i
PERUBAHAN SOSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN MASYARAKAT TRANSMIGRAN (Studi Kasus Masyarakat Transmigran Desa Suka Makmur Kecamatan Marga Sakti Sebelat Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)
ADE FEBRYANTI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Transmigran (Studi Kasus Masyarakat Transmigran Desa Suka Makmur Kecamatan Marga Sakti Sebelat Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari dosen pembimbing serta belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Ade Febryanti NIM. I34120144
iii
ABSTRAK ADE FEBRYANTI. Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Transmigran (Studi Kasus Masyarakat Transmigran Desa Suka Makmur Kecamatan Marga Sakti Sebelat Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu). Di bawah bimbingan RILUS A. KINSENG. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan sosial masyarakat transmigran. Program transmigrasi telah memindahkan masyarakat dari yang tidak memiliki lahan menjadi memiliki lahan sebanyak 2 hektar. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisa menggunakan data primer dan data sekunder yang relevan dengan topik skripsi. Hasil uji regresi mengungkapkan bahwa faktor yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan adalah luas lahan dengan signifikasi sebesar (0,000<0,05). Penyebab terjadinya perubahan pada masyarakat transmigran adalah bertambahnya jumlah penduduk, masuknya perusahaan, dan perubahan komoditi pertanian dari bertani palawija menjadi perkebunan. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani masyarakat transmigran adalah harga, pengolahan hasil, dan keuletan dalam bekerja. Kata kunci: masyarakat transmigran, pendapatan, rumah tangga petani
ABSTRACT ADE FEBRYANTI. Social Change and factors that influence the income of transmigrant society (Case Study at Transmigrant Society Suka Makmur Village, Marga Sakti Sebelat Sub District, Bengkulu Utara District, Bengkulu Province). Supervise by RILUS A. KINSENG. Change happens in every society. This research was conducted to look at the social change in he society. Transmigration program has changed the society that previously don’t have any land becoming a society that has 2 hectare land. The method in this thesis is analysis method using primary and secondary data that is relevant with the topic of thesis. The results of the regression test show that the factor that has real impact on farmer’s income is land’s width with significant value of (0.000<0.05). The causes of the change in the transmigrant society are the increasing number of population, the company’s infiltration, and the change of commodities agriculture from secondary crops farming into plantation. Therefore, others factor that influence farmer’s income transmigrant society are the price, output processing, and the tenacity in working. Key words : farmer’s household, income, transmigrant society
iv
PERUBAHAN SOSIAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN MASYARAKAT TRANSMIGRAN
ADE FEBRYANTI I34120144
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
KATA PENGANTAR
C C V V
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Transmigran (Studi Kasus Masyarakat Transmigran Desa Suka Makmur Kecamatan Marga Sakti Sebelat Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu)”. Tulisan ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan pengambilan data dan skripsi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr Ir Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan mulai dari proses studi pustaka, penelitian hingga penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr Ir Saharrudin, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan kritik membangun untuk skripsi ini. 3. Ibu Ir Siti Sugiah M. Mugniesyah, MS selaku dosen penguji akademik yang telah memberikan saran dan kritik membangun untuk skripsi ini. 4. Ibu Sukris Wati dan Bapak Rukiyanto orang tua tercinta yang senantiasa memberikan dukungan baik materi maupun non materi. 5. Adik tercinta Benny Aji Sukma yang selalu berdoa untuk kelancaran dan kemudahan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Pemerintah Desa Suka Makmur, Kecamatan Marga Sakti Sebelat, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu yang telah memberikan izin penelitian selama di desa. 7. Responden dan informan yang telah memberikan informasi kepada penulis. 8. Sahabatku tercinta Fenny, Eka, Hani, dan Nabilah yang selalu memberikan semangat dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 9. Sahabat Bateng 23 Teni, Rahmah, Tian, Karimah, Soraya, Sari dan Nur Syahidah yang selalu memberikan semangat dan doa untuk penulis. 10. Keluarga SKPM Angkatan 49 yang selalu memberikan semangat dan doanya untuk penulis. Sukses untuk kita semua. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga, skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menjadi inspirasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
Bogor, Juni 2016
Ade Febryanti
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Transmigrasi Perubahan Sosial Kepemilikan Lahan Jenis Mata Pencaharian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Penentuan Responden dan Informan Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Desa Suka Makmur Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sejarah Desa Suka Makmur PROFIL RUMAH TANGGA TRANSMIGRAN PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Jenis-Jenis Mata Pencaharian PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Tingkat Kepemilikan Lahan PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Tingkat Pendapatan FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
1 1 2 3 3 5 5 5 6 9 10 11 12 15 16 17 17 17 18 18 19 21 21 21 23 27 31 31 36 37 41 41 45 51 51 52 53 68
ii
iii
DAFTAR TABEL 1
Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis mata pencaharian
22
2
Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan
22
3
Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut luas lahan Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut jumlah tanggungan dalam keluarga Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan Jumlah dan persentase responden menurut pengalaman bertani Jumlah dan persentase responden menurut usia Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut tingkat pendapatan Jumlah dan persentase responden menurut kepemilikan lahan Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut asal mula kepemilikan lahan Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut luas lahan dan asal mula kepemilikan lahan Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut kepemilikan lahan dan rata-rata pendapatan Maret 2016 Rata-rata pendapatan rumah tangga transmigran di bawah garis kemiskinan Provinsi Bengkulu menurut luas lahan Maret 2016 Hasil analisis uji statistik regresi linear berganda
27
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
28 28 29 30 30 37 38 39 42 43 45
DAFTAR GAMBAR Hubungan antar peubah
14
DAFTAR LAMPIRAN 1
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016
58
2
