Pluralisme dan MDGs : MERANCANG PEMBANGUNAN YANG PLURALIS oleh: Ismail Hasani1 Abstrak Millenium Development Goals (MDGs) sebagai salah satu upaya bersama bangsa‐bangsa di dunia dalam pembangunan, sebatas berorientasi ekonomi. Secara khusus, fakta bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk yang beragam masih belum terakomodir dalam 8 point MDGs yang akan berakhir dan dalam 12 tujuan baru MDGs pasca 2015. Toleransi dan pluralisme sebagai konsep yang niscaya dalam masyarakat heterogen masih belum menjadi spirit dan tujuan pembangunan dunia. Sehingga, pembangunan yang pluralis masih belum mendapat tempat khusus dalam agenda Post MDGs, pun di Indonesia. Pembangunan yang pluralis dengan memperhatikan dan mengakomodir kelompok‐kelompok minoritas menjadi keniscayaan dalam pembangunan. Tanpa menyantuni dan mengusahakan pluralisme, maka pembangunan akan berlangsung sia‐sia, karena apa yang sudah dibangun potensial hancur karena kerentanan konflik yang melekat pada masyarakat yang heterogen. Kata kunci: civic pluralism, MDGs, pembangunan Pendahuluan Bangsa Indonesia menjadi, berawal dari keinginan para pendiri bangsa (founding fathers) untuk mempersatukan keanekaragaman suku, agama, budaya, menjadi satu kesatuan yang bernama Indonesia.2 Pluralisme menjadi kondisi dasar pra‐ negara yang kemudian dilampaui ketika pendirian negara bangsa diresmikan. Dengan itu pendirian negara‐bangsa menjadi pengatasan dari partikularisme yang merekah dari tiap sistem nilai yang berbeda‐beda. Prosedur semacam ini secara ketat dan gigih diperkenalkan oleh Sukarno:
1
Ismail Hasani, Direktur Riset SETARA Institute dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah total pulau mencapai 17.508 pulau. Terdiri dari lima kepulauan besar dan 30 kelompok kepulauan kecil, termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis, bahkan di Papua saja terdapat 270 suku. Dengan jumlah suku sebanyak itu, Indonesia memiliki bahasa daerah terbanyak, yaitu 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku bangsa di Indonesia. http://travel.okezone.com/read/2013/01/04/408/741602/kenali‐negeri‐sendiri‐sebelum‐jelajahi‐ negeri‐orang‐i
“Saudara‐saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara‐saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua.”3 Dalam pandangan yang berkembang dalam dunia akademis secara umum, pemikiran mengenai kerukunan dan toleransi antar umat beragama biasanya disediakan dalam tiga skenario besar. Profesor Douglas Shrader misalnya mengemukakan ketiga pandangan kerukunan dan toleransi itu dalam tiga sumber pemikiran yakni pemisahan agama‐negara, pandangan universal, dan pandangan Timur. Yang pertama adalah pandangan kerukunan dan toleransi yang berbasis pada ide pemisahan secara ketat antara negara dan agama sebagaimana yang berlaku di negara‐negara seperti Amerika, Prancis dan Turki. Yang kedua adalah pandangan kerukunan dan toleransi yang berbasis pada wawasan universalitas ide keagamaan yang menekankan kesamaan akhir dalam tujuan tiap agama sebagaimana banyak dianut di negara‐negara Eropa masa kini. Pandangan yang ketiga mengenai kerukunan dan toleransi agama bersumber pada tradisi‐tradisi Timur seperti India dan negara‐negara Asia.4 Bhikhu Parekh5 membedakan pluralitas menjadi tiga kategori, pluralitas sub‐ kultural, pluralitas perspektif, dan pluralitas komunal. Yang pertama, pluralitas sub‐kultural, muncul ketika anggota komunitas berbagi kultur yang sama dan di saat yang sama memiliki cara menjalani hidup yang berbeda di dalam komunitas tersebut. Kedua, pluralitas perspektif, terjadi ketika anggota masyarakat mengeluarkan kritik yang tajam terhadap nilai fundamental dalam sebuah kultur dominan dan berusaha untuk merekonstruksi nilai tersebut. Sedangkan yang ketiga, pluralitas komunal, terjadi dalam sebuah masyarakat modern yang mengakomodir berbagai komunitas‐komunitas terorganisir dan otonom yang menjalani kehidupannya berdasarkan prinsip dan nilai masing‐masing. Manusia memang berbeda, dan hanya toleransi yang bisa memastikan keberlangsungan komunitas yang beraneka ragam di setiap daerah di seluruh dunia. Sebagaimana yang didengung‐dengungkan oleh UNESCO, ‘People are naturally diverse; only tolerance can ensure the survival of mixed communities in
