Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia
EDITORIAL Bilingual Newsletter
Editorial .................. 1 Fokus ...................... 3 Fitur ...................... 18 Kronik ..................... 21 Refleksi .................... 30 Agenda .................... 32
Penanggung Jawab Elga Sarapung Pemimpin Redaksi Wiwin Siti Aminah Tim Redaksi Elga Sarapung, Wiwin Siti Aminah, Wening Fikriyati Setting/ Layout Ryo Emanuel Dokumentasi Margareta E. Widyaningrum Keuangan Eko Putro Mardianto, Fita Andriani Diterbitkan oleh Institut DIAN/ Interfidei Jl. Banteng Utama 59, Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia. Phone.:0274-880149. Fax.:0274887864 E-mail
[email protected] Facebook Institut DIAN/Interfidei Twitter @dian_interfidei Website http://www.interfidei.or.id
KEBHINNEKAAN, DEMOKRASI DAN HAKHAK WARGA NEGARA (2)
P
esta demokrasi tahun 2014 telah usai. Pemilihan Presidan dan Wakil Presiden sudah dilaksanakan secara langsung dan serempak di seluruh wilayah tanah air pada 9 Juli lalu. Terpilihnya Joko Widodo (JOKOWI) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 20142019 menyisakan banyak cerita, dari cerita yang menggembirakan, mengecewakan, menyedihkan sampai memuakkan. Pilpres kali ini sungguh diwarnai oleh banyak hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia. Pertama pilpres langsung kali ini hanya diikuti oleh dua pasangan yang memiliki karakter dan latarbelakang yang sangat kontras. Kedua, pilpres kali diikuti dengan antusiasme yang sangat besar dan dukungan yang luar biasa, khususnya dari kalangan anak muda. Munculnya
DIVERSITY, DEMOCRACY, AND THE RIGHTS OF THE CITIZEN (2)
T
he 2014 democratic celebration is over. The direct Presidential Election was done simultaneously throughout the whole regions in Indonesia on 9 July 2014. The election of Joko Widodo (JOKOWI) as the President and Jusuf Kalla (JK) as the Vice President of Indonesia for the year 2014 to 2019 has left the people with many stories ranging from those which are exciting, those which are disappointing, those which are heartbreaking, to those which are revolting. The 2014 General Election brings out a lot of new incidents which enrich Indonesian history. Among those incidents, there is the fact that there were only two Presidential pairings who had highly contrasting characters and backgrounds. There is also the great enthusiasm, support, and participation from the people, especially the youth. On top of that, there is also the phenomenon in which massive volunteer groups started to emerge in most parts of Indonesia. All this shows the great desire of the Indonesian people to have a leader who is pro-people, closer to the people, and can change the state of the Indonesian people to the better in all aspects of life, especially those with regards to the fulfillment of people's rights as
Newsletter Interfidei No. 2/XXIII Agustus - Desember 2014
1
Interfidei newsletter
Editorial fenomena kelompok relawan (khususnya untuk pasangan Jokowi-JK) yang massif di hampir seluruh wilayah Indonesia menunjukkan adanya keinginan yang besar dari rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang pro-rakyat, yang dekat dengan rakyat dan dapat mengubah keadaan rakyat Indonesia menjadi lebih baik di segala bidang kehidupan. Dengan terpilihnya pasangan Jokowi-JK, rakyat Indonesia semakin mempunyai harapan besar akan terjadi perubahan tersebut. Selamat membaca dan salam demokrasi!
Indonesian citizens. Such high expectations, of course, cannot necessarily be realized by having new leaders. Yet, they have to be accompanied by adequate support from the legislative and judiciary institutions. Above all, the support of the people is the most critical in the realization of these expectations. With this, the government can function well and the changes will be immediately experienced by the people of Indonesia. In this year's second edition, we deliver the same theme as the previous edition. Two papers will present the different dynamics of the experiences from the last Presidential Election; they are the one in South Sulawesi and the one in West Sumatra. As for the profile in this edition, we are presenting the profile of Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR, Institute of People for Education and Advocacy), South Sulawesi. Happy reading and Viva Democracy!
2
Edisi Agustus-Desember 2014
Focus
Interfidei newsletter
PILPRES 2014: ANTARA TERANG dan GELAP DEMOKRASI Oleh Abdul Karim Direktur Eksekutif LAPAR Sulsel
P
ilpres 2014 memberi banyak pelajaran yang harus kita petik. Kemenangan Jokowi-JK pada pilpres itu oleh sebahagian kalangan disebut sebagai kemenangan politik massa rakyat. Bahkan, kemenangan Jokowi-JK seringkali dipersepsi sebagai kebangkitan "reformasi kedua" negeri ini. Kaum terpelajar menyebutnya, bahwa kemenangan itu menandakan kesadaran politik warga mengalami kemajuan. Sebab mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa sama halnya mendukung pemerintahan pelanggar HAM, otoriter, dan tentu saja militeristik. Bangsa ini punya trauma kegagalan dipimpin tokoh militer mendiang Soeharto. Selama tiga dasawarsa lebih, Soeharto melalui politik pembangunan Orde Baru-nya terbukti gagal di hampir semua lini. Bahkan, rezim itu sukses mendidik-membesarkan pemimpin-pemimpin korup di negeri ini. Seluruh rakyat di negeri ini nampaknya frustrasi dengan situasi negara-berbangsa sepuluh tahun terakhir. Korupsi yang merajalela baik di tubuh institusi pemerintahan, maupun di tubuh Parpol, hingga ke lapis bawah, kemiskinan yang semakin meningkat secara kualitatif, hingga kekerasan antar umat beragama senantiasa mewarnai bangsa ini dalam sepuluh tahun terakhir. Rezim yang dipimpin SBY pun mengesankan kegagalan yang teramat sangat. Karena itu, kehadiran sosok calon pemimpin negeri seperti Jokowi menjadi penantian bagi masyarakat. Track record kepemimpinan putra asal Solo, Jawa Tengah ini tak diragukan; mulai ketika ia memimpin kota Solo dua periode, lalu menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi Capres 2014 ini--ia telah menunjukkan kualitas kepemimpinan dengan penuh pelayanan dan integritas tinggi. Dengan metode kepemimpinan blusukan, Jokowi mampu menarik simpati rakyat negeri ini. Sebab dengan
2014 PRESIDENTIAL ELECTION: BETWEEN THE LIGHT and THE DARK OF DEMOCRACY By Abdul Karim Executive Director of LAPAR South Sulawesi
T
he 2014 presidential election has provided many lessons learnt. Some people have regarded the victory of Jokowi-JK as the political victory of people power. It even perceived as the awakening of the second reformation in Indonesia. Some scholars seen this as the increasing of political awareness of the people, because choosing Prabowo Subianto-Hatta Radjasa considered as supporting violator of human rights, authoritarian and military oriented government. In addition, the nation had being traumatized by the Soeharto regime. For more than three decades, Soeharto through his political New Order development has failed in almost all lines yet has successfully produced corrupt politicians. All the people in this country seem to be frustrated by the situation of the state - nation in the last ten years. Rampant corruption in government institutions and political parties, the increasing number of poverty, as well as an on going inter-religious violence had coloring this nation in the past ten years. SBY-led regime additionally leaves some extreme failures. Therefore, the people have waited the presence of the country's future leader like Jokowi. The figure's leadership track record has no doubt proven; starting as the mayor of Solo for two periods, then the Governor of Jakarta until he was formally elected as the president in 2014. All in all Jokowi has shown his leadership integrity and quality as a down to earth leader. With the blusukan leadership style, Jokowi has successfully established an interactional relationship with the people. The style that finally attracts people's sympathy, as if they feel the man is part of them. The
Edisi Agustus-Desember 2014
3
Fokus praktek blusukan yang dipopulerkannya itu, ia menunjukkan wajah kepemimpinan yang melayani dengan penuh integritas. Ini pun menunjukkan bahwa rakyat negari ini merindukan pelayanan, bukan pidato tanpa action. Terlepas dari itu semua, kita tetap penting merefleksikan proses-proses Pemilu Pilpres 2014 pada 9 Juli lalu. Bagaimana kualitas demokrasi Pilpres Juli 2014 lalu? Apakah proses-proses itu bisa didefinisikan sebagai praktek demokrasi yang berkualitas tinggi, atau justeru proses itu tetap hanya sebagai prosedur-prosedur demokrasi semata? Relawan Politik dan Politik Relawan Pertama-tama mari kita simak fenomena "relawan" dalam pilpres 2014 ini. Jauh sebelum Jokowi resmi menjadi calon presiden berpasangan JK, di beberapa propinsi telah terbentuk paguyuban relawan yang mendorong/mendukung Jokowi maju sebagai capres. Ketika Jokowi resmi menjadi capres, "relawan" makin bertumbuh bak jamur. Belum pernah dalam sejarah republik ada gerakan yang berbasis kepada kesukarelaan (voluntarism) sedemikian besarnya seperti Pilpres 2014 lalu. Mungkin di dunia hanya ada dua, setelah Obama pada Pilpres 2008. Bahkan isu sektarianisme yang dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan massif tak berhasil meninju KO Jokowi. Ia tetap terpilih sebagai presiden RI ketujuh (Teuku Kemal Fasya; 2014). Menjamurnya relawan bisa ditandai sebagai fenomena politik baru pasca kemerdekaan republik ini 1945 silam. Di era kepemimpinan Orde Lama memang terdapat sejumlah relawan politik yang misalnya bekerja memantau proses pemilu. Tetapi mereka adalah relawan bentukan partai politik saat itu yang direkrut dari dalam tubuh partai politik. Berbeda dengan relawan dalam konteks Jokowi ini, mereka mendeklarasikan diri atau komunitasnya sebagai relawan, dan sebahagian besar bukan berasal dari kader partai politik pengusung Jokowi-JK. Uniknya, relawan ini berselancar di dunia maya dan dunia nyata. Sementara di zaman Orde Baru, ruang hadirnya relawan-relawan politik ditutup rapat oleh rezim yang berkuasa. Ini terjadi sebab rezim Orde Baru memang tak memberi kesempatan bertumbuhnya aktivis-aktivis politik yang berbeda pandangan dengan rezim di segala level. Demokrasi benar-benar terpasung. Relawan politik hanya bisa tumbuh dalam iklim demokrasi yang terbuka. Aspek itu pulalah yang memungkinkan mengapa relawan-relawan Jokowi tumbuh subur. Sebab mereka hadir dalam ruang demokrasi yang terbuka kendatipun kualitas demokrasi secara objektif masih sangat mencemaskan. Dibandingkan dengan era Orde Baru, kita tak menemukan relawan yang sama. Sebab di zaman gelap
4
Edisi Agustus-Desember 2014
Interfidei newsletter people has found the missed leader, who do more action rather than those who merely talking. In spite of it all, it is important to reflect the presidential elections' processes on July 9th 2014. How was the democracy's quality of the presidential election? Are these processes valued the high quality of democracy or just a mere queasy democracy? Political Volunteers and The Politics of Volunteers First of all, it is interesting to point out the phenomenon of " volunteers " in the 2014 presidential election. A number of volunteers' groups supporting Jokowi to be a candidate of president have been spread in several provinces long before Jokowi officially pointed as a presidential candidate. It is after the official announcement of candidacy; the volunteers had increasingly growing like mushrooms. Never before in the history of the republic there was a movement based on a massive voluntarism such as the 2014 presidential election. In fact, perhaps, there are only two in the world: The Jokowi's and the Obama's presidential election of 2008. Furthermore, even the issues of sectarianism were structurally, systematically, and massively mobilized, it failed to kick Jokowi down. He still elected as the 7th president of the Republic of Indonesia (Teuku Kemal Fasya ; 2014). The proliferation of volunteers can be pointed out as a new political phenomenon of the republic postindependence after 1945. In the Old Order era, there were a number of political volunteers who monitored the electoral process. However, these volunteers formed by political parties and indeed they were members of the parties. In contrast, the volunteers of Jokowi, came from a wide range of community, in fact, some of them were non-partisans of the parties that nominate Jokowi-JK. Uniquely, these volunteers worked massively utilizing cyberspace and the real world. In the New Order era, similarly, the presence of volunteers chamber had sealed by the political regime. This due to the New Order regime limited the space for political activists. Accordingly, there was no room for freedom of speech at all levels. Volunteers' politics can only grow in a climate of open democracy. It is precisely why the volunteers of Jokowi may flourish. They were living in an open democratic space in spite of the poor quality of democracy. In the New Order era, additionally, there seems no
Focus
Interfidei newsletter itu, urusan politik dijauhkan dari perkara masyarakat kebanyakan. Yang berkembang saat itu adalah teknokrasi politik; politik diatur oleh segelintir teknisi politik, yakni pegiat partai politik. Politik bukan urusan rakyat, tetapi urusan partai politik dan sejumlah elit. Selama lebih dari tiga puluh dua tahun, kita mendapatkan pelajaran penting dalam kerangka memperkuat demokrasi. Kehadiran relawan politik ini juga mampu mencairkan praktek politik beku, kikuk, dan menegangkan, sebagaimana yang kita saksikan dalam sepuluh tahun terakhir. Relawan dalam konteks ini menjadikan politik sebagai ajang kegembiraan bersama. Tak ada sekat-sekat perbedaan identitas. Tak ada batasbatas etnik, agama, suku, kelas sosial, latar belakang kehidupan, dan profesi dalam relawan. Mereka menyatu dalam nafas yang sama; "relawan pemenangan JokowiJK". Di sini kemudian kita temukan bahwa kehadiran "relawan politik" pada intinya mencerminkan "kebhinekaan yang solid" dalam politik. Komunitas relawan berperan penting dalam memenangkan Jokowi-JK. Lihatlah kembali misalnya, bagaimana sekelompok warga dari berbagai latar belakang mendeklarasikan diri dan komunitasnya mendorong dan memenangkan Jokowi sebagai presiden ke tujuh republik ini. Saat kampanye pilpres misalnya, di lapangan Gelora Bung Karno, ribuan massa berkumpul menantikan Jokowi. Yang terbaru, saat momentum pelantikan Jokowi-JK sebagai presiden/wakil presiden pada 20 Oktober lalu, ratusan ribu massa berkumpul di Senayan menanti Jokowi-JK. Mereka berasal dari latar belakang dan profesi. Dengan demikian, sebuah pelajaran penting pantas didengungkan di sini bahwa keragaman status sosial dalam politik relawan tidak menjadi persoalan dalam kebhinekaan kita. Dan fenomena ini pun menunjukkan bahwa kebhinekaan adalah kekuatan demokrasi, serta sebagai potensi sosial politik yang cukup signifikan. Dan fenomena ini barangkali bisa didefinisikan sebagai tanda bahwa pilpres 2014 ini memiliki legitimasi politik yang kuat dibanding pilpres 2004 dan pilpres 2009. Sebab partisipasi relawan politik bukan hanya di bilik suara, tetapi sejak awal (sebelum Jokowi maju sebagai capres) mereka sudah bertumbuh di mana-mana, meneriakkan agar Jokowi maju sebagai Capres. Prosedur Demokrasi Meskipun dukungan sosial politik dari relawan politik Jokowi dalam pilpres 2014 ini sangat signifikan, tetapi itu tidak dapat serta merta disimpulkan bahwa pilpres kali ini telah bergerak di ranah substansi demokrasi. Sebab, sejumlah pemandangan juga menunjukkan bahwa pilpres 2014 ini hanya kuat di ranah prosedural demokrasi dam kosong melompong di ranah
such kind of volunteers. Public matters mostly separated from political affairs. It was political technocracy practiced at the time; the politics governed by a handful of political technicians, namely the activists of political parties. Politics is not the affairs of the people, but the affairs of political parties and elites. For more than thirty-two years, some important lessons on strengthening democracy learned. The presence of political volunteers, who has played important roles in winning Jokowi-JK, has also changing the rigid, tense, and clumsy styles of political practices as we have seen in the past ten years. Politics embraced by these volunteers, was a politics of command good. There were no identity barriers. There were no boundaries of ethnicity, religion, or social class. They came from all walks of life. They were united under the banner of "Jokowi- JK winning volunteers". In this context, hence, the presence of "political volunteers” reflected "unity in diversity" of political practices. Tracing back to 2014, how some groups of people from different backgrounds and communities declared themselves as Jokowi-JK volunteers; thousands people gathered during the presidential election campaign in Gelora Bung Karno, and thousands of them crowded the inauguration of the new president on the 20th of October in Senayan. Again, these colorful backgrounds of volunteers gave a pave to Jokowi to be elected as the seventh president of the republic. Accordingly, it may say that the social status differences of political volunteers are not an issue in of the diversity. The diversity, indeed, is the strength of democracy, as well as a significant factor of social and political stability. Additionally, it may be noted that the 2014 presidential election had a strong political legitimacy compare to both 2004 and 2009 elections. In 2014, the political volunteers participated not only in the voting booth, but also since the beginning of the presidential candidacy. Procedure of Democracy In the 2014 presidential election, despite of the political and social supports from Jokowi's volunteers was very significant, yet some figures show that the substance of democracy was weaker than the procedural of democracy. The nomination of Jokowi-JK carried by PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, and PKPI had indeed meet the
Edisi Agustus-Desember 2014
5
Interfidei newsletter
Fokus substansi. Jokowi-JK yang diusung oleh PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI telah menunjukkan bahwa pencalonan mereka memang memenuhi posedur demokrasi. Kampanye pun ditunaikan keduanya bersama parpol pengusung dan tim suksesnya. KPU dan Bawaslu hadir sebagai penyelenggara dan pengawas setiap tahapantahapan pilpres. Kesemua aspek ini merupakan prosedurprosedur formal demokrasi. Tetapi di lapis masyarakat, pilpres dimaknai tak lebih sebagai rutinitas lima tahun di negeri ini. Sebagai rutinitas, tentu saja harus dimeriahkan. Rakyat lantas dimobilisasi untuk memeriahkan rutinitas itu dengan cara merekrutnya sebagai tim sukses, memobilisasi mereka saat kampanye dan sebagainya. Selebihnya, rakyat dimobilisasi hadir di TPS. Kita yang menyaksikan fenomena itu lantas berteori, bahwa fenomena itu menunjukkan proses demokrasi sedang berlangsung. Padahal, tanpa disadari cara-cara seperti itu justeru menempatkan rakyat sebagai 'objek', bukan sebagai 'subjek demokrasi'. Masyarakat memang terlibat dalam kemeriahan pilpres, tetapi sesungguhnya mereka tak lebih sebagai objek. Mereka terlibat bukan karena kesadaran atau tanpa penalaran demokrasi, melainkan karena “dimobilisasi” atau “diinstruksikan”. Pada titik ini, pilpres gagal diselami sebagai proses demokrasi untuk mempertegas “kedaulatan”. Adapun masyarakat yang saban hari memang nampak mengenal/akrab dengan kontestan-kontestan pilpres itu disebabkan oleh begitu aktifnya media massa mewartakan dinamika pilpres. Setiap hari, tontonan tentang pilpres disimak melalui TV ataupun media cetak. Tetapi—sekali lagi—ini pun tidak mencerminkan kuatnya kesadaran/penalaran demokrasi warga. Jadi, pengetahuan masyarakat bawah tentang kontestan pilpres disebabkan oleh dinamika pilpres persis seperti infortaiment yang senantiasa diputar di stasiun televisi. Bukan karena keberhasilan parpol pengusung atau tim sukses membangun kesadaran demokrasi warga. Ancaman Kebhinekaan Kampanye negatif cukup produktif dilancarkan oleh kontestan pilpres. Kampanye negatif inilah yang menyuburkan potensi-potensi terselubung penggunaan isu SARA dalam momentum pilpres. Matamassa.org—sebuah situs yang melakukan monitoring pemilu pilpres bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menemukan penggunaan isu SARA dalam pilpres lalu paling banyak menyerang kubu pasangan Jokowi-JK. Menurut Kordiantor Matamassa.org, Muhammad Irham, bahwa serangan SARA kepada Jokowi terjadi sebanyak 69 kali.