Peta lokasi penelitian
59
3
Kerangka sampling dan responden
60
4 5 6
Uji Statistik Tulisan tematik Foto-foto penelitian
63 65 67
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia semakin meningkat sehingga menyebabkan terjadinya kepadatan penduduk yang berpusat di Pulau Jawa. Banyak permasalahan yang timbul akibat kepadatan penduduk, misalnya kemiskinan. Melihat hal tersebut, pemerintah menetapkan suatu kebijakan yang disebut transmigrasi. Pengertian transmigrasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 1, transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Tujuan transmigrasi merupakan salah satu upaya percepatan pembangunan kota-kota kecil terutama di luar Pulau Jawa untuk meningkatkan peranannya sebagai motor penggerak pembangunan daerah serta meningkatkan daya saing daerah yang masih rendah. Salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang menjadi sasaran transmigrasi adalah Provinsi Bengkulu. Laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bengkulu dari tahun ke tahun semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 melaporkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Bengkulu pada tahun 2000-2010 berjumlah 1.67% penduduk dan pada tahun 2010-2014 berjumlah 1.74% penduduk. Adapun salah satu desa yang menjadi sasaran transmigrasi adalah Desa Suka Makmur. Berdasarkan data RPJMDES (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) Desa Suka Makmur tahun 2015 menunjukkan bahwa Desa Suka Makmur terbentuk berawal dari kedatangan para transmigran dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pada tahun 1983 berjumlah 400 kepala keluarga melalui program transmigrasi umum. Transmigrasi umum adalah jenis transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan/atau pemerintah daerah bagi penduduk yang mengalami keterbatasan dalam mendapatkan peluang kerja dan usaha. Pada awalnya masyarakat transmigran relatif tidak memiliki lahan. Program transmigrasi telah memindahkan masyarakat dari masyarakat yang tidak memiliki lahan menjadi memiliki lahan sebanyak 2 hektar dengan pembagian sama, yakni 1 hektar lahan garapan, 0.75 hektar lahan belukar, dan 0.25 hektar lokasi tempat tinggal. Masyarakat transmigran juga mendapatkan kebutuhan pangan dan non pangan dari bantuan pemerintah. Mayoritas masyarakat transmigran berasal dari Jawa yang melakukan kegiatan pertanian palawija dengan sistem gotong royong. Hal tersebut menjadikan lahan yang diberikan untuk setiap rumah tangga transmigran ditanami palawija dan lahan kering ditanami tanaman hortikultura. Tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan sosial. Menurut Harper (1989) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial berdasarkan waktu. Blau’s (1998) menjelaskan bahwa ada dua jenis parameter strukural yakni parameter nominal dan parameter gradual. Parameter nominal membedakan anggota populasi dengan kategori diskrit, seperti gender, etnis, dan agama. Adapun parameter gradual membedakan anggota berdasarkan tingkatan, seperti pendapatan, usia, kekayaan, kekuasaan, status sosial ekonomi, dan prestise. Heterogenitas atau keragaman merupakan diferensiasi sosial
2
berdasarkan parameter nominal. Adapun kesenjangan sosial adalah diferensiasi berdasarkan parameter gradual yang dikenal stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Masyarakat transmigran berubah secara dinamis. Berdasarkan hasil penelitian Fitriani (2014) bahwa perubahan demi perubahan terjadi di kawasan transmigran dengan tujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Dampak positif perpindahan masyarakat Jawa ke Desa Kayuagung yaitu membantu pertambahan penduduk dan peningkatan dalam perekonomian. Untuk melihat keberhasilan dari program transmigrasi maka dilakukan penelitian dengan menggunakan beberapa faktor dari hasil penelitian sebelumnya terhadap tingkat pendapatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya ditemukan hasil berbeda di setiap lokasi penelitian mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil penelitian Susianti dan Rauf (2013) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani jagung manis adalah luas lahan, pupuk, benih, pestisida, tenaga kerja, umur petani, pendidikan formal, dan harga output berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Hasil penelitian Septianita (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam melakukan peremajaan tanaman karet terhadap pendapatan petani antara lain luas lahan yang digunakan, jumlah tenaga kerja, dan pengalaman dalam usaha tani karet. Perubahan sosial pada masyarakat transmigran yang kemudian menarik diteliti lebih lanjut untuk memahami proses perubahan sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatannya. Oleh karena itu, skripsi ini mengangkat judul “Perubahan Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Transmigran”.
Masalah Penelitian Masyarakat mengalami transisi atau perubahan dalam bentuk diferensiasi sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Keadaan ini juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan masyarakat terutama kehidupan sosial ekonomi mengalami perubahan baik penurunan dan peningkatan. Hal ini terlihat pada perubahan jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan masyarakat transmigran yang terdiferensiasi dalam berbagai golongan. Perubahan ini juga terjadi karena heterogenitas kepemilikan lahan yang berpengaruh terhadap pendapatan. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial pada masyarakat transmigran. Soekanto (1982), berpendapat bahwa faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial bersumber dari dalam masyarakat yakni: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentanganpertentangan dalam masyarakat baik individu maupun kelompok, terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat. Adapun faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat yakni: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hasil penelitian Yulianto (2010) menjelaskan bahwa setelah masuknya industri perkebunan kelapa sawit di tengah-tengah komunitas Orang Paser, basis stratifikasi mengalami perubahan. Strata yang menonjol pada era-industri yaitu berbasis previllage (hak istimewa atau khusus). Dasar penentuan pada basis ini yaitu berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Berdasarkan penelitian
3
Prambudi (2010) mengartikan perubahan mata pencaharian atau biasa disebut transformasi pekerjaan adalah pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan pokok yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumber daya yang tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat transmigran maka digunakan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan alasan tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana profil rumah tangga pada tingkat keluarga dan individu di masyarakat transmigran? 2. Bagaimana perubahan sosial yang terjadi di masyarakat transmigran? 3. Apa saja faktor-faktor pada tingkat keluarga dan individu yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga masyarakat transmigran?
