Gagasan Pluralisme Oleh: ChanCT Bagaimana mungkin berlakukan ayat-51 Almaidah untuk PILKADA, bahkan PILPRES di Indonesia? Disatu pihak bagaimana penafsiran ayat 51 itu sendiri bisa berbeda-beda, dipihak lain juga jelas ayat-51 Almaidah belum disahkan menjadi UU dinegara ini! Sedang PILKADA dan PILPRES adalah masalah POLITIK, masalah kepemimpinan pejabat NEGARA yang merupakan pemimpin dalam masyarakat majemuk. BUKAN Pemimpin AGAMA! Jadi perlu penekanan adanya Kebersamaan dari berbagai suku, Agama yang beraneka ragam! Harus bisa menerima gagasan Pluralisme! Bagi sesama umat Islam boleh saja menghimbau, menganjurkan untuk memilih sesama Muslim, tapi TIDAK MELARANG umatnya untuk memilih yang non-Muslim! Itu yang dikatakan Ahok sementara orang membodohi atau membohongi rakyat pakai ayat-51 Almaidah. Sukarno tetap percaya pada gagasan pluralisme. Dalam sebuah pidato di Universitas Indonesia pada 1953, memberi alasan bahwa toleransi agama merupakan kunci untuk persatuan Indonesia, dan diskriminasi agama akan memecah-belah bangsa. Sukarno dengan gagasan kesetaraan bagi seluruh minoritas agama: “Kalau kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan muslim, seperti Maluku, Bali, Flores, Timor, Kepulauan Kei, dan Sulawesi, akan memisahkan diri. Dan Irian Barat, yang belum menjadi bagian wilayah Indonesia, tidak ingin menjadi bagian Republik.” Lebih lanjut Sukarno menyatakan: “Bukan satu, bukan tiga, bukan ratusan, tapi ribuan orang Kristen gugur dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Apa yang diinginkan dari harapan umat Kristen? Haruskah kita tidak menghargai pengorbanan mereka? Harapan mereka bersama-sama menjadi anggota dari rakyat Indonesia yang merdeka dan bersatu. Jangan pakai kata-kata “minoritas,” jangan sekalipun! Umat Kristen tak ingin disebut minoritas. Kita tidak berjuang untuk menyebutnya minoritas. Orang Kristen berkata: “Kami tidak berjuang untuk anak kami untuk disebut minoritas.” Apakah itu yang kalian inginkan? Apa yang diinginkan setiap orang adalah menjadi warganegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sama dengan saya, dengan ulama, dengan anak-anak muda, dengan para pejabat, setiap orang tanpa kecuali: setiap orang ingin menjadi warga negara Republik Indonesia, setiap orang, tanpa memandang minoritas atau mayoritas.” (Sukarno, “A speech at the University of Indonesia” di Jakarta, 7 Mei 1953, dalam Herbert Feith dan
1
Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1965 (Jakarta: Equinox 2007) hal. 168-69.) Total penduduk Indonesia sekitar 238 juta orang, menurut sensus 2010. Negara kepulauan ini terdiri lebih dari 17.000 pulau yang jadi rumah bagi 1000 kelompok bahasa, sebagian besar berbasis etnis. Sekira 88 persen mengindentifikasi diri sebagai Muslim, 9,3 persen Kristen, 1,8 persen Hindu, 0,6 persen Buddha, dan sisanya penganut pelbagai agama lebih kecil.( Penduduk Indonesia berdasarkan Agama Tahun 2010, diterbitkan Kementerian Agama, http://kemenag.go.id/file/dokumen/KEMENAGDALAMANGKAupload.pdf -diakses 3 Maret 2012) Sementara ada ragam mengagumkan di antara mereka yang beridentitas Muslim, tidaklah mengejutkan bila Islam sebagai pokok rujukan kunci dalam diskusi politik dan sosial di Indonesia. Hanya saja sangat disayangkan dan patut disesalkan, kelompok Islam garis KERAS, yang menamakan diri “Darul Islam”, pada 7 Agustus 1949, mengumumkan bentuk Negara Islam Indonesia, di Jawa Barat. Berlanjut dengan melancarkan pemberontakan menggulingkan Pemerintah RI! Dengan sendirinya pemberontakan DI/TII yang dilancarkan kelompok Islam radikal ini cukup melumpuhkan pemerintahan Indonesia, bahkan mengakibatkan tidak sedikit jatuh KORBAN JIWA! Tercatat pemberontakan yang terjadi di tahun 1953 — 1958 itu, korban kedua belah-pihak, pemberontak Islam dan militer Indonesia, mengakibatkan kematian sekitar 11.000 orang. Dimasa Suharto berkuasa, Partai-partai politik Islam, tak seperti harapan mereka, ternyata tak mendapatkan keuntungan dengan dibasminya PKI, Partai Komunis Indonesia. Justru Suharto diawal mula mengekang mereka lebih ketat, memaksa partai-partai Islam