PILKADA, DEMOKRASI, DAN ETIKA POLITIK Dr. Drs. H. Musa, Shofiandy, S, MM
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diseluruh Indonesia sejak memasuki Era Otonomi Daerah, dengan diberlakukannya Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dapat kita pungkiri bahwa pelaksanaan Pilkada tersebut telah banyak menimbulkan berbagai ekses negative dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dinamika yang menjurus kearah timbulnya konflik dalam masyarakat dan/atau masalah lainnya yang mengarah kepada tindakan penyalah gunaan kekuasaan dan kewenangan oleh Kepala daerah tidak dapat terhindarkan, walaupun istilah yang digunakan dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala daerah itu telah mengalami tiga kali perubahan yakni dengan menggunakan istilah Pilkada, Pemilukada dan istilah Pilgub, Pilbup/Pilwal. Awalnya, pemilihan Kepala Daerah itu adalah bagian dari Otonomi Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang 32 tahun 2004, dengan menggunakan istilah Pemilihan Kepala Daerah atau disingkat “Pilkada”. Ketika muncul UU yang baru bernomor 22 tahun 2007, pemilihan Kepala daerah bukan lagi bagian dari Otonomi Daerah, tetapi bagian dari Pemilu. Oleh karena itu, penyelenggaraannya sudah langsung di bawah koordinasi KPU secara nasional dan kemudian istilah Pilkada diubah menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah atau disebut Pemilukada. Istilahnya yang sebelumnya (Pilkada) rezimnya Otonomi Daerah, dan yang satu (Pemilukada) rezim Pemilu. Terdapat perbedaan soal penyelesaian sengketa dari keduanya yakni Pilkada di bawah rezim Otonomi Daerah penyelesaian sengketa berada di Mahkmah Agung (MA), dan sengketa pada rezim Pemilukada penyelesaiannya di Mahkamah Konstitusi. Kemudian tahun 2011 terbit undang-undang baru yakni UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Nah di dalam undang-undang ini istilah tidak lagi menggunakan istilah pemilu kepala daerah (Pemilukada) tetapi disebut dengan istilah Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati, atau Pemilihan Walikota. Penggunaan istilah ini disesuaikan dengan isi dan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebutkan Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis, sehingga bukan disebut dengan istilah Kepala Daerah tetapi disebut langsung jabatannya yaitu Gubernur, Bupati dan/atau Walikota. Terlepas dari adanya pergantian istilah yang digunakan dalam pelaksanaan pemilihan kepala Daerah tersebut, namun realita yang ada dan terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah itu, pada dasarnya adalah sama yakni sama-sama menimbulkan berbagai efek negative. Setiap dimulainya pelaksanaan Pemilahan Kepala Daerah di berbagai daerah, penulis selalu teringat tulisan saudara Afifudin yang dimuat di harian NTB Post hari Selasa tanggal 29 Januari 2008, dengan judul “Ajari Aku Politik Sehat” Kalimat pertama dari tulisan saudara Afifudin diawali dengan pertanyaan yang terkait dengan Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat. yang dilaksanakan pada bulan Juli 2008. Pertanyaan tersebut berbunyi : Bisakah
Pilkada menjadi solusi untuk membedah persoalan caracter building atau pembangunan karakter masyarakat dalam membangun pola demokrasi yang sehat dan mandiri tanpa intervensi kekuatan materiel yang cendrung tidak sehat dalam konteks membangun demokrasi masyarakat? Tulisan itu sangat menarik bagi penulis karena berkaitan dengan berbagai elemen lainnya seperti, aktualisasi pelaksanaan Demokrasi, etika politik yang dilakoni para elit yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada, sampai dengan imbasnya terhadap jalannya Birokrasi Pemerintahan setelah pesta Demokrasi Pilkada selesai. Pada awalnya kita semua berharap dan selalu berharap agar pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah di Indonesia akan berdampak positif terhadap penciptaan dan atau terwujudnya kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pelaksanaan Pilkada dikaitkan dengan roh Demokrasi yang sesungguhnya ditengah carut marutnya kolaborasi Etika Politik para elit yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada sampai dengan imbasnya terhadap Birokrasi Pemerintahan di Daerah, penulis mencoba memberikan sedikit analisis pemahaman terhadap berbagai persoalan yang ada dan terjadi ketika dan setelah Pilkada berlangsung. Demokrasi Dan