3
Sukarno dalam Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
4
Douglas W. Shrader, Beyond Tolerance: Globalization, Freedom, and Religious Pluralism dalam Sonja Servomaa (ed) Humanity at the Turning Point: Rethinking Nature, Culture and Freedom, Helsinki, Finland: Renvall Institute for Area and Cultural Studies, 2006 5
Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, London, MacMillan Press, 2000
every region of the globe’.6 Lebih lanjut UNESCO menekankan pentingnya toleransi, sebagaimana berikut:7 The appreciation of diversity, the ability to live and let others live, the ability to adhere to one's convictions while accepting that others adhere to theirs, the ability to enjoy one's rights and freedoms without infringing on those of others, tolerance has always been considered a moral virtue. Tolerance is also the foundation of democracy and human rights. Intolerance in multi‐ ethnic, multi‐religious or multicultural societies leads to violations of human rights, violence or armed conflict. Dalam rangka untuk memperjuangkan toleransi, UNESCO memberikan lima (5) langkah, yaitu:8 1. 2. 3. 4. 5.
Fighting intolerance requires law Fighting intolerance requires Education Fighting intolerance requires access to information Fighting intolerance requires individual awareness Fighting intolerance requires local solutions
Pemikir filsafat Thomas M. Scanlon dalam The Difficulty of Tolerence, merumuskan bahwa toleransi berkaitan dengan kesadaran moral yang dapat dimengerti dengan pertanyaan ‘what we owe to each other’ atau ‘kita berhutang apa dari sesama kita”.9 Dalam pemikiran Scanlon, Tolerance requires us to accept people and permit their practices even when we strongly disapprove of them. Tolerance thus involves an attitude that is intermediate between wholehearted acceptance and unrestrained opposition.10 Penerimaan kita terhadap orang lain, meskipun kita tidak setuju terhadap apa yang diyakininya atau dilakukannya, menunjukkan kedewasaan kita dalam menerima dan menghargai keberadaan Lian. Sikap saling menghargai dan menghormati, masih ada kaitannya dengan pengakuan. Setiap individu ingin
6
“Promoting Tolerance”, artikel diakses dari http://www.unesco.org/new/en/social‐and‐ human‐sciences/themes/fight‐against‐discrimination/promoting‐tolerance/ pada tanggal 20 November 2013 7
“Promotoing Tolerance” artikel diakses dari http://www.unesco.org/new/en/social‐and‐ human‐sciences/themes/fight‐against‐discrimination/promoting‐tolerance/ pada tanggal 20 November 2013 8
“Promotoing Tolerance” artikel diakses dari http://www.unesco.org/new/en/social‐and‐ human‐sciences/themes/fight‐against‐discrimination/promoting‐tolerance/ pada tanggal 20 November 2013 9
Thomas M. Scanlon, The Difficulty of Tolerance: Essay in Political Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2003. 10
Thomas M. Scanlon, ibid, h. 187
keberadaannya diakui. Hal ini apa yang disebut oleh Taylor sebagai politik identitas. Charles Taylor menyatakan, bahwa dalam membentuk identitas dan konsep sebagai agen manusia, kita lalui lewat sebuah proses ‘dialogis’ dengan orang lain yang kita sebut ‘kekayaan ekspresi bahasa manusia’.11 Hal ini merupakan sebuah keniscayaan, bahwa dalam rangka untuk menciptakan masyarakat yang toleran, dialog merupakan salah satu cara. Dengan adanya dialog, maka akan tercipta sikap saling menghargai antar‐individu maupun kelompok. Perbedaan yang ada, bukan menjadi halangan untuk menciptakan situasi yang kondusif dan damai dalam sebuah komunitas, apalagi bangsa. Sementara bagi Kymlicka, di antara tuntutan‐tuntutan yang diajukan oleh salah satu etnis yang ada di suatu negara yang paling kontroversial adalah pengecualian dari undang‐undang dan peraturan yang merugikan mereka, berkaitan dengan praktik‐praktik keagamaan mereka. Kebijakan‐kebijakan khusus bagi kelompok ini yang oleh Kymlicka disebut sebagai hak polietnis, dimaksudkan untuk membantu kelompok etnis dan minoritas agama menyatakan kekhasan budayanya dan harga diri tanpa menghalangi keberhasilan mereka dalam lembaga ekonomi dan politik dari masyarakat dominan.12 Toleransi, Pluralisme dan MDGs Latar belakang bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis dan budaya, memiliki keuntungan sekaligus juga kelemahan. Banyaknya peristiwa konflik yang berbasis pada etnis dan budaya (baca: agama) di Indonesia, salah satu faktor penyebabnya adalah lemahnya pemahaman masyarakat terhadap pluralitas bangsanya sendiri. Sikap menghormati dan menghargai antar etnis, pemeluk agama, masih banyak yang hanya sebatas slogan dan moto saja. Berdasarkan data SETARA Institute, terdapat 216 kasus pelanggaran hak beribadah dan beragama yang terjadi pada tahun 2010. Angka ini kemudian meningkatkan menjadi 244 kasus pada tahun 2011 dan melonjak menjadi 264 pada tahun 2012. Untuk tahun 2013, sampai pada bulan Juli, setidaknya sudah 122 peristiwa dengan 160 tindakan.13 Fakta bahwa Indonesia merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai etnis, agama, dan budaya, masih sering diliputi konflik. Kerusuhan di Ambon, Maluku, diperkirakan menelan korban 6 ribu jiwa. Menurut Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sekitar 8.000 jiwa, dan 330.000
11
Charles Taylor, “The Politic of Recognition”, dalam Amy Gutmann (ed), Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995. 12 13
Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2011, Cet. Ke‐2, h, 46
Report on Freedom of Religion and Belief in Mid 2013. Diakses dari http://www.setara‐ institute.org/en/content/report‐freedom‐religion‐and‐belief‐mid‐2013 pada tanggal 20 November 2013
orang mengungsi ke mana‐mana. Sebanyak 25.378 bangunan rusak dan terbakar, termasuk 91 masjid dan 138 gereja.14 Lalu ada kerusuhan Poso, kerusuhan yang masih bernuansa SARA. Kerusuhan yang berlatarbelakang agama, etnis, dan golongan terjadi di Poso, Sulawesi Tengah pada 17 April 2000. Dalam kerusuhan tersebut terjadilah saling serang antara desa Nasrani dan desa Islam. Menurut data Polri, kerusuhan tersebut memakan korban 137 orang meninggal, sedangkan menurut militer 237 orang meninggal, 27 luka‐luka, puluhan rumah rusak dan dibakar, 1 bus dibom, beberapa gereja dirusak, dibakar, dan dibom. Kerusuhan etnis di daerah Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Konflik etnis yang terjadi di Sampit dan sekitarnya adalah permusuhan antara dua suku, yakni Suku Dayak (asli) dan Suku Madura (pendatang). Peristiwa kerusuhan yang pecah pada 18 Februari 2001 di Jalan Karyabaru, Sampit dan di Jalan Tidar Cilik Riwut (km 1, Sampit) dipicu oleh serangan yang dilakukan kelompok suku Madura terhadap suku Dayak. Dalam peristiwa penyerangan tersebut 7 orang suku Dayak dan 5 orang Madura meninggal. Akibat dari penyerangan tersebut adalah terjadinya serangan balas dari suku Dayak terhadap suku Madura yang mengakibatkan 87 orang meninggal, sebagian besar dari suku Madura. Rincian jumlah korban yang jatuh dalam kerusuhan ini menurut Polda Kalteng adalah 388 orang (164 diantaranya tanpa kepala) dari suku Madura dan dari suku Dayak hanya 16 orang meninggal serta 2 orang suku Banjar. Sedangkan kerugian material sebanyak 1.234 rumah dibakar dan 748 rumah dirusak. Sedangkan untuk kendaraan, 16 unit mobil, 48 unit motor, dan 114 becak dibakar. Ditambah lagi sebuah pasar, 75 kios, 29 ruko, 14 gudang dirusak/dibakar. Selain itu, polisi pun menyita barang bukti kerusuhan berupa 9 pucuk senjata api rakitan, 98 buah bom rakitan, 410 buah mandau, 374 buah tombak, 455 buah parang, 41 buah kapak, 1 buah samurai, dan 10 buah linggis.15 Berbagai kerusuhan yang berlatar belakang SARA tersebut, selain kerugian materiil yang ditimbulkan, kerugian immateril adalah kerugian yang tidak terhitung berharganya. Berbagai rencana dan upaya dalam rangka menciptakan kehidupan yang adil dan makmur akan menguap begitu saja jika konflik terus berlangsung. belum lagi kerugian berupa ketakutan, kurangnya rasa aman, yang turun memberikan kerugian psikis bagi masyarakat. Demikian pula dengan pembangunan, akan mengalami kendala jika konflik masih terus ada. Pada September 2000, Pemerintah Indonesia, bersama‐sama dengan 189 negara lain, berkumpul untuk menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi berisi sebagai komitmen negara 14
Hamid Awaludin, Perdamaian Ala JK‐ Poso Tenang, Ambon Damai. PT. Grasindo : Jakarta, 2009, h. xvii 15
