1532
RI PENERBITAN USEUM NEGERI ACEH
N
PETUNJUK SINGKAT MUSEUM NEGERI ACEH
PROYEK REHABILITASI DAN PERLUASAN MUSEUM DAERAH ISTIMEWA ACEH
f.lSV* . /i/ SERI PENERBITAN MUSEUM NEGERI ACEH
8
PETUNJUK SINGKAT MUSEUM NEGERI ACEH
£
VOOR
£
PROYEK REHABILITASI DAN PERLUASAN MUSEUM DAERAH I3TBVŒWA A€EH 1 Q8?
-
KATA PENGANTAR Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh nomor 8 ini diterbitkan dengan judul "Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh", yang disusun oleh team pengelola Museum Negeri Aceh. Hasrat untuk menerbitkan buku petunjuk singkat telah lama direncanakan, namun baru saat ini kami dapat menyajikan kehadapan para pembaca dengan segala kekurangannya. Buku Petunjuk Singkat Museum Negeri Aceh yang sederhana ini dimaksudkan sebagai bahan informasi bagi para pengunjung tentang kehadiran Museum Negeri Aceh sebagai wadah pelestarian dan pementasan warisan budaya Nasional. Buku petunjuk ini tidak menguraikan seluruh koleksi yang dimiliki oleh Museum Negeri Aceh, tetapi merupakan ringkasan riwayat perkembangan museum serta potensinya, landasan bagi pengumpulan koleksi, sistimatika tata pameran dan beberapa koleksi utama yang dapat dijadikan dasar stimulant (ransangan> untuk kemajuan dan pengembangan lebih lanjut bagi Museum Negeri Aceh. Dalam era pembangunan sekarang ini kita dihadapkan kepada kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern dengan segala akibatnya seperti perobahan dalam bidang sosial dan politik, pergeseran nilai-nilai kebudayaan dan lain-lain. Namun prinsip dasar kegiatan museum tidak berobah yaitu memberikan respon terhadap perjalanan sejarah umat manusia pada umumnya, perkembangan kebudayaan dan perubahan alam pada khususnya. Museum Negeri Aceh pun diharapkan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan serupa. Kami menyadari bahwa Buku Petunjuk ini masih belum sempurna, baik materi maupun tehnik serta bentuk penyajiannya. Oleh karena itu saran-saran dari berbagai pihak dalam usaha perbaikannya sangat kami harapkan. Kepada mereka yang telah berusaha menyusun naskah buku ini kami menyampaikan terima kasih.
Akhirnya, harapan kami semoga buku ini ada manfaatnya bagi kita sekalian, terutama bagi para pengunjung Museum Negeri Aceh. Banda Aceh, Pebruari Museum Negeri Aceh Kepala,
Drs. Zakaria Ahmad NIP. 130 427 706
1982
DAFTAR
ISI Halaman :
Pengantar Daftar Isi Lokasi Museum Negeri Aceh Denah Museum Negeri Aceh
6
Riwayat Singkat Museum Aceh
*^.
Sedikit Uraian Mengenai Bentuk Arsitektur Bangunan-bangunan pada Bangunan Museum Aceh
21.
Aceh, Daerah dan Rakyatnya
24.
Sistimatika tata pameran Foto-foto koleksi
^
2
n
r
Denah Komplek Museum Negeri Aceh Keterangan : 1. Lonceng Cakra Donya. 2. Gedung Pameran Khusus, Perpustakaan dan Ruang Tata Usaha. 3. Rumah Aceh. 4. Auditorium. 5. Makam-makam Sultan. 6. Gedung Pameran Tetap. 7. Laboratorium. 8. Ruang Studi koleksi, Preparasi dan Storrage. 9. Rumah Kepala Museum. 6
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef sedang menanda tangani prasati peresmian Museum Negeri Aceh. Di sebelah kanan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Prof. A. Madjid Ibrahim dan di sebelah kiri Kepala Kantor Wilayah Departemen P dan K Propinsi Daerah Istimewa Aceh Drs. Athaillah.
8
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef sesaat melakukan pengguntingan pita di gedung pameran tetap sebagai pertanda peresmian Museum Negeri Aceh pada tanggal 1 September 1980.
Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef dengan didampingi Gubernur Aceh Prof. A. Madjid Ibrahim, Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. DR. Ibrahim Hasan dengan diantar oleh Kepala Museum Negeri Aceh Drs. Zakaria Ahmad sedang menyaksikan pameran pada upacara peresmian Museum Negeri Aceh.
10
Direktur Jenderal Kebudayaan Dep. P dan K Prof. DR. Haryati Soebadio bersama Menteri P dan K DR. Daoed Joesoef sedang menyaksikan pameran buku tentang Aceh pada upacara peresmian Museum Negeri Aceh dengan diantar oleh Kepala Museum Drs. Zakaria Ahmad.
11
Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. DR. Haryati Soebadio bersama Direktur Permuseuman Drs. Moh. Amir Sutaarga sedang melakukan peninjauan pameran yang didampingi Pimpinan Proyek Museum Drs. Nasruddin Sulaiman.
12
Gedung pameran tetap Museum Negeri Aceh.
Gedung pameran khusus, perpustakaan dan ruang tata usaha.
13
RIWAYAT SINGKAT MUSEUM ACEH. Museum Aceh didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yang pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A. Swart pada tanggal 31 Juli 1915. Bangunannya merupakan sebuah rumah Aceh (Rumoh Aceh) yang berasal dari Paviliun Aceh yang ditempatkan di arena Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) di Semarang pada tanggal 13 Agustus — 15 Nopember 1914. Pada waktu penyelenggaraan pameran di Semarang tersebut, Paviliun Aceh memamerkan koleksi-koleksi yang sebagian besar adalah milik pribadi F.W. Stammeshaus, yang pada tahun 1915 menjadi Kurator Museum Aceh yang pertama. Selain koleksi milik Stammeshaus, juga dipamerkan koleksi-koleksi berupa benda-benda pusaka para pembesar Aceh, sehingga dengan demikian Paviliun Aceh merupakan Paviliun yang paling lengkap koleksinya. Sistimatika penataran pameran di Paviliun Aceh pada Pameran Kolonial tersebut memperlihatkan gambaran mengenai etnografika dan hasil-hasil kesenian, alat-alat pertenunan Aceh dan hasil-hasilnya yang telah terkenal pada masa itu, senjata-senjata tajam yang diperlengkapi dengan foto-foto cara mempergunakannya. Penanggung jawab koleksi dan penataannya ditangani oleh F.W. Stammeshaus dan Overste Th. J. Veltman yang dikirim khusus oleh Gubernur Aceh Jenderal H.N.A. Swart. Disamping pameran tersebut, di muka Paviliun setiap saat dipertunjukkan tari-tarian Aceh. Sebagai tanda keberhasilan dalam pameran itu Paviliun Aceh memperoleh 4 mendali emas, 11 perak, 3 perunggu, dan piagam penghargaan sebagai Paviliun terbaik. Ke empat mendali emas tersebut diberikan untuk : pertunjukan, boneka-boneka Aceh, etnografika, dan mata uang; perak untuk : pertunjukkan, foto, dan peralatan rumah tangga. Karena keberhasilan tersebut Stammeshaus mengusulkan kepada Gubernur Aceh agar Paviliun tersebut dibawa kembali ke Aceh dan dijadikan sebuah Museum. Ide ini diterima oleh 14
Gubernur Swart. Atas prakarsa Stammeshaus Paviliun Aceh itu dikembalikan ke Aceh, dan pada tanggal 31Juli 1915 diresmikan sebagai Aceh Museum, yang berlokasi di sebelah Timur Biang Padang di Kutaraja (Banda Aceh sekarang). Museum ini berada di bawah tanggung jawab penguasa sipil dan militer Aceh dengan kuratornya yang pertama F.W. Stammeshaus. Setelah Indonesia merdeka Museum Aceh menjadi miliki Pemerintah Daerah Aceh yang pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tk. II Banda Aceh. Pada tahun 1969 atas prakarsa T. Hamzah Bendahara, Museum Aceh dipindahkan dari tempatnya yang lama (Biang Padang) ke tempatnya yang sekarang ini. Setelah pemindahan ini pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS) Pusat. Sejalan dengan program Pemerintah tentang pengembangan Kebudayaan, khususnya pengembangan Permuseuman, sejak tahan 1974 Museum aceh telah mendapat biaya Pelita melalui Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Istimewa Aceh. Melalui Proyek Pelita telah berhasil direhabilitasi bangunan lama dan sekaligus dengan pengadaan bangunanbangunan baru. Bangunan baru yang telah didirikan itu gedung pameran tetap, gedung pertemuan, gedung pameran temporer dan perpustakaan, laboratorium dan rumah dinas. Selain untuk pembangunan sarana/gedung Museum, dengan biaya Pelita telah pula diusahakan pengadaan koleksi, untuk menambah koleksi yang ada. Koleksi yang telah dapat dikumpulkan, secara berangsur-angsur diadakan penelitian dan hasilnya diterbitkan guna dipublikasikan secara luas. Sejalan dengan program Pelita dimaksud, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dan Badan Pembina Rumpun Iakandarmuda (Baperis) Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan bersama pada tanggal 2 September 1975 nomor 538/1976 dan SKEP/IX/1976 yang isinya tentang persetujuan penyerahan Museum kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sebagai Museum Negeri Propinsi, yang sekaligus berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidik15
