Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
PILIHAN BENTUK TRITISAN HEMAT ENERGI UNTUK KOTA SEMARANG Eddy Prianto*) Abstrak Pesatnya penyediaan perumahan di Kota Semarang, bilamana dibarengi dengan keperdulian mengefisienkan energi listrik pada skala perumahan akan mempercepat kondisi terciptanya Kota Semarang Perduli Energi. Karena perlu diketahui bahwa dari data pada skala nasional terkait dengan konsumsi terbesar dari energi listrik ada pada skala sektor rumah tangga (40%) disusul sektor industri (37%), sektor komersial (17%) dan sektor publik (6%). Dan untuk kota-kota di negara tropis, khususnya Kota Semarang, kondisi konsumsi pemakaian energi listrik rumah tinggal rata-rata mencapai 40% beban total dibutuhkan untuk mendinginkan ruangan (AC), yang dipergunakan untuk mendinginkan panas ruangan akibat akumulasi panas udara lewat desain dinding dan atap rumah tinggal. Tren desain tampilan rumah dalam dekade belakangan ini kearah ‘meminimaliskan’ elemen-elemen arsitektural penghalang pancaran sinar matahari. Dan tipe desain yang ditawarkan, atau model desain fasad yang dikembangkan untuk ke segala arah oriantasi mata angin ternyata tidak dibedakan. Artinya desain fasad tertentu berlaku untuk semua arah, baik utara, selatan, timur bahkan barat. Hal ini sebenarnya tidaklah tepat bilamana kita akan menciptakan kenyamanan dan efisiensi energi dalam rumah kita. Untuk mengetahui model tritisan yang tepat (tepat bentuk dan tepat penempatan fasadnya) khusus Kota Semarang, maka pengamatan ini mempergunakan gabungan simulasi komputer Google SketchUp versi 8 dan pengukuran lapangan. Hasil akhir menunjukkan, bahwa rumah minimalis dengan model tritisan yang ‘minim’ bentuk/desainnya untuk Kota Semarang akan cocok untuk rumah dengan arah hadap utara ataupun selatan, namun dimensi jendelanya jangan diminimaliskan/ artinya justru pada arah utara-selatan, desain jendela seyogyanya lebar dan besar dengan bidang kaca yang terang/bening. Sedangkan arah timur dan barat seyogyanya mengoptimalkan fungsi tritisan tradisional, baik dari bentuk, ukuran dan peletakannya. Karena perubahan pemakaian tritisan dari model minimalis ke model tradisional akan menekan beban panas sebesar 60%. Kata kunci : tritisan, sketchup, intensitas radiasi matahari, Semarang Abstract The rapid increase of settlement in Semarang must be followed by energi saving strategy. The domestic energi consumption took 40% of state consumption, followed by Industrial sector (37%), Commercial sector (17%) and public sector (6%) The cities in the tropical region such as Semarang, the domestic energi consumption spended for cooling strategy by making used the mechanical air conditioning system to overcome the indoor heating load intruded through opening and roof design. The currently architectural fasad in minimalist style, obscured the sun radiation come into the building. The fasad design applied in all building neglect the orientation taking into considering. This design was not appropriate to provide indoor thermal comfort and energi saving. To find out the appropriate model of overhang ( both shape and placement) in Semarang, the komputer simulation by making used Google Sketcup version 8 and in situ experimentation were carried out. The result showed the small overhang integrated with large frosted glass opening adjusted to north and south oriented building. The Traditional overhang style ( shape, size, and placement) *) Staf pengajar Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang Ketua labo. TEKNOLOGI BANGUNAN ARSITEKTUR & cluster Eco-Tropical Home FT.Undip Telp. 081325514192,
[email protected]
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
(Eddy Prianto)
suggested to apply in the East and West oriented building. The application of traditional overhang reduce 60% of the heating load in minimalist overhang. Keywords : overhang, sketchup, sun radiation intensity, Semarang Pendahuluan Perkembangan perumahan di Kota Semarang sangat pesat, sepesat pembukaan lahan di pinggiran kota. Bahkan tidak jarang lahan kritis, konservasi ataupun daerah resapan air jadi incaran para pengembang perumahan. Karakteristik masyarakat kita yang senang melihat tampilan fisik bangunan, tanpa melihat pengalaman efek pasca huni, merupakan aspek kelemahan yang di „perdayakan‟ oleh sebagian orang yang mengambil keuntungan. Tampilan yang indah, warna yang beraneka ragam dan model yang modern dan harga yang tidak murah lagi, merupakan kriteria pilihan kita dalam membeli rumah.
Gambar 1 Tren Tampilan Fasad Rumah di Kota Semarang : Tanpa/ Minim Tritisan Pelindung Jendela
Tren perumahan yang cenderung „meminimalisir‟ bagian kulit bangunan, merupakan bentuk kesalahan umum kehadiran bangunan di daerah tropis. Banyak ditemukan rumah dengan 38
pelindung jendela yang sangat minim bahkan cenderung pelindung tersebut dihilangkan dan diganti pewarnaan yang menyolok, pemakaian batu alam hingga pemakaian bahan kayu untuk kusenkusen jendelanya diekspos di panas sinar matahari dan hujan (gambar 1). Kenyamanan penghuni hingga efisiensi energi listrik dari pilihan envelope rumah/ bangunan sudah banyak dipaparkan, seperi pilihan cat yang bagaimana yang membuat rumah hemat energi, pilihan batu alam yang bagaimana untuk rumah menghadap timur, hingga perletakan green wall yang bagaimana supaya rumah menjadi adem. Kesemua pengamatan itu didasari usaha untuk menekan konsumsi energi yang dimulai dari skala rumah tinggal (Prianto, 2003) (Prianto, 2007), (Prianto,2011), (Prianto, 2013). Data pada skala nasional terkait dengan konsumsi terbesar dari energi listrik ada pada sektor rumah tangga (40%), disusul sektor industri (37%), sektor komersial (17%) dan sektor publik (6%). Dan setiap tahun mengalami peningkatan pemakaian untuk rata-rata seluruh sektor sekitar 3%-13%, (Prokum.ESDM, 2013), (ESDM, 2013). Bilamana sektor-sektor tersebut secara serempak bisa menekan kenaikan, maka dapat dikatakan efisiensi energi listrik tercapai. Dari hasil penelitian sebelumnya, kondisi menunjukan bahwa konsumsi energi listrik pada skala rumah tinggal di daerah tropis rata-rata mencapai 40% beban total yang dibutuhkan untuk mendinginkan ruangan dari akumulasi panas udara dalam ruangan, dimana 80% beban panas dalam rumah tinggal dipengaruhi desain envelopenya (desain dinding dan atap rumah tinggal).
