PESANTREN BERWAWASAN MULTIKULTURALISME STUDI KASUS PONDOK PESANTREN EDI MANCORO DESA GEDANGAN KECAMATAN TUNTANG KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Diajukan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan islam (S.PdI)
Disusun oleh: SHAUFIHUN NUHA NIM : 11I 06 091
JURUSAN TARBIYYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA TAHUN 2010
MOTTO
Artinya : 1. Demi masa. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al 'Ashr 103 : 1-3)
Artinya : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Mujadalah 58 : 11)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kami persembahkan kepada : Bapak dan ibu kami tercinta yang tak pernah lelah mendo’akan, membimbing, dan mendidik penulis dari kecil dengan penuh kesabaran dan keihlasan yang tidak mungkin bisa dibalas dengan apapun di dunia ini dan telah mengukir segala asa, cita, dan harapan. Untuk kedua kakak dan adik, yang senantiasa memberikan inspirasi, dan semangat untuk selalu meju demi seksesnyan studi. Romo KH. Mahfudz Ridwan, LC sekeluarga selaku pengasuh Pondok
Pesantren
Edi
Mancoro,
yang
selalu
memberikan
pencerahan hidup serta keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro yang telah membantu kami dalam penyelesaian skripsi ini. Buat seseorang yang siap menjadi pendamping hidup kami dengan penuh rasa kasih sayang dan kebahagiaan dunia dan akhirat ……………..
vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbilalamin, rasa syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya, dengan rahmat dan nikmat-Nyalah penulis masih diberi kekuatan dan kesabaran dalam menjalankan aktivitas untuk selalu berproses berubah. Ucapan shalawat serta salam kami haturkan kepada nabi Muhammad, SAW, yang membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju kezaman kebenaran yaitu dinul islam, serta sebagai uswahtun hasanah. Skripsi
yang
“PESANTREN
berjudul
BERWAWASAN
MULTIKULTURALISME STUDI KASUS PONDOK PESANTREN EDI MANCORO DESA. GEDANGAN, KEC.TUNTANG, KAB. SEMARANG” ini disusun guna memenuhi salah satu syarat dalam rangka memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) dalam jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam. Dalam proses ini penulisan sekripsi hingga terselesainya menyadari banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag, selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Dr. Rahmad Hariyadi, M.Pd, selaku Pembantu Ketua I Bidang Akademik STAIN Salatiga. 3. Bapak Drs. Miftahudin, M.Ag selaku Pembantu Ketua II Bidang Administrasi Umum STAIN Salatiga. 4. Bapak H. Agus Waluyo, M.Ag selaku Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan STAIN Salatiga. 5. Kepada Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam STAIN Salatiga. 6. Kepada Bapak Drs. Miftahudin, M.Ag selaku Dosen pembimbing Skripsi. 7. Bapak dan ibu tercinta yang dengan dorongan moral maupun sepiritual serta do’a restunyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vii
8. Kakak dan adik yang selalu setia mendampingi keseharian dalam berproses dalam Tholibul Ilmi. 9. Bapak KH. Mahfudz Ridwan, LC, selaku pengasuh Pondok Pesantren Edi mancoro beserta Ibu Hj. Nafisah. 10. Keluarga besar Pondok Pesantren Edi Mancoro. 11. Semua Sahabat-Sahabati dan Rekan-Rekanita yang tidak dapat kami sebut satu persatu, dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis hanya dapat berdo’a semoga amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis senantiasa mendapat balasan kebaikan yang berlipat dan ramat, serta nikmat, dan ridho dari Allah SWT. Dengan berbagai keterbatasan yang penulis memiliki baik penetahuan, pengalaman dan lainnya, tentu dalam menyusun skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun senantiasa penulis harapkan. Semoga skripsi ini membawa manfaat, khususnya bagi penulis dan segenap pembaca pada umumnya. Amin
Salatiga, 14 Agustus 2010 Penulis
SHAUFIHUN NUHA 111 06 091
viii
ABSTRAK
Nuha, Shaufihun. 2010. Pesantren berwawasan multikulturalisme (studi kasus pondok pesantren edi mancoro desa gedangan, kecamatan. Tuntang, kabupaten. Semarang). Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing : Drs Miftahudin, M.Ag. Kata kunci : Pesantren berwawasan multikulturalisme Penelitian ini merupakan untuk mengetahui model pendidikan pesantren berwawasan multikulturalisme di pondok pesantren edi mancoro. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini nadalahb (1) Bagaimana pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro? (2) Apa dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendakatn kualitatif dengan rancangan studi pengembangan (research and development). Temuan dari penelitian ini, pendidikan pesantren berwawasan multikulturalisme dirasa menjadi sebuah trobosan baru model pendidikan islam di dunia pesantren untuk menghadapi problem atau permasalah masyarakat yang plural. Berdasarkan hal ini, pondok pesantren edi mancoro berani membuka diri dalam memberikan sebuah trobosan baru dalam pendidikan islam di pesantren dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi-tradisi pesantren.. Dan juga memberikan warna baru dalam dunia pendidikan pesantren di Indonesia.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING ............................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................ iv HALAMAN MOTO ......................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR. ..................................................................................... vii ABSTRAK ........................................................................................................ ix DAFTAR ISI .................................................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………… 1 B. Kajian Pustaka………………………………………………. 17 C. Penegasan Istilah …………………………………………… 18 D. Rumusan Masalah ………………………………………….. 21 E. Tujuan penelitian. ................................................................... 21 F. Manfaat Penelitian. ................................................................ 21 G. Metodologi Penelitian ............................................................. 22 H. Sistim Penulisan……………………………………………... 27
BAB II
TELAAH PUSTAKA A. Pondok Pesantren ……………………………. ……………. 31 1.
Pengertian Pondok Pesantren ………………………..... 31
2.
Unsur-unsur pondok pesantren ....................................... 33
x
3.
Tipologi pondok pesantren ……………………………... 37
4.
Sistem pendidikan pondok pesantren. ………………… 40
B. Multikulturalisme …………………………………………....49 1.
Pengertian Multikulturalisme ………………………...... 54
2.
Akar Sejarah multikulturalisme ……………………...... 57
3.
Pendidikan multikulturalisme …………………………. 68
C. Sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia …. 74 D. Prespektif Islam Terhadap Multikultural ………………… 78 E. Pendidikan islam multikultural ……………………………. 83
F. Pendidikan multikulturalisme di pesantren ………………. 87 BAB III
PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Edi Mancoro 1. Letak Geografis …………………………………………… 92 2. Profil pondok pesantren edi mancoro …………………… 94 3. Visi, misi, tujuan, dan garis perjangan Pondok Pesantren Edi Mancoro .......................................................................... 97 B. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren Edi Mancoro…. 101 C. Unsur-unsur pesantren ……………………………………… 106 D. Pendidikan
berwawasan
multikulturalisme
di
Pondok
Pesantren Edi Mancoro ……………………………………... 113 1. Kurikulum pesantren ……………………………………. 113 2. Sistem pendidikan .............................................................. 118 3. Pengajar/ustadz ………………………………………….. 120
xi
4. Aktivitas Peribadatan dan Belajar Santri ....................... 121 5. Program kerja pengurus ……………………………….. 128 E. Faktor-faktor pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro. …………………………… 132 1. Faktor pendukung ………………………………………. 132 2. Faktor penghambat. …………………………………….. 144 F. Dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksterna ………………………………………………………. 146 1. Dampak internal …………………………………………. 146 2. Dampak eksternal ……………………………………….. 147 G. Temuan penelitian . 1. Model
multikulturalisme
di
Pondok
Pesantren
Edi
Mancoro ………………………………………………….. 148 2. Dampak model pendidikan pesantren multikulturalisme …………………………………………………………….. 150 BAB IV
ANALISA
PESANTREN
BERWAWASAN
MULTIKULTURALISME DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO A. Analisa pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Manco …….……..………………………….. 154 B. Analisa dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal.…………………………………………..... 161 1.
Internal……………………………………...................... 162
xii
2. BAB V
Eksternal …………………………………….................. 163
PENUTUP A. KESIMPULAN………………………………………………. 165 B. SARAN ...................................................................................... 166
C. PENUTUP ................................................................................. 167 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 169 DAFTAR RIWAYAT PENULIS LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejauh in timur tengah menjadi kiblat umat islam. Timur tengah sebagai Negara asal kelahiran islam adalah penyebab yang utama islam lahir dikawasan ini. Dimana Nabi Muhammad SAW adalah penduduk asli kawasan ini, dan Al-Qur’an pun turun dengan menggunakan bahasa Arab. Dalam kurun waktu yang berabad-abad, berbagai macam disiplin ilmu keislaman mengalami perkembangan yang sangat pesat dan menjadi mapan di kawasan ini, seperti ilmu Fikih, Ushul Fikih, Tauhid, Tajwid, Nahwu, Shorof, ilmu Hadis, ilmu Al-Qur’an, dan lain sebagainya. Sehingga tidak heran jika banyak seorang intlektual muslim dari berbagai Negara berdatangan untuk memahami dan mengenal islam sebagaiman dahulu turun dan dipahami oleh masyarakat setempat. Di antara para intlektual muslim yang belajar tentang keislaman di kawasan ini yang datang dari Indonesia. Tokoh-tokoh muslim terkemuka di tanah air saat ini pada umumnya mempunyai keterkaitan (secara akademis) dengan kawasan ini, seperti KH. Abdurrahman wahid (Almarhum), KH. Musthofa Bisri, KH. Said Aqil Siradj, dan lain sebagainya. Dan dua ulama kharismatik KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Ormas Islam terbesar di tanah air
2
(NU dan Muhammadiyah) juga pernah belajar di kawasan ini (Tabloid Pondok Pesantren Edisi Kedua, 2009 : 16). Harus jujur diakui, keistimewaan belajar di timur tengah yang utama adalah adanya literature keislaman klasik (turats) yang bisa dikatakan lebih dari sekedar cukup. Dimana literature-literatur ini cukup banyak membantu untuk memahami islam secara lebih utuh dan komprehensif (Tabloid Pondok Pesantren Edisi Kedua, 2009 : 16).. Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan islam yang banyak mempunyai literature keislaman klasik menempati posisi yang sangat setrategis. Terutama bila dibandingkan dengan lembaga pendidikan islam lain di luar pesantren, seperti yang banyak berkembang sekarang. Dengan keistimewaan ini pesantren bisa melahirkan para generasi muslim yang mampu memotret islam secara langsung. Sebagaimana para ulama terdahulu telah melakukannya. Kekuatan dan keistimawaan ini tidak dapat dilepaskan dari peran para ulama besar asal Indonesia yang pernah belajar di kawasan timur tengah. Dunia pesantren dengan meminjam kerangka Hussein Nasr, adalah dunia tradisional islam, yakni dunia yang mewarisi dalam memelihara kontinuitas tradisi islam yang dikembangkan ulama (kyai) dari masa kemasa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, misalnya periode kaum salaf, yaitu para sahabat Nabi Muhammad dan Tabi’in senior (Rofiq dkk , 2005 : XIX).
3
Pondok pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia, ditemukan dua versi pendapat. Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pondok pesantren berakar pada tradisi islam, yaitu tradisi tarekat. Kedua, pondok pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan orang-orang Hindu dan Budha di Nusantara (Departemen Agama RI, 2003: 04) dengan menggunakan sistem biara dan dan asram bagi bhiksu dan pendeta sebagai tempat pembelajaran para pengikutnya. Sejarah pesantren adalah sejarah perlawanan etnik kaum ulama dalam menentang penindasan dan diskriminasi (perbedaan warna kulit, perbedaan perlakuan terhadap sesama warga Negara (Farid Hamid : 101)). Berawal ketika rencana pendidikan modern (Belanda) mulai dirancang secara menyeluruh dan diterapkan di hampir seluruh wilayah jajahan dengan menggunakan konsep stratifikasi social (tingkat sosial) kolonial penduduk jajahan. Kontribusi pondok pesantren terhadap pembangunan bangsa Indonesia tidaklah terhingga besarnya. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, pondok pesantren adalah tempat untuk menggembleng para pejuang, tempat menumbuhkan patriotisme dan nasionalisme. Lahirnya 10 November di Surabaya adalah salah satu bukti, bahwa glora untuk melawan dan mengusir penjajahan muncul dari tempat tempat para santri dipondok pesantren.
4
Pada dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak memandang strata sosial, lembaga ini dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, laki-laki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, mereka semua dapat menikmati pendidikan di lembaga ini. Dan sedikit hal yang perlu kita catat bahwa tidak sedikit pemimpin-pemimpin bangsa ini, baik pemimpin yang duduk dalam pemerintahan maupun yang bukan, formal atau informal, besar maupun kecil, diantara mereka dilahirkan oleh pondok pesantren. Dengan adanya perubahan yang terus menerus yang bergulir dengan cepat yang tidak dapat kita hindari, tidak sedikit membawa sebuah korban. Banyak orang lembaga, idiologi, bahkan tradisi terpaksa harus tersisihkan yang tidak dapat mengikuti gerak perubahan yang berpotensi mengurusu sebuah kultur (budaya). Yang menjadi sebuah pertanyaan pada saat ini bagaimana pesantren menghadipi gerak perubahan yang berpotensi menggerus kebudayaan? Bagaimana pesantren menjaga sebuah tradisi? Dan strategi apa yang digunakan pesantren untuk membentengi kebudayaanya? Itulah sebuah permasalah yang dihadapi pesantren sekarang ini. Apabila saat kita membicarakan atau berbincang-bincang dengan para pemikir bangsa ini. Banyak tokoh dengan penguasaan keagamaan yang sangat istimewa lahir dari lembaga pesantren. Misalanya, para pemikir Indonesia garda depan seperti KH. Abdurrahman wahid (Gus dur), KH. Sahal Mahfudz (Pati), KH. Tolchah Hasan, KH. Ma’ruf Amin,
5
KH. Masdar F. Mas’udi, Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, Ulil Abshar Abdallah (Intlektual muda NU), KH. Mahfudz Ridwan, LC (Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro), dan masih banyak lainya adalah para cendikiawan muslim yang lahir dari gemblengan pondok pesantren. Bahkan dengan bahasa lain sering diungkapkan. “Tidak ada pemikir agama di Negara ini semaju dan seblerian ide dan pemikiran tokoh dari pesantren” (Tabloid Pondok Pesantren Edisi pertama, 2009 : 22). Pesantren yang merupakan lembaga keagamaan yang identik dengan tafaqquh fid din memperdalam ilmu agama. Pengembangan yang dilakukan pesantren tidak boleh meninggalkan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fid din. Konsentrasi utama pesantren tetap pada jalur kulturalnya, yaitu pendidikan agama dengan dua sasaran (transfer pengetahuan dan transfer moral) dan pengapdian sosial dengan tulus ikhlas. Pesantren sampai sekarang ini masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan seorang sosok ulama (kyai) yang berkualitas, dalam arti mendalami pengetahuan agamanya, agung moralitasnya dan besar didikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari pesantren, namun figure seorang ulama (kyai) masih dianggap sebagai bentuk paling ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini. Karena label seorang ulama (kyai) tidak bisa diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat ilmu, moral, dan perjuangannya ditengah masyarakat.
6
Menurut Said Aqil Siradj, tanggung jawab pesantren sangatlah berat, meliputi banyak aspek, yaitu mas’uliyah diniyah (tanggung jawab keagamaan), yang di implementasikan dalam peranan pesantren memperjuangkan
dakwah
islamiyah,
mas’uliyah
al
tarbawiyah
(educational capability) yang lebih menitik beratkan kepada peningkatan kualitas pendidikan umat, mas’uliyah al amaliyah (practive capability) yang lebih menekankan pada realisasi syari’at(Islamic law) dalam pribadi umat islam, mas’uliyah tsaqofiyah (culture capability) yang lebih menekankan pada peradaban islam, dan mas’uliyah al-qudwah (moral capability) yang mengarahkan umatnya untuk menghiasi diri dengan akhlaq al karimah (perilaku yang mulia) (Tabloid Pondok Pesantren Edisi Ketiga, 2009 : 16). Pelaksanaan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Dalam prakteknya, masyarakat ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ini, tidak hanya dari segi materi dan moral, namun telah pula ikut serta memberikan sumbangsih yang signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini dengan munculnya berbagai lembaga perguruan swasta yang merupakan
bentuk
dari penyelenggaraan pendidikan
masyarakat.
Perguruan atau lembaga swasta itu dapat berbentuk jalur pendidikan sekolah atau pendidikan luar sekolah. Termasuk
dalam
jalur
pendidikan
luar
sekolah
yang
diselenggarakan oleh masyarakat adalah pondok pesantren. Pondok
7
pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan islam yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat. Perkembangan masyarakat pada dewasa ini menghendaki akan adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan, ketrampilan, kemampuan berkomunikasi, dan berenteraksi kepada masyarakat secara luas, serta meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya. Asas pembinaan seperti inilah yang ditawarkan oleh pondok pesantren sebagai lembaga agama islam tertua di Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak terlepas hububungan dengan sejarah masuknuya islam di Indonesia. Pendidikan islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca Al-Qur’an, dan mengetahui islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar, atau masjid. Di tempat inilah orang-orang yang baru masuk agama islam dan anak-anak mereka belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainya, secara individual dan langsung. Dalam perkembangannya untuk lebih memperdalam ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar dari surau, langgar atau masjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut pondok pesantren, di Aceh dikenal dengan rangka atau maunasah (Departemen
8
Agama RI, 2003: 03), dayah (Malik M Thaha Tuanaya dkk, 2007 : 8) di Sumatra barat dikenal surau, nama sekarang yang dikenal umum adalah pondok pesantren (Departemen Agama RI, 2004 : 1). Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pondok pesantren adalah lembaga pendidikan pribumi tertua di Indonesia. Sejak awal pertumbuhanya, fungsi utama pondok pesantren adalah : 1. islam,
Menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama
yang diharapkan dapat
mencetak kader-kader dan turut
mencerdaskan masyarakat indonesia. 2.
Dakwah menyebarkan agama islam.
3.
Sebagai benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak.
Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab (Departemen Agama RI, 2004 : 3). . Seiring
dengan
perkembangan
zaman
fungsi
pondok
pesantrenpun bertambah, tidak hanya sebagai lembaga keagamaan, tetapi berfungsi juga sebagai pusat perkembangan masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Dengan sistem yang dinamakan pesantren proses internalisasi agama islam kepada santri berjalan secara penuh. Dalam pesantren dengan keteladanan dan kepemimpiana seorang sosok kyai serta ustadz dan para pengelola yang khas. Tercipta suatu komunikasi tersendiri yang
9
didalamnya terdapat semua aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya, dan organisasi (Departemen Agama RI, 2004 : 04). Dalam kehidupan pesantren, kyai menerapkan prinsip kehidupan kesederhanaan dan kemandirian santri santrinya. Prinsip ini betujuan agar santri dari pesantren dapat menjadi orang yang bersyukur dalam keadaan apapun dan tidak
mementingkan kehidupan dunia
yang
serba
materialistis. Pendidikan di pondok pesantren menerapkan sebuah prinsip self government, di mana santri mengatur kehidupan dalam pesantren menurut batasan-batasan ajaran agama yang telah diajarkan oleh ustasdz, kyai atau pengasuh pondok pesantren. Di samping hal itu santri juga diberikan berbakai bekal kemampuan yang nantinya dapat bermanafaat dalam kehidupanya kelak nati, yang berupa sebuah kemampuan untuk berwawasan dalam hal ketrampilan, dan multikulturalisme. Indonesia adalah salah satu negara yang multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari sosio kultur maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Dengan jumlah yang ada diwilayah NKRI sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang lebih 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen protestan, hindu, budha, konghucu, serta berbagai macam kepercayaan.
10
Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan seprti yang sekarang ini dihadapi bangsa ini. Seperti korupsi, kolusi ,nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinsn
,kekerasan,
separatisme,
perusakan
lingkunghan
dan
hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari multikulturalisme itu. Contoh konkrit terjadinya tragedy pembunuhan besar-besaran tehadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antara islam Kristen di maluku utara pada tahun 1999-2003. Berdasarkan permasalahan seperti diatas maka pendidikan multikulturalisme menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada santri seperti: keragaman etnis, budaya ,bahasa ,agama, status sosial, gender, kemampuan umur dan ras. Walaupun pendidikan multikultural merupakan pendidikan relatif baru di dalam dunia pendidikan. Wacana pendidikan multikultural salah satu isu yang mencuat kepermukan di era globalisasi seperti saat ini mengandaikan, bahwa pendidikan sebagai ruang tranformasi budaya
hendaknya selalu
mengedepankan wawasan multikultural, bukan monokultural. Untuk memperbaiki kekurangan dan kegagalan, serta memebongkar praktikpraktik diskriminatif dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang masih
11
kita ketahui peranginya dalam dunia pendidikan nasional kita, bahkan hingga saat ini. Multikulturalisme merupakan pengakuan terhadap kelompokkelompok kecil untuk menjalankan kehidupannya baik yang berurusan dengan wilayah publik dan privat. Di samping itu, masyarakat juga saling menghargai, menghormati, mengerti, dan mengakui keberadaan kelompok lain yang berbeda dengan kelompoknya. Multikulturalisme dalam konteks pesantren diharapkan bisa menjadi solusi terbaik untuk memecahkan permasalahan
yang
dihadapi
oleh
lingkungan
masyarakat
yang
multikultur di Negara ini, dan penanganan keragaman budaya dengan menumbuhkan semangat penghargaan terhadap budaya yang lain. Salama ini
masih
banyak
problem-problem
pesantren
yang
harus
di
perbincangkan untuk membuat suatu sistem pendidikan, kurikulum, dan modelnya yang sesuai dengan nilai-nilai penghargaan terhadap perbedaan dan keragaman. Multikulturalisme merupakan wacana bagi para akademis meupun praktisi dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini.
Berbagai
seminar,
lokakarya,
dan
diskusi-diskusi
tentang
multikulturalisme sering diadakan oleh beberbagai lembaga pendidikan pada akhir-akhir ini. Multikulturalisme sebetulnya bukan merupakan wacana baru dalam dunia pendidikan, kalau kita memahami dari dari subtansi
multikulturalisme
itu
sendiri.
Paham
multikulturalisme
sebetulnya sudah dicetuskan oleh founding fathers negera Indonesia.
12
Slogan” Bhineka Tunggal Ika” secara subtantif adalah benih dari paham multikulturalisme. Dalam pendekatan
konteks
progresif,
ini,
pendidikan
pendekatan
ini
multikultural sejalan
merupakan
dengan
prinsif
penyelenggaraan pendidikan yang termaktub dalam undang undang dan sistem pendidikan (SISDIKNAS) tahun 2003 pasal 4 ayat 1,yang berbunyi bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskrinminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), nilai agama, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa (Taufikurrahman Saleh, 2009 : 188). Pendidikan multikultural juga didasarkan pada keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Dalam doktrin islam, ada ajaran kita tidak boleh membeda-beda etnis, ras dan lain sebagainya. Manusia sama, yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Dalam kaitanya dengan pendidikan multikulturalisme hal ini mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan islam terhadap ilmu pengetahuan, dalam islam tidak ada pembedaan dan pembatasan diantara manusia dalam haknya untuk menuntut atau memperoleh ilmu pengetahuan. Wajah monokulturalisme didunia pendidikan kita masih kentara sekali bila kita tilik dari berbagai dimensi pendidikan. Mulai dari kuirikulum,
materi
pelajaran,
hingga
metode
pengajaran
yang
disampaikan oleh guru dalam proses belajar mengajar (PBM) diruang kelas hingga penggalan-penggalan terakhir dari abad ke-20 sistem
13
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pendekatan keseragaman (Etatisme) lengkap dengan kekuassaan birokrasi yang ketat, bahkan otoriter. Dalam kondisi seperti ini, tuntutan dari dalam dan luar negeri akan pendekatan yang semakin seragam dan demokratis terus mendesak dan perlu di implementasikan. Dengan melihat realita pendidikan di Negara indonesi, Gambaran tentang pesantren multikulturalisme sebetulnya mudah diperoleh dan dikonsumsi pada buku-buku dan media-media lain, sehingga memberikan suatu pemahaman bagi penulis bagaimana realisasi dari pesantren multikulturalisme. Pertanyaan yang dapat memulai dari wacana ini adalah “ kenapa harus ada pesantren multikulturalisme?” Banyak hal yang yang dapat dijadikan jawaban dari pertayaan diatas. Diantaranya banyaknya Realitas masyarakat Indonesia semacam itu sangat sulit dipungkiri dan diingkari. Untuk itu, keanekaragaman dan kebhinekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa Islam, masa kini dan waktu-waktu yang akan mendatang. Berbagai gerakan sering muncul dan sering menjadi sebab timbulnya wawasan dan perkembangan keagamaan baru. Dalam sejarah agama disebutkan bahwa pembaharu Budha muncul di tengah-tengah pandangan plural dan kaum Brahmais, Jaina, Matrealistis dan Agnostic. Begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW, yang muncul di tengah-tengah masyarakat Mekkah yang beragama yang terdiri dari komunitas yahudi, kristiani, zoroster dan lainnya. Selain hal
14
itu, Konflik di Indonesia yang menyangkut sentiment etnis, ras, golongan dan juga agama jarang penulis dengar. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak bahwa Negara Indonesia terdiri dari dari berbagai kelompok etnis, budaya, dan lain-lain. Sehingga Negara Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “Multicultural”. Tetapi pada pihak lain realitas “Multikultural” tersebut terhadap dengan kebutuhan mendesak
untuk
mengkontruksi
kembali
“kebudayaan
nasional
Indonesia” yang dapat menjadi ”integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya. Hal ini merupakan salah satu alasan kenapa pesantren multikulturalisme harus ada. Selain dari alasan tersebut Alquran yang dijadikan sebagai pedoman umat islam telah menjelaskan tentang keragaman kultur yaitu dalam surat Al-Hujarat ayat 13:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena (Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, 2007 : 437).l1.
