1
Rangkuman Diskusi: Minahasa Raya Network Community TOPIK:
Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa (Pingkan & Mathindas) Thurday, 21 October 2010 Posted diskusi oleh: RUTH WANGKAI Tabea MRNC! Bersama ini saya kirimkan tulisan saya tentang Upaya Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa melalui kajian terhadap kisah tentang Pingkan. Mungkin ini dapat dijadikan bahan pengantar diskusi di milis ini di samping tulisan-tulisan lain yang ada (mungkin dari oom Bert, bung Denni atau oom Hendrik) mengenai "Jatidiri Tou Minahasa". Sebagai info, artikel ini awalnya merupakan catatan-catan kasar yang dimuat dalam NOTE FB tahun lalu. Dan dari hasil diskusi dan catatan-catatan kritis dari teman-teman FB a.l. Nina, Green Weol dan Denni (terima kasih teman-teman atas sumbangan pemikiran kalian), saya kemudian mengembangkannya dalam bentuk artikel seperti yang ada dihadapan kita ini. Artikel ini sebelumnya sudah saya serahkan kepada panitia penerbitan buku yang diprakarsai oleh bung Denni dan bung Meidy dari Mawale Movement, Tomohon untuk diterbitkan dalam kumpulan karangan berjudul Memerdekakan Tou Minahasa. Cuma belum tahu, apakah buku ini sudah terbit atau belum, Denni dkk lebih tahu tentang itu. Terima kasih. Ruth PINGKAN CERMIN DIRI TOU MINAHASA Upaya Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa Dalam Sosok Pingkan Oleh, Ruth Ketsia Wangkai 1. Pengantar Dalam setiap budaya, ada banyak cara mendefinisikan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat, di antaranya melalui legenda atau folklore. Di Minahasa khususnya, ada sebuah cerita rakyat yang hingga kini populer di kalangan masyarakat yakni cerita Pingkan Mogogunoy. Sebagaimana disampaikan turun temurun, kisah ini terpusat pada seorang bernama Pingkan: gadis cantik jelita, baik hati, ramah, serta istri dan pendamping suami yang setia hingga akhir hayatnya. Gambaran inilah yang kemudian menjadikannya sebagai salah satu icon lagendaris leluhur Minahasa dan sosok ideal perempuan Minahasa dari masa ke masa sebagaimana itu tercermin dari begitu banyak nama Pingkan yang diberikan kepada anak-anak gadis Minahasa ketimbang nama Karena atau Lumimuut, dua leluhur perempuan dalam kisah mitologis Minahasa, yang pertama kali mendiami bumi Minahasa. Tampaknya hampir tak ada yang menyadari bahwa melalui penggambaran Pingkan seperti ini telah membentuk persepsi masyarakat yang begitu kuat bahwa sosok ideal perempuan Minahasa ialah jika ia memenuhi kriteria-kriteria di atas, yakni berparas cantik, baik hati, ramah, dan menjadi istri serta pendamping suami
2 yang setia. Banyak menerima formulasi ini sebagai taken for granted sehingga telah menjadi semacam kesepakan umum dari generasi ke generasi, tanpa mempersoalknya lagi. Jika dirunut secara historis cerita ini muncul sekitar abad ke-tujuhbelas, masa dalam mana Pingkan - sebagai sosok sentral dalam kisah ini - hidup. Muncul pertanyan, apakah nilai-nilai moral-kultural seperti disebutkan di atas yang dianut oleh masyarakat di Minahasa kala itu – atau adakah juga nilai-nilai moral lain yang dianut? Manakah di antara itu yang lebih kuat? Bagaimanakah konteks sosio-kultural-politis masyarakatnya? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pola relasi sosial masa itu dan selanjutnya? Akhirnya, pesan-pesan apakah yang sesungguhnya mau disampaikan melalui kisah Pingkan ini kepada kita sekarang ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini. Kisah Pingkan Mogogunoy Sebelum masuk pada pembahasan selanjutnya, ada baiknya diceriterakan secara singkat kisah Pingkan. Alkisah ada seorang gadis yang elok rupawan namanya Pingkan Mogogunoy. Ia hidup bersama dengan orang tuanya di negeri yang kini dikenal dengan nama Tanawangko. Ketika beranjak remaja, ia jatuh sakit dan sulit disembuhkan. Konon, datanglah seorang pemuda, seorang nelayan bernama Matindas. Melalui pertolongannya, Pingkan pun sembuh. Lanjut cerita bahwa setelah perkenalan itu, bersemilah cinta di antara mereka dan kemudian membawa mereka dalam ikatan perkawinan. Suatu ketika, Matindas pergi melaut, tak dinyana sebuah patung kecil yang dibuatnya serupa dengan istrinya yang selalu dibawanya itu hilang. Tetapi kemudian ditemukan oleh seorang raja Bolaang Mongondow bernama Loloda Mokoagow. Saking indah dan cantik patung itu, raja jatuh cintah padanya dan berniat melamarnya menjadi istri. Segera ia memerintahkan para prajuritnya mencari perempuan yang serupa dengan patung itu. Mereka lalu menemukan Pingkan yang hidup bersama suaminya. Apa yang terjadi kemuadian? Untuk dapat memikat hati Pingkan, raja membujuk dengan segala harta kekayaannya, tetapi semua itu tak menyurutkan kasih dan kesetiaan Pingkan kepada Matindas, suaminya. Sebaliknya, untuk bisa mengelak dari lamaran raja, Pingkan, atas kecerdikannya berhasil merayu raja mengenakan pakaian suaminya. Ketika para prajurit datang mereka mengira raja itu Matindas, lalu membunuhnya. Setelah peristiwa ini, Pingkan dan Matindas pindah ke negeri lain yang sekarang bernama Kema, di sana Matindas menjadi tonaas. Tetapi, dalam peperangan selanjutnya antara Minahasa dan Bolaang Mongondow, Matindas dan Pingkan kehilangan nyawa mereka. 3. Konteks Sosio-Politis dan Budaya Minahasa Jika diperhatikan kisah ini dan dihubungkan dengan masa dalam mana seorang gadis bernama Pingkan hidup, ada beberapa rujukan sejarah yang dapat di angkat yakni bahwa pada abab ke-tujubelas, bangsa Minahasa (seperti wilayah-wilayah lainnya di bumi Nusantara ini) berada di bawah penjajahan bangsa Belanda, setelah sebelumnya berturut-turut mulai abad ke-keenambelas berada di bawah penjajahan Spanyol dan kemudian Portugis. Selain pendudukan oleh bangsa Eropa, berlangsung pula peperangan di kalangan sub-sub etnis di tanah Malesung (nama sebelum berganti menjadi Minahasa) dan juga antara sub-sub etnis Malesung dan Bolaang Mongondow. Berdasarkan ini dapat pula ditelisik interaksi sosio-politis-kultural yang terjadi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjumpaan tou Minahasa dengan peradaban asing yang berlangsung sekitar empat ratus tahun. Di bawah kekuatan-kekuatan ini tak terhindarkan lagi adanya
3 tekanan hegemonis, bukan saja secara politis dan ekonomi, tetapi juga secara kultural dan religius – walau, diakui bahwa tidak semua dan tidak selalu kepentingan para misionaris sama dengan kepentingan para penguasa. Namun, apa yang terlihat dan masih nyata hingga kini ialah begitu kuat pengaruh budaya feodal yang hirarkis, kapitalis, dan patriarkis di Minahasa. Apalagi setelah kemerdekaan Republik Indonesia, di bawah rezim Orde Baru yang berpihak pada kekuatan kapitalisme Barat, budaya feodal dan patriarki ini kian dikukuhkan. Di bawah kontrol negara yang begitu kuat dan di bawah politik penyeragaman budaya ala Orde Baru, orang-orang Minahasa nyaris tercabut dari akar budayanya sendiri. Padahal, secara de jure dan de facto, sebelum bangsa-bangsa Eropa datang dan sebelum suku-bangsa Minahasa berada di bawah payung negara Republik Indonesia, orang-orang Minahasa tidak pernah mengenal struktur masyarakat berdasarkan sistem hirarkis-feodalis, dan apalagi patriarkis. Pun tak terpengaruh oleh lingkungan budaya feodal di sekitarnya, meski ia diapit oleh beberapa negeri tetangga yang feodalis seperti kerajaan Bolaang Mongondow, kerajaan Siau, pun kesultanan Ternate. Sejak awal masyarakat Minahasa telah dibangun di atas prinsip-prinsip demokrasi (meski itu masih dalam pengertian yang sederhana) serta tatanan masyarakat yang egalitarian sebagaimana itu dikemas apik dalam budaya mapalus (tolongmenolong), nyanyian-nyanyian dan kesenian tradisional. Dalam struktur masyarakat ini, peran dan kepemimpinan perempuan pun merupakan fenomena yang akrab dan lazim tanpa ada resistensi dari kaum laki-laki. Buktinya masih dapat terlihat dalam mitologi Karema dan Lumimuut bahwa mereka bukan saja dianggap sebagai penduduk pertama mendiami tanah Malesung, tetapi juga dikenal sebagai pemimpin-pemimpin ulung dalam masyarakat (walian). Penghargaan yang begitu tinggi kepada kaum perempuan juga tampak dalam pemberian atribut feminitas pada diri Allah sebagaimana terekspresikan dalam metafora Allah sebagai Opo Empung, Empung Wailan Wangko dan Empung Kasuruan Wangko. Kata Opo adalah sapaan sehari-hari untuk kakek atau nenek, atau juga panggilan untuk para leluhur, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, sapaan Opo juga biasa dikenakan kepada unggas tertentu (seperti burung manguni), tumbuhan (seperti padi), unsur-unsur alam (seperti tanah, bumi, langit, air, dan batu) yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sementara Empung, dari segi semantik, berasal dari kata "empu" yang darinya juga muncul kata per-empuan yang artinya "berdaulat", "santa: atau "ibu", serta orang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang unggul (Marianne Katoppo). Begitu pula sapaan Kasuruan, yang diambil dari kata suru artinya "embrio" atau "turunan" (B. Supit dan N. Graafland). Semua pengertian ini menunjukkan bahwa perempuan dalam dirinya memiliki kekuatan, kemampuan dan kesucian, bahkan secara kodrati telah melekat fungsinya sebagai ibu, yang memberikan rahimnya bagi kelangsungan kehidupan baru yang terus menerus. Sementara kata Wailan dan Wangko yang dilekatkan pada Opo atau Empung ini masing-masing mengandung arti "kaya" dan "besar". Jadi, dalam sapaan Opo Empung atau Empung Wailan Wangko pun Empung Kasuruan Wangko ini terkandung makna yang dalam bahwa Allah yang disembah oleh tou Minahasa adalah Allah yang Maha Kaya dan Maha Besar. Tetapi siapa Allah tou Minahasa yang Maha Kaya dan Maha Besar itu – Dia-lah IBU: Sumber Kehidupan, Pemelihara dan Pemberi Keturunan. Sayangnya, setelah kedatangan bangsa Barat dan selanjutnya dikukuhkan lagi oleh rezim Orde-Baru, yang male-dominated, individualis, dan kapitalis, dan melalui proses interaksi dan penetrasi yang panjang, muncullah tatanan
4 masyarakat baru di Minahasa, yang jauh dari sentuhan nilai-nilai luhur (local wisdom) Minahasa yakni feodalis dan patriarkis-sentris – masyarakat yang berpusat pada laki-laki. Dan ini meresap masuk ke dalam semua sendi kehidupan masyarakat Minahasa termasuk ke dalam kepercayaannya. Sebagai contoh, Allah yang tadinya disapah sebagai Empung Kasuruan Wangko berubah menjadi Amang Kasuruan Wangko (kalimat ini antara lain ditorehkan di Bukit Kasih, Kanonang, yakni pada salah satu bagunan mini sebagai simbol dari "Gereja Masehi Injili di Minahasa". Menarik bahwa di bawah tulis ini tertera kalimat "Wale ni Amang Kasuruan Wangko"). Akan tetapi, kendati demikian tidak berarti bahwa nilai-nilai egaliter hilang sama sekali. Masih ada nilai-nilai lokal yang terpelihara tetapi tersimpan antara lain dalam bentuk folklore seperti kisah Pingkan ini. Karena itu kisah ini mesti dibersihkan dari jerami-jerami kotor dan bau busuk akibat kontaminasi budaya asing yang sifatnya opresif. Ironis memang, apa yang terjadi sekarang ini di dunia Barat - dari mana ideologi feodalisme dan patriarkalisme itu datang - telah banyak berubah - menerapkan nilai-nilai kesetaraan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka bahkan menjadi pejuang-pejuang bagi pembebasan, keadilan, HAM, dan kesetaraan jender. Sementara di Minahasa sendiri masih bercokol dalam budaya yang nyata-nyatanya destruktif. Sungguh memprihatinkan! 4. Potret Buram Perempuan Minahasa Kini Tak terbantahkan bahwa warisan budaya Minahasa yang egalitarian-oriented, walau nyaris ditundukkan di bawah patriarki Barat dan Orde Baru, tak samasekali kehilangan daya tahannya. Terbukti bahwa pasca-kemerdekaan banyak perempuan Minahasa telah berhasil menerobos memasuki ranah publik dengan beragam aktivitas dan profesi seperti guru, dosen, pegawai negeri sipil dan pendeta. Setelah terjadi reformasi politik pasca Orde-Baru melalui desentralisasi kekuasaan ke daerah-daerah, yang ditandai dengan penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah, telah membuka peluang seluas-luasnya bagi elit-elit lokal termasuk kaum perempuan untuk terlibat dalam politik praktis. Dibandingkan daerah-daerah lain, di provinsi Sulawesi-Utara, khususnya di tanah Minahasa paling banyak kaum perempuan terlibat dalam pemilihan anggota-anggota legislatif, walau dari segi prosentasi masih lebih banyak laki-laki terpilih dan menduduki jabatan-jabatan legislatif dan juga eksekutif. Ini disebutkan bukan untuk mempersoalkan siapa yang terpilih dan tidak, tetapi, yang hendak digarisbawahi ialah pemunculan kaum perempuan secara fenomenal dalam pertarungan antara elit-elit politik telah mematahkan mitos bahwa dunia politik hanya untuk kaum laki-laki. Fenomena yang hampir sama pula tanpak dalam pemilihan ketua-ketua DPRD dan juga kepala-kepala daerah - terbukti sejak periode yang berjalan ini sudah ada beberapa perempuan menjadi ketua DPRD tingkat kota, kabupaten, dan provinsi serta pula menduduki jabatan bupati dan wakil walikota yang menjadi kebanggaan orang-orang Minahasa tentu tak bisa dilihat sekedar dari segi prosentasi tanpa menyentuh capaian kualitas mereka. Persoalannya ialah apakah peluang yang diraih serta keterlibatan perempuanperempuan Minahasa dalam mengaktualisasikan diri dan peran dalam berbagai aktivitas publik dan struktur kepemimpinan dapat dijadikan standar penilaian bahwa mereka secara kualitatif dapat dikatakan perempuan-perempuan mandiri, mampu, dan berprestasi? Beberapa contoh menunjukkan bahwa beberapa perempuan yang menjadi anggota-anggota parlemen di daerah dan di pusat serta menjadi anggota-anggota DPD MPR-RI ternyata masih tak dapat dilepaskan dari
5 pengaruh jabatan dan popularitas sang suami, ayah, atau orang dekat mereka. Belum lagi sisi buram lain yang cukup memprihatinkan kalau tidak mau dikatakan mengecewakan. Kontribusi dan prestasi perempuan-perempuan Minahasa yang menduduki jabatan-jabatan struktural, entah di dalam kepemimpinan gereja atau pun di dalam kepemimpinan legislatif dan eksekutif belum dapat diharapkan banyak. Keterlibatan dalam arus dominan, bahwa jabatan politik dan juga struktural identik dengan perolehan kekuasaan, status sosial dan berbagai fasilitas material, telah pula menggiring perempuan-perempuan Minahasa kepada kasuskasus penyalahgunaan kewenangan dan korupsi sebagaimana marak terjadi belakangan ini di Indonesia. Potret perempuan-perempuan Minahasa ini kian menambah daftar buram lagi ketika kasus-kasus eksploitasi tubuh perempuan merebak di masyarakat disebabkan oleh keterpurukan ekonomi, pendidikan yang tidak memadai, dan kesulitan mendapatkan laparangan kerja. Diukur dari segi kuantitas, masih lebih banyak perempuan Minahasa tak seberuntung saudari-saudarinya yang mendapatkan pekerjaan yang pantas dan hidup cukup atau malah lebih tanpa dililit utang-piutang. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji di bawah rata-rata Upah Minimun Regional. Banyak pula tergiur dengan janji mendapatkan upah besar di negeri seberang. Mereka meninggalkan kampung halaman menjadi TKW di luar negeri, walau harus menjual kebun (bagi yang masih memilikinya) atau meminjam uang di bank atau rentenir yang berkedok koperasi desa sebagai beaya perjalanan dan uang jasa bagi makelar dan perusahaan-perusaan pengiriman tenaga kerja. Padahal banyak dari mereka menjadi korban - mulai dari status sebagai TKW ilegal akibat penipuan dari perusahaan-perusahaan pengiriman tenaga kerja sampai dengan perlakuan sadis majikan-majikan di temat mereka bekerja. Seperti terjadi pada pertengahan tahun ini seperti diberitakan di koran lokal yakni seorang ibu asal Tonsea dikembalikan kepada keluarganya, tetapi telah menjadi mayat. Belum lagi mereka yang pergi ke Jepang atau ke Amerika Serikat hanya dengan visa pelancong, tetapi tujuan utama untuk bekerja di sana. Cerita tentang dikejar-kejar petugas imigrasi, sebagian langsung dideportasi, tetapi ada lagi yang dimasukkan dalam sel-sel penahanan adalah fenomena yang sering ditemui pun bagi perempuanperempuan Minahasa yang bekerja di sana. Belum lagi kasus-kasus yang terjadi berkedok pengiriman "duta-duta budaya" seperti ke Jepang. Padahal setelah sampai di negara tujuan, mereka dipekerjakan sebagai wanita penghibur. Pemerintah daerah provinsi telah mengeluarkan PERDA No. 1 tahun 2004 mengenai pencegahan dan pemberantasan trafficking, tetapi itu belum dapat meminimalkan dan apalagi mengatasinya. Tak heran, jika propinsi Sulawesi Utara termasuk salah satu dari sepuluh daerah di Indonesia pengirim perdagangan perempuan dan anak menjadi pekerja hiburan dan PSK di daerah-daerah lain seperti di Jawa dan Tanah Papua. Banyak dari kasus seperti ini terjadi karena jebakan dan penipuan perusahaan atau makelar jasa trafficking yang mencari korban dari keluarga-keluarga miskin hingga ke pelosok-pelosok dengan imingiming pekerjaan yang layak dan upah yang besar. Namun, ada juga gadis-gadis belia terpaksa mengambil jalan pintas memasuki dunia pelacuran karena tekanan ekonomi dan ketiadaan lapangan kerja. Seiring dengan beberapa event penting terjadi tahun ini seperti World Ocean Conference dan Sail Bunaken di Manado yang sekaligus memperkenalkan propinsi Sulawesi Utara sebagai daerah pariwisata yang memiliki keindahan alam seperti taman laut Bunaken telah pula merekrut gadis-gadis Minahasa yang dikenal berkulit putih dan berparas cantik
6 sebagai salah satu daya tarik bagi pemenuhan seksual para pelancong. Memang tak dapat disangkal bahwa kecantikan perempuan-perempuan Minahasa telah pula menggiring mereka ke dalam dunia prostitusi. Tak heran jika muncul stigma dengan memplesetkan nama Ma(e)nado dengan "menang nampang doang" atau ungkapan "3B" Bunaken, Bubur, dan Bibir (Manado). Gambaran di atas baru sebagian potret buram perempuan Minahasa yang mengalami "nasib" buruk dalam hidup mereka, selain masih tak terhitung lagi perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan fisik, seksual (pelecehan dan perkosaan hingga pembunuhan) serta kekerasan verbal (kata-kata kasar dan makian) yang sering terjadi, baik di dalam rumah oleh anggota keluarga sendiri (suami, ayah, paman, atau juga kakek) maupun di luar rumah seperti di jalan dan tempat kerja. Memang cukup sulit untuk memantaunya apalagi bila kekerasan itu terjadi di dalam rumah sendiri maka akan dianggap aib keluarga dan karena itu pantang dilaporkan kepada aparat penegak hukum. "Biar kalah nasi asal jangan kalah aksi" sebuah ungkapan klasik, tetapi kini kian diperkuat lagi oleh kecenderungan perempuan-perempuan Minahasa yang memperlihatkan pola hidup konsumtif, hedonis, materialis dan individualis, yang tampak hampir merata, merebak mulai di kota-kota hingga ke pelosok-pelosok pedesaan – dan ini telah menambah lagi daftar masalah. Ini muncul secara fenomenal, selain pengaruh budaya Eropa tempoe doeloe, juga pengaruh industri media (iklan-iklan, tayangan-tayangan film dan sinetron) dan corporasi-corporasi retail (mal-mal) yang telah masuk sampai ke daerah-daerah di Indonesia sebagai imbas dari kapitalisme global yang profit-oriented. Ini, sadar atau tidak telah menggilas perekonomian lapisan rakyat kecil (grassroot), di mana kaum perempuan adalah pilar utama. Pusat-pusat perbelanjaan menawarkan berbagai jenis barang buatan dalam dan luar negeri, keamanan dan kenyamanan, harga yang terjangkau, juga selain itu, telah menjadi tempat pertemuan santai para sobat dan kenalan. Gaya hidup macam ini, yang telah menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai "budaya populer", juga telah menggiring gadis-gadis Minahasa untuk hidup serba instan seperti keinginan menjadi tenar dan mendapatkan uang banyak tanpa kerja keras seperti terjadi pada pertengahan tahun ini. Beberapa gadis dibawa ke Jakarta dengan janji mengikuti seleksi menjadi pemain sinetron. Padahal di sana, di kota metropolitan yang samasekali asing, mereka diterlantarkan. Ini semua adalah dampak dari kapitalisme global yang masuk melalui industri media dan pusat-pusat perbelanjaan modern sehingga telah menjadi sebuah trend serta gaya hidup kebanyakan orang. 5. Upaya Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa Dalam Sosok Pingkan Tak mungkin dipungkiri bahwa lokus di mana Pingkan hidup sudah jauh berbeda dengan dunia dan zaman kita kini. Tetapi perbedaan lokus dan perubahan zaman tidak berarti menenggelamkan pula nilai-nilai lokal yang memiliki makna universal yang berlaku kapan dan di mana saja - sebagaimana itu masih tersimpan dalam kisah Pingkan Mogogunoy, seorang perempuan Minahasa yang pernah hidup sekitar tiga ratus tahun yang silam. Dalam bagian terakhir ini saya mencoba menampilkan sosok Pingkan, bukan dalam persepsi patriarki seperti tampak dalam folklore di atas, yang mendefinisikan kategori-kategori moral feminitas ialah cantik, ramah, baik hati, menjadi istri dan pendamping suami yang setia. Sementara kategori-kategori moral maskulinitas ialah menjadi pemimpin, memiliki kekayaan dan juga istri lebih dari satu – seperti tergambar dalam diri dan peran raja Loloda pun Matindas – yang pada akhir kisah di atas disebutkan menjadi tonaas (pemimpin). Inilah juga
7 yang menjadi ideal umum masyarakat pun hingga kini. Tampaknya ada upaya sistematis dari kolonialisme Barat waktu itu untuk melemahkan kekuatankekuatan lokal termasuk budaya antara lain melalui konstruksi kisah Pingkan yang digambarkan sebagai obyek yang pasif , selain hanya mengandalkan kecantikan fisik untuk pemuasan seksual dan hedonis kaum laki-laki. Sementara keramahtamahan dan kebaikan hati sebagai ekspresi keterbukaan tou Minahasa kepada siapa saja, direduksi menjadi sikap menerima dan pasrah saja. Padahal baik kecantikan fisik yang memang telah melekat secara natural dalam diri perempuan-perempuan Minahasa maupun keramahtamahan dan kebaikan hati tou Minahasa, itu semua merupakan kekuatan-kekuatan budaya yang positif dan konstruktif dalam membangun relasi sosial pun dengan orang yang baru dikenal. Namun, setelah bangsa Eropa datang bersamaan dengan politik imperialisme, kapitalisme pun kekristenan yang telah terbaratkan, tou dan tanah Minahasa dikuasai dan budanyanya dibaratkan. Citra bahwa Minahasa telah terbaratkan melekat kuat sampai kepada gaya hidup sehari-hari, apalagi ketika Minahasa dijadikan sebagai "Provinsi Keduabelas" dari kerajaan Belanda pada awal abad keduapuluh. Hingga kini citra itu masih kelihatan dan barangkali masih sulit dihilangkan jika tidak ada suatu gerakan baru bagi perubahan. Sebab setelah kemerdekaan Indonesia, baik dari penjajahan Belanda maupun Jepang (19421945), muncul dominasi baru di bawah rezim Orde Baru yang berkiblat pada kapitalisme global. Pemerintahan sekarang pun tampaknya masih enggan melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan asing yang opresif itu. Kebijakan ini pulalah turut melanggengkan gaya hidup perempuan-perempuan dan tou Minahasa umunya, yang cenderung menjadi individualis, materialis, konsumeris, dan hedonis. Pada sisi lain, citra Pingkan sebagai istri dan pendamping suami yang setia hingga akhir hayat - disadari atau tidak, telah pula melemahkan kekuatan permpuanperempuan Minahasa yang dikenal cerdas, percaya diri, berani, dan mandiri. Menjadi istri yang setia tentu merupakan sikap moral yang patut dijunjung. Tetapi, masalahnya jika itu muncul sebagai tuntutan ideal yang ditetapkan oleh kaum laki-laki, yang menganggap perempuan sebagai properti, bukan sebagai subyek yang bebas untuk menentukkan sendiri pilihan-pilihan hidupnya. Kisah Pingkan dalam citra inilah yang telah mempengaruhi banyak perempuanperempuan Minahasa untuk mencapai apa yang disebut "isteri ideal". Parahnya lagi, model "isteri ideal" ini telah menjadikan banyak perempuan pasrah dan tak berdaya menerima perlakukan kasar pun keji dari suami tanpa ada perlawanan. Berbagai tindak kekerasan terhadap isteri atau pun perempuan telah menjadi fenomena umum, dan ironisnya itu malah dilakukan oleh suami dan atau keluarga terdekat yang memang mendapatkan justifikasi pula dalam ajaran Kristen dan tekteks Kitab Suci seperti Amsal 31:10 dst. dan Efesus 5:22-33. Gambaran Pingkan sebagai perempuan yang pasif dan tak berdaya ini telah terlihat sejak awal kisah ini yakni ketika ia ditampilkan sebagai gadis remaja yang sakit keras dan sulit disembuhkan. Tetapi, penderitaannya itu segera berakhir saat Matindas datang dan menjadi penyelamatnya. Kisah ini mirip dengan dongeng Putri Salju – sebuah penggambaran gadis-gadis Eropa abad Pertengahan yang tak memiliki inisiatif dan daya juang kecuali menunggu pertolongan para perjaka yang digambarkan bagaikan seorang pangeran yang berhati mulia. Jika dicermati kisah Pingkan dalam episode awal ini mengingatkan pula kepada kisah Ester dalam Perjanjian Lama. Ester adalah seorang gadis piatu Yahudi. Ia bersama pamannya, Mordekhai, yang menjadi ayah asuhnya serta orang-orang Yahudi lain
8 hidup dalam pembuangan di wilayah kekuasaan Persia. Tetapi, berkat keelokan dan kecantikan parasnya, ia terpilih menjadi permaisuri dari raja Ahasyweros menggantikan ratu Wasti yang telah dikeluarkan dari istana. Wasti dipecat sebagai permaisuri karena menolak titah raja untuk mempertontonkan kecantikannya di depan pembesar-pembesar dan sekalian rakyat yang sedang menghadiri pesta besar diselenggarakan oleh raja untuk memamerkan kemuliaan dan kekayaannnya. Menariknya dalam kisah ini sebagaimana juga selalu dikhotbahkan di gereja yakni sosok Ester, selain digambarkan sebagai seorang anak yang patuh kepada ayah, seorang istri yang selalu berusaha menyenangkan hati suami, ia juga digambarkan sebagai perempuan yang berjasa menyelamatkan bangsanya. Sebaliknya, Wasti digambarkan sebagai perempuan pembangkang, yang tak menghormati suami. Parahnya lagi perilaku Wasti itu dianggap akan mempengaruhi sikap semua perempuan di kerajaan itu untuk tidak tunduk kepada suami sebagai kepala keluarga – dan karena itu ia harus disingkirkan sebagai isteri dan sebagai keluarga bangsawan. Inilah defenisi patriarki mengenai "istri ideal" yakni harus seperti Ester, dan bukan seperti Wasti. Tampaknya, ada upaya kisah Pingkan ini untuk dibelokkan ke arah itu. Pengaruh ajaran Kristen yang juga telah dikenal bersamaan dengan masuknya kolonialisme Barat turut mempengaruhi konstruksi kisah ini. Namun, apa pun usaha, tak dapat menutupi realitas sesungguhnya masyarakat Minahasa yang telah terbangun di atas tatanan egalitarian. Ini berbeda sekali dibandingkan dengan masyarakat Yahudi dan juga masyarakat Barat yang feodalis dan patriarkis. Sehingga, walau sosok Pingkan ditampilkan sebagai gadis cantik nan jelita serta istri yang setia, tak dapat menutupi eksitensi Pingkan yang mampu melawan arus dominan waktu itu. Ia bukanlah perempuan, seperti Ester yang hanya menjadi properti kaum laki-laki, tetapi sosok Wasti, yang berani menolak untuk tunduk kepada dunia patriarki, yang menjadikan perempuan obyek pemuasan biologis dan kekuasaan semata. Sepertinya, selain upaya pembelokan itu, ada keganjilan lain lagi dalam episode ini, yakni upaya menutupi penolakan Pingkan terhadap belenggu-belengu opresif di luar dirinya dengan memunculkan sosok Pingkan sebagai perempuan perayu, yang tidak saja berhasil merayu raja melainkan juga mengelabui para prajuritnya. Dalam sejarah peperangan antar suku-bangsa Minahasa dan BolaangMongondow, raja Loloda itu mati terbunuh. Tetapi, sulit dibayangkan kalau pembunuhan itu terjadi karena kelicikan dan tipuan seorang perempuan biasa terhadap seorang raja yang memiliki prajurit-prajurit dan alat-alat perang yang tangguh. Apalagi bagi Pingkan dignitas bukan terletak pada kekuasaan dan popularitas, yang ia sendiri tolak. Lebih masuk akal jikalau pembunuhan raja itu dikaitkan dengan pengkhianatan prajurit raja sendiri atau pun serangan tiba-tiba dari kelompok musuh. Kisah Pingkan sebagai perayu mirip cerita Hawa sebagai penggoda Adam dan Hawa sebagai penyebab dosa dan malapetaka di dunia. Mungkin sekali bahwa konstruksi kisah ini telah dipengaruhi pula oleh pandangan tradisional Kristen tentang perempuan sebagai penggoda, yang memang telah dikenal di Minahasa melalui ajaran para misionaris Barat. Jika dicermati, dalam kisah penolakan Pingkan baik terhadap lamaran raja Loloda Mokoagow maupun terhadap harta dan kekayaan, besar kemungkinan tidak saja menyimpan kisah mengenai kekuatan seorang perempuan menghadapi arus patriarki yang muncul dalam bentuk godaan-godaan duniawi melainkan juga kekuatan tou Minahasa melawan hegemoni asing yang opresif, yang diwakili, baik oleh raja Loloda maupun oleh bangsa-bangsa Barat. Bahwa Pingkan, sebagaimana perempuan-perempuan Minahasa lain dan juga tou Minahasa
9 umumnya zaman itu adalah individu-individu yang utuh, merdeka, dan tak dapat dikendalikan oleh siapa pun. Martabat diri mereka tidak diukur dari kemilau kekuasaan pun kekayaan yang dimiliki melainkan dari kemampuan untuk menjadi diri sendiri dan bangsa yang mandiri. Ini terbukti setelah kisah Pingkan ini tersebar luas di masyarakat sekitar abad ketujuhbelas, sub-sub suku di tanah Malesung yang sebelumnya hidup sendiri-sendiri dan saling memerangi satu dengan yang lain terdorong untuk bersatu. Melalui para pemimpin, mereka berkumpul di tempat yang sekarang ini dikenal dengan nama Watu Pinawetengan. Di sana mereka bermusyawarah menyampaikan tekad menjadi satu bangsa untuk melawan ancaman-ancaman dari luar. Sejak itulah nama Malesung diganti menjadi Minahasa – berasal dari kata "mina" dan "esa" artinya menjadi satu. Dengan demikian, kisah ini sejatinya mengungkapkan martabat manusia sebagai imago Dei – yang dalam citraNya itu selalu ada keinginan dan tuntutan untuk menjadi manusia yang merdeka, setara, dan berdaulat. Menyajikan kisah ini dari perspektif feminis, ternyata selain menolak ideal-ideal dignitas menurut konsep-konsep patriarki - yang hanya berorientasi pada segi-segi lahiriah (penampilan fisik), kekuasaan serta kekayaan, juga membuktikan bahwa kisah ini bukan sebuah kisah romans Pingkan dan Matindas, pun bukan kisah heroik seorang perempuan Minahasa yang membela negerinya dari serangan kerajaan tetangga (Bolaang-Mongondow), dan bukan pula kisah yang sepenuhnya bercerita tentang kemenangan suku bangsa Minahasa atas Bolaang-Mongondow – seperti selama ini dipersepsikan orang. Penekanan pada kisah romans yang berkutat pada cinta dan kesetian Pingkan sebagai isteri dan pendamping suami hanya akan melemahkan potensi-potensi yang ada dalam diri perempuan pada satu sisi, dan mengabaikan peran-peran perempuan di ranah publik pada lain sisi. Perempuan, menurut konsep ini hanya menjadi obyek atau properti kaum lakilaki. Ia tak akan pernah menjadi dirinya sendiri karena selalu tersubordinasi di bawah dominasi laki-laki. Sementara penekanan pada aspek kepahlawanan atau ketokohan pun sama, dua-duanya masih dalam bingkai patriarki. Hanya dalam konsep ini, yang terjadi ialah pengabaian potensi-potensi yang dimiliki juga oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang ditokohkan atau dipahlawankan akan mendapatkan otoritas yang mungkin saja melampui kemampuan dan kewenangannya sendiri. Seperti dikatakan oleh Elizabeth Schussler Fiorenza, otoritas seperti ini tak dapat diganggu-gugat karena menempatkan orang itu pada puncak segitiga (piramida) kekuasaan. Pingkan pun, jika ditampilkan dalam citra sebagai pahlawan atau patriot dapat pula menjadi "tuan" (kyriarkhi) atas sesamanya: perempuan pun laki-laki. Model-model kepemimpinan seperti ini yakni hanya terfokus pada orang-orang tertentu, menurut Fiorenza, adalah sebuah produk budaya patriarki. Sebagai gantinya, Fiorenza menawarkan konsep kepemimpinan baru yang disebutnya kepemimpinan yang berbagi (shared leadership) sebagaimana ditemukan dalam kepemimpinan Yesus. Menurutnya, kepemimpinan Yesus memberikan tempat dan peran kepada semua: laki-laki dan perempuan sebagai mitra sejajar dalam hidup dan pelayanNya. Berdasarkan uraian maka di atas dapat disimpulkan bahwa peran Pingkan dalam kisah ini sejatinya untuk mengembalikan prinsip kesetaraan, yang memang telah menjadi dasar hidup bersama tou Minahasa bahkan sebelum kedatangan agama Kristen dan budaya Barat. Bahwa martabat tou Minahasa ialah terletak pada kekuatan dan kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai individu yang utuh, merdeka dan mandiri sebagai wujud citra Allah yang berakal budi dan bertanggung jawab mengelolah hidupnya – dan bukan sebaliknya menghambakan
10 diri pada kemilau kekayaan dan kekuasaan selain orientasi fisik semata. Pertanyaan reflektif ialah dapatkah kisah Pingkan ini menjadi cermin diri dan sekaligus sumber inspirasi bagi perempuan-perempuan pun tou Minahasa kini – yang nyaris kehilangan jatidiri apalagi dalam menghadapi tantangan dan ancaman budaya global – untuk kembali menemukan identitas keminahasaannya dalam keindonesiaan? Yogyakarta, 2009
Tanggapan 1: Kakas (Harry Rombot) – 21/10/2010 Saya kira tulisan ini cukup reprenstative khususnya untuk figur wanita kawanua dengan jati diri yg sangat kuat dan tegar. adalah lebih lengkap lagi seandainya tulisan diatas menyinggung wanita minahasa diabad ke-20 yaitu peran dari wanita kawanua sehingga tercetuslah apa yg dinakan perkumpulan wanita PIKAT. Dan Pikat telah banyamembawa suatu kemajuan dan perubahan yg berharga dan sampai sekarang Pikat tetap eksis dengan segala aktifitasnya yg membawa harus wanita kawanua dimana saja berada. Dan bukan itu saja wanitakawanua sekarang boleh disebut dengan singa podium yg tentunya semuanya bersumber dari pengembangan kultur dan budaya. Kalau torang bandingkan pendeta2 wanita kawanua bila mereka berkotbah nyanda ada yg pernah torang lia babaca dorang khotbah semuanya murni dengan hasil kerja keras dalam persiapan dan lain sebagainya. Bahkan pula banya wanita kawanua baik didalam negeri maupun diluar negeri menjadi pemimpin2 yg berbobot danmenjadi pola anutan bagi masyarakat lainnya.
Tanggapan 2: Hendrikus Dimpudus – 21/10/2010 Nah ini dia penggalian budaya Minahasa yang hrs digalakkan. Sama dengan pengertian kita ttg Budaya Minahasa dan pengaruh2 yg menengelamkannya Susi Ruth... Kalau bisa pada acara Gebyar Seni Budaya Minahasa dan Bakudapa Sedunia Juni 2011 nanti kumpulan tulisan spt ini dpt dipublikasi. Saya akan melihat kemungkinan mulai sosialisasikan pd acara2 Pre Event Maju terus berteologi dlm konteks Minahasa
Tanggapan 3: Ruth Wangkai – 21/10/2010 Dear oom Hendrik, Yaaa saya setuju bila pada acara Gebyar Budaya 2011 akan dipublikasikan juga buku-buku berisi kumpulan tulisan-tulisan tentang penggalian kembali nilai-nilai budaya Minahasa dalam konteks kekinian. Nah, apakah panitia punya rencana menerbitkan buku berisi kumpulan tulisan, selain kumpulan materi yang akan diseminarkan - atau sekedar mempublikasikan buku-buku tentang Minahasa yang sudah ada? Atau apa maksud dari oom Hen dalam usulan di bawah. Thanks, Ruth
Tanggapan 4: Hendrikus Dimpudus – 21/10/2010 Shalom Kita pe maksud, boleh juga kita coba melihat kemungkinan menerbitkan jika ada bbrp tulisan. Salam bae
Tanggapan 5: Danny S – 22/10/2010 Frank, Penggalian arkaelog apakah menemukan hal2 ini ?
11
Tanggapan 6: Ferdinand P – 22/10/2010 Frank.Kalau cerita 7 bidadari dari kayangan yang mandi dipancoran,kemudian kepergok cowok dimana salah satu bidadari ketinggalan baju yang ada sayapnya,karena disimpan si cowok dan teman2nya terpaksa kase tinggal dia sandiri(yang ngak ada sayap)mereka yang 6 bidadari terbang pulang ke kayangan.Pertanyaannya kira2 bajunya mungkin ada peninggalan aerkologie.Cerita ini juga kita dengar2 dulu,mungkin stou termasuk kebudayaan Minahasa. Tanggapan 7: Danny S – 22/10/2010 Hahahahahahaha, Gak terima ni ye . Dongeng mau di pikirin, hehehehe Satu hari seorang Suami bernama Franky ke toko buku: Dia tanya ke penjaga toko: mas ada buku Bagaimana caranya mengatasi istri. Si penjaga toko dengan santainya sambil menunjuk ke atas ; di lantai 2 bagian buku2 cerita dongeng.
Tanggapan 8: Frank T – 22/10/2010 Hello bung Ferdy, Kita pernah berkunjung yang namanya Waruga. Ini kuburan batu berdiri jaman bahela yang ada di Minahasa. Selain lihat2 semua jenis kuburan yang ada, kita juga sempat berbincang2 dengan om yang jaga kuburan ini dan dia memperlihatkan beberapa benda2 purba kala peninggalan leluhur orang Minahasa jaman dulu. Salah satu yang menarik buat saya, terdapat adanya gelang besar terbuat dari metal. Saya tanyakan om!. Ini gelang apa?... itu om bilang ini gelang tangan orang Minahasa jaman dulu. Saya tanya lagi ke om itu,… koq besar amat ini gelang om,… dia cerita tentang sejarah leluhur orang2 Minahasa jaman dulu, katanya orang2 Minahasa jaman dulu itu postur tubuhnya besar2 dan tinggi2. Menurut dia postur tubuh sama seperti Pati Gajamada. Saya bilang wow!!...besar amat om,… dia bilang memang besar2…. Saya tanya lagi, koq sekarang kenapa orang Minahasa kecil2 ya?... dan hanya betisnya yang besar2,… itu om tatawa… menurut dia mungkin pengaruh evolusi… Menurut saya cerita bung Ferdy ini mungkin mirip tu orang Minahasa jaman bahela ya….. Frank
Tanggapan 9: Danny S – 22/10/2010 Frank Apa lagi wewene nya, de pe betis wooh basaaaarr
Tanggapan 10: Ruth Wangkai – 22/10/2010 Oom Hendrik, kalau ada rencana penerbitan buku berisi kumpulan beberapa tulisan sudah musti dipastikan sejak sekarang dan disurati para penulis yang dapat menyumbangkan tulisan-tulisan. Barangkali buat dulu kerangka acuannya sehingga ada pegangan untuk proses pengumpulan tulisan dan penerbitan. Saya sendiri ada tiga tulisan
12 berkaitan dengan "local wisdom" dalam budaya Minahasa. Lebih banyak lebih bagus. Bagus sekali oom jika niat baik ini dapat terwujud pada waktu acara Gebyar Budaya 2011 di Malang. Hajatan akbar ini akan semakin berbot dan dapat menyumbangkan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi kemajuan Minahasa. Sukses ya oom juga bagi panitia dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Ruth
Tanggapan 11: Hendrikus Dimpudus – 22/10/2010 Ok Ruth asap kita bicarakan
Tanggapan 13: Adolf Sambuaga – 22/10/2010 Bung Hendrik, Sebenarnya kumpululan tulisan tentang sejarah Minahasa sdh ada buku lengkapnya mulai dari sononya sampai kini. Pengarangnya Bung Harry Kawilarang. Salam Esa
Tanggapan 14: Hendrikus Dimpudus – 22/10/2010 Terbitan apa bung Sambuaga? Ngomong2 hub apa deng Rocky Sambuaga? Salam bae
Tanggapan 15: Ruth Wangkai – 22/10/2010 Hello bung Harry, saran yang bagus untuk melengkapi artikel ini dengan mengulas juga peran PIKAT dan tentu juga ibu Maria Maramis sebagai pendirinya. Tapi, barangkali lebih baik lagi, kalau topik ini dibahas dalam tulisan/artikel khusus. Nah, ini menjadi PR buat torang semua, dan khususnya buat saya. Semoga dapat dishare nanti di milis ini. Ooo ya setahu saya di milis ini ada ibu Deetje Tiwa Rotinsulu. Ia pernah menerbitkan buku (kumpulan beberapa tulisan wewene Minahasa) berjudul (kalau nya salah inga) "Perempuan Minahasa pada Era Globalisasi. Bolehkah ibu Dee share pa torang di milis ini, tentu akan sangat bermanfaat. Gi mana zus Dee ... pasti ja ba hoba kang di MRNC? Boleh tokh ambe waktu sadiki ba posting di sini. Salam rindu buat zus Dee dan juga buat oom dan keluarga di Amrik. Ruth
Tanggapan 16: Gretha Carle– 22/10/2010 Liebe Ruth, Menarik sekali tentang ide menemukan dignitas tou Minahasa dgn mangajukan Pingkan sebagai figur. Pertanyaan saya bagaimana dgn Matindas tidakkah kedua tokoh mitologis ini berperan sebagai dua sisi sebuah uang logam yang tidak dapat dipisahkan di dalam karakterisasi mereka. Maaf cuma numpang tanya... Salam bae, Gretha
Tanggapan 17: Ruth Wangkai – 22/10/2010 Dear Gretha, heheheee so baca dang ... berarti boleh berbage pa torang dang kalau ada pemikiran lain dan juga gagasan baru bagi pengembangan artikel ini. So itu kita pemaksud juga memposting karangan ini di milis ini, sapa tahu ada sumbangan pemikiran termasuk juga kritik membangun dari anggota-anggota milis, yang dapat disampaikan untuk mengembangkan lagi tulisan ini menjadi sebuah buku?
13 Mengenai Matindas, justru dalam posisinya dalam kisah ini juga menjadi fokus kritik saya. Sebab Matindas ditonjolkan sebagai penyelamat (Pingkan dari sakit) dan juga sebagai tonaas/pemimpin (kalau kita membaca berbagai versi tradisional tentang kisah Pingkan ini). Ada ketidak-sinambungan dan ketidak-konsistenan dalam versi tradisional ini. Pada satu sisi Pingkan dibilang berhasil merayu raja dan atas kecerdikannya itu, raja dibunuh oleh prajuritnya sendiri. Kalau konsisten dengan konsep ini, pertanyaan selanjutnya ialah mengapa kemudian yang menjadi tonaas/pemimpin itu adalah Matindas, dan bukan Pingkan? Kan yang berperan besar dalam menundukkan kekuasaan lawan (Bolaang Mongondow) adalah Pingkan, bukan Matindas. Lagi-lagi dapat dilihat bagaimana konstruksi patriarki bermain dalam kisah ini untuk melemahkan potensi dan kekuatan perempuan. Tapi kalau ada perspektif lain dari Gretha, mohon dishare ... kan dapat membantu menganalisis dan mengelaborasi lebih dalam lagi setiap figur yang berperan dalam kisah ini. Thanks, Ruth
Tanggapan 18: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea ruth,gretha..... slmt bakudepa kote dulu....e salah slmt bakudapa di meja mo makang ubi rubus dg sayor popaya campur sayor paku da isi dibulu dg dabu-dabu jo kang......kong mo bacarita sadiki banyak ttng ni dia......boleh bagitu....jang tar kira soalnya di sabuah bagini cuma ada tampurung tu mok for mo minung akang.....heehheheheheheh....biar depe aer rasa asap hehhehehehhe......yg pokok mo bacarita dulu kwa.....e mar da bae2 jo kang ngoni dua......hehehhehehehehehhehehe...ta harap bagitu jo kang..... menarik skali ni carita pingkan deng matindas,dgn banyak versi yg ditulis mar depe inti jo sama ta pikir,dan ada beberapa hal yg menarik untuk di bicarakan. 1.pingkan mogogunoy......buat saya pribadi adalah wewene tulen minahasa yg berhasil dgn gemilang merestorasi paham kebanyakan org waktu itu bahwa.......wewene tidak sejajar dgn tuama. 2.pingkan mogogunoy.....buat saya pribadi adalah wewene tulen minahasa yg berhasil dgn gemilang sebagai pemimpin pasukan berani berperang dgn raja bolaangmongondow,dan berhasil dgn gemilang,meskipun akhirnya yg menjadi raja adalah matindas,bukan pingkan.(kalau menurut pengamatan saya,kenapa pingkan tidak menjadi raja pada waktu itu?.... pingkan menghormati suaminya sbg pengamalan nilai2 jati diri bangsa minahasa pada waktu itu. 3.pingkan mogogunoy....buat saya adalah pahlawan wanita bangsa minahasa yg berhasil mengangkat harkat dan martabat wewene minahasa dijamannya. ini jo dulu sementara kang......salam bae......ine.
Tanggapan 19: Hendrikus Dimpudus – 22/10/2010 Boleh jo no torang pe susi Ine pe kesimpulan eee... So dari itu ta pernah dengar bu Sus Sualang bilang ttg perempuan Minahasa kata dia deng pak Sualang seumpama tukang becak teling deng penumpangnya. Dalam hal ini sus sualang tu babawa becak tu bapak duduk di becak... Intinya keberhasilan tuama tergantung tu peran wewene di rumah... Karena itu tuama Minahasa mesti piara bae2 tu luri . Jang ja lewok akang supaya sukses...Vi Pingkan Minahasa...
14
Tanggapan 20: Bert Malonda – 22/10/2010 Tabea samua Sebelumnya salam bakudapa untuk samua yg ada di milis ini. Maaf kalu kita jarang kase koment, maklum kita pe otak ndak mampu mo bersaing deng om-om dan tante-tante yg ada di sini, jadi cuma jadi pembaca yg baik, ndak ada yg kita lewatkan. Tapi untuk topik ini khususnya tentang Pingkan, dimana muncul pertanyaan kenapa bukan pingkan yg jadi tonaan tapi Matindas, selama ini yang kita tahu tonaas selalu dijabat oleh kaum laki-laki, serta di Minahasa tidak ada Raja. jabatan tonaas itu hanya mencakup wilayah tertentu saja . Makanya di Minahasa banya skali tu tonaas. Tapi sekali lagi kita bilang, ini yg kita lia selama ini yaitu tonaas selalu dijabat oleh kaum laki-laki, nintau kalu daerah laeng ada tonaas perempuan. sampe di sini joh neh, maaf kalu salah. Salam. Bert Malonda
Tanggapan 21: Ruth Wangkai – 22/10/2010 Tabea juga oom/broer Bert ... makase voor responnya dan keterlibatan dalam diskusi dalam topik menemukan kembali martabat tou Minahasa. Saya kira pertanyaan tentang tonaas dan perannya, dan mengapa kebanyakan tonaas diperankan oleh laki-laki ... menarik juga untuk dibahas di sini. Sepertinya dalam perkembangan selanjutnya ada pergeseran makna tentang tonaas. Nah, setahu saya ada banyak anggota milis ini yang memiliki pengetahuan lebih tentang kultur Minahasa, seperti Prof. Adolf Sinolungan, broer Richard Siwu ... bolehkah terlibat dalam diskusi ini dan memberikan penjelasan tentang pertanyaan dari bung Bert ini. Terima kasih, Ruth
Tanggapan 22: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea oom hen.....makase tu boleh..... salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 23: Kakas (Harry Rombot) – 22/10/2010 Akhirnya Matindas men jadi raja dan pingkan tidak. apakah memang minahasa pada waktu dulu ada kerajaan yg dipimpin raja? bukankah minahasa sejak dulu tidak pernah ada raja. seandainya ada raja maka status kultu dan budaya mungkin akan sama dengan raja2 di jawa yg kalo ketemu sambil bungkuk sebagai tanda penghormatan!!! kalaumemang sang raja matindas menjadi sejak dari tahun berapa yah?
Tanggapan 24: Ruth Wangkai – 22/10/2010 Tabea juga Ine. Makase atas responnya. Setuju untuk beberapa poin dari angko pe catatan tentang sosok Pingkan sebagai cermin diri martabat tou dan bangsa Minahasa. Tapi, kita pe catatan untuk poin dua ialah bahwa masyarakat Minahasa sejak dulu kala tidak pernah mengenal sistem kepemimpinan monarkis, yang ada adalah setiap subetnis memiliki pimpinannya masing-masing yang dipilih, dan bukan diangkat berdasarkan keterunan dinastiyah. Berikut, kalau Pingkan ketika itu adalah seorang pemimpin perempuan yang berhasil menaklukan/mengalahkan raja
15 Mongondow dan pasukannya, lalu mengapa dia tidak diangkat menjadi/disebut sebagai tonaas dalam versi tradisonal tentang kisah Pingkan itu? Kan sudah terbukti kualitas kepemimpinannya. Mengapa itu tidak diakui? Sebalinya peran Matindas dalam kisah ini pasif, koq dia di akhir cerita tiba-tiba muncul sebagai tonaas? Tidak-kah kita melihat ada keanehan dalam kisah ini? Okay, bagitu jo dulu Ine, Ruth
Tanggapan 25: Hendrikus Dimpudus – 22/10/2010 Memang ngana ada warong jual Elpiji Susi Ine ? kalau pagi2 atau sore2 so ba jual "Gas,Gas,Gas" lebeh2 kalau dengar nama Om Denny S yg kalau ba tulis disini sadiki sadiki soalnya dia dulu waktu masih SMP prakarya dpt 10 yg lain dibawa 5 jadi merah semua kecuali pekerjaan tangan abis nimbole lia guru babale belakang sadiki, dia somo kore2 itu nona da dudu di muka. Bagitu jo itu torang pe 0m Denny S pe kelakuan so pembawaan pandiam dolong..... So mandi di pancuran dibelakang rumah susi Ine ,hati2 nanti ada om Alo pura2 nae pohon lagi.
Tanggapan 26: Kakas (Harry Rombot) – 22/10/2010 Ternyata diminahasa tidak pernah ada raja tapi minahasa justru dipimpin oleh para tonaas yg mempunyai keahlian dan skill untuk mengayomi masyarakat serangan musuh atau binatang buas.
Tanggapan 27: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea oom henk..... tu carita kwa bukang soal gas elpiji do e.....tu carita ttng pingkan kasiang do.....so nya cocok sto kang....hehehhehe salam bae...ine..........jalani hidup ini apa adanya..... !.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 28: Danny S – 22/10/2010 Dia kan cuma baca judul , trus cuap cuap Tanggapan 29: Danny S – 22/10/2010 Mana bisa perempuan mo pimpim perang, hah auu ye. Mo tunggu ayam kencing dulu.. Oops , sorry
Tanggapan 30: Nofelinelidia – 22/10/2010 danny...... kiapa ngana mo lia dang tu wewene pimpin perang? ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 31: Danny S – 22/10/2010 Hah , gak mungkinlah Tanggapan 32: Gretha Carle– 22/10/2010 Tabea Ine n Ruth n katuari waya,
16 Sebenarnya kalau baca tulisan Hetty Palm (1961), tempo doeloe ( di Minahasa), fungsi tonaas dan walian dapat diduduki oleh wanita atau pria. Disebutkan juga, di daerah Tontemboan jabatan ini cenderung dipegang oleh wanita, sedangkan di Tondano dan Tombulu oleh pria. Tauchmann, seorang peneliti Jerman (1968), bilang bahwa pada generasi pertama yang berkuasa adalah wanita, dan nanti pada generasi keempat barulah dialihkan ke tangan kaum pria... Ini katu tuama musti buktikan...apa iyaa. Khususnya untuk wilayah Tontemboan berdasarkan penamaan wilayah itu sebelumnya Tounkimbut , yang nyanda jao depe arti dengan wanita, yang katanya ada kaitan dengan kekuasaan wanita pada saat itu. Jadi, menurut ini cirita tu wewene pernah jadi penguasa, jadi tonaas, ato walian... Mieke Van Schouten (1982) lewat pendapat Riedel (1859), juga bilang seorang wanita memiliki fungsi sebagai pemimpin tu tempoe doloe. Cuma rupa jo tu Tonaas Sam Ratulangi bilang, tu wewene deng tuama musti saling baku bantu, bekerja sama, tu satu mamole kong tu satu bastir, baru tu perahu mo bajalang bagus..... Kalu tu Matindas tu jadi tonaas, karena tu pengarang tuama katu... musti di belakang tuama, tapi masing-masing punya fungsi yang dominan... Salam Maleos-leosan, Gretha
Tanggapan 33: Dennie Pinontoan– 22/10/2010 Sepertinya, sudah kekhasan bung Ferdy mencap pemikiran orang lain "sesat". Apa tidak yang lebih bermutu dari sekadar mengkafirkan orang??? memprihatinkan... denni
Tanggapan 34: Danny S – 22/10/2010 Kalau generasi pertama di pimpin wanita, kemungkinan benar adanya bahwa dia itu se orang putri, setidaknya berdarah biru , yang tentunya punya banyak pengawal dst dst dst.
