PENGARUH KOLONIALISME DAN PLURALISME TERHADAP POLITIK HUKUM NASIONAL Oleh: Sapto Handoyo Djarkasih Putro, S.H., M.H.
ABSTRAK Politik hukum nasional tidak terlepas daripada realitas sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita. Di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia juga tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Politik hukum merupakan suatu kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Salah satu pengaruh dari kolonialisme dalam politik hukum di Indonesia adalah dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang bersifat kolonialistik (hukum dibuat untuk melindungi dan memperkuat kolonialisme), dan beberapa perundang-undangan tersebut masih ada yang diberlakukan hingga sekarang.
A. Pendahuluan Pemahaman tentang politik hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari pengertian politik hukum itu sendiri. Terdapat beragam pendapat para ahli hukum mengenai pengertian dari politik hukum. Padmo Wahyono dalam bukunya, “Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum”, mendefinisikan politik hukum sebagai suatu kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.1 Definisi tersebut masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan. Dalam artikel tersebut, Padmo Wahyono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara Negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.2 Politik hukum merupakan suatu kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.3 Soedarto, mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan Negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
1Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 160. 2Padmo Wahyono, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”, Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991, hal. 65. 3Imam Syaukani dan A. Ahsan Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta: PT. Raja Graffindo, 2004), hal. 58.
mencapai apa yang dicita-citakan.4 Masih menurut Soedarto, politik hukum diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.5 Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum diartikan sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.6 Adapun kata nasional, yang melekat dalam kata politik hukum tersebut, diartikan sebagai suatu wilayah berlakunya politik hukum itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia. Berdasarkan pengertian politik hukum di atas, maka yang dimaksud dengan politik hukum nasional di sini adalah kebijakan dari penyelenggara Negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, untuk mencapai tujuan Negara (Republik Indonesia) yang dicitacitakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu; masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak, penyelenggara negara pembentuk kebijakan dasar tersebut, materi hukum yang meliputi yang akan, sedang, dan telah berlaku. Proses pembentukan hukum serta tujuan dari politik hukum nasional.7 Politik hukum nasional tidak terlepas daripada realitas sosial dan tradisional yang terdapat di negara kita, dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia juga tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Dengan demikian, faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum nasional itu tidaklah semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan, atau tergantung pada kehendak pembentuk undang-undang, praktisi atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan oleh perkembangan hukum di negara-negara lain, serta perkembangan hukum internasional. Dengan perkataan lain, terdapat faktorfaktor di luar jangkauan bangsa kita, yang ikut menentukan politik hukum masa kini dan di masa yang akan datang.8 Pembukaan UUD Tahun 1945, alenia keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah; 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Semua itu harus dicapai berdasarkan falsafah Pancasila. Sehingga dapat dikatakan, bahwa bangsa Indonesia mengidamkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata, yang dicapai dengan cara yang wajar (seimbang, tidak ekstrim) dan berperikemanusiaan, sehingga tercapai keselarasan, keserasian dan ketenteraman di seluruh negeri. Dengan demikian, rakyat Indonesia hendak mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata 4Soedarto,
Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 20. 5Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 151. 6Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cet. Ke-3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 352. 7Ibid., hal. 58. 8C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal. 1-2.
itu dengan mengikuti de gulden midenweg, dengan menghindari perbedaanperbedaan yang menyolok dan cara-cara yang ekstrim.9 Akibatnya, kita menolak untuk mencapai keadilan dan kemakmuran itu melalui cara yang dianggap tepat oleh faham kapitalisme, komunisme, ataupun cara-cara yang fanatik, religius. Ketiga cara tersebut merupakan faham yang ekstrim, oleh karena kapitalisme menganggap bahwa manusia perorangan (individu) adalah yang paling penting, komunisme menganggap masyarakat yang terpenting di atas segala-galanya, sedangkan aliran fanatik religius merupakan realitas bahwa manusia hidup di dunia ini, di mana ia harus bergulat untuk mempertahankan hidupnya (survive). Politik hukum kita (nasional), pasti tidak akan menggunakan cara-cara kapitalis, komunis, maupun fanatik religius, apalagi karena komunis sendiri di Soviet Rusia dan lain negara-negara komunis sudah semakin pudar, bahkan sudah terbukti kegagalannya membawa keadilan dan kemakmuran dalam masyarakat yang menganutnya.10 Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan erat dengan wawasan nasional bidang hukum yakni cara pandang bangsa Indonesia mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam rangka pembinaan hukum di Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara). Dalam TAP MPR di bawah ini, terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara lain: a. TAP MPR No. 66 / MPRS / 1960. b. TAP MPR No. IV / MPR / 1973. c. TAP MPR No. IV / MPR / 1978. d. TAP MPR No. II / MPR / 1983. e. TAP MPR No. II / MPR / 1988. f. TAP MPR No. II / MPR / 1993. g. TAP MPR No. X / MPR / 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara“. h. TAP MPR No. VIII / MPR / 1998, Mencabut TAP MPR No. II / MPR/ 1998. i. TAP MPR No. X / MPR / 1998, tentang GBHN. j. TAP MPR No. IV / MPR / 1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004. B. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Ada beberapa faktor yang mempengaruhi politik hukum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:11 1. Ideologi negara. 2. Konstitusi negara. 3. Kolonialisme. 4. Liberalisme. 5. Demokratisasi. 6. Feodalisme. 7. Individualisme. 9Ibid.,
hal. 3. hal. 4. 11H. Abdul Gani Abdullah, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Politik Hukum”, Materi Perkuliahan Politik Hukum, Jakarta, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum (PPS-MIH), Universitas Tarumanagara, 20 Desember 2010. 10Ibid.,
8. Collectivisme. 9. Pluralisme. 10. Regionalisme. 11. Globalisasi. 12. Kerjasama; bilateral – trilateral – multilateral. 13. Kapitalisme, dan; 14. Political economy. Penulis akan mencoba menguraikan dua faktor yang mempengaruhi keberadaan politik hukum di Indonesia, yaitu faktor kolonialisme dan faktor pluralisme. Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.12 C. Pengaruh Kolonialisme dan Pluralisme Kolonialisme berasal dari kata colonia dalam bahasa latin yang artinya tanah permukiman/ jajahan. Kolonialisme adalah suatu sistem di mana suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap berhubungan dengan negeri asal. Kolonialisme tujuannya untuk menguras sumber-sumber kekayaan daerah koloni demi perkembangan industri dan memenuhi kekayaan negara yang melaksanakan politik kolonial tersebut.13 Salah satu pengaruh dari kolonialisme dalam politik hukum di Indonesia adalah dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang bersifat kolonialistik (hukum dibuat untuk melindungi dan memperkuat kolonialisme), dan beberapa perundang-undangan tersebut masih ada yang diberlakukan hingga sekarang. Misalnya; Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Per), serta HIR. Selain itu, politik hukum yang dibuat dalam masyarakat yang pluralistik, harus ada suatu unifikasi hukum, artinya harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.14 Periode lima puluh tahun yang terbentang antara tahun 1940 dan 1990 adalah periode pasca kolonial yang didahului oleh serangkaian krisis dan pergolakan-pergolakan yang menandai adanya situasi peralihan. Inilah periode yang ditenggarai oleh peristiwa sejarah runtuh dan terdisintegrasikannya kekuasaan kolonial, yang kemudian disusul oleh proses-proses dekolonisasi. Perkembangan tata dan sistem hukum Indonesia, sepanjang periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan utama, yaitu; perkembangan sepanjang masa transisi (1940-1950), perkembangan pasca revolusi fisik semasa pemerintahan Soekarno, sebelum dan sesudah era Demokrasi Terpimpin (1950-1966), dan perkembangan pada masa orde baru (1966-1990). Sepanjang periode ini, pembangunan hukum Indonesia (bukan lagi Hindia Belanda), mulai coba dikerjakan berdasarkan kebijakan nasional sebagaimana digariskan oleh pemuka-pemuka berkebangsaan Indonesia (namun yang 12Diperoleh dari situs http://wikipedia.org/wiki/pengertiankolonialisme.diakses tanggal 06 Januari 2011. 13Ibid. 14H. Abdul Gani Abdullah, Loc.Cit.