Dalam surat Ar-Ruum 30 ; 22 menjelaskan : 1
Dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 4 halaman. 437-438, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia berasal dari satu jiwa dan menjadikan dari jiwa itu berpasangannya yaitu adam dan hawa. Dan selain itu menciptakan berpasangan antara laki-laki dan perempuan, berbangsa, bersuku agar saling mengenal agar kembali kepada kekabilahnya. Adapun yang membedakan derajat orang tersebut disisi Allah adalah orang yang bertakwa, bukan keturunan, Penerbit : Gema insani Jakarta 2007)
15
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui2. Konteks Pondok Pesantren Edi Mancoro sebetulnya sudah termasuk sebuah lembaga pendidikan yang multikultur. Keragaman santri di Pesantren Edi Mancoro tidak hanya sebatas agama, tetapi keragaman etnis juga terdapat didalamnya. Berdasarkan atas keragaman di atas maka penulis sangatlah relevan apabila pesantren multikultural ini disaji. Penulis
menganalisis
pesantren
multukulturalisme
ini
mengkhususkan pada pendidikan islam. Karena diakui atau tidak agama merupaka isu yang sangatlah mudah untuk dijadikan sebagai pemicu konflik. Masyarakat memiliki sebuah fanatisme yang tinggi dengan agama bila dibandingkan dengan keragaman yang lain. Berkenaan dengan hal fanatisme agama maka tidak terlepas dari pemahaman agama itu sendiri. Pemahan tentang agama islam khususnya di Indonesia terdapat banyak perbedaan, sehingga dari perbedaan tersebut mainstream islam yang banyak. Keterkaitan penulis untuk meniliti sebuah lembaga 2
Dalam Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 halaman 760, dijelaskan bahwa penciptaan laingit dan bumi merupakan hal ketinggian, keluasan, serta berbagai bentuk makhluk yang terdapat didalamnya. Demikian penciptaan bumi dengan segala benda dan manusia yang terdapat didalamnya. Perbedaan bahasa baik bahasa arab atau bahasa asing lainnya, serta perbedaan warna kulit, yang merupakan tanda-tanda khusus pada setiap manusia. Tanda ini berbeda dengan tanda yang dimiliki oleh manusia lain. Dalam hal ini tidak ada yang serupa dengan yang lain, yang ada adalah kemiripan tanda, bahasa, dan prilaku. Dan setiap manusia juga memiliki pakaian yang khas yang berbeda dengan yang lain. Penerbit : Gema insani Jakarta 2007.
16
pendidikan islam yang tertua di Indonesia adalah : bagaimana proses transformasi pendidikan pesantren yang diterapkan diterapkan di lembaga tersebut, apakah lembaga tersebut termasuk lembaga yang inklusif dalam mengakomodasi keragaman dan dalam keragaman islam itu sendiri. Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan salah satu tipologi pesantren yang mempunyai cirri khas unik dalam perkembangannya. Meski mendapatkan banyaknya tantangan dan hambatan yang berarti terutama dari desakn budaya modernis. Pesantren ini mampu meneruskan visi perjuangannya. Santri-santri yang telah menyelesaikan belajar di pesantren ini cukup membantu mentransformasikan ilmunya ke daerahnya masing-masing sehingga perannya sangatlah signifikan dalam membatu permasalah atau problem yang terjadi dimasyarakat yang sangatlah multukultur. Salah satu hal yang dominan dalam lingkungan di Pondok Pesantren Edi Macoro adalah santri mahasiswa, yaitu santri yang belajar agama di pesantren, namun disamping itu juga mempunyai status lain dalam bidang akademik perguruan tinggi. Dari adanya santri mahasiswa tersebut pesantren tidak hanya diberi nilai-nilai keislaman yang klasik semata, melainkan juga diberi dengan ilmu ilmu ilmiah, karena santri disini tidak hanya mengaji saja seperti santri-santri pada umumnya, melainkan harus mengisi aktivitas yang padat, mereka selain mengaji juga harus melakukan aktivitas yang lain untuk mendapatka sebuah
17
pengalaman yang baru yang nantinya dapat diterapkan dikehidupanya di masyarkat. Pendidikan islam pada pondok pesantren di Edi Mancoro seharusnya disamping memasukkan wawasan keislaman dalam prosinya yang lebih banyak dalam hal pengetahuan dan dalam penerapanya, juga harus memasukkan wawasan kultur, karena nantinya setelah keluar dari pesantren tidak akan terlepas dari sebuah kehidupan yang terjadi dilingkungan masyarakat yang beragam dalam hal keberagamaan, suku, etnis, ras dan lain sebagainya. B. Kajian Pustaka. Kajian pustaka adalah kegiatan mendalami, mencermati, menelaah, dan mengidentifikasi pengetahuan (Suharsimi Arikunto, 1990 : 75). Fungsi kajian pustaka disini adalah untuk mengemukakan hasil penelitian yang diperoleh penelitian dahulu yang ada hubunganya dengan penelitian yang telah dilakukan yang penulis ketahui adalah : 1. Buku karangan Dr. H. Anshori LAL, MA. Yang berjudul “Transformasi Pendidikan Islam” Penerbit Gaaung Persada Perss Jakarta tahun 2010. 2. Buku karangan M. Ainul Yaqin, M.Ed. “Pendidikan Multikultural cultural understanding untuk demokrasi dan keadilan” Tahun 2005. Pilar Media. 3. Buku karangan Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Pustaka Pelajar, Yokyakarta Tahun 2006.
18
4. Skripsi Nurul Faizah, “ Pembentukan kemandirian santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro pada tahun 2008. yang mengulas tentang kemandirian santri. Semoga hasil penelitian ini menjadi pelengkap, tambahan, dan pendukung penelitian mengenai tema yang akan penulis angkat. Adapun kajian yang dimaksud oleh penulis dalam skripsi ini yaitu ingin mengetahuhi bagaimana pelaksanaan dan proses pendidikan atau kegiatan pesantren yang berwawasan multikulturalisme serta faktor pendukung dan penghambat, serta dampak internal dan eksternal di Pondok Pesantren Edi Mancoro. C. Penegasan Istilah Agar permasalah yang ada dalam judul ini menjadi jelas disamping juga untuk menjaga agar jangan terjadi kesalah pahaman, maka sangatlah penting kiranya diadakan penjelasan, penegasan, dan pembatasan akan makna yang terkandung dalam skripsi yang berjudul “Pesantren Berwawasan Multikulturalisme“ Yakni : 1. Pesantren Menurut kamus ilmiah “Pesantren” adalah perguruan pengajian islam (Burhani MS : 204 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pesantren merupakan asrama dan tempat para murid-murid belajar mengaji, (W.J.S. Purwodarminta, 1976 : 746) sedangkan dalam psikologi pendidikan pesantren dimaknai dengan tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam (Soegarda, 1981 : 257).
19
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional umat islam untuk mempelajari memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan memberikan tekanan pada keseimbangan antara aspek ilmu dan aspek perilaku. (Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid XII, 1990 ; 187). Sedangkan menurut KH. Mahfudz Ridwan, Lc pesantren adalah pesantren tanpa dinding, yang menolak batas-batas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh
visi yang sama,
untuk menghadapi problematika yang terjadi dimasyarakat (Lintang Panjer Sore ; 2000). Dan
pesantren
sebagai
Lembaga
Pendidikan
Islam,
mempunyai elemen-elemen dasar yaitu pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, Santri dan Kyai. Dalam hal ini pesantren merupakan tempat para santri untuk mencari ilmu agama yang meliputi aspek ilmu dan aspek perilaku yang didalam hal ini, mempelajari memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran ajaran agama yang tanpa membedakan latar belakang yang dikaji dalam sebuah kitabkitab klasik oleh kyai untuk mendapatkan sebuah gagasan atau pemikiran yang dikelola dengan sebuah visi dan misi yang sama untuk
20
mengahadapi problem atau permasalahan sosial yang terjadi dilingkungan masyarakat 2. Berwawasan Wawasan dalam hal ini lebih diartikan cara pandang atau kemampuan daya berfikir (Farid Hamid ; 633). Jadi yang dimaksud dengan berwawasan disini adalah bagaimana seorang kyai, ustad, dan santri mampu berpandangan atau mengutarakan sebuah gagasan-gagasan dengan cara berfikir dengan kritis. 3. Multikulturalisme Akar dari kata multikulturalisme adalah budaya (Choirul Mahfud, 2006 : 75). Pada kata multikulturalisme secara etimologi terbentuk dari kata terdiri dari multi yang diartikan banyak atau lipat ganda, kultur yang diartikan budaya atau kebudayaan (Farid Hamid ; 322), dan kebiasaan sekelompok orang pada daerah tertentu (M. Ainul Yaqin, M.Ed, 2005 ; 6). Dan isme yang diartikan aliran atau pemahaman (Choirul Mahfud, 2006 ; 75). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik. Multikulturalsme
merupakan
suatu
ideologi
yang
menekankan kepada keanekaragaman budaya dalam kesederajatan (Arif Rahmanudin, 2009 ; 2).
21
Inti dari multikulturalisme disini adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa atau agama. D. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diungkapkan diatas maka rumusan masalah yang kan penulis gali dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro. 2. Apa dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal. E. Tujuan penelitian. Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam skripsi ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
Bagaimana
pendidikan
berwawasan
multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro. 2. Untuk
mengetahui
Apa
dampak
pendidikan
berwawasan
multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal F. Manfaat Penelitian. Manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Dengan kajian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada para pembaca mengenai wawasan-wawsan pesantren multikulturalisme.
22
2. Dapat memberikan sedikit tambahan pengetahuan bagi para pembaca khususnya mengenai pesantren berwawasan multikultural. G. Metode Penelitian Untuk mendapatkan hasil yang yang cermat dalam penelitian ini, penulis menggunakan tahap metode sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu ; penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik, dan dengan cara diskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Lexy, 2009 : 06). 2. Metode penentuan subyek. Subyek penelitian adalah sumber, tempat, mendapatkan keterangan dalam penelitian. Suharsimi Arikunto berpendapat, bahwa subyek penelitian berarti orang atau apa saja yang menjadi sumber penelitian (Suharsimi, 1989 : 102). Sumber penelitian yang dimaksud disini adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Adapun subyek dalam penelitian ini, penulis akan menggali secara langsung dari pihak-pihak yang berada di Pondok Pesantren Edi Mancoro yang terdiri dari ; a. Pengasuh atau pengelola pesantren.
23
Dalam hal ini peneliti untuk mengatahui sejarah berdirinya pondok pesantren, dasar, dan tujuan berdirinya, serta serta struktur kepengurusan pondok pesantren. b. Ustad atau pengajar. Dalam hal ini peneliti untuk mengetahui dan menggali informasi tentang materi, tujuan, metode, pendekatan, dan evaluasi pelaksanaan belajar mengajar santri serta kegiatan kegiatan yang di jalankan di pondok pesantren. c. Santri atau peserta didik. Dalam hal ini peneliti untuk mengetahui sejauhmana pemahaman atau kemampuan santri dalam memahami ajaran ajaran yang disampaikan oleh pengasuh atau ustadz. 3. Teknik Pengumpulan Data. Dalam hal ini peneliti untuk mendapatkan data-data yang terkait dengan tema. Dalam penelitian ini, menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, sebagai berikut ; a. Observasi Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi, 1989 : 136). Dalam kaitan ini, peneliti langsung terjun ke lokasi penelitian untuk mengadakan pengamatan dan penelitian guna mendapatkan data yang diperlukan. Posisi penelitian disini
24
adalah sebagai observer participant yakni meneliti sekaligus turut berpartisipasi di lapangan. Dalam penelitian ini metode observasi digunakan untuk mengumpulkan data antara lain. 1)
Mengamati pelaksanaan pendidikan yang sedang berlangsung serta kegiatan kegitan lain yang ada di pondok pesantren, dan untuk mengetahui proses kegiatan yang berlangsung.
2)
Mengamati ustadz yang mengajar, tentang materi, metode, media, dan pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran santri.
3)
Mengamati lokasi penelitian dan lingkungan sekitar pesantren untuk memperoleh gambaran umum lokasi penelitian.
b. Interview Interviuw adalah metode pengumpulan data dengan jalan Tanya jawab sefihak yang dikerjakan secara sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penyelidikan ( Sutrisno, 1995 ; 193). Pada teknik ini peneliti datang secara langsung dengan rersponden atau obyek yang diteliti. Peneliti menanyakan secara langsung dengan responden atau obyek yang diteliti. Penelitia menanyakan sesuatu yang telah direncanakan kepada responden. Pada wawancara ini dimungkinkan peneliti dengan responden melakukan tanya jawab secara interaktif maupun secara sepihak saja, semisal dari peneliti saja (Sukardi, 2003 : 79).
25
Wawancara digunakan untuk mencari data tentang sejarah berdirinya pesantren dengan pengasuh pesantren. interview dengan ustadz/ pengajar untuk mendapatkan informasi tentang model pengajaran atau pendekatan dalam pembelajaran santri. pengurus untuk mengetahui pengeloan pesantren, kepada santri untuk mengetahui tentang pandangan pesantren. c. Dokumentasi. Metode dokumentasi adalah mencari data mengenai halhal atau variabel yang berupa catatan, transkrip surat kabar, majalah, natulen, agenda sebagainya (Arikunto, 1993 : 206) Pada teknik ini peneliti dalam memaksmimalkan hasil observasi, peneliti akan menggunakan alat Bantu yang sesuai dengan kondisi lapangan. Di antara alat Bantu observasi tersebut misalnya ; buku catatan dan check list yang berisi obyek yang perlu mendapat perhatian lebih dalam pengamatan (Sukardi, 2003 : 79). Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data tentang sejarah berdirinya Pesantren Edi Mancoro, struktur kepengurusan, jumlah ustadz/ guru, santri/peserta didik, kegitan kegiatan santri yang berhubungan dengan penelitian ini. 4. Metode analisa data. Untuk memperoleh hasil penelitian yang lengkap, tepat dan benar, maka diperlukan metode yang valid didalam menganalisa data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan
26
positivistik yang mana obyek penelitian ialah obyek yang dapat diamati, diukur dan tereliminasi, peneliti dapat terdiri di luar obyek melalui instrumentasi. Adapun analisa data yang digunakan adalah analisa data kualitatif, seperti yang dikemukakan oleh Miles dan Hebermen yang meliputi empat komponen diantaranya sebagai berikut ; a. Pengumpulan data. Pengumpulan data lapangan yang berwujud kata-kata yang dilakukan dengan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi (Miles, 1992 : 15). b. Reduksi data. Reduksi pemusatan
data
perhatian
diartikan pada
sebagai
proses
penyederhanaan,
pemilihan,
pengabstrakan,
transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan data dan divarivikasi (Miles, 1992 : 16). c. Penyajian data. Penyajian disini dibatasi sebagai kesimpulan informasi tersusun
yang
memberi
kemungkinan
adanya
penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles, 1992 : 17).
27
H. Sistim Penulisan. Adapun sistematika penulisan sekripsi ini adalah sebagai berkut. 1. BAB I. Berisi pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, Kajian pustaka, Penegasan istilah, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Metodologi penelitian, dan Sistematika penulisan skripsi. 2. BAB II. Tinjauan
teoritis
tentang
pesantren
berwawasan
multikultural. Pada BAB ini penulis akan menguraikan tentang konsep pesantren dan multikulturalisme yang sudah ada menurut beberapa referensi, yang di dalamnya meliputi : pengertian pesantren, syarat-syarat pesantren, tipologi pesantren, sitem pendidikan pondok pesantren, dan sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia, Selain hal diatas juga akan menjelaskan tentang pengertian dan syarat
multikulturalisme,
multikulturalisme,
akar
multikulturalisme
sejarah di
perkembangan
Indonesia,
sistem
pendidikan multikulturalisme di pesantren, dan prespektif islam terhadap pluralisme. 3. BAB III Dalam bab ini penulis akan menggambarkan tentang, gambaran secara umum Pondok Pesantren Edi Mancoro yang
28
mencakup letak geografis, profil, visi, misi, tujuan, garis perjuangan, sejarah berdirinya pesantren. Beberapa unsur-unsur Pesantren Edi Mancoro yang meliputi, keadaan kyai, santri, kajian, asrama dan lokasi, dan masjid. Dan melaporkan hasil penelitian tentang pesantren berwawasan multikulturalisme yang meliputi program kurikulum, faktor-faktor dan dampak internal dan eksternal dalam penerapanya 4. BAB IV Analisa terhadap pesantren berwawasan multikulturalisme di pondok pesantren edi mancoro. Merupakan hasil analisa dari konsep pesantren berwawasan multikulturalisme yang di terapkan di pondok pesantren Edi Mancoro dengan meninjau kembali dengan konsep pesantren berwawasan multikulturalisme yang telah berjalan dari semula berdirinya hingga kini sebagai konsentrasi kelembagaan. Setelah berhasil ditemukan analisa sementara maka akan dapat ditarik benang putih yaitu nilai-nilai yang fundamental pendidikan di pesantren Edi Mancoro sebagai salah satu pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif pola pendidikan islam saat ini. 5. BAB V Merupakan penutup dari hasil penelitian ini yang berisi penutup, kesimpulan, saran, dan penutup.
29
BAB II TELAAH PUSTAKA A. PONDOK PESANTREN 1. Pengertian Pondok Pesantren Definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataanya. Kata pondok berarti tempat yang di pakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama pendidikan islam tradisional dimana para santri tinggal dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih terkenal dengan sebutan kyai (Departemen agama RI, 2005 ; 7). Kata pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri (Dhofier, 1984 ;18) dan menuntut ilmu (Departemen agama RI, 2005 ; 3) . Di samping itu, “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab “fanduk” yang berarti “hotel atau asrama”. Di sisi lain pesantren juga berasal dari gabungan “pe-santri-an” awalan pe dan akhiran an yang dilekatkan pada kata “santri” ini bisa menyiratkan dua arti. Pertama, pesantren bisa bermakna “tempat tinggal santri” (Haidar, 2004 ; 26), sama seperti pemukiman (tempat bermukim), pelarian (tempat melarikan diri), peristirahatan (tempat beristirahat), pemondokan (tempat mondok) dan lain-lain. Kedua, pesantren juga bisa bermakna “proses menjadikan santri”, sama seperti kata pencalonan (proses menjadikan calon), pemanfaatan (proses
30
memanfaatkan sesuatu), pendalaman (proses memperdalam sesuatu) dan lain-lain. Jelasnya, “santri” di sini bisa menjadi objek dari usahausaha yang dilakukan di suatu tempat, tetapi juga bisa menjadi sosok personifikasi dari sasaran atau tujuan yang akan dicapai lewat usahausaha tersebut. Soegarda Poerbakawatja juga menjelaskan pesantren berasal dari kata santri yaitu seseorang yang belajar agama islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama islam (Haidar, 2004 ; 26-27). Ada juga yang mengartikan pesantren adalah lembaga pendidikan islam indonesia yang bersifat ”tradisional” untuk mendalami ilmu agama islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Menurut Arifin pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitarnya, dengan sistem asrama (pemondokan didalam komplek) di mana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya di bawah kedaulatan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai (ulama) (Malik dkk, 2007 ; 8). Sedangkan menurut KH. Mahfudz Ridwan, LC pesantren adalah pesantren tanpa dinding, yang menolak batas-batas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh
visi yang sama,
31
untuk menghadapi problematika yang terjadi dimasyarakat (Lintang Panjer Sore ; 2000). Pondok pesantren secara difinitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas (keluwesan) pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren. Jadi pondok pesantren belum memiliki pengertian yang kongkrit, karena masih meliputi beberapa unsur untuk dapat mengartikan pondok pesantren secara komprehensif (pemahaman yang luas). Pada kenyataannya pesantren adalah merupakan sebuah lembaga pendidikan islam dengan ciri Indonesia. Di negara-negara Islam lainnya tidak ada lembaga pendidikan yang memiliki ciri dan tradisi persis seperti pesantren, walau mungkin ada lembaga pendidikan tertentu di beberapa negara lain yang dianggap memiliki kemiripan dengan pesantren, seperti ribath, sakan dakhili, atau jam’iyyah. Namun ciri pesantren yang ada di Indonesia jelas khas keindonesiaannya karena berhubungan erat dengan sejarah dan proses penyebaran Islam di Indonesia. Salah satu tujuan pembangunan sumberdaya manusia di Indonesia adalah menciptakan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur dan berkepribadian sertabertanggung jawab terhadap perkataan dan perbuatannya. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pengembangan dan pembangunan pendidikan
32
merupakan salah satu jawaban terwujudnya keinginan tersebut. Dalam program pendidikan dan implementasinya, pemerintah mengadakan proses pembelajaran melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola dan dibiayai oleh pemerintah sendiri. Selain itu, pemerintah juga menghimbau kepada pihak swasta untuk turut serta membantu pemerintah dengan membuka dan menyelenggarakan lembagalembaga
pendidikan
sehingga
keterbatasan
lembaga-lembaga
pendidikan pemerintah dapat ditutupi oleh lembaga-lembaga partikelir. Di dalam Undang Undang RI. Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan bahwa :“Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan; sedangkan pendidikan yang diselenggarakan di jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak berjenjang dan berkesinambungan. Pondok
pesantren
dalam
menyelenggarakan
proses
pendidikannya tidak berjenjang dan berkesinambungan. Oleh karena itu, pendidikan pesantren dikategorikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang berada di jalur pendidikan luar sekolah formal.
33
Maka susuai dengan arus perkembangan zaman, difinisi atau persepsi terhadap pesantren menjadi berubah pula. Kalau pada tahap awalya diberi makna dan pengertian sebagai lembaga pendidikan tradisional, tetapi pada saat ini pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisionla tidak lagi selamanya benar. Pada saat itu banyak lembaga pendidika islam yang berkembang di seluruh indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut dengan Pondok Pesantren, di Aceh dikenal dengan ”Rangkang, dayah” (Malik dkk, 2007 ; 8) di Sumatra Barat dikenal Surau, nama sekarang yang dikenal dengan pondok pesantren (Departemen Agama RI, 2004 ; 1). Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, polo kepemimpinan atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Unsur-unsur pondok pesantren Menurtut Zamakhsyari Dhofier ada beberapa unsur pokok pesantren yang harus dimiliki oleh setiap pesantren. Unsur-unsur pokok pesantren diantaranya kyai, santri, masjid, pondok, dan kitab islam klasik (kitab kuning) islam (Haidar, 2004 ; 27). a. Pondok. Merupakan asarama bagi para santri, yang merupakan ciri khas dari tradisi pesantren. Dimana pondok di pergunakan untuk tempat tinggal santri dalam mempelajari ilmu agama islam, agar
34
supaya santri dengan kyai lebih dekat dalam mentransfer sebuah ilmu agama kepada peserta didiknya atau santrinya. Selain hal itu agar dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama (Dhofier, 1983 ; 46), agar lebih dekat dengan kyainya dengan harapan mendapatkan barokah manfaat (ngalap barokah) dari kyainya dalam mendalami ilmu agama. b. Masjid. Yang merupakan elemen dasar yang tadak dapat dipisahkan dengan pesantren, yang dianggap sebagai tempat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek shalat lima waktu, belajar mempelajari Al-Qur‟an, dan belajar untuk mengkaji kitab islam klasik atau kitab kuning. Dala hal ini masjid sebagi pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme
(perwujudan
yang
menyeluruh)
dari
sistem
pendidikan islam tradisional (Dhofier, 1983 ; 49). c.
Santri. Dalam tradisi pesantren, terdapat dua kelompok santri (Dhofier, 1983 ; 51-52). 1) Santri mukim, yaitu murid murid atau peserta didik yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren.
35
2) Santri non mukim atau santri kalong Yaitu, murid murid atau peserta didik yang berasal dari desa desa di sekeliling pesantren, yang biasanya yang tidak menetap dalam pesantren . Selain santri mukim dan santri non mukim juga ada yang dinamakan Santri Pasan, yaitu santri yang mengikuti pembelajaran di pesantren hanya pada bulan puasa. Adapun yang mengikuti tidak hanya santri mukim dan non mukim tapi banyak seorang yang sudah menjadi kyai. d. Pengajaran ilmu ilmu agama atau kajian kitab kuning/kitab klasik. Dalam tradisi intlektual islam, penyebutan istilah kitab karya ilmiah para ulama‟ penganut faham salafiyah, yang tujuannya adalah untuk mempersiapkan kader-kader ulama‟ (Departemem Agama RI, 2005 ; 9). Dal;am penyebutanya dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya. Katogori yang paling pertama disebut dengan kitab kitab klasik Al kutub al ashirryah (Departemem Agama RI, 2004 ; 19). Pengajaran materi yang
diajarkan dilakukan secara
berjenjang, berulang ulang. Penjejangan yang dimaksud adalah untuk pendalam dan perluasan, sehingga penguasaan santri terhadap materi semakin mantap dalam pemahamannya. Dalam pelaksanaannya penjenjangan tidaklah secara mutlak, tetapi juga dapat memberikan tambahan atau melakukan tambahan langkahlangkah inovasi dengan memberikan pengajaran kitab kitab yang
36
lebih popular, dan dalam penyajiannya dilakukan secara efektif, sehingga santri dapat menguasai materi tersebut dengan baik. e. Kyai atau seorang pengasuh. Yang merupakan elemen yang paling esensial (utama) dari suatu pesantren, Kyai merupakan pendiri dari pesantren, sehingga perkembangan pesantren sesuai dengan kemampuan individu kyainya. Karena itu seorang sosok kyai yang menjadi pemimpin tertinggi dan terpenting pada suatu pesantren yang dijadikan panutan oleh santrinya. Pemakaian istilah kyai merujuk pada kebiasaan daerah, misalnya pemimpin pesantren Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut dengan kyai, sedangkan di Jawa Barat kyai diberi gelar Ajengan (Mujamil ; 28). Secara nasional, trem kyai lebih lebih terkenal dari pada ajengan. Dalam pemberian gelar kyai kepada seorang yang memiliki pemahaman tentang agama islam, tidak melalui jalur formal sebagai sarjana. Melainkan datang dari masyarakat yang secara tulus dalam memberikannya tanpa adanya intervensi pengaruh pihak luar dengan kelebihan ilmu dan amal yang tidak dimiliki lazimnya orang lain, dan kebanyakan didukung pesantren yang dipimpinnya.