an dan Kebudayaan. Kehendak Pemerintah Daerah untuk menjadikan Museum Aceh sebagai Museum Negeri Propinsi baru dapat direalisir tiga tahun kemudian, yaitu dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tanggal 28 Mei 1979, nomor : 093/0/ 1979 terhitung mulai tanggal 28 Mei 1979 statusnya telah menjadi Museum Negeri Aceh. Peresmiannya baru dapat dilaksanakan setahun kemudian atau tepatnya pada tanggal 1 September 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan DR. Daoed Yoesoef. Selain Museum Aceh, di Aceh pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda terdapat pula sebuah Museum Militer yang diberi nama Atjehsch Leger Museum yang didirikan pada tanggal 7 Januari 1937. Museum ini merupakan sebagai Museum Militer yang pertama di Hindia Belanda. Atjehsch Leger Museum tidak berusaia lama, karena dengan masuknya tentera Jepang tahun 1942 museum ini tidak dapat diselamatkan lagi. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Museum Aceh, sesuai dengan perjalanan sejarahnya, pengelolaannya telah saling berganti. Hal ini juga disebabkan oleh karena perjalanan sejarah dari Daerah Aceh pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Untuk itu pengelolaan Museum Aceh dapat disebutkan : 1. Pemerintah Hindia Belanda (31 Juli 1915 - 1942). Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda Museum Aceh dikelola oleh Pemerintah Belanda yang berada di bawah tanggung jawab Gubernur Aceh dan Daerah Takluknya. 2. Pemerintah Militer Jepang ( 1942 - 1945 ). Sejak saat pendaratan Jepang di Aceh pada bulan Maret 1942, Museum Aceh tidak pernah berhenti kegiatannya. Pada masa ini pengelolaan Museum beralih dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Jepang. 3. Pemerintah Daerah Aceh ( 1945 - 1968 ). Sejak Indonesia Merdeka, museum ini yang dulunya
berada langsung di bawah Pemerintahan jajahan, dengan sendirinya beralih tanggung jawab kepada Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini Pemerintah Daerah Istimewa Aceh. Dalam pengelolaan sehari-hari pada masa ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar. Setelah terbentuknya Kotapraja Kutaraja (Kotamadya Banda Aceh sekarang) pengelolaannya dialihkan pula dari Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar kepada Pemerintah Kotapraja Kutaraja. Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda (BAPERIS), (1969 - 1980). Pada tahun 1969 Museum Aceh di pindah dari tempat yang lama ketempat yang sekarang ini dan sekaligus pengelolaannya berada di bawah Badan Pembina Rumpun Iskandarmuda. Sesuai dengan hasil keputusan rapat Pengurus Rumpun telah ditunjuk seorang dari pengurus Pusat untuk memimpin Museum yaitu Drs. Zakaria Ahmad. Museum Aceh di bawah pembinaan Baperis telah dapat menambah koleksinya terutama melalui kerjasama dengan beberapa pihak di Negeri Belanda, baik perorangan maupun lembaga resmi seperti Museum. Dengan kerjasama ini telah dikembalikan beberapa koleksi yang berasal dari Aceh, baik dalam bentuk asli maupun replika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980 — sekarang). Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seperti tersebut di atas, sejak 1 September 1980 Museum ini langsung berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Museum Negeri Aceh pada saat ini merupakan sebuah unit pelaksana tehnis di bidang Kebudayaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktorat Jenderal Kebuda-y aan. Sebagai sebuah Museum Negeri di Propinsi mempunyai tugas menyelenggarakan pengumpulan, perawatan,
pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kulturil tentang benda bernilai budaya dan ilmiah yang bersifat regional. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut Museum Negeri Propinsi mempunyai fungsi : a. melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan dan penyajian benda yang bernilai budaya dan ilmiah; b. melaksanakan perpustakaan, dokumentasi dan penelitian ilmiah ; c. memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil penelitian kebudayaan daerah berdasarkan koleksi ; d. melaksanakan bimbingan edukatif kultural tentang benda yang bernilai budaya dan ilmiah pengetahuan; e. melaksanakan urusan tata usaha. Dalam melaksanakan tugasnya dan menjalankan fungsifungsi seperti tersebut di atas dilaksanakan sepenuhnya oleh Kepala Museum dibantu oleh Kepala-kepala Seksi yang terdiri dari Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Koleksi, Seksi Konservasi dan Preparasi, dan Seksi Bimbingan Edukasi. Dalam melayani masyarakat, Museum Negeri Aceh selain menyelenggarakan pameran tetap, juga menyelenggarakan pameran khusus (temporer), dan pameran keliling. Pada pameran khusus yang diketengahkan hanya sejenis koleksi saja dengan tujuan agar para pengunjung dapat mengenal lebih mendalam tentang koleksi yang dipamerkan, baik teknis pembuatannya, manfaatnya, filsafatnya, nilai seninya dan aspek-aspek lainnya yang berhubungan dengan koleksi tersebut. Pameran khusus ini diselenggarakan di ruangan pameran khusus di Museum Negeri Aceh. Pameran Keliling pada dasarnya sama dengan pameran khusus, yaitu hanya memamerkan sejenis koleksi juga, tetapi penyelenggaraannya bukan di gedung Museum Negeri Aceh tetapi di ibukota Kabupaten, terutama Kabupaten yang telah memiliki Museum Daerah. Di samping menyelenggarakan pameran-pameran tersebut, 18
Museum Negeri Aceh juga melakukan study koleksi yang merupakan penelitian secara ilmiah terhadap koleksi-koleksi yang ada di museum. Hasil penelitian koleksi tersebut diterbitkan dan disebar luaskan dalam bentuk buku-buku ilmiah "Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh". Penelitian terhadap koleksi museum tersebut dilakukan oleh para ahli dan ilmuan dalam bidangnya masing-masing. Buku-buku hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh antara lain : 1. Hikayat Aceh, 2. Kesultanan Aceh, 3. Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan Aceh, 4. Cakra Donya, (sebuah lonceng zaman Kesultanan Aceh), 5. Cap Sikureung (Stempel Kesultanan Aceh), 6. Reuncong (Rencong Aceh). Dengan penerbitan ini diharapkan agar masyarakat, terutama para peneliti, mahasiswa dan pelajar dapat memahami dan mengenal masyarakat Aceh secara lebih mendalam baik ditinjau dari segi sejarahnya maupun dari segi kebudayaannya. Kegiatan bimbingan edukatif kultural dilakukan melalui ceramah-ceramah baik yang bersifat ilmiah maupun populer. Ceramah ilmiah diberikan oleh para ahli dan ilmuan dalam bidangnya masing-masing, sedangkan ceramah populer diberikan oleh petugas museum terutama kepada para pengunjung yang datang berombongan, para pelajar dan para turis. Bimbingan edukatif kultural juga dilakukan melalui pemutaran film dokumentasi, slide, dan melalui fasilitas perpustakaan Museum Negeri Aceh.