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Adapun tujuan dari penelitian ini dilakukan antara lain sebagai berikut: Mengidentifikasi profil rumah tangga pada tingkat keluarga dan individu masyarakat transmigran. Menganalisis perubahan sosial yang terjadi di masyarakat transmigran. Menganalisis faktor-faktor pada tingkat keluarga dan individu yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga masyarakat transmigran.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk dapat menggambarkan secara jelas mengenai perubahan sosial masyarakat transmigran meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan rumah tangga transmigran di Desa Suka Makmur Kecamatan Marga Sakti Sebelat Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan baru di bidang akademisi dan institusi pemerintahan dalam permasalahan sosial di masyarakat transmigran terutama pada kepemilikan lahan rumah tangga petani masyarakat transmigran sehingga masyarakat dan pemerintah sebagai institusi berwenang dapat saling kerja sama menentukan kebijakan dengan tujuan meningkatkan kemajuan masyarakat.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Transmigrasi Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 1, menjelaskan pengertian transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan oleh pemerintah. Transmigran adalah warga negara Republik Indonesia yang berpindah secara sukarela ke kawasan transmigrasi. Kawasan transmigrasi adalah kawasan budidaya yang memiliki fungsi sebagai permukiman dan tempat usaha masyarakat dalam satu sistem pengembangan berupa wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. Transmigrasi umum adalah jenis transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah bagi penduduk yang mengalami keterbatasan dalam mendapatkan peluang kerja dan usaha. Transmigrasi merupakan alternatif penting dalam rangka memecahkan masalah kepadatan penduduk khususnya di Pulau Jawa. Program transmigrasi merupakan perencanaan untuk pembangunan daerah, baik untuk ruang lingkup pengembangan daerah kota maupun desa, arahnya ditentukan oleh kebijaksanaan sebagai hasil pertimbangan yang strategis dari potensi lingkungan dan kemampuan implementasi. Pelaksanaan program transmigrasi tidak dapat dipungkiri telah banyak membantu masyarakat kurang mampu di daerah asalnya menjadi masyarakat yang sudah agak berada di daerah transmigrasi, sekurang-kurangnya sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup seharihari tanpa bantuan atau tergantung kepada orang lain, atau tergantung kepada orang tua di daerah asalnya. Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 Pasal 32, menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi adalah sebagai berikut: (1) pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi diarahkan untuk mencapai kesejahteraan, kemandirian, integrasi transmigran dengan penduduk sekitar, dan kelestarian fungsi lingkungan secara berkelanjutan; (2) pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha sesuai dengan jenis transmigrasi dan pola usaha pokoknya; (3) pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi didasarkan pada potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya lainnya secara terpadu dengan berbagai sektor pembangunan lain dan pembangunan daerah serta berwawasan lingkungan. Reorientasi transmigrasi dalam pembangunan berbasis wilayah sebetulnya memposisikan kembali hakekat daripada pembangunan transmigrasi adalah pembangunan daerah melalui pembangunan pedesaan baru. Transmigrasi dengan segala dampak permasalahannya merupakan tantangan yang harus diatasi dalam rangka meningkatkan sumberdaya manusia. Berpindahnya kelompok transmigran dengan sistem budayanya ke daerah lain dengan kondisi fisik, sosial budaya yang berbeda menimbulkan masalah yang perlu dicermati. Masalah pokok yang dapat timbul dalam kaitannya dengan hal itu adalah masih banyaknya di antara mereka belum terangkat ke keadaan yang lebih baik.
6
Perubahan Sosial Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat juga dikarenakan terdiferensiasinya dalam berbagai golongan. Diferensiasi sosial di masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) menunjuk pada perubahan masyarakat homogenitas yang mengalami perubahan menjadi heterogenitas disebabkan oleh berbagai faktor. Masyarakat mengalami transisi atau perubahan dalam bentuk diferensiasi sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Keadaan ini juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan masyarakat terutama kehidupan sosial ekonomi mengalami perubahan dan peningkatan. Suatu transformasi dalam memanfaatkan sumberdaya agraria, dari hak setiap orang menjadi hak sebagian orang. Realitas ini yang akan memberi jalan pada pembentukan struktur sosial komunitas kemudian mengalami diferensiasi. Menurut Blau’s (1998) konsep pertama parameter struktural adalah anggota dari populasi menggunakan karakteristik perbedaan di antara mereka sendiri. Ada dua jenis parameter yakni parameter nominal dan parameter gradual. Parameter nominal membedakan anggota populasi dengan kategori diskrit, seperti gender, etnis, dan agama. Adapun parameter gradual membedakan anggota berdasarkan tingkatan, seperti pendapatan, usia, kekayaan, kekuasaan, status sosial ekonomi, dan prestise. Heterogenitas atau keragaman merupakan diferensiasi sosial berdasarkan parameter nominal. Adapun kesenjangan sosial adalah diferensiasi berdasarkan parameter gradual yang dikenal stratifikasi sosial atau pelapisan sosial. Diferensiasi sosial atau struktur sosial horizontal suatu masyarakat adalah berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat tanpa menempatkannya dalam jenjang hierarkis. Kesimpulannya bahwa struktur sosial horizontal suatu masyarakat adalah gambaran dari heterogenitas sosial masyarakatnya. Sehubungan dengan konsep diferensiasi sosial ini, secara teoritik dirumuskan bahwa semakin maju atau modern suatu masyarakat, semakin tinggi tingkat diferensiasinya. Sebaliknya semakin bersahaja masyarakatnya, semakin rendah pula tingkat diferensiasinya. Masyarakat desa adalah masyarakat yang relatif bersahaja dibanding dengan masyarakat kota pada umumnya. Secara umum, memahami diferensiasi sosial masyarakat desa di Indonesia, hendaknya memahami pluralitas masyarakat Indonesia dalam berbagai dimensi dan aspeknya. Aspek kesejarahan juga menjadi titik tolak untuk memahami keaslian struktur sosial masyarakat desa kita secara umum. Secara umum juga, perlu dibedakan antara desa yang ikatan sosial masyarakatnya lebih dipengaruhi oleh genealogis (darah) yang umumnya terdapat di luar Jawa. Harper (1989) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial berdasarkan waktu. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan. Perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahanperubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahanperubahan yang pengaruhnya terbatas maupun yang luas, serta ada pula perubahanperubahan yang lambat sekali, tetapi ada juga yang berjalan cepat. Menurut Soekanto (1982) perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat. Soekanto (1982) juga berpendapat bahwa
