Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia AIFIS Serial Discussion Rangkuman hasil serial diskusi AIFIS AIFIS 2/17/2015
Rangkuman ini disusun dari beberapa acara serial diskusi ilmiah/akademik yang diselengarakan AIFIS bekerjasama dengan BEM Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dengan topik: Pluralisme dan Multikulturalisme di Indonesia
Topik Achmad Zainal Arifin 5 Eny Winarti, PhD 14
Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme Gusdur Pendidikan Indonesia: Belajar dari Romo Mangun Wijaya
Achmad Munjid 20
Meneladani Spirit Anti Kekerasan Ibu Gedong
Dr. M. Iqbal Ahnaf 30
TH. Sumartana: Pelopor Dialog Antar Agama
Samsul Ma’arif, Ph.D 40
Rekontekstualisasi Pluralisme Islam: Studi Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur)
Fasihol Adib M.A 45
Epilog : Melanjutkan Warisan Pluralisme
Foto, transkripsi dan tata letak oleh AIFIS Indonesia : Johan Purnama, M.Chozin Amirullah, Faishol Adib, Annas Bentari
Alamat: Mulia Business Park, Sampoerna University, Gedung A, Lt.2 Jl. MT. Haryono Kav. 58-60, Pancoran, Jakarta Selatan 12780 Telp: 021 7942340 ext.7272 Email:
[email protected] Website: www.aifis.org Journal Website: www.aifis-digilib.org
1
Prakata Seorang Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dilantik sebagai Gubernur pada tanggal 19 November 2014, di tengah perlawanan beberapa organisasi keagamaan dan individu-individu yang mengatas namakan (mempersoalkan) agama dan etnis. Demikian juga dengan ketentuan tidak tertulis di negara ini bahwa Presiden di Indonesia haruslah dari suku Jawa, walaupun pernah seorang B.J Habibie menjadi presiden karena menggantikan Jenderal Soeharto yang menyatakan berhenti (mengundurkan diri) pada tahun 1998.
Komitmen melalui semboyan “Bhinneka
Tunggal Ika” ternyata hanya sebuah mimpi di siang bolong, komitmen ini mungkin akan menjadi kenyataan bila seorang Ahok bisa menjadi Presiden, barulah rakyat Indonesia berhak bangga dengan semboyannya. Tetapi paling tidak Indonesia sedang dalam perjalanan menuju kesana, pada jaman orde baru sangat sulit membayangkan ada kepala daerah yang berasal dari etnis minoritas. Istilah pluralis menjadi berarti negatif bila didiskusikan dalam kajian-kajian berbasis agama karena akan langsung dikorelasikan dengan sinkretisme, padahal pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural atau banyak, pluralisme secara substansial termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan penyeimbangan yang dihasilkannya. Karena pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi di antara beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain Istilah multikultural sendiri sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu Negara, multikulturalisme adalah suatu pemahaman yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada, dengan kata lain fokus utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya dalam situasi kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan. Diskusi mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, hak asasi manusia, hak budaya komunitas dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan prinsip-prinsip moralitas.
2
Model multikulturalisme sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Selain itu tercantum pada Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undangundang”., dan Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. K.H.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyatakan bahwa pada pluralisme sedang berada di tengah cobaan, banyaknya kejadian yang menjadi penghalang dalam kebersamaan, sehingga pluralisme perlu untuk dirawat. Gus Dur menyatakan menyatakan perlunya merawat kemajemukan dalam bernegara untuk memperkuat ikatan nasionalisme Indonesia yang sangat jamak, beliau juga menilai selama ini negara tidak mampu bertindak secara tegas terhadap para kelompok antimultikultural dan antipluralis yang melanggar hokum, negara seolah membiarkan kesalahpahaman tentang makna multikulturalisme dan pluralisme di Indonesia terus berlanjut yang bahkan dapat menjurus ke perpecahan. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas keanekaragaman kebudayaan merasakan pentingnya multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, karena dengan multikulturalisme ini maka prinsip “Bhineka Tunggal Ika” akan menjadi terwujud dan keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai. Kesadaran multikultur sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk, namun pada masa Orde Baru kesadaran tersebut dikubur dalam-dalam atas nama kesatuan dan persatuan dan faham monokulturalisme kemudian dipaksakan, dan akibatnya sampai saat ini wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia masih sangat rendah. Gerakan penyadaran multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi,
3
karena demokrasi ternyata pada saat itu hanya berlaku pada kelompok tertentu, sehingga wacana demokrasi itu sendiri ternyata bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Pancasila kemudian sangat diharapkan mampu menjadi sebuah ideologi jalan tengah sekaligus jembatan yang menjembatani terjadinya perbedaan dalam negara Indonesia yang semestinya mampu mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan multiagama, dalam hal ini Pancasila harus bersifat terbuka dan memberikan ruang terhadap berkembangnya ideologi sosial politik yang pluralistik dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya.
Johan Purnama
Deputy Director AIFIS
4
Membela yang Lemah: Menggali Ide Pluralisme Gusdur Achmad Zainal Arifin (Dosen, Ketua PPISH UIN Sunan Kalijaga) (disampaikan dalam Dikusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia #1 di Kampus UIN Sunan Kalijaga, 19 September 2014)
Dalam perkembangan pemikiran tentang ideologi bermasyarakat dan bernegara, Gus Dur merupakan tokoh atau ikon pluralisme dimana masyarakat melihat pribadi Gusdur sebagai orang yang paling berani ketika berbicara tentang perbedaan atau ketika membela kelompok-kelompok yang tertindas. Pluralisme Gus Dur bukan tanpa dasar, bahkan pluralisme Gusdur sangat kental dengan berbagai warna dari pemahaman klasik dibandingkan dengan klaim sebagian orang yang mengatakan bahwa Gusdur adalah liberal tanpa menggunakan ayat. *** Sosok Negarawan dan Pluralisme Berbagai macam program studi pasca sarjana di tahun 2010 menunjukan bahwa tingkat intoleransi pada masyarakat kita meningkat. Hampir semua lembaga survey yang memiliki fokus pada bidang agama juga menunjukkan indikasi bahwa masyakarat khususnya kalangan muda lebih banyak mendukung bentuk-bentuk kekerasan dengan dalih agama. Penelitian yang dilakukan PPIM (2011) menunujukkan bahwa sekitar 60,4% responden mendukung tindakan kekerasan dan intoleransi. Lazuardi Biru (t-th) mengatakan bahwa Indonesia berada diatas batas ambang kerawanan terhadap pengaruh radikalisme dan terorisme dengan indeks 43,6%. Misalnya, survey pendapat yang dilakukan LAKIP (2012) pada 100 Sekolah Tingkat Mengengah Atas (SMA) di Jakarta mengenai tindakan sweeping yang dilakukan FPI. Mereka mendapatkan hasil survey bahwasanya dari 100 SMA tersebut simpati dan mendukung apa yang dilakukan oleh FPI. Hal ini tentunya sangat memperhatinkan karena kekerasan tidak ada dasarnya dalam agama. Masalah yang dilakukan FPI lebih ditekan pada cara dalam mengambil tindakan bukan benar atau salahnya dalam membela islam. Contoh paling sederhana adalah ketika warung makanan harus ditutup saat bulan ramadhan. Tidak semua orang berpuasa dan Allah pun hanya
5
menyuruh orang beriman untuk berpuasa. Mereka yang tidak berpuasa harus menghormati orang yang berpuasa dan pada akhirnya orang yang tidak berpuasa terpaksa berpuasa karena sulit mencari makan. Kekerasan agama tidak hanya terjadi pada non-muslim atau kelompok minoritas saja, tetapi juga kelompok mayoritas. Salah satu contoh kekerasan terhadap kelompok mayoritas adalah pembubaran Maulid Nabi di Yogyakarta sekitar tahun 2010 akhir. Kekerasan ini hanya dilakukan oleh satu orang yang meminta acara Maulid Nabi dihentikan dengan alasan mengganggu warga di malam hari. Perdebatan pun terjadi diantara mereka sampai satu orang tersebut menganggap bahwa sholawat yang dilakukan kelompok mayoritas adalah syirik. Kerusuhan pun terjadi akibat dari anggapan satu orang tersebut dan membuat kegiatan sholawat berhenti. Sebenarnya yang perlu kita perhatikan dari konteks permasalahan yang ada adalah munculnya kelompok-kelompok agama yang bersifat trans-nasional. Ciri-ciri dari kelompok keagamaan yang bersifat trans-nasional antara lain menekankan otentisitas doktrin keagamaan, eksklusivitas kelompok, anti-tradisi, mengusung ide-ide Islamisme (mendukung pendirian negara islam atau penerapan syariah islam). Model islam trans-nasional yang ada di Indonesia berada dibawah supervisi yang ketat. Misalnya, sebelum PKS (Partai Keadilan Sejahtera) didirikan, sudah ada kelompok yang bertugas untuk memeriksa kesesuaian model dengan pusat dan jika tidak sesuai maka tidak akan mendapatkan lisensi. Sayangnya, sebagian besar umat islam di Indonesia yang tertarik terhadap kelompok Islam trans-nasional ini adalah dari kalangan akademisi. Mengapa orang-orang pintar dan potensial dengan mudahnya tertarik pada kelompok Islam trans-nasional.juga merupakan PR besar buat bangsa Indonesia Berbagai bentuk kekerasan inilah yang memunculkan kerinduan dari beberapa kelompok pada hadirnya sosok negarawan yang mampu menjadi pengayom. Banyak kelompok agama misalnya Ahmadiyah dan Budha yang selalu mengulang bagaimana Gus Dur membela kepentingan mereka di setiap peringatan hari Gus Dur. Mengenal Kehidupan Gus Dur Dalam masa hidupnya, Gus Dur telah berkenalan dengan bacaan yang luar biasa ketika masa pembentukan pola pikirnya. Secara pemikiran, Gus Dur sudah ditempa dengan bacaan
6
yang tidak hanya untuk kajian pesantren, tapi juga buku-buku umum termasuk Das Capital yang sulit dipelajari di zaman Orde Baru dan kemungkinan akan ditangkap oleh aparat apabila ketahuan memiliki atau membaca buku Das Capital tersebut. Gus Dur mendapat beasiswa pendidikan di Al-Azhar tahun 1963. Pendidikan di Al-Azhar juga mempengaruhi pola pikir Gus Dur. Gus Dur aktif di gerakan mahasiswa dan sempat kagum terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin. Gus Dur juga sempat aktif dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan pada akhirnya pun berubah haluan. Ketidakcocokan di Pendidikan Al-Azhar, membuat Gus Dur pindah ke Baghdad tahun 1966. Di sisi lain tahun 1963, Mesir pun sedang mengalami pergolakan antara paham nasionalisme dan paham islam yang dibawa oleh Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah yang sampai sekarang masih berkonflik untuk menentukan nasionalis atau islam. Salah satu jasa dari Hasyim Asyari atau kakek dari Gus Dur yang mampu meneguhkan kembali bentuk negara yang Indonesia karena finalisasi NKRI dalam Muktamar di Samarinda tahun 1937 dan menyatakan tidak ada masalah agama islam dengan nasionalisme. Bangsa indonesia tidak membentuk negara islam dan tidak membentuk daerah peperangan tetapi yang dibentuk adalah negara yang damai. Salah satu doktrin yang dipegang dan dijalankan terus oleh Hasyim Asyari dan diturunkan kepada Wahid Hasyim ketika berperan pada sidang PPKI dan sidang BPUPKI yang kemudian diturunkan kepada Gus Dur. Gus Dur merupakan sosok yang sudah bergulat secara pemikiran dengan berbagai macam bentuk aturan yang ada. Gus Dur tidak hanya memahami tentang islam, tapi Gus Dur juga memiliki memahami paham nasionalis. Gus Dur menjadi penyaring terhadap aliran-aliran yang sekiranya tidak sesuai untuk masyarakat Indonesia. Gus Dur ingin menjadi kaum intelektual murni, tapi Gus Dur tidak dapat menghindar dari rutinitas pesantren sampai terlibat dalam kepengurusan NU. Gus Dur mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari berbagai belahan dunia seperti Ramon Magsasay Award, Simon Wiesenthal Center dan Mebal Valor. Penghargaan tersebut diberikan atas pemikiran Gus Dur tentang Pembina Hubungan Antar Agama yang salah satu contohnya adalah tentang ide pluralisme.