19
STRUKTUR ORGANISASI MUSEUM NEGERI ACEH
Kepala Drs. Zakaria Ahmad
Subbag Tata Usaha Pieter Bangun
Seksi Koleksi Drs. Nasaruddin Sulaiman
Seksi Konservasi dan Preparasi
Seksi Bimbingan
M. Salim Wahab
T.M. Yunan
SEDIKIT URAIAN MENGENAI BENTUK ARSITEKTUR BANGUNAN-BANGUNAN PADA BANGUNAN MUSEUM ACEH Museum Negeri Aceh pada saat sekarang ini memiliki beberapa buah bangunan gedung, yang masing-masing mempunyai fungsi serta gaya bangunan tersendiri. Untuk menjelaskan gaya bangunan itu, kita harus menerangkan satu persatu dari gedung tersebut. A. R u m o h A c e h . Gedung Museum Aceh yang lama adalah berbentuk rumoh Aceh. Bangunan ini dibuat dalam bentuk arsitektur tradisional Rumoh Aceh, yang merupakan rumah tempat kediaman orangorang Aceh. Rumah Aceh (Rumoh Aceh) terdiri dari serambi depan, serambi belakang dan ruang tengah, yang dalam bahasa Aceh disebut "Seuramo keu", "Seuramo likot" dan "Rumoh inong." Masing-masing ruang tersebut pada rumoh tempat tinggal mempunyai fungsi tersendiri yaitu : serambi depan antuk tempat penerimaan tamu, serambi belakang berfungsi sebagai ruang makan dan dapur, sedangkan rumoh inong atau ruang tengah sebagai kamar tidur yang disebut jurie. Bentuk inilah yang dipergunakan sebagai bangunan gedung Museum lama. Pada bangunan ini di lengkapi dengan bagian-bagian penting dimiliki oleh sebuah rumah Aceh seperti tolak angin, pelangan, ukiran-ukiran dan lain-lainnya. B. Gedung Pameran tetap dan gedung pameran temporer. Gedung pameran tetap dan gedung pameran sementara (temporer) adalah dua buah gedung yang dibangun baru. Bangunan ini adalah merupakan paduan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur modern. Arsitektur mencoba mengadakan pendekatan antara kedua bentuk arsitektur tersebut yang diolah sedemikian rupa untuk dapat memenuhi fungsi dan kebutuhannya. Dengan demikian bentuk bangunan ini 2
merupakan bangunan tradisional yang menyerupai rumah Aceh yang telah dipermodern. C. Gedung Auditorium. Gedung Auditorium yang juga merupakan bangunan baru sebagai kelengkapan dari bangunan Museum. Pada bangunan ini arsitek mencoba kembali mengexpose sebuah bentuk arsitektur tradisional yang merupakan sebuah bangunan "Balai Gading". Balai gading adalah sebuah bangunan yang pada zaman Kerajaan Aceh mempunyai fungsi sebagai gedung tempat bermusyawarah atau bersidang. Balai gading juga berfungsi sebagai gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu. D. Bangunan Pintu gerbang dan pagar. Pintu gerbang masuk ke Komplek Museum Negeri Aceh ada dua buah yaitu di depan Museum (bagian Barat) dan di bagian Selatan. Motif dari bentuk bangunan pintu gerbang juga mempunyai corak arsitektur tradisional, yang berbentuk "Kulak Kama" (Mahkota) sebagai penutup kepala. Pada masyarakat Aceh bentuk tersebut banyak di pergunakan sebagai ukiran hiasan pada "ujong tameh puntong" (ujung tiang putus) pada bangunan-bangunan rumah Aceh. Pagar pekarangan yang tersebut dari besi di bagian depan komplek Museum mempergunakan motif bungong awan-awan (bunga mega). Motif ini sangat digemari oleh masyarakat Aceh. Hal ini terlihat dengan banyaknya dipergunakan motif ini untuk ornamen-ornament pada hiasan-hiasan rumah seperti pada ukiran tulak angin, daun pintu, peulangan, teralis-teralis pada serambi ddan lain-lain. Inilah beberapa gaya dari bangunan-bangunan pada Museum Negeri Aceh, baik bangunan lama maupun bangunan baru yang kesemuanya dipadukan dengan bentuk arsitektur tradisional yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya masing-masing. 22
Dari bangunan-bangunan gedung yang telah ada dengan luas seluruhnya 2.134 m2 yang dibangun di atas tanah milik Negara seluas 9.400 m2, dana yang telah dipergunakan baik untuk pembangunan fisik, pengadaan koleksi, fungsionalisasi dan lain-lain kegiatan melalui Proyek Pelita telah berjumlah Rp. 670.978.000,-
III. ACEH, DAERAH DAN RAKYATNYA. A. GEOGRAFI. 1. Lokasi dan Luasnya. Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah Propinsi yang letaknya paling ujung sebelah Barat dari Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disebelah Utara Wilayah Propinsi ini terdapat jalur perdagangan Internasional yang cukup ramai yaitu Selat Malaka. Batas-batas dapat disebutkan sebagai berikut : — Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka dan — Sebelah Selatan berbatas dengan Propinsi Sumatera Utara dan Samudera Indonesia. — Sebelah Barat berbatas dengan Samudera Indonesia. — Sebelah Timur berbatas dengan Selat Malaka dan Propinsi Sumatera Utara. Luas Propinsi Daerah Istimewa Aceh seluruhnya adalah 55.390 km persegi, dimana 72,5% terdiri dari hutan belantara dan belukar, 8% berupa padang rumput dan alang-alang, 11,5% merupakan daerah pertanian dan perkebunan sedangkan selebihnya yaitu 8% berupa daerah campuran. Dataran rendah yang luas terletak di bagian Utara dan Timur. Di pantai Barat terdapat dataran rendah yang sempit. Daerah pedalaman dan bagian Selatan pada umumnya merupakan daerah pegunungan dan dataran tinggi. Daerah pegunungan ini diperkirakan 75% dari luas dari seluruh wilayah Aceh, sedangkan dataran rendah hanya 25% dari luas wilayah. 2. Gunung-gunung, sungai-sungai dan danau-danau. Dataran Aceh merupakan bagian dari Bukit Barisan yang membentang dari ujung Utara sampai ujung Selatan. Lanjutan Bukit Barisan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagian besar terletak dibagian Selatan dan Barat. Dari pegunungan ini sebagian besar sungai24
sungai utama di Aceh bersumber. Sungai-sungai yang utama dan besar mengalir ke pantai Utara dan Timur. Gunung-gunung yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh antara lain : Seulawah Agam (1.806 m), Gunung Singgah mata, Gunung Abong-abong (3.015 m), Gunung Geurendong, Gunung Bendahara (3.050 m) dan Gunung Leuser (3.512 m). Gunung Leuser selain sebagai Gunung tertinggi di Aceh juga merupakan cagar alam yang utama di Aceh. Sungai-sungai yang terdapat di Aceh antara lain : Krueng Aceh, Krueng Baro, Krueng Peusangan, Krueng Jambo Aye, Sungai Tamieng, Sungai Singkil, Krueng Woyla. Adapun danau yang utama di Aceh adalah Danau Laut Tawar yang terletak di Takengon Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah. Selain danau Laut Tawar terdapat pula sebuah danau di Pulau Weh (Sabang) bernama danau Aneuk Laot. Kedua danau yang terdapat di Aceh ini merupakan tempat yang menarik bagi objek pariwisata. 3. Flora dan Fauna. Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Hutan dan Daerah Pegunungan yang masih cukup luas terdapat berbagai jenis flora dan fauna. Jenis-jenis flora yang terdapat di Aceh antara lain ;Merante, Seumatok, Damar laut, Merbau, Kayu kapur, rotan, Bambu, Pandan, Rumbia, Nipah, Kelapa, Kurakura, tokek dan lain-lain. Barang-barang seperti Belibis, Balam, Burung hantu, Murai, Perling, Blatuk, Enggang, Puyuh, Elang (berbagai jenis) dan lain-lain. 4. Iklim dan keadaan tanah. Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh pada umumnya dikenal 2 (dua) musim yang menonjol yaitu musim barat yang biasanya banyak turun hujan dan angin kencang, dan musim Timur yang biasanya Kemarau dan berangin lembut. 25
Musim kemarau biasanya jatuh pada bulan-bulan Januari, Februari, Maret, April, Mei, Juni dan Juli; sedangkan musim hujan biasanya jatuh pada bulan-bulan Agustus, September, Oktober, November dan Desember. Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang terdiri dari Daratan Pulau Sumatera' maupun Pulau-pulau kecil yang termasuk wilayahnya pada umumnya terdiri dari permukaan tanah yang baik dan subur. Dataran rendah dapat ditumbuhi segala jenis tanaman tropis; sedangkan dataran tinggi yang dingin di Kabupaten Aceh Tengah banyak ditumbuhi pohon pinus selain tanaman sayuran seperti kol, wortel, jeruk, kentang dan lain-lain. 5. Perhubungan. Sarana Perhubungan yang dimiliki di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sama halnya dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia dapat dibagi kedalam perhubungan darat, laut dan udara. Kesemua sarana perhubungan dewasa ini telah dapat dipergunakan baik yang menghubungkan antara Kabupaten maupun antar Propinsi, walaupun untuk beberapa daerah Kabupaten karena Geografinya tidak memiliki perhubungan laut. Adapun sarana dan fasilitas perhubungan yang terdapat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dapat disebutkan sebagai berikut : a. Hubungan darat . Kereta Api : Kereta api di Aceh telah ada sejak tahun 1876. Panjang jalan kereta api ini adalah 470 km yang menyusur pantai utara Aceh dari Banda Aceh sampai Besitang Sumatera Utara. Pada saat ini kereta api praktis tidak dipergunakan lagi. Jalan Raya : Di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, terdapat jalan raya sepanjang 5.596.620 km. Jalan raya ini terdiri dari 489.400 km sebagai jalan Ne26
gara, 1.350.070 km sebagai jalan Propinsi dan 3.757.150 km sebagai jalan Kabupaten dan Kotamadya. Jalan Negara yang menghubungkan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan Propinsi Sumatera Utara, sedangkan jalan Propinsi menghubungkan daerah Kabupaten-Kabupaten yang kondisinya dapat dikatakan telah baik. Demikian pula halnya dengan jalan Kabupaten yang menghubungkan setiap Kabupaten dengan daerah-daerah Kecamatan telah dapat dipergunakan. Hubungan Laut : Mengenai hubungan Laut ini sangat ditentukan oleh Pelabuhan-pelabuhan. Adapun pelabuhan utama di Aceh adalah : Sabang (Pelabuhan Bebas) yang terletak di Pulau Weh dan merupakan pelabuhan Alam yang cukup baik di Aceh. Ulee Lheue. Pelabuhan ini hanya 5 Km dari Banda Aceh. Dahulunya adalah satu-satunya pelabuhan bagi Banda Aceh. Pelabuhan Ulee Lheue sekarang ini hanya melayani angkutan Ulee Lheue dengan pelabuhan bebas Sabang., Malahayati (Krueng Raya). Pelabuhan ini letaknya 31 Km dari Banda Aceh. Pelabuhan ini dibuat sebagai pengganti Pelabuhan Ulee Lheue yang dianggap sudah tidak memenuhi syarat lagi. Sejak tahun 1976 pelabuhan ini sudah mulai berfungsi. Selain pelabuhan Ulee Lheue yang disebutkan di atas masih terdapat pelabuhan-pelabuhan lain yaitu Lhok Seumawe dan Kuala Langsa di pantai Utara dan Meulaboh, Tapaktuan, Susoh, Singkil dan Sinabang di pantai Barat. Pelabuhan-pelabuhan ini berada dalam kondisi yang belum memadai. Akan tetapi tetap berfungsi sebagai prasarana angkutan hasil-hasil daerah dana angkutan penumpang.