melakukan fusi politik ke dalam kelompok tunggal bernama PPP, Partai Persatuan Pembangunan. Bahkan Suharto tidak segan-segan tetap menggunakan tangan-besi menindas gerakan aktivis Muslim. Peristiwa Tanjung Priok, September 1984, militer menembaki demonstran di pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, yang memprotes penangkapan atas 4 aktivis Muslim yang terlibat dalam pertengkaran dengan seorang tentara yang memasuki masjid tanpa melepas sepatu. Kemudian pada Februari 1989, sesudah seorang Darul Islam militan menyerang dan membunuh dua tentara, militer membalasnya dengan serangan ke sebuah kampung di Talangsari, selatan Sumatra, membunuh belasan aktivis Muslim dan menangkap 94 Muslim. Namun, perkembangan setelah memasuki tahun 90an, Suharto yang semula bisa dikatakan menindas Islam, berubah menjadi memperkuat organisasi Islam sebagai kekuatan politik, bahkan negara makin diidentifikasi sebagai pengawas Islam. Khususnya
2
dengan pembentukan ICMI, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, yang jelas disponsori negara pada 1991, dan dipimpin Menteri Riset dan Teknologi ketika itu, B.J. Habibie. Pasca-Suharto, kalangan Islamis, sebagaimana kelompok lain juga menggunakan ruang demokrasi yang lebih luas untuk menyebarkan dan mempromosikan gagasannya. Kelompok Islam radikal bahkan nampak berkembang dengan mantap dalam menggalang kekuatan. Khususnya FPI, Front Pembela Islam yang dibentuk Agustus 1998, tiga bulan setelah Suharto lengser, dengan dukungan dari aparat TNI yang saat itu bertujuan menghadapi kelompok mahasiwa yang memainkan peran kunci mendesak Suharto lengser. Sejak SBY menjabat presiden pada Desember 2004, terjadi peningkatan kekerasan dengan sasaran Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama lain, sebagaimana kita saksikan bersama. Lebih dari 430 gereja diserang sejak 2004, menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). 22 Serangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah meningkat dengan mencolok sejak SBY menuruti tekanan kelompok-kelompok FPI dan mengeluarkan surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah pada Juni 2008. Sejak itu, sedikitnya 30 masjid Ahmadiyah disegel. Kendati empat presiden pasca-Suharto membuat kemajuan dalam transformasi Indonesia menuju demokrasi yang menghormati hak asasi manusia, sebenarnya BANGSA sedang menghadapi tantangan lebih serius dari Islamradikal yang makin berkembang KUAT! Tantangan itu termasuk pemboman, serangan mematikan terhadap komunitas Ahmadiyah, dan penutupan paksa gereja-gereja Kristen. Sementara kelompok Islam radikal menggencarkan serangan, pemerintah di tingkat pusat dan daerah justru gagal mengambil tindakan TEGAS terhadap tindak-tanduk kekerasan yang terjadi dimasyarakat. Kenyataan ini, disatu pihak memberi angin Islam Radikal untuk bertiup lebih kencang, bertindak makin garang dan semena-mena, … dipihak lain membuat RESAH dan rasa TAKUT atau setidaknya kekuatiran bagi penganut minoritas agama. Inilah akibat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono inkonsisten dalam membela kebebasan beragama. Sikap SBY yang TIDAK TEGAS, atau cenderung membiarkan tindak-tanduk Islam Radikal, membuat kelompok-kelompok radikal jadi lebih berani main menghakimi sendiri, merasa secara diam-diam diamini pejabat daerah bahkan pusat! UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan beragama, dan Undang-undang Otonomi Daerah, yang mengatur desentralisasi, juga menetapkan bahwa kebebasan beragama
3