7
faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial bersumber dari dalam masyarakat yakni: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat baik individu maupun kelompok, terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat. Sedangkan faktor-faktor yang berasal dari luar masyarakat yakni: sebab-sebab yang berasal dari lingkungan fisik yang ada di sekitar manusia, peperangan dengan negara lain, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan yakni: kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju, toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang (deviation) yang bukan merupakan delik, sistem terbuka lapisan masyarakat (open stratification), penduduk yang heterogen, ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu, orientasi masa depan, dan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Ada dua jenis gerak sosial yakni gerak sosial horizontal dan gerak sosial vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok ke kelompok lainnya yang sederajat. Adapun gerak sosial horizontal merupakan perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, maka terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking). Setiadi dan Kolip (2011) menjelaskan bahwa diferensiasi sosial dipahami sebagai pembeda/pemilah masyarakat ke dalam golongan atau kelompok secara horizontal (tidak secara bertingkat). Diferensiasi sosial muncul akibat dari pembagian pekerjaan (seperti di dalam struktur masyarakat modern), perbedaan jenis kelamin, suku (pengelompokkan individu atas dasar ciri persamaan kultur (Seperti; bahasa, adat istiadat, sejarah, sikap, wilayah, dan sebagainya), agama, ras (pengelompokkan individu atas dasar ciri-ciri fisiologis), profesi dan sebagainya tidak bersifat hierarkis tetapi bersifat sejajar dan horizontal. Sementara itu, stratifikasi sosial muncul karena ketimpangan distribusi dan kelangkaan barangbarang yang dibutuhkan masyarakat, seperti uang, kekuasaan, pendidikan, keterampilan, dan semacamnya. Secara normatif, di dalam diferensiasi sosial, memang hak dan kewajiban antara kelompok yang satu dengan yang lain relatif sama di mata hukum. Tetapi, bagaimanapun harus diakui bahwa di dalam kenyataan yang terjadi diferensiasi sosial umumnya tumpang tindih dengan stratifikasi sosial. Menurut Fauzi (1999) diferensiasi sosial adalah proses penggolongan di dalam masyarakat berdasarkan penguasaan terhadap alat-alat produksi dan modal, termasuk tanah. Diferensiasi sosial selalu menghasilkan korban pada golongan terbawah, yakni petani kecil, petani tak bertanah atau buruh tani dalam hal akses lahan dan akses modal yang berpengaruh terhadap tingkat pendapatan petani. Diferensiasi merujuk pada proses dimana seperangkat aktivitas sosial dibentuk oleh sebuah institusi sosial yang terbagi di antara institusi sosial yang berbeda-beda. Diferensiasi juga menggambarkan peningkatan spesialisasi bagianbagian masyarakat yang diikuti terjadinya heterogenitas di dalam masyarakat desa. Berdasarkan hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, diferensiasi sosial masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) yang berlangsung akan menunjuk pada gejala terjadinya penambahan kelas-kelas petani. Menurut Fadjar et al. (2008),
8
berbasis hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya agraria, hasil sensus terhadap seluruh rumah tangga petani di empat komunitas petani kasus menunjukkan bahwa struktur sosial komunitas petani kakao yang muncul saat ini terdiferensiasi dalam banyak lapisan. Secara lebih rinci, berbagai lapisan masyarakat agraris muncul dalam komunitas petani kasus adalah: 1. Petani pemilik. Petani lapisan ini menguasai sumberdaya agraria hanya melalui mekanisme pemilikan tetap. 2. Petani pemilik dan penggarap. Petani pada lapisan ini menguasai sumberdaya agraria tidak hanya melalui mekanisme pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara. 3. Petani pemilik, penggarap, dan buruh tani. Petani lapisan ini selain menguasi sumberdaya agraria melalui pemilikan tetap dan pemilikan sementara juga menjadi buruh tani. 4. Petani pemilik dan buruh tani. Petani lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui pola pemilikan tetap. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan seorang buruh tani. 5. Petani penggarap. Petani lapisan ini menguasai sumberdaya hanya melalui mekanisme pemilikan sementara. 6. Petani penggarap dan buruh tani. Petani lapisan ini menguasai sumberdaya agraria melalui mekanisme pemilikan sementara. Selain itu, untuk menambah penghasilan keluarganya, mereka juga menjalankan peranan seorang butuh tani. 7. Buruh tani. Petani pada lapisan ini benar-benar tidak menguasai sumberdaya agraria, sehingga berada pada kategori tunakisma mutlak. Berbagai ketimpangan dalam sumber penghasilan antar lapisan penduduk desa itu juga tercermin dalam tingkat penghasilan berpengaruh terhadap akses lahan mereka yang sangat berbeda. Menurut Hernanto (1984) seperti dikutip Farhani (2009), penggolongan petani berdasarkan luas tanahnya dibagi menjadi 4 yaitu: (1) golongan petani luas (lebih dari 2 hektar); (2) golongan petani sedang (0.5-2 hektar); (3) golongan petani sempit (0.5 hektar); (4) golongan buruh tani tidak mempunyai tanah. Hasil penelitian Dassir (2007) diferensiasi pemilikan lahan akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya sistem teknologi pertanian persawahan bercorak komersil atau kapitalis di Desa Timpuseng , berimplikasi pada perubahan tenurial ke arah individual yang sebelumnya individu komunal pada saat masih menggunakan tenaga ternak sapi kombinasi tenaga manusia. Komponen kepedudukan menunjukkan bahwa jumlah penduduk, dengan asumsi semakin besar jumlah penduduk dan semakin banyak diferensiasi kerja yang ada di suatu lokasi kegiatan pembangunan, semakin kecil intensitas dampak sosial yang diperkirakan, karena proyek dapat menggunakan tenaga kerja setempat. Hingga saat ini pemerintah belum mampu mengatasi paradoks antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (Kaligis 2012). Menurut hasil penelitian (Kinseng et al. 2013) masuknya perusahaan tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial,
9
stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Perusahaan tambang telah mendorong munculnya beragam jenis usaha atau mata pencaharian yang baru. Berkembangnya berbagai jenis pekerjaan atau mata pencaharian di bidang jasa dan perdagangan sangat terlihat di Kelurahan Loa Tebu dan kemudian disusul Desa Embalut. Dengan kata lain, tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial, stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Kini perbedaan antara strata bawah dengan strata paling atas semakin mencolok, antara lain terlihat dari kepemilikan harta milik. Pada era sekarang ini, para petani maupun buruh lepas perusahaan berada pada strata paling bawah, sedangkan para pedagang besar, pemborong, pengusaha batu bara, pengusaha jasa angkutan (bis dan truk) menempati strata paling atas. Hasil penelitian Widiyanto et al. (2010) strategi nafkah rumah tangga petani dibangun dari adaptasi berbagai risiko yang dihadapi dengan mengkombinasikan berbagai aset (alami, finansial, fisik, sumberdaya manusia, dan sosial). Pada petani berlahan luas dengan kepemilikan modal alami yang lebih besar akan berbeda dengan pola nafkah petani dengan lahan sempit. Petani berbasis tegal dan petani di lahan sawah memiliki persamaan strategi diantaranya adalah strategi solidaritas vertikal dan manipulasi komoditas. Beberapa sistem nafkah dibangun atas dasar moral kolektif, yaitu: strategi solidaritas vertikal, strategi solidaritas horizontal, strategi berhutang, dan strategi patronase. Masyarakat mengalami transisi atau perubahan mata pencaharian dari sektor pertanian sebagai petani dan buruh tani menuju sektor non pertanian sebagai buruh pabrik serta membuka usaha jasa. Keadaan ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat terutama pada kehidupan sosial ekonomi mengalami perubahan dan peningkatan. Berdirinya industri dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitarnya. Dahulu, masyarakat memiliki sifat solidaritas sosial yang kuat. Tanpa disadari keberadaan industri mengakibatkan solidaritas sosial mulai melemah. Ciri-ciri masyarakat pedesaan mulai memudar. Masyarakat semakin heterogen, individual, sibuk bekerja dan meninggalkan kegiatan sosial yang selama ini diikutinya. Karena pembagian kerja yang tinggi. Hasil penelitian Yulianto (2010) menjelaskan bahwa setelah masuknya industri perkebunan kelapa sawit di tengah-tengah komunitas Orang Paser, basis stratifikasi mengalami perubahan. Strata yang menonjol pada era-industri yaitu berbasis previllage (hak istimewa atau khusus). Dasar penentuan pada basis ini yaitu berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Strata paling atas yaitu para elite perkebunan dan tuan tanah. Berkembangnya industri perkebunan kelapa sawit di Semuntai, mulai bermunculan individu-individu lain yang juga memiliki pengaruh di mata masyarakat, biasanya individu yang baru terbentuk adalah yang memiliki kemampuan seperti kemampuan berdasarkan kekayaan yang dimilikinya. Berdasarkan penjelasan pustaka diatas penting untuk dikaji lebih lanjut mengenai perubahan kepemilikan lahan dan jenis mata pencaharian pada masyarakat. Kepemilikan Lahan Pemilikan maupun penguasaan lahan merupakan faktor penting bagi penduduk di pedesaan yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian. Pemilikan lahan tidak hanya penting untuk pertanian, tetapi juga bagi penentuan berbagai kebutuhan lain dalam kehidupan bermasyarakat sehingga lahan tidak
10
hanya berfungsi sebagai asset produktif, akan tetapi dapat juga berfungsi sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan. Hasil penelitian Winarso (2012) adanya perubahan kepemilikan maupun penguasaan lahan bagi seorang petani sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan ekonomi keluarga petani yang bersangkutan. Baik perubahan karena hilangnya hak penguasaan maupun hak kepemilikan atas sebidang lahan atau munculnya hak kepemilikan maupun hak penguasaan atas sebidang lahan. Hilang dan munculnya hak atas lahan dapat saja melalui berbagai proses sehingga seseorang berhak atau tidak berhak atas lahan yang bersangkutan. Proses tersebut dapat saja terjadi karena adanya transaksi jual beli, transaksi pembagian waris, hibah atau transaksi lainnya seperti bagi hasil, sewa, gadai atau numpang. Hal yang sama juga disebutkan oleh Mardiyaningsih et al. (2010) bentukbentuk pola penguasaan lahan bukan milik terjadi apabila pemilik lahan mengalihkan hak garap lahan kepada orang lain yang akan menjadi penggarapnya. Bentuk pola penguasaan lahan dapat terjadi dengan atau tanpa perjanjian tertulis dalam bentuk sertifikat atau surat tanah. Jika melihat adanya proses transaksi tanah dalam pola penguasaan lahan, istilah pola penguasaan lahan hanya tepat digunakan pada individu yang memiliki tanah atau lahan. Lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan sewaktu-waktu dapat dijual. Kenyataannya masyarakat yang tinggal di pedesaan bukan didominasi oleh orang-orang yang memiliki lahan. Akan tetapi mereka hanya bekerja pada pemilik lahan yang memiliki lahan tersebut. Oleh sebab itu, istilah pola penguasaan lahan tepat jika diberikan pada orang-orang yang memiliki lahan. Jika subjek dalam pertanian tersebut tidak memiliki lahan (buruh tani), sistem penggarapan lahan dapat digunakan sebagai istilah yang tepat untuk merujuk orang-orang yang bekerja pada pemilik lahan tanpa memiliki lahan atau jika memiliki hanya berkisar 0.5-0.75 hektar. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat transmigran juga mengalami perubahan jenis mata pencaharian. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi. Hasil penelitian prambudi (2010) ada 2 faktor yang mempengaruhi perubahan mata pencaharian yakni faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal yang dapat menyebabkan masyarakat merubah mata pencahariannya yakni: keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar dalam upaya pemenuhuan kebutuhan hidup sehari-hari, keinginan untuk memperbaiki taraf hidup keluarga, dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak mereka dengan harapan ada perbaikan taraf hidup pada generasi penerus mereka. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan masyarakat merubah mata pencahariannya yakni: lingkungan sosial berupa pengaruh yang berbentuk ajakan dari orang sekitar atau tetangga yang telah berhasil dalam melakukan perubahan mata pencaharian ke Tambang Inkonvensional, keuntungan instan yang didapatkan dari tambang Inkonvensional, harga timah di pasaran yang terus melonjak naik, jatuhnya harga hasil komoditi utama daerah Membalong yaitu lada yang merupakan penopang utama kehidupan ekonomi masyarakat Membalong, dan naiknya harga pupuk yang menyebabkan biaya perawatan lada menjadi tinggi yang berakibat pada berkurangnya keuntungan yang diperoleh bahkan bisa sampai pada kerugian.