37
3. Tipologi pondok pesantren. Sejak awal pertumbuhannya, dangan bentuknya yang khas dan bervariasi, pondok pesantren terus berkembang, namun dengan perkembangan yang sangat signifikan setelah terjadi persinggungan dengan sistem persekolahan atau dikenal dengan sistem madrasah, yaitu pendidikan dangan pendekatan klasikal, atau lawan dari sistem individual yang berkembang di pondok pesantren sebelumnya Perseturuhan pondok pesantren dengan madrasah terjadi pada akhir abad 19 dan semakin nyata pada abad 20. perkembangan pendidikan islam dengan model madrasi itu terjadi karena pengaruh sistem madrasi yang sudah berkembang lebih dahulu di Timur Tengah. Banyaknya uamt islam Indonesia yang belajar menimba ilmu ilmu agama ke sumber aslinya, dengan bermukim disana dan sebagian kembali ketanah air setelah selasai dalam setudinya. Mereka yang kembali ke tanah air, dengan membawa sebuah pemikiran-pemikiran baru dalam sistem pendidikan islam yang intinya : a. Mengembangkan sistem pengajaran dari pendekatan selama ini menjadi sistem klasikal. b. Memberikan pengetahuan umum dalam pendidikan islam. Pendidika dengan sistem madrasah ini dalam tahap berikutnya juga mengalami perkembangan, di satu pihek mengarah ke pendidikan
38
umum dan dilain pihak tetap mempertahankan dominasi pendidikan islam dengan ilmu ilmu agama dan bahasa Arab. Persentuhan sistem pondok pesantren dengan sistem madarasah membuat semakin tingginya variasi pondodok pesantren, namun secara garis besar dapat digolongkan menjadi empat bentuk (Departemen Negara RI 2004 : 8), diantaranya. a. Pondok pesantren dengan Tipe A yaitu pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional. b. Pondok pesantren dengan Tipe B yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan sistem klasikal (madrasah). c. Pondok pesantren dengan Tipe C yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama, sedang santrinya belajar di luar. d. Pondok pesantren Tipe D yaitu pondok pesantren yang mennyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah. Dengan melihat empat tipe pondok pesantren diatas, dengan melihat tingkatan konsistensi dangan sistem lama dan keterpengaruhan oleh sistem modern, secara garis besar dapat di katogorikan kedalam tiga bentuk, yaitu : a. Pondok pesantren Salafiyah. Pondok pesantren Salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana yang berlangsung semenjak awal pertumbuhannya.
39
Yang pada pembelajaranya dilakukan secara individual atau kelompok, dengan konsentrasi pada kajian kitab kuning (Klasik.) b. Pondok pesantren Khalafiah (Ashiriyah). Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan
pengajaran
pendidikan
islam
dengan
pendekatan modern, dengan melalui pendidikan secara formal, dengan pendekatan secara klasikal dalam pembelajaranya, yang dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan dengan suatu program yang didasarkan pada satuan waktu. Dalam sistem ini, pondok pesantren lebih banyak dilakukan sebagai asrama yang memberikan lingkungan yang kondusif untuk pendidikan agama. c. Pondok pesantren Campuran atau kombinasi Pondok pesantren campuran atau kombinasi adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pendidikan islam dengan pendekatan dengan mengkombinasikan antara sistem pondok pesantren salafiyah dengan sistem pondok pesantren khalafiyah. Disamping tipologi pesantren berdasarkan model pendekatan pendidikan yang dilakukan, apakah secara tradisional atau modern, juga ada tipologi berdasarkan konsentrasi ilmu ilmu agama yang diajarkan,
seperti,
pondok
pesantren
Al-Qur‟an,
yang
lebih
berkonsetrasi pada pembelajaran Al-Qur‟an mulai dari qiro‟ah sampai
40
hafiz. Ada pesantren fiqih, pesantren ushul fiqih, pesantren tasawuf dan lain lain. Ada
tipologi
pesantren
yang
dibuat
berdasarkan
penyelenggaraan fungsinya sebagai lembaga pengembangan usaha, misalnya pesantren pertanian, pertenakan, ketrampilan, argobisnis, kelautan dan lain lain. Maksudnya adalah pondok pesantren yang selain menyelenggarakan pendididikan agama juga memberikan sebuah ilmu pengetahuan yang nantinya setelah keluar dari pesantren dapat dipergunakan bekal hidupnya dalam bermasyarakat. 4. Sistem pendidikan pondok pesantren. Setiap bangsa didunia
ini, tidak terkecuali Indonesia,
meletakkan pendidikan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan mutu budaya dan peradaban sebagai dua hal yang saling berkaitan. Pendidikan tanpa adanya orientasi budaya akan terasa gersang dari nilai nilai luhur, sebaliknya kebudayaan tanpa adanya pendukung yang sadar dan terdidik, yang pada akhirnya akan memudar sebagai sumber nilai yang tidak terhitungkan dalam perjalanan sejarah. Dalam hal ini, pendidikan nasional harus berdasarkan latar belakang sebuah filosofi bangsa, yakni “pancasila” yang merupakan nilai-nilai luhur yang disosialisasikan secara terus menerus oleh aparatur negara. Yang bertujuan untuk meningkatakan mutu kualitas manusia Indonesia yang terdiri dari berbagai aspek keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
41
Menurut H.M Arifin secara teoritis tujuan pendidikan nasional adalah disebabkan adanya beberapa potensi dalam setiap diri manusia, yakni paedagogis, potensi psikologis, dan potensi sosiologis dan kultur (Sa‟id, 1999 ; 182). Pendidikan islam pada dasarnya adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Dan menumbuh suburkan hubungan yang harmonis setiap pribadi dengan Allah “Hablum minallah”, sesama manusia “Hablum minannas” , dan alam semesta “Hablum minal alam” Dalam catatan sejarah, pernah muncul suatu usulan dari sebagian faunding fathers (para pendiri indonesia) agar pesantren yang memiliki kental indigenous tersebut dijadikan alternative perguruan nasional, karena dinilai banyak memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan apa yang ada pada perguruan barat (Arif, 2008 ; 167). Kelebihan-kelebihan pesantren diantaranya adalah a. Sistem pemondokan (pengasramaan)-nya yang memungkinkan pendidik (kyai) melakukan tuntutan dan pengawasan secara langsung kepada para santri. b. Keakraban (hubungan personal) antara santri dengan kyai yang sangat kondusif bagi permohonan pengetahuan yang hidup. c. Kemampuan pesantren dalam mencetak lulusan yang memiliki kemandirian.
42
d. Kesederhanaan pola hidup komunitas pesantren. e. Murahnya biaya penyelenggaraan pendidikan pesantren. Pesantren, tidak hanya sebagai sebuah lembaga pendidikan dan ilmu, pesantren juga menempatkan diri sebagai pemelihara dan pencipta tradisi dikehidupan masyarakat, serta mempertahankan tradisi-tradisi yang sudah ada. Dengan sebuah prinsip metodologis ”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa akhdzu bil jadiidil aslah”( Munir, 1998 ; 153) yaitu, (memelihara tradisi-tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi-tradisi baru yang lebih baik). Santri dalam hal ini dalam pembelajarannya dapat berfikir secara kritis, bebas dan luas dalam menjaga sebuah tradisi-tradisi yang sudah ada, dan harus bisa mengetahui serta menyikapi permasalahanpermasalahan yang
berkembang di tengah tengah kehidupan
bermasyarakat maupun perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada zaman sekarang ini. Sebagai seorang kaum intlektual santri, yang sedang dalam proses menjadi atau menemukan jati dirinya sebagai seorang intlektual. Menurut Jalaluddin Rakhmat dalam Ali Syari’at, idiologi kaum intlektual dalam bukunya, ada beberapa prinsip etika intlektual santri diantaranya : a. Mengembangkan hikmah, kemampuan dalam membaca untuk menemukan peristiwa sejarah dan dinamika realitas dalam menarik pelajaran dari realitas hitoris, sosial, dan alam natural,
43
baik realitas teks firman yang verbal ataupun dinamika sosial dan alam fasis natural. b. Mengembangkan sikap kritis terhadap informasi dan pemikiran orang lain. Seorang intlektual santri, yang bersikap mandiri dan penuh percaya diri, rendah hati, dan secara sistematis dan metodologis
terus
mengembangkan
ilmu
dengan
penuh
kesungguhan dan bekerja untuk ilmu dan kebenaran. c. Melakukan penelitian dan memikir ulang seluruh rialitas ciptaan Allah dan wahyunya yang verbal (Al-Qur‟an), yang merupakan bagian dan cara hidup intlektual santri. d. Kesanggupan mempertahankan kebenaran dalam meletakkan Allah sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupanya. Seorang yang selalu berusaha menunjukkan kesalahan sebagai kesalahan, kebenaran sebagai kebenaran, dan menolak ketidak benaran dengan segala resiko yang harus dihadapi dan ditanggungnya. e. Kuat dalam mempublikasikan hasil penelitian dan pemukirannya. Terbukannya secara luas dalam komunikasi dialogisdi antara kaum intlektual santri dengan intlektual lainya, yang akan tumbuh sebuah akumulasi intlektual kolektif. f. Memperkaya pengalaman sebagai basis pengembangan pengalamn bertuahan dengan melakukan ibadah dan tahujud. Mampu memanfaat waktu luangnya untuk melakukan sebuah aktivitas
44
mendekatkan atau berhubungan
kepada Allah SWT (Hablum
minalllah) g. Memperkaya dan memelihara daya kritis dengan melakukan dzikir (mendekatkan
diri)
kepada
Allah
SWT.
Mengembangkan
kesadarannya terhadap universal (alam semesta) dan realitas kehidupan agar dapat selalu aktual. Dalam menciptakan seorang intlektual santri yang dapat memelihara tradisi-tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi-tradisi baru yang lebih baik dalam kehidupan pesantren yang partisipatoris, membutuhkan pengelolaan secara serius
yang dapat
ditentukan oleh seorang menejeral. Dalam hal ini, pemimpin pesantren (kyai) perlu mengadakan sosialisasi manejeral secara terus menerus, sehingga menejem menjadi bagian integral dari kehidupan secara relatif permanen. Struktur pengajaran yang diberikan oleh kyai memakai jenjang pelajaran yang berulang ulang dari tingkat ke tingkat tanpa adanya kesudahan yang jelas. Keseluruhan struktur pengajaran dalam hal ini tidak ditentukan panjang atau singkatnya waktu seorang santri mengaji pada kyai, karena tidak ada keharusan bagi santri untuk menempuh ujian agar memperoleh ijazah. Melainkan yang menjadi ukuran adalah kedudukan di hadapan kyai dan kemampuannya memperoleh ilmu yang memungkinkannya di kemudian hari menjadi kyai atau menjadi orang berpengaruh dimasyarakat.
45
Kyai sebagai pimpinan pondok pesantren yang dibantu oleh ustad dan santri sunior, yang menjadi guru memiliki dua fungsi ((Muhtarom, 2005 ; 110).) diantaranya : a. Sebagai penempa kemampuan santri untuk menjadi seorang yang alim (kyai) di kemudian hari. b. Dan sebagai pembantu kyai dalam mendidik santri, dalam mematangkan penguasaannya atas kitab-kitab yang diajarkan di pesantren. Fungsi semacam ini yang dilakukan oleh para ustadz dan santri sinior dalam proses pembalajarn yang dilakukan disebuah lembaga pendidikan islam, sehingga tidak heran jika para guru ini dianggap pantas nantinya untuk mendirikan pondok pesantren sendiri di kemudian hari. Sistem pengelolaan pondok pesantren tradisional berbentuk sederhana, dengan pucuk kepemimpinan ditangan kyai. Namun, sering kali diwakilkan kepada guru sunior selaku lurah pondok. Dalam pengelolaannya membentuk organisasi seperti sebuah yayasan, dengan susunan pengurus lengkap dan dengan tugas masing-masing secara jelas, walaupun ketuanya masih disebut “lurah”. Tetapi, kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pengasuh atau kyai. Sehingga terciptanya sebuah sistem demokrasi, dalam sebuah lembaga
pendidikan
islam
di
pondok
pesantren.
Dengan
kepemimpinan kyai di pondok pesantren, sehingga tetap saja masih
46
ada jarak tak terjembatani antara kyai dan keluarganya di satu pihak dan para guru serta santri dipihak lain, yang berperan sebagai pemilik tunggal (singgle owner). Yang dianggap memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain disekitarnya, dengan status demikian, seorang kyai berfungsi sebagai pengasuh, dan pebimbing santri dalam banyak hal.
Fungsi
ini
memunculkan peranan kiai sebagai peneliti
(researcher), filter dan asimilator terhadap aspek aspek budaya luar yang masuk ke dalam pondok pesantren. Dengan demikian peran kyai sebagai cultur braker menjadi nyata, karena aspek aspek kebudayaan yang telah diseleksi oleh kyai akan dikembangkan para santri dimasyarakat mereka sendiri nantinya ((Muhtarom, 2005 ; 111). Sistem
pendidikan
pesantren
masing
masing
memiliki
karakteristik tersendiri dalam mengembangkan sebuah pendidikan agama islam. Setidaknya karakter itu tidak dimiliki sistem pendidikan lainya, dalam hal ini pesantren juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang dimasyarkat. Menurut Abdurrahman Wahid (Gusdur) AlMarhum, disebut dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur (Mujamil Qomar ; 6162). a. Polo kepemimpinan pesantren yang mandiri, tidak terkooptasi oleh Negara. b. Kitab kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad.
47
c. Sistem nilai (Value System) yang digunakan adalah bagian dari masyarkat luas. Sebagai
halnya
kurikulum,
pondok
pesantren
juga
menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran yang diterapkan di madrasah atau sekolah. Berikut ini berupa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri umum pembelajaran pondok pesantren. a. Metode sorogan. Metode sorogan adalah, kegaiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan perseorangan (individu), di bawah bimbingan seorang ustadz atau kyai. b. Metode watonan atau bandongan. Metode weton ini
merupakan metode kuliah, dimana
para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. c. Metode musyawarah (Bahsul Masa‟il). Metode pembelajar di bawah bimbingan seorang guru atau belajar bersama dalam satu tempat, dengan cara berdiskusi, untuk membahas atau mengkaji persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. d. Metode pengajian pasaran.
48
Kegiatan para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu kepada kyai atau ustadz yang dilakukan oleh santri dalam kegiatan yang dilakukan oleh santri dalam kegiatan yang dilakukan terus menerus selama waktu tertentu. e. Metode hapalan (Muhafzah). Hafalan
adalah
sebuah
metode
pembelajaran
yang
mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau syair-syair dengan tanpa melihat teks yang disaksiskan oleh guru atau kyai. f. Metode demonstrasi (praktek ibadah). Metode
pembelajaran
yang
dilakukan
dengan
memperagakan suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan perseorangan atau kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan ustadz atau kyai g. Metode fathul kutub. Metode Fathul Kutub biasanya dilaksanakan untuk santrisantri senior yang sudah akan menyelesaikan pendidikan di (Pondok
Pesantren). Pada dasarnya metode ini adalah metode
penugasan mencari rujukan terhadap beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll.) h. Metode Muhawarah/Muhadatsah. Metode muhawarah adalah merupakan latihan bercakapcakap dengan menggunakan bahasa Arab. i.
Metode Muqoronah.
49
Metode muqoronah adalah sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham (madzhab), metode, maupun perbandingan kitab. B.
MULTIKULTURALISME. 1.
Pengertian Multikulturalisme. Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur, (budaya), isme (paham/aliran). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik (Choirul, 2006 ; 75). Menurut Irwan, multikulturalisme adalah sebuah pemahaman yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah keseteraan budaya (Choirul, 2006 ; 90). Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan yang majemuk atau pluralistik. Multikulturalisme adalah sebuah idiologi yang menekankan kesaderajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan. Dari dasar pengertian ini dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan kesederajatan dalam perbedaanperbedaan kebudayaan atau latar belakang siswa. (Suwito, 2005 ; 25).
50
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas (Yaqin, 2005 : 4). Selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras (Yaqin, 2005 ; 5) Untuk beberapa saat lamanya, multikulturalisme adalah sebuah istilah yang samar, ambivalen (bertentangan) dan debatable. Di satu sisi, ada keinginan yang jelas untuk mengatakan bahwa kebudayaankebudayaan lain adalah baik atau setidaknya mengandung kebaikan sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari, bahwa dimasa lalu kita kerap member penilaian yang salah terhadap kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada
51
informasi yang tidak akurat dan pemahan yang yang kurang memadai. Di sisi lain, ada pula keinginan untuk mengisolasi kebudayaankebudayaan lain dalam penilaian negatif. Penilaian negatif ini muncul dari pengalaman masa lampau dan sikap protektif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain (Zakiyuddin, 2005 ; 2). Penelitian terhadap konsep pendidikan multikultural perlu dilakukan, karena konsep tersebut belum dikenal oleh pakar pendidikan islam saat ini. Boleh jadi konsep tersebut sudah ada semenjak Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rosul melalui piagam madinah (Shahifah Madinah) atau Constitution of Madinah yang terkenal itu (Anshori LAL, 2010 ; 150). Yang merupakan sebuah konstitusi pertama di dunia tentang hak hak manusia. Pada intinya piagam ini berisi tentang perjanjian hidup bersama dalam kedamaian dan saling menghormati di antara penduduk madinah, terlepas dari apa latar belakang identitas sosial dan keyakinan agama mereka. Piagam ini juga memberikan sebuah jaminan beragama bagi segenap penduduk Madinah, mekanisme atau tata cara yang harus dilakukan dalam hububungan antara pemeluk agama yang isinya diantaranya (Anshori LAL, 2010 ; 150). a.
Bagi orang orang Yahudi agama mereka dan orang orang islam agama mereka.
b.
Orang orang muslim dan orang orang yahudi perlu bekerja sama dan saling menolong dalam menghadapi musuh.
52
c.
Semua warga harus saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap yastrib. Yang pada intinya dari piagam madinah tersebut untuk
memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, persamaan dan keadilan, kebebasan beragama, pertahaman dan keamanan Negara, pelestarian adat istiadat dan kultur yang baik, supremasi hukum dan politik damai dan proteksi. Dari sejarah tersebut bahwa pluralisme sudah sejak dari Zaman Nabi Muhamammad ketika diutus menjadi Rasulullah oleh Allah SWT. Menurut
Azyumardi
Azra
Seorang pakar
pendidikan,
mendifinisikan pendidikan Multikultural sebagai “ pendidikan tentang keragaman budaya dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Lebih
lanjut
multikultural
dia
menjelaskan
mencakup
bahwa
subjek-subjek
paradigma mengenai
pendidikan
ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain lain, tujuan dari ini adalah untuk mencapai pemberdayaan bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged (Suwito, 2005 ; 2526). Selanjutnya Azyumardi Azra menjelaskan bahwa istilah multikultural dapat digunakan baik pada tingkat diskriptif maupun minoritas, yang menggambarkan isu isu dan masalah masalah
53
pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultur (Suwito, 2005 ; 26). Oleh karena itu, kurikulum pendidikan multikultural mencakup subjek seperti ; toleransi, teman-teman tentang perbedaan etnik-kultur, agama, bahaya deskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi; HAM, demokrasi dan pluralitas, dan kemanusian unuversal. Dari sudut pandang psikologi, Hariansyah menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memandang manusia memiliki beberapa dimensi yang harus diakomodir dan dikembangkan secara keseluruhan. Bahwa kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakua akan pluralitas hiterogenitas (keanekaragaman), dan keberagaman manusia itu sendiri. Keanekaragmana itu bisa berupa idiologi, agama, paradigma, pola pikir, kebutuhan, keinginan, dan tingkat intlektualitas. Pendidikan multikultural mampu menghargai dan menghormati semua bentuk keragaman agar mampu meredam berbagai gejolak yang mengarah pada permusuhan, kekerasan, genoid, atau bahkan tindakan kekerasan (Suwito, 2005 ; 26). Oleh karena itu, sebuah bangsa tidak akan berkembang apabila tingkat pluralitasnya kecil. Begitu juga dengan sebuah bangsa yang besar jumlah perbedaan kebudayaanya, akan menjadi kerdil apabila ditekan secara institusional (kelembagaan). Bahkan, tindakan semacam itu akan merusak nilai-nilai yang ada dalam budaya itu sendiri. Akibatnya, perpecahan dan tindakan-tindakan yang mengarah kepada
54
anarki menjadi sebuah sikap alternatif masyarakat ketika pengakuan identitas dirinya terhambat. Konsep pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu‟ (many), keberagaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan.
Dibandingkan
dengan
dua
konsep
tersebut
multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa,
ataupun
agama.
Pluralitas
hanyalah
sekedar
adanya
kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaan itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam sebuah respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komuitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup, sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas komunitas itu diperlakukan sama oleh pemerintah. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politcs of recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang harus diterima,
55
dihargai, dilindungi, serta dijamin eksitensinya (Anshori Lal, 2010 ; 134-135). Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-an multikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya (Anshori Lal, 2010 ; 134). Bikhu Parekh menggaris bawahi tiga asumsi mendasar
yang
harus
diperhatikan
dalam
kajian
tentang
multikulturalisme, yaitu: Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu identitas yang relatif sekaligus parcial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
56
Gagasan
multikulturalisme
yang
dinilai
mengakomodir
kesetaraan dalam perbedaan merupaka sebuah konsep yang dapat meredam konflik vertical dan horizontal dalam masyarakat yang hoterogen dimana tuntutan akan pengakuan atas eksitensi dan keunikan budaya kelompok etnis sangatlah lumrah terjadi. Masyarakat multikultural dicitakan mampu memberikan ruang yang luas bagi berbagai identitas kelompok untuk melaksanakan kehidupan secara otonom. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem budaya (culture system) dan tatanan sosial yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian sebuah bangsa. Barangkat dari kronologi pergaulatan wacana tersebut, dapat dipahami bahwa sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa
yang dipenuhi dengan budaya-budaya
yang
beragam
(multikultural). Dan bangsa yang yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup bedampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain.
57
2. Akar Sejarah multikulturalisme. Secara historis, semenjak jatuhnya presiden Suharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai
“Era
Revormasi”,
kebudayaan
Indonesia
mengalami
deintregrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi, dan politik yang bermula semenjak tahun 1997, pada giliranya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sisio kultur di dalam kehidupan bangsa dan negara. Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disirientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya : Disintegrasi sosio politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris keblabasan, lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realita kehidupan yang semakin sulit, sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki, merosotnya
penghargaan dan
kepatuhan terhadap hukum, etik, moral, dan kesantunan sosial, semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit penyakit sosial lainya, berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis, dan agama. Disorientasi, dislokasi atau krisi sosial budaya dikalangan masyarakat kita semakin merebak seiring dengan meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya barat khususnya Negara Amerika, sebagai proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai
58
ekspresi sosial budaya yang sebenarnya “alien”(asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturnya dalam masyarakat kita seperti, semakin merebaknya budaya McDonald, juga makanan instant lainya, sehingga memunculkan kecendrungan kecendrungan gaya hidup baru yang berbudaya serba instans, yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi kehidupan sisoal masyarkat dan bangsa (Choirul, 2006 ; 82-83). Kondisi ini dengan meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain dari pada “cultural imperialisasi” yang menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “Orientaslisme”. Dari berbagai kencendrungan ini, orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid, budaya gado gado tanpa identitas di Indonesia pada dewasa ini. Budaya hybrida dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal, padahal identitas nasional dan lokal adalah mutlak diperlukan bagi terwujudnya integrasi sosial, dan politik masyarakat dan Negara bangsa Indonesia. Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Malesiya, dan Singapura sangatlah mencolok beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural. Khususnya Negara Indonesia sebagai lokus klasik bagi konsep masyarakat majemuk (plural society) yang diperkenalkan dinegara barat oleh Js Furnival. Menurut Js Furnival masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur atau tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi
59
tidak bercampur dan menyatu dalam suatu unit politik tunggal. Dalam hal ini banyak berkaitan dengan relaitas sosial politik Eropa yang relative “homogen”, tetapi yang diwarnai dengan Cheuvinisme etnis, rasial, agama, dan gender. Js Furnival memandang masyarakat plural Indonesia akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang memadai. Pada akhirnya setelah perang dunia II dapat menyatu dalam satuan unit politik tunggal. Tapi, harus diakui dalam kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosial sosial budaya yang tidak divisit, khususnya negara negara baru seperti indonesia gagal menemukan ”common platfrom” yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negera-negera baru mendorong bangkitnya stamina etno relijius yang dapat sangat eksplosif, karena dorongan semangat yang menyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan. Selain itu juga eksitensi negara bangsa (nation building) yang mengandung keragaman untuk melaksanakan politik keseragaman budaya ”monokulturalisme atau monokulturality” Secara
restropektif,
politik
mono
kulturalisme
atau
monokulturalisme yang dilaksanakan pemerintah orde baru atas nama stabilitas untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses. Lebih lanjut lagi, local geniuses juga berfungsi sebagai defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat
60
mengantisipasi ancaman terhadap keutuhan tradisi dan sistem sosio kultural dan dengan demikian memelihara integrasi dan keutuhan sosio kultural masyarakat yang bersangkutan. Politik mono culturalisme yang telah menghancurkan local genius pada giliranya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disentegrasi sosial budaya lokal. Serta konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang marak sejak tahun 1996 tidak terlepas dari hancurnya local geniuses. Sebagaimana yang diungkapkan dalam hal itu, merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa Negara Indonesia terdiri dari sejumlah kelompok besar, kelompok etnis, budaya, agama dan lain lain., sehingga secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Menurut
analisa Muhaimin El-Ma’hady, akar sejarah
multikulturalisme bisa dilacak secara historis, sedikitnya selama tiga desa warsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadapa isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai (Choirul, 2006 ; 87). Tetapi dalam suatu pihak lain, realitas multikultural
berhadapan dengan kebutuhan untuk merekontruksi
kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat menjadi “integritas force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya. Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hububungan
61
interporsenal.
Beberapa
menunjukkan
tingkat
psikologi inteligensi
menyatakan, masyarakat.
bahwa Oleh
budaya
karananya
“keahlian” yang dimiliki seorang itu menunjukkan kemampuan inteligensinya. Ada tiga sudut pandang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitanya dengan konflik yang sering muncul (Choirul, 2006 ; 87. a. Pandangan kaum primoridialis (keunggulan), perbedaan genetik, seperti suku, ras dan agama merupaka sumber utama lahirnya benturan kepentingan etnis dan budaya. b. Pandangan kaum instrumentalis, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar baik dalam bentuk materiil maupun non materiil. c. Pandangan kaum kontruktivis, identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum premordialis. Etnisitas dalam pandangan ini merupakan sember hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Karena persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. Dalam pendapat ini terdapat wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keberagaman. Berangkat
dari
kronologi
ini,
dapat
dipahami
bahwa
sebenarnya multikulturalisme adalah sebuah konsep, dimana sebuah
62
komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama, dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi budaya-budaya
yang
beragam
(multicultural).