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Dari deskripsi di atas, menunjukan bahwa sektor perumahan khususnya di Kota Semarang yang berkembang pesat seharusnya dapat merespon atau perduli terhadap gerakan efisiensi energi tingkat nasional. Keperdulian bersama dari para pengembang dan penghuni pemilik bangunan serta pemerintah, merupakan 3 (tiga) aktor dalam menciptakan Kota Semarang Hemat Energi. Salah satu langkah konkret yang dapat diaplikasikan secara mandiri oleh sebagain warga Semarang adalah perlu mengetahui, memahami dan bisa memilih/membangun rumah dengan pertimbangan aspek efisiensi energi. Envelope bangunan merupakan bidang terluar bangunan yang bersentuhan dengan sumber panas sinar matahari. Rumah kita sepanjang hari pasti terkena sinar matahari, apalagi yang arah hadap fasadnya kearah timur dan barat. Rumah tanpa tritisan suatu pilihan yang tidak tepat dalam konteks ini. Untuk itu dalam penulisan ini, akan dipaparkan bagaimana memilih tritisan yang tepat untuk Kota Semarang. Teknik pemilihannyapun bisa dilakukan dengan bantuan program kompter yang gratis untuk diunduh. Dan kiat apa saja yang bisa dilakukan bila rumah kita sudah‟ terlanjur‟ menghadap barat atau timur. State of The Art Desain Jendela dan Sinar Matahari dalam Desain Arsitektur Tritisan, menurut Sukawi mengandung pengertian bagian dari bangunan yang berupa atap tambahan yang berdiri sendiri atau bisa juga berupa perpanjangan dari atap utama (Sukawi, 2008). Konsep topi atau caping mendasari cara kerja tritisan. Disamping terbentuk daerah bayangan di bawahnya, juga berfungsi meminimalisir kualitas dan kuantitas sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan melalui lubang dinding/jendela. Tritisan bisa berkedudukan mendatar atau vertikal.
Tergantung sinar mana dan yang bagaimana yang boleh masuk ruangan atau tidak. (Olgyay, 1973), (Lippsmeier, 1994), (Szokolay, 2008). Jendela, merupakan salah satu bentuk pelubangan dinding yang lazim dipasang/dilengkapi tritisan. Salah satu fungsi jendela ini adalah untuk mendapatkan penerangan alami.
a
b
Gambar 2 Sketsa Proses Penerangan Alami ke dalam Ruangan : A) Sinar dan Cahaya Masuk, B) Sinar Terhalang, tapi Cahaya Masuk.
Terdapat dua aspek dalam penerangan alami ini adalah cahaya matahari dan sinar matahari. Cahaya matahari adalah terang yang dihasilkan dari terang langit (tidak ada unsur energi panas). Sinar matahari adalah terang yang dihasilkan dari radiasi matahari secara langsung (mengandung unsur energi panas). Dalam perencanaan dan perancangan bangunan, diusahakan untuk memasukkan cahaya matahari semaksimal mungkin, sedangkan sinar matahari ini diusahakan agar tidak masuk ke dalam ruangan (lihat Gambar 2). Dua prinsip dasar fungsi tritisan dalam merespons sinar dan cahaya matahari (YB, 1997): Prinsip Payung atau Perisai (Prinsip Pembayangan), sebagai contoh : a) Atap rapat yang lazim diterapkan rumah selasar, galeri, doorloop, dan sebagainya, b). Penjulangan pada cucuran (tritisan), c).Kerai, tanda jendela dan sebagainya, d). Vegetasi 39
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
(bougenvile, tanaman rambatan, hiasan), e). Papan atau bidang yang dapat diatur pada poros vertikal (jalusi), f). Penggunaan jendelajendela rapat (blinden) dan sebagainya. Prinsip penyaringan cahaya, sebagai contoh melalui penggunaan kerai, krepyak (louver,jdlousie), kisi-kisi, kerawang (rooster), dedaunan tanaman, pergola, dinding tabir berselah papan-papan horisontal (horizontal overhang)
Jenis Sinar Matahari. Secara umum sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan bisa dibedakan dalam beberapa jenis: Sinar matahari langsung, yang masuk kedalam ruang tanpa terhalang oleh apapun, Sinar matahari tidak langsung tapi pancaran sinar mengenai awan dan awan memantulkan lalu sinar tersebut masuk atau menyinari ruangan, atau pantulan dari bendabenda diluar bangunan (kaca, tembok putih hingga seng rumah tetangga)] Sinar matahari refleksi dari dalam ruangan, yaitu cahaya dalam ruangan yang disebabkan oleh pantulan sinar matahari yang mengenai bendabenda atau elemen-elemen didalam ruang itu sendiri. Manfaat Sinar Matahari Sinar matahari bermanfaat karena aspek terangnya tapi akan mendatangkan panas. Proses ini dikenal dengan istilah perpindahan panas radiasi, yaitu perpindahan panas yang terjadi karena pancaran/sinar/radiasi gelombang elektromagnetik (Kreith & Prijono, 1991) (Buchori & Soemardjo, 2011), (Setyowati, 2013). Radiasi sinar matahari tersedia dalam tempat-tempat yang mendapatkan cahaya secara langsung 40
(Eddy Prianto)
dan tersebar. Jumlah radiasi bervariasi sesuai dengan periode waktu dalam satu tahun, garis lintang dan garis bujur dan kondisi awan lokal (Liebard & De Herde, -). Menurut Anik Juniwati dan Antarya dalam penelitiannya tentang bangunan tinggi di daerah tropis bahwa peningkatan perolehan cahaya alami membawa pengaruh pada penurunan kebutuhan energi pencahayaan (Santoso & Antaryama, 2010). Dan ditegaskan kembali oleh Amin, bahwa pemanfaatan cahaya matahari baik untuk pencahayaan ruangan memberikan efisiensi pemakaian energi listrik untuk lampu dan mengurangi biaya konsumsi listrik hingga 36% (Amin, 2011) Dipertegas lagi dalam penelitian sebelumnya oleh Prianto, bahwa keberadaan jendela yang bertritisan sangat signifikan dalam menciptakan pola gerakan udara yang masuk dan akhirnya dapat memberi efek tingkat kenyamanan bagi penghuninya (Prianto, 2003). (Prianto, 2005), (Prianto, 2005). Beberapa trik perancangan tata ruang dalam dan luar terhadap kinerja penerangan alami (Smith, 2005), (Lippsmeier, 1994), (Liebard & De Herde, -): Manfaatkan „sinar‟ matahari seoptimal mungkin dan meminimalisir langkah-langkah dari efek panas yang timbulkannya Usahakan menghindari pemanfaat sinar langsung, artinya untuk daerah tropis seperti negara Indonesia ini, khususnya Kota Semarang, usahakan cukup pendapatkan cahaya dari pemantulan, terutama fasad yang beorientasi utara dan selatan. Inovasikan solusi desain arsitektural bilama „terpaksa‟ menggunakan cahaya langsung atau tidak langsung melalui kesan aksentuasi atau penempatan fungsi-fungsi tertentu.