6
Edisi Agustus-Desember 2014
proc e dure s of de moc ra c y: T he c am pa i gn accomplished by both political parties and success teams. KPU and BAWASLU presented as organizers and supervisors in each stages of the election. The society, additionally, interpreted the election just merely a routine five years democratic party. As a routine, of course, the party should be enlivened. People then mobilized to enliven the routines and recruited as a campaign successful team. Moreover, they were mobilized and instructed to present at the polling stations. Thus, in this context, we are witnessing the phenomenon of the processes of democracy. In fact, such ways has precisely located the people as 'objects' and not as 'subject of democracy'. The society for sure has involved in a festive of presidential elections, but in fact they seemingly nothing yet solely as objects of democracy. Their involvement was not because of their consciousness but because of "mobilized" or "instructed". At this point, the election failed to be understood as a democratic process to reinforce "sovereignty". Nowadays, Some people seem to understand and familiar with the electoral contestants and political issues. In fact, their understanding was mostly resulted from media mass consumption. Every time each day, some audiovisual media as well as social media proclaimed the issues of democracy including the election news. But - once again - it does not reflects or shows the strength of consciousness / reasoning on democratic of the people; The grass root understanding of presidential election contestants resulted from massive exposed to the medias, and not because of the success of political parties at building awareness of democracy. The TV indeed has successfully shaping people's mind with a timeless broadcasting of the dynamic of presidential election just like how an infotainment ever played on TV. Threats to Diversity The election contestants had productively practiced negative campaign. This campaign had raised some hidden potentials of racial issues in the election momentum. Matamassa.org - a site that monitors the presidential election together with the Alliance of Independent Journalists (AJI ) Jakarta found the most use of racial issues campaign attacked Jokowi-JK. According to Matamassa.org coordinator, Muhammad Irham that the racial attacks on Jokowi
Interfidei newsletter Sementara kubu Prabowo-Hatta Radjasa diserang dengan kampanye hitam (Kompas.com, 23/7/2014). Temuan matamassa.org mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan fakta yang terjadi sebenarnya. Intinya, penggunaan isu SARA dalam pilpres lalu memang secara kuantitatif tidak nampak dengan mata telanjang. Namun, desas-desus isu itu senantiasa terhembus di ruang-ruang sosial masyarakat. Dalam sebuah kesempatan, di kota Makassar, saya mendengar desas-desus isu SARA dalam momentum kampanye pilpres lalu. Di atas kursi antrian tukang cukur, siang itu datang seorang lelaki paruh baya mengenakan songkok haji berbincang dengan sang tukang cukur. Ia seolah membawa berita penting. “Kalau Jokowi-JK yang terpilih jadi presiden, maka posisi menteri agama akan diduduki oleh kelompok Syi'ah”, katanya pada sang tukang cukur. Mendengar itu, sang tukang cukur hanya tersenyum kecut, entah masuk di akalnya atau tidak. Di kesempatan lain, seorang rekan tim sukses Prabowo-Hatta tingkat kecamatan bercerita. Ia menceritakan kedatangan seorang tamu yang merupakan pengurus salah satu Ormas Islam di kota Makassar yang menemuinya di sekretariat pemenangan Prabowo-Hatta. “Saya datang bukan hendak menjadi pengurus parpol anda, tetapi saya datang untuk menyatakan dukungan politik untuk pasangan Parabowo-Hatta. Kami akan mendukung keduanya. Alasannya, sebab bila Jokowi-JK menang maka Islam akan rusak”, kata sang tamu. Desas-desus dan kejadian kecil seperti itu menunjukkan bahwa dalam momentum politik, isu SARA senantiasa digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Kendatipun secara makro isu SARA tak nyaring bunyinya, tetapi di lapis sosial bawah, isu SARA senantiasa berhembus di telinga masyarakat. Kita khawatir bila hembusan isu SARA seperti itu menggerakkan masyarakat ke arah tindakan destruktif dan anarkis hingga menyerang kelompok-kelompok sosial lainnya yang kebetulan berbeda identitas agama dan etniknya. Ini yang berbahaya. *** Narasi di atas bisa kita letakkan sebagai cermin dalam Pilpres kali ini. Setidaknya dapat kita maknai bahwa pilpres yang berlangsung damai tahun ini, berjalan sesuai prosedur formalnya—bukanlah petunjuk dasar bahwa demokrasi di negeri ini berpores dalam situasi terang benderang. Melainkan, sisi-sisi gelap demokrasi tetap saja hadir—termasuk di dalamnya adalah ancaman terhadap 'kebhinekaan' kita yang diserang dengan menggunakan isu SARA. ®
Focus side occurred 69 times. While Prabowo -Hatta Rajasa side attacked with black campaigns (Kompas.com, 07.23.2014 ). Matamassa.org findings may be nothing compared to the facts that actually happened. In reality, the use of racial issues in the last election could not be quantitatively seen with the naked eyes. However, some rumors were there, blown through the social spaces. In one occasion, in the city of Makassar, I heard rumors of racial issues in the last momentum of election campaign. That afternoon, at the top of the queue barber chair, came a middle-aged man wearing a skullcap Hajj spoke to the barber. He seemed to bring important news. "If Jokowi - JK were elected as President, the position of minister of religion will be occupied by the Shiite group", he said to the barber. Hearing that, the barber just smiled wryly, I had no clue how the information perceived. On another occasion, a fellow of a district level team of Prabowo-Hatta's campaign told a story. He said about the arrival of a guest who is an Islamic Organizations board in Makassar whom he met at the secretariat winning Prabowo - Hatta. "I came not for asking a position in your political party, but I came to express my political support for Parabowo - Hatta couple. We will support both of them. The reason is, if Jokowi - JK win then Islam will be ruined," said the guest. Rumors and fishy smell events like that shows that in the political momentum, racial issues had been constantly used for the benefit of power. Although racial issues were not clearly exposed in a macro level, yet in the lower social layers, racial issues had been constantly blown through the people's ears. It will be horrible if the racial issues campaign drive people toward destructive and anarchic actions to attack other social groups who happen to embrace different religious and ethnic identities. This is dangerous. Finally, the above narrative can be seen as a mirror of this time presidential election. We could interpret that the election, which took place peacefully this year, went according to formal procedures - the democracy in this country is in the process toward the bright situations. The dark side of democracy, unfortunately, is still present - including the threat to ' diversity ' that attacked by using racial issues.®
Edisi Agustus-Desember 2014
7
Interfidei newsletter
Fokus
PEMILU “BADUNSANAK DAN BASIARAK”: MEMBANGUN HARMONISASI DI TENGAH KONTESTASI
“BADUNSANAK AND BASIARAK” IN THE GENERAL ELECTION: BUILDING HARMONY IN A RIVALRY
Oleh: Muhammad Taufik
by Muhammad Taufik
Pengajar Sosiologi di IAIN Imam Bonjol Padang Direktur Riset Revolt Institute Direktur Riset Pusat Kajian Etnisitas dan Konflik Universitas Negeri Padang Pegiat Jaringan Antar Iman
Lecture of Sociology in IAIN Imam Bonjol Padang Research Director of Revolt Institute Research Director of the Center of Ethnicity and Conflict,Padang State University Activist of Inter Religion Network
G
elanggang pemilu telah usai. Parade kontestasi periode 2014 sudah menemukan muaranya dengan telah terpilihnya anggota legislatif dan presiden. Dinamika pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2014 ini menunjukan frekuensi yang cukup tajam, namun hal ini tidak sampai pada disintegrasi bangsa, meskipun indikasinya sungguh terlihat. Kematangan budaya politik masyarakat dan ter(di)kendalinya hasrat para politisi menjadi salah satu kunci kedamaian tersebut. Sama halnya dengan beberapa daerah lain, di Sumatera Barat, juga melalui perhelatan akbar politik ini dengan damai, nyaris tanpa konflik yang berarti. Gesekan antar pendukung dan kelompok tidak begitu kentara dan meruncing apalagi berujung kepada tindakan anarkis. Pertanyaannya apa yang melatar belakangi damainya pemilu di Sumatera Barat (Sumbar)? Tulisan dibawah ini akan berusaha unuk menjawab beberapa pertanyaan diatas, terutama bagaimana pemilu di Sumatera Barat berjalan dengan damai, tanpa diskriminasi dan toleran? Kemudian bagaimana masyarakat Sumbar (Minang) dalam memahami politik kontestasi yang sedang berlangsung saat sekarang? “Mencari Akar?” Mayoritas penduduk Sumatera Barat beretnis Minangkabau. Dalam kontek ini penulis ingin menekankan pada pembacaan politik masyarakat Minangkabau melalui penghampiran kebudayaan. Karenanya pembacaan perilaku politik tentu saja tidak hanya melulu dihampiri dalam pendekatan politik an sich, pendekatan kebudayaan, sosiologis dan antropologis menjadi penting juga dalam mendalami bagaimana sesungguhnya masyarakat hidup berdampingan dengan struktur lain diluar struktur mereka sendiri dalam hal
8
Edisi Agustus-Desember 2014
T
he general election is over. The 2014 democracy parade has ended its journey,resulting the elected legislative members and president. The dynamics of the 2014's legislative and presidential election shows how the competition has gone with so much heat, yet it was not enough to cause disintegration. The maturity of society's political culture and the political contestants' urge which were under control became the one of the keys for such an inhibited process. As in any other places, West Sumatra also underwent this political event in peace, without any harmful conflict. The friction between advocatesand groups was not so obvious or critical, it had no chance to result in anarchy. This leads to a question about the reason behind the peaceful process of election in West Sumatra. The analysis below will answer the question by providing details about the nonviolence election, with no discrimination and full of tolerance,in West Sumatra,and how the people of West Sumatra (Minang) comprehend the politics of rivalry which is in progress at the moment. “Seeking for the Root?” The majority of West Sumatrans is the Minangkabau ethnicity. In this context, the writer intends to emphasize on the political interpretation of Minangkabau society from the cultural point of view, since the interpretation of political behavior is not always limited to the an sich politics approach. Cultural, sociological, and antropological approaches are also important to explore how people live alongsidea foreign structure – in this case, politics. This
Focus
Interfidei newsletter ini politik. Penghampiran ini diharapkan mampu memberikan resonansi baru. Hal ini diyakini bahwa Unsur kultur memiliki ciri yang khas yaitu penyelesaian manusia terhadap lingkungan hidupnya serta usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sesuai dengan keadaan yang menurut pengelamannya adalah yang terbaik (Susanto, 1999:123). Itulah yang dimaksud dengan otoritas moral alamiah. Otoritas moral ini menganadaikan bahwa setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang bisa disebut sebagai "moralitas alamiah," yang sudah ada jauh sebelum adanya pengaruhpengaruh sosial lainya, termasuk agama yang faktanya datang kemudian. Artinya, mengikuti arus Hikam (1999 bab 7), menjelaskan bahwa di sini ada beberapa preferensi moral tidak semata-mata merupakan konsekuensi dari kebiasaan dan kondisi sosial. Moralitas semacam ini sebaliknya memberikan dorongan bagi terjadinya perkembangan aturan-aturan moral. Lebih tepatnya, otoritas moral ini bermain dalam ruang-ruang keyakinan bahwa terdapat norma etik tertentu yang berlaku dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai landasan legitimasi untuk dilakukannya proses sosial. Unsur terebut bukan hanya sekedar menunjukan aspek simbolik, namun didalamnya memiliki rasionalisasi budaya yang jelas. Ikhitisarnya, itulah otoritas moral yang berkait dengan ide-ide atau nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dalam world viewnya. Pada gilirannya otoritas moral itu akan mempengaruhi tindakannya realitas alam politik di Sumbar (Minangkabau). Karena mengabaikan identitas kultural berarti menghilangkan keasalian. Disadari atau tidak pendekatan modernisasi dan Negara dalam pembangunan dikhawatirkan tetap menyisakan manusia-manusia yang tergantung, dan mencampakan kearifan dan kreatifitas kultural dalam kekolotan. Itulah manusia yang merayakan kedangkalan, menghindari kedalaman. Tidak adanya politik patron-klien Patron-klien bisa difahami, mengkitu Lande dan Scott adalah hubungan aliansi dua pribadi yang tidak sama, kekuasaan status atau sumber daya yang masing-masing menemukan suatu hal yang berguna sebagai anggota unggul seperti aliansi yang disebut pelindung dan kliennya disebut inferior. Artinya bahwa hubungan dimana seorang individu yang lebih tinggi sosial ekonomis statusnya menggunakan pengaruh sendiri dan sumber daya untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan atau keduanya untuk orang dari status yang lebih rendah atau klien yang pada bagiannya membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk layanan pribadi kepada orang tersebut. Tidak adanya politik patron-klien ini bisa dilacak bagaimana orang minangkabau dalam memahami yaitu pemimpin, kekuasaan, kebenaran dan oposisi yang bergumul antara pertentangan dan perimbangan. Pertama, bagi orang Minangkabau pemimpin dengan yang dipimpinnya berada pada jarak yang tersentuh (dekat). Hal ini berbeda dengan budaya lain yang memahami pemimpin sesutu yang tidak tersentuh. Dalam pepatah dikhabarkan bahwa “pemimpin itu didahulukan selangkah, ditinggikan serating”. Ini menandakan kedekatan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Kalau pun dia tinggi, tingginya masih bisa dijangkau karena jarakanya yang
point of view is expected to present a new meaning. The cultural aspect is believed to have a specific characteristic which is the mankind's fulfilment toward their environment as well as their effort to sustain their viability in accordance to the circumstance they think as best (Susanto, 1999: 123). It is what we call as an innate moral authority. This moral authority presupposes that everyone in a society has something called the “innate morality” far before they are affected by other social influences, including religion that came afterward. In comply with Hikam (1999 chapter 7), it means that there are some moral preferences outside the social traditions and customs. This kind of morality should encourage the development of moral regulations. To be precise, this moral authority takes part in the realms of belief where there are certain applicable ethical norms in a society that work as the legitimate foundation for a social process. That element does not only expose the symbolic aspect but deep inside there is also an evident cultural rationalization. In brief, it is the moral authority that is related to the ideas or values embraced by the society in their world view. In turns, such moral authority will affect the political behavior in West Sumatra (Minangkabau), since ignoring one's cultural identity means obliterating their origin. Whether it is realized or not, the modernization approach and the presence of country in the development process is feared to generate dependent mankinds who abandon their cultural creativity and wisdom in conservatism. Such beings are those who celebrate superficiality, yet eluding profundity. The absence of patron-client politics Patron-client relationship is understood as an alliance between two individuals with different status of power and resources who find each other beneficial. In short, this relationship occurs when an individual with a higher social economical status, the patron, uses his influence and resource to provide protection, profit, or both for other individual with a lower status, the client. This client, in return, offers support and assistance including personal service to that person. The absence of patron-client relationship in Minangkabau is displayed from the Minang's comprehension about leader, power, truth, and opposition that synergize in contradiction and balance. Firstly, for a Minang, the position of a leader is within a reachable distance from his follower. This construction is unlike other cultures which interpret a leader as someone who is untouchable. A proverb says that a leader is only one step ahead and one level above. It demonstrates the adjacency of a leader and his followers. When a leader is one level above, he is still within reach. When he is one step ahead, he is not hard to confront. For Minangkabausociety, a leader is not sacred nor absolute, yet approachable. This understanding highlights that a leader or an entity of power cannot necessarily make use of his people for his own purpose nor for absolut obedience and fanatism toward
Edisi Agustus-Desember 2014
9
Fokus seranting. Kalau pun ia didahulukan selangkah berarti masih bisa ditackling. tegasnya bagi masyarakat Minang pemimpin tidaklah sesuatu yang sakral, absolut dan tidak tergapai. Pemahaman ini mentasrihkan bahwa pemimpin atau kekuasaan tidak serta merta bisa memanfaatkan rakyatnya untuk kepentingan mereka sendiri atau kepatuhan absolut dan fanatisme terhadap diri mereka. Kelonggaran ini berkonsekuensi pada stabilitas sosial dalam masyarakat karena disadari prilaku politik anarkis jamak terjadi karena adanya gesekan antara pengikut/klien masing-masing patron/pemimpin. Artinya kekuasaan difahami orang 'gadang' (memiliki kekuasaan), tetapi orang gadang itu besarnya karena dibesarkan: pangulu itu gadangnyo dilambuak/besar penghulu itu karena dibesarkan, tumbuahnya ditanam/tumbuhnya karena ditanam karena kalau pemimpinya zalim makan pepatah adata mengatakan Ingek-ingek, kok nan dibawah nan ka maimpok, kok tirih datang dari bawah/ingat-ingat, jikalau yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah. Oleh sebab itu agar bisa bertahan, lanjut Nasroen (1957:148) pemimpin dan masyarakat itu mesti hidup berdasarkan budi, serasa, tenggang-manenggang, mengakui adanya kepentingan bersama, dapat merasakan perasaan orang lain atau dalam bahasa Idrus Hakimi (1978:34) masyarakat yang bermoral. Kuaik rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso, Kuaik bangso karano budi, Budi rusak hancualah bangso/ kuat rumah karena sendi, rusak sendi rumah binasa, kuat bangsa karena budi, budi rusak hancurlah bangsa. Kedua, bagaimana orang Minangkabau memandang kebenaran dan kekuasaan. Dan bagaimana posisi yang diambil ketika tidak bertemunya kemufakatan (konflik)? Dalam banyak literatur diungkapkan bahwasanya kekuasaan yang mutlak tidak pernah ditemukan dalam tradisi Minangkabau. Hukum yang tertinggi bagi orang Minangkabau adalah kebenaran. Dalam masyarakat Minangkabau tidak ditemukan dan tidak menerima kekuasan yang represif dan menindas atau kekuasaan yang berbuat sewenang-wenangnya. Karena pemimpin bagi masyarakat Minangkabau adalah tumbuhnya ditanam, tingginya disokong, besarnya dipelihara. Jadi tidak ada sistem yang diktator atau feodalistik tumbuh dalam masyarakat Minangkabau. Karena pemimpin akan diposisikan sebagai pengambil keputusan dengan kejernihan dan penjelasan bukan keputusan yang menukik: tak ado kusuik nan tak salasai, tak ado karuah nan tak janiah/tak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan, tak keruh yang tidak bisa dijernihkan Jelaslah bahwa posisi pemimpin atau kekuasan cukup penting dan sangat berarti bagi orang Minangkabau. Ia akan bertindak atas nama keseimbangan dan keadilan; tidak ada merasa diskiriminatif atau dirugikan: tapuang jan taserak, rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan manjua/tepung jangan terserak, rambut jangan putus, kalau besar jangan melenda,kalau cerdik jangan menjual. Karena kekuasaan berpusat pada suatu kebenaran, tidak berpusat pada diri yang memiliki kekuasaan: kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri sandirinyo/ keponakan tunduk pada mamak (paman), mamak tunduk pada penghulu, penghulu tunduk pada alur dan patut, alur dan patut tunduk kepada yang kebenaran,kebenaran berdiri sendiri Berdasarkan pembacaan di atas, terpahami bahwa bentuk