Tanggapan 35: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea gretha. makase banya say........mmng luar biasa kwa tu wewene dan mmng so bagitu tu wewene minahasa asli.....hehheheheheh....no skarang komang mari jo tong beking......BERJUTA2 PINGKAN....BERJUTA2 MARIA WALANDA MARAMIS.,DAN MARI TONG JADIKAN WEWENE MINAHASA JUGA JADI WALIAN,KAL PERLU JADI TONAAS....spy katu tu jati diri minahasa boleh di transferkan dan diimpartasikan DIJAMAN GLOBALISASI NI DIA......bagimana RUTH,GRETHA.......????? salam bae.........ine. .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 36: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea ruth, so torang tu mo angka dia jadi tonaas sayang.....! ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
17
Tanggapan 37: Nofelinelidia – 22/10/2010 tabea..... oom ferdy mo cap sesat dan tidak sesat......nya problem.......yg pokok.....torang menumbuhkembangkan bangsa minahasa kamuka...... salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 38: Jedida S. Posumah– 22/10/2010 Malam bae, saya tidak ingin mengecilkan makna kisah Pingkan sebab anak perempuanku yang semata wayang juga diberi nama Pingkan. Maaf juga kalau saya baru muncul dan mau ikut berkomentar. Saya agak capek juga membaca imel di Minahasa Raya ini. Begitu banyaknya topik kita dan masuk secara bertubi-tubi sampai sulit mau berkomentar. Apalagi saya sedang agak sibuk. Hikayat Pingkan memang hebat, menarik dan membanggakan, apalagi diceritakan oleh perempuan dengan alur pikir perempuan. Pingkan perempuan perkasa sama seperti Debora, Wasti, Esther, dll yang dikisahkan dalam Alkitab orang Iberani. Sebutan perkasa memberi kesan bahwa mereka itu extra ordinary, luar biasa, tidak seperti umumnya. Pertanyaan saya: Perempuan yang biasa itu bagaimana dan yang super itu yang bagaimana? Dalam mencari identitas diri, perempuan Minahasa ingin dilihat dan diukur dengan ciri/karakteristik yang bagaimana? Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya mulai join ini milis, kita sudah pernah membahas soal perempuan Minahasa, termasuk Maria Maramis. (orang Minahasa pria kurang suka kalau saya tidak sebut sebagai Maria Walanda-Maramis. itu kesan saya waktu membahas hal ini.) Apakah sekarang kita akan membahas hal ini kembali? Saya khawatir kita akan kembali ke titik awal lagi. Dan nanti perempuan Minahasa (maupun pria Minahasa) jadinya belum ketemu identitas diri. Hal berikutnya, bolehkah dipertajam topik ini? Identitas diri dan Dignitas menurut pemahaman saya adalah dua kata yang berbeda makna. Yang mana yang kita akan angkat? Dan bolehkah juga digariskan lebih tajam apa kaitan kisah Pingkan dengan dignitas tou Minahasa? Maaf ya, saya belum dapatkan benang merahnya. Menurut saya karakteristik tou Minahasa yang dulu sering dibanggakan sudah makin kabur dan tergusur, tergeser, tergerus. Suatu waktu akan jadi seperti Jakarta yang bakalan tenggelam. Banyak orang mengkambing hitamkan arus zaman, arus pembaratan yang dibawa oleh penginjilan, lalu arus penjajahan pusat (NKRI) atau Jawanisasi, lalu sekarang arus post modern dengan pluralisme dan neo liberalisme. ow, banyak betul arus yang seperti banjir wasior itu. Sementara tou Minahasa di rantau coba bertahan dengan apa yang tinggal nostalgia, tou Minahasa di negeri sendiri sudah lama di negeri limbo. Kepada generasi muda, jika ditanya apakah bisa berbahasa daerah, mereka bingung apa itu bahasa daerah. Tapi mereka juga tidak berbahasa Indonesia yang baik. Mereka lebih fasih berdialek Jakarte dan bahasa SMS atau bahasa lebay. Apakah bahasa itulah yang akan mempersatukan NKRI? Kata orang, dalam bahasa terkandung budaya dan jati diri sipemilik bahasa. Jika ini benar, apa yang kita harap dari generasi berikut?Tapi apakah tugas kita untuk membentuk mereka?
18 Sampai kapankah Waleta dan Mawale akan bertahan? Tapi apakah salah jika budaya itu bermutasi, berubah? Sebab hidup itu suatu proses yang selalu ke depan, budaya harus progresive juga. Dan saya kira generasi sekarang maupun yang menjadi orang di masa lalu (agak menyakitkan ya kalau masa kita disebut masa lalu. So tua sayang.), harus legawa membebaskan generasi penerus dari belenggu tradisi dan budaya. Biarlah tiap generasi membentuk budayanya sendiri, menggariskan norma dan nilainya. Masa lalu sudah dibelakang, bawa saja yang luhur dan baik, lalu sisanya biar jadi kenangan. (The good old days) Saya bukan hendak berceramah tapi sekedar share refleksi di akhir pekan. Orang Minahasa yang saya kenal adalah orang yang mau maju, tidak takut pada perobahan, dan menghargai sesama ciptaan dan menjunjung tinggi kemanusiaan. Karena itu tou Minahasa mengarungi tujuh samudera dan hidup di enam benua dengan prinsip di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Generasi penerus juga bingung sebab kehilangan role model yang pantas jadi panutan. Nilai dan norma yang Kristiani, yang manusiawi, yang universal saja tidak bisa diteladankan, apa yang akan kita wariskan? Yang mana atau yang bagaimana sih yang disebut dignitas tou Minahasa? Malam ini saya menulis dengan langit kota Bangkok di luar sana yang bermandi sinar bulan (purnama?). Saya coba menatap angkasa yang tak berbatas. Dalam pikiran saya muncul mimpi yang indah. Seluruh semesta saja bisa dengan harmonis mengagungkan sang Pencipta, tanpa melihat hakekat dirinya apa. Mengapa manusia tidak bisa bergabung dalam paduan suara semesta? Tinggalkan dirimu, jati dirimu, lepaskan belenggu pemisah, runtuhkan tembok kelompok., dan menyanyilah dengan syukur. Selamat berakhir pekan semua sahabat dan saudara, apapun sukumu, apapun partaimu, apapun jenis kelaminmu, apapun agamamu. Semoga anda semua dicerahkan dan dibaharui. Salam, Jedida
Tanggapan 39: Mercy Rumengan– 22/10/2010 Dear Kak Ruth, Terima kasih atas tulisannya, senang sekali masih ada Wanita Minahasa(asli) yang masih mau menulis tentang Minahasa.Terus terang saja saya ini sudah terapengaruh dengan"Pengaruh-Pengaruh asing" jadi sudah terkontaminasi nilanilai lain, yang mungkin bukan lagi seperti Ruth; Asli Minahasa. God Bless.Tuhan memberkati
Tanggapan 40: Ruth Wangkai– 22/10/2010 Ado do eee oom Danny, so lupa dang tu cerita Debora dalam Perjanjian Lama, dalam kitab Hakim-Hakim 4. Dalam kisah ini, justru Debora tampil sebagai pemimpin dan panglima perang yang sangat berani melawan kekuatan lawan yakni bangsa Kanaan, di bawah panglima perangnya, Sisera. Sedangkan Barak takut, dan hanya berani jikalau Debora turut serta (ayat 8). Keberanian berjuang membebaskan bangsanya dari penindasan bangsa lain juga ditunjukkan oleh Joan of Arc (lahir 6 Januari 1412), yang dijuluki "La Puceelle" artinya "sang perawan". Dalam usianya yang sangat mudah dan berdasarkan kleim menerima wahyu dari Tuhan untuk membebaskan Perancis dari penjajahan Inggris, ia berhasil memimpin pasukannya dan memperoleh kemenangan. Atas perjuangannya-lah, Charles VII dimahkotai sebagai raja Perancis. Walau, ia pada
19 akhirnya tertangkap oleh tentara Inggris, dan kemudian dibakar hidup-hidup (saat ia baru beranjak usia 19 tahun) atas tuduhan bida'ah selain alasan politis. Baru pada tahun 1920, Gereja Katolik merehabilitasinya dan menganugerahkannya gelar santa. Beberapa perempuan dari beberapa daerah yang berjuang memimpin pasukan perang melawan penjajahan Belanda seperti Marta Christina Tiahahu (Maluku), meninggal pada usia 17 tahun (2 Januari 1818) dan juga Cut Nyak Dien (Aceh). Atas perjuangan dan jasa-jasa mereka, negara kemudian menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Tentu masih banyak lagi dapat ditambahkan dalam daftar ini. Tapi setidaknya dengan beberapa rujukan ini, kita mo tanya pa oom Danny, apakah mustahil bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin perang??? Ruth
Tanggapan 41: Ferdinand P– 23/10/2010 Haloo Ibu Pdt.Jedida. Tulisan ibu sesuai dengan pendapat saya,dan kalau pendapat Ruth kemarin terus terang berseberangan dengan saya.Kenapa? Karena ceritanya dari dulu,imperialisme,kolonialisme,liberalisme,dll.apa lagi ada kecendrungan seakan akan para penginjil yang pertama membawa kabar baik kedaerah Minahasa dicap hanya membawa banyak dekadensi moral,kemunduran yang dampak nya mempengaruhi sampai sekarang??,pada hal kenyataanya adalah sebaliknya(saya sudah jelaskan postingan kemarin). Itulah sebabnya saya katakan tulisan tersebut hanya menyesatkan banyak orang,dan selain itu hanya mengangkat- angkat sentimen2 lama, sama seperti president Iran sekarang ini,seharusnya belajar dari bangsa Vietnam,Jepang,China,Korea Selatan yang beberapa puluh tahun lalu saling perang dan sekarang ini mereka hidup damai/berbisnis dengan mantan musuhnya dulu.Dan selain itu apa yang di tuduh terhadap bangsa lain dengan istilah2 tersebut sama sekali ngak ada,terbukti banyak pendatang dari negara2 yang sering menuduh tersebut,setelah tinggal hidup di negara2 maju yang dituduh imperialis,kolonialis,neo liberal,dll.masih jauh lebih baik kehidupannya dalam segala bidang dibandingkan dengan negara asalnya yang dulunya suka menuduh. Oleh karena itu,sebaiknya, istilah2 tuduhan yang begitu di stop.Karena dampaknya sama dengan memupuk perbedaan SARA.Sehingga kelompok masyarakat/bangsa/suku jadinya terisolasi dari pergaulan global,istilahnya belum ketemu sudah pasang kuda2,seperti para penguasa NKRI sekarang ini kalau kemauannya ditolak langsung menuduh pihak lain dengan istilah tersebut.Kalau sudah begini pergaulan jadi kaku,curiga,benci,iri,dsbnya.Dan kemudian hanya jadi jagoan di kandang sendiri,karena merasa diri sendiri yang paling jago kandang lama kelamaan orang disekitarnya dianggap remeh/minta dirinya harus disembah.Karena tidak ada pergaulan di luar kandang kualitas manusia kelompok masyarakat tersebut menjadi rendah/menurun sebab sudah tidak ada persaingan dan kerja sama dengan berbagai kelompok
20
masyarakat lain/bangsa lain yang bisa saling sharing,bakat,pengalaman,pengetahuan dan berbagai sumber daya. Berbicara mengenai kebudayaan asli yang dipuja puji oleh Ruth,saya pikir terlalu mengada ada.Sebab sepanjang sejarah dunia tidak ada suatupun yang sebegitu hebat dan bisa bertahan relatif dalam waktu lama,a.l.kebudayaan China,Roma,Jepang,Arab,dll.Sejarah mencatat pada satu saat tertentu pada akhirnya runtuh dan hilang tak berbekas,dan kalau ada hanya peningalan bangunan (pyramide,tembok china,candi borobudur,dll).Kebudayaan adalah;Nilai dan makna cara hidup,moral,etika,adat istiadat,tingkah laku,cara bergaul di dalam nilai terbaik untuk menjalin hubungan dengan manusia yang lain menjadi utuh.Apapun yang diciptakan oleh manusia pasti akan berubah sesuai dengan berjalannya waktu termasuk kebudayaan. Berbicara agama,memang benar agama itu sendiri diciptakan oleh manusia,Oleh karena manusia itu diciptakan "sesuai dengan peta dan teladan Allah",dikatakan dalam Alkitab tubuhnya dari debu,dan baru dikatakan manusia itu ada kehidupan(sesuai peta dan teladan Allah) setelah Allah menghembuskan nafasnya/roh.Oleh karena itu secara naluri manusia selama hidupnya akan terus mencari penciptanya.Dalam pencarian penciptanya manusia berusaha sesuai dengan kebudayaannya menciptakan lembaga untuk mencari penciptanya dan inilah yang dinamakan agama.Jadi perbedaan kebudayaan dan agama adalah,kalau kebudayaan seperti panjelasan tersebut diatas,dan agama adalah kehidupan super natural manusia dalam usahanya memperoleh kehidupan yang kekal/kehidupan sesudah mati. Kekristenan melalui Alkitab menjelaskan,apapun usaha manusia tidak akan mampu/tidak bisa sama sekali untuk bertemu/mengenal/mendapatkan Allah penciptanya,karena benih yang dari Adam dan Hawa sudah rusak jatuh dalam dosa.Oleh karena itu Allah sendiri melalui anaknya Tuhan Yesus Kritus yang datang mencari manusia yang berkenan kepadanya,untuk Dia selamatkan untuk memperoleh kehidupan yang kekal.Atau dalam kata lain manusia diselamatkan dalam Tuhan Yesus Kristus hanya karena anugrah,bukan hasil usaha manusia.Jadi kekristenan bukan membawa agama yang berusaha untuk mengenal/menemukan Tuhan Allah,tetapi memberitakan akan keselamatan/kehidupan yang kekal adalah hanya karena kasih Anugrah dari Allah itu sendiri melalui Tuhan Yesus Kristus. Atas dasar penjelasan ini,saya tidak setuju dan juga bersebrangan dengan saya,apabila kebudayaan itu diletakan dibawah atau sama tinggi dengan kedaulatan Allah.Sebab Allah maha pencipta(termasuk pencipta,memelihara suatu kebudayaan,dan juga menghancurkan suatu kebudayaan),Maha Kaya,Maha Kuasa,Maha tau dan Maha,Maha,Maha (Atas dasar penjelasan ini,saya tidak setuju dan juga bersebrangan dengan saya,apabila kebudayaan itu diletakan diatas atau sama tinggi
21
dengan kedaulatan Allah.Sebab Allah maha pencipta(termasuk pencipta,memelihara suatu kebudayaan,dan juga menghancurkan suatu kebudayaan),Maha Kaya,Maha Kuasa,Maha tau dan Maha,Maha,Maha) lainnya.FP
Tanggapan 42: Danny S– 23/10/2010 Tanta Ruth Kan di imel saya sudah tutup dengan Ops sorry, hehehehehe Pertanyaannya apakah wanita bisa pimpin perang, ya tidak bisa dong. Kalau betina bisa. Aduh salah lagi nih. Sorry , maap ya ibu2 Tanggapan 43: Ruth Wangkai– 23/10/2010 Dear Gretha, makase banyak ya for sharing beberapa referensi (ilmiah) penting sebagai rujukan kepada peran kaum perempuan sebagai tonaas dan walian di Minahasa. Saya sempat dengar bahwa tema disertasi Gretha sekitar peran perempuan Minahasa ya? Boleh dishare pa torang di milis ini-kah, paling tidak poin-poin utamanya. Saya kira, baik sekali jika pendapat-pendapat yang didiskusikan di milis ini didukung pula oleh literatur-literatur, dan saya tahu Gretha memiliki referensi-referensi itu. Thanks ya Gretha dan selamat menikmati akhir pekan bersama keluarga. Ruth
Tanggapan 44: Dennie Pinontoan– 23/10/2010 Tabea, Bagimana jadinya, ya jika Injil itu tidak memakai perangkat kebudayaan??? Apakah salah jika Injil disampaikan dengan memakai media atau juga menggunakan sistem nilai kebudayaan Minahasa. Saya kira, cerita Pingkan dan Matindas juga mengandung nilai2 yang dimaksudkan oleh Injil. denni
Tanggapan 45: Kakas (Harry Rombot) – 23/10/2010 apa benar bung Ferdnand? mungkin itu menurut pandangan bung sendiri dan saya nga percaya. Biasanya kalau sesuatu dr awal sdh nga senang akan terbawa seterusnya. dan coba torang lia dari kacamata yg jeli dan tidak berkonotasi subjektif dan mungkin akan berbeda tafsiran ataukah mungkin bung terlalu skeptis skali deng dia!!!!
Tanggapan 46: Ferdinand P – 23/10/2010 Hallo Ruth, Ibu Pdt DR Dee Tiwa Rotinsulu lagi pulang ke Indonesia menghadiri wisuda anaknya di Salatiga,dan Pdt Tiwa dan Ibu Pdt Dee dari Salatiga langsung ke Manado(kita rasa sekarang so di Manado stouw).Ok GBU Ferdinand Pandey
22
Tanggapan 47: Ruth Wangkai– 23/10/2010 Hello juga oom Dinand, makase atas info tentang kedatangan tante Dee ke Indo. Tapi sepertinya sulit mo ketemu, karena kita juga ga tau gimana mengontaknya. Kita masih di Jogja dan rencana nanti akhir Nov pulang ke Tomohon. Sayang memang kalau ga ketemu. Maar moga-moga jo tante ba hoba di milis ini, kong bisa share pengatahuan dan juga pengalamannya yang begitu kaya terutama ketika menjadi pemimpin di departemen (biro) perempuan PGI. Selamat berweekend-ria oom dan juga keluarga. Ruth
Tanggapan 48: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Bung Danny, saya setuju dengan bung!!! seharusnya bung ferdy tidak lebeh awal menjudge dengan pernyataan tulisan yg menyesatkan dan pandangan ini sangat mengkerdilkan pola berpikir kedepan. Masa torang harusmembuka file yg baru satu minggu bisa ratusan bahkan ribuan yg maso. Des bung Ferdy calm down jo kong rubah jo tu pola berpikir kearah yg konstruktif dan positif.
Tanggapan 49: Ferdinand P – 24/10/2010 haloo Kakas,Persoalan yang anda angkat so ngak relevan,sebab yang anda bahas sudah berkembang/maju ke judul "sependapat dengan Pdt.Jedida.....",Yang judul ini itu hanya permulaan pemanasan.Jadi kakas kalau mo baku tada musti pake kaca mata tembus,sebab kalau ngak pake,ngak bakalan nyambung sayang.......... Tanggapan 50: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Bung Fredy, suapay tau bahwa yg disampaikan bung Danny dan kita terhadap ruth, torang nyanda setuju deng itu kita anggap tidak sesuai. apa mungkin musti pake kacamata kuda lei? kalo kacamata tembus sampai sejauh mana tembusannya? bisa baku sambung menyambung kalau dari awalnya bernuansa sejuk noh!!!!
Tanggapan 51: Mercy Rumengan– 24/10/2010 Buat Semua, Mudah-mudahan bapak-bapak ini baku sedu, ini samua rupa di warung captikus, torang yang ja baca, so lia kata-kata "Baku tada". Kaca mata kudalah. Selama ini kasing torang perempuan minahasa somo ba uni to "Matinda" atau "Toar" yang su rupa james bond atau di film silat dang. Milis ini, adalah saluran "BAKUSAYANG", Bakudapa dengan kawan lama, dan bisa juga Bernostalgia, dan jalur ini saling memberi semangat, baku beking pande, karena menjadi saluran informasi dll yang menyatakan " TORANG BUKANG ORANG LAENG=SAMUA BASUDARA. Jadi kalau ada yang permalukan samua malo, kalau ada yang dibanggakan semua BANGGA dan LEBIH BERSEMANGAT. Tulisan-tulisan yang keluar di sini, dicermati secara baik, dan is OK kalau ada beda pendapat, itulah DINAMIKA humanitas kita. Tentang tulisan "Pingkan" dari ibu Ruth itu pandangan yang sementara kita "Cermati" dan ibu JEDIDA itu "dosen" saya dulu, dan apa yang baik dari ibu Jedida akan tetap saya "Kenang". Saya yakin regenari kepada ibu "RUTH" itu menjadi kebanggaan kami.
23 Selamat Berweek end, semoga semua Sehat dan diberkati. Olga
Tanggapan 52: Hendrikus D– 24/10/2010 Amin... TORANG SAMUA BASODARA... Masawang-sawangan... Matombol-tombolan... Maleos-leosan... Budaya baku tada... Ta kira warisan Porto... Dgn semangat koboi... Hehehe Baku hormat jo lebeh bae... Ulasan bu Ruth ttg Pingkan hrs diapresiasi guna adanya suatu gambaran ttg identitas Tou Minahasa. Bbrp prinsip Mamnusia Minahasa yg menrt saya tdak berubah ialah 1. Religius... Pengakuan bhw Lumimuut diciptakan atau berasal dr Empung Kasuruan menegaskan asal usul Tou Minahasa. Krn itu setiap kegiatan maupun tahapan hidup senantiasa memerlukan restu dr Empung Kasuruan 2. Kohesitas sosial kuat... Krn satu nenek Moyang... 3. Tidak selfis... Hidup utk komunitas lebih ditekankan ketimbang individu. Ttp diri yang kontributif adalah diri yang terbuka, bertumbuh dan berkembang. Si Tou Timou Tumou Tou. 4. Etos Kerja keras... Lumimuut berarti berkeringat stlh usaha yg keras. Mneghargai sesuatu yg diperoleh dr kerja berkringat. Diperkuat dg "apar", yaitu kewajiban tiap generasi membuka lahan/kesempatan bagi generasi berikut. Implementasi lewat Mapalus 5. Egaliter... Baik dalam hal sosial, politik, budaya dan ekonomi. Termasuk gender. Dengan bbrp prinsip di atas, pertanyaan bung Denni dapat dijawab bhw prinsip2 diataslah yang hrs diperkuat oleh pemberitaan Injil. Bukankah Injil adalah kabar baik bagi semua bangsa? Jadi kalau torang ja kritik tu budaya luar yg masuk lwt Penginjilan dg metode penundukan bukan dalam arti menolak, apalagi menghujat kemajuan yg tlh di bawa oleh Kekristenan di Minahasa. Persoalannya ialah agar kita tidak anyor krn tidak punya pijakan bumi sendiri. Memang bagi dekonstruksi Posmo hal ini suatu yg dianggap mundur. Ttp sptnya kita hars tetap yakin bahwa ada prinsip2 yang sifatnya tidak berubah. Nilailah yang berubah sesuai konteks dan jaman. Karena itu, nilai2 yg berkembang saat ini dapat kita kritisir secara cerdas dan dinamis ttp tetap dgn semangnt keterbukaan global yg open sky. Ttp bukan dalam paham "new age" yang pantheistis Salam bae
Tanggapan 53: Ferdinand P – 24/10/2010 Haloo Hadimpudus,Budaya baku tada,dimaengket tada2 lante untuk test itu rumah bikinannya kuat atau ngak.Maksudnya ditest karena kadang2 dalam debat atau dalam permainan,bekerja,dll.Lebih sering mengalami dunia nyata seperti benturan2.Jadi kalau torang cepat tersinggung seperti becanda begitu terus diambil serius ya kita kira,itu namanya ngak seru.Dan harus diingat di milis,berlaku bebas bajual dan bebas untuk mo beli atau tidak beli,Jangan pake ukuran perasaan sandiri.Kita sering becanda dengan Frank,Ronny Aruben,Pulu kadang,kalau mau muncul lagi di milis kita pake istilah naik ring siap kena pukulan muka bangka,ciri gigi.Dengan demikian kalau debat(baku tada)anggap itu biasa,dan ngak ada yang simpan hati.Karena itu namanya saling bikin
24
semangat sambil bersaing bebas.Oleh karena itu pada kenyataannya milis ini laku keras.Coba bandingkan dengan milis2 lain karena terlalu "sonto loyo" ngak lama satu persatu mundur/malas dan bubar jalan. Untuk argumentasi Hadimpudus mengenai kebudayaan,tunggu mau lihat bintang dulu,soalnya itu ilmu falak so agak lupa dan musti belajar ulang.Ok samua dan kita harap kalau debat jangan terlalu serius sehingga baru kena stot sadiki langsung saki hati.
Tanggapan 54: Hendrikus D– 24/10/2010 Hehehe bung Ferdinand... bagitu dang... So cuma bagrap dang... Hv a nc Sunday
Tanggapan 55: Gretha Carle Liwoso – 24/10/2010 Liebe Ruth, Nyanda terasa tu disertasi so amper 6 taong lalu. Sebagian literatur masih ada tapi sebagian besar di Leiden. Nanti jo dipikirkan ....dan mungkin sebaiknya share dengan yang tertarik dengan topik ini, supaya nyanda dominasi tu milis. OK GBU. Gretha
Tanggapan 56: Ferdinand P – 24/10/2010 Haloo lagi Hadipudus,Sebagai tambahan yang tadi yaitu kalau mau bicara dimilis so musti kase copot samua itu atribut a.l.Pandeta yang biasa di mimbar,Komendan,dosen,politikus DPR,pejabat tinggi,pengangur,masih merasa terlalu muda,sebaliknya merasa dituakan,Jendral,kopral,maksudnya samua sama yaitu cuma lia sama2 manusia, nah! ini namanya baku hormat yang tulus. Berbeda kalau diskusi di darat,kalau yang kaseh ceramah pejabat,jendral,rektor prof.Doktor dll.datang so pake ajudan dan pengawal,para hadirin sudah harus bikin diri orang bego samua.Hal ini adalah kenyataan dan sering terjadi di Indonesia,karena kalau orang so diatas orang dibawah dia, istilahnya sampai cara banafas bos yang harus atur itu bawahan pe nafas.Itulah sebabnya itu pertemuan Kawanua bulan Juni mendatang kita usul kalau boleh itu bahan ceramah yang akan dibawakan oleh para penceramah sebaiknya dimuat dulu di MRNC ini.Dengan maksud bahan ceramah tersebut sudah benar benar teruji secara terbuka dari berbagai latar belakang yang berbeda beda, yang berada di berbagai belahan dunia, dan orang2 yang mengkritik sudah jelas ngak ada kepentingan apa2 dengan penceramah,contoh diskusi di milis ini.Sebab kalau ceramah di darat,pengalaman selama ini,tujuan pertemuan pada akhirnya hasilnya sudah dipelintir menyimpang dari maksud tujuan.FP Tanggapan 57: Danny Sumendap – 24/10/2010 Amiennn... Danny S
25
Tanggapan 58: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Ibu Olga justru dengan kapal milis ini kalo torang tidak alami kegoncangan ombak dan badai itui namanya nyanda seru dan bisa kita bilang sebagai suatu seni dan pemngalaman yg berharga. kalo bajalang lei cuman tre-tre dapa rasa kurang nyaman!! ibaratnya kalo torang pasiar ke amrik kong nyanda mampir ke New york yah kurang lengkaplah untuk melihat usa secara keseluruhan. Dan juga pepatah lama mengatakan semakin torang berjalan jauh semakin banya yg torang lia dan disitulah torang akan dapat hikmah yg lebeh. Mar selamat hari Minggu and peace be with you.
Tanggapan 59: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Butul itu kalo dimilis ini bukang bajalan tre seperti pake kacamata kuda mar kebebasan yg dapat dipertanggung jawabkan katu. terkecuali kalo orang tsb hanya asal tada dan pada ujung2nya tadiang sandiri karena tidak bisa mengklarifisi atas segala bentuk sanggahan dan lain sebagainya. Untuk pertemuan kawanua sebaiknya sang pembicara/penceramah diambil dr kalangan muda dan tua (di mix) dan berasal asli kawanua sendiri dan tidak perlu terlalu panjang2 kong cuman taputar bale dan buntutnya nga nyambung gitu loh, dan perlu banya diberikan kesempatan waktu untu sesi tanya jawab karena disitulah inti pertemuan yg bisa memuaskan. Kebebasan bagi si penceramah mungkin lebih etis kalo nga usah disampaikan di milis ini terkecuali nama si penceramah saja dan mungkin itu lebeh afdol.
Tanggapan 60: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Ibu Jedida, boleh batanya deng batrosol sadiki??? soal Pingkan yg menjadi pola anutan itu apa saja yang nyata pernah dilakukannya dalam kehidupannya? dan berasal dari kecamatan mana si Pingkan itu? Dan juga Matindas hidup diabad keberapa dan berasal dari kecamatan mana dang? trims atas jawabannya yah!!!! Happu Sunday and Peace be with you.
Tanggapan 61: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Maksud saya bukannya ingin menponjolkan perbedaan keduannya, tapi justru dalam sejarah Indonesia mengapa ibu Walanda maramis yg boleh dikata sebagai legendaris memajukan wanita kawanua khsusnya tidak terlihat hasil perjuangannya dalam sejarah Indonesia, tapi justru RA Kartini menjadi pionir untuk citra wanita Indonesia. Mungkin Roh Pingkan akanmenangis tersedu-sedu atas perjuangan ibu Walanda Maramis yg hanya diketahui oleh masyarakat tou minahasa doang!!! Hehehe
Tanggapan 62: Hendrikus D– 24/10/2010 Makase atas masukannya... Semua pembicara org Minahasa... Moderator DR Benni Matindas
Tanggapan 63: Nina N – 24/10/2010 Ciri has orang minahasa yang sudah lama diluar negeri Tanggapan 64: Ruth Wangkai– 24/10/2010 Nina, apa angko pe maksud eee ... ciri has apa dan siapa angko pe maksud deng orang Minahasa yang sudah lama di luar negeri. Harus jelas dan kontrit katu eee .... Ruth
26
Tanggapan 65: Mercy Rumengan– 24/10/2010 Dear Samua, Torang yang diperasingan ;Anggap jo kita " Mercy Olga Rumengan" yang so lama nyanda pulkam, mar di milis ini dapa rasa rupa dikampung kang. Torang disini justeru baku dekat dengan bapak "Kakas alias Pak Hari" senang boleh jadi dekat ulang di milis. Kong tanya jo pa Pak Hari yang adalah kuntua kami disini, biar karu torang so di jauh, masih tetap Asli Orang Minahasa. Tentunya so terkontaminasi dengan nila-nilai di Barat, mar katanya; Justeru di tanah Minahasa juga orang-orang so rupa di Barat, itu karena Televisi dan Interanet dan kemajuan teknologi yang membuat apa yang orang disini ja beking disana lei no. Apa butul itu? Tentunya perlu dipelajari. Bagitu Pak Kakas, babunyi terus, kong beking rame, memang dimana-mana Pak kakas ini selalu LIGHT Of THE PARTY. Dan makase untuk tulisan Ibu Ruth dan Ibu Jedida. Berusaha tetap sehat dan bersemangat. Olga
Tanggapan 66: Bert Supit– 24/10/2010 Patuari Waya MRNC..., Saya so baca dengan teliti itu artikel tentang Pingkan dari Susi Ruth, karena saya termasuk seorang pengagum keras akan sifat perempuan Minahasa mulai dari Maria Walanda Maramis sampai kepada istri saya tercinta. Saya kagum juga dengan tokoh perempuan sejarah mitologis Minahasa yang adalah Pingkan yang namanya telah diadopsi oleh ribuan Papa dan Mama Minahasa yang memberikan nama tsb kepada anak perempuan mereka. Tetapi terus terang pergunjingan dalam milis ini tentang tulisan Sdri Ruth Wangkai telah menimbulkan kontroversi yang menarik, berhubung analisanya yang diuraikan susi Ruth menurut saya terlalu sepihak 'feministik' dan tidak dilakukan secara dialektis. Saya tidak mau katakan bahwa tulisan itu merupakan suatu tulisan yang 'sesat'......sama sekali tidak. Namun saya ingin ajak kita sekalian untuk bertanya kepada susi Ruth tentang referensinya untuk mengeritik secara 'ekstreem' budaya barat dengan kolonialisme nya serta kaum laki2 Minahasa? yang identik juga dengan budaya barat yang memperlakukan seorang perempuan sebagai 'propertinya' dan oleh sebab itu dapat si laki2 itu berbuat semaunya!!?? Sebab itu, saya harus mengeritik tulisan itu sesuai dengan sikap martabat saya yang menghargai perempuan Minahasa seperti saya katakan diatas, demikian juga menghargai sejarah Pekabaran Injil di Minahasa....dan juga sebagai seorang laki2 Minahasa yang mempunyai harga diri biarpun dengan beberapa kelemahan. Sebab itu juga, mohon diikuti bagian demi bagian dari artikel Pingkan dibawah ini yang saya sudah highlight dengan warna merah....dan
27
komentar saya dalam huruf warna hijau. Silahkan telusuri tulisan dibawah ini.........
Tanggapan 67: Nina N – 24/10/2010 Aduh, sorry tante ruth, The message below was writen by someone else, not from me. Sorry for the inconvenience. I never have such view for sure, just to clarify. Nn
Tanggapan 68: Bert Supit– 24/10/2010 Dear Nina, Would you kindly respond to my comments on the issue about Pingkan which was written by Ms Ruth Wangkai from a 'feminist' perspective. I am quite disturbed because the article is 'judging' the western/colonial/missionary culture and the 'masculine' mentality too harsh. I wonder wether Ms Ruth is refering to the Minahasa males or the Arab males mentality? Thank you for your respond indeed! Peace, BAS
Tanggapan 69: Kakas (Harry Rombot) – 24/10/2010 Om Bert sabar jo, so pasti Ruth akan memberikan jawaban sesuai dengan pertanyaan terhadap garis merah. Semoga jo jawaban itu akan memberikan nuansa yg baru dan bisa diterima semua pihak secara logik dan menarik. Om Bert kalo kita punya anak peremupan so pasti kita akan kaseh nama Pingkan juga karena anggap jo sebagai lambang mitologis minahasa yg pernah ada dan nyata mar nintau kote asal kecamatannya dr mana kang? Dan lebih dari itu saya juga kagum terhadap dengan penuh kekayaan soal budaya minahasa dan selalu ingin memberikan perubahan yg terbaik dan dapat dipegang dan dipertanggung jawakan. Dan juga tidak pernah om Bert menilai sesuatu tulisan langsung menjudge sesat dan yg sejenisnya tapi lebih menampakan pemikiran yg membangun untuk membangkitkan semangat generasi penerus untuk tetap menggali keutuhan dari budaya yg tidak pernah luntur. Trims banya neh Om Bert kita komaling salut pa Om. Tiada kata yg indah yg dapat kita sampaikan selain tetap berprinsip pada kata Kasih yg terus menggelora dan bersinergis dalam kehidupan Om danselamat berjuang terus untuk membangun minahasa kedepan yg lebih cerah.
Tanggapan 70: Ferdinand P – 24/10/2010 Haloo Mercy,Takira milis ini bukan hanya sekedar baku sayang dan ketemu teman2 lama.Memang torang baku beda,di milis ini cuma satu dua orang yang kita kenal lama yang lain cuma kenal di milis ini.Pendapat kita milis ini untuk torang saling menajamkan pemikiran dalam rangka menjawab tantangan zaman/arus zaman yang datang bertubu tubi yang bisa menghilangkan siapa saja/ikut terbawa arus.Untuk saling menajamkan kadang2/sering terjadi benturan,itu namanya besi menajamkan besi,Jadi istilah kalau mau survive ngak ada cerita piara halus kong hidup hanya dengan orang halus.OK Mercy,bagitu dulu.
28
Tanggapan 71: Adolf Sambuaga – 25/10/2010 Dear Bung Ferdy, Greetings in the wonderful Name Jesus Christ our Lord and Savior, Tentang tulisan yg menyesatkan, biar Anda sampe babusa bicara pa dorang, dong nyanda akang mo tanggapi karena dorang pe ajaran memang so bagitu. Memang susah klu hikmat dunia mo di banding dgn hikmat sorgawi. Selama dorang belum mengakui Alkitab sebagai Firman Allah maka tidak akan ada titik temu. Waktu lalu Bung Hendrikus telah mengadakan pendekatan melalui SQ (Spiritual Quatient) dengan IQ mereka tapi belum terjadi titik temu. Bayangkan saja, mereka sebagai theologian tapi punya pandangan yg menyesatkan tentang Roh Kudus. Ajaran mereka bahwa Roh Kudus itu ada didalam diri setiap orang, dengan kata lain Roh Kudus ada pada orang atheis, Islam, Budha, Shinto, Tao dsb., kalau demikian berarti mereka percaya kepada Tuhan Kita Yesus Kristus dong ya? Jadi Bung Ferdy, harap tau saja bahwa memang saat sekarang banyak orang yang mengajarkan ajaran sesat plus dong pe ajaran thelogia liberal. Bagitu jo dulu. Salam bae, Edison Sambuaga
Tanggapan 72: Frank Tanos – 25/10/2010 Kenapa wanita perlu dicintai dan disayang oleh lelaki? Kelebihan & keunggulan WANITA dibandingkan PRIA. Diukur secara phisik Pria ototnya jauh lebih kuat ketimbang Wanita. Kemampuan kerja Pria jauh lebih tahan 10 kali lipat dari pada wanita. Kehebatan Pria: • Sering memperlihatkan kejantanannya dalam mengejar karir, agar bisa memperoleh jabatan tertinggi. • Sering memperlihatkan kejantanannya dalam mengejar bisnis, agar menjadi orang yang sukses. • Sering memperlihatkan kejantanannya dalam menguber wanita, sekalipun sudah beristeri. Pada saat posisi Pria sukses diatas langit, kadang mereka suka lupa kepada orang-orang yang pernah mendukung kesuksesan itu, seperti keluarganya termasuk isteri dan anak-anaknya yang pernah turut mempunyai handil. Hal seperti ini sudah menjadi suatu phenomena bagi kebanyakan Pria. Kelemahan Lelaki Saat semua karir dan bisnisnya ambruk bagaikan sebuah glas yang pecah,….lelaki akan menjadi down, kalap, frustasi serta tidak tau harus berbuat apa dalam sesaat. Yang dirasakannya adalah kesedihan yang dalam, seolah-olah dunia ini sudah tidak bersahabat lagi bagi mereka. Kalau sudah dalam keadaan begini, Pria akan membutuhkan ketenangan dan mencari teman untuk berbagi rasa dalam kesedihannya. Bagi Pria, teman yang paling handal untuk berbagi rasa bukanlah sesama Pria, yang sangat dibutuhkan adalah seorang figur Wanita. Wanita dalam hal ini apakah itu pacarnya maupun isterinya. Yang jelas adalah seorang Wanita. Kelebihan & Keunggulan WANITA: 1. Saat berumur 12 s/d 15 tahun wanita mengalami penderitaan mentruasi.
29 2. Saat berumur 19 s/d 21 tahun wanita harus kawin dan mengalami kesedihan dimana harus meninggalkan kedua orang tua dan saudaranya untuk ikut sang suami. 3. Saat wanita mengalami kehamilan dan harus melahirkan anak, wanita akan mengalami penderitaan antara hidup dan mati. 4. Saat seorang anak hadir dalam kehidupan seorang wanita, dia akan mengalami penderitaan untuk mengurusi anak-anaknya pada siang dan malam hari dengan penuh tanggung jawab. 5. Apabila suaminya memperoleh umur panjang dan bisa hidup sampai hari tua, dia akan memperoleh kebahagiaan. Tetapi apabila sang suami meninggal diusia yang relativ muda, wanita akan memperoleh penderitaan dan akan menjadi kepala rumah tangga bagi anak2nya. 6. Saat menjelang hari tua, wanita akan mengalami penderitaan manepose. Kalau kita lihat semua realitas diatas ini, apakah masih relevan lelaki dikatakan PRIA teladan dimata wanita?
Tanggapan 73: Bert Supit– 25/10/2010 Bung Frank..., Kiapa lei itu komentar bung Frank so bawa di perbedaaan perempuan dan laki2. Itu perbedaan bung Frank lebe banyak dari itu daftar yang bung Frank ada susun.....kecuali stou kalau BANCI....nyanda ada perbedaan....karena so ada itu samua di satu tubuh...hehehe!!!. Komentar akang jo kwa itu kita ada susun dari atas kebawah yang kita so highlight dengan warna mereh di susi Ruth pe tulisan Pingkan...hehehe!!! Peace, bas Tanggapan 74: Dennie P– 25/10/2010 Tabea waya, Menarik sekali diskusi mengenai artikel dari Ibu Ruth. Ada beberapa hal yang ingin saya saya sampaikan menanggapi diskusi yang berlangsung menyoal tentang artikel tersebut: 1. Menurut saya, cerita tentang Pingkan-Matindas, ada di antara sejarah dan mitos (sama halnya dengan beberapa kisah dalam Injil). Bahwa, meski Pingkan dan Matindas itu diyakini ada, a.l. katanya dibuktikan dengan "Sumur Pingkan" di Tanawangko, namun menurut saya, kisah ini juga telah dipenuhi dengan berbagai mitos. Makanya, kerja interpretasi, yang antara lain melakukan dekonstruksi terhadap cerita itu, cukup penting. Ibu Ruth, saya kira telah cukup bagus melakukan itu. 2. Karena ini adalah kisah sejarah yang telah dibungkus dengan mitos, maka cerita ini wajar jika menjadi multiinterpretatif. Kebenaran, akhirnya tidak lagi berada dalam diri cerita itu, melainkan hasil interpretasi terhadapnya. Makanya, tidak ada kebenaran tunggal hasil dari interpretasi cerita tersebut. Yang ada adalah makna-makna yang mestinya saling melengkapi, saling memperkaya. Ibu Ruth adalah antara
30 lain, yang melakukan interpretasi, dan dia menggunakan pendektakan 'feminis'. 3. Pendekatan feminis yang dipakai oleh Ibu Ruth, adalah sahih jika kemudian dalam penarasian interpretasi tersebut juga akhirnya harus memperhadapan makna yang dia dapat dari cerita tersebut, misalnya soal eksistensi perempuan Minahasa dengan problem2 yang ada di sekitar persoalan tersebut, misalnya dominasi Barat, ideologi patriakhal Barat dan rezim orde baru, termasuk juga yang lain2. 4. Memang butuh sebuah kekritisan dan keberanian dalam melakukan kerja interpretasi terhadap kisah2 semacam ini. Salah satu sumbangan dari artikel ini adalah keberanian melakukan desakralisasi terhadap kekristenan, yang oleh banyak orang dianggap tidak pernah salah. Padahal, seperti budaya, agama juga adalah konstruksi manusia, termasuk budaya minahasa dan agama kristen. Maka, adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi, jika kemudian nilai2 atau dogma2 agama Kristen pernah bersentuhan atau bahkan dipakai sebagai alat legitimiasi kolonialisme. Saya melihat keberanian ibu Ruth mengkritik ideologi dan kekristenan Barat sama dengan keberanian dokter Bert Supit mengkritik kebobrokan NKRI. Keduanya berhasil membongkar mitos2 yang selama ini mengkerangkeng kesadaran manusia2 Minahasa. Namun yang satu pada manusia2 Minaahsa yang Kristen, sementara yang lain, manusia2 minahasa yang menghargamatikan NKRI. Dua keberanian ini kalau berdialog secara setara maka akan lahir sebuah kekuatan besar. Sayang, kita masih terjebak pada eksklusifisme dan terpatron. 5. Artikel ini, menurut saya menggugah dan mencerahkan kembali kesadaran kita mengenai siapa kita sesungguhnya. Ini akhirnya bicara identitas atau jati diri. (di soal ini kita sebenarnya ketinggalan dengan orang Papua. Orang Papua sudah 'berperang' untuk melawan identitas dan hak2 mereka yang diinjak-injak, kita justru baru sampai di mempolemikkan persoalan bangunan indetitas itu). Pertanyaannya, "Tou Minahasa itu, apakah identitasnya adalah konstruksi kolonial, kekristenan, atau sebuah identitas hibrid, buah dari perjalanannya dalam sejarah dan perjumpaannya dengan persoalan, nilai budaya yang lain, atau dalam bahasa lain, hasil dialektikannya dengan zaman?" Itu dulu komentar saya, denni
Tanggapan 75: Nina N – 25/10/2010 Hello Pak Bert, Thanks for the message, I'll make a response asap after my work get done. It's a challenging issue indeed! Have a great monday to all! Kind rgrds, Nina
Tanggapan 76: Matulandi S – 25/10/2010 Tabea, Pendapat saya atas tulisan Zus Ruth adalah suatu upaya untuk memahami siapa Tou Minahasa sebelum terkontaminasi dengan budaya asing, untuk memudahkan memilah mana yang genuine atau imitasi sebagai dasar merumuskan strategi Minahasa kedepan. Setidaknya Zus Ruth sudah memulai dan berani mengungkap
31 siapa Tou Minahasa pra-kolonial dari cara pandangnya, sekaligus memotivasi Tou Minahasa lainnya untuk mengungkap secara terbuka kisah Minahasa yang lain di forum ini. Kejujuran untuk mengungkap sesuatu adalah awal yang utama bagi kemajuan. Makapulu sama’….. PwP, Matulandi Supit.-
Tanggapan 77: Hendrikus D – 25/10/2010 Setuju bung Matulandi
Tanggapan 78: Nina N – 25/10/2010 Tabea all, Pak Bert, Thanks for your thought sharing on the article written by Bu Ruth. Also thanks to Bu Ruth yang so berbagi pandangan tentang figur Pingkan. Kalo saya lihat dari judul tulisan menggambarkan suatu upaya untuk memahami dan mengenal sumbangan Kisah Pingkan ini dalam usaha menggali jati diri seorang Minahasa. Dan saya kira sangat jelas ibu Ruth memakai pisau analisa feminis untuk mengkaji kisah Pingkan tersebut. Saya kira sah-sah saja memakai pisau analisa feminis walau memang alat analisa feminis sering dipersoalkan oleh banyak pihak. Spirit dasar analisa feminis adalah untuk membongkar aspek-aspek kultural termasuk ideologi yang tidak membebaskan /memerdekakan kaum perempuan sebagai human being / tou / God's Image yang sesungguhnya diciptakan setara dengan kaum laki-laki. Kalau saja kita mau jujur betapa sejarah peradaban manusia itu selama ini dikuasai dan ditulis hanya oleh kaum laki-laki, maka ketika kaum perempuan berniat untuk bangkit menuliskan pengalamannya, sejarah hidupnya, sejarah perjuangannya, maka mestinya upaya ini perlu disambut sebagai bagian dari kesadaran manusia itu untuk menata sejarah peradaban manusia agar lebih baik dan adil. Namun memang saya melihat ada suatu lompatan yang terjadi dalam melakukan refleksi kritis atas kehidupan si Pingkan yakni bagaimana social location si Pingkan yang kemudian tiba-tiba dihubungkan dengan konteks lokasi sosial dari pengaruh kehadiran era kolonial zaman Belanda hingga era modern dengan munculnya ideologi neoliberal, kapitalisme, dsb ? bagaimana kedua konteks sosial itu berpengaruh pada jati diri si Pingkan ? Sepertinya ini masih belum begitu jelas. Adakah kehidupan Pingkan itu sungguh-sungguh dipengaruhi oleh ideologi-ideologi neoliberal, kapitalisme dsb yang muncul pada zaman modernisme ? ini perlu ada penelusuran yang jelas. However saya masih bertanya-tanya: apakah cerita Pingkan ini merupakan kisah nyata pada suatu masa tertentu atau hanya merupakan cerita rakyat yang dihidupkan untuk memaknai suatu jati diri komunitas atau entitas orang Minahasa ? Barangkali penggunaan term "barat" memang tampaknya problematik karna sebenarnya term itu masih sangat general dan bahkan bisa ambigu. Pada satu sisi, Ibu Ruth menilai pengaruh Barat itu sebagai berciri negatif terhadap keberadaan jati diri seorang perempuan Minahasa, namun pada sisi lain sebenarnya teori-teori feminis itu kalau jujur juga merupakan bagian dari sumbangan 'Barat' dari segi keilmuan sehingga tidaklah fair untuk tiba pada konklusi bahwa 'Barat' is all negative thing. Saya tidak hendak menilai bahwa feminisme itu semata-mata barang
32 ciptaan 'barat' karna pada kenyataan bahwa filososfi kehidupan masyarakat di dunia timur jauh sebelum teori-teori feminis ditemukan dan berkembang di dunia barat, sebenarnya esensi perjuangan feminis itu sudah menjadi suatu realitas bagi masyarakat di dunia timur, dapat dilihat misalnya melalui cerita-cerita Toar Lumimuut. Tapi kemudian karna perkembangan sejarah peradaban manusia yang didominasi oleh budaya patriarkhis yang dibawa ke dunia timur melalui kendaraan agama dan para misionaris, maka mulailah terjadi pergeseran simbol-simbol identitas itu pada simbol-simbol maskulin dan berlangsunglah pergulatan kuasa (power struggle) antara perspektif maskulin yang lebih sering digeneralisir sebagai ciri kaum laki-laki, kaum superior dan perspektif feminin yang didefinisikan sebagai ciri kaum perempuan, kaum inferior dan marginalized. Pergulatan kuasa itu juga berlangsung dalam dunia teologi dimana semua pemakaian kata-kata dalam Alkitab sering disimbolkan dengan bahasabahasa maskulin yang dinilai lebih powerful ketimbang bahasa simbol feminin. Soal perspektif feminis dalam lingkungan WCC, saya kira sudah terjadi transformasi perlahan-lahan dalam lingkungan gereja pak Bert. Malah sekarang WCC sudah mengembangkan yang namanya membaca Alkitab dengan mata baru yakni menggunakan perspektif perempuan. Bahkan dikalangan gereja Ortodoks sudah muncul banyak kaum feminis demikian pula dilingkungan gereja Katolik. Salah satu agenda perjuangan kaum feminis dalam lingkungan gereja adalah bagaimana gereja-gereja baik dalam Ortodoks, protestan dan KAtolik dapat menerima penahbisan imam atau pendeta perempuan yang di banyak lingkungan gereja masih sulit terealisir. Kalo di GMIM, it's no longer an issue because GMIM has now more than 60 percent female ordained pastor or ministers. Yet, what's the impact GMIM has brought by having such big female minister and pastors into the life of the church and society ? i'm still wondering ....... ok, mungkin bagitu jo dulu stou. Salam, Nina
Tanggapan 79: Nina N – 25/10/2010 Den, makase atas sharing tanggapannya. Barngkali selain desakralisasi, tulisan bu ruth juga bisa menggambarkan suatu upaya demitologisasi atas kisah pingkan, Artinya cerita itu tidak mesti semata-mata diterima sbg mitos namun ada suatu pemaknaan baru yang hendak disampaikan kepada publik minahasa tentang sosok pingkan sbg wewene minahasa. Tapi sayang kita kurang melihat uraian tentang refleksi atas sikap dan tindakan pingkan selain kisah bahwa pingkan itu ternyata berani menolak menjadi istri raja Bolaangmongondow. Pertanyaan reflektif: Kenapa pingkan berani menolak permintaan sang raja? Moralitas apa yg ada di benak pingkan sehingga menolak tawaran sang raja ? Apakah semata2 cinta sejati pada kekasihnya matindas, atau karna paham/ kesadarannya ttg monogami (bersuami tdk lebih dari satu), kesadaran tidak materialistik atau menjadi silau dengan privilege sbg istri seorang raja, atau faktor apa ?