sesungguhnya selama ini tumbuh kembang di bawah pengaruh dan kondisi pendidikan hukum Belanda, Eropa, dan kolonial).15 Politik hukum baru yang berisi upaya pembaruan hukum menjadi keharusan ketika pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia diproklamasikan sebagai Negara merdeka dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai hukum dasarnya.16 Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan norma hukum yang pertama kali lahir setelah Indonesia merdeka.17 Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan dan penggantian atas hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari sudut tata hukum, maka proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan secara total. Proklamasi kemerdekaan telah membawa Indonesia pada idealita dan realita hukum yang lain dari sebelumnya.18 Proklamasi kemerdekaan telah mengubah tradisi masyarakat dari keadaan terjajah menjadi masyarakat bebas (merdeka). Tujuan hukum pun harus berubah secara berbalikan dari tujuan mempertahankan dan melestarikan penjajahan menjadi mengisi kemerdekaan dengan etos yang juga berubah dari penjajahan menjadi kebangsaan. Dengan demikian isi kehendak hukum menuntut konsekuensi adanya perubahan hukum positif yang berlaku sebelum nya. Seperti; Indische Staatsregeling (IS), Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB), Burgerlijke Wetboek (BW), Wetboek van Koophandel (Wvk), Wetboek van Strafrecht (WvS), dan segala ketentuan perundang-undangan yang dikeluarkan pada masa penjajahan. Perubahan tersebut diperlukan dan menjadi bagian penting dalam politik hukum nasional, sebab hukum-hukum yang telah ada ketika proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur baur dengan sistem hukum atau ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila.19 Negara RI lahir dan berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional (Tatanan Hukum Nasional). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan titik kulminasi dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia setelah selama berabad-abad dengan didorong oleh amanat penderitaan rakyat (Ampera) yang berjiwakan Pancasila. Proklamasi Kemerdekaan ini sekaligus memberi garis batas berakhirnya tertib hukum masa penjajahan dan permulaan tertib hukum nasional. Telah ditegaskan, bahwa sejak 17 Agustus 1945 tertib hukum Indonesia telah dimulai, dan ini diperkuat lagi dengan ditetapkannya UUD Tahun 1945 satu hari sesudahnya. Dengan demikian, sistem hukum Indonesiapun telah ada sejak Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sangat keliru pendapat yang mengatakan bahwa saat ini kita sedang menuju ke arah pembentukan
15Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Graffindo Persada, 1995), hal. 175-176. 16Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 17. 17H. Abdul Gani Abdullah, Loc.Cit. 18Moh. Mahfud M.D., Op.Cit., hal. 17. 19Ibid.
sistem hukum nasional, yang mengesankan sistem hukum nasional kita belum pernah ada.20 Alasan yang disampaikan berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa sistem hukum nasional Indonesia belum terbentuk, yaitu masih banyaknya produk hukum kolonial yang berlaku hingga saat ini. Pendapat ini tidak tepat, mengingat sistem hukum (tidak hanya di Indonesia) pada dasarnya merupakan hasil dari suatu proses sejarah, sehingga unsur-unsur yang membentuk sistem hukum itu tumbuh dan berkembang dari berbagai sumber, termasuk dari luar negaranya. Dengan dicantumkannya Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, maka produk-produk hukum kolonial yang belum sempat digantikan oleh produk-produk hukum nasional diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia itu, sehingga semua produk hukum itu mendapat sebutan sebagai hukum positif Indonesia.21 Dengan terjadinya perubahan struktur sosial setelah proklamasi kemerdekaan, politik hukum harus mengarah pada upaya penyesuaian dengan struktur yang baru, sebab hukum bukanlah bangunan yang statis melainkan bisa berubah karena fungsinya untuk melayani masyarakat. Meskipun begitu, produk hukum lama yang terpengaruh berbagai sistem dan ideologi tidak multak harus seluruhnya diubah, sebab bukan tidak mungkin hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan, ada yang mengandung nilai universal yang tetap dapat dipakai. Dari dalam BW misalnya, mungkin saja kita dapat menemukan ketentuan yang bersifat universal dan perlu dipertahankan.22 Oleh sebab itu, pembaruan hukum harus pula diartikan sebagai seleksi terhadap produk hukum yang lama untuk tetap mengambil nilai-nilai yang sesuai dengan idealita dan realita negara Indonesia atau karena sifatnya yang universal. Masih berlakunya produk hukum peninggalan zaman kolonialisme itu memang ditolerir berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum karena hukum-hukum baru yang sesuai dengan idealita dan realita belum sempat dibuat, sehingga pemberlakuan produk hukum lama tak dapat dipandang sebagai politik hukum yang bermaksud melanjutkan kebijaksanaan hukum Pemerintah Hindia Belanda.23 Secara normatif, pembaruan hukum pidana (penal reform) di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD Tahun 1945, maka Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih berlaku di Indonesia. Dan kemudian mulai tahun 1946 melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, karena berbagai perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat maka dibuatlah beberapa undang-undang pidana di luar KUHP. Sekalipun demikian, tuntutan terhadap
20C.F.G. Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, Bandung, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 01 Agustus 1991, hal. 19-20. 21Ibid., hal. 25. 22Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984), hal. 9. 23Padmo Wahyono, Op.Cit., hal. 23.
perubahan-perubahan materi yang diatur dalam KUHP semakin hari semakin nyata. Sejak saat itulah pembaruan hukum pidana sudah mulai dilaksanakan. 24 Peraturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan dari ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal yang sangat penting bahwa seluruh bangunan hukum itu bertumpu pada pandangan politik yang sangat sehat dan konsisten. Dapat diperhitungkan bahwa KUHP dari negara-negara Eropa Barat yang bersifat individualistiskapitalis itu bercorak lain daripada KUHP dari negara-negara Eropa Timur yang berdasarkan politik sosialis. Di negara kita berpandangan politik berdasarkan Pancasila, sedangkan pandangan tentang hukum pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan umum tentang hukum, negara, masyarakat, dan kriminalitas.25 Dengan demikian, artinya telah tiba saatnya untuk merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang berpijak pada asas-asas dan dasardasar yang berasal dari jaman kolonial, dan menggantikannya dengan tata hukum dan hukum pidana Indonesia, yang asas-asasnya dan dasar pokoknya harus berdasarkan Pancasila.26 Melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, telah ada upaya-upaya untuk melakukan penyesuaian peraturan-peraturan hukum pidana dengan suasana kemerdekaan. Akan tetapi, pada hakikatnya asas-asas hukum pidana kolonial masih tetap mempengaruhi pelaksanaan dalam praktek hukum pidana di Indonesia. 27 Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari upaya pembaruan atau pembangunan sistem hukum nasional, adalah merupakan masalah yang sangat besar, yang sedang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah yang tengah dihadapi adalah masalah memperbaharui dan mengganti produk-produk kolonial di bidang hukum pidana, khususnya pembaruan KUHP (WvS) warisan zaman Hindia Belanda yang merupakan induk dari keseluruhan sistem hukum pidana saat ini. Upaya ini jelas merupakan tuntutan dan amanat proklamasi, sekaligus juga merupakan tuntutan nasionalisme dan yang paling penting adalah tuntutan kemandirian dari bangsa yang merdeka.28 Sejarah perkembangan politik hukum di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari retasan sejarah hukum yang dimulai sejak pada jaman kolonialisme Belanda. Politik hukum yang terjadi ketika itu menunjukkan adanya upaya untuk mentransplantasikan hukum Eropa (baca Belanda) secara penuh ke dan untuk penduduk negeri di Hindia Belanda. Hal itu dilakukan secara konsisten dan konsekuen dengan dedikasi yang sangat doktriner melalui pemaksaan konsep unifikasi dan kodifikasi hukum. Namun dalam prakteknya upaya secara tegas dan terus menerus untuk memaksakan unifikasi dan kodifikasi hukum pada daerah jajahan di Hindia Belanda (Indonesia saat ini) untuk masyarakat pribumi mengalami kegagalan, sehingga pada akhirnya timbul kesadaran di kalangan pemerintah kolonial pada saat itu bahwa hukum
24Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Pidana), (Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005), hal. 15-16. 25Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 60-61. 26Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra aditya Bakti, 2005), hal. 78. 27Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit., hal. 18-20. 28Ibid.
rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas, tidak dapat diabaikan begitu saja.29 Belajar dari sejarah perkembangan hukum Indonesia pada jaman kolonial tersebut, menunjukkan bahwa potensi daya dukung hukum masyarakat pribumi tidak dapat digeser begitu saja melalui suatu proses transplantasi hukum Eksternal (hukum Belanda). Kekuatan yang terkandung pada hukum-hukum lokal ketika itu telah menyadarkan pemerintah Kolonial harus memberlakukan dualisme hukum di daerah jajahan Hindia Belanda. Hal ini mengharuskan Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu mengundangkan Indische Staatsregeling 1925, di mana pada Pasal 131 IS merupakan ketentuan yang sering disebut-sebut sebagai ketentuan yang mengukuhkan keberlakuan hukum adat, dan dengan demikian juga memantapkan kesinambungan kebijakan dualisme di bidang hukum, namun juga dilain pihak tetap memungkinkan progresivisme dalam perkembangan dan pengembangan hukum untuk orang-orang pribumi. Merujuk pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 131 ayat 2 huruf b Indische Staatsregeling, maka dapat dikemukakan bahwa sejak diundangkannya Indische Staatsregeling 1925, pemerintah Kolonial Belanda sesungguhnya telah meninggalkan niat-niat dan kebijakan-kebijakan lamanya untuk memberlakukan hukum privat Barat lewat perundang-undangan kepada golongan penduduk pribumi. Kenyataan-kenyataan sejarah perkembangan hukum Indonesia dalam rezim pemerintahan Kolonial Belanda menunjukkan bahwa, walaupun berulangkali telah dicoba dilakukan unifikasi hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda, namun apapun hasilnya orang-orang dari golongan penduduk pribumi masih tetap saja berada di bawah yurisdiksi hukum lokalnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme hukum rupanya tak hanya menunjukkan kenyataan objektif, akan tetapi juga termaknakan dan menjadi refleksi pengakuan subjektif pemerintah kolonial pada masa-masa akhir kekuasaannya, bahwa ada kebutuhan hukum yang beragam dan berbeda-beda di kalangan penduduk. Kehadiran rezim pemerintahan Kolonial Jepang yang menggantikan pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia pada tahun 1942, juga tidak merubah eksistensi hukum pribumi yang mendapat pengakuan oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui Pasal 131 Indische Staatsregeling 1925, di mana hukum-hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi kembali mendapat pengakuan dan penguatan oleh Pemerintah Kolonial Jepang. Kondisi ini menunjukkan bahwa baik pemerintah Kolonial Belanda maupun pemerintah Kolonial Jepang tetap memberikan ekpressi yang positif bagi perkembangan hukum-hukum masyarakat pribumi. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekannya pada tahun 1945, pemuka-pemuka Indonesia mencoba membangun hukum Indonesia dengan berusaha sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide hukum kolonial, muncul keyakinan ketika itu bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional, akan tetapi dalam kenyataannya tidak mudah untuk dilakukan, maka pilihannya adalah memberlakukan hukum lama (baca: 29Juajir Sumarji, dalam ”http://dialektikahukum.blogspot.com”/2009/02/pengaruh-politikhukum-nasional//, diakses tanggal 05 Januari 2011.
hukum-hukum kodifikasi Belanda) melalui Aturan Peralihan Pasal II UndangUndang Dasar 1945 dengan alasan demi menjaga agar tidak terjadi kevakuman hukum. Pada tahun 1949, saat keberlakuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, eksistensi hukum rakyat kembali mendapat penguatan konstitusional yakni pengaturan yang terdapat pada Pasal 24 ayat (2) UUD RIS yang menyatakan bahwa “perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum golongan rakyat akan diperhatikan”. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD RIS tersebut maka di beberapa daerah, peradilan desa sebagai upaya perdamaian atas dasar kewibawaan para kepala desa tetap berlangsung terus tanpa perubahan apapun. Periode setelah tahun 1950-an, khususnya pada saat keberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara hingga tahun 1959, terdapat ketentuan yang substansinya tetap menghendaki agar kebutuhan hukum golongan-golongan rakyat tetap diperhatikan, ketentuan ini tertuang di dalam Pasal 25 UndangUndang Dasar Sementara. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan terhadap eksistensi hukum golongan masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai hukum lokal (local law). Namun setelah keberlakuan kembali UUD-1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, kebijakan untuk merealisasikan unifikasi hukum kolonial tampaknya berlanjut dalam pembangunan hukum nasional era pasca kolonial. Di satu pihak para perancang sistem hukum nasional yang berwawasan nasionalisme menghendaki tetap dikukuhkannya “kepribadian bangsa” (baca: nilai-nilai masyarakat Indonesia); namun sementara di lain pihak dituntut untuk bersikap realistik, para perancang hukum nasional ini juga amat mempertimbangkan kenyatan betapa globalisasi ekonomi, politik, dan budaya juga harus dapat tertransformasikan ke dalam hukum nasional, sehingga hal ini kian mempersulit upaya-upaya mentransformasikan hukum rakyat lokal yang dirasakan kurang dapat mengakomodasi perkembangan globalisasi ekonomi dan politik dunia untuk kepentingan nasional.30 Sejak keberlakuan kembali Undang-Undang Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, politik hukum nasional Indonesia secara tidak langsung telah berhasil merealisasikan cita-cita awal pemerintah Kolonial Belanda yang dimulai sejak tahun 1840 yaitu upaya untuk melakukan unifikasi hukum melalui suatu proses kodifikasi. Penelusuran sejarah dan analisis normatif hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukkan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat eksploitatif, dualistik, dan feodalistik. Dengan asas domein verklaring yang menyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hokum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Oleh sebab itu wajar jika setelah proklamasi kemerdekaan timbul tuntutan agar segera diadakan pembaruan terhadap hukum agraria.31 Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukumhukum agraria yang ditinggalkan kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti dengan hukum agraria yang lebih responsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur untuk memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan secara parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai panitia perancang hukum agraria nasional.
30Ibid.
31Moh.
Mahfud M.D., Op.Cit., hal. 119.