7
Pluralisme agama sering terdengar di kalangan masyakarat terutama mereka yang tidak setuju dengan ide pluralisme. Mereka yang tidak sejutu akan mengatakan pluralisme agama adalah hal yang menyamakan agama atau semua agama sama, terutama dalam Fatwa MUI tentang pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama. Pluralisme agama juga seringkali mendapatkan makna negative. Pluralisme dalam agama selain dianggap sebagai paham yang mengatakan bahwa semua agama sama, oleh masyarakat juga dinilai sebagai sikap Sinkretisme. Sinkretisme adalah paham yang menggabungankan beberapa ajaran. Penggunaan Sinkretisme sudah banyak dilakukan oleh beberapa model agama. Indonesia memiliki beberapa contoh sejarah terkait dengan Sinkretisme misalnya Hindu-Bali merupakan pencampuran Hindu India dan kepercayaan lokal di Bali. Pengalaman sejarah menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap isu Sinkretisme di Indonesia. Isu Sinkretisme ini perlu dijelaskan dan ditegaskan bahwasanya hal tersebut berbeda dengan pluralisme. Pasalnya dalam pluralisme tidak terdapat aspek adopsi sesuatu dari agama lain untuk diterapkan dalam pemahamannya. Pluralisme agama seringkali diidentikkan dengan istilah toleransi. Padahal, seharusnya pluralisme agama lebih dari sekedar toleransi. Toleransi hadir dari peperangan agama yang panjang di Eropa sekitar abad 15 sebelum munculnya revolusi Perancis. Setelah agama-agama tersebut berdamai, hadirlah istilah toleransi yang berarti tidak ada konflik antar agama yang berarti menghargai dan memahami ajaran agama lain. Pandangan tentang pluralisme agama juga memang sangat identik dengan Sinkretisme tetapi sebenarnya bukan. Pluralisme yang dimaksudkan di sini adalah menghormati orang lain tanpa harus menghilangkan jati diri pribadi. Pola pikir manusia pada umumnya seringkali merasa dirinya tidak baik sebelum menyalahkan orang lain. Pola pikir inilah yang harus dibenahi. Gus Dur bukan seorang akademisi muslim dan beliau tidak pernah secara sistematis membuat suatu definisi. Orang akan lebih banyak belajar dari perilaku dan aksi Gus Dur. Ide-ide yang dikemukakan oleh Gus Dur sangat luas, tidak hanya ide-ide tentang pluralisme dan toleransi. Hamidah (2010) melakukan penelitian dan mengumpulkan tulisan-tulisan Gus Dur di Media Massa. Hamidah mengumpulkan beberapa tema pemikiran Gus Dur yaitu Pandangan Dunia Pesantren yang masih menjadi ide yang cukup dominan dari seorang Gus Dur. Keharusan
8
Demokrasi, Pribumisasi Islam, Finalitas Negara, Bangsa dan Pancasila, Pluralisme Agama, Humanitarian Universal dan terakhir Antropologi Kiai adalah contoh lain dari tulisan Gus Dur. Saat ada klaim bahwa Gus Dur tidak paham islam atau tidak menggunakan islam sebagai dasar pemikirannya, hal tersebut mudah sekali dipatahkan oleh reputasi dan kapasitas Gus Dur yang menguasai ilmu-ilmu klasik seperti yang ditemukan pada tulisannya. Toleransi merupakan bentuk partisipasi pada agama lain. Disini Gus Dur tidak pernah mengklaim pendapatnya sendiri yang paling benar. Selama Orde Baru semua dialog agama direduksi dan tidak boleh menonjolkan identitas agama. Hal ini mengakibatkan masyarakat hanya tahu persamaannya tapi mereka tidak memahami perbedaannya. Sikap-sikap kontroversi Gus Dur terhadap pemerintah melatih kita untuk menghargai perbedaan yang ada. PBNU Semasa Gus Dur NU adalah organisasi pertama yang mengakui Pancasila ketika dibawah kuasa Gus Dur. Hal inilah yang membuat Gus Dus sempat dekat dengan mantan Presiden Soeharto sekitar tahun „84 ke atas. Tetapi selang beberapa tahun kemudian, terdapat pertentangan antara Gus Dur dan Soeharto. Soeharto menginginkan Gus Dur untuk tidak lagi menjadi ketua PBNU. Sejak saat itu, hubungan Gus Dur dan Soeharto menjauh. Gus Dur semakin kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pada pemerintahan Orde Baru dan bersama penggerak reformasi yang lain berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Dalam hal aplikasi hukum, antara Kiai dan NU sebenarnya tidak ada hubungannya. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya putusan PBNU yang bisa mengikat pesantren. Kiai memiliki kewenangan mutlak untuk mengatur pesantren. Pemerintah sudah berkali-kali mencoba bukan hanya dari aspek kurikulum, tapi mencoba dalam menyeragamkan pesantren yang hasilnya selalu saja gagal. Gus Mus kemudian berkomentar bahwa Gus Dur sengaja diutus ke Indonesia agar kita bisa belajar perbedaan, makanya sikap Gus Dur selalu kontroversial. Sikap kontroversi Gus Dur seharusnya membuat masyarakat Indonesia berpikir ulang tentang perdebatan yang terjadi antara Gud Dur dan Soeharto. Orang diluar NU yang tidak mengenal kultur pesantren dimana budaya berdebat secara akademis begitu kental, pasti akan menggangap perbedaan kedua orang tersebut sebagai ketidakkonsistenan.
9
NU hanya akan bersikap keras terhadap pemerintah dalam hal kerja sama. Pemerintah membuat peraturan yang membuat orang-orang pesantren mengalami puncak kemunduran atau masa kelam pesantren sekitar tahun 1950-an. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Indonesia yang digunakan pemerintah pasca merdeka adalah sistem pendidikan Belanda. Panglima perang TNI pada awal masa kemerdekaan banyak berasal dari pesantren. Akan tetapi karena sudah diputuskan bahwa sistem pendidikan Indonesia adalah sistem pendidikan Belanda sehingga pada tahun 1948, ada aturan mengenai orang yang berpangkat Letkol ke atas harus memiliki ijazah SRK. Banyak panglima yang berasal dari pesantren yang meniti karir di TNI kalah saing begitu saja dikarenakan pesantren tidak diakui. Perbedaan kebijakan antara pesantren dan pemerintah seperti itu sudah terjadi lama dan menimbulkan kesenjangan di masyarakat. “Dalam konteks pengayoman terhadap warga NU, sebenarnya titik tolak perubahan di tubuh NU tidak terjadi sebelum Gus Dur dating dan menjabat sebagai ketua. Saya kira, titik tolak perubahan yang terjadi dalam tubuh NU adalah saat Gus Dur menjabat sebagai ketua NU. Gus Dur naik sebagai ketua NU dengan berbagai syarat yang ia ajukan. Salah satu syarat yang diminta Gus Dur yaitu memilih sendiri semua anggotanya. Wewenang ada di tangan Gus Dur yang sangat berbeda pada waktu sebelumnya. Pada waktu sebelum Gus Dur, PBNU adalah representasi dari POY yang saat itu dominan. Secara sederhana ketika Gus Dur menjadi ketua adalah bahwa kiprahnya tidak hanya dirasakan oleh orang di dalamnya, tapi orang diluar pun juga merasakannya” ujar Arifin. Ide Pluralisme Gus Dur Ada 2 ide Gus Dur yang akan digunakan sebagai jalan untuk memahami ide pluralismenya. Pertama adalah ide tentang Pribumisasi Islam. Gus Dur pernah berkata bahwa Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab, bukan untuk mengubah Aku menjadi Ana, Sampeyan menjadi Antum, Sedulur menjadi Akhi. Gus Dur juga menambahkan bahwa kita harus pertahankan milik kita. Kita harus serap ajaran-Nya tapi bukan budaya Arabnya. Pribumisasi Islam menjadi roh dalam pemikiran Gus Dur karena merupakan aset yang digunakan Gus Dur untuk melanjutkan dakwah kultural. Gus Dur sangat paham bagaimana
10
sejarah Islamisasi di tanah Jawa dan apabila diteruskan akan memuncak pada konsep kebangsaan yang dibawa Gus Dur sebagai buah dari Pribumisasi Islam. Seandainya Gus Dur lebih cenderung pada legalisasi Islam dalam pemikirannya, maka belum tentu NKRI yang akan dikukuhkan olehnya. Ide yang kedua adalah melalui Islamisasi Jawa. Ide pluralisme yang berkembang di Indonesia dapat dilihat melalui proses Islamisasi Jawa. Aliran-aliran yang masuk saat islamisasi Jawa adalah aliran Tasawuf. Tasawuf adalah ajaran yang paling akomodatif karena mereka lebih mementingkan substansi. Contohnya yang terjadi pada jamaah di masjid Kudus dimana sampai sekarang tidak berubah. Setiap Idul Adha yang mereka sembelih adalah kerbau dan bukan sapi demi menghargai umat Hindu yang tinggal di sekitar masjid. Sekitar abad ke-18, aliran Syariat baru masuk ke Indonesia ketika ulama-ulama muda pulang dari studi di Mekkah. Tentunya sangat jauh sebelumnya sudah ada corak islam Tasawuf di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan jika ide pluralisme sudah berkembang belasan tahun dalam konteks masyarakat nusantara yang melting pot sebelum bangsa Indonesia sendiri ada. Permasalahan yang hingga saat ini masih diperdebatkan oleh masyarakat Jawa adalah tentang Islamisasi Jawa atau Jawalisasi Islam. Ide pluralisme Gus Dur dapat ditelaah melalui konsep Pribumisasi Islam yang diusungnya. Gus Dur lebih konsen terhadap ekspresi keagamaan yang bersifat lokalitas. Gus Dur bukan hanya penyambung islam tradisional dengan NU, tetapi hampir semua aliran kepercayaan ingin mendapatkan pengayoman dari Gus Dur yang tidak diakomodir oleh pemerintah. “Ada masa dimana semua aliran kepercayaan tidak boleh dibawah departemen agama tetapi dibawah departemen pendidikan dan kebudayaan dan salah satu jasa yang dibuat Gus Dus adalah mengembalikan hal itu” ujar Arifin. Konsep Pribumisasi Islam apabila ditarik ke konteks kekinian lebih banyak membahas konsep kebangsaan. Konsep kebangsaan dari pandangan Gus Dur adalah final. Gus Dur tidak memilih Legalisasi Islam atau Syariatisasi Islam untuk konteks ke-Indonesia-an, karena berdasarkan pengalaman Gus Dur dimana Mesir pun tidak berhasil menerapkan itu. Pandangan pluralisme Gus Dur lebih mengarah pada ide-ide kemanusiaannya yang bersifat universal. Hal tersebut juga yang membuat Gus Dur sebagai sosok yang dianggap pembela orang-orang yang lemah dan tertindas tanpa melihat golongan atau kelompok. Kiai Haji
11
Mustafa Bishir atau dikenal Gus Mus memberikan testimoni pada peringatan 1000 hari Gus Dur. Gus Mus mengatakan bahwa sebenarnya beliau sama dengan Gus Dur, mau ide atau yang lainnya, hanya satu yang membedakan keduanya yaitu Gus Dur orangnya lebih berani dan Gus Mus. Keberanian Gus Dur dipengaruhi dari filosofi yang ada pada kitab-kitab klasik di pesantren. Unsur kemanusiaan universal yang dibangun oleh Gus Dur membawa beliau tidak peduli pada istilah “adanya apa”. Siapa pun yang disakiti pasti akan dibela, karena yang dilihat adalah sisi kemanusiaan. Ide sederhananya Gus Dur bahwa “Saya tidak membela anda karena Ahmadiyah, tapi saya membela anda karena anda ditindas dan disakiti” Ide sentral dari kemanusiaan universal dipahami dengan baik dan Gus Dur mendapatkan hal ini salah satunya dari literature-literatur klasik islam. Ada 2 ide pluralisme yang seringkali masyarakat tidak dapat bedakan yaitu Pluralisme Teologis dan Pluralisme Sosial. Pluralisme Teologis memang menganggap semua agama adalah sama. Ketika berbicara tentang Pluralisme Sosial, maka yang dijadikan titik temu adalah nilainilai kemanusian yang ada pada agama. Gus Dur sering disalah pahami dimana pluralisme Gus Dur merupakan Pluralisme Teologis. Padahal ide Pluralisme sosial inilah yang dipegang oleh Gus Dur. Kita dapat melihat bahwa Gus Dur sangat dekat dengan ritual atau tradisi keagamaan. Saat Gus Dur digoyong-goyong, beliau malah larinya ke makam-makam wali. Lalu, masyarakat tidak bisa serta merta mengklaim bahwa Gus Dur adalah liberal tanpa memperhatikan agama karena keseharian Gus Dur tidak memungkinkan dirinya seperti itu. Satu hal lainnya yang sering disalahartikan dari pribadi Gus Dur adalah beliau yang senang bercanda dimana itu merupakan ciri dari pesantren. Gus Dur sering menyampaikan hal penting lewat candaan. Salah satu contohnya, ketika Gus Dur memahami ayat siapa yang termasuk orang bertakwa, Gus Dus menyimpulkan Islam berpedoman pada 3 pilar, pertama adalah rukun Islam, kedua adalah rukun iman dan ketiga adalah rukun tetangga. Candaan Gus Dur mengenai rukun tetangga, sebenarnya mensyaratkan individu berperilaku baik untuk bisa dihargai orang lain. Ide-ide pluralisme Gus Dur sangat kental dengan nuansa ajaran-ajaran agama islam walapun proses pola pemikiran Gus Dur tidak
12
hanya diwarnai oleh literature-literatur di dunia pesantren. Akan tetapi juga Gus dur memiliki banyak pengalaman di luar pesantren. Inti dari pluralisme adalah ketika individu tidak memaksa orang lain untuk sama dengan dirinya. Individu mungkin mempunyai klaim kebenaran tentang islam, tetapi jangan paksakan orang Kristen untuk mengakui. Hal ini juga sudah termasuk dalam filosofi pesantren. Santri diminta oleh Kiainya untuk menjadi paku yang mampu membuat rumah tanpa harus mengharapkan orang lain menanyakan jenis paku tersebut. Artinya, santri dituntut untuk berguna bagi masyarakat tanpa mengharapkan masyarakat mengenal dirinya. Basic utama pluralisme adalah penguatan akidah. Pahami islam dengan benar sebelum memahami agama lain. Hal ini menjadi sangat sulit menentukan batas-batas, karena yang menjadi target batasnya kita tidak tahu pastinya untuk siapa. Pada dasarnya, jika individu terlibat dalam dialog-dialog agama, hal yang menjadi batasan individu tersebut adalah ketika individu tersebut yakin tentang apa yang dia lakukan tidak berpengaruh terhadap keislamannya. Proses penerimaan pun bukan berarti ikut di dalamnya. Menerima kepercayaan orang lain, bukan berarti menerima kebenaran mereka. Pluralisme lebih coexistence yaitu memahami agama lain seperti apa. “Saya kira batas-batasan tersebut sangat tergantung dengan tujuan anda”, tutup Arifin.
***
13
Pendidikan Indonesia: Pluralis atau Multikulturalis? Belajar dari Romo Mangunwijaya Eny Winarti, Ph.D (Dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) (disampaikan dalam Diskusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia #2 di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 17 Oktober 2014) Masyarakat perlu mengetahui perbedaan antara orang pluralis dan multikulturalis untuk mengurangi kerancuan makna diantara keduanya, apakah sebenarnya berbeda atau sama antara pluralisme dan multikultural? Paham pluralisme cenderung melihat bahwa segala sesuatu hal akan bersifat netral atau di-nolkan, paham multikulturalis sendiri sudah memiliki pijakan atau tidak bersifat netral, karena pada dasarnya sudah terdapat perbedaan pada nilai yang terkandung dalam suku, agama dan latar belakang ekonomi di kehidupan masyarakat. Di sisi lain pluralisme secara kultur diizinkan untuk berbeda, tetapi masyarakat tidak mempunyai kewajiban untuk merekognisi atau mengenali perbedaan-perbedaan tersebut. Hal inti yang membedakan pluralisme dan multikulturalis adalah titik tolaknya. Dalam masyarakat multikulturalis, mereka mendorong bahwa setiap individu mempunyai ciri khas masing-masing dan hidup bersama dalam perbedaan, multikultural dapat diibaratkan seperti makanan gado-gado atau salad.