Disamping pelabuhan-pelabuhan yang disebutkan di atas masih ada sebuah pelabuhan yang cukup baik yaitu yang terdapat di Biang Lancang Aceh Utara. Pelabuhan ini khusus untuk keperluan pengangkutan LNG (Liquified Natural Gas), c. hubungan Udara : Pelabuhan-pelabuhan Udara di Propinsi Daerah Istimewa Aceh : Biang Bintang. Lapangan Udara Biang Bintang letaknya 16 km dari Banda Aceh. Pelabuhan udara ini baru dapat menampung pesawat jet Fokker milik GIA dan penerbangan "Merpati". Cot Bak U. Sabang. Dapat menampung jenis pesawat "Hercules" atau jenis lain yang kecil karena lapangan masih berupa rumput. Malikussaleh di Aceh Utara. Lapangan ini dibangun oleh Pertamina sebagai kebutuhan dalam rangka Proyek LNG (Liquified Natural Gas). Cut Nyak Dhien. Lapangan Udara ini merupakan lapangan udara perintis di Meulaboh, Aceh Barat. Cut Ali. Lapangan Udara ini juga sebagai lapangan udara perintis terletak di Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan. Lasikin-Sinabang. Pelabuhan ini sebagai lapangan udara perintis di Pulau Simeulu Aceh Barat. B. PENDUDUK. Berdasarkan hasil sensus yang dilakukan pada tahun 1980 jumlah penduduk dalam Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebanyak 2.610.926 Jiwa. Dari jumlah tersebut sebanyak 4.150 terdiri dari Warga Negara Asing. Penyebaran penduduk di Aceh tergantung sangat pada keadaan wilayah. Wilayah yang subur dan mempunyai dataran rendah yang luas, lebih rapat penduduknya di28
bandingkan dengan wilayah yang bergunung-gunung dan mempunyai dataran rendah yang sempit. Daerah pantai utara dan Timur mempunyai penduduk yang rapat dibandingkan dengan daerah Barat dan Selatan serta daerah Pegunungan di pedalaman. Kenaikan penduduk di Aceh di taksir 2,5% setahun. Menurut sensus tahun 1971 berpenduduk 2.008.747 jiwa dan sekarang ini sudah lebih dari 2,6 juta seperti tertera di atas. Perincian penduduk menurut Daerah Tingkat II di Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah seperti tertera di bawah ini : a. b. c. d. e. f. gh. i. J-
Kabupaten Aceh Selatan Kabupaten Aceh Tenggara Kabupaten Aceh Timur Kabupaten Aceh Tengah Kabupaten Aceh Barat. Kabupaten Aceh Besar Kabupaten P i d i e Kabupaten Aceh Utara Kotamadya Banda Aceh Kotamadya Sabang Tuna Wisma dan anak kapal Jumlah
275.458.159.248423.362163.339.288.388236.254343.530625.260.71.86823.8213982.610.926.-
Sebagai bahasa percakapan sehari-hari pada umumnya suku bangsa tersebut mempergunakan bahasa daerahnya masingmasing, yaitu : — — — — — — — —
Suku Suku Suku Suku Suku Suku Suku Suku
bangsa Aceh berbahasa Aceh. bangsa Gayo berbahasa Gayo. bangsa Alas berbahasa Alas. bangsa Pulo berbahasa Pulo. bangsa Kluet berbahasa Kluet. bangsa Singkil berbahasa Singkil bangsa Tamiang berbahasa Tamiang. bangsa Aneuk Jamee berbahasa Aneuk Jamee.
PEMERINTAHAN : Sistim dan perkembangan pemerintahan Daerah Aceh sejak awal kemerdekaan secara garis besarnya adalah sebagai berikut : Pada tanggal 19 'Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan bahwa Wilayah Republik Indonesia dibagi atas delapan propinsi yang masing-masing dipimpin oleh seorang Gubernur. Setiap propinsi dibagi atas Keresidenan. Pada saat itu, Aceh merupakan salah satu Keresidenan dari Propinsi Sumatera. Pada tanggal 26 Agustus 1947 dengan Keputusan Wakil Presiden, sesuai dengan situasi negara gawat akibat agresi Belanda, Daerah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer, dibawah pimpinan seorang Gubernur Militer. Pada tahun 1948 Aceh kembali menjadi salah satu Keresidenan dari Propinsi Sumatera Utara di samping Tapanuli dan Sumatera Timur. Pada akhir tahun 1949 Aceh menjadi Propinsi tersendiri yang wilayahnya meliputi Keresidenan Aceh dahulu ditambah dengan sebagian dari daerah Kabupten Langkat dan Tanah Karo. Ketika pengakuan kedaulatan oleh Belanda tanggal 27 Desember 1949 dan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat, Propinsi Aceh termasuk wilayah Negara Republik Indonesia yang pada saat itu merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, Aceh kembali menjadi salah satu keresidenan dari Propinsi Sumatera Utara. Hal ini bertentangan dengan keinginan rakyat Aceh dan telah menyebabkan kekecewaan yang mendalam. Setelah pemerintah menyadari akan hal tersebut, maka pada tahun 1956 dibentuklah Propinsi Otonom aceh. Kemudian sesuai dengan tuntutan Rakyat Aceh dalam rangka pemulihan keamanan dan kestabilan Nasional, maka pada tanggal
26 Mei 1959 Aceh menjadi "Daerah Istimewa", dengan otonomi yang seluas-luasnya dalam bidang Agama, Pendidikan, dan Adat istiadat. Secara struktur administratif pemerintahan Daerah Istimewa Aceh sama dengan propinsi-propinsi lainnya, yaitu terdiri dari Daerah Tk. I yang dipimpin oleh Gubernur, Daerah Tk. II yang dipimpin oleh Bupati dan/atau Walikota, dan Wilayah Kecamatan yang dipimpin oleh Camat. Sesudah Kecamatan terdapat daerah wilayah Kemukiman yang dipimpin oleh Imuem Mukim (Kepala Mukim). Dibawah kemukiman terdapat Gampong (Kampung/Desa) yang merupakan lembaga pemerintahan terendah yang dipimpin oleh seorang Keuchik atau Geuchik (kepala kampung). Keuchik merupakan pelaksana pemerintahan dan adat dalam wilayah gampong (desa) nya yang dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari : — Wakil (Wakil Keuchik) — Teungku Meunasah (yang mengurus soal-soal keagamaan) - Keujruen (yang mengurus soal pertanian/persawahan) — Ketua Muda (yang mengurus masalah Kepemudaan) — Bileue (penjaga meunasah merangkap muazzin). Selain perangkat desa tersebut dalam sebuah kampung terdapat juga Tuha Peuet (Tua yang empat). Tuhan Peuet ini terdiri dari tokoh-tokoh terkemuka di kampung tersebut yang merupakan penasehat atau tempat keuchik bermusyawarah sebelum mengambil suatu keputusan penting. Imuem Mukim merupakan kordinator gampong-gampong. Imuem Mukim dibantu oleh perabot mukim yang disebut Tuha Lapan (Tua yang delapan) yang terdiri dari para cerdik pandai di kemukiman tersebut. Setiap kemukiman di Aceh terdapat sekurang-kurangnya sebuah mesjid yang dipimpin oleh seorang Imuem Mesjid. 31
Daerah Istimewa Aceh terbagi dalam 10 Daerah Tingkat II yang terdiri dari 2 Kotamadya dan 8 Kabupaten, yaitu : — Kotamadya Banda Aceh (ibu kota Propinsi) dengan ibukota Banda Aceh. — Kotamadya Sabang dengan ibukota Sabang. — Kabupaten Aceh Besar dengan ibukotanya Banda Aceh. — Kabupaten Pidie dengan ibukotanya Sigli. — Kabupaten Aceh Utara dengan ibukotanya Lhok Seumawe. — Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukotanya Takengon. — Kabupaten Aceh Timur dengan ibukotanya Langsa. — Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane — Kabupaten Aceh Barat dengan ibukotanya Meulaboh. — Kabupaten Aceh Selatan dengan ibukotanya TapakTuan. Di bawah Daerah Tingkat II terdapat 129 Kecamatan, 594 Kemukiman, dan 5462 Gampong (Kampung/Desa). Lambang Daerah Istimewa Aceh disebut Pancacita yang melambangkan 5 cita, yaitu : 1. Keadilan, dilambangkan dengan gambar dacin (timbangan). 2. Kerukunan, dilambangkan dengan gambar Kubah Mesjid 3. Kemakmuran, dilambangkan dengan gambar padi, kapas, lada, dan cerobong asap pabrik. 4. Kepahlawanan, dilambangkan dengan gambar rencong. 5. Kesejahteraan, dilambangkan dengan gambar buku dan kalam. Lambang Pancacita dilukiskan pada dasar yang berbentuk Kopiah Meukutop (kopiah Aceh) bersegi lima, yang melambangkan falsafah Negara, Pancasila, sehingga mengandung pengertian bahwa Pancacita terletak di dalam wadah Pancasila.