33 Di sisi lain kenapa pingkan berani memilih strategi membunuh sang raja ? Benarkah tindakan ini cerminan dari kepintaran si pingkan karna sikap konsekuen atas pilihan hidupnya utk tetap bersuamikan matindas, atau kecerdasannya utk bisa survive dengan orang yg dicintainya ??? Meski untuk itu pingkan lantas memilih jalan kekerasan utk menghabisi nyawa sang raja ??? Saya sangat tertarik untuk melihat makna cerita pingkan dalam konteks keberaniannya untuk mengambil sikap atau pilihan tindakan sekaligus risiko dari tindakannya itu. Saya kira itu refleksi jiwa seorang pemimpin. Mudah2an jo wewene skarang juga punya keberanian yang sama dalam mengambil pilihan sikap atau tindakan berdasarkan kebebasan/kemerdekaan berpikir yg dimilikinya bukan karna dikte atau paksaan dari manapun yg justru memerangkap dirinya dalam penjara yg tidak memerdekakan dirinya. Pengalaman pingkan kiranya dapat mengajar para wewene minahasa untuk menjadi persona-persona yang merdeka dalam bersikap dan bertindak! Dan saya kira dalam banyak hal perempuan minahasa memang relatif tidak ada kesulitan utk menikmati kemerdekaan tsb dibandingkan perempuan dari sub etnis lain di negeri ini Fakta banyaknya pendeta perempuan dapat menjadi bukti betapa wewene minahasa itu free to be who they are or who they wanna be ??? Salam, Nina
Tanggapan 80: Ronny A – 25/10/2010 Tabea samua, Sepertinya ada rame2 di milis kang? Tulisan Zus Ruth rupanya sedang menggegerkan masyarakat milis. Ini karena perspektif yang digunakan adalah perspektif feminis, yang bagi banyak orang masih merupakan "barang aneh". Tanpa mengerti perspektif ini maka kita sulit untuk mengerti makna tulisan tentang mitologi Pingkan-Matindas tersebut. Saya sendiri kurang paham dengan perspektif ini, tapi tidak berarti saya menentangnya. Yang saya tahu bahwa perspektif ini termasuk dalam paradigma teori kritis, yang secara tajam menyorot masalah ketidakadilan di masyarakat manapun di dunia ini. Karl Marx, antara lain, sudah menjelaskan tentang masalah ketidakadilan yang ada dalam masyarakat moderen, di mana selalu saja ada segelintir manusia (pemodal/kaya/pandai) yang selalu mendominasi mayoritas (pekerja/miskin/bodoh). Anehnya, kelas yang mayoritas ini kurang menyadari ketimpangan ini karena agama cenderung menetralisirnya. Karena itu bagi Marx, agama adalah opium, yang cenderung meninabobokan masyarakat dalam ketidakadilan dunia ini. Agama menghambat kesadaran kelas sehingga dunia ini dianggap oleh semua masyarakat sebagai dunia yang normal2 saja, adil2 saja, tidak ada ketimpangan yang hakiki, tidak ada penjajahan yang keji. Secara umum, teori2 ilmu sosial (antropologi/sosiologi) yang mainstream (yang tidak termasuk dalam paradigma teori kritis) memang tidak mampu menangkap "roh ketidakadilan" ini. Salah satu sumber teori dari perspektif feminis (yang sesungguhnya mempunyai banyak aliran) adalah pemikiran Marx tentang ketidakadilan itu, yang kemudian diterapkan dalam konteks hubungan ketidakadilan gender. Kalau kita mau jujur, sebetulnya dunia ini memang tidak adil untuk perempuan. Terlalu banyak aturan yang mengekang kaum perempuan, dan pada saat yang sama tidak diterapkan bagi kaum laki2. Kejahatanpun lebih banyak dilakukan oleh laki2 terhadap perempuan, seperti perkosaan, pelecehan, pemukulan, dst. Singkat kata, dunia ini
34 dikonstruksikan oleh dan untuk kaum laki2, yaitu apa yang disebut dunia patriarkis. Dan ajaran agama2 besarpun ditafsirkan untuk mengesahkan ketimpangan gender ini. Padahal tidak ada satu ajaran agama pun yang secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan adalah mahluk nomor dua, setelah laki2. Tetapi praktik sosialnya seperti itu karena ideologi patriarkis sudah kepalang tertanam dalam budaya dan jiwa masyarakat. Jadi orientasi perspektif feminis adalah membongkar akar2 budaya dan ideologi patriarkis yang ada dalam masyarakat, baik di masa kini maupun lampau. Jika kaum perempuan di Minahasa pernah menduduki posisi pemimpin, mengapa tidak pada masa kini? Meskipun kaum perempuan di Minahasa sekarang ini dianggap realtif lebih baik daripada rekan2nya di daerah lain, tetapi pelecehan (fisik maupun nonfisik) terhadap perempuan masih terus terjadi di mana2, bahkan di dunia Barat sekalipun. Ini karena ideologi patriarkis sudah "mendarahdaging" dalam budaya dan sejarah masyarakat manapun. Dalam tinjauan saya, tujuan Zus Ruth adalah mengangkat kasus khusus perempuan Minahasa (yang jarang terjadi di tempat lain) dengan mengidentifikasikan elemen2 dari konstruksi patriarkis dalam mitologi Pingkan-Matindas, dan mempertanyakan diskontinuitasnya dengan masa kini. Ini tantangan buat kita semua...... Karena perspektif feminis adalah bagian dari teori kritis, maka pandangan Zus Ruth tentang kolonialisme dan Kristenisasi pun bersifat kritis. Dari sono-nya, kolonialisme itu selalu bermotif kejahatan !!! Karena tujuannya adalah penguasaan material atas apa yang bukan haknya. Kristenisasipun selalu membawa bias2 budaya Barat, yang nota bene adalah produk manusia dalam "roh ketidakadilan" masyarakat. Apakah dunia Barat itu pasti "lebih baik dan benar" dari dunia Timur? Jika kita gagal menjawab pertanyaan ini, berarti "roh ketidakadilan" itu sudah menjadi mind-set kita. Simpulan saya, tulisan Zus Ruth tentu saja perlu dikritisi karena masih banyak "benang kusut"nya. Tetapi ini adalah pendekatan ilmiah dengan perspektif feminis. Sah2 saja kita menolak suatu perspektif, itu hak kita, tetapi menilai "sesat" suatu perspektif ilmiah adalah sikap yang berlebihan......"lebai", kata orang sablah aer...... Peace, RA
Tanggapan 81: Nina N – 25/10/2010 Halo Pak Ronny, saya agak kurang setuju ketika dikatakan bahwa sumber dari perspektif feminis adalah dari pemikiran Marx tentang ketidakadilan atau penindasan (oppression). Memang betul bahwa perspektif feminis itu hampir mirip dengan perjuangan Marx untuk menentang sistim ketidakadilan dan opresi, namun bedanya dalam konteks Teori Feminis yang dikritik adalah ketidakadilan berbasis gender sedangkan dalam teori Marx adalah ketidakadilan berbasis kelas ekonomi. Dan ternyata, bahwa ketidakadilan berbasis gender itu tidak semata-mata berbicara tentang penindasan oleh dunia laki-laki terhadap dunia perempuan, tetapi perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa ketidakadilan berbasis gender itu dapat juga terjadi dalam situasi penindasan antar sesama perempuan atau bahkan penindasan dari dunia perempuan terhadap dunia laki-laki (seperti kasus penindasan the white woman to black men dalam konteks perbudakan/slavery ). karakter ketidakadilan dan penindasan berbasis gender itu sangat kompleks dan multi layered. Belum semua orang sanggup untuk menyimpulkan bahwa dunia ini belum memberikan rasa keadilan yang sepenuhnya kepada perempuan sebagaimana yang Pak Ronny sudah jujur kemukakan dalam komentar dibawah. Salute! Teori Feminis saya setuju merupakan bagian dari teori kritis.
35 dan karena berciri pemikiran kritis maka tidak heran pandangan-pandangan yang dikemukakan banyak menampilkan aspek daya kritis terhadap konsep-konsep pemahaman yang sering sudah dianggap taken for granted oleh publik termasuk konsep-konsep pemahaman ideologis dari agama. Sebagai contoh, orang Kristen memandang secara alamiah bahwa TUHAN ALLAH hanya berhak disapa sebagai BAPA. Sulit terpikirkan bahwa ALLAH itu juga memiliki ciri-ciri bagaikan seorang IBU yang mengandung dalam rahim-NYA, menyusui dan menggendong umat-NYA dengan penuh kasih sayang. Penggambaran Allah sebagai IBU adalah bentuk kontribusi teologi feminis yang dewasa ini masih sulit diterima oleh gereja pada umumnya oleh karena gereja masih begitu kuat dipengaruhi oleh kultur PATRIARKHIS yang mengutamakan norm maskulin/pater/laki-laki sebagai norma yang berlaku mutlak dalam gereja dan masyarakat. Selama beberapa dekade lamanya kultur Patriarkhis-lah yang menjadi sumber analisa kaum feminis tentang ketidakadilan berbasis gender. Namun perkembangan dunia keilmuan, telah menunjukkan bahwa disamping budaya Patriarkhi ada budaya KURIARKHI yang sesungguhnya menjadi biang kerok praktik ketidakadilan dan penindasan berbasis gender pula. Elizabeth Schussler Fiorenza, teolog perempuan Katolik yang mengembangkan teori ini. Pada intinya pola pemikiran sebagai KURIOS ( sebagai tuan/master ), kata dasar dari KURIARKHI inilah yang berpengaruh terhadap munculnya praktik ketidakadilan dan penindasan berbasis gender. Posisi selaku "Kurios" ini tidak hanya berlaku bagi kaum laki-laki tetapi realitas sekarang juga menunjuk kepada kaum perempuan. Selagi manusia itu terus memelihara pola berpikir sebagai 'tuan' yang menempatkan dirinya sebagai subyek dengan kuasa mutlak dan orang-orang disekitarnya semata-mata sebagai obyek yang kepadanya kekuasaan selaku tuan itu dia jalankan maka disanalah ketidakadilan itu muncul. Artinya mulai muncul relasi antar manusia sebagai subyek dan manusia yang dijadikan obyek. Kritik kaum feminis adalah ketika kaum perempuan itu lebih sering ditempatkan pada posisi sebagai obyek yang tidak memiliki kuasa apa pun untuk mengambil keputusan atas dirinya. Nah, dalam konteks inilah perjuangan kaum feminis adalah untuk mengembalikan fungsi eksistensi kaum perempuan itu sebagai subyek bukan sebagai obyek yang dinilai harus dikontrol dan dikendalikan. Realitas dunia sekarang tak bisa dipungkiri masih sarat dengan praktik-praktik yang menempatkan perempuan itu sebagai obyek, diantaranya dapat kita lihat pada fenomena-fenomena kehidupan seperti: - human trafficking - domestic workers (TKW) - pornografi & pornoaksi yang mengeksploitasi tubuh perempuan - genital mutilation, dll. Karena itu, saya kira tulisan Bu Ruth yang mengangkat kisah hidup Pingkan ini bukan semata-mata sebuah mitos (Demitologisasi) saya kira sungguh luar biasa walaupun memang di sana sini tampak ada lompatan-lompatan pemaknaan yang terkesan simplistik (misalnya menganalogkan kekuasaan Raja Mogogunoy/Bolaangmongondow simply sebagai wakil dari kekuasaan yang berciri opresif sebagaimana yang ditampilkan oleh kekuasaan neoliberal-kapitalismeORBA. saya kira ini menunjukkan lompatan pemaknaan yang cenderung simplistis yang memang memerlukan pengujian secara hati-hati). aduh so talalu panjang ni dia. sorry. salam, Nina
Tanggapan 81: Ronny A – 25/10/2010 Halo juga Nina, Betul, bahwa Marx hanyalah salah satu sumber teori/inspirasi perjuangan feminis. Karena feminis itu sendiri terdiri dari banyak aliran: liberal, struktural, marxis, dst. Tapi yang pasti Marx adalah penyumbang utama paradigma teori kritis.
36 Mengenai teori Kuriarkhi, saya pikir itu yang harus kita (sebagai kelompok sosial dengan label bangsa, suku, atau umat) sadari betul sebagai sesuatu yang "inheren" dalam diri kita/masyarakat, dan karena itu harus selalu dapat dikontrol. Karena dalam perspektif antropologi politik, kekuasaan itu justru melanggengkan struktur ketidakadilan/penindasan model atasan-bawahan, tuan-hamba, subjek-objek. Artinya, dari sono-nya, masyarakat dan budaya itu cenderung bersikap tidakadil atas sesama manusia. Salam Bae, RA
Tanggapan 82: Hendrikus D – 25/10/2010 Shalom om Bert... Apa yang om Bert tandai sebagai keberatan, menurut kita, susi Ruth sekedar memberi kontras komparatif, bahwa sejak masuknya kolonialisme telah terjadi semacam apa yg disebut penundukan Budaya. Hal ini mungkin saja terjadi, krn sifat tou Minahasa yang sangat terbuka terhadap hal yang baru; yg menurutnya lebih baik dari yg dimilikinya. Jadi jika ada kesan bhw susi Ruth seolah agak apriori Budaya Barat, menurut kita tdk demikian. Apa yang dilakukannya semata mengingatkan fakta pengaruh negatif budaya Barat yg telah menaklukan local wisdom yg menempatkan Perempuan sebagai mitra sejajar Saya kira semua kita setuju bhw Injil telah membawa banyak kebaikan dan kemajuan bagi Minahasa, ttp tidak boleh juga kita menutup mata akan adanya muatan budaya yg dikritiknya itu. Cuma yang agak ada lompatan ketika tiba2 skrng ini peran wanita menguat... Ini yg perlu dicermati... Apakah secara subtantif, atau sekedar euforia? Buktinya pelecehan dan persepsi minor kaum macho masih kuat... Hehehe, om Bert saja agak terganggu... Takira sah saja memberi muatan - baik maskulin maupun feminim - pada diri Allah. Apalagi kalau kita mengacu bahwa selain manusia telah diciptakan OLEH DIA dan UNTUK DIA, juga diciptakan DALAM DIA. artinya, kemanusia manusia laki2 maupun Perempuan referensinya adalah Yesus sebagai patron. Dalam bahasa Kejadian, Gambar dan Rupa Allah. Dalam konteks Ind, ungkapan Feminitas alam dari bumi jg sangat familiar, spt Ibu Pertiwi. Tanah air dan tumpah darahku (artinya, tempat air ketuban dan darah ariku ditumpakan). Jadi kemitraan yg sejajar, tdk perlu menyinggung kelakian kita. Bahwa ada kesan pengaruh Feminisme liberal yg terlalu menggugat maskulinitas/kebanggaan kaum Macho, ya krn pisau yg dipakai utk membedah adalah apa yg bung Aruben katakan sebagai Radikalisme yang revolusioner dari Marxisme, seperti halnya teologi pembebesan Gustavo. Untk hal ini tuntutan pengakuan akan Feminitas telah berubah menjadi Feminisme yang radikal dg obsesi berlebihan ingin menjadi apa yang ada pada laki2. Kalau ini komang, hasilnya perempuan yg kelaki-lakian...hehehe... Lanjut
Tanggapan 83: Nofelinelidia – 25/10/2010 TABEA SAMUA,
kita ingin mo kase komentar di bagian2 yg di pertanyakan oleh oom bert supit,hanya maaf oom bert kita pe pendekatan mungkin nyanda
37
ilmiah....hehhehehehehehehhe.....mar paling tidak so ni dia kita pe argumen. .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....! Tanggapan 84: Kakas (Harry Rombot) – 26/10/2010 bung Adolf, mengetahui soal ajaran sesat nda usah nyelimet skali doe deng cukup uji dengan kuasa hikmat Tuhan melalui iman torang sendiri. jadi hubungan garis fertical danhorizontal dalam kasih itulah yg dapat mencerminkan kehidupan orang percaya dan yakinlah dengan menggunakan sumber kebenaran firman Tuhan dan Doa semua kuasa sesat itu yg datang dari kuas kegelapan akan musnah deh!!! Jadi teori manusia sifatnya terbatas dan kadangkala dipengaruhi oleh sifat keduniawian dan makanya jangan salah ada gereja2 yg disebut sesat karena dalam peribadahannya tidak lagi mengutamakan atau mensentralkan Chirst tapi mereka lakukan dengan blood snake sebagai simblo. Jadi kesesatan itu dapat dilawan dengan back to byble and pray. salam, HR
Tanggapan 85: Ruth Wangkai – 26/10/2010 Tabea MRNC Perkenankanlah saya memberikan beberapa catatan terhadap respon-respon yang masuk berkenaan dengan artikel yang saya posting beberapa hari lalu Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa dalam Sosok Pingkan. 1. Pertama-tama, terima kasih banyak atas respos terhadap artikel ini, entah itu berupa kritik tajam yang disampaikan oleh dokter Supit atau pun penghargaan terhadap pemikiran dan pendekatan feminis yang dikembangkan dalam tulisan ini serta catatan-catatan koreksi lainnya. Sebenarnya dalam dunia akademis dan di kalangan sarjana, pemikiran dan juga metodologi yang saya gunakan bukanlah hal yang baru dan asing. Cuma memang menjadi agak kontroversial ketika artikel ini menjadi konsumsi kalangan publik, walaupun sebetulnya tak terlalu menggegerkan kalau tidak muncul rekasi yang berlebihan. 2. Jujur bahwa tak ada satu pun respon yang masuk dalam milis ini, yang saya abaikan karena itu semua telah memperkaya melengkapi pengkajian saya dalam upaya menemukan konsep “DIRI IDEAL” dari TOU Minahsa kini dan di sini. Memang usaha ini tak mudah karena, selain manusia itu adalah subyek yang dinamis, juga kerja metodologis yang saya gunakan ini beresiko sebab akan bersentuhan dan malah berbenturan langsung (mau atau tak mau) dengan ideologi serta nilai-nilai yang telah membentuk konsep DIRI TOU Minahasa selama ini sebagai sesuatu yang “taken for granted” dan bahkan telah dianggap “sakral” dan “keramat”. Padahal apa yang telah dianggap sakral dan keramat itu tak lain adalah produk dari sebuah proses dialektika sejarah yang panjang dan konstruksi sosiopolitis-kultural, dalam mana TOU Minahasa itu hidup, berinteraksi dan berpenetrasi. Tapi, bagi saya, tak ada alternatif lain, jika TOU Minahasa mau tetap survived, tapi juga mau maju dan berkembang menjadi bangsa yang bermartabat dan humanis, selain keberanian membongkar yang sakral dan keramat itu dan kemudian merekonstruksikan dalam konteks kekinian agar supaya tak hanyut, tapi juga tak tertinggal oleh arus zaman. Sejak awal saya sadar sekali, benturan ini pasti terjadi, bukan saja karena gap antar generasi dan perbedaan pola pikir (perspektif) serta disiplin ilmu, tapi juga mungkin karena kepentingan dan visi yang berbeda.
38 3. Memilah-milah pernyataan-pernyataan tertentu dari karangan ini, mana yang disukai dan mana yang tidak, tidak hanya melepaskannya dari maksud penulisan ini secara keseluruhan yakni deskralisasi dan demitologisasi, tapi juga mencabutnya dari komitmen perjuangan bersama menjadikan TOU Minahasa sebagai individu-individu yang merdeka (dalam berpikir pun bertindak), independen dan mandiri (secara politis pun ekonomis) serta setara satu sama lain, tanpa pembedaan status sosial, etnis, agama pun jender. Dan ini, bagi saya dapat diperjuangkan, jika ada keberanian untuk melakukan desakralisasi dan demitologisasi ideologi-ideologi apa pun yang membelenggu kita tak terkecuali ideologi politis, kultural pun agama. Tanpa ini, apa pun usaha dan perjuangan kita hanyalah wacana dan slogan kosong belaka. Karena itu ”menduga” tulisan ini sebagai ekspresi pemikiran dari ”beban-beban traumatis” serta menganggap ”menyerang seenaknya” para suami dan menilai pribadi saya ”anti laki-laki” – bagi saya sendiri ini adalah ekspresi kekuatiran yang berlebihan dan tak berdasar. Apalagi meminta saya untuk menuliskannya kembali, itu malah akan kian memasung kebebasan berpikir dan berekspresi kaum perempuan. Sebab, bila ini saya lakukan sama halnya dengan mengkhianati sendiri nilai-nilai luhur Minahasa (yang sejatinya sejalan dengan nilai-nilai Kristiani), yang sejak dahulu kala menghargai kesetaraan laki-laki dan perempuan serta kebebasan individual dalam mengaktualisasikan dirinya dan sekaligus menekankan kebersamaan dalam mewujudkan kepedulian dan tanggung jawab komunal. But anyway, terlepas dari respon di atas sebagai pertanggung-jawaban terhadap karangan yang saya tulis, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih kepada dokter Supit, yang karena kritiknya juga, tulisan saya ini telah menarik perhatian khusus dan menjadi topik hangat dan ramai kembali didiskusikan kemarin hari di milis ini. Selanjutnya terima kasih banyak kepada rekan-rekan milis lain, yang telah membagi pemikiran dan gagasan kritis, progresif dan juga kontributif bagi upaya bersama membangun dan memajukan torang pe Minahasa kini dan ke depan. Melalui diskusi ini, saya temukan bahwa bukan saja perempuan melainkan juga sudah banyak laki-laki Minahasa telah tercerahkan dan menjadi bagian dari gerakan feminis. Semoga gerakan ini menjadi gerakan bersama merajut jatidiri TOU Minahasa yang bermartabat dan berakar dalam keminahasaanya dalam proses yang dialektis dengan budaya dan dunia di sekitarnya. Peace and blessings, Rut
Tanggapan 86: Frank T – 26/10/2010 Hello rekan2 salam Minahasa, Kita hingga sekarang belum tau yang mana tu sesat dan mana yang tersesat. Kalau ada rekan2 lain yang sesat dalam perjalanan pulang kerumahnya karena ada perobahan rambu2 lalu lintas, sementara rekan lainnya tersesat dihutan belantara karena kondisi alam sekitarnya, sehingga dia sulit mencari sungai sebagai patokan arah ke hilir. Istilah ini yang torang perlu mendifinisikan. Karena kata TER- mengartikan dia tidak sengaja. Sementara kata SESAT karena terpengaruh pada lingkungannya. Frank
Tanggapan 87: Ferdinand P – 27/10/2010 haloo MRNC,Terlepas torang pe baku tadah(kita pe istilah)tapi ini namanya saling menajamkan(besi menajamkan besi).Seperti kita bilang kemarin kepada
39 salah satu anggota milis ini,di milis samua orang sama dan dari berbagai latar belakang yang sedang hidup di berbagai pelosok dunia.Sehingga dengan demikian akan banyak hal yang akan kita dapatkan.Oleh karena itu jangan bapikir dan pake perasaan ukuran sandiri atau ukuran setempat,sebagai contoh,musti piara halus kong cuma mau hidop deng orang halus dikalangan sendiri.Begitu juga di milis bebas bajual dan bebas beli sesuai harga ,selera dan mutuh(beda dengan buletin).Karena kalau ngak ada benturan pemikiran kita kira lama2 jadi tumpul itu bapikir.Jadi kalau ada yang emosi dalam berdebat disini ngak usah dipikirin didraatisir songak halus,deng bilang musti baku sayang,atau anggap saja mereka terlalu bersemangat dan yang nonton tambah seruh.Kalau perlu angka juri yang so berpengalaman di ring gaya bebas.Kita usul jago2 tua a.l.Harry K,Frank T,Ronny Aruben.Ronny Pinontoaan,Ruth,dan Niana tukang lempar handuk putih.Dan Pdt.Jedida.dr.Bert dewan juri. Sehubungan dengan maksud tersebut diatas,kemarin saya usul ke Hadimpudus,kalau bisa bahan2 diskusi acara kebudayaan Kawanua July tahun depan makalah diposting di Milis ini(alasannya saya sudah posting).Kalau makalah dr.Bert Supit samua torang so tau arah pemikirannya,dan sudah teruji dilapangan dalam hal ini so dikritik sampai babak belur di diskusi darat maupun di milis.Makalah Theo T.memang sudah dikritik di milis ini dan cukup seru.tapi belum tuntas dan harus dilanjutkan.Karena isinya menurut pendapat saya lebih banyak pengalaman politik praktis yang pada waktu itu dan sampai sekarang masih berbau kepentingan sesaat oleh penguasa yang nafsu mengatur dan membatasi kebebasan berpikir,ketakutan rakyatnya bergaul di dunia global./mengisolasi rakyat dalam pergaulan global.Sama dengan Ruth mendengungkan terus bangsa dan negara maju adalah;"neo liberal,imperialisme,kapitalisme,kolonialisme,dsbnya. Saya tau banyak Profesor,S3,Doktor,Phd,petinggi,ahli,dsbnya anggota di milis ini,tapi cuma ngumpet,ngak mau nongol,ngak bicara,dsbnya.Saya pernah ajak beberapa petinggi,ahli,S3,tapi dorang bilang kataaa...,cuma buang2 waktu dan dimilis ini ngak berbobot alias ngak level.Kita pe dalam hati mungkin stou tako kena stot bale, kong muka bangka apalagi ciri gigi.Dan juga kita pikir kalau cuma kase ceramah,khotbah,kuliah takira ngak ada sparing partner yang seimbang,lama2 karena ngak ada benturan pemikiran jadi tumpul alias ngak bisa di pake lagi.
Tanggapan 88: Frank T – 27/10/2010
Hello bung Ferdy, Sangat mendukung tulisan bung ini. Mantap boss!.... Tanggapan 89: Audy Wuisang – 27/10/2010 Tabea, Tulisan Ibu Ruth mengingatkan saya atas tulisan Dr. Choan Seng Song, sebuah buku tipis menarik berjudul "The Tears of Lady Meng". Kalo nyanda salah, judulnya begitu. Sebuah cerita yang sangat menarik, karena dibawakan dalam bentuk Teologi Narasi atau Teologi Cerita, Teologi Bercerita dengan menggali kekayaan cerita rakyat (Folklore) dan kemudian mengurainya guna menemukan "mutiara" dibalik "sekedar cerita" itu. Hebatnya, Choan Seng Song,
40 yang juga sempat menulis buku yang hebat" Ceritakanlah Nama-Nama Kami" ..... menulis dengan ringan, santai dan membuat orang terbelalak. Karena cerita rakyat, memang banyakmenyimpan mutiara, yang oleh ibu Ruth disebutnya "Definisi Nilai-Nilai Moral" serta bahkan "definisi siapa Orang Minahasa" itu. Jangan lupa, konstruksi sejarah Barat, salah satunya berhutang pada kajian akademis sejenis ini sebelum diterima dan disepakati bersama baik secara akademis maupun secara politis. Dengan kata lain, upaya konstruksi akademis seputar NILAI dan MORAL serta DIGNITY KEMINAHASAAN oleh Ibu Ruth, selayaknya kita ACUNGI JEMPOL. Saya seperti sedang membaca buku The Tears of Lady Meng dalam kontkes Minahasa. Meskipun, Ibu Ruth, konstruksi dalam kisah Pingkan, memang masih sangat elementer dan itupun nampak Ibu Ruth masih perlu mengembangkannya lebih komprehensif. Tapi, bagi saya, upaya akademis ini memiliki signifikansi yang sangat penting bagi kerja akademis berbasis budaya Minahasa. Saya ingin berkata BRAVO dan SALUT. Karena itu, saya kira yang mesti dilakukan adalah mengkaji tulisan atau artikel ini secara AKADEMIS pula. Meskipun, saya tidak berpretensi untuk mengatakan kajian atau kritisi yang lain bukannya tidak bercorak akademis. Tetapi, bagi saya, upaya akademis akan menjadi semakin kaya jika dialektika (tesis - antitesis) secara proporsional dilakukan. Sebagai misal, beberapa kritik atau beberapa uraian konstruktif Ibu Ruth, bisa saja disanggah. Beberapa kali, sebagai contoh, Dr. Supit menuduh konstruksi kajian Ibu Ruth adalah TEOLOGI FEMINIS, tanpa Dr. Supit menegaskan apakah itu Teologi Feminis Radikal yang lahir di haribaan akademis tahun 1960-1970an ataukah Teologi Feminis lainnya yang juga lahir dan tumbuh subur bersama Gereja mainstream (WCC-CCA-PGI) dan diterima sebagai bagian pergumulan iman Gerejawi. Menemukan DIRI IDEAL Tou Minahasa, bagi saya, tidak hanya atau bukan hanya dengan melakukan "dekonstruksi" dan kemudian "konstruksi" maknawi atas cerita Pingkan. Bahkan, beberapa upaya menarik Teolog SULUT semisal RAD Siwu, Dr. Saruan, juga Dave Tulaar ketika membahas OPOISM, adalah bagian dari upaya ini. Meskipun, nampaknya dari artikel Ibu Ruth, coba digagas bahwa PEREMPUAN MINAHASA sebetulnya "paripurna", "egaliter" dari awalnya. Sementara, bagi saya, Tesis ini masih harus dibuktikan. Karena rata-rata budaya Timur meletakkan Perempuan menjadi sub ordinasi laki-laki. Dari mana asalnya egalitariansm Minahasa dalam hubungan Laki-laki dan Perempuan? dan apakah ini menjadi petunjuk awal egalitarianism Minahasa? Apakah kita harus juga mengkaji tokoh Karema, Lumimuut dalam konteks ini? Karena ingat, kedua tokoh utama mitologi Minahasa ini justru melambangkan "kepemimpinan ultim" di Minahasa. Dan ketika mengangkat dan menempatkan perempuan sebagai imam dan awal komunitas Minahasa, maka keutamaan perempuan Minahasa memang sudah ada sejak rumusan mitologinya. Atau dengan kata lain, sejak awal mula, Perempuan Minahasa memang memperoleh tempat yang "nyaman" atau bahkan "previlege" dalam hubungannya dengan lakilaki dalam konstruksi masyarakat Minahasa. Dimana kemudian reduksinya terjadi? Dalam cerita Pingkan? ataukah kedatangan Kekristenan? ataukah dalam interaksinya dengan suku lain yang sangat patrimonial ataupun patriarkhal? Meski saya juga menganut pemahaman bahwa ada unsur Christianity yang bertanggungjawab atas destruksi budaya lokal Minahasa, tetapi interaksi budayanya yang harus ditelanjangi terlebih dahulu. Dan bukan menuding christianity dan melemparkan semua dosa dan kebusukan atasnya. (Dave Tulaar pernah menulis mengenai strategi budaya di milis ini atau
41 milis lain yang sangat menarik). Selebihnya kemudian, ada di titik mana sekarang konstruksi egalitarianisme Minahasa? Pertanyaan penting, karena perempuan masih belum bisa disebutkan ada dalam sub ordinasi laki-laki secara budaya di Minahasa. Tetapi, struktur politik, Perempuan memang telah menjadi sub ordinasi, beda dengan fakta mitologi Toar-Lumimuut yang menempatkan Perempaun dalam posisi tinggi. Saya kira, ruang ini masih kosong untuk ditelaah lebih jauh. Akhirnya, apresiasi tinggi saya kepada Ibu Ruth harus disertai dengan pertanyaan kritis. Terutama, karena sesuai pernyataan Ibu Ruth sendiri, ini masih sbeuah proposisi yang harus dikembangkan lebih jauh. Tapi, sumbangannya untuk menemukan JATI DIRI Minahasa ataupun DIGNITYnya memang masih kabur. Meskipun, terbentang kemungkina luas dan besar untuk meneruskan study ini. Sekian dulu. AudyW
Tanggapan 90: Dennie Pinontoan – 27/10/2010 Tabea, Bung Audy. Setuju... Denni
Tanggapan 91: Hendrikua Dimpudus – 27/10/2010 Dalam rancangan Praevent Panitia Gebyar Seni Budaya Minahasa dan Bakudapa Sedunia Juni 2011, akan diadakan Lomba Menulis soal Budaya Minahasa dan Lomba fotografi obyek wisata dan workshop olh Darwis Triadi pd hari pelaksanaan... Utk Lomba Menulis mohon feedback dr tamang2 MRNC ttg thema tulisan. Paling tidak tulisan susi Ruth, so boleh iko... HAD
Tanggapan 92: Bert Supit – 27/10/2010 Bung Frank & Patuari Waya MRNC, Kita pikir juga demikian .....mantap bung Ferdinand!!! Maar voor 'beberapa orang' di milis ini......itu tulisan2 dari bung FP, INE, Ibu JEDIDA, bung KAKAS, FT dan BAS kasiang...NYANDA AKADEMIS seperti itu tulisan dari susi Ruth yang katanya SANGAT AKADEMIS!!!........ HEHEHE...! Kalau si 'feminist' pake kata2 seperti.... 'bini2' orang laki2 Minahasa adalah 'properti' laki2 Minahasa...... dan itu budaya barat/kristen......adalah budaya 'kotor' dan 'bau busuk'......itulah yang menurut 'si anu'....AKADEMIS!!! BRAVO........!!! Mo batanya...apa sebenarnya arti akademis? Torang kwa kasiang cuma 'rakyat' biasa dan 'teolog lapangan' berdasarkan pengalaman bertahun-tahun!!! O Rekey yaku eeeee!!! Mo kemana lagi itu budaya 'etika' Minahasa!!! Selanjutnya perhatikanlah gambar2 dan latar belakang wewene2 TERHORMAT MINAHASA............
42
FOKUS PERJUANGAN PEREMPUAN MARIA (WALANDA) MARAMIS ADALAH KECINTAANNYA TERHADAP ANAK YANG AKAN MENJADI GENERASI PENERUS MELALUI PENDIDIKAN DIMANA YANG DIUTAMAKAN ADALAH ASPEK BUDI PEKERTI. IAMENDAPAT PENDIDIKAN DARI SEORANG ISTRI ZENDELING DI MAUMBI.
No Comment anymore....!!! Make your own analysis and Judgment Who is the Real Pioneer of Women's Emancipation of Indonesia!!! Wahai Perempuan Minahasa.....Bangkitlah, dan Tunjukkanlah kekhususanmu!! Kerendahan hati, kerja keras dan berbuat yang nyata tanpa macam2 gelar Akademis!!!
43
Sesudah Perjuangan Maria (Walanda) Maramis ... muncul di abad 20 Tujuh Perempuan Minahasa sebagai Pioneer Perempuan Indonesia dibidang Kedokteran, Hukum, Walikota, Kepolisian dan Keanggotaan DPR
Pendeta Agustina Lumentut, Wewene Minahasa - Ketua Sinode Perempuan Pertama di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (Tentena - Poso) dan sekaligus di Indonesia.
Apakah dorang samua Perempuan Minahasa diatas yang telah berhasil menjadi pelopor Emansipasi Perempuan Indonesia di penghujung permulaan abad ke
44
20 adalah HASIL 'Gerakan Feminis' yang diuraikan secara 'AKADEMIS' oleh RW??? Tokh TIDAK bukan? Sedangkan istilah 'feminis' mungkin mereka belum pernah dengar. Menurut saya karakter perjuangan mereka.....wewene Minahasa Ibu Maria WM dll...... yang dibanggakan itulah yang HARUS dijadikan PANUTAN dari apa yang disebut Dignitas dan Jatidiri Perempuan Minahasa berhubung karena Iman Kristiani mereka yang berakar dari Pekerjaan Injil Zending melalui Gerakan Roh Kudus yang Ajaib itu, Budi Pekerti mereka (yang tidak boleh ba momake), ethos kerja mereka, kasih sayang mereka terhadap keluarga dan anak turun temurun.....dan MOST OF ALL ADALAH PERBUATAN YANG NYATA MEREKA untuk berbuat sesuatu bagi sesama manusia berdasarkan kasih Yesus Kristus seperti apa yang dilakukan Ibu Maria WM (organisasi PIKAT dengan sekolah2nya), Ibu Pendeta Tine Lumentut (seorang Rekonsiliator dalam pertikaian agama di Tentena), Ibu Wenas Mambu (seorang istri Pendeta yang mendirikan puluhan BKIA dan Taman Kanak2 GMIM). Itulah KENYATAAN (realitas) HIDUP Wewene2 Minahasa di tanah Minahasa yang dinyatakan MELALUI PENGALAMAN oleh 'Perempuan2 Minahasa tempo doeloe' yang pernah ada dan hidup dalam sejarah Minahasa. Mereka memang bukanlah Akademikus2 yang 'mungkin' sekarang ini hanya melakukan analisa2 berdasarkan asumsi2 maupun teori2 belaka. Sorry to say...!! Kisah Pingkan adalah juga suatu Kisah Perempuan Minahasa yang hebat dan mengharukan...biarpun bagi sebagian orang Minahasa, Kisah Pingkan tsb masih diperdebatkan sebagai mitologi historis Minahasa yang mungkin pernah ada....tetapi mungkin juga hanya suatu 'cerita dongeng' belaka...karena torang dari dulu sampe sekarang 'malas' batulis......hehehe!!!. Saya pribadi...TIDAK apriori terhadap 'gerakan feminis'. Oleh sebab itu, bahwa Kisah Pingkan itu diangkat oleh seorang penganut gerakan feminis (RW) abad ke 21.... sah2 saja, dan saya juga mengerti apa yang berusaha dijelaskan oleh Nina maupun bung Hendrik. Namun, saya mengeritik tulisan RW karena
45
penggunaan kata2nya terlalu ekstreem, dan pisau analisanya terhadap budaya barat/kristiani, budaya perempuan dan laki2 Minahasa sudah terlalu emosional dan tidak realistis lagi berdasarkan sejarah dan hidup keluarga Minahasa serta partnership laki2/perempuan Minahasa sehari-hari. Lagi pula sesuai dengan pengetahuan saya gerakan 'feminis' itupun datang dari budaya barat, lalu sekarang ini diadopsi oleh beberapa 'akademikus teolog' perempuan dan laki2? Minahasa. Dan sementara 'akademikus2 teolog' perempuan Minahasa yang segelintir? tsb masih berkutat dengan asumsi, analisa 'ekstreem' mereka......disekeliling mereka sudah bertumbuh ribuan Pendeta Perempuan GMIM serta puluhan dan ratusan disiplin lainnya....yang bukanlah (thanks God) produk dari Gerakan Feminis 'Barat' tsb. Emansipasi atau jati diri atau dignitas Perempuan Minahasa bukanlah juga suatu hasil fenomena produk berdasarkan 'gerakan pembebasan' dari 'properti' laki2 Minahasa ....bahkan bukan juga suatu hasil 'gerakan pembebasan' dari budaya barat Kristiani yang 'kotor' dan 'bau busuk'... (Thanks God again) BUKAN!!! Keberadaan Perempuan Minahasa sekarang menurut saya adalah suatu fenomena YANG TERJADI DENGAN SENDIRINYA (ALAMIAH?) karena menurut saya ITULAH KARAKTER BUDAYA PEREMPUAN DAN LAKI2 MINAHASA SEJAK JAMAN TOAR DAN LUMIMUUT, MELALUI PINGKAN DAN MATINDAS YANG TELAH MENEMUKAN KEMBALI JATIDIRINYA MULAI DARI JAMAN IBU MARIA WALANDA MARAMIS SAMPAI KEPADA JAMAN IBU RUTH WANGKAI DAN RIBUAN PEREMPUAN MINAHASA DI TANAH MINAHASA DAN DILUAR TANAH MINAHASA YANG TIDAK PERNAH MERASA DIJAJAH OLEH KAUM LAKI2 MINAHASA ATAU SEBALIKNYA......KARENA SAYA SELALU PERCAYA BAHWA DI TANAH PERJANJIAN MINAHASA YANG TELAH DIANUGRAHKAN ALLAH KEPADA BANGSA MINAHASA DENGAN JALAN MENGKUDUSKAN TANAH DAN TOU MINAHASA MELALUI FIRMAN KASIH YESUS KRISTUS .... MAKA DI TANAH PERJANJIAN MINAHASA TSB TIDAK ADA
46
DAN TIDAK PERNAH AKAN ADA SUATU DISKRIMINASI ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI2. DAN KEDUA INSAN CIPTAAN ALLAH TSB AKAN TETAP SALING MENGHARGAI, SALING MENOPANG DAN SALING MEMBEBASKAN TANPA SUATU GERAKAN FEMINIS APAPUN......HALELLUYAH...AMIN!!! So....what's the problem with the women and men of Minahasa today to be 'provoked' by the article of RW? I fully agree if that article is going to be shared to the Muslim Comunity here in Indonesia, in Saudi Arabia, in Afghanistan, Pakistan....or in some countries in Afrika; but not in our Minahasa. Maar kalau cuma voor suatu "academic intelectual excersize" .......bolehlah...hehehe!!! What susi Ruth and all the other women and men of Bangsa Minahasa is to do now....IS TO ACT AND TO WORK CONCRETELY TO HELP EACH OTHER LIKE ALL THE PROMINANT WOMEN BEFORE US HAS DONE....... AND NOT ONLY BY ANALYZING AND TALKING LIKE 'ACADEMICS' AND 'INTELECTUALS'.....!!! SORRY AND MY APOLOGIES FOR THOSE THAT FEEL THEMSELVES IN THAT CATAGRY...!!! NO HARD FEELINGS PLEASE.....BECAUSE I AM WRITING THIS BASED ON MY HUMBLE LIFE AND EXPERIENCE LIVING MORE THAN 4O YEARS OF MY ADULT LIFE IN MY BELOVED MINAHASA LAND!!! PEACE, BAS Tanggapan 93: Frank Tanos – 27/10/2010 Om Bert S dan Zes Ruth,… Kisah Pingkan-Mathindas dan Toar –Lumimuut mirip ini kisah2 mitos rakyat dari daerah lainnya di Indonesia. Kalau kedua cerita itu menjadi suatu ukuran/referensi. Ini tergantung pada analisa seseorang mengartikan dari cerita mitos ini untuk sebagai acuannya. Sekali lagi ini kisah tidak nyata. Bagi saya pribadi, lebih suka memakai acuan nyata yang pernah terjadi, seperti RA. Kartini dan Maria W Maramis. dllnya pada imansipasi wanita Indonesia. Zes Ruth, pada tulisan paragraph 2 ini saya kasih tanda warna merah dan biru. Pertanyaan saya apa yang dimaksud “taken and granred” pada kata “sacral dan keramat’. Apa yang dimaksud ya?...apakah ini masalah ke imanan Kristen??.... lalu untuk tulisan biru ini apa pesan yang paling mendasar sih??,.. jika TOU Minahasa mau tetap survived, tapi juga
47 mau maju dan berkembang menjadi bangsa yang bermartabat dan humanis, selain keberanian membongkar yang sakral dan keramat itu??.... Paragrap 2 (tulisan zes Ruth) Jujur bahwa tak ada satu pun respon yang masuk dalam milis ini, yang saya abaikan karena itu semua telah memperkaya melengkapi pengkajian saya dalam upaya menemukan konsep “DIRI IDEAL” dari TOU Minahsa kini dan di sini. Memang usaha ini tak mudah karena, selain manusia itu adalah subyek yang dinamis, juga kerja metodologis yang saya gunakan ini beresiko sebab akan bersentuhan dan malah berbenturan langsung (mau atau tak mau) dengan ideologi serta nilai-nilai yang telah membentuk konsep DIRI TOU Minahasa selama ini sebagai sesuatu yang “taken for granted” dan bahkan telah dianggap “sakral” dan “keramat”. Padahal apa yang telah dianggap sakral dan keramat itu tak lain adalah produk dari sebuah proses dialektika sejarah yang panjang dan konstruksi sosiopolitis-kultural, dalam mana TOU Minahasa itu hidup, berinteraksi dan berpenetrasi. Tapi, bagi saya, tak ada alternatif lain, jika TOU Minahasa mau tetap survived, tapi juga mau maju dan berkembang menjadi bangsa yang bermartabat dan humanis, selain keberanian membongkar yang sakral dan keramat itu dan kemudian merekonstruksikan dalam konteks kekinian agar supaya tak hanyut, tapi juga tak tertinggal oleh arus zaman. Sejak awal saya sadar sekali, benturan ini pasti terjadi, bukan saja karena gap antar generasi dan perbedaan pola pikir (perspektif) serta disiplin ilmu, tapi juga mungkin karena kepentingan dan visi yang berbeda. Frank minahasa raya network community
Tanggapan 94: Bert Supit – 27/10/2010 Dear Nina, My respons in green....see below!!!
Tanggapan 95: Nofelin (Ine) – 27/10/2010 tabea samua, kita cuma mo batambah akang satu contoh dari samua contoh yg oom bert supit so kase disini,itu adalah: KAYES RACHEL WILHELMINA MARIA ,adalah wanita pertama indonesia pertama, yg bisa memperoleh ijasah KLEINAMBTENAAR EXAMEN,pada tahun 1898.....dan beliau adalah kakak perempuan dari fatherland bangsa minahasa G.S.S.J.RATULANGIE(oom sam). dijaman penjajahan pada masa itu sulit bangsa pribumi bisa bersekolah,apalagi wewene....tapi inilah bukti nyata bahwa wewene minahasa beradat dan bermartabat,serta sannnnnnnnnnnnngattttttttttt sukses ditengah2 penderitaan bangsa sekalipun,dan memang tampil....SUPER........!!!!! salam bae......ine. .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 96: Hendrikus D – 27/10/2010 Shalom. Senang sekali melihat om Bert memberi tanggapan terhadap tulisan susi Ruth.
48 Bahwa feminisme itu sesuatu yang muncul dr Barat dan ekstrim seratus persen sependapat. Setuju feminisme mengabaikan kodrat wanita lalu memaksa diri menjadi Macho. Ttp, bagi saya, pendekatan seorang perempuan utk mendapatkan legitimasi eksistensial kesetaraannya berdasarkan pemahaman manusia (baik laki-laki maupun perempuan) adalah gambar Allah, sesuatu yang sah. Itulah sebabnya dalam komentar saya, menyambut baik usaha menegaskan hal itu. Singkatnya, atribut Allah mengkonfigurasi baik feminitas maupun maskulinitas. Berarti pula tidak setuju kalau secara ektrem istilah Allah Bapa diganti dengan Allah Ibu. Krn menurut saya, frasa Allah Bapa dan Allah Anak bermaksud menegaskan hubungan yang unik dan penuh kasih ketimbang berpretensi memperkuat superioritas laki2. Kitalah manusia yang menduganya seperti itu. Apresiasi saya atas tulisan susi Ruth, justru pada pendekatan kulturalnya. Atau in loconya. Bukan soal akademiknya. Kisah Pingkan jelas mendeskripsikan wanita Minahasa sebagai yg cantik, berwawasan dan setia serta menghargai suami. Dari sananya kesetaraan gender bagi orng minahasa tidak merupakan persoalan...dan itu terepresentasi lewat tokoh2 perempuan yg om Bert kesepankan. Ttp fakta bhw ada juga laki2 Minahasa yang terjebak pada rasa superior, juga tidak boleh diabaikan. Dan inilah yg diasumsikan oleh Ruth sebagai pengaruh negatif kolonialisme. Kalaupun yang dimaksud pengaruh negatip kekristenan, yg dimaksud bukan Injilnya ttp lebih pada penggunaan injil utk kepentingan Imperialisme. Viva Minahasa. HAD
Tanggapan 97: Danny Sumendap – 28/10/2010 Aminn Om Bert , amiinnnnnn.. Saya juga hanya bisa lihat dari luar itu akademi sekertaris, akademi bahasa, dan akademi2 sejenis lainnya . Oops sorry
Tanggapan 98: Bert Supit – 28/10/2010 Dear Ine..., Trima kase banyak so tambah lebih banyak pengetahuan dengan Wewene Minahasa.....KAYES RACHEL WILHELMINA MARIA yang sannnnnnnnnnngatttttttttt sukses itu!!! Baru itu nama jo so hebattttttttt!!! Hehehe!!! Again....many thanks Ine, and GBU!!! bas Tanggapan 99: Audy Wuisang – 28/10/2010 Tabea waya .... Dr. Supit rupanya agak berang rupanya dengan pelekatan "AKADEMIS" dalam tulisan saya terdahulu. Padahal, saya sudah tegaskan, bahwa tulisan saya merupakan ulasan akademis untuk memperluas analisis RW, karenanya saya mengutip model Choan Seng Song yang bukunya menjadi salah satu yang menarik dalam study teologi di UKIT dulu.
49 Sayapun menegaskan dalam tulisan itu, "bukannya tanggapan yang lain tidak bercorak AKADEMIS". Rasanya cukup jelas. Tetapi bahwa, kemudian saya mengelaborasi pendekatan Ibu Ruth karena karyanya yang cukup ambisius "MENCARI DIGNITAS MINAHASA", maka saya kira karya akademisnya mesti diapresiasi sebagai karya akademis juga. Tidak sahih atau sahih pendekatannya, biarlah perdebatan metodologis, teoretis yang diangkat dari haribaan Keminahasaan yang mendebatnya dalam forum yang tepat. Jika karya akademis kita lunturkan menjadi debat kusir, tanpa melihat pendekatan, teori, paradigmanya, saya kira kita memperlakukan karya itu secara tidak adil. Dan pada titik ini, saya ragu apakah Dokter tidak mengetahui soal ini atau tidak. Secara pribadi saya memilih jalur perjuangan saya bagi MINAHASA, dan sejak lama dokter juga mengajak saya untuk lebih AKTIF. BERBUAT dan JANGAN TERUS BERFALSAFAH. Tetapi, saya tahu betul, tidak semua perjuangan harus di alam nyata. Pertarungan di dunia BARAT untuk menjadi lebih unggul, tidaklah semata dari medan perang. Dominasi peradaban BARAT lahir dari proses humanisasi, sekularisasi dan aufklarung yang berdasarkan paradigma, teori, pendekatan akademis yang berbasiskan kultur Barat. HARAP JANGAN DILUPAKAN HAL INI. Karena itu, bukan sekali saya menegaskan kepada Dokter, JANGAN BERRETENSI MENYELESAIKAN MASALAH MINAHASA DALAM HITUNGAN HARI DAN TAHUN. Dengan penuh penyesalan saya harus berkata: APA BUDAYA MINAHASA ITU? DARI MANA ASAL EGALITARIANISME MINAHASA ITU? APA IMPLIKASI CERITA MITOLOGI TOAL LUMIMUUT BAGI MINAHASA DAN TRADISI MIX MATRIMONIAL DAN PATRIMONIAL DALAM STURKTUR BUDAYA MINAHASA? DAN APA JATI DIRI MINAHASA ITU? Siapa yang bisa memberi jawaban tertulis atas pertanyaan mendasar yang melandasi pembentukan kebanggaan atas jati diri Minahasa jika orang Minahasa yang tumbuh di luar daerah bertanya? SERIBU MAAF, kesepakatan soal jawaban diatas relatif NIHIL. Dan jika kita berpretensi membangun sesuatu yang besar, tanpa membenahi hal-hal yang elementer dan mendasar, maka kita akan membangun MENARA DIATAS PASIR. Saya mungkin akan terkesan aneh bagi dokter yang memang sangat bersemangat. Tetapi, sejak dulu secara sadar saya berusaha memperlambannya dengan mencoba terus mengingatkan agar bangun dasar itu juga cukup teguh. Dan bagi saya, seribu maaf, kisah PINGKAN dan ANALISIS RW adalah upaya membangun dasar itu. Keliru atau tidak, tapi kisah ini terlalu sayang untuk dionggokkan begotu saja setelah dialektika OPOISM antara RAD dan Dave cs melawan Dr. Saruan. Pernah saya menyinggung komentar Dokter non akademis? Saya kira tidak. Karena bukan itu maksud tulisan dan komentar saya. Maksud saya adalah, membawa tulisan RW menukik ke pencarian jati diri itu dengan memeriksa beberapa argumen dan beberapa hidden argumen yang belum beliau kemukakan. Bisa saja keliru memang argumentasinya, tetapi tidak dituduh semena-mena, karena saya kira beliau menulis bukan tanpa data dan bukan tanpa cucuran keringat. Setiap penulis MINAHASA selayaknya kita hargai, karena salah satu kelemahan Tou MINAHASA adalah tiadanya budaya menulis yang menyebabkan kekayaan budayanya berserak disana-sini dan sulit dibangun menjadi kesatuan komprehensif. Terakhir, Apresiasi saya kepada Walanda Maramis, Ibu Tina Lumentut yang saya kasihi dan hormati, juga Marriane Kattopo saya tuangkan dalam artikel-artikel tulisan pribadi untuk mengenang mereka. Mereka PEREMPUAN-PEREMPUAN
50 MInahasa yang hebat. Tak usah ragu, saya dan RW rasanya sangat menghormati mereka. Mereka lahir dalam kultur egalitarianisme Minahasa. Hebat memang. Tapi, bisakah kita menjawab hal ini: PENDETA GMIM MEMANG MAYORITAS PEREMPUAN, KULTUR MINAHASA TERHITUNG MIX (BUKAN PATRIMONIAL DAN BUKAN MATRIMONIAL), TETAPI MENGAPA STRUKTUR SOSIAL DAN POLITIK MINAHASA DAN SULUT SANGAT PATRIARKHAL? Kapankah struktur GMIM di penuhi PEREMPUAN? paling banyak 1 atau 2 atau 3 orang. Kapan Ketua SInode dan Sekum Sinode Perempuan? ini struktur sosial dan struktur politik lho, mengapa? ada apa dengan egalitarianism Minahasa? cuma ada di budaya tetapi tidak di sosial dan politik? So? saya kira dokter, yang bekerja secara konkret seperti Dokter dan bekerja di lapangan yang reflektif seperti saya, RW, dan kawan-kawan yang lain tidak usah saling meniadakan. Karena KEMINAHASAAN membutuhkan keduanya. Kerja konkret tanpa membenahi infrastruktur saya kira membangun di atas pasir. Tetapi bermimpi terus tanpa ada upayanyata, juga sama dengan BERONANI. Saling menghargai, itu sangat penting. Saling berkontribusi, juga sangat penting, di atas keragaman keahlian, skill dan pengalaman. Peace. AudyW
Tanggapan 100 : Bert Supit – 28/10/2010 Bung Hendrik yang baik, Kita pe respons dibawah dengan huruf warna hijau!!!
Tanggapan 101: Frank Tanos – 28/10/2010 Dunia sekarang sudah berbeda oom!. Banyak PRIA didunia sekarang ini mendukung WANITA MENJADI MACHO. Pemikiran bahwa WANITA harus tetap pada kodratnya sudah tidak jamannya lagi. Negara maju seperti USA, di beberapa negara bagiannya telah menyetujui perkawinan sejenis Wanita dengan Wanita. Pada bulan September tahun 2010 kemaren, Venezuela adalah negara satu2nya didunia yang mengesahkan UU perkawinan sejenis Wanita dan Wanita, PRIA dan PRIA. Hal ini akan disusul di beberapa negara Scandinavia di eropa barat. Salam. Frank minahasa raya network community
Tanggapan 102: Frank Tanos – 28/10/2010 Kurang banyak baca berita Internasional,....dunia so berubah,.... Dunia sekarang sudah berbeda oom!. Banyak PRIA didunia sekarang ini mendukung WANITA MENJADI MACHO. Pemikiran bahwa WANITA harus tetap pada kodratnya sudah tidak jamannya lagi. Negara maju seperti USA, di beberapa negara bagiannya telah menyetujui perkawinan sejenis Wanita dengan Wanita. Pada bulan September tahun 2010 kemaren, Venezuela adalah negara satu2nya didunia yang mengesahkan UU perkawinan sejenis Wanita dan Wanita, PRIA dan PRIA. Hal ini akan disusul di beberapa negara Scandinavia di eropa barat. Undang2 ini dibuat kebanyak oleh PRIA2 MACHO. Salam. Frank
51
Tanggapan 103: Bert Supit – 28/10/2010 Dear Bung Audy, I got your points......Bravo and thank you!!! Still...bila saya akan menghargai tulisan/ulasan 'academic' RW, maka penghakiman RW terhadap pihak lain dengan kata2....'properti'..... kotor dan....'bau busuk' saya tetap TIDAK akan terima sebagai suatu tulisan yang bertentangan dengan hati nurani saya. Dan untuk ini bung Audy dan lain2 komentator tidak mau singgung! Kenapa??? My last comments bung Audy....thank you also for your 'khotbah' and 'kuliah' tentang 'beronani'....and 'saling menghargai'!!! BTW..., I have indeed respected you as a young critical Minahasa intelectual...... because I've seen in you and many other young Minahasans as some one like me...when I was still young as a medical student, as a GMIM youth leader and as a young GMIM Synod member. Bravo again Audy......Go on as you are!!! Never mind....memang saya sering 'beronani' (istilah 'medis' AW)....... yang saya terjemahkan dalam bahasa saya adalah 'BERMIMPI' atau 'BERCITACITA' atau 'HOPE' untuk masa depam Minahasa, Indonesia dan Gereja2 di Indonesia. Singkatnya bung Audy...... 'Onani'...ehhh bukan.....'Hope' and 'Dream' saya adalah sebb: "To Hope is a Duty, but Not a Luxury... To Hope is Not a Dream, but to turn Dream into Reality. Happy are those who Dream Dreams, And are ready to pay the Price To make the Dream come true" by Clive Barret Sekali lagi bung Audy.....I got your point and Bravo for that!!! Please go on as you are..... and no hard feelings!!! Peace, BAS
Tanggapan 104: Frank Tanos – 28/10/2010 Pagi Minahasa, Ada juga Pria Minahasa yang suka menekan pasangan hidupnya, dalam artian tidak menekan langsung, tetapi jarang dibawa dalam bersosialisasi kemasyarakat. Sering hanya disuruh masak, urus rumah, urus anak2,…kira2 seperti itulah. Kalau dihitung dalam presentase, pada umumnya kalau mo jujur, torang ini laki2 lebih banyak egoisnya. Tetapi dalam banyak hal torang sering me-rengek2 minta dikasihani.…. PRIA MINAHASA YANG BERISTERI SERING PASIAR KEMANA-MANA SANDIRI,…NYA SUKA BAWA DIA PE MAITUA….HEHEHE.. Fr
Tanggapan 105: Bert Supit – 28/10/2010 Bung Frank, Bagitu kote kang itu Pria Minahasa.....