Pemerintah Indonesia yang baru merdeka, dibanjiri tuntutan untuk mempelajari kembali secara seksama terhadap peraturan perundang-undangan agraria lama dan melakukan pembaruan dengan mengeluarkan perundangundangan baru. Seperti ternyata dari pembolehan Pasal II Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa perundang-undangan yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat memproduk hukum-hukum baru yang sesuai dengan jiwa kemerdekaan.32 Pada periode 1945-1959, pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria Nasional yang bulat sebagai pengganti Agrarische Wet 1870. Tetapi ini bukan berarti keinginan untuk mengganti produk lama dengan UU yang berwatak nasional diabaikan begitu saja. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk mengakhiri berlakunya UU produk kolonialisme, meskipun kenyataannya UU Agraria yang bulat baru dapat diundangkan pada tahun 1960. Ada dua kendala pokok yang dihadapi oleh pemerintah pada saat itu untuk melahirkan UU Agraria Nasional yang bulat dan komprehensif. Pertama, keluar, harus mempertahankan kedaulatan Negara dari usaha Belanda untuk merebutnya kembali. Kedua, kedalam, harus menyusun aparatur dan administrasi pemerintahan menurut UUD 1945 serta membangun stabilitas dan melancarkan kehidupan ekonomi negara.33 Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengakhiri produk hukum agraria kolonial itu dapat dibedakan ke dalam dua jalur, yaitu; pertama, pengundangan berbagai peraturan agraria yang sifatnya parsial, artinya menyangkut bagian-bagian tertentu dari lingkup hukum agraria, dan kedua, membentuk panitia-panitia perancang UU Agraria yang bulat dan bersifat nasional. Walaupun keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria sering dianggap sebagai wujud dari refleksi pengakuan terhadap hukum adat, akan tetapi jika dikaji secara substansial ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya, tampaknya UU Pokok Agraria Tahun 1960 masih mengabaikan banyak sekali kaidah-kaidah hukum adat lokal. Walaupun Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan dengan gamblang bahwa hak-hak atas tanah yang baru didasarkan pada kaidah-kaidah hukum adat Indonesia, namun sebagian besar dari hak-hak itu sebenarnya adalah hak-hak yang dapat dikenali sebagai hak-hak yang pernah ada menurut ketentuan-ketentuan yang pernah ada dalam Burgelijk Wetboek, justru hak-hak yang terdapat dalam UU Pokok Agraria tidak sekuat dan semutlak hak-hak lama serupa yang dijamin oleh hukum Eropa, di mana hakhak yang terdapat dalam UU Pokok Agraria kini dibatasi oleh apa yang disebut “fungsi sosial”, bahkan UU Pokok Agraria secara aktual meniadakan kemungkinan adanya hak ulayat menurut hukum adat. Dengan diundangkannya UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960), sebenarnya masalah-masalah dasar yang menyangkut politik hukum agraria sudah diselesaikan dan dikristalisasikan dalam norma hukum pada era orde lama, masalah yang dihadapi oleh pemerintah selanjutnya adalah bagaimana menindaklanjuti ketentuan-ketentuan yang sifatnya masih pokok itu. Pemerintah orde baru tidak lagi menghadapi tuntutan untuk membuat hukum agraria nasional, sebab tugas itu sudah selesai ketika UUPA diundangkan pada 32Ibid..
33Iman
Sutiknyo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: UGM Pers, 1990), hal. 4.
tanggal 24 September 1960. yang dituntut dari pemerintah orde baru adalah bagaimana merealisasikan tuntutan-tuntutan yuridis berkenaan dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).34 Berkenaan dengan pelaksanaan UUPA pada periode pemerintahan orde baru ini, ada tiga masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah, yaitu pembuatan peraturan pelaksanaan, penyesuaian kembali isi peraturan-peraturan tertentu di bidang agraria, dan pelaksanaan proses pembebasan tanah untuk keperluan pembangunan.35 Periode pemerintah Orde Baru yang dimulai sejak tahun 1966 telah menimbulkan perubahan yang cukup besar bagi keberlakuan politik hukum Nasional pada saat itu. Politik Hukum Nasional dalam periode Pemerintahan Presiden Soeharto memiliki beberapa karakter, yakni mengakomodasikan kekuasaan politik, kelompok kepentingan, dan penerapan mekanisme liberal. Berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Soekarno yang menjargonkan politik sebagai panglima, maka pemerintahan Soeharto jargon yang dominan adalah “ekonomi sebagai panglima” sehingga paradigma pertumbuhan ekonomi menjadi pilihan utamanya dalam proses pembangunan bangsa. Kondisi objektif ini telah mempengaruhi arah Politik Hukum Nasional ketika itu, bahwa kebijakan pembangunan hukum dikonsentrasikan pada perundang-undangan yang dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi, untuk itu pada tahun 1967 dibuat Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.36 Selain produk perundang-undangan yang telah diuraikan di atas, masih terdapat pula beberapa perundang-undangan yang merupakan warisan pemerintah kolonial yang masih diakui keberadaannya hingga sekarang. Bahkan masih dipergunakan dalam proses penegakan hokum di Indonesia. Produk hukum kolonial yang masih diberlakukan misalnya; Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), Burgerlijke Wetboek (BW), HIR, UndangUndang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, dan lain-lain. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan hokum dalam masyarakat, maka perlu diadakan upaya-upaya pembaharuan terhadap produk hukum tersebut. Hal ini disebabkan bahwa peraturan tersebut banyak terdapat ketidaksesuaian dengan kultur dan budaya masyarakat Indonesia. Selain itu salah satu alasan politis, yaitu sebagai Negara yang telah merdeka, maka sudah selayaknya apabila pemerintah Republik Indonesia memiliki perundangundangan nasional yang merupakan hasil karya sendiri. Politik Hukum Nasional yang dipraktekkan pada rezim pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dalam prakteknya kurang memberi tempat bagi hukum adat, bahkan kekuatan hukum nasional digunakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi kelompok tertentu yang pada akhirnya tidak memberdayakan kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat hukum adat. Kebijakan mengenai tata niaga cengkeh melalui ketentuan hukum merupakan praktik monopoli dan monopsoni yang telah menyengsarakan masyarakat petani cengkeh. Berbagai produk perundangundangan yang dibuat sebagian besar berdimensi kekuasan sehingga melahirkan konsep teknokratik-birokratik, politik, dan klientilistik. Kebijakan 34Moh. 35Ibid.
Mahfud M.D., Op.Cit., hal. 279.