11
Berdasarkan pengertian diatas, Prambudi (2010) mengartikan perubahan mata pencaharian atau biasa disebut transformasi pekerjaan adalah pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan pokok yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumber daya yang tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Perubahan mata pencaharian ini ditandai dengan adanya perubahan orientasi masyarakat mengenai mata pencaharian.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Petani Sektor pertanian merupakan jawaban dari masalah pengangguran dan kemiskinan. Dengan mengoptimalkan lahan pertanian dengan usaha tani yang tepat diharapkan petani dapat meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Kegiatan usaha tani bertujuan agar diperoleh keuntungan maksimal, namun hal itu dapat dicapai bila petani telah menggunakan faktor-faktor produksi secara efisien sehingga dapat diperoleh tingkat produksi yang maksimal (Hermanto 1996) seperti dikutip Wijayanti dan Saefuddin (2012). Petani adalah rumah tangga petani dalam perannya sebagai unit produksi yang hanya secara parsial terlibat dalam ekonomi pasar untuk bersaing tidak sempurna. Ruang lingkup rumah tangga petani adalah bahwa usaha tani rumah tangga dianggap sebagai unit pengambilan keputusan untuk tujuan analisis ekonomi. Rumah tangga petani memaksimalkan keuntungan dengan maksimisasi utilitas tunggal yang mengedepankan kombinasi kesejahteraan satu-satunya variabel dalam fungsi utilitas. Pendapatan sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup seorang petani, semakin besar pendapatan yang diperoleh petani maka semakin besar kemampuan petani untuk membiayai segala pengeluaran dan kegiatan-kegiatan dalam usahanya (Ellis 1989 seperti dikutip Hartono 2011). Karakteristik ekonomi rumah tangga petani lainnya adalah selain keuntungan maksimum adalah tujuan petani melakukan kegiatan usaha tani untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan bukan bermotif bisnis dan selalu menghindari resiko (Hartono 2011). Tujuan seorang anggota rumah tangga melakukan suatu jenis pekerjaan adalah memperoleh pendapatan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota rumah tangga. Kumpulan pendapatan dari berbagai sumber merupakan pendapatan total rumah tangga. Sumber pendapatan yang yang beragam tersebut dapat terjadi karena anggota rumah tangga yang bekerja, melakukan lebih dari satu jenis kegiatan dan atau maing-masing anggota rumah tangga mempunyai kegiatan yang berbeda satu dengan yang lain. Tingkat keragaman tersebut juga dipengaruhi oleh penguasaan faktor produksi dan aset rumah tangga (Nurmanaf 1985) seperti dikutip Hartono (2011). Hasil penelitian Septianita (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam melakukan peremajaan tanaman karet yang mempengaruhi pendapatan petani antara lain luas lahan yang digunakan, jumlah tenaga kerja, dan pengalaman dalam usaha tani karet. Hasil penelitian Susianti dan Rauf (2013) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani jagung manis adalah luas lahan, pupuk, benih, pestisida, tenaga kerja, umur petani, pendidikan formal dan harga output berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi dalam bidang sumberdaya manusia, selain kesehatan dan migrasi (Samuelson 2001) seperti dikutip Munifa (2013). Pendidikan memberikan kontribusi secara langsung
12
terhadap pertumbuhan pendapatan nasional melalui peningkatan keahlian dan produktivitas kerja. Pendidikan seseorang mencerminkan tingkat pengetahuan yang pernah diperoleh, semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh maka semakin banyak pengetahuan diperoleh. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan pendapatan yang diperoleh seseorang relatif rendah sedangkan tingkat pendidikan tinggi maka orang tersebut akan mempunyai kemampuan untuk menghadapi hidup dimana dengan pendidikan yang diperoleh seseorang dapat berbuat usaha dan bekerja guna memperoleh pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup serta memperbaiki keadaan hidup dalam arti mempunyai kesempatan kerja guna mencapai kesejahteraan yang diinginkan. Besarnya anggota keluarga merupakan faktor yang sangat penting karena dapat mempengaruhi pola konsumsi dan biaya hidup rumah tangga. Suatu rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga relatif lebih banyak tentu akan melakukan konsumsi lebih besar daripada rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga lebih sedikit, meskipun pendapatan yang diterima sama besar (Sumardi et al. 1995) seperti dikutip Munifa (2013). Hasil penelitian Anggraini (2007) secara garis besar ada dua sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan yaitu dari sektor pertanian dan non pertanian. Struktur dan besarnya pendapatan dari sektor pertanian berasal dari usahatani, usaha peternakan dan berburuh tani. Sedangkan dari non pertanian berasal dari usaha dagang, jasa, pegawai, buruh non pertanian, dan pekerjaan lainnya di luar pertanian. Pendapatan terdiri atas upah, gaji, sewa, deviden, keuntungan dan merupakan suatu arus yang diukur dalam jangka waktu tertentu misalnya: seminggu, sebulan, setahun atau jangka waktu yang lama. Pendapatan keluarga adalah pendapatan suami dan istri serta anggota keluarga lain dari kegiatan pokok maupun tambahannya. Pendapatan sebagai ukuran kemakmuran yang telah dicapai oleh seseorang atau keluarga pada beberapa hal merupakan faktor yang cukup dominan untuk mempengaruhi keputusan seseorang atau keluarga terhadap suatu hal. Pendapatan keluarga berperan penting, karena pada hakikatnya kesejahteraan keluarga sangat tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga.