Pada masyarakat pluralisme mereka
mengharapkan kondisi yang bersifat equality atau mengganggap setiap individu layak mendapatkan perlakukan yang sama. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan multikulturalisme, dimana masyarakat multikulturalisme menyadari bahwa sebenarnya mereka berbeda, tetapi tetap melakukan afiliasi atau bersatu padu dengan lainnya. Masyarakat multikultural akan tetap memiliki kebanggaan terhadap diri sendirinya meksipun mereka melakukan afiliasi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya seorang tukang becak yang hidup dalam masyarakat multikultural, beliau akan selalu bangga dengan pekerjaannya dan menekuninya dengan baik. Pendidikan pluralisme mengizinkan setiap siswa untuk membangun kolam pikiran mereka masing-masing dan menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk memacu daya pikir setiap siswa. Hal tersebut tentu sangat berbeda dalam pendidikan multikulturalisme, pendidikan multikulturalisme akan mengajarkan dan mengenalkan setiap siswa tentang dominasi dan subordinasi yang ada di masyarakat. Bentuk dari dominasi dan subordinasi dalam masyarakat
14
adalah seperti seseorang yang merasa sebagai minoritas yang sangat tidak setara beliauntara individu-individu lainnya. Masalah minoritas seperti ini akan menimbulkan suatu pemberontakan yang bersifat masif, meskipun ada beberapa individu yang tetap mengubah hidupnya untuk naik ke tatanan level yang lebih tinggi dalam masyarakat. Hal-hal menarik inilah yang dilihat oleh Romo Mangun dalam kehidupan bermasyarakat.
Hasil Analisis Kebutuhan Masyarakat Indonesia Menurut Romo Mangun Romo Mangun mengkaji pendidikan Indonesia ke dalam beberapa hal yang terkait dengan pengembangan kurikulum di Indonesia, dalam pendidikan formal termasuk di kurikulum 2013, pembuatan kurikulum akan selalu dimulai dengan analisis kebutuhan. Pada kurikulum 2013 pemerintah melihat apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat. Kebutuhah-kebutuhan tersebut adalah, baik kebutuhan murid maupun kebutuhan masyakarat. Hal lain selain tentang analisa kebutuhan dalam pengembangan kurikulum adalah tentang : penentuan tujuan pembelajaran,
pemilihan
materi
pembelajaran,
pengorganisasian
materi
pembelajaran,
implementasi pembelajaran dan evaluasi pembelajaran. Dalam kutipan dari Romo Mangun yang disampaikan saat diwawancarai ketika beliau mulai membangun rumah atau pondok di daerah Kali Code, Yogyakarta, beliau mengatakan: “Kalau kita ingin membangun desa, uang jangan terlalu banyak bicara, uang yang beliaunggarkan harus pas dengan kebutuhan, dan selebihnya swadaya masyarakat”. Romo Mangun juga mencoba mendorong masyarakat yang ada di sana untuk membuat jalan dan swadaya masyarakat tersebut yang nantinya akan lebih banyak membantu pelaksanaan program tersebut. Romo Mangun pernah mendapatkan fitnah telah melakukan kristenisasi dari orang lain pada saat memberikan bantuan di daerah Kedung Ombo. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan oleh Romo Mangun karena beliau bekerja sama dengan seorang ustad. Lebih menarik lagi, orang yang memfitnah Romo Mangun ternyata bukan berasal dari daerah Kedung Ombo, Romo Mangun menyampaikan pesan bahwa nomor satu ternyata bukanlah masalah agama melainkan religiositas. Romo Mangun mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa religiositas
15
merupakan hal terpenting dibandingkan dengan masalah agama, hal ini disebabkan karena kunci utama sebuah religiositas adalah beriman atau bertuhan. Romo Mangun merasa bahwa Indonesia secara sadar atau tidak sedang dijajah secara halus oleh bangsa lain, seseorang yang belajar di Amerika dan tidak mau kembali ke Indonesia adalah contoh penjajahan secara halus oleh bangsa lain. Romo Mangun mengatakan bahwa yang mampu menandingi hegemoni barat hanyalah kaum terpelajar lulusan sekolah yang bermetode Barat dan tetap berpedoman pada kebudayaan Timur. Artinya, banyak nilai dari Barat yang bisa kita kembangkan dengan ketimuran kita, bukan menjadi larut dalam pengalaman kebaratan yang beliaulami. Romo Mangun merupakan lulusan dari pendidikan Barat, namun beliau mempunyai keinginan untuk mengembangkan ilmu yang dimilikinya di tanah air Indonesia, keinginan Romo Mangun tersebut terdapat dalam salah satu bukunya yaitu “Saya Ingin Membayar Utang Pada Rakyat”.
Prinsip dan Tujuan Pembelajaran Menurut Romo Mangun Romo Mangun menilai bahwa prinsip dan tujuan pembelajaran sebaiknya perlu dimodifikasi, dalam pendapatnya Romo Mangun melihat permasalahan yang mengakar di kegiatan belajar dan mengajar adalah budaya malu bertanya. Artinya, siswa lebih banyak mendengarkan dan menerima apa yang disampaikan oleh guru tanpa berani menanyakan sesuatu terkait dengan materi yang diajarkan. Romo Mangun menyarankan agar pembelajaran di sekolah melalui dialog dan diskusi untuk mengatasi hal tersebut. Alasan terkuat bagi guru untuk menggunakan dialog dan diskusi karena melalui kegiatan tersebut akan membuat murid mau tidak mau mencoba untuk mengikuti dialog yang sedang terjadi. Meskipun efektifitas dari kegiatan diskusi tersebut sangat baik, tetapi tidak mudah untuk dijadikan budaya mengajar bagi guru-guru selainnya. Romo Mangun mengatakan bahwa sekolah adalah tempat untuk anak mengembangkan bakat bersama dengan teman-temannya, Romo Mangun berpikir bahwa setiap anak memiliki sesuatu hal unik didalam dirinya setiap kali datang ke sekolah, maka pengajar atau guru diharapkan tidak menggunakan bahan pengajaran yang asing dalam kehidupan anak, karena anak-anak membutuhkan hal yang konkret dan nyata. Salah satu contoh tentang konkret dan
16
nyata misalnya guru mengajar tentang ilir dan kebanyakan siswa kota mengetahui bahwa ilir adalah hal berkaitan dengan air. Padahal, ilir yang dimaksud guru mungkin ilir yang bentuknya seperti kipas tradisional yang terbuat dari bamboo, dalam hal ini Romo Mangun ingin menyampaikan bahwa pembelajaran diberikan tidak jauh dari kehidupan sehari-hari anak. Romo Mangun menilai bahwa pendidikan di Indonesia terlalu banyak formalitas dan menempatkan sekolah sebagai ajang berkompetisi antar siswa, menurut Romo Mangun sendiri, sekolah seharusnya menjadi tempat perjumpaan antar pribadi siswa, sehingga setiap siswa dengan karakter atau keunikan sendiri akan mewarnai kehidupan bertemannya dan menjadi pribadi yang apa adanya. Prinsip yang berikutnya yang dikemukakan oleh Romo Mangun mengenai kegiatan pembelajaran yaitu proses belajar yang seharusnya berasal dari murid, oleh murid dan untuk murid. Sebenarnya dengan model seperti itu, beban guru seharusnya menjadi jauh lebih ringan karena guru hanya sebagai fasilitator. Kurikulum 2013 sebenarnya mengarah ke pendapat yang dikemukakan Romo Mangun, tetapi dokumen untuk memahaminya sangat banyak dan kompleks agar dapat dipahami oleh guru. Hal yang menjadi kendala adalah ketika standar-standar itu tidak sampai ke sekolah-sekolah, selalu ada halangan bagi guru untuk memahami standar-standar tersebut, misalnya masalah rumah tangga dan banyak kegiatan administrasi sekolah yang harus diselesaikan. Saat dinas meminta laporan kepada Romo Mangun, beliau selalu menyediakan 2 dokumen dimana satu dokumen formalitas versi pemerintah dan dokumen yang murni terjadi di Sekolah Romo Mangun, dokumen murni tersebut yang berisi tentang apa yang dikerjakan oleh Romo Mangun selama mengajar. Pada kurikulum internasional, ada satu tujuan didalamnya yaitu mengajarkan mahasiswa untuk kreatif, hal yang serupa pun disampaikan oleh Romo Mangun bahwasanya pendidikan harus membentuk mental yang kreatif dan inovatif. Tujuan tersebut hadir sebagai fenomena yang sering terjadi dalam perkuliahan bahwa biasanya mahasiswa yang mendapatkan tugas, mereka akan selalu bertanya mengenai tugas-tugas tersebut sebelum mereka mengeksplor lebih dalam tugas yang diberikan dosen.
17
Romo Mangun juga melihat secara kultur, Indonesia sudah terlanjur memiliki kebudayaan diam dalam kelas atau tidak terbiasa untuk bertanya, setiap ditanyakan apakah ada pertanyaan mahasiswa akan selalu diam. Akan tetapi, masalah tersebut dapat guru atasi dengan terus memancing siswa untuk bertanya, sehingga akan menumbuhkan keberanian siswa untuk bertanya dan terus belajar. Pada dasarnya dalam masyarakat antara pluralisme dan multikulturalisme sesungguhnya tidak ada perbedaan yang mutlak, Romo Mangun pun memiliki sisi pluralisme dan multikulturalisme dalam hidup kemasyarakatannya. Saat Romo Mangun mengakui kesetaraan posisi antar agama, inilah salah satu contoh sisi pluralisme yang dimilikinya. Pada sisi multikulturalisme yang dimilikinya, Romo Mangun memikirkan bahwa pada dasarnya setiap orang tidak sama, sehingga Romo Mangun akan memberikan perlakukan sedikit berbeda kepada seorang “Tukang becak” dan “kaum migran” dibandingkan dengan saat beliau berbicara dalam wawancara televisi. Namun seringkali Romo mangun menemukan ketegangan yang memperdebatkan antara pluralisme dan multikultralisme. Untuk mengatasi hal tersebut, Romo Mangun menegaskan kembali bahwa hal yang terpenting adalah religiositas bukan agama. Tindakan-tindakan dari Romo Mangun tersebut mengingatkan kembali kepada masyarakat bahwa tidak ada perbedaan yang mutlak antara pluralisme dan multikulturalisme dalam kehidupan masyarakat. Romo Mangun pun menerapkan hal serupa yakni memilih keduanya, pluralisme dan multikulturalis sebagai pertimbangan dalam pembelajaran pada Pendidikan Barat dan Timur. Artinya, Romo Mangun menggunakan metode Pendidikan Barat melalui strategi pendidikan yang ada di Timur. Pada akhirnya masyarakat perlu mengetahui bahwa walaupun dalam sejarah pendidikan di Indonesia terdapat ide mengenai pluralime pendidikan, hal ini tidak serta merta membuat pendidikan Indonesia menjadi pendidikan yang murni pluralism, karena berkembangnya kehidupan yang mengglobal maka akan terdapat sisi pluralisme dan multikulturalisme yang mewarnai kehidupan manusia.
18
Pandangan Romo Mangun Mengenai Evaluasi Belajar Pemerintah melakukan evaluasi belajar kepada siswa melalui ujian dan meletakkan angka-angka sebagai ukuran kesuksesan siswa selama belajar, sebagian besar masyarakat pun akhirnya menginterpretasikan bahwa evaluasi belajar harus menggunakan angka yang mencerminkan keberhasilan siswa. Interpretasi ini hadir sebagai bukti bahwasanya sebagian masyarakat tidak mengetahui tentang evaluasi belajar lebih lanjut. Evaluasi bukan hanya ujian yang selalu diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi evaluasi belajar sebenarnya memiliki 2 jenis yaitu test and non test Pada test yang dilakukan oleh pemerintah sebagai evaluasi siswa pun masih banyak catatan yang harus diperbaiki, kasus yang ditemukan oleh dua orang mahasiswa pada penelitian mengenai validitas dan reliabilitas soal ujian yang dibuat oleh pemerintah. Mereka menemukan bahwa hanya 1 soal yang valid dari 10 soal matematika yang diujikan dan tidak ada satu pun yang valid pada soal bahasa Indonesia. Artinya, soal-soal tersebut tidak dapat mengukur tujuan dan indikator kompetensi dari standar kesuksesan siswa selama belajar. Romo Mangun merasa tidak sejalan dengan jenis evaluasi yang ada, beliaupun tidak menyetujui segala macam bentuk ujian sebagai salah satu jalan untuk mengukur keberhasilan siswa. Romo Mangun berusaha mencoba merubah paradigma anak didiknya mengenai makna sebuah ujian yang bukan hanya sekedar angka, hal ini dilakukan sebagai bentuk sikapnya yang berlawanan pandangan dengan masyarakat mengenai evaluasi.