36http://id.wikipedia.org/wiki//politik-hukum-nasional-orde-baru//diakses
07 Januari 2011.
yang didukung oleh peraturan perundang-undangan tersebut telah memunculkan beberapa perusahaan raksasa multiusaha atau konglomerat yang cenderung mendominasi ekonomi Indonesia, di mana perusahaanperusahaan yang dimunculkan tersebut umumnya mempunyai hubungan khusus dengan penguasa sehingga memunculkan istilah birokrat-pengusaha, pengusaha klien, dan pengusaha Cina.37 Setelah rezim pemerintahan Soeharto dilengserkan oleh rakyat Indonesia pada tahun 1997, maka Indonesia telah memasuki satu periode baru yang disebut sebagai periode reformasi. Dalam periode ini bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan besar sebagai konsekuensi dari tuntutan reformasi, di mana keinginan untuk melakukan perubahan dan pembaruan menjangkau berbagai aspek kehidupan masyarakat, politik, ekonomi, dan hukum. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintahan orde reformasi adalah upaya mengatasi krisis ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat, memperkuat kelembagaan ekonomi, mendorong persaingan sehat, sampai pada pemberantasan praktek-praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam kegiatan ekonomi-bisnis. Konsekuensi dari pilihan ekonomi perspektif sloganisme kerakyatan pada rezim pemerintahan orde reformasi telah dibentuk beberapa undang-undang yang dimaksudkan untuk mendorong kegiatan ekonomi yang efisien dan sehat, undang-undang yang dimaksud antara lain; undang-undang perbankan, undang-undang kepailitan, undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, undang-undang Bank Indonesia, undang-undang lalu lintas devisa dan sistem nilai tukar, undang-undang larangan pencucian uang hasil kejahatan, undang-undang yang berkaitan dengan hak atas kepemilikan intelektual, undang-undang penanaman modal, dan berbagai undang-undang lainnya. Dengan dibentuknya sederetan peraturan perundangundangan sebagaimana diuraikan tersebut, tampaknya politik hukum nasional Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru banyak tertuju pada pembangunan di bidang hukum ekonomi. Sejak 1 Januari 1982, bangsa Indonesia dalam bidang penegakan hukum telah memasuki suatu era yang baru. Perjalanan penegakan hukum (pidana) di Indonesia sudah dimulai dalam kurun waktu yang amat panjang, setidaktidaknya dapat diukur dari mulai berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selama kurun waktu itu pulalah praktik penegakan hukum pidana di Indonesia selalu mengalami dinamisasi. Dinamisasi itu bukan semata mata monopoli para aparat penegak hukum, melainkan karena masyarakat sudah semakin familiar dengan keterbukaan dan transparansi.38 Penegakan hukum (pidana) apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, maka penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap. Pertama, tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut dengan tahap legislatif. Kedua, tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai dengan pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif. Ketiga, tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana 37Ibid.
38Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 101.
pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau tahap administratif.39 Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka penegakan hukum seyogianya tidak dipandang secara sempit, namun harus secara holistik, dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya selalu dipahami sebagai penegakan norma-norma hukum yang berkait dengan pelanggaran seorang tersangka atau terdakwa, melainkan juga penegakan terhadap norma-norma yang bertalian dengan perlindungan hak hak tersangka dan terdakwa oleh aparat penegak hukum selama proses pemeriksaan berlangsung.40 Masalah penegakan hukum dewasa ini semakin sering disorot orang. Bahkan, tekanan kepada institusi penegak hukum semakin gencar dilakukan, baik oleh pencari keadilan, maupun dari kalangan intelektual. Tekanan ini terjadi karena adanya fenomena dimana para penegak hukum acapkali tidak lagi menjalankan misi mulianya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, para penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) acapkali rnelakukan tindakan yang sangat bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat, seperti perlakuan diskriminatif di antara para tersangka/terdakwa. Tindakan mana sesungguhnya tidak sejalan dengan semangat KUHAP yang menghendaki adanya perlakuan yang sama bagi setiap warga negara, termasuk kepada para tersangka tanpa harus melihat status sosialnya. Demikian halnya fenomena putusan pengadilan yang terkadang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat yang kemudian ternyata diwarnai oleh tindakan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme, mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan kepada para aparat penegak hukum.41 Lain lagi bila para penegak hukum sadar atau tidak melibatkan diri ke dalam kancah permainan politik sehingga berubahlah peran penegak hukum sebagai alat kekuasaan pihak yang berkuasa. Penegakan hukum acapkali sarat dengan tindakan kamuflase dengan melakukan penangkapan atau pemeriksaan kepada setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana, padahal hampir tidak ada yang dituntaskan. Akibatnya, semakin mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia, sehingga ungkapan bahwa "tidak semua yang ada di balik terali adalah penjahat, dan tidak semua penjahat ada di balik terali" seolah tak terbantahkan. Cukup banyak pujian dilontarkan terhadap KUHAP. Ada yang berbicara tentang karya bangsa Indonesia yang merupakan suatu masterpiece, hebat sekali bukan? Serta dengan ini diharapkan dapat ditegakkan hak-hak asasi manusia menurut konsep yang berasal dari Barat atau dari Indonesia? Suatu produk legislatif terbesar setelah Indonesia merdeka, tonggak pertama pembentukan kodifikasi hukum nasional. Sebenarnya KUHAP bukan merupakan suatu kodifikasi, kemajuan fantastis di bidang hukum, tangan kuat untuk hak asasi, dan entah apa lagi.42 Cikal bakal KUHAP adalah dari kitab undang-undang pidana Perancis yang bernama Code Penal semenjak zaman Napoleon. Karena Netherland termasuk dalam wewengkon kerajaan Perancis, maka Code Penal pun diberlakukan pula di negeri Belanda. Kemudian, Indonesia atau disebut Hindia Belanda (karena pernah dijajah Belanda), otomatis memakai unsur hukum 39Teguh
Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 111. Heri Tahir, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hal. 95. 41Ibid., hal. 96. 42J.E. Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2009), hal. 149. 40H.
Code Penal juga sebagai undang-undang hukum pidana, yang namanya disebut Wetboek van Straafrechts (WvS). Setelah Indonesia merdeka, maka WvS tersebut menjadi KUHAP dengan beberapa perubahan untuk penyesuaiannya. Perubahan yang paling mendasar di bidang hukum pada era ini adalah mengubah kemajemukan hukum peninggalan kolonial menjadi tunggal.43 Segera setelah Soeharto turun dari kursi kepresidenan tanggal 21 Mei 1998, gerakan reformasi tampak mengalami antiklimaks. Para tokoh reformis muncul seperti jamur di musim penghujan, disertai dengan tuntutan, pernyataan, sampai ke pembentukan partai politik, yang membuat arah reformasi terasa semakin centang perentang. Arah gerakan reformasi yang terjadi antara kurun waktu jatuhnya Soeharto sampai dengan saat bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilu 1999, yang disebut pula sebagai pemilu pencerahan, justru membuat banyak warga negara menjadi bingung.44 Kolonialisme Belanda ke kepulauan Nusantara telah membawa datangnya hukum Nederland yang berasal dari Code Napoleon. Hukum ini dimasukkan ke dalam sistem Civil Law yang berasal dari Perancis dan Perancis menggalinya dari hukum Romawi dan mungkin juga dari Hukum Islam yang berkaitan dengan kontrak. Karakteristik dari Civil Law bahwa hukum itu adalah undang-undang yang terkodifikasi. Sistem ini berlainan dengan Common Law yang disusun oleh raja Henrry II untuk mempersatukan Inggris raya pada abad ke 13. Karakteristik Common Law adalah bahwa hukum itu lahir dari putusan-putusan hakim. Berdasarkan asas konkordansi maka hukum di Nederland berlaku bagi penduduk di Hindia Belanda mulai tahun 1848. Pada waktu itu penduduk Hindia Belanda dibagi atas tiga golongan: Eropa, Timur Asing, Bumi Putra. Golongan penduduk bukan Eropa dapat menundukkan diri pada hukum Eropa baik secara sukarela maupun diam-diam. Kodifikasi hukum Eropa ini terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHDagang), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana). Dalam perkembangannya berbagai materi dalam KUHPerdata dan KUHDagang setelah Indonesia merdeka memisahkan diri dalam bentuk lahirnya undangundang tersendiri seperti Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Tenaga Kerja, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Merk, Undang-undang Rahasia Dagang. Di negeri asalnya sendiri ketiga kitab undang-undang ini telah mengalami berkali-kali perubahan, di Indonesia perubahan itu terjadi dengan lahirnya berbagai undang-undang baru yang dulunya diatur dalam KUHPerdata, KUHDagang dan KUHPidana. Perubahan undang undang ini terjadi karena adanya keputusan-keputusan pengadilan yang menetapkan penafsiran terhadap undang-undang tersebut dan akhirnya menjadi yurisprudensi. Setelah lahirnya orde baru, terbukalah kesempatan yang lapang untuk untuk membangun di segala segi kehidupan. Tidak ketinggalan pula pembangunan dalam bidang hokum. Puluhan undang-undang telah diciptakan, terutama merupakan pengganti peraturan warisan kolonial.45 Pluralisme memberikan pengaruh yang penting terhadap politik hukum nasional. Politik hukum yang dibuat dalam masyarakat yang pluralistik, 43R.E. Baringbing, Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, (Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001), hal. 42. 44Selo Sumardjan, Menuju Tata Indonesia Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 263. 45Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 54.