52 Kalau ta bobale....kong torang pe maitua yang suka jalan2 sandiri, kong kase tinggal pa torang untuk momasa sandiri dll...bagaimana jo dang....hehehe.....hihihi...hikhikhik!!! Bas
Tanggapan 106: Audy Wuisang – 28/10/2010 Tabea, Dokter, yang kita kategorikan BERONANI adalah sekelompok Akademisi dan Teoretisi yang selalu berspekulasi tetapi tidak bersentuhan dengan alam nyata. Dalam kategorisasi ini, kita kotakkan Dokter untuk masa sekarang sebagai PELAKU. Kita nyanda lupa, Dokter selalu insist dan mendesak untuk lakukan sesuatu. DOT IT AT ONCE ....... Selalu berorientasi untuk melakukan sebuah perubahan. Itu yang kita kenal sejak di Yayasan Nurani, sejak kita masih Semester II di Fak Theologia UKIT. Kita nyanda akan malo suatu saat mengulas arti penting seorang Dokter Supit dan kontribusinya bagi GMIM dan MINAHASA as I promised before. Secara pribadi, kita masih sedang membentuk diri dan akan terus demikian. Dokter kan so paripurna di WCC dan PGI dan adalah kairos for Dokter untuk berbuat sekarang for GMIM, MInahasa, dll. So, kita rasa dialektika PELAKU dan PEMIKIR memang sangat dibutuhkan untuk saat ini. Jadi mohon maaf kalo sesekali kita menyela untuk meminta kita BEREFLEKSI. Model Paolo Freire aja: AKSI DAN REFLEKSI, METODE KRITIS REFLEKTIF. Soal artikel RW, memang benar kita nyanda melihat beberapa "baju luar" dari artikel itu, seperti ungkapan-ungkapan yang dokter angka. Kita konsentrasi di modelnya, pendekatannya dan teorinya. That's the I am kita kira terkait dengan proyeks ambisius RW, sesuatu yang so lama nyanda hadir dalam debat akademis Budaya Minahasa. Itu kita respek sekali. Bukan soal sahih ato tidaknya bagi Minahasa. Biarlah waktu dan perdebatan lebih jauh mengujinya ...... Makaseh banyak ........AudyW
Tanggapan 107: Frank Tanos – 28/10/2010 butul itu dia om Bert, Lia jo mulai dari tingkat RW, Kepala Dinas, Wakil Walikota, Walikota sampe Bupati dorang sering pasiar ke Jakarta jarang bawa dorang pe maitua. Selalu denk kalimat manyusul jo eso lusa ne,..atau sering babohong denk alasan ada meeting di Jakarta. Penilaian ini bukan konotasi adanya penyelewengan. Tapi pada umumnya pria itu sering kali pasiar lebih nyaman sandiri dari pada bawa2 dorang pe maitua,… butul toh om Bert???... Frank
Tanggapan 108: Bert Supit – 28/10/2010 Somo jadi Cirita mati itu bung Frank kalau torang pe laki2 Minahasa yang berduit so bagitu! Itu namanya mempergunakan kesempatan.... seperti ada suatu pepata Belanda yang mengatakan ......"een dief onstaat omdat hij de kans krijgt......." dengan kata lain...."seorang dpat menjadi pencuri, karena dia diberi kesempatan".......hehehe!!!. BAS
53
Tanggapan 109: Frank Tanos – 28/10/2010 Oom Bert, dat is een feit dat alamia,... . Coba kalau torang mo jujur, torang introspeksi dari torang pe diri dulu. Torang hitung jo dulu dari torang pe pertemuan selama di Jakarta. Baik denk om Bert maupun denk rekan2 lain diluar Minahasa, rata2 memang begitu om Bert. Het was heerlijk toch oom Bert??....that is reality to be accepted. Frank Tanggapan 110: Bert Supit – 28/10/2010 Dear Bung Audy, Trima kase banyak...torang so baku mangarti......dan kita harap kita masih sempat membaca suatu ulasan Audy nanti tentang dialektika berpikir dan berbuat!!! Tolong renungkan jo akang itu sajak dari Clive Barret yang sudah memberi inspirasi kepada saya waktu saya masih seorang mahasiswa di Jakarta dan Makasar. Ada juga seorang sastrawan USA, Robert Frost yang menulis sajak tentang hutan yang indah dan falsafah hidup manusia! Bagus deh...untuk personal reflection. Bagitu jo dulu...and once again, many thanks for our critical but constructive discussion! Yours and Peace, BAS.
Tanggapan 111: Bert Supit – 28/10/2010 Hahaha bung Frank...., memang stou so bagitu....Aminnnnn, istilah bung Danny bila ia setuju dan mengakhiri percakapan dengan singkat! Soal yang bung Frank ada angkat ini tentang 'tabiat' alamiah seorang 'macho'....mungkin harus di forward pa bung EBT supaya lebe rame itu cirita!!! Bagitu ji dulu! bas
Tanggapan 112: Ruth Wangkai – 28/10/2010 Dear broer Frank, ya betul, tapi, meskipun sudah ada perkawinan homoseksual (gay/lesbian) dan juga perubahan jenis kelamin melalui tindakan medis, tapi satu hal yang mustahil dipertukarkan antar laki-laki dan perempuan ialah bahwa perempuan memiliki rahim dan indung telur sebagai alat reproduksi, sementara laki-laki memperoduksi sperma. Inilah yang disebut KODRAT, yakni sesuatu yang telah terberi secara alamiah, bersifat permanen dan tak akan berubah sampai kapan pun. Sedangkan apa yang disebut sifat, status dan peran dapat dipertukarkan dan dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu, perbedaan tempat pun lingkungan di sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai konstruksi jender dalam masyarakat. Ruth
Tanggapan 113: Ferdinand P – 28/10/2010 Haloo Audy.Rupanya kata "onani" so sering kita dengar digunakan secara efektif di Indonesia untuk memojokan lawan politik atau dalam perdebatan yang so panas.Kata ini kita lihat penggunaannya sama
54
dengan neo liberal,imperialisme,kolonialisme,kapitalisme.Tuduhan dengan menggunakan kata ini,kita ingat cerita di alkitab mengenai perempuan yang dituduh bersinah dan mau di rajam sampai mati,kemudian Tuhan Yesus tanya,"siapa yang belum pernah berbuat dosa silahkan lempar lebe dulu,dan ternyata rupanya samau so berdosa ngak ada yang mau balempar duluan.Ok
Tanggapan 114: Ruth Wangkai – 29/10/2010 Tabea MRNC! Dear Bung Audy, rasanya torang nya pernah ketemu kang? Hanya kenal dari nama dan kata orang saja siapa bung Audy, tapi informasi itu pun relatif sedikit. Tapi setelah kita masuk jadi anggota milis ini dan mulai berkenalan melalui beberapa kali postingan tulisan, koq sepertinya bukan hanya alur dan nalar, tapi juga perasaan rasanya hampir ketemu dalam visi dan perjuangan bagi Minahasa yang tercinta. Agak mengherankan memang, jika bung Audy dapat menangkap dengan tepat sekali visi perjuangan yang coba kita gambarkan dalam artikel ini untuk MENCARI DIGNITAS TOU MINAHASA sebagai ”proyek ambisius”, seperti kata bung Audy, walau memang ambisi itu belum sepenuhnya tertuang dan ditemukan dalam artikel ini, masih perlu kajian lanjut dan dielaborasi lebih dalam dan komprehensif elemen-elemen tertentu untuk menemukan apa sebetulnya jatidiri Tou Minahasa itu. Tapi lepas dari kelanjutan penelitian ini, ungkapan bung Audy itu pas banget ... heheheee .... Mengapa terdengar ambisius? Karena ambisi ini lahir dari seseorang yang bukan bergerak di pusat kekuasaan, tetapi pinggiran atau mungkin lebih tepat berada di batas luar kekuasaan (periferi), yang sama sekali tak populis dibandingkan dengan para tokoh beken, elit politik, pemimpin agama pun kaum intelektual Minahasa, yang telah berkiprah dan banyak berjasa dalam karya dan pengabdian mereka . Apalah artinya hanya salah seorang dari rakyat kebanyakan. Tapi apakah mimpi dan harapan besar bagi sebuah perubahan bagi Minahasa kini dan ke depan itu hanya lahir dari orang-orang besar saja??? Memang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan generasi senior serta mereka yang memiliki jabatan prestisius, yang telah teruji gagasan dan pemikiran mereka dalam lintasan ruang dan waktu dan bahkan telah terbukti karya nyata mereka dalam keterlibatan dan kepemimpinan di berbagai aras lokal, nasional pun internasional, dan sepatutnyalah itu diapresiasi. Tapi bukankah setiap orang dan juga setiap generasi memiliki ruang, status dan perannya sendiri-sendiri dalam mengaktualisasikan diri dan mewujudkan impian dan harapannya sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zamannya? Siapa dari mereka, yang gagasan dan karyanya akan diterima dan berarti bagi kehidupan bersama, biarlah waktu dan perdebatan intelektual yang akan mengujinya, seperti kata bung Audy, tapi bukan berarti itu ditolak dan apalagi diberangus hanya karena berbeda perspektif atau mungkin juga karena beban-beban dari bias-bias subyektif tertentu. Betul sekali pengamatan bung Audy, bahwa kemajuan peradaban Barat justru dimulai ketika terjadi revolusi kebudayaan sebagai reaksi terhadap kekakuan dan kemapanan pemikiran dan tradisi abad Pertengahan, yang kemudian melahirkan era baru di Eropa ditandai dengan ”kelahiran kembali” (Renaisans) budaya klasik. Inilah pemicu pembaruan dan pemunculan gagasan-gagasan baru, kemajuan di bidang seni dan perdagangan serta kelahiran ilmu pengetahuan modern.
55 Bersamaan dengan itu orang juga mulai mempertanyakan kepercayaan lama mereka bahkan mempertanyakan doktrin-doktrin gereja (Roma Katolik), yang akhirnya membawa kepada kelahiran gerakan reformasi, tonggak baru bagi sejarah lahirnya Protestantisme. Saya tak menyangkali kemajuan peradaban Barat, terutama Iptek yang hasilnya juga kita semua nikmati hingga hari ini. Dan itu pula yang telah menyumbangkan kepada peradaban dunia peranan akal dalam mengkonstruksi dasar-dasar pemikiran filosofis bagi pembentukan nilai-nilai dan peradaban humanis. Akan tetapi, bagi saya, bukan berarti adanya pengakuan ini lalu dengan sertamerta menutup mata terhadap aspek destruktif dari kemajuan peradaban Barat yang telah melahirkan pula penjajahan di masa lampau di negeri-negeri yang dicap belum beradab. Bukankah juga lembaga-lembaga sosial dan para sarjana Barat ikut menopang fasilitas-fasilitas studi untuk melakukan pengkajianpengkajian obyektif tentang sisi-sisi gelap dari ideologi-ideologi imprialistik, entah yang datang dari luar atau pun yang telah bercokol di dalam, yang telah berdampak buruk bagi kehidupan dan peradaban manusia. Lalu mengapa kita sendiri justru enggan atau malah tetap mempertahankan kemapanan dengan alasan tak ada masalah dalam nilai-nilai dan tradisi yang dianut dalam masyarakat kita. Sementara faktanya jelas sekali adanya berbagai kesenjangan menganga di depan kita terutama pola relasi sosial yang tak setara sehingga memunculkan struktur kekuasaan pun dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Ini terjadi di tanah bernama Minahasa dan di tengah-tengah masyarakat kita sendiri, yang katanya mewarisi nilai-nilai luhur dari budaya egalitarian. Tapi, apa faktanya sekarang? Bukan saja struktur kepemimpinan yang male-dominated dalam institusi keluarga pun sosial, politik dan agama, tapi juga dalam perlakuan terhadap perempuan dengan sewenang-wenang. Tidak cukup banyak bukti-kah untuk merujuk kepada praktek-praktek KDRT, trafficking, pemerkosaan dan pelecehan seksual sampai kepada anak-anak perempuan di bawah umur, per”hugel”an suami dengan WILnya dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Apakah tidak relevan bagi GMIM untuk tidak memberlakukan pencangan ”Dekade Mengatasi Kekerasan terhadap Perempuan” (2001-2010) oleh Dewan Gereja se-Dunia. Apakah ini harus ditolak oleh GMIM karena praktek-praktek kekerasan terhadap perempuan itu hanya terjadi di belahan dunia dalam harem-harem para syekh-syek Arab atau laki-laki Thaliban (Afganistan), atau di negara-negara Timur Tengah lainnya atau pun di negara-negara di Afrika? Kalau boleh ibu Jane Scipio, anggota milis ini juga (moga-moga ia membacanya), yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Wanita Kaum Ibu GMIM periode 2005-2010 memberikan informasi kepada kita tentang keterlibatan WKI dalam penanganan masalah kekerasan terhadap perempuan di GMIM. Ada juga lembaga-lembaga lain yang berkompetensi terhadap masalahmasalah ini seperti aparat kepolisian dan LSM dapat memberikan data-data akurat. LSM ”Swara Parampuang” yang ada di Manado adalah salah satu LSM yang mengadvokasi korban-korban kekerasan, yang dapat memberikan data-data berapa banyak dalam setiap hari terjadi kekerasan terhadap perempuan di Sulut dan melapor langsung kepada mereka untuk mendapatkan advokasi dan perlindungan hukum. Sudah lupakah kita beberapa bulan lalu Nina pernah pemposting di milis ini pengalamannya sendiri menangani kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang suami (orang Minahasa) terhadap isterinya sendiri. Begitu juga ada postingan-postingan dari kliping koran-koran lokal tentang kasus-kasus trafficking menjamur di Sulut. Pertanyaannya, apakah fakta-fakta riil ini yang
56 terjadi di depan pelupuk mata kita sendiri tidak dapat dijadikan indikator dan bukti bahwa budaya Minahasa yang katanya egaliter itu dan saling menghargai laki-laki dan perempuan sebetulnya tinggal romantika budaya belaka? Kalau sudah begini apakah ketika seorang perempuan Minahasa mencoba menganalsis bahwa kesenjangan antara fakta dan romatika kultural itu disebabkan oleh berkembangnya budaya patriarki (yang memperlakukan perempuan sebagai obyek semata), yang hingga kini bercokol dalam masyarakat – lalu hendak menggugatnya – tapi kemudian hanya berdasarkan a-priori dicap bahwa perjuangannya itu sangat dipengaruhi oleh Feminisme Barat . Bahkan ”statemennya dianggap terlalu vulgar negatif ” dan pribadinya dinilai mengidap ”psychological disturbunce”. Siapa sebetulnya yang tidak realistis pun tidak dialektis dalam memberikan analisis dan pernyataan-pernyataan yang tak berdasar itu dan bahkan menutup mata terhadap fakta riil terjadi di masyarakat sekarang ini dengan mengagung-agungkan budaya Minahasa yang kini tinggal kenangan belaka? Di manakah wujud kepedulian dan keprihatinan bersama, kalau hanya mengukur kehebatan dan kesuksesan perempuan-perempuan Minahasa dari segelintir saja perempuan-perempuan Minahasa yang pernah menjadi pemimpin, pelopor bahkan pahlawan nasional serta lebih dari setengah jumlah pendeta GMIM yang ada sekarang ini adalah perempuan? Ukuran-ukuran inikah yang dipakai untuk kemudian menyimpulkan bahwa perempuan di Minahasa tidak pernah dijajah oleh suaminya atau oleh laki-laki Minahasa? Nah apakah persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas ini diamati saja secara fenomenal bahwa itu semua terjadi secara alamiah dan tak perlu pengkajian dan analisis akademis. Dan karena itu biarlah hanya dengan selalu percaya bahwa ”DI TANAH PERJANJIAN MINAHASA YANG TELAH DIANUGERAHKAN ALLAH KEPADA BANGSA MINAHASA DENGAN JALAN MENGUDUSKAN TANAH DAN TOU MINAHASA MELALUI FIRMAN KASIH YESUS KRISTUS .... MAKA DI TANAH PERJANIAN MINAHASA TSB TIDAK ADA DAN TIDAK PERNAH AKAN ADA SUATU DISKRIMINASI ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI2. DAN KEDUA INSAN CIPTAAN ALLAH TSB AKAN TETAP SALING MENGHARGAI, SALING MENOPANG DAN SALING MEMBEBASKAN TANPA SUATU GERAKAN FEMINIS APAPUN ...... ” lalu dengan keyakinan ini saja maka dengan sendirinya dan bekerja secara otomatis masalahamasalah menyangkut pola relasi jender dan juga kekerasan terhadap perempuan Minahasa akan berakhir??? WOW poor women!!! Maaf so talalu panjang and no hard feelings, I hope. Cinta dan perjuangan, Ruth
Tanggapan 115: Hendrikus D – 29/10/2010 Selamat berjuang susi Ruth ... N setuju lei: Love eat and pray.
Tanggapan 116: Andre Gusti Bara – 29/10/2010 Dear ses Ruth, Sejak awal da iko ni perkembangan tulisan ini, sungguh cukup menarik for qta. Akhirnya nyanda tahang for mo bilang satu dua kata. Memang benar, adalah fakta yang sudah mesti dihadapi dengan berani oleh orang Minahasa hari ini bahwa nilai-nilai kehidupan yang egaliter sudah hampir terkikis habis. Yang tersisa sungguh tinggal sedikit. Bahwa kondisi perempuan Minahasa
57 hari ini tak lagi setara dengan laki-laki, itu juga adalah fakta di lapangan yang mesti diterima dengan lapang dada. Saya juga baca dan dengar cukup banyak tentang sejarah kesetaraan hidup lakilaki dan perempuan Minahasa. Tapi maaf. Itu skarang so tinggal cerita. Realita hari ini, struktur sosial masyarakat telah mengkondisikan bahwa perempuan merupakan second sex dan secara otomatis tersubordinasi dari totalitas hidupnya. Persoalan ini tak hanya meliputi soal domestifikasi perempuan dalam rumah. Berkembang lebih jauh dari itu semua, eliminasi hubungan yang horizontal antar perempuan dan laki-laki telah menjadi satu pilar masyarakat Minahasa hari ini. Qta nda tau deng yang laeng. Tapi kasus-kasus spt KDRT dan penjualan perempuan adalah bukti dari legitimasi sosial bahwa perempuan memiliki kasta lebih rendah dari laki-laki. Ini sama deng cerita yang so pastiu dulu qta ja diskusi deng tamang2 di Mawale. Bahwa dahulu Minahasa adalah tribe yang horizontal di mana semuanya diorganisir secara desentralis dan otonom. Tapi cerita itu so tinggal nilai yang "usang". Mengapa? Karena pada kenyataannya, topik-topik perjuangan Minahasa justru berputar-putar di soalan hirarki yang vertikal dan sentralis. Ses Ruth, ada persoalan mendasar memang di torang pe orang-orang. Dorang tau tu kearifan masa lalu yang pernah hidup. Cuma jadi masalah memang, apakah berani torang mengambil posisi untuk menjadikan itu bahwa eksperimen dan membenturkan itu dengan hidup harian kita yang dangkal dan membosankan? Andre All I learned to do at home was LIE, all I learned to do at school was CHEAT, all I learned to do at work was STEAL
Tanggapan 117: Ferdinand P – 29/10/2010 Haloo Audy.Dari pertama saya yang kritik cerita Ruth “Pingkan & Matindas” yang diperdebatkan di milis ini, adalah menyesatkan.Alasan menyesatkan sudah dijelaskan oleh saya dan banyak orang di milis ini. Kelihatannya anda sangat ngotot/bernafsu mengilmiahkan/mengakademikan tulisan Ruth tersebut.Menurut pendapat saya cerira ini adalah cerita "putar bale"sebab menurut Ruth masuknya injil di Minahasa ditulisannya hanya membawa dampak dekadensi moral,kolonialisme,dsbnya(selengkapnya ditulisan saya pertama dan penjelasan anggota milis lainnya.),pada hal justru sebaliknya(sudah di jelaskan juga oleh saya dan beberapa orang dimilis ini),dan mereka sendiri(penyerang kekristenan) dapat merasakan sampai saat ini hasilnya /menikmati dampak dari masuknya pekabaran injil tersebut.Kemudian saya perhatikan anda ngotot mengilmiahkan cerita yang sama sekali tidak ilmiah,karena cerita ini apa bedanya dengan cerita 7 bidadari dari khayangan sedang mandi dipancoran(mitos) yang kepergok oleh seorang pemuda bujangan yang menyimpan baju yang bersayap sehingga salah satunya terpaksa ditinggalkan oleh teman2nya terbang kembali kekayangan.Kalau menurut saya cerita ini yang bisa dan pas dinamakan "onani"(menurut istilah anda),kalau di Arab baju bidadari sah kalau dia ambil samua dan bikin bini samua.Seharusnya yang anda harus ilmiahkan/akademikan dampak sejak injil masuk di Minahasa yang telah membawa terang sehingga orang minahasa pergi menginjil,mengajar ketrampilan pertukangan,pertanian,lingkungan hidup,etika,dll keseluruh
58 nusantara.Bukan cerita khayal/mitos yang ngak ada ujung pangkalnya.Betul apa yang dikatakan oleh nina cerita Pingkan & matindas tiba2 oleh Ruth sudah menghubungkan kekristenan dengan kolonialisme,imperialisme dan dekadensi moral. Seumpamanya cerita ini pernah ada dan pernah menjadi kebudayaan,saya kira kebudayaan ini sama dengan cerita kebudayaan2 bangsa lain yang so punah dan ngak nyambung lagi dengan perkembangan zaman,seperti cerita China dengan jago2 silat,Jepang dengan kebudayaan samurainya,Mesir dengan pyramidenya,kebudayaan Roma yang dengan daerah penjajahannya yang luar biasa,Cerita pelaut bugis yang gagah berani yang pada akhirnya kalah dengan pelaut2 Inggris yang menguasai 7 samudra karena ilmu pengetahuan Astronominya,dll.Saya sudah jelaskan bahwa sejarah mencatat, ternyata semua kebudayaan yang setinggi apapun pada akhirnya runtuh/hilang dan hampir tidak berbekas. Oleh karena itu kebudayaan jangan diletakkan diatas Firman Tuhan/Kedaulatan Allah atau sejajar dengan Firman Tuhan,tetapi harus diletakkan dibawahnya(saya sudah pernah posting mengenai ini).Sebab sebagai contoh kebudayaan Yahudi,dalam Alkitab demi kebudayaan mereka menyalibkan Tuhan Yesus,,banyak lagi contoh yang lain.Tuhan Allah yang maha pencipta sanggup memelihara dan menghancurkan suatu kebudayaan(seperti cerita menara babel).Dalam hubungannya dengan tulisan Ruth,mengangkat cerita Pingkan & Matindas diatas kedaulatan/Firman Tuhan,dengan maksud menggeser /menyerang kekristenan,seperti beberapa tulisan kelompok mereka sebelum perdebatan tulisan ini di milis ini (ada file nya). Usaha/gerakan kelompok mereka ini yang sudah jelas menyerang kekristenan (cuci otak).dampaknya akan hampir sama dengan gerakan Islam garis keras yang belakangan ini diseluruh Indonesia, sekolah2 swasta maupun pemerintah sedang dipaksakan menanamkan kebencian perbedaan SARA di masyarakat.Gerakan semacam (islam garis keras)ini akibatnya sudah dialami oleh bangsa dan negara RI,berupa teror,kekerasan,pembakaran/pengahancuran dan kalau tidak ada tindakan pencegahan bukan tidak mungkin akan terjadi genocide seperti beberapa negara di Africa.Itulah sebabnya pemikiran2 yang selama ini yang sedang disebarkan untuk menyerang kekristenan harus direspons/dicegah/dipatahkan. Mengenai praktek-praktek KDRT, trafficking, pemerkosaan dan pelecehan seksual sampai kepada anak-anak perempuan di bawah umur, per”hugel”an suami dengan WILnya dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya kita bicarakan nanti dalam topik tersendiri. Ok bagitu jo dulu FP
Tanggapan 118: Audy Wuisang – 29/10/2010 Tabea, Kalo Om Ferdinand beranggapa saya membela RW, maka itu keliru. Bagi kita pribadi, perdebatan ini impersonal, karena samua CINTA MINAHASA. Karena impersonal, jadi kita berdiri diatas pijakan akademis dan ilmiah. Seorang Ketua (atau mantan Ketua) WARC, Kumpulan Gereja Reform sedunia, pernah menulis upaya yang sama dengan RW. Sayapun, sedang menulis tulisan
59 yang sama untuk kisah KEKE PANAGI'AN. Bahkan Om Ferdinand, kami pembelajar Teologi, paham betul sastra Alkitab PL banyak dengan mitologi dan folklore. Yang dicari lewat kisah itu adalah JATI DIRI TOU MINAHASA melalui pendekatan multi approach dan kebetulan RW memilih Analisis Feminis sebagaimana Choan Seng Song (Ketua Umum WARC, Theolog terkenal yang kita rasa Dr Supit kenal dia secara pribadi) dalam bukunya The Tears of Lady Meng. Jadi, upaya RW, for kita sungguh luar biasa dan harus kita hargai. Upaya itu bukannya murah Om Ferdinand, sangat jarang Penulis Perempuan Minahasa menulis kisah dan analisis seperti ini. Dulu kita punya Marriane Kattopo yang sampe ke level dunia tetapi sudah meninggal. Jadi, jika saya menemukan penulis seperti RW dan Nina Najoan, maaf kalo saya harus katakan SAYA BANGGA KEKE' MINAHASA MASIH memproduksi kader seperti mereka. Maka, saya mengapresiasi tulisan RW dalam konteks kajian akademisnya. Saya tidak menganalisis baju-baju luarnya, soal kata-A atau B, dan Dokter Supit telah mengngkapkan sisi tersebut. Saya ingin mengatakan, bahwa kajian ini bisa mendunia jika dituliskan dalam bahasa Inggeris. Karena bahkan beberapa dari kita mungkin belum mengenal cerita PINGKAN ini. Soal Kekeristenan dan Wester, torang memang musti sadiki awas. Ada kajiankajian teori Post Kolonialism, Ghayatri Bhivak atau juga di Indonesia Jalaludin Rachmat pernah menulisnya, Dan ada banyak tokoh intelektual lain yang membahas. Ingat, Kekristenan masih menyandang AGAMA KOLONIALIS karena masuk ke INDONESIA merendengi PENJAJAHAN INDONESIA. Ini beban sejarah yang tidak hanya ringan, tapi berat hingga sekarang. Kalo mau baca sisi "imperilias" dari ekspansi kekristenan, baca juga tulisan perjalanan seorang Kristen bernama Karl May dalam buku "DAMAI DI BUMI". Apakah Agama Kristen salah? tidak. Tafsir dan penggunaan aspek formal keagamaan yang membuat dia menjadi garang bagi agama lokal dan wisdom lokal. Ini yang mau ditelanjangi oleh RW, juga saya, termasuk juga Denni dan banyak pembelajar Teologi lain di Minahasa. Kami tidak merendahkan KEKRISTENAN dan IMAN kami, tetapi kami berusaha menterjemahkan IMAN itu dalam konteks MINAHASA. Membongkar hidden argument dan hidden agenda dibalik formalisasi keagamaan yang meminggirkan wisdom lokal yang dituduh kafir dan kanibal pada masa lalu. Kekristenan tidak akan kehilangan kehebatannya dengan cara kami. Bahkan akan menjadi semakin bertemu dengan haribaan jemaatnya, karena mulai dibangun dan dipertemukan dengan realitas masyarakat. Tidak lagi mengawang-awang dengan konsep PREDESTINASI, MARTURIA atau Teologi lain yang dibangun di atas falsafah Eropa. Padahal Kristen lahir dari Timur tetapi sudah komplet berbaju Barat. Bagitu jo dulu Om Ferdinand. AudyW
Tanggapan 119: Frank Tanos – 29/10/2010 Siang bung Audy, Apa yang bung Audy diuraikan saya sependapat. Memang sejak Marriane Kattopo tiada, jarang melihat, bahkan tidak ada penulis wanita minahasa yang menonjol. Saya sendiri salah satu pengkagum Marriane Kattopo. Kalau mo cari wanita minahasa yang pejabat atau menjadi isteri pejabat yang bra atau glamour, ya mungkin tidak sulit. Menurut saya, sosok Marriane Kattopo ini sangat2 special. Sejak Presiden Soekarno hingga
60 orba siapa yang tidak kenal Marriane Kattopo. Ini bukan saja pada tingkat eksekutif, tapi hampir semua tokoh2 agama semua aliran di Indonesia mengenal siapa Marriane Kattopo. Karya tulis beliau begitu banyak, salah satunya yang sangat popular didunia theologi, Compassionate and Free yang diterjemahkan dalam beberapa bahasa, bahkan oleh gereja ketholik buku ini menjadi standard pendidikan theology. Selain itu keterlibatan beliau didunia internasional memiliki catatan yang luar biasa. Saya kira om Bert Supit adalah salah satu sahabat beliau sama2 di PGI, tetapi nasibnya yang berbeda. Kalau Marriane Kattopo konsisten pada karya kemanusiannya dan tulis, om Bert mungkin memilih jadi pengusaha yang sukses, kira2 begitu bung Audy?...hehehe…. saya kira Marrine Kattopo dan DN Palar perlu diperjuangkan bisa masuk pahlawan nasional, sebab Indonesia lebih dikenal oleh kalangan dunia theology juga melalui hasil karya2 mereka. Kedua tokoh ini sama2 asli putra-putri Tomohon. Saya kira torang harus memiliki sosok wanita minahasa lain seperti Marriane Kattopo. Jangan alergi denk wanita manihasa yang memiliki pandangan kritis. Frank
Tanggapan 120: Denni Pinontoan – 29/10/2010 Tabea Bung Audy, Saya kira benar, bahwa mestinya perbincangan mengenai mencari Jati Diri Tou Minahasa haruslah dalam sikap yang kritis dan terbuka. Ibu Ruth dengan artikelnya yang mengundang perhatian banyak orang di milis ini telah menunjukkan cara itu. Saya ingin mengomentari beberapa hal terkait dengan ”Jati Diri Tou Minahasa” yang katanya antara lain tampak dalam semangat egaliterianisme dan demokratismenya. Sayang sekali, berbagai mitos2 di Minahasa, yang antara lain berasal dari mulut2 para penginjil Kristen Barat, belum selesai didemitologisasi atau didekonstruksi, eh sudah muncul mitos2 baru tentang Minahasa. Seolah-olah Minahasa hanya soal egaliterianisme dan demokratismenya. Dokter Bert dalam pengakuannya kepada publik di milis ini, bahwa Tou Minaahsa itu menunjung tinggai kesetaraan dan demokrasi. Tapi, ini agaknya hampir menjadi mitos baru ketika kenyataan sejarah atau kekinian menunjukkan fenomena sebaliknya. Benar, bahwa sikap semangat egaliter dan demokrasi pernah dominan dalam budaya Minahasa, tapi coba kita cek dalam catatan2 sejarah, bagaimana kedudukan perempuan di masa itu. Tonaas2 dan walian2nya, siapa? Seingat saya, hanya di toutemboan bisa kita temukan walian perempuan (koreksi saya jika salah). Selain itu, struktur sosial dan politik serta keagamannya didominasi oleh laki-laki. Kita juga begitu berbangga dengan terma ”Minahasa” yang katanya sebagai penanda demokrasi Minahasa, selain watu pinawetengan. Tapi, kita pasti tahu bahwa terma ”Minahasa” sendiri adalah konstruksi kolonial, yang pada mulanya dimaksudkan untuk sebuah penundukkan. Begitu juga dengan watu pinawetengan yang selama ini menjadi sakral, bukan hanya karena di sana hingga hari ini banyak orang melakukan
61
ritual agama tua Minahasa, melainkan juga dia menjadi sakral dalam level diskursus sejarah dan kebudayaan karena mitos ”musyawarah” di sana. Temuan terakhir, bahwa sebelum ke Tonderukan, kemungkinan sudah ada pemukiman tua sebelumnya di sekitar Tompaso Baru, yang umum disebut ”Tuur in Tana” dengan ”Watu Tiwa’nya. Dan, tahukah kita,bahwa ada mitos yang menceritakan bahwa kemungkinan orang2 Bolmong asli adalah satu darah dengan orang2 Minahasa. Karena melanggar sumpah (tiwa) di tuur in tana itu sehingga kemudian mereka dianggap tidak lagi Minahasa. Mitos2 atau kisah2 ini bisa benar, bisa salah. Namun yang pasti ternyata Minaahsa menyimpan banyak narasi2 kecil yang hampir terabaikan oleh dominasi narasi besar dan tunggal konstruksi elit2 Minahasa. Padahal, Minahasa itu adalah beragam sehingga dia multiinterpretatif. Kita pernah bilang pa Dokter Bert Supit, bahwa ada bahaya MAM akan menunggalkan sejarah dan budaya Minahasa jika dia tetap mau nyaman di level elitis saja. Sejarah dan budaya Minahasa ada dalam realitas yang majemuk dan dinamis. Artikel ibu Ruth yang menarik itu, menurut saya memang harus dibicarakan dalam tataran akademis, karena tulisan ini memang bermaksud menggali jati diri Tou Minahasa dalam semangat akademis, yang kritis, berusaha objektif dan memakai pendekatan yang jelas. Kita perlu juga memahami secara lebih kritis dan ilmiah mitos mengenai Toar-Lumimuut dan Karema. Selain bahwa versi mitos ini cukup beragam, namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa suatu saat ditemukan sebuah jejak sejarah yang bisa saja berkesimpulan bahwa ”Toar-Lumimuut” bukanlah manusia pertama di Minahasa, atau Karema tidak lebih sebagai makhluk imajinasi saja. Ini perlu, karena sampai sekarang ini dasar untuk merumuskan jati diri Tou Minahasa hanyalah berangkat dari mitos2 itu. Bagaimana, jika mitos2 itu runtuh karena demitologisasi yang dilakukan oleh siapapun. Seperti halnya, mitos mengenai Adam dan Hawa, serta kisah2 lain dalam alkitab, yang kemudian oleh penafsir yang memakai pendekatan historis kritis hanya menganggap itu mitos yang harus didekonstruksi. Apakah kekristenana akan runtuh juga ketika ”kebenaran” dalam mitos2 ini runtuh???? Saya kira tidak. Seperti halnya, identitas Minahasa yang tidak pernah akan runtuh hanya karena secara kritis kita berhasil mengupas mitos2 yang menjadi ’baju’ dari pesan2 dan sistem nilai Minahasa itu. Hal yang sama juga harus berani kita terapkan dalam kekristenan dalam konteks Minahasa. Adalah historis, bahwa kekristenan masuk bersamasama dengan kolonialisme. Gereja Eropa sebagai lembaga hampir identik dengan ekspansi ekonomi dan politik negara2 eropa itu. Tapi, sudah tentu Injil Yesus Kristus tidak identik dengan kolonialisme atau bahkan gereja Barat itu. Persoalannya, orang2 Kristen Minahasa sering hanya beriman kepada dogma2 gereja yang banyak di antaranya masih mewarisi doktrin2 gereja Barat, ketimbang berusaha memaknai Yesus
62
historis dengan Injilnya dalam konteks Minahasa, yang sudah jelas memakai cara pandang Minahasa juga. Mengatakan secara jujur fakta2 sejarah adanya korelasi antara agama kristen di Minahasa dan Kolonialisme bukan berarti bermaksud menolak kebenaran2 Injil atau bahkan ingin meruntuhkan kekristenan. Bukan begitu tujuannya. Namun ini semua dalam rangka untuk mengembalikan gereja dan kekristenan itu pada maknanya yang sebenarnya. Usaha inipun tidak tunggal, tapi selalu terbuka dan dinamis. Mengenai Minahasa. Waktu lalu saya bertanya kepada dokter Bert Supit, mengenai apa sesungguhnya yang diamaksud dengan ”jati diri Tou Minahasa” itu. Saya justru sudah sampai pada kesimpulan bahwa indentitas Tou Minahasa itu bukanlah sesuatu yang statis dan absolut; dia tidak turun dari langit, atau hanya diwariskan secara geneologis; apalagi jika dipahami bahwa identitas itu turun dari langit yang dibawa oleh makhluk2 sorgawi. Identitas, siapapun manusia itu terkonstruksi dalam persinggungannya dengan lingkungan, ruang dan waktunya yang terus berubah dan bergerak. Maka, identitas Minahasa tidaklah tunggal. Dia dalam proses menjadi. Tapi, ini bukan berarti Tou Minahasa tidak punya identitas. Saya kira, apa yang bisa disimpulkan dari artikel ibu Ruth mengenai identitas Tou Minahasa adalah salah satu dari berbagai rumusan yang merupakan hasil interpretasi mengenai sejarah dan budaya Minahasa. Makanya, saya setuju dengan bung Audy yang mengatakan bahwa jawaban atas pertanyaan mengenai ”Siapa Tou Minahasa” adalah relatif, meski saya tidak terlalu setuju bahwa ini akan berakhir nihil. Pasti ada maknanya, tergantung apa dan bagaimana pendekatan dan semangat kita. Bagitu jo dulu kita pe tanggapan dalam diskusi ini, Salam bae, denni
Tanggapan 121: Denni Pinontoan – 29/10/2010 Andre, Butul. Waspada, "kebenaran" yang terlalu disakralkan dapat dengan segera menjadi mitos.... denni
Tanggapan 122: Denni Pinontoan – 29/10/2010 Tabea, Menurut kita dalam hal kepercayaan dan pemahaman iman, Allah itu netral, sebab dia tentu tidak berjenis kelamin. Jadi, adalah sah juga, jika kaum feminis menyapa "Allah sebagai Ibu". Masyarakat dunia yang didominasi oleh ideologi patriakhal memang telah mengkontruksi Allah itu hanya sebagai laki-laki saja. Allah telah direduksi dalam personfikasi yang diskriminatif semacam itu. Denni
63
Tanggapan 123: Nina Nayoan – 29/10/2010 Tabea All,
Dear Ibu Ruth, Terus terang melalui tulisan bu ruth ini aku mengenal kisah pingkan, thanks for sharing the story with us. Dan saya kira upaya Ibu Ruth untuk melakukan refleksi kritis atas cerita (mitologi) pingkan sungguh patut diapresiasi. However, saya sedang berupaya menangkap apa sebenarnya inti refleksi dan meaning yang hendak Ibu Ruth sampaikan. Saya sangat setuju dengan pendekatan DEMITOLOGISASI cerita pingkan ini, artinya bahwa kisah Pingkan yang tadinya masih berbungkus mitos tapi dibongkar sedemikian rupa untuk memperoleh 'wisdom' - mungkin inilah yang biasa dikenal local wisdom - melalui kisah tersebut sehingga makna yang digali dalam mitos tersebut dapat berbicara dan memiliki VOICE kepada audiens atau generasi sekarang, dalam hal ini tentu Ibu Ruth bermaksud menggali makna kisah itu dalam rangka upaya menggali jati diri/identitas Minahasa. Ini sungguh merupakan upaya yang mulia. Dan melakukan demitologisasi adalah pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan sikap dan pandangan yang berani untuk kritis dan bahkan kadang-kadang 'subjektif' in the sense berani mengambil posisi sebagai subyek untuk menilai suatu fenomena atau realitas. Tapi, ibu Ruth, saya jadi tertarik juga untuk berefleksi dari kisah Pingkan. Bagi saya, cerita Pingkan itu justru menggambarkan kekuatan atau power yang dimiliki pingkan dalam dirinya sehingga dia sampai berani menolak tawaran raja Mogogunoy untuk menjadi istrinya. Padahal kalau dipikir-pikir, menjadi istri seorang raja itu kan suatu hak istimewa/privilege yang tidak mudah diperoleh kebanyakan perempuan ? Tapi kenapa si Pingkan menolak tawaran itu ? Saya justru tidak melihat pilihan menolak pingkan itu dari kacamata bahwa dirinya merasa tersubordinasi oleh Suaminya si Matindas; justru saya ingin menarik nilai positif ketika pingkan say NO to raja Bolaangmongondow, ada banyak pertanyaan kritis yang perlu ditelusuri disana: - benarkah karna Pingkan merasa memiliki kemerdekaan untuk memilih, hal mana sangat sulit dimiliki oleh sejumlah kaum perempuan di beberapa masyarakat bahkan sampai di era modern skarang ? - benarkah karna pingkan sudah memiliki prinsip moral yang kuat tentang kesetiaan pada satu suami yakni si Matindas, no matter dia diperhadapkan pada tawaran menjadi istri seorang raja sekalipun ? wah, saya melihat justru tampak disini suatu sikap moral dan ketangguhan prinsip yang luar biasa dimiliki oleh si pingkan dalam hal ini. Berapa banyak sih perempuan era skarang yang memiliki keberanian seperti si pingkan untuk SAY NO to kekuatan materialism, hedonism yang justru menjebak perempuan itu teralienasi dari dirinya sendiri artinya perempuan itu justru tidak menjadi subyek atas dirinya sendiri tetapi menjadi obyek dari
64 definisi yang dikendalikan oleh kuasa-kuasa di luar dirinya yakni kuasa-kuasa materialisme dan hedonisme ? berapa banyak perempuan menjadi korban industri media dan kecantikan yang berusaha mendefinisikan what is "beauty" for women padahal sebenarnya ada 'agenda tersembunyi' dari media dan industri ekonomi untuk sekedar melanggengkan bisnis atau perdagangan barang-barang kecantikan bagi perempuan ? kaum perempuan seperti di buai oleh kampanye media tentang what is female beauty ? Disinilah saya kira kritik kaum feminis bahwa kaum perempuan sebenarnya harus berani mendefinisikan apa itu kecantikan, kekuasaan menurut pemikiran dari dirinya sendiri, bukan pasrah pada definisi-definisi dari pihak di luar dirinya yang justru menjadikan ia teralienasi/terasing dari dirinya sendiri. Berapa banyak perempuan yang menjadi korban paham kecantikan yang dipromosikan oleh media ? saya melihat pingkan justru menunjukan suatu kecantikan diri yang alamiah inheren dalam dirinya melalui pandangan serta sikap keberaniannya yang berprinsip. Sejarah selama ini banyak menunjukkan betapa kaum perempuan sering dipandang sebagai makhluk yang lemah, harus dipingirkan, tidak punya kekuataan atau potensi dalam dirinya, sehingga tidak heran ada yang menilai perempuan itu bagaikan SECOND CLASS CITIZEN ? Dan pandangan-pandangan seperti ini - kalo kita berani jujur turut bersumber dari pengajaran Alkitab tentang dosa asal dimana sering hawa dijudge sebagai sumber dosa. Ajaran original sin inilah sering menjadi dasar untuk melemahkan makhluk perempuan, dan sayangnya ajaran-ajaran itu dikembangkan oleh bapa-bapa gereja (Tertulianus, Origenes, dll sehingga tampak memilki otoritas yang tak bisa diganggu gugat oleh gereja), pada akhirnya ditemukan pandangan bapa-bapa gereja itu juga didasarkan pada kebencian mereka pada perempuan (the hatred against women, called MYSOGINY). Saya kadang-kadang curiga rasul Paulus itu termasuk kaum misogynist yang benci pada perempuan, buktinya dia menulis dalam surat di Korintus bahwa perempuan hendaknya berdiam diri benarkah perempuan tidak patut untuk berbicara/bersuara di publik ? termasuk pandangannya tentang perempuan di 1 KOR 11. Saya kira itulah poin dari Mariane Katoppo ketika dia berbicara tentang COMPASSIONATE AND FREE, yakni bahwa kaum perempuan itu harus berani membebaskan dirinya dari hal-hal yang berpotensi merendahkan, meminggirkan atau bahkan menindas dirinya sebagai human being, pribadi yang diciptakan MENURUT GAMBAR DAN RUPA ALLAH (Kej 1: 28). Jadi, ternyata jauh sebelum Mariane Katoppo menuliskan pandangan feminisnya yang briliant - malah Mariane dipandang sebagai pioneer kaum Feminis Asia karena tulisannya itu sudah terkenal pada era 70an meski justru beredar duluan di wilayah eropa - ternyata kisah Pingkan justru sepatutnya menjadi referensi tentang bagaimana
65 seorang perempuan itu mampu untuk tampil menjadi dirinya sendiri karena kesadaran akan kekuatan yang ada dalam dirinya. Bahwa kaum perempuan harus berani menilai dirinya bukanlah Second class citizen sebagaimana yang menjadi realitas di banyak konteks budaya masayarakat di luar minahasa. Nah, melihat pada konteks sosial kaum perempuan Minahasa dewasa ini, at one hand saya kira kita masih bisa mengklaim bahwa perempuan Minahasa sebenarnya masih punya self assertive sebagaimana si pingkan. Buktinya, kaum perempuan minahasa relatif tidak punya masalah untuk menjadi seorang leader ditengah komunitas gereja dan masyarakat, tantangan budaya relatif bisa dihadapi kaum perempuan Minahasa. Menggunakan teori patriarkhi dalam konteks keberadaan perempuan di Minahasa mungkin agak kurang pas. Atau barangkali justru yang seharusnya disayangkan ialah ketika kaum perempuan Minahasa justru ikut melanggengkan budaya patriarkhis di tengah gereja dan masyarakat, dan itu sangat mungkin: bahwa kaum perempuan menjadi sangat patriarkhis dari kaum laki-laki. Kesimpulannya: Kisah Pingkan sebenarnya memuat sebuah wisdom yang luar biasa bagi kaum perempuan untuk ditarik maknanya. Bukan harus dipahami bahwa perempuan itu ingin menjadi sama sperti laki-laki, NO. saya kira itu penilaian yang sangat tidak pas dengan cerita pingkan. Pingkan tidak sedang berusaha menjadi macho seprti seorang lakilaki, tapi dia hanya ingin menjadi seperti dirinya sendiri, menjadi SUBYEK yang tidak bisa digoyahkan oleh kekuatan yang bisa jadi dinilainya akan merampas hak dan kemerdekaan individunya. Mungkin pingkan sudah membayangkan kalau ia jadi istri sang raja, barangkali ia akan kehilangan kemerdekaan personal-nya, dia tidak akan menjadi lagi subyek yang merdeka sebagaimana yang dia alami ketika hidup bersama Matindas. Sistim kehidupan dalam kerajaan barangkali akan dibayangkannnya sama seperti penjara yang hanya akan mengurangi martabat/dignity pribadinya sebagai seorang perempuan. What an inspiring and powerful story of PINGKAN! Salute. salam, Nina
Tanggapan 124: Bert Supit – 29/10/2010 Bung Frank.........sejak kapan kita jadi PENGUSAHA SUKSES?? Kalau Begitu kote, bung nyanda pernah kenal pa kita kang!!! Sudah jo dang!!!. BAS
66
Tanggapan 125: Frank Tanos – 29/10/2010 Dear bung Dennie, Memang saya akui bahwa orang-orang di zaman Alkitab dulu banyak yang munafik daripada jaman sekarang ini. Mereka sering menggunakan banyak eufemisme. Kebiasaan ini terbawa hingga kini pada gereja2 yang mengaku reformed maupun konvensional. Apa yang bung Dennie katakan Allah hidup netral dan tidak berkelamin, dan boleh disebut Allah Bapak atau Allah Ibu, statement ini juga bisa terbantah oleh rekan2 lain yang tidak sepaham dengan pandangan ini. Contoh misalnya: Ada pandangan analisis mengatakan tentang seksualitas Allah atau "Yahweh sebagai makhluk seksual," menurut bagianbagian tertentu. Dia digambarkan sebagai makhluk seksual dan suka sex, ini dalam gambaran mitos dan metafora. Jika bung Dennie bisa menggambarkan Allah sebagai raja atau gembala atau prajurit, maka bung Dennie juga bisa menggambarkan Dia sebagai seorang suami, dan melakukan hal-hal yang suami lakukan. Dalam dunia Yunani-Romawi dimana kekristenan muncul pertama kali, gagasan bahwa dewa akan turun ke bumi dan berhubungan seks dengan fana yang pasti tidak mengejutkan sama sekali. Sesuai cerita Alkitab, Allah menciptakan mahluk Adam dan Hawa, tetapi disisi lain Dia ciptakan Iblis berupa Ular untuk mengoda, sehingga manusia mengenal yang namanya dosa dan sex. Waktu Allah pertama menciptakan manusia, Allah berkata sesungguhnya mereka itu serupa dengan kita. Artinya bila satu saat manusia yang terdapat didalam taman Eden terjadi accident, maka gambarannya serupa dengan Allah. Demikian bung Dennie. Salam. Frank
Tanggapan 126: Audy Wuisang – 29/10/2010 Bung Frank, Kita lei baru tahu dokter so jadi pengusaha sukses. Hahahahahaha AudyW Tanggapan 127: Bert Supit – 29/10/2010 Bravo sister Nina......I think you speak out the RIGHT IMAGE of Pingkan's own dignity...... including my own wife, my mother, my sister, my daugther and those great Minahasa women which I
67
have raised previously in this milis!....Thank you indeed for your fair analysis!!! Bravo again... BAS Tanggapan 128: Bert Supit – 29/10/2010 Andre All I learned to do at home was LIE, all I learned to do at school was CHEAT, all I learned to do at work was STEAL Bung Andre, Ada masalah apa dang di rumah anda, sekolah anda dan di pekerjaan anda, sehingga so babunyi........'fatalistis' bagini!!! Semangat dong.......untuk tetap melakukan perubahan dan pembaharuan.........itulah SEMANGAT PEMUDA MINAHASA!!! BAS Tanggapan 129: Nofelinelidia – 29/10/2010 tabea frank dan audy, maaf kal kita mo basosuru kang,hanya sbg penyampaian saja,bukangkah torang juga masih mengahargai rasa hormat terhadap sesama atau rasa hormat terhadap org yg lebih tua bukan?? dalam hal ini oom bert kan lebe tua dar ngoni dua.......kal cara2 bagini tong tebarkan di milis ni dia.......so nya bae komang kang,jadi pertimbangkanlah ! salam bae.....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....! Tanggapan 130: Audy Wuisang – 29/10/2010 Ine, Dokter lebe tahu bagimana cara bakusedu yang masih tetap hormat. Jangan Ine kira kita bakusedu bagitu kong nyanda hormat pa dokter. Boleh tanya of japri pa dokter Supit kalo bagitu Peace. Audy
Tanggapan 131: Nina Nayoan – 29/10/2010 Tabea Pak Bert, Saya kira kesimpulan yang saya tuliskan dibawah tidaklah berbeda jauh dengan pesan yang sebenarnya ingin disampaikan dalam refleksi Ibu Ruth yakni bahwa martabat kemanusiaan seseorang dalam hal ini seorang perempuan ada dalam kekuatan dirinya untuk menjadi dirinya sendiri sebagaimana yang direfleksikan melalui pengalaman si Pingkan. ketika seorang perempuan itu mampu membuat sebuah pilihan atas hidup berdasarkan kemerdekaan hak berpikir dan bertindak
68
dari dalam dirinya sendiri tanpa ada unsur paksaan dari pihak diluar dirinya maka ketika itulah dignity perempuan itu nampak dan harus dihargai. So, women needs to reclaim and celebrate her potentials and power within herself and not to be subjugated under any oppressive power that could be manifested in various forms of power control either cultural, economical, social and political powers. Thanks for your compliment Pak Bert, kak Audy, its really good to join in this topic. Be happy afterall ! salam, Nina Tanggapan 132: Harry Rombot (Kakas) – 29/10/2010 Om Bert. sebenarnya apa yg diuraikan bung frank terhadap om memang dia nintau banya soal terobosan om yg telah banya mengangkat soal budaya minahasa. Biar jo ada pepatah bilah tak dikenal maka tak disayang. Nant8i dia akan tau dengan sendirinya!!! Om komaling jangan maraju neh!!!! bekeng biasa2 saja. Tak kan lari gunung dikejar om.... hehehe Tanggapan 133: Nofelinelidia – 29/10/2010 tabea samua, slmt bakudapa ruth..... kita ingin tulis sadiki ttng ta pe pandangan pribadi ttng ni kisah pingkan deng matindas. roman cinta bangsa minahasa yg sungguh luar biasa dan sangat kuat akarnya karena dari kisah inilah bermula BANGSA MINAHASA ITU SENDIRI,yg boleh ta bilang disini .....ini depe tuur in tana. kiapa ta bilang bagitu?....pada kisah ini maka pada saat itu tanah malesung so ditempati oleh etnis2 yg ada sekarang(9 etnis),karena karema so se berbage pasamua depe katurunan,hanya mmng pada waktu itu samua etnis bangsa minahasa masih deng dong pe etnis sandiri2,hidop sandiri2 dan nya farek satu deng laengnya.......depe refleksi pende ta mo bilang......SO SAMA DENG TORANG SKARANG INI......so tafiaro dimana2 tampa......deng masing2 tong pe keadaan dan kahidupang toh....mar dihati paling dolong pasti ada karinduan mo bale ditanah leluhur...tuur in tana.Karena keadaan tanah malesung pada waktu itu ëgois"samua tu etnis2....maka bangsa luar yg jago pada waktu itu adalah bolaangmongondow paling suka menyerang samua etnis yg ada ditanang malesung ni dia. kal teliti bae2 ni kisah pingkan deng matindas ini yg ta bilang sbg ROMAN CINTA BANGSA MINAHASA,maka tong akan dapa lia jandela yg tabuka for torang deng pendekatan dan refleksi masing2
69
pribadi,dan masih banyak jandela yg tatutu yg boleh tong mo buka.....antara laeng:.....justru karena keinginan raja bolaangondow yg terpikat secara hati dan bathin pada pingkan,dan terobsesi karena kecantikan dan perangai pingkan inilah......boleh lahir PERSATUAN MINAHASA untuk pertama kali karena secara kebersamaan dan merasa perlu bakubantu,baku tolong,bakutopang dll.....di WATUPINAWETENGAN....untuk pertama kali menyatu(MAESAAN)9 etnis yg ada untuk menyatakan.....I YAYAT U SANTI kepada bangsa luar yg menganggu dan merong-rong ketenangan dan keberadaan bangsa minahasa pada waktu itu untuk....berikrar menjadi satu(MINAESAAN)......sbg cikal bakal menjadi bangsa yg besar yaitu MINAHASA. JADI......sebagai wewene minahasa saya pribadi dgn segala rasa hormat menjunjung tinggi roman bangsa minahasa ini karena lahirnya bangsa minahasa adalah karena CINTA!!!!!!! bagaimana tidak.....pingkan kecil yg sakit parah....disembuhkan oleh matindas...yg pada akhirnya menjadi buah CINTA mereka berdua menjadi suami istri,.......sebagai manusia maka pingkan tidak mencintai matindas karena "jasa baiknyaÿg sudah membantu dia dlm proses kesembuhan....namun saya melihat sebagai suatu hubungan wewene dan tuama yg punya hati merasakan CINTA itu dlm hal yg luas dan pada akhirnya melabuhkannya dlm perkawinan......!....CINTA yg di bangun oleh pingkan dan matindas adalah murni cinta yg lahir dari hati mereka berdua,dengan ketertarikan biologis masing2 dan so tantu so baku tau tu kalabeang dg kakurangan masing-masing......sampe dong memilih untuk kaweng katuuun.....! keterikatan bathin pingkan dan matindas sbg suami dan istri so tantu kuat katuun karena CINTA yg dong da bakukase nya dapa mo tukar deng laeng....apalagi so ta ika batiniah dan badaniah! kalau kisah cinta ini saya kembangkan dalam alur kehidupan kita sekarang ini maka, wewene dan tuama seharusnya memiliki komitmen dalam membangun satu relasi,dan komitmen ini harus dapat di pertanggungjawabkan luar dan dalam,artinya....seperti kata buku kidung agung.....AKU KEPUNYAAN DIA,DIA KEPUNYAANKU....masing2 bertanggungjawab satu dgn lainnya,artinya pingkan sbg istri akan bertanggungjawab kepada matindas sbg suaminya dlm segala hal,demikian juga matindas,namun ada hal yg ingin saya kritik terhadap matindas dalam kisah ini:....matindas meninggalkan pingkan terlalu lama,for tuama2 yg ada mari tong pikirkan bersama kal so ta ika sbg suami dan istri sebaiknya.....kalo mo bepergian yg agak lama bawa tu pingkan2 dari rumah kasiang....jang tu raja2 mongondow jaman sekarang tertarik dg
70
tu pingkan2 yg da tatinggal di rumah......hehehehhehehehehhe,karena nya bisa dipungkiri he.....tu raja2 mongondow katu lai ada mata balia....kal so datang tu tertarik menurut dia pe pribadi....bagimanapun dia akan berusaha untuk bisa mo dapa do e........hehehheheheh,no pingkan2 lai katu yg da tatinggal lama kadang nya siap dg serangan fajar bagitu....meskipun nanti so jadi bar dapa akal rupa pingkan dlm kisah ini yg dapa akal se pake baju dp laki matindas pe baju pa raja mongondow....sehingga waktu prajurit2nya sendiri menyerang....mereka membunuhnya karena mengira dia itu matindas. sebagai matindas2 bangsa minahasa......tolong tar kira akang ni hal kacili.....JGN KASE2 TINGGAL TALALU LAMA TU PINGKAN2 DI RUMAH KASIANG.....bawa kal mo kaluar kota,ator samua spy anak2 juga nya terlantar dirumah noh....hehheheheheheh......!kal mo setinggal agak lama.....ator kasana supay tu pingkan2 dirumah tetap merasa aman,tentram sama dg matindas2 ada dirumah noh...... bagini jo dulu ta pe pandangan..... salam paling bae.....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....! Tanggapan 134: Nofelinelidia – 29/10/2010 dy.......mungkin tal sakral ta pake kata hormat kang,mar ta pe maksut kwa tu babagara bagitu kwa e.....kasiang katu oom bert....!cuma tu dia kasiang.....jadi jang salah interpretasi kwa hi kata.....skali lagi sorry..... salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....! Tanggapan 135: Frank Tanos – 29/10/2010 Hehehe bung Harry, Kita denk om Bert sebenarnya sama visi dan misinya, om Bert tau itu. Tapi kalau bicara tou minahasa, khususnya jati diri wanita minahasa, saya setuju bila mereka juga bisa sejajar dengan pria atau diberikan kesempatan. Soal om Bert kita bilang jadi pengusaha,… ini jangan disalah artikan, bahwa om Bert adalah seorang saudagar (pedagang) yang sukses…waduh!! kiapa lei so salah kang!... om Bert itu pengusaha yang mengurus masalah museum minahasa, melestarikan kebudayaan adat minahasa dllnya. Ini pekerjaan yang sangat mulia yang juga menjadi contoh yang baik. Kita denk om Bert sudah saling baku kontak, baik email, sms maupun pertemuan dalam misi yang lain… hehehe…bagitu jo bung. Salam. Frank
Tanggapan 136: Ronny Aruben – 29/10/2010 Tabea samua, Rupanya "the legend continues".......folklore "Pingkan Matindas" terus menjadi bahan diskusi. Ini pertanda positif bagi perkembangan budaya Minahasa karena menyiratkan adanya hasrat untuk "menengok ke belakang guna maju ke depan".