32
D. KEBUDAYAAN DAN ADAT-ISTIADAT. Sebenarnya kalau kita berbicara tentang kebudayaan sekaligus telah mencakup adat-istiadat. Hal ini adalah disebabkan adat-istiadat itu merupakanbagian dari kebudayaan. Akan tetapi karena adat-istiadat di Aceh sangat erat kaitannya dengan agama (Islam) yang jelas bukanlah kebudayaan maka masalah adat-istiadat ini kita uraikan tersendiri. Pepatah Aceh dalam hal yang menyangkut agama dan adatistiadat ini terkenal "Hukom ngon adat, lage zat ngon sipheut" (Hukum dengan adat seperti zat dengan sifatnya, tidak terpisah). Selanjutnya pepatah ini dikuatkan dengan pepatah lain yang berbunyi "Adat bak Poteu Meureuhom Hukum Bak Syiah Kuala". Dengan demikian kekuasaan adat ada pada Sultan dan Hukum (agama) berada di tangan Ulama. Bagi masyarakat Aceh adat dianggap sebagai suatu usaha untuk lebih menguatkan atau menambah syiar bagi agama Islam. Hal ini terbukti dengan begitu banyaknya upacara adat yang disangkutkan dengan agama atau upacara agama keagamaan baik berupa peringatan hari-hari besar Islam. Setiap acara keagamaan baik berupa peringatan hari-hari besar Islam ataupun lain-lain seperti masalah harta pusaka, perkawinan, tata pergaulan dalam masyarakat diatur oleh ketentuan adat sejauh tidak menyimpang dari akidah agama. Kalau kita berbicara dengan perkembangan kebudayaan di Aceh, secara tegas dapat dikatakan bahwa Aceh termasuk Wilayah Indonesia yang kaya budaya. Kekayaan ini meliputi seluruh aspek baik material maupun spirituil. Menurut catatan dari hasil inventarisasi dan reinventarisasi yang sudah dilakukan di Aceh terdapat lebih dari 200 buah objek kepurbakalaan yang terdiri dari Mesjid Kuno, Tugu kuno, Benteng kuno, Makam-makam kuno dan perpustakaan kuno. Dalam buku-buku sejarah pernah disebutkan bagaimana Sultan Ali Mughayatsyah, Sultan Al-Qahar, Sultan Saidil dan Sultan Iskandar Muda membuat kapal-kapal untuk melengkapi armadanya guna menyerang Portugis. 33
Kapal-kapal ini disebut cukup besar-besar. Hanya sayang sekali sisa ini secara fisik tidak ditemukan lagi. Mungkin saja karena terbuat dari kayu sehingga tidak mampu bertahan lama. Yang bersisa hanyalah berupa Mesjid-mesjid, Benteng-benteng dan lain-lain yang ikut mengagumkan kita. Kita katakan mengagumkan adalah karena dari salah satu sisa yang terdapat sekarang ini ditemui sebuah kuburan yang batunya lebih dari 12 ton beratnya. Disamping sisa warisan masa lampau, untuk keperluan hidup sehari-hari rakyat Aceh telah pula membuat bermacam-macam alat keperluan. Keperluan itu meliputi rumah tempat tinggal, alat-alat pertanian, alat penangkapan ikan dan lain sebagainya. Alat-alat itu sudah cukup berarti untuk membantu mereka dalam menempuh hidup dari waktu kewaktu. Diantara alat-alat spisifik Aceh itu ialah : Rumah Aceh. Mengenai bentuk, fungsi dan kegunaannya telah dijelaskan dalam bentuk-bentuk arsitektur yang terdapat pada bangunan Museum Negeri Aceh, yaitu pada bahagian terdahulu. Rencong. Rencong adalah sejenis senjata khas Daerah Aceh. Demikian khasnya sehingga julukan untuk Daerah Aceh selain disebut "Serambi Mekkah" terkenal pula sebagai "Tanah Rencong". Dalam masyarakat Aceh rencong bernilai sebagai benda pusaka yang dipergunakan oleh seluruh masyarakat terutama kaum pria. Kenyataan membuktikan bahwa pria Aceh hampir tak dapat dipisahkan, karena kemana saja mereka pergi selalu membawa rencong. Ada tiga fungsi rencong dalam penggunaannya sehari-hari; Pertama, rencong sebagai senjata dalam perkelahian maupun peperangan Kedua, rencong sebagai alat perhiasan sehari-hari bagi pria Aceh. 34
Ketiga, rencong sebagai alat-alat perkakas, misalnya dalam perbuatan rumah. Rencong telah dikenal sejak berdirinya Kerajaan Aceh kirakira abad ke-I 3. Dalam evolusi mencapai kesempurnaan seperti yang kita lihat sekarang ini rencong banyak berorientasi pada kepercayaan Islam. Bagian-bagian dari rencong mulai dari gagang sampai ke ujung yang runcing mempunyai bentuk-bentuk tertentu, sehingga memperlihatkan suatu kombinasi yang menarik yang merupakan penjelmaan dari kata-kata "Bismillah" dalam aksara Arab : Mengenai penggolongan rencong dalam beberapa jenis didasarkan pada bentuk gang atau sumbunya. Bentuk gang inilah yang memberikan keistimewaan yang tidak kita jumpai pada senjata tajam lainnya. Gagang yang melengkung sangat memantapkan pegangan sipemakai rencong sehingga tak mudah terlepas. Hal inilah yang menyebabkan rencong dikenal sebagai senjata sakti yang ampuh dalam perang kemerdekaan maupun dikala melawan Jepang, Belanda dan Portugis dahulu. Pada waktu ini rencong selain sebagai benda pusaka yang bernilai bagi masyarakat Aceh, kita kenal pula sebagai benda souvenir. Ada rencong yang gangnya dibuat dari tanduk, gading atau gang yang dibalut dengan suasa atau emas. Jenis-jenis rencong yang dikenal dalam masyarakat Aceh yaitu rencong Meupucok, rencong meucugek, rencong pudoi dan rencong meukuree. Selain rencong masih terdapat juga senjata tajam jenis lainnya seperti peudeung (pedang), parang dan lain-lain. Pemberian nama terhadap sebilah pedang di dasarkan kepada bentuk gagang ataupun bentuk gagang ataupun bentuk matanya. Nama yang diberikan berdasarkan bentuk gagang yaitu Ulee iku mie, ulee babah buaya, ulee lungke rusa, ulee tumpang beuenteueng, ulee meuapet, dan lainlain. Sedangkan nama berdasarkan bentuk mata disebut peudeueng on jok, peudeung on teubee. 35
PERHIASAN Memakai perhiasan merupakan hal yang lazim kita lihat disetiap masyarakat, demikian pula di masyarakat Aceh. Ada di antara perhiasan itu hanya dipakai pada waktu tertentu saja misalnya upacara perkawinan ataupun upacara resmi lainnya. Berbagai di antara perhiasan orang Aceh telah merupakan perhiasan tradisional yang telah diwariskan secara turun temurun, diantaranya ada yang sangat langka ditemukan. Bilakah waktunya perhiasan-perhiasan ini mulai dikenal dalam masyarakat Aceh belum dapat dipastikan. Dilihat dari penggunaan maupun bentuk perhiasan ini beraneka ragam. Jenisjenis perhiasan pada umumnya dipergunakan oleh wanita yang biasa kita lihat di daerah-daerah bagian Utara, Barat dan Timur Propinsi Daerah Istimewa Aceh adalah sebagai berikut : — Perhiasan yang digunakan di rambut disebut "coelok ok" atau coelok langoy, — Perhiasan yang digunakan di dahi bentuknya seperti mahkota disebut "patham dhoi", — yang digunakan di telinga disebut Subang dan anting-anting gluenyocng (anting-anting telinga), — perhiasan yang digunakan di leher disebut taloe takue (tali leher) dan kiah takoe, — perhiasan yang digunakan di dada antara lain kawet bajee, berbentuk bulan sabit, bertali emas disematkan di baju di dada bagian kanan. Ganceng, bentuknya seperti bulan sabit dihubungkan dengan rantai dan digantungkan pada leher hingga biasanya terletak di dada. Seurapi, berbentuk bintang, biasanya disematkan di dada bahagian kiri. Semplek, perhiasan berbentuk bintang dan dirangkaikan dengan rantai yang digantungkan pada kedua pundak dengan cara menyilang (simplah) di atas bahagian dada dan bahagian belakang. Boh Ca' ie, bentuknya seperti laba-laba 36