10
Edisi Agustus-Desember 2014
Interfidei newsletter himself. Even so, this leniency has a an impact toward social stability in the society because anarchy commonly happens in the presence of friction between the followers or the clients of each leader or patron. In Minangkabau, the term for power is 'gadang' (the posession of power). However, people with gadang are powerful because they are given the power: pangulu itu gadangnyodilambuak – a leader is strong because his people choose him, – tumbuahnya ditanam – a leader is strong because his people nurture him. When the leader is unjust, there is another local proverb that describes that: Ingek-ingek, kok nan dibawah nan ka maimpok, kok tirih datang dari bawah– keep in mind, if a pressure comes from under, that's where thedestruction comes from. Therefore, to survive, Nasroen (1957:148) says that the leader and the people must live based on reason, sense, tenggang-manenggang (tolerance), acknowledging that there is a mutual interest and that they need to be sensitive to others. In his own language, Idrus Hakimi (1978:34) refers this as a society with morality. Furthermore, the saying Kuaik rumah karano sandi, Rusak sandi rumah binaso, Kuaik bangso karano budi, Budi rusak hancualah bangso (the house is strong because of its joints, when the joints break, the house breaks, the nation is strong because of its moral, when the moral is corrupted, the nation is destroyed) – the great strength is accumulated from the strength of its smaller parts. Secondly, it is about how a Minang relates the truth and power, and where they have to put their feet when they do not meet a certain agreement. In many literatures, an absolute power is never a Minangkabau custom. The highest law for Minangkabausociety is the truth. Repressive despotic power is unacceptablehere because the strength of a leader comes when the society chooses him, supports him for his eminence, and nurtures him for his grandeur. So there is no dictatorship or feodalistic system in Minangkabau community. A leader will be positioned as a decision maker who uses clarity and reason, not with absoluteness: tak ado kusuik nan tak salasai, tak ado karuah nan tak janiah (there is no wrinkles that cannot be smoothened, there is no cloudy water that cannot be cleared up) – there is no problem that cannot be solved. It is obvious that the position of a leader or power is significant and meaningful in Minangkabau. It is a being that reacts in the name of harmony and justice. By so, no one will ever feel discriminated or wronged: tapuang jan taserak, rambuik jan putuih, kok gadang jan malendo, kok cadiak jan manjua (there should not be scattered flour, there should not be breaking hair, you should not be arrogant if you are great, and you should not be deceitful if you are smart) – put yourself together, do not let the situation controls you.In Minangkabau, power is centralized on justice, not on the entity who holds the power: kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, kabanaran badiri sandirinyo (a nephew obeys his aunt and uncle, the aunt
Interfidei newsletter kekuasan bagi orang Minangkabau sangat abstrak; tidak kongkrit. Maka kebijakan seorang penguasa akan diikuti manakala kebijakan itu membawa kesejahteraan bagi orang banyak. Oleh sebab itu penguasa dalam konteks berpikir orang Minangkabau selalu di awasi dan dinilai kebenarannya karena mereka hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. Kekuasaan dalam pikir orang Minangkabau bersifat terpencar, heterogen dan abstrak. Artinya tidak homogen, sejenis, konkrit dan terpusat sebagaimana suku lain. Berbeda dengan pemaham kekuasaan dalam traisi Jawa, Anderson, menyatakan bahwa dalam budaya Jawa, kekuasaan merupakan sebuah benda yang konkret, yang jumlahnya terbatas dan tetap, tidak pernah bertambah ataupun berkurang. Karena itu, setiap penguasa ingin memiliki kekuasaan sebanyak-banyaknya, supaya aman. Kekuasaan yang ada di luar dirinya, misal yang terdapat pada kelompok oposisi, mengakibatkan berkurangnya porsi kekuasaan yang ada di tangannya, (Benedict Anderson dalam Budiardjo, ed, 1986) .Bahkan Junus (1999) berpendapat, kepemimpinan di Minangkabau bersifat pragmatis. Kekuasaan adalah pada hakekatnya tidak ada, segala sesuatunya akan bisa dilaksanakan melalui jalan meyakinkan orang yang bersangkutan. Seperti, orang tidak akan berani melawan keputusan orang tua, bukan karena takut pada kekuasaan yang mereka milki, akan tetapi karena takut akan berdosa lantaran durhaka pada orang tuanya, yaitu dengan meminjam kekuasaan yang diberikan oleh agama. Kesimpulannya kekuasan akan dipatuhi apabila dia bersampan dalam sungai kebenaran. Benar dalam pengeartian bercermin pada alur dan putut menurut adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Ketiga, opisisi. Dari pemahaman diatas bahwa kekuasaan perpusat pada kebenaran, bukan pada tubuh dan materi, maka ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk melakukan opisisi terhadap pemimpin dan kekuasaan. Pepatah yang paling popular yang selalu dipegang teguh: Rajo alim rajo di sambah Rajo lalim rajo disanggah/raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah. Opisisional ini tidak hanya dalam kontek relasi dengan pemimpin dalam artian luas, namun juga dalam artian sempitpun. Hal ini termaktup dalam pepatah lawan mamak jo kabanaran, lawan guru dengan pituah/lawan paman dengan kebenaran, lawan guru dengan petuah. Bahkan bagi seorang pemimpin jamak diingatkan akan muncul tindak-tindakan oposisi dari rakyatnya jika ia tidak berlaku adil atau zalim sebagaimana yang termaktub dalam pepatah “ingat-ingat yang diatas, jikalau yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah”. Gambaran diatas, sekali lagi, membuhulkan bahwa orang Minangkabau tidak memiliki pola kehidupan yang patron-klien. “Pemilu antara Badunsanak, Basiarak dan Garetak?” Pemilu badunsanak pertamakali diperkenalkan oleh Bupati Kab. Tanah Datar, Masdar Saisa ketika pemilu awal reformasi dilakukan. Namun secara formal dideklarasikan pada pemilu tahun 2004. Jargon tersebut masih dipakai pada pemilu tahun 2014. Bandunsanak atau bersaudara dalam bahasa Indonesia sesungguhnya mengandung arti yang lebih dalam dibandingan dengan bahasa bersaudara dalam bahasa Indonesia. Meskipun secara filosofis penggunaan kata
Focus obeys the leader, the leader obeys the rules and regulations, the rules and regulations obeys the truth, the truth stands by itself) – power has hierarchy, but the truth does not since it stands by itself. Based on the explanation above, the form of power in Minangkabau is proved to be abstract, not concrete. A policy made by a ruler will be obeyed as long as it can present peace for the society. Consequently, a Minangkabau leader is worthy of his value of truth because he will always be put in a position which they call as one step ahead and one level above. The nature of power for Minangkabau society is dispersed, heterogeneous, and abstract, on the opposite side of other ethnicity groups which are homegeneous and concrete as Javanese tradition for instance. Anderson notes that in Javanese culture, power is a concrete object, limited but never swell nor subside. That's why every man with power wants to have as much power for his own sanctuary. The power residing outside himself, as posessed by the opposition party, would impact on the decreasing portion of power (Benedict Anderson in Budiardjo, ed, 1986). Junus (1999) also argues that the leadership in Minangkabau is pragmatical. Power is essentially a non existence being. Everything can be pursued by using persuasive ways. As an example, someone will not dare to defy his parents' decision, not because of the fear of the power they possess, but the fear of being sinful since a child is regarded insubordinate toward his parents. This kind of power is borrowed from the religion. In conclusion, a kind of power will be adhered when it roots from the truth. The truth here means the facts which are reflected in the tradition and religion. Thirdly is the opposition. From the concept of how power roots from the truth and not from physical or materialistic form, people would have the opportunity to be in the opposite side of where the leader and power reside. There is a proverb which people uphold: Rajo alim rajo di sambah. Rajo lalim rajo disanggah (Wise king is a worshiped king. Despotic king is a refuted king). The meaning of opposition is not only in the broad context of leader-people relationship but also in the narrow sense of it. As a proverb says, lawan mamak jo kabanaran, lawan guru dengan pituah (oppose your uncle with the truth, withstand your teacher with wise words). A leader is commonly reminded that his people will rise as an opposition if he is not wise and fair in being a ruler as embodied in a proverb “ingat-ingat yang diatas, jikalau yang dibawah akan menghimpit, jika bocor dari bawah” (keep in mind for the leader, if pressure comes from under, that's where the destruction comes from). Such representation strengthen the understanding that Minangkabau society does not have a patron-client relationship. “The General Election: between Badunsanak, Basiarak, and Garetak” The badunsanak election was firstly introduced by the
Edisi Agustus-Desember 2014
11
Fokus badunsanak yang dalam masyarakat Minang mengandung makna persaudaraan dalam makna komunalisme. Hal ini sejalan dengan pepatah Minang :adaik badunsanak , dunsanak dipatahankan adaik basuku, suku dipatahankan, adaik bakampuang, kampuang dipatahankan, adaik banagar, nagari dipatahankan, adaik banagara, nagara dipatahankan/adat bersaudara, saudara dipertahankan, adat bersuku suku dipertahankan, adat berkampung kampung dipertahankan,adat bernagari nagari dipertahankan,adat bernegara, negara dipertahankan Hal ini, satu sisi, bertentangan dengan filosofi demokrasi barat yang diyakini oleh Indonesia sekarang, yang berbasis pada ruang individualisme. Karena dalam sistem Minangkabau tidak mengenal dengan mekanisme voting. Yang dikenal hanya sistem musyawarah meski itu akan menghabiskan durasi waktu dalam memutuskan sesuatu “siang bahabih ari, malam bahabih minyak” (siang akan membuang waktu, malam menghabiskan minyak). Bagaimanapun musyawarah ini harus menghasilkan keputusan, baik keputusan itu bulat atau tidak, sebagaimana dalam pepatah lain menjelaskan, kalau bulat sudah bisa digulingkan, kalau pipih sudah boleh dilayangkan. Bagi mereka musyawarah bukan bermakna mencari keputusan mayoritas, tetapi keputusan yang benar sesuai dengan alur nan patut tanpa meninggalkan prinsip-prinsip agama. Menariknya meski pemaknaan filosofis badunsanak ini bertentangan dengan filosofi berdemokrasi, namun penarikkan simbol badunsanak dalam wilayah pemilu ini mengandung bahwa badunsanak dalam pemaknaan struktur sosial dengan yang lain. Nah dalam ranah ini, makna badunsankan bisa mendapat tempat. Jadi badunsanak dalam aras ini dimaknai dalam kontek makna yang “diluaskan” yaitu politik. Sementara itu Basiarak merupakan terminologi lokal yang digunakan dalam menggambarkan sengketa yang terjadi antara individu dengan individu lain atau antara kelompok dengan kelompok lain dalam hal memahami sesuatu perbedaan. Basiarak sudah mentradisi bagi masyarakat Minangkabau yang diekspresikan ketika konflik kepentingan berlangsung. Namun basiarak dalam banyak kasus biasanya bisa diselesaikan dalam banyak mekanisme yang juga diatur dalam kearifan lokal Minang sendiri. Bagi orang Minang “tidak ada kusut yang tak selesai, tak ada keruh yang tak jernih. Jika kusut (konflik/basiarak) seperti kusut benang, maka untuk penyelesaiannya cari ujung pangkalnya. Jika kusut itu kusut bulu ayam, maka paruhlah yang menyelesaikan, jika kusut itu, kusut rambut maka sisirlah yang akan merapikan, namun jika kusut itu kusut seperti sarang Burung Tampuo (sarang burung yang dipohon kelapa) maka airlah yang menyelesaikannya. Atau dalam pepatah lain menjelaskan “kalau tersesat diujung jalan maka kembalilah kepangkal jalan”. Atau dalam menyelesaikan konflik harus menjunjung tinggi prinsip “ketika dimata tidak dipicingkan, ketika diperut tidak dikempeskan”, artinya siapapun harus berlaku adil dalam menyelesaikan sengketa. Beberapa hal yang disebutkan diatas merupakan mekanisme penyelesaian konflik. Maka benarlah apa yang disampaikan oleh sejawarawan Taufik Abdullah (1987), bahwa bagi masyarakat Minangkabau konflik merupakan arah menuju integrasi: bersilang kayu di tungku, disitulah api akan menyala.
12
Edisi Agustus-Desember 2014
Interfidei newsletter regent of Tanah Datar, Masdar Saisa, in the general election in the beginning of reformation era. It was formally declared in the 2004 general election. This jargon is even still used in 2014 general election. Badunsanak, or brotherhood, contains a deeper value than its literal meaning. Philosophcally, the use of the word badunsanak for Minang society implies the meaning of brotherhood in communalism sense. This is in accordance to the Minangese proverb: adaik badunsanak , dunsanak dipatahankan adaik basuku, suku dipatahankan, adaik bakampuang, kampuang dipatahankan, adaik banagar, nagari dipatahankan, adaik banagara, nagara dipatahankan (brotherhoodculture for a strong brotherhood, ethnical culture for a strong ethnicity group, village culture for a strong village, state culture for a strong country). That belief, in one hand, contradicts the phylosophy of western democracy,presently adopted by Indonesia,which is based on individualism. Minangkabau political system does not admit voting procedure. Yet, only deliberation is acknowledged in determining a decision although it would take longer time: “siang bahabih ari, malam bahabih minyak” (in day time will be spent, at night oil will be consumed). However, the deliberation has to result a decision, either unanimous or not. As another proverb tells: kalau bulat sudah bisa digulingkan, kalau pipih sudah boleh dilayangkan. For them, deliberation is not a process to seek for what majority wants but the right decision by considering the proper path and religious values. Interestingly, although the signification of Badunsanak philosophy is not analogous with the philosophy of democracy, the symbolism of Badunsanak in election is similar with the signification of the other social structure. Here, the meaning of Badunsanak can have its own respectful place. In a broader context, Badunsanak can be understood as politics. Basiarak is a local term used to describe the disagreement between individuals or groups when they meet in discrepancy. Basiarak is a Minangkabau tradition expressed when there is a conflict of interest. However, in many cases, Basiarak is usually solved using the mechanisms arranged in Minang's local wisdom itself. For Minangkabau, tidak ada kusut yang tak selesai, tak ada keruh yang tak jernih. If the tangled one (conflict/basiarak)resembles tangled thread, then the solution comes from the end of the base. If the tangled one resembles tangled feather, then the beak is the solution. If the tangled one resembles tangled hair, then the comb is the solution. Then again, if the tangled one is like Tampuo bird's nest (bird nest on the coconut tree), then the water is the solution. In other words, “kalau tersesat diujung jalan maka kembalilah kepangkal jalan” (If you find yourself lost at the end of the path, go back to where you start). Conflict resolution must uphold this kind of principle,“ketika dimata tidak dipicingkan, ketika diperut tidak dikempeskan”. It means that anyone must be fair in resolving conflicts. Some
Focus
Interfidei newsletter Biasanya praktek basiarak, dalam pengelaman politik lokal, tidak meruncing sampai bentrokan fisik, namun garetak/gertak adalah juga bagian dari mekanisme menyatakan sikap menentang. Geretak adalah juga sebuah tradisi lokal yang juga menggambarkan ekspresi tidak senang pada seseorang atau kelompok yang ditunjukan dengan bahasa tubuh atau tutur kata. Namun gertak tidak dimaknai dalam artian frontal dan opensif, ia hanya bentuk ekspresi pengancaman secara simbolik dengan tubuh tanpa tendensi langsung melakukan anarkisme. Karena dalam tradisi Minangkabau mekanisme untuk melawan dan bertahan adalah defensive sebagaimana yang bisa dilihat dalam gerak silat Minangkabau. Praktek Badunsanak dalam Pemilu Badunsanak, basiarak dan garetak merupakan sesuatu yang given dalam kehidupan masyarakat Minangkabau baik dalam ranah sosial, politik dan lain-lain. Jadi bagaiamanapun mekanisme pemilu yang dikonstruksikan oleh negara , maka mekanisme respon an tindakan akan muncul dalam kealamiahannya. Kenapa? Karena akar yang terbangun dalam makrokosmosnya, world view dan paradigma Minangkabau tersebut sudah berurat berakar dalam kehidupan sehari-hari. Meski gincu kehidupan politik masuk dalam aranah kehidupan mereka, makan cara pandang itu akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tidak dapat dibantah, pemilu legislatif atau presiden memunculkan dinamika yang luar biasa dalam masyarakat. Perubahan sistem pemilu juga menyeret masyarakat dalam dinamikan yang berbeda pula. Wajah masyarakat akan sejalan dengan dinamika politik yang terjadi baik ditingkat nasional ataupun lokal. Oleh sebab itu perubahan mekanisme UU Pemilu berdampak pada pola dan bentuk pergesekan yang terjadi. Meski tidak seperti daerah-daerah lain di Indonesia yang melakukakn tindakan anarkisme sebagaimana yang pernah terjadi di Mojokerto dan Kota Sibolga dan daerahdaerah lain pada saat pelaksanaan pemilukada, di Sumatera Barat relatif lebih damai dibandingkan dengan daerah lain. Suasana damai ini tercipta bukan hanya tingginya komitmen elite dalam bentuk deklarasi pemilu badunsanak dengan siap menjadi pemenang dan pecundang yang baik tetapi bahwa kehidupan masyarakat Minangkabau yang elegan, terbuka, dan tidak fanatik menjadi kata kunci dalam mengeeleminir diskrimininasi dan anarkisme dalam pemilu. Artinya dalam kontek ini kurang dilihat relevansi yang kuat antara deklarasi pamilu badunsanak oleh elit dengan perilaku masyarakat. Karena dirasakan sekali konsep pemilu badunsanak dipaksa ditarik kewilayah politik untuk kepentingan pemilu, padahal konsep badunsanak merupakan sesuatu yang sudah membumi dalam kehidupan mereka. Dilain pihak, sesungguhnya pada pemilu legislatif dan presiden dalam kontek lokal tidak terlalu melibatkan emosi yang berlebihan jika dibandingkan dengan pemilukada. Karena pada pemilu kada para kontestan langsung bersentuhan dengan massanya masing-masing tanpa harus terkotak-kotak dalam daerah pemilihan. Jika dibandingkan dengan hal itu, sejatinya pemilu kada di Sumatera Barat lebih rawan terhadap konflik dibandingkan dengan pemilu legislatif dan presiden.
things mentioned previously are the conflict resolution mechanisms. This confirms what Taufik Abdullah (1987) said about the conflict in Minangkabau as a process to integration: bersilang kayu di tungku, disitulah api akan menyala. Commonly, the practice of basiarak, based on the experience of local politics, will not end in a physical clash, but garetak (threat)may rise as a form of opposing reactions. Garetak is a local custom in expressing dislikes toward an individual or group through gestures or speech. However, Garetak is not meant to bedone offensively and frontally. It is merely an expression of threatening symbolically using physique without any tendency to performviolence. In Minangkabau tradition, the mechanism to oppose and make a stand is in a defensive way as seen in Minangkabau's silat movements. Badunsanak in general election Badunsanak, basiarak, and garetak are given concepts in Minangkabau's social, politics, and any other sphere of daily life. No matter how the mechanism of general election constructed by the state, the response and action for it will appear naturally because of the macrocosmos, world view, and paradigm of Minangkabau has rooted so deeply in the society's mind. When they have a certain political way in seeing something, such point of view will adapt with the surrounding environment. It is undeniable that legislative or presidential election will bring out exceptional dinamics in the society. The change of general election system also carry people away to a new, different dynamics as well. The characteristics of the society will be in line with the political dynamics, either at the national or local level. Hence, the transformation of general election legislation affects the patterns and forms of the friction. Unlike Mojokerto, Sibolga, and other regions where anarchy occured when the provincial general election was held, West Sumatra was relatively more under control compared to those places. This calm situation did not originate only from the serious commitment of political elites in the form of badunsanak declaration, where they were ready to be either a modest victor or a gentle lose, but also from the elegant, open, non-revolutionary life of Minangkabau people who also took part in eliminating discrimination and anrchism in general election. In this context, the strong bond between the declaration of Badunsanak by the political elites and the behavior of society is not really well-observed. Badunsanak is considered to be taken away inducingly to the political territory for the sake of general election while that concept is already converged in Minangkabau existence. On the other hand, the legislative and presidential elections in the local context do not involve any excessive emotion if compared to the provincial general election in which the candidates can get in touch openly with their supporters without having to be segmented by the
Edisi Agustus-Desember 2014
13
Fokus Namun dalam faktanya selama ini pemilukadapun cukup berjalan dengan damai, meski tidak bisa dipungkiri riak-riak kecil menjadi bahagian dari dinamika, sebagaimana yang terjadi pada saat pemilu kada Kab. Pesisir Selatan tahun 2005. Konflik itu akhirnya diselesaikan dengan musyawarah “bajalan batolan, bakato baiyo, baiak runding jo mufakat” Pertanyaannya selanjutnya adalah bagaimana mereka mempraktekkan konsep badunsanak khususnya dalam pemilu? Pertama adalah, prinsip badunsanak adalah tidak adanya rasa ingin membunuh atau menyingkirkan dengan cara tidak elok saudara yang lain. Hal ini tertuang dalam pepatah “lampu kita saja yang diperterang, lampu orang jangan dipadamkan”. Kedua, adanya prinsip menghormati dan menghargai satu sama lain. Hal ini tertuang dalam pepatah “lamak dek awak, katuju dek urang/enak bagi kita, suka bagi yang lain. Bahkan dalam banyak hal harus menjujung tinggi solidaritas, mandapek samo balabo, kahilangan samo barugi/ sama-sama untung dan rugi”. Ketiga, dalam persaudaraan itu harus sama menjaga diri masing-masing atau kemenangan atau keuntungan yang diperoleh bukan berdasarkan keculasan dan penipuan sebagaimana pepatah lain menjelaskan “awak mandapek, urang ndak kahilangan, kalau gadang ndak malendo, kalau cadiak ndak manjua/kita untung, orang lain tidak merasa rugi, kalau besar jangan menabrak, kalau cerdik jangan menjual. Keempat, jika ada persoalan harus diselesaikan dengan cepat “tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanyuik/terendam tidak basah, terapung tidak hanyut). Kelima, melibatkan semua pihak dan jangan sombong “cadiak jan bambuang kawan, gapuak nan usah mambuang lamak, tukang nan tidak mambuang kayu/kalau cerdik jangan membuang kawan, kalau gemuk jangan membuang lemak, tukang jangan membuang kayu. Keenam, kalau dalam pergaulan harus menjunjung tinggi budi pekerti hiduik kalau tidak babudi, duduak tagak kamari tangguang/hidup kalau tidak berbudi, susah dalam posisi duduk dan berdiri. Karena kalau kita berbudi semua persoalan akan bisa diselesaikan kok pandai bamain budi, nan lia jinak malakok/kalau pandai bermain budi, yang liar akan menjadi jinak. Ketujuh, sikap santun dalam pergaulan, manyauak di ilia-ilia, bakato dibawah-bawah/menimba dihilir-hilir, berkata dibawah-bawah. Kematangan Budaya: Jalan Keluar? Tanpa menegasikan aspek lain, pendekatan kebudayaan bisa dijadikan pengahampiran dalam melakukan pendidikan kedamaian dalam kehidupan berbangsa. Melakukan kontrol masyarakat mungkin akan lebih efektif jika para pengambil kebijakan memahami pola pikir dan cara berfikir masyarakat. Sudah saatnya pemerintah mencari persamaan paradigma dan persepsi masyarakat dengan perkembangan politik dewasa ini. Mencari persamaan disini bukan berarti menyamakannya dengan pendekatan politik yang dianut oleh Indonesia saat ini yaitu demokrasi yang lebih menekankan pada makna ekonomi atau pasar. Pergeseran pemaknaan ini sesungguhnya bisa membuka ruang terjadinya komunikasi antar etnik, ras dan suku dalam atmosfir alam demokrasi. Sehingga dengan sendirinya menemukan kesejajaran dalam keberbedaan. Bagi masyarakat Sumatera Barat, kematangan budaya
14
Edisi Agustus-Desember 2014
Interfidei newsletter constituency. Originally, the provincial general election in West Sumatra was more agitated to conflict compared to the legislative and presidential election. In fact, the provincial general elections recently could perform very well although some small hassles were unavoidable, yet becoming the part of the political dynamics, as happened in Pesisir Selatan regency in 2005. The conflict then was resolved by deliberation. “bajalan batolan, bakato baiyo, baiak runding jo mufakat” (respect and obey the advice of your parents, and you will be saved). So how do they perform the concept of Badunsanak, especially in the context of general election? First of all, there is no urge to obviate other people using violence in Badunsanak. This is stated in one of Minang proverbs “lampu kita saja yang diperterang, lampu orang jangan dipadamkan” (make our light brighter, do not dim others). Second, there is a principle of respect and value each other as told in the proverb “lamak dek awak, katuju dek urang” (joy for us is happiness for others). They also have to uphold the solidarity with other people. mandapek samo balabo, kahilangan samo barugi (we share any loss and gain together). Third, brotherhood is a concept where everyone needs to guard their own self. A triumph or an advantage cannot come from a deceitful and deceptive manner, as another proverb illuminates: “awak mandapek, urang ndak kahilangan, kalau gadang ndak malendo, kalau cadiak ndak manjua” (ur gain is not someone else's loss. Be kind and honest). Fourth, a dispute must be solved as soon as possible. “tarandam randam indak basah, tarapuang apuang indak hanyuik” (don't let the situation control you). Fifth, everyone needs to be involved in solving a problem and we must not be arrogant,“cadiak jan bambuang kawan, gapuak nan usah mambuang lamak, tukang nan tidak mambuang kayu” (every resource is useful for you). Sixth, moral is a high value in the society, “hiduik kalau tidak babudi, duduak tagak kamari tangguang” (be righteous in because when we have morality, every problem can be solved), “kok pandai bamain budi, nan lia jinak malakok” (your morality will simplify your life). Seventh, manner is important in socializing, “manyauak di ilia-ilia, bakato dibawah-bawah” (be nice for a better life). Cultural Maturity: A Way Out? Without negating other aspects, the cultural approach can become a reference for peace education in the life as a part of the nation. Society control can be more effective if the policy makers understand the public's mindset. It is the right time for the government to find the similaritiesbetween paradigm and people's perception as well asthe political development nowadays. Finding such similarities doesn't mean making a comparison with recent indonesian political approach, which is democracy, that emphasizes on economy or market. This meaning shift actually has the capability to open the communication across ethnicities and races in the realm of democracy so that equality in diversity can be reached by itself.
Interfidei newsletter politik, sejatinya sudah terbangun ketika Minangkabau ini terbentuk. Kematangan ini bisa ditelusuri dimana Minangkabau bisa menerima pelbagai bentuk yang baru yang datang kemudian. Sebagai contoh adalah kedatangan agama Islam ke bumi Minangkabau diterima dengan baik oleh masyarakat dengan jalan membangun harmonisasi antara adat dan Islam. Kemudian dalam praktek kebudayaan lain adalah, Minangkabau menerima model-model ritual, simbol dan pernak-pernik kebudayaan lain, dan kemudian menyatakan hal tersebut menjadi kebudayaan Minangkabau itu sendiri. Sebutlah, di Minangkabau dalam prosesi adat mereka dikenal dengan kain sarung Bugis, batik jawa, gunting baju cina, kopiah BK (Bung Karno) dan lain-lain. Dibidang politik awal pembentukan Republik Indonesia ini, tidak bisa dipungkiri bahwa putra Minangkabau memainkan peranan yang sangat penting. Namun fakta politiknya masing-masing mereka berpijak pada alam ideologinya masing-masing tanpa harus saling membunuh. Ada Natsir dengan Islam garis kanannya, ada Hatta dengan Sosialisnya, ada Tan Malaka dengan Komunisnya, ada Syahril dengan sosialisnya yang berbeda dengan Hatta dan Agus Salim dengan ideologi yang juga berbeda dengan yang disebutkan sebelumnya. Mereka berteman meski mereka berseberang secara politik. Mereka tidak saling membunuh dan menghabisi. Karakter itu tentu saja tidak serta merta tumbuh begitu saja, tentu saja ini dilatari oleh pengelaman yang panjang dan lingkungan kebudayaan yang membentuk yaitu budaya Minang sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Kematangan mereka dalam berkomunikasi dan juga kematangan padangan penghormatan mereka terhadap perbedaan. Hal ini disebabkan oleh embeddednya budaya dalam politik mereka Hari ini, terminology bandunsanak menjadi simbol yang digunakan oleh negara dalam membangun kendamain dalam ruang-ruang pemilu. Badunsanak mengalami proses transformasi dari ruang sosial-budaya menjadi ruang negara. Pemaknaan badunsanak diambil alih oleh negara sebagai simbol pemersatu, ketenangan, kedamaian dan harmonisasi. Hal ini disebabkan oleh makna yang dihasilkan oleh simbol badunsanak dapat saja bervariasi berdasarkan kelompok dan ruang secara dinamis berdasarkan waktu yang berganti (Abdullah:2007), dan itulah yang dinamakan dengan kematangan budaya. Dalam artian lain terlepas dari adanya pergeseran simbol kebudayaan yang tidak lagi berada dalam keautensitasnya sebagai code of conduct yang diamini oleh masyarakat, tetapi simbol bandunsanak sudah menjadi alat politik bagi institusi pemilu. Artinya simbol kebudayaan didorong menjadi alat praktik pengendalian sosial dalam transaksi sosial. Sekali lagi ini membuktikan bagaimana fleksibelitas masyarakat Minang dalam menerima perubahan sistem yang datang dari luar (negara). Hal ini senafas dengan pepatah “sekali air besar, sekali tepian berubah” . Resultantenya adalah Bapuntuang suluah sia, baka upeh racun sayak batabuang, paluak pangku Adat nan kaka, kalanggik tuah malambuang. Kalau ajaran Adat Minangkabau benarbenar dapat diamalkan oleh anggota masyarakat dengan baik dan konsisten, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang tinggi peradabannya, kuat persatuannya, menghargai yang lain dalam tindakannya dan mengormati segala keputusan yang ada.Wallahu'alam bishawab ®
Focus For the native of West Sumatra, the maturity of political culture has been built since the existence of Minangkabau. This kind of maturity can be identified ever since Minangkabau can accept any kind of new view points that come later on. For an example, the establishment of Islam in the land of Minangkabau was accepted openly by the society by building a harmonic assimilation of culture and religion. In another practice of custom, Minangkabau apprehends many kinds of ritual, symbols, and any other types of element from other cultures, and then embrace it as one of Minangkabau cultural items. Bugis sarong, Javanese batik, Gunting Cina clothes, and BK (Bung Karno) cap are some of those items. In the beginning of the establishment of Indonesia, Minangkabau society had a significant role in politics. They were firm with their own ideology without any use of violence. There was Natsir with his Islamic movement, Hatta with his sosialism, Tan Malaka with his communism, and also Syahril with his distinguished sosialism,compared to Hatta's and Agus Salim's. They got along well with their various distinctive political views without violence. Those people were not just necessarily developed as they were. They needed to endure extensive particular experiences, and at the same time lived and imbibed Minang's cultural environment. Their maturity in communication and respect towards differences derives from the strongly embedded cultural values in their politics. Today, Badunsanak becomes a symbol used by the state to create peaceful environment to fill in the general election space. Badunsanak has been transformed from the sociocultural point of view into the national point of view. The essence of Badunsanak is adopted by the country as a symbol of unity, peace, and harmony. Badunsanak itself has varieties of meaning, depending on the dynamics of people, space, and time (Abdullah, 2007). In other words, that is what we call as the maturity of culture. Regardless of the shifting of the cultural symbol which is now out of its originality as a code of conduct with which the society agrees, the concept of Badunsanak has already become a political tool for the general election. It means that the the symbol of culture is promoted to be a social control instrument in a social transaction. It then demontrates the acceptance of Minang society towards the system change from outside of their environment (the state). This is in line with the proverb “sekali air besar, sekali tepian berubah” (when a new leader is elected, new set of rules is applied). The result would be Bapuntuang suluah sia, baka upeh racun sayak batabuang, paluak pangku Adat nan kaka, kalanggik tuah malambuang (If the tradition of Minangkabau can be applied by people consistently, they can establish a society with advanced civilization, strong bond, and mutual respect in life and respect every decision made). Allah knows best what is right.®
Edisi Agustus-Desember 2014
15
Interfidei newsletter
Fitur
PROFIL
PROFILE
LAPAR
LAPAR
L
L
TUJUAN
OBJECTIVES
Secara detail maksud dan tujuan didirikannya LAPAR adalah: 1. Membantu terwujudnya masyarakat yang adil, demokratis, bebas dan setara. 2. Melakukan proses transformasi sosial untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang adil melalui fasilitas pengorganisasian masyarakat sipil. 3. Menegakkan Hak Azasi Manusia dan kedaulatan rakyat melalui Advokasi dan Pendidikan kritis. 4. Menegakkan terhapusnya bentuk diskriminasi yang menimpa rakyat marginal. 5. Mengembangkan sumber daya manusia yang cerdas dan sejahtera serta mengangkat harkat dan martabat manusia yang adil, setara dan manusiawi. 6. Menumbuhkan dan mengembangkan kelompok masyarakat sipil yang adil, setara serta memiliki daya tawar pada negara. 7. Membantu mengembangkan penciptaan prasarana dan lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang lebih kualitatif dan manusiawi yang bertumpu pada swakarsa, swadaya dan swakarya.
In detail, the founding of LAPAR has the following objectives: 1. to assist the establishment of a fair, democratic, free, and equal society. 2. to conduct the process of social transformation in order to achieve an equitable social order through the facilities of civil society organization. 3. to enforce Human Rights and the sovereignty of the people through critical Advocacy and Education. 4. to uphold the elimination of any forms of discriminations towards marginalized people. 5. to develop intelligent and prosperous human resources, and to establish a fair, equitable, and humane dignity of the human being. 6. to ignite and develop a group of fair and equitable civil society which possesses the bargaining power to the state. 7. to help developing the establishment of infrastructures as well as more qualitative and humane social, cultural, and economic environment which relies on the principles of own-will, self-help, and self-employment.
VISI
VISION
Terbangunnya civil society yang berbasis kekuatan lokal.
To establish a localforce-based civil society
MISI
MISSION
embaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat yang disingkat dengan LAPAR adalah salah satu organisasi non-pemerintah (NGO) yang berada di kota Makassar, Sulawesi Selatan. Resmi berdiri 17 April 1999. Secara prinsipil LAPAR bertujuan untuk mengembangkan dan menumbuhkan masyarakat sipil yang kuat dan kritis melalui kajian, dialog, pendidikan rakyat, pengorganisasian—pendampingan dan publikasi. Cara-cara diatas dipilih berdasarkan refleksi kritis terhadap situasi sosial dan kebijakan pembangunan secara makro yang sama sekali mengabaikan eksistensi rakyat kecil sebagai manusia utuh. Pengabaian itu terjelma dalam marginalisasi, penindasan, penyingkiran serta perampasan hak-hak sosial, ekonomi, budaya dan politik kelompok masyarakat lemah dalam segala hal.
APAR, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat(Institute of People for Education and Advocacy), is a non-governmental organization (NGO) which is located in Makassar, South Sulawesi. LAPAR was officially founded on 17 April 1999. In principle, it aims to develop and foster a strong and critical civil society through studies, dialogs, education of the people, organization-mentoring, and publications. The above methods are chosen based on a critical reflection towards the social situation and macro development policies which completely overlooks the existence of commoners as a whole human being. The overlooking was manifested in marginalization, oppression, exclusion and deprivation of social, economic, cultural, and political rights of the powerless society in all respects.
Mendorong dan menguatkan kedaulatan rakyat, To encourage and strengthen the people sovereignty, to membangun ruang-ruang negosiasi yang baru, dan build new negotiation spaces, and to “prepare” local
16
Edisi Agustus-Desember 2014
Feature
Interfidei newsletter ”mempersiapkan” kapasitas komunitas lokal untuk terlibat dalam ruang negosiasi.
community capacity to be involved in those negotiation spaces.
BASIS NILAI
BASIC VALUES
Dalam kerangka mewujudkan visi dan misi di atas, LAPAR senantiasa mengacu pada basis nilai,yakni : 1. Egaliter, LAPAR memandang bahwa semua orang setara, sederajat dan sama tanpa terbedakan oleh ras, agama, suku, bahasa, pekerjaan, status sosial, aliran politik serta jenis kelamin. 2. Pluralis, bahwa perbedaan dan keberagaman adalah keniscayaan dan fitrah. Ia adalah anugrah Tuhan yang patut untuk disyukuri dan dinikmati. Karenanya point terpenting dari perbedaan dan keberagaman adalah menghidupkannya untuk dihargai, dihormati dan dipahami dan dimengerti agar menjadi “ruang belajar bersama” bagi tegaknya kemanusiaan, bukan malah disingkirkan dan ditutupi untuk kemudian ditampilkan dan disatukan dalam semangat kepura-puraan dan kepalsuan. 3. Humanis; bahwa penghargaan terhadap kemanusiaan adalah hal yang terpenting untuk dikedepankan. Gambaran tegaknya kemanusian tersebut ketika setiap orang menghargai dan menjaga segenap hak sesama manusia. 4. Adil; bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan secara adil tanpa pilih kasih atau berdasarkan like or dislike. Keadilan harus senantiasa menjadi ukuran utama dalam berpikir dan bertindak. Bahwa keadilan tidaklah selalu sepadan dengan sama rata, dan juga tidak berarti bahwa yang satu diangkat semtentara yang lain ditenggelamkan (keadilan bela bambu), akan tetapi setiap orang kedudukannya sama dan berhak untuk diperlakukan dan mendapatkan sesuai dengan haknya. 5. Kerakyatan; Bahwa semangat untuk mendahulukan kepentingan rakyat dari pada kepentingan golongan, kelompok atau pribadi adalah sebuah keniscayaan dalam melakukan perjuangan. Semangat kerakyatan ini juga dimaksudkan untuk menghindari adanya elitisme gerakan. 6. Jujur; Kejujuran di sini tidak hanya kejujuran pada orang lain, akan tetapi juga jujur pada diri sendiri. Karenanya yang dibutuhkan adalah adanya sikap keterbukaan antara satu dengan yang lain. Sikap untuk tidak mengingkari hati nurani. 7. Transparan; bahwa keterbukaan merupakan sebuah nilai penting yang harus dikedepankan dalam bekerja, terutama bekerja untuk masyarakat. 8. Independen; bahwa setiap gerakan dan perjuangan dan tindakan dilakukan tanpa dibarengi oleh, untuk dan atas kepentingan apapun.
FOKUS PROGRAM Beberapa fokus program LAPAR diantaranya; 1. Penguatan kedaulatan rakyat di berbagai sektor. 2. Menumbuhkan dan mengembangkan kelompok masyarakat sipil yang kuat serta memilik daya tawar pada negara, dan membantu mengembangkan prasarana dan lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang lebih kualitatif dan manusiawi. 3. Melakukan penelitian dan advokasi kebijakan terkait dengan pluralisme dan multikulturalisme di Sulawesi Selatan. 4. Melakukan dialog, pendampingan, penelitian dan kajian tentang komunitas—kebudayaan lokal di Sulsel.
In the framework of establishing the above vision and mission, LAPAR always refers to the following basic values: 1. Egalitarian;LAPAR regards everyone as equals without being differentiated by race, religion, ethnicity, language, occupation, social status, political affiliation, and gender. 2. Pluralist;differences and diversity are necessary and innate. They are the blessingsthat God has given upon us to be thankful for and to be savored. Therefore, the most important point from differences and diversity is to promote them to be appreciated, respected, and understood so that they become a “shared learning space” for the sake of humanity, rather than removed and concealed for later displayed and united in the spirit of pretense and falsehood. 3. Humanist; respect for humanity is the most important thing to be put forward. The portrait of upholding humanity is realized when every person respects and preserves the rights of other human beings. 4. Fair; every person has the right to be treated fairly without any favoritism or preference(whether we like or dislike the person). Justice must always be the benchmark of thinking and acting. LAPAR believes that justice is not always commensurate with equality, and that it does not mean promoting one while drowning the other (bamboo arts – bela bamboo – justice), but it means that every person has equal position and has the right to be treated and to get their rights accordingly. 5. Democratic; the spirit to put the interests of the people above the interests of the class, group, or self is a necessity in a struggle. The spirit of democracy is also intended to avoid the presence of elitism movements. 6. Honest; Honesty which is put forward here is not only being honest to others, but also being true to ourselves. Therefore, it is necessary to have the attitude of openness between one another, the attitude of not denying our conscience. 7. Transparent; Transparency is an important value that must be put forward in the work, especially the work for the community. 8. Independent; Every movement, struggle, and actionis done not by, for, and on any interests.