71 Dan folklore "Pingkan Matindas" ataupun mitologi "Toar-Lumimuut" dapat menjadi titik tolak strategis bagi penyiasatan strategi kebudayaan Minahasa ke depan. Ada beberapa hal yang dapat dicatat disini. Pertama, folklore maupun mitologi bukanlah sekedar "cerita khayal" atau "omong kosong", tetapi merupakan kristalisasi nilai2 budaya. Dalam antropologi, mitologi bahkan didefinifikan sebagai "charter" masyarakat sederhana dalam menentukan orientasi hidup mereka. Dalam teorinya, mitologi hanya boleh dinarasikan pada upacara2 sakral, karena menyangkut keselamatan segenap warga dalam menyongsong hari esok berdasarkan wisdom tua2 adat. Kedua, karena Minahasa tidak mengenal tradisi tulisan, ada kemungkinan folklore maupun mitologi itu direproduksi dan diresosialisasikan ke warga masyarakat lewat jalur formal di sekolah2, atau pun jalur nonformal dalam keluarga. Ada kemungkinan, versi yang sampai ke kita sekarang ini adalah versi formal, yang tentunya ada unsur elitisnya (interpretasi kaum intelektual dan pemuka masyarakat). Ketiga, folklore dan mitologi itu direproduksi dalam bentuk tulisan pada masa kolonial. Siapapun penulis2nya, latar belakang sosial-historis kolonial pada masa itu akan sangat mempengaruhi mindset dan hasil reproduksi mereka. Kalau tidak salah ingat, N. Graafland pernah melontarkan kecurigaan kemiripan mitologi "musyawarah besar di watu pinabetengan" dengan cerita di Alkitab. Keempat, folklore atau pun mitologi sudah dengan sendirinya merupakan wujud dari local wisdom. Artinya, local wisdom itu dapat diidentifikasi dengan jelas tanpa harus melalui demitologisasi. Penolakan Pingkan untuk dijadikan istri raja sudah secara transparan memperlihatkan nilai "kesetiaan" Pingkan kepada Matindas. Jadi, mungkin yang dimaksud Nina, demitologisasi adalah untuk menemukan "the still hidden wisdoms" (deep structure), yang masih harus dibersihkan dari bias2 historisnya. Kelima, upaya Zus Ruth sudah on the right track. Apalagi dengan perspektif feminisme yang sangat kritis, dan karena itu sangat strategis untuk membongkar ideologi2 di masa kolonial. Tapi saya yakin, aliran feminisme Zus Ruth bukanlah "radikal", yaitu feminisme yang "berakhir" dengan seruan anti laki2 dan hidup bersama dengan sesama perempuan. Ini yang dikritik Oom Bert sebagai "melawan kodrat". Tapi dalam analisis folklore Pingkan-Matindas, tidak apa satu pun indikator "melawan kodrat" yang hendak diperjuangkan oleh Zus Ruth. Keenam, karena masyarakat dan kebudayaan selalu dalam keadaan berubah, maka identitasnya pun selalu dinamis dan perlu selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika struktur egaliter berakhir di masa kolonial, maka, nilai2 mapalus (antara lain) harus selalu diredefinisi. Nilai dasarnya tetap ada, yaitu "kebersamaan", tetapi di masa globalisasi sekarang ini, "ideologi" kebersamaan itu harus aktualisasikan seperti apa? Folklore atau mitologi apa yang dapat dijadikan dasar pijakan "ideologi" mapalus di masa pra kolonialisme, untuk kita memahami perubahannya di masa kolonialisme, dan merancang strateginya untuk masa globalisasi sekarang ini? Saya yakin, sifat inklusif dari budaya Minahasa sampai sekarang ini bersumber dari "ideologi" mapalus... Kira2 refleksi seperti ini yang dapat dimunculkan dari "kontroversi" folklore Pingkan-Matindas yang sudah disajikan secara berani, kritis, dan menantang oleh Zus Ruth. So, the show must go on....... Salam Bae, RA
72
Tanggapan 137: Denni Pinontoan – 29/10/2010 Bung Frank, Allah sebagaimana adanya Allah itu tentu adalah netral. Dalam level dan kepercayaan yang subjektif, Allah itu dipersonifikasi, baik digambarkan sebagai manusia yang berjenis kelamin laki2 maupun digambarkan seperti gejala alam. Itu maksud kita. Siapa yang bisa buktikan Allah itu laki-laki dan perempuan???? Pasti tidak ada. Teks alkitab berisi hasil refleksi dan ungkapan iman orang2 percaya di suatu masa yang lampau, bung. denni
Tanggapan 138: Ronny Aruben – 29/10/2010 Kalu laki2, sapa depe dukun sunat kang? hehehe... RA
Tanggapan 139: Bert Supit – 29/10/2010 Bung 'Kakas' dan Zus Ine!!! Memang kita lei amper 'flao' bung Frank cap pa kita sebagai 'pengusaha sukses' ....... pada hal kote dia maksud laeng.....hihihi!!! Sebab itu kwa si Audy ada tatawa lebar........hahahahaha!!! Audy memang so mangarti bahwa si Frank so 'tasala cumu'!! Dus bung Kakas & Zus Ine........kalau kita masih waktu kita 'balita', kita so maraju stenga mati.....maar karena sekarang so 'tete' yang so makan talalu banyak garam, cuka dan pahit.......voor apa lei mo maraju kang!! Biasa2 jo seperti nasehat bung Kakas no! Anyway...trima kase banyak for your attention! Pakatuan Wo Pakalawiren! Maju trusssss! Peace, BAS Tanggapan 140: Hendrikus Dimpudus – 29/10/2010 Shalom Good comment bung Aruben...
Tanggapan 141: Hendrikus Dimpudus – 29/10/2010 Tabea Bung Denni, ta kira semua ungkapan antromorfisme ttg Allah jelas tdk adequat dgn sejatinya IA. Sama jo kalau torang bilang Allah Bapa n Allah Anak... Apa ada Ibunya hehehe... Jadi penegasan tentang konfigurasi sifat2 Allah representasi sifat maskulin dan feminin, tentu bukan bermaksud letterljik ... Sampai2 bung Aruben so bagara sapa yang sunat? Wkwkwkwkwk Krn itu, kita ja angkat kalau gambar Allah itu baik laki-laki dan perempuan maka keduanya merepresentasi Allah. Shg not just tuama Salam bae
73
Tanggapan 142: Ruth Wangkai – 29/10/2010 Oom Hen ... kita kira kalau diskusi seperti ini kita kembangkan untuk saling share ide dan memberikan kritik, tapi konstruktif dan kontributif, apalagi torang anggota di milis ini memiliki latar belakang displin ilmu dan profesi macam-macam serta pengalaman yang berbeda-beda, seperti telah dilakukan oleh broer Ronny A. di bawah ini maka kita kira topik yang sedang dibedah/dibahas akan kian mempertajam dan memperkaya pemahaman satu sama lain. Inilah sumbangan positif dari Posmodernisme yakni terbuka kepada perbedaan-perbedaan termasuk sikap dan pandangan apa saja, dan tidak mengabsolutkannya Ruth
Tanggapan 143: Hendrikus Dimpudus – 29/10/2010 Sangat setuju... So tu tulisan2 dr tamang yg susi Ruth bilang month satukan sbg bunga rampai so boleh jo kirim masing2 dulu for lomba kang BR HAD
Tanggapan 144: Ruth Wangkai – 29/10/2010 Dear oom Hen, bung Denni dan broer Frank ... menarik memang kalau torang mo maso dalam diskusi tentang metafora Allah sebagaimana ditangkap dan digambarkan oleh umat Allah dalam perjuampaannya dengan SANG ILAHI itu. Kalau torang mo telisik setiap penggambaran atau pun sapaan tentang Allah ada banyak dan macam-macam juga. Penggambaran/sapaan Allah dalam Perjanjian Lama berbeda dengan dalam Perjanjian Baru. Misalnya metafora Allah dalam PL banyak berciri sebagai penguasa seperti terlihat dalam nama-nama Allah sebagai Raja, Hakim dan juga Bapa. Sementara dalam PL, refleksi tentang Allah selain sebagai Bapa, Ia juga diyakini telah mewujud dalam diri Yesus. Sehingga ketika gereja perdana merefleksikan iman mereka tentang Yesus maka Ia muncul dalam beberapa sapaan seperti Mesias, Juruselamat dan Kristus. Nah kalau torang lihat dalam kepercayaan para leluhur Tou Minahasa seperti saya telah singgung dalam artikel PINGKAN, aspek feminitas Allah itu sangat jelas dan ditekankan dalam beberapa metafora seperti Opo Wana Natas, Opo Empung, Empung Kasuruan Wangko, Empung Wailan Wangko. Nah sekarang ini kalau torang sapah Allah dalam sapaan-sapaan ini torang nyanda risih bahkan tidak dianggap bertentangan dengan iman, tapi ketika nama-nama ini diterjemahkan dengan kata IBU muncul persoalan dan perdebatan hangat dan bahkan pelabelan "sesat" dsb. Atau bahkan seperti telihat dalam salah satu kritik terhadap tulisan saya, saya dituding telah sangat radikal dan begitu kuat dipengaruhi oleh Feminisme Barat. Padahal sapaan-sapaan feminitas Allah seperti disebutkan ini jelas-jelas lahir dari haribaan (pinjam istilah bung Audy) masyarakat dan budaya Minahasa sendiri, bukan diadopsi dari dunia ilah-ilah bangsa-bangsa Barat. Nah, karena itu saya mengatakan dalam tulisan saya, bahwa salah satu local wisdom yang telah tereduksi adalah kepercayaan kepada Allah, mulanya Allah disapah sebagai Empung Kasuruan Wangko menjadi Amang Kasuruan Wangko. Padahal kalau kata Amang dipadukan dengan kata Kasuruan apa itu pas? Sebab Kasuruan seperti saya jelaskan dalam tulisan Pingkan berasal
74 dari kata "suru" artinya "embrio" atau "turunan" - ini berarti merunjuk kepada kodrat perempuan atau ibu yang memberikan rahimnya bagi kehadiran embrio, bakal dari keturunan baru. Nah, apakah ini tak ada keganjilan/kerancuan ketika kata Kasuruan ini dipadukan dengan kata Amang??? Atau mungkin ada arti lain dari kata "Amang" dan juga "Kasuruan". Jika ada yang dapat menjelaskan mohon dishare. Thanks, Ruth
Tanggapan 145: Ronny Aruben – 29/10/2010 Kalu blum ada bunga rampai, pete jo dulu tu bunga melati, biar wangi..........cuma bakusedu katu, hehehe Trims atas compliment-nya, Bung Hendrikus... RA
Tanggapan 146: Hendrikus Dimpudus – 29/10/2010 Hahaha bunga melati alias jasmine...harum bagus komang... Siap iko lomba tulis acara 2011... Supaya boleh dapa tu bunga rampai after the occasion...
Tanggapan 147: Hendrikus Dimpudus – 29/10/2010 Bung Hendrikus, Qta mo suka baku iko batulis, mar lebe gampang jadi komentator jo. Daripada so bajanji kong nyanda terpenuhi pada saatnya...... RA
Tanggapan 148: Frank Tanos – 29/10/2010 Bung Ronny, Mungkin ada benarnya juga kalau sebagian orang berpandangan adalah Allah Ibu selain Allah Bapa. Secara ilmiah dalam Alkitab tidak ada wujud atau bentuk Allah itu rupa apa?. Soalnya ada begitu banyak persepsi tentang Allah dalam Alkitab dan kenyataan bahwa kita sering lupa bagaimana patriaki masyarakat tentang sikap Allah. Memang status latar belakang perempuan itu sangat penting, karena perempuan diciptakan untuk mengambil bagian dalam kehidupan pria. Kalau ada kaum perempuan meng-kleim Allah Ibu, itu sah2 saja. Masalah Allah Bapa, saya kira ini hanya masalah selera. Contoh saja, dalam kehidupan kira seharihari, kita sering mengumpat dengan kata “Cilaka duablas”, kenapa sekalikali kita tidak mengumpat dengan kata “Cilaka tigablas?”, atau “Cilaka limablas”. hehehe…makasih bung Ronny. Frank
Tanggapan 149: Ronny Aruben – 29/10/2010 Bung Frank, Qta sandiri nyanda ada masalah dengan "jenis kelamin" Allah. Tapi istilah "Allah Ibu" akan sangat mengganggu talinga sebagian besar laki2, khususnya di Minahasa, sebagaimana yang hendak disampaikan oleh Zus Ruth.... RA
75
Tanggapan 150: Frank Tanos – 29/10/2010 wha,ah.ah.ah...adoh mati ini dia bung...ahahah..tatawa habis kita...dorang pe egois pe tinggi sekali ya... Yesus saja hanya menyebut Bapa, nya pake Allah Bapa... mungkin yang dimaksud Allah Ibu adalah Ibu Yesus kang...Frank
Tanggapan 151: Ronny Aruben – 29/10/2010 Dalam iman Katolik ada penghargaan terhadap Ibu Yesus. Karena dari rahimnya Yesus berembrio dan kemudian lahir. Tapi kenapa Paus musti laki2 samua? Mungkin Bung Frank bisa menjelasnya........ RA
Tanggapan 152: Frank Tanos – 29/10/2010 Bung Ronny, Diape jawaban tantu tu Onani no…. sesuai Yesus yang nya kawin… Tanggapan 153: Nofelinelidia – 30/10/2010 oom hen kriteria untuk menilis apa2 kang dlm acara ni dia?....mo suka iko.....hehehhehehe salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 154: Hendrikus Dimpudus – 30/10/2010 Salam bae Shalom. Asap ta kirim, krn msh di godok team lomba tulis Salam bae
Tanggapan 155: Frank Tanos – 30/10/2010 Selamat Siang Zes Ruth dan rekan2,… Sudah hampir seminggu ini torang banyak berdiskusi tentang tuntutan peranan teologi feminis dalam perspektif agama Kristen. Diskusi ini sangat menarik dan jarang dikupas oleh milis2 lain. Gerakan yang ideanya datang dari seorang wanita Katholik bernama Rosemary Radford Ruethe ini banyak mempengaruhi agama2 didunia, seperti Buddha, Kristen, Yahudi dan mungkin juga pada agama islam, khususnya yang berbasis modern. Gerakan utama teologi feminis sendiri adanya tuntutan peningkatan peranan perempuan untuk menjadi Imam atau Ulama dalam otoritas agama, maupun pada sektor2 lainnya. Saat ini para kaum feminis dibelahan dunia sedang berjuang untuk melawan persepsi salah menilai bahwa moral dan rohani kaum perempuan lebih rendah dari laki-laki. Bahkan perempuan banyak dianggap sebagai simbol pengoda birahi laki2 saja. Menurut beberapa kalangan pemuka agama didunia, kodrat perempuan yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa hanya sebatas melahirkan anak, mengurus anak dan mengurus suami. Didalam inferioritas untuk menjadi pemimpin agama, mereka masih dianggap rendah.
76 Saya menangkap inspirasi Ruethe tentang teologi feminis itu banyak bersumber pada keyakin dia tentang Bunda Maria “I am the Immaculate Conception” (Akulah yang dikandung tanpa dosa). Lukas 11:27, Ketika Yesus sedang berbicara, berserulah seorang perempuan dari antara orang banyak dan berkata kepada-Nya, “Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau.” Memang gerakan teologi feminis kristen ini sangat luar biasa. Aspek pemikiran mereka merupakan investasi modern dalam pembaharuan untuk memajukan dan memahami kesetaraan laki-laki dan perempuan secara moral, sosial, dan spiritual. Memang didalam cerita Alkitab Allah lebih banyak berkomunikasi pada kaum lelaki, terutam untuk penyampaian pesan2Nya. Tetapi secara ilmiah Allah tidak membedakan berdasarkan karaktristik biologis seperti jenis sex dan ras untuk menjadi Imam atau Ulama, maupun pada tataran lain. Terima kasih Zes Ruth. Frank
Tanggapan 156: Roy Wakary - 30/10/2010
Teologi Feminis = Teologi Pinggiran? Beberapa waktu lalu, aku sempat berbincang dengan seorang teman teolog yang kebetulan pastor. Kami berbincang tentang “teologi feminis”. Agak mengejutkan, karena teman teolog yang saya pikir cukup terbuka pikirannya ini mengatakan kemungkinan terburuknya, teologi feminis sulit memiliki prospek di masa depan (maksudnya, di Indonesia). Optimisme yang saya simpan sejenak meredup. Siapa yang saya bisa harapkan untuk membantu teologi feminis memiliki prospek? Beberapa kali, walaupun tidak kapok, saya memang merasa “dikhianati” dalam penalaran untuk memahami teologi feminis. Kadang saya ragu, apakah benar-benar ada feminis laki-laki? Yang kalau di gereja katolik kebanyakan teolog adalah laki-laki, dan biasanya laki-laki dan pastor sekaligus. Dalam tradisi dan khasanah rimba per-teologi-an di kalangan gereja katolik khususnya di Indonesia, gagasan tentang perempuan – baik kehadirannya secara fisik di sekolah teologi maupun kehadiran non-fisik sebagai sebuah pemikiran – “sangat di belakang”. Saya gelisah dengan pemikiran ini. Apa yang terjadi? Tidak ada prospek atau tidak ada cita-cita dan mimpi? Kalau tidak ada prospek, untuk keselamatan hidup harus menumpang pada yang kuat dan berkuasa. Tidak ada prospek berarti hidup sebagai bagian dari “kawanan budak” (dalam bahasa Nitsche). Menurut bell hooks dalam bukunya Feminist Theory: from Margin to Center (1984), berada di pinggiran berarti menjadi bagian dari keseluruhan tetapi berada di luar daripada pokok atau bagian utama. Posisi pinggiran ini mewakili posisi berbagai kelompok yang selama ini berada di dalam “ruang dan lokasi” di pinggiran, yang sering diabaikan, disingkirkan bahkan ditolak. Mereka bukan hanya seperti masyarakat urban yang miskin dan tinggal secara riil di pinggiran, melainkan juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang secara sosial diposisikan di pinggiran. Kelompok-kelompok yang selama ini di dalam hubungan sosial menjadi kelompok yang subordinatif, sebagai objek, pekerja/budak dari kelompok lainnya yang dominatif, menjadi subjek, tuan. Pendeknya, posisi pinggiran ini, dalam sebuah masyarakat yang secara sosial
77 diorganisasikan dengan struktur hirarkis, ditempati oleh mereka yang posisinya lemah – subordinatif di dalam relasi kekuasaan alamiah maupun sosial. Dalam kebanyakan kamus teologi, kalau kita membuka bagian teologi feminis, selalu referensi yang dipakai akan mengacu pada teologi pembebasan, teologi hitam, bahkan teologi politik. Kedekatan antara teologi feminis dengan teologi pembebasan dan teologi hitam ini membuktikan, bahwa mereka bukan hanya berada pada satu kubu dengan beberapa persamaan, tetapi kehadiran teologi dalam satu kubu ini tersendiri menjadi sesuatu yang istimewa di dalam kancah teologi katolik maupun pengaruh di dalam Gereja pada umumnya. Teologiteologi, yang dibangun dari sebuah posisi tidak sentral, bukan dalam grand teologi yang ada. Keistimewaan itu bisa dilihat, misalnya: - Ketiganya mewakili perkembangan teologi yang dibangun dari bawah, ini berbeda sekali dengan teologi tradisional yang selama ini dikembangkan Vatikan yang sangat vertikal dan top down. - Hadirnya perspektif lokal, dalam arti teologi-teologi ini muncul karena adanya desakan menjawab kebutuhan-kebutuhan Gereja lokal terhadap permasalahan yang ada di dalam Gereja Lokal. Misalnya teologi pembebasan di Amerika Latin yang muncul sebagai satu tanda atau upaya Gereja katolik setempat menanggapi dan menjawab kebutuhan umat setempat yang merindukan kebebasan dari rejim penindas. - Banyaknya unsur yang dimunculkan dari kekayaan teologi ini yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam Gereja, bahkan menjadi sesuatu yang baru dalam Gereja. Ini sangat terlihat sekali dalam teologi hitam atau teologi Asia, di mana teologi dikembangkan berdasarkan kekayaan nilai-nilai Gereja setempat, untuk mengurangi dominasi unsur-unsur asing yang sangat kuat seperti teologi yang sangat bias Eropasentris serta superioritas kulit putih, yang membuat umat teralienasi dari kekayaan milik sendiri. Ditulis oleh Iswanti Suparma pukul . WR
Tanggapan 157: Theo Sambuaga - 30/10/2010 Bung Denni, Rupanya Bung Denni tidak yakin kalau Allah itu Masculine (Male) Laki2/jantan ya? Sekiranya begitu bagaimana kalau doa bapa kami kita ganti saja dengan "Ibu kami yg di surga". Karena Allah tidak pernah memperkenalkan diriNya kalau siapa Dia, tetapi menyatakan diriNya melaui Yesus Kristus. Saya kutib satu ayat rujukan dalam Alkitab : Yes. 9:5 berkata: Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putra telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang; Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja damai. Dalam ayat ini adat tiga kata ganti nama(pronoun) "putra", "Bapa", "Raja". Kalau Allah bukan laki2, kita ganti saja putra jadi putri, Bapa jadi ibu, Raja jadi Permaisuri atau mungkin gay atau lesbian???. (Oh my gosh?) Apakah anda juga meragukkan kalau Yesus Kristus juga sebagai "feminine" (wanita - perempuan- daughter/girl?). Ayat tersebut dan masih banyak lagi ayat2 pendukung lainnya yang menyatakan bahwa Tuhan Allah itu is MALE dan
bukan hasil refleksi dan ungkapan iman orang2 di masa lalu. (as per your e-mail below).
78 Bung Denni, Zus Ruth, Bu Jedida(?) (akhli2 Theologia dari UKIT) tolong akang kasiang pa torang kaum awam jangan diajarkan pemahaman (doktrin) yang menyesatkan. Ok, bagitu jo dulu and Jesus Christ loves you. Edison
Tanggapan 158: Ronny Aruben – 30/10/2010 Bung Roy, masalah ini mungkin berkorelasi dengan kenyataan dalam gereja Katolik dimana Paus itu harus laki2 saja. Jika teologi feminis menjadi teologi inti, maka perempuan bisa merebut jabatan Paus. Ini mustinya Bung Frank yang sanggup menjelaskannya, hehehe... Salam, RA
Tanggapan 159: Ruth Wangkai – 30/10/2010 Dear Ine, kita apresiasi Ine pe penyajian kisah Pingkan dan Matindas ini sebagai kisah roman percintaan yang berasal dari Minahasa. Nah, pasti cerita roman punya pesan kan? Gimana kalu pesan itu digali lebih dalam lagi untuk melihat kekuatankekuatan apa yang dapat ditemukan dari setiap pemeran: Pingkan pun Matindas sehingga melahirkan cinta sejati di antara keduanya. Jadi ingat kisah percintaan pasangan suami istri yang berbeda usia dari Tiongkok. Meski dicerca orang dan tidak diterima oleh dan dalam lingkungan keluarga/budayanya, toch mereka hidup bahagia bersama anak-anak mereka di pengasingan (di pegunungan yang jauh dari keramaian). Kalau ga salah broer Frank pernah posting di milis ini beberapa waktu lalu.Ruth
Tanggapan 160: Toni Kaunang – 30/10/2010 Apakah ciri masyarakat 'postmodernism'? Ciri utamanya adalah 'masyarakat komunikasi . Tanpa dominasi'! Apakah Anda Dan saya Sudah bercirikan masyarakat 'pm'? Regards. Toka
Tanggapan 161: Andre G Bara – 30/10/2010 Dear bung Frank, konstruksi penyebutan Allah yang berjenis kelamin laki-laki tidak hanya urusan selera. Ini hadir bersamaan dengan pola hidup masyarakat yang tak lagi horizontal yang membuat ada kasta-kasta yang eksis dalam sistem tersebut. Masyarakat patriarkis membuat semua hal berpusat pada laki-laki dengan anggapan bahwa kekuatan laki-laki adalah sumber perubahan dan pencerahan. Coba lihat kata "History" Yang juga patriarkis. His yang adalah penyebutan utk laki-laki dan story yang berarti cerita. Sejarah dari sudut pandang patriarkis bukang? Qta sandiri masih ragu, apakah benar Yesus menyebut "Allah Bapa" Jangan-jangan "Allah Bapa" adalah hasil interpretasi mereka yang patriarkis. Salam, Andre all I learned to do at home was LIE, all I learned to do at school was CHEAT, all I learned to do at work was STEAL
79
Tanggapan 162: Frank Tanos – 30/10/2010 Hello Andrea mat sore, terima kasih tu repon,…mantap!...yang dimaksud istilah “selera”, saya hanya mengatakan pada kalimat “Allah Bapa”,…bukan untuk kalimat “Allah”. Karena istilah Allah Bapa atau Allah Ibu tidak dikenal dalam katekismus pelajaran Alkitab. Saya tidak tau siapa yang memulai kalimat seperti itu. Yesus sendiri hanya menyebut Bapaku (Our Father). Bapa yang dimaksud tentu Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi kata Bapa sendiri sudah menjadi perennial title bagi umat Kristiani. Kalau ada kata “Our Father” dan yang berkeinginan menyebut “Our Mother”, ya sah2 saja sih. Kalau doa Bapa Kami (Our Father) mau diganti jasi Ou Mother juga sah2 saja….
Our Mother, Who is in heaven, Holy is Your Name; Your kingdom come, Your will be done, on earth as it is in heaven. Give us this day our daily bread, and forgive us our sins, as we forgive those who sin against us; and lead us not into temptation, but deliver us from evil. Amen. Kira2 bagitu jo diape perobahan….salam. Frank
Tanggapan 163: Nofelinelidia – 30/10/2010 tabea samua, oom adolf,.....se biar jo tu denny pe pemahaman ALLAH itu netral.sementara oom dolf peganglah apa yg oom dolf aminkan bahwa Allah itu laki2. keberadaan Allah sbg laki2 atau perempuan sebenarnya perlu kita pahami dari banyak hal dalam pandangan alkitab. contoh kacili:matius 6,yesus kase ajar dp murid2 for basombayang dgn pendekatan sbg papa deng anak. dalam yohanes 4,yesus kase ajar tu wewene yg banya dp laki itu, yesus pribadi sbg Allah(so berinkarnasi). dalam kitab kejadian 2,Allah memproklamirkan dirinya sbg Allah tritunggal. dalam kitab kisah para rasul Allah menyatakan dirinya dgn Roh kudus. semoga contoh2 diatas bisa menambah pemahaman torang.... salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 164: Ruth Wangkai – 30/10/2010 Ahaaa ... ternyata isu "FEMINIS" tidak saja menyentuh aspek perspektifnya melainkan juga telah memasuki substansinya. Memang apa yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memulai melakukan suatu penjelajahan menemukan "mutiara-mutiara cinta", walau memang tak mudah karena harus melewati "rimba
80 raya kegelapan", yang mungkin saja jika tak ada rambu-rambu penunjuk arah akan tersesat heheheee juga ... Betul bung Andre, bukan cuma cerita demi cerita dalam kehidupan keseharian kita, dalam tradisi dan dalam budaya, yang diperoleh melalui HIStory, tapi juga semua penyajian berita yang terdapat dalam Kitab-Kitab Suci adalah HIStory. Beruntung bahwa melalui perjuangan Feminis, telah ada perangkat/perspektif yang dapat menolong kita untuk menemukan pesan-pesan yang membebaskan pun bagi perempuan di balik HIStorinya itu. Dan itulah salah satu upaya yang hendak saya lakukan melalui analisis kisah Pingkan. Sesungguhnya perjuangan Feminis bukan untuk membangun kerajaan matriarki sebagai ganti patriarki, bukan itu. Sebab baik patriarki maupun matriarki dua-duanya sama yakni menindas mereka yang tersubordinasi dari struktur yang sengaja dibangun dalam masyarakat untk mengunggulkan kelompok masyarakat terntentu. Padahal perjuangan feminis, khususnya kalangan teolog feminis ialah perjuangan bagi pembebasan, keadilan dan kesetaraan, bukan untuk membangun struktur opresif yang baru. Sekali lagi bukan itu. Memang dalam Feminisme ada banyak aliran yang tak dapat disangkali di antara aliran-aliran ini ada juga yang bersifat radikal dan liberal membangun komunitas yang sama sekali eksklusif, terpisah dari lakilaki seperti komunitas yang dibangun oleh seorang feminis bernama Mary Daly, yang menggambarkan dirinya sebagai "feminis lesbian radikal". Tapi itu pun kita tak boleh langsung menjugde secara serampangan, tanpa memahami terlebih dahulu latar belakang, perlakukan dan pengalaman dirinya dan komunitasnya sehinga mendorongnya menjadi feminis yang radikal dan membangun komunitas yang terdiri dari kaum perempuan saja. Bung Andre dan juga broer Frank, jelas sekali citra-citra Allah dalam Alkitab lahir dari konstruksi budaya Yudeo-Helenis yang patriarkis-hirarkis. Ada tulisan dari Marianne Katoppo yang bagus yang mengangkat tentang nama-nama Allah dalam Alkitab. Dalam tulisan itu (sebagaimana juga saya kutip dalam tulisan saya "MENEMUKAN VISI BARU SPIRITUALITAS ORANG MINAHASA" yang dimuat dalam buku Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam Konteks) Marianne mengatakan bahwa Allah dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan sari kata YHWH. Nama ini katanya, berhubungan erat dengan kata kerja hayah artinga "berada". Ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya YHWH tidak memiliki kelamin (gender). Qetib (bentuk tertulis) nama Allah adalah YHWH tidak ada konotasi maskulin. Namun Qere' (bentuk yang diucapkan) dari nama Allah ini adalah Adonay artinya Tuhan - dalam arti Penguasa, Pemelihara". Dari nama yang diucapkan inilah nama YHWH = Adonay atau Allah = "pria". Dengan demikian nama Allah YHWH, yang awalnya tak berkonotasi maskulin telah bergeser menjadi melulu maskulin. Selain menjelaskan nama Allah YHWH dalam Alkitab, Marianne, seorang teolog feminis Asia pertama asal Minahasa, yang menguasai lebih dari sepuluh bahasa asing termasuk bahasa Alkitab (Ibrani dan Yunani), ia juga menggali nama-nama Allah yang female dalam Alkitab. Beberapa di antaranya ialah citra Allah sebagai Ibu (Ulangan 32:18, Yesaya 46:3, Hosea 11). Ada juga gambaran kasih Allah seperti kasih seorang Ibu kepada anak-anaknya (Yesaya 49:15, Yesaya 66:12,13), keterlibatan Allah dengan manusia dikiaskan sebagai seeokor induk burung yang melindungi anak-anaknya (Mazmur 17:18, 36:8, 57:1, 91:4; Yesaya 32:5, Ulangan 32:11). Ada pula beberapa atribut feminitas Allah lain yang juga disebutkannya seperti Syekinah artinya "kemuliaan kehadiran Allah di bumi", Torah artinya "bimbingan Allah", Hokmah artinya "hikmah Allah" (dalam bahasa
81 Yunani disebut Sophia dan bahasa Latin Sapientia). Begitupun Ruah dalam bahasa Ibrani berjenis kelamin feminin, tetapi dalam bahasa Yunani (terjemahan Septuaginta) menjadi neutrum, dan dalam bahasa Latin (terjemahan Vulgata) bergeser menjadi maskulin. Ini muncul juga dalam tradisi gereja-gereja Barat, kata Roh Kudus (Holy Spirit) diterjemahkan dengan "dia laki-laki/He". Marianne juga menyebutkan kata rahum wehanan yang artinya "penyayang pengasih" (Keluaran 34:6) itu memiliki menunjuk kepada aspek feminitas Allah. Sebab kara Rahum sebetulnya berarti "keprihatinan ibu" dan Hanan pada mulanya berarti "merindukan" dalam arti "naluri keibuan". Nah kata Rahum ini seakar dengan kata rahim artinya "belas kasihan", tetapi secara literer berarti "gerak rahim seorang ibu". Semua penjelasan ini ditulis oleh Marianne dalam bukunya Compassionate and Free (sudah diterjamahkan dalam bahasa Indonesia) dan juga dalam artkelnya yan lain berjudul "Nama-Nama Allah Yang Terlupakan". Bagi saya, upaya para teolog Feminis seperti Marianne Katoppo ini patutlah diapresiasi bukan saja sebagai kontribusi signifikan bagi kepentingan dunia akademis, tapi juga, dan ini menurut yang paling penting yakni sebagai upaya untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya perjumpaan Allah dengan manusia itu berlangsung dan dialami, entah itu secara personal atau pun komunal, itu tak mungkin terlepas dari subyektifitas diri manusia itu sendiri. Sehingga dalam penggambarannya pun termasuk dalam penggambaran tentang Allah itu selalu berkaitan dengan citra-citra ataupun sifat-sifat dan konotasi-konotasi yang berbasis gender - walau Allah itu sebagaimana hakikatNYA adalah tak berjenis kelamin. Maaf so ta lalu panjang, sekedar sharing aja. Thanks, Ruth
Tanggapan 165: Ruth Wangkai – 30/10/2010 Tabea broer Ron dan pak Roy ... Makase pak Roy so posting tulisan dari mba Iswanti, ekspresi gelesihan mendalam seorang perempuan dari banyak perempuan Katolik yang hidup dalam ketundukan religius-struktural, tanpa memiliki tempat dan kesempatan mengekspresikan refleksi-refleksi iman dan teologi mereka dalam merumuskan ajaran/dogma gereja, selain menerimanya sebagai "taken for granted" dari hasil pemikiran dan rumusan para teolog laki-laki sekaligus sebagai pastor, uskup dan paus. Keterasingan diri dan peran perempuan-perempuan Katolik inilah mendorong mereka tampil menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan religiusitas umat, dan inilah saya kira yang mau disampakan melalui tulisan ini oleh mba Iswanti. Tak heran jika banyak feminis khususnya juga dari kalangan para teolog perempuan itu berasal dari Katolik, di antara mereka dapat disebutkan Mary Dali, Elizabeth Cady Stanton, Elizabeth Schuessler Fiorenza, Rosemary Radford Ruether, Mercy Amba Oduyoye, Elizabeth A.Johnson, dan Rachel Louise Carson, dan lain-lain. Di mereka dan juga didukung oleh teolog-teolog feminis laki-laki, gigih berjuang bagi pengakuan dan pentahbisan perempuan sebagai iman dalam gereja Katolik. Perjuangan ini sudah membuahkan hasil sebagaimana telah ada beberapa gereja Katolik yang sudah memiliki imam perempuan. Untuk mendapatkan informasi tentang "Women priest" dapat dibuka di web-site: http://www.womenpriests.org
82 Tapi, sebetulnya peminggiran terhadap teologi feminis bukan saja terjadi di kalangan Katolik, tapi di kalangan Protestan pun masih terlihat. Contoh sederhana saja ialah tergambar dalam diskusi ini. Adalah fakta bahwa masih begitu kuat resistensi dan tantangan yang harus dihadapi oleh para teolog feminis untuk menembusi barikade dan penjaga nilai-nilai dan tradisi patriarki yang sudah mapan, dan ini tentu saja "ca gampang". Sebab kita tidak hanya berhadapan dengan nilai-nilai dan tradisi an sich, tapi justru dengan manusia yang sudah merasa nyaman dengan kemapamannya heheheee ... bukankah begitu pak Roy dan juga broer Ronny ...??? Salam, Ruth
Tanggapan 166: Harry Rombot – 30/10/2010 Oh begitu dang!!!!! deng oke2 saja.... kita tertarik deng bung Frank bilang bahwa jati diri tou minahasa akan setara dengan tuama2. deng ini artinya emansipasi wanita ternyata lebeh dulu ada dibandingkan waktu jamannya RA. Kartini. Ini pertanda wanita minahasa lebeh tinggi nilai dan derajatnya dengan wanita se indonesia. Ini merupakan kebanggaan tersendiri loh!!!! Aplikasinya sekarang ini, ternyata wanita minahasa sangat mendominan dalam pergaulan maupun tugas pekerjaan!!!! hehehehe
Tanggapan 167: Harry Rombot – 30/10/2010 Om Bert, rupanya dunia skarang so lebeh sempit kang!!! makanya obat penangkalnya om jang terlalu serius doe!!!! masih inga toh tu israel jaga maraju deng depe laste dorang dapa hukuman selama 40 tahun taputar-putar. percaya deh om pasti akan menemukan jati diri deng pemikiran yg lebeh mantap dibandingkan waktu2 lalu!!!! ada pepatah bilang, tabahlah menghadapi segala kekecewaan dan kesedihan sebab dibaliknya terlihat pulau bahagia!!!! ator jo om bert!!
Tanggapan 168: Andre G Bara – 30/10/2010 Dear bung Frank, apakah benar Yesus menyebut "our Father"? Apakah ada bukti yang mendukung itu? Ataukah (lagi-lagi saya ulang) bahwa itu hanya merupakan transkripsi yang di dominasi oleh interpretasi oleh para maskulinis. Salam, Andre All I learned to do at home was LIE, all I learned to do at school was CHEAT, all I learned to do at work was STEAL
Tanggapan 169: Andre G Bara – 30/10/2010 Ses Ruth yang baik, Saya memang bukan seorang pakar feminis namun minimal bukan seorang paranoid maskulinis. Dalam bukunya "Against His - Story, Against Leviathan" Fredy Pearlman telah menunjukkan betapa jelas bahwa subordinasi perempuan bukan sesuatu yang alamiah. John Zerzan dan masih banyak lagi pemikir post-antropology telah menjelaskan dengan detil (tentunya berdasarkan fakta empirik dari hasil penelitian dan penemuan arkeologis serta bukti antropologis) bahwa konstuksi berpikir patriarkis adalah produk kandung dari masyarakat hirarkis: masyarakat agrikultural. Namun memang dibutuhkan kerendahan hati serta pengakuan yang jujur dari semua kita (laki-laki dan perempuan) untuk menyadari bahwa pola berpikir, berbicara serta bertindak kita sangatlah patriarkis. Mengingkari kenyataan ini buat
83 saya cenderung terlihat seperti kaum xenophobic yang selalu ketakutan dan menolak segala sesuatu yang baru. Ulasan tentang Pinkan dan relevansinya dalam kehidupan masyarakat Minahasa hari ini memang sesuatu yang telak meninju mereka yang berpura-pura bahwa masih ada kesetaraan gender di Minahasa. Saya terus terang ragu dengan hal itu. Melihat fakta bahwa perempuan sebagai kelas dua adalah sesuatu yang eksis di masyarakat Minahasa. Kajian tentang kearifan hidup yang horizontal memang bukan di tujukan untuk membangun kerajaan matrialkal seperti yang dikhawatirkan oleh para lelaki "macho". Ini hanya sekedar upaya untuk mencoba membuka ruang diskursus beserta kemungkinan untuk percobaan hidup yang jauh lebih baik dari hari ini yang dangkal dan membosankan. Stigma bahwa ide-ide seperti ini adalah sesat tentu saja adalah respon yang terlalu berlebihan menurut saya. Sungguh ini adalah borok yang harus disingkap sekarang atau bakal jadi penyakit yang terus menggerogoti. Salam, Andre All I learned to do at home was LIE, all I learned to do at school was CHEAT, all I learned to do at work was STEAL
Tanggapan 170: Frank Tanos – 30/10/2010 Hello Andre, Kalau anda mengatakan ada bukti Yesus mengatakan Our Father, kalau ini pertanyaannya, tentu saya jawab ada. Itu tadi doa yang terkenal yang diajarkan oleh Yesus. Soal penulisan ayat2 didalam Alkitab bukanlah ditulis oleh satu orang saja. Kenapa didominasi oleh kaum masculine (pria), mungkin waktu itu kaum masculine lebih cepat menganalisa teknik arti dari ilham2 (wahyu) yang masuk kedalam pikiran mereka ketimbang kaum Hawa. Bagitu pula pada bidang kanonisasi Alkitab yang banyak dimotori kaum masculine. Kanonisasi artinya memilah2 mana ayat2 yang kira2 bersumber dari wahyu ilahi. Untuk memilah suatu tulisan, tentunya membutuhkan teknik spesialis yang mungkin jaman itu kaum Hawa belum sanggup memiliki pemikiran teknologi dalam teknik penyusunannya. Kenapa saya berbicara ada kandungan teknologinya, karena memang terdapat kandungan teknik tulis dan teknik jemah. Demikian Andrea.
Matius 6:9-13
84
Tanggapan 170: Hendrikus Dimpudus – 30/10/2010 Bbrp fakta empirik perempuan lebih tangguh dr pria. Ttp dgn mengedepankan hal ini, bukan berarti melecehkan laki2 loh... Hanya ingin menyadarkan laki2 bahwa perempuan adalah penolong yang sepadan Perempuan lebih mampu menjadi single parent Umumnya perempuan lebih setia. Faktanya banyak janda tidak menikah lagi setelah ditinggal suami. Sebaliknya, mana tahan. Orang bilang kata, tu tanah kubur masih basah so kaweng ulang hehehe... Jang tersinggung nech...
85 Perempuan lebeh telaten urus anak ketimbang laki-laki... Coba jo suruh tuama gendong anak. Paling 2 menit so bosan... Silahkan tambah lagi. Khususnya para tuama... Maksud kita supaya rasa superior laki2 dapat diturunkan ke level proporsional... Mitra sejajar Salam bae. HAD
Tanggapan 171: Hendrikus Dimpudus – 30/10/2010 Tabea Sangat jelas bahwa sebutan Bapa, Anak atau Putra bukan dalam arti ginekologis melainkan lebih pada metafora hubungan yang paling akrab menurut pemahaman empirik manusia (khususnya masy patriaki) Jadi saya kira, kata- kata yang sia-sia berkaitan nama Allah janganlah dianggap ringan... Karena IA tidaklah sama dengan kita. Alkitab berkata ... Janganlah menyebut nama TUHAN Allahmu dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut Nama-Nya dengan sembarangan... (Kel.20:7)... Hehehe...just to remind us... Salam bae HAD
Tanggapan 172: Frank Tanos – 30/10/2010 Betul kali bung Hendrikus,... FT Tanggapan 173: Bert Supit – 30/10/2010 Ada koreksi sedikit bung Frank..........lihat dibawah......hehehe!!! Hello Andrea mat sore, terima kasih tu repon,…mantap!...yang dimaksud istilah “selera”, saya hanya mengatakan pada kalimat “Allah Bapa”,…bukan untuk kalimat “Allah”. Karena istilah Allah Bapa atau Allah Ibu tidak dikenal dalam katekismus pelajaran Alkitab. Saya tidak tau siapa yang memulai kalimat seperti itu. Yesus sendiri hanya menyebut Bapaku (Our Father). Bapa yang dimaksud tentu Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi kata Bapa sendiri sudah menjadi perennial title bagi umat Kristiani. Kalau ada kata “Our Father” dan yang berkeinginan menyebut “Our Mother”, ya sah2 saja sih. Kalau doa Bapa Kami (Our Father) mau diganti jasi Ou Mother juga sah2 saja….
Our Mother, Who is in heaven, Holy is Your Name; Your kingdom come, ....... Your Queendom come!!! Your will be done, on earth as it is in heaven. Give us this day our daily bread, and forgive us our sins, as we forgive those who sin against us; and lead us not into temptation, but deliver us from evil. Amen. Kira2 bagitu jo diape perobahan….salam. Frank
86
Tanggapan 174: Harry Romnot – 30/10/2010 Om Bert, bung frank sangat mudah terbawa arus kang!!!! padahal so dari kacili so diajar doa bapa kami, kong setelah basar dia anggap sah2 saja bila menyebut doa bapa kami menjadi doa ibu kami. terkecuali kalo dalam berdoa bersama keluarga baru itu sah2 saja doe!!!! Om bert ada kaseh point pa dia ... your queendom come... jadiseolah torang so berada dalam kehidupan kerajaan tempo dulu hihihi memang boleh jo om bert ini!!!! Mar om bert salam jo untuk keluarga dan khususnya torang doakan for ibu bert semoga sehat selalu dan banya rejeki neh!!! hehehe
Tanggapan 175: Bert Supit – 30/10/2010 Selanjutnya History ganti jo dengan Hertory.......made in MRNC!!! Sosialisasikan jo ke seluruh dunia bung Frank!!! Hehehe!
Tanggapan 176: Bert Supit – 30/10/2010 Kita lei so bingo bung Adolf........!!! Lebe bae stou brenti jo ini baputar putar....So nintau siapa yang butul, dan so nintao kapan itu parampuang mo suka jadi laki2 dan laki2 mo suka jadi parangpuang.......Dus kunci rekeng biar jo kwa tetap pada kodratnya masing2 dengan mempertebal nilai2 dan martabatnya masing2 sambil torang samua, baik laki2 maupun parangpuang saling menghargai dan saling mencintai sesuai dengan amanat Yesus Kristus! Dan untuk Tanah dan Tou Minahasa...kita tetap pada prinsip yang so lebe dulu kita katakan dimilis ini......yakni: "KARENA SAYA SELALU YAKIN BAHWA DI TANAH PERJANJIAN MINAHASA YANG TELAH DIANUGRAHKAN ALLAH KEPADA BANGSA MINAHASA DENGAN JALAN MENGKUDUSKAN TANAH DAN TOU MINAHASA MELALUI FIRMAN KASIH YESUS KRISTUS .... MAKA DI TANAH PERJANJIAN MINAHASA TSB TIDAK ADA DAN TIDAK PERNAH AKAN ADA SUATU DISKRIMINASI ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI2. DAN KEDUA INSAN CIPTAAN ALLAH TSB AKAN TETAP SETIA PADA KODRATNYA MASING2 DENGAN SALING MENGHARGAI, SALING MENOPANG DAN SALING MEMBEBASKAN TANPA SUATU GERAKAN FEMINIS APAPUN......(EKTREEM!!!???)" HALELLUYAH...AMIN!!! Memang terlalu simple stou kita pe'statemen' diatas....maar kita rasa ini mungkin yang dapat dimengerti oleh para anggota Jemaat GMIM dipedesaan dari pada mo kase taputar itu dunia dengan ceramah 'Teologi Feminisme'! Lagi pula kita kwa selalu coba mo kase 'nasehat' di torang pe jemaat dan kaum ibu maupun pemuda dan pemudi rakyat biasa supaya jangan trus2 berkhotbah/berceramah saja tetapi sesudah berkhotbah/berefleksi KITA HARUS BERBUAT.....seperti kita pe pengalaman waktu torang dengar seorang pendeta berkhotbah tentang UU pornografi. Eeeee.....waktu torang beking statemen anti UU pornografi, lalu beking demonstrasi sampai di MK....ternyata itu Pendeta kote cuma berkhotbah terus....dan TAKO mo ber-action!!! I love you all...! Peace, bas
87
Tanggapan 177: Frank Tanos – 30/10/2010 Hehehe,…bung Harry & Om Bert Saya tidak terpengaruh dengan orang lain. Kata sah2 saja itu memang benar. Kalau ada yang mau menyebut atau mau mengantikannya dengan tulisan lain silahkan aja. Tapi Alkitab berbicara lain. Itukan wacana mereka. Selama itu wacana saya kira sah2 saja. Bung Harry, kita ini lahir dan besar sebagai orang Kristen protestan. Kita menjadi katholik bukan karena perkawinan, kita jadi katholik karena ilmiah. Kita cukup menguasai jalan pikiran rekan2 itu. Untuk om Bert, apa yang salah sih om Bert??... memang agama Protestan yang dibentuk oleh Marthen Luther itu tidak pernah salah dalam tindakannya??... sekalipun dia bapak reformed bagi agama protestan, tapi dia lupa atas tindakannya yang salah kaprah itu….salam bae… Frank Tanggapan 178: Bert Supit – 30/10/2010 Bung 'Kakas'.......kita lei so sadiki nyanda mangarti deng tong pe bung Frank!!! Biasanya dia ini konsisten dengan dia pe pribadi...... Tetapi tiba2 kote dengan ini topik 'feminisme', bung Frank jadi plin - plan!! Hehehe.....Jangan marah ne! Tapi bung Kakas, torang musti mangarti bung Frank pe kedudukan sebagai 'moderator' di milis ini. Dia kan musti 'NETRAL'..... dus dia musti kesana dan kamari antara laki2 dan parampuang ...... alias 'ban...'!!! Hehehe...Jangan marah lagi neh!!! Maar bung Frank....hati2 lho jangan Pastoor dapa tau kong anda nanti di 'ex-communikasi' dari Roma....bahaya 12!!! Ok....sampe sini jo bung 'Kakas'...nanti torang somo lebe jao! Peace bung Frank!....Cuma baku sedu kwa!!! bas
Tanggapan 179: Margaretha Eveliene – 30/10/2010 Om Bert Butul sekali pendapat om Bert karena sampe dunia kiamat ndak mo ketemu ujungnya dimana... padahal masih banyak hal yg nyata yg bisa dikerjakan..cape dhe....
Tanggapan 180: Frank Tanos – 30/10/2010 Dear om Bert, Sebenarnya yang dikawatirkan itu apa sih om Bert?... biarkanlah mereka berwacana…ini dunia demokrasi. Santai jo om Bert…. Ther is nothing to worry…. Hehehe..Frank
88
Tanggapan 181: Ruth Wangkai – 30/10/2010 Tabea MRNC ... Prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan sebagai dasar hidup bersama Tou Minahasa sebetulnya masih dapat dilacak dalam berbagai sisi kehidupan Tou Minahasa tempoe doeloe. Selain dalam Mapalus misalnya, juga dapat dilihat dalam kesenian tradisional sebagaimana itu ditemukan dalam bait-bait lagu dan juga tarian Maengket. Perry Rumengan, pakar di bidang Etno-Musikologi Minahasa mengatakan bahwa dalam lagu dan tarian Minahasa tidak dikenal bentuk nyanyian dan atau tarian perorangan. Yang ada adalah nyanyian dan tarian yang selalu dibawakan secara bersama-sama, seperti Maengket. Selain prinsip kebersamaan, kesetaraan laki-laki dan perempuan begitu ditekankan seperti terungkap dalam lagu di bawah ini OPO WANA NATAS OPO' wana'n atas e, tembo ne se mangalei-ngalei Tembone se mangalei-ngalei pakatuan pakalawiren. Kuramo ung kalalei u langit, tentumo kalalei un tana' Kuramo ung kalalei un tana', tentumo kalalei ta intou. Nikita in Tou e karia, e nimapasusuat uman. Nimapasusuat uman karia, wia si OPO' wana'n tas. Si OPO wana'n atase Sia si matau ampeleng (2X) Sia si matau am peleng Mamuali wia um bawo un tana' Artinya: Allah di tempat Mahatinggi Tiliklah kami yang berdoa memohon belas kasih-Mu Pedulikanlah kami yang memohon umur panjang dan diberkati Sebagaimana kemuliaan di sorga demikian juga di bumi Sebagaimana kesejahteraan di bumi demikian juga manusia Kita semua manusia adalah sama Kita semua sama di mata ALlah Allah mengetahui segala sesuatu Dia yang mengetahui segala-galanya Apa yang terjadi di atas bumi. Lagu ini jelas sekali mengungkapkan prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan dan bahkan kesederajatan manusia dengan alam pada satu sisi, dan kesatuan semua makhluk dengan Kuasa Tertinggi pada lain sisi, sebagaimana itu terartikulasikan dalam sebutan/sapaan OPO (yang merujuk kepada sapaan kepada seseorang yang sudah berumur, entah oma atau opa, atau merujuk pada makhluk lain seperti unggas/burung dan tumbuhan/padi serta juga unsur-unsur alam seperti air, tanah, dsb. Ada lagi lagu yang berjudul: SEI SI OPO Sei si makilek nate e tou Si sei si mema kayobaan ya'sa Si sei situ meir cita In tou an tatang sa sia mateo Si Kasuruan an dior an kayobaan A siya waya se tou wo tumou
89 Sia tumeir ing kayobaan Tanoka si koko Mamarimbing Mateir in buli nana. Artinya: Siapa si OPO Siapakah yang menyelami hati manusia Yang merawat bumi dan segala isinya Yang menjaga manusia di sebelah sana sesudah mati Dialah yang ada sebelum semua ada Dari Dia semua yang ada lahir Dia menjaga semua ciptaan Seperti si koko Mamarimbing (burung Manguni) menjaga telurnya. Dalam bait-bait lagu di atas jelas sekali Allah disapah sebagai OPO dan juga KASURUAN, yang merujuk pada aspek feminitas Allah. Bahkan Allah juga dikiaskan sebagai seekor induk burung yang melindungi telurnya. Ini mirip dengan kiasan tentang Allah dalam PL bagaikan seekor burung yang melindungi anak-anakNya. Wuah kalau mo digali terus dan lebih jauh lagi ternyata budaya Minahasa menyimpan banyak "local wisdom" bagi perjuangan keadilan dan kesetaraan merajut peradaban yang humanis. Karena itu jika mau maju dan menjadi bangsa yang besar, saatnya sekarang kita berjuang bagi "kelahiran kembali" (Renaisans) kebudayaan Minahasa untuk menemukan Jati Diri dan Martabat Tou Minahasa dalam konteks kekinian. Salam perjuangan, Ruth
Tanggapan 182: Bert Supit – 30/10/2010 Nah lho susi Ruth.....kita kan so bilang dari mula bahwa jangan persoalkan itu hubungan kesetaraan laki2 dan perempuan di Minahasa...... kiapa dang kwa beking ribut deng itu revolusi 'theologi feminisme'....di Minahasa!!! Hehehe!!! Skarang butul2 kita somo STOPPPPP!!! Love and Peace again....forever!!! bas
Tanggapan 183: Harry Romnot – 30/10/2010 Bung Frank. kalau itu pilihanmu yah torang nda bisa larang asalkan tetap konsisten noh, kong nanti dalam perdiskusian laeng jadi berubah begitu cepat karena arus!!! hehehe Oke soal wacana memang itu bebas tinggal bagaimana penyaringannya apakah mo pake filter yg berkualitas of yg biasa2 saja? Cukup menarik komitmen bung Frank mengatakan kita lahir dan basar sebagai kristiani protestan, kemudia karena pengaruh ilmiah terus menjadi katolik. Atik sih nga protes lebeh jauh mar yg menjadi titik perhatian apakah soal religius itu lebih diutamakan karena ilmiah ataukah iman? nah disini atik lei pengen belajar banya soal itu... ini cukup menarik bung frank karena contoh soal so jelas deng ada!!! mungkin ada yg berangkat dari pendeta ataukah sarjana teolog yg dapat memberikan pencerahan pa torang sekalipun itu singkat ringkas dan jelas!!! heheheh
90
Tanggapan 184: Harry Romnot – 30/10/2010 Om bert, memang komaling om sangat heubat kalau soal yg ginian deng sangat peka mar sepertinya kena urat syaraf yg penting kwa...hehehehe mungkin om bert masih i9nga tu lagu Story book children? coba resapin kata2nya itu sangat meresap dan melekat dalam kehidupan manusia!!! om bert maju trus deng dapa lia rupa cap mau alias tokoh yg diunggulkan dalam dunia perdiskusian dan sangat mencerahkan kwa...hehehehe
Tanggapan 185: Harry Romnot – 30/10/2010 Ruth, nga usah jauh2 jo, yg namanya adam dan hawa kan diciptakan bersama dan khususnya hawa diambil dr rusuk lelaki dan ini pertanda kesetaraan tetap relevan dan tergantung penempatannya dalam posisi yg bagaimana dulu!! di sejarah tou minahasa pun sudah nampak dan bahkan lebih dr itu wewene selalu ditempatkan dlm porsi yg utama dan selalu dihargai dan dihormati dalam keberadaannya dan ini melambangkan bahwa tuama pun selalu mengerti dan mengalah terhadap wewene sehingga sebagai tou minahasa maka atas dasar itulah tidak ada yg disebut dunia kerajaan tapi dunia yg selalu ramah dan tidak dibuat-buat. Yakinlah segala atribut weweene minahasa selalu mendapatkan tempat dan posisi yg sejajar bahkanmungkin bisa lebeh dan ini pertanda bahwa kalau torang kembali dalam nilai sejarah yg mengatakan suatu bangsa akan menjadi besar apabila bangsa itu menghormati nilai sejarah krena disitulah titik tolok kemajuan dan perubahan. hehehehehe
Tanggapan 186: Danny Sumendap – 31/10/2010 No, Hawa di ciptakan kemudian, dan fungsinya untuk menghibur Adam, atau untuk mainannya .
Tanggapan 187: Matulandi Supit – 31/10/2010 Tabea, Kita mo usul, bagaimana kalo proses diskusi yang panjang tentang Pingkan dan lainnya dirangkum kong diterbitkan. Sangat menarik untuk didokumentasikan terutama sebagai bahan referensi dikemudian hari…. Salam, MS
Tanggapan 188: Sarah N. Rumemper – 31/10/2010 Yth Moderator ,dan sesama Mils. Ijinkan dalam situasi disku ini sebelum beranjak ke Pingkan Part Two,harap tulisanku ini tidak menjadi berdosa kepada Tuhan dan menyakiti sesama Mils. Setelah mengikuti jalannya disku Part One, ternyata menurutku yang terbatas ini ber-tanya2 karena sebuah cerita Mithos / cerita rakyat /atau semacam halusinasi penulis, yaitu si Pingkan anak desa, yang cantik setia kepada suami Matindas,setia sampai mati, walau cobaan menggoda namun tetap setia walau dengan tipu daya spy tetap sehidup semati dengan Matindas, apalagi dibumbui dengan olesan pengaruh budaya barat yang feodalism partiakis sentris, yang diistilahkan "kotor dan berbau busuk"....kedengarannya luarbiasa dibumbui dengan rezim orde baru..maka lengkaplah sebuah ceritra rakyat yang katanya "ilmiah", mengundang penasaran yang ber-tubi sehingga analisa bacaan dan situasi dibayangi berdasar ceritra rakyat. Bagiku kurang mendasar dan tidak Alkitabiah. Bagaimana mungkin sebuah ceritra rakyat di- campur aduk dengan kisah nyata
91 dipakai sebagai dasar penulisan Ilmiah???.diangkat menjadi satu patokan ilmiah, menjadi pemahaman disku yang layak??? Fanatism yang ber-lebihan bisa menbuat seseorang jatuh dalam pemikiran sendiri2 ,bahwa se-olah2 Indonesia ( Minahasa )perlu kerja keras untuk mengembalikan keberadaan masa lalu.( mengembalikan wanita pada porsi yang sebenarnya ). Dalam kisah Si Pingkan kalau mau di jadikan bahan diskusi maka menurut hematku dalam kisah tsb ada beberapa topik UTAMA yang di-pisah2kan supaya bila didisku menjadi lebih terarah. Disisi lain kisah tersebut jarang dan sama sekali belum dilukiskan nilai2 positif dari kisah cinta Pingkan dan Martindas, ( Pingkan setia tetapi buntutnya nyawa orang ) belum hadir nilai positif dari cara Pingkan menyelesaikan masalah , belum ada nilai2 positif dari penulis mengenai kehadiran Zending di Indo, belum ada jalan keluar dari pengaruh barat, belum ada nilai positif mengenai feodalism patriakis sentris dan latar belakangnya, mungkin ada ,tapi belum nenyentuh, bahkan lebih cendrung menina bobokan para pembaca, dengan rasa iba yang berlebihan. Menurut sebuah tulisan yang pernahku baca, bila sebuah naskah atau tulisan atau kisah perlu ada bebrapa kriteria antara lain: 1. Dari segi Naskah ,perlu ada semacam bahan yang otentik ( contoh, apakah benar ceritra kisah cinta Pingkan gadis desa, dan kesetiaannya,pengaruh Zending ,pengaruh barat dalam pemaksaan kehendak ( menjajah???), dapat diterima sebagai naskah????. 2. Dari segi Sastra, perlu ada semacam acuan yang belum tuntas dijamah orang sebagai susunan intrn ,semacam struktur dan sumber yang dapat di-pertanggung jawabkan.( contoh, benarkah budaya barat bisa merusak mental masyarakat dan apa hubungannya dengan kisah Pingkan yang nota bene hanya ceritra rakyat atau ceritra dari mulut ke mulut). 3. Dari segi Sumber , perlu semacam bacaan yang dapat dipegang sebagai bukti bahwa salinannya /buktinya dapat diterima, contoh, benarkah kisah pingkan itu cerita rakyat atau semacam halusinasi penulis yang diangkat menjadi sesuatu yang real dan pasti secara tertulis, sehingga dapat disejajarkan dengan kisah nyata rezim orde baru dan pengaruhnya,dll. 4. Dari segi Bentuk, perlu, masukan2 yang jitu supaya bisa merupakan acuan yang benar2dapat diterima contoh: benarkah campuran kisah Pingkan ( ceritra rakyat dan kisah sejarah ( masuknya Zending, pengaruh barat, rezim orde baru ) dapat dibentuk menjadi sebuah berita yang benar2 ILMIAH ?????. 5. Dari segi Redaksi, nah ini benar2 bukan sebuat ceritra mulut ke mulut tapi benar sebuah berita nyata yang dapat diterima orang banyak melalui bacaan contoh : benarkah tulisan gado2 itu bisa menjadi sebagai sebuah tulisan yang sdh dikaji, sehingga dapat dibawa ke publik???( dalam fokus kecil). Setiap penulisan sebaiknya pikirkan generasi penerus, dengan tdk membebani dan membiarkan mereka tersandung dengan bacaan2 yang melemahkan Iman mereka. Demikianlah tulisan ini kiranya bermanfaat, ...Gb. Sarah.
92
Tanggapan 189: Harry Rombot – 31/10/2010 Bung Frank, so tantu kita lei mo balas selamat hari minggu semoga peace be with you menyertai bung dan keluarga serta seluruh anggota milis disini. Iwes sebenarnya so salah terka, sebab atik ini jauh dr garis UKIT apalagi yg namanya tamatan disana? wouw ini komaling bung bekeng kejutan yg luar biasa loh!!! sebenarnya atik lei waktu tamat sma pengen mo maso UKIT, mar ada terbentur dengan keyakinan ati sendiri. Mengapa? sebab atik nimau mempermainkan lembaga yg terhormat itu dalam kehidupan atik artinya atik nimau berbohong diri loh. Memang atik waktu jaman itu banya mendengar atik pe tamang2 yg selevel mengatakan kalo so nyanda bisa maso di UI dan universitas yg bergengs lainnyai, lebeh bae maso jo jadi pendeta. Padahal bung tau, atik pe om deng tante banya so jadi pendeta. Jadi seolah ada pelecehan yg dikerdilkan oleh tamang2 waktu itu terhadap lembaga UKIT pada waktu itu atau istilahnya telalu dianggap entenglah untuk menjadi pendeta atau sekolah pendeta menjadi tempat penampungan. Padahal kalo torang sadar dan sesadarnya bahwa justru dengan menjadi pendeta itu merupakan harga yg mahal krn didalamnya terletak tanggung jawab yg besar untuk penyelamatan dari cengkraman kuasa kegelapan terhadap manusia didunia ini. Makanya untuk menjadi pendeta haruslah benar2 murni yaitu harus terpanggil dan tidak terkontaminasi oleh nilai sesuatu yg bisa mengakibatkan tergesernya nilai dogmatis dan teolog itu sendiri. Olehnya itu bila torang masuk tidak dengan ketulusan dan keterpanggilan maka ujung2nya akan mudah dijangkitin oleh kuasa penyesatan yg bermain disegala arus dan unsur kehidupan yg terselubung karena ibilis itu ada dimanamana dan punya kuasa untuk menggoda manusia menjadi pengikutnya . Tapi dalam diri atik senantiasa tetap menjaga eksistensi kependetaan sebagai nilai yg tertinggi danbukan sebagai tempat pelarian atau sejenisnya dan makanya atik tidak kesitu. Mungkin kalo atik maso bisa jadi penghotbah yg heubat dan tidak membaca seperti kebanyakan pendeta masih ada yg bahotbah babaca!!! sehingga akibatnya bagi anggota jemat jangan disalahkan kalo fenomena yg sunjektif melalui pergeseran dan perpindahan jemaat yg nota bene menjadi benang kusut yg perlu diluruskan. Perpindahan anggota jemaat ke denominasi lain ini merupakan momok tapi itulah kenyataan yg terjadi karena akarnya semakin jelas dimana jemaat didalam gereja pengen cari rumput yg hijau segar dan air yg sehat dan tidak ingin rumput yg kering. hehehe sorry neh bung Frank yg penting torang tetap optimis untuk memajukan lembaga kekristenan itu untuk masa kedepan loh!!!
Tanggapan 190: Frank Tanos – 31/10/2010 Selamat Hari Minggu bu Sarah, Betul sekali itu Sarah, sebaiknya memang tidak dicampur adukan dalam pengambarannya. Sekali lagi terima kasih bu. Frank Tanggapan 191: Dennie Pinontoan – 31/10/2010 Bung Adolf S, Sebaiknya, Bung Adolf S memahami dulu perspektif feminis dalam memahami Alkitab. Pasti bung Adolf mengenal istilah "patriarkhal" yang disebut-sebut oleh kaum feminis, baik sebagai ideologi maupun sebagai konteks kebudayaan di mana teks2 alkitab itu ditulis dan dikumpulkan. "Doa Bapa Kami" jelas menggambarkan pengaruh ideologi ini dalam perumusan pengakuan iman atau rumusan penghayatan iman. Makanya soalnya bukan yakin atau tidak. Iman kita kan bukan kepada Allah yang laki2, tapi kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, dan kata rumusan pengakuan iman kita telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus, Namun begitu antara Allah dan Yesus masih berbeda.
93 Allah adalah sesuatu yang abstrak, transenden, dan tiada satupun manusia yang dapat megnetahui atau berimajinasi Dia laki-laki atau perempuan. Yesus, adalah manusia seratus persen yang historis karena pernah hadir dalam sejarah manusia. Yesus adalah laki-laki. Tapi, Yesus dalam iman, yaitu Kristus adalah untuk semua, baik laki2, perempuan maupun untuk kaum LGBT. Kristus adalah Yesus dalam refleksi iman, yang mestinya netral, tidak berjenis kelamin. Makanya, tidak ada yang salah jika kaum feminis menyapa Allah, sebagai "ibu" dan wajar saja jika doa bapa kami, oleh mereka, dalam pengakuan iman mereka disebut dengan "Ibu Kami yang Disorga". Memang banyak ayat yang menunjukkan itu. Tapi, sekali lagi ini sangat terkait dengan ideologi dan kebudayaan yang mempengaruhi para penulis alkitab yang sangat dikuasai oleh ideologi dan budaya patriarkhi. Bung Adolf, apa yang sedang saya share ini adalah bagian juga dari kita saling mencerahkan. Kita tunggu juga pendapat dari yang lain, misalnya Ibu Jedida, ibu Ruth, bung Audy atau kak Nina. denni
Tanggapan 192: Frank Tanos – 31/10/2010 Selamat Hari Minggu pak Matulandi, Memang semua diskusi dibuat dalam Rangkuman. Kalau ingin melihat Rangkuman terdahulu, dapat dilihat di WebNews. Salam Frank
Tanggapan 193: Harry Rombot – 31/10/2010 Frank, tulisan sarah ini singkat jelas dan pengen pembuktian yg nyata... lihat jawabanku dibawah...HR
Tanggapan 194: Margaretha Eveliene – 31/10/2010 Om Bert mungkin ada baiknya siapkan satu wadah khusus untuk menampung topik2 yg mungkin tidak semua anggota MRNC mau bahas,respon or tertarik karena mungkin buat sebagian anggota cuma bikin pusing kalau cuma ta putar disitu-situ alias teori belaka . Yang paling penting gimana setiap hasil diskusi itu bisa dikembangkan utk dapat menghasilkan sesuatu utk membantu dan membangun Minahasa. Kalau cuma sekedar teori..terlalu banyak...tapi gimana prakteknya..??? Apakah mereka mampu mewujud nyatakan semua teori mereka,masih relevan engga utk masyarakat minahasa dsb. Bagitu jo dulu Selamat hari minggu samua
Tanggapan 195: Nina Nayoan – 31/10/2010 Tabea, Kegelisahan mbak Iswanti memang sangat beralasan dan saya kira itu menjadi kegelisahan banyak kaum feminis (termasuk di Indonesia ?) yang memimpikan suatu dunia dimana eksistensi perempuan diterima secara equal sbg IMAGO DEI, gambar ALLAH dan bukan sbg makhluk kelas dua, inferior, tidak
94 signifikan/penting dalam sejarah peradaban dunia. Gerakan teologi feminis setahu saya memang belum lama berkembang dalam bidang ilmu teologi . Saya sendiri belajar teologi feminis tidak melalui dunia kampus tapi melalui social movement karna memang disiplin ilmu teologi feminis sptnya masih sedang diperjuangkan dalam dunia akademis. Mungkin bu Jedida, my senior bisa bantu menjelaskan soal ini. Teologi feminis dipandang sbg teologi pinggiran barangkali lebih karna konteks latarbelakang kehadirannya yg baru muncul dan berkembang di awal abad ke-20 dan harus berhadapan dengan banyak teologi-teologi mainstream yg traditional termasuk di sini ialah western theology, teologi yg terlalu eropasentris, spt teologi karl Barth, Bultman, etc - spt penilaian mbak Iswanti dimana teologi2 tradisional itu sudah berada di posisi center/pusat. Saya kira hampir mirip dengan posisi teologi kontekstual, teologi in loco yg seringkali masih diposisikan pd periphery/pinggiran karna teologi itu banyak berkembang di dunia ketiga,negara2 developing and underdeveloped (I don't like this term actually) oleh karna konteks penindasan secara kultur,ekonomi dan politik yg dialami 3rd world countries. Dalam beberapa hal, teologi feminis juga berada dalam misi perjuangan yg sama yakni untuk menghapus segala bentuk struktur dominasi yg opresif bagi kaum perempuan. Teologi feminis bisa dikatakan satu bagian dari kerangka gerakan feminis yg mula-mula muncul sbg gerakan memperjuangkan hak-hak asasi perempuan baik hak-hak politik dan ekonomi di dunia barat. Kita liat aja negara Amerika sejauh ini apakah sudah pernah dipimpin oleh presiden perempuan ? Pemilu terakhir di Ameririka isu yg diperjuangkan adalah persaingan antara mengedepankan hak perempuan sbg pemimpin ataukah hak kaum kulit hitam (isu anti racism) yg harus dimenangkan? Ternyata isu hak perempuan masih kalah oleh isu rasialisme walau disisi lain tampilnya Obama jg menjawab pergumulan ras kulit hitam yg tdk bisa lg dianggap ras kelas dua di negerinya. Menarik utk mencermati dinamika di Amerika yg sudah maju demokrasinya tapi toh menerima seorang presiden perempuan butuh puluhan bahkan ratusan tahun ? What an amazing reality ? Pak Ronny, saya kira keliru menilai teologi feminis berupaya utk mengambil posisi Paus. Sebenarnya kaum feminis bisa balik mengklaim mengapa gereja tidak melihat pentingnya peran Maria Magdalena semasa Yesus yg sesungguhnya sama pentingnya dengan peran rasul Petrus ? Maria Magdalena adlah saksi kebangkitan Yesus bahkan ia yg pertama diberi mandat oleh malaikat Tuhan menjadi pemberita injil kebangkitan dan karna itu ia layak dikategorikan rasul tapi gereja menutupi fakta tsb. Kesaksian Maria disepelekan oleh murid2 Yesus yg lain karna mereka tdk mau tersaingi oleh maria magdalena. Elizabet Fiorenza seorang feminis Katolik sendiri akhirnya menilai betapa struktur kepemimpinan Papacy/kepausan itu sangat patriarkal dan ia menilai tidak ada gunanya perempuan berjuang ditahbis dlm sistim kepemimpinan yg hierarkikal patriarkis karna itu sama saja menjerumuskan perempuan dalam sistim dan struktur dominasi yg androsentris atau male dominated. Fiorensa menilai
95 kondisi tsb tidak membawa suatu perubahan yg dimimpikan kaum feminis. Dan memang sebuah realitas pula bahwa ada banyak kaum perempuan sendiri yg tidak mendukung perjuangan feminis karna mereka sudah menjadi bagian dari sistim yg memberikan privilege tersendiri. Perjuangan feminis memang sebuah long journey dan melelahkan. Upaya berteologi dengan perspektif feminis masih tergolong langkah awal demi sebuah 'bumi baru dan langit baru' dan saya kira hakikat feminis adalah tidak pernah berniat utk mendominasi 'the center' karna itu jika dia masih di pinggiran saya melihat makna 'pinggiran' itu sbg refleksi semangat egalitarian, kesetaraan yg hendak dibangun oleh feminisme. Mungkin bagitu jo dulu, sorry so talalu panjang. Happy sunday all! Peace, Nina
Tanggapan 196: Ronny Aruben – 31/10/2010 Tabea Zus Ruth dan MRNC, Prinsip kesetaraan laki2 dan perempuan dalam kajian feminisme adalah "ideologi" yang dibangun dari hasil refleksi perjalanan hidup umat manusia di bumi ini, yang kemunculannya berawal dari dunia Barat sana. Seperti halnya dengan refleksi Marx atas ketidakadilan dan penindasan sistem kapitalisme. Bahwa kemudian Uni Sovyet ambruk, itu persoalan lain. Tetapi kritik Marx tentang ketidakadilan itu adalah kritik yang sangat manusiawi dan mulia. Marx ingin melihat adanya kesetaraan dalam kehidupan sosial-ekonomi: sebuah motivasi yang sangat Kristiani !!! Refleksi Marx ini yang menjadi salah satu sumber inspirasi bagi gerakan feminisme, yang melihat adanya ketidaksetaraan gender dengan implikasi sosialekonomi pula. Bahwa di Minahasa prinsip kesetaraan itu diyakini sudah ada sebelum munculnya gerakan feminisme, menurut saya, itu masih harus dikaji lagi secara mendalam dan kritis. Kedudukan perempuan sebagai pemuka agama di Minahasa selatan di masa kuno itu masih harus kita pertanyakan: (1) apakah itu indikator pembagian kerja berbasis gender di mana laki2 pada masa itu memegang posisi sebagai panglima perang dan kepala suku (jadi, ada kesetaraan laki2 dan perempuan)? Atau, (2) apakah itu justru merupakan indikator DOMINASI PEREMPUAN atas laki2 di wilayah Tontemboan kuno, bahkan di seluruh Minahasa, mengingat mitologi Lumimuut sebagai "ibu Tou Minahasa"? Ini adalah persoalan akademik, meskipun tidak berarti bahwa hanya yang merasa "akademisi" saja yang berhak membahasnya. Kita tidak bisa "menelan" begitu saja informasi tentang ada/tidaknya kesetaraan gender di Minahasa sejak masa kuno. Itu sebabnya saya mengajukan sebuah hipotesis dalam tulisan yang lalu: "kolonialisme berdampak negatif bagi kedudukan perempuan di wilayah Tontemboan dan sebaliknya positif di wilayah Minahasa lainnya". Kajian feminisme mejadi sangat bermakna untuk melihat aspek CONTINUITY atau DISCONTINUITY sejarah Minahasa secara empiris. KDRT, misalnya, yang menggejala di seluruh dunia, termasuk di Minahasa kontemporer, menuntut kita untuk "menengok ke belakang sejenak untuk maju ke depan". Karena itu, mengasumsikan Minahasa sebagai "wilayah Tuhan yang tanpa masalah" sama
96 saja dengan memitologisasi kembali Minahasa... Salam Bae, RA
Tanggapan 197: Ronny Aruben – 31/10/2010 Nina, Tolong read between the lines atas seluruh tulisan saya yang ada di milis ini !!! RA
Tanggapan 198: Dennie Pinontoan – 31/10/2010 Sus Eveline, Nda ada peradaban yang dibangun tanpa basic pemikiran, yang antara lain dengan rumusan2 pemikiran, teori, paradigma dan ideologi. Mendiskusikan dalam wacana persoalan hubungan laki-laki dan perempuan dalam konteks Minahasa adalah juga bagian dari "aksi" untuk Minahasa. Jika sudah mengambil tindakan tanpa rumusan pemikiran yang jelas, kebanyakan hanya akan berakhir sia-sia dan bahkan konyol. So pasti, ini ruang diskusi, ruang merumuskan pemikiran dan teori dan orang2 yang berwacana ini tentu tidak hanya sampai dibicara doang, saya yakin mereka juga sudah sementara melakukan sesuatu untuk Minahasa. Bagimana Minahasa mo maju kalo aksi2nya tanpa basis pemikiran yang kuat????? denni
Tanggapan 199: Harry Rombot – 31/10/2010 Yth Moderator ,dan sesama Mils. Ijinkan dalam situasi disku ini sebelum beranjak ke Pingkan Part Two,harap tulisanku ini tidak menjadi berdosa kepada Tuhan dan menyakiti sesama Mils. Setelah mengikuti jalannya disku Part One, ternyata menurutku yang terbatas ini ber-tanya2 karena sebuah cerita Mithos / cerita rakyat /atau semacam halusinasi penulis, yaitu si Pingkan anak desa, yang cantik setia kepada suami Matindas,setia sampai mati, walau cobaan menggoda namun tetap setia walau dengan tipu daya spy tetap sehidup semati dengan Matindas, apalagi dibumbui dengan olesan pengaruh budaya barat yang feodalism partiakis sentris, yang diistilahkan "kotor dan berbau busuk"....kedengarannya luarbiasa dibumbui dengan rezim orde baru..maka lengkaplah sebuah ceritra rakyat yang katanya "ilmiah", mengundang penasaran yang ber-tubi sehingga analisa bacaan dan situasi dibayangi berdasar ceritra rakyat. Bagiku kurang mendasar dan tidak Alkitabiah. Jawabku: Seolah sara pengen memaksakan atribut mithos untuk menjadi kenyataan dgn dilengkapi naskah autentik. Yah tentunyamithos cerita rakyatmana mungkin dapa di alkitabiahkan? paling banter dapat disejajarkan dan bersifat paralel doang dannanti ketemunya kalau memang mithos itu tidak saling bertabrakan loh. soal pengaruuh budaya barat memang merupakan sentral dr feodalism partiakis sentris yg memang udah dr sononya dan itu bisa dimengerti. Olehnya itu perlu dipilah dan dicermatin sedemikian rupa supaya perpaduannya akanmenjadi lebih pas dan afdol. Bagaimana mungkin sebuah ceritra rakyat di- campur aduk dengan kisah nyata dipakai sebagai dasar penulisan Ilmiah???.diangkat menjadi satu patokan ilmiah, menjadi pemahaman disku yang layak??? Fanatism yang ber-lebihan bisa menbuat seseorang jatuh dalam pemikiran sendiri2 ,bahwa se-olah2 Indonesia ( Minahasa )perlu kerja keras untuk mengembalikan keberadaan masa lalu.(
97 mengembalikan wanita pada porsi yang sebenarnya ). Dalam kisah Si Pingkan kalau mau di jadikan bahan diskusi maka menurut hematku dalam kisah tsb ada beberapa topik UTAMA yang di-pisah2kan supaya bila didisku menjadi lebih terarah. Jawabku: soal mithos dicampur aduk dengan kisah nyata dan nantinya digunakan untuk penulisan ilmiah mengapa tidak mungkin? semuanya bisa mungkin tergantung cara seseorang untuk mengangkatnya dan paling banter mendekati kebenaran dan itu sudah sangat menguntungkan. Sudah sangat beruntung pengangkatan mithos pinkan yg menjadi legende minahasa tetap survice sampai sekarang ini dan bahkan sudah ada yg bisa mengaplikasikan dan menjabarkandalam bentuk kenyataan sebagai acuan dan pedoman khususnya wewene tou minahasa sekarang ini. Disisi lain kisah tersebut jarang dan sama sekali belum dilukiskan nilai2 positif dari kisah cinta Pingkan dan Martindas, ( Pingkan setia tetapi buntutnya nyawa orang ) belum hadir nilai positif dari cara Pingkan menyelesaikan masalah , belum ada nilai2 positif dari penulis mengenai kehadiran Zending di Indo, belum ada jalan keluar dari pengaruh barat, belum ada nilai positif mengenai feodalism patriakis sentris dan latar belakangnya, mungkin ada ,tapi belum nenyentuh, bahkan lebih cendrung menina bobokan para pembaca, dengan rasa iba yang berlebihan. Jawabku: Kalu torang bandingkan mithos pinkan dengan propinsi lainnya sepertinya menuju sesuatu kebaikan dan kekuatan yg memang merupakan andalan priority sesuai dengankadar jaman. Sebenarnya sara terlalu cepat memberikanargumen yg kurang mendukung dan akibatnya seolah sedang merabaraba dan mau dibawa kemana soal perasaan dan kenyataan terhadap mithos pingkan itu. nah ternyata kalau nga salah sayapunbisa menilai sara pun sedang berada dalam persimpangan jalan dan sangat sulit memberikan keputusan yg diperlukan. Menurut sebuah tulisan yang pernahku baca, bila sebuah naskah atau tulisan atau kisah perlu ada bebrapa kriteria antara lain: 1. Dari segi Naskah ,perlu ada semacam bahan yang otentik ( contoh, apakah benar ceritra kisah cinta Pingkan gadis desa, dan kesetiaannya,pengaruh Zending ,pengaruh barat dalam pemaksaan kehendak ( menjajah???), dapat diterima sebagai naskah????. Jawabku: naskah mithos pingkan yg otentik justru sudah terangkat sekalipun itupun belumsesempurna mungkin. Minimal perjuangan pingkan bisa dijadikan naskah yg otentik dengan dukungan dan galian yg lebih dalam dan jauh oleh pengamat budaya dan arkeolia minahasa sendiri. Karena mitos ini datangnya dr minahasa sendiri.Atau mungkin kalo sarah jalan2 kebelanda cobatanya ke perpustakaan belanda tentangmithos pingkan. siapa tau mereka bisa buka dan jelaskan soal itu mengapa tidak? 2. Dari segi Sastra, perlu ada semacam acuan yang belum tuntas dijamah orang sebagai susunan intrn ,semacam struktur dan sumber yang dapat di-pertanggung jawabkan.( contoh, benarkah budaya barat bisa merusak mental masyarakat dan apa hubungannya dengan kisah Pingkan yang nota bene hanya ceritra rakyat atau ceritra dari mulut ke mulut).
98 Jawabku: Dr sudut pandang sastra,mungkin torang pe om bert dapat jelaskan sesingkat mungkin dan jelas..... 3. Dari segi Sumber , perlu semacam bacaan yang dapat dipegang sebagai bukti bahwa salinannya /buktinya dapat diterima, contoh, benarkah kisah pingkan itu cerita rakyat atau semacam halusinasi penulis yang diangkat menjadi sesuatu yang real dan pasti secara tertulis, sehingga dapat disejajarkan dengan kisah nyata rezim orde baru dan pengaruhnya,dll. Jawabku: syukur mithos pingkaan akan menjadi kenyataan. dan terus terang mithos pingkan bukan berangkat dr sisi halusinasi tapi dia terjelma sebagai suatu cerita yg memberikan sinergis dan spirit kehidupan wewene minahasa pada waktu itu. seperti contoh apakah gambar Yesus seperti yg kita lihat itu adalah murni dansiapa yg membuatnya? jadi gambaran Yesus merupakan cermin dan sikap yg setara dengan karya keselamatan didunia yg bersumber dalam kehidupan kasih, iman dan pengharapan... silahkan sara renungkan itu!!! 4. Dari segi Bentuk, perlu, masukan2 yang jitu supaya bisa merupakan acuan yang benar2dapat diterima contoh: benarkah campuran kisah Pingkan ( ceritra rakyat dan kisah sejarah ( masuknya Zending, pengaruh barat, rezim orde baru ) dapat dibentuk menjadi sebuah berita yang benar2 ILMIAH ?????. Jawabku: semoga apa yg menjadi keinginan sara akan terwujud sesuai dengan usaha dan kerja keras dari pengamat arkeologi minahasa dimasa mendatang. Ingat Tomas belum percaya kalo Yesus belon tunjukkan bukti penyaliban dan tangan dan kaki berlubang paku!!! semoga kita dengan iman dan keyakinan akan dapat membuka tabir rahasiah mithos pingkan itu menjadi kenyataan atau tidak. 5. Dari segi Redaksi, nah ini benar2 bukan sebuat ceritra mulut ke mulut tapi benar sebuah berita nyata yang dapat diterima orang banyak melalui bacaan contoh : benarkah tulisan gado2 itu bisa menjadi sebagai sebuah tulisan yang sdh dikaji, sehingga dapat dibawa ke publik???( dalam fokus kecil). Setiap penulisan sebaiknya pikirkan generasi penerus, dengan tdk membebani dan membiarkan mereka tersandung dengan bacaan2 yang melemahkan Iman mereka. Demikianlah tulisan ini kiranya bermanfaat, ...Gb. Jawabku: Jangantakut danbimbangsarah, karena pelemparan mithos pingkan ini memang sudah menjadi buahbibir orang seminahasa dan inimerupakan kebanggaan tersendiri loh!!! masih untung kalo minahasa punya legende yg bernilai sejarah dan lestarikan itu sebaik mungkin. Sarah. HR
Tanggapan 200: Ronny Aruben – 31/10/2010 Ibu Sarah YTH, Mitos (mitologi/legenda) dan folklore (cerita rakyat) adalah objek kajian ilmiah ilmu sosial, khususnya antropologi budaya. Dalam mitos itu terkandung nilai2 budaya dari masyarakat pemilik mitos dan folklore itu. Novel kontemporer pun menjadi objek kajian ilmiah antropologi dan sastra. Meskipun novel adalah "karangan" si penulis, tetapi isi novel sarat dengan nilai2 budaya dari masyarakat di mana penulis itu lahir dan dibesarkan. Setiap novel, seperti juga film, selalu berisi moral yang hendak disampaikan oleh si penulis kepada masyarakat luas. Oleh karena itu, tidak ada novel bermaksud "menjerumuskan" pembaca ke sistuasi dekadensi moral. Sekalipun novel itu berkisah tentang free sex misalnya, tetapi ada moral yang hendak disampaikan si penulis.
99 Mitos dan folklore pun punya misi moral. Penulisnya anonim dan diakui sebagai representasi masyarakat itu sendiri. Moralitas ini yang hendak dipahami oleh Zus Ruth dan teman2 berdasarkan perspektif ilmiah feminisme. Bagaimana bentuknya dulu, dan bagaimana seharusnya bentuknya di masa kini dalam kaitannya dengan tantangan jaman (globalisasi)... Salam, RA
Tanggapan 201: Dennie Pinontoan – 31/10/2010 Andre, Butul itu Andre. denni
Tanggapan 202: Adolf Sambuaga – 31/10/2010 Bung Frank dan Bung Harry, Ndak usah dipersoalkanlah entah Protestant, Katolik, Advent, Yahudi, Pantekosta, Reform, Presbiterian, Baptis dsb., karena di sorga kan nyanda ada denominasi ginian? Sesuai Firman Tuhan -Alkitab bilang: yang ada di sorga adalah orangorang berdosa yang percaya, bertobat dan menerima Kristus sebagai juru selamat, sedangkan di naraka, adalah tempat buat orang2 berdosa yang tidak bertobat dan tidak percaya kepada Yesus Kristus sebagai juruselamatnya. Yang perlu dipertanyakan, ada beberapa denominasi yg mengajarkan bahwa nantinya semua orang akan masuk sorga. Wow, enak betul dong kalau begitu ya? Nah soal masuk sorga atau tidak kan urusan masing2? Contoh kecilnya: Orang masuk penjara sebenarnya bukan pemerintah/pengusa yg memasukkan mereka kesana tapi kemauan/ulah mereka sendiri. Demikian juga dgn naraka. Oh sorry ya, nanti lagi torang pe Dosen2/akhli Theologia di UKIT bilang kita ini sesat. Kumura waseng. Salam bae, Esa
Tanggapan 203: Ronny Aruben – 31/10/2010 Zus Eveline, Kalau cuma sekedar aksi, memberi uang kepada pengemispun sudah merupakan aksi sosial yang punya dampak konkrit bagi si pengemis. Tapi apa yang diupayakan di milis ini kan adalah aktivitas yang mencoba mengerti siapa Tou Minahasa itu dalam dimensi sejarahnya untuk kemudian bagaimana merumuskan strategi budayanya ke depan. Jadi, masih akan ada banyak kegiatan omong2 di milis ini, tapi bukan omong kosong. Masyarakat di manapun mengenal pembagian kerja. Tidak mungkinlah seorang Presiden, misalnya, disuruh ronda malam oleh Pak RT hanya karena ybs adalah warganya. Begitu juga dengan milis ini. Kalau ada yang mo action oriented, silakan aja. Tapi tidak ada salahnya kalau ada orang yang mengambil posisi sebagai "tukang omong"......filsuf2 Yunani kuno adalah tukang omong di tempat2 umum termasuk di pasar2, dengan dampak berkembangnya ilmu pengetahuan di kemudian hari.
100 Salam, RA
Tanggapan 204: Gretha Carle L – 31/10/2010 Libe Ruth, Selamat hari minggu. Benar sekali....pada hampir semua wacana budaya tradisional terkandung nilai kebersamaan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan...hanya saja "kemungkinan" kontroversi terjadi karena...siapa tau...ada kaum adam yang tidak rela melepaskan posisi sebagai "the Boss" kepada kaum hawa ??? Kalau tidak salah posisi Kepala Sinode pun tidak pernah ditempati oleh seorang perempuan??? (maaf kalau saya salah). Selamat Berdiskusi, Gretha
Tanggapan 205: Ruth Wangkai – 31/10/2010 Tabea pak Matulandi dan juga broer Frank, yaaa saya setuju sekali untuk didokumentasikan seluruh proses diskusi tentang PINGKAN ini. Broer Frank, yang menguasai IT sudah pasti akan mengerjakannya itu dalam bentuk kompilasi semua postingan dalam bentuk PDF sebagaimana broer Frank telah buat untuk rangkuman diskusi topik-topik lainnya. Ini memang penting sekali bagi kelanjutan pengkajian eksistensi kebudayaan Minahasa umumnya dan khususnya bagi pencarian kembali JATIDIRI TOU MINAHASA dalam konteks kekinian. Ada yang menganggap diskusi macam ini berteori saja, padahal kalau torang sadar dan mau belajar bahwa kemajuan bangsa dan peradaban Barat justru karena mereka memiliki landasan filosofis yang jelas dan kokoh. Suatu action, tanpa ada pijakan rumusan pemikiran yang jelas dan terarah, itu sama halnya membangun rumah tanpa fondasi atau membangunya di atas pasir, seperti kata bung Audy. Kita jadi ingat sebuah ilustrasi yang menggambarkan kepintaran orang Barat dan kedunguan orang Indonesia digambarkan seperti halnya menata sebuah ruangan. Kalau orang Barat sebelum menata satu demi satu furniture dalam ruangan terlebih dahulu ia putar otak dulu dan merancang di mana tepatnya posisi setiap perabotan akan diletakkan, agar hanya dengan sekali saja memindahka perabotperabot itu, ruangan itu telah tertata rapih, tepat posisi dan juga artisitik. Tapi kalau orang Indonesia/Minahsa, kase pindah dulu semua perabotan tanpa merancang dulu posisinya yang tepat. Apa yang terjadi ialah merubah-rubah ulang dan angka-angka lagi setiap perabotan sampe so capek deng baba suar milu lei, ruangan tetap ta bongkar. Akhirnya pastiu sandiri, lala kong tidor. Karena itu ada yang bilang "orang Barat basuar kalau ba pikir, maar orang Manado basuar karena bakarja brat" ... heheheee No kalau so bagitu kapan torang pe Minahasa mo maju, cuma ta putar-putar deng masalah, tanpa menemukan solusi yang pas dan tepat. Tapi bukan cuma itu saja, perubahan jangan harap akan terjadi selama tidak ada perubahan mind-set. Dan siapa yang diuntungkan? Bukan saja orang dari etnis dan bangsa lain, tetapi juga orang-orang kita sendiri, tapi sengaja mempertahankan status-quo demi keuntungan sendiri atau sekelompok tertentu saja, dan bukan untuk kepentingan bersama. Sudah banyak bukti riil dan tampak di peluk mata kita, banyak orang
101 berteriak-teriak untuk membangun Minahasa dan memperjuangkan kesejahteraan bagi Tou Minahasa, tapi hasilnya apa? Hanya dinikmati dan jadi kaya sendiri, dan rakyat tetap jadi budak di tanah sandiri. Dan siapa dari kebanyakan rakyat itu? Mereka adalah kaum perempuan. Karena itu sungguh ironis, kalau perempuan sandiri tak peka dan tak jeli melihat fakta, yang mungkin juga terjadi di dalam keluarganya sendiri dan atau juga di sekitarnya. Banyak perempuan sudah jadi korban KDRT, trafficking, TKW dan ada yang mengambil jalan pintas menjadi pelacur, entah itu terpaksa atau pun dipaksa. Tapi jelas sekali pemicunya ialah untuk memenuhi tuntutan hidup untuk ke luar dari jeratan kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja karena juga tingkat pendidikan yang terbatas. Nah, semua ini jika dianalisa lebih dalam maka akan ditemukan berbagai faktor penyebab di antaranya ialah ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat termasuk di dalamnya ketimpangan jender yakni pola relasi laki-laki dan perempuan yang tak seimbang, di samping tentunya dominasi patriarki yang turut pula dilanggengkan oleh kaum perempuan sendiri karena telah merasa aman atau mendapatkan keuntungan-keuntungan tertentu juga dari perlindungan kaum lakilaki terhadap diri mereka. Jadi memang perjuangan feminis tidak saja akan mendapatkan tantangan dan hambatan dari kaum laki-laki melainkan pula dan ini paling penting yakni dari kaum perempuan sendiri. Menarik sekali dalam diskusi ini, walau ada yang sepertinya kebakaran jenggot ... heheheee ... tapi, alhamdulillah ... ternyata sudah banyak laki-laki yang tercerahkan dan menyadari sekali pentingnya keseimbangan dan kesetaraan itu untuk membangun sebuah masyarakat yang berkeadilan dan humanis. Maju terus kaum feminis (perempuan pun laki-laki) Minahasa, mari torang bangun bersama Minahasa hari ini dan ke depan, dan tidak saja diserahkan kepada orang tertentu atau kelompok oligarki dan borjuis lokal, tapi bersamasama dengan rakyat kebanyakan dengan jalan memberdayakan dan mencerahkan Tou Minahasa. Selamat berjuang Minahasaku tercinta demi kita hari ini dan juga anak-cucu kita esok!!! Ruth
Tanggapan 206: Nofeline Lidia– 31/10/2010 tabea samua, oom adolf,.....se biar jo tu denny pe pemahaman ALLAH itu netral.sementara oom dolf peganglah apa yg oom dolf aminkan bahwa Allah itu laki2. keberadaan Allah sbg laki2 atau perempuan sebenarnya perlu kita pahami dari banyak hal dalam pandangan alkitab. contoh kacili:matius 6,yesus kase ajar dp murid2 for basombayang dgn pendekatan sbg papa deng anak. dalam yohanes 4,yesus kase ajar tu wewene yg banya dp laki itu, yesus pribadi sbg Allah(so berinkarnasi). dalam kitab kejadian 2,Allah memproklamirkan dirinya sbg Allah tritunggal. dalam kitab kisah para rasul Allah menyatakan dirinya dgn Roh kudus. semoga contoh2 diatas bisa menambah pemahaman torang.... salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
102
Tanggapan 207: Nofeline Lidia– 31/10/2010 tabea ronny, jgn kwa bagitu hi....kal mo skak wewene......rupa zus eveline.....katu blh pk hikmat sadiki lai.....hehheheheh,blh bagitu jo ronny? salam bae....ine .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 208: Nina Nayoan– 31/10/2010 Yes pak Ronny, I got your point. I was thinking to probably better just keep silence for some time. Sorry for making the boat of this milis shaking. Ciao, Nn
Tanggapan 209: Ruth Wangkai– 31/10/2010 Liebe Gretha, selamat hari Minggu juga. Heheheee ... yang angko bilang itu butul sekali bahwa kontroversi ini terjadi adalah bahwa "ada kaum Adam yang tidak rela melepaskan posisi sebagai "Boss" kepada kaum hawa". Tapi sebetulnya bukan cuma laki-laki yang tak rela, tapi juga perempuan-perempuan yakni mereka yang selama ini mendapatkan privilege dan keuntungan dari dominasi patriarki. Ini bisa terjadi karena sudah terlalu lama masyarakat dikuasai oleh alam pemikiran, paradigma dan stereotip patriarkis yang berlangsung melalui proses "brainwashing" dalam berbagai aspek kehidupan dan juga pendidikan. Salah satu indikatornya ialah seperti Gretha bilang, belum pernah ada perempuan menjadi Ketua Sinode GMIM. Padahal lebih dari setengan pendeta-pendeta di GMIM dan juga Majelis Jemaat adalah perempuan. Padahal secara kualitas (pendidikan pun pengalaman) perempuan tak ketinggalan dari laki-laki malah lebih menonjol. Dalam hal kekaryaan, perempuan pun sudah berbuat banyak, Tapi dari segi pembagiaan kekuasaan, yang tampak adalah kian ke atas kian mengerucut. Perempuan semakian teralienasi dari puncak piramida kekuasaan itu. Pertanyaannya ialah faktor apakah yang menyebabkan perempuan belum dapat menempati posisi stuktural tertinggi di GMIM. Saya lalu membandingkan fenomena ini dengan reformasi dalam bidang politik dan struktural kepemimpanan di daerah pasca pemberlakuan Otonomi Daerah. Koq lebih mudah perubahan itu terjadi di institusi bernama politik yang seringkali dicap kotor ketimbang di gereja, istitusi yang dicap "holy"? Fenomena lain yang juga menarik perhatian saya ialah, mengapa pendeta perempuan Minahasa lebih mudah diterima menjadi Ketua Sinode, bukan di GMIM, tapi justru di gereja-gereja di luar tanah Minahasa. Seperti Ibu Pdt.
103 Agustina Lumentut, M.Th. yang pernah terpilih menjadi Ketua Sinode beberapa periode di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dan juga Pdt. Detty Kani, Ketua Sinode Gereja Luwuk Banggai. Mengapa mereka ini yang adalah asli wewene Minahasa lebih bisa diterima dan diakui kepemimpinannya di gereja-gereja yang berbasis etnis bukan Minahasa? Nah, ini menarik untuk diteliti dan dikaji lebih dalam lagi. Barangkali Gretha bisa share pemikiran membuka "kotak pandora" untuk memahami lebih jauh lagi faktor-faktor penghambat bagi kepemimpinan perempuan dalam gereja atau pun dalam masyarakat. Walau sesungguhnya perjuangan perempuan bukan tertuju kepada pengambil-alihan kekuasaan dan kepemimpinan, tapi sesungguhnya untuk membangun tatanan masyarakat yang setara dan berkeadilan. Sebab sebagaimana Elizabeth Fiorenza katakan,kepemimpinan feminis ialah bukan kepempinan yang piramidal sebagaimana itu dikonstruksikan oleh patriarki, di mana kekuasaan berpusat hanya pada dan dalam diri seseorang, tetapi kepemimpinan yang berbagi (shared leadership), sebagaimana telah ditunjukkan oleh Yesus dalam pelayanan dan karyanya bersama-sama dengan muridmuridnya. Bisa dibayangkan bahwa hanya dalam waktu relatif singkat yakni tiga tahun saja para murid hidup bersama Yesus, tapi setelah Yesus, Guru mereka telah tiada, mereka sudah dapat melanjutkan misi pelayanan bahkan samapi ke luar tanah Palestina. Itu berarti bahwa proses pembelajaran kepemimpinan dan kaderisasi/regenerasi yang dilakukan oleh Yesus bersama-sama dengan murid-muridNya berlangsung efektif dan efisien. Tapi apa yang terjadi dalam kepemimpinan patriarki termasuk di Minahasa/GMIM? Samua mo suka jadi pemimpin dan bahkan berusaha keras dan dengan segala cara pun dengan cara-cara Mechiaveli bahkan biar sampe umur so beranjak "maghrib", tapi tak ada niat sedikit pun menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada generasi baru. Bahkan kalau bisa bangun dinasti dan "trah" baru agar kepemimpinan dan kekuasaan itu dapat dilanjutkan oleh anak atau isteri atau keluarga terdekatnya. Inilah yang sesungguhnya mau dibongkar melalui perspektif feminis yakni untuk mengangkat dan menghargai potensi-potensi dan kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri setiap individu, laki-laki pun perempuan. Potensi-potensi inilah yang mestinya dikembangkan bersama agar betul-betul tercipta suatu tatanan masyarakat yang demokratis, artinya kekuasaan dan kemerdekaan itu ada dalam dalam diri setiap orang, dan tidak tertumpuk pada seseorang atau sekelompok orang saja. Salam perjuangan. Ruth
104
Tanggapan 210: Bert Supit– 31/10/2010 Dear Sisters Margareth, Ine, Sarah, Nina and all the other 'silent' Special Women in this MRNC........; I am not an 'old' man that is against 'women's liberation'.....not at all!!! On the contrary, during my adult life I have always supported women movement in diaconial work in the church, special public positions for women, endorsed the first woman hospital director (Bethesda Tomohon) to replace me after my retirement, working closely with women at the PGI, WCC and endorsed the first woman Synod President from the Protestant church in Central Sulawesi (Ibu Tine Lumentut), taking part actively in rejecting the UU Pornography, etc. I have never felt like a 'masculine boss' in my whole life career. Never!! Indeed......I respect and love women the way they are....biologically, naturally and intellectually!!! But indeed, I will question women who act too harsh criticizing others or even becomes 'radicals' in their 'ambitions'....... and even through academic reflections. I have recognized and respect your humble 'natural' and intellectual responses dear sisters to the 'Pingkan' issue discussions during the last few days....and I am aware of the many different positions women themselves are taking in the 'feminist' debate like we had. Therefore having lived, loved and respect for more than 40 years with my wife.... also having known so many prominent, humble and dedicated Minahasa women who are also very able for phylosophical reflections and actions.........as my respect for your positions as women in this network, I would like to share here under a very beautiful reflection of an anonymous person who wrote about the 'Special' position of women as I understood........:
Why W o m e n are S p e c i a l
One Day a Husband asked God why his Wife as a Woman is so Special; GOD answered...... "When I made a woman, I decided she had to be special. I made her shoulders strong enough to carry the weight of the world, yet, made her arms gentle enough to give comfort...
105
I gave her the inner strength to endure childbirth and the rejection that many times will come even from her own children. I gave her a hardness that allows her to keep going and take care of her family and friends, even when everyone else gives up, through sickness and fatigue without complaining.... I gave her the sensitivity to love her children under any and all circumstances. Even when her child has hurt her badly.... She has the very special power to make a child's boo-boo feel better and to quell a teenager's anxieties and fears.... I gave her strength to care for her husband, despite faults and I fashioned her from his rib to protect his heart.... I gave her wisdom to know that a good husband never hurts his wife, but sometimes tests her strengths and her resolve to stand beside him unfalteringly.... For all of this hard work, I also gave her a tear to shed. It is hers to use whenever needed and ! it is her only weakness.... When you see her cry, tell her how much you love her, and all she does for everyone, and even though she may still cry, you will have made her heart feel good.