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Penerapan Rancangan Pasif-Desain, dalam merespon permasalahan iklim setempat. Usahakan menerapkan standar ideal menurut Dirjen Cipta Karya (Umum, 1987), disebutkan bahwa standar minimal lubang cahaya untuk ruang-ruang kegiatan sehari-hari adalah 1/8-1/10 dari luas lantai. Dan sedangkan ukuran ideal lubang jendela untuk daerah tropis minimal 30% dari porosite dindingnya (Prianto, et al, 2000) Pertimbangkan derajat/tingkat penyinaran dengan memperhatikan : ketinggian lubang cahaya dan kedalaman ruangan. Menurut Soetiaji dikatakan dalam penelitiannya, bahwa bahwa derajat / tingkat penyinaran makin berkurang/redup bilamana posisi jendela makin turun, serta jendela satu sisi lebih cepat tingkat redupnya dibandingkan dua sisi. Pertimbangkan aspek penghalang element eksterior. Menurut Hanni (Mahaputri, 2010), bahwa perencanaan letak halangan lingkungan (outdoor obstruction) yang tepat sangat berpengaruh terhadap kinerja penerangan alami dalam bangunan.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian terkait dengan penerangan alami ini adalah studi simulasi komputer (komputer modelling). Dimana metode ini banyak memberikan keuntungan dibanding dengan penelitian lapangan, yaitu aspek teratasi kendala cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini, waktu dan biaya yang tidak sedikit bilamana dilakukan penelitian lapangan. Satwiko memaparkan beberapa program komputer yang memungkinkan digunakan oleh para perencana bangunan (Satwioko, 2005). Terkait dengan iklim Kota Semarang, sebagai gambaran umum, semenjak tahun 2010-2012, cuaca Kota
Semarang serba tidak menentu, tahun 2010, merupakan tahun terpanas sepanjang tahun dimana relatif tidak curah hujan, dan tahun 2013 curah hujannya ekstrim, sebentar atau musim penghujan makin bergeser). Keuntungan metoda simulasi komputer ini, tampilan dimensi, bentuk semakin akurat dan fleksibel. Software yang digunakan adalah Google SketchUp 8, secara prinsip program ini digunakan untuk kepentingan tampilan grafis bagi pemula hingga arsitek profesional sekalipun. Keakuratan untuk skala penelitian dari aspek pembayangan sinar matahari perlu ditinjau lagi, namun menurut Gian (Prabawa & Prianto, 2007) tingkat penyimpangan tidak lebih dari 5%. Beberapa cara perangkat untuk pengukuran aspek pncahayaan alami bisa digunakan pula Diagram Matahari, Girassol dan diagram dari CSTB & CERMA. (Brau, Miller-Chagas, Patrick, Guyot, & Peneau, 1989) Secara runtut metode pengamatan yang dilakukan digunakan dua cara : Pertama, pensimulasian komputer untuk untuk mendapatkan pola pembayangan dari efek 5 tragam tritisan Kedua, pengukuran lapangan dengan menggunakan lux meter, untuk mengetahui seberapa besar radiasi matahari di Kota Semarang, yang diukur setiap jam semenjak matahari terbit hingga terbenam. Kemudian, metoda penganalisaannya adalah menggabungkan kedua cara tersebut secara matematis untuk besaran intensitas energi panas yang masuk ke dalam ruangan uji coba karena pengaruh dari model-model tritisan. Analisa arsitektural dilakukan untuk mencari solusi rancangan dalam usaha meminimalkan intensitas panas yang masuk dalam ruangan.
41
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
Deskripsi Grafis Bangunan Bangunan diposisikan dalam skala terletak di Surabaya, dengan koordinat astronomis di Kota Semarang, yang terletak di sekitar 7°Lintang Selatan dan 110° Bujur Timur.
MODEL 01
MODEL 02
MODEL 03
MODEL 04
MODEL 05
b)
c) Gambar 3 a) 5 (Lima) Bentuk Tritisan sebagai Model Ujicoba, b) Bentuk Rumah Program KPR FLPP Kementerian Perumahan Rakyat yang akan Dimodifikasikan Tritisannya (RI,
2013), c) Tiga Lintasan Matahari 42
(Eddy Prianto)
Model Bentuk Tritisan Terdapat lima bentuk tritisan yang akan dijadikan model (sketsa dapat dilihat pada Gambar 03-a): MODEL 01 : bangunan rumah tinggal tanpa tritisan MODEL 02 : bangunan rumah tinggal dengan tritisan plat beton 50cm MODEL 03 : bangunan rumah tinggal degan tritisan plat beton keliling jendela MODEL 04 : bangunan rumah tinggal dengan tritisan miring/membentuk sudut, lebar 50 cm MODEL 05 : bangunan rumah tinggal dengan tritisan miring/membentuk sudut, lebar 100 cm Tahap Pensimulasian Google SketchUP-8 Langkah-langkah dalam pensimulasian adalah sebagai berikut : Bentuk-bentuk model diterapkan dalam suatu model bangunan rumah tinggal- bangunan yang menjadi percontohan dalam program KPR FLPP dari Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia (RI, 2013), model di gambar dengan bantuan program Google SketchUp (lihat Gambar 3 b) Untuk mendapatkan efek bayangan dari penyinaran matahari, maka ditentukan koordinat astronomis Kota Semarang, yang terletak di sekitar 7°l lintang selatan dan 110° bujur timur. Pengambilan data dengan simulasi terkait profil intensitas sinar matahari Kota Semarang ini dilakukan atau merekam selama 1(satu) tahun penuh.
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Maka, pengamatan dilakukan pada 3 (tiga) tanggal ekstrim lintasan matahari : 22 Maret/22September, 22 Juni dan 22 Desember (Szokolay, 2008), (Smith, 2005). o Tanggal 22 Juni, posisi matahari berada di balik lintang utara (23,5° LU) o Tanggal 22 Maret dengan 22 September cukup diambil salah satu, karena posisi matahari samasama persis diatas garis khatulistiwa (0°) o Tanggal 22 desember, posisi matahari berada dibalik lintang selatan (23,5° LS). Data pengamatan akan direkam setiap 60 menit/1 jam, dimulai dari pk.06.00 hingga pk.18.00 (selama 12 kali), sehingga perlu dibuatlah tabel rekapitulasi. Pengamatan merekam data tampilan visual efek pembayangan bagian luar dan efek penyinaran bagian dalam/interior ruangan. Teknik perhitungan intensitas sinar masuk dalam ruangan dilakukan dengan membandingkan luas total sinar masuk dalam ruangan terhadap luas total jendela dalam satuan persen (%): Intensitas sinar masuk (%) =
Rekapitulasi pendataan adalah sebagai berikut : o Model 01, diamati (eksterior&interior), selama 12 kali, pada tanggal 22 maret, 22 juni dan 22 desember, sehingga didapatkan data = 2 x 12 x 3 = 72 data gambar/ukur prosentase intensitas sinar masuk. o Demikian untuk model 02 hingga model 05, sehingga keseluruhan data didapatkan 360 data.