Dan
bangsa
multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co existensi yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya. Menurut Azyumardi Azra, menjelaskan bahwa pendidikan multikultur berawal dari perkembangannya gagasan dan kesadaran tentang “intlektualisme” seusai perang dunia II. Tujuan pendidikan interkultur untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang lain atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditunjukan untuk timbulnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain lain. Konsep pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas, berbeda dengan konsep pendidikan interkultural (Suwito, 2005 ; 22-23). Manusia yang hidup didalam milenium ketiga berada didalam suatu dunia yang jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Belum pernah terjadi didalam sejarah umat manusia, seseorang menyadari bahwa dia tidak hidup terasing dari dunia dan masyarakat lainnya. Revolusi transfortasi dan informasi telah menyebabkan setiap individu
63
menyadari akan dirinya sendiri, apakah dia terasing atau merupakan bagian dari umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat sehingga muncullah suatu proses penyadaran diri dari setiap insan yang hidup di bumi ini, bahwa dia adalah bagian dari kehidupan yang lebih besar yaitu kehidupan umat manusia yang mempunyai tujuan, cita-cita, rasa kebersamaan dalam suatu kelompok ataupun dalam ikatan suatu negara dan bangsa. Masyarakat dan bangsa Indonesia yang relatif aman, tidak bergejolak, dan bahkan dapat menerima “penjajahan” selama 350 tahun. Pada masa kolonial yang mengatakan bahwa bangsa jawa adalah bangsa yang paling lembut di dunia. Bangsa yang lemah lembut, merupakan ciri dari masyarakat tradisional. Masyarakat tradisional adalah suatu bentuk masyarakat yang relatif stabil, terkontrol, hidup tenang penuh dengan kepastian, dan tertutup. Kehidupan masyarakat diikat oleh kesatuan tradisi yang sifatnya mengikat baik moral etis bahkan teologis. Kekuatan-kekuatan kramat mengikat masyarakat tradisional baik didalam hubungan kekuasaan maupun di dalam aspek kehidupan, semuanya diatur, baik oleh kekuatan natural seperti kekuasaan raja yang feudal sampai kepada kekuatan supernatural yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya. Di dalam suatu masyarakat tradisional, kesadaran akan kehidupan sangat terbatas, dan oleh sebab itu pula dunia kehidupannya bergerak dengan sangat lambat. Masyarakat yang stabil tersebut kini
64
menjadi
berantakan didalam kehidupan yang
tidak
menentu.
Perubahan besar yang terjadi di muka bumi ini dengan lahirnya masyarakat industri pada abad ke-18 di Eropa. Dengan demikian munculah gelombang modernisasi yang pertama. Gelombang modernisasi pertama seperti yang terlihat didalam masyarakat barat yang sifatnya sederhana, perubahan-perubahan linier, perkembangan industri yang menyerap lapangan kerja baru disamping pertanian. Semua perubahan tersebut terjadi didalam ruang lingkup negara dan bangsa. Gelombang modernisasi pertama berjalan hampir dua abad lamanya. Namun dengan demikian munculnya gelombang modernitas kedua, kepastian yang dinikmati oleh manusia menghilang dan secara simultan lahirlah perubahan-perubahan sosial yang dahsyat dan tidak dapat diatasi lagi oleh manusia. Modernisasi gelombang kedua ini membawa manusia kepada apa yang disebut suatu masyarakat penuh resiko. Menurut Ulrich Beck‟ mengemukakan: “Lima proses yang secara simultan menimpa masyarakat dunia dewasa ini, yaitu: “globalisasi, individualisme, revolusi gender, pengangguran, dan resiko global karena krisis lingkungan dan krisis moneter seperti yang terjadi dinegara kita pada tahun 1997”. Dalam perjalananya masyarakat Indonesia menuntut proses pengambilan keputusan yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan
65
didalam pendahuluan masyarakat yang dapat mengambil keputusan dengan tepat adalah masyarakat yang terdidik, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dibimbing oleh moral untuk kemaslahatan masyarakat dan bangsanya, serta masyaraka dunia. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan jaman maka lahirlah konsep masyarakat individualitas yang baru, sehingga konsepkonsep yang lama tidak dapat digunakan lagi. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan-perubahan yang dahsyat didalam masyarakat dunia akibat lahirnya demokrasi poltik, yang menuntut hak-hak politik dari warga negara, diikuti oleh demokrasi sosial yaitu keinginan untuk membangun suatu masyarkat sejahtera, dan lahirlah apa yang disebut demokrasi cultural yang mengubah dasar-dasar hidup keluarga yang stabil didalam masyarakat tradisional, perubahan peranan gender, perubahan relasi antar manusia didalam membangun keluarga, hingga mudah retaknya struktur keluarga inti yang dikenal didalam masyarakat tradisional. Masyarakat masa depan mengalihkan pemikiran manusia bukan kepada masa lalu tetapi kemasa yang akan datang. Masyarakat masa depan berorientasi kepada masa depan yang cerah yang telah diperhitungkan. Secara seksama apa yang akan terjadi dimasa depan, maka sekurang-kurangnya kita mempunyai pegangan hidup secara mantap untuk menghadapi masa depan yang lebih baik.
66
Untuk mengetahui resiko masa depan adalah merupakan sintesa antara pengetahuan dan ketidaksadaran (unclearness). Konsep masa depan yang penuh resiko sangat perlu agar bisa membedakan dengan jelas antara yang alamiah (nature) dengan budaya (culture). Gelombang globalisasi yang mendapat reaksi dari kekuatan lokal atau lokalisme. Globalisme merupakan sintesa antara Globalisasi dan lokalisme. Dengan demikian pengaruh dari Globalisasi yang berjalan sangat cepat sehingga menghancurkan sendi-sendi dan struktur kehidupan lokal. Berdasarkan uraian mengenai masyarakat masa depan yang penuh dengan resiko, kiranya manusia dapat mengikuti percaturan dunia adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas-kualitas tertentu. Dalam pengertian, tidak semua manusia dapat demikian. Adapun kualitas-kualitas yang dimaksud meliputi: kualitas fisik dan non fisik. Kualitas fisik menyangkut kualitas lahiriyah dan jasmaniyah seseorang. Kualitas demikian, diindikasikan oleh ukuran badannya, tenaga fisik, yang dimiliki, daya tahan tubuhnya kesehatan jasmaninya, kesegaran atau kebugaran raganya. Sementara kualitas non fisik berkaitan dengan hal-hal yang bersifat batiniah, non fisik dan kejiwaan. Kualitas non fisik demikian meliputi: kualitas pribadi, kualitas hubungan dengan pihak lain dan kualitas kekayaanya. Kedua kualitas tersebut, fisik dan non fisik, saling melengkapi, karena
67
kualitas fisik diperlukan untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan yang menyangkut dan mendukung bagi tercapainya kualitas non fisik. Jika manusia Indonesia yang dibutuhkan dimasa depan, yang diindikasikan oleh kualitas-kualitas sebagaimana disebutkan diatas, maka harus ada kebijaksanaan pendidikan yang relevan adalah sebagai berikut: a. Penigkatan kualitas pendidikan harus diprioritaskan. Kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup dimasa depan. b. Peningkatan kesiapan peserta didik untuk menghadapi dunia yang selalu
berubah
dengan
perkembangan
zaman
yang
terus
berkembang. c. Peningkatan kemandirian anak melalui pengejaran. Ini harus menjadi kebijaksanaan pendidikan, mengingat manusia dimasa depan yang dapat berkompetensi serta membawa bangsanya dalam percaturan dunia yang sedang berubah, adalah manusia yang mandiri dan tidak bergantung pada orang lain ataupun negara lain. d. Mengajarkan anak didik dilembaga pendidikan kearah karya nyata. Ini harus dilakukan agar anak didik sejak dini berlatih untuk banyak berkarya. e. Penanaman kedisiplinan yang tinggi kepada peserta didik dilembaga-lembaga pendidikan. Dan, kedisiplinan demikian harus dimulai dari diri sendiri.
68
f. Penanaman keimanan, ketaqwaan kepada tuhan yang maha esa. Ini sangat diperlukan, agar ketika terlibat dalam arus percaturan dunia, dia senantiasa mengendalikan diri agar tidak terjebak kedalam Lumpur kehidupan yang sesat. g. Penanaman kesetiakawanan diantar teman sebangsa. Ini sangat penting oleh karena ia hidup dalam kerangka dan wadah nation yang hampir setiap harinya akan senantiasa berinteraksi dengan sesamanya. 3. Pendidikan multikulturalisme. James
Banks
(1994)
menjelaskaqn
bahwa
pendidikan
multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan (Anshori Lal, 2010 ; 138-139). a. Content Integration (Dimensi integrasi isi/materi) Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam materi mata pelajaran/disiplin ilmu. Yang digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan „poin kunci‟ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guruguru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di
69
samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. b. The
Knowledge
Construktion
Proces
(Dimensi
konstruksi
pengetahuan) Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah materi mata pelajaran (disiplin). berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri; c. An Equity Paedagogy (Dimensi pendidikan yang sama/adil) Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas
belajar
yang
dapat
digunakan
sebagai
upaya
memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita,
70
dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman
pendidikan
persamaan
hak
dan
persamaan
memperoleh kesempatan belajar. d. Prejudice Redaction (Dimensi pengurangan prasangka) Mengidentifikasi karasteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berintegrasi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik. e. Empowering school culture and social structure (Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial) Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihanlatihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah. Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami dilengkapi pemahaman
hakikat peserta didik, para pendidik perlu tentang ciri-ciri umum
peserta didik.
71
Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri (Choirul, 2006 ; 170), yaitu: a. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya. b. Mempunyai keinginan untuk berkembang kea rah dewasa. c. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda. d. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu. Ciri-ciri Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Tujuanya membentuk” manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”. b. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural). c. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan
keberagaman
budaya
bangsa
dan
kelompok
etnis
(multikulturalis). d. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak
didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya. Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati,
72
respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokrasi. Tujuan pendidikan interkultur untuk mengubah tingkah laku individu agar tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang lain atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditunjukan untuk timbulnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain. Konsep pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas, berbeda dengan konsep pendidikan interkultural (Suwito, 2005 : 22-23). Pendidikan multikultural dapat digunakan baik pada tingkatan deskriptif dan normative yang menggambarkan isu-isu, kebijakankebijakan, strategi-strategi dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Dalam konteks diskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mencakup sebjek-subjek seperti ; toleransi : tema-tema tentang perbedaan ethno cultural dan agama; bahaya diskriminasi : penyelesaian konflik dan mediasi : HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusian universal dan subjeksubjek lain yang relevan.
73
Dalam konteks teoritis, belajar dari model –model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh Negara maju, dikenal lima pendekatan yaitu ; a. Prndidikan dengan mengenal perbedaan-perbedaan kebudayaan. b. Pendidikan mengenai pemahaman kebudayaan. c. Pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. d. Pendidikan dwi kebudayaan. e. Pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia Adapun syarat melaksanakn pendidikan multikulturalisme adalah harus mencakup beberapa syarat yang mengandung beberapa nilai-nilai multikulturalisme diantaranya : a. Pluralisme b. Kesetaraan. c. Kemanusian d. Penghormatan e. Keadilan, dan lain-lain Sesuai yang di jelaskan dalam surat al-hujurat ayat 13 : yang artinya : Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
74
Adapun landasan atau syarat-syarat yang dapat dipandang sebagai dasar pendidikan multikulturalisme adalah sebuah komunitas yang dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, agama, dan lain-lain. C. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Di Indonesia. Sebagai institusi pendidikan islam Tradisiona ( Dhofier, 1995 ; 44) yang dinilai paling tua, pesantren memiliki transmisi sejarah yang jelas. Orang yang pertama mendirikanya dapat dilacak mesikipun ada sedikit perbedaan pemahaman. Dikalangan ahli sejarah terdapat peselisihan pendapat dalam menyebutkan pendiri pesanten pertama kali. Hampir dapat disepakati, pesantren merupakan lembaga pendidikan islam tertua di Jawa. Minculnya pesantren di Jawa bersama dengan kedatangan para wali songo yang menyebarkan islam di daerah tersebut. Menurut catatan sejarah, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M (Muhtarom, 2005 ; 106), yang dikenal dengan syaikh maghribi dari Gujarat India, yang dalam ini menyebarkan islam di Jawa. Dan orang yang berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren adalah Sunan Ampel (Raden Rahmat) di daerah kembang kuning, yang pada waktu itu memiliki tiga santri yaitu, Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bengkuning. Kemudian pindah di Surabaya di
75
Daerah Ampel, dan akhirnya disebut dengan sebutan Sunan Ampel (Muhtarom, 2005 ; 106). Kyai Machrus Aly menginfomasikan bahwa sunan Gunung Jati (syaikh Syarif Hidayatullah ) sebagai pendiri pesantren pertama, sewaktu mengasingkan diri besama pengikutnya dalam khalwat, beribadah secara istoqomah untuk ber-taqarrub kepada Allah SWT (Mujamil 8). Pola tersebut kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para wali yang lain. Salah
satu
kelebihan
dari
model
pendidikan
yang
dikembangkan para wali songo itu (kemudian menjadi ciri khas pendidikan pesantren) terletak pada segala sesuatu yang sudah akrab dengan masyarakat dan perbaduan antara aspek teoritis dan praksis. Misalnya ; Sunan Giri menggunakan pendekatan dengan permainan untuk mengajarkan agama islam kepada anak anak, Sunan Kudus menggunakan dongeng, Sunan Kalijaga mengajarkan islam melalui wayang kulit, dan Sunan Derajat Mengenalkan islam melalui keterlibatan langsung dalam rangka menangani kesengsaraan yang dialami masyarakat (A‟la, 2006 ; 17). Pola itu telah mengantarkan pesantren pada sistem pendidikan yang penuh kelenturan dan memiliki spektrum luas, melampui batasbatas pesantren itu sendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan, pesantren merupakan dischooling society dengan menjadikan masyarakat sebagai masyarakat pembelajaran dan menjadikan belajar sebagai proses yang
76
berjalan terus menerus. Masyarakat jadi bebas sekalah sebagai institusi dengan aturan-aturannya, sistem evaluasinya, janji-janji pekerjaan yang diberikannya, serta sertifikasi yang dikeluarkanya. Pola ini, pada gilirannya menjadikan pendidikan pesantren tidak membuat batas antara santri itu sendiri dan masyarakat yang ada disekitarnya. Demikian pula, pesantren tidak membatasi waktu belajar dalam sekat-sekat waktu yang kaku sehingga proses pembelajaran dan pendidikan selama dua puluh empat jam hadir penuh dalam bentuk yang nyata tanpa harus memberatkan siapa pun yang terlibat didalamnya. Pondok pesantren tradisional yang bersifat adaptif (mudah beradaptasi) dengan kultur setempat tidak membawa akibat buruk, bahkan sebaliknya, menjadi semakin baik. Melalui pendidikan dan pengajaran islam di pondok pesantren tradisional posisi islam menjadi kuat dalam masyarakat Jawa. Dengan melihat fungsi pondok pesantren itu sendiri, yang begitu kuat dalam mengembangkan agama islam, sehingga pemerintah belanda yang pada waktu itu menguasai Mataram merasa khawatir. Khawatiran tersebut terletak pada perkembangan pondok pesantren tradisional dan islam yang sangatlah dicurigai sebagai kekuatan yang akan menggoyahkan kekuasaan Belanda di Nusantara. Sehingga pada saat itu segala aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang islam yang berupa pendidikan dan pengajaran pondok pesantren dihalangi dan dihambat, dan aktivitas mengerjakan
77
kewajiban shalat lima waktu juga diawasi, tidak terkecuali orang yang baru atau pulang dari ibadah haji juga di awasi dengan ketat (Muhtarom, 2005 ; 108). Sejarah perkembangan pondok pesantren di Indonesia tidak terlepas dari fungsi pendidikan. Menurut Cordero dkk fungsi pendidikan masyarakat adalah sebagai berikut (Machasin dkk, 2005 ; 254) : a. Menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkannya kepada generasi berikutnya. Pada khususnya yang merupakan lembaga pendidikan yang merefleksikan nilai-nilai dominan suatu masyarakat. b. Sekolah adalah agen sosialisasi yang utama setelah keluarga dan kelompok permainan, dimana di sekolah ditanamkan nilai, norma serta harapan-harapan dari masyarakat terhadap seseorang. Di sekolah
seseorang
memperoleh
kebiasaan,
apresiasi
serta
pandangan terhadap hidup dan belajar untuk mengontrol diri. c. Dan sebagai tempat untuk mempelajari prinsip-prinsip yang akan mendasari perilakunya sebagai warga masyarakat. Dalam sejarah perkembangaan pesantren adalah mencetak ulama dan ahli agama. Hingga dewasa ini fungsi pokok itu masih terpelihara dan dipertahankan. Namun seiring perkembangan zaman, kegiatan pendidikan dan pengajaran agama beberapa pesantren telah
78
melakukan
pembaharuan
dengan
mengembangkan
komponen
pendidikan lainya. Walaupun demikian secara historis pesantren memiliki karakter utama yaitu : a. Pesantren didirikan sebagai bagian dan atas dukungan masyarakat sendiri atau swadaya dari masyarakat. b. Pesantren dalam menyelenggarakan pendidikan menerapkan kesetaraan santrinya, tidak membedakan status dan tingkat kekayaan orang tuanya. c. Pesantren
mengemban
missi
”menghilangkan
kebodohan”,
khususnya tafaqquh fi al-din dan ”mensyiarkan agama islam”. D. Prespektif Islam Terhadap Multikultural. Menurut Dr. H Anshori (2010) : Apabila dilihat dari sisi bahasa, kata islam itu sendiri artinya damai. Nilai-nilai multikultural didalam agama islam yang dimaksud adalah ; 1. Pluralisme Tidak seorangpun didunia ini yang dapat menolak sebuah kenyataan bahwa alam semesta adalah plural, beragam, berwarnawarni dan berbeda beda. Keberagaman adalah hokum alam semesta atau sunatullah. Dengan kata lain keberagaman merupakan kehendak Al;lah SWT dalam alam semesta. Al-quran menjelaskan :
79
Artinya : dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. Ar-rum 22)
Dalam bacaan (qiro’at) disebutkan : ‟li’alamin (dzawi al uqul/ bagi ciptaan tuhan yang mempunya pikiran/seluruh manusia). Muhammad thahir bin Asyur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbedaan bahasa adalah perbedan berfikir dan berekspresi (ikhtilaf at-tafkir wa tanwi’ at at-tasharuf) 2. Kesetaraan/persamaan Al-quran juga menekankan bahwa manusia di dunia, tanpa memandang perbedaan dan ras, disatukan dalam perlunya ketaatan mereka kepada satu tuhan sang pencipta. Dalam Al-Qur‟an menjelaskan :
Artinya : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku. (Al-Anbiya’ : 92) Penekanan tentang pesan tuhan yang universal, bahwa tugas seluruh manusia adalah mengabdi kepada tuhan dengan jelas terrefleksi
dalam
Al-Qur‟an.
Al-Qur‟an
menyebutkan
behwa
kebenaran yang ada pada kitab-kitab sebelum muhammad adalah datang dari tuhan sama, dan Al-Qur‟an adalah wahyu tuhan terakhir
80
yang bersifat penyempurna wahyu-wahyu sebelumnya. QS. Ali imron : 84 menjelaskan :
Artinya : Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan Para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepadaNyalah Kami menyerahkan diri." 3. Toleransi Dalam merespon keberbedaan dan keragaman budaya suku bangsa, bahas, agama, islam menawarkan sebuh konsepsi berupa toleransi. Toleransi secara ettimologi kata toleransi berasal dari bahasa Belanda, “tolerantie”,yang kata kerjanya adalah “toleran”. Atau berasal dari bahasa inggris”toleration”, yang kata kerjanya adalah “tolerate” . Atau berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Dalam kamus bahasa Indonesia berarti bersikap menghargai pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri.
81
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut dengan istilah tasamuh, yang artinya sikap membiarkan. Jadi, toleransi (tasamuh) adalah menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau budaya dan kultur seorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Yang perlu dicatat adalah toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tetapi lebih pada menghargai dan menghoramati hak asasi yang berbeda. Penerapan toleransi ini sudah di contohkan oleh nabi Muhammad ketika melakukan hijrah dari makkah ke madinah. Lebih jauh Al-Qur‟an menghormati den mengakui adanya ahla al-kitab, sehingga apabila ada keraguan pada diri muhammad tentang penunjukan dirinya sebagai nabi dan Al-Qur‟an sebagai wahyu. Muhammad dipersilahkan untuk bertanya kepada para ahli Al-Kitab sebagaimana yang dinyatakan dalam (QS. Yunus 94).
Artinya : Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, Maka Tanyakanlah kepada
orang-orang
yang
membaca
kitab
sebelum
kamu.
Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu,
82
sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang raguragu. 4. Kemanusian. Bahwa Allah swt menciptakan manusia didunia
ini secara
sama dan nilai-nilai kemanusiaannya dijamin oleh Allah, yakni melindungi kehormatan, nyawa, dan harta benda manusia. Dalam sejarah islam disebutkan bahwa rosul muhammad memberikan khutbah di hadapa sekitar 15.000 orang islam di Makkah. Yang menarik dalam khotbah tersebut adalah rosul menyeru kepada umat manusia dengan menggunakan uslub nida ”ayyuhan an-nas” / wahai manusia bukan umat muslim saja. Dalam khotbah tersebut nabi muhammad mengatakan bahwa semua manusia tanpa memandang agama, suku, atribut porimordial lain, diciptakan Allah sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi dan barang-barang milik manusia diberikan sebagai penunjang hidup. Oleh karana semua manusia merupakan ciptaan tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap pencipta mereka. Oleh karena itu membunuh orang kristen pada dasarnya juga membunuh orang muslim karena pencipta mereka adalah sama. Bahkan membakar gerja/ Al-Kitab sama saja membakar masjid/AlQur‟an. Karana semua itu merupakam pemberian dari tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan dalam ayat lain dengan tegas
83
diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh manusia seluruh manusia di muka bumi ini. (QS.Al-Maidah : 32) Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik (menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan) dan bertindak adil kepada mereka, sepanjang mereka tidak melakukan penyerangan dan pengusiaran. E. Pendidikan islam multikultural. Ada empat hal isu pokok yang dipandang sebagai dasar pendidikan islam multikulturalisme, khususnya dalam bidang keagamaan, yaitu a. Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesannya, yang mendasarkan pada Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 131 :
Artinya :“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya
84
apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah 1 dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Dalam surat diatas dapat dijelaskan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah ciptaan dari Allah SWT, dan memerintahkan kepada para rosul-rosulnya yang telah diberi wahyu (kitab suci) sebelum Nabi Muhammad SAW, agar bertakwa kepada Allah SWT. Dan selain itu juga dijelaskan dalam surat Ali Imron ayat 64 :
Artinya : “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". Dan dilihat dalam aspek kesatuan pesan ketuahanan (wahyu) dapat dijelaskan dalam surat An-Nisa‟ ayat 163 :
1
Maksudnya: kekafiran kamu itu tidak akan mendatangkan kemudharatan sedikitpun kepada Allah, karena Allah tidak berkehendak kepadamu
85
Artinya : ”Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabinabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dalam surat diatas dijelaskan bahwa Allah SWT, telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammada SAW yang berupa AlQur‟an, dan juga menurunkan wahyu sebelumnya kepada Nabi Nuh dan nabi nabi setelahnya. Selain itu Allah SWT juga memberikan wahyu pula kepada Nabi Ibrahim, Isma‟il, Ishaq, Ya‟qub, dan Anak cucunya. Serta kepada nabi isa (Injil), Ayyub, Yunus, Harun, dan sulaiman, serta Nabi Daud yang diberikan kitab zabur. b. Kesatuan kenabian Al Faruqi mendasarkan pandanganya dari AlQuran surat Al-Anbiya‟ Ayat 73 :
Artinya : ” Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
86
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah, Dalam surat diatas dijelaskan bahawa Allah telah menciptakan para Nabi untuk menjadi seorang pemimpin yang dapat memberikan petunjuk kepada umatnya yang sesuai dengan perintah Allah SWT yang sesuai dengan wahyu yang diturunkan untuk mengerjakan perbuatan kebajikan, mendirikan ibadah, menunaikan Zakat, dan menyembah kepada Allah SWT. c. Tidak ada paksaan dalam beragama, yang didasarkan kepada AlQur‟an surat Al-Baqoroh ayat : 256.
Artinya : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Pengakuan terhadap eksitensi agama lain, yang didasarkan kepada AlQur‟an surat Al-Maidah ayat : 69.
Artinya : ” Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dalam surat diatas dijelaskan bahwa Orang-orang mukmin begitu pula orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang beriman kepada
87
Allah Termasuk iman kepada Muhammad s.a.w., percaya kepada hari akhirat dan mengerjakan amalan yang saleh, mereka mendapat pahala dari Allah. Semua ayat diatas dapat dipahami dengan mengunakan pemahaman perpektif teologis normatif, yaitu tidak ada keraguan sedikitpun dalam pemahamannya dan bersifat mutlak. F. Pendidikan multikulturalisme di pesantren Abdurrahman Wahid dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (2001) menyebut realitas pesantren seperti tergambar di atas dengan istilah “subkultur”. Maksudnya, keberadaan pesantren selalu berada dalam lingkup budaya tertentu. Sedangkan menurut KH. Mahfudz Ridwan, LC Pesantren multikulturalisme adalah pesantren tanpa dinding, yang menolak batasbatas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola
oleh
visi yang sama, untuk
menghadapi problematika yang terjadi dimasyarakat (Lintang Panjer Sore ; 2000). Karena itu, fenomena multikulturalisme di dunia pesantren adalah hal yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkan pun tidak satu mahdzab. Kitab al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi adalah menu sehari-hari santri saat kegiatan musyawarah atau bahtsul masail. Menariknya, dinamika perbedaan pendapat itu berjalan sesuai dengan
88
logika dan koridor perdebatan masing-masing, tanpa menyalahkan satu sama lain. Hal ini senada dengan falsafah lima tiang penyanggah pesantren, yaitu tawasuth (berada di tengah atau moderasi), tawazun (seimbang menjaga keseimbangan), tasâmuh (toleransi2), `adalah (keadilan), dan terakhir tasyawur (musyawarah), yang dijelaskan di dalam Al-Quran ;
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan3agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk
2
3
Toleransi secara ettimologi kata toleransi berasal dari bahasa Belanda, “tolerantie”,yang kata kerjanya adalah “toleran”. Atau berasal dari bahasa inggris”toleration”, yang kata kerjanya adalah “tolerate” . Atau berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Dalam kamus bahasa Indonesia berarti bersikap menghargai pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri. Dr. H. Anshori LAL, MA, Transformasi Pendidikan islam, Penerbit Gaaung Persada Perss Jakarta tahun 2010. hlm. 152 Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat
89
oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (AL Baqoroh : 143).