106
She is Special indeed! Anonym I hope it has spoken for itself and that you all like it.......! Peace in our heart indeed! bas
Tanggapan 211: Jannette Sepang– 31/10/2010 I agree with you 100% Om Bert Its better be silent and do something than .... Shouting .... Shouting ..... NATO : No Action Talk Only (I'm not pointing names, for me I don't read every email) I'm just seeing a summary from email Om Bert Supit. There is no pisitive impact in woman's right is to be made in this milis, this is only a place to discuss and sharing .... So let's be gentle and positive. cheers, Jannette
Tanggapan 212: Hendrikus Dimpudus– 31/10/2010 Shalom Ta pikir... Torang so punya satu titik temu, bahwa bagi nilai asli budaya Minahasa tidak ada masalah gender. Sejak dulu, laki2 dan perempuan saling menerima peran unik masing2. Ini jelas terlihat lewat sikap Pingkan yang menghormati Matindas, suaminya selaku Kepala Rumah tangga. Pingkan tdk mengesampingkan suami dgn klaim jasanya. Nilai dasar perempuan Minahasa adalah setia, cerdas dan penolong yang tangguh bagi suami. Hanya sayang, nilai2 tsb telah tersubordinasi oleh budaya kolonialisme, yg mengintrodusir pola hubungan yang menjajah dan dijajah. Yg superior dan yang inferior. Nah inilah yg diprotes susi Ruth...jadi bukan budaya eropahnya, melainkan penggunaan budaya eropah utk mereduksi eksistensi budaya lain. Kita malah harus belajar ttg disiplin, ketelitian dan etos dari org Eropah. Kalau pun pisau yg dipakai terlalu tajam, kita tdk perlu merasa terganggu. Yg seharusnya kita responi substansi yg dipersoalakan Salam bae
Tanggapan 213: Ronny Aruben– 31/10/2010 Bung Hendrikus, Tapi koq kapitalisme senang menggagahi buruh (perempuan)....wkwkwk.. RA
Tanggapan 214: Bert Supit– 31/10/2010
??? BAS Tanggapan 215: Hendrikus Dimpudus– 01/11/2010 Wkwkwkwkwk
107
Tanggapan 216: Hendrikus Dimpudus– 01/11/2010 Krn itu Susi Ruth marah kpd para Kapitalis, yg menyebabkan banyak terjadi " workers trafficking"... Pemerintah tdk berdaya... Salam bae
Tanggapan 217: Frank Tanos– 01/11/2010 Selamat pagi Minahasa,.. Topik diskusi “Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa” yang didalamnya terkandung kisah mitos “Pingkan dan Mathindas”. Topik ini banyak menelorkan diskusi yang sangat positif bagi perkembangan kebudayaan masyarakat Minahasa. Dari cerita dan diskusi ini muncullah “Teologi Feminis” yang juga tidak kalah serunya. Saya sungguh bangga penyampaian2 yang diberikan dalam diskusi ini, yang tentunya akan benyak memberikan ruang positif pada kemajuan wanita Minahasa. Sejak awal milis MRNC berdiri bertujuan memberikan pelayanan diskusi berbagai macam yang berhubungan terhadap banyak topik. Tujuan kita berdiskusi tentu tentang hal2 yang positif serta kemajuan agar sama2 mengetahui seberapa jauh proses ideologisasi mempengaruhi penciptaan karya seseorang. Lebih dari itu mengali dan mengkritis imaji mengenai peranan perempuan hubungan antara golongan/kelompok masyarakat yang beragam di-dalam karya sastra. Mengetahui seberapa jauh pengaruh karya sastra pada pembacanya, khususnya mengenai pengimajian perempuan dan antara golongan/kelompok. Dari pengamatan kacamata saya, ternyata diskusi yang diangkat oleh Ibu Ruth dan rekan2 ini, telah menimbulkan karya Pro dan Kontra terhadap topik yang disajikan. Kendati tujuan diskusi ini adalah memberikan masukan dan kemajuan bagi karya tulis wanita Minahasa itu sendiri. Memberikan kesimpulan dalam diskusi merupakan tugas moderator. Namun untuk merumuskan kesimpulan, rekan2 diskusi lainnya dapat ikut memberikan juga kesimpulannya agar lebih objektif dan valid. Karena diskusi ini sudah menimbulkan karya Pro dan Kontra, apakah sebaiknya kita sama2 menyudahi/menutup diskusi ini?...mohon kiranya tanggapan dari kita semua. Kita perlunya ketegasan agar kita tidak di cap NATO. Karena kata NATO sendiri adalah kata yang tidak membangun, masih mengandung sifat2 kolonialisme,… demikian salam. Frank
Tanggapan 218: Audy Wuisang– 01/11/2010 Tabea Bung Frank dan Katuari .... Saya setuju jika mau ditutup. Tetapi, PRO dan KONTRA harus dipetakan pada gradasi yang mana? Saya kira, kekuatan Artikel itu ada pada upaya MENCARI JATI DIRI itu dengan menggunakan TEOLOGI FEMINIS sebagai "Alat Analisis". Diskusi ini jauh dari selesai, karena banyak yang kontra dengan tidak melihat ANALISIS dan Teorinya, tetapi melihat bajunya. Jika setuju, kita meminta RW untuk "memaniskan" bahasa dengan melakukan beberapa revisi. Beberapa ungkapan yang terkesan kurang PAS kan bisa
108 diluruskan, tetapi upaya pencarian dengan melakukan dekonstruksi atas kisahkisah sastra lama, adalah pekerjaan berat yang banyak dilakukan di belahan dunia lain. Sayang kalau dihentikan. Tapi, inipun jika Bung Frank dan RW serta kawankawan lain setuju. Jika sudah emrasa cukup, meski masih sangat mentah, dan tujuan RW mencari DIGNITY itu tidak ditemukan, ya walahuallam .... AudyW
Tanggapan 219: Ronny Aruben– 01/11/2010 Dan sepertinya, MASA DEPAN itu adalah anak perempuan ya? ..........wkwkwk... RA
Tanggapan 220: Ronny Aruben– 01/11/2010 Bung Frank, NATO itu kan istilah yang sangat berhubungan dengan penindasan....!!!......wkwkwk.. RA
Tanggapan 221: Ronny Aruben– 01/11/2010 Bung Frank, Menghentikan diskusi adalah tindakan gaya ORBA......hehehe RA
Tanggapan 222: Ronny Aruben– 01/11/2010 Sekali kolonialis tetap kolonialis !!! Sekali bermental budak tetap bermental budak ??? RA
Tanggapan 223: Bert Supit– 01/11/2010 Setuju dengan Usul Audy....namun untuk sementara Stop dulu itu diskusi......sambil merenungkannya kembali dari segala aspek yang sudah dikemukakan, sambil memperhatikan posting saya terakhir tentang... 'Special Women' ciptaan Allah!!! Bagitu jo!!! Peace, bas
Tanggapan 224: Frank Tanos – 01/11/2010 Dear om Bert dan bung Audy, Terima kasih sudah merespon untuk tanggapannya. Hello rekan2 lain mohon masukan juga, agar kami memperoleh masukan yang positif. Untuk Zes Ruth, kira saran dari bung Audy dan om Bert dapat dipertimbangkan. Kalau memang harus di stop, kami akan membuat rangkumannya. Terima kasih. Sala. Frank
109
Tanggapan 225: Ronny Aruben– 01/11/2010 Bung Frank, Menghentikan diskusi adalah hak moderator. Tapi yang perlu jelas adalah: apa alasan menghentikan diskusi? Tanpa alasan yang rasional maka keputusan menghentikan diskusi adalah tindakan sewenang-wenang, sama halnya dengan situasi sosial di masa ORBA. Jangan sampai kita di milis ini mengembangkan lagi "situasi militeristik".Salam, RA
Tanggapan 226: Frank Tanos – 01/11/2010 Hehehe,.. bung Ronny tidak menyimak dengan seksama atas tulisan saya itu. Saya tidak meyetop, tetapi saya meminta saran/masukan dari semua rekan2… mohon kiranya ditelaa lagi tulisan awal saya… Tuhan Memberkati Anda…. Ada lagu yang zes Ruth posting tu hari di FB... "Pulang Jo"... itu lagu sangat bagus dan asiik! Frank
Tanggapan 227: Dennie Pinontoan – 01/11/2010 Tabea samua, Setuju dengan bung Ronny A. Tidak perlu dihentikan, sebagaimana diskusi2 kita yang lalu, pada akhirnya sebuah topik, sepanas dan sekontroversi apapun, pasti akan berhenti sendiri. Biasanya, sebuah pengetahuan dihasilkan dari adanya pertentangan2 ide, argumen atau wacana. Mungkin yang perlu adalah bagaimana moderator2 di milis mengarahkan diskusi ini agar menyentuh substansi. Misanya, sudah terdengar soal "Jati Diri Tou Minahasa", "Posisi Perempuan, baik dalam konteks budaya Minahasa maupun dalam kekristenan". Mungkin yang perlu lagi adalah diskusi kritis dalam bentuk analisis atau membedah asal-usul diskriminasi terhadap perempuan. Kalau pembedaan antara laki2 dan perempuan (gender) adalah konstruksi budaya, politik juga agama, maka apa yang perlu kita lihat lagi terkait dengan bagaimana ideologi patriarkhi itu merasuk dimensi2 kehidupan manusia itu. salam bae, denni
Tanggapan 228: Gretha Carle – 01/11/2010 Bung Ronny, Bung Frank Bung Denny (salam kenal), Menurut saya pendapat Bung Ronny benar, biarkan diskusi berkembang...Oleh karena moderator telah menampung secara lengkap semua informasi yang masuk (yang lain tidak)...ide Bung Denny sangat tepat...tolong moderator yang mengarahkan ke suatu muara tertentu agar diskusi mengenai suatu topik bisa menemukan apa yang diharapkan... Salam, Gretha
110
Tanggapan 229: Tony Kaunang – 01/11/2010 Kendati saya tidak aktif dalam diskusi tentang Pingkan-Matindas, namun saya mengikutinya dengan baik. Dan sangat menarik. Masukan saya adalah kalau mulainya tidak diatur maka sebaiknya akhirnya tidak diatur. Biarkanlah ia mengalir mengalir sampai jauh nanti bermuara dan berhenti sendiri. Salam TOKA
Tanggapan 230: Adolf Sambuaga – 01/11/2010 Tabea, (Berikut Masukkan saya) Setelah mengikuti postingan Susie Ruth tentang Pingkan, bagi yang belum/tidak tau (termasuk saya) asal-muasalnya si Pingkan (Ibu saya nama panggilan hari2nya Pingkan), maka setelah Susie Ruth mengungkapkannya maka sebagian Tou Minahasa yg dulunya tidak tau menjadi tau. Ancungan jempol kepada Susie Ruth yg mengangkat nama Pingkan dimana hampir sama namun tidak setara/setenar dengan Cut Nyak Dien di Aceh, atau Ken Dedes & Kartini di Jawa. Kalau mau di gali memang banyak tokoh atau pahlawan Wanita yang menjadi Srikandi yg mereka idolakan dari setiap suku di Indonesia. Cuma sayangnya pemunculan Srikandi Pingkan dari Minahasa langsung dikaitkan dengan Theoligia Feminis dan Penginjil dari Barat yang disebut ‘kolonialis penjajah’ oleh suise Ruth, kayaknya kurang kena karena ada kaitan dengan sapaan leluhur Minahasa kepada Yang Maha Kuasa dengan sapaan Opo, Empung, Kasuruan yg nota bene hanya berlaku di daerah Minahasa Selatan dan sebagai pertanyaan bgmna dengan Tonsea, apakah mereka bukan Minahasa? Setiap Suku/Daerah mempunyai sapaan mereka kepada YMK seperti di Jawa dan Bali menyebutnya Gusti, di Ambon/Irian Tete Manis, di Sangir Opo Lao demikian juga dibeberapa tempat lainnya di bumi Nusantara. Saya tidak tau sapaan suku Irian, Batak tentang Empung mereka. Sebelum kedatangan bangsa Barat ke Minahasa, waktu itu Tou Minahasa masih menganut kepercayaan animisme dan belum ber Tuhan kan Allah Pencipta/Khalik langit dan bumi. Percaya atau tidak sampai sekarang masih banyak tong pe dotu2/tua di kampong pedalaman Minahasa, disatu pihak sebagian masih percaya kepada Opo2 yang bukan Tuhan dan sekaligus juga percaya kepada Tuhan Allah (dua ilah) yang dibawah oleh penginjil dari Barat. Sebagai pertanyaan kepada Susie Ruth, apakah Opo/Empung/Kasuruan yang disembah dipercayai oleh leluhur kita sebelum bgs Barat datang ke Minahasa adalah sama dengan Allah Pencipta yang kita kenal melalui Injil/Alkitab yang mereka bawah ke Minahasa? Sesuai ceritra orang tua2 tong opa2, di Minahasa banyak Opo2nya, misalkan opo telew, opo Lokon, opo Soputan, opo Kelelondai, opo Kaweng, opo Lembean dan opo Klabat dll. Bahkan disetiap kampong pedalaman di Minahasa masih ada tempat2 pemberian sesajian kepada Opo2 tertentu dan tentu saja bukan kepada Tuhan Allah Pencipta yang diperkenalkan oleh bangsa barat yang disebut oleh Susie Ruth sebagai penjajah, kolonialis. Kalau dalam Alkitab kemungkinan Minahasa dulu sama dengan di Athena. Ketika Rasul Paulus membawah Injil ke sana dan ketika Paulus memasuki kota Athena dia takjub karena menemukan banyak patung2 buatan manusia yang bertuliskan “kepada allah yang tidak di kenal” Kisah Rasul 17. Dan ketika diberikan
111 kesempatan untuk berbicara di sidang Aeropagus, Paulus memperkenalkan Allah yang sesungguhnya yang juga adalah Yesus Kristus. Di Minahasa kan ada waruga2, juga Watu Penabetengan tempat bersemedhi ex Gubernur Worang yang sesuai kata orang kalau berdoa kesana bisa dapat rejeki juga magisnya. Kembali keinginan Susie Ruth untuk menimbulkan kembali dignitas Tou Minahasa memang sangat bagus. Cuma dalam bentuk apa, Mapalus, Mera Wale? Susie Ruth, di Manahasa sekarang tu mapalus so amper nyanda ada karena dorang so pake sapi, kuda deng traktor. Di Minahasa skrng so banyak petani berdasi, mana dong mo suka lagi mapalus. Mera Wale? So nyanda ada karena kebanyakan rumah di Minahasa so rumah batu atau so beton dan tentu saja tidak bisa di gotong beramai-ramai seperti dulu. Kalau saja tidak ada bangsa Barat atau Penginjil yang datang ke Minahasa, mungkin stow torang Tou Minahasa kurang di kenal karena buta huruf, atao sama dengan teman2/saudara kita di lereng Gunung Kidul, Suku2 dipedalaman Kalimantan, Irian dsb. yang banyak yg tidak melek huruf. Sebenarnya Susie Ruth harus berterima kasih kepada Bangsa Barat yang telah membuat kita Tou Minahasa hampir terkenal di seanteru dunia dan sangat kemungkinan besar kalau tidak ada Injil dari orang Barat datang ke Minahasa, so pasti Susie Ruth nyanda mungkin bergelar Doktor seperti sekarang. Sebagai masukkan saya, karena ceritra tentang Pingkan yang kita angkat dalam milis ini so melenceng jauh, sebaiknya kita hentikan saja karena tidak akan ada juntrungannya. Salam Bae, Edison Sambuaga
Tanggapan 231: Frank Tanos – 01/11/2010 Selamat bakudapa semua,… Terima kasih Zes Gretha, bung Ronny dan bung Dennie atas responnya. Kiranya rekan2 lain juga bisa memberikan masukan agar kami mempunyai kesimpulan untuk melanjutkan diskusi ini. Untuk zes Ruth, kiranya dapat mempertegas subject topik “Menemukan Kembali Dignitas Tou Minahasa” yang didalamnya terdapat referensi cerita “Pingan dan Mathindas” dan membias ke alur “Teologi Feminis”…. Mohon diberikan pemahaman yang lebih luas. Menurut analisis kami, sekalipun Pingkan dan Mathindas adalah cerita mitos rakyat, tetapi didalamnya mengandung kekayaan karya sastra rakyat Minahasa yang luar biasa. Demikian zes Ruth. Frank Tanggapan 232: Ronny Aruben – 01/11/2010 Bung Frank, Sorry boss, saya juga yakin koq bahwa panjenengan tidak bermaksud menghentikan diskusi....kan kita2 ini orang sipil bukan militer,............hehehe..... RA
112
Tanggapan 233: Tony Kaunang – 01/11/2010 Kendati saya tidak aktif meresponse diskusi ttg Pingkan-Matindas,namun saya mengikutinya dgn baik. Pendapat saya diskusinya sangat menarik. Usul, sebagaimana mulainya tidak diatur, maka berakhirnya jangan diatur. Biarlah ia mengalir sampai kemuara dan berhenti sendiri. Kesan apa yang menarik dari diskusi ini? Disamping saya belajar tentang nilai-nilai dibalik legenda Pingkan-Matindas dari berbagai perspektif, saya juga belajar karakter org Minahasa meresponse satu topik dgn berbagai Cara Dan Gaya. Inilah karakter dan identitas org Minahasa masa kini. Di Sini di tanah Minahasa dan di sana di diaspora. Interesting indeed. Regards. TOKA
Tanggapan 234: Ronny Aruben – 01/11/2010 Tabea Ncik Gretha, Sekedar sharing saja, Ncik Gretha ini kwa qta pe dosen favorit di Fakultas Sastra Unsrat tahun 1978-1981. Ncik Gretha pe kakak, Harry Liwoso, qta pe tamang tingkat di jurusan antropologi, yang sekarang ini mungkin masih tinggal di Paso stou kang, Ncik? BTW, kalau tidak salah, Ncik Gretha adalah pakar kajian perempuan Minahasa. Mohon memberi masukan tentang isyu kesetaraan perempuan di Minahasa di masa pra kolonial dan kolonial. Apakah kesetaraan itu sudah merata sejak masa tersebut? Ataukah ada peran kolonialisme dan penginjilan di sini? Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap peran kolonialisme Belanda dan penginjilan di Minahasa. Kalau kita membaca tulisan H. Kroeskamp (kalu nyanda salah inga), Early Schoolmasters........dst, kita kira peran kedua institusi itu tidak dapat disepelekan dalam memajukan Minahasa, terlepas dari perspektif kritis yang kita gunakan. Mohon pencerahannya, Ncik Gretha. Trims Salam Bae, RA
Tanggapan 235: Ronny Aruben – 01/11/2010 Bung Denni, Saya pikir kita harus mempunyai dasar yang kokoh dan utuh dulu tentang pemahaman kita soal adanya kesetaraan kedudukan laki2 dan perempuan di Minahasa kuno atau minimal pada saat awal kolonialisme. Karena dari beberapa sumber, kedudukan perempuan sebagai pemuka agama hanya terdapat di selatan Minahasa. Ini sesuai juga dengan sifat pluralistik dari Minahasa yang sudah ada sejak dulu. Artinya, belum tentu kedudukan sejajar ini sudah merata di seluruh Minahasa pada masa itu. Jangan2 justru kolonialisme dan penginjilan yang
113 berperan di sini dengan implikasi negatif bagi kedudukan perempuan di wilayah Tontemboan, tetapi positif di wilayah lainnya. Dengan menyamaratakan pluralitas Minahasa dalam kaitannya dengan hubungan gender di Minahasa kuno, saya khawatir justru kita sedang membuat "mitos baru" tentang kedudukan perempuan yang seakan-akan sudah setara di seluruh Minahasa sejak masa lampau. Itu sebabnya saya pikir, Zus Ruth bisa membongkar kembali literatur2 lama untuk menelusuri jejak2 kesetaraan hubungan gender ini di seluruh wilayah Minahasa. Sebab Minahasa sejak dulu sudah sangat plural. Ikatan politik pada tingkat walak sangat longgar. Tidak ada pranata mapan yang mengikat hubungan wanua sebagai unit2 politik yang bersatu dalam tingkat walak. Perlawanan terhadap kolonial Belanda hanya diberikan oleh beberapa walak saja. Sifat egaliter budaya Minahasa kuno juga terlihat hingga pada masa sekarang ini. Nyanda ada satu orang Minahasa yang dapat dijadikan tokoh panutan, sebagaimana halnya dalam masyarakat hirarkis yang berbentuk kerajaan. Karena itu, Permesta dengan relatif mudah dilumpuhkan. Samua pemimpin pasukan adalah boss, hehehe... Ini semua menunjukkan bahwa terlalu prematur kita menyimpulkan adanya kesetaraan gender di seluruh Minahasa yang plural pada masa pra kolonial dan kolonial. Jika Zus Ruth bisa melakukan studi ini (membutuhkan waktu panjang tentunya), barulah diskusi itu bisa lebih berbobot akademik dan berdampak terhadap pemahaman kita tentang "Minahasa, haar verleden, haar tegenwoordige, and haar toekomende toestand", memodifikasi kata2 N. Graafland. Salam Bae, RA
Tanggapan 236: Tony Kaunang – 01/11/2010 Pro Kontra adalah realitas perbedaan. Komunikasi harus dilanjutkan agar semakin saling memahami, menghargai, menghormati dan toleran. Prinsip pluralisme. Wassalam, tk
Tanggapan 237: Jedida Posumah S – 01/11/2010 Salam, Kalau tidak salah, ini adalah terjemahan dari kidung pujian yang dikirim Dr.B.A.Supit dalam bahasa Inggrisnya. Suatu sanjungan yang indah yang ditujukan bagi perempuan. Banyak terima kasih saya sampaikan sebagai seorang perempuan. Saya coba cermati dan saya berpikir kalau ini karakteristik dan kelebihan perempuan, lalu bagaimana dengan pria? Kedua, saya pikir ini tentu ditulis oleh seorang laki-laki yang mencoba menghargai dan menggambarkan perempuan sesuai kacamatanya. Banyak perempuan akan tersanjung, tapi ada juga (maaf) yang tidak akan puas dan bahkan menolaknya. Jedida
114
Tanggapan 238: Gretha Carle – 01/11/2010 Selamat baku dapa, Tapi sudah jo pangge Ncik so lewat... Dapat dikatakan, menyangkut kesetaraan ada semacam pasang surut...kalau bisa diklasifikasi secara kasar ada era tradisional, era kolonial, post-kolonial... di era tradisional kesetaraan perempuan-laki2 lebih didominasi oleh cerita mitos... sebagaimana juga yang pernah Bung Ronny kemukakan mitos termasuk wacana yang merefleksikan nilai budaya sekaligus ideologi suatu masyarakat...wacana ini aktualitas tapi bukan realitas. Namun selain acuan ke mitos ada juga data yang menyebutkan adanya pasang surut posisi wewene-tuama yang tidak sama di bagian tertentu di Minahasa.Di era Kolonial ada misi dari Pekabar Injil lewat Zendingsvrouw yang saya istilahkan mengibukan kaum wanita yang sebenarnya tidak ada bedanya dengan misi Orde Baru lewat PKK dan organisasi sejenis...Selain itu, elitisasi sekelompok masyarakat Minahasa melalui pendidikan Sekolah Raja khusus untuk tuama dari kalangan tertentu, sebenarnya menyebabkan bukan hanya tuama yang menduduki posisi penting dan terkategori sebagai kaum elit Minahasa, melainkan juga semua keluarga...dan situasi ini sangat dimanfaatkan oleh kaum wanita untuk maju... Jadi, positifnya jumlah kaum wanita yang up to date bertambah...Banyak informasi yang menyebutkan kemajuan kaum wewene Minahasa (khususnya)sangat menonjol, dan bahkan Kartini bersaudara menyatakan pengakuan mereka atas kemajuan wewene Minahasa baik dari segi kebebasan dan bahkan pendidikan (jumlah wanita terdidik tertinggi di seluruh Indonesia, MNZG:15:206,1870, Kroeskamp, 1974)... maaf so bapidato ini... Menyangkut penginjilan di Minahasa, ada ungkapan bahwa pihak kolonial memegang senjata di tangan sebelah dan di tangan lain memegang alkitab. Hanya saja pada suatu ketika pihak penginjil dianggap terlalu memihak kepada penduduk pribumi (khususnya adanya keprihatinan terhadap nasib wanita)karena adanya tanam paksa di Minahasa, Graafland, 1908... sehingga pihak pemerintah kolonial mengganti strategi (sekaligus karena kebangkrutan VOC) dengan mengalihkan wewenang penginjilan lewat Indische Kirche (pasti yang lebih mendalami torang pe pandeta-pandeta)....dst...dst. Salam, Gretha
Tanggapan 239: Dennie Pinontoan – 01/11/2010 Tabea waya, Semakin menarik diskusi ini, karena sudah mengarah ke usaha menganalisis “sejarah perempuan Minahasa” dalam interaksinya dengan zaman. Ibu Gretha so mulai. Kalo masih ingat, kita pernah wawancara pa ibu di Radio Suara Minahasa sekitar taun 2007 tentang topik perempuan juga. Berikut beberapa komentar saya: 1. Mitos, yang saya tahu dalam pengertiannya yang sebenarnya, dia adalah ”cerita”, ”narasi” yang oleh Mariasusai Dhavamony membedakannya dengan sekadar legenda atau cerita rakyat biasa. Karena mitos bermaksud membawa kita ke masa lalu untuk menjalin kembali sebuah hubungan makna yang terkait dengan
115
sesuatu yang sakral. Ceritanya, selalu berkisar pada hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia alam, dengan yang transendental atau sebaliknya. Terutama, mitos dimaksudkan untuk mengikat hubungan identitas antara generasi. Maka, mitos tidak bicara realitas, tapi bicara makna atau nilai yang disampaikan dalam bentuk cerita atau narasi. Mitos yang berisi nilai kesetaraan mengambarkan pandangan hidup atau idealisme kebudayaan yang memproyeksikan kesetaraan atau merefleksikan realitas dalam bentuk cerita. 2. Era colonial, selain terjadi ekspansi politik dan ekonomi dengan melakukan hegemoni tanah dan kesadaran, namun juga ini adalah zaman perjumpaan sistem nilai kebudayaan dan pandangan hidup. Birokratisasi tanah dan sistem sosial, politik dan ekonomi oleh colonial atas Minahasa, antara lain, menurut saya telah berdampak pada perubahan kedudukan perempuan Minahasa. Birokratisasi ini tentu muatannya adalah maskulinitas, mengingat ideologi patriarkhi kuat di negara2 kolonial ini yang tampak dalam feodalismenya. Tapi, perempuan Minahasa ternyata hebat. Mereka bisa mengambil nilai-nilai positif dari kolonialisme ini, antara lain dengan pendidikan ”modern” yang diperkenalkan bersamaan dengan kristenisasi. Saya kira, karena itulah sehingga wewene Minahasa relatif lebih tinggi tingkat intelektualitasnya di masa itu ketimbang bangsa lain di nusantara kala itu yang sangat kuat dengan patriakhinya. 3. Namun demikian, bersamaan dengan itu adalah terlembaganya kepemimpinan masyarakat dan juga agama yang sangat laki-laki. Beberapa perempuan Minahasa yang menjadi pemimpin atau tampil sama seperti laki-laki Minahasa pada umumnya, saya kira kasus menarik untuk diungkap laki. Ibu Gretha mungkin bisa berbagi soal itu. Tapi, saya kira model nation state NKRI memberi sumbangan cukup banyak bagi kepemimpinan yang dikuasai oleh laki2. Selebihnya adalah media, dan juga cara menafsir teks agama. Salam bae, denni
Tanggapan 240: Dennie Pinontoan – 01/11/2010 Tabea samua, Sadar atau tidak, diskusi ini sedang menjadikan perempuan sebagai "objek" dalam wacana. Padahal, itu antara lain yang digugat oleh feminis. Memberi sanjunganpun pada perempuan yang berlebihan, itupun ada indikasi bahwa perempuan sedang dibedakan dengan laki-laki. Mestinya, hubungan antara laki2 dan perempuan terjadi secara alamiah. Namun, itu kalau kesadaran pada hubungan yang setara sudah menjadi bagian masyarakat.
116 Saya setuju dengan Ibu Jedida. Banyak sanjungan kepada perempuan, tapi sebenarnya secara tidak langsung perempuan sedang dijadikan objek. Misalnya, iklan2 sabun mandi. Perempuan disanjung, tapi dia adalah objek komersil. Saya kira, perjuangan kaum feminis bukan terutama bahwa kaum laki2 harus menyanjungnya, tapi ini terutama bicara hak. Perempuan punya hak, yang sama dengan saya sebagai laki-laki. denni
Tanggapan 241: Frank Tanos – 01/11/2010 Hello bung Den, Apa yang bung tulis itu mengambarkan kehebatan wanita Minahasa melalui cerita mitos Pingkan dan Mathindas. Ini sebuah lambang keperkasaan wanita Minahasa. Kebetulan tulisan zes Ruth ini menjadi perhatian dari rekan2 kantor saya yang kita sama2 membeda dan menganalisis. Cerita mitos Pingkan dan Mathindas mengambarkan kesetian seorang wanita Minahasa kepada pasangan hidupnya, dalam hal ini tentu suaminya. Cerita ini tidak mengambarkan adanya pedindasan terhadap Pingkan (gambaran wanita minahasa). Yang ada justru kekaguman seorang Raja akan kecantikan si Pingkan. Jelas wanita Minahasa itu memang luwes, cantik serta menarik. Banyak pria non-Minahasa saat ini yang beristerikan wanita2 Minahasa. Jelas ya, ini gambaran wanita Minahasa yang berwujud Pingkan. Kalau kita analisa lebih dalam, dimana letaknya penindasan itu?... lalau dimana letak diskriminasinya?. Mungkin bung Dennie boleh mengambarkannya. Kedua, misi utama dari teologi feminis, adalah perjuangan kesetaraan level dan menjauhkan diskriminasi. Kalau kita mensynchronkan kisah Pingkan dengan teologi feminis, dimana letak kesamaannya bung Den?... Pingkan sebagai wanita Minahasa, yang tidak pernah mendapat penindasan dari sang suami, malah memperoleh pujian dari sang Raja atas kelembutannya dan kecantikannya. Sementara teologi feminis perjuangan. Boleh kasih gambaran ya bung Den. Thanks. Frank Tanggapan 242: Ronny Aruben – 01/11/2010 Slamat Bakudapa lagi, Ncik Gretha... Kalu qta robah tu cara pangge, orang Jawa bilang: pamali alias kualat......Jadi qta pertahankan jo itu cara lama, .......hehehe. BTW, ada beberapa catatan yang dapat dibuat dari penjelasan ringkas Ncik: (1) Di masa tradisional, kesetaraan gender itu diasumsikan ada berdasarkan mitologinya. Kesetaraan gendernya itu bersifat normatif, yaitu ada dalam ideologi tapi belum tentu dipraktikkan dalam realitas. Tapi setidaknya idealisasinya sudah ada, dan minimal pernah diterapkan di jaman sebelumnya pastinya.
117 (2) Kalau dikaitkan dengan beberapa sumber, maka kesetaraan gender itu ada dalam mitologi/folklore Tontemboan. Menurut Ncik, hubungan gender di wilayah lain mengalami pasang-surut. Kalau begitu, hubungan gender yang setara pada umumnya memang ada di Minahasa di masa tradisional. (3) Kolonialisme dan zending ikut mencerdaskan kaum perempuan di masa kolonial, tetapi arahnya seperti program PKK di masa ORBA. Dalam penafsiran saya, perempuan diarahkan menjadi "pelengkap" laki2. Mungkin ini bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut. Salam Bae, RA
Tanggapan 243: Ronny Aruben – 01/11/2010 Salam Ibu Jedida, Saya pikir benar juga, sanjungan tidak akan membuat semua perempuan "terlena" selama hak2nya akan kesetaraannya tidak diakui. Salam Bae, RA
Tanggapan 244: Hendrikus Dimpudus – 01/11/2010 Tabea... Kalau menurut kita, so begitu banya pendapat yg dikedepankan. sebaiknyanya sdh dapat di rangkum, krn dr sudut anthropologis sdh dijelaskan bahwa, walaupun mitos bukan realita ttp ia merekam dan berusaha mengkomunikasikan nilai2 anutan dr suatu masyarakat pendukung budaya. Krn itu, identitas suatu masyarakat hanya dpt dimengerti dr mitos2 yang dimilikinya. Dan juga cara menafsir mitos bukan terutama pada logikanya ttp pesan yang hendak disampaikannya. Contoh, Lumimuut n Toar, sering ada tafsiran sumbang sbg hub "Incest". Kedua, bahwa nilai2 tsb berinteraksi dgn nilai kebudayaan lain, juga sdh dikedepankan, khususnya spirit imperialistik, yg memang tujuannya utk menguasai. Pada pokok ini, diskusi sering rancu antara kebudayaan Eropah sebagai suatu kebudayaan dan spirit manusia Eropah yg merasa superior dgn kebudayaannya. Itu yg dikritik susi Ruth scr tajam Ketiga, yg dikaitkan dgn Legitimasi Teologis, lebih rancu lagi, karena sebutan Allah Bapa, Anak dst, lari kpd upaya mencari identitas seksual Allah. Padahal sebutan2 tsb, lebih bermaksud mengedepankan relasi unik yang penuh kasih dan sifat2 Allah, yang konfigurasinya kaya makna... Bisa sebagai induk... Sebagai Bapa... Sebagai Singa dr Yehuda ... Sebagai Rajawali dengan kepak sayap yang melindungi dst...bayangkan sampai maaf ada yang bakusedu kalau Allah itu pria siapa yang sunat (??????). Akhirnya ????? Soal pujian kepada wanita, sesuatu yg seharusnya, sebagaimana juga torang tuama menunggu komunitas perempuan menyampaikan pujian utk tuama. Ini seharusnya menjadi budaya kita... Saling memuji... muji... Kalau iklan sabun, ya cenderungnya pelecehan, krn perempuan sbg obyek... Ttp ketika laki-laki dan perempuan saling memuji, mereka dalam relasi yang digambarkan Buber sebagai relasi I n thou. Subyek dengan Subyek... Spontan, manis dan menghidupkan. Makanya ada Kitab Kidung Agung yang sangat indah... Jadi, menurut kita, hasil galian nilai2 utama budaya minahasa lwt mitos maupun cerita rakyat itulah yang coba kita integrasikan dgn Injil sebagai kabar baik yang bersifat menebus n menyelamatkan.
118
Tanggapan 245: Bert Supit – 01/11/2010 Dear Jedida, Postingan kita lebih dulu tentang 'Women', judulnya :'Women...so Special' yang kemudian dirobah oleh HAD dengan judul....'Women is......' dengan substansinya yang kurang lebih sama. Nah yang saya khawatirkan adalah interpretasi yang so 'melenceng' dari Denny Pinontoan tentang apa yang Jedida simpulkan tentang tulisan 'Women is.....'; bahwa tulisan itu merupakan suatu 'SANJUNGAN' yang indah bagi perempuan, sehingga Denny brani katakan bahwa perempuan itu telah dijadikan OBYEK oleh si penulis atau mungkin kita yang mengangkatnya. Saya tidak setuju kalau apa yang saya (bahasa Inggris) dan HAD (bahasa Indonesia tanpa dia komentari) angkat dalam milis ini, merupakan suatu 'sanjungan' (kidung pujian) terhadap perempuan. Motif saya mengangkat tulisan tsb sama sekali TIDAK bermaksud demikian. Bagi saya tulisan itu merupakan suatu PENGHARGAAN begitu lengkap sifat2 perempuan sebagai anugrah Allah berdasarkan atas PENGALAMAN PRIBADI SAYA dengan perempuan2 yang dekat dengan saya, terutama dengan istri (Hilda), dengan ibu saya, kakak saya, tante Non Wenas-Mambu dan banyak lagi yang saya kenal dan tidak sanggup saya angkat disini satu demi satu. Jadi, refleksi saya dengan tulisan tsb sekali lagi adalah berdasarkan PENGALAMAN HIDUP saya dengan perempuan2 yang saya hargai sebagai insan ciptaan Allah dengan kodratnya (yang so komprehensip) dan indah ....... dan bukan dibikin2 atau 'teoretis akademis' untuk menganalisa siapa perempuan Minahasa itu sebagai salah satu bentuk menemukan jatidiri atau dignity Tou Minaza Only through life long experience like I had, you may have a clear picture and perception how a 'Minahasa woman' is and was. That kind of experience may be different of course with others....but I am really fortunate to have that kind of experience in my relationship with women in my work and service in the Minahasa, in Indonesia and in so many countries that I have visited. This is my idealistic perception and dream of Minahasa women starting from the beautiful description of Pingkan......through Maria Maramis with her 'PIKAT' educational institution and so many others prominant Minahasa women until Tante Non Wenas, Tante Stien Luntungan and others. Jedida.....I know that it is indeed a very complicated issue (women and men) when people from different personal background and culture discuss it without direct communication or even knowing each others. Nanti jo torang lanjutkan lagi diskusi ini di Tomohon. Salam hangat kepada Ecky! Cheers, Bert
119
Tanggapan 246: Frank Tanos – 01/11/2010 Dear om Bert, malam bae…. Seperti dari awal saya tidak memihak akan tulisan susi Ruth dan rekan2 lain. Saya memahami sikap om Bert yang tidak sepaham dengan uraian susi Ruth dalam gambaran Pingkan dan Mathindas, khususnya uraian perobahan sikap orang Minahasa terhadap pendatang asing yang torang boleh sebut budaya feodal. Saya ingin mengambil contoh kedua orang tua saya. Sejak sekolah mereka semua sekolah dengan memakai bahasa belanda, begitu juga kita pe kaka2 semua memakai bahasa belanda. Saya kira om Bert lebih paham bahwa budaya Minahasa itu agak condong pada budaya asing, khususnya budaya belanda lebih kental ketimbang budaya portugis yang sama2 pernah berdiam ditanah Minahasa. Saya yakin om Bert sendiri pastilah mahir dalam bercakap2 bahasa belanda. Ini tidak saja om Bert, tetapi hampir semua oma2 dan opa2 disana dorang pasti setiap hari holland spreken. Ini tidak saja terjadi ditanah Minahasa, dipulau jawa pun begitu, kota bandung merupakan warisan budaya belanda cukup banyak dan mungkin daerah2 lain juga begitu. Uraian susi Ruth soal budaya feodal, saya kira, bukan berarti dia menentang atau membenci. Tetapi paparan dia itu mengambarkan bahwa budaya feodal itu bisa merobah image suatu komunitas masyarakat lokal. Pengaruh budaya feodal itu sangat kuat dan mengakar dibumi pertiwi ini om Bert. Memang budaya feodalisme bisa mempengaruhi orang selalu berurusan dengan uang, kalau kita tidak memberikan uang, rasanya urusan kita itu tidak klop, karena hampir semua para pejabat sudah terbiasa dengan uang. Budaya kita telah membelenggu pada suatu figur yang dianggap dihormati atau berperilaku seakan-akan dia lebih tinggi derajat. Budaya feodalisme menghambat pemberantasan korupsi, sangat terasa di Indonesia. Tabiat sebagian pejabat masih melekat merasa berhak untuk dihormati tinggi-tinggi dan diagung-agungkan, serta ucapannya harus didengar dan keinginannya harus dituruti. Mereka kurang menonjolkan fungsinya sebagai pelayan dan abdi masyarakat. Juga sering kali tidak terlihat sungkan membuat kebijakan berkedok kepentingan umum, tapi sesungguhnya sarat dengan kepentingan penguasa atau sekelompok orang saja. Inilah sifat2 feodalisme yang masih merekat pada bangsa Indonesia.
120
Budaya feodalisme kental dengan diskriminasi di segala bidang, lihat jo soal keagamaan di Indonesia, betapa sulit minoritas ingin membangun rumah ibadah. Peratura2 yang dibuat condong memihak pada mayoritas. Kalau om Bert tidak sepaham kepada uraian susi Ruth, itu wajar om Bert. Alam demokrasi mengajarkan kita boleh beda pandang, tetapi kalau kita membuat koloni untuk meminta dukungan akan argumen kita, maka itu yang dinamakan budaya feodal yang masih ada didalam jiwa raga kita. Saya kira torang semua sudah sama2 memahami inti dari diskusi ini. Demikian om Bert. Salam, Frank Tanggapan 247: Bert Supit – 01/11/2010 Bung Denny, Pendek jo; torang dua berbeda lagi dengan apa yang dikatakan oleh ibu Jedida dengan interpretasi anda sebagai pujian terhadap perempuan seperti di 'iklan sabun mandi' atau apapun itu yang menjadikan perempuan sebagai obyek yang so diluar konteks tulisan 'Women is....so special'. Apa yang diangkat dalam tulisan 'Women is......so special' adalah suatu ungkapan PENGHARGAAN dan BUKAN pujian atas sifat2 paripurna kodrat seorang perempuan sebagai ciptaan Allah yang tidak dimiliki seorang laki2. Bagi saya, semua laki2 harus menghargainya dan disitulah kita (laki2) perlu rendah hati dan mengakui akan kelebihan2 seorang perempuan. Saya sendiri tidak tau sebagai laki2, apakah kelebihan2 seorang laki2. Itu hanya dapat dikatakan oleh seorang perempuan yang menurut gambar Allah adalah setara. Dan disinilah torang harus saling menghargai, saling mwendukung dan saling membebaskan, baik laki2 maupun perempuan. Tunggu jo bung Denny....kalau ngana so lebeh dari 40 tahun berumah tangga seperti saya....mungkin ngana pe kaca mata akan berobah, dan baru dapat melihat bagaimana istrimu itu adalah seorang sebagai WOMAN IS..... SO SPECIAL!!!...dan bukan lagi seperti 'iklan sabun Lux'!!! Bagitu jo dulu, bas
Tanggapan 248: Frank Tanos – 01/11/2010 Bung Den dan Om Bert, Kalau kita perhatikan dengan jeli, terlihat ada perbedaan dalam antara judul dan pokok subjeknya….Judul WOMAN…. “SO SPECIAL”, tapi topiknya WHY WOMAN ARE SPECIAL. Kalau kita menelaa kedua tulisan ini memang sangat menyedihkan. Tulisan kalimat Woman,….”So Special”…memberikan artinya cukup negatif. Condong pelecehan. Kita perhatikan Woman, lalu….. “So Special”. Tetapi bila judulnya sama dengan topic, tentu tidak akan bermasalah. Demikian. Frank
121
Tanggapan 249: Bert Supit – 01/11/2010 Bung Frank, Trima kasih banyak atas KULIAH anda tentang feodalisme dll itu! Sekali lagi....ternyata bung Frank kote belum juga mengenal saya......karena dua buku saya, yakni : "MELAWAN ARUS" dan "MENGGUGAT SUARA KENABIAN GEREJA" penuh dengan tulisan menyerang mental dan budaya Feodalisme elitis Jawa. Sebab itu bung Frank...kita pe dua buku itu mengusulkan suatu bentuk NEGARA FEDERAL RI dimana Minahasa, Papua, Aceh, Dayak, Ambon, Bali dll akan terlepas dari budaya FEODALISME ELITIS JAWA ITYU. .........Hehehe!!! Kita pe perjuangan selama 45 tahun serta sikap phylosofis, sikap politik dan kita pe mindset tentang Tou Minahasa dan Tanah Minahasa bung Frank adalah berdasarkan visi torang pe Pahlawan DR. GSSJ Ratulangi yang kita so olah dan kaji serta implementasikan mulai kita ba demonstrasi melawan Sukarno, melawan Suharto dan melawan pemerintah sekarang yang tetap kental dengan mempertahankan NKRI yang berbudaya 'syariat Islam' dan 'budaya feodal Jawa yang elitis' demi kebebasan budaya Minahasa dari dominasi budaya Islam dan Feodal tsb diatas. Hwehehehehe!!! Di Jakarta bung Frank torang baru saja bentuk sebuah 'Badan Koordinasi Daerah2 Minoritas' yang dipimpin Jopie Lasut dan Max Lawalata dengan anggota2 dari Papua, Ambon, Flores, Timor, Dayak, Bali dan Batak serta Toraja. Akhir bulan ini...ada lokakarya dimana torang akan susun konsep Federalisme Indonesia yang konkret untuk diperdebatkan dengan DPD dan DPR RI. Kita so bilang tokh.......ACTION and not only talking!!! Hehehe! Selanjutnya.......lihat kita pe komentar dan pertanyaan penting dibawah!!! Bagitu jo neh!!!. bas
Tanggapan 250: Bert Supit – 01/11/2010 Aduuuuuu...bung Frank!!! Itu istilah so....adalah bahasa Inggris dan BUKAN bahasa Malayu Manado!!! Noh....somo kamana lei anda??? Good Bye!!! bas
Tanggapan 251: Frank Tanos – 01/11/2010
Hak bung Frank untuk membela....silahkan!!! That is your RIGHT!!! But it is also MY RIGHT to express my experience and my ideas. Please don't push me and lectured me!!! Tetapi kalau RW menganalisa Pingkan dengan menyerang budaya kolonialisme barat/zending Belanda dengan kata2 ......"kotor" dan "bau busuk"....apa dang itu bung Frank???? Bukankah itu MENENTANG dan MEMBENCI???? Hehehe!!! Sedangkan anak kecilpun so dapat tangkap kata2 ityu!!! Adoh....sudah jo!!! Ini kita so ulang2 seperti tape recorder yang tidak mau ditanggapi oleh kamu samua!!! Brenti jo dan Stop jo!!!
122 Karena kalau TIDAK...kita somo 'muntah' dan bilang SAYONARA JO DENGAN MILIS INI, BUNG FRANK!!! Di umur so 76 tahun bagini kita butul2 SO m...... BA 'DEBAT' DENGAN KAMU!!!
Mana kata membenci???????.... RW hanya minta agar kisah Pingkan itu jangan terkontaminasi oleh budaya asing, hanya expresi penyampeannya yang mungkin menurut om Bert condong membenci dunia barat...memang budaya lokal itu jangan sampai terkontaminasi,... itu butul om Bert.... sama jo om Bert juga tidak suka dengan NKRI karena banyak ketidak adilan... itu kita setuju....tapi kalau susi Ruth ingin membersihkan budaya lokal agar tidak terlalu ke barat2, kenapa salah?....om Bert denk rekan2 juga ingin membersihkan unsur2 jawa toh??.... apa bedanya om Bert?. Kita nya marah pa om Bert, tapi harus dilihat sisi kebenarannya.... Akan tetapi, kendati demikian tidak berarti bahwa nilai-nilai egaliter hilang sama sekali. Masih ada nilai-nilai lokal yang terpelihara tetapi tersimpan antara lain dalam bentuk folklore seperti kisah Pingkan ini. Karena itu kisah ini mesti dibersihkan dari jerami-jerami kotor dan bau busuk akibat kontaminasi budaya asing yang sifatnya opresif. Apakah statemen Susi Ruth ini tidak terlalu 'extreem' bahkan 'kasar' untuk menghakimi budaya asing itu sebagai budaya yang kotor dan bau busuk??? (Saya takut jangan2 Susi Ruth sudah terkontaminasi dengan suatu sifat 'self justifikasi' dan 'self triomfalistik' yaitu suatu sifat 'kesombongan budaya sendiri'. Hati2 Susi Ruth....Hehehe!!!(bas) om Bert pe tulisan dibawah ini yang membenci feodal jawa dan NKRI...apa bedanya tulisan om Bert ini dengan tulisan susi Ruth?...sama2 membenci...yang satu membenci feodal barat, yang lain membenci feodal jawa..... Kita pe perjuangan selama 45 tahun serta sikap phylosofis, sikap politik dan kita pe mindset tentang Tou Minahasa dan Tanah Minahasa bung Frank adalah berdasarkan visi torang pe Pahlawan DR. GSSJ Ratulangi yang kita so olah dan kaji serta implementasikan mulai kita ba demonstrasi melawan Sukarno, melawan Suharto dan melawan pemerintah sekarang yang tetap kental dengan mempertahankan NKRI yang berbudaya 'syariat Islam' dan 'budaya feodal Jawa yang elitis' demi kebebasan budaya Minahasa dari dominasi budaya Islam dan Feodal tsb diatas. Hwehehehehe!!! Apa bedanya sama2 membenci kan??... Di Jakarta bung Frank torang baru saja bentuk sebuah 'Badan Koordinasi Daerah2 Minoritas' yang dipimpin Jopie Lasut dan Max Lawalata dengan anggota2 dari Papua, Ambon, Flores, Timor, Dayak, Bali dan Batak serta Toraja. Akhir bulan ini...ada lokakarya dimana torang akan susun konsep Federalisme Indonesia yang konkret untuk diperdebatkan dengan DPD dan DPR RI. Kita so bilang tokh.......ACTION and not only talking!!! Hehehe! Selanjutnya.......lihat kita pe komentar dan pertanyaan penting dibawah!!! Bagitu jo neh!!! Bas
123
Tanggapan 252: Bert Supit – 01/11/2010 Bung Frank, Kita pe sikap terhadap orde lama, orde baru dan NKRI adalah TIDAK SAMA dengan RW menghadapi budaya kolonial / zending Belanda. Dia TIDAK mengalami dan menghadapi LANGSUNG kolonial Belanda dan Zending / Misi Belanda.......sedangkan saya MENGALAMI DAN BERHADAPAN langsung SELAMA 50 TAHUN DENGAN PEMERINTAHAN NKRI!!! BEDA BESAR SEKALI dan JAUH SEKALI, BUNG FRANK....!!! Lagipula bung Frank.....TIDAK ADA SATU KATAPUN dalam tulisan2 saya tentang Orde Lama, Orde Baru dan Pemerintah NKRI dimana saya memakai kata2 'jerami kotor' dan 'bau busuk' untuk menentang Ideologi Agama dan budaya Feodal Elitis Jawa diberlakukan di NKRI ini. Biarpun penilaian saya hanya dianggap kulit saja dari substansi diskusi tentang Pingkan, namun RW kan boleh pilih istilah2 yang lebih Etis dalam dia mengeritik atau menghakimi budaya kolonial/zending/misi Belanda!! Seperti yang sudah diusulkan bung Audy untuk memoles tulisan RW. Sekali lagi bung Frank saya TIDAK menentang substansi hikayat Pingkan yang di angkat oleh RW....tetapi yang saya kritik adalah cara RW menganalisa sambil menghakimi suatu keadaan dimana dia hanya berasumsi tanpa memberikan referensi2 yang meyakinkan tentang budaya barat. Hal RW menganalisa dengan berasumsi tentang keadaan ratusan tahun lalu...... beda sekali dengan analisa2 saya tentang NKRI SEKARANG yang bukti2nya sudah sangat vulgar diangkat oleh pakar2 politik, ekonomi, budaya dan agama sekarang ini. Jadi fakta2nya menghadap NKRI sangggggatttt berbeda dengan asumsi RW bahwa nilai2 kewanitaan Pingkan sudah terkontaminasi oleh jerami2 kotor dan bau busuk budaya kolonial dan zending Belanda. Anda tau bung Frank....waktu perang Revolusi di Yogya...kita pe kakak sepupu Arie Lasut dibunuh dengan keji oleh meliter Belanda!!! Dan apakah adik2 Arie Lasut, termasuk saya pernah memakai kata2 yang bernuansa membenci seperti 'kotor' dan 'berbau busuk' kepada bangsa Belanda atau militer Belanda yang MEMBUNUH KAKAK SEPUPU SAYA? Come on Bung Frank....be sensible!!! We are totally different bung Frank in looking into the difference between my criticism toward the Pingkan issue and your defense on behalf of RW. So....be it!!! But never mind......it is your judgment which is different with mine! Therefore bung Frank..... let us just REST here!!! It seems useless to continue with you!! Very sorry indeed!! You just stick with your perception....and I will do the same with my critical attitude!!! Good Night!. Bas
124
Tanggapan 253: Gretha Carle – 01/11/2010 Tabea, Bung Denni maaf ternyata sudah kenal sebelumnya. Saya senang juga berdiskusi tentang apa yang pernah saya baca... hanya saja saya khawatir salah karena sudah 5 tahun saya tidak membacanya lagi...bisa-bisa salah kaprah...Saya berharap dapat bertemu Anda lagi di Manado... Salam, Gretha
Tanggapan 254: Gretha Carle – 01/11/2010 Bung Ronny, Ini namanya umpan balik: (1) Di masa tradisional, kesetaraan gender itu diasumsikan ada berdasarkan mitologinya. Kesetaraan gendernya itu bersifat normatif, yaitu ada dalam ideologi tapi belum tentu dipraktikkan dalam realitas. Tapi setidaknya idealisasinya sudah ada, dan minimal pernah diterapkan di jaman sebelumnya pastinya. * Sebenarnya walaupun tidak realitas, mitos dapat berfungsi sebagai refleksi suatu kehidupan nyata...Dalam kaitan dengan Minahasa, berdasarkan mitos mulanya justru wanita dominan (Karema, Lumimuut). Namun, ada pemikiran dari Karema, tidak lengkap tanpa tuama. Muncul Toar sebagai figur yang melengkapi kekosongan itu. Cerita selanjutnya keduanya (Toar dan Lumimuut) setara karena punya posisi sebagai walian. (2) Kalau dikaitkan dengan beberapa sumber, maka kesetaraan gender itu ada dalam mitologi/folklore Tontemboan. Menurut Ncik, hubungan gender di wilayah lain mengalami pasang-surut. Kalau begitu, hubungan gender yang setara pada umumnya memang ada di Minahasa di masa tradisional. * Jadi sebenarnya kesetaraan jender di era tradisional sudah mulai sejak Toar dan Lumimuut. Mengapa mengalami pasang surut, karena mulanya posisi walian dan Tonaas dapat diduduki oleh wewene dan tuama, tetapi suatu ketika lebih didominasi oleh tuama. (3) Kolonialisme dan zending ikut mencerdaskan kaum perempuan di masa kolonial, tetapi arahnya seperti program PKK di masa ORBA. Dalam penafsiran saya, perempuan diarahkan menjadi "pelengkap" laki2. *Sebenarnya apa yang diterapkan pihak Zending di Minahasa lewat Zendingsvrouw, pengalihan model keluarga inti di Eropa: ayah bekerja, anakanak ke sekolah, ibu di rumah mengurus keluarga (ada juga lagu anak Indonesia spt ini), dan menurut Tendelo ini bukan berarti wewene jadi subordinat. Melalui misi ini wewene Minahasa diberi ketrampilan mengurus rumah tangga dan lainlain...itulah yang dimaksudkan tidak jauh berbeda dgn program PKK... Namun, tidak dapat diabaikan sebagai dampak positif wacana Kolonial begitu banyak wanita Minahasa yang berhasil bukan hanya belajar tentang Kepandaian Putri, tapi mampu menyelesaikan pendidikan yang tinggi dan bahkan terdepan sebagai dokter, guru, pengacara, dsb...yang menunjukkan bahwa wewene Minahasa...bukang sembarang, bukang cuma sebagai pelengkap... Salam jo, Gretha
125
Tanggapan 255: NofelineLidia – 01/11/2010 TABEA SAMUA, kita cuma mo usul saja ni dia,kal ditrima dan nya ditrima nya apa2 juga. bagi yg berdiskusi ttng pingkan dan matindas:tolong kase solusi yg bisa dipatenkan buat keseluruhannya dan nda teori belaka! bagi moderator:bagimana kal kase pa dorang yg mo lanjut waktu umpamanya sampe minggu depan ke ato kapan,dan mengambil kesimpulan,dan rangkuman,supaya diskusi lebeih terarah dan dpt mengambil kesimpulan. salam bae....ine. .........jalani hidup ini apa adanya.....!.....in amore et fide crescamus.....!
Tanggapan 256: Dennie Pinontoan – 02/11/2010 Tabea, Ibu Greta, waktu itu ibu ke perpustakaan Minahasa AZR Wenas di Kakaskasen. Kebetulan saya masih di radio waktu itu. Ibu datang dengan Fredy Wowor, juga pengajar di sastra UNSRAT. Sayang rekaman wawancara yang disiarkan di radio suara minahasa sudah tidak bisa ditemukan. Iya bu. Mudah2an, kita bisa ketemu di Manado, saya juga sering ke Fakultas Sastra Unsrat... salam, denni
Tanggapan 257: Frank Tanos – 02/11/2010 Om Bert selamat pagi, Kita nya meragukan om Bert pe pengalaman dalam dunia politik dan organisasi. Sekali lagi kita tidak memihak pa susi Ruth pe tulisan om Bert. Kita so baca 10 kali dari atas kebawa dan dari bawa keatas, tidak secara ekplesit dan tidak secara radikal membenci dunia barat. Kalau toh ada kata umpatan, harus dilihat kontek tulisannya om Bert. Coba kita perhatikan secara seksama tulisan susi Ruth ini….. perhatikan kata kosa tulisannya. "Akan tetapi, kendati demikian tidak berarti bahwa nilai-nilai egaliter hilang sama sekali. Masih ada nilai-nilai lokal yang terpelihara tetapi tersimpan antara lain dalam bentuk folklore seperti kisah Pingkan ini. Karena itu kisah ini mesti dibersihkan dari jerami-jerami kotor dan bau busuk akibat kontaminasi budaya asing yang sifatnya opresif. Om Bert, pada waktu Pingkan dirayu oleh sang Raja untuk dipersunting menjadi isteri Raja, dengan tegas dan berani, Pingkan menolak, sekalipun dia seorang Raja yang berkuasa. Dalam cerita ini baik Pingkan maupun Mathindas, sama2 gugur dalam pertempuran melawan sang kolonialisme….. Apakah om Bert sudah merenungkan lebih dalam kisah Pingkan ini??... bagi saya dia sosok wanita Minahasa yang tegas dan memegang teguh komitmen sebagai isteri. Kalau susi Ruth menulis dengan expresinya dengan kata2 umpatan “Jerami2 kotor dan bau busuk”,… itulah ciri dan kharakter wanita Minahasa yang sesungguhnya. Mereka luwes, lembut dan cantik, tetapi mereka bisa
126
menjadi singa yang ganas bila kehidupan mereka terganggu. Om Bert kita mo tanya sadiki, waktu selesai perang Permesta, ada berapa banyak wanita Minahasa menjadi janda??...boleh om Bert kasih gambaran?... siapa yang melakukan kejahatan ini?.... apakah TNI atau Pria Minahasa itu sendiri?.... who will be responsibility?... tell me. I believe you know better than me or anyone els here…. Salam bae…. Om Bert torang tetap satu koridor dalam perjuangan…jangan lupa undang kita…kamaren kita so dapa dari Jopi Lasut. Frank Tanggapan 258: Bert Supit – 02/11/2010 Ibu Gretha, bung Ronny, Kalau saya mengerti atas penjelasan Ibu Gretha di bawah ini tentang Peran Zending melalui 'Zendingsvrouw' bagi Perempuan Minahasa yang sangat positif sehingga perempuan Minahasa BUKAN sembarang perempuan saja........saya mo batanya : Dimana dang nampak (sperti yang diangkat oleh RW dalam artikel Pingkan), bahwa cerita Pingkan itu yang berdampak kepada perempuan Minahasa sekarang HARUS di bersihkan dari 'JeramiJerami Kotor dan berbau busuk' yang dibawa budaya kolonialisme barat dan para zendeling yang opresif??? Maaf kita pe pertanyaan yang mungkin dapat ditafsir beberapa pihak termasuk si penulis artikel tsb sebagai 'pertanyaan atau kritik yang bodoh dan tidak mendasar'.....!!! Trima kasih atas PENCERAHAN untuk saya! bas
Tanggapan 259: Bert Supit – 02/11/2010 Tabea! Berhubung dengan nama saya disebut-sebut dalam diskusi ini berkaitan dengan artikel PINGKAN yang saya posting, saya perlu menyampaikan beberapa hal: 1. Supaya jelas, terbuka dan berani untuk menyampaikan kritik atau pun apresiasi, NAMA SAYA JANGAN DISINGKAT, tapi tuliskan itu secara lengkap sesuai dengan nama pengarang yang tertera dalam artikel, dan kalau perlu pakai FONT SIZE paling maksimum. Ini penting, karena bukan saja semua proses diskusi ini akan didokumentasikan untuk file MRNC, tapi juga untuk mengkaji lebih lanjut tema ini serta untuk mempertanggungjawabkan tulisan saya ini dalam pengujian akademis sahih tidaknya pendekatan (Feminis) yang digunakan sebagai pisau analisis terhadap kisah Pingkan. 2. Sedikit pun tak akan mundur menghadapi kritik atau pun kecamann termasuk desakan untuk menuliskannya kembali. Bagi saya sah-sah saja jika ada yang mengritik atau menolak atau pun melabeli artikel ini sesat. Jika tak setuju buatlah artikel baru dari perspektif yang berbeda tentang tema yang sama. Tapi bukan menyuruh si penulis untuk merobahnya kembali. Di alam demokrasi di era reformasi ini setelah lepas dari pengekangan dan penindasan berekspresi, tak ada yang dapat menghalangi apalagi melarang seseorang untuk menyuarakan desakan nuraninya dalam pergulatan panjang melawan dominasi patriarki dalam pemikiran, wacana, laku, dan bahkan kulminasinya dalam bentuk ideologiideologi entah warisan atau pun modern. Begitu pun dengan saya. Memang tak
127 ada apa-apanya dari perhitungan jabatan, pangkat, status sosial dan gengsi, tapi saya tak akan pernah mau untuk menjadi sama atau disamakan dengan orang lain, siapa pun dia sekalipun kaya dan terhormat. Saya tetap saya dalam kekurangan, tapi juga dalam kekuatan untuk menjadi diri sendiri serta dalam kemerdekaan untuk berpikir pun bertindak, sebagaimana Pingkan dalam perspektif feminis saya. 3. Saya tidak membenci Barat, melaluinya pula saya dapa menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan sistem pendidikan modern yang memanusiakan. Tapi melalui IPTEK dan juga pendidikan modern inilah saya juga diajarkan untuk menjadi KRISTIS alias tidak "memble", termasuk terhadap ideologi-ideologi imperialistik, entah itu warisan kolonialis atau pun warisan Orba, yang telah menghancurkan kebudayaan leluhur saya. Betul saya tidak mengalami langsung penjajahan Eropa di tanah Minahasa, tapi bukan berarti saya tak merasakan dampak dan akibatnya hingga hari ini. Sekarang saya bertanya kepada diri saya sendiri dan kepada kita semua MENGAPA KITA NYARIS TERCABUT DARI AKAR BUDAYA SENDIRI? Di/ke mana-kah khazanah budaya dan bahasa daerah kita, yang terdiri dari berbagai sub-sub etnis? Bukankah generasi orang tua dan oma-opa kita lebih berbangga dan lebih bergengsi berbahasa Belanda ketimbang berbahasa daerah? Di antara kita pun terbanyak tak bisa lagi berbahasa daerah, sebaliknya fasih berbahasa asing Belanda dan Inggris atau juga berbahasa daerah lain Jawa atau pun Sunda. Sementara etnis-etnis lain, kendati sama-sama dijajah tapi mengapa mereka masih kuat mempertahankan bahasa daerah dan budayanya masing-masing, lalu mengapa kita tidak bisa mempertahankannya? Apakah karena keramatamahan dan keterbukaan (inklusivitas) budaya Minahasa itu terlalu lentur dan akhirnya juga menjadi kedur dan luntur? Bukankah itu merupakan salah satu indikasi penaklukan budaya lokal dengan cara membangun strata sosial baru, mulai dengan penggunaan bahasa Belanda hanya oleh kelompok sosial tertentu hingga pengangkatan dan perlakuan khusus kepada orang dan kelompok tertentu sebagai implikasi dari politik divide et impera? Apakah struktur masyarakat seperti ini baru dimulai pasca-kemerdekaan atau pun di masa Orba? Padahal sebelumnya struktur masyarakat berkelas macam ini tak pernah ada di tanah Minahasa, yang memang mewarisi budaya egaliter, kecuali di daerah-daerah lain yang telah terbangun sebagai masyarakat feodal. 4. Mengritik dan mencari kesalahan orang lain lebih gampang ketimbang membuka diri bagi kepelbagaian pendapat dan pandangan. Begitupun menuding saya telah melakukan "judgment terhadap bangsa Barat yang sepihak bahkan terlalu subyektif ... dan tidak dialektis"; saya "sudah terkontaminasi dengan suatu sifat 'self justifikasi' dan 'self triumfalistik' yaitu suatu sifat kesombongan budaya sendiri"; saya "sudah dipengaruhi oleh 'budaya teologi feminis' yang liberal"; lalu berdasarkan semua tudingan ini muncul suatu kesimpulan bahwa saya mengalami 'phychological disturbunce' dalam alam pikiran kewanitaan saya terhadap kaum laki-laki". Ini hanya beberapa saja dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang saya kutip dari berbagai tudingan yang tak berdasar kecuali hanya dengan emosi dan dengan pendekatan analisis yang tak jelas. Bagaimanakah sebuah karya dengan menggunakan perspektif Feminis, yang telah diterima dan diakui dalam dunia akademis bahkan merupakan bagian dan sumbangan positif antara lain juga dari dunia Barat untuk menganalisis ideologi-ideologi patriarki termasuk di negaranegara yang pernah mengalami kolonialisasi oleh bangsa-bangsa Barat, dinilai sebagai ekspresi dari seseorang yang mengalami "gangguan kejiwaan"? Siapa sebetulnya yang semestinya menarik kembali kata-katanya yang 'vulgar ekstrim'?
128 5. Di Barat sendiri, selain di Asia, Amerika Latin dan Afrika telah berkembang berbagai metode penelitian sosial dan bahkan sampai kepada teori postkolonial yang menolak universalitas pengalaman manusia termasuk pengalaman kaum perempuan. Bahwa perempuan yang hidup di negara-negara bekas koloni berbeda dengan kaum perempuan yang hidup di negara-negara yang pernah menjadi bangsa penjajah. Bahwa pengalaman perempuan Asia berbeda dengan pengalaman perempuan Eropa, dan berbeda juga dengan pengalaman perempuan Afrika dan atau Timur Tengah. Dengan kata lain bahwa perempuan-perempuan di negara-negara bekas koloni menanggung beban penindasan yang berlapis-lapis, mulai dari penindasan berbasis jender, penindasan antar bangsa, suku, ras dan agama. Karakter imperialistik inilah yang hendak digugat, entah itu melalui penjajahan fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang atau pun mentalitas masyarakat - yang sadar atau pun tidak sedang dikekalkan oleh institusi-institusi sosial, politik, ekonomi, pendidikan, pun agama. 4. Berkaitan dengan teori poskolonial berkembang pula perspektif Feminis yang mendasarkan kajiannya pada pengalaman perempuan sendiri, terlepas dari pengalaman kaum perempuan di daerah/etnis lain atau di negara/ras lain pun lepas dari pengalaman kaum laki-laki - tak dapat digeneralisir. Perspektif Feminis yang mengadopsi model pedagogi tranformatif yakni pedagogi yang membebaskan dan memanusiakan ala Paulo Freire menekankan pada pengalaman perempuan sendiri sebagai text atau "we are the text", bukan seperti yang dilihat oleh dan dalam kacamata laki-laki, bukan pula seperti kata budaya tempoe doeloe apalagi itu diwariskan kepada kita melalui tulisan-tulisan dari para penulis Barat, yang kebanyakan pula laki-laki, tanpa mengkritisinya. Bahwa sesungguhnya berbicara tentang perempuan Minahasa pra kolonial tentu sudah jauh berbeda dengan pengalaman perempuan semasa dan pasca kolonial. Masyarakat yang egalitarian dan tak berkelas di mana perempuan Minahasa tempoe doeloe pernah mengalaminya dan bahkan menikmati privilegenya sebagai perempuan merdeka menentukan sendiri pilihan hidupnya seperti kekuatan dan kebebasan yang dimiliki oleh sang Pingkan dalam cerita Minahasa. Tapi itu semua tinggal kenangan indah di masa lampau, bukan lagi fakta hari ini. Coba tanyakan langsung kepada banyak perempuan atau isteri-isteri apakah ia menjadi ibu rumah tangga berdasarkan pilihannya sendiri atau karena manut saja demi mendukung sepenuhnya karier dan jabatan suaminya? Padahal si isteri pun tamat sarjana dan ada pula yang sudah bekerja, tetapi akhirnya toch setelah menikah mengalami domestikasi dan kembali ke dapur. Apa bedanya ini dengan konsep filosofi Jawa yang feodalis dan patriarkis bahwa wanita itu dekat dengan wilayah "kasur, dapur dan sumur" (seks, masak dan bersih-bersih)? Jadi, sekali lagi tulisan saya bukan bermaksud menebar kebencian terhadap (budaya) Barat. Saya bicara Barat di sini dalam konteks kolonialisasi/imperialisasi dan tidak menggeneralisirnya. Karena itu yang saya lakukan adalah mengkritisi setiap ideologi yang telah menyimpan energi destruktif bagi nilai-nilai lokal, yang sebenarnya awalnya membebaskan dan memerdekakan di samping spirit dan upaya penelitian yang saya lakukan. Terbukti bahwa melalui kajian ini, saya menemukan ada banyak kearifan lokal yang dapat digali dan dikuak kembali. Dan kalau kemudian saya menjadi bangga sepatutnyalah demikian karena saya mencintai budaya Minahasa, budaya saya sendiri untuk menemukan kembali keMINAHASA-an dalam diri dan kedirian saya, bukan ke-eropa-an atau ke-baratan. Salam, Ruth
129
Tanggapan 260: Dennie Pinontoan – 02/11/2010 Muannntapppp...Rame... Saya membenci yang jelek2 dari Barat dan NKRI....yang baik, ya terima no katu...wkwkwkw denni
Tanggapan 261: Mona Sigar – 02/11/2010 Sabar. Kita juga pikir utk tampung uang jg berisiko. Tp demi minahasa kita mau tanggung resikonya. Jujur kita belum bisa ikut pelatihan di jogya. Maaf seribu maaf. Maar tetap utk minahasa
Tanggapan 262: Bert Supit – 02/11/2010 Bung Frank, Pendek jo kwa.......if you want to stick persistently defending RW.... its ok with me, but again don't push me with your own argument ........ because I am still Bert Supit with my critical and rational identity. So be it....and let's rest with the issue!! Tetapi bung Frank....secara jujur, anda belum jawab kita pe pertanyaan tadi malam tentang hal dibawah ini!
Kalau om Bert tidak sepaham kepada uraian susi Ruth, itu wajar om Bert. Alam demokrasi mengajarkan kita boleh beda pandang, tetapi kalau kita membuat koloni untuk meminta dukungan akan argumen kita, maka itu yang dinamakan budaya feodal yang masih ada didalam jiwa raga kita. (Frank Tanos) Bung Frank...tolong jelaskan maksud bung Frank dengan kalimat diatas ini!!! Siapa yang membuat 'koloni' dan 'meminta dukungan terhadap argumen kita'??????? PLEASE ANSWER........AND GOODBYE!!! (bas) Selanjutnya, lihat komentar saya dibawa..... bas Tanggapan 263: Ronny Aruben – 02/11/2010 Tabea samua, Sikap "tegas", "keras", "to the point", "bicara apa adanya", dst......itulah karakteristik bangsa Minahasa yang sejak dulunya memang acephalous, yaitu masyarakat egaliter yang tidak pernah mengenal pemimpin pusat. Masing2 pihak yang terlibat diskusi bersikeras dengan pendapatnya masing2....itulah keragaman Minahasa sejak dulu, dan karena itu jangan dijadikan "nanyian koor" yang satu suara. Perbedaan pendapat bukan berarti "bakalae", tetapi saling asah otak untuk melengkapi satu sama lainnya dengan versinya masing2, yang sama2 sah adanya. Begitulah Minahasa yang torang kenal, lewat tulisan2 maupun interaksi. Dunia ini penuh warna, dan ternyata benar adanya.....di sini, di milis ini...... Salam Bae, RA
130
Tanggapan 264: Frank Tanos – 02/11/2010 Dear om Bert, Kita pe tulisan ini hanya ingin mengkoreksi tulisan om Bert seperti dibawah ini. Tulisan ini, seolah2 torang hanya Talk Only no Action is that right om Bert??.... Kita so bilang tokh.......ACTION and not only talking!!! Hehehe! Om Bert, jangan terlalu mengkerdilkan kemampuan orang dalam mengembangkan CU di Minahasa, om Bert pernah gagal total dalam mengembangkan Koperasi di Minahasa, karena pola dan kwalitas kinerjanya mungkin tidak sama. Om Bert sangat berpengalaman dalam organisasi, baik organisasi politik, kemasyarakat maupun kerohanian, itu komaling kita akui en salut. Tapi kalau bicara soal Business Development, kita ini setengah pakar yang sudah sangat2 berpengalaman om Bert. Kita ini sangat tangguh dilapangan om Bert. Kita pe keluarga semua adalah keluarga industrial om Bert. Om Bert, you are too tired in the work and you may need a break,… please om!. I know you are energic old man, I like that. I am telling you fair, I am proud of such brilliant thoughts, a lot of your ideas that gives positive values in Minahasa. I know that om Bert. My suggestion, take your scuba and jump the sea, you will find how beautiful and how friendship the world under the seas. Thanks om Bert…. kase sms kalo ka Jakarta boss…ta tunggu denk om Edi….. Salam bae om Bert. Frank Tanggapan 265: Bert Supit – 02/11/2010 Susi Ruth dan para anggota Milis MRNC, OK Susi Ruth Wangkai.......saya minta MAAF atas penggunaan abreviasi RW terhadap nama anda Ruth Wangkai.......sekali lagi saya minta MAAF. Itu karena saya dalam milis ini selalu memakai BAS sebagai abreviasi nama lengkap saya Bert Adriaan Supit. Just for practical reasons indeed!!! Juga saya minta maaf kalau Susi Ruth merasa terganggu bila saya mempertanyakan bahwa 'mungkin' ada 'psychological disturbance' yang melatar belakangi tulisan yang agak 'radikal' melakukan judgment terhadap budaya barat dan sikap anda terhadap laki2 Minahasa yang menganggap perempuan Minahasa sebagai PROPERTI laki2 Minahasa..... tanpa memberi referensi yang meyakinkan bagi pembaca2 artikel Susi Ruth yang agak 'bodoh seperti BAS' Saya berasumsi demikian, karena pengalaman dan latar belakang saya bergaul dengan perempuan2 Minahasa, nasional dan internasional yang cukup harmonis dan saling menghargai MUNGKIN SAJA berbeda jauh dengan pengalaman pribadi Susi Ruth Wangkai bergaul dengan para masculin laki2 yang sombong dan opresif yang dihadapi Susi Ruth. No hard feeling ... I Hope!!!
131 Tetapi.... for the last time.....jelaskan akang kwa secara transparan APA SEBAB anda menghakimi budaya kolonialis barat/Zending dan sikap laki2 Minahasa yang menganggap perempuan Minahasa sebagai PROPERTI MEREKA dengan kata2.....'jerami-jerami kotor' dan 'bau busuk'........??? Once again...like I have said several times to Frank Tanos...bahwa Bert Adriaan Supit sama sekali TIDAK KEBERATAN dengan substansi cerita Pingkan Matindas untuk dijadian kajian bagi menemukan kembali dignity atau jati diri Tou Minahasa. Yang saya kritisi adalah CARA Ruth Wangkai melakukan analisa terhadap peristiwa yang sudah belangsung ratusan tahun lalu TANPA menunjuk kepada para pembaca artikel tsb berupa referensi2 atau bukti2 penelitian yang dapat menyakinkan saya. Itu saja! Ibu Gretha Carle dan Ronny Aruben dll SUDAH mencoba menjawab secara tidak langsung kekhawatiran saya dengan cukup memuaskan tentang judgment Susi Ruth terhadap budaya barat dan zending. Cuma itu kwa Susi Ruth...... mo Repot2!!! After that......I promise with all my heart to all the members of this milis that I will REST with this issue!!! Very sorry to all the members of this milis..... to be I AM WHAT I AM....!!! Pakatuan Wo Pakalawiren! BAS
Tanggapan 266: Bert Supit – 02/11/2010 Bung Ronny, Butuuul itu dia.....torang bukang bakalae...tetapi saling beragumentasi dengan pisau2 otak Minahasa yang tajam!!! Dan kalau so melenceng......harus kase tau, dan tetap berusaha untuk mempergunakan kata kata yang bole2 deh!!! Oya...tolong kase inga akang ulang pa itu 3 ibu yang so iko pelatihan CU di Yogya tentang berbagai aspek community development termasuk CU yang dapat merupakan risiko bila tidak ditangani secara profesional!!! Salam Bae, BAS
Tanggapan 267: Bert Supit – 02/11/2010 Bung Frank, Kita tokh so bilang...that I am very proud with your ideas on CU! Dimana kita ada bilang bahwa kita MENGKERDILKAN ORANG2 DALAM MENGEMBANGKAN CU DI MINAHASA????????? O Tuhan....jangan komang bermimpi kwa kong menuduh saya..... bung Frank. Kita so tau skali bahwa iwes dan bung Theo adalah PAKAR2 EKONOMI KEUANGAN YANG HEBAT2 DAN PROFESIONAL. Bukan seperti saya yang gagal dengan kita pe koperasi karena kita kasiang kwa cuma seorang dokter idealis yang mo coba2 tangani sebuah koperasi (ekonomi). So...... bung Frank please don't argue anymore....but just START!!! BAS
Tanggapan 268: Frank Tanos – 02/11/2010
Kecewa Itu Sebagai Pena Hidup Bukan menjadi rahasia hidup lagi bagi setiap orang yang selalu memimpikan dan mencita-citakannya sebuah kebahagian. Karena buat saya kebahagian itu menciptakan sebuah pemaknaan hidup yang luar biasa. Namun, sebelum ini apakah bahagia itu? Dan bagaimana cara mendapatkannya? Inilah hal paling sulit
132 untuk dijawab, dibanding kita harus mempelajari satu rumusan matematika dan memperdalaminya. Buat saya adalah kebohongan besar, bila kita berbuat dan berpikir sesuatu tanpa satu rasa dorongan ingin mencapai kebahagian. Gulungan demi gulungan terkumpul menjadi satu gulungan hidup dan gulungan itu saya sebut adalah sebuah rasa. Hidup itu tidak mungkin lepas dari yang namanya rasa. Rasa hidup itu bermacam-macam warna, bermacam-macam nuansanya dan segala hal itu berujung dengan rasa. Dan untuk membuktikannya cukup mudah, coba anda yang sedang baca tulisan sederhana ini, tidak mungkin bukan? tanpa rasa ingin tahu, apa isi yang ada dalam tulisan ini. Rasa bahagia itu buat saya adalah hasil rekayasa perasaan yang berujung pada kepuasan dan kenikmatan. Mungkin bisa diterima bisa juga tidak? Itukan hanya menurut saya, tapi sebelumnya coba kita simak apa kata filsuf Baruch de Spinoza. Bagi Spinoza caranya meraih kebahagian seperti ini : Kenikmatan itu bisa di capai dengan dua cara yaitu dengan mendistingsikan emosi pasif dan emosi aktif. Di bawah ini saya coba untuk merangkumnya sangat singkat dan saya coba semaksimal mungkin. • Emosi pasif adalah perasaan bahagia atau kecewa secara spontan yang kita alami. Contohnya, ketika kita melihat pemandangan pegunungan maka yang ada rasa senang dan bahagia. Rasa bahagia seperti ini berasal dari penginderaan. Karena hanya indrawilah yang bisa berhubungan langsung secara spontan dan kita merasakannya. Dan ini pandangan yang dangkal. • Emosi aktif adalah perasaan bahagia atau kecewa yang diperoleh berkat aktivasi mental atau jiwa. Contohnya, kita semualah yang berada di depan layar komputer/laptop ketika kita mampu melihat gejala dan permasalahan yang ada di Negara ini. Rasa bahagia seperti ini yang mengalami sukacitanya karena gejala dan permasalahan bisa ditemukan solusinya walaupun hanya di depan layar komputer dengan memalui tulisan, diskusi dan segala sarana yang berhubungan untuk mencari kebahagian atau solusinya. Nah, dari ini saya akan memulai tujuan yang ingin saya sampaikan pada anda. Pengertian emosi pasif dan aktif itu saya ambil dari buku “Tuhan para filsuf dan ilmuwan” karya Simon Petrus L. Tjahjadi (Bab II hal 32) tapi buat contohnya saya coba mengkaitan dengan tujuan tulisan saya ini. Jadi harap di makluminya kalau tidak enak dibaca atau kurang pas. Banyak sekali para seniman dan para penulis membuat hasil karya yang indah karena lahir dari rasa kecewa. Sebagai contoh para pecinta musik blues, pasti tahukan? berbasis apa musik blues itu muncul, yaitu akibat para budak kulit hitam yang kecewa terhadap keadaan mereka yang tertindas waktu itu, hingga menciptakan karya musik yang hebat yang bisa dinikmati banyak orang sampai sekarang ini. Ya termasuk saya ini yang suka dengan Janis Joplin. Dan kali ini saya tidak akan membahas lewat seni musik tapi dengan seni tulisan termasuk salah satu rasa kecewa saya terhadap orang yang menilai seorang penulis dengan miring. Melihat fenomena sekarang ini, dimana kita bisa bebas beropini dan berpendapat hingga tirai penghalang begitu tipis dan mudahnya kita bisa berkarya dan bertukar pikiran melalui tulisan-tulisan yang ada. Tidak bisa di pungkiri lagi tulisan itu lahir karena rasa kecewa kita terhadap suatu hal yang kita percaya dari apa yang ingin kita sampaikan, bukan? Ada penulis yang tulisannya membahas apa itu seks? Ada penulis yang tulisannya itu selalu dengan retorika cinta? Ada penulis
133 yang membahas kebenaran? Ada penulis yang dalam tulisannya ingin menghibur orang banyak. Jika kita mau jujur melihat statistik karya tulisan kita ini secara holistik, maka bisa kita ambil kesimpulan bahwa penulis ingin meraih kebahagian melalui cara emosi aktif (baca : Defenisi Spinoza) karena kita kecewa terhadap hal yang kurang pas yang selama ini kita lihat sebagai gejala masalah pada nilai-nilai minor terhadap permasalahan yang mengarah kesatu tujuan yaitu kebahagian. Penulis yang tulisannya membahas sekitar seks, pasti punya rasa kecewa terhadap banyak orang yang yang mengira bahwa membahas seks itu selalu tendensius terhadap hal porno, maka penulis itu merasa terpanggil dari rasa kecewanya terhadap mereka yang menganggap seks sebagai hal yang tabu dan selalu porno. Dan sudah pasti, penulis tersebut akan berusaha sebaik mungkin menerangkan dengan tulisan yang mengarah pada perbaikan dari segala penilaian-penilaian yang salah terhadap seks. Begitupun penulis yang membahas retorika cinta, kebenaran, politik, hiburan dan lain-lainya. Hampir semua penulis punya tujuan yang mengajak kita untuk memperbaiki nilai-nilai pada sendi hidup yang seharus dikaji lebih dalam (baca :Revitalisasi dalam tulisan). Kebahagian seorang penulis bisa dirasa pada setiap kata, kalimat dan paragraf pada tulisannya. Dan para penikmat pembacanya pun bisa sama-sama mendapat kebahagian. Tapi tidak lain lagi penulis dan pembaca sama-sama punya rasa kecewa yang harus dibayar lewat sebuah karya tulis yang lahir karena rasa kecewa, terlebih pada penulis harus lebih punya rasa kecewa yang lebih dari pada pembaca. Jadi kecewa yang bermutu akan menciptakan satu karya yang bisa dinikmati. Akhir dari tulisan ini saya teringat beberapa bulan yang lalu pada seorang teman yang menilai miring pada penulis. Dia bilang “Apa enaknya jadi penulis dibanding pengusaha ?”. Sempat lama saya berpikir bahwa ada yang janggal dari perkataanya. Namun saya coba tidak lihat sisi buruknya, mungkin maksudnya hanya perhatian seorang teman terhadap saya dengan kondisi masa depan saya. Tapi bila saya bepikir ulang dan ulang lagi, tentu saya temui kebahagian saat ini. Yaitu “Pengusaha tidak akan maju tanpa membaca buku dari seorang penulis yang punya rasa (kecewa) terhadap usahanya yang gagal dahulu, maka tugas para penulislah yang harus bisa berbagi sebuah karya tulis terhadap pengusaha yang lain”. Adakah yang salah menjadi penulis? Apakah kita memang dibatasi untuk menikmati dari apa yang kita senangi akan sebuah tulisan? Saya kira tidak, karena satu yang berdasar buat semua orang yaitu sama-sama mempunyai rasa ingin meraih kebahagian. Namun setiap orang itu unik dengan caranya masing-masing. Dan salah satu cara kita menggali potensi pengenalan diri bisa melalui tulisan Pesan : Kebahagian itu banyaknya macamnya tapi cara mendapatkanya bisa dengan dua cara yaitu emosi pasif dan aktif, tinggal mana yang sebaiknya kita gunakan. Kita bisa lihat orang akan memandang kebahagian yang hanya menggunakan cara spontan akan terlihat dangkal penilaiannya. Tapi tidak buat orang yang selalu melihat dari semua realitas yang ada yaitu penggunaan emosi aktif pada dirinya dan kebahagian seperti ini memang lebih berarti dan tahan lama. Dan inipun salah satu jawaban saya terhadap mereka yang takut akan menulis. "Memang nikmat membaca itu tapi lebih nikmat lagi bila kita menulis, dan terus berkarya". Frank
134
Tanggapan 269: Bert Supit – 02/11/2010 Bung Frank, Biar satu pertanyaan lagi yang bung Frank blum jawab pa kita........ kita memang somo start ke pantai Kora2...... to have a Break from this milis. I will enjoy the beauty of Maluku Sea and will meditate again there to get new spiritual inspiration for my on going life. Bung Frank, I will respect you as you are.....and don't worry, there will be no hard feelings between us! Hope to see you again in Jakarta together with Eddy Tumengkol....sambil minum koffie di Senayan City.....hehehe!!! All the best, bung!!! BAS Tanggapan 270: Dennie Pinontoan – 02/11/2010 CU yang baik, mesti juga punya kesadaran "feminis"....he..he.. Denni
Tanggapan 271: Mona Sigar – 02/11/2010 Bravo om bert. Kita suka sekali dg tindakan nyata om bert. God bless om bert. And bu ruth wangkai. Imanuelle.
Tanggapan 272: Ronny Aruben – 02/11/2010 Tabea Oom Bert dan samua, Qta kira diskusi ini semakin menarik karena setidaknya ada dua perspektif yang menyorot objek kajian yang sama (kedudukan perempuan di masyarakat dalam sejarah dan kebudayaan Minahasa) dengan konsekuensi logis berupa perbedaan "simpulan". Perspektif asimilasi budaya dari Oom Bert menghasilkan kontinyuitas sejarah Minahasa, dalam kaitannya dengan kolonialisme dan penginjilan, sementara perspektif feminisme Zus Ruth justru menyorot diskontinyuitasnya. "Keras-lembut"nya suatu perspektif sangat tergantung dari "roh" teori yang digunakan. Perspektif asimilasi budaya cenderung melihat objek kajiannya secara sistemik, yaitu suatu kesatuan unit2 yang terintegrasi secara fungsional. Jadi, harmoni adalah "roh" dari perspektif semacam ini. Sementara perspektif feminisme bertolak dengan sikap protes terhadap struktur masyarakat yang diasumsikan, secara inheren mengandung ketidakadilan bahkan penindasan. Karena itu dapat dikatakan bahwa "roh"nya adalah disharmoni (dalam masyarakat). Setiap perspektif itu sebetulnya "benar" dan "sah" dalam dirinya sendiri. Kita mau menggunakan perspektif yang mana, itu adalah persoalan preferensi saja. Artinya, satu perspektif tidak akan menggugurkan perspektif yang lain, dari sudut pandang ilmu sosial. Itu sebabnya ada "skeptisisme dalam ilmu sosial yang mengatakan bahwa ilmu sosial tidak pernah berkembang secara kumulatif, seperti halnya ilmu2 pengetahuan alam, tapi cenderung seperti siklus meskipun ada gerak menanjak. Itu sebabnya pula ada banyak aliran dalam ilmu sosial, yang masing2 bisa saling bertentangan secara tajam.
135 Saya tidak berkompeten untuk menyimpulkan diskusi ini karena topiknya bukan persoalan sederhana yang dapat dirumuskan secara matematis dalam sekejap. Dari diskusi ini justru muncul tuntutan baru, yaitu urgensi akan penelitian lapangan dan kepustakaan dari orang Minahasa sendiri, yang sejauh ini dirasakan masing jarang dibandingkan dengan penelitian asing. Tetapi, sekali lagi, penggunaan perspektif yang berbeda senantiasa akan menghasilkan simpulan yang berbeda pula. Dengan kata lain, jangan mengharapkan adanya tulisan sejarah dan kebudayaan Minahasa yang "standar". Itulah dunia sosial.....take it or leave it... Salam bae, RA
Tanggapan 273: Danny Sumendap – 02/11/2010 Ngoni kalo ngopi2 ikut donk . Di tator sadap
Tanggapan 274: Bert Supit – 02/11/2010 Iyo bung Danny nanti torang pangge! Kase akang iwes pe nomor HP Cheers, bas Tanggapan 275: Toni Kaunang – 02/11/2010 Bravo Rut Ketsia Wangkay Tanggapan 276: Frank Tanos – 02/11/2010 Hello om Bert, I thank you so much for our discussion that gives a lot of motivations for us all. You are a very wise man and full of chrisma. Hopefully we can meet again in jakarta and have a toast while drinking hot capuccino or a glass of wine with cigar cuban at pacific place. Jangan salah paham yang dimaksud dengan istirahat, istiraht dalam artian jangan terlalu berorganisasi yang memakai energi, tapi tetap di aktif di milis…. soal so kuntua milis ini, hehehe…dankzij om Bert. GBU. Frank Tanggapan 277: Mercy Rumengan – 02/11/2010 Dear All; Thanks Toka. Good Job Rut Ketsia Wangkay; Tetap menulis dan belajar. Anda memulai diskusi tentang "PINGKAN" dan tentunya sudah mendapat masukan dari berbagai pihak. Diskusi sangat hidup/Dinamika diskusi ada pro dan kontra is OK. Dan kepada orang-orang di jalur Net ini yang mau memunculkan Versi lain is OK juga, namun itu bukan gaya MAPALUS; Gaya MAPALUS kalau ada orang perlu bantuan dengan satu masalah semua orang membantu dengan masalahnya bukan dengan membawa masalah baru. Berusaha untuk mengerti Versi ibu Ruth, kalau sudah selesai munculkan versi lain; jadi bukan seperti Perlombaan yang tidak
136 jelas yang mengarah ke DEBAT KUSIR; Kita mau DISKUSI ATAU DIALOG YANG JUGA ISTILAH TERCANGGIH DICERN. Apa yang saya mengerti Ibu RUTH yang sementara dalam proses penyelesaian study DOKTOR di Jogya, memunculkan cerita "PINGKAN" untuk BAHAN STUDY, justeru orang lain memunculkan Versi baru dengan komentar-komentar yang tidak membantu. Gaya Mapalus di Kampung kalau orang minta tolong maka dibantu. One conversation at the time. Everyone be patient to wait their TURN. Today is St's Day; Setelah hari Reformasi; Hari Orang-Orang Suci; Selamat Merenungkan bahwa kita semua tidak Suci namun siapapun mau di pakai Tuhan Untuk melayani. Selamat Melayani. Olga
Tanggapan 278: Ruth Wangkai – 03/11/2010 Dear broer Ronny dan juga zus Mercy, heheee masih berlanjut ya? Buat klarifikasi aja, tulisan PINGKAN diangkat dalam sebuah artikel seperti dalam postingan saya di milis ini dan sebagaimana saya telah informasikan sebelumnya ialah pada awalnya untuk memenuhi permintaan bung Denni P, bung Meidy Tinangon, dkk Waleta Movement, Tomohon, dalam rangka penerbitan buku berjudul MEMERDEKAKAN TOU MINAHASA. Buku ini kalau tidak salah masih dalam proses pencetakan, dan sepertinya ada sedikit kendala yakni beaya. Tapi torang berharap tentunya, masalah itu akan segera teratasi dan kebutuhan bung Denni dkk akan segera pula terpenuhi. Buku ini berisi kumpulan tulisan yang kebanyakan merupakan karangan dari generasi Muda Minahasa yang progresif dan inovatif, yang mempunyai mimpi-mimpi besar dan begitu indah bagi masa depan Minahasa sebagaimana juga menjadi harapan kita semua. Kalau ada rencana pengkajian lebih lanjut ya bisa saja kan terutama berkaitan dengan "Jatidiri Minahasa". Kita kira postingan broer Frank tentang mempertanyakan kembali penggunaan bahasa makatana, yang nyaris tak banyak lagi dipakai sebagai lingua franka di kalangan Tou Minahasa, sebagaimana bahasa-bahasa daerah lainnya yang masih kental, ini merupakan juga tantangan tersendiri bagi upaya menemukan identitas Tou Minahasa kini. Bagus kalau diskusi ini juga dapat dikembangkan ke arah topik bahasa daerah dan juga pengembangan ekonomi Sulut yang berbasis pada usaha-usaha kepemilikan dan ketrampilan rakyat seperti sudah diangkat oleh oom Hendrik dan bung Recky. Silahkan dilanjutkan .... Mengenai studi formal saya tidak ada kaitan dengan penelitian budaya Minahasa tetapi dengan studi Islamologi. Tema yang sedang saya kaji dan tulis ialah tentang "konsep Civil Society dalam pemikiran intelektual Muslim di Indonesia (Cak Nur, Gus Dur dan Ulil)". Bagi saya tema ini menarik dalam kaitan dengan upaya menggali pemikiran-pemikiran kaum intelektual Muslim Indonesia dan kontribusi mereka bagi proses pengembangan civil society dan demokratisasi di Indonesia tetapi selain itu, tema ini juga menantang saya dan mungkin juga bagi kaum intelektual Kristen lain untuk bertanya apa yang sudah kita sumbangkan bagi proses pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil sebagai basis kedaulatan bagi perjuangan menuju kesejahteraan bersama. Walau dalam topik berbeda semisal tentang kajian budaya Minahasa, bagi saya, ini pun sudah mengarah kepada kontribusi pemikiran dan gagasan bagi upaya-upaya penguatan masyarakat sipil. Semoga pengembangan Credit Union Minahasa (dan juga
137 wacana-wacana lain yang didiskusikan dalam milis ini) dapat segera terwujud sebagai salah satu bukti konkrit dari proses penguatan masyarakat sipil di Minahasa. Thanks, Ruth
Tanggapan 279: Jedida Posumah S. – 03/11/2010 Selamat sore, Saya tidak bermaksud membuka luka lama atau membuka kembali diskusi yang seru tentang feminisme atau teologi feminis, namun sekedar memberi masukan. Saya terbeban karena saya masih dalam daftar milis, kedua karena saya biarpun bukan alumnus UKIT tapi mengajar di UKIT (Fakultas Teologi) sejak saya selesai dari STTJ. Ketiga karena salah satu tugas saya adalah mengajar teologi feminis dan keempat, saya seorang perempuan. Sebagai seorang yang melayani di UKIT saya prihatin kalau ada yang berpendapat bahwa UKIT adalah sarang penyesatan. UKIT memang jauh dari sempurna dan masih memprihatikan, perlu pembenahan dan pertobatan, namun janganlah digeneralisir bahwa orang UKIT itu sesat atau menyesatkan. Di UKIT kami bergumul bersama dalam mencari kebenaran dalam terang Roh dan berlandaskan pada Alkitab. Upaya berteologi ini adalah suatu proses yang tidak pernah selesai sebab seperti kata Paulus semuanya akaan jelas bila kita bertemu muka dan muka dengan Kristus sendiri. Sekarang ini masih samar, masih belum sempurna, belum tersingkap seluruhnya. Dalam kerendahan hati saja kita bisa berteologi. Berteologi itu juga bukan semata bicara atau coba memahami Allah (Theos) tetapi sisi sebelahnya adalah memahami manusia dan kehidupan ini. Dalam berteologi kita coba memahami siapa Allah dan siapa diri kita manusia serta apa makna hidup ini. Dan ada kecenderungan baru dalam berteologi yakni bukan pertama mengenal dan memahami Allah Pencipta, tapi mengenal lebih dahulu kemanusiaan kita dan kehidupan bersama sebagai bagian dari Ciptaan yang semesta. Termasuk dalamnya mengenal budaya dan pengalaman kita sebagai pribadi, dan juga bagian dari kelompok, sebagai sarana untuk mengenal jati diri kemanusiaan kita dan sekaligus mengenal Allah. Berteologi atau ilmu teologi tidak hendak berpretensi bahwa kita akan mampu mengenal Allah tanpa perlu mengenal diri terlebih dahulu. Paling tidak relasi manusia dan sesama selalu akn terkait dengan relasi manusia dengan Allah. Dan saya pikir ini adalah tidak sesat tetapi mengikuti ajaran Yesus Kristus yang selalu mengaitkan sesama manusia dengan dirNya maupun AllahNya. Yesus mengajar kepada kita soal kehidupan sejahtera bersama dari seluruh ciptaan sebagai bukti iman kepada Allah. Yesus berkata bahwa apa yang kita buat dan tidak buat kepada sesama adalah tindak kita terhadapNya. Di dalam diri setiap orang percaya di situ ada Yesus Kristus. Jika kita mengaku diri kita ini adalah orang percaya, maka di dalam diri kita Yesus hadir. Tapi begitu juga dalam diri sesama kita, di sana hadir pula Kristus. Sayangnya Yesus tidak mengatakan bahwa Dia hadir hanya pada diri orang tertentu, tapi hanya menyebutkan sesamaNya sebagai orang miskin, orang yang tertindas, orang yang terpenjara, orang sakit dan lemah, tanpa keterangan agama, ideologi ataupun bangsanya. (Kalau saya tidak menyapa Yesus sebagai Tuhan, tidaklah berarti saya tidak mengakui keTuhanan Yesus, tapi saya hanya sekedar menirukan Injil dan rasul-khususnya Paulus. Umat Kristen yang berbahasa Inggris juga tidak menggunakan kata Tuhan Yesus tapi lebih sering Jesus Christ or Jesus saja.)
138 Yesus dalam kacamata saya adalah seorang Feminis sebab perempuan menerima amanat yang sama denganNya yakni terlibat dalam perjuangan membebaskan orang yang terbelenggu(oleh budaya, tradisi, agama,termasuk dalamnya) dan mengangkat orang yang menderita penindasan (diskriminasi, menjadi korban aniaya verbal, psikis maupun fisik) maupun pelecehan, mempedulikan yang termaginalisasi (apapun jenis kelaminnya dan warna kulit atau kepercayaannya termasuk anak-anak dan para lanjut usia). Inilah yang dengan kata lain disebut memanusiakan manusia (falsafah Injili dari Sam Ratulangi). Yang dicari perempuan bukanlah bagaimana mengungguli laki-laki, menjadi lawan atau saingan laki-laki tapi jati diri seorang perempuan yang juga dicipta dalam Citra atau gambar Allah. Brother Bert and Bung Hendrik, terima kasih atas kiriman Woman is so Special, bukan karena saya merasa tersanjung sebagai perempuan tetapi karena dalam syair pujian ini tergambar karakteristik Allah sang Pencipta yang disapa Bapa. Saya membaca suatu buku pengantar teologi feminis yang saya jadikan buku pegangan mahasiswa saya, yang ditulis oleh seorang Teolog yang patut dihargai, yakni Marie Claire Barth-Frommel. Buku ini berjudul Hati Allah bagaikan Hati seorang Ibu.Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia yang mudah dan enak dibaca, dan diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dengan harga relatif terjangkau, 50 ribuan rupiah. Saya menganjurkan sahabat-sahabat untuk membelinya, dan mudah-mudahan mendapat pencerahan. Budaya Minahasa memang bersifat egaliter, tetapi haruslah kita akui juga bahwa masih banyak terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap sesama manusia. Kita sebagai manusia suka berkelompok, suka menertawakan orang lain, memandang rendah suku lain, menyepelekan yang lebih muda, dll. Saya pikir ini terjadi di masyarakat mana saja di dunia. Banyak joke yang melecehkan orang lain padahal sebenarnya kita sementara melihat cermin diri dan menertawakan orang lain. Memandang rendah orang lain sebenarnya berarti merendahkan diri dan martabat kemanusiaan kita sendiri, dan yang sering kita lupakan adalah bahwa ketika kita melecehkan orang lain, mengecilkan diri sendiri sekalipun, kita itu melecehkan sang Penncipta. Dalam rangka pikir ini perempuan berjuang agar dirinya tidak dilecehkan oleh siapapun. Perjuangan feminis sekali lagi adalah hanya untuk mengangkat martabat kemanusiaannya untuk menjadi mitra yang sesungguhnya dari pria. Dengan terangkatnya martabat perempuan maka martabat laki-laki pun dengan sendirinya terangkat, dan terangkatlah kemanusiaan kita bersama. Proses ini hanya bisa berhasil jika pria ikut mendukung perjuangan ini. Jadi singkatnya feminisme adalah upaya mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan kita, baik perempuan maupun pria. Terpujilah sang Khalik yang dari rahimNya lahir segala ciptaan yang ada. Saya mendukung upaya Ruth dkk untuk mengangkat harkat manusia melalui CU. Tapi juga masih banyak jalan lain dan upaya lain yang perlu dikerjakan selain dari segi ekonomi rakyat. Suatu upaya yang tidak mudah tapi perlu didukung. Mungkin kita sekaligus merambah lebih jauh kepada pendidikan baik dalam skill maupun dalam character building, moral dan spiritual yang progressive agar terlahir manusia yang tangguh, handal, matang dan innovative. Bukankah ini ciri manusia Minahasa yang kita cari? Kelemahan orang Minahasa menurut pengalaman dan pengamatan saya adalah semangat egaliter yang cepat panas dan meledak-ledak, sehingga sering kali
139 diskusi ilmiah menjadi diskusi emosional. Tapi kekuatannya adalah siap meminta maaf dan siap memberi maaf, tidak simpan dendam. Cuma saja kadang kalau sudah terjadi ledakan dan tembakan dimana-mana, jadinya lebih baik sembunyi daripada kena tembak. Nonton perang itu nda nyaman lho apalagi terlibat. Oh ya satu lagi komentar saya tentang jenis kelamin Allah. Doa Bapa kami menurut saya itu tersusun mengikuti alur budaya patriakhal. Bukan juga keinginan perempuan untuk menggantikan kata Bapa dengan Ibu, atau Kingdom menjadi Queendom. Saya coba menulis suatu doa versi perempuan bertolak dari doa itu. Bunyinya begini: Ibu dari segala yang hidup, dari rahimmu segala yang ada dilahirkan dan menerima kehidupan. Diatas puji puja segala mahluk namamu diangkat, dan di dalam hidup serta karya mereka impianmu diwujudkan. Kasihmu mengalir agar menghidupkan. Di bawah kepak sayapmu kami mendapat perlindungan. Dalam dekapanmu kami bertumbuh, dengan hikmatmu kami berkarya bagi kehidupan bersama yang sejahtera. Kasih setiamu menutup segala kesalahan kami dan kau ajar kami untuk juga mengampuni saudara kami. Sebagaimana engkau penyayang dan pengampun, begitu pula kami sepantasnya terhadap saudara kami. Tanganmu tidak akan menyakiti kami malahan akan menghindarkan kami dari segala celaka. Segala yang bersuara dan bergerak, beserta alam semesta ini, hidup saling memelihara dan menghidupkan sebagaimana maksudmu dari awal. Sampai sini dulu, Salam, Jedida
Tanggapan 280: Toni Kaunang. – 03/11/2010 Dear Ibu Dosenku Jedida, Suatu pencerahan dari perspektif yg memperkaya wawasan Dan menyegarkan. Tidak antagonistik. Terima kasih atas karyanya. Doa yang sangat indah Dan menyentuh. Salam buat meneer Ecky. Btw so dimana dang? Di Thailand kah? Gbu all. KR. Toka n Jane
Tanggapan 281: Ruth Wangkai. – 03/11/2010 Tante-ku, Jedida yang baik, makase banyak atas masukan, refleksi dan juga lantunan doa yang indah kepada DIA sang Khalik, yang dari rahimNYA-lah lahir semua yang hidup dan yang ada di bumi ini. Doanya mirip dengan nyanyian penyembahan orang-orang tua kita tempoe doeloe seperti kita pernah posting beberapa hari lalu, dan kita kutip ulang di bawah ini: SEI SI OPO Sei si makilek nate e tou Si sei si mema kayobaan ya'sa Si sei situ meir cita In tou an tatang sa sia mateo Si Kasuruan an dior an kayobaan A siya waya se tou wo tumou Sia tumeir ing kayobaan Tanoka si koko Mamarimbing
140 Mateir in buli nana. Artinya: Siapa si OPO Siapakah yang menyelami hati manusia Yang merawat bumi dan segala isinya Yang menjaga manusia di sebelah sana sesudah mati Dialah yang ada sebelum semua ada Dari Dia semua yang ada lahir Dia menjaga semua ciptaan Seperti si koko Mamarimbing (burung Manguni) menjaga telurnya. Salam hangat juga buat oom Ecky, Ruth
Tanggapan 282: Hendrikus Dimpudus. – 03/11/2010 Sangat setuju bu Jedida, bhw sekian lama berteologi terlalu theos centris dan mengabaikan manusia sebagai subyek yg untknya Allah telah berkarya di dalam dan melalui Tuhan Yesus. Yesus sendiri berkata:"Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan." Hal ini telah mengakibatkan teologi kehilangan ketajamannya, krn lebih banyak berabstraksi platonistik. Hasilnya, terkadang, tanpa disadari, mendekati Deisme, Allah menjadi pribadi yang eksklusif tak terjangkau ketimbang IA sebagai Immanuel. Dalam konseling, juga tdk dapat disangkal bahwa kedewasaan rohani seharusnya paralel dgn kedewasaan emosional, yg mampu memproses pengalaman emosional bahkan traumatis. Jadi, sebaiknya teologi mempunyai kerangka integratif. Teologi yang berdialog dengan kehidupan secara wholistic (poleksosbud). Calvin sendiri berasumsi, jika manusia mengenal Allah scr benar, maka ia pun dapat mengenal kemanusiaannya yang benar. Jg Karl Barth, bahwa di dalam diri Yesus terlembaga manusia sejati: laki2 dan perempuan. Jadi setuju bahwa di dalam diri sesama (laki2 dan perempuan) ada diri Yesus. Siapa pun dia. Lintas SARA. Krn itu perbuatan baik kristen, bahkan ketika terdiaspora sbgmn Yeremia 29:7 harus di konfigurasikan (Ef.2:10 dan 3:10)...bahkan perintah Tuha Yesus: "Kamu adalah terang dan garam dunia" Setuju bahwa ketika kita berbicara harkat dan martabat perempuan, tak ubahnya kita juga sedang membicarakan harkat kita sebagai laki2. Adam saja ketika melihat Hawa, spontan mengenal bahwa ialah mitra sepadan yang di bawa Allah ke hadapanNya, setelah setiap mahluk hidup diberinya nama dan tidak satu pun yg sepadan... Jadi... So butul tu kata: "Tidak baik manusia (laki2) itu seorang diri saja... Ada yang kurang tanpa sesama. Sayang budaya "Macho" membutakan. Dalam kerangka itu, mari bersama kita melihat "local wisdom" Minahasa yang azasnya senafas dgn Injil untuk diperkuat menjadi Identitas Minahasa. Salam bae. HAD
141
Tanggapan 283: Mercy Rumengan – 03/11/2010 Dear Kak Ruth; Thanks atas klarifikasinya. Buat Ibu Jedida, thanks atas tulisannya. God Bless Olga
Tanggapan 284: Ferdinand Pandey – 04/11/2010 Hallo MRNC, Kepentingannya adalah untuk penginjilan. Dan dengan ini kita posting ayat dari alkitab,supaya torang jangan bergantung pada hikmat manusia atau kebudayaan yang diletakkan diatas Kedaulatan Allah/Firman TUHAN: I Kor 1:18-21 Sebab pemberitaan tentang salib adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa,tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Karena ada tertulis: "Aku akan membinasakan hikmat orang-orang berhikmat dan kearifan orang-orang bijak akan Kulenyapkan". Dimanakah orang yang berhikmat? Di manakah ahli Taurat? Di manakah pembantah dari dunia ini? Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan? Oleh karena dunia,dalam hikmat Allah,tidak mengenal Allah oleh hikmatnya,maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil. Memang mustinya harus mengakui kita bodoh/bego dihadapan Tuhan supaya boleh dicerahkan oleh Roh kudus untuk mengerti/memahami/meyakini dan melaksanakan kehendak Allah menjadi saksi sesuai dengan amanat Agung:Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus Mat 28: 19 Bagitu jo dulu FP Tanggapan 285: Ferdinand Pandey – 05/11/2010 Haloo Pdt.Vence Singkoh.So betul sekali apa yang Alkitab katakan seperti yang diposting dibawah ini.Kalau orang percaya apalagi sebagai seorang pendeta,kebenaran Firman Tuhan yang harus diberitakan terlebih dahulu,dan diletakkan diatas hikmat manusia atau suatu kebudayaan.Jangan dibalik,yang lain itu hanya sebagai illustrasi untuk bisa lebih dimengerti.Thank you.FP.
142
Tanggapan 286: Frank Tanos – 05/11/2010 Saya hanya protes kata dan kalimat dibawa ini, artinya Pdt.Ventje & om Dinand masih mengakui adanya perceraian dalam perkawinan. Seharusnya perkawinan tidak ada perceraian dengan alasan apapun.Tapi dibawah ini masih ada kata "Yang sudah bercerai dan mau kawin lagi tentu boleh"....nah! ini salah...masih belum klop pemikirannya. Jadi untuk supaya mereka yang sudah bercerai dan mau kawin lagi tentu boleh tapi dengan istri atau suami yang telah diceraikan tadi, alias rujuk. Tidak ada pilihan lain.
Tanggapan 287: Ferdinand Pandey – 05/11/2010 Adoh Frank,co baca jo bae-bae boleh kawin maar bale deng tu maitua yg sama artinya jangan kwa main-main akang tu perkawinan.Apa yg so dipersatukan Tuhan jangan diceraikan oleh manusia,deng kalau so kawin so jadi satu bukan dua.Apa itu masih kurang?? kita rasa kalau torang baca dan simak bae-bae Tuhan tidak menghendaki perceraian.Cuma manusia yang mo malawang pa Tuhan he...he...Bagitu jo dulu FP
Tanggapan 288: Toni Kaunang. – 05/11/2010 Apakah ini sebuah renungan? Dalam hal berwacana,berbeda pendapat adalah lumrah. Karena yang berwacana adalah manusia yang penuh dengan keterbatasan dan kelemahan. My point is, no body's perfect. Or is there any of you can claim as perfect person? To me, I believe that only GOD alone is perfect and absolute ! Only those who think their self is perfect and absolute can claim others foolish, serigala berbulu domba! penyesat yang masuk ke gereja2 dan sekolah2 teologi, musuh dalam selimut, etc. Dalam sejarah Gereja, ketika Gereja Am mengklaim kebenaran ABSOLUT hanya ada dalam Gereja.Dan Kebenaran dalam Gereja ditentukan oleh pemimpin Gereja. Apa yang terjadi? Pandangan dan sikap lain yang bertentangan dengan pandangan dan sikap para pemimpin Gereja dianggap SESAT. GEREJA WAKTU ITU MENANAMKAM BENIH KEBENCIAN TERHADAP MEREKA YANG DIANGGAP SESAT. PANDANGAN DAN SIKAP GEREJA ADALAH ABSOLUT dan YANG SESAT HASUS DISIKSA AGAR BERTOBAT. METODE PENYIKSAAN KONON SANGAT SADIS! KALAU TIDAK BEROBAT MAKA DIMUSNAHKAN DARI MUKA BUMI ALIAS DIBUNUH DENGAN SADIS. Kita semua tahu apa akibatnya! Banyak ilmuan dengan inovasinya yang kemudian ternyata, diakui oleh kita yang masih hidup saat ini, sangat membantu peradaban dan kemanusiaan
143 telah disiksa, dibunuh dengan sadis atas nama kebenaran absulut dari those who thinks and claim their self perfect and have the absolute truth! Saya tidak penganut relitivisme atau hikmat duniawi diatas firman Allah. Sekali lagi hanya Tuhan Allah yang sempurna dan absulut di dunia
ini.
Tetapi jangan ada di dunia dengan keterbatasannya dan kelemahannya memahami yang ABSOLUT itu, yang telah menyatakan DIRINYA melalui ALKITAB, mengklaim dirinya ATAS NAMA yang ABSOLUT itu!!! HE he he he he ............... Dalam sejarah GEREJA, ketika mereka itu menyatu dengan Penguasa, maka kiamatlah orang orang seperti Ibu Ruth Ketsia Wangkay, Deni Pinontoan, mungkin Pak Frank dan lain lain para penyesat, mungkin juga saya.....he he he he he Siap siap jo mo disiksa agar tidak sesat lagi alias bertobat. Kalau tidak, ya 'go to hell'' Hanya sebuah perspektif................ Jangan diambil hati.......... Diambil secara logika seperti kata Pak Frank. Kind Regards, TOKA
Tanggapan 289: Vivi Dimpudus. – 09/11/2010 Morning all........,se7 banget dengan Billy, cuma memang org2 tua dulu ato nenek moyang kita sangat dekat dengan alam bahkan akrab dgn alam......sehingga se akan2 mereka bisa komunikasi dgn alam ato binatang.........ada ini itu mereka percaya dan dikaitkan dgn kepercayaan/agama, contoh.....mau keluar rumah aja, kalo cicak babunyi.......ooo jgn keluar dulu.....napa ada tanda, padahal skrg kita umat percaya yg sdh tau kebenaran......kalo mau keluar rumah doa minta pimpinan/perlindungan/penyerataan Tuhan........, sama seperti ke kuburan, tdk salah.......tapi yg BENAR jangan kita ngomong ama yg di kuburan, begitu kira2.......maaf kalo salah. Hiduplah dalam KEBENARAN. Thank, GBu all..... Salam bae selalu, Vivi T D
Tanggapan 290: Vivi Dimpudus. – 09/11/2010 Hallo bung Frank, Iman timbul oleh pendengaran akan firman Tuhan, jangan crita2......ntar crita2 nenek moyang yg ijadikan mitos ...gak taunya berhala lagi. Hohoho........ Salam Bae selalu, Vivi T D
02/2011 ADMINISTRATOR