“Konflik Antar Agama dan Etnis di Poso dan Sampit,” artikel diakses dari http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_konflik‐poso‐sampit.html pada tanggal 20 November 2013
masing‐masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 butir sasaran pembangunan dalam Milenium ini (MDGs), sebagai satu paket tujuan terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin‐pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang‐orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan gender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3 , dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.16 Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam 8 tujuan yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan, Mencapai Pendidikan Dasar untuk semua, Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan, Menurunkan Angka Kematian Anak, Meningkatkan Kesehatan Ibu, Memerangi HIV/AIDs, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya, Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Laporan Sasaran Pembangunan Milenium ini menjabarkan upaya awal pemerintah untuk menginventarisasi situasi pembangunan manusia yang terkait dengan pencapaian sasaran MDGs, mengukur, dan menganalisa kemajuan seiring dengan upaya menjadikan pencapaian‐pencapaian ini menjadi kenyataan, sekaligus mengidentifikasi dan meninjau kembali kebijakan‐kebijakan dan program‐program pemerintah yang dibutuhkan untuk memenuhi sasaran‐ sasaran ini. Dengan tujuan utama mengurangi jumlah orang dengan pendapatan di bawah upah minimum regional antara tahun 1990 dan 2015, Laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pencapaiannya lintas provinsi tidak seimbang. Setelah 13 tahun milenium berlangsung, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengklaim bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Berdasarkan laporan The Report of the High‐Level Panel of Eminent Persons on the Post‐2015 Development Agenda17, setidaknya setengah milyar orang yang hidup di bawah garis kemiskinan internasional yaitu 1.25 Dollar Amerika dalam sehari. Angka kematian anak turun lebih dari 30%, dengan sekitar 3 juta nyawa anak‐anak berhasil diselamatkan setiap tahun jika dibandingkan dengan tahun 2000. Kematian karena malaria juga mengalami penurunan ¼‐nya. Kemajuan ini
16 17
Tujuan Pembangunan Milenium, http://id.wikipedia.org/wiki/MDGs
A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies through Sustainable Development, The Report of the High‐Level Panel of Eminent Persons on the Post‐ 2015 Development Agenda
dipengaruhi oleh sebuah kombinasi pertumbuhan ekonomi, kebijakan yang lebih baik dan komitmen global terhadap MDGs (Millenium Development Goals). Dalam lima besar program MDGs, pada butir keempat disebutkan build Peace and effective open and accountable institutions for all. Dalam butir ini dijelaskan bahwa bebas dari ketakutan, konflik dan violance adalah elemen paling fundamental dari hak asasi manusia dan fondasi yang esensial untuk membangun perdamaian dan masyarakat yang sejahtera. Yang menjadi kritik dari butir ini adalah, belum terakomodirnya pembangunan yang berperspektif pluralis, di mana terdapat penghargaan dan upaya‐upaya untuk menciptakan masyarakat yang pluralis. Dengan masyarakat yang pluralis, maka toleransi akan semakin besar kemungkinannya untuk tercipta di tengah‐tengah masyarakat. MDGs kemudian memasuki fase kedua. Jika yang pertama dari tahun 2000‐2015, maka fase yang kedua ini, disebut dengan fase setelah 2015 terjadi peningkatan indikator. Jika sebelumnya hanya ada 8 indikator, maka setelah tahun 2015 terdapat penambahan 4 indikator menjadi 12 indikator. Salah persepsi jika toleransi hanya dijadikan indikator pembangunan. Isu toleransi harusnya menjadi prasyarat pembangunan. Selesaikan dulu persoalan toleransi ini, karena akan sia‐sia pembangunan kalau kemudian rusak oleh konflik yang disebabkan oleh intoleransi. Pentingnya menciptakan suasana yang kondusif dalam pembangunan, di mana antar pemeluk agama sudah memiliki toleransi dan saling menghormati antarpemeluk agama, dapat mendukung proses pembangunan. Dalam Lampiran Undang‐Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional pada bab Kondisi Kehidupan Sosial Budaya dan Beragama, disebutkan: Dalam bidang agama, kesadaran melaksanakan ajaran agama dalam masyarakat tampak beragam. Pada sebagian masyarakat, kehidupan beragama belum menggambarkan penghayatan dan penerapan nilai‐nilai ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan beragama pada masyarakat itu masih pada tataran simbol‐simbol keagamaan dan belum pada substansi nilai‐nilai ajaran agama. Akan tetapi, ada pula sebagian masyarakat yang kehidupannya sudah mendekati, bahkan sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian, telah tumbuh kesadaran yang kuat di kalangan pemuka agama untuk membangun harmoni sosial dan hubungan internal dan antarumat beragama yang aman, damai, dan saling menghargai. Namun, upaya membangun kerukunan intern dan antarumat beragama belum juga berhasil dengan baik, terutama di tingkat masyarakat. Ajaran agama mengenai etos kerja, penghargaan pada prestasi, dan dorongan mencapai kemajuan belum bisa diwujudkan sebagai inspirasi yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun. Selain itu, pesan‐pesan moral agama belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari‐hari. Kondisi tersebut memang benar adanya, bahwa di tengah‐tengah masyarakat, pluralisme dan toleransi masih belum dipahami dan dihayati bersama. Masih
terdapat kelompok‐kelompok intoleran yang mengusik kehidupan dan kerukunan antar umat beragama. Yang amat disayangkan, pihak negara masih belum mengambil tindakan tegas terhadap berbagai peristiwa dan tindakan yang dilakukan oleh kelompok‐kelompok tersebut. Negara masih abai dan memandang sebelah mata terhadap persoalan toleransi dan pluralisme. Pembangunan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah masih Economic oriented, dengan mengabaikan fakta sosial keberagaman masyarakat Indonesia. Negara seakan berasumsi bahwa bila pembangunan ekonomi dapat diakselerasi, maka dengan sendirinya masyarakat akan semakin toleran dan terhindar dari konflik yang berbasis SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Nyatanya, belum dewasanya masyarakat dalam melihat The others, serta kurangnya pemahaman terhadap toleransi dan pluralisme, justru akan menghambat pembangunan yang sedang berlangsung. Kondisi damai merupakan pra syarat utama pembangunan. Keanekaragaman Indonesia yang tersurat dalam semboyan Bineka Tunggal Ika, harusnya bisa dijadikan kekuatan dalam pembangunan. Jika setiap elemen bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan dapat bersinergi, maka proses pembangunan akan terakselerasi dengan sendirinya. Tidak boleh ada pengabaian terhadap kelompok‐kelompok minoritas untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam rangka untuk menjadikan ‘Multicultural citizenship’ menjadi ‘civic pluralism’ bisa dilakukan melalui dua tingkatan.18 Pertama, model civic pluralism’ dari ‘multicultural citizenship’ perlu adanya pengakuan terhadap perbedaan budaya yang ada dalam masyarakat, dengan kata lain, kultur nasional. Ini merupakan syarat fundamental, di mana terdapat pengakuan bahwa penghormatan adalah hak setiap individu. Sedangkan level yang kedua adalah konteks kultur. Lebih lanjut, Soutphommasane mengatakan bahwa terdapat dua bentuk di mana deliberasi multikultural bisa terinstitusionalisasi dalam sebuah kebijakan. Pertama, institusi‐institusi publik pemerintahan seperti pihak legislatif dan yang kedua adalah badan yudisial, hendaknya bertindak sebagai kendaraan untuk deliberasi politik secara umum.19 Lembaga legislatif memiliki peran yang signifikan untuk menelurkan peraturan perundang‐undangan yang pro terhadap multikulturalisme dan pluralisme. Demikian juga lembaga yudikatif, dapat berperan jika terdapat peraturan yang diskriminatif. Adapun pihak eksekutif, sebagai penyelenggara negara, harus mampu menjalankan peraturan perundang‐undangan yang sudah didesain pro terhadap pluralisme. Tidak terkecuali terhadap peraturan perundang‐undangan yang menjadi payung hukum dalam pembangunan. 18
Tim Soutphommasane, “Grounding Multicultural Citizenship: From Minority Rights do Civic Pluralism”, Journal of Intercultural Studies, Vol. 26, No. 4, November 2005, h. 407 19
Tim Soutphommasane, “Grounding Multicultural Citizenship, h. 409.
Merancang Pembangunan Pluralis Pembangunan yang sedang digalakkan oleh Negara‐negara di dunia melalui paket post 2015 haruslah menangkap dinamika mutakhir ancaman nyata terhadap toleransi dan keberagaman. Intoleransi adalah titik awal dari terorisme, dan terorisme adalah puncak dari intoleransi. Membiarkan intoleransi tumbuh subur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sama saja membiarkan perdamaian yang menjadi salah satu rancangan tujuan post 2015 terus terancam. Patut diingat bahwa intoleransi bukanlah melulu problem Indonesia, akan tetapi terjadi dibanyak negara. Toleransi dan pluralism harus diletakkan sebagai prasyarat sekaligus tujuan suatu langkah pembangunan. Para perancang agenda post MDGs harus mampu mendeteksi, bahwa potensi konflik dan ketegangan atas dasar SARA akan terus melekat sejalan dengan fanatisme yang terus disiburkan oleh pandangan keagamaan itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, agenda pembangunan iklusif harus meletakkan pembangunan toleransi pada RPJMN 1004‐2019 yang akan disusun dan dijalankan pada periode kepemimpinan baru. Sejumlah langkah dalam rangka mempromosikan toleransi sebagai prasyarat dan tujuan pemerintah haruslan menyusun langkah‐langkah nyata.[Lihat juga lampiran: sasaran dan arah pembangunan]. RPJMN 2014‐2019 merupakan garis besar haluan atau perencanaan pembangunan bagi penyelenggara pemerintahan hingga tahun 2019. Salah satu pilar yang akan dikembangkan oleh pemerintah baru adalah memperkuat demokrasi dengan prinsip ”... Indonesia yang demokratis adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia, terjaminnya kebebasan berpendapat, adanya checks and balances, jaminan akan keberagaman yang tercermin dengan adanya perlindungan terhadap segenap warga negara tanpa membedakan paham, asal‐ usul, golongan maupun jender.20 Komitmen atas keberagaman secara implisit salah satunya harus diwujudkan dalam melindungi keberagaman agama/ keyakinan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Bidang keagamaan dan isu lintas bidang yang akan dikembangkan oleh pemerintah dipastikan akan memasukkan rencana pembangunan bidang keagamaan. Fokus prioritas pembangunan sebagaimana direncanakan oleh Kementerian dan Lembaga Pemerintah bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini mencantumkan pengakuan bahwa peraturan perundang‐undangan yang tidak sejalan dengan prinsip‐prinsip HAM dan belum optimalnya pemajuan penghormatan HAM adalah salah satu permasalahan yang harus ditangani oleh pemerintahan baru. Prioritas I dan Prioritas VII Naskah Perencanaan bidang Hukm dan Aparatur menegaskan bahwa
Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan, Visi-Misi dan Program Aksi Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono, 25 Mei 2009, h. 8 20
perwujudan peraturan perundang‐undangan yang sesuai dengan prinsip‐prinsip HAM akan menjadi agenda prioritas kepemimpinan mendatang.21 Dari seluruh dokumen yang dirujuk, paradigma yang dianut oleh negara (baca: pemerintah), menempatkan ‘agama’ sebagai salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi (fullfiled) oleh negara. Terwujudnya jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan di Indonesia secara holistik adalah sasaran pokok rencana pembangunan kehidupan keagamaan. Perwujudan sasaran ini merupakan mandat konstitusional UUD Negara Republik Indonesia 1945. Meskipun masih mengandung muatan yang bias Konstitusi RI telah cukup memberikan jaminan. Mewujudkan jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan juga merupakan mandat UU RI No. 12/ 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak‐hak Sipl dan Politik (1996) yang mewajibkan negara untuk mengambil langkah‐langkah legislatif untuk menghormati dan melindungi hak‐hak kebebasan beraga,ma/ berkayakinan. Secara garis besar arah pembangunan bidang keagamaan harus menyasar: 1. Penguatan landasan konstitusional dan legal jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, dengan program‐program sebagai berikut: 1.1. Memprakarsai Amandemen UUD Negara RI 1945 Secara konstitusional Amandemen Konstitusi adalah kewenangan Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR). Namun demikian, pemerintah dapat memprakarsai amandemen ini dengan melakukan pengkajian, komunikasi politik lintas institusi, dan turut serta menyusun dokumen‐ dokumen yang dibutuhkan. Amandemen Konstitusi dalam konteks isu keagamaan diarahkan pada Pasal 28 (e) ayat 1 & 2 UUD 1945 dengan menegaskan kesetaraan semua agama, keyakinan atau kepercayaan yang hidup di Indonesia. Memastikan kesetraaan antara 3 kebebasan (dasar): berpikir, berhatinurani, dan berkeyakinan/ beragama sebagai non‐derogable rights. Termasuk memastikan bahwa pembatasan terhadap kebebasan dasar tersebut tak dapat diterapkan. Politik pembatasan HAM yang termuat dalam Pasal 28 J (2) juga harus disesuaikan dengan prinsip‐ prinsip dasar pembatasan yang lazim dalam disiplin hak asasi manusia. 1.2. Revisi UU HAM Materi muatan revisi UU No. 39/1999 tentang HAM harus menegaskan sekalipun monetheisme sebagai ideologi resmi negara, tapi tidak boleh Lihat Draft Narasi RPJMN Bidang Hukum dan Aparatur yang disusun oleh Bappenas RI,
21
2009
diartikan secara ekslusif, atau memberikan preferensi (pengistimewaan) terhadap agama/ keyakinan tertentu. Revisi juga harus menjamin penghormatan dan perlindungan di luar 5 ‘agama resmi‘; mengakui dan menetapkan hak/ kebebasan untuk berpindah agama/ keyakinan, termasuk kebebasan untuk tidak menganut agama/ keyakinan tertentu; dan secara tegas melarang paksaan untuk menganut, memeluk, atau menerima agama/ keyakinan tertentu dalam ketentuan konstitusi, hukum pidana mapun perdata. 1.3. Pembentukan UU Anti Intoleransi/ Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/ Keyakinan Dalam Program Legislasi Nasional 2009‐2014 pemerintah telah mengagendakan pembentukan UU Kerukunan Umat Beragama. Naskah ini berpendapat bahwa pembentukan UU Anti Intoleransi jauh lebih signifikan untuk memastikan adanya landasan hukum penghapusan praktik‐praktik diskriminasi dan intoleransi agama/ keyakinan. 1.4. Pencabutan dan Harmonisasi Peraturan Perundang‐undangan yang Diskriminatif dan Membatasai Jaminan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan Perubahan UUD Negara RI 1945 dan ratifikasi sejumlah instrumen internasional menuntut pemerintah (dalam hal ini bersama DPR RI) melaukan harmonisasi perarturan perundang‐undangan. Untuk kategori peraturan perundang‐undanan di bawah UU tanpa bersama DPR, presiden bisa melakukan penyesuaian secara mandiri. Khusus terhadap peraturan perudangan‐undangan yang diskriminatif, atas nama hukum, presiden harus mencabut produk‐produk hukum yang diskriminatif dan restriktif. Langkah‐langkah ini mencakup penghapusan/ pembatalan terhadap Perda‐perda bernuansa syariat Islam yang diskriminatif atau membuka peluang bagi intoleransi terhadap kebabasan beragama/ berkayakinan. Secara khusus presiden (bersama DPR) harus mencabut UU No. 5/ 1969 cum PNPS No.1/ 1965 tentang “Penyalahgunaan dan Penodaan Agama” dan menggantinya dengan UU yang secara khusus mengatur tentang “penyebaran rasa kebencian, permusuhan dan anjuran kekerasan berdasarkan agama/ keyakinan”, sesuai dengan ps. 20 ICCPR. Melalui UU yang relevan dengan hak‐hak manusia: memastikan address dan redress (remedy, pemulihan) terhadap korban pelanggaran hak/ kebebasan beragama/ berkeyakinan (violation) oleh negara dan abuse (masyarakat).