19
Meneladani Spirit Anti Kekerasan Ibu Gedong Achmad Munjid (Alumnus Temple University, Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) (disampaikan dalam Diskusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia #3 di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, 14 November 2014) Isu tentang pluralisme agama di Indonesia termasuk isu yang relatif baru sebagai topik perbincangan masyarakat Indonesia sekarang, walaupun sebenarnya isu tersebut sudah ada sejak terbentuknya negara Indonesia. Isu pluralisme agama di Indonesia akhirnya menciptakan tokohtokoh penting pluralis agama yang memiliki peranan penting dalam permasalahan isu tersebut, salah satu diantaranya adalah Ni Wayan Gedong, beliau lebih dikenal sebagai tokoh pejuang pluralisme agama yang ada di Indonesia, hal ini dikarenakan karena beliau bukan seorang pemikir pluralisme agama yang banyak mengeluarkan gagasan-gagasan tentang pluralisme agama. Kehidupan Ni Wayan Gedong Ni Wayan Gedong terlahir dari keluarga ningrat di Bali, sehingga beliau dapat mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas di AMS tahun 1938 dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi tahun 1941. Sebagai seorang perempuan yang berasal dari Bali, bukanlah hal mudah untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi, jika bukan berasal dari kasta yang tinggi. Pada saat Ni Wayan Gedong tinggal di Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah menengahnya di AMS, beliau tinggal bersama dengan sebuah keluarga pendeta Kristen yang juga pendiri Universitas Duta Wacana. Setelah lulus dari AMS, beliau melanjutkan Sekolah Keguruan Bahasa Inggris di Jakarta, pilihan studi tersebut dikarenakan beliau mengetahui bahwa Bali merupakan tempat kunjungan wisata internasional, sehingga bahasa inggris digunakan sebagai akses penting untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat luar. Setelah menyelesaikan sarjananya, beliau mengajar Bahasa Inggris di SMP dan mengajar Sastra Inggris di Universitas Udayana. Keningratan yang dimiliki oleh Ni Wayan Gedong tidak membuatnya lupa akan masyarakat kurang mampu disekitarnya. Kepeduliannya terhadap masyarakat kurang mampu,
20
beliau wujudkan dengan membentuk Yayasan Bali Santi Sena tahun 1970, yayasan tersebut berfungsi untuk membantu masyarakat kurang mampu agar mendapatkan akses pendidikan yang layak, perbaikan ekonomi dan lain-lainnya. Selain yayasan tersebut, beliau bersama suaminya (I Gusti Bagoes Oka) juga mendirikan Ashram Gandhi Candidasa tahun 1976. Pekerjaan I Gusti Bagoes Oka sebagai wakil gubernur di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan aktif dalam pembuatan perkumpulan Hindu se-Indonesia, menyebabkan pergaulan sosial Ni Wayan Gedong semakin luas, beliau pun akhirnya pernah menjadi politisi sebagai anggota DPR masa bakti 1968-1972 dan anggota MPR masa bakti 1999-2002. Ni Wayan bukan hanya aktif dalam dunia politik, beliau pun aktif dalam pembicaraan tentang agama di Indonesia dengan menjadi pendiri salah lembaga tahun 1970 dan menjadi salah satu Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) tahun 1994, WCRP sendiri merupakan pertemuan konferensi yang memiliki fokus tentang peran Agama terhadap perdamaian dunia. Ketertarikan beliau dalam isu agama tidak berhenti hanya sebagai Presiden WCRP, pada tahun 1999 akhirnya membuat beliau mendirikan United Religions Initiatives Foundation di San Francisco sebagai basis tempat awal, sebuah organisasi yang serupa mengenai kerja sama antar agama.
Hindu Bali dan Negara Satu hal yang perlu masyarakat ketahui saat berbicara tentang isu yang berangkat dari tradisi Hindu di Bali adalah relasi agama dan negara, termasuk agama Hindu dengan negara Indonesia. Indonesia memiliki definisi agama yang berbeda dengan tempat lainnya. Departemen Agama (Depag) mengeluarkan supervisi agama yang sangat bias hanya pada Islam dan Kristen atau mendefinisikan agama sebagai suatu kepercayaan yang mempercayai ketuhanan yang maha esa, mempunyai nabi, mempunyai kitab suci, mempunyai lembaga, mempunyai pengikut dan kepercayaan pada hari akhir. Bagi Islam dan Kristen hal ini tidak terlalu bermasalah, tapi bagi agama-agama yang lain hanya sebagian yang dapat masuk ke dalam kategori-kategori tersebut. Salah satu kategorinya misalnya tentang Ketuhan Yang Maha Esa, sedangkan orang Hindu memiliki banyak Tuhan dan yang dikatakan sebagai Tuhan dalam tradisi Hindu berbeda dengan yang dikatakan sebagai Tuhan dalam tradisi Islam. Dalam tradisi baik Islam, Kristen maupun
21
Yahudi, Tuhan adalah yang menciptakan dan mengawali dan mengakhir, awal ketika Tuhan menciptakan semesta dan akhir ketika terjadi kiamat, hal tersebut berbeda dengan tradisi Hindu yang menganggap alam semesta tidak memiliki awal dan akhir. Artinya, bagi Islam, Kristen dan Yahudi memiliki konsen waktu yang bersifat linier ke depan artinya mereka akan memiliki akhir, tetapi bagi Hindu waktu hanya berputar terus menerus sehingga Hindu hanya mengenal istilah Reinkarnasi (Terlahir kembali), hidup dan lahir kembali akan terus putar sampai individu tahu cara untuk keluar dari perputaran skilus hidup yang disebut Samsara. Intinya konsep dari kategori agama yang ada tersebut tidak sesuai dengan konsep masyarakat Hindu. Selanjutnya, masalah tentang wahyu pun sama bagi Hindu karena wahyu hadir ketika ada Tuhan yang menyampaikan informasi tentang kehidupan yang sesungguhnya dan kehidupan yang akan datang sebagai panduan hidup manusia. Dalam tradisi Hindu Tuhan bukanlah pencipta sehingga tidak ada Tuhan yang diluar dan mewahyukan, bagi Hindu Tuhan adalah bagian dari alam semesta. Peraturan negara pada akhirnya membentuk orang-orang Hindu yang ada di Indonesia. Orang hindu sebenarnya tidak percaya pada Tuhan yang Maha Esa, tidak memiliki konsep wahyu, tidak memiliki konsep nabi, tidak memiliki konsep hari akhir, tetapi karena Departemen Agama sudah membuat definisi agama yang seperti disebutkan di atas maka mereka mencari cara agar agama Hindu yang mereka praktekkan di Bali dapat dianggap sesuai dengan definisi tersebut, karena kalau tidak dilakukan seperti itu sampai tahun 1958 akan dianggap belum beragama dan menjadi target dakwah misionaris untuk membuat meraka masuk ke dalam agama yang lain. Hal-hal inilah yang membuat tokoh-tokoh Bali termasuk Gedong Bagoes Oka mereformulasi ajaran agama Hindu kembali agar dapat terkoneksi dalam definisi agama dari negara dan untuk mendapatkan perlindungan serta dukungan dari pemerintah saat mereka mengadakan kegiatan keagamaan meraka oleh Depag. Pada akhirnya, Hindu diakui sebagai agama tahun 1958 oleh Depag, mereka pun mendapatkan perlindungan dari dakwah misionaris dan mendapatkan akses sumber-sumber dana dari pemerintah untuk membuat misalnya sekolah agama Hindu. Definisi agama sendiri sebenarnya hal yang baru dalam masyarakat Bali sekitar abad ke19, definisi tersebut hadir karena adanya desakan dari pihak Belanda dan pendatang beragama Islam dan pendatang beragama Kristen, seperti halnya yang terjadi juga pada negara India saat
22
dijajah oleh Inggris, kolonial Inggris tidak tahu harus menamainya dengan apa mengenai tradisitradisi kepercayaan praktek-praktek lokal yang beragama, mereka hanya tahu Islam dan Kristen karena kedua agama tersebut memiliki identitas agama yang jelas. Akan tetapi, masyarakat sungai Indus di India memiliki beragam kepercayaan terhadap dewa-dewa seperti dewa air, dewa api, menyembah pohon dan lain-lain, sehingga untuk mempermudahkan hal-hal administrasi, Inggris mendefinisikan kepercayaan-kepercayaan tersebut dengan istilah Induisme yang menggambarkan kepercayaan-kepercayaan di Sunga Indus. Belanda pun melakukan hal sama seperti Inggris yakni menganggap praktek-praktek yang dilakukan oleh masyarakat Bali sebagai adat istiadat bukan suatu agama seperti Islam dan Kristen, persepsi tersebut pun terus berlangsung sampai terbentuknya Depag tahun 1946. Tokoh-tokoh kaum elit Hindu di Bali melakukan pengamatan terhadap India mengenai penggerakan yang berlangsung di India, mereka menemukan berbagai versi penggerakan seperti gerakan Sai Baba, gerakan Ari Trisna dan seterusnya. Gedong dan Bagoes Oka terpikat oleh pemikiran Mahatma Gandhi, sehingga membuat gerakan pembaharuan tradisi atau agama lokal di Bali banyak mengandung ajaran yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi.
Gedong dan Tradisi Bali Indonesia pernah mengalami kekerasan di masa penjajahan Jepang dan mengalami peristiwa revolusi ketika Jepang kembali ke negara asalnya Peristiwa revolusi terjadi dari tahun 1945 sampai 1949/195 dan menelan banyak korban jiwa, peristiwa tersebut pun bukan hanya di lakukan oleh Belanda kepada penduduk pribumi, tetapi orang pribumi antar orang pribumi. Kondisi saat itu sangat tidak kondusif dan pemerintahan menjadi lemah. Di sisi lain kondisi tersebut juga membuka peluang bagi kelompok-kelompok kecil untuk bertindak sendiri dan menimbulkan tindakan kekerasaan. Gedong Bagoes Oka pun mengalami penindasaan Jepang, korupsi dimana-mana dan kekerasan. Pengalaman-pengalaman tersebut memberi pengaruh pada pembaharuan yang dilakukan Gedong Bagoes Oka, sehingga membuat beliau begitu tertarik untuk menggunakan ajaran Gandhi mengenai anti kekerasan. Beliau melihat bahwasan masyarakat Bali terdiri dari berbagai
23
lapisan kelompok sosial, lapisan paling atas seperti memiliki privilege yang besar terhadap dibawahnya dan menimbulkan peluang untuk melakukan perbuatan sewenang-wenang. Gedong Bagoes Oka menganggap bahwa sistem masyarakat yang hierarkis di Bali adalah bentuk kekerasan, hal tersebut terlihat dari timbulnya suatu penindasan yang dilakukan oleh kaum yang di atas seperti memerintah kerja tanpa memberi batas jam kerja, membayar upah dengan semaunya dan seterusnya. Kemudian, Gedong Bagoes Oka melakukan penyederhanaan terhadap upacara-upacara atau melakukan rasionalisasi kembali terhadap agama sehingga agama tidak hanya menjadi otoritas untuk kaum di atas, beliau pun melihat agama sebagai alat untuk menindas masyarakat miskin dan menyingkirkan lapisan bahwa masyarakat Bali menjadi kelompok marjinal dilihat dari keagamaan, misalnya ketika sebelum pembaharuan masyarakat miskin harus menunda membakar jenazah kerabatnya sampai tahunan karena belum mampunya mereka untuk melengkapi syarat-syarat yang ada dalam tradisi Ngaben sebelum pembaharuan, beliau pun menganggap persyaratan tersebut tidak rasional dan menyusahkan sekali masyarakat miskin. Dalam tindakan-tindakan tersebut beliau berusaha untuk menghapus sesuatu yang tidak rasional dalam agama, sehingga agama dapat bersifat membebaskan. Pada tahun 1976, Gedong Bagoes Oka mendirikan Ashram Gandhi bertujuan sebagai sarana untuk menempa generasi muda untuk hidup berdasarkan ajaran Hindu yang sesungguhnya dan media untuk transmisi nilai-nilai Hindu dari generasi yang lebih tua ke generasi yang lebih muda. Konsep Ashram Gandhi memiliki persamaan dengan konsep yang ada di Pesantren dimana siswa tinggal di Asrama dan belajar tentang agama mereka.