PROGRAM FOCUS Some of LAPAR's programs are focusing on: 1. reinforcing democracy in various sectors. 2. igniting and developing a strong group of civil society which possesses the bargaining power to the state, and assisting to develop infrastructures as well as more qualitative and humane social, cultural, and economic environment. 3. conducting research and advocacy in relation to pluralism and multiculturalism in South Sulawesi. 4. conducting dialogs, advocacy, research, and studies on local culture community in South Sulawesi.
Edisi Agustus-Desember 2014
17
Interfidei newsletter
Fitur 5. Melakukan desiminiasi gagasan keagamaan toleran yang menghargai pluralisme dan multikulturalisme. 6. Mengembangkan pendidikan demokrasi bagi seluruh komponen masyarakat di Sulawesi Selatan
5. 6.
disseminating the idea of religious tolerance which respects pluralism and multiculturalism. developing democratic education for the constituents of community in South Sulawesi.
Diskusi WI.2
Fasilitator pelatiahan jurnalisme Mdia Bontoala Makassar
Diskusi Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sulsel dengan organisasi lintas agama
Kunjungan Delegasi Belanda dan Afrika Selatan ke Sekolah Demokrasi Pangkep atas kerjasama LAPAR Sulsel dengan KID Jakarta Tahun 2010
Kunjungan Dr. Run Titos P.Ag dari Canada
Perkenalan fasilitator pelatihan jurnalisme Mdia Bontoala
Suasana Sekolah Menulis LAPAR Sulsel bekerjasama Desantara Jakarta Tahun 2010
Proses pengambilan gambar Direktur LAPAR Sulsel oleh Media Prancis
18
Edisi Agustus-Desember 2014
Chronicle
Interfidei newsletter
Seminar dan FGD Guru-guru Agama dan PKN SMA/SMK se-DIY
“Memahami Pendidikan Pluralisme di Tengah Kemajemukan Bangsa"
P
Seminar and FGD for Religion and Civics Teachers of High School/Vocational High School in the Special Region of Yogyakarta
“Understanding Pluralism Education in the Midst of the Nation's Pluralism”
ada Rabu, 20 Agustus 2014 Interfidei bersama Forum Komunikasi Guru-guru Lintas-iman (FKGA) Yogyakarta n Wednesday, 20 August 2014, Interfidei and Forum mengadakan Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) Komuni ka si Guru-Guru Lintas-Iman (FKG A, guru-guru pendidikan agama dan kewarganegaraan SMA/SMK Communication Forum of Inter-Faith Teachers) of se-Daerah Istimewa Yogyakarta. Seminar dan FGD ini Yogyakarta held a Seminar and Focus Group Discussion (FGD) for mengangkat tema “Memahami Pendidikan Pluralisme di Tengah religion and civics teachers of High School/Vocational High Kemajemukan Bangsa”. Kegiatan ini berlangsung di Ruang School in the Special Region of Yogyakarta. “Understanding Seminar Harun Universitas Pluralism Education in the Midst of the Nation's K ri st e n D u t a Wa c a na Pluralism” became the Yogyakarta. Pembicara theme of this event. The dalam seminar ini yaitu event was held in Harun Abdul Moqsith Ghazali dan (Aaron) Seminar Room at Elga Sarapung. Seminar Duta Wacana Christian dipandu oleh Wiwin Siti University, Yogyakarta. Aminah selaku Moderator. Abdul Moqsith Ghazali and Pada sesi pertama, Elga Sarapung were the Elga Sarapung memulai keynote speakers in the dengan pertanyaan, seminar, and Wiwin Siti bagaimana menjadikan dan Aminah was the moderator. menciptakan masyarakat Elga Sarapung started Indo ne sia bera da b di the first session with a tengah kemajemukan yang question on how to generate a d a d i s e ke l i l i n g nya . and create a civilized Pendidikan, sebagai media Indonesian society in the yang berperan penting midst of the pluralism dalam membangun Seminar dan FGD Guru-guru Agama dan PKN SMASMK se-DIY surrounding it. Education, as peradaban bangsa perlu a media holding a critical role in the construction of civilization, diletakkan dalam konteks kemajemukan tersebut. was essential to be placed inside the context of pluralism. Selanjutnya sesi kedua Abdul Moqsith Ghazali Later during the second session, Abdul Moqsith Ghazali menyampaikan bahwa lembaga pendidikan sangat penting highlighted the importance of educational institutions in the dalam membangun peradaban multikultur. Guru Agama dan construction of multicultural civilization. The religion and civics guru PKN memang dihadapkan pada situasi yang tidak mudah. teachers were faced with a difficult situation. Religion subject was Mata pelajaran agama berdaulat pada kitab suci sedangkan PKN centralized on scriptures, whereas civics on constitutions. There dilandaskan pada konstitusi. Jika disampaikan pada anak didik would be a possibility for conundrum to take place when this akan terjadi kebingungan, apakah Ia akan menjadi agamawan applied, whether one should be a good religionist or a good yang baik atau jadi negarawan yang baik. “Jika mata pelajaran statesman. “If we apply firm perspective on religion subject, it will agama diisi dengan cara pandang yag keras, maka itulah yang run through the veins of our students,” said the professor of akan masuk ke dalam paru-paru intelektual anak didik kita”, Paramadina University, Jakarta. ucap dosen di Universitas Paramadina Jakarta itu. Furthermore, Moqsith argued that it was important for the Lebih lanjut Moqsith menambahkan pentingnya kehadiran religion and civic teachers to be present during the process since it guru agama dan guru PKN yaitu untuk mempengaruhi cara was crucial to guide the students in shaping their perspectives pandang anak didik mengenai orang yang berbeda dengannya. about those who were considered different. The future challenge in Tantangan Pluralisme ke depan bukan hanya pluralisme antar pluralism was not only that of the inter-religion, but also that of the agama tetapi justru di internal masing-masing agama. Di akhir intra-religion. Moqsith ended the session by stating that the penjelasannya Moqsith menyatakan bahwa kurikulum Agama Religion and Civics curriculum should be made synergized in dan Kewarganegaraan seharusnya bisa bersinergi. Hal ini agar order to avoid the mindset that religion and the states, Islam and cara berpikir yang memisahkan agama dan negara, Islam dan Indonesia, were on the two opposing spectrum. Indonesia, tidak terjadi. The seminar was later followed by an FGD. The participants Seminar dilanjutkan dengan Focused Group Discussion were distributed into three groups to discuss on the formulation of (FGD). Seluruh peserta dibagi menjadi tiga kelompok untu religion subject and civics to be suitable forPancasila, the basic mendiskusikan bagaimana merumuskan Pendidikan Agama dan ideology of Indonesia, and the 1945 Constitution of the Republic Pendidikan Kewarganegaraan yang sesuai dengan pancasila dan of Indonesia. The discussion also covered the formulation of UUD 1945 serta metode seperti apa yang memungkinkan method which enabled the collaboration between the two subjects.
O
Edisi Agustus-Desember 2014
19
Interfidei newsletter
Kronik kolaborasi dua mata pelajaran tersebut di kelas. (WF)
Sidang Raya ke-8 ACRP
(WF)
The 8th ACRP General Assembly
T
O
Diskusi Bulanan “Agama untuk Perdamaian: Pelajaran dari Studi Kasus Konflik Antar Agama di Maluku”
Monthly Discussion “Religion for Peace: A Lesson from the Case Study on InterReligion Conflict in Maluku”
anggal 25-29 Agustus 2014, Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) mengadakan Sidang Raya ke8 di Songdo Convensia, Incheon, Korea Selatan. Temanya “Unity and Harmony in Asia”. Dimulai dengan pre-Assembly untuk pemuda (23-25 Agustus) dan perempuan (25 Agustus), kemudian pelaksanaan Sidang Raya. Jumlah delegasi Indonesia ada 18 orang, termasuk Elga Sarapung dari Interfidei. Elga Sarapung menjadi salah satu narasumber dalam Women preAssembly dengan tema “Respect for Human Rights, Dignity and Wellbeing of Person”. Pada kesempatan tersebut, Elga menyampaikan bahan dengan fokus “Perempuan Papua”. Apa yang bisa dipelajari dari perempuan Papua dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia, martabat serta kehormatan perempuan Papua? Perempuan Asia perlu belajar dari perempuan Papua. Dalam General Assembly, Elga –sebagai Sekretaris ACRP Chapter Indonesia- menyampaikan laporan Chapter Indonesia. Selain menyampaikan laporan kegiatan dari 3 lembaga Chapter Indonesia, Elga juga mempertanyakan peran dan pekerjaan apa yang sudah dilakukan agama-agama dalam menghadapi berbagai persoalan di masing-masing negara dan secara bersama-sama? Menurutnya, tantangan dan hambatan masih banyak dan selalu ada. Diharapkan semua lembaga agama serta individu yang ada dalam ACRP tidak putus asa, tidak takut dan malu, tetapi maju terus ke depan. (ES)
K
amis, 11 September 2014, Interfidei mengadakan diskusi rutin bertajuk “Agama untuk perdamaian: Pelajaran dari studi kasus konflik antar agama-agama Maluku”. Dalam diskusi kali ini dibahas hasil penelitian Utami Sandrayani, alumni Hubungan Internasional UGM yang berjudul “Religious Peace Building in Maluku”. Dalam diskusi ini Tami mencoba menggali konsep “Religious Peace Building” sebagai salah satu metode dan sumber daya dalam mengatasi konflik yang berlatar agama. Ia mengambil contoh konflik agama di Maluku karena merupakan salah satu konflik berlatar agama yang cukup besar di Indonesia. Tami menjelaskan, salah satu inisiatif akar rumput yang paling awal untuk mengembangkan hubungan kohesif melalui pendekatan agama di Ambon terjadi di desa Wayame, sebuah desa yang heterogen di Ambon Baguala pantai. Melalui tim lokal yang disebut Tim 20 - yang terdiri dari 10 tokoh Kristen dan 10 tokoh Muslim di desa itu- Wayame adalah salah satu dari sedikit desa di Ambon yang mampu menjaga perdamaian di desa mereka. Mengutip Tonny Pariela - penulis 'Damai di Tengah Konflik Maluku' -kemenangan perdamaian di Wayame tidak bisa lepas dari peran besar dari Tim 20. Hal ini karena Tim 20 mampu menjaga keharmonisan di masyarakat desa Wayame sehingga penduduk desa tidak mudah terprovokasi selama konflik berlangsung. Selain Tim 20, pembicara juga menjelaskan peran Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM) dalam konflik di Maluku.
20
Edisi Agustus-Desember 2014
n 25-29 August 2014, the Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) held the 8th General Assembly in Songdo Convensia, Incheon, South Korea. “Unity and Harmony in Asia” became the theme of the assembly. A Youth Camp held on 23-25 August and a Women Pre-Assembly on 25 August opened the event before the General Assembly took place. There were 18 delegates from Indonesia, including Elga Sarapung from Interfidei. Elga Sarapung was appointed as one of the keynote speaker in the Women Pre-Assembly, delivering the theme of “Respect for Human Rights, Dignity and Wellbeing of Person”. On the occasion, Elga brought the focus of the presentation into “The Women of Papua”. What could be learnt from Papuan women was the way they struggle for human rights and the dignity and honor of those women. The Asian women surely need to learn from Papuan women. In the General Assembly also, Elga, as the secretary of ACRP Indonesia Chapter, presented the report of Indonesia Chapter. Apart from presenting the activity report from 3 organizations in Indonesian Chapter, Elga also questioned the role and work of religions in facing various issues in their respective countries and in general. For her, the challenge and obstacles were quite many and would always exist. It was hoped that the religious institutions as well as the individuals involved in ACRP would always be persistent, fearless, and confident in serving the cause. (ES)
O
n Thursday, 11 September 2014, Interfidei held a routine discussion titled “Religion for Peace: A Lesson from the Case Study on Inter-Religion Conflict in Maluku”. In this event, the research result of Utami Sandrayani, the alumnus of International Relation of Gadjah Mada University, with the title of “Religious Peace Building in Maluku” was discussed. In the discussion, Tami tried to dig deeper on the concept of “Religious Peace Building” as a method and resource in overcoming religious conflict. She used the inter-religion conflict in Maluku as an example due to the fact that it was one of the biggest conflicts of inter-religion in Indonesia. Tami further explained that one of the earlier grass root initiatives in the attempt to develop a cohesive relation through religious approach took place in Wayame, a heterogeneous village on the shore of Ambon Baguala. Executed by Tim 20, a local team consisting of 10 Christian leaders and 10 Moslem leaders in the village, Wayame was one of the limited numbers of Ambonese villages which was able to maintain peace in the area. Quoting Tonny Pariela, the writer of Damai di Tengah Konflik Maluku (Peace in the Midst of Conflict in Maluku), the triumph of peace in Wayame was hugely influenced by the major role of Tim 20. Peace triumphed due to the fact that Tim 20 successfully maintained the harmony among the people of Wayame, keeping them level headed during the conflict in order not to be easily provoked. Aside from Tim 20, Tami also illustrated the role of Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM, Maluku Inter-faith
Chronicle
Interfidei newsletter LAIM merupakan salah satu aktor yang paling menonjol di Ambon. Didirikan pada tahun 2001, LAIM telah menjadi dasar utama hubungan antar-agama antara Islam, Kristen, dan Katolik di Ambon. LAIM juga telah mewujudkan dan mengorganisir hubungan antaragama di antara tiga badan keagamaan utama di Ambon -Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ambon, Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) dan Keuskupan Amboina. Diskusi dilanjutkan dengan berbagi pendapat dan berbagi pengalaman dari peserta diskusi yang hadir. Beberapa peserta mahasiswa yang berasal dari Maluku berbagi sudut pandangnya dalam melihat konflik maluku di masa lalu. (MF)
Institution) in the Maluku conflict. LAIM was one of the most stand-out actors in Ambon. Founded in 2001, LAIM had become the central foundation of the inter-religion relation between Islam, Christian, and Catholic in Ambon. LAIM also enabled and organized the inter-religion relation among the three main religious bodies in Ambon, namely the Indonesian Ulema Council in Ambon, the Protestant Church Synod, and the Amboina Episcopacy. The discussion was followed with a sharing of opinions and experience among the participants. A number of university students from Maluku shared their perspectives in viewing this past conflict. (MF)
Diskusi Buku: “Perjalanan Panjang dan Berliku Mencapai Indonesia yang Adil dan Beradab” Karya Pdt. Dr. AA. Yewangoe
A Book Discussion:
P
ada Rabu, 17 September 2014 lalu, Interfidei bekerjasama dengan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menyelenggarakan diskusi buku karya Pdt. Dr. AA Yewangoe yang berjudul “Perjalanan Panjang dan Berliku Mencapai Indonesia yang Adil dan Beradab”. Diskusi diadakan di Ruang Teatrikal Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Pagi itu selain Pdt. Yewangoe sebagai penulis buku, ada tiga pembicara juga yang hadir, antara lain: Prof. Abdul Munir Mulkhan (guru besar UIN), Nur Khalik Ridwan (intelektual muslim), dan Tabita K. Christiani, Ph. D (pendeta dan dosen Universitas Kristen Duta Wacana). Pdt. Yewangoe mengawali diskusi dengan menjelaskan latar belakang ditulisnya buku tersebut. Penulis mengatakan bahwa buku ini merupakan kumpulan makalah yang disampaikan dalam seminar selama tahun 2001–2012, di mana selama tahun-tahun tersebut banyak peristiwa yang terjadi seperti pengeboman menara kembar di New York yang direspon dengan war-on-terrorism oleh Bush, dan bom-bom susulan lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Stigma negatif, khususnya pada Islam, pun mulai merebak. Rasa curiga menghiasi hubungan antara umat Kristen dan Islam. Kendati demikian, Pendeta Yewangoe percaya bahwa selalu ada harapan karena menurutnya kerukunan antar-umat di Indonesia –yang tidak dibuat-buat–sebenarnya masih hidup. Meski perjalanan masih panjang dan berliku, namun tetaplah optimis selama menjalaninya. Prof. Munir Mulkhan berpendapat bahwa buku yang ditulis oleh Pdt. Yewangoe tersebut sangat menarik karena berhasil mencerminkan kegelisahan-kegelisahan dalam relasi yang selama ini terjadi antara agama atau bahkan intra-agama. Klaim kebenaran –bahwa agama kami yang paling benar– selalu menjadi menu utama yang disajikan oleh agama-agama; itulah mengapa perjalanan kita masih panjang dan berliku. Menurut Nur Khalik Ridwan, karya Pdt. Yewangoe tersebut dikemas dengan ringan, enak, mudah ditangkap, dan pikiran-pikirannya orisinil. Kemudian Nur Khalik juga berpendapat mengenai ambivalensi agama yang terdapat dalam buku tersebut. Menurutnya, agama memang memiliki dimensi yang menyebabkan kekerasan dan ketidak-adilan, namun juga agama memiliki potensi untuk menjadi ladang penyubur koeksistensi dan perdamaian. Hal ini yang coba disampaikan oleh Pdt. Yewangoe dalam bukunya. Sedangkan Tabita K. Christiani, Ph. D menyampaikan catatannya terkait buku ini. Pertama, ia mendapati bahwa Pdt. Yewangoe memahami toleransi dengan nada yang positif, karena
“Perjalanan Panjang dan Berliku Mencapai Indonesia yang Adil dan Beradab” (A Long and Winding Road to Just and Civilized Indonesia)
by Rev. Dr. AA. Yewangoe
O
n Wednesday, 17 September 2014, Interfidei in co l l a b o ra t i o n w i t h th e Fa cu l t y o f D a' wa a n d Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University, held a book discussion in which the book “Perjalanan Panjang dan Berliku Mencapai Indonesia yang Adil dan Beradab” (A Long and Winding Road to Just and Civilized Indonesia) by Rev. Dr. AA. Yewangoe become the topic of discussion. The event was held in the Theatrical Room of the Faculty of Da'wa and Communication, Sunan Kalijaga State Islamic University. Three other speakers besides the writer were present that morning. The other three speakers were Prof. Abdul Munir Mulkhan (an Endowed Professor of Sunan Kalijaga State Islamic University), Nur Khalik Ridwan (a Moslem scholar), and Tabita K. Christiani, Ph.D. (a reverent and a lecturer of Duta Wacana Christian University). Rev. Yewangoe opened the discussion by explaining the background which initiated the writing of the book. He stated that the book was a collection of articles which had been presented during the period of 2001 to 2012, a period which consists of devastating events such as the bombing of the New York twin towers resulting in Bush's war-on-terrorism, and the follow up bombings around Indonesian regions. With these incidents, a negative stigma, especially towards Islam, started to develop. Suspicions infected the relation between the Christians and Moslems. Even so, Rev. Yewangoe believed that there was always hope for peace since the genuine harmony among the people in Indonesia was still alive. Although the journey ahead was quite long and winding, people need to stay optimistic when taking the journey. Prof. Munir Mulkhan argued that the book written by Rev. Yewangoe was very intriguing for it successfully reflected the agitations present in the relation between religions, or even in the relation among the people of the same religion. Such claim of truth which stated that “our religion is the truest” had always been the main concern of all religions. For this particular reason, the journey to just and civilized Indonesia became long and winding. Another argument was given by Nur Khalik Ridwan. From his perspective, the book was written with lightly and comfortable atmosphere surrounding original ideas which made it easy for the readers to get the essence of the book. In addition to that, Nur Khalik also argued about the ambivalence of religions written in the book. For him, religions did have a dimension responsible for violence and injustice, however, religions also had the potential to nurture co-
Edisi Agustus-Desember 2014
21
Interfidei newsletter
Kronik ia memaknainya dengan sikap menghargai, mau memahami, berdialog dengan orang lain –bukan berjalan sendiri-sendiri. Kerukunan juga sebenarnya sudah ada di kalangan masyarakat Indonesia, walaupun sekarang mulai terusik karena pengaruh dari luar. Kedua, Pdt. Yewangoe juga membahas adanya permasalahan dalam peraturan yang diskriminatif, seperti beberapa aturan yang dibingkai dalam negara agama, padahal Indonesia tidak mendasarkan konstitusinya pada agama tertentu. Ketiga, Pak Yewangoe tidak menggunakan dikotomi minoritas-mayoritas selama memaparkan ide-idenya dalam buku tersebut, justru ia lebih menekankan pada hak-hak kewarganegaraan yang menekankan bahwa setiap warga negara setara di hadapan hukum. Setiap orang, baik dia bagian dari minoritas maupun mayoritas, berhak untuk memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Berbagai tanggapan datang dari peserta diskusi antara lain mengapresiasi buku karya Pdt. Yewangoe. Sebagian peserta juga bertanya kepada narasumber lainnya terkait perkembangan hubungan antar agama di Indonesia. (WF)