Katakanlah: "Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan Sesungguhnya Kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan
yang nyata.
Katakanlah:
"Kamu
tidak akan ditanya
(bertanggung jawab) tentang dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui"(QS, Saba’ 24-26)
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
90
mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek (Al-Kahfi 29). Bahkan, di kalangan pesantren dikenal kaidah fiqh, al-ijtihad la yunqaddu bi al-ijtihad, ijtihad itu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad. Misal, dalam satu masalah, ada perbedaan pendapat. Maka, bukan berarti pendapat yang satu lebih benar dari yang lain karena lebih akhir ijtihadnya atau alasan lain. Santri diberikan keleluasaan untuk memilah dan memilih manakah yang sesuai untuk dijalankan
92
BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Edi Mancoro 1. Letak Geografis Pondok Pesantren Edi Mancoro yang lebih terkenal dengan istilah Wisma Santri Edi Mancoro berdiri pada 26 Desember 1989 dibawah naungan “Yayasan Desaku Maju” atau yang sekarang berganti nama dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro Pada 31 Desember 2006 sampai sekarang, yang sekarang dikelola oleh “Yayasan Pondok Pesantren Edi Mancoro”, terletak di wilayah Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Dusun Bandungan, Desa Gedangan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang (RT 02/ RW.I 50773). Walaupun dari luar daerah, pesantren ini lebih akrab dengan daerah Kota Salatiga, karena secara letak geografis lebih dekat dengan pusat pemerintahan Kota Salatiga. Yang mayoritas penduduknya beragama islam (hanya ada beberapa warga yang beragama kristen) yang kesemuanya tersebar di 7 dusun yang masih ikut dalam wilayah Desa Gedangan. Gedangan ini, termasuk wilayah yang cukup potensial secara ekonomis, karena penghasilan warganya disamping bersumber dari hasil pertanian padi, juga bersumber dari pertanian kering, cukup terkenal sebagai penghasil buah-buahan seperti buah salak, duku,
93
langsep, kokosan, dan lain-lain. Maka tidak mengherankan bila desa ini masuk dalam klasifikasi Desa Swasembada. Pesantren Edi Mancaoro berada di wilayah pinggiran Kota Salatiga atau berada di daerah perbatasan antara Kabupaten Semarang dengan kota Salatiga, yaitu berada di sebelah barat Kota Salatiga sekitar empat kilometer yang dapat ditempuh dengan mengunakan angkutan Isuzu jurusan Salatiga Ambarawa yang melalui jalur jalan raya Salatiga Muncul. Kondisi wilayah yang tidak seramai dengan daerah sekitarnya, tetapi ke Kota Salatiga dapat ditempuh dengan cepat, sehingga merupakan daerah yang strategis untuk pendidikan termasuk pendidikan keagamaan atau pesantren. Jarak yang tidak terlalu jauh dengan pusat Kota Salatiga yang merupakan daerah sentral pendidikan formal. Maka mendorong jumlah santri yang berminat untuk mendalami ilmu-ilmu agama di pesantren ini. sebab kebanyakan santri yang menetap di pesantren ini adalah para pelajar yang masih belajar di lembaga-lembaga formal, baik dari kalangan mahasiswa atau pelajar. Jadi disamping berpredikat sebagai santri, mereka juga berpredikat sebagai pelajar atau mahasiswa di lembaga-lembaga formal. Kondisi yang demikian sudah barang tentu mempengaruhi proses belajar di pesantren ini, lebih jelasnya bisa dilihat dalam pendidikan dan pengajaran pesantren.
94
2. Profil pondok pesantren edi mancoro Pondok pesantren Edi Mancoro merupakan sebuah institusi pendidikan keagamaan, yang juga berusaha membekali santri-santrinya dengan keterampilan-keterampilan. Sehingga pondok pesantren Edi Mancoro terdapat beberapa UPT (Unit Pelaksana Teknis) guna peningkatan sumber daya manusia santrinya. Adapun secara statistik profil edimancoro adalah sebagai berikut: a.
Nama Pondok Pesantren
b. Alamat
:
1)
Dusun
2) Desa
: Gedangan
3) Kecamatan
: Tuntang
4) Kabupaten
: Semarang
5) Propinsi
: Jawa Tengah
: Edi mancoro
: Bandungan
6) Nomor Telp. : 0298 323329 7) Email
:
[email protected]
8) Kode pos
: 50773
c. Tahun berdiri
: 1989 M/ 1410 H
d. Nama Pendiri
:
e. Nama Pimpinan Ponpes
-
KH. MAhfudz Ridwan , Lc.
-
KH. H.M. Soleh ,BA.
-
H. Matori Abdul Djalil : KH. MAhfudz Ridwan , Lc.
95
f. Status Tanah
: Wakaf
g. Surat kepemilikan Tanah
: Wakaf Ponpes Edimancor
h.
Luas Tanah
: 2448 m2
i.
Status Bangunan
: Milik Ponpes
j.
: 1365 m2
1)
Luas Bangunan
2)
Lapangan Olah raga : 550 m2
3)
Kebun
: 108 m2
4)
Dipakai lainnya
: 535 m2
Jumlah santri
: 60 putra-putri SUSUNAN PENGURUS
PONDOK PESANTREN EDI MANCORO BADAN PEMBINA Pelindung
: Kepala Desa Gedangan Ketua RW. I Bandungan
Pengasuh
: KH. Mahfudz Ridwan, Lc
penasehat
: KH. Muhammad HM. Sholeh, BA. Ust.HM. Syafi‟i Bpk. Ali Tahsisudin Ust.Abdul Manaf Ust.M. Tanwir Ust.Muh. Zuhdi Ust.Makhasin Ust.Ali Nugroho, S.Ag.
96
Ust. Shofari Ust. Rohmat muniruddin Ust. Budi santoso BADAN PENGURUS HARIAN Ketua Umum
: Jamaludin Al Afghani, A.Ma
Sekretaris
: Muhamad Farhan
Bendahara
: Siti Minarsih
BIRO BIRO Rayon Putra
: Shaufihun Nuha Muhamad Nasroh
Rayon Putri
: Ngabidatun Mukaromah Durrotun Nafisah
Biro Pendidikan
: Eka Puji Lestari Mirza Faishol
Biro Lit-bang
: Haris Susanto Immadahliyani munir
Biro Perl. Umum
: Supangat Siti eka puspitasari
UNIT PENGELOLA TEKNIK (UPT) 1. UPT. Tarbiyyatul Baanin Wal Banaat (TBB) Kepala
: Tuthi‟ Musyarofah
Staf
: Maliki
97
2. UPT. Perpustakaan Kepala
: Muhamad Ali Mudhofir
Staf
: Nayla Munawarotul Qona‟ah
3. UPT. Komputer Kepala
: Ahmad Khotim
Staf
: Muhamad Adnan
Pengelolan pondok pesantren edi mancoro bersifat mandiri tanpa interfensi dari pihak lain, karena santri dilatih untuk memandiri dalam segala hal. Sehingga segala urusan podok pesantren di urus oleh santri secara menyeluruh. Santri jika mengalami berbagai persoalan berkonsultasi dengan dewan penasehat terdiri dari pengasuh ustadz dll 3. Visi, misi, tujuan, dan garis perjangan Pondok Pesantren Edi Mancoro. a. Visi, misi Adapun visi menyipakan santri sebagai pendamping masyarakat. Dan misi Pondok Pesantren Edi Mancoro ini adalah dengan membentuk santri yang mempunyai wawasan keagamaan mendalam, berwawasan kebangsaan, dan kemasyarakatan dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. Dengan sifat terbuka, non-profit, independen, serta mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangan sampai
98
saat ini pesantren Edi Mancoro masih tetap kukuh-berdiri mengayomi masyarakat. Lalu menurut KH.Mahfudz(pengasuh) sendiri mengenai edi mancoro ”Edi Mancoro memang mempunyai visi dan misi sudah jelas agak berbeda dengan pesantren-pesantren lain, sebab visinya untuk mengembangkan pesantren ini lewat kegiatan-kegiatan masyarakat, bukanya didalamnya pesantrennya itu sendiri tapi diluar pesantren ini, akarnya yang disebut ilmu untuk amali bukan hanya sekedar menuntut ilmunya dan di pesantren sendirikan mengajarkan ilmu agama bukan sekedar membaca tekstualnya saja tetapi pengasuh memberikan secara kontekstual, harapan saya sebagai pengasuh supaya sekaligus dapat mengembangkan dan memberdayakan kemasyarakatan, maka pesantren sangat penting dalam mengemban amanat pemberdayaan masyarakat itu sendiri”1. Ini menunjukkan bahwa K.H. Mahfudz ialah seorang yang mendengarkan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan yang juga menghayati kepentingan pendidikan pada masa kini di Indonesia. b. Tujuan Tujuan pondok pesantren edi mancoro adalah untuk membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan
1
kebangsaan
dan
kemasyarakatan.
KH.Mahfudz
Di ambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil edi mancoro
99
Ridwan.Lc saat dirayakanya hari ulang tahun pondok pesantren ke 20 memberikan pengarahan kepada santri agar santri dapat hidup mandiri dalam segala hal dalam arti secara keorganisasian di berikan secara penuh kepada santri, santri di tuntut untuk sadar dalam segala kebutuhan dan kewajiban yang seharusnya di lakukan . Para santri diberitahu bahwa “orang yang pintar adalah orang yang tahu dan mengerti dengan bahasa isyarat”(2009) hal ini menjadi hal yang sangat di tekankan oleh pengasuh terhadap pesantren, sehingga pesantren di tuntut untuk mandiri dalam segala hal, baik itu dalam kehidupanya, pengelolaanya dan sebagainya itu diserahkan oleh santri secara menyeluruh. Hal ini dipeluk sepenuhnya oleh para santri dalam hidupnya sendiri dan juga dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat pondok pesantren. Mereka harus sanggup menyelenggarakan sendiri kegiatan-kegiatannya dan tidak perlu diawasi pengasuh. Contohnya, dengan Organisasi Santri Pondok Pesantren edi mancoro (PPEM), santri menyelenggarakan sendiri aktivitas seperti olahraga, pemeliharaan lingkungan asrama, kesenian dan muhadloroh (berpidato) dll. Selain itu pondok pesantren edi mancoro bertujuan membina manusia yang beriman, berilmu dan bertaqwa kepada
100
Allah SWT. Pesantren ini juga membentuk santri sebagai pendamping masyarakat.2 c. Garis Perjungan Dan untuk melihat sejauh mana kiprah Pesantren Edi Mancoro baik tingkat lokal maupun nasional, kita dapat melihat dari sejumlah program yang telah disusun dan menjadi misi bersama antara kiyai dan para santrinya. Secara terhadap
umum
keislaman,
untuk
meningkatkan
Pesantren
Edi
pemahaman
Mancoro
berusaha
melakukan program secara intensif dan berkesinambungan, seperti diskusi-diskusi ilmiah, dialog lintas agama, seminar, diklat, kursus-kursus dan lain sebagainya. Sedangkan untuk kontek jaringan, pesantren Edi Mancoro telah banyak melakukan kerja sama baik antara pesantren, Perguruan Tinggi, maupun
dengan
institusi
pemerintah
atau
istitusi
kemasyarakatan lainnya, seperti depnaker, BI dan lain-lain. Hal ini, seperti yang diungkapkan oleh pimpinan pondok KH. Mahfudz Ridwan, LC sebagai upaya untuk memfasilitasi pendampingan masyarakat, Edi Mancoro secara intensif
melalui
program-programnya
terus
melakukan
pendampingan terhadap masyarakat sekitarnya. Sehingga
2
Anggaran dasar pondok pesantren edi mancoro
101
pesantren telah menjadi bagian yang terintegrasi dalam masyarakat. Misalnya, dalam bidang ekonomi, Pesantren Edi Mancoro juga, selain telah berhasil melakukan sejumlah training ekonomi kerakyatan, kini telah memiliki koperasi pesantren (kopontren) yang berupa, super market Semesco mart, Wahana Motor, dan BMT. Dan itu semua demi memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pesantren ini bersifat non profit, independen, mandiri dalam menentukan kebijakan dan garis perjuangannya Adapun gerak
perjuangannya,
pesantren
Edi
Mancoro
tetap
mengedepankan pada gerakan Islam yang plural. Karena ini diakui sangat efektif, apalagi di era modern seperti sekarang ini, umat Islam khususnya pesantren harus berani tampil, membuka diri dan menerima kemajuan zaman3. B. Sejarah perkembangan Pondok Pesantren Edi Mancoro. Pondok Pesantren Edi Mancoro termasuk tipe Pesantren Salafiyah4, bila mengacu pada pendapat Zamarkhsare Dhofier tentang elemen dasar pesantren salaf (Zamakhsarie Dhofier, 1984 : 80). Elemen itu adalah kyai guru yang mengajar para santri, Asrama, tempat pemondokan santri, Masjid, sebagai sarana pengajian dan 3
http://daurahkebudayaan.wordpress.com/2008/04/09/pemberdayaan-pesantren. Salaf artinya “lama”, dahulu”, atau “tradisional”, pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pelajaran dengan pendekatan trdisional, sebagaimana yang berlansung sejak awal pertumbuhanya. Lihat Departemen agama RI, Profil Pondok Pesantren Mu’adalah, penerbit : Derektorat Jendral Kelembagaan Islam, cetakan pertama 2004. Hlm 15. 4
102
peribadatan santri, di samping santri sendiri sebagai peserta didik, kitab kuning, Sebagai kurikulum pendidikanya. Munculya pesantren sendiri tidak terlepas dari kondisi obyektif masyarakat pada waktu itu, dimana masyarakat setempat waktu itu masih alergi dengan beragama aktivitas religius. Sebaliknya mereka sangat akrab dengan kebiasaan-kebiasaan buruk yang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang mendorong tokoh setempat untuk mendirikan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan (tafaqquh fid din) sebagai peredam yang biasa mengendalikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat setempat. Dibawah prakarsa Bapak KH. Sholeh tokoh pendatang dari Desa Pulutan yang merupakan desa tetangga masih masuk wilayah Kecamatan Tuntang (sebelum menjadi bagian wilayah Kota Salatiga) berhasil mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Darussalam dengan sebuah bangunan kecil sebagai tempat pemondokan bagi para santri yang akan belajar kepadanya. Masjid ini didirikan di daerah pinggiran, seakan terpisah dari lokasi masyarakat waktu itu, walaupun sekarang sudah menyatu dengan masyarakat. Dan pendidikan yang diselenggarakannya pun masih sangatlah sederhana, sampai belum terbentuk semacam lembaga pendidikan tetapi terkesan natural. Pendidikan keagamaan yang berpusat di Darussalam dan ditangani oleh bapak Kyai Sholeh hanya berlangsung hingga tahun 70-an, sebab setelah beliau meninggal tidak ada keturunannya langsung yang mau
103
meneruskan perjuangan dan juga tidak adanya tokoh lokal yang dapat meneruskan misi dan visi perjuangannya. Setelah tidak ditemukannya tokoh lokal yang meneruskan misi dan visi perjuangannya, maka proses pendidikan di Darussalam mengalami kevakuman. Dalam masa kevakuman ini, selang beberapa waktu muncullah Kyai Sukemi yang merupakan tokoh lokal yang diminta oleh masyarakat setempat dan diharapkan mampu untuk meneruskan visi dan misi perjuangannya dalam pendidikan. Dan pendidikan pesantren ini dapat berjalan kembali sebagaimana masa kepemimpinan Kyai Sholeh dahulu. bermacam itu pulalah, muncullah KH. Mahfudz, tokoh dari pulutan dan merupakan alumni dari Pondok Pesantren Rembang, dan universitas luar negeri (Bagdad University). Setelah Kyai Sukemi meninggal, maka pendidikan yang ada di Darussalam diteruskan oleh KH. Mahfudz Ridwan. Dalam realitas yang sebenarnya bahwa setelah Kyai Sholeh meninggal, embrio pesantren yang berlokasi di dekat Masjid Darussalam ini juga punah dengan sendirinya, tetapi pengajian yang berpusat di masjid masih tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Maka pada masa kepemimpinan KH. Mahfudz Ridwan sedikit ada kemajuang, pengajian pengajian yang diselenggarkan di Masjid masih berlangsung sampai dengan sekarang, tetapi rintisan pendirian pesantren mulai digagas kembali. Kemajuan ini ditandai dengan
104
beberapa
bukti tertilis dari proses perjalanan pendidikan di
Darussalam. Pertama, pada tahun 1984 KH. Mahfudz Ridwan Lc bersama beberapa tokoh lokal lainya seperti KH. Muhammad HM Soleh, BA, Matori Abdul Jalil, Zaenal Arifin, BA, dan Ali Tahsisudin, BA mendirikan yayasan yang diberi nama dengan ”Yayasan Desaku Maju” dengan catatan Notaris nomor 14/1984. yayasan ini merupakan yayasan yang bergerak dibidang sosial dengan mengemban misi dan tujuan
membantu
pemerintah
dalam
meningkatkan
tingkat
kesejahteraan masyarakat pedesaan dan pengembangan swadaya serta sumberdaya manusia khususnya masyarakat pedesaan. Yayasan ini sangat familiar bagi warga Kab. Semarang, Kota Salatiga dan sekitarnya, karena merupakan satu satunya yayasan islam yang bergerak dibidang kemasyarakatan dan pengembangan swadaya masyarakat. Kedua, pada akhir tahun 1989 tepatnya pada tanggal 26 Desember 1989, KH. Mahfudz Ridwan mendirikan pesantren yang akrab disebut dengan Wisma Santri Edi Mancoro dibawah “Yayasan Desaku Maju”, yang merupakan pusat pendidikan masyarakat (community Learning Centre) khususnya bagi masyarakat setempat sekaligus sebagai base camp berbagai kegiatan. Namun, sejak tanggal 31 Desember 2006 pengelolaan Pondok Pesantren Edi Mancoro di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Edi Mancoro. walaupun
105
lokasi tempatnya berbeda dengan lokasi pesantren terdahulu. Pendirian pesantren yang berbeda dengan lokasi yang terdahulu ini, dilatar belakangi agar tidak ada image dari masyrakat setempat bahwa masjid (sebagai pusat kegiatan masyarakat muslim) dimonopoli oleh pesantren sehingga masyarakat setempat enggan untuk aktif dalam berbagai kegiatan yang berpusat di masjid. Dan hal ini merupakan persoalan yang sangat urgen karena pesantren pada dasarnya diperuntukkan masyarakat setempat dan pengembanganya. Disamping itu masyarakat berperan sebagai base camp yayasan dengan beragam kegiatan rutin masjid bila lokasi pesantren ini berada disekitar masjid. Faktor inilah yang mendorong kenapa pesantren didirikan agak terpisah dari masjid. Ada pertanyaan yang cukup menarik, yang sering ditanyakan oleh siapapun yang melakukan kunjunga di Pondok Pesantren Edi Mancoro. Kenapa pesantrennya dinamain (dinamakan) dengan sebutan “Edi Mancoro”? Yang merupakan sebuah nama yang menggunakan bahasa Jawa. Dimana bila melihat nama nama pesantren lainnya meggunakan Bahasa Arab atau istilah istilah agama islam? Menurut penuturan KH. Mahfudz Ridwan, LC (Pengasuh Pondok Pesantren Edi Mancoro), “kalau nama Edi Mancoro itu sebenarnya nama yang diusulkan untuk anak saya, jika suatau saat nanti saya punya anak laki-laki. Tapi, karena sampai sekarang saya tidak punya anak laki-laki, jadi ya..inilah pesantren “Edi Mancoro”,
106
yang artinya Edi adalah bagus, elok dan Mancoro itu kira-kira „bersinarlah‟, ungkap beliau. Pesantren ini didirikan dengan perjuangan ekstra dan kerja keras oleh sang kyai, bahkan sampai menjual sawah, tegal dan lainlain. Selain itu, Juga didirikan oleh orang yang tidak punya nasab (keturuanan) kekyaian atau kyai cangkokan. C. Unsur-unsur pesantren 1. Kyai. a. Pola kepengasuhan. Pola kepengasuhan kyai di edi mancoro lebih bersifat demokratis terhadap santri sebagaimana di ungkapkan oleh para santri bahwa pembelajaran di pesantren edi mancoro tidak jauh dengan pesantren lain hanya bedanya ndalem(rumah)kyai terpisah dengan santri, walaupun seperti itu kyai hampir setiap hari mendampingi santri dalam belajar mengajar. Santri di perbolehkan berkonsultasi secara bebas baik dalam kajian maupun di luar kajian regular, sehingga komunikasi dengna kyai berjalan secara intensif setiap waktu, ini bisa berdampak secara psikologi santri, kyai di anggap bapaknya sendiri dalam kehudupan pesantren edi mancoro. pendapat dua orang santri Edi mancoro, Fatkurohman ”banyak di pesantren itu guru mengajar hanya monoton dan tidak bisa dibantah, sama pak Mahfudz (nama panggilan KH Mahfudz Ridwan) jika ada pelajaran kitab atau kajian yang belum paham
107
boleh untuk menayakan langsung dengan Bapak Mahfudz langsung, terkadang juga saya memberikan alasan alsan tertentu lalu Pak Mahfud menjawab dengan demokaratis ,lalu bagaimana dengan corak berfikir; Santri diberi kebebasan berfikir sangat diberikan kepada santrinya, terbukti ketika membacakan kitab kuning atau kajian kajian lain Pak Mahfudz memberikan kebebasan pemaknaan atau penafsiran, tidak harus begini (sesuai dengan kitabnya) tetapi diberikan kesempatan kepada santri untuk memilih berfikir terhadap pemaknaan kitab tersebut, jadi terserah kita bagaimana memaknai kitab itu mau dibagaimanakan”5. Menurut santri lain yaitu abdul wahab ”pendidikan di pesantren edi mancoro tidak diharuskan untuk mengaji terus sehingga kita ada kegiatan mau seting seperti apa silahkan dan di perbolehkan, kegiatan itu bisa berupa proses belajar mengajar atau yang lainya (misalnya les bahasa, qiro’ah dll), apapun diperbolehkan mau kesibukan apapun di perbolehkan asal dalam koridor baik dan positif dan pak kyai pasti memperbolehkan”. Lalu bagaimana soal perbedaan edi mancoro dengan pesantren lain” perbedaanya adalah boleh dan tidaknnya santri beraktifitas diluar pondok pesantren secara fuul time, kita mau beraktifitas apapun itu selama itu baik kyai Mahfudz tidak pernah melarang itu”6.
5 6
Di ambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil edi mancoro Di ambil dari wawancara yang sudah di videokan dalam profil edi mancoro
108
b. Gaya kyai dalam pembelajaran. KH. Mahfud Ridwan.Lc dalam pembelajaran mempunyai dua model, bandongan serta sorogan yang disimak bersama sama oleh para santri yang lain. Selain itu kyai mempunyai istilah al aqlu yahdi bil isyaroh(orang berakal cukup mengerti dengan isyarat) nah ini menjadi ciri khas kyai Mahfud Ridwan dalam membimbing santri, Santri di tuntut untuk cerdas dalam berfikir.Kyai hanya memberikan isyarat santri harus tahu bahwa isyarat itu adalah ajakan atau larangan atau bahkan suruhan untuk melakukan sesuatu hal yang baik atau isyarat tidak boleh bagi yang buruk(2009). 2. Santri. a. Santri muqim Kondisi santri yang berada dan menetap di pesantren berasal dari bermacam-macam daerah serta latar belakang,sehingga di pesantren ini mempunyai acuan dengan standar bahwa yang mondok di pesantren ini harus bisa mengikuti aturan yang ada dan yang telah di sepakati bersama b. Santri non muqim Santri non muqim itu santri yang belajar di pesantren tapi tidak menetap di pondok, dari jumlah yang kami lihat ada sekitar, belum lagi yang mengaku menjadi santrinya kyai, yang ini biasa nya melakukan diskusi dengan kyai langsung dan waktunya tidak
109
menentu dan ini masih di akui sebagai santri tapi yang tidak menetap. c. Santri lintas agama Santri lintas agama ini bisanya tidak lama, tapi berjenjang. Dalam satu tahun sudah di agendakan dari Universitas Kristen Setia Wacana (UKSW) terutama jurusan teologi bahwa akan mondok di pesantren ini dalam tiap tahunnya. Belum lagi dari banyak kunjungn yang ini juga ingin menyerap ilmu dari pesantren soal keislaman. Dari tahun ketahun bisa berbeda beda santri lintas agama ini. Menurut pandangan Pak mahfud bahwa “prinsip jadi kyai itu harus jadi kyainya kyai, lebih luasnya terhadap kyai lintas agama (pastur, romo, dll)”(2009). 3. Kajian Sesuai didalam anggaran dasar pondok pesantren edi mancoro disebutkan bahwa acuan dasar yang menjadi landasan pondok pesantren yaitu berlandaskan alqur‟an, al hadist, ijma‟, dan qiyas. Disisi lain kajian yang ada di pesantren didasarkan juga dari rapat- rapat pengurus yang menghasilkan beberapa pogram yang telah disepakati bersama, serta hasil dari beberapa rekomendasi musyawarah santri(MUSTRI)7 yang kemudian di musyawarahkan dilingkungan pengurus lalu memunculkan pogram kerja yang dilakukan dalam rapat kerja (RAKER) pengurus. Selain itu menyusun bujet yang menjadi 7
Acara ini biasanya dilakukan di akir kepengurusan berupa laporan pertanggungjawaban periode kepengurusan dan pergantian pengurus baru, musyawarah ini dijadikan landasan untuk memecahkan persoalan dan membahas AD ART yang berlaku di pondok pesantren edi mancoro
110
landasan anggaran belaja pesantren dalam jangka satu kepengurusan yang ini kemudian di bebankan kepada santri secara menyeluruh. Adapun mata pelajaran yang menjadi pembelajaran atau kajian yang wajib bagi santri adalah : Kitab kitab kajian reguler atau wajib (Jam 18.30 - 19.30 dan Jam 1930 – 20.30) a. Kelas Khos 1) Tajwid
: Syifa‟ul Jinan
2) Fasholatan : Fasholatan 3) Bahasa Arab : Muhaadasah fi al-lughotil arobiyah ala al thoriqil hadisah 4) Fiqih
: Mabadi‟ul Fiqiyah
5) Hadist
: Hadist hadist Pilihan.
6) Tauhid
: Aqidatul Awam
7) Akhlak
: Akhlaqul Banin
b. Kelas Awaliyah 1) Nahwu
: Jurumiyah
2) Tajwid
: Tuhfatul Athfal
3) Bhs. Arab : Arobiyah An Nasyi‟in Jilid 2 4) Fiqih
: Safinatun Najah
5) Shorof
: Amshilatul At-Tasrif
6) Hadist
: Arbai‟in Nawawi
7) Tarikh
: Khulsoh Nurul Yakin
8) Tauhid
: Jawahirul Kalamiyah
111
9) Akhlak
: Ahlakul Libanain Jilid 5
c. Kelas Wustho 1) Nahwu
: Al-Imriti
2) Bahasa Arab
: Al Arobiyah An Nasyi‟in Jilid 3
3) Fiqih
: Fatkhul Qorib
4) Hadist
: Bulughul Marom
5) Tauhid
: Kifayatul Awam
6) Ulumul hadist
: Mustholahul Hadist
7) Akhlak
: Ta‟limul Muta‟alim
d. Kelas Ulya 1) Nahwu Shorof
: Al Ihtishor
2) Ushul Fiqih : Mabaadiil Awaliyah
a.
3) Ulumul Hadist
: Mustholahul Hadist
4) Bahasa Arab
: Al-Qiroaturrasyidah
5) Fiqih
: Fatkhul Qorib
6) Hadist
: Bulughul Marom
7) Tauhid
: Kifayatul Awam
Kitab kitab kajian ba’da Ashar Jam (16.30 – 17.30) Hari sabtu, senin dan selasa : Tafsir Jalalen
b. Hari Ahad, dan Rabu
: Riyadhus Shalikhin
Kitab kitab kajian Ba’da Subuh Jam (05.00 – 06.00) a. Hari Sabtu, Ahad, dan Senin : Fathul Mu‟in b. Hari Selasa, Rabu, dan Kamis : Al-Qur‟an
112
4. Asrama dan lokasi. Asrama yang dimiliki pesantren ini yaitu, asrama putra dan putri juga ada aula untuk kegiatan para santi, selain itu ada gedung serbaguna di belakang asrama putra yang berfungsi untuk pertemuanpertemuan dan acara yang besar. Selain itu ada kantor pengurus, perpustakaan dan ruang computer. Pesantren edi mancoro terletak di pinggir jalan raya dusun bandungan desa gedangan, Kecamatan tuntang, Kabupaten semarang, Jawa tengah. Dikelilingi oleh pohon-pohon, kebun salak dan sawah yang luas, suasana di pondok tersebut tenang dan damai. Tamu yang mengunjungi edi mancoro pertama masuk lewat jalur masuk arah masjid darussalam dengan tulisan wisma santri edi mancoro (sekarang pondok pesantren edi mancoro) dan berpisah dari rumah keluarga kyai yang sederhana dan bersahaja.“Pondok pesantren edi mancoro dari luar daerah pesantren ini lebih dikenal di daerah Salatiga karena memang secara geografis lebih dekat dengan Salatiga8”. Base Camp Pondok Pesantren Edi Mancoro Gedangan Rt.02/I Kec. Tuntang Kab. Semarang, Jawa Tengah, Telp. (0298) 313 329 (50773). 5. Masjid Lokasi masjid tidak jauh dengan pesantren disekitarnya di kelilingi sawah dan ada kolam renangnya disamping masjid yang biasa
8
Wawancara dengan santri(gus mirza)
113
di gunakan untuk keperluan masyarakat seperti mandi, nyuci dan sebagainya. Pemandangan yang indah karena terlihat pemandangan persawahan juga pegunungan merbabu dan pegunungan yang lain terlihat jelas. Masjid dengan pesantren tidak jadi menjadi kesatuan utuh karana dipisahkan dengan ndalem(rumah) K.H. Mahfud Ridwan, walaupun dengan begitu masjid adalah satu kesatuan yang sangat ada kaitanya dengan pesantren walaupun masjid disini digunakan bersamasama dengan masyarakat desa gedangan. D. Pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro 1. Kurikulum pesantren Sebagai lembaga pendidikan keagamaan tentunya Pondok Pesantren Edi Mancoro menyelenggarakan pendidikan dan pengjaran keagamaan di samping kajian yang bersifat umum. “Pondok Pesantren Edi Mancoro memiliki spesifikasi yang khusus untuk mendalami ilmu ilmu agama. Dalam hal ini spesifikasi yang dititik beratkan adalah pada kemampuan santri dalam membaca dan menulis bahasa Arab dengan baik dan benar. Maka pelajaran Nahwu, shorof, dan halaqoh dijadikan sebuah mata pelajaran dan metode pembelajaran yang dijadikan
prioritas
utama
dalam
kegiatan
pembelajaran
dan
pengajaran”(2010)9.
9
Wawancara mengenai kepengurusan kdii juga dengan pengurus yayasan edi mancoro dengan pak hani
114
Disampig itu mata pelajaran umum serta mata pelajaran keterampilan menjadi kegiatan ektra yang terjadwal oleh pengurus dengan menyesuaikan bakat dan minat santri. Dan juga ada pelajaran dengan sistem takasus antara lain seni baca alqur-an bahasa arab, bahasa inggris,mengetik, administrasi baik keuangan maupun jenis manajemen organisasi, akan tetapi lebih bersifat insidentil. a. Dialog Antar Agama. Kegiatan ini dilaksanakan setiap tahun dalam rangka penutupan Asramanisasi Ramadhan di Pesantren Edi Mancoro. Pada tahun ini akan diselenggarakan pada 02 September 2010 dengan tema “Kemerdekaan Dalam Sudut Pandangan Agama” rencana dalam diskusi ini akan menghadirkan beberapa pembicar diantarnya ; KH, Fauzi Arkhan, M.Ag (Islam), Bibit (Hindu), Suwarto Adi, Sth (Kristen), dan Supriyadi (Budha). b. Loklat Pesantren Transformatif Loklat Pesantren
dilaksanakan
Transformatif),
oleh
BPPT
Pesantren Edi
(Biro
Pelaksana
Mancoro.
Loklat
dilaksanakan selam lima hari dari tanggal 10 s/d 15 Oktober 2001 di Wisma Santri Edi Mancoro, Gedangan, Kec. Tuntang, Kab. Semarang. Kegiatan ini melibatkan 15 peserta (aktifis pesantren, penerus pesantren) utusan dari 15 pesantren di Jawa Tengah. Kegiatan ini berkesinambungan, karena selesai loklat, BPPT, sebagai pelaksana kegiatan, terus memonitor aktifitas dari
115
para alumni “Pesantren Transformatif” ini. Pertemuan pertama alumni pesantren transformatif ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Desember 2002 di Wisma Santri Edi Mancoro. Dan akan dilanjutkan pertemuan-pertemuan berikutnya secara kontinuitas. c. Dialog antar pemuda. Kegiatan
ini
sebenarnya
hanyalah
tukar
wacana,
informasi, dan berbagai pengalaman “keagamaan”. Yang terwadahi dalam forum “lintas iman muda” yang di fasilitasi oleh Percik dan Pondok Pesantren Edi Mancoro. Melibatkan antara santri serta para pemuda dari berbagai agama dan organisasi kepemudaan yang ada di sekitar Kab. Semarang dan Kota Salatiga. d. Dialog Antar Institusi. Pra dialog telah dilaksanakan babak pendahuluan, yang melibatkan beberapa utusan, antara Pesantren Edi Mancoro dan beberapa STT di Salatiga dan Kab. Semarang, (STT EFATA Salatiga, STT ABDIEL Ungaran dll.) Diantara hasil dialog dan kerja sama ini maka Pesantren Edi Mancoro dan beberapa STT di Salatiga dan Kab. Semarang sepakat untuk membantu korban banjir dan tanah longsor di daerah Kudus, pada tanggal 12 Februari 2002. Kegaiatan
antar
Institusi
adalah
penyelenggaraan
Kerukunan Umat Beragama yang dilaksanakan pada Januari 2005, kegiatan ini melibatkan berbagai institusi dari berbagai agama yakni
116
Pesantren Edi Mancoro (Islam), STT SANGKAKALA (Getasan, Kab. Semarang, Kristen), STIAB SMARATUNGGA (Ampel, Kab. Boyolali, Budha), STT NOVISIAT (Salatiga, Kristen) dan YLPHS Salatiga. e. Forum gedangan (FORGED) Kelahiran Forum Gedangan (ForGed) bermula dari sebuah
acara
Silaturrahni
Lintas
SARA
(suku-agama-ras-
antargolongan) di Wisma Santri “Edi Mancoro”, Salatiga. Wisma santri ini lazimnya dipandang juga sebagai sebuah pesantren yang menempatkan K.H. Mahfudz Ridwan, Lc, penggagas acara ini, sebagai pengasuhnya.Pesantren “Edi Mancoro” terletak di Desa Gedangan, Kec. Tuntang, Kab. Semarang. Silaturrahmi digelar di tengah situasi politik dan ekonomi di Tanah Air yang kian tak menentu pada tahun 1998. Cekaman krisis ekonomi yang sangat meradang. Di penghujung acara pertemuan, rupanya bukan sekadar bertorehkan silaturrahmi biasa, oleh karena forum ternyata berpucuk pada keberhasilan merumuskan pandangan dan agenda kerja bersama dalam rangka mengantisipasi perkembangan situasi sosial politik, ekonomi di Tanah Air yang semakin memburuk pada waktu itu. Pada acara yang dihadiri puluhan aktivis dan pentolan dialog lintas iman di wilayah Salatiga dan sekitarnya itu juga
117
dihadiri pengusaha entis Tionghoa, Tjandra Prasadja dan aktivis NGO Dr. Pradjarta serta Dr. Th. Sumarta (alm.). Nama lembaga ini diambil dari tempat di mana forum ini digelar; Forum Gedangan (ForGed).Dalam pertemuan awal itu juga sekalian diidentifikasi seluruh segi krisis yang terjadi secara global, nasional bahkan lokal dan bagaimana menentukan pijakan perencanaan aksi (action planning) bersama. Dalam pertemuan selanjutnya yang diadakan pada 27 Februari 1998, Forum Gedangan
kemudian
merumuskan
agenda
kerjanya
secara
terstruktur. ForGed memutuskan memperjelas misi dan posisi, dengan memperjelas jati dirinya sebagai ornop. Untuk menangani program jangka panjang dan pendek, ForGed membentuk kepanitian yang sifatnya ad hoc, di samping tetap sebagai pengawal berbagai ornop, pemda, dan stakeholders lainnya. Pertemuan itu juga memperjelas mitra jaringan dan prioritas program menuju civil society. Ada tiga program yang bakal dilakukan ForGed, yakni menggerakkan aksi solidaritas dalam rangka mengatasi kesulitan ekonomi bagi masyarakat marjinal, menggerakkan aksi solidaritas dalam rangka memperkuat rasa kebangsaan yang setara (baik antarsuku, agama, atau golongan) dan dalam rangka otonomi daerah, dalam pemberdayaan masyarakat10. 10
http://mocinpak.blogspot.com/2008/10/forum-gedangan-forged.html
118
f. Pengajian dan Pengkajian Rutin Pesantren Kegiatan ini merupakan kegiatan harian dan rutin dilakukan oleh Pondok Pesantren Edi Mancoro, diantaranya adalah kajian kitab-kitab kuning, halakoh, munadharah ilmiah dan lainlain. Selain itu
santri juga diberikan pembelajaran yang
bersifat umum, dan bersifat ketrampilan atau life skill, dan kewira usahaan yang dijadikan sebuah kegiatan ektra yang terjadwal oleh pengurus dengan menyesuaikan bakat dan minat santri. 2. Sistem pendidikan Sistem pendidikan di Pondok Pesantren Edi Mancoro mengalami banyak perubahan dari pertama kali berdiri sampai dengan sekarang, hal ini dilakukan dalam rangka menuju kesempurnaannya. Pada tahun ajaran 2009 – 2010 sistem pendidikan yang dilakukan adalah sistem klasikal (bandongan) di mana setiap santri diwajibkan untuk mengikuti setiap mata pelajaran yang dikaji sebagaimana yang tertera dalam jadwal yang dibuat oleh pengurus. Dalam hal ini dibuat untuk dengan batasan waktu yang telah ditetapkan untuk menjebatani problem santri baru agar dapat menyesuaikan diri dengan kelas yang ada. Maka dilakukan tes penempatan (placement tes)bagi santri santri baru yang baru masuk di pesatren ini. Sehingga diharapkan para santri baru dapat segera menyesuaikan atau mengikuti pelejaran yang diselenggarakan
119
Dalam tes ini dilakukan bukan karena dari kebijakan dari dewan asatidz, tetapi kebijakan ini diambil oleh pengurus pesantren yang yang mengurusi tentang proses pembelajaran yang ada di pesantren ini. Dalam pembelajaran atau kajian mata pelajaran yang berbasik kitab kitab kuning dipergunakan dengan menggunakan sistem metode pembelajaran yang bersifat klasikal (bandongan) atau kelompok, dan ada mata pelajaran tertentu yang harus dipelajari atau dikaji dengan sistem metode individual (Sorogan). Dari kedua sistem metode pembelajaran yang banyak digunakan dalam proses pembelajaran adalah sistem metode bandongan (klasikal) atau kelompok. Hal ini dilatar belakangi dengan keadaan santri yang nyantri di pondok pesantren ini, dimana kebanyakan mayoritas santri yang belajar di pesantren ini adalah para pelajar dan mahasiswa yang masih belajar di lembaga pendidikan formal. Dari hal tersedia bagi para santri dan dewan asatedz dapat dipergunakan secara makasimal. Sehingga waktu luang yang tersedia dapat digunakan oleh santri dengan melakukan aktivitas yang nantinya dapat menambah wawasan wawasan baru santri yang di dapatkan di lingkungan pendidikan formal. Adapun kegiatan pembelajaran harian yang dilakukan oleh santri di Pondok Pesantren Edi Mancoro sebagaimana dalam tabel di bawah ini :
120
DAFTAR KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO Waktu 04.00 – 05.00 05.00 – 06.00 07.00 – 14.00 14.00 – 16.00 16.00 – 16.30
Jenis Kegiatan Keterangan Jama‟ah Subuh dilanjutkan Semua santri tadarus al-Qur‟an Wajib belajar klasikal
Semua santri, bersama pengasuh di dalem
Wajib belajar formal
Bagi santri yang sekolah atau kuliah
Istirahat
Semua Santri
Jama‟ah Shalat Ashar dan Semua santri persiaapan belajar klasikal Wajib belajar klasikal
16.30 – 17.30
Semua santri, bersama pengasuh di dalem atau di Aula putra
Pesiapan Jama‟ah shalat Semua santri 17.30 – 18.30
Maghrib, dan Tadarus AlQur‟an
18.30 – 19.30
Wajib belajar klasikal
Semua santri sesui kelas
19.30 – 20.00
Jama‟ah Shalat isya‟
Semua santri
20.00 – 21.00
Wajib belajar klasikal
Semua santri
21.00 – 04.00
Istirahat
Semua santri
3. Pengajar/ustadz Pengajar atau ustadz di pondok pesantren edi mancoro berjumlah 22, yang tergabung dalam dewan asatedz yang mempunya spesialis sendiri sendiri dalam proses pembelajaran di pesantren ini. Dalam proses pembelajaran atau kajian kitab kuning atau kitab klasik yang di sampaikan kepada para santri dalam penyampainya dewan
121
asatedz dianjurkan dalam proses pembelajaran dapat menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengatuahan yang ada. Dalam hal ini, KH. Mahfudz Ridwan sengaja melibatkan beberapa tokoh desa dalam pengelolaan pesantren ini, yang tidak hanya terfokus pada kepemimpinan individual seorang pengasuh yang di pandang dari sosok ke kharismatik seorang kyai. Sehingga kelestarian pondok pesantren ini bisa lebih dipertanggung jawabakan. Dewan asatedz ini biasanya berasal dari daerah sekitar pesantren yang mempunyai kepudulian terhadap pengaembangan pesantren ini, dan mereka adalah orang orang yang di tokohkan oleh masyarakatnya. Adapun pendidikan dewan asatedz yang mengajar di pondok pesantren Edi Mancoro antara lain : a. Bagdad university b. UIN Sunan Kali Jaga Yokyakarta c. IAIN Wali Songo Semarang d. STAIN Salatiga. e. Alumni alumni Pondok Pesantren yang tinggal di sekitar pesantren. Baik dari Pondok Pesantren Edi Mancro maupun dari pesantren lain. 4. Aktivitas Peribadatan dan Belajar Santri Maka untuk menumbuh kembangkan kesadaran para santri di pesantren sangatlah perlu mengatur jadwal kegiatan kegiatan yang dilaksanakan oleh santri, baik berupa kegiatan ritual maupun
122
pembelajaran. Di semping jadwak kegiatan rutin yang sudah terprogran yakni kegiatan pembelajaran dengan sistem klasikal (bandongan). Adapu kegiatan kegiatan selain jadwal rutin yang sudah diatur atau terprogram oleh pengurus pesantren diantaranya : a. Shalat lima waktu. Walaupun shalat lima waktu merupaka tugas individu semua umat muslim, dalam hal ini pesantren sangat perlu mengatur peribadatan ritual ini yang berhubungan dengan tuhanya (Hablum Minaallah). Sebagai latihan untuk menumbuhka kembangkan rasa kesadaran para santri. Yang pada akhirnya nilai kegunaan shalat tidak hanya berdimensi ritual semata dengan Allah SWT, tetapi juga berdimensi sosial kemasyarakatan (Hablum Minannas) atau dengan kata lain bukan hanya menjadi santri soleh individual tetapi soleh sosial, termasuk kesadaran para santri akan pentingnya sebuah pemahama tentang kesadaran individual dan sosial. Dimensi Hablum Minaallah dan Hablum Minannas, semuanya dapat terpenuhi dengan peribadatan ritual seperti ini. Untuk bisa merealisasikan misi yang mulia ini, maka pesantren perlu untuk mengatur kegiatan shalat jama‟ah di pesantren, yang dilaksanakan di masjid. Walaupun hakekatnya tidak semua shalat jama‟ah dapat dilaksanakan oleh semua santri di pesantren, dengan mengingat status ganda mereka sebagai santri dan pejar atau mahasiswa di lembaga lembaga formal, sehingga waktu mereka
123
banyak tersirat di luar pesantren. Tetapi dengan diterapkan seperti ini, setidaknya shalat akan lebih bermakna dan mengandung hikmah yang banyak bagi santri. b. Khitobiyah. Khitobiyah merupakan kegiatan mingguan, kegiatan ini dilaksanakan setiap malam jum‟at dibawah koordinator pengurus pesantren. Kegiatan ini sebenarnya bersifat sederhana sekali, yaitu untuk melatih mental para santri mukim maupun non mukim untuk berani berbicara didepan para santri lainya dengan memberikan tausiyah atau maidhoh hasanah. Disamping itu bertujuan melatih para santri agar nantinya bisa mensiarkan agama di lingkungan masyarakat, dalam hal menyampaikan ajaran ajaran agama islam yang mereka dapatkan di pesantren pada nantinya setelah terjun di tengah tengah kehidupan bermasyarakat. Selain hal itu juga bertujuan untuk mengkonsep sebuah kegiatan, yaitu yang berupa kegiatan kegiatan keagamaan yang berupa PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) maupun peringatan yang lainnya yang dibingkai dalam sebuah kegiatan khitobiyah. Dalam kegiatan ini, peserta terbagi menjadi beberapa kelompok secara acak yang telah di tentukan oleh pengurus, dengan pertimbangan besar, kecil dari usia santri dan pemerataan dalam hal kemampuan dari santri itu sendiri, agar dalam pelaksanaanya semua santri dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini.
124
c. AL-Barzanji dan Manaqib Al barzanji dan Manaqib adalah merupakan sebuah refleksi atas biografi Nabi Muhammad dan Syeh Abdul Qodir Al Jailani. Kegiatan ini juga dilaksanakan secara terjadwal yang dilaksanakan satu minggu sekali secara teratur, yang pada dasarnya untuk menumbuh kembangkan kesadaran santri. Dalam hal ini santri lebih ditekankan supaya dapat membaca secara fasih dan benar isi tulisan yang terdapat dalam kitab Al Barzanji dan Manaqib. Dengan harapan dengan membaca kitab tersebut supaya mendapatkan nilai nilai keteladan atau mengharpkan barokah dari Nabi Muhammad dan Syeh Abdul Qodir Al Jailani dan uswatun hasanah di akhir. Selain hal itu, selain mempunyai nilai nilai relgius juga dimensi edukatif atau pendidikan. d. Qiyamul Al-lail. Qiyamul Al-lail merupakan kegiatan yang lebih dekat dengan dimensi Hablum Minaallah (hubungan dengan allah) atau mendekatkan diri kepada Allah SWT dari pada dengan Hablum Minannas (hubungan dengan manusia). Kegiatan ini dilaksanakan juga setiap satu minggu sekali secara bersamama yang sudah terjadwal oleh pengurus pesantren. Adapun waktu pelaksanaanya adalah antara jam 02.30 sampai dengan selesai. Walaupun kegiatan ini dalam satu minggu hanya satu sekali secara bersama-sama, tetapi ada juga yang melaksanakan kegiatan tersebut setiap malam.
125
Adapun aktifitas yang dilaksanakan adalah shalat malam seperti, (Shalat Tahajud, Shalat Tasbih, Shalat hajad, dan Shalat witir) yang dibaringi dengan bacaan dzikir (Tahlil, Istighosah). e. Munadharah. Merupakan acara mingguan sebagai sarana dialog antara santri dalam memperbincangkan masalah-masalah temporal yang mungkin belum
terpecahkan. Dengan acara ini, diharapkan
wawasan santri akan terbuka dengan persoalan-persoalan kekinian, untuk mengkaitkan persoalan keagamaan dengan kondisi riil di masyarakat, dan menambah wacana keilmuan santri. Sebenarnya kegiatan ini sama dengan kegiatan mingguan, dalam oprasional pelaksanaannya terbagi dalam berbagai kelompok, dan setiap kelompok bertugas sebagai moderator dan pemateri atau pemakalah dihadapan seluruh santri. Subtansi makalah biasanya berkenaan dengan masalah masalah temporal, kekinian yang masih hangat dibicarakan di tengah tengah masyrakat. Dalam kegiatan ini, kadangkala dari pengurus mengundang pemateri dari luar, terutama dalam masalah masalah spesifik. f. Bahtsul Masa‟il atau Mudzakarah Bahtsul masa‟il Merupakan kegiatan bulanan yang sudah terjadwal oleh pengurus. Bahtsul masa‟il merupakan pertemuan ilmiyah, yang membahas masalah diniyah, seperti ibadah, aqidah
126
dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Tujuannya untuk memecahkan sesuatu masalah agama dan kemasyarakatan yang timbul atau sekedar untuk memperdalam pengetahuan agama, dan untuk melatih para santri dalam memecahkan masalah dengan menggunakan rujukan-rujukan yang jelas dan melatih cara berargumentasi dengan menggunakan nalar yang lurus. Bahtsul masa‟il seperti biasanya dipimpin oleh seorang ustadz atau santri yang senior yang ditunjuk oleh kyai. g. Fatkhul Kutub Fathul Kutub merupakan kegiatan mingguan yang sudah terjadwal oleh pengurus.. Pada dasarnya metode ini adalah metode penugasan mencari rujukan terhadap beberapa topik dalam bidang ilmu tertentu (Fiqh, Aqidah, Tafsir, Hadits, dll). Kegiatan Fathul Kutub merupakan kegiatan latihan membaca kitab (terutama kitab klasik). Dalam kegiatan ini bertujuan wahana menguji kemampuan mereka setelah memahami Bahasa Arab, dan menyampaikan inti permasalahan yang di baca di hadapan semua santri. h. Asramanisasi Ramadhan. Merupakan kegitan tahunan yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan setiap tahun. Mulai tanggal satu ramadhan hingga sampai dengan tanggal 23 Ramadhan. Hal ini didasarkan atas efektifitas waktu yang tersedia bagi santri, karena waktu kajian
127
hanya 23 hari yang dimulai sejak tanggal satu Ramadhan, sedangkan sisanya santri tersibukkan dengan menyambut hari raya idul fitri. Kegiatan ini diperuntukkan kepada seluruh santri bahkan dari luar pesantren sekalipun diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan ini. Adapun jenis kegiatan yang dilaksanakan adalah pengajian intensif, diskusi, seminar, dan kegiatan kegiatan kemasyarakatan seperti, kerja bakti di masjid, mushola, atau tempat lain dan bazar.
i. PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) Sebagai
lembaga
pendidikan
keagamaan,
maka
peringatan hari besar islam merupakan sarana yang cukup efektif mempererat tali persaudaraan (ukhuwah) antara santri di pesantren, atau antara pesantren lain, atau antara santri dengan masyrakat sekitar. Di samping itu beragam kegiatan keagamaan dalam rangka memperingati hari hari besar islam itu merupakan sarana latihan bagi para santri untuk bersedekah, peduli dengan masyrakat sekitarnya dan syiar islam. j.
Sitem kegiatan Orgasnisasi dan ketrampilan. Dalam pesantren ini juga terdapat sistem kegiatan organisasi dan ketrampilan/life skill yang dibekalkan kepada para santri. Dengan kegiatan organisasi dan ketrampilan ini, para santri diharapkan mampu berorganisasi, sehingga terdapat keseimbangan
128
antara otak, hati, dan tangan, sebab pada diri santri tersebut terdapat secara keseluruhan merupakan modal yang dapat dipergunakan dalam berwiraswata. Dalam pesantren ini, para santri dirangsang untuk selalu aktif dan responsif terhadap materi yang disampaikan oleh ustadz. Mereka dituntut bukan hanya menguasai pelajaran saja, akan tetapi harus bisa menghayati dan mengamalkannya seta mampu menyampaikan kembali kepada pihak lain. Sehingga keberhasilan tergantung pada santri, bila santri aktif maka ia akan maju dan apabila tidak aktif ia akan ketinggalan Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh salah satu ustadz : ”Mereka yang selalu aktif dan kreatif dalam pesantren ini, maka ia akan maju, sedangkan mereka yang tidak aktif dan kreatif maka ia akan ketinggal dalam berbagai hal. Keakatifan dan kekreatifan yang tidak di latih dengan kesadaran diri sendiri tidak akan bisa tumbuh berkembang dengan sendirinya, karena keaktifan dan kekeratifan itu timbul dari kebiasaan yang dilakukannya sehari hari” (wawancara dengan ustadz Arif Rahmanudin pada tanggal 30 Juni 2010). 5. Program kerja pengurus. Program pemahaman
yang
dilaksanakan
multikulturalisme,
ajaran
Pesantren agama,
dalam serta
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut : a. Pogram kerja pengurus -
Diskusi Lintas Agama
-
Peningkatan dan penjaringan bakat dan minat santri
-
Pelatihan jurnalistik
rangka
kerja-kerja
129
-
Sitessa (persiapan ujian masuk STAIN salatiga)
-
Pelatihan life skiil
-
Perawatan jenazah
-
ziaroh
-
Mustri (musyawaah santri)
-
Forum bersama (FORBER)
-
Perlombaan perlombaan dalam rangka ulatah dan penyambutan hari hari besar islam dan kemerdekaan
-
Pelatihan keadministrasian
-
Pelatihan skiil komputer
-
Pelatihan menejemen perpustakaan
-
Kita beda kita sama (Kbks) forum lintas iman anak anak
-
Forum lintas iman muda
-
Studi banding
-
Halal bihalal
-
Tarbiyah exspres
-
Sarasehan dan Rihlah Ilmiah
-
Mujahadah bersama
130
b. Kajian dalam pogram kerja -
Diskusi ilmiah
-
syawir
-
Batsu masail
-
Bedah buku
-
Kajian dan diskusi tematik dengan topic topic kekinian
-
Munadhoroh ilmiah juga muthola‟ah kutub
-
Mengadakan pesantren Ramadhan (Asramanisasi Ramadhan)
-
Melakukan kajian dan studi keislaman secara intensive dan berkesinambungan baik dalam perspektif tekstual yang bersifat normative maupun dalam perspektif kontekstual keindonesiaan.
-
Menyelenggarakan
diskusi-diskusi
ilmiah,
dialog-dialog
keagamaan, dialog kemasyarakatan lintas SARA bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia yang plural. -
Melakukan sosialisasi sekaligus pribumisasi atas hasil kajiankajian di atas bagi komunitas masyarakat pada umumnya.
-
Menyelenggarakan diklat, loklat, kursus kilat (short course) bagi aktifis pesantren dan aktifitas kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
131
-
Membentuk jaringan kerja sama antar pesantren, institusi kemasyarakatan, organiasasi sosial kemasyarakatan, seluruh komunitas strategis di masyarakat, dalam rangka kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.
c. Life in di pesantren -
Tahun 1994 delegasi dari peru dalam rangka pembelajaran pembentukan kelompok sosmas
-
Tahun 2007 18 mahasiswa dari universitas sanata darma Yogyakarta
-
Tahun 2009 20 mahasiswa dan room dari stf driyarkara Jakarta
-
Kunjungan kunjungn dari unity of church Australia pada tahun 2008 dan 2009 serta 2010
-
Kunjungan dari mahasiswa luar negeri UKSW pada tahun 2007, 2008, 2009
-
Kunjungan mahasiswa teologi dari uksw 2010
-
Kegiatan lintas agama muda yang di hadiri dari komunitas lintas iman muda 2010
-
Kunjungan siswa dari autralia sebanyak 20 siswa 2010.
132
E. Faktor-faktor pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro. 1. Faktor pendukung Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam mengembangkan pendidikannya memiliki beberapa faktor yang mendukung untuk maju dan berkembang dalam memberdayakan diri dan masyarakat, serta pemelihara dan pencipta dalam mempertahankan tradisi-tradisi, dan kebudayaan-kebudayaan pesantren yang sudah ada. Dengan sebuah prinsip metodologis ”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa akhdzu bil jadiidil aslah”(memelihara tradisi tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi tradisi baru yang lebih baik). Selain hal itu juga menjadikan pesantren yang dapat melayani masyarakat dalam berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat (khadimil umah). Adapun hal-hal ini, karena adanya beberapa faktor pendukung yang menjadi latar belakangnya, antara lain : a. Faktor komunikasi yang baik. Pengasuh pondok pesantren edi mancoro yaitu, KH. Mahfudz Ridwan, LC telah mampu menciptakan suasana kerja sama yang baik, harmonis, demokratis, dan komunikatif, artinya seorang pengasuh atau pemimpin pesantren yang mampu membawa suasana yang dirasakan tentram oleh para santri dan masyarakat sekitar serta semua permasalahan yang muncul di intern maupun ekstern pesantren. Dimana permasalahan tersebut
133
akan diselesaikan secara musyawarah, demokrasi, kekeluargaan bersama pengasuh dan para ustadz. Oleh karena itu pengurus pondok pesantren merupakan uswatun hasanah (teladan yang baik) bagi para santrinya. Yang menjadi salah satu kelebihan pesantren ini adalah adanya hubungan komunikasi yang akrab antara kyai atau pengasuh dan ustadz dengan orang tua atau keluarga santri, santri dengan para alumni, para alumni dengan kyai (pengasuh), dan dengan para santri itu sendiri. Dan biasanya santri yang mau belajar dipesantren ini diantarkan oleh kedua orang tua atau keluarganya, kemuadian dititipkan atau dipasrahkan secara langsung oleh orang tuanya kepada kyai atau pengasuh pondok pesantren untuk dididik di pesantren ini. Hubungan semacam ini tidak hanya penyerahan itu saja, melainkan banyak hal yang dilakukan dalam proses pendidikan atau kegiatan yang di rancang di pesantren ini. Selain itu hubungan komunikasi yang dilakukan oleh para alumni dengan santri serta kyai atau pengasuh dalam hal ini yang di lakukan oleh pesantren ini adalah melakukan sebuah kegiatan yang berupa halal bihalal yang dilakukan di lingkungan pesantren. Dengan hal seperti ini, diharapkan agar terjadi sebuah komunikasi yang baik antara alumni dengan santri serta kyai atau pengasuh. Dalam kegiatan ini, biasanya dimanfaatkan oleh para
134
alumni untuk dijadikan tempat silaturrahmim kepada kyai atau pengasuh dan santri santri yang masih berproses belajar di pesantren ini, dan juga para masyarakat dilingkungan pesantren dan syair pengalaman pengalaman yang dilakukan oleh para alumni di kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya masingmasing kepada kyai atau pengasuh, dan para santri. Selain hal itu, sebaliknya santri juga melakukan silaturrahmi kepada para alumni untuk melakukan sherring atau konsultasi tentang keadaan atau kondisi pesantren ini kepada para alumni. Tujuan dari hal ini yang dilakukan oleh pesantren ini agar supaya para alumni masih ada hubungan dan komunikasi yang sangat erat dengan pesantren ini walaupun statusnya tidak ada di pesantren ini lagi. Sedangkan hubungan santri dengan santri yang lain dilakukan dengan melakukan saling menghormati antara santri yang lebih lama dengan yang baru ataupun sebaliknya. Yang dilakukan adalah memberikan arahan dan masukan kepada santri yang baru dengan memberikan arahan yang sesuai dengan visi misi dan tujuan pesantren. Dikarenakan santri yang baru masuk di pesantren ini akan membawa kebudayaan atau faham yang berbeda dengan arah dan tujuan pesantren. Kebadayaan tersebut bisa dibawa dari tempat mereka belajar pertamakali, misalnya kebudayaan pesantren sebelumnya, kebudayaan daerah tempat tinggalnya, kebudayaan kehidupannya, dan lain lain. Yang mana
135
kebudayaan-kebudayaan tersebut kalau tidak dikelola maka akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang tidak sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren ini. Hubungan komunikasi yang akrab ini menciptakan suasana pembelajaran yang sangat baik. Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya sebatas pada transformasi ilmu antara kyai atau pengasuh kepada santri, melainkan kepada seluruh prilaku pendidikan yang disusun oleh pesantren yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pesantren. Dengan kondisi ini maka interaksi kyai atau pengsuh beserta dewan asatidz dengan santri dapat berlangsung secara terus menurus. Semua program kegitan para santri tidak terlepas dari pengawasan, masukan, dan masukan dari kyai atau pengasuh serta ustadz. Sehingga semua kegiatan yang dilakukan oleh para santri seluruhnya diarahkan kepada pengejawatahan ajaran islam dan kondisi realitas yang terjadi dimasyarakat sekitarnya. b. Faktor lingkungan. Adapun yang menjadi pendukung yang ditinjau dari faktor lingkungan antaranya : 1) Tersedianya lahan yang luas, 2) Tempat praktek,. tempat para santri mengasah kemampuan sesuai dengan bidang yang diinginkannya. 3) Halaman yang luas,
136
4) Jiwa kemandirian, keihlasan, serta kesederhanaan yang tumbuh dikalangan para santri dan keluarga besar Pesantren Edi Mancoro. Seperti yang dikatakan seorang santri : ”Saya memilih tinggal di pesantren karena saya ingin belajar hidup mandiri, ihlas, serta hidup sederhana meskipun jauh dari orang tua. Disini pula saya bisa mengekpresikan diri dalam mempelajari ilmu-ilmu agama lebih dalam dan juga beberapa ilmu umum lainnya”. c. Faktor kerjasam antara santri dan masyarakat. Bila dilihat dari lingkungan pesantren yang di tempati para santri, dan dari latar belakang kehidupan yang bermacammacam, dan berbeda beda dalam pemikirannya. Maka masyarakat pesantren sebenarnya merupakan gambaran nyata kehidupan bermasyarakat dalam islam dan ke indonesiaan. Maka muncul kepedulian dan rasa kebersamaan yang tinggi. Adanya koordinator santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren Edi Mancoro dengan seringnya mengadakan kerjasama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan antara santri denga mesyarakat lingkungan pesantren dan sekitarnya. Hal ini mendorong para santri untuk selalu berusaha berfikir untuk selalu respon dengan keadaan lingkungan yang di ada di masyarakat, dan selalu tampil yang baik di depan masyarakat, sehingga tercipta hubungan yang harmonis, nyaman, dan tentram antara santri dengan masyarakat. Kondisi ini menambah rasa betah dan kenyamanan antara santri dengan masyarakat untuk selalu belajar
137
hidup berdampingan. Selain hal itu juga menimbulkan rasa nyaman bagi santri dalam menuntut ilmu di pesantren bersama dengan masyarakat. Seperti yang diungkapkan salah satu santri : ”Bahwa di Pesantren Edi Mancoro sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat, meskipun kegiatan-kegiatan kecil seperti, baksos, quranan, yasinan, PHBI, Bazar di bulan Ramadhan, diskusi antar pemuda atau lembaga, antar agama dan lain-lain”. Ada pula pendapat seorang santri tentang adanya kegiatan yang sering berhubungan dengan masyarakat, dia mengatakan : “Kegiatan ini sangatlah perlu bagi santri, karena dari sinalah akan terjalin hubungan baik antara santri dengan masyarakat, dan pemuda. Jadi santri-santri yang tinggal disini merasa nyaman dalam kehidupanya dengan orang orang banyak di sekitar lingkungan pesantren dan masyarakat”.
Dalam hal ini, pesantren dan masyarakat merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan, karena pesantren adalah lembaga pendidikan yang secara murni berasal dan bikembangkan oleh masyarakat. Begitu pula sebaliknya perubahan sosil dan kebudayaan itu terjadi karena keberadaan pesantren, terutama permasalah keberagamaan. 1) Adanya kegiatan saling membantu. Contohnya melakukan kerja bakti dan bakti sosial bersama-sama dengan melakukan penataan lingkungan agar menjadi bersih dan indah‟ dan lain-lain.
138
2) Mengadakan pengajian disetiap minggu sesudah dzuhur Pengajian ini di peruntukkan bagi orang orang yang sudah tua dan di laksanakan pada hari ahad atau rabu. Tempatnya di masjid Darussalam dekat Pondok Pesantren Edi Mancoro. Adapun materi yang disampaikan adalah disamping permasalahan permasalah tentang keagamaan, dan disisipkan masalah kemasyrakatan serta mengkaji tafsir Al Ibbris. 3) Membentuk atau membina TBB (tarbiyatul Banin Wal Banat. TBB adalah tempat untuk pembelajaran anak anak yang ada di sekitar pesantren, adapun tempat pembelajaran ini bertempat di lingkungan pondok pesantren. TBB merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berupa UPT (unit pengelolaan Teknis) yang mengelola pembelajaran untuk anak yang dikelola oleh para santri yang di bawah naungan pondok pesantren. TBB ini hampir sama dengan TPA (Taman pendidikan anak), yang membedakan pendidikan TBB dengan TPA adalah dalam pembelajarannya. Dimana kalau TPA dalam pembelajarannya dilakukan selam satu minggu pada sore hari kecuali hari jum‟at, sedangkan kalau TBB hanya dilaksanakan dalam satu minggu hanya tiga kali pertemuan pada waktu sesudah Dzuhur sampai menjelang ashar. Ustadz yang
139
mengajar adalah para santri Edi Mancoro sendiri. Maka di bentuklah susunan kepengurusan TBB sebagai berikut. STRUKTUR ORGANISASI TBB EDI MANCORO 2010 Pelindung
: K.H. Mahfudz Ridwa, Lc
Penaggung jawab
: Ketua Umum PPEM
Penasehat
: Biro Pendidikan
Ketua
: Tuthi‟ Musyarofah
Sekretaris
: Maliki
Bendahara
Choirul Afifah
Pengajaran
: Naila Munawaratul Qona‟ah
Kurikulum
: Muhammad Farhan
DEWAN ASATEDZ TBB EDI MANCORO NO
NAMA
MAPEL
1.
Muhammad Farhan
Fiqih
2.
Mirza Faishol
Bahasa Arab
3.
Naila Minawarotul Q
Bahasa Ingris
4.
Siti Eka Puspita Sari
Tajwid
5.
Maliki
Bahasa Arab
6.
Choirul Afifah
Fiqih
7.
Siti Maskiyah
Tajwid
Selain pembelajaran yang di ajarkan pada santri TBB temtang pendidikan agama, mereka juga didik belajar
140
bersama dengan para lembaga pendidikan anak anak islam maupun non muslim seperti, Kelompok Taman Pendidikan Qur‟an (TPQ)
Roudlotul Qur‟an-Klaseman,
Sekolah
Minggu GKJ Salatiga, Kelompok Sekolah Minggu GKJ Sidomukti, Kelompok Belajar Cemara, dan beberapa anak dari kelompok lain yang diajak oleh salah seorang pendamping. Yang terwadahi sebauh komunitas “Kita Beda Kita Sama” (KBKS). Komunitas „Kita Beda Kita Sama‟ adalah program khusus untuk anak-anak usia TK – SD dari berbagai latar belakang agama, suku, etnis, dan lain-lain. Komunitas ini memiliki beberapa program kegiatan yang merupakan wadah anak-anak untuk mengembangkan diri dengan tetap menghargai perbedaan yang ada. Disamping itu, komunitas ini diharapkan juga dapat mengoptimalkan seluruh
potensi
anak-anak,
tentunya
dengan
mempertimbangkan keunikan dan perbedaan masingmasing anak. Adapun kegitan yang dilaksanakan komunitas KBKS ini adalah mengadakan acara Dolanan Bareng di Pondok Pesantren Edi Mancoro-Gedangan, pada Hari Minggu, 17 Mei 2009, kegiatan tersebut mengambil tema ”Dolanan Bareng ning Pesantren”. Permainan (dalam
141
bahasa Jawa: ”dolanan”) tradisional yang dipilih adalah Gobak Sodor dan Betengan. Disinilah para Pendamping Komunitas KBKS yang pernah mengalami fase bermain permainan tradisional ini ingin memperkenalkan atau malah mengingatkan kepada anak-anak bahwa ada permainan yang dilakukan secara berkelompok yaitu ada kerjasama yang dibutuhkan dalam memainkan permainan ini, serta berupaya melestarikan kembali permainan tradisional yang hampir dilupakan. Dalam
acara
tersebut
anak-anak
sangat
menikmati dan bergembira bersama, dan mendapatkan teman baru yang dahulu tidak kenal dan sekarang menjadi kenal walaupun ada perbedaan. Perbedaan latar belakang mereka tidak menjadi kendala untuk saling membangun pertemanan satu dengan yang lain. Jadi itu dapat menjadi bahan cerita yang dapat diceritakan kembali ke orang tuanya atau teman yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu ustadz : ”Dalam komunitas kita beda kita sama (KBKS) ini dalam kegitannya untuk saling mengenal antara satu dengan yang lain walaupun status keberagamaannya berbeda tetapi untuk selalu berdampingan. Selain itu juga menghidupklan sebuah kebudayaan permainan tradisional yang sudah ditinggalkan oleh anak anak sekarang ini”. Ustadz yang lain juga berpendapat :
142
“Dalam komunitas Kita Beda Kita Sama ini untuk mengajarkan kepada anak anak akan pentingnya sebuah kerukunan keberagamaan yang ditanamkan mulai sejak kecil, agar mengetahui bahwa perbedaan itu tidak menjadi penghalang untuk menjalin kebersamaan dan beraktifitas untuk berkarya”. Adapun lagu mars KBKS adalah : Marilah kawan kita bersalaman Kita bersaudara meski kita beda Kita memang beda tapi kita sama Perbedaan itu anugerah Tuhan d. Faktor semangat. Proses pembelajaran yang dilakukan di Pondok Pesantren Edi Mancora dilakukan dengan menggunakan sitem Bandongan (klasikal) yang terdiri dari berbagai kelas yang disesuaikan dengan tingkatan kemampuan santri itu sendiri. Hal ini dimungkinkan dengan sistem yang berkembang di pondok pesantren. Dimana kyai seringkali memerintahkan santri santri senior yang sudah selesai dalam pembelajarannya untuk mengajar kepada santri-santri junior. Santri senior yang diberitugas oleh kyai ini mendapatkan gelar sebagai ustadz. Sehingga timbul semangat yang tinggi baik dari santri
maupun
ustadz
dalam
mengikuti
semua
kegiatan
pembelajaran yang ada di adakan oleh Pondok Pesantren Edi Mancoro. Adanya kelas musyawarah dalam pembelajaran di pesantren ini, agar dalam pembelajaranya santri tambah semangat. Karena dalam kelas musyawarah dalam system pembelajarannya
143
yaitu seperti diskusi, seminar, dan
lebih banyak dalam bentuk
dialog atau tanya jawab. Dalam hal ini deterapkan untuk melatih para santri agar dapat menguji ketrampilan dalam berargumintasi dalam kemampuan berfikir santri sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang mereka pahami dalam proses pembelajaran. Dengan sistem musyawarah ini, sebelumnya para santri melakukan musyawarah, santri terlebih dahulu melakukan diskusi untuk menentukan tema yang akan didiskusikan dengan melihat permasalahan-permasalah
masyarakat
kekinian.
Dalam
pembalajaran ini para santri dibentuk dalam sebuah kelompok kecil yang di sesuaikan dengan tingkat kemampuannya. Dalam pelaksanaannya setiap kelompok menunjuk salah satu orang untuk menjadi pemateri atau juru bicara dan moderator untuk menyampaikan materi yang disesuaikan dengan dasar refrensi yang didapatkan dari buku-buku yang telah dibaca yang berkaitan dengan tema yang akan di musyawarahkan dan pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan dalam proses belajar mengajar ataupun dari lingkungan. Dan para santri lainnya di beri kesempatan untuk Tanya jawab kepada kelompok yang menjadi
pemateri
yang
berkaitan
dengan
tama
yang
dimusyawarahkan yang disesuaikan dengan argument yang dilandaskan dengan pengalaman yang mereka dapatkan dari proses belajar. Sehingga dalam musyawarah tersebut akan mendapatkan
144
sebuah kesapakatan tentang permasalahan permasalahan yang dijadikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang baru (ijtihad santri). Dalam kehidupan yang diterapkan pesantren ini, para santri untuk senantiasa untuk selalu berada dalam kehidupan sosial. Maka dalam kegaitan proses belajar pun para santri melakukan proses belajar secara bersama-sama. Misalkan sewaktu mereka mendapatkan tugas, baik dari sekolah, kampus, maupun dari pondok, mereka melakukan pembelajaran secara bersamam sema dengan cara santri yang mengetahui membatu kepada santri yang belum paham. Sehingga terjadilah suatu kegaitan pembelajaran yang semangat. 2. Faktor penghambat. Dalam penyelenggaraan prndidikan tidak selamanya akan berjalan secara melus dalam prosesnya, seperti yang dialami oleh pondok pesantren edi mancoro dalam melakukan proses pengembangan pendidikan berwawasan multikulturalisme. Adapun faktor-faktor yang menghambat
dalam
pengembangan
pesantren
berwawasan
multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, diantaranya : a. Keterbatasan sarana dan prasarana sebagai alat penunjang pembelajaran santri . b. Faktor latar belakang para santri.
145
Faktor latar belakang para santri yang melakukan pembelajaran di pondok pesantren ini berbeda berbeda, dilihat dari watak santri yang ditinjau dari segi bahasa, cara berbicara, tingkah laku, sosial budaya, dan kebiasaan yang dilakukan serta daya tangkap santri dalam memahami ilmu pengetahuan agama maupun umum. c. Faktor tidak ada hukuman yang mengikat (Ta’dzir). Meskipun dalam pesantren ini sudah ada peraturan dan tata tertib yang dibuat dan di sepakati oleh pengurus dan para santri. Tetapi masih banyak para santri baik dari pengurus, santri putra dan santri putri yang melanggarnya, hal ini disebabkan beberapa hal yang melatar belakangi. 1) Kurangnya penanganan yang khusus dari pengurus untuk menindak lanjuti bagi mereka yang melanggar, sehingga para santri sering melanggar. 2) Kurangnya kesadaran akan arti pentingnya sebuah tatatertib bagi diri sendirian juga pesantren. 3) Kurangnya rasa memiliki pesantren dan lingkungan sekitarnya. 4) Para pengurus pondok umurnya setara dengan santri-santri yang lain, sehingga para santri melanggar tata-tertib. 5) Para pengurus yang masih berstatus sama yaitu sebagai santri.
146
Seperti yang dingkapkan oleh pengurus pondok : Bagi para santri masih sering melanggar terhadap peraturan peraturan dan tata-tertib yang dibuat dan di sepakati oleh pengurus dengan para santri yang ada di Pondok Pesantren ini, sehingga dalam menanganinya memerlukan penanganan khusus dari pihak pengurus pondok pesantren, sehingga memakan waktu yang cukup lama dalam penanganan ini (2010). F. Dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal. 1. Dampak internal Dampak internal dalam pengembangan pendidikan pesantren yang berwawasan multikulturalisme di pondok pesantren edi mancoro membawa dampak yang positif bagi para santri, diantaranya : a.
Mempertahankan nilai-nilai kebudaya pesantren dengan sebuah prinsip metodologis ”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa akhdzu bil jadiidil aslah”(memelihara tradisi tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi tradisi baru yang lebih baik)
b.
Timbulnya rasa saling menghargai (toleranasi) antara santri dengan dangan santri lainnya, santri dengan para masyarakat disekitar maupun dengan orang yang melakukan kunjungan di pesantren baik sesama santri atau non muslim.
c.
Terbiasa untuk hidup bersama, terbiasa untuk mengerjakan hal hal yang bernilai mulia, seperti menghargai antara sesama santri sendiri (toleransi/tasâmuh), tawasuth (berada di tengah
147
atau moderasi), tawazun (seimbang menjaga keseimbangan), adalah (keadilan), dan terakhir tasyawur (musyawarah). d.
Terbentuknya sikap disiplin para santri dalam kehidupannya. dengan para santri yang lain.
e.
Membantu para santri dalam menambah wacana, pengalaman atau ilmu pengetahuan.
f.
Menumbuhkan kepekaan santri dalam menganalisa dan cara berfikir dalam kondisi masyarakat.
2. Dampak eksternal Dampak eksternal dalam pengembangan pendidikan pesantren yang berwawasan multikulturalisme di pondok pesantren edi mancoro membawa dampak yang positif bagi para santri, diantaranya : a. Dapat mengetahui dan mempelajari berbagai realita sosial budaya yang plural yang ada dimasyarakat. Sehingga santri dapat menganalisa dan berfikir dengan melihat realita yang ada. b. Tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati antara santri dengan non islam. c. Tumbuhnya suka menolong kepada orang lain. Seperti membantu orang orang lemah yang membutuhkan bantuan (Khadimil ummah). d. Menumbuhkan sikap saling toleransi antara sesama mahluk ciptaan Allah SWT. e. Tumbuhnya
solidaritas
dalam
rangka
memperkuat
rasa
nasionalisme yang setara (baik antarsuku, agama, atau golongan).
148
f. Menimbulkan rasa nyaman bagi santri dalam menuntut ilmu di pesantren bersama dengan masyarakat G. Temuan penelitian . 1. Model multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro. Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan salah satu pesantren yang memiliki salah satu sisi yang berbedas dalam melaksanakan proses pendidikannya. Perbedaan tersebut terletak dari sebuah sistem yang di terapkan di pesantren ini . adapun yang membedakan dengan pesantren-pesantren lainya adalah : a. Mengakui keberagaman (plural). Pesantren Edi Mancoro dalam proses pendidikannya mengajarkan sebuah perbedaan. Dimana tidak seorangpun di dunia ini yang dapat menolak sebuah kenyataan, bahwa alam semseta ini di ciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan beragam (plural), berwarna-wani dan berbeda-beda. Keberagaman ini merupakan sebuah sunatullah yang sudah digariskan oleh Allah SWT. Yang hal menarik dalam hal ini adalah mengapa santri yang
belajar
disini
diberikan
sebauh
pembelajar
tentang
keberagaman. Agar para santri mampu berusaha dan pengapdian terbaik (fastabiqu Al khairot) kepada Allah di alam semesta ini yang plural. dan memberikan pengajaran mengenai penciptaan alam semesta ini dalam keadaan plural ini adalah untuk pengembangan ilmu pemngetahuan dan saling memahami sesama ciptaan-Nya.
149
Dari hal inilah santri dapat menganalisa dan mencoba berfikir mengenai sebuah realita permasalah atau problem yang ada di pesantren sendiri atau dimasyarakat. Yamg mana realita yang ada di pesantren itu sendri beragam permasalah yang dihadapinya. Oleh karena itu pesantren ini menerpkan sebuah pendidikan yang mengajarkan sebauh keberagaman.
b. Menghargai kesetaraan/persamaan Pesantren edi mancoro selain mengajarkan sebuah proses pendidikan tentang perbedaan atau keberagaman, suku dan ras juga memberikan sebuah pemaparan akan pentingnya sebuah persamaan. Dalam persaaman inilah santri diberikan sebuah gambaran mengenai tugas dari dirinya di pesantren ini adalah sama-sama mencari ilmu (tholibul ilmi) dan mentati sebuah peraturan yang sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama. Dan juga mendidikan para santri memiliki sebuh prinsip persatuan dan kesatuan. Karena, manusia di dunia diciptakan didunia sama-sama menjadi seorang khalifah fil ardhi (pemimpin). c. Toleransi. Dengan melihat realita yang terjadi di pesantren Edi Mancoro dengan peasantren lain.
Yang sama-sama
sebuah
lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran-ajarn islam kepada santrinya. Yang menjadi titik tekan dari pesantren Edi Mancoro
150
adalah memberikan kebebasan (toleran) kepada semua santrinya untuk aktif dan kreatif dalam mengekspriskan dirinya dalam berbagai bentuk aktivitas dalam mempelajari sebuah ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren ini juga memberika kebebasan (terbuka) kepada semua golongan, kelompok, komunitas, baik dari muslim maupun non muslim untuk belajar di pesantren ini., walaupun hanya beberapa waktu saja. d. Kemanusiaan Pesantren ini juga memberikan kepada semua santri memiliki rasa kemanusian yang tinggi, yang melekat pada dirin santri itu sendiri. Santri disini didik oleh seorang kyai dan ustadznya yang memberikan sebauah pengajaran tentang akan pentingnya sebuah kemanusian. Yang menjadi titik tekan disini adalah menyiapka seorang santri yang nantinya menjadi seorang pendamping umat (kahdimil umat) kepada semua orang yang ada dimasyarakat yang membutuhkan sebuah bantuan bagi orang-orang lemah yang sedang menghadpi berbagai hal permasalah yang dihadapinya. 2. Dampak model pendidikan pesantren multikulturalisme. Dengan melihat sistem pendidikan yang diterpka di pesantren edi macoro, membawa sebuah dampak angin segar di dunia pendidikan pesantren di indonesia pada saat ini. Dengan menerapkan sebuah
151
konsep
pendidikan
pesantren
berwawasan
multikulturalisme,
memberikan gambaran mengenai konsep pendidikan yang
sudah
diajarkan oleh pengasuh dan ustadznya mengandung sebuah konsep nilai-nilai pendidikan multikulturalisme. Yaitu dalam kehidupanya di pesantren para santri menerima pengajaran dengan sebuah kondisi realita kehidupan dipesantren yang sangat
mejemuk
(plural). adanya
persamaan, rasa toleransi
(kebebasan), dan rasa kemanusian antara santri, ustadz dan pengasuh pesantren pada umumnya. Dari hal ini lah Pesantren Edi Mancoro berani membuka diri dalam mempertahankan tradidi-tradidi pesantren yang ada,
dengan
menerima sebuh kenyataan yang ada. Yaitu banyaknya agama non muslim yang tertarik untuk mendalami atau hanya mengetahui tentang ajaran-ajaran islam di pondok pesantren. Dari realita inilah Pondok Pesantren Edi Mancoro menerapkan nilai-nilai multikulturalisme konsep pengajaran dan pembelajara ilmuilmu agama yang mendalam dan ilmu
umum yang berwawasan
kebangsaan dan kemasyarakat dalam proses pendidikanya. yang dijadikan sebuah landasan visi, misi dan tujuan dari pesantren ini didirikan. Visi : Menyiapkan santri menjadi pendamping atau pelayan masyarakat/umat (khadimil umat).
152
Misi : Dengan membentuk santri yang mempunyai wawasan keagamaan mendalam, berwawasan kebangsaan, dan kemasyarakatan dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. untuk menyipkan para santrinya menjadi pendamping masyarakat yang berwawasan kebangsaan yang plural. Tujuan : Membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan kebangsaan, dan kemasyarakatan. Dari landasan visi, misi, dan tujuan inilah. Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan salah satu lembaga pendidikan islam yang dijadikan sebuah pusat kumparan dalam mengeluarkan sebuah gagasan dan menentukan sebuah kebijakan dalam membatu kinerja dari pemerintahan dalam menghadapi sebuah problem yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang diadakan di pesantren ini yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersama antara pemuka agama, elemen masyarakat, dan lembaga islam maupun non muslim yang bertujuan untuk kepentingan bersama dalam memecahkan problem yang terjadi dimasyarakat. Sehingga banyak komunitas yang di dirikan dari lewat pesantren ini, seperti FORGED, SOBAT, SOBAT MUDA, KBKS dan lain-lain. Yang merupakan sebuah komunitas yang tidak membedakan sebuah perbedaan dari segi jenis laki-laki, perempuan, agama, etnis, suku, kebudayaan dan lain-lain.
BAB IV ANALISA PESANTREN BERWAWASAN MULTIKULTURALISME DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO.
A. Analisa pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Manco. Pondok pesantren edi mancoro dari semenjak awal berdirinya sampai dengan sekarang
masih terlihat kokoh. Sebagai lembaga
pendidikan
memegang
yang
masih
sebuh
prinsip
metodologi
“”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa akhdzu bil jadiidil aslah”( Munir, 1998 ; 153) yaitu, (memelihara tradisi-tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi-tradisi baru yang lebih baik). Dan juga sebagai lembaga pendidikan keagamaan ( tafaqquh fid din) sebagai peredam yang biasa mengendalikan kebiasaan-kebiasaan buruk masyarakat setempat. Santri dalam hal ini dalam pembelajarannya harus dapat berfikir secara kritis, bebas dan berwawasan luas dalam menjaga sebuah tradisitradisi yang sudah ada, dan harus bisa mengetahui serta menyikapi permasalahan-permasalahan yang berkembang di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat maupun perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat pada zaman sekarang ini. Menurut Arifin pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitarnya, dengan sistem asrama (pemondokan didalam komplek) di mana santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
153
sepenuhnya di bawah kedaulatan kepemimpinan seorang atau beberapa orang kyai (ulama) (Malik dkk, 2007 ; 8). Sedangkan menurut KH. Mahfudz Ridwan, LC Pondok Pesantren adalah pesantren tanpa dinding, yang menolak batas-batas, batas agama sekalipun, yang dijadikan tempat bertukar gagasan dan beraktivitas banyak orang yang datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, bergaulannya yang dikelola oleh
visi yang sama, untuk menghadapi
problematika yang terjadi dimasyarakat. Dari dua difinisi diatas mejelaskan sebuah gagasan mengenai pengertian dari pesantren yang menggambarkan tentang sebuah pesantren yang menghargai perbedaan dalam berbagai latar belakang. Pondok pesantren edi mancoro dalam pendidikanya menerapkan sebuah kurikulum yang berwawasan multikultural. Dengan sebuah landasan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Allah SWT dalam bentuk beragam (plural). Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur, (budaya), isme (paham/aliran). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-masing yang unik (Choirul, 2006 ; 75). Menurut Irwan,
multikulturalisme adalah sebuah pemahaman
yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.
154
Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah keseteraan budaya (Choirul, 2006 ; 90). Sebagaimana yang dikatakan Gus Dur, kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan yang majemuk atau pluralistik. Dari dasar pengertian ini dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan atau latar belakang siswa. (Suwito, 2005 ; 25). Dari
beberapa
pengertian
diatas
menjelaskan
bahwa
multikulturalisme adalah sebuah faham yang menekankan kesederajatan dalam perbedaan-perbedaan kebudayaan atau latar belakang seseorang untuk saling menghargai dan toleran. Dari konsep inilah pondok pesantren edi mancoro dalam memberikan pengajaran kepada peserta didiknya untuk bisa saling mengharagai den toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang sudah menjadi sunatullah. Dimana santri harus bisa memahim dan mengaplikasikan nilai-nilai multikulturalisme yang sudah di pelajari dalam kehidupanya. Diantaranya. Memahami tentang kemajemukan (pluralisme), persamaan, toleransi, dan kemanusiaan. 1. Pluralisme (kemajemukan) Yang dimaskud dengan kemajemukan (pluralisme) adalah semua yang diciptakan oleh Allah swt dialam semesta ini dalam bentuk beragam. Yang sudah menjadi sunatullah, bahwa dalam islam sendiri mengajarkan bahawa perbedaan itu akan membawa rahmat
155
bagi umatnya kepaada seluruh alam. Artinya santri dalam hal ini harus menyadari dan mengakui bahawa semua yang diciptkan oleh Allah SWT dalam bentuk yang berbeda. Yang bertujuan agar manusia berlomba-lomba menunjukan usaha dan pengapdian terbaik (fastabqul al Khairat) kepada Tuhan-Nya di dunia yang plural dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan saling memahami (Anshori, 2010 ;149). 2. Kesetaraan/persamaan . Yang dimaksud dalam persamaan di sini adalah bahwa semua apa yang diciptkan oleh Allah SWT yang dalam bentuk plural bersumber dari satu sang pencipta yaitu Allah SWT. Misalnya allah menciptkan kitab-kitab sebelum Al-Quran di turunkan kepada nabi muhammad adalah datang dari tuhan yang sama, dan Al-Qura’an merupaka wahyu tuhan terakhir yang bersifat penyempurna wahyuwahyu sebelumnya (Anshori, 2010 ;151). 3. Toleransi. Toleransi secara ettimologi kata toleransi berasal dari bahasa Belanda, “tolerantie”,yang kata kerjanya adalah “toleran”. Atau berasal dari bahasa inggris”toleration”, yang kata kerjanya adalah “tolerate” . Atau berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti menahan diri, sabar, membiarkan orang lain, dan berhati lapang terhadap pendapat yang berbeda. Dalam kamus bahasa Indonesia
156
berarti bersikap menghargai pendirian yang berbeda dengan pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut dengan istilah tasamuh, yang artinya sikap membiarkan. Jadi, toleransi (tasamuh) adalah menghargai dan menghormati keyakinan atau kepercayaan atau budaya dan kultur seorang atau kelompok lain dengan sabar dan sadar. Yang perlu dicatat adalah toleransi tidak berarti ikut membenarkan keyakinan atau kepercayaan orang lain, tetapi lebih pada menghargai dan menghoramati hak asasi yang berbeda. Penerapan toleransi ini sudah di contohkan oleh nabi Muhammad ketika melakukan hijrah dari makkah ke madinah. 4. Kemanusian Bahwa Allah swt menciptakan manusia didunia ini secara sama dan nilai-nilai kemanusiaannya dijamin oleh Allah, yakni melindungi kehormatan, nyawa, dan harta benda manusia. Dalam sejarah islam disebutkan bahwa rosul muhammad memberikan khutbah di hadapa sekitar 15.000 orang islam di Makkah. Yang menarik dalam khotbah tersebut adalah rosul menyeru kepada umat manusia dengan menggunakan uslub nida ”ayyuhan an-nas” / wahai manusia bukan umat muslim saja. Dalam khotbah tersebut nabi muhammad mengatakan bahwa semua manusia tanpa memandang agama, suku, atribut porimordial lain, diciptakan Allah sebagai makhluk dengan derajat yang paling tinggi dan barang-barang milik manusia diberikan sebagai penunjang hidup. Oleh
157
karana semua manusia merupakan ciptaan tuhan, maka pembunuhan, gangguan, atau perusakan terhadap manusia dan harta miliknya merupakan penghinaan terhadap pencipta mereka. Oleh karena itu membunuh orang kristen pada dasarnya juga membunuh orang muslim karena pencipta mereka adalah sama. Bahkan membakar gerja/ Al-Kitab sama saja membakar masjid/Al-Qur’an. Karana semua itu merupakam pemberian dari tuhan untuk mendukung kehidupan manusia. Bahkan dalam ayat lain dengan tegas diibaratkan bahwa membunuh satu manusia saja yang tidak berdosa bagaikan membunuh manusia seluruh manusia di muka bumi ini. (QS.Al-Maidah : 32) Allah juga memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat baik (menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan) dan bertindak adil kepada mereka, sepanjang mereka tidak melakukan penyerangan dan pengusiaran. Dari hal ini lah Pesantren Edi Mancoro berani membuka diri dalam mempertahankan tradidi-tradidi pesantren yang ada, dengan menerima sebuh kenyataan yang ada. Yaitu banyaknya agama non muslim yang tertarik untuk mendalami atau hanya mengetahui tentang ajaran-ajaran islam di pondok pesantren. Dari realita inilah Pondok Pesantren Edi Mancoro menerapkan nilai-nilai multikulturalisme konsep pengajaran dan pembelajara ilmu-ilmu agama yang mendalam dan ilmu umum yang berwawasan kebangsaan dan kemasyarakat dalam proses pendidikanya. yang dijadikan sebuah landasan visi, misi dan tujuan dari pesantren ini didirikan.
158
Visi : Menyiapkan santri menjadi pendamping atau pelayan masyarakat/umat (khadimil umat). Misi : Dengan membentuk santri yang mempunyai wawasan keagamaan mendalam, berwawasan kebangsaan, dan kemasyarakatan dalam konteks ke-Indonesiaan yang plural. Serta membentuk santri yang peduli dan berkemampuan melakukan pendampingan masyarakat secara luas. untuk menyipkan para santrinya menjadi pendamping masyarakat yang berwawasan kebangsaan yang plural. Tujuan : Membina santri memiliki keilmuan baik keagamaan maupun keilmuan kebangsaan, dan kemasyarakatan. Dari landasan visi, misi, dan tujuan inilah. Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan salah satu lembaga pendidikan islam yang dijadikan sebuah pusat kumparan dalam mengeluarkan sebuah gagasan dan menentukan sebuah kebijakan dalam membatu kinerja dari pemerintahan dalam menghadapi sebuah problem yang dihadapi oleh masyarakat. Sehingga banyak kegiatan-kegiatan yang diadakan di pesantren ini yang menghasilkan sebuah kesepakatan bersama antara pemuka agama, elemen masyarakat, dan lembaga islam maupun non muslim yang bertujuan untuk kepentingan
bersama
dalam
memecahkan
problem
yang
terjadi
dimasyarakat. Sehingga banyak komunitas yang di dirikan dari lewat pesantren ini, seperti FORGED, SOBAT, SOBAT MUDA, KBKS dan lain-lain. Yang merupakan sebuah komunitas yang tidak membedakan
159
sebuah perbedaan dari segi jenis laki-laki, perempuan, agama, etnis, suku, kebudayaan dan lain-lain. B. Analisa dampak pendidikan berwawasan multikulturalisme di Pondok Pesantren Edi Mancoro, baik dampak internal maupun eksternal. Dengan melihat sistem pendidikan yang diterpka di pesantren edi macoro, membawa sebuah dampak angin segar di dunia pendidikan pesantren di indonesia pada saat ini. Dengan menerapkan sebuah konsep pendidikan
pesantren
berwawasan
multikulturalisme,
gambaran mengenai konsep pendidikan yang pengasuh
dan
ustadznya
mengandung
memberikan
sudah diajarkan oleh
sebuah
konsep
nilai-nilai
pendidikan multikulturalisme. Yaitu dalam kehidupanya di pesantren para santri menerima pengajaran dengan sebuah kondisi realita kehidupan dipesantren yang sangat mejemuk (plural). adanya persamaan, rasa toleransi (kebebasan), dan rasa kemanusian antara santri, ustadz dan pengasuh pesantren pada umumnya. Pondok pesantren edi mancoro dalam menerapkan pengajaran dan pembelajaran berwawasan multikulturalisme dalam pendidiknya kepada semua santri yang belajar di pesantren ini. Hal ini membawa sebuh dampak yang positif di tinjau dari segi internal dan eksternal pesantren ini dalam segi penerapanya dalam proses pembelajaran, diantaranya :
160
1. Internal. a. Mempertahankan nilai-nilai kebudaya pesantren dengan sebuah prinsip metodologis
”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa
akhdzu bil jadiidil aslah”(memelihara tradisi tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi tradisi baru yang lebih baik) b. Timbulnya rasa saling menghargai (toleranasi) antara santri dengan dangan santri lainnya, santri dengan para masyarakat disekitar maupun dengan orang yang melakukan kunjungan di pesantren baik sesama santri atau non muslim. c. Terbiasa untuk hidup bersama, terbiasa untuk mengerjakan hal hal yang bernilai mulia, seperti menghargai antara sesama santri sendiri (toleransi/tasâmuh), tawasuth (berada di tengah atau moderasi), tawazun (seimbang menjaga keseimbangan), adalah (keadilan), dan terakhir tasyawur (musyawarah). d. Terbentuknya sikap disiplin para santri dalam kehidupannya. dengan para santri yang lain. e. Membantu para santri dalam menambah wacana, pengalaman atau ilmu pengetahuan. f. Menumbuhkan kepekaan santri dalam menganalisa dan cara berfikir dalam kondisi masyarakat.
161
2. Eksternal. a. Dapat mengetahui dan mempelajari berbagai realita sosial budaya yang plural yang ada dimasyarakat. Sehingga santri dapat menganalisa dan berfikir dengan melihat realita yang ada. b. Tumbuhnya rasa saling menghargai dan menghormati antara santri dengan non islam. c. Tumbuhnya suka menolong kepada orang lain. Seperti membantu orang orang lemah yang membutuhkan bantuan (Khadimil ummah). d. Menumbuhkan sikap saling toleransi antara sesama mahluk ciptaan Allah SWT. e. Tumbuhnya
solidaritas dalam rangka memperkuat rasa
nasionalisme yang setara (baik antarsuku, agama, atau golongan). f. Menimbulkan rasa nyaman bagi santri dalam menuntut ilmu di pesantren bersama dengan masyarakat Dari hal ini lah Pesantren Edi Mancoro berani membuka diri dalam mempertahankan tradidi-tradidi pesantren yang ada, dengan menerima sebuh kenyataan yang ada. Yaitu banyaknya agama non muslim yang tertarik untuk mendalami atau hanya mengetahui tentang ajaran-ajaran islam di pondok pesantren. Dari realita inilah Pondok Pesantren Edi Mancoro menerapkan nilai-nilai multikulturalisme dalam konsep pengajaran
162
dan pembelajara ilmu-ilmu agama yang mendalam dan ilmu umum yang berwawasan kebangsaan dan kemasyarakat dalam proses pendidikanya
163
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, sebagaimana yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan dalam tulisan penelitian ini sebagai berikut : 1. Pondok Pesantren Edi Mancoro merupakan pondok pesantren yang mampu membuka diri dalam menyiapkan seorang pendamping umat (khadimil immah) dalam menghadapi realita-realita yang ada di masyarakat. Disisi lain juga Pondok pesantren ini masih memegang teguh nilai tradisi-tradisi pesantren sebagai identitas pesantren salafiyah. Dengan sebuah prinsip metodologis “”Muhaafadlatu ’ala qaadimis saalih wa akhdzu bil jadiidil aslah” yaitu, (memelihara tradisi-tradisi lama yang baik, dan tidak meninggalkan tradisi-tradisi baru yang lebih baik). Dari hal inilah, Pondok Pesantren Edi Mancoro dalam pendidikan yang diterapkan
membawa
sebuah
konsep
pesantren
berwawasan
multikulturalisme. Yang merupakan sebuah konsep pendidikan pesantren yang memberikan wawasan mendalam dan intens dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi-tradisi pesantren yang sudah ada dengan menerapkan kurikulum yang berbeda, yaitu pesantren berwawasan multukulturalisme. Sebuah kurikulum pendidikan yang
164
dalam penerapanya dalam
agama
nilai-nilai multikultural yang sudah diajarkan
islam
dipesantren,
diantaranya
;
Pluralismr,
kesetaraan/persaman, kemanusiaan, toleransi, keadilan dan lain-lain, dalam pengajaran dan pembelajarannya kepada peserta didiknya. Karena agama islam itu sendiri mengandung nilai-nilai multikultural yang membawa sebuah ajaran-ajaran cinta damai dalam keberagaman. 2. Dengan kurikulmu pesantren yang menerapkan nilai-nilai multikultural dalam duni pendidikan islam. Menimbulkan dampak positif bagi pendidikan islam di Indonesia khususnya pondok pesantren. Bahwa, Pondok pesantren edi mancoro mampu menjawab problem atau permasalah realita yang ada di masyarakat dengan menyiapka seorang santri sebagai pendamping masyarakat yang berwawasan kebangsaan dan kemasyarakatan. Dari sinilah pondok pesantren pesantren edi mancoro memberikan angin segar serta warna baru dalam pendidikan islam di indonesia. Dengan sebuh konsep kurikulum alternatif
yaitu : pesantren berwawasan
multikulturalisme dalam dunia pendidikan pesantren. B. SARAN. Sebagai peneliti, kami
mengajukan saran
membangungun. Semoga bisa menjadi bahan refleksi
yang bersifat bagi semua
kalangan akademisi di pondok pesantren edi mancoro: 1. Untuk Pondok Pesantren Edi Mancoroagar selalu mempertahankan model pesantren berwawasan multikulturalisme, karena ini merupakan
165
ciri khas pesantren dan kelebihan pesantren dalam mempelajari ilmu pengetahuan. 2. Stakeholder dilibatkan dalam memajukan pesantren . 3. Pesantren selalu konsisten dengan melakukan refleksi dan evaluasi untuk kemajuan pesantren secara terus menerus tanpa harus meninggalkan yang lama yang baik. 4. Pesantren sebagai warisan budaya asli Indonesia agar bisa selalu uptudate dalam mengkaji keilmuan agar tidak ketinggalan zaman. 5. Yang terahir penulis berharap, sekecil dan sederhana apapun kajian ini dapat bermanfaat bagi para pemerhati pesantren dan pendidikan secara umum. C. PENUTUP. Rasa syukur penulis, dengan ucapan alhamdulillah, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, akhirnya tugas akhir ini telah selesai penulis buat dan susun. Serta dengan iringan shalawat nabi Muhammad serta salam, yang memberikan pengajaran sebuah pentingnya ilmu pengetahuan semenjak zaman jahiliyah hingga muncullah berbagai macam ilmu pengetahuan yang beragam, yang nantinya mendapatkan syafaatnya di yaumul kiyamah. Dalam penulisan sekripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam membuat dan menyusun skripsi ini untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan dan 166
pengalaman yang di miliki oleh penulis. Oleh karena itu, sarana dan masukan dari para pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan dalam membuat dan menyesun sekripsi ini. Dan besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang banyak. Amin. Wallahulmuafiq ilaa aqwamith thoriiq,
167
DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la. 2006. Pembahuruan. Pesantren, Pustaka Pesantren : Yokyakarta. Anshori LAL Dr. H, MA. 2010.Transformasi Pendidikan islam. Jakarta: Gaaung Persada Perss tahun Aqiel Siradj dkk. 1999. Pesantren masa depan : wacana pemberdayaan dan transformasi pesantren : Bandung : Pustaka Hidayah. Ar-Rifa’I Muhammad Nasib. 2000. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid Tiga : Jakarta : Gema Insani. Arikunto, Suharismi. 1990. Manajemen Penelitian : Jakarta: Rineka Cipta, Arikunto, Suharismi, 1993. Prosedur Penelitian : Yokyakarta Renika Cipta, Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Erlangga Burhani MS. Kamus Ilmiah Popular : Jombang : Lintas Media Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan islam dalam sistem pendidikan nasional indonesia : Jakarta : Prenada Media. Depatemen Agama RI. 2004. Profil Pondok Pesantren Mu’adalah : Jakarta : Departemen Agama RI. Depatemen Agama RI. 2003. Pola Pembelajaran di Pesantren : Jakarta : Departemen Agama RI.
168
Depatemen Agama RI. 2005. Pembekuan Sarana Pendidikan Penytelenggaraan Peogram Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Pada Pondok Pesantren Salafiyah Tingkat Ulya : Jakarta : Departemen Agama RI, Dhofer, Zamakhsyari, Tradisi pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S Jakarta, 1984. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid XII. 1990 : PT Cipta Adi Pustaka, Hadi, Sutruisno. 1989 Metodologi Research, : Yogyakarta : Gajah Mada Press Lintang Panjer Sore. 2000. Profil Pondok Pesantren Edi Mancoro : Lintang Panjer Sore Mettew B, Miles, dan Hubermen A Michael. 2009. Analisa Data Kualitatif : Jakarta : UI Press. Moleong, Lexy J Prof Dr. MA, Metodologi Penelitian Kualitatif,: Bandung, : PT Remaja Rosda Karya, Machasin dkk. 2005. Pluralisme konflik dan pendidikan agam di Indonesia : Yogyakarta : institute IAIN Mahfud, Choirul. 2006 Pendidikan Multikultural. Yokyakarta : Pustaka Pelajar. Mahmud, Arif. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yokyakarta : Lkis. Muhtarom H.M Dr. H. 2005. Reproduksi Ulama’ di Era Globalisasi Resistensi Tradisional Islam. Yokyakarta : Pustaka Pelajar. Muhkam, Abdul Munir. 2003. Moral Politik Santri : Agama dan pembelaan kaum tertindas. Jakarta : Erlangga.
169
Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara, Purwodarminta W.J.S. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Qomar, Mujamil Prof. Dr, M.Ag, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi institusi : Erlangga Suwito, MA Prof. Dr. 2005 Sejarah Sosial Pendidikan Islam Jakarta,. Pranada Media. Soegarda. Poerbakawatja Prof. Dr. 1981, Psikologi Pendidikan, Saleh, Taufikurrahman. 2009. Membangun Pendidikan Indonesia Reformasi Pendidikan Menuju Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan Jakarta :. Penerbit Lembaga Pers dan Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. Tabloid Pondok Pesantren Edisi Kedua. 2009. Pramuka Santri Yang Semakin Menggigit, Tangerang : LekDis Nusantara. Tabloid Pondok Pesantren Edisi Ketiga. 2009. Masa Depan Pesantren Salafiyah, Tangerang : LekDis Nusantara. Tuanaya, Malik M Thaha dkk. 2007. Modernisasi Pesantren, Jakarta : Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama. Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural Cultur Understanding untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta.: Pilar Media.
170