adalah kewenangan pemerintah pusat. Apa yang diperlukan adalah itikad politik dan ketegasan Pemerintah menjalankan otoritas. Kendati sesekali beretorika positif, Presiden SBY sangat lemah menanggapi kekerasan agama dan intoleransi yang terus meningkat, … tanpa ketegasan menegakkan hukum bahkan seringkali dirasakan memberi toleransi pada pelanggaran hukum yang terjadi, membiarkan bahkan memfasilitasi pelanggaran terhadap minoritas agama, .. Pemerintahan harus TEGAS mematuhi kewajiban dengan menuntut tanggung jawab parat keamanan/HUKUM, menindak tegas pejabat dan tokoh-tokoh kelompok yang terlibat pelanggaran tersebut. Reputasi Indonesia sebagai negara yang mengaku “asas kebebasan dan toleransi beragama” harus dipertahankan dan hanya bisa dicapai dengan KETEGASAN pemerintah mengambil langkah-langkah mencegah makin meningkatnya suara dan kegiatan diskriminasi terhadap agama lain. Kembali menegakkan asas negara dengan mengembangkan tradisi memperlakukan setiap warga sama, bisa menerima dan menghormati setiap warga dengan segala perbedaan yang ada, baik beda suku, beda etnik dan juga beda Agama! Pemerintah Jokowi sedang menghadapi UJIAN BERAT untuk mempertahankan dan menegakkan asas “KEBEBASAN dan TOLERANSI AGAMA” dalam menjalankan putaran ke-2 PILKADA DKI-Jakarta! Mengapa? Nampak jelas PILKADA DKI-Jakarta dimana Ahok kembali menampilkan diri sebagai cagub, telah mengakibatkan kelompok Islam-radikal meningkatkan aksi-aksi PROTES KERAS yang sudah melancarkan sejak tahun 2014. Aksi-aksi MENENTANG KERAS Ahok meneruskan jabatan Gubernur DKI-Jakarta, setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden RI ke-7! Dengan alasan, Ahok yang Tionghoa dan Kafir! Usaha kelompok Islam radikal mencegah Ahok keluar sebagai cagub ternyata tidak berhasil, … kemudian berusaha menggembosi suara Ahok dengan melancarkan demo 411, menuduh Ahok menista Islam! Ahok dengan cepat diseret kepengadilan dan menjadi terdakwa kasus “Menodai Agama Islam” dengan sepenggal kata “membohongi pakai ayat-51 Almaidah” yang diucapkan saat sosialisasi Program Ikan-Kerapu” dipulau Seribu. Sidang pengadilan Ahok masih berlangsung, tapi nampak sangat jelas diputaran ke-2 PILKADA DKI-Jakarta, aksi-aksi terus ditingkatkan menjadi “Ahok Penista Agama”, HARUS segera dipenjarakan! Bahkan Amien Rais sudah berseru, “Kalau Si Laknatullah Penista Agama tidak bersalah, Saya Dan FPI Akan Lengserkan Jokowi!” Artinya apa? Jelas Islam radikal hanya menggunakan kasus Ahok menista Islam ini, sebagai dalih
4
mengobarkan kemarahan umat Islam untuk jalankan strategi MAKAR! Menggulingkan Pemerintah Jokowi. Disinilah tantangan BANGSA Indonesia dan pemerintah yang sedang berkuasa dihadapkan pada simpang jalan, memilih mempertahankan dan menegakkan asas “Kebebasan dan Toleransi berAgama”, sebagaimana kata ketua-umum PBNU, Said Aqil Siradj. “Jangan gunakan Agama untuk Kepentingan Politik!” Lebih lanjut, "Mereka sepakat bahwa Indonesia itu nation atau negara kebangsaan atau dalam Bahasa Arab, Darussalam, negara yang damai. Semua warga bangsa diberlakukan sama tidak pandang agama dan sukunya apa, semuanya adalah saudara satu bangsa satu warga", “Sangat berbahaya bila masalah agama dibesar-besarkan, bahkan dijadikan faktor penyekat atau pemisah bagi warga sebangsa dan setanah air. Padahal, founding fathers atau para pendiri bangsa yang di dalamnya termasuk beberapa ulama dan pemuka agama telah sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara kebangsaan.”, … "Yang tidak senang Ahok, ya jangan milih Ahok. Yang tidak senang Anies, ya jangan milih Anies. Sudah titik, selesai. Anda senangnya siapa? Anies, ya sudah pilih Anies. Anda milih siapa? Ahok, ya pilih Ahok. Enggak usah demo tiga juta orang," Demikian saat Said Aqil Siradj menegaskan dalam berbincang dengan reporter Liputan 6 SCTV Realino Oscar di Kantor PBNU. http://news.liputan6.com/read/2910533/said-aqil-siradj-jangan-gunakan-agama-untuk -tujuan-politik Atau membiarkan dan menuruti tuntutan sekelompok Islam radikal yang berkeras hendak berlakukan Syariat Islam menggantikan UUD45 dan Pancasila! Berkeras membentuk Negara Islam Indonesia yang tidak bisa toleransi Agama yang berbeda, TIDAK BISA menerima non-Muslim menjadi pemimpin, pejabat pemerintah, …! Maka yang terjadi tentu perpecahan BANGSA Indonesia, hancurnya NKRI, …! Tepat apa yang disimpulkan dan menjadi penegasan Said Aqil Saradj, "Jadi mimpi untuk untuk mendirikan Negara Islam tertutup rapat. Karena ketika ada peluang sekecil apa pun, memberikan peluang untuk radikalisme.", … "Maka, NU mengatakan pada tahun 1984 pada zaman Kaii Ahmad Sidiq dan Gus Dur, mimpi mengubah untuk Indonesia menjadi negara Islam sudah tertutup rapat-rapat!"
5