disematkan pada baju di dada sebelah kiri atau kanan. Bah keuralep, bentuknya seperti kecoa, disematkan di dada. Semua perhiasan yang digunakan di dada ini dibuat dari emas, tapi ada juga yang dari perak dan suasa. — Perhiasan yang digunakan di pinggang disebut taloe pending atau taloe keuing (ikat pinggang), berbentuk lempengan-lempengan logam yang digabungkan, terbuat dari perak, suasa dan emas. — perhiasan yang digunakan di tangan terdiri dari gleung jaroe (gelang tangan), dibuat dari emas, perak dan suasa di pakai pada tangan kanan atau kiri. Taloe jaroe (tali jari), dipakai di atas tangan. Sawe, dipakai pada tangan kanan bawah dibuat dari emas, — yang digunakan di jari terdiri dari euncin (cincin), bentuknya bermacam-macam, terbuat dari emas, perak atau suasa. Euncin droo geunteun cincin yang dihiasi dengan butir-butir permata kecil. Euncin cap, sejenis cincin stempel, — yang digunakan di kaki disebut gleung gaki (gelang kaki), berbentuk lingkaran dipakai dipergelangan kaki, dibuat dari emas, perak atau tembaga, sedangkan berat perhiasan antara 5 sampai 8 bunkai atau 270 hingga 432 gr, tetapi ada juga yang sampai VA Kg. Gelang kaki biasanya dipakai oleh anak-anak perempuan hingga ia meningkat dewasa (gadis). Weeng teubee Weeng teubee yaitu sejenis alat tehnologi tradisional yang dipergunakan untuk menggiling tebu. Weeng teubee terdapat dua jenis ada yang kecil dan ada yang besar. Jenis yang kecil biasanya ditarik dengan tangan manusia jika sedang memeras air tebu dan ukuran besar ditarik dengan kerbau. 37
Peuneurah Salah satu alat tehnologi tradisional lainnya disebut peuneurah. Peuneurah bermakna alat untuk memeras minyak kelapa. Kelapa yang telah dikukur, lalu diperas untuk beberapa hari yang kemudian dijemur. Mula-mula minyaknya diambil yang diperas dengan tangan dan kemudian bila tidak sanggup lagi diperas dengan tangan haruslah dipergunakan "Peuneurah" sebagai alat pemerasnya. Jeungki Alat tehnologi tradisional bidang pertanian yang terdapat di Aceh terutama adalah jeungki. Fungsi utama dari jeungki adalah alat untuk menumbuk padi atau memproses padi menjadi beras yang sudah siap untuk dimasak menjadi nasi. Disamping itu oleh karena bentuknya, jeungki dapat pula dipergunakan sebagai alat penumbuk bahan-bahan yang lain seperti menumbuk tepung, eunping, sagu, kunyit, ketumbar dan lain-lain. Perkembangan Kebudayaan dari segi etika dan tata cara pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat yang lazim dipatuhi di Aceh juga mempunyai corak tersendiri. Sebagian besar tata cara pergaulan dalam masyarakat diatur sesuai dengan ajaran Islam. Ketetapan tambahan dari adat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Perkembangan kebudayaan dari sudut kesenian di Propinsi Daerah Istimewa Aceh juga mempunyai Situ bentuk perkembangan yang khusus. Untuk melihat hasil-hasil kesenian yang terdapat di Aceh dapat digolongkan ke dalam : 1. Seni Rupa : Yang dapat digolongkan dalam seni rupa adalah seni bangunan, seni pahat, seni lukis, seni kerajinan dan seni dekoratif. a. Seni Bangunan, hasil utama seni bangunan Aceh adalah Rumoh Aceh. Rumoh Aceh dibuat tinggi di atas tanah. Di bangun di atas sejumlah tiang-tiang besar yang tempat tegaknya beraturan. Denahnya berbentuk segi 38
empat. Tinggi lantainya 2 sampai 21/2 meter. Rumoh Aceh membujur lurus dari Timur ke Barat. Maksudnya menunjukkan arah kiblat. Selain Rumoh Aceh, seni bangunan Aceh yang lainnya berupa Mesjid-mesjid, Bale Pengajian, Menasah dan lain-lain. Mesjid yang ada di Aceh pada masa dulu umumnya dibuat dengan atap yang bertingkat-tingkat seperti umumnya mesjid di wilayah Indonesia yang lain. Pada waktu akhir-akhir ini mesjid di Aceh sudah banyak dipengaruhi oleh ciriciri bangunan mesjid Timur Tengah dan India yakni berkubah bawang dan pintunya berbentuk lengkung. Bangunan Meunasah dahulunya juga dibuat berbentuk Rumah Aceh. Untuk membedakan dengan rumah kediaman, pada meunasah diperlengkapi dengan perlengkapannya seperti kolam air, beduk, juga meunasah membujur dari Utara ke Selatan. b. Seni Pahat. Seni pahat yang banyak berkembang di Aceh adalah berupa ukiran-ukiran Kaligrafi yakni menstilir huruf Arab dari ayat-ayat Al-Quran ke dalam bentuk yang indah. Ukiran kaligrafi ini banyak dijumpai pada mesjid-mesjid, pintu-pintu rumah, makam-makam kuno, mimbar-mimbar mesjid dan lain-lain. Diantara mimbar mesjid yang terukir indah terdapat pada mimbar mesjid "Indrapurwa" Kecamatan Peukan Banda Aceh Besar pada mimbar mesjid "Meudinah" di Meureudu, Pidie. Sedangkan ukiran pada kuburan sangat banyak dijumpai dan yang terkenal terdapat pada makam Sultanah Nahrisah di Pasai, Aceh Utara yang diukir di atas marmar. Selain berbentuk kaligrafi ukiran lainnya adalah berbentuk arabesk yaitu berupa daun-daunan yang diukir pada dinding, pintu atau bagian-bagian lainnya dari rumah Aceh atau Mesjid. c. Seni lukis. Perkembangan belum dapat dikatakan menonjol. Hal ini mungkin disebabkan sarana untuk ini dari zaman dahulu tidak memadai. Lukisan-lukisan
yang sering dijumpai umumnya berupa hiasan tumpal, anyaman, pinggir awan yang dilukiskan pada bagianbagian tertentu dari kitab-kitab suci dan lain-lain. d. Seni dekoratif. Seni dekoratif atau seni ragam hias Aceh yang paling menonjol adalah seni kerajinan emas, anyaman tikar dan tirai. Seni dekoratif lainnya terdapat dalam bentuk tirai langit-langit ataupun rumbai. Tirai biasanya dibuat dari kain yang berwarna dasar keras seperti merah, hijau, biru tua dan kuningan. Kain rumbai yang dijahit dipinggir langit-langit berbentuk seperti kembang yang dibuat dari sisa-sisa jahitan. 2. Seni Gerak : Seni ini pada umumnya berupa tari-tarian. Namun ada pula yang berupa seni bela diri seperti pencak silat. Sesuai dengan kepercayaan Masyarakat Aceh seni tari ini ditinjau dari latar, belakang dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu berlatar belakang adat dan agama serta berlatar belakang mithe dan legentde. Yang berlatar belakang adat dan agama antara lain : Seudati, Saman, Meusaukat, Likok Aceh, Ular-ular lembing, peulebat. Yang berlatar belakang mithe dan legende antara lain : Tari Guel, Bines, Pho, Alée tunjang. . Adapun seni bela diri berupa silat daerah /ang sangat menonjol adalah Aceh Selatan dan Pulau Simeulu. Akan tetapi pada akhir-akhir ini hampir merata seluruh Aceh terutama sejak dijadikan sebagai sa olah raga yang dipertandingkan. 3. Seni Suara : Seni suara dapat dibagi atas tiga bagian yakni, seni suara Vokal, seni instrumental dan seni sastra. a. Seni suara Vokal di Aceh biasanya bernafaskan Islam. Hal ini tidak lain karena seni suara tradisional pada lazimnya sebagai ungkapan perasaan terhadap kepercayaan dan agama yang sangat meluap-luap. Seni Vokal 40
di Aceh berasal dari zikir Pujian kepada Tuhan atau Nabi. Disamping itu ada pula seni vokal berbentuk pembacaan syair/pantun yang di Aceh disebut "baca Hikayat" dan "Meunasib". Pembacaan Hikayat sering dilakukan di Meunasahmeunasah dan Meunasib biasanya pada sesuatu pertunjukan seperti pasar Malam. Dalam bentuk yang terakhir ini dilakukan sekurang-kurangnya dua orang secara bersahutan. Seni Instrumental. Seni instrumental ialah seni suara yang menggunakan alat-alat yang memperdengarkan suara seperti alat tiup alat gesek dan alat pukul. Instrumen tradisional yang bernada lengkap tidak terdapat di Aceh. Yang ada hanyalah alat-alat musik ritmis seperti Gendang, Rapai dan Suling. Dalam bentuk komposisi hanya di Aceh Tenggara tetapnya Kutacane berkembang canang kecapi. Tetapi belum diketahui dengan jelas dari mana asal usul canang kecapi tersebut. Di Aceh Besar terdapat alat musik tiup yang disebut "Seureune Kale". Dewasa ini permainan seureune kale sudah dikembangkan untuk mengiringi tari-tarian daerah. Seni Sastra. Untuk melihat perkembangan seni sastra di Aceh perlu kita lihat perkembangan kedua jenis sastra ini : — Bentuk Prosa : Bentuk prosa dalam bahasa Aceh jarang sekali ditemui. Bentuk prosa yang berkembang di Aceh dari waktu ke waktu adalah dalam bahasa Melayu berhuruf Arab. Di Aceh bahasa ini dikenal dengan sebutan bahasa "Jawoe" (Jawi ?). Bahasa jawo ini hampir merupakan bahasa tulisan yang terdapat dalam lingkungan Kraton Aceh masa lalu. Isinya biasanya surat-menyurat Kerajaan mengenai Kerajaan dan mengenai Ke Agamaan. Bentuk prosa ini
telah melahirkan kitab-kitab terkenal mengenai ilmu pengetahuan agama, filsafat, Kenegaraan dan Adat-istiadat. Tokoh-tokoh penulis terkenal antara lain : — Syekh Syamsuddin As-Sumatrani. Nama lengkapnya ialah Syekh Syamsuddin Bin Abdullah Assamathani yang lahir di Pasai dan wafat tahun 1630 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Buku-buku karangan beliau antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
Miratul Mukminin. Al-Haraqah. Miratul Iman. Miratul Qulub. Tanbihllah.
— Nuruddin Arraniry. Beliau lahir di Gujarat, India. Nama lengkapnya Syekh Nuruddin Ibnu Hasany Ibnu Muhammad Arraniry. Buku-buku karangan beliau antara lain : 1. Siratul Mustaqim. 2. Bustanusalatin. 3. Saduddin Masyud al Fatsazmi. 4. Durrat al Farid bi Syariful Aqaid. — Syekh Abdurrauf Singkel. Nama sebenarnya Abdurrauf bin Ali al - Jawi il Fansuri as Singkili. Buku-buku beliau yang terkenal antara lain : 1. 2. 3. 4.
Bayan Tajalli. Kifayat al Muhtayin. Mandat Al Muhtadin. Miratul Tullab fi tasyal Mahrifatul Ahkam Asyyar. 5. Hudayah Balighah Ala Jumat al Muhamsamah.
42
— Hamzah Fansuri. Ia hidup sekitar abad ke 16 dan 17. Selain menulis puisi berupa syair-syair ia juga menulis dalam bentuk prosa. Tulisannya juga dalam bahasa Jawo, antara lain : 1. Sainatul Muwahhidin. 2. Asrar Al - Arif in fi Bayani, ilmu assuluqi wal tauhid. 3. Syarah rubai Hamzah Fansuri. — Tengku Chik Kuta Karang. Nama aslinya Syekh Abbas Ibnu Muhammad. Beliau hidup pada pertengahan terakhir abad ke 19. Karya-karya beliau yang terkenal antara lain : 1. Tazkiratul Rakidin. 2. Maw'idhat al - Ikhwan. — Bentuk Puisi : Bentuk Puisi adalah seni sastra yang berkembang dengan sangat subur di Aceh. Kalau bentuk prosa belum ditemukan dalam bahasa Aceh, maka bentuk puisi ini hampir seluruhnya dalam bahasa Aceh, dengan huruf Arab. Yang tertulis dalam bahasa Jawo adalah karya pujangga Hamzah Fansuri berupa syair-syair antara lain : 1. 2. 3. 4.
Syair Syair Syair Syair
Dagang. Burung Pingai. Perahu. Sidang Fakir.
Tulisan-tulisan berbentuk puisi dalam bahasa Aceh yang telah dapat diketahui sampai sekarang ini lebih dari 200 buah. Yang paling terkenal diantaranya adalah hikayat "Pran Sabi" yang ditulis oleh Ulama besar Tengku Chik Pante Kulu. Tengku Chik Pante Kulu hidup pada akhir abad ke 19. 43
Buku "Hikayat Prang Sabi" karangan beliau sangat menggugah semangat rakyat Aceh melawan Belanda. Oleh karena itu Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan buku itu sebagai bacaan terlarang. Diantara hikayat-hikayat, kisah-kisah, silsilah-silsilah, haba-haba, Risalah-risalah dan panton-panton terkenal adalah : Hikayat : — — — — — — — — — —
Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat Hikayat
Malem Diwa. Indra Bangsawan. Abu Syamah. Abdo Mulok. Abu Nawaih. Banta Ahmad. Beuransah. Banta Ali. Meudeuhak. Jaka Bodo.
Kisah : — — — — — — —
Kisah Kisah Kisah Kisah Kisah Kisah Kisah
Peudeuman hudep. Nasib sengsara. Bungong Keumang. Seuramoe Makah. Keuneubah Jameuen. Syuhada Jameuen Nabi. Si Dara Laknat.
Haba: — — — — 44
Haba Haba Haba Haba
Ni Keubayan. Simeuseukin. Bate meutungkop. Raja Jameuen.
Kitab : — Kitab tambeh tujoh blah. — Kitab Munayat. — Kitab Nadlam Sipheut. — Kitab Ratep Inong. Risalah : — Risalah — Risalah — Risalah — Risalah
Hiem. Abdoraman Abdokarim. Bijeh. Narit Geutanyo.
Panton : — Panton Aneuk miet. — Panton Nasehat. — Panton Ureueng Tuha. Setelah kita melihat puisi-puisi di atas maka hampir semua isinya berupa sejarah nasehat, legende dan mithe. Hikayat yang berisikan fabel atau cerita binatang sangat sedikit. Cerita berisikan fabel yang ditemukan antara lain hikayat peureulieng. Hikayat Peulandok Pance, dan Hikayat Rubek Peulandok. Walaupun demikian tidaklah berarti dalam masyarakat Aceh tidak tersebar cerita-cerita binatang. Cerita binatang biasanya diceritakan secara lisan dari mulut ke mulut. Cerita ini sangat mengasyikkan bagi pendengarnya terutama anak-anak. Di menasah-menasah atau surau pada saat menjelang tidur selalu diceritakan oleh orang tua-tua. Nenek-nenek sering pula mendongeng kepada cucunya.
45
SISTIMATIKA PAMERAN DI MUSEUM NEGERI ACEH : Kehadiran Museum Negeri Aceh merupakan salah satu usaha ke arah melengkapi sarana Pembinaan Kebudayaan Nasional. Melalui Museum Negeri Aceh diharapkan dapat turut serta menjaga nilai-nilai budaya untuk menghindari cepatnya proses lepas akar serta kepunahan kepribadian bangsa. Dengan difungsikannya museum ini pada tanggal 1 September 1980 usaha tersebut telah mulai dirintis antara lain dengan kegiatan pameran tetap, pameran khusus dan pameran keliling. Pada pameran tetap benda-benda koleksi yang dipamerkan dikelompokkan dalam berbagai aspek yang meliputi : — — — — — —
Lingkungan alam, Kebudayaan Prasejarah, Kebudayaan Islam, Kelompok Ethnis, Kebudayaan Tradisional, Sejarah.