Kesejahteraan Rakyat Pernyataan saudara Johan Bahri yang dikutif oleh saudara Afifudin dalam tulisan tersebut, dapat dibenarkan, karena dari berbagai buku literatur yang berkaitan dengan Demokrasi di negara kita dan di beberapa negara lainnya yang pernah penulis baca, pada intinya adalah sama seperti yang diungkap oleh saudara Johan Bahri. Dari berbagai rangkuman teoritik yang penulis baca dan pelajari dapat disimpulkan bahwa proses demokrasi di negara kita ini masih belum berjalan sesuai dengan harapan dari Demokrasi itu sendiri, apalagi dari proses pelaksanaan demokrasi itu akan dapat membawa perubahan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, itu sangat sulit diharapkan dan untuk sementara waktu kita hanya bisa mengibaratkan hanya sebagai mimpi yang entah kapan akan terwujud. Salah seorang Dewan Pakar ICMI dan KAHMI, Prof.Dr. Didin S Damanhuri,SE.,MS. dalam salah satu tulisannya mengatakan : Dewasa ini sebagian pelaku politik potensial dengan kualitas SDM yang memadai masih terpinggirkan dalam proses demokrasi karena terlalu dominannya money politics yang pada gilirannya mencederai output politik. Dan lebih jauh lagi, demokrasi politik bukan hanya tak ada relasinya dengan kesejahteraan rakyat, bahkan terkesan di mata awam di masa pemerintahan outoritarian sebelumnya, kehidupan ekonomi sehari-hari jauh lebih baik dibandingkan di masa reformasi. Ini sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi, meski memang hal itu membutuhkan waktu. Kualitas Demokrasi Politik yang rendah yang belum menciptakan kesejahteraan rakyat yang menyeluruh pada gilirannya menjauhkan bangsa dari kemandirian baik secara politik, ekonomi, financial hingga identitas cultural dan karakter bangsa, demikian ungkap Didin. Pernyataan Didin ini adalah wajar diutarakan, bila kita melihat perjalanan demokrasi politik di negara kita ini, dan dibandingkan dengan demokrasi politik di negara lain. Tidak usah kita bandingkan dengan negara-negara Barat yang jauh lebih maju, kita lihat saja perjalanan dan perkembangan demokrasi politik di negara-negara Asia, seperti halnya Jepang dan Malaysia. Di kedua negara ini, demokrasi politik telah dapat menciptakan hubungan signifikan yang kuat antara demokrasi politik dengan kesejahteraan rakyat, meski model
hubungan tersebut relatif tidak persis sama dengan di negara Barat seperti di Amerika dan Eropa. Di Amerika Serikat berlaku sistem Dwi Partai dengan serikat buruh yang lemah yang menghasilkan pelaku korporasi yang dominan, sementara di Eropa berlaku demokrasi multipartai dan serikat buruh yang kuat dengan relasinya terhadap model Negara Kesejahteraan dan System Jaminan Sosial yang sangat kuat. Di Jepang antara eksekutif, legislatif serta pelaku ekonomi bersinergi dengan apa yang disebut Japan Incorporated. Sementara di Malaysia terdapat partai dominan yakni UMNO/Barisan Nasional, tanpa mengurangi arti demokrasi di mana partai PAS juga bisa menang di beberapa negara bagian. Dengan keadaan ini, keadaan ekonomi negara Malaysia jauh lebih tinggi dari ekonomi di negara kita Indonesia, serta content SDM dan Iptek telah mewarnai proses politik maupun ekonomi. Di saat krisis ekonomi terjadi di negara-negara Asia, Malaysia telah menunjukkan kemandiriannya dengan memilih jalan keluar dari krisis, tanpa bantuan IMF. Sementara Indonesia ? justru Letter of Intent (LOI) IMF yang sangat mempengaruhi strategi pembangunan yang bertumpu kepada stabilitas makro ekonomi di Indonesia. Menurut Didin S damanhuri (2006), di Indonesia Demokrasi Politik masih butuh waktu panjang untuk membuktikan apakah terdapat relasinya dengan tingkat kesejahteraan bangsa. Salah satu hal yang paling krusial secara ekonomi yang pada gilirannya mempengaruhi terhadap Demokrasi Politik, antara lain ada tiga hal : (1) Utang luar negeri yang telah menyeret situasi debt trap yang memiskinkan dan menciptakan ketergantungan permanen bangsa terhadap negara maju, (2) White paper yang berasal dari Letter of Intent (LOI) IMF yang telah sangat mempengaruhi strategi pembangunan yang bertumpu kepada stabilitas makro ekonomi sehingga kalau perlu mengorbankan kesejahteraan rakyat banyak, (3) Korupsi sistematik yang meruyak sejak pemerintahan Orba yang berlangsung di eksekutif dan pusat bersama dengan pihak swasta dan judikatif, kini yang lama tetap bertahan lalu juga menyebar ke legislatif dan ke daerahdaerah.