haruslah ada unifikasi hukum, yaitu harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh misalnya;46 ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan perumusan Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.47 Sesuatu yang sangat monumental yang terjadi dalam periode pasca Orde Baru adalah dilakukannya Amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada rezim Orde Baru tidak akan dapat tersentuh sama sekali oleh ide-ide perubahan. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen yang dilakukan, kembali terdapat penguatan terhadap eksistensi hukum lokal (hukum adat dan/atau hukum daerah), hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 18 B UUD Tahun 1945 sebagai berikut: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang; (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan konstitusi Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, maka nafas pluralisme hukum kembali mendapat angin segar sehingga memungkinkan untuk menumbuhkembangkan hukum-hukum lokal (hukum adat dan hukum daerah) yang sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, upaya penguatan hukum-hukum lokal (pembangunan hukum di daerah) harus terus dibina dan diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat sehingga keberadaan hukum dapat memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi daerah dan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Patut disadari, sesungguhnya eksistensi hukum adalah refleksi dari kenyataan kehidupan masyarakatnya. Kehidupan hukum pada hakikatnya harus merespon kebutuhan masyarakat tempat keberlakuan hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa hukum yang baik adalah apabila hukum tersebut dapat merespon dan sejalan dengan hukum yang hidup di tengah masyarakat. Dalam kaitan dengan iklim otonomi daerah saat ini, maka pembinaan dan pembangunan hukum Nasional tidak lagi berpijak pada konsep unifikasi hukum semata-mata, akan tetapi dapat memberikan ruang gerak bagi daerah untuk mengembangkan iklim pembangunan hukumnya melalui perangkat legislasi daerah yang merespon tingkat kebutuhan lokal masyarakat daerah. 46H.
Abdul Gani Abdullah, Loc.Cit. Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Udang Nomor 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974), Penjelasan Pasal 2 ayat (1). 47Indonesia,
Kegagalan merealisasikan unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk semua golongan rakyat di Hindia Belanda tidak dapat mengabaikan jasa seorang pakar etnografi hukum dari Universitas Leiden, seorang partikularis yang gigih dan konsekuen, yaitu Cornelis van Vollenhoven, namun sebenarnya bukan semata-mata adanya pandangan Vollenhoven yang tidak berkehendak untuk mengabaikan hukum rakyat pribumi, akan tetapi memang rakyat pribumi telah menyatu dengan bangunan system hukum adatnya sehingga upaya unifikasi hukum Barat pada penduduk pribumi mengalami kegagalan. Hal ini secara bijak menunjukkan pembelajaran bagi upaya membangun sistem Hukum Nasional Indonesia yang berada dalam pluralisme budaya dan masyarakatnya. Berkaitan dengan perubahan niat untuk tidak lagi memaksakan bentuk unifikasi hukum oleh Pemerintah Kolonial Belanda dapat dilihat lebih jauh dalam uraian Soetandyo Wignyosoebroto dalam bukunya yang berjudul Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada pada tahun 1995. Dalam buku tersebut terungkap bahwa pada tahun 1927 sebuah undang-undang ketenagakerjaan yang mencakup persoalan luas diundangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, undang-undang ini ternyata hanya dinyatakan berlaku buat orang-orang Eropa saja, dan tidak untuk orang-orang pribumi.48 Dengan demikian unifikasi di bidang hukum perburuhan yang pernah diwujudkan sejak tahun 1879, maka terhitung tahun 1927 berdasarkan Pasal 131 Indische Staatsregeling lalu tidak lagi terunifikasikan. Kesulitan untuk mengangkat hukum masyarakat ke dalam substansi hukum nasional timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tidak terumus secara eksplisit saja, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum yang modern yang meliputi tata organisasi, prosedur-prosedur dan asas-asas doktrinal dan penegakannya telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tidak mudah untuk dirombak begitu saja dalam waktu singkat. Seringkali dengan alasan “fungsi sosial” atas tanah sebagaimana yang tertuang di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak mesyarakat lokal (adat) harus terpinggirkan demi kepentingan pemerintah melalui perijinan yang diterbitkannya dengan berlindung dibalik alasan demi kepentingan “pembangunan”. Praktek perijinan terhadap pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah pusat tanpa mengikutsertakan masyarakat adat sekitar telah memberangus hak-hak masyarakat adat, bahkan perijinan pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak jarang justru memarjinalkan masyarakat adat di sekitar tanah-tanah yang dimanfaatkan, diantaranya telah menikmati kemiskinan di atas kekayaan sumberdaya alamnya sendiri. Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan 48http://dialektikahukum.blogspot.com//2009/politik hukum nasional. diakses tanggal 08 Januari 2011.
politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.49 Pluralisme diharamkan, begitulah salah satu fatwa dari MUI, lalu kenapa sampai hal tersebut terjadi dan apa sebenarnya pluralisme itu? Pluralisme sendiri berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu pluralism, dan berdasarkan dari wikipedia, pluralism mempunyai pengertian "Suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)", kalau dilihat dari pengertian dasarnya, seharusnya pluralisme merupakan suatu hal yang baik, tetapi kenapa sampai diharamkan? Seiring berjalannya waktu pengertian pluralisme telah banyak mengalami perkembangan, yang disesuaikan dengan perubahan zaman dan kepentingan dari beberapa pihak, salah satu perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang diungkapkan oleh John Hick, yang mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut nantinya akan berevolusi menjadi satu. Pengertian pluralisme diatas mempunyai anggapan bahwa semua agama adalah sama, hal inilah yang kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang tertentu untuk merubah suatu ajaran agama agar sesuai dengan ajaran agama lain. Kondisi tersebut jelas tidak berlaku untuk negara Indonesia, di mana kebhinekaan merupakan salah satu pedoman bangsa, dengan beragamnya suku bangsa dan agama di Indonesia, pengertian pluralisme versi John Hick akan sangat mengganggu, dan bisa menimbulkan konflik yang hanya berlandaskan emosi, karena penduduk Indonesia untuk saat ini, sangat mudah sekali terpengaruh oleh suatu informasi tanpa mau mengkaji lebih dalam. MUI Sendiri mengeluarkan fatwa haram terhadap pluralisme dengan catatan pengertian dari pluralisme adalah "suatu paham yang mengajarkan agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga", jadi kalau pengertian pluralisme berlainan dengan kondisi diatas, maka tetap diperbolehkan.50 Pluralisme sendiri sebenarnya sangat penting sekali, bagi sebuah negara yang terdiri dari beraneka suku bangsa, etnis atau kelompok sosial lainnya, termasuk dalam hal ini negara Indoneisa, asalkan pengertian dari pluralisme kembali ke asalnya, yaitu toleran, seperti halnya yang diungkapkan cendikiawan muslim Masykuri Abdillah, yang mengatakan pluralisme merupakan sikap menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai keniscayaan. Dengan semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, sudah tentu setiap masing-masing individu masyarakat mempunyai keinginan yang berbeda-beda, dan hal tersebut bisa menimbulkan konflik diantara individu masyarakat tersebut, untuk itulah diperlukan paham pluralisme yang mengacu kepada pengertian toleransi, untuk mempersatukan kebhinekaan suatu bangsa. Apalagi apabila kita melihat pedoman dari bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika, yang mempunyai 49Ibid.
50http://id.wikipedia.org/wiki/pluralisme.diakses
tanggal 08 Januari 2011.
pengertian berbeda-beda tetapi tetap menjadi satu, yang mengingatkan kita betapa pentingnya pluralisme untuk menjaga persatuan dari kebhinekaan bangsa, asalkan pengertian pluralisme adalah toleransi. Indonesia adalah negara yang sangat kental akan nilai luhur sejarah dan budaya. Masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi sekali nilai-nilai luhur dari nenek moyang yang selalu diterapkan sampai saat ini dikehidupannya khususnya dalam bidang seni dan budaya, sehingga masyarakat Indonesia menganggap bahwa mereka tidak bisa lepas dari kebiasaan adat karena telah melekat di dalam kehidupannya semenjak ia lahir ke dunia. Terlepas dari pandangan tentang pornografi, dengan disahkannya UU Pornografi telah membelah masyarakat Indonesia dalam pro dan kontra khususnya pada masyarakat adat. Menurut I Gusti Ngurah Harta, sebelum UU Pornografi diundangkan, UU Pornografi dipandang sebagai masalah yang akan menggoyahkan keberadaan Indonesia sebagai bangsa yang plural, serta memiliki aneka kebudayaan dan standar yang berbeda dalam menilai pornografi, “sejumlah simbol suci dalam agama Hindu bahkan menampilkan ketelanjangan sebagai hal yang wajar dan alamiah dalam kehidupan manusia,”tegas tokoh spiritual Bali itu.51 Semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya dalam makalah ini disebut UU Pornografi), menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, karena ini sangat berbenturan dengan kebiasaan adat yang di dalam UU Pornografi dianggap sebagai hal yang patut untuk dikriminalisasi. Sikap kontra sehubungan dengan diundangkannya UU Pornografi yang terjadi di Provinsi Bali dan Sulawesi Utara dapat dipahami melalui sudut pandang sejarah. Penelitian Schurhammer membuktikan, di Sulawesi Utara pada masa pra-Islam, perzinahan dengan perempuan yang belum menikah diperbolehkan, tetapi jika perzinahan dilakukan dengan perempuan yang telah terikat perkawinan, dikenai hukuman mati. Dilihat dari segi kebudayaan, Balkan mengemukakan bahwa UU Pornografi akan mengancam keberagaman budaya dan kebebasan berekspresi.52 Pilar keberagaman budaya adalah kebebasan berekspresi dan kreatifitas dalam berkesenian Jika memang kebebasan berekspresi adalah syarat mutlak berkesenian dan berbudaya maka ketika masuk ke era reformasi di mana kebebasan dibuka lebar seharusnya bisa memberi kesempatan untuk lahirnya berbagai karya seni yang lebih berkualitas. Tapi kenyataannya itu tidak terjadi. Hukum sebagai kaidah perilaku memiliki arti penting dalam mengatur kehidupan masyarakat dan bernegara, baik yang menyangkut hubungan individu dengan individu, hubungan individu dengan masyarakat dan negara, serta hubungan antar negara. Dalam konteks ini, perbuatan-perbuatan yang boleh dihukum adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib negara. Perbuatan-perbuatan yang tidak bertentangan dengan tata tertib negara, biarpun bertentangan dengan kesusilaan tidak dapat dihukum. Miris sekali menyaksikan carut-marut negeri ini, ketika masalahmasalah kemanusiaan terus muncul silih berganti, seakan-akan tiada habisnya. Belum selesai masalah yang satu telah muncul pula masalah yang lain, kini satu masalah lagi sedang memanas, yaitu menyangkut perilaku asusila yang 51Wayan P. Windia, Mamitra Ngalang : Catatan Populer Hukum Keluarga Perspektif Hukum Adat Bali, (Bali: Upada Sastra, 1989), hal. 169. 52Haris Abu Ulya, “Polarisasi Kontroversi RUU Pornografi”, Majalah Budayawan Muda, Senin 29 September 2008, hal.5.
semakin banyaknya, diantaranya tayangan-tayangan pornoaksi makin gencar di hampir semua stasiun televisi. Semakin banyaknya pornografi di berbagai majalah dan tabloid semakin membuat risih sebagian umat yang melihatnya. Selain itu datang lagi masalah baru yang mengundang kontoversi, yaitu penerbitan majalah Playboy yang berisikan hal-hal yang berbau pornografi. Padahal masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini mestinya mudah sekali memberikan batasan porno. Memang tidak semua pelaku pornografi dan pornoaksi itu muslim, tapi setidaknya masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim mempunyai hak untuk memberikan batasan aurat yang bisa di tolerir oleh semua kalangan, belum lagi bagi para pelaku seni bahwa mereka menganggap bahwa aurat wanita itu bukan merupakan suatu hal yang dapat dianggap pornografi akan tetapi merupakan suatu objek dari suatu keindahan dalam seni. Kalau itu yang diperkirakan mereka, berarti masyarakat Indonesia kembali ke jaman Jahiliyah, dimana pamer aurat terutama aurat wanita menjadi barang komoditi. Mengamati fenomena prilaku sex bebas, pornografi, dan pornoaksi yang semakin merajalela di negeri tercinta ini, semua ini tanpa masyarakat Indonesia sadari merupakan dampak dari gencarnya kampanye budaya barat di negeri yang mayoritas muslim ini. Salah satu sikap mental yang diderita budaya barat adalah ketakutan pada umat Islam yang berpegang teguh pada Syariat Islam.53 Sejarah membuktikan, Perang salib telah menyisakan rasa gentar mereka pada agama Islam, karena menurut mereka agama Islam menyimpan potensi yang sangat hebat dan mampu menggerakkan umatnya untuk bersatu melawan kekuatan apa saja. Tidak diragukan lagi kalau mereka menganggap negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam merupakan ancaman bagi dunia barat. Untuk itulah negara barat berusaha mengkampanyekan pornografi, pornoaksi serta perilaku sex bebas dengan tujuan untuk melemahkan moral dan spiritual generasi muda Islam, yang pada akhirnya akan menjauhkan umat Islam dari tuntunan Syariat Islam sehingga ideologi Islam akan hancur. Semakin banyaknya pornografi dan pornoaksi juga merupakan akibat lemahnya tatanan kehidupan di negeri ini dari tuntunan agama. Sistem demokrasi sekuler yang dianut bangsa Indonesia membuka peluang bagi tumbuhnya liberalisme di segala bidang kehidupan yang mengusung bendera HAM (Hak Asasi Manusia).54 Dengan dalih HAM inilah mereka merasa terjamin kebebasannya dalam berprilaku, termasuk kebebasan (kebablasan) berekspresi seperti yang didengungkan para pekerja seni. Untuk itulah maka pemerintah beserta jajarannya telah mengundangkan UU Pornografi agar masyarakat Indonesia mempunyai batasan dalam berekspresi dalam berperilaku sehari-hari dan tetap mempertahankan idealisme akan pluralisme sebagai suatu masyarakat Indonesia yang memegang teguh kesopanan. Walaupun dalam proses pembuatan UU Pornografi tersebut, banyak menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Di beberapa wilayah bahkan secara tegas mengatakan tidak akan mematuhi UU Pornografi jika Undang-undang tersebut disahkan dan bahkan mengancam akan ke luar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak hanya di masyarakat, di dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 53Hudan Hidayat, “Menyambut Ontologi UU Pornografi”, www.artculture.com, diakses tanggal 06 Januari 2011. 54Jay Parrandy, “UU Pornografi Intervensi Kebebasan dan Kehidupan Pribadi”, www.antara.co.id. Diakses tanggal 07 Januari 2011.
juga masih terjadi pro kontra. Bukan hanya pada sejumlah pasal tapi paradigma dan logika penyusunannya juga dipersoalkan. Diberlakukannya Undang-Undang Pornografi telah menimbulkan pro dan kontra masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya. Masyarakat adat Bali telah menyatakan pandangannya, bahwa55 pornografi dan pornoaksi tidak perlu diatur secara khusus dengan UU tersendiri karena secara substansial sudah tercakup ke dalam kategori tindakan pelanggaran kesusilaan dan kesopanan yang sudah diatur oleh produk hukum yang sudah ada dan masih tetap berlaku sampai sekarang di Indonesia. Bahwa demi tertib sosial bersama, jikapun ada pihak yang menginginkan pengaturan tentang pornografi dan pornoaksi maka pengaturan itu tetap mesti didasarkan pada kesepakatan bersama segenap komponen bangsa, dengan tetap menjunjung tinggi dan mengedepankan asas pengakuan dan penghargaan penuh terhadap keragaman pandangan sosio-kultural maupun dasar religi masing-masing komponen bangsa termasuk masing-masing daerah. Pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman dimaksud bersifat mutlak dalam bingkai NKRI yang berdasarkan Pancasila dengan dasar konstitusi UUD 1945 serta bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa meskipun pornografi dan pornoaksi perlu diatur dengan dasar berpikir yang tersebut di atas, namun pornografi dan pornoaksi tetap tidak perlu diatur secara khusus dengan satu UU Khusus Antipornografi dan Pornoaksi yang berlaku umum (lex generalis) bagi dan di seluruh wilayah NKRI. Jika pun hendak diatur, maka pengaturan cukup hanya dengan Peraturan Daerah (Perda) masing-masing sehingga tetap mencerminkan dan menghargai keragaman pandangan sosio-kultural-religius masing-masing daerah. Fakta keragaman sosio-kultural Indonesia yang diakui dalam UUD 1945. Masing-masing daerah dengan latar belakang dan basis sosio-kultural masingmasing punya relativitas pandangan tentang pornografi dan pornoaksi. Bali dengan landasan latar belakang sejarah sosio-kultural dan religiusnya tersendiri memandang sensualitas dan organ kelamin tidak semata-mata berdasarkan pemaknaan yang binal dan material-fisikal semata. Tradisi sosiokultural serta filosofi religius Bali memaknai sensualitas serta organ kelamin sebagai elemen penting dalam penciptaan, asal muasal dan proses pemeliharaan kehidupan. Karena itu sensualitas serta organ-organ seksual dimaknai serta diperlakukan secara substansial sebagai simbol-simbol religius yang disakralkan. Contoh paling nyata adalah penghargaan dan penghormatan yang ditujukan masyarakat Bali kepada lingga-yoni. Jika lingga-yoni ini dipahami sebatas material-fisikal maka lingga-yoni adalah tak lebih dari representasi fisik dari organ seksual pria dan wanita, dan oleh karenanya dengan mudah bisa dihakimi sebagai sebuah obyek pornografi. Namun, manakala dipahami dengan melewati batas-batas material-fisikal, atau dipahami secara substansial yang sublim dengan kesadaran spiritual berdasarkan tradisi and ajaran esoterik Bali, maka lingga-yoni merupakan sebuah simbol yang teramat sakral, luhur serta bagian tak tergantikan dalam lanskap pemikiran spiritual masyarakat Bali.56 Undang-Undang Pornografi ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, 55Nugroho Dewanto, “Komponen Rakyat Bali terhadap RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi”, http://groups.yahoo.com/group/ppiindia. diakses tanggal 08 Januari 2011. 56Ibid.
etnis dan agama. Undang-Undang Pornografi dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila. Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung Undang-Undang Pornografi ini. Mereka berpendapat UndangUndang Pornografi sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga Pasal 36 Undang-Undang Pornografi, dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu Pasal 37 Undang-Undang Pornografi. D. Penutup Berdasarkan beberapa contoh perundang-undangan yang telah diuraikan di atas, mengindikasikan bahwa pembentukan perundang-undangan nasional melalui politik hukum nasional, harus memperhatikan keadaan dan kondisi pluralistik masyarakat Indonesia, yang sangat kaya akan keanekaragaman bahasa, suku, serta adat istiadatnya. Sehingga produk hukum yang dihasilkan tetap dapat diberlakukan dan diterima keberadaannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralis. Jadi kesimpulannya adalah bahwa kolonialisme maupun pluralisme merupakan faktor yang sama-sama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi politik hukum nasional di Indonesia. Pluralisme memberikan pengaruh yang penting terhadap politik hukum nasional. Politik hukum yang dibuat dalam masyarakat yang pluralistik, haruslah ada unifikasi hukum, yaitu harus ada hukum yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Pengaruh dari kolonialisme dalam politik hukum di Indonesia adalah dengan banyaknya peraturan perundang-undangan yang bersifat kolonialistik (hukum dibuat untuk melindungi dan memperkuat kolonialisme), dan beberapa diantaranya bahkan masih ada yang diberlakukan hingga sekarang. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Anwar, Yesmil dan Adang. Pembaruan Hukum Pidana (Reformasi Hukum Pidana). Jakarta: Penerbit Gramedia, 2005. Baringbing, R.E. Catur Wangsa Yang Bebas Kolusi, Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum. Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001. Hartono, C.F.G. Sunaryati. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, 1991. Hartono. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Mahfud M.D., Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Mertokusumo, Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum. Yogyakarta: Liberty, 1984. Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Penerbit Nusa Media, 2010. Putra Jaya, Nyoman Serikat. Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional. Bandung: Citra aditya Bakti, 2005. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. cet. Ke-3. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. Syaukani, Iman dan A. Ahsan Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT. Raja Graffindo, 2004. Soedarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. _______. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983. Sutiknyo, Iman. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers, 1990. Sahetapy, J.E. Runtuhnya Etik Hukum. Jakarta: Penerbit Kompas, 2009. Sumardjan, Selo. Menuju Tata Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. Tahir, H. Heri. Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010. Windia, Wayan P. Mamitra Ngalang: Catatan Populer Hukum Keluarga Perspektif Hukum Adat Bali. Bali: Upada Sastra, 1989. Wahyono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada, 1995. B. Makalah/Artikel/Internet Abu Ulya, Haris. “Polarisasi Kontroversi RUU Pornografi”. Majalah Budayawan Muda. Senin, 29 September 2008. Abdullah, H. Abdul Gani. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Politik Hukum”. Materi Perkuliahan Politik Hukum. Jakarta, Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum (PPS-MIH), Universitas Tarumanagara, 20 Desember 2010. Dewanto, Nugroho. “Komponen Rakyat Bali terhadap RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi”. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia. diakses tanggal 08 Januari 2011. http://wikipedia.org/wiki/pengertiankolonialisme. diakses tanggal 06 Januari 2011. Hartono, C.F.G. Sunaryati. “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Bandung, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 01 Agustus 1991. http://id.wikipedia.org/wiki//politik-hukum-nasional-orde-baru// diakses 07 Januari 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/pluralisme.diakses tanggal 08 Januari 2011. Hidayat, Huddan. “Menyambut Ontologi UU Pornografi”, www.artculture.com, diakses tanggal 06 Januari 2011. Juajir Sumarji, dalam ”http://dialektikahukum.blogspot.com”/ 2009/02/pengaruhpolitik-hukum-nasional//,diakses 05 Januari 2011. Wahyono, Padmo. “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”. Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991.