Kelompok lingkungan alam menggambarkan wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dengan menunjukkan pembagian wilayah Administratif Pemerintahan Kabupaten/Kotamadya, kota-kota serta perkembangannya, relief lingkungan dan kekayaan alam yang merupakan sumber potensi daerah, seperti mineral, batu-batuan, gas alam, uan lain-lain, baik yang telah diolah maupun yang belum. Dalam kelompok ini juga dipamerkan kehidupan fauna dan flora di Daerah Istimewa Aceh. Kelompok lingkungan alam ini ditempatkan di lantai pertama. Kelompok Kebudayaan Prasejarah memperlihatkan peninggalan tertua di daerah Aceh, walaupun sisa-sisa peninggalan ini tidak banyak dijumpai. Salah satu peninggalan prasejarah di daerah Aceh adalah "Bukit Kerang" yang terdapat di sepanjang pantai timur Aceh, mulai dari Lhoksemawe sampai ke perbatasan Propinsi Sumatera Utara. Bukit Kerang ini menunjukkan berakhirnya sistim hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Kelompok ini dalam tata pameran Museum Negeri Aceh dijumpai di lantai pertama. 46
Kelompok Kebudayaan Islam menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh yang sejak masuknya kebudayaan Islam telah mengisi seluruh aspek kehidupannya. Namun demikian tidak seluruh peninggalan Islam di Daerah Aceh dipamerkan di sini. Yang dipamerkan adalah identitas Islam yang menonjol dan mewakili peninggalan Islam di daerah ini. Salah satu diantaranya adalah seni membuat batu nisan yang menunjukkan kekhususan kebudayaan Islam di daerah ini. Dari seni membuat batu nisan ini dapat dilihat pengaruh Islam yang luas dalam perkembangan seni ukir, seni pahat, seni kaligrafi, dan ragam-ragam hias dengan motif perpaduan antara daun-daunan, bunga-bungaan dan lain-lain. Semua unsur seni tersebut terlihat pada batu-batu nisan yang tersebar di seluruh Aceh; baik yang terbuat dari perunggu, batu pualam, daunpun yang terbuat dari jenis batu lainnya. Kelompok kebudayaan Islam ini dapat dijumpai pada lantai pertama gedung pameran tetap Museum Negeri Aceh. Kelompok ethnis memperlihatkan kepada pengunjung kelompok-kelompok adat dan bahasa yang terdapat di Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan penelitian, di Daerah Aceh terdapat delapan kelompok ethnis yang masing-masing mempunyai adat-istiadat dan bahasanya sendiri. 1. Aceh; kelompok ethnis tersebar yang mendiami hampir seluruh Daerah Aceh. 2. Gayo; kelompok ethnis yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tengah dan sebagian daerah Kabupaten Aceh Tenggara. 3. Alas; kelompok ethnis yang mendiami daerah Kabupaten Aceh Tenggara. 4. Tamiang ; kelompok ethnis yang mendiami beberapa kecamatan di daerah Aceh Timur yang berbatasan dengan Sumatera Utara. 5. Aneuk Jamee ; kelompok ethnis yang mendiami daerah pesisir pantai Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan.
6. Kluet; kelompok ethnis yang mendiami Kecamatan Kluet Utara dan Kecamatan Kluet Selatan di Kabupaten Aceh Selatan. 7. Pulo ; kelompok ethnis yang mendiami Pulau Simeulue, Kabupaten Aceh Barat dan Pulau-pulau Banyak Kabupaten Aceh Selatan. 8. Singkil ; Kelompok etnis yang mendiami Singkil Hulu Kabupaten Aceh Selatan. Identitas kelompok-kelompok ethnis ini diperlihatkan dalam bentuk pakaian daerah masing-masing; namun belum semua kelompok ethnis tersebut dapat dipamerkan pakaiannya. Kelompok ethnis ini dapat dilantai pertama gedung pameran tetap. Kelompok Kebudayaan Tradisional memperlihatkan kelengkapan kebutuhan kehidupan masyarakat secara keseluruhan yang meliputi perhiasan, senjata, alat-alat rumah tangga, mata pencaharian, permainan rakyat, teknologi tradisional, kesenian, dan kehidupan keagamaan. Benda-benda perhiasan yang dipamerkan meliputi perhiasan yang dipakai oleh wanita sejak dari kanak-kanak sampai orang dewasa, seperti gelang kaki, gelang tangan, penghias kepala dan perhiasan-perhiasan lainnya. Demikian pula dengan perhiasan yang dipakai oleh kaum lelaki. Senjata tradisional meliputi senjata tusuk dan senjata telak. Senjata tusuk terdiri dari rencong dalam berbagai bentuk, siwah dan lain-lain. Senjata tetak terdiri dari berbagai bentuk pedang. Peralatan rumah tangga yang dipamerkan dalam pameran tetap Museum Negeri Aceh yaiu jenis-jenis lampu tradisional yang menggunakan minyak kelapa, baik yang dibuat dari tanah liat maupun dari logam, benda-benda yang digunakan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat seperti tempat sirih dari tembaga, suasa, dan emas; alat-alat untuk meminang, upacara perkawinan, dan lain-lain. Selain itu dalam kelompok kebudayaan tradisional ini juga 48
dipamerkan benda-benda peralatan dapur dan benda-benda permainan rakyat, seperti gasing, layang-layang, sepak raga, dan lain-lain. Dalam bidang mata pencaharian dipamerkan cara-cara pengolahan sawah dan ladang yang disertai dengan alat-alat pertanian dan hasil-hasilnya, sistim perburuan, perikanan, pengangkutan, dan perdagangan, serta alat-alat dan benda-benda yang menyangkut dengan bidang masing-masing. Dalam teknologi tradisional dipamerkan peralatan, proses pembuatan dan hasilnya, seperti pembuatan gula tebu, minyak kelapa, benda kayu dan logam. Dalam bidang kesenian/kerajinan tradisional dapat dilihat peralatan, proses pembuatan dan hasil-hasilnya dengan menggunakan peralatan tradisional di bidang pertenunan, tembikar, seni kerajinan perak, seni musik, dan lain-lain. Kelompok kebudayaan tradisional ini ditutup dengan gambaran perkembangan Islam di Daerah Aceh. Kelompok ini dapat dilihat pada lantai dua, lantai tiga, dan sebagian lantai empat pada gedung pameran tetap. Kelompok terakhir yang dipamerkan Museum Negeri Aceh adalah kelompok sejarah yang menggambarkan pertumbuhan, perkembangan, dan aktifitas kerajaan Aceh dahulu dalam bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Pada kelompok ini diperlihatkan benda-benda peninggalan sejarah, mata uang Kerajaan Aceh, keramik asing. Bagian terakhir dalam kelompok ini diperlihatkan perjuangan rakyat Aceh dalam mempertahankan Tanah Air.
49
50.
Bukit kerang merupakan sisa peninggalan prasejaran yang terdapat di Aceh.
Lempengan emas yang terdapat pada kerenda mayat, hasil ekskapasi yang dilakukan di Taman Gunongan Banda Aceh.
51
Kupiah meukutob.
52
Patham dhoi- (perhiasan wanita yang dipergunakan di kepala).
Gleueng jaroe (gelang tangan).
53
Gleueng gaki (gelang kaki).
Culok ok atau culok langeoy (tusuk kunde).
54
Ganceng Ihee (perhiasan yang digunakan di dada).
Talo taku (kalung).
55
Seurapi.
56
Kiah taku (perhiasan yang dipakai di leher).
Keureusang (bros) yang dipakai oleh wanita di dada.
57
M$ $ 0
ft
Berbagai jenis perhiasan wanita.
v
5g
?
Cupeng (penutup kemaluan anak perempuan yang masih kecil).
*
Rincong meupucok.
Rincong meucugek.
59
_
r
Rincong meutampok yang digagangnya terbuat dari emas dan sarung dari kayu.
60
Panyot dong (lampu minyak kelapa).
62
Jenis-jenis labu (kendi).
63
Keukarah, berfungsi sebagai tempat sirih.
Bola keranjang.
64
Peuneurah (alat untuk memeras minyak kelapa).
Weeng teube (alat penggilingan tebu).
65
Teupeuen ija (alat tenun kain).
Jangkat (sejenis alat pengangkut).
66.
Karya seni pahat.
Motif-motif lukisan.
67
Al Qur'an tulisan tangan.
* :
:
j ;
* ,
:
:
: .
1
; : : .
1
,
;
lil
u
^fû i
f
Mata uang emas
f'
t * 14L
Salah satu keramik.
69
i*
Bendera yang dipergunakan di dalam perang rakyat Aceh melawan Belanda.
Panji-panji perang yang dipergunakan dalam perang Cut Ali di Bakongan.
70.
Peudeueng meutampok.
Sejenis meriam hasil kerja sama tehnik antara Kerajaan dengan Turki.
71
^34lQ?4