Melihat kondisi ini, maka adalah sangat sulit untuk kita berharap, pelaksanaan demokrasi politik di negara kita ini akan dapat mempengaruhi dan atau dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dus dengan demikian berarti bahwa melalui pelaksanaan Pilkada yang merupakan pengejawantahan penerapan Demokrasi di negara kita ini, kita tidak bisa banyak berharap akan dapat tercipta kesejahteraan masyarakat, lebih-lebih lagi bila kita lihat aktualisasi permainan para elit politik kita di daerah ini yang dengan terus terang, tanpa ada rasa malu akan mengusung calon Kepala Daerah yang berduit, lebih serem lagi adalah ulah polah para elit dan penguasa partai politik yang akan dijadikan kendaraan politik oleh para calon Kepala Daerah. Pilkada Dan Demokrasi Kembali ke persoalan pokok dalam tulisan ini, yakni masalah Pilkada, Demokrasi dan etika Politik, kiranya tidak bisa dipisahkan. Pilkada merupakan penjelmaan penerapan azas demokrasi di negara kita. Pilkada (dalam hal ini Pilkada langsung) merupakan implementasi demokrasi partisipatoris, karena itu maka nilai-nuilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui azas-azas pilkada langsung yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagai implikasi proses pelaksanaan tahap-tahapan kegiatan di atas haruslah menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai obyektivitas, keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Yang menjadi tanda tanya besar kita saat ini adalah sudahkah azas-azas tersebut terlaksana dengan baik sesuai yang dihajatkan,
terutama oleh para aktor utama pilkada langsung yakni rakyat, partai politik dan calon kepala daerah. Dari ketiga aktor utama ini, kenyataan yang kita lihat dan alami maka dua aktor terakhir yang sangat memegang peranan penting selama proses pilkada itu berjalan yakni partai politik dan calon kepala daerah yang akan ikut bertarung dalam pilkada tersebut. Kedua aktor inilah yang memegang peranan, apa dan bagaimana demokrasi itu berjalan dan dijalankan, dan tentang hal ini adalah sangat tergantung dari permainan dan etika politik yang ada dan diperankan oleh masing-masing pemain politik itu. Jelasnya, hal ini sangat tergantung dari moral dan moralitas yang dimiliki masing-masing. Berbicara masalah moralitas, kita perlu memahami secara mendalam apa sebenarnya moralitas itu ? Benny Susetyo (2004) mengatakan ; moralitas adalah keasadaran jiwa terdalam dari tiaptiap manusia; kesadaran hati nurani untuk menghormati dan mencintai sesama, membela kaum tertindas, bersikap altrulistik dengan mementingkan kepentingan masyarakat banyak dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai humanisme. Kesadaran jiwa ini tentu akan bertentangan dengan perilaku negatif seperti membakar orang, membom, membunuh, menipu, menindas, mengorupsi uang rakyat dan seterusnya. Maka, jika perilaku elite saat ini mencerminkan di dalam perbuatan yang kedua, maka praktis akan hancur tatanan moral dan peradaban. Karena itulah sesungguhnya tidak ada absurditas ketika kita bicara kebaikan-kebaikan perilaku-perilaku moralitas seperti diungkapkan para elit. Lebih menyakitkan lagi karena mereka sendiri kerap mengatakannya sebagai reformis dan mereka adalah reformis. Moralitas tidak tercermin dalam setiap penegakan hukum yang dilakukan secara adil dan konsekuen, secara jujur dan konsisten. Kematian moralitas disini bukan seperti jargon Nietzche tentang kematian moral – sebagai kritik atas keangkuhan modernisme-, melainkan mati karena keberingasan pemimpin atas rakyatnya, demikian ungkap Benny. Dari pengertian dan pernyataan ini, bila kita kaitkan dengan realita aktual saat ini, maka moralitas para elit kita, termasuk para elit politik yang memainkan demokrasi itu, cendrung termasuk dalam kategori kedua. Walau demikian sebagai bangsa yang sangat mencintai negara dan bangsanya, mencintai keutuhan, kesatuan dan persatuan rakyatnya, kita tidak boleh berputus asa apalagi menyerah untuk membalikkan keadaan yang sangat merugikan dan memalukan bangsa ini. Salah satu upaya untuk memperbaiki keadaan itu adalah dengan memberikan saran masukan, bila perlu dengan kritik yang sifatnya membangun, dan satu-satunya sarana untuk menyampaikan hal ini adalah melalui media massa. Itulah yang mendasari pemikiran saya untuk terus berupaya menyampaikan isi hati dan pemikiran yang ada dalam diri saya melalui tulisan opini ini. Mudah-mudahann saja media massa juga menyadari hal ini. Kenapa kita lebih cenderung untuk mengatakan bahwa perilaku elit kita dalam kelompok kedua? Lihat dan dengar berita siaran diberbagai media elektronik, baca berbagai berita di berbagai media massa surat kabar, koran, majalah, buku dan lain sebagainya, tiap hari kita akan jumpai berita mengenai terkuaknya kasus-kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah tidak dapat lagi kita hitung betapa besarnya kerugian negara dan uang rakyat yang dikorup oleh para insan Tuhan yang tidak pernah ingat mati itu, dan kita semua tidak tau kapan akan berakhir penyelesaiannya secara tuntas dan lugas. Mari kita lihat ulah dan permainan para elit politik di negara kita tercinta ini.
Bakal Calon Kepala Daerah Ada cerita menarik dari salah seorang teman yang menjadi tim sukses salah seorang bakal calon Kepala Daerah (Gubernur) NTB periode 2008-2013, bahwa calon yang diusungnya mundur untuk menjadi calon dari parpol tertentu, karena diminta dana belasan milyar rupiah oleh Parpol tersebut. Demikian juga pada Pilkada Bupati/Walikota di sejumlah daerah, banyak para Bakal Calon yang mundur (tidak melanjutkan pencalonan dirinya) karena tidak sanggup membayar dana operasional Parpol yang mencapai milyaran rupiah. Dana sebesar ini, baru untuk membeli parpol tersebut, belum yang lainnya. Adalagi cerita yang kayaknya sukar untuk bisa kita terima dengan akal sehal kebenarannya, tapi pengakuan ini keluar dari mulut salah satu bakal calon, katanya sampai saat ini dia sudah menghabiskan dana milyaran rupiah untuk sosialisasi dan pendekatan dengan beberapa parpol, belum termasuk dana untuk membeli parpol. Masya Allah.... dari mana, dan bagaimana caranya beliau-beliau memperoleh dana sebesar itu, dan dikeluarkan begitu saja tanpa perhitungan dan strategi yang matang ? bagaimana kalau beliaubeliau tidak terpilih menjadi Kepala Daerah, dan itu pasti terjadi, artinya dari sekian banyak pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, yang akan terpilih nantinya untuk menjadi Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kan cuma satu pasangan, dengan demikian yang akan jadi korban kan lebih dari satu pasang. Kondisi inilah yang pada akhirnya nanti akan menimbulkan banyak masalah, memunculkan kerawanan dan menimbulkan banyak korban material dan non material baik bagi masyarakat maupun daerah, sebagaimana halnya yang terjadi di Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku Utara dan di beberapa daerah lainnya. Dengan kenyataan ini, maka pantas juga kalau mantan Ketua PBNU. Hasyim Mujadi mengusulkan kepada Pemerintah agar Pilkada dikembalikan seperti dulu, yakni biarlah DPRD saja yang pilih, demikian juga wacana yang dilontarkan oleh Menteri Dalam negeri Gamawan Fauzi, dan saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala daerah untuk Gubernur dilakukan oleh DPRD Provinsi, sedangkan pemilihan Kepala daerah untuk Kabupaten/Kota (Bupati dan walikota) tetap dipilih langsung oleh rakyat, masi dalam pembahasan a lot di DPR, karena untuk sementara waktu baru Fraksi Demokrat yang menyetujui usul RUU tersebut sedangkankan beberapa fraksi ada yang menolak dan ada pula yang masih abu abu (belum menyatakan sikap pasti, apakah akan menyetujui atau menolak). Menurut hemat penulis, terjadinya berbagai peristiwa unjuk rasa dan kekerasan yang berakibat perusakan sebagai akibat dari pelaksanaan pemilihan Kepala daerah itu, bukan murni kehendak dan kemauan masyarakat yang kebanyakan orang awam, tidak tau apa-apa, tapi terjadinya hal itu karena ulah segelintir orang saja yang tidak puas, tidak ikhlas menerima kekalahan, lalu mereka mendramatisir rakyat untuk berunjuk rasa, berbuat ulah sampai tidak terkontrol akhirnya merusak. Ini salah satu akibat dari kurangnya pemahaman tentang arti dan makna demokrasi yang sebenarnya sesuai dengan arti dan makna demokrasi ketika dicetuskan oleh Max Weber dulu dan kurangnya pemahaman mengenai etika berpolitik. Kejadian-kejadian seperti ini juga hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk berfikir jernih dan mencari solusi terbaik agar dampak dari pemilihan Kepala daerah itu tidak sampai mengakibatkan efek negative yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Para calon yang kalah harus siap menerima kekalahan, ikhlaskan segala pengorbanan materiel dan non materiel yang telah dikeluarkan sebagai cost politik, sebagaimana yang selalu
didengungkan pada saat mensosialisasikan diri kepada rakyat, bahwa para bakal calon tersebut ikhlas berkorban untuk memperjuangkan rakyat banyak. Kalau kemudian dia tidak terakomodir dan terpilih oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk menjadi calon tetap dari partai politik atau gabungan partai politik tertentu, jangan semudah itu membalikkan ucapan yang telah dikeluarkan, kemudian baru membeberkan ketidak fair an dan kebobrokan partai yang tidak memilihnya. Kalau ini yang terjadi, kan tidak ikhlas namanya, dan dalam agama kita (Islam) mengajarkan bahwa perbuatan yang tidak dilandasai dengan keikhlasan karena Allah SWT. tapi hanya semata untuk mendapatkan sesuatu dan atau karena untuk memenuhi pencapaian duniawi, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang Ria. Dan perbuatan Ria sangat dilarang oleh agama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali (2003;544) dengan mengatakan : “Ketahuilah, bahwa Ria itu haram. Dan orang yang berbuat Ria itu terkutuk pada sisi Allah” Pernyataan Imam Ghazali ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala dalam kitab Al Qur’an S. AlMa’un, ayat 4-5-6, yang artinya : “Sebab itu, celaka untuk orang-orang yang bersembahyang. Yang lalai dari sembahyangnya. Yang mengerjakan (kebajikan) untuk dilihat orang”. Dalam sebuah hadits nabi Muhammad Rasulullah SAW. yang dirawikan oleh Ahmad dan Al-Baihaqi dari Mamud bin Lubaid, disebutkan : Nabi s.a.w. bersabda : “ Sesungguhnya yang paling aku takuti padamu, ialah : “syirik kecil”. Lalu para sahabat bertanya : “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah ?” Nabi s.a.w. menjawab “ Ria ! ” Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari kiamat, apabila ia memberi balasan kepada hamba-hambaNya dengan amal mereka :”Pergilah kepada mereka, dimana kamu mengerjakan amalmu, untuk diperlihatkan kepada mereka (berbuat ria) di dunia !. Maka lihatlah, adakah kamu memperoleh balasan dari mereka ?” Karena itu itu sebelum membulatkan niat untuk bertarung dalam Pilkada, hendaknya betul-betul difikirkan dengan matang dampak dari tindakan dan perbuatan yang akan dilakukan baik materiel maupun non materiel, agar betul-betul siap mental, jasmani dan rohani untuk menerima segala akibat yang akan menimpa, termasuk siap dan ikhlas untuk menerima kekalahan. Kalau belum siap menerima kekalahan dan menanggung segala akibat politik itu, lebih baik tidak usah ikut bermain politik, tidak usah mengatakan bahwa politik itu kotor dan menjijikkan. Ingat, bahwa politik menyangkut dalam segala asfek kehidupan manusia dan pada dasarnya tidak kotor, tapi yang kotor dan menjijikkan adalah para pemain politik yang melakoni politik itu dengan hal-hal yang kotor dan menjijikkan, dan inilah yang umum terjadi, sehingga makna politik yang sebenarnya tergeser ke dalam pengertian yang tidak baik. Sama halnya dengan asumsi sebagian masyarakat yang berkembang akhir-akhir ini, khususnya di Bumi Gora Nusa Tenggara Barat, yang menyatakan bahwa jika seorang Tuan Guru (Ulama) berkecimpung dalam dunia politik, maka akan rusaklah Tuan Guru (Ulama) tersebut. Asumsi ini salah besar kalau kita berpijak pada arti dan makna serta pengertian yang terkandung dalam kata politik itu, bahkan Masykuri Abdillah dalam tulisannya yang berjudul Kiprah Ulama dalam Kehidupan Masyarakat dan Negara Dewasa ini (2004) mengatakan : Adalah suatu keharusan bahwa semua elite politik maupun masyarakat umum memegang teguh etika politik. Hanya para ulama, terutama yang terlibat dalam politik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politik ini, karena dengan kedudukan mereka sangat terkait dengan pembinaan akhlak atau moralitas umat/bangsa. Sementara itu para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Peran ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para ulama, tetapi belum optimal. Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski dengan jalan non politik (political
action in the nonpolitical way), yang dilakukan dalam kerangka melakukan amr ma’ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan komitmen pada penegakan etika moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang berlangsung. Dalam konteks ini mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madani (civil society) yang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi, demikian ungkat Masykuri. Dalam kaitan dengan hal ini tentunya akan sangat tergantung pada sampai sejauhmana kekuatan iman para ulama (Tuan Guru) dalam menjalani pergelutannya dengan dunia politik, apakah ia bisa seperti yang dikatakan oleh Masykuri Abdillah di atas, atau sebaliknya, bahkan dia yang menjadi korban politik kotor orang-orang atau para elit politik lain yang sudah terbiasa melakoni politik kotor itu. Pengkaburan Arti dan Makna ketentuan Undang-undang dan peraturan lainnya Salah satu bukti rill berkaitan dengan adanya kekotoran permainan politik di negara kita ini, yakni ketika proses politik dalam setiap pelaksanaan Pilkada yang diawali dengan proses penjaringan bakal calon kepala daerah, adalah dengan adanya pengkaburan arti dan makna yang termuat dalam ketentuan Undang-undang dan atau peraturan lainnya. Dalam pasal 59 Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan sebagai berikut : Ayat (3) : Partai Politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang seluasluasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Ayat (4) : Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Kemudian dalam penjelasan pasal 59 ayat (3) UU nO. 32 Tahun 2004 di atas ini dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “mekanisme yang demokratis dan transparan” dalam ketentuan ini adalah mekanisme yang berlaku dalam partai politik atau gabungan partai politik yang mencalonkan dan proses penyelenggaraan serta keputusannya dapat diakses oleh publik. Demikian pula halnya ketentuan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah. Dalam Pasal 37 PP No. 6 Tahun 2005 ini dinyatakan sebagai berikut : Ayat (3) : Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebagai bakal calon; Ayat (5) : Proses penyaringan bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan secara demokratis dan transparan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam Partai Politik atau gabungan Partai Politik ;
Ayat (6) : Dalam proses penetapan pasangan calon, Partai Poltik atau Gabungan Partai Politik wajib memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Kemudian dalam penjelasan pasal 37 Ayat (5) PP No. 6 Tahun 2006 disebutkan ; yang dimaksud dengan mekanisme yang demokratis dan transparan adalah mekanaisme yang berlaku dalam partai politik dan gabungan partai politik yang mencalonkan dan proses penyelenggaraan serta keputusannya dapat diakses oleh publik. Dalam kedua ketentuan di atas yakni yang berkaitan dengan mekanisme yang demokratis dan transparan, yang mana dimaksudkan disini adalah mekanisme yang berlaku dalam partai politik atau Gabungan Partai Politik yang mencalonkan dan proses penyelenggaraan serta keputusannya dapat diakses oleh publik. Kata-kata “mekanisme yang berlaku dalam partai politik atau gabungan partai politik” inilah yang membuka peluang untuk memberikan penafsiran yang berbeda-beda bagi diri masing-masing kita. Bagi Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, bisa saja kata-kata mekanisme yang berlaku dalam Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, itu dijadikan dasar dan landasan untuk mencantumkan persyaratan kepada setiap bakal calon Kepala Daerah untuk membayar sejumlah uang kepada Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, bila calon Kepala Daerah itu akan menggunakan Partai Politik atau Gabunga Partai Politik tertentu sebagai kendaraan politiknya, sehingga apa yang kita lihat dan dengar saat ini, bahwa beberapa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik mengharuskan calon Kepala Daerah yang akan di usung untuk membayar sejumlah uang, dan informasinya dengan jumlah yang amat menggiurkan, (milyaran rupiah), ada benarnya. Kondisi ini tentunya bagi orang yang tidak setuju dengan ulah polah Partai Politik atau Gabungan Partai Politik tersebut akan memberikan penafsiran yang berbeda, dengan tidak membenarkan cara-cara seperti ini (calon Kepala Daerah membayar sejumlah uang kepada Partai Politik atau Gabungan Partai Politik). Ada satu cerita menarik, ketika salah seorang bakal calon Kepala Daerah pada saat Pilkada Gubernur NTB. Tahun 2008 lalu, datang menemui salah seorang Ulama/Kiyai di Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa tenggara barat (Bapak Tuan Guru H.Moh.Sibawaihi Mutawalli), minta dukungan. Ketika itu Tuan Guru H.Moh.Sibawaihi Mutawalli memberikan masukan kepada sang bakal calon. Begini... ungkap beliau, kalau punya uang misalnya 30 Milyard, pakai saja beli sapi yang harganya sekitar 3,5 juta atau taruhlah yang harganya 3.750 ribu. Dengan uang 30 M akan dapat kita beli sapi sebanyak 8.000 ekor sapi. Ke 8.000 ekor sapi itu diserahkan pemeliharaannya kepada masyarakat tani/peternak. Dalam jangka 2 tahun sapi yang 8.000 ekor itu akan menjadi 16 ribu ekor, tahun ketiga akan menjadi 32 ribu ekor, tahun keempat akan menjadi 72 ribu ekor, atau taruhlah selama 5 tahun sapi itu akan menjadi 72 ribu ekor, berarti minimal dengan 72 ribu ekor itu kita sudah pegang suara 72 ribu kali minimal 3 orang (satu pemelihara sapi mencakup satu keluarga sebanyak 3 orang), berarti kita sudah dapat suara 216 ribu. Nah kalu mau nyalon 5 tahun yang akan datang orang-orang inilah yang akan mensosialisasikan dan mengkampanyekan pencalonan kita dengan modal suara, betapa besarnya perhatian kita pada masyarakat kecil dan Insya Allah menang, ungkap beliau. Penulis ikut nimbrug angkat bicara, bagaimna Pak, kalau para pemelihara sapi itu tidak jujur, nanti dibilang sapinya mati atau hilang, ungkap penulis. Beliau bilang, kita cari sih orang yang jujur, atau kalau toh kita temukan seperti itu, masa semuanya akan mati atau hilang, taruhlah misalnya 25 % yang begitu, berarti kita masih memiliki 75 persen atau sebanyak 54 ribu ekor sapi, kan masih untung. Dengan demikian, maka jika kita akan ikut Pilkada, kita tidak akan mengeluarkan biaya banyak, sapi masih tetap utuh dan tidak akan rugi, kalau saja kita jual sapi-sapi itu dengan harga 1 ekor 3
juta rupiah, maka kita akan dapat uang sejumlah kurang lebih 162 Milyard. Dari uang ini taruhlah setengangahnya kita gunakan untuk biaya ikut Pilkada, kan pasti kita menang, tidak rugi.... lagi... ungkap beliau. Dengan komentar Tuan Guru H.Moh.Sibawaihi itu, akhirnya sang bakal calon tadi jadi salah tingkah. Memang, kalau kita pikir secara akal sehat, anjuran Tuan Guru itu benar adanya. Nah, kenapa orang-orang berduit yang mau jadi Kepala Daerah itu, tidak berfikir demikian ? Tapi, kita juga tidak menyalahkan, kita tidak bisa berharap seperti itu, karena masing-masing kita punya watak, karakter, pemikiran dan prinsip yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Bagi seseorang, bisa saja menerima saran dan pendapat orang lain, tapi bagi orang lain belum tentu.
Demokrasi Dan Etika Politik Joko J.Prihatmoko (2005;10) mengatakan “Pilkada langsung dinilai sebagai jalan masuk (passport) bagi demokratisasi politik di daerah karena dapat mengeliminasi atau mengikis politik uang (money politics), memperkecil peluang intervensi pengurus partai politik, dan memberikan kesempatan rakyat memilih pimpinan daerah secara obyektif” Sedangkan Kastorius Sinaga dalam Abdul Gaffar Karim (2004) mengatakan : “Pilkada langsung sebagai euphoria demokrasi. Euphoria ini semakin mendapatkan tempat di wacana publik karena memang ada berbagai penyimpangan dalam Pilkada lalu. Penyimpangan timbul karena dihasilkan oleh ketidak sempurnaan mekanisme sistem pilkada selama ini sekaligus karena praktek politik uang yang melibatkan anggota DPRD. Artinya, rendahnya kualitas DPRD menjadi inti dari merebaknya persoalan yang bermuara pada kekecewaan masyarakat”. Dalam sebuah buku yang berjudul Surga Para Koruptor yang diterbitkan oleh Kompas (2004) Doddy Wisnu Pribadi dkk mengatakan : Tuduhan dan isu suap di DPRD mencerminkan ketidakpercayaan yang tinggi dan sama kualitasnya dengan era Orde Baru. Kalaupun ada yang berbeda di era Reformasi, adalah penyebarannya merata, peluangnya lebih terbuka dan terangterangan”. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah : Apakah Pilkada Langsung akan dapat mencerminkan pelaksanaan Demokrasi secara benar dan sungguh-sungguh sesuai makna azas Demokrasi yang sebenarnya? Melihat realita yang ada sekarang, kita berani mengatakan bahwa demokrasi belum berjalan, Kenapa ? Salah satu contohnya adalah pelaksanaan dari ketentuan Undang-pasal 59 Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ketentuan dalam Pasal 37 PP No. 6 Tahun 2005, yang intinya mengatakan bahwa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik harus memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan. Sudahkah ini dilakukan oleh semua Partai Politik atau Gabungan Partai Politik ? Jawabnya belum. Buktinya masih ada beberapa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, yang sudah dengan tegas menetapkan Bakal Calon Kepala Daerah, tanpa terlebih dahulu melakukan penjaringan pada masyarakat, tanpa ada pengumuman terlebih dahulu, tanpa melalui mekanisme yang seharusnya. Salah satu bukti riel adalah pencvalonan Aburizal bakri (Bung Ical) oleh DPP Golkar untuk menjadi Calon Presiden RI dalam pemilu 2014 yang akan datang, yang tidak dilakukan dengan cara/ melalui mekanisme yang telah ditentukan sendiri oleh Golkar, namun ditetapkan langsung dalam Rapimnas Golkar beberapa waktu lalu. Dan langkah ini mendapatkan protes dari beberapa sepuh Golkar, namun penetapan Bung Ical untuk menjadi Calon Presiden RI
tahun 2014 nanti tetap dilakukan. Ini berarti bahwa Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang melakukan tindakan seperti itu telah melanggar ketentuan yang ada baik yang ada dalam kedua peraturan di atas maupun ketentuan yang dibjuat sendiri oleh parpol atau gabungan partai politik. Tanpa melalui proses memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengajukan Bakal Calon Kepala Daerah, tiba-tiba saja Partai Politik dan Gabungan Partai Politik tersebut sudah menetapkan Bakal Calon (Presdien, Kepala Daerah). Ada pula beberapa Partai Politik dan Gabungan Partai Politik yang melakukan penjaringan melalui proses pengumuman pendaftaran di mass media, tetapi yakinkah kita bahwa dalam proses penentuan akhir Bakal Calon Kepala Daerah tersebut dilakukan secara demokratis dan transparan ? Wallahu a’lam bissawab Kalau dari awal, pelanggaran ketentuan seperti ini dibiarkan tanpa ada sanksi hukum yang jelas, apakah mungkin hasil akhir dari proses Pemilihan/ Pilkada Langsung itu akan menghasilkan Kepala Daerah yang berkualitas ? Tidak mungkin. Lalu... apa yang menyebabkan terjadinya keadaan seperti di atas ? Menurut pemikiran penulis, penyebabnya antara lain adalah karena kurangnya etika moral para pelaku dan para elit politik dalam melakoni proses politik dalam pelaksanaan Pilkada. Di negara kita tercinta ini, setiap pelaksanaan kegiatan politik selalu dibarengi dengan politik kotor dan atau abu-abu, tidak sesuai dengan koridor politik yang sesungguhnya. Benny Susetyo (2004) mengatakan : Penyakit bangsa ini sebenarnya sudah terlalu parah. Terutama penyakit dalam memandang kekuasaan politik sebagai “tuhan” atau “agama”, di mana pembelaan atasnya harus dilakukan sehidup semati. Agama kekuasaan” ini membuat orang lupa diri, tidak sadar bahwa seharusnya lebih baik ia tidak memegang kendali kekuasaan. Barangkali saja dulu kita lupa untuk membuatkan aturan tegas (aturan hukum) bahwa koruptor/orang yang didakwa koruptor tidak boleh memimpin organisasi-organisasi negara, karena bersangkut paut dengan diri publik” demikian menurut Benny. Dalam tulisan lainnya Benny Susetyo mengatakan : “Sayangnya, kebanyakan elit politik kita sudah membalik logika. Bagi mereka, lebih baik tak punya nama baik jika demi nama baik itu justru kehilangan jabatan sebagai pemimpin. Mereka berlomba-lomba menjadi pemimpin, padahal mereka tak layak jadi pemimpin. Dengan menjadi pemimpin, bagi mereka tentu uang gampang dicari, rakyat gampang dikelabui dan seterusnya. Itulah mungkin yang pernah dikatakan Thomas Hobbes ribuan tahun lalu, bahwa manusia cendrung mau menguasai manusia lainnya, yakni dengan mengubah dirinya menjadi srigala yang menerkam sana sini”. Berbicara masalah aturan hukum dalam penindakan para koruptor, kalau saja kita betul-betul mau memberantas tuntas, kenapa kita tidak belajar dari negara tetangga kita Thailand atau Cina ? Di Thailand, dibawah Konstitusi Thailand yang diberlakukan sejak tahun 1977, mekanaisme akuntabilitas publik bagi mereka yang menduduki jabatan politik dan pejabat tinggi yang diatur secara luar biasa (extra ordinary). Dengan konstitusi ini para pejabat politik dan pejabat tinggi publik, dengan mudah bisa dicopot dari jabatannya. Selain dengan mudah dapat dicopot dari jabatannya, juga ada proses peradilan khusus (satu tahap) untuk pejabat tinggi atau politik korup. Perubahan radikal itu merupakan bagian gerakan sosial roformasi konstitusi yang selama tujuh tahun atau sejak awal tahun 1990 terus berjuang mengakhiri sistem pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis. Selama 60 tahun di bawah pemerintahan otoriter, ditandai korupsi yang merajalela dan sistem perencanaan terpusat yang mengabaikan partisipasi masyarakat dan kepentingan kebijakan publik.
Sistem hukum dan perundang-undangan yang berlaku saat itu menjadi alat kekuasaan pemerintah yang dahsyat untuk mengatur dan merepresi masyarakat. (Klein, 1998). Di negara ini para pejabat politik dan pejabat tinggi yang dianggap menyelewengkan jabatannya, melanggar hukum atau memiliki kekayaan yang tidak wajar, tidak segan-segan dicopot dari jabatannya, dan tidak hanya dicopot tapi juga dilarang menduduki jabatan politik atau jabatan pemerintahan apapun untuk lima tahun mendatang. Sedangkan di Cina, dikenal ada istilah peti mati untuk para koruptor. Bila seseorang terbukti korupsi di negeri tembok bertele-tele itu, maka tidak lain, hukuman mati lah ganjarannya. “ Untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati”, demikian sabda terkenal Perdana Menteri Cina Zhu Rongji pada pelantikannya bulan Maret 1998. “Sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya bila saya berbuat sama” ungkap Perdana Menteri Zhu Rongji. (Salomo Simanungkalit,2004). Ungkapan PM Zhu Rongji itu, tidak hanya sebatas gertak sambal, tidak hanya semboyan dan janji politik, tapi ada bukti nyata realisasi ucapannya itu. Pada bulan Maret 2000, Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi, Hu Chang-ging, kebagian peti mati karena ia dihukum mati setelah di pengadilan terbukti menerima suap bernilai lebih dari 600.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp.5,1 milyar. Hukuman mati juga dijatuhkan kepada Deputi Walikota Leshan, Li Yushu, pada tanggal 16 Januari 2002 karena terbukti menerima suap senilai 1 juta dollar AS, dua mobil mewah dan sebuah jam tangan Rolex. Kedua orang ini hanya contoh atau bagian dari 4.300 orang yang menjalani hukuman mati di Cina karena terbukti telah melakukan korupsi dan kejahatan lainnya. Bagaimana hal dengan negara hukum Indonesia ? Menurut Salomo Simanungkalit (2004), Reformasi di Indonesia dengan wacana tanpa tindakan merupakan operator terhadap transformasi antimodern Indonesia yang tanpa arah. Wacana tanpa tindakan dalam konteks korupsi di Indonesia setidaknya, menurut buku Indonesia dalam Krisis 1997-2002, terbitan Penerbit Kompas (2002), dimulai pada tahun 1952 ketika Perdana Menteri Wilopo mengajukan ajakan hidup sederhana dalam program kabinet. Gatot Subroto di tahun 1960-an mencetuskan larangan terhadap anggota ABRI menginap di hotel. Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang beberapa pembatasan kegiatan pegawai negeri dalam rangka pendayagunaan aparatur negara dan kesederhanaan hidup. Di zaman reformasi saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa tahun 2001 mengajak “dicanangkannya kembali pola hidup sederhana yang dimulai dari para pemimpin” Sebagai tindak lanjut ajakan ini, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada waktu itu mengeluarkan surat edaran Nomor 357/M-PAN/12/2001 tentang langkah-langkah efisiensi dan penghematan serta hidup sederhana di lingkungan aparat negara, dan sampai dengan Pemerintahan dibawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudoyono ini, kita sudah tidak bisa hitung lagi berapa banyak ketentuan aturan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan tindakan pemberantasan korupsi di Indonesia, tapi kenyataan hasilnya ? Penanganan masalah korupsi di Indonesia pada awalnya heboh menjadi berita di berbagai mass media, tapi lambat laun secara berangsur-angsur sepi dan lenyap tanpa berita tanpa ada kejelasan akhirnya, dan kapan korupsi di Indonesia ini akan ditangani seperti halnya di negara Thailand atau negeri Cina ?. “ Korupsi di Indonesia saat ini seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa disembuhkan. Kita tinggal menunggu matinya sang penderita : Republik Indonesia, ungkap Syahrir, dalam tulisannya yang diberi judul “Korupsi di Indonesia, Kanker Terminal” (2004). Semua hal seperti yang sempat terungkap di atas, disebabkan karena matinya demokrasi di Indonesia dan kurangnya etika moral politik para elit politik yang mengendalikan negara ini. Tapi sebagai bangsa yang beradab,dan sangat menghargai para pendiri bangsa ini yang telah
mengorbankan segala yang ia miliki termasuk mengorbankan nyawanya, demi terciptanya negara kesatuan Republik Indonesia kita harus tetap tegar, tidak boleh berputus asa menghadapi berbagai tantangan cobaan itu, dan melalui kesempatan ini saya mengajak kita semua, khususnya masyarakat Bumi Gora Nusa Tenggara Barat, untuk tetap dan selalu berdoa kehadhirat Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha SegalanNya, semoga pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung di beberapa Provinsi, Kabupaten/Kota di Indonesia pada saat ini dan masa yang akan datang, benar-benar terlaksana secara demokratis dengan etika politik yang mumpuni, sehingga menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan berkarakter yang bisa dipercaya, yaitu mereka yang memiliki Iman, dan dalam iman itu akan terlahirkan karakter kemanusiawian, ketulusan, keterbukaan, kepedulian dan keteguhan. Amin... Ya Robbal Aalamin...