Catur Ashram dan Ashram Gandhi Candidasa Dalam tradisi Hindu terdapat 4 catur Ashrama yang berarti empat tingkat kehidupan, hal ini berhubungan dengan Reinkarnasi. Tingkatan pertama dalam Catur Ashmara adalah Bramacari atau tahap pembelajar, setiap generasi muda akan masuk kategori ini apabila sudah mulai akil balig. Menurut tradisi Hindu yang benar, setiap anak muda didorong untuk belajar kitab Weda sehingga dapat memanfaatkan waktu dengan belajar dan menjauhi kegiatan seksualitas. Ghandi mengatakan bahwa seksualitas merupakan suatu bagian penting dalam diri manusia yang membutuhkan energi luar biasa, sehingga apabila belajar kita harus jauh-jauh dari
24
urusan seksualitas agar energi, waktu, dan pikiran akan tercurah untuk belajar. Dalam tahap pembelajar, orang tidak memiliki kebebasan untuk rasa memiliki seperti memiliki harta milik, hal ini dilakukan untuk tidak terikat dalam hal duniawi. Kedua dalam Catur Asharama adalah rumah tangga dan dilanjutkan dengan tahap pertapa. Sebagian besar orang India yang sudah memiliki cucu akan meninggalkan keluarganya karena ingin mencari kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Kehidupan spiritual sendiri akan tercapai apabila manusia tidak terikat pada urusan-urusan duniawi bahkan keluarga. Tahap pertapa terkait dengan reinkarnasi dan apabila seorang manusia terus menerus terikat pada kehidupan dunia maka akan terlahir kembali menjadi sesuatu yang lebih bagus atau lebih rendah, hal tersebut menyebabkan orang ingin keluar dari lingkaran Reinkarnasi. Tahapan selanjutnya adalah Sannyasin (Zahid) yang berarti manusia tidak terikat sama sekali dengan kehidupan dunia sehingga tidak melewati tahap reinkarnasi, salah satu cara untuk mencapai tahap Sannyasin dengan meninggalkan keluarga merupakan. Dalam keluarga Hindu, apabila seorang kakek pergi meninggalkan keluarga tanpa pamit dan arah tujuan yang jelas maka anggota keluarga lain sudah mengerti bahwa kakek tersebut ingin masuk ke tahap pertapa. Film berjudul Sidharta adalah salah satu film yang menyajikan gambaran kehidupan orang-orang yang sedang ada dalam tahapan pertapa untuk ingin mencari tingkatan spiritual yang lebih tinggi.. Film tersebut menggambarkan orang-orang yang tidak peduli lagi dengan dirinya, keluarga, dan kehidupan dunia, seperti orang yang berambut panjang, berjenggot panjang, dan bahkan ada yang telanjang bulat. Tradisi seperti ini berlangsung selama ribuan tahun di India. Ashram Gandhi berbeda dengan gambaran tersebut karena Ashram Gandhi hanya ingin memberi kesempatan pada generasi muda untuk menempa diri mereka menjadi kader-kader Hindu yang paham akan agama dan menjadi agen perubahan sosial terutama mempromosikan paham anti kekerasan. Gedong Bagus mendirikan Ashram Ghandi juga sebagai ikhtiar untuk melakukan eksperimen dengan benar setelah membaca buku Mahatma Ghandi. Mahatma Ghandi melakukan gerakan anti kekerasan berdasarkan pengalamannya di Afrika Selatan karena melihat orang kulit putih yang memperlakukan orang kulit hitam secara semena-mena. Pada saat Mahatma Ghandi melihat peristiwa tersebut, dia mencampakkannya profesi sebagai pengacara yang ia miliki yang
25
sebenarnya sangat menghasilkan uang, tapi dia mencoba untuk melakukan sebuah eksperimen tentang apa yang disebut benar, untuk siapa kebenaran berlaku, dan bagaimana menciptakan masyarakat ideal. Tindakan yang dia ambil untuk melakukan eksperimennya dengan mendirikan pemukiman kaum Phoenix, Phoenix berasal dari mitos Yunani yakni berupa burung yang sangat indah dan bisa membakar dirinya sendiri lalu terlahir kembali melalui abu-abunya sendiri. Burung tersebut digambarkan sebagai burung abadi dan siap berkorban untuk orang lain. Gandhi mengajak teman diskusinya untuk bersama-sama untuk menciptakan masyarakat ideal dimana tidak ada penindasan. Dalam kelompok phoenix tersebut, tidak ada yang diperbolehkan untuk memiliki tanah atau hak milik karena semua milik bersama. Namun, tetap ada tanggung jawab yang harus diemban oleh masing-masing individu. Ternyata, eksperimen ini cukup berhasil dan cara swasembada yang dikemukakan Gandhi mampu membuat orang-orang menjadi tidak tergantung pada orang lain termasuk pada Inggris sehingga tidak ada orang yang mencari pekerjaan karena sudah sibuk dengan tanggung jawabnya masing-masing. Setelah eksprimen Phoenix berhasil, Gandhi selanjutnya pindah ke tanah yang lebih luas untuk membangun ladang Tolstoy, praktek swasembada di sini sedikit berbeda dengan Phoenix karena semua orang memiliki segalanya bersama-sama namun saling bertanggung jawab, mengingatkan, dan membantu satu sama lain. Ghandi kemudian berpindah ke tempat yang disebut Ashram Sabarmati. Berdasarkan eksperimen yang dilakukannya, Ghandi dapat melihat bagaimana menciptakan masyarakat yang tidak memiliki stratifikasi sosial dan membuat kekerasan menjadi sangat minimal yaitu dengan bekerja manual, bersahabat dengan alam, dan tidak bekerja untuk orang lain. Menurut Ghandi, masyarakat ideal dapat dibentuk apabila semua orang meyakini dan mempraktekkan prinsip hidup sederhana dan mau bekerja sama. Pesantren pun sesungguhnya sangat mirip dengan apa yang dilakukan Ghandi kecuali sekarang pesantren semakin terpesona oleh kehidupan glamor dunia sehingga banyak pesantren mementingkan bangunan fisik tetapi semangat yang dimiliki oleh kyai-kyai lama sudah hilang.
26
Ajaran Gandhi Sebagai Inspirasi Gedong Ghandi selalu mementingkan hidup bersama, bekerja sama, dan selalu konsisten bersembahnyang karena bersembahyang dapat menjaga spiritualitas dan kolektifitas. Ghandi menekankan bahwa bekerja itu suci dan dedikasi terhadap pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita adalah ritual sembahyang yang paling tinggi dalam konteks keimanan terhadap Tuhan. Apabila praktek ini dilaksanakan, masyarakat akan menjadi efektif karena kekerasan akan tersingkirkan, stratifikasi sosial akan semakin hilang, dan ketergantungan terhadap orang lain sangat minim. Hal ini kemudian dibawa oleh Ghandi ke India dan itulah yang menjadi inspirasi Gedong Bagus. Salah satu ajaran lainnya dari Mahatma Ghandi adalah dosa sosial. Ada beberapa dosa sosial yaitu politik tanpa prinsip, kesejahteraan tanpa bekerja, perdagangan tanpa moralitas, pendidikan tanpa karakter, kebahagiaan tanpa nurani, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan ibadah tanpa pengorbanan. Bagi Ghandi dan Gedong Bagoes Oka, kekerasan bukan hanya kekerasan yang besifat fisik tetapi bagaimana orang dapat seminimal mungkin tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, lingkungan, dan masyarakat dengan melakukan vegetariansime, ide vegetarianisme lahir dari anggapan bahwa penyembelihan binatang adalah kekerasan. Gedong Bagus mendapat reaksi yang sangat negatif dari banyak orang di Bali karena salah satu ritual dari orang Bali adalah menyembelih babi, tapi menurut hal tersebut Gedong Bagus tidak dapat dilakukan karena melanggar visi non-violence. Ajaran Gandhi lainnya yang juga diaplikasikan beliau adalah penggunaan pengobatan tradisonal dan pendekatan nirkekerasan dalam konflik sosial, prinsip yang dianut adalah tidak mencuri dengan cara seminimal mungkin memiliki harta benda karena apabila seseorang yang memiliki atau mengambil lebih dari apa yang dibutuhkan maka sudah termasuk kategori pencurian. Ajaran lain yang juga diaplikasikan adalah menjauhi seksualitas dan mengendalikan inderawi, mengendalikan inderawi dapat dilakukan dengan menghindari keinginan untuk makan dan minum yang enak, bahkan menonton televisi juga dilarang. Ajaran tersebut bertujuan untuk mengajarkan displin tubuh, hidup sederhana, bekerja manual, dan secara konsisten melakukan sembahyang. Jadi, setiap anggota Ashram terlepas dari latar belakang sosial yang dimilikinya
27
tetap harus mencuci piring sendiri sehabis makan, memasak, dan melepaskan diri dari keterikatan duniawi. Gandhi juga mengajarkan untuk hidup tanpa rasa takut dan menghormati semua, apabila anggota ashram sedang bersembahnyang namun ada orang selain Hindu, maka orang dengan agama lain tersebut akan diajak berdoa dan bahkan apabila orang selain Hindu, muslim misalnya tidak berdoa maka mereka akan membacakan surat Al Fatihah untuk kita. Hal ini terjadi karena mereka sudah terbiasa untuk menghormati semua agama, menghormati semua agama adalah salah satu pendekatan yang dilakukan oleh Bagoes Oka dalam prulalisme agama karena menurut beliau agama adalah jalan yang berbeda menuju titik akhir yang sama, ibarat mendaki sebuah gunung, akan banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menuju puncak namun pada akhirnya puncak yang dituju adalah sama. Agama juga digambarkan seperti cahaya yang tidak memiliki warna akan menjadi terlihat berbeda-beda warna apabila menyentuh sebuah objek yang memiliki unsur gelombang radioaktif tertentu. Pada ajaran Gandhi memiliki sistem pengelolaan yang berbentuk swasembada seperti bercocok tanam dan memelihara sapi, dimana kotorannya sapi tersebut dibentuk menjadi lempengan dan digunakan untuk upacara harian dengan cara dibakar. Intinya, swasembada memiliki arti untuk tidak bergantung dari dunia luar karena dapat mencukupi kebutuhan sendiri, seperti contohnya tidak menggunakan pengobatan moderan dan lebih memilih akunpuntur sebagai media pengobatan. Ajaran Gandhi juga mengajarkan manusia untuk berkerja manual, artinya karena orang tidak boleh malas dan harus bekerja secara manual, contohnya adalah dengan berjalan kaki dalam menempuh perjalanan, bertani, dan memakai baju dari kapas yang ditenun sendiri. India pun melakukan kerja manual sampai mereka akhirnya memiliki kemandirian dan membuat Inggris tidak
memiliki akses untuk menguasai masyarakat India, dengan berkerja manual
menghindarkan masyarakat untuk mengalami penindasan. Terakhir ajaran Gandhi mengenai persaudaraan setara yang diterapkan oleh Gedong. Ajaran persaudaraan setara hadir ketika masyarakat india masih menjalankan konsep tentang the untouchable dimana membuat orang-orang di lapisan bawah tidak boleh berinteraksi dengan orang-orang lapisan atas, sehingga Gandhi juga membuat konsep hidup untuk tidak takut dan
28
membawa doa agar hidup seseorang bebas dari ketakutan akan kawan atau musuh, apa yang diketahui dan tidak diketahui, siang dan malam tanpa ketakutan, dan setiap penjuru angina akan melihat dengan tatapan bersahabat.
29
TH. Sumarthana: Pelopor Dialog Antar Agama Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf (Universitas Gadjah Mada) (disampaikan dalam Diskusi Serial Tokoh Pluralisme Indonesia #4 di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 5 Desember 2014) Biografi T. H. Sumarthana Dr. T. H Sumarthana merupakah tokoh aktivis lintas iman, salah satu pendiri Institut Dian Interfidei. Beliau merupakan seorang tokoh yang mempunyai posisi penting dalam dunia aktivisme dialog antar agama. Beliau adalah orang Banjarnegara, Jawa Tengah, daerah antara Semarang dan Purwokerto. Beliau tumbuh dalam keluarga Kristen yang taat. Meskipun bukan dari kalangan keluarga tokoh agama, beliau dididik dari keluarga yang taat beragama. Ibunya adalah seorang bidan yang bekerja di sebuah Rumah Sakit dan beliau bercerita bahwa beliau sering berdebat dengan Bapaknya. Pada usia 3 tahun, Ibunya meninggal. Kemudian pada usia 5 tahun, beliau diajak bapaknya untuk pindah ke Yogya. Di Yogya, beliau sekolah di SMA Negeri. Yogya yang merupakan salah satu wilayah plural, sangat berperan penting dalam mengenalkan keberagaman terhadap diri Sumarthana. Setelah 5 tahun tinggal dan bersekolah di Yogya, beliau mempunyai minat yang tinggi di bidang teologi. Beliau lulus kuliah dari sekolah Tinggi Teologi di Jakarta pada tahun ‟72 dan dikenal sebagai mahasiswa yang serius, pendiam, cerdas, dan rajin menulis sastra. Beliau bukan tipe orang yang tampil di depan umum. Sumarthana menjadi aktivis sejak muda, dikenal sebagai tokoh dibalik layar dalam gerakan kritis terhadap organisasi mahasiswa keagamaan di kampus. Semasa kuliah dia mulai kritis terhadap organisasi-organisasi keagamaan di kampus. Mungkin dia melihat ada kecenderungan di kalangan mahasiswa untuk rajin di organisasi keagamaan tapi tidak memahaminya secara kritis. Beliau dikenal sangat kritis terhadap hal seperti itu. Beliau merupakan tipe orang yang rajin belajar, aktif dalam gerakan, tapi juga tidak mengesampingkan kuliah. Setelah lulus S1, dia langsung melanjutkan kuliah S2 di Belanda, tepatnya Swiss. Kemudian menyelesaikan gelar Doktor di jurusan Misiologi dan Perbandingan Agama dan selesai pada tahun ‟91. Judul disertasinya adalah Mission at the Crossroads Indigenous Churches, European Missionaries, Islamic Association and Socio-Religious Change
30
in Java 1812-1936. Beliau mencoba untuk melihat ulang pendekatan misionarisme di dalam agama Kristen. Beliau merupakan orang yang berusaha menanamkan paradigma-paradigma baru dalam misionarisme. Salah satu pekerjaan penting yang menunjukkan bagaimana dalamnya dia terlibat di dalam lembaga-lembaga pemikiran penting di Indonesia, termasuk di kalangan Kristen, adalah beliau pernah menjadi editor di BPK Gunung Mulia pada tahun ‟72 sampai dengan ‟75. Gunung Mulia itu merupakan salah satu penerbit Kristen yang terkemuka, dimana buku-buku penting diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia. Beberapa penerbit waktu itu merupakan pusat berkumpulnya aktivis-aktivis muda, dimulai dari kalangan penerbitan. Dan Yogya termasuk salah satu kota yang kaya dengan industri penerbitan. Dia juga pernah bekerja di lembaga penelitian studi gereja-gereja di Indonesia yang waktu itu di bawah PGI. Meskipun mempunyai latar belakang pendidikan teologi yang sangat kuat, Sumarthana bukan hanya orang yang terlibat dalam aktivitas di bidang isu keagamaan, tapi dia juga menaruh perhatian terhadap isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia. Pada tahun 1970, bersama Asmara Nababan, ia mendirikan Demos. Demos merupakan salah satu LSM pro demokrasi yang sangat terkemuka dan merupakan salah satu yang melahirkan banyak aktivis anti Soeharto pada tahun ‟70-an sampai dengan tahun ‟90-an. Akibat sikap kritisnya terhadap isu demokrasi dan pelanggaran HAM pada masa Soeharto, dia harus mengalami udara senyap di dalam gereja. Setelah menyelesaikan pendidikan S3, dia merupakan salah satu orang yang mengungkapkan pentingnya mendirikan sebuah lembaga yang sekarang disebut sebagai badan isu hubungan antar agama. Ketika aktivitas dialog masih belum banyak dilakukan, Sumarthana sudah mulai berpikir tentang pentingnya memulai sebagai inisiator melalui sebuah lembaga. Maka didirikanlah Dian Interfidei pada tahun 1992, tepatnya 6 tahun sebelum Soeharto tumbang. Jadi masih dalam situasi masa yang sulit, yaitu ketika gerakan sosial masih sangat kuat walaupun dalam situasi represi. Beda dengan sekarang, ketika gerakan sosial banyak sekali, namun akarnya banyak yang tidak kuat karena harus dipakai dalam pragmatisme politik. Beberapa tokoh yang mendukung T. H. Sumarthana dalam mendirikan Dian Interfidei adalah Gus Dur, Romo Mangun, Ibu Gedong, dan Ibu Sri, yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam diskursus dialog antar agama di Indonesia. Pemikiran-pemikiran T. H. Sumarthana