Diskusi Buku “100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua”
D
iskusi buku “100 orang Indonesia angkat pena demi Dialog Papua” sudah berlangsung di Jakarta dan Yo g y a k a r t a . K a l i i n i , 2 0 S e p t e m b e r 2 0 1 4 diselenggarakan di Banjarmasin, bertempat di Pondok Wisata Tambak Yuda, Banjarmasin. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), Banjarmasin dan Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta. Peserta yang hadir dari unsur mahasiswa, dosen, guru, aktivis HAM dan demokrasi, jurnalis, pimpinan agama, tokoh adat dan aktivis perempuan. Ada 3 (tiga) nara sumber, yaitu Dr. Syakrani (dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin), Marthen Goo (Jaringan Damai Papua, Papua/Jakarta), Elga Sarapung (Direktur Institut DIAN/Interfidei). Moderator Dr. Darius Dubut. Dr. Syakrani, menyampaikan fakta kontroversial mengenai Papua. Bahwa Papua sangat kaya dengan sumber daya alam, tetapi yang termiskin dan tidak mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan serta kesejahteraan hidup yang baik, benar dan adil. Tentu, ada yang salah dan menyebabkan keadaan ini terjadi. Paling tepat kesalahan tersebut dipertanyakan dan diminta pertanggungjawabannya kepada pemerintah, baik lokal maupun pusat, Jakarta. Karena itu, dialog Jakarta-Papua penting sekali dilaksanakan segera. Marthen Goo menguraikan hal-hal apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh Jaringan Damai Papua, baik di Papua dan Papua Barat maupun di luar Papua. Jaringan Damai Papua berharap agar pemerintahan baru akan mampu melaksanakan Dialog Jakarta-Papua sambil memperbaiki dengan segera keadaan sosial-budaya-ekonomi serta politik di Papua. Selain itu pemerintah harus menghentikan kekuasaan eksploitatif dan manipulatif terhadap sumber daya alam, menghentikan pola hidup sosial-budaya yang diskriminatif, serta menghentikan pendekatan keamanan yang penuh dengan kekerasan. Dialog Jakarta-Papua adalah jalan damai yang dapat membantu semua pihak untuk menghentikan hal-hal tersebut secara beradab. Sementara, Elga Sarapung menggarisbawahi bahwa persoalan Papua sudah sangat lama berlangsung (lebih dari 50 tahun), tetapi masih memprihatinkan karena “jalan keluar”
22
Edisi Agustus-Desember 2014
existence and peace. This idea was the one which Rev. Yewangoe tried to convey through writing in his book. Later, Tabita K. Christiani, Ph.D. presented her notes about the book. Firstly, she found that Rev. Yewangoe understood the positive tone of tolerance for he interpreted tolerance as respecting, understanding, and establishing dialog with others, instead of an individual struggle. Furthermore, she mentioned that harmony had existed among Indonesian people, even though it started to show the sign of infection from external factors. Second, Rev. Yewangoe pointed out that there were problemsembedded in discriminative regulations as framed in nations with religious foundation. However, Indonesian's constitution was not based on certain religion. Third, Rev. Yewangoe avoided using minority and majority dichotomy in explaining his ideas in the book. Instead, he emphasized on the citizen rights which affirmed that every citizen was equal beforethe law. Each person, a part of the minority or a part of the majority, had the right to fight for his rights as a citizen. The discussion then followed by a question and answer session. Various responses came from the participants. One of which appreciated Rev. Yewangoe's book. A part of the participants raised questions addressed to the other speakers concerning the inter-religious relation in Indonesia. (WF)
A Book Discussion: “100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua” (100 Indonesians Started Writing for Dialogs in Papua)
A
book discussion on “100 Orang Indonesia Angkat Pena demi Dialog Papua” (100 Indonesians Started Writing for Dialogs in Papua) was previously held in Jakarta and Yogyakarta. This time, on 20 September 2014, it was held in Banjarmasin. The venue of this event was at Pondok Wisata Tambak Yuda, Banjarmasin. It was a collaborative work between the Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3, Institute for Islamic and Social Studies), Banjarmasin and DIAN/Interfidei Institute, Yogyakarta. Attending participants were students, lecturers, teachers, human rights and democracy activists, journalist, religious leaders, custom leaders, and woman activists. There were 3 (three) keynote speakers on the discussions, they were Dr. Syakrani (a lecturer of FISIP Lambung Mangkurat University, Banjarmasin), Marthen Goo (Pe ace Networks Pa pua, Papua/Jakarta), and Elga Sarapung (Director of DIAN/Interfidei Institute). The session was moderated by Dr. Darius Dubut. Dr. Syakrani presented such a controversial fact about Papua. She pointed out that Papua was prosperous with natural resources, yet it was the province with the most poverty and the least attention on good, proper, and just educational, health, and life-welfare services. Obviously, something had gone wrong for these problems to arise. It was fair when the government, local or state, was put into the light to be questioned and asked for responsibility. For this reason, the dialog between Jakarta and Papua is crucial to be put into actions in the near future. Marthen Goo explained the actions which had been, was, and would be done by the Peace Network Papua, whether it was in the area of Papua and West Papua or outside of Papua. The Peace Network Papua expected the new government to be capable in carrying out dialogs between Jakarta and Papua while immediately fixing the socio-culture-economic and political condition in Papua at the same time. On top of that, the government had the responsibility to put a stop on the exploitative and manipulative power against natural resources, to put a stop on discriminative socio-cultural life, and to put a stop on security
Chronicle
Interfidei newsletter yang ditempuh oleh Pemerintah (Pusat dan daerah) selama ini tidak sungguh-sungguh. Buktinya, baik Otonomi Khusus maupun Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) oleh masyarakat Papua ditolak, karena dianggap tidak berhasil, hanya menghambur-hamburkan uang, tidak menolong terjadinya perubahan mendasar dan substansial yang memperbaiki kehidupan orang Papua dan menempatkan mereka secara bermartabat. Penderitaan orang Papua dan rentetan kekerasan tetap terjadi, stigma pun belum dapat dihilangkan. Sebab itu, Dialog Jakarta-Papua sangat penting untuk dilaksanakan dan Pemerintah harus serius dengan hal tersebut. Acara diskusi dilengkapi dengan vocal group pemuda lintasiman, Banjarmasin, yang menyanyikan lagu-lagu Papua. (ES)
Workshop Guru-guru Agama & PPKn SMA/K SE-DIY
approaches filled with violence. Thus, the dialog between Jakarta and Papua was a peaceful way out which can help all parties to put an end to those problems in a civilized way. Meanwhile, Elga Sarapung emphasized that the problems occurring in Papua had taken too long (over 50 years). It was, however, still a high concerns due to the “solution” taken by the government (national and local) was not executed seriously. A supporting fact on the statement was the fact that both the Special Autonomy and the Unit for Acceleration of Development in Papua and West Papua (UP4B) by the people of Papua was rejected for being considered to be a failure and a waste of funding. It was also considered to be ineffective in helping to create fundamental and substantial changes which improved the lives of the dignified people of Papua. The suffering of the people of Papua and the barrage of violence continued as the stigma persisted. Thus, the dialogs between Jakarta and Papua were crucial to be implemented, and the government was demanded to handle the matter seriously. Finally, a performance of inter-faith youth vocal group completed the event with songs of Papua. (ES)
“Memahami Pendidikan Pluralisme di Tengah Kemajemukan Bangsa"
D
Religion and Civics Teachers of High School/Vocational High School in the Special Region of Yogyakarta Workshop:
alam rangka menumbuhkan sensitivitas dan sikap krit is para guru Pendidikan Agam a dan Kewarganegaraan terhadap beberbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat terkait dengan perbedaan di dalam kemajemmukan bangsa serta memampukan peran guru Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan untuk melakukan reorientasi pembelajaran, memilih materi, metode, nstitute DIAN/Interfidei in collaboration with media dan sumber belajar yang tepat untuk diterapkan di Communication Forum of Religion Teachers in the Special dalam kelas dalam rangka menjawab berbagai pertanyaan yang Region of Yogyakarta held a workshop for Religion and muncul di masyarakat, maka Institut DIAN/Interfidei bekerja Civics teachers of High School/Vocational High School in the sama dengan Forum Komunikasi Guru Agama D. I. Yogyakarta mengadakan Workshop Guru-guru Pendidikan Agama dan area of Yogyakarta on 26-28 September at Camelia Inn, Kaliurang, Yogyakarta. It Kewarganegaraan SMA/K was conducted in the Se- DIY. Kegiatan tersebut attempt to foster diselenggarakan tanggal sensitivity and critical 26-28 September 2014 di attitude of religion and Penginapan Camelia, civic teachers towards Kaliurang, Yogyakarta. various problems and Pa d a h a r i ke d u a challenges faced by the Wo r k s h o p i n i d i s e l e n g g a rak an p u l a society concerning the ceramah dan diskusi yang nation's differences and mendatangkan Ahmad diversities as well as S a if u d i n M u t a q i d a r i enabling their roles in Majelis Ansharullah conducting learning Jamaah Ahmadiyah reorientation, selecting Indonesia, wilayah DIY dan appropriate materials, Steve Gasperz dari ICRS methods, media, and Yo g y a k a r t a . D a l a m learning resources to be Workshop Guru-guru Agama & PPKn SMAK SE-DIY - Camelia kesempatan ini, Ahmad applied in the classroom Saifudin memberikan materi tentang Pendidikan (ber)Budi to answer various questions from the society. Pekerti dan Steve Gaspersz memberikan materi tentang On the second day of the workshop, Ahmad Saifudin Problem Pendidikan pluralisme dalam Konteks Kemajemukan Mutaqi from Indonesian Ansharullah Jamaah Ahmadiyah Bangsa (tingkat lokal dan nasional). Council, Yogyakarta area, and Steve Gasperz from ICRS Salah satu sesi yang menarik dalam kegiatan ini adalah peer teaching. Tujuan dari peer teaching ini adalah Yogyakarta became the spokespersons. On this event, Ahmad memberikan pengalaman mengajar yang bernuansa Saifudin presented a topic on character education, and Steve pendidikan pluralis, dan memberikan gambaran yang lebih Gaspersz presented a topic on the Problems of Pluralism nyata mengenai strategi pembelajaran pluralis di kelas. Setelah Education in the Context of the Nation's Pluralism (in local and
“Understanding Pluralism Education in the Midst of the Nation's Pluralism”
I
Edisi Agustus-Desember 2014
23
Interfidei newsletter
Kronik melakukan peer teaching, peserta lainnya bersama fasilitator merefleksikan dan memberikan umpan balik atas pembelajaran yang sudah berjalan. Melalui kegiatan ini, diharapkan para guru Pendidikan Agama dan Kewarganegaraan dapat merumuskan secara detail apa yang bisa dilakukan secara riil, baik dalam lingkup individu maupun kelompok, khususnya berkaitan dengan materi, metode, sumber pembelajaran Agama dan PPKn dalam praktek pembelajaran di sekolah masing-masing. (ME)
Pendidikan Mengelola Perbedaan Dalam Keragaman di Sekolah-sekolah (Tahap II)
national level) An interesting session on this event was the peer teaching. The aim of the peer teaching was to expose the participants with a teaching experience carrying a nuance of pluralism education as well to give a real illustration on the pluralism education strategies in the classroom. When the peer teaching ended, the participants, along with the facilitators, reflected on the experience and gave feedback on the peer teaching. This activity is expected to help the Religion and Civics teachers in formulating detailed activities which can be applied realistically in the teaching practices of each school by either individuals or groups, in relation with materials, methods, Religion and Civics references. (ME)
The Education on Managing Differences in Diversity at Schools (Second Stage)
B
ulan Maret 2014 yang lalu telah diadakan Seminar dan Lokakarya “Pendidikan Mengelola Perbedaan dalam Keragaman di Sekolah-sekolah (tahap I), yang diikuti oleh 25 peserta (11 guru laki-laki dan 14 guru perempuan) yang berasal dari sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA, Negeri dan Swasta dari beberapa wilayah di Propinsi Gorontalo. seminar and workshop about “The Education on Dari evaluasi kegiatan di akhir acara tersebut, semua Managing Differences in Diversity at Schools, Phase I” peserta antusias untuk melanjutkan kegiatan dengan tahap yang was held on March 2014. There were 25 participants, lebih advance agar para guru tidak saja memahami apa arti pluralitas masyarakat Gorontalo secara kuantitas, tetapi juga consisting of 11 male teachers and 14 female teachers, coming kualitas dan apa hubungannya dalam dunia pendidikan agama di from some state and private secondary schools in Gorontalo sekolah-sekolah. Bagaimana agar mereka mampu untuk menjadi province. The evaluation conducted at the end of the event showed guru yang tidak saja hanya mengajarkan materi pendidikan tetapi terutama adalah menjadi pendidik bagi para anak didik di the enthusiasm of all participants to have a follow-up event in a sekolah-sekolah dan juga di masyarakat, di lingkungan di mana more advanced level. By this, the teachers involved would not mereka berada, seberapa only get quantitative pun konteks pluralitas yang understanding on the ada di masing-masing m e a n i n g of p l u ra l i st tempat. Artinya, bagaimana society in Gorontalo, but para guru bisa menjadi also get qualitative aktor-aktor perdamaian understanding on the berbasis perbedaan agama matter in relation with the dan et nis di Propinsi religion education at Gorontalo, melalui sekolahschools. A follow up event sekolah untuk masyarakat. would teach them to be Dalam rangka itulah, capable teachers whose pada tanggal 1 -3 Oktober ability was not limited in 2 0 1 4 I n s t i t u t delivering the materials DIAN/Interfidei berserta only, but in becoming true Jaringan Antariman di educators for the students Gorontalo mengadakan also. They would be able to kegiatan Lokakarya tahap II apply this at schools, di Gorontalo. Tujuan community, and various kegiatan ini adalah untuk environments in meningkatkan kapasitas Pendidikan Mengelola Perbedaan Dalam Keragaman di Sekolah-sekolah guru-guru Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan Bimbingan consideration with the context of pluralism in each area. In Konseling di Propinsi Gorontalo agar semakin mampu mengelola other words, it would prepare the teachers to be the actors of perbedaan di sekolah-sekolah dan di masyarakat pada umumnya, peace which put the base on religious and ethnicity differences antara lain dengan mengajak para guru untuk memetakan in Gorontalo province, through schools for the society. bersama potensi damai dan potensi konflik di Propinsi Gorontalo, On that note, Institute DIAN/Interfidei in collaboration terutama terkait dengan perbedaan dalam kemajemukan agama with Inter-faith Networks in Gorontalo held the 2ndphase dan etnis. Selain itu juga memperkenalkan kepada para guru workshop in the area. The objective of this event was to elevate beberapa teori perdamaian dan konflik serta bagaimana the capacity of Religion, Civics, and Counseling teachers in mengelola potensi negatif dan positif di masyarakat agar tidak Gorontalo to handle plurality which existed at schools and in menjadi kekuatan destruktif melainkan konstruktif. Tujuan lain the society by asking those teachers to map potentials for peace agar jaringan antara para guru Pendidikan Agama, Kewarganegaraan dan Bimbingan Konseling di Gorontalo dapat and conflict in Gorontalo, especially those concerning terbangun dan menjadi bagian dari jaringan guru-guru differences in the religious and ethnic plurality. In addition to
A
24
Edisi Agustus-Desember 2014
Chronicle
Interfidei newsletter antariman, baik di tingkat lokal maupun nasional. (ME)
Lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman di Sulawesi Selatan Tahap 1
P
that, the workshop introduced the theories on peace and conflict as it guided them to manage negative and positive potentials in the society to become constructive (not destructive) force. Another objective of the workshop was for the networking among Religion, Civics, and Counseling teachers in Gorontalo could be established and became a part of the Inter-faith Teachers Network, locally or nation wise. (ME)
ada 14-23 Oktober 2014 Interfidei bekerjasama dengan LAPAR (Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat) dan OASE Intim menyelenggarakan Lokakarya Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman di Sulawesi Selatan. Tujuan dari kegiatan ini selain untuk menciptakan aktoraktor perdamaian berbasis antariman di Sulawesi Selatan, juga untuk memelihara, memperkuat dan mengembangkan Jaringan n 14-23 October 2014, Interfidei in collaboration with Antariman di Sulawesi Selatan serta menjadikannya bagian dari Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat kekuatan bersama Jaringan Antariman Indonesia untuk (LAPAR,Institute of People for Education and Advocacy) Keadilan, Kebenaran, Kesetaraan dan Perdamaian di Indonesia. and OASE Intim held a workshop on South Sulawesi Inter-faith Kegiatan ini diikuti oleh 28 peserta yang terdiri dari 11 Network Capacity Building. The event aimed to create inter-faith orang perempuan dan 17 orang laki-laki. Sedangkan komposisi based peace actors in South Sulawesi, to nurture, strengthen, and peserta dari segi agama terdiri dari Katolik 2 orang, Protestan 8 develop the inter-faith networks in South Sulawesi, and to make orang, Islam 13 orang, Hindu 2 orang, Buddha 1 orang, Alang them as a part of a shared power of Indonesia Inter-faith Dewata 1 orang, Aluktodolo 1 orang,. Kebanyakan peserta Networks for Justice, Truth, Equality, and Peace in Indonesia. berasal dari Makassar (22 orang) dan ada 6 orang peserta dari There were 28 participants in the event, 11 female luar Makassar (Banjarmasin 2 orang, Kendari 2 orang dan Pareparticipants and 17 male participants. The composition of the Pare 2 orang). participants, from the perspective of religion, consisted of 2 Selama 10 hari peserta berproses bersama, saling Catholics, 8 Protestants, 13 Moslems, 2 Hindus, 1 Buddhist, 1 mengenal, sharing dan belajar satu sama lain dengan didampingi Alang Dewata, and 1 Aluktodolo. Twenty two participants came oleh 3 orang fasilitator yakni Elga Sarapung dan Wiwin Siti from Makassar and six participants came from outside of the area Aminah dari Interfidei dan Noorhalis Majid dari LK3 (2 from Banjarmasin, 2 from Kendari, and 2 from Pare-Pare). Banjarmasin. Sedangkan khusus untuk materi Analisis Sosial The participants were interacting with each other, getting difasilitasi oleh Karen Campbell Nelson, pelatih dan dan to know each other, sharing konsultan materi tentang experience with one dokumentasi HAM, isu another, and learning from jender, analisis sosial. each other under the Pada hari pertama, mentoring of 3 facilitators, selain peserta diajak untuk namely Elga Sarapung and menjalin keakraban satu Wiwin Siti Aminah from sama lain, mereka juga Interfidei and Noorhalis dibekali dengan dua materi Majid from LK3 yakni “Konteks agamaBanjarmasin. A focused agama dan dinamika material on Social Analysis perbedaan di Sulawesi was facilitated by Karen Selatan” dengan Campbell Nelson, a narasumber Dr. Zakaria material trainer and Ngelow dan Prof. Dr. Qasim consultant on Huma n Mathar dan moderator Rights documentation, Karim (LAPAR) dan “ gender issue, and social Konteks Budaya di Sulawesi analysis. Selatan dan tantangan After getting to know perubahan sosial-budaya “ each other on the first day, dengan narasumber Dr. Lokakarya pengembangan kapasitas makassar the participants were also Alwi Rachman dan dimoderatori oleh Asyer Tandapai (OASE Intim). Pada hari equipped with two topics. The first topic was “The context of kedua, peserta mendiskusikan apa yang mereka pahami tentang Religions and the dynamics of differences in South Sulawesi” “perbedaan, Pluralisme dan dialog” dan menggali teks-teks yang given by Dr. Zakaria Ngelow and Prof. Dr. Qasim Mathar, mendorong untuk menghargai perbedaan dan juga teks-teks moderated by Karim from LAPAR. The second topic was “Cultural yang ditafsirkan tidak mendukung perbedaan. Sorenya mereka context in South Sulawasi and the challenge of socio-cultural mengunjungi komunitas agama-agama agar mengenal lebih changes” given by Dr. Alwi Rachman, moderated by Asyer dekat tentang komunitas tersebut. Sesi malam diakhiri dengan Tandapai from OASE Intim. On the second day, the participants discussed on what they understood concerning the issue of refleksi atas kunjungan tersebut. Di hari ketiga, pagi sampai siang pelatihan diisi dengan “Differences, Pluralism, and Dialogs” and explored some texts materi tentang “mengelola dan memaknai perbedaan” dengan which supported tolerance as well as those which were against mengungkapkan prasangka dan stereotype masing-masing tolerance. Later in the afternoon, the participants visited religious communities in order to get deeper understanding on