2. Revitalisasi peran Departemen Agama RI dalam menjamin kebebasan beragama/ berkeyakinan, dengan program‐program: 2.1. Peningkatan peran Departemen Agama dalam menjaga keutuhan/ integritas bangsa dalam ketangka kerukunan, toleransi antar umat beragama/ berkeyakinan. 2.2. Peningkatan perlindungan dan pemajuan hak‐hak/ kebebasan beragama/ berkeyakinan/ berkepercayaan. 2.3. Penyelenggaraan administasi atau mendaftar seluruh agama/ keyakinan 2.4. Revitalisasi pelayanan publik tanpa diskriminasi 3. Integrasi pengetahuan tentang HAM, toleransi agama/ keyakinan, multikulturalisme dalam sistem pendidikan nasional, dengan program‐ program: 3.1. Perumusan Kurikulum nasional tentang HAM, multikulturalisme, dan toleransi agama. 3.2. Penerbitan Peraturan Presiden RI tentang integrasi pengetahuan HAM, toleransi agama/ keyakinan, multikulturalisme dalam penyelenggaraan pendidikan. 4. Peningkatan pengetahuan aparatur Polri, Kejaksaan, dan pemerintahan daerah tentang jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan, dengan program‐program: 4.1. Penyelenggaraan pendidikan tentang jaminan kebebasan beragama/ berkeyakinan dalam sistem pendidikan kedinasan di Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. 4.2. Penyusunan kurikulum tentang HAM, multikulturalisme, dan tolernasi untuk pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) bagi aparatur negara. 4.3. Penyusunan kurikulum tentang HAM, multikulturalisme, dan tolernasi untuk pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional RI bagi pejabat negara/ tokoh‐tokoh masyarakat negara.[]
DAFTAR PUSTAKA Awaludin, Hamid, Perdamaian Ala JK‐ Poso Tenang, Ambon Damai, Jakarta: PT. Grasindo, 2009 Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2011 Parekh, Bikhu, Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory, London, MacMillan Press, 2000 Scanlon, Thomas M., The Difficulty of Tolerance: Essay in Political Philosophy, Cambridge: Cambridge University Press. 2003 Shrader, Douglas W. “Beyond Tolerance: Globalization, Freedom, and Religious Pluralism” dalam Sonja Servomaa (ed) Humanity at the Turning Point: Rethinking Nature, Culture and Freedom Helsinki, Finland: Renvall Institute for Area and Cultural Studies, 2006 Soutphommasane, Tim, “Grounding Multicultural Citizenship: From Minority Rights do Civic Pluralism”, Journal of Intercultural Studies, Vol. 26, No. 4, November 2005 Taylor, Charles, “The Politic of Recognition”, dalam Amy Gutmann (ed), Multiculturalism: Examining The Politics of Recognition, Princeton, NJ: Princeton University Press, 1995 http://id.wikipedia.org/wiki/MDGs http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_konflik‐poso‐sampit.html pada tanggal 20 November 2013 http://www.setara‐institute.org/en/content/report‐freedom‐religion‐and‐belief‐ mid‐2013 pada tanggal 20 November 2013 http://travel.okezone.com/read/2013/01/04/408/741602/kenali‐negeri‐sendiri‐ sebelum‐jelajahi‐negeri‐orang‐i http://www.unesco.org/new/en/social‐and‐human‐sciences/themes/fight‐ against‐discrimination/promoting‐tolerance/ pada tanggal 20 November 2013 A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies through Sustainable Development, The Report of the High‐Level Panel of Eminent Persons on the Post‐2015 Development Agenda