31
Sumarthana mengakui peran penting agama dalam perubahan sosial. Oleh karena itu, pemikirannya tidak mendelegetimasi peran agama. Hal ini agak berbeda dengan asumsi orang bahwa aktivis yang aktif dalam kegiatan keagamaan itu adalah orang yang taat secara agama. TH. Sumarthana ini adalah orang yang taat, orang yang tidak memungkiri bahwa peran agama dalam kehidupan publik dan dalam kehidupan sehari-hari yang tidak bisa dinafikan. Apalagi di negara Indonesia, agama itu sudah merasuk di dalam sendi-sendi kehidupan manusia, yang kemudian berpengaruh terhadap bagaimana dia merespon terhadap isu-isu publik. Kita harus memahami orang beragama dan dampaknya terhadap cara melihat hubungan sosial itu secara luas. Maka, dia berangkat dari situ dan tidak mencoba untuk mendelegetimasi agama. T. H Sumarthana adalah seorang ahli teologi Kristen. Pemikiran T. H Sumarthana berasal dari pemahaman beliau terhadap masalah utama teologis dalam dunia Kristen yaitu kebekuan hubungan antara Kristen dengan Islam yang dipenuhi oleh prasangka, perasaan penuh curiga, dan permusuhan. Dia berkisah bahwa sebagai orang Kristen, dia sering ke gereja dan bertemu dengan tetangganya, serta mendengarkan pendeta berceramah seakan-akan orang Islam itu berbahaya sekali, orang yang harus disadarkan, dan orang yang harus di Kristenkan. Sebenarnya itu merupakan pemikiran yang wajar, orang Kristen juga mempunyai cara pandang seperti itu. Tapi Sumarthana merasa bahwa cara berpikir seperti itu adalah tidak sehat. Cara berpikir yang berbahaya tidak hanya bagi orang Kristen, namun juga bagi pertumbuhan ke-Kristenan itu sendiri. Hal ini disebabkan Kristen ini hidup dan berkembang di dunia, di alam demokrasi, apalagi di alam Indonesia yang mayoritas Islam. Oleh karena itu, Sumarthana berpikir bahwa apabila Kristen mau dipandang dengan baik di Indonesia, mau memberikan kontribusi bagi Indonesia, maka orang Kristen harus mengubah cara pandang Kristen itu sendiri. Jadi, pada waktu itu Sumarthana pro terhadap mengubah persepsi orang Kristen terhadap orang Islam. Itu yang menjadi perhatian Sumarthana pada waktu itu. Persepsi yang penuh dengan rasa curiga dan permusuhan diubah menjadi persepsi yang penuh dengan persaudaraan. Tapi yang perlu diingat adalah Sumarthana bukan orang yang ingin mengubah Injil dan bukan orang yang ingin berpaling dari Injil. Namun, Sumarthana ingin mengubah cara orang-orang Romawi Kristen (paradigmanya) dari pewarisan Zendin (misionaris yang mewakili kepentingan penjajah). Kristen adalah agama yang mengangkat nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai universal, sehingga tidak benar jika diidentikkan dengan agama penjajah. Oleh karena itu, Sumarthana
32
merasa harus ada perubahan. Menurut Sumarthana perlu ada reorientasi ke-Kristenan. Pertama, yang perlu di reorientasi adalah perlu upaya untuk memberikan karakter berbeda terhadap sejarah Kristen di Indonesia yang berkembang bersama kolonialisme, sehingga dianggap sebagai agama kolonial. Kedua, perlu mengubah kesadaran kekristenan yang mengakar pada peningkatan kesukuan. Sebenarnya hal ini lazim terjadi, tapi hal ini yang membedakan Islam dengan Kristen. Kalau Islam, anda bisa shalat Jumat di masjid mana saja. Kalau di Kristen tidak bisa seperti itu. Biasanya orang Kristen akan konsisten. Kalau dia kebaktian di gereja Kota Baru, maka dia setiap minggu akan kesana dan tidak bisa pindah ke gereja lain, kecuali pindah keluar kota. Dia akan mencari gereja yang sekiranya sama alirannya dengan dia. Tidak hanya persoalan mengenai sentimen aliran gereja, namun dalam Kristen juga muncul sentimen kesukuan. Hal ini menyebabkan di Indonesia terdapat Gereja Kristen Jawa, Gereja Brantah, Gereja Manado, dan gereja-gereja yang sangat bernuansa kesukuan. Menurut Sumanthana, hal ini merupakan masalah dalam agama Kristen, sehingga harus diubah cara berfikirnya. Kalau kesukuan itu dalam konteks ingin membuat ceramahnya lebih masuk atau diterima (problem kontekstual), itu baik. Namun jika itu memperteguh sentiment antar kelompok atau suku, maka itu sangat berbahaya. Menurut Sumarthana hal lain yang perlu diubah adalah warisan teologi Barat yang disebut dengan istilah Triumfalistik Missionaris. Triumfalistik adalah keyakinan bahwa kita ini berada dalam posisi yang pasti akan menang, karena kita di sisi Tuhan, seakan-akan anda itu adalah kekuatan yang paling besar. Istilah tersebut diajarkan oleh seorang teolog yang bernama Hendrick Kraemer, yang menurut Sumarthana membuat agama Kristen menjadi tawanan sejarah kolonial. Hal ini berbahaya karena agama dianggap sebagai tawanan sejarah kolonial. Oleh karena itu, Sumarthana mengajak umat Kristen untuk keluar dari kantong-kantongnya. Hal ini sebenarnya bukan hanya problem umat Kristen, tetapi juga umat Islam hingga sekarang. Kantong-kantong ini semakin banyak sekali. Makna kantong itu merupakan wilayah-wilayah teritorial tertentu yang membuat orang hidup dalam lingkup yang sangat terbatas. Menurut Sumarthana orang Kristen itu seperti hidup dalam tempurung, tidak mampu melihat dunia luar walaupun sebenarnya dia bisa. Hal ini berbahaya karena orang sangat berorientasi melihat ke dalam dan tidak melihat luar sebagai ancaman. Empat hal itu yang menurut Sumarthana menjadi problem besar dalam teologi ke-Kristenan dan dia berusaha untuk mengubahnya. Dengan cara
33
seperti itu, dia berharap orang Kristen bisa mempunyai persepsi yang lebih baik terhadap umat Islam. Sumarthana berfikir bahwa Islam bukan agama yang harus dilihat sebagai saingan atau ancaman, tapi Islam sebagai teman seperjalanan. Sumarthana berpendapat, kita tidak bisa mengharagai Islam tanpa mempelajari Al-Quran sebagai firman Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Kita tidak bisa menganggap Muhammad sebagai Nabi palsu dan Al-Quran sebagai kitab palsu. Namun, harus mengakui mereka sebagai bagian pengalaman manusia tentang kebenaran. Ke-Kristenan sedang menjadi warung yang menawarkan barang-barang kebutuhan hidup yang sama di antara warung-warung lain pada sebuah kampung yang sama pula. Sumarthana membuat perumpamaan seperti itu. Ada cara pandang yang mengukung. Menurut Sumarthana pandangan mengenai Nabi Muhammad, Al-Quran, kewahyuan itu adalah triumfalistik. Kristen harus dianggap sebagai sebuah warung, dimana di tempat lain ada warung yang sama dengan barang yang sama yaitu janji keselamatan. Orang Kristen selamat melalui Yesus dan orang Islam melalui Muhammad. Janji keselamatan itu adalah esensi dari agama yang kebetulan orang Kristen dan orang Islam menjanjikan hal yang sama. Oleh karena itu, menurut Sumarthana itu perlu dianggap sebagai teman seperjalanan daripada sebagai sebuah kontestasi. Sumarthana melihat bahwa kunci umat Kristen untuk melihat orang Islam secara lebih bersaudara dan lebih ramah itu adalah pembaruan teologi itu sendiri, istilahnya Theologia Religionum yaitu teologi agama-agama. Dalam pandangannya, Sumarthana meyakini bahwa untuk mengubah persepsi umat Kristen terhadap umat Islam, diperlukan pembaruan teologi yang mengikis segala bentuk parokialisme, sektarianisme, egoisme, triumfalisme, atau fasisme. Intinya Sumarthana ingin menekankan bahwa problem utamanya adalah eksklusivisme kelompok. Tidak hanya eksklusivisme orang Kristen yang membatasi dan membangun tembok yang sangat tebal dengan orang Islam, tapi di dalam umat Kristen sendiri terjadi triumfalisme (eksklusivisme di dalam agama Kristen). Oleh karena itu, Sumarthana menamakan konsep Theologia Religionum yaitu teologi yang tidak hanya digunakan untuk melihat diri sendiri sebagai orang Kristen dan dimonopoli oleh kelas tertentu, kelas tokoh agama, tetapi teologi yang melihat ke samping, melihat keluar dan didasarkan pada pengalaman pertemuan kehidupan dengan agama-agama lain.
34
Sebenarnya bahasa-bahasa perumpamaan ini maknanya adalah ingin membawa orang Kristen itu keluar dari kantong-kantongnya. Belajar dari perspektif ilmu sejarah, yang menghasilkan model pemahaman teologis, pemahaman teologis yang mengandaikan yang lain. Jadi, yang dimaksud mengandaikan yang lain dalam proses itu adalah bagaimana kita melihat sesuatu tidak hanya dari kepentingan kita, namun juga dari orang lain. Dengan cara itu, menurut sumber, sehingga ada dialog yang terjadi secara internal. Ada beberapa pemikiran yang berpengaruh. Sumarthana melihat dimensi Intrinsic Similarity of Religion, ada kesamaan secara intrinsik antar agama. Sumarthana berusaha untuk menemukan nilai-nilai wahyu secara universal tanpa mengaburkan keunikan agama. Karena setiap agama itu mempunyai keunikannya masingmasing. Menurut Sumarthana, dibalik keunikannya, dibalik perbedaan-perbedaan itu ada yang disebut intrinsic similarity of religion. Itu yang harus dikeluarkan, sehingga orang-orang itu tidak terpaku kepada yang unik-unik. Sumarthana mempunyai pengalaman yang sangat kuat berkembang. Sumarthana tidak hanya seorang ahli teologi Kristen, tapi juga orang yang kaya dengan ditempa oleh berbagai aktivisme pro demokrasi, pro kesetaraan, dan aktivisme dialog antar agama. Oleh karena itu, proses pertumbuhan ini menciptakan kedalaman pemikiran dia dalam melihat. Sumarthana memaknai istilah dialog secara lain yaitu terdapat dua paradigma yang harus dilihat, yang pertama adalah paradigma kerukunan dan yang kedua adalah paradigma dialog. Kerukunan dan dialog itu berbeda. Menurut Sumarthana, kerukunan itu adalah keadaan dimana suatu kelompok membiarkan yang lain, tidak ada konflik, tetapi juga sekaligus tidak mengandung interaksi dinamis antara warga negara. Kerukunan mengandung makna pasif, kedudukan pada tekanan dari atas. Jadi kerukunan itu sifatnya pasif dan tunduk kepada dorongan dari atas. Pasif dalam pengertian yang penting tidak ribut dan berantem, walaupun ada prasangka, kedengkian, dan perasaan-perasaan curiga. Menurut Sumarthana cara pandang seperti itu adalah dangkal, karena suatu saat akan monoton. Saat ini orang cenderung untuk tidak berantem, tapi kalau kemauan untuk berteman dan menjangkau yang lain itu tetap tidak ada, akhirnya sifat curiga, praduga itu akan dipelihara. Hal seperti itu adalah kerukunan yang semu. Sebagai contoh, Anda punya tetangga Kristen, kemudian acuh tak acuh, tidak bertemu, tidak ngobrol, dan tidak apa-apa yang penting tidak berantem adalah tidak cukup. Rukun itu memang berarti tidak ada kekerasan, namun bukan
35
berarti tidak ada ketegangan. Ketegangan mungkin ada, namun tidak bentrok. Menurut Sumarthana, yang dilakukan oleh Pemerintah adalah hanya meminta masyarakat agar tidak mengganggu yang lain. Pemerintah tidak mendorong untuk melangkah lebih jauh, sehingga situasi damai itu bisa bertahan lebih lama. Menurut Sumarthana, kerukunan itu adalah program Pemerintah, apabila Pemerintahnya pergi mungkin akan terjadi tawuran. Kecenderungannya seperti itu, bergantung pada otoritas yang lain. Walaupun kedengarannya rukun itu bagus, tapi jika melihat lebih dalam, sebenarnya itu perlu dipahami ulang. Menurut Sumarthana, dialog itu lebih jauh dari sekedar kerukunan. Dialog tidak menghadirkan konflik. Dialog menghadirkan hubungan yang hidup di dalam komunikasi antar warga. Inti dari dialog adalah komunikasi, menghadirkan komunikasi yang terbuka dan lancar. Perbedaan pendapat ditingkatkan menjadi kemampuan bersama untuk hidup sejalan dengan dinamika persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Dialog mengasumsikan hubungan yang tidak bergantung pada pihak luar atau pihak yang di atas. Dialog terjadi dari prakarsa warga masyarakat, dengan penelitian hubungan antar warga masyarakat berada ditingkat saling belajar. Salah satu kuncinya ada kemauan dan keterbukaan untuk saling belajar. Hubungan itu saling belajar. Kalau itu tidak muncul dan tidak bertemu, maka tidak ada proses saling belajar. Dialog itu berada dalam dua level, telogis wacana dan daya praksis. Saat ini dialog itu tidak hanya mengumpulkan tokoh-tokoh agama di sebuah ruangan, kemudian menyampaikan ini pandangan agama saya, ini pandangan agama anda, dan ada kesamaan. Itu disebut dialog teologis wacana dan formal. Sebenarnya dialog teologis itu tidak hanya bersifat formal, namun secara praktis. Misalnya anda belajar untuk hidup dengan orang Kristen. Ada proses di dalamnya. Oleh karena itu, menurut Sumarthana perlu dilakukan dialog tidak hanya sebatas teologis wacana, namun daya praksis. Karena dialog tidak hanya antar agama, namun dengan orang yang berbeda. Hal lain yang perlu dilihat adalah dialog dalam konteks demokrasi. Proses demokrasi tidak bisa mengesampingkan peran agama. Tren global menunjukkan kebangkitan peran agama di ruang publik. Dimensi politik agama semakin kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang yang beragama akan berpolitik. Itu adalah hal yang wajar. Maka dari itu, proses demokrasi akan diikuti oleh agresifitas berbagai kekuatan agama untuk memperebutkan ruang publik.
36
Alam demokrasi saat ini bermacam-macam. Kekuatan keagamaan dengan orientasi intoleran akan menjadi salah satu pemain penting dalam demokrasi. Mereka berpotensi menciptakan polarisasi. Polarisasi itu adalah pengkotak-kotakan yang cenderung menindas kelompok minoritas. Menurut Sumarthana, demokrasi seperti ini harus melakukan suatu upaya, agar tidak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang sebenarnya anti demokrasi. Oleh karena itu, Sumarthana menganggap dialog antar agama mempunyai arti penting yang tidak hanya membangun perdamaian antar agama, tetapi juga menjadi sarana pendidikan politik (civil education). Menurut Sumarthana dialog agama diarahkan untuk mendidik masyarakat agar sadar politik bahwa pilihan politik tersebut harus berdasarkan pilihan-pilihan yang rasional, substantif, bukan pilihan yang simbolik. Satu hal penting dari Sumarthana, beliau adalah salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini sering disalahpahami mengapa Sumarthana ikut mendirikan PAN. Apalagi pada waktu itu orang sangat skeptis terhadap partai politik, bahkan hingga saat ini. Pada waktu itu Sumarthana adalah seorang tokoh lintas agama, tapi mendirikan partai politik yang dekat dengan organisasi keagamaan tertentu. Hal ini yang banyak dikritik oleh rekan-rekannya. Sebenarnya hal ini dikarenakan oleh kewaspadaan Sumarthana terhadap demokrasi yang apabila tidak diwarnai oleh politisi-politisi yang bermoral, akan berbahaya. Sumarthana mengatakan bahwa kita harus mendorong terwujudnya politik pluralis dalam demokrasi. Kalau ini tidak ada, maka yang dominan adalah politik anti pluralis. Maka Sumarthana ikut mendirikan PAN dengan harapan PAN akan menjadi bagian dari upaya untuk mendorong peran politik pluralis. Walaupun kemudian belakangan berubah tidak sesuai seperti itu. Maka dari itu salah satu pendiri PAN yaitu Abdillah Toha, yang merupakan tokoh pro demokrasi dan tokoh pluralis, memilih mundur. Hal ini dikarenakan PAN mendukung Pilkada Langsung. Baginya Pilkada langsung itu bukan politik demokratis lagi. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, banyak sekali lembaga-lembaga interfaith seperti Madia, ICRP, dan lain sebagainya. Saat ini, lembaga-lembaga seperti itu banyak yang hidup mati-hidup mati. ICRP dan Madia misalnya, sekarang sudah tidak kelihatan kegiatannya. Walaupun banyak sekali lembaga-lembaga interfaith yang didirikan pada masa yang kurang lebih sama dengan Interfidei itu mati suri. Interfidei itu salah satu yang bertahan sampai sekarang. Interfidei itu lembaga antar ilham/pihak yang akarnya sangat kuat. Ibarat gajah mati
37
meninggalkan gading, maka Interfidei adalah gading milik Sumarthana yang sangat berharga bagi Indonesia dan memiliki jaringan yang sangat luas. Beberapa catatan kritis tentang pemikiran Sumarthana Pemikiran Sumarthana ini didorong oleh perhatian beliau terhadap problem teologis di kalangan orang Kristen yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh karena itu, Sumarthana lebih menekankan pada perubahan nilai level pada pandangan teologisnya. Seakan-akan orang itu kalau mau toleran, harus merevisi teologinya. Sedangkan kita tahu, orang dapat bergaul dengan baik terhadap agama lain itu bisa dengan level teologi yang berbeda-beda, tidak harus mendekonstruksi pandangan teologisnya. Namun hal ini tidak berlaku sama di setiap daerah. Pada beberapa daerah terdapat kehidupan yang sangat damai antar agama, salah satunya adalah daerah Lasem. Lasem ini adalah kota yang sangat santri. Lasem adalah salah satu kota santri yang sangat kuat dan tertua di Jawa. Lasem terletak di antara Semarang dengan Tuban, di pantai utara. Banyak terdapat pesantren-pesantren yang sangat tua di Lasem. 20% penduduk di daerah Lasem adalah orang China, yang sebagian besar adalah non muslim. Di daerah Lasem ini tidak pernah ada konflik antara orang Islam dengan orang China. Jadi, apakah ada yang berbeda dari pandangan teologisnya? Jangan-jangan tidak. Mungkin ada faktor lain kenapa orang bisa hidup damai dengan yang berbeda agama? Paradigma intoleransi itu melihat sumber masalahnya ada pada pandangan teologis, terutama doktrin tentang keselamatan. Islam agama terakhir, Muhammad Nabi terakhir, dan dia menyempurnakan semua agama, maka orang Kristen itu agama yang sudah kuno dan kolot, maka dia pasti tidak bisa damai dengan Islam, misalnya. Hal itu menekankan pada pandangan teologis. Cara pandang yang lain adalah melihat hubungan antar agama sebagai konflik. Kekerasan terjadi karena ada kepentingan yang tidak bisa dipertemukan. Misalnya, FPI itu datang ke sebuah gang dimana ada diskotik sebelah kanan dan kiri, tapi yang ditutup hanya yang sebelah kiri saja dan sebelah kanan dibiarkan. Padahal untuk hal seperti itu berpikirnya dari paradigma maksiat, maka itu sama-sama maksiat. Oleh karena itu, ini adalah ada konflik kepentingan yang tidak bisa dipertemukan. Lain lagi kalau kita melihat masalah keagamaan. Tentu pandangan ini tidak saling melupakan, tapi perlu dilihat sebagai sesuatu yang saling melengkapi. Namun jika kita melihat maksud Sumarthana tadi, itu banyak bicara pada level caracara berfikirnya. Itu yang disebut sebagai daya fraksis.
38
Komentar Martin Sinaga ketika menulis memorium ketika Sumarthana meninggal pada tahun 2012 yang sangat menggugah,”Sumarthana mengingatkan kita semua bahwa ada proses ke-Kristenan yang tidak memadai dalam memandang Islam selama ini. Ke-Kristenan yang memandang Islam akan berubah. Islam akan menjadi Kristen. Menurut dia, seluruh proses pemahaman itu harus dihentikan. Jalan satu-satunya untuk menghadapi Islam bagi dia adalah dengan berdialog. Baginya, orang harus mengetahui sirkuit perjumpaan dan dengan perjumpaan itulah orang akan menemukan jati diri yang sejati. Dia yakin sekali bahwa tidak ada jalan lain untuk hidup bersama selain jalan dialog. Dia sering mengatakan bahwa problem dialog adalah problem yang akan mendasar bagi generasi muda. Dari pengalaman beliau berkeliling di nusantara, ini akhirnya tumbuhlah komunitas-komunitas kecil kaum muda, khususnya dimana mereka menjadikan dialog sebagai ajang untuk bertemu dengan yang lain. Dari situ seolah-olah dia sedang mempersiapkan semacam generasi yang lebih matang dalam berdialog, dan bersedia berubah, dan menghormati orang lain. Saya kira, jaringan dialog itulah kekuatan Sumarthana.” Kekuatan Interfidei sekarang yang diinginkan oleh Sumarthana adalah jaringan dialog antar iman yang tersebar di seluruh Indonesia.
39
Rekontekstualisasi Pluralisme Islam: Studi Pemikiran Nurcholis Madjid (Cak Nur) Samsul Ma’arif, Ph.D (disampaikan pada diskusi serial tokoh pluralis di Indonesia pada tanggal 19 Desember 2014 di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga) Konsep umum pluralismee menurut Nurcholis Madjid adalah sebuah landasan sikap positif, aktif, dan bijaksana untuk menerima kemajemukan dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama, terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Nurcholis Madjid menjadikan Islam sebagai landasan untuk membangun faham pluralismee. Hal tersebut yang membuat konsep atau pemikiran Nurcholis Madjid lebih tepat untuk disebut sebagai pluralisme Islam. Konsep pemikiran Cak Nur adalah integral komprehensif. Hal ini dapat dilihat dari karyakarya beliau. Beliau membahas tentang ketuhanan, kemanusiaan, Islam, iman, takwa, dan lainlain secara luas, namun tetap integral dan saling terkait. Pluralismee adalah salah satu bagian pemikiran Cak Nur yang harus dilihat secara terkait. Ketika kita ingin membahas mengenai pluralisme beliau, konsep iman, islam, dan takwa yang begitu banyak dijelaskan dalam karyakarya beliau itu adalah kunci-kunci untuk memahami apa yang beliau sebut dengan pluralismee. Beliau membangun sikap positif, aktif, dan terbuka terhadap kemajemukan dan keberagaman, terbuka untuk berdialog dalam kehidupan sosial secara adil, dengan landasan keislaman. Sebagai contoh adalah Islam. Kita mengenal Islam dari beliau tentang pembedaan antara Islam dengan huruf i besar dan Islam dengan huruf i kecil. Islam dengan huruf i besar itu yang formal, seperti kita, pengikut Nabi. Tapi Islam dengan huruf i kecil adalah Islam pesan-pesan yang Allah firmankan sejak Nabi Adam. Hal itu mempunyai maksud ada prinsip universalitas dalam Islam yang tidak hanya membatasi itu kepada pengikut Nabi Muhammad, tapi menjangkau pada umatumat sebelum Nabi Muhammad hingga Nabi Adam. Islam adalah kepasarahan, ketundukan kepada Tuhan. Itu yang menjadi pesan-pesan inti dari semua ajaran agama yang diturunkan oleh Allah sejak Nabi Adam. Cak Nur menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang universal atau pesan-pesan yang ada di dalamnya bersifat
40
universalitas yaitu tidak membatasi manusia, khususnya tidak membatasi Islam itu hanya pada pengikut Nabi Muhammad saja. Hal ini dikarenakan pesan inti dari Islam adalah kepasrahan dan ketundukan secara penuh kepada Tuhan. Iman lebih dekat pada ketakwaan. Iman kepada Allah. Iman yang ditekankan disini adalah hanya Allah satu-satunya yang boleh kita lebih-lebihkan, agung-agungkan, dan sembah. Dengan iman, kita tidak boleh melebihkan sesuatu yang lain selain Allah. Hal ini menegaskan tentang kesetaraan semua manusia. Tidak ada yang boleh dilebihkan kecuali Allah. Manusia tidak boleh merasa lebih dibandingkan dengan yang lain. Ketika manusia merasa lebih dari manusia yang lain, maka dia keluar dari iman yang sebenarnya. Karena iman yang sesungguhnya adalah hanya kepada Allah. Jadi, pertama menegaskan Ketuhanan itu dengan sangat ketat, tapi di sisi lain menegaskan kesetaraan manusia tanpa terkecuali. Jadi, Islam tidak boleh memandang dirinya lebih dibanding dengan non-muslim. Karena ketika manusia merasa lebih, itu keluar dari iman. Dari konsep ini maka faham pluralisme itu dibangun. Kemajemukan harus dinilai dan diperlakukan dengan setara dan adil. Pada umumnya takwa dijelaskan sebagai memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Bagi Cak Nur, hal tersebut tidaklah cukup. Takwa harus memenuhi implikasi kemanusiaan. Jadi takwa kepada Allah memang menegaskan pentingnya relasi antara manusia dengan Allah, tapi lebih dari itu, yang justru ditekankan adalah implikasi dari itu yaitu kemanusiaan dan keadilan. Orang yang tidak adil adalah orang yang tidak takut kepada Allah. Paling tidak islam, iman, dan takwa ini yang menjadi landasan bagi Cak Nur untuk menjelaskan apa itu manusia yang dibungkus dengan universalisme Islam. Islam adalah agama yang universal, yang menjadi landasan membangun konsep pluralisme. Dalam salah satu bukunya yaitu Jalan-Jalan Menuju Tuhan, Cak Nur menjelaskan bahwa salah satu prinsip pluralisme adalah jalan menuju Tuhan itu begitu banyak, tidak satu. Dari segi istilah saja jalan itu ada yang namanya Sirath, Sirathal Mustaqim contohnya, ada yang sabil/subul, syariah, thariqah, minhaj, sulub, dan seterusnya itu sudah memenuhi indikasi bahwa jalan menuju Tuhan itu bisa bermacam-macam. Dalam menjelaskan hal ini, Cak Nur merujuk pada banyak ayat untuk memaknai ayat yang maknanya itu mengarah pada betapa pluralisme itu adalah salah satu esensi atau ajaran Al-Qur‟an. Di antara yang dijelaskan di sini adalah lebih
41
kepada internal Islam. Jalan menuju Allah itu macam-macam, contohnya ada yang di filsafat, syariah, tasawuf, fiqh, dan seterusnya. Itu adalah semua jalan yang antara satu dengan yang lain tidak saling menekan atau mengungguli atau merasa unggul. Tapi semua itu bisa berfungsi sebagai jalan yang bisa membawa kita kepada Tuhan. Intinya adalah perlunya keterbukaan dan toleran terhadap yang berbeda dengan kita. Itulah salah satu fondasi yang penuh dengan ayatayat Al-Qur‟an. Dan itu seperti menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an. Itu merupakan salah satu poin yang dijadikan landasan oleh Cak Nur dalam membangun konsep pluralisme. Selain itu, masih dalam karya beliau, beliau menjadikan Piagam Madinah yang menjadi pegangan bagi setiap kelompok yang ada pada waktu itu, kesepakatan bersama. Beberapa poin di dalam Piagam Madinah adalah pertama kebebasan beragama. Jadi, karena golongan yang bersepakat dengan Rasulullah, kaum Muhajirin dan Anshor pada waktu itu, adalah kelompok agama-agama lain, termasuk Kristen, Yahudi, dan suku-suku yang lain. Di dalam kesepakatan itu adalah adanya pengakuan terhadap kebebasan beragama, mengatur hidup sesuai keyakinan. Banyak yang mengatakan bahwa ini adalah salah satu landasan konstitusi pertama di dunia dalam hal demokrasi. Selanjutnya adalah kemerdekaan hubungan ekonomi antar-golongan. Kemudian di antara prinsip-prinsip yang ada adalah pentingnya partisipasi warga dalam melakukan pertahanan untuk kepentingan bersama. Pesan dari Piagam Madinah itu ada konsep yang ingin dibangun, yaitu nasionalisme, perlunya kebersamaan, egalitarianism, demokrasi, dan keadilan sosial. Selanjutnya adalah Khutbah Wada‟ Nabi Muhammad ﷺ, khutbah terakhir Nabi ﷺsebelum beliau meninggal. Prinsip-prinsip yang disampaikan juga hampir sama dengan Piagam Madinah, yaitu prinsip persamaan manusia, pentingnya kita menjaga harta dan kehormatan (prinsip HAM), dan kesetaraan jender. Dua model di atas, yaitu yang pertama Al-Qur‟an dan Sunnah, yang dijadikan landasan dalam membangun pluralisme. Kedua adalah fakta sejarah yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺyang menjadi rujukan Cak Nur dalam menegaskan bahwa pluralisme itu adalah salah satu esensi yang bisa kita temukan dalam Islam. Lebih jauh kita mencoba untuk keluar. Kalau tadi itu adalah bagaimana pluralisme, landasannya. Dari landasan itu bisa dipahami bahwa pluralisme Nur Cholis Madjid adalah pluralisme Islam, karena landasannya adalah Al Qur‟an dan sejarah
42
Islam. Nah, bagaimana kalau itu kita bawa misalnya kalau pluralisme keluar dari Islam untuk kita aplikasikan dan benturkan dengan realita.