Sebagai bahan penganalisaan berikutnya, maka rekapitulasi tersebut perlu ditampilkan dalam tabel Excel.
Tahap Pengukuran Data Intensitas Radiasi Matahari Kota Semarang Langkah-langkah dalam pengukuran lapangan terhadap intensitas radiasi matahari adalah sebagai berikut : Kita tentukan tanggal ekstrim untuk daerah tropis (ada 3 tanggal ekstrim, sebagaimana dilakukan pada tahap pertama). Karena keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, untuk penelitian ini diambil tanggal ekstrim tepat di bulan September. Pengukuran intensitas radiasi matahari dilakukan di luar/eksterior bangunan dengan rentang 60 menit selama 12 jam. Alat yang digunakan untuk lux meter. Data yang didapat dapat berupa satuan joule/cm², ataupun dalam satuan watt/m2. Sebagai bahan penganalisaan berikutnya, maka rekapitulasi data tersebut perlu disdimpan atau ditampilkan dalam tabel Excel. Tahap Penganalisaan Beban Panas dalam Ruangan Tahapan ini merupakan tahapan analisa setelah data hasil simulasi program Google SketchUP dan tabel intensitas radiasi matahari didapatkan. Tahap ini digunakan rumus perhitungan sebagai berikut : Rumus yang digunakan : Be (Watt/m²) = Ism (%) x Rmt (Watt/m²) Dimana : Be = Besaran energi dalam ruangan (Watt/m2) Ism = Intensitas sinar masuk (%) Rmt = Besaran energi radiasi matahari (Watt/m2) 43
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
Analisa dilakukan dengan batasan untuk mendapatkan njawaban bahwa pilihan bentuk tritisan mana yang mempunyai efek intensitas beban panas terendah. Solusi bagi kasus fasad „yang terlanjur‟ dilakukan analisa arsitektural.
Hasil dan Pembahasan Kajian Pertama : Seberapa besar kuantitas sinar masuk dari masingmasing bentuk tritisan bangunan untuk Kota Semarang ? Tujuan dari kajian pertama ini adalah untuk mengetahui model tritisan yang optimal dalam menghalangi sinar masuk, dari keempat orientasi fasad. Dan hasil pengamatan sinar masuk dalam ruangan suatu bangunan rumah tinggal, dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4 Grafik Profil Intensitas Sinar Masuk pada Ragam Bentuk Tritisan
Pengertian prosentase sinar masuk tersebut adalah perbandingan antara luasan sinar masuk terhadap luasan lubang jendela (cek rumus di depan). Jendela berdaun pintu dua, dengan luas (2 x 0.47) x 0.94 = 0,88 m², ternyata dari pengaruh bentuk tritisan terhadap sinar masuk dalam ruangan untuk Kota Semarang, sepanjang tahun rata-rata maksimal ada pada desain rumah tanpa tritisan sebesar 27% dan paling rendah adalah 17% pada desain dengan tritisan miring selebar 1.00m. 44
(Eddy Prianto)
Tren pilihan tritisan untuk rumah tinggal Kota Semarang dalam dekade belakangan ini adalah bentuk minimalis atau bahkan cenderung tidak menggunakan tritisan sama sekali. Artinya, dari tabel diatas, dapat disimak, bahwa pilihan tren ini justru cenderung memberikan porsi/dampak paling banyak terhadap masuknya sinar matahari kedalam ruangan. Pilihan desain yang tepat sesuai kebutuhan kegiatan dalam ruangan (kebutuhan aktifitas ruangan yang membutuhkan sinar masuk, seperti kondisi bangunan didaerah dingin/gunung atau kebutuhan ruangan yang mengatisipasi sinar masuk seperti ruangan di kota-kota panas/pantai) merupakan desain yang tepat yang menyesuaiakan situasi dan kondisi atau lebih tepatnya sesuai dengan microclimate dan memberi dampak pada efisiensi penggunaan energi. Berdasarkan grafik tersebut, dapat dikaji bahwa perubahan pilihan dari tritisan miring dengan lebar 1.00m (bentuk „tradisional‟) ke model tritisan lain justru memberi dampak penambahan pada intensitas sinar masuk sebagai berikut : Model 05 ke model 01 (jendela tanpa tritisan) justru akan memberikan penambahan sebesar 60%, Model 05 ke model 02 (plat beton 50 cm diatas jendela ) akan memberikan penambahan sebesar 23%, Model 05 ke model 04 (jendela dengan tritisan miring selebar 50 cm) akan memberikan penambahan sebesar 26%, Dan justru usaha terapan konsep minimalis yang memberi pengurangan intensitas sinar ada pada perubahan ke tritisan plat beton keliling ( dari model 05 ke 03), yaitu mengalami pengurangan sebesar 1%.
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Secara urutan pilihan optimalnya adalah ke model 03 (-1%), ke model 02 (23%), ke model 03 (26%) dan terjelek ke model 01 (60%)
Secara tampilan visual sketsa profil perubahan intensitas sinar masuk dari kelima pilihan desain tritisan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
mengurangi intensitas sinar masuk sebesar 38% Secara urutan pilihan optimalnya adalah ke model 03 dan 05 (38%), ke model 02 (23%), ke model 04 (21%). Artinya karena tidak ada pilihan terjelek, maka pemakaian tritisan pada lubang jendela merupakan suatu keharusan dalam usaha mengurangi intensitas sinar matahari yang masuk.
Secara tampilan visual sketsa profil perubahan intensitas sinar masuk dari pilihan desain tritisan dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5 Sketsa Perubahan Pengurangan Intensitas Sinar Masuk dari Bangunan Bertitisan ‘Tradisional’ ke Ragam Bentuk Tritisan dan Tanpa Tritisan
Atau dapat disampaikan profil perubahan yang terjadi dari suatu bangunan tanpa tritisan/ bangunan tren minimalis terhadap pengurangan intensitas panas yang masuk dapat dilakukan dengan merubah bentuk atau memberi tritisan prosentase perubahannya adalah sebagai berikut : Model minimalis/tanpa tritisan ke model plat 50 cm (Model 01 ke model 02) akan mengurangi intensitas sinar masuk sebesar 23% Model minimalis/tanpa tritisan ke model plat keliling 50 cm (Model 01 ke model 03) akan mengurangi intensitas sinar masuk sebesar 38% Model minimalis/tanpa tritisan ke model tritisan miring lebar 50 cm (Model 01 ke model 04) akan mengurangi intensitas sinar masuk sebesar 21% Model minimalis/tanpa tritisan ke model tritisan miring lebar 100 cm (Model 01 ke model 05) akan
Gambar 6 Sketsa Perubahan Pengurangan Intensitas Sinar Masuk dari Bangunan tanpa Tritisan/Bangunan ‘Super Minimalis’ ke Ragam Bentuk Tritisan
Kajian Kedua : Berdasarkan arah orientasi hadap fasad utama (utara selatan - timur dan barat), pilihan model tritisan mana yang tepat ? Tujuan dari kajian kedua ini adalah untuk mengetahui model tritisan yang tepat untuk masing-masing arah hadap fasad khususnya di Kota Semarang. Dan hasil pengamatan sinar masuk dalam ruangan suatu bangunan rumah tinggal sepanjang tahun dengan 4 orientasi matahari dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini.
45
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
Gambar 7 Profil Umum dari Sinar Masuk Melalui Pelubangan Fasad Sepanjang Tahun untuk Kelima Model Ragam Tritisan
Pada grafik rekapitulasi rata-rata besaran sinar masuk dalam ruangan berdasarkan orientasi fasad, maka dari kelima model uji coba, sudah selayaknya bahwa sinar matahari akan masuk banyak dalam ruangan melalui pelobangan fasad yang menghadap barat dan timur untuk ketiga titik ekstrim lintasan matahari (22 desember, 22 Maret/22 September dan 22 Juni) Sinar masuk rata-rata sepanjang hari sebesar 39% untuk fasad menghadap timur dan Sinar masuk rata-rata sepanjang hari sebesar 34% untuk fasad menghadap Barat. Aplikasi desain arsitektur terhadap pilihan jenis tritisan pada kondisi arah fasad bangunan menghadap barat ataupun timur adalah mengoptimalkan pilihan tritisan yang berfungsi memblokir sinar masuk, dalam hal ini pilihan Model 05 dan model 03. Atau dapat direkomendasikan bahwa pilihan rumah model tritisan 46
(Eddy Prianto)
minimalis sangat tidak diajurkan untuk rumah menghadap timur dan barat. Yang perlu diperhatikan bahwa untuk fasad menghadap utara dan selatan, dapat di simak sebagai berikut : Sinar matahari masuk kedalam ratarata hanya berkisar sebesar 4%-7% dari luas lubang dindingnya (artinya sangat sedikit sinar yang masuk) Dan total tidak terdapat sinar masuk pada bangunan dengan fasad utara pada lintasan matahari dibulan Maret dan Juni, sedangkan selatan pada bulan Desember dan Maret. Aplikasi desain arsitektur terhadap pilihan jenis tritisan pada kondisi arah fasad bangunan menghadap utara ataupun selatan adalah pilihan tritisan model apapun hasilnya tidak memberi dampak masuknya sinar. Atau dapat direkomendasikan bahwa pilihan rumah model tritisan minimalis sebenarnya sangat diajurkan untuk rumah menghadap utara dan selatan.
Gambar 8 Profil Rata-Rata Sinar Masuk Melalui Pelobangan Fasad Berdasarkan Oriantasi Mata Angin (U-S-T-B) untuk Kelima Model Ragam Tritisan
Tampilan visual sketsa profil pilihan tritisan berdasarkan oriantasi fasad rumah tinggal atau gedung dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
a) MODEL 01
d) MODEl 04
b) MODEL 02
e) MODEL 05
Kajian Ketiga : Bagiamana detail profil intensitas sinar masuk Kota Semarang pada kondisi harian dari kelima model pada masingmasing orientasi fasad ( utara-selatantimur dan barat) ? Tujuan dari kajian ketiga ini adalah setelah kita ketahui model tritisan yang tepat untuk masing-masing arah hadap fasad khususnya di Kota Semarang, bagaimana solusinya bila rumah kita „terlanjur‟ menghadap ke arah tertentu ? karena hal ini berbeda antara saat kita hendak membeli rumah atau menentukan arah kapling rumah dengan saat sekarang kita sudah memiliki rumah dengan orientasi hadap tertentu. Dari keempat orientasi ini, sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa intensitas sinar terjadi dari pk 06.00 hingga 18.00 atau dari saat matahari terbit hingga terbenam, kisaran 1% hingga 110% terhadap luas jendelanya.
c) MODEL 03
Gambar 9 Sketsa Profil Rata-Rata Sinar Masuk Berdasarkan Ragam Tritisan dan Orentasi Fasad terhadap Arah Mata Angin : A) Model 01, B) Model 02, C) Model 03, D) Model 04 Dan E) Model 05
Rata-rata intensitas terbesar dari kelima model didapatkan untuk orientasi timur (78%) dengan sebaran sinar masuk terjadi pada pagi hari selama 6 jam dan orientasi barat (78%) dengan sebaran selama 6 jam terjadi pasca siang hari. Sedangkan rata-rata terkecil terjadi pada orientasi utara (7%) dan selatan (4%). Dimana sebaran kedua orientasi ini terjadi sepanjang hari selama 12 jam, dimulai pk 06.00 hingga 18.00. Aplikasi desain arsitektur pada karakter sinar ini adalah bahwa bilamana bangunan menginginkan adanya sinar masuk sepanjang hari selama 12 jam dengan intensitas kecil, maka orientasi menghadap utara ataupun selatan adalah pilihannya. Begitu pula sebaliknya, bila hanya menginginkan intensitas optimal tapi tidak sepanjang hari
47
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
(hanya 6 jam) maka pilihan barat dan timur menjadi solusinya. Bagaimana treatment terhadap bangunan kita yang orientasinya „terlanjur‟ menghadap barat, tidak menghendaki sinar banyak masuk pada pasca siang hari, tapi menghendaki sinar masuk segala arah dengan intensitas kecil ? Guna mengetahui secara detail profil sinar yang masuk dari kelima model pada arah yang berbeda-beda dan bagaimana solusi desain arsitekturnya, kita kaji tiap orientasi fasadnya. Fasad rumah menghadap timur : Pada Gambar 9, menunjukan bahwa dari kelima model apapun bentuk tritisan untuk Kota Semarang, karakter sinar matahari masuk bagi yang menghadap ke timur terjadi dimulai pk06.00 hingga 12.00 (hanya setengah hari), dengan profil seberapa intentitas sebagai berikut : Kondisi sinar masuk mencapai maksimal terjadi pada model 01 (bangunan tanpa tritisan), dengan intensitas rentang 135% hingga 160% terjadi pada pk.06.00 hingga 08.00. dan kisaran selanjunya (pk 09.00 hingga 12.00) besaran intensitas sinar antara 30% hingga 60%. Sedangkan kondisi minimalnya pada pk 06.00 hingga 07.00 terjadi pada model 6 dan kisaran selanjutnya berhenti pada pk 11.00 dengan intensitas kurang dari 1%. Secara urutan dari intensitas terbanyak hingga paling minim dari kelima model yang menghadap timur ini adalah Model 01, Model 2, Model 04, Model 03 dan Model 05. Dua kiat bagi rumah yang „terlanjur‟ menghadap timur : 1) Bilamana bangunan tidak menghendaki adanya sinar yang masuk pada pagi hari, maka dari kelima model, pilihan yang 48
(Eddy Prianto)
cocok adalah Model 05, sedangkan kiat kedua adalah memodifikasi bentuk dan tata letak tritisan : dilakukan dengan memperpanjang bidang penghalang, memperlebar sudut kemiringannya (lebih besar dari 45 derajat), memposisikan letak dudukan tritisan ditembok dengan mendekatkan ke jendela.
Gambar 10 : Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima Model pada Fasad Menghadap Timur
Gambar 11 Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima Model pada Fasad Menghadap Barat
Fasad rumah menghadap barat : Mengamati Gambar 11, menunjukan bahwa dari kelima model apapun bentuk tritisan di Kota Semarang sepanjang tahunnya (pada lintasan matahari ekstrim selatan ataupun utara), karakter sinar matahari masuk dalam ruangan rumah yang menghadap ke barat terjadi dimulai pk12.00 hingga 18.00 (sore/terbenamnya matahari), dengan profil seberapa intentitas sebagai berikut :
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Kondisi sinar masuk mencapai maksimal terjadi pada model 01 (bangunan tanpa tritisan), dengan intensitas rentang 120% hingga 180% terjadi pada pk.16.00 hingga 17.00. dan kisaran selanjunya (pk 12.00 hingga 15.00) besaran intensitas sinar antara 2% hingga 90%. Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 5 dan kisaran intensitas antara 110%120%. Secara urutan dari intensitas terbanyak hingga paling minim dari kelima model yang menghadap timur ini adalah Model 01, Model 3, Model 02, Model 04 dan Model 05. Dua kiat bagi rumah yang „terlanjur‟ menghadap barat adalah analog dengan kiat bangunan menghadap timur. Mengamati karakter sinar yang terjadi pada model 01, 02 dan 03 (bangunan dengan model tritisan minimal/ tren seperti model rumah minimalis, maka kondisi/pilihan model tritisan ini tidak direkomendasikan untuk rumah menghadap ke barat (bilamana intensitas sinar hendak dikurangi). Solusi „diluar‟ treatment bentuk fisik pada rumah „terlanjur‟ minimalis yang mengahadap barat diantaranya adalah memberikan korden di belakang jendela, memberikan tirai dibagian luar ataupun mengusahakan penghalangan sinar masuk misalnya penempatan pepohonan (green barrier).
Fasad rumah menghadap utara dan selatan: Karakter sinar masuk pada bangunan yang menghadap utara dan selatan, dapat kita amati Gambar 12 dan 13, dimana dari kelima model apapun bentuk tritisan di Kota Semarang sepanjang tahunnya (pada lintasan matahari ekstrim selatan ataupun utara), karakter sinar matahari masuk dalam
ruangan rumah yang menghadap ke utara dan selatan terjadi dimulai pk.06.00 hingga 18.00 (dari terbit hingga terbenam selama 12 jam), seberapa intentitas masuknya, dapat kita lihat kajian berikut ini.
Gambar 12 Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima Model pada Fasad Menghadap Utara
Gambar 13 Grafik Profil Sinar Masuk ke Lima Model pada Fasad Menghadap Selatan
Untuk fasad menghadap utara : Kondisi sinar masuk mencapai maksimal sepanjang hari terjadi pada model 01 (bangunan tanpa tritisan), dengan intensitas rentang hanya 8% hingga 16%., dengan rata-rata tiap jamnya sekitar 13% Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 3 (model dengan tritisan beton plat keliling) dengan kisaran intensitas antara 1%-3%. Secara urutan dari intensitas terbanyak hingga paling minim dari kelima model yang menghadap utara ini adalah Model 01, Model 04, Model 05, Model 02 dan Model 03. 49
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
Untuk fasad menghadap selatan : Kondisi sinar masuk mencapai maksimal sepanjang hari terjadi pada model 01 (bangunan tanpa tritisan), dengan intensitas rentang hanya 4% hingga 9%., dengan rata-rata tiap jamnya sekitar 7%. Dimana intensitasnya makin kecil dibanding fasad menghadap utara. Sedangkan kondisi minimalnya pada siang hari terjadi pada model 3 (model dengan tritisan beton plat keliling) dengan kisaran intensitas tidak lebih dari 2%. Secara urutan dari intensitas terbanyak hingga paling minim dari kelima model yang menghadap utara ataupun selatan ini adalah Model 01, Model 04, Model 05, Model 02 dan Model 03. Kemiripan dari dua karakter sinar masuk pada kedua orientasi ini (Utara dan Selatan), yang patut kita cermati adalah, bahwa rata-rata terbanyak intensitas sinar dari kelima bentuk tritisan untuk Kota Semarang ini terjadi pada kurun waktu pasca siang hari hingga matahari terbenam, dengan selisih hanya sekitar 2% (gambar 14).
Gambar 14 Proporsi Intensitas Antara Pagi dan Sore pada Fasad Berorientasi Menghadap Utara dan Selatan
50
(Eddy Prianto)
Pada kondisi ke dua arah ini, bukannya usaha untuk mengantisipasi masuknya sinar matahari kedalam ruangan, namun bagaimana agar sinar bisa masuk sehingga penerangan alami/ cahaya sinar matahari dapat optimal menerangi ruangan, karena intensitanya hanya berkisar kurang dari 10% (sangat sedikit, dibanding dengan arah timur dan barat). Beberapa kiat bagi rumah yang „terlanjur‟ menghadap utara dan selatan adalah: untuk kondisi di kota semarang, posisi hadap bangunan kea rah selatan lebih „redup‟ dibanding posisi utara. Sehingga pemecahan menghadirkan sinar masuk untuk bangunan arah selatan harus lebih dioptimalkan. Hindari pemakaian tritisan „konvensional‟, artinya disarankan menggunakan tritisan „modern‟ atau berkonsep minimalis yang menggunakan plat-plat beton, karena akan semakin menghalangi intensitas kualitas dan kuantitas sinar dan cahaya matahari masul dalam ruangan. „Konsep‟ refleksi atau pemantulan datangnya sinar sangat diajurkan untuk diterapkan di seputar jendela. Perbesar lubang jendela atau pada tampak arah hadap ini, justru jangan memperkecil demensi jendela, tapi justru diperlebar demensi jendela. Lebih baik pergunakan kaca bening atau hindari penggunaan kaca rayben/gelap. Kajian Ke empat : Bagaimana menghitung profil besaran beban energi panas yang diakibatkan masing-masing type tritisan tersebut ? Tujuan dari kajian keempat ini adalah pertama, mengetahui sejauh mana profil intensitas radiasi matahari Kota Semarang dari tahun ke tahun dalam kurun 25 tahun ini ?
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Tingkat radiasi matahari global Kota Semarang naik 150% : Sebelum mengamati dengan cermat perubahan data radiasi matahari Kota Semarang, kita coba memperhatikan sejenak peningkatan panas radiasi matahari di 3 (tiga) kota besar di Indonesia ditahun 1987 dan ditahun 2013 ini. Hasil ini sangatlah mengejutkanm, bahwa menunjukan tanda-tanda nyata efek global warming sangat nyata ditunjukan dengan perubahan kondisi radiasi sinar matahari dalam kurun 25 tahun ini.
Sumber :Soegijanto, 1998 dan Prianto & Suyono, 2013
Gambar 15 Profil Radiasi Matahari di Kota Jakarta, Bandung dan Semarang di Tahun 1987 dan 2013
Perhatikan Gambar 15. besarnya intensitas radiasi matahari global ratarata selama periode 1984 sampai dengan periode 1987 di Jakarta adalah 514 Watt/m2, sedangkan untuk kota Bandung 708 Watt/m2 lebih panas 194 Watt/m2. (Soegijanto, 1998), sedangkan data Kota Semarang dihitung dalam simulasi kondisi saat ini didapatkan ratarata 636 Watt/m2 atau lebih panas 122Watt/m2 dibandingkan kota Jakarta. (Prianto & Suyono, 2013). Kini di Kota Semarang 2013, besarnya intensitas radiasi matahari global rata-rata 960
Watt/m2. Berarti terjadi peningkatan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 151%. Bagimana Beban Panas untuk Rumah Menghadap Barat ? Pada pembahasan kali ini, kita mengkaji beban panas dari sinar masuk yang ekstrim/terbanyak, yaitu pada model 01 dan model 05 dengan orientasi kearah barat. Untuk mengetahu metode perhitungan matematisnya, dilakukan langkahlangkah sebagai berikut (lihat gambar no.16) : Pertama, kita pilih model tritisan dan pilih orientasi fasad yang akan dihitung. Pada bagian ini, kita mengambil contoh fasad berorientasi ke Barat, karena kondisi inilah didapatkan rata-rata intensitas sinar matahari masuk yang terbesar diatara ketiga oriantasi fasad lainnya dengan model 01 (bangunan tanpa tritisan) Kedua, kita tampilkan grafik profil beban panas radiasi Kota Semarang tahun 2013 berdasarkan kondisi global rata-rata tahunan dalam setiap jam pengukuran (pk.06.00 hingga pk.18.00), hal ini perlu karena beban panas dalam setiap jamnya berbeda yanitu mempunyai rentang antara 155Watt/m2 pada pagi hari hingga mencapai puncaknya pada pk12.00 sebesar 1562 Watt/m2 (lihat kembali gambar 1.12). Ketiga, setelah dilakukan perhitungan matematis, dengan menyesuaikan besaran beban energi panas pada setiap sinar masuk, maka didapatkan hasil akhir dari beban panas, yang kemudian dilakukan analisa. Rumus yang digunakan : BE = I x R
51
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
Dimana : B = Besaran energi dalam ruangan (Watt/m2) I = Intensitas sinar masuk (%)
(Eddy Prianto)
R = Besaran energi radiasi matahari (Watt/m2)
Langkah 01 Langkah 02
Langkah 03
Gambar 16 Tahapan Perhitungan Beban Panas Sinar Matahari yang Masuk Melalui Lubang Jendela untuk Kota Semarang
Analisa perbandingan beban energi panas penggunaan tritisan Model 01 (bangunan tanpa tritisan/ minimalis) dengan model 05 (bangunan bertritisan tradisional) yang berorientasi ke barat Bangunan dengan arah hadap barat, berati pada pagi hari hingga siang hari reratif tidak ada sinar masuk/tidak ada panas yang masuk melalui jendela. Intensitas dimulai 20% terjadi pada pk.13.00 dengan beban panas sebasar 1500 Watt/m2 untuk pk.13.00, berarti beban yang terjadi = 10% x 1562 W/m2 = 302 W/m2. Kondisi makin panas saat menuju pk14.00 dengan kenaikan panas mencapai 135%. Hal semacam ini, bilamana ruangan tidak diimbangi 52
dengan „pengurangan‟ beban panas ekstra, maka suasana ruangan ini sangat terasa tidak nyaman. Kalaupun ruangan menggunakan Air Conditioner, maka beban energi pendinginan pemakaian AC pun akan bekerja ekstra pada suasana ini. Beban panas semakin naik hingga pk.16.00, kemudian mulai mengalami penurunan mencapai maksimal pada pk. 16.00 ke pk.17.00, yaitu sebesar 74%. (lihat gambar no.17 dan 18) Penghematan yang terjadi pada saat ini karena pemakaian tritisan dibanding bangunan tak bertritisan adalah ratarata mencapai 60% (1058 Watt/m2 pada kondisi tanpa tritisan dan 538 watt/m2 pada kondisi dengan tritisan).
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Aplikasi desain arsitektur pada kondisi semacam ini adalah dapat dilakukan 2 (dua) cara, yaitu perubahan bentuk fisik tritisan/pemakaian tritisan seoptimal mungkin, atau dapat dikatakan bahwa rumah berdesain minimalis sangat tidak tepat untuk bangunan beroriantasi ke barat. Kedua pemakaian pendinginan aktif, dengan menggunakan Kipas angin ataupun AC secara effesien cukup selama 4 jam saja yaitu mulai pk 13.00 hingga 17.00.
Gambar 17 Profil Beban Panas dalam Ruangan Karena Sinar Masuk pada Bangunan Menghadap Barat dengan Tipe Bangunan Tanpa Tritisan
Gambar 18 Profil Beban Panas dalam Ruangan pada Pk. 13.00 hingga 17.00 di Bangunan tanpa Tritisan (Model 01) dan Bertritisan (Model 05)
Kesimpulan Untuk Kota Semarang, posisi bangunan arah selatan akan lebih redup dibanding dengan arah Utara, maka pemecahan menghadirkan
sinar masuk harus lebih optimal di posisi ini dibanding arah utara. Rumah berkonsep minimalis/ rumah dengan demensi tritisan minimal di Kota Semarang, sangat cocok hanya untuk fasad menghadap utara dan selatan. Bangunan menghadap barat sangat disarankan memanfaatkan fungsi tritisan seoptimal mungkin. Pemakaian pemakaian tritisan pada arah ini dibanding dengan bangunan „minimalis‟ akan mengefisienkan energi sebesar 60%. Kiat antisipasi besaran intensitas panas matahari untuk bangunan menghadap Barat dan Timur : Jendela seyogyanya menggunakan tritisan dengan model seoptimal mungkin menangkis sinar matahri. 2). Perimbangkan tata letak tritisan, tritisan makin berfungsi optimal bilamana posisinya dekat dengan jendela. 3) memperlebar besaran sudut miring akan memberikan hasil optimal dibanduing dengan memperpanjang bentuk plat beton tritisan. Sedangkan bberapa kiat bagi rumah yang fasadnya menghadap Utara dan Selatan : 1). Pilihan tritisan model minimalis sangat dianjurkan karena membuka peluang masuknya sinar dan cahaya matahari terutama pada bulan maret, juni dan September (pada masa ini ruangan dalam tidak mendapatkan sinar matahari apapun bentuk tritisannya), 2). Jangan menerapkan demensi bukaan dinding/jendela yang kecil/minimalis, artinya pergunakanlah jendela berukuran lebar/besar.3) Hindari pemakaian kaca jenis „rayben‟/redup. Fenomena efek global warming untuk Kota Semarang dapat ditunjukan dengan meningkatkan rata-rata radiasi matahari global mencapai 150% yang didapat dengan memperbandingkan kondisi ratarata radiasi panas matahari global 53
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
tahunan Kota Semarang 25 tahun silam (tahun 2013 ke 1987). Ucapan Terimakasih Makalah ini merupakan bagian Roadmap Rumah Tropis Hemat Energi dari rangkaian penelitian yang dilakukan pada cluster Eco-Tropical Home di Laboratorium Teknologi Bangunan Arsitektur Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Pada kesempatan ini tak lupa Penulis mengucapkan pada pihak-pihak membantu pensimulasian dengan program SketchUp pada mata kuliah fisika bangunan periode semester gasal 2013 (tema penerangan alami bangunan arsitektur) DAFTAR PUSTAKA Amin, N. 2011. ”Optimasi Sistem Pencahayaan dengan Memanfaatkan Cahaya Alami (Studi Kasus Lab Elektronika Dan Mikroprosesor Untad)”. Jurnal Ilmiah Foristek Vol.1 No.1 , 43-60. Brau, J., Miller-Chagas, P., Patrick, D., Guyot, A., & Peneau, J.-P. 1989. Analyse Climatique du Site. Paris: Formation-Agence Francaise pour la maitrise de l'energie. Buchori, L., & Soemardjo, M. 2011. Buku Ajar Perpindahan Panas. Semarang: PT Petraya Mitrajaya.
(Eddy Prianto)
Liebard, A., & De Herde, A. (-). Bioclimatic Fasads. United Kingdom: Somfy Group. Lippsmeier, G. 1994. Bangunan Tropis (terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. Mahaputri, H. E. 2010. “Studi Simulasi Model Penerangan Alami pada Bangunan Fasilitas Pendidikan Tinggi dengan Superlite2.0”. Teknologi dan Kejuruan, vol.33 no.2 , 201-210. Olgyay, V. 1973. Design With Climate Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism. New Jersey: Princeton University Press. Prabawa, G. A., & Prianto, E. 2007. 100 Alternatif Tritisan Beton Hemat Energi. Semarang: JAFT Undip (laporan penelitian tidak dipublikasikan). Prianto, E. 2005. “Arsitektur Jendela Respon Gerakan Hemat Energi”. Jurnal Ilmiah Nasional Efisiensi & Konservasi Energi , 1-11. Prianto, E. 2003. Desain Jendela yang Tanggap Terhadap Tuntutan Kenyamanan Penghuni. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
ESDM, P. 2013. Handbook of Energi Economic Statistic of Indonesia. Jakarta: PSDATIN ESDM. Kreith, F., & Prijono, A. 1991. PrinsipPrinsip Perpindahan Panas-edisi ketiga (terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga
54
Prianto, E. 2011. “Efek Penggunaan Batu Alam pada Fasad Rumah Tinggal terhadap Pemakaian Energi Listrik. Jurnal Riptek, Vol.3 ,5360.
Riptek Vol. 7, No. 2, Tahun 2013, Hal. 37 - 56
Prianto, E. 2010.” Efek Warna Dinding Terhadap Pemakaian Energi Listrik Dalam Rumah Tangga”.Jurnal Riptek, Vol.4 no.1, 31-35.
Setyowati, E. 2013. Buku Ajar Fisika Bangunan 2 : Thermal & Acoustic. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.
Prianto, E. 2007. “Rumah Tropis Hemat Energi Bentuk Keperdulian Global Warming”. Jurnal Riptek. Vol.1, No.1 , 1-10.
Smith, P. F. 2005. Architecture in a Climate of Change. Oxford: Architectural Press.
Prianto, E. 2013. “Trik Hemat Listrik pada Skala Rumah Tinggal”. Buletin Teknologi Terapan Populer-UPPMFT Undip , 14-18.
Soegijanto. 1998. Bangunan di Indonesia dengan Iklim Tropis Lembab Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan. Jakarta: Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Prianto, E., & Suyono, B. 2013. Simulasi Efisiensi Energi Listrik pada Bangunan Ber-Greenwall di Semarang. Semarang: JAFT Undip. Prokum.ESDM. (2013, Oktober 20). Indonesia Energi Stastic 2010. Jakarta. RI, K. P. “Program KPR FLPP”. Kompas, 19 Nopember 2013. Santoso, A. J., & Antaryama, I. G. 2010. Bangunan Tinggi di Daerah Tropis Lembab. Surabaya: Program Magister ITS (laporan penelitian tidak dipublikasikan). Satwioko, P. 2005. Arsitektur Sadar Energi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Soetiaji, S. 1986. Anatomi Utilitas. Jakarta: Jambatan. Sukawi. 2008. “Kuliah Online Fisika Bangunan”. Semarang: http://www.sukawiblogspot.com. Szokolay, S. V. 2008. Introduction to Architectural Science. Oxford: Architectural Press. Umum, D. P. 1987. Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Susun. Jakarta: Yayasan Penerbit PU. YB, M. 1997. Pengantar Fisika Bangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan.
55
Pilihan Bentuk Tritisan Hemat Energi Untuk Kota Semarang
56
(Eddy Prianto)