orang Kristen terhadap orang-orang Muslim di Filipina Selatan di Negara yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Kristen. Baru-baru ini rasa tidak aman dan terancam yang dialami oleh umat Islam di Timor Timur, karena perlakuan yang tidak adil dan menakutkan yang mereka terima dari orang-orang Kristen di propinsi termuda itu, adalah bukti lain yang ditunjukkan oleh orang-orang Muslim. Demikian pula orang-orang Kristen. Di mata orang-orang Kristen, orang-orang Muslim mempunyai citra buruk karena sikap mereka yang tidak toleran kepada orang-orang Kristen. Di antara bukti-bukti yang mendukung cerita itu di Indonesia adalah kesulitan yang dialami oleh orang-orang Kristen untuk mendirikan tempat ibadah di daerah-daerah tertentu dan pembakaran atau perusakan gereja yang dilakukan oleh orang-orang Muslim di Situbondo dan Tasikmalaya. Orang-orang Muslim sering menuduh bahwa orang-orang Kristen tidak toleran terhadap orang-orang Muslim. Begitu pula orang-orang Kristen sering menuduh bahwa orang-orang Muslim tidak toleran terhadap orang-orang Kristen. Hubungan antara dua komunitas keagamaan ini lebih banyak didominasi oleh sikap-sikap saling mencurigai, saling membenci dan saling memusuhi. Secara jujur harus kita akui bahwa di antara orang-orang Kristen di dunia ini pasti ada yang tidak toleran terhadap orang-orang Muslim dan begitu pula di antara orang-orang Muslim pasti ada yang tidak toleran terhadap orang-orang Kristen. Tetapi secara jujur pula harus kita akui bahwa banyak orang Kristen toleran dan bersahabat dengan orang-orang Muslim dan banyak orang Muslim toleran dan bersahabat dengan orang-orang Kristen. Pendidikan Agama: Beberapa Kelemahan dan Usul Pemecahannya Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan di Indonesia beberapa tahun terakhir yang melibatkan sentiment keagamaan patut mengundang gugutan terhadap ketidakberdayaan pendidikan agama. Apa yang salah dengan sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membedakan “pendidikan” dengan “pengajaran”. Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Pengajaran dapat dikatakan sebagai proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai-nilai kepada anak didik dan pembentukan kepribadiannya dengan segala aspek yang dicakupnya. Pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan “tukang-tukang”
atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit, yang karena itu, perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis. Azyumardi Azra, seorang pemikir Muslim Indonesia dewasa ini, menegaskan bahwa perbedaan antara pendidikan dan pengajaran terletak pada penekanan pendidikan terhadap pembentukan kesadaran dan kepribadian anak didik disamping transfer ilmu keahlian. Dengan proses semacam ini, suatu bangsa atau Negara dapat mewariskan nilai-nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, sehingga mereka betul-betul siap menyongsong kehidupan.4 Dengan demikian, pendidikan mengandung arti “pembimbingan” dan “pengajaran” sekaligus; pendidikan mengandung keduanya, sedangkan pengajaran mengandung hanya yang terakhir. Maka pendidikan dapat pula diartikan sebagai proses pembimbingan manusia seutuhnya: kalbu dan akalnya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Pendidikan dengan totalitasnya dalam arti ini meliputi semua jenis pendidikan: “informal”, “formal”, dan “nonformal”.5 Kegagalan sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini tampaknya terletak pada kenyataan bahwa proses yang terjadi dalam pendidikan tidak lebih dari sekedar pengajaran. Pendidikan yang berlangsung di negeri ini lebih menekankan proses transfer ilmu dan keahlian; dan proses ini pun jauh dari pencapaian yang memadai. Pendidikan di Indonesia selama ini lebih mementingkan proses peningkatan kemampuan akal, jasmani dan keterampilan, dan kurang memperhatikan proses peningkatan kualitas kalbu, rohani dan akhlak. Akibatnya adalah bahwa kerusakan akhlak anak didik tidak dapat dihindari. Peristiwa-peristiwa kriminal dan amoral di tanah air kita meningkat, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Kegagalan sistem pendidikan semacam ini terletak pada kegagalan sistem pendidikan humaniora, yang meliputi agama, filsafat, bahasa dan sastra, seni dan sebagainya. Wilayah humaniora memang termasuk dalam ruang lingkup sistem pendidikan kita, tetapi menjamin masa depan anak didik secara material. Humaniora telah menjadi bidang yang ditempatkan pada “kelas dua” oleh masyarakat kita yang memang telah dijangkiti penyakit konsumerisme yang berorientasi kepada kehidupan serba materialistis. Padahal pendidikan humanoira lebih menekankan proses pembinaan kalbu, rohani dan akhlak ketimbang pembinaan akal, jasmani dan keterampilan yang berada dalam ruang lingkup pendidikan non-humaniora. Pendidikan agama sebagai bagian penting – dan mungkin bagian terpenting – dalam pendidikan humaniora tidak lebih dari sekedar “pelengkap kurikulum”, atau, meminjam ungkapan Soedjatmoko, salah seorang cendekiaawan Indonesia dengan reputasi internasional, “hiasan kurikulum” belaka. Inilah salah satu kekeliuan sistem pendidikan kita, yang mungkin dipengaruhi oleh sistem pendidikan Barat yang sekular. Ketidakberdayaan sistem pendidikan agama di Indonesia, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional kita secara keseluruhannya, tampaknya disebabkan penekanan pendidikan agama selama ini pada proses transfer ilmu agama kepada anak didik, bukan pada proses tranformasi nilai-nilai luhur keagamaan kepada anak didik untuk membimbingnya agar menjadi manusia yang berkepribadian kuat dan berakhlak mulia. Proses yang lebih banyak berlangsung dalam pendidikan agama selama ini adalah “pengajaran” agama, bukan “pendidikan” agama. Yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah adalah “pengajar” agama, bukan “guru” agama. Apa yang disampaikan “pengajar” adalah untuk dipikirkan dan dipahami, tetapi apa yang disampaikan “guru” adalah untuk di dengar, dihayati, dan diamalkan. Apabila pendidikan agama diharapkan dapat memenuhi fungsinya, maka pendidikan agama harus mampu melakukan proses tranformasi nilainilai kegamaan kepada anak didik. Setiap pendidikan agama harus bertindak sebagai guru yang sekaligus harus mampu berperan sebagai teladan yang baik bagi anak didiknya agar tugasnya sebagai pendidik dapat berhasil. Pendidikan agama mempunyai tempat sangat penting dan strategis dalam sistem pendidikan nasional secara keseluruhannya karena pendidikan agama pada intinya berujung pada pendidikan akhlak. Patut kita menyimak apa yang diungkapkan oleh Soedjatmoko tentang tugas khsuus pendidikan agama dalam usaha pembangunan bangsa. Ia mengakui bahwa sudah barang tentu tugas semua pendidikan adalah membina manusia susila, manusia yang berkahlak mulia. Tetapi 4
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), hal.4 Pengertian pendidikan informal, formal dan nonformal dapat dilihat dalam Harry R. Case dan Richard O. Nichoff, Educational Alternatives in National Development (Michigan: Michigan University Press, 1976). 5
pendidikan agama dalam suatu perubahan sosial mempunyai tugas khusus, dalam arti pembinaan anak didik untuk berkelakuan yang benar dalam suatu situasi yang tidak menentu patokan-patokan moralnya. Karena perubahan atau kahancuran struktur-struktur sosial lama, dan timbulnya keadaankeadaan baru, maka lebih dari dulu kita memerlukan manusia-manusia yang mempunyai keberanian hidup, yang bersedia dan mampu berdiri di atas kaki, sendiri dan mencari nafkah sendiri, dan tidak menggantungkan nasibnya kepada pemerintah atau birokrasi-birokrasi besar. Imanlah yang dapat juga memberikan kepada manusia keberanian dan kemampuan moral untuk menolak peluang-peluang yang gampang namun tidak becus, meskipun kelihatannya aman dan diambil banyak orang, dan untuk mengambil jalan lurus, betapapun sulitnya jalan itu. Sebenarnya, dalam sistem pendidikan agama di Indonesia, memang tradisi demikian telah lama berjalan.6 Dalam sistem pendidikan di pesantren-pesantren di Indonesia, sikap keberanian hidup dan tetap mengambil jalan yang luruh masih tetap terpupuk. Tetapi dalam sistem pendidikan lain di luar pesantren, sikap seperti ini kurang mendapat perhatian. Dalam memenuhi fungsinya untuk membina kepribadian yang kuat dan akhlak yang luhur anak didik, pendidikan agama harus mampu menghubungkan nilai-nilai normatif yang abstrak yang diterima anak didik dengan kenyataan-kenyataan sosial yang ada. Dengan demikian, para anak didik akan terdorong untuk bersikap kritis dan kreatif dalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial tadi. Jika pendidikan agama dapat memenuhi fungsi ini, maka pendidikan agama dapat memberikan suatu sumbangan pada penumbuhan dan pemupukan sikap toleransi antaragama dan peningkatan kerjasama antaragama dalam menghadapi masalah-masalah sosial di Indonesia. Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya, apabila ia mampu menggerakkan para anak didik untuk belajar mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari mereka. “Pendidikan agama yang hanya menekankan hafalan kaidah-kaidah keagamaan dalam bentuk yang abstrak-steril kurang mempunyai relevansi dengan usaha mengelola perubahan sosial melalui berbagai usaha pembangunan dan untuk membina anak didik menghadapi masa peralihan ini secara positif, sebagai manusia susila.”7 Pendidikan agama yang dicita-citakan ini, demikian dikatakan Soedjatmoko, tidak dapat dan tidak boleh berjalan sendiri. Pendidikan agama, agar memenuhi fungsinya dalam menghadapi kenyataan-kenyataan sosial, harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama, baik di sekolah-sekolah umum maupun di sekolah-sekolah keagamaan. Ada dua alasan yang mendasari prinsip ini. Pertama, alasan fundamental adalah bahwa setiap program pendidikan – selama program itu pantas disebut “program pendidikan” – pada kahirnya bertujuan membentuk manusia-manusia susila, manusia-manusia yang berakhlak. Kedua, alasan pragmatis adalah bahwa kemampuan untuk menilai kenyataan sosial secara normatif dan kemampuan untuk memikirkan cara-cara yang dapat ditempuh untuk memperbaiki suatu keadaan, akan lebih cepat dan lebih mudah dibina apabila ada semacam interaksi antara program-program pendidikan agama dengan program-program pendidikan non-agama. Apabila kerja sama atau sinkronisasi semacam ini tidak diusahakan, dikhawatirkan bahwa pendidikan agama, terutama di sekolah-sekolah umum, hanya akan menjadi “hiasan kurikulum” belaka. Artinya: kehadirannya dalam kurikulum hanyalah untuk memuaskan keinginan kelompok kaum agama saja, dan tidak untuk membantu membina suatu generasi yang lebih mampu daripada generasi kita dalam mengelola perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat kita.8 Kelemahan lain sistem pendidikan agama di Indonesia selama ini tampaknya terletak pada kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral seperti kasih sayang, cinta, tolong-menolong, toleransi, tenggang rasa, menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan keagamaan, dan sikap-sikap lain yang mampu menciptakan dan mendukung hubungan harmonis antara sesama manusia, meskipun berbeda etnik, agama dan kebudayaan. Tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis, seperti iman, tauhid dan jihad, nilai-nilai moral yang dapat menciptakan hubungan harmonis ini perlu ditekankan 6
Soedjatmoko’ Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta, LP3S, 1984), hal. 272. 7 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, hal. 274 8 Soedjatmoko, Etika Pembebasan, hal. 274
melalui pendidikan agama. Sikap-sikap moral seperti ini akan lebih mudah ditanamkan kepada para anak didik jika mereka mengenal para anak didik lain dari agama, etnik dan budaya yang berbeda. Agar para anak didik dari berbagai latar belakang itu dapat saling mengenal dan pada gilirannya saling menghargai, bersahabat dan bahkan dapat bekerja sama, maka perlu dilakukan usaha-usaha ke arah itu, misalnya saling mengunjungi antarsekolah, berkemah bersama, dan melaksanakan pertandingan persahabatan dalam olah raga. Sikap menghargai agama-agama lain atau para penganut agama lain mungkin dapat ditumbuhkan pada para anak didik melalui pelajaran perbandingan agama, yang diberikan kepada mereka di sekolah-sekolah, baik di sekolah-sekolah umum maupun di sekolah-sekolah agama. Mata pelajaran ini sebaiknya diberikan di sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas (SMA dulu, SMU sekarang, Madrasah Aliyah, atau yang setingkat) dan di perguruan-perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Di Madrasah Aliyah Negeri dan beberapa pesantren, mata pelajaran ini telah dimasukkan ke dalam kurikulumnya – dan tentu saja telah diajarkan. Pada bagian awal tahun 1980an pernah muncul usul agar pemerintah memasukkan mata pelajaran ini ke dalam kurikulum sekolah menengah tingkat atas. Usul itu diprotes oleh orang-orang Muslim karena pelajaran ini dianggap dapat merusak dan melemahkan iman para anak didik. Protes tersebut memang beralasan. Keadaan ini berbeda dengan keadaan di dunia Barat. Pada umumnya, para orangtua di Barat tidak berkeberatan apabila anak-anak mereka mempelajari agama-agama lain. Hasil survey yang dilakukan oleh P.R. May dan O.R. Johnson, dua orang peneliti, tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah di Inggris Timur Laut selama dua tahun (1996 – 1967), misalnya, menunjukkan bahwa 96% para orangtua murid menginginkan anak-anak mereka diajarkan agama Kristen (agama mereka sendiri) dan 80% menginginkan anak-anak mereka diajarkan juga agama-agama penting lain.9 Mata pelajaran perbandingan agama, yang sering pula disebut sejarah agama-agama, ilmu agama-agama, studi agama-agama, atau fenomelogi agama, dam sistem pendidikan di Indonesia – dan saya kita juga di Negara-negara lain – harus diberikan setelah para anak didik mempunyai pengetahuan yang memadai tentang agama mereka sendiri. Itulah alasan mengapa mata pelajaran ini diberikan kepada para anak didik di sekolah menengah tingkat atas, setelah mereka mempelajari agama mereka sendiri di sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah pertama. Mata pelajaran ini bukan untuk para anak didik pada sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah pertama. Dalam mengajarkan perbandingan agama, salah satu aspek yang perlu ditekankan adalah pendekatan yang digunakan. Agama-agama lain dapat dipahami dengan benar oleh para anak didik – dan juga oleh guru-guru atau dosen-dosen – apabila pendekatan yang digunakan dalam mempelajari agama-agama itu adalah pendekatan simpatik, seperti pendekatan fenomenologis dan pendekatan dialogis, bukan pendekatan apologetis dan polemis yang memojokkan agama-agama lain. Pendekatan apologetis dan polemis harus dihindarkan karena pendekatan semacam ini tidak mendatangkan pemahaman yang benar tentang agama-agama lain tetapi justru menimbulkan kesalahpahaman tentang agama-agama yang dipelajari itu. Pemahaman yang benar tentang agamaagama lain dapat menumbuhkan sikap menghargai agama-agama tersebut. Sebaliknya, pada satu pihak, kesalahpahaman tentang agama-agama lain dapat menimbulkan sikap benci pada dan memusuhi agama-agama lain itu dan para penganutnya karena gambaran yang serba negatif tentang agama-agama itu; dan pada pihak lain, kesalahpahaman itu dapat pula menimbulkan kemarahan dan protes dari para penganut agama-agama yang dipelajari itu karena agama-agama mereka direndahkan dan dijelek-jelekkan. Sistem pendidikan agama yang mengajarkan perbandingan agama dengan pendekatan apologetis dan polemis, yang biasanya di dorong oleh sikap teologis yang ekslusif dan primordial, jelas tidak relevan dengan penciptaan kesadaran para anak didik untuk bersikap menghargai pluralisme keagamaan. Bahkan sistem pendidikan agama semacam itu, sedikit atau banyak, justru turut menyumbangkan sikap-sikap kebencian dan permusuhan yang memperuncing kerawanan hubungan antaragama.
9
F.G. Herod, What Men Believe (London; Methuen Educational Ltd., 1968), h. ix.
Dalam mempelajari agama-agama lain, para anak didik atau para mahasiswa harus diperhatikan agar iman dan identitas agama mereka sendiri tidak luntur. Yang ideal tentu adalah para anak didik dan para mahasiswa dapat memahami agama-agama lain dengan benar dan pada gilirannya mereka menghargai agama-agama itu dan para penganutnya dengan tetap berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama mereka sendiri dan identitas keagamaan mereka. Kesimpulan Pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai keadaan yang plural secara etnis, kebudayaan dan keagamaan tentu sangat diperlukan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan antaragama. Karena itu, sikap ini harus ditumbuhkan pada diri generasi muda bangsa kita. Pluralisme di Indonesia akhir-akhir ini diguncang dan diuji oleh berbagai kerusuhan dan kekerasan yang melibatkan sentimen keagamaan. Munculnya banyak kerusuhan dan kekerasan itu, untuk sebagian, adalah cermin ketidakberdayaan dan kegagalan sistem pendidikan di negeri ini, khususnya pendidikan agama. Kegagalan pendidikan agama selama ini disebabkan paling tidak oleh empat faktor; pertama penekanannya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses tranformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi; dan keempat kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain. Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya dan sekaligus dapat memberikan sumbangan untuk menumbuhkan sikap yang menghargai pluralisme dan pluralitas apabila ia: pertama mampu melakukan tranformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua mampu menjadikan pendidikan agama sebagai suatu program pendidikan yang dirasakan penting dalam sistem pendidikan nasional kita; ketiga mampu menanamkan nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar-agama, seperti nilai-nilai yang disebut di atas; dan kempat memberikan perhatian yang memadai untuk mempelajari agama-agama lain. Wa’llah a’lam bi’i-sawab Sumber: Buku “Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia” Oleh Th.Sumartana, dkk, penerbit: Interfidei, Yogyakarta, 2001