Pluralisme dan titik temu dengan agama-agama Tadi sudah dijelaskan mengenai makna pluralisme. Cak Nur masih kembali melihat bagaimana ajaran Al Qur‟an. Dalam Al Qur‟an itu sudah ditegaskan bahwa keragaman, kemajemukan, atau pluralitas itu adalah bukan hanya fakta atau realitas, tapi itu adalah takdir yaitu sesuatu yang dikehendaki oleh Allah. Kemajemukan, begitu banyaknya agama-agama, bukan hanya realitas, tapi ia ada dalam rencana Tuhan (ditakdirkan oleh Allah). Itu adalah tanda atau penegasan bahwa pluralitas, keberagaman, dan kemajemukan adalah sebuah rencana Allah (takdir atau sunnatullah). Artinya, kalau dia bukan sekedar relaitas, kita tidak hanya akan hidup dalam kemajemukan, tapi kita dituntut bagaimana mengolah kemajemukan itu, bagaimana hidup agar kemajemukan itu tidak menjadi ancaman, tetapi menjadi potensi bagi kita untuk hidup nyaman, lita’arafu (agar kita saling mengenal) supaya kita mendapatkan manfaat. Oleh karena itu kemajemukan itu harus diterima untuk membangun kebersamaan agar manfaatnya bisa kita dapatkan secara maksimal. Jika ada perbedaan yang bisa memunculkan perdebatan dan pertentangan, ada beberapa ayat yang Cak Nur rujuk kita kembalikan kepada Allah. Hal ini dikarenakan esensi dari semua agama yang Diturunkan oleh Allah adalah sama. Jadi ketika semuanya kita kembalikan ke Tuhan, semestinya kalau kita punya hati yang jernih, seharusnya kita tidak akan berdebat. Maksudnya, perdebatan itu ada, namun ketika menemui jalan buntu, hal tersebut dikembalikan kepada Tuhan. Secara konseptual, itu yang kita dapatkan dari pluralisme Islam menurut Cak Nur. Konsep pemikiran pluralisme Cak Nur untuk konteks Indonesia ada yang cukup tegas disampaikan oleh Cak Nur terkait dengan agama-agama politeis dan atheis atau istilah-istilah syirik. Menurut Cak Nur, semua itu adalah agama palsu. Poloteisme adalah salah satu bentuk agama yang ada di dunia, bahkan di Indonesia, Hinduisme. Sekalipun Hindu sudah dipaksa oleh negara untuk mengakui hanya ada satu, karena wajibnya mengakui sila Pancasila, Ketuhanan
43
Yang Maha Esa. Tapi dalam praktiknya atau dalam konsepnya politeisme adalah banyaknya dewa-dewa itu tetap melekat pada ajaran agama Hindu. Syirik menurut Cak Nur adalah keterbelengguan pemahaman manusia tentang sesuatu, lalu mengkultuskannya atau fanatisme terhadapnya. Menurut Cak Nur, bukan hanya yang mempunyai agama, bahkan ateisme yang rujukannya adalah komunis, bahkan dapat jatuh ke dalam agama palsu yang syirik. Misalnya, Cak Nur mencontohkan kejadian di Korea Selatan dan Rusia, orang datang mengunjungi patung-patung para pejuang komunis. Bagi Nur Cholis Madjid, itu adalah bentuk bentuk pengkultusan atau keterbelengguan manusia dalam berpikir yang mengkultuskan orang-orang tersebut. Lalu tiran adalah tirani atau otoritarianisme, yang penuh dengan kedhaliman adalah lawan dari Tauhid. Penjelasan Nur Cholis Madjid terkait dengan pluralisme Islam ini cukup tertantang dalam konteks Indonesia hari ini. Hari ini kita tahu bahwa Kemenag atau Kementrian Agama sedang mempersiapkan Undang-undang untuk kelompok agama minoritas (UU Perlindungan Kelompok Minoritas) yang merujuk pada penghayat sebenarnya. Karena hal itu adalah dorongan dari beberapa organisasi dan LSM yang fokusnya kepada penghayat kepercayaan dan agama lokal. Kaitannya dengan konsep pluralisme Islam Cak Nur yang mengeluarkan agama politeisme, maka pluralisme ini mempunyai keterbatasan. Jadi tidak plural total. Bahkan menurut Rahardjo, Cak Nur sebenarnya tidak pluralis, namun lebih kepada inklusif. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa Cak Nur mempunyai pikiran yang sangat progresif tentang pluralismee, sekalipun sangat teologis. Hal tersebut merupakan tantangan, pluralismee Islam yang inklusif tapi membatasi beberapa dan bagaimana ini kita rekontekstualisasi di Indonesia. Salah satu yang bisa kita benturkan untuk didialogkan antara pluralisme Islam dengan pluralisme kewargaan. Pluralisme kewargaan ini adalah konsep yang sedang dikembangkan di CRCS, yang penekanannya itu adalah tidak terus menerus pada agama, tetapi pada warga. Jadi, semua warga negara yang diatur oleh satu konstitusi posisinya semua sama. Apapun agamanya, termasuk yang tidak beragama, selama dia warga negara yang sudah sah, maka punya hak yang sama.
44
Epilog : Melanjutkan Warisan Pluralisme Faishol Adib M.A (Program Manager-AIFIS) Gus Dur, Romo Mangun, Ibu Gedong, TH. Sumartana dan Cak Nur selama ini dikenal dan diakui oleh masyarakat luas sebagai tokoh pluralis Indonesia. Pemikiran dan implementasi atas nilai-nilai pluralisme yang mereka usung sejalan dengan kondisi Indonesia sebagai negara multietnis, budaya, dan agama. Pemikiran dan implementasi ini juga segaris dengan salah satu sila Pancasila, Persatuan Indonesia, dalam menyikapi kemajemukan masyarakat Indonesia di mana segala perbedaan yang muncul dapat diterima dan dihargai oleh kelompok-kelompok yang berbeda. Pribumisasi Islam yang menjadi roh pemikiran Gus Dur merupakan manifestasi dari politik kebangsaan untuk mendukung berlangsungnya NKRI karena Pribumisasi Islam menegasikan terwujudnya Legalisasi Islam atau Syariatisasi Islam yang tidak sejalan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia. Saat menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke – 4, meskipun singkat periodenya, GusDur mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2000 tentang penetapan Hari Imlek sebagai hari libur Nasional. Selain itu, Gus Dur juga memberi ruang yang luas bagi perayaan budaya Tionghoa berupa perayaan barongsai dan sejenisnya yang sebelumnya dilarang oleh Presiden Suharto. Pemikiran dan kebijakan ini dapat dimaknai bahwa Gus Dur menjunjung toleransi antar agama di mana keragaman agama dan budaya menjadi bagian penting Indonesia. Romo Mangun yang memiliki perhatian besar dalam pendidikan, terutama melalui lembaga pendidikan yang dikelola, sangat menekankan pentingnya dialog antar siswa dan guru. Penekanan pada ruang dialog ini menjadi penting untuk mengajarkan bagaimana anak-anak terbiasa membangun komunikasi dengan orang lain yang ini juga sangat penting dalam membangun dialog antar umat beragama. Spirit pluralisme yang menjadi bagian penting dari kehidupan Romo Mangun diimplementasikan melalui pembelaannya terhadap rakyat kecil yang menjadi korban pembangunan Waduk Kedungombo yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Meski Romo Mangun dituduh melakukan kristenisasi, ia tetap berani dan konsisten dengan perjuangannya membela rakyat kecil yang ditindas oleh penguasa Orde Baru. Dalam
45
konteks ini lah Romo Mangun sering menyampaikan pesan bahwa yang nomor satu bukan lah agama, melainkan iman dan takwa karena ada begitu banyak orang beragama namun tidak beriman. Dilahirkan dari keluarga “darah biru” tidak membuat Ibu Gedong berpaling dari rakyat kecil. Dalam peta tokoh-tokoh pluralis Indonesia, ibu Gedong adalah seorang pejuang. Salah satu perjuangan tokoh yang bernama lengkap Ni Wayan Gedong adalah melakukan penyederhanaan dan rasionalisasi terhadap tradisi Hindu Bali. Salah satu contohnya adalah ritual Ngaben. Dalam tradisi Bali, ritual Ngaben bukan lah ritual yang murah. Bagi masyarakat kalangan bawah, mereka baru bisa melaksanakan ritual Ngaben setelah mengumpulkan uang beberapa tahun, bahkan berpuluh tahun, dan ini membuat sebuah keluarga merasa bersalah karena tidak mampu melakukan ritual tersebut dalam waktu cepat. Bagi ibu Gedong, salah satu tradisi Hindu Bali ini sudah tidak masuk akal, karena hanya menjadi alat penindas bagi orang kaya terhadap masyarakat miskin di Bali. Karena itu, ibu Gedong membongkar tradisi tersebut dengan mengembalikan ritual Ngaben pada esensinya yang bisa dilakukan oleh semua masyarakat Bali dengan cara sederhana. Ketika aktifitas dialog antar umat beragama masih belum banyak dilakukan di Indonesia, TH Sumartana sudah mulai berfikir tentang pentingnya memulai inisiatif dialog melalui sebuah lembaga. Selesai studi doktor pada tahun 1992, ia mengajak sejumlah tokoh lintas agama seperti Gusdur, Romo Mangun, Ibu Gedong, Bhikku Sri Pannavaro, dll untuk mendirikan Lembaga Interfidei di Yogyakarta sebagai lembaga yang menginisiasi adanya dialog antar pemeluk agama. Bagi Sumartana, dialog antaragama mempunyai arti penting tidak hanya dalam membangun perdamaian antar-agama, tetapi juga menjadi sarana pendidikan politik (civic education) yang mendorong warga negara untuk berpartisipasi dalam politik secara rasional, tidak berdasarkan kepentingan sempit/politik identitas. Saat meninggal pada November 2012, Sumartana dikelilingi oleh para tokoh lintas iman Indonesia. Salah satu warisan terpentingnya adalah Lembaga Interfidei sebagai lembaga pelopor pelembagaan aktivisme dialog yang terus bertahan hingga sekarang, ketika situasi dan tantangan terus berubah. Berkat kerja berkelanjutan, Interfidei mampu membangun jaringan lintas iman yang luas dan mendalam baik di kalangan tokoh agama, pemuda, guru dan tersebar di seluruh Indonesia, khususnya wilayah timur.
46
Sebagai salah satu intelektual muslim Indonesia, Cak Nur memandang bahwa pluralisme merupakan suatu landasan sikap positif (aktif dan bijaksana) untuk menerima kemajemukan dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama, terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil. Kemajemukan merupakan taqdir (kepastian Allah), atau sunnatullah yang harus diterima di mana masyarakat didorong untuk berlomba berbuat kebaikan kepada sesama. Pluralisme Cak Nur berdasar pada fondasi pluralisme Islam, yaitu Islam, Iman dan Taqwa. Islam, baik yang diturunkan sejak Nabi Adam maupun Nabi Muhammad, merupakan sebuah penyerahan terhadap keesaan Allah. Sedangkan Iman, merupakan sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dibanding Allah. Dalam konteks ini, kaum Muslim tidak sepantasnya menilai bahwa posisinya lebih tinggi dibanding kaum non-Muslim, karena soal kebenaran agama adalah hak Allah yang menentukan. Sedangkan makna taqwa, bukan sekadar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Tapi lebih dari itu, ketaqwaan harus berimplikasi pada keadilan terhadap sesama manusia. Membaca pemikiran dan merenungkan aktifivisme kelima tokoh dalam buku ini seperti sebuah oase di tengah meningkatnya kekerasan yang muncul di masyarakat, terutama yang terkait dengan isu agama. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran kembali kelima tokoh pluralis Indonesia yang semuanya sudah meninggal ini sangat lah dirindukan. Masyarakat merindukan akan hadirnya para sosok negarawan yang dapat menjadi pengayom bagi semua lapisan masyarakat yang berbeda agama, etnis, dan juga budaya. Negeri ini juga merindukan akan hadirnya tokoh-tokoh baru yang memiliki komitmen memperjuangkan hak-hak rakyat kecil yang terkadang diabaikan, bahkan ditindas oleh para penguasa. Dalam konteks ini lah warisan pluralisme yang benih-benihnya sudah ditanam oleh kelima tokoh pluralis yang dibahas dalam buku ini sepatutnya perlu terus dijaga. Lebih dari itu, pemikiran dan aktivisme kelima tokoh tersebut dapat menjadi energi baru buat kita semua untuk meneruskan perjuangannya dalam mewujudkan perdamaian di tengah masyarakat yang majemuk, baik dari segi agama, etnis, maupun budaya.
*****
47