A Workshop on South Sulawesi Interfaith Network Capacity Building, First Stage
O
Sumber: Dok. Interfidei
Edisi Agustus-Desember 2014
25
Kronik terhadap agama lain. Siangnya, Pak Philips Tangdilintin (akademisi dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Majemuk) mengisi materi tentang “Kewarganegaraan”. Dua hari berikutnya lokakarya diisi dengan diskusi mengenai “HAM dan isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)” dengan narasumber Poengky Indarti (Direktur Imparsial) juga materi tentang Advokasi dengan narasumber Andi Suaib (KONTRASMakassar). Pada hari keenam, peserta mulai mendapatkan Pengantar Analisis Sosial (ANSOS) dengan Karen Campbell Nelson sebagai fasilitator. Keesokan harinya dilanjutkan dengan belajar mengenai Isu Strategis, alat-alat Ansos dan persiapan untuk Ansos lapangan. Pada hari kedelapan, semua peserta terjun ke lapangan. Mereka terbagi ke dalam 5 kelompok untuk berkunjung ke tempat yang berbeda yakni komunitas miskin kota (Kampung Pisang), komunitas Ahmadiyah, komunitas nelayan (Kampung Lette), komunitas transgender (Sehati) dan komunitas difabel (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia). Hari kesembilan setiap kelompok menyampaikan laporan hasil kunjungan lapangan dilanjutkan dengan melakukan refleksi bersama. Malamnya, peserta mengelola sesi “Malam Persaudaraan”. Mereka menampilkan berbagai penampilan hasil dari kreativitas mereka. Acara ini dihadiri tidak hanya oleh peserta, panitia dan fasilitator saja, tetapi juga dihadiri oleh perwakilan dari komunitas –komunitas yang dikunjungi, baik komunitas agama-agama maupun lima komunitas di atas. Di hari terakhir peserta merumuskan bersama rencana tindak lanjut dan juga melakukan evaluasi. Mereka akan bertemu dan berproses bersama kembali dalam lokakarya tahap kedua bulan Februari tahun depan. (WR)
FGD Menindaklanjuti Hasil Konferensi Jaringan Antariman Indonesia VI
Interfidei newsletter those communities. The evening session was ended with a reflection about the visitation. On the third day, the workshop started by discussing the topic of “Managing and Interpreting Differences” in which the participants expressed their assumption and stereotypes about other religions. After the session, at noon, Mr. Philips Tangdilintin (a scholar and a member of Institute for Pluralist Society Empowerment) carried the session on “Citizenship”. For the next two days, the workshop discussed the topic of “ Human Rights and the Issues on Freedom of Religions and Believes” led by Poengky Indarty (the Director of Imparsial) and the topic of “Advocacy” led by Andi Suaib from KONTRAS, Makassar. On the sixth day, the participants started to get Introduction to Social Analysis which was facilitated by Karen Campbell Nelson. The next day, the discussion was on the Strategic Issues, Social Analysis tools, and Field Social Analysis Preparation. On the eighth day, all participants, divided into 5 groups, did a field analysis in which they visited 5 different places. Those places were an urban poor community (Kampung Pisang), Ahmadiyah community, a fishermen community (Kampung Lette), a transgender community (Sehati), and a community of people with disability (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia – Disability Indonesia Union). On the ninth day, every group presented their field analysis report, followed by a reflection. In the evening, the participants held a “Brotherhood Night”. In this particular event, they featured a variety of performances as the result of their creative thoughts. Besides the participants, committee, and facilitators, this event was also attended by the representations of the visited communities, whether they were religious communities or the five communities visited during the eighth day. On the last day, the participants formulated a follow-up action and conducted an evaluation. They would gather and do more discussions on the second phase of the workshop which would be held in February 2015. (WR)
U
ntuk menindaklanjuti hasil Konferensi Nasional VI Jaringan Antariman Indonesia yang sudah dilaksanakan FGD as a Follow-Up to the Result of the pada 19-23 Mei lalu, diselenggarakanlah FGD yang dihadiri oleh 11 orang. Kegiatan ini bertujuan untuk mereview 6th Indonesia Inter-faith Networks hasil konferensi, memikirkan dan mendiskusikan bersamasama prioritas program yang relevan dan mampu dilakukan Conference selama 3 (tiga) tahun ke depan, 2015-2017. Harapannya agar hasil dari Konferensi tersebut dapat diimplementasikan lebih s a follow up to the konkrit, baik di tingkat result of the 6th lokal maupun nasional, Indonesia Interkhususnya terkait dengan faith Networks dukungan kepada upaya Conference, conducted on menjadikan Papua sebagai 19-23 Mei 2014, an FGD Tanah Damai. Selain itu involving 11 participants diharapkan agar seluruh was held. This discussion stakeholders, dapat aimed to review the result bekerjasama untuk of the conference as well mengimplementasikan as to consider and to kegiatan prioritas yang discuss applicable 3-year akan dilakukan di tingkat relevant program FGD Menindaklanjuti hasil konferensi lokal maupun nasional. priorities (2015-2017). Kegiatan tersebut dilaksanakan pada 6-8 November di This was based on the hope that the results of the conference Gedong Gandhi Ashram, Candi Dasa, Karangasem, Bali. could have a more concrete implementation, both local and Pertemuan ini telah menghasilkan beberapa rumusan program national, especially in respect of supporting the struggle to make kerja JAII tiga tahun ke depan di Bidang Pendidikan dan Bidang Papua as a Land of Peace. In addition, it was expected that all the Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Selain itu, ditetapkan stakeholders could work together in implementing the priority juga visi - misi JAII dan rumusan rencana kerja dan activities which would be carried out at local and national levels. pengorganisasian JAII seperti pembentukan dan mekanisme The activity was held on 6-8 November 2014 at Gedong tim kerja dan tim penasihat, fundrising, publikasi dan Gandhi Ashram, Candi Desa, Karangasem, Bali. The meeting had
A
26
Edisi Agustus-Desember 2014
Chronicle
Interfidei newsletter komunikasi. (WR)
Lokakarya Pengembangan Kapasitas Guru-guru Agama dan Guru Pendidikan Kewarganegaraan di Sulawesi Tengah
P
resulted in some action program formulation of the Indonesia Inter-faith Networks for the next three years in the field of education and economy, social and culture (EKOSOB). Moreover, the meeting set the Indonesia Inter-faith Networks vision and mission, its action plan formulation, and its organization line, as well as the formation and mechanism in setting the working and advisory teams, fundraising, publication, and communication. (WR)
erbedaan, bukan merupakan keadaan baru bagi masyarakat di Sulawesi Tengah, hanya saja dinamikanya mengalami banyak perubahan dan perkembangan dalam A Workshop on Religion and Civics hampir dua dekade terakhir ini. Katakanlah mulai sejak terjadinya konflik di Poso, yang memberi efek langsung kepada Teachers Capacity Building in Central masyarakat di daerah-daerah sekitarnya, termasuk di Palu, Sulawesi sebagai ibu kota propinsi. Bahkan masih kuat dalam ingatan banyak orang, bagaimana situasi masyarakat antar-etnis dan antar-agama di Sulawesi Tengah mengalami berbagai ifferences were not something unfamiliar for the people kecurigaan, kegelisahan dan rasa tidak aman. Dapat dikatakan of Central Sulawesi. However, the dynamics of differences suasana itu masih ada sampai sekarang, termasuk yang terjadi di had undergone many changes and development during dunia pendidikan di kalangan anak-anak sekolah. Salah satu the past two decades since, let's say, the Poso conflict. It gave pengaruh utamanya adalah melalui berbagai media serta direct effects on the people in the surrounding area, including “kehadiran” simbol-simbol konflik masa lalu di beberapa wilayah Palu as the province capital. People still strongly remembered on di Sulawesi Tengah. Lagi pula, sampai saat ini ada saja gangguan how people of Central Sulawesi experienced suspicion, anxiety, dari kelompok-kelompok tertentu yang berupaya untuk and insecurity towards other ethnicities and religions during the menciptakan suasana kecurigaan, kegelisahan dan rasa tidak aman tersebut berkepanjangan, antara lain melalui isu serta conflict. The situation still existed up to this day, including that among school children. One of the main influence was the simbol agama-politik-budaya-keamanan. Sekolah-sekolah, seba-gai tempat di mana pendidik-an “presence” of past conflict symbols around Central Sulawesi formal berlangsung, men-jadi media strategis untuk membangun which was blown up by the media. Moreover, up to this point, ketahanan lokal yang tidak sesaat tetapi berjangka panjang. distractions and disturbances from certain parties with the goal Dalam hal ini, antara lain melalui guru-guru; khususnya terkait of provoking the continuation of suspicion, anxiety, and insecurity through various dengan fokus materi kegiatan i ssue s and sy mbo ls o f adalah guru-guru yang memegang mata pelajaran agama religion, politics, culture, and dan pendidikan kewarganesecurity were still garaan. Sebab itu, lokakarya happening. pengembangan kapasitas Schools as a place of para guru di Sulawesi Tengah formal education became a menjadi penting. Bagaimana strategic medium to foster guru-guru siap menghadapi long-term local resilience. berbagai tantangan This could be done by perubahan, dan juga utilizing teachers, especially persoalan perbedaan yang those who handled religion belum sembuh sepenuhnya and civics subjects. dari trauma konflik. Padahal Therefore, a workshop on tuntutan pendidikan capacity building for sekarang terkait dengan teachers in Central Sulawesi materi ini sangat kuat. became important. The L o k a k a r y a Lokakarya pengembangan kapasitas guru di sulawesi tengah t e a ch e r s c o u l d no t b e dilaksanakan dalam kerjasama antara Komisi Keesaan Gereja Protestan Indonesia di expected to be able to face various challenges on changes and Donggala, Yayasan Al-Khairat serta Institut DIAN/Interfidei. differences when they had not been fully recovered from the Guru-guru yang hadir berasal dari beberapa wilayah: Kabupaten trauma from the conflict, no matter how high the educational Poso, Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Donggala, demand concerning this matter. Kabupaten Sigi dan Kota Palu. Lokakarya ini diperkaya oleh The workshop was conducted in collaboration between the beberapa narasumber: Dr. Christian Tinjabate (Dosen Indonesia Protestant Church Oneness Commission in Donggala, Universitas Tadulako, Palu); Dr. Rusli (Dosen IAIN Palu); Dr. Al-Khairat Foundation, and Institute DIAN/Interfidei. The Azkar (dari Kemenag Provinsi) dan Dr. Lukman S. Tahir (sekjen teachers who attended this workshop came from several regions, Al-Khairat). Dengan fasilitator Ibu Anis Fahrikhatin, MA; Pdt. namely Poso District, Parigi-Moutong District, Donggala District, Kristian Towimba dan Elga Sarapung, kegiatan ini dilaksanakan dalam 2 tahap. Diharapkan, pelaksanaan tahap II akan Sigi District, and the city of Palu. The speakers of this workshop were Dr. Christian Tinjabate (a lecturer of Tadulako University, berlangsung Februari 2015. (ES) Palu), Dr. Rusli (a lecturer of IAIN, Palu), Dr. Azkar (a member of Provincial Ministry of Religion), and Dr. Lukman S. Tahir (the Secretary General of Al-Khairat). This event was planned to be carried out in two phases, facilitated by Anis Fahrikhatin, M.A.,
D
Edisi Agustus-Desember 2014
27
Interfidei newsletter
Kronik Konferensi, Kelompok Diskusi Terfokus dan Perencanaan Strategis Pimpinan Agama-Agama di Provinsi Papua.
H
ampir seperti di kebanyakan daerah di Indonesia, di Papua, pimpinan dan tokoh agama merupakan kelompok strategis yang perannya sangat diperlukan dalam membawa perubahan di masyarakat. Bukan saja untuk mengelola dan menata perbedaan, tetapi bagaimana agamaagama, sekalipun berbeda, dapat menjadi kekuatan bersama dalam masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi persoalanpersoalan yang muncul. Karena, di dalam dirinya, agama-agama, apa pun “warna”-nya, selalu memiliki “roh” untuk menghidupkan kehidupan yang ada, bukan mematikan. Salah satu dari beberapa kegiatan Interfidei bersama dengan FKPPA (Forum Konsultasi/ Komunikasi Para Pimpinan Agama) di Papua, adalah mengadakan konferensi dan kelompok diskusi terfokus serta perencanaan strategis pimpinan agamaagama di provinsi Papua, pada tanggal 23-27 November 2014. Tema: "Menata dan memaknai perbedaan, demi Papua Tanah Damai"; dan sub-tema: "Perbedaan agama sebagai kekuatan bersama masyarakat Papua untuk mewujudkan Papua Tanah Damai". Konferensi dan FGD diperkaya dengan diskusi bersama narasumber, masing-masing: 1) Dr. John Rahael, dosen Uncen/peneliti pada lembaga demografi Papua, tentang “Dinamika perubahan demografi agama-agama dan etnis di Propinsi Papua: tantangan dan peluang gerakan bersama agamaagama untuk Papua Tanah Damai”. 2) Pater Dr. Neles Kebadabi Tebay, Pr., ketua/dosen STFT “Fajar Timur”, Abepura-Jayapura, tentang, “Makna kehadiran agama-agama di Tanah Papua di tengah dinamika perubahan konteks sosial-kultural di masyarakat : tantangan dan peluang gerakan bersama agamaagama untuk Papua Tanah Damai”. 3) Prof. Dr. Tamrin Amal Tomagola, “Peta perubahan dinamika perbedaan dalam keragaman agama-agama di indonesia, implikasinya bagi Papua untuk menuju Papua menjadi Tanah Damai”. Ada sekitar 80 orang peserta yang hadir, yaitu pimpinan agama-agama dari 9 (sembilan) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Papua: Merauke, Timika, Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Sarmi, Jayawijaya, Keerom, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang. Umumnya mereka adalah pimpinan agama berbasis komunitas (Kristen Protestan, Kristen Katolik, Buddha, Hindu, Islam), ditambah dengan satu orang dari FKUB setempat. Kelompok ini merupakan kelompok pertama yang mengikuti kegiatan ini dari Provinsi Papua. Direncanakan pada tahun 2015
28
Edisi Agustus-Desember 2014
Religious Leaders of Papua Conference, Focus Group Discussion and Strategic Planning
A
lmost similar to most part of Indonesia, religious leaders and figures in Papua were included in the strategic group whose role was indispensible in establishing changes in the society. Not only it was needed to manage and organize differences, but it was also needed to make those religions, no matter how different they were, became a shared force in the society in order to face and overcome the problems arisen. For in itself, religion, regardless of its “color”, always possessed the “soul” to ignite lives, not to terminate them. One of few activities conducted by Interfidei in collaboration with Forum Komunikasi dan Konsultasi Pemuka Agama (FKPPA, Communication and Consultation Forum of Religious Leaders) in Papua was holding a conference and a Focus Group Discussion as well as strategic planning for religious leaders in Papua on 23-27 November 2014. The theme of this event was “Managing and Organizing Differences, for Papua, the Land of Peace” with the sub-theme of “Religious Differences as a Shared Force of the Papuans in Realizing Papua, the Land of Peace”. The conference and the Focus Group Discussion were enriched by series of discussions. The first discussion was led by Dr. John Rahael, a lecturer of UnCen/a researcher in Institute of Papua Demographic with the topic of “Religious Demographic Change Dynamics for Papua, the Land of Peace. The second discussion was led by Father Dr. Neles Kebadabi Tebay, Pr., the Chairman/lecturer of STFT “Fajar Timur”, Abepura-Jayapura on “The Meaning of Religious Existence in the Land of Papua in the Midst of the Dynamics of Socio-Cultural Changes in the Society: Challenges and Opportunities along Religious Movements for Papua, the Land of Peace”. The third speaker was Prof. Dr. Tamrin Amal Romagola, who presented “The Map of the Dynamics in the Changes of Religious Diversity in Indonesia, the Implications for Papua in Its Journey to be the Land of Peace”. The event was attended by around 80 participants including religious leaders from 9 districts in Papua, namely Merauke, Timika, Jayapura (city), Jayapura (district), Sarmi, Jayawijaya, Keerom, Puncak Jaya, and Bintang Mountains. They were mostly the leaders of community-based religion (Protestant, Catholic, Buddha, Hindu, and Islam) and one from the local FKUB. These groups were the first groups from Papua in this particular event. It was planned that by 2015, there would
Chronicle
Interfidei newsletter akan ada kelompok dari kabupaten lain dalam jumah yang sama dengan kegiatan yang sama. Diskusi-diskusi terjadi melalui kelompok diskusi terfokus, yang diatur menurut daerah. Dari bahan-bahan diskusi kelompok itulah kemudian dalam satu kelompok kecil, terdiri dari 15 orang, yang dipilih dari peserta/daerah, menguraikannya lebih detail ke dalam bentuk perencanaan strategis untuk 3 (tiga) tahun mendatang. Diharapkan perencanaan tersebut akan dilaksanakan, baik per daerah maupun secara bersama-sama. Direncanakan akan ada monitoring di lapangan tentang pelaksanaan tindaklanjut kegiatan yang konkrit di lapangan. (ES)
be the same number of other groups from other districts participating in the same activities. The discussions were conducted through Focus Group Discussions, based on the regions. The discussion materials became the source for further discussions by a smaller group consisting of the chosen 15 people who elaborated the materials in a more detailed manner in the form of a 3-year strategic planning. It was expected that the planning would be executed either per regions or in unity. A field monitoring of the strategic planning implementation regarding concrete follow-up activities was arranged. (ES)
Pengembangan Kapasitas Staf Interfidei
Interfidei Staff Capacity Building
D
alam rangka mening-katkan kapasitas staf, selama tahun 2014 ini Interfidei menyelenggarakan berba-gai pelatihan. Pertama pela-tihan “Teknis Most Signifcant Change Story” atau MSC Story pada 7-8 Agustus di hotel @Home. Difasilitasi oleh Endah Nirarita dari MDF Asia Training and Consultancy, staf Interfidei belajar sekaligus praktek teknis penulisan dan pengumpulan cerita dan bagaimana melakukan seleksi dan analisis terhadapnya. Kedua pelatihan “Monitoring dan Evaluasi” (Monev) pada 27-29 Oktober di Kantor Interfidei. Dengan fasilitator yang sama, kami diberi pengetahuan sekaligus praktek monitoring dan evaluasi, metode yang digunakan dalam Monev, teori perubahan dan logika intervensi. Ketiga, Pelatihan Dasar “Mengelola Pelatihan dan Lokakarya yang Partisipatif dan Terfokus”. Pelatihan ini difasilitasi oleh Francis Wahono dari Cinderalas dan dilaksanakan di Hotel Cakra Kusuma pada 16-17 Desember 2014. Kami belajar mengenai pemikiran atau teori-teori dasar, bagaimana mengelola pelatihan partisipatif dan terfokus dan beberapa strategi dan metode pengelolaan forum serta penyusunan modul. Keempat, pembekalan materi “HAM dan Advokasi” dan “Kewarganegaraan”. Untuk materi pertama dihadirkan narasumber Poengky Indarti dari Imparsial yang menjelaskan mengenai HAM, asal-usul HAM dan sejarah HAM di Indonesia, Institusi Penegak HAM di Indonesia, jenis pelanggaran HAM, kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM, mekanisme penyelesaian kasus HAM, konsep Advokasi dan investigasi kasus pelanggaran HAM. Sementara untuk materi Kewarganegaraan diisi oleh Kepala PSKP UGM, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed, yang meliputi perbedaan “kewargaan” dengan “kewarganegaraan”, konsep negara-bangsa, konsep citizenship dan problem citizenship di Indonesia. Diharapkan dengan pelatihan-pelatihan tersebut, kapasitas staf Interfidei semakin meningkat sehingga lebih siap da l am m enj al a nka n prog ra m -p ro gram yang s u dah direncanakan. Semua kegiatan ini didukung oleh Mensen met een Missie (MM), Belanda. (WR)
I
n order to improve staff's capacity, during the year of 2014, Interfidei held various trainings. The first t rai nin g was o n “M o s t Significant Change Story Techniques” or MSC Story on 7-8 August at @Home Hotel. Facilitated by Endah Nirarita from MDF Asia Training and Consultancy, Interfidei staff learnt and practiced the techniques of writing and gathering stories as well as selecting and analyzing them. The second training was on “Monitoring and Evaluation” (Monev) on 2719 October at Interfidei office. Having the same facilitator, the staff was equipped with the knowledge of and skills in Monitoring and Evaluation, methods used in Monev, as well as theories of Intervention Change and Logic Change. The third training was a basic training on “Managing Participative and Focused Trainings and Workshops”. This training was facilitated by Francis Wahono from Cindelaras and held at Cakra Kusuma Hotel on 16-17 December 2014. The staff learned about the basic theories and ideas, on how to manage participative and focused trainings, and about some strategies and methods in managing forums and making modules. The fourth training was a material briefing on “Human Rights and Advocacy” and “Citizenship”. Poengky Indarti from Imparsial was the first speaker. She presented about Human Rights definitions, Human Rights origin and history in Indonesia, the Human Rights Enforcement Institutions in Indonesia, Human Rights violation cases in Indonesia, people's participation in Human Rights enforcement, Human Rights cases resolution mechanism, Advocacy concepts, and Human Rights violation cases investigation. As for the other material, on citizenship, the Head of PSKP UGM, Prof. Dr. Mohtar Mas'oed presented on the difference between “citizenry” and “citizenship”, the concepts of nation-state, the concept of citizenship, and the problems of citizenship in Indonesia. The trainings were expected to develop Interfidei staff's capacity hence they would be more ready in executing the planned programs. The trainings were all supported by Mensen met een Missie (MM), the Netherlands. (WR)
Edisi Agustus-Desember 2014
29
Interfidei newsletter
Refleksi
DEMOKRASI INDONESIA: MEMPERTARUHKAN KEBENARAN
INDONESIAN DEMOCRACY: RISKING THE TRUTH
Oleh Elga Sarapung
he 2014 Indonesian Presidential election is the nation's history in the 21st Century, worthy of becoming the pride of all Indonesians. Undeniably, this Presidential Election has successfully proven that the process of democracy in Indonesia is alive, develops and becomes more dynamic. This event holds a high democracy value with a positive meaning, giving hope to Indonesian future life. It can also be an indicator to declare that the Indonesians' democratic awareness has been more mature. The discourse process and substance were more incisive and open in disclosing and digging, filling, and managing fundamental matters in the government and state, including the Constitution. It was evident viewed from the critical-constructive and practical analysis in every conversation, dialog, Presidential debate, Presidential election, and the President and Vice President inauguration. We have to admit that there were negative, and even destructive, actions took place here and there. It was all part of the intended democratic process, yet, it needs to be changed, improved, and managed. In other words, the 2014 General Election risked the dignity of Indonesia as a nation, whether in the eye of the Indonesians or in the eye of other nations, worldwide. The General Election which took place on 9 July, followed by the decision of the Constitutional Court and The Electoral Management Board of Trustees on 21 August, followed by the President and Vice President Inauguration on 20 October proved it. Clearly, the differences arouse from the two camps caused the democratic turbulence of Republic of Indonesia reached a high magnitude. The turbulence emerged not only because of the vivid differences from each pair, whether their background, experience, works, vision and mission, and track-record, but also because of the expression, action, and reaction emerging both from the pairs and their success team. All effort targeted on how to realize the dream and hope trusted by the people, becoming the Republic of Indonesia's President and Vice President 2014-2019. The word of truth became one of the key words used starting from the campaigning period until the time of the claim against the General Election reached the Constitutional Court and The Electoral Management Board of Trustees. Indeed, this word was a significant key word in a healthy (and also unhealthy) democracy process. It is becausetruth had become the benchmark as well as the vein of the foundation and purpose of all ideas, visible process and action, or truth was just a jargon,or a scream to grab people's attention regardless of what was said and done was not true at all. It means that the spoken truthserved as a cover of falsehood, translated as “language of promise”, and (as if) became “language of commitment”. That is why truth later becamea valuable real life experience in the process of democracy of the 2014 Presidential Election. Why? An obvious example is when the Red and White Coalition (Koalisi Merah Putih – KMP) sued the Great Indonesia Coalition (Koalisi Indonesia Hebat - KIH) on behalf of the truth. Their typical expression was: (We) highly honor democracy that has been trampled (by KIH) by proving a massive, structured and
P
emilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, merupakan sejarah bangsa Indonesia di abad ke-21 yang patut menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Betapa tidak, pemilihan kali ini berhasil membuktikan bahwa proses demokrasi di Indonesia hidup, berkembang dan semakin dinamis. Ia memiliki nilai demokrasi sangat tinggi dan bermakna positif, memberi harapan bagi masa depan kehidupan bangsa Indonesia. Ia pun bisa menjadi indikator untuk mengatakan bahwa, kesadaran berdemokrasi warga-bangsa Indonesia sudah semakin dewasa. Proses dan substansi wacananya semakin tajam dan terbuka membongkar dan menggali, mengisi dan menata hal-hal mendasar dari tata kelola kehidupan bangsa dan negara, termasuk di dalamnya Konstitusi. Hal itu terlihat jelas, antara lain dari pertanyaan-pertanyaan serta jawaban analitis kritiskonstruktif dan praktis dalam setiap percakapan, dialog, perdebatan yang terjadi selama kampanye, pemilihan sampai dengan pelantikan Presiden dan wakil Presiden. Diakui bahwa di sana-sini ada saja cara dan aksi negatif bahkan destruktif terjadi. Semua itu merupakan bagian dari proses demokrasi yang dimaksudkan, tetapi yang perlu diubah, diperbaiki dan ditata lagi. Dengan kata lain, pemilu 2014 mempertaruhkan martabat bangsa Indonesia, baik kepada seluruh rakyat Indonesia maupun kepada bangsa-bangsa di seantero jagad ini. Pemilu Presiden dan wakil Presiden tanggal 9 Juli serta hasil Mahkamah Konstitusi dan Dewan Kehormatan Pemilu tanggal 21 Agustus dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 20 Oktober 2014 membuktikan hal tersebut. Betapa tidak, perbedaan yang mengemuka dari dua pasangan calon, membuat getaran demokrasi Negara Republik Indonesia benarbenar berada pada titik magnitudo yang tinggi. Getaran itu tidak saja karena perbedaan yang nyata dari masing-masing pasangan calon, mulai dari latarbelakang, pengalaman, karya-karya, visi dan misi serta catatan-catatan masa lalu; tetapi juga pada soal ekspresi, aksi dan reaksi yang muncul, baik dari masing-masing pasangan maupun koalisi dan team sukses mereka. Semuanya tertuju kepada bagaimana mencapai mimpi dan harapan untuk sampai kepada apa yang dipercayakan rakyat, yaitu menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik Indonesia, 2014-2019. Kata kebenaran, menjadi salah satu kata kunci yang bergulir sejak masa kampanye sampai kepada proses gugatan PILPRES di Mahkamah Konstitusi dan di Dewan Kehormatan Pemilu (DKP). Memang, kata ini merupakan salah satu kata kunci yang sangat penting di dalam proses demokrasi yang sehat – (dan juga yang tidak sehat). Entah, karena kebenaran menjadi acuan sekaligus nadi dari dasar dan tujuan setiap pemikiran, proses dan aksi nyata; atau kebenaran sekedar sebagai jargon, atau teriakan agar mendapat perhatian, tetapi sebenarnya, baik yang dikatakan, maupun yang dilakukan sama sekali tidak benar. Artinya, kebenaran yang terkatakan hanya merupakan tabir penutup setumpuk ketidakbenaran yang sering dibahasakan dengan “bahasa janji” dan (seolah-olah) menjadi “bahasa komitmen”. Itulah sebabnya, kebenaran kemudian menjadi sebuah pengalaman nyata yang sangat mahal nilainya dalam proses demokrasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014. Mengapa? Contoh yang paling jelas adalah, ketika kelompok KMP menggugat kelompok KIH atas nama “kebenaran”. Ungkapan khas mereka, seperti ini, “(kami) menjunjung tinggi demokrasi yang sudah diinjak-injak (maksudnya oleh kelompok KIH) dengan membuktikan kecurangan yang sistematis, terstruktur, masif”. Lalu mereka mengumpulkan bukti dan menampilkan saksi-saksi dari
30
Edisi Agustus-Desember 2014
By Elga Sarapung
T
Interfidei newsletter lapangan. Ternyata, pembuktian ini selain tidak dapat diterima secara hukum, juga secara kasat mata, dalam banyak hal tidak benar, lagi pula, nampak dengan jelas pihak penggugat tidak jujur dan tidak terbuka untuk mengakui berbagai kecurangan yang dilakukan pihaknya, tanpa harus menunggu pihak lain menggugat. Ketidakbenaran melalui berbagai kecurangan yang dipraktekkan penggugat coba disimpan, ditutupi baik-baik di bawah tempurung mereka sendiri, padahal semua orang, yang “jauh maupun yang dekat” tahu persis tentang apa yang (seakan-akan bisa) disembunyikan di bawah tempurung tersebut. Ketidakjujuran dan ketidakterbukaan itulah sudah merupakan kekalahan fatal dalam perjuangan menegakkan Demokrasi. Pada titik itulah “kebenaran” dipertaruhkan demi tegaknya demokrasi yang sehat. Pertanyaannya, apakah benar bahwa kebenaran yang dikatakan oleh kelompok yang menggugat, adalah sebuah kebenaran? Ataukah, merupakan “kebenaran” imaginatif-ambisius-obsesif tanpa berdasarkan landasan nurani dan fakta yang kuat; karena itu tidak benar dan menjadi mudah dibaca dan dipahami oleh rakyat umumnya. Jangan heran, rakyat bisa memilih, memutuskan bahkan mendukung “kebenaran” yang dari padanya demokrasi yang sehat bisa tumbuh dan berkembang. Yaitu, menentukan pilihan Presiden dan wakil Presiden yang tidak mengandalkan kekuatan fisik-material saja, tetapi kekuatan hati nurani; bukan juga kekuatan kekuasaan politik-ekonomi yang sarat dengan kemunafikan, kebencian, arogansi politik dan kekerasan; tetapi kekuatan kekuasaan yang berorientasi kepada kepentingan membela rakyat secara konkrit untuk jangka panjang, yaitu Indonesia yang pemerintahannya dan warga masyarakatnya hidup dalam keadilan dan peradaban-tanpa kekerasan. Lalu, kebenaran apa dan bagaimana yang diperjuangkan atas nama dan demi DEMOKRASI yang sehat? Tanggal 21 Agustus, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Kehormatan Pemilu (DKP) menyampaikan hasil keputusan dari seluruh proses hukum yang dilakukan, pada saat itulah” kebenaran” terungkap, “kebenaran” diumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia, kebenaran disampaikan kepada dunia Internasional. Bahwa dalam menghidupkan dan mengembangkan demokrasi yang sehat di Indonesia, tidak akan pernah bisa dilakukan dengan mengandalkan kekuatan kekuasaan politik dan ekonomi, juga tidak dengan kekerasan, kebencian, arogansi politik-ekonomi, apalagi bila tanpa berpihak secara konkrit kepada rakyat, warga masyarakat yang selama ini mengalami ketertindasan, diskriminasi, kekerasan, kebencian, kebohongan. Hal yang sangat menggembirakan adalah, semakin banyak warga masyarakat yang paham mengenai hal tersebut dan daya tahannya kuat untuk tidak terjebak ke dalam demokrasi yang tidak sehat. Penghargaan terhadap proses dan substansi makna demokrasi yang sehat seperti yang disampaikan di atas, mengalami momentum yang baik sekali ketika berlangsung pelantikan Presiden dan wakil Presiden. Dari ekspresi dari berbagai kalangan di masyarakat, dapat dilihat dan dirasakan bagaimana suasana hati, pikiran dan sikap warga masyarakat yang menyambut, menerima dan mengakui pasangan terpilih. Penghargaan tersebut menjadi lebih bermakna ketika Jokowi dan Jusuf Kalla mengambil inisiatif untuk mendatangi dan berdialog dengan pasangan lainnya, Prabowo-Hatta, pimpinan partai politik beserta dengan koalisi mereka, yang diikuti dengan sportifitas Prabowo untuk hadir dalam acara pelantikan Presiden dan wakil Presiden dan memberi ucapan selamat kepada mereka. Inilah kedewasaan berdemokrasi yang sehat di Indonesia, yang perlu dibanggakan sekaligus dipelihara. Proses dan makna yang baik, positif dan konstruktif semacam inilah yang perlu dipelihara, dikembangkan Pertanyaannya adalah, bagaimana memelihara dan mengembangkan setiap cara, proses, wacana, makna demokrasi yang sehat agar menjadi mentalitas, budaya dan roh berdemokrasi masyarakat-bangsa Indonesia? Sebuah harapan besar yang dibuktikan melalui proses PILPRES tahun 2014 ini adalah, bahwa Indonesia memiliki banyak orang, banyak warga yang mampu memperjuangkan dan menegakkan demokrasi yang sehat berdasarkan keadilan dan kebenaran. Potensi ini perlu diperkuat dan pendidikan demokrasi perlu untuk masyarakat. Dengan demikian, Indonesia mampu melakukan perubahan yang akan membawa Indonesia menjadi
Reflection systematic fraud”. They then collected proofs and presented field witnesses. In fact, this proof was not only legallyunacceptable, but also flawed in many ways.Moreover, the lawsuit maker was dishonest and was not open to confess variousdishonestyfrom their party until the KIH confronted them.This dishonesty committed through many kinds of fraud by the lawsuit maker was concealed, nicely covered under their own shell, whereas in fact, everyone, who is close or far, knew exactly what (as if they can be) was concealed under the shell. The dishonesty and secretiveness was a fatal defeat in the struggle of putting up democracy. On that point “truth” was put at risk for the sake of healthy democracy. It leaves us with a question whether the truth claimed by the plaintiff was the real truth or whether it is an obsessive, ambiguous, imaginative truth without any conscience and strong fact; therefore it is untrue and became readable and understandable by the public. We do not need to be surprise because the people can vote, choose, and even support the “truth” which initiates the growth and development of a healthy democracy. People can choose the President and Vice President who did not rely on the power of physical-material, but also the power of conscience; the ones who did not rely on politiceconomic power which is full of hypocrisy, hatred, politic and violence arrogance, but on power oriented on defending longterm interest of the people in Indonesia, whose people and government live in justice and civilization without violence. Then, what kind of truth was fought on behalf and for the sake of healthy DEMOCRACY and how did we do it? On August 21 when Constitutional Court and The Electoral Management Board of Trustees declared the result of the legal process, the truth was uncovered. It was declared to all people of Indonesia and to the international world that in the attempt of nurturing a healthy democracy in Indonesia can never be done byrelying on the power of politic and economy. It cannot be done by violence, hatred, politic-economic arrogance, not it can be done without supporting the oppressed, discriminated, hatred, and lied. The good news is, more people understood it and their resistance for not fallinginto the trap of unhealthy democracy was strong. The appreciation to the process and substance of the healthy democracy above experienced a very good moment during the Presidential Election. From the various expressions of the various levels of people, we could see and feel their feelings, thoughts, and attitudes towards the elected candidate. The appreciation became more meaningful when Jokowi and Jusuf Kalla took the initiative to approach and to establish a dialog with the losing team, Prabowo-Hatta, political leaders and their coalition, followed by Prabowo's willingness to come to the President and Vice President inauguration ceremony and congratulated them. This is the healthy democracy maturity in Indonesia that we need to be proud of and nurture. This kind of good process and meaning of positive and constructive democracy needs to be preserved and developed. The concern is how do we nurture and develop every way, process, discourse, and meaning of a healthy democracy in order for it to be the mentality, culture and spirit of the Indonesian people democracy? The big hope which was proven by the 2014 Presidential Election was that Indonesia has plenty of people, who can fight for and put up healthy democracy based on justice and truth. This potency needs to be strengthened and the education of democracy is needed by public. Thus, Indonesia will be able to conduct a transformation which will make it to as a truly civilized and just country and nation. (ES)***
Edisi Agustus-Desember 2014
31
Interfidei newsletter
Agenda
AGENDA
AGENDA
Kegiatan:
Activities:
1. 17 – 18 Januari 2015, Pertemuan Pengurus Institut DIAN/Interfidei
1. 17-18 January 2015; Institute DIAN/Interfidei Board Meeting.
2. 19 Januari 2015, Diskusi Terbatas “Dampak Perubahan Demografi Masyarakat Yogya Terhadap Dinamika Perbedaan dan Langkah Ke Depan, Ruang Harun, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta”
2. 19 January 2015; Closed Group Discussion on “The Impact of Yogyakarta Society Demographic Changes towards the Dynamics of Difference and the Next Step” at Harun Room, Duta Wacana Christian University, Yogyakarta.
3. 10 – 12 Februari 2015, Workshop Guru Agama di Palu, Sulawesi Tengah
3. 10-12 February 2015; Religion Teachers Workshop in Palu, Central Sulawesi.
4. 21 – 27 Februari 2015, Pengembangan Kapasitas Jaringan Antariman Tahap Kedua, di Makassar, Sulawesi Selatan
4. 21-27 February 2015; The Second Stage of Interfaith Networks Capacity Building in Makassar, South Sulawesi.
5. April, Konferensi Nasional Jaringan Antariman di Nabire, Papua
5. April 2015; National Conference of Inter-faith Networks in Nabire, Papua.
6. Mei, Capacity Building Tahap Pertama Jaringan Antariman di Gorontalo, Sulawesi Utara
6. Mei 2015; The First Stage of Inter-faith Networks Capacity Building in Gorontalo, North Sulawesi
Penerbitan:
Publications:
1. Buku 60 Tahun Bhikkhu Pannavaro
1. A book: 60 Years of Bhikkhu Pannavaro
2. Buku 20 Tahun Interfidei
2. A book: 20 Years of Interfidei
3. Buku kumpulan tulisan narasumber pada Konferensi Papua
3. A book: A collection of Papers from the Speakers in Papua's Conference
4. Buku saku “Keberagaman dan Pluralisme: perspektif agama-agama”
4. A pocket book: Diversity and Plurality: Inter-Religious Perspectives
Yayasan Dian/Interfidei Dian/Interfidei Foundation Board Members : Djohan Effendi, Daniel Dhakidae Executive Board : Elga Sarapung (Director), Margareta EndahWidyaningrum (Secretariate), Eko Putro Mardianto (Finance) Departements : Elga Sarapung (Education, Networking), Wiwin Siti Aminah R (Publication & Database), Wening Fikriyati (Documentation & Website), Fita Andriani (Institution, Fundrising, HRD) & Mohammad Furqon (Library) Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph.: 0274-880149, Fax.: 0274-887864, E-mail:
[email protected] ; Website: http://www.interfidei.or.id Facebook: Institut DIAN/Interfidei ; Twitter: @dian_interfidei No.Rek : Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No. 0039234672. Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda. For the development of this Newsletter, we open to your suggestions and critics.
32
Edisi Agustus-Desember 2014