PERWUJUDAN TEKSTIL TRADISIONAL DI INDONESIA: Kajian Makna Simbolik Ragam Hias Batik yang Bernafaskan Islam pada Etnik Melayu, Sunda, Jawa dan Madura
ABSTRAK DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang ilmu Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung Dipertahankan pada Sidang Terbuka Komisi Program Doktor Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung Tanggal 9 September 2000
Oleh : Nanang Rizali
Promotor Ko-promotor
: Prof H. Yusuf Affendi : Prof Dr. Primadi Tabrani Dr. H. A. Subarna
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2000
ABSTRAK Suatu kebudayaan selalu mengalami perubahan dan perkembangan dari masa ke masa, sehingga kebudayaan bersifat dinamis. Pada dasarnya memahami dinamika kebudayaan berarti juga mendalami masalah makna, nilai, dan simbol yang dijadikan acuan oleh suatu komunitas pendukungnya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap berharga, sedangkan simbol selain memiliki fungsi tertentu juga dapat dimanfaatkan sebagai identitas komunitas. Suatu simbol memerankan fungsi ganda, yaitu transenden-vertikal yang berhubungan dengan acuan, ukuran, dan pola masyarakat dalam bertindak. Di samping imanen-horizontal, yaitu sebagai wahana komunikasi sesuai konteksnya, dan perekat solidaritas masyarakat. Sifat dan fungsi dari hubungan tersebut membuka peluang untuk berbagai penafsiran atas makna yang melekat pada simbol masyarakat etnik di Indonesia. Ketika Islam berkembang, perwujudan unsur-unsur ragam hias tekstilnya hampir tidak berbeda hanya dalam mengungkapkan makna, dan penggambarannya disesuaikan dengan nilai-nilai Islami. Karena menurut pandangan Islam, simbol merupakan suatu penandaan dan pengakuan akan keagungan Allah Yang Maha - Pencipta dan kemahaesaanNya. Dengan demikian penelitian ini mencoba memperhatikan; bagaimana perwujudan ragam hias tekstil tradisional pada masyarakat etnik yang beragama Islam, dan bagaimana nilai-nilai Islami terwujud. dalam ragam hias batik tradisional, serta kaitannya dengan makna simboliknya. Berhubung makna yang terkandung dari hubungan antara nilai-nilai ajaran Islam dan nilai estetis mengandung dimensi simbolisasi yang bersifat subjektif, maka pemahaman terhadap fenomena tersebut dapat dipahami dengan pendekatan interdisiplin dan metode kualitatif. Metode ini akan memberikan pemahaman secara menyeluruh, mendalam dan interpretatif. Dengan demikian dapat dipahami wujud fisik, perilaku, dan gagasan (sistem nilai) sebagai satu kesatuan yang akan memberi kemungkinan pengkajian terhadap proses pemahaman, dan simbolisasi. Untuk memahami gejala-gejala tersebut diperlukan penyajian data deskriptif. Sejak masa prasejarah bangsa Indonesia telah memiliki kepercayaan terhadap roh dan tenaga gaib, yaitu animisme-dinamisme. Adat istiadat sebagai `pusaka rohani' yang diterima dari nenek moyang, dan sifat dualisme yang dwitunggal telah meresapi pikiran dan falsafah hidup masyarakatnya. Pada masa Hindu kepercayaan tersebut bertemu dan melebur ke dalam sistem dewa-dewa dan kekuatan sakti. Kemudian berinteraksi sosial dengan sistem keturunan dan kedudukan hiararki seseorang, sehingga membentuk susunan masyarakat yang bertingkat. Proses interaksi budaya, sosial, dan
simbolik telah melatarbelakangi penciptaan tekstil tradisional termasuk dalam pemakaiannya. Seperti kain batik yang berkembang di lingkungan keraton cenderung terikat dengan norma dan aturan yang disepakati bersama, misalnya kain paring rusak barong. Hadirnya ajaran Islam di Nusantara memperkenalkan suatu pandangan refgius-monoteistis yang menjadi kekuatan pembebasan spiritual terhadap bentuk ketahyulan dan kemusyrikan. Oleh karena itu dalam setiap proses penciptaan karya tekstil khususnya batik senantiasa dilandasi oleh konsepsi tauhid sebagai muara dari nilai-nilai seperti niat, gonaat, tawadhu, tawaqal, akhlaq dan aqidah. Karya-karya tersebut diungkapkan atas dasar manfaat untuk kesejahteraan (salam) seluruh umat manusia. Unsur-unsur ragam hias pra Islam ternyata dalam perkembangannya tampak tidak bertentangan dengan nilai dan nafas keislaman. Bahkan di dalamnya dipandang tercermin dimensi kalimat syahadat yang selalu bersatu dalam langkah kehidupan setiap perajin muslim, yaitu hablum-minallah, dan hablum-minannas. Pada batik tradisional yang bernafaskan Islam terkandung makna simbolik berupa ungkapan dzikir dan rasa syukur hasil perpaduan bentuk simbol konstruktif, evaluatif, kognitif dan ekspresif. Di samping mengandung makna filosofis kesaksian La ilahaillallah, Muhammadan rasul Allah dengan muatan kebenaran, kebaikan dan keindahan. Konsepsi tauhid, aqidah dan akhlaq telah menjadi penyempurna, dan pengarah bagi nilai-nilai positif sistem tradisi budaya Nusantara. Para perajin muslim Nusantara menjadi pewaris untuk meneruskan tradisi pembatikan pra Islam dengan menghidupkan kembali kekuatan keindahan, dan spiritualitas Islam. Namun tidak kehilangan ciri khas masing-masing tradisi budaya lokalnya. Berdasarkan temuan di lima kota pembatikan: Jambi, Cirebon, Pekalongan, Tuban. Bangkalan (Tanjungbumi) terbukti dalam latar belakang penciptaan batiknya mengakomodasi nilai tradisi budaya local dan nilai-nilai Islami. Seperti dalam tujuan penciptaannya di samping meneruskan tradisi budaya setempat juga melengkapi dengan niat untuk mencapai ridho Allah. Dalam konsep gagasan estetik selain memahami alam semesta juga melakukan gira'ah Al-Qur'an, sehingga berkembang unsur Ayatullah. Pada proses penciptaan, tidak sekedar proses kreatif dan kepekaan batin tetapi juga merupakan proses ibadah, disiplin rohani dan proses tazkiyah. Batik tradisional sebagai karya budaya tidak hanya fungsional, rumit dan halus, tetapi juga sebagai rakhmatan lil alamien. Ragam hiasnya cenderung mengembangkan unsur-unsur bahasa rupa pra Islam yang sesuai, senafas, dan selaras dengan nilai-nilai Islami. Batik tradisional yang bernafaskan Islam menyampaikan pesan spiritual, dan esensial Islam melalui bahasa rupa dengan kelugasan simbolismenya. Unsur-unsur keislaman menyatu dalam batik
tradisional Indonesia, sehingga memberikan makna filosofis dan sinmbolis yang khas. Kaligrafi memiliki makna tentang bentuk sifat Tuhan, dan kedudukan Sang Pencipta sebagai Akhli Kitab Yang Suci. Geometris merupakan pola yang tetap, teratur, dan pasti sebagai penggambaran alam semesta. Flora bermakna satu perubahan dan pertumbuhan dari kehidupan sebuah taman surgawi. Alam benda mempunyai makna yang mengindikasikan Keesaan Tuhan yang hadir di mana-mana, dan segalanya berada di atas kuasaNya. Dalam hal keberagaman warna batik bermakna suatu perkembangan dari kuasa Tuhan sebagai sumber hidup berupa sinar, atau cahaya. Batik tradisional telah mematuhi dan serasi dengan sunnatullah dengan karakteristik efek keindahan, yaitu keseimbangan, keharmonisan dan keserasian alam semesta.
KESIMPULAN (KHUSUS) 1. Ragam bias (dan warna) merupakan unsur penting dalam perwujudan tekstil tradisional Indonesia sebagai cerminan latar belakang budaya, dan adat masing-masing etnik. Pada masyarakat muslim cenderung mengikuti norma keislaman, dan nilai-nilai Islam terwujud dalam batik tradisional secara kasat mata (spirit, roh, nafas) sebagai perpaduan keserasian bentuk estetik tradisi lokal dengan konsepsi spiritual, dan inti ajaran Islam. 2. Perwujudan batik tradisional pra Islam di Jambi, Cirebon, Pekalongan, Tuban, dan Bangkalan
(Tanjungbumi)
tidak/kurang
mengandung
unsur
perlambangan
yang
berhubungan dengan kepercayaan. Ragam hiasnya seringkali menghadirkan bentuk yang ada di lingkungannya sebagai hiasan semata dengan makna simbolik yang disesuaikan dengan bentuknya. 3. Dasar pemikiran batik tradisional yang bernafaskan Islam di samping mengakomodasi nilai tradisi budaya lokal juga dilengkapi dengan niat ibadah memahami alam semesta, qira'ah Al-Qur'an, dan keikhlasan pengabdian kepada Allah. Misalnya dengan ditemukannya ragam hias kaligrafi Al-qur'an pada batik Jambi, dan Cirebon. 4. Perwujudan batik tradisional yang bernafaskan Islam merupakan ekspresi syukur, dan dzikir sebagai rakhmatan lil alamien (memberi manfaat bagi seluruh alam dan isinya). Ragam hiasnya meneruskan tradisi pra Islam yang sesuai, selaras dengan nilai-nilai Islami (Sunnatullah), umumnya terdapat di lima kota pembatikan. Warnanya beranekaragam (plongi, barna'an), seperti terdapat di Pekalongan dan Tanjungbumi. Tekniknya batik tulis, dan cap yang berfungsi untuk sinjang, selendang, sarung, ikat kepala, hiasan dan lain sebagainya. 5. Berdasarkan temuan di lima kota pembatikan terdapat tiga kreteria makna simbolik batik tradisional yang bernafaskan Islam, yaitu: • Makna simbolik yang baru: ragam hias kaligrafi Al-Qur'an yang bermakna kesaksian (Jambi), dan kemenangan (Cirebon). • Makna simbolik yang tetap: sebagian besar ragam hias di lima kota pembatikan • Makna simbolik yang berubah: ragam hias bunga yang bermakna pucuk rebung menjadi keteraturan (Jambi), ragam bias tumpal bermakna trisula menjadi ketajaman (Cirebon), dan ragam hias tambal yang bermakna penolak bala menjadi jagat raya (Pekalongan).
6. Batik tradisional yang bernafaskan Islam merupakan warisan tradisi pra Islam yang perwujudannya selaras, dan senafas dengan nilai-nilai Islami cenderung berkembang pada masyarakat etnik yang beragama Islam. Adanya penyerapan nilai-nilai Islami terhadap tradisi budaya lokal di lima kota pembatikan memberi peluang dengan pemahaman baru yang khas. 7. Secara khusus pemahaman baru ragam hias batik tradisional yang khas senafas dan selaras dengan sistem nilai Islami di antaranya sebagai berikut: • Ragam hias kaligrafi Arab (Al-Qur'an) merupakan bentuk sifat Tuhan sebagai Sang Pencipta Akhli Kitab Yang Suci. • Ragam bias geometrik merupakan pola teratur, tetap dan pasti dari alam semesta • Ragam hias flora merupakan pertumbuhan dan perubahan dari kehidupan taman surgawi. • Ragam bias alam benda merupakan indikasi keesaan Tuhan yang hadir di mana-mana, segala berada di atas kuasa dan ketidakterhinggaan Nya. • Aneka warna merupakan perkembangan dari kuasa Tuhan sebagai sumber hidup berupa sinar atau cahaya.