Kerangka Pemikiran Tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan sosial. Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan tersebut. Soekanto (1982), berpendapat bahwa faktor-faktor penyebab perubahan sosial bersumber dari masyarakat yakni: bertambah atau berkurangnya penduduk, adanya penemuan-penemuan baru, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, dan terjadinya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat. Merujuk teori, pada penelitian ini faktor yang digunakan sebagai penyebab perubahan sosial adalah pertambahan penduduk. Hasil penelitian Yulianto (2010) menjelaskan bahwa setelah masuknya industri perkebunan kelapa sawit di tengah-tengah komunitas Orang Paser, basis stratifikasi mengalami perubahan. Berkembangnya industri perkebunan kelapa
13
sawit di Semuntai, mulai bermunculan individu-individu lain yang juga memiliki pengaruh di mata masyarakat, biasanya individu yang baru terbentuk adalah yang memiliki kemampuan seperti kemampuan berdasarkan kekayaan yang dimilikinya. Berdasarkan teori tersebut, pada penelitian ini juga digunakan faktor lain sebagai penyebab perubahan sosial yakni masuknya perusahaan perkebunan karet dan perubahan komoditi pertanian di wilayah transmigran. Harper (1989) berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial berdasarkan waktu. Blau’s (1998) menjelaskan bahwa ada dua jenis parameter struktural yakni parameter nominal dan parameter gradual. Parameter nominal membedakan anggota populasi dengan kategori diskrit, seperti gender, etnis, dan agama. Adapun parameter gradual membedakan anggota berdasarkan tingkatan, seperti pendapatan, usia, kekayaan, kekuasaan, status sosial ekonomi, dan prestise. Pada penelitian ini perubahan struktural yang terjadi secara nominal adalah jenis mata pencaharian. Sementara itu, perubahan struktural yang terjadi secara gradual adalah tingkat kepemilikan lahan dan tingkat pendapatan. Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dikarenakan terdiferensiasinya dalam berbagai golongan. Diferensiasi sosial di masyarakat pedesaan (masyarakat agraris) menunjuk pada perubahan masyarakat homogenitas yang mengalami perubahan menjadi heterogenitas disebabkan oleh berbagai faktor. Masyarakat mengalami transisi atau perubahan dalam bentuk diferensiasi sosial baik secara vertikal maupun horizontal. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat transmigran. Hasil di setiap lokasi penelitian menunjukkan ada perbedaan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil penelitian Susianti dan Rauf (2013) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani jagung manis adalah luas lahan, pupuk, benih, pestisida, tenaga kerja, umur petani, pendidikan formal dan harga output berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Hasil penelitian Septianita (2009) faktorfaktor yang mempengaruhi di dalam melakukan peremajaan tanaman karet yang mempengaruhi pendapatan petani antara lain luas lahan yang digunakan, jumlah tenaga kerja, dan pengalaman dalam usaha tani karet. Merujuk penelitian tersebut maka pada penelitian ini menggunakan 5 faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani masyarakat transmigran baik pada sumber daya keluarga maupun individu. Faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pada sumber daya keluarga adalah luas lahan dan jumla tanggungan dalam keluarga. Adapun faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pada sumber daya individu adalah tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan usia.
14
Faktor-Faktor Penyebab Perubahan Sosial Bertambahnya jumlah penduduk Masuknya perusahaan Perubahan komoditi pertanian
Perubahan Sosial Masyarakat Transmigran
Jenis mata pencaharian
Tingkat kepemilikan lahan
Tingkat pendapatan (Y)
Sumber daya keluarga X1 Luas lahan X2 Jumlah tanggungan dalam keluarga
Sumber daya individu X3 Tingkat pendidikan X4 Pengalaman bertani X5 Usia
Gambar 1 Hubungan antar peubah Keterangan: : Aspek yang dianalisis secara statitstik : Aspek yang dianalisis secara deskriptif
15
Hipotesis Penelitian Hipotesis Pengarah Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan yang mendasar meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan. Hipotesis Uji 1. Diduga pendapatan petani dipengaruhi oleh faktor sumber daya keluarga dan sumber daya individu. Faktor sumber daya keluarga yakni: luas lahan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Adapun sumber daya individu yakni: tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan usia.
16
17
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi atau metode campuran merupakan penggabungan dua metode yakni metode kuantitatif dan metode kualitatif yang digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian (Bungin 2011). Metode kuantitatif digunakan untuk mencari pengaruh antar variabel yang diuji, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani terhadap tingkat pendapatan. Metode kuantitatif yang digunakan menggunakan penelitian survei kepada responden. Metode kualitatif dilakukan untuk menggali informasi yang akan dijelaskan secara deskriptif bahwa masyarakat transmigran telah mengalami perubahan yang mendasar meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan. Metode kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap responden dan informan serta observasi langsung. Hasil penelitian ini akan dijelaskan berdasarkan hasil uji regresi serta penjelasan secara deskriptif untuk menggambarkan pengaruh antar variabel.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sukamakmur, Kecamatan Marga Sakti Sebelat, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pemilihan tempat penelitian dilakukan dengan secara sengaja (purposive) didasarkan pada fakta bahwa wilayah desa ini merupakan kawasan transmigrasi yang mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan yang mendasar meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan sehingga desa ini menarik untuk dijadikan lokasi penelitian. Penyusunan proposal, kolokium dan pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2016. Pengolahan data dan penyusunan skripsi dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2016. Uji kelayakan dan skripsi dilakukan pada bulan Juni 2016 (Lampiran 1).
Teknik Penentuan Responden dan Informan Sumber data dari penelitian ini adalah informan dan responden. Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi mengenai topik penelitian. Adapun responden merupakan sumber data utama yang akan diberikan kuesioner. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Responden pada penelitian ini adalah masyarakat transmigran asli sampai dengan masyarakat transmigran generasi ketiga. Pada penelitian ini, teknik pemilihan responden dilakukan menggunakan metode purposive sampling dengan jumlah sebanyak 61 orang. Kerangka sampling yang diambil adalah 1 RT dari setiap dusun. Jumlah dusun di Desa Suka Makmur adalah 3 dusun sehingga terambillah 3 RT sebagai kerangka sampling. Berdasarkan kerangka sampling maka ditentukan responden secara sengaja (purposive) dari yang tidak memiliki lahan dan memiliki lahan.
18
Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive). Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat sekitar yang dianggap mengetahui dengan jelas mengenai pengembangan wilayah Desa Suka Makmur.
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di lokasi penelitian (Bungin 2011). Data primer adalah data yang diperoleh hasil pengukuran metode kuantitatif, yaitu pengisian kuesioner oleh responden terpilih. Perolehan data untuk metode kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dari responden maupun informan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang kita butuhkan (Bungin 2011). Data sekunder diperoleh melalui studi dokumen, data-data, informasi tertulis, maupun literatur-literatur yang berkaitan dengan topik penelitian. Data sekunder diperoleh dari BPS (Badan Pusat Statistik), Kebijakan Transmigrasi, Data Monografi Desa Suka Makmur, dan sumber-sumber data lain yang relevan.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif diperoleh melalui kuesioner. Data kuantitatif diolah secara statistik untuk melihat pengaruh antar variabel menggunakan Regresi Linear Berganda. Uji Regresi Berganda adalah alat analisis peramalan nilai pengaruh dua variabel bebas atau lebih terhadap satu variabel terikat (untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan fungsional atau hubungan kausal antara dua variabel bebas atau lebih (X1) (X2) (X3)..... (Xn) dengan satu variabel terikat (Riduwan 2009). Adapun variabel-variabel yang akan diuji dengan Regresi Linear Berganda adalah luas lahan, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, dan usia terhadap tingkat pendapatan dengan taraf signifikasi 5%. Data yang diperoleh dianalis menggunakan Analisis Regresi Linear Berganda, dengan persamaan sebagai berikut: Yi= β0+β1X1i+β2X2i+β3X3i+β4X4i+β5X5i+€i Keterangan: Y : Tingkat Pendapatan X1 : Luas Lahan X2 : Jumlah Anggota dalam Keluarga X3 : Tingkat Pendidikan X4 : Pengalaman Bertani X5 : Usia β : Konstanta € : Galat Eror Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam menggunakan panduan pertanyaan wawancara kepada informan dan responden untuk
19
menjelaskan secara deskriptif bahwa masyarakat transmigran telah mengalami perubahan yang mendasar meliputi: tingkat mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan. Pengolahan data dilakukan menggunakan SPSS 20.0 for Windows dan Microsoft Excell 2013. Data kualitatif dianalisis dengan cara mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan.
Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tingkat pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan rumah tangga petani baik suami maupun istri dari kegiatan pertanian dan non pertanian. Tingkat pendapatan diperoleh dari total pendapatan petani selama satu tahun. Tingkat pendapatan adalah data rasio yang akan diukur sesuai dengan sebaran data responden di lapangan dihitung dalam satuan rupiah pertahun. 2. Luas lahan adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh rumah tangga petani dalam satuan hektar. Luas lahan pertanian adalah data rasio yang dihitung dalam satuan hektar. 3. Jumlah tanggungan dalam keluarga adalah jumlah individu yang ada dalam keluarga responden yang masih ditanggung biaya hidupnya oleh responden. Keluarga responden meliputi anak, istri, saudara, orang tua, atau orang lain yang dianggap keluarga oleh responden. Biaya hidup meliputi biaya sandang, pangan, pakan, pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Jumlah tanggungan adalah data rasio yang dihitung dalam satuan orang berdasarkan sebaran responden di lapangan. 4. Tingkat pendidikan adalah lamanya pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh kepala rumah tangga petani dalam satuan tahun. Tingkat pendidikan adalah data rasio yang dihitung dalam satuan tahun berdasarkan sebaran responden di lapangan. 5. Pengalaman bertani adalah lamanya seseorang bekerja sebagai petani yaitu kepala rumah tangga petani. Lama pengalaman bertani adalah data rasio yang dihitung dalam satuan tahun berdasarkan sebaran responden di lapangan. 6. Usia adalah usia kepala rumah tangga petani yang bekerja dalam kegiatan pertanian dalam satuan tahun. Usia adalah data rasio yang dihitung dalam satuan tahun berdasarkan sebaran responden di lapangan.
20
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Profil Desa Suka Makmur Desa Suka Makmur, Kecamatan Marga Sakti Sebelat sebelumnya masuk dalam wilayah Kecamatan Putri Hijau. Pada tahun 2016 Kecamatan Putri Hijau dimekarkan menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Putri Hijau dan Kecamatan Marga Sakti Sebelat. Desa Suka Makmur terletak di dalam wilayah Kecamatan Marga Sakti Sebelat, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu yang berbatasan dengan Desa Suka Baru di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Desa Air Putih, sebelah selatan dan barat berbatasan dengan PT. Pamor Ganda dan Desa Karya Pelita. Luas wilayah Desa Suka Makmur kurang lebih 3 000 hektar, dimana 97% berupa daratan yang bertopografi berbukit-bukit dan 3% wilayah hamparan daratan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian perkebunan serta persawahan tadah hujan. Iklim Desa Suka Makmur sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia mempunyai iklim kemarau dan penghujan yang tidak menentu, hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam lahan pertanian yang ada di Desa Suka Makmur. Desa Suka Makmur terbagi ke dalam tiga dusun, yakni Dusun I, Dusun II dan Dusun III. Desa Suka Makmur terdiri dari 3 RW (Rukun Warga) dan 27 RT (Rukun Tetangga) masing-masing RW (Rukun Warga) terdiri dari 9 RT (Rukun Tetangga). RW (Rukun Warga) 1 merupakan gabungan dari RT 01 sampai dengan 07 dan RT 24 serta 26. RW (Rukun Warga) merupakan gabungan dari RT 08 sampai dengan 14 dan RT 27. RW (Rukun Warga) 3 merupakan gabungan dari RT 15 sampai dengan 23. Dusun I merupakan pusat pemerintahan Desa Suka Makmur. Hal ini ditandai secara fisik dengan dibangunnya kantor desa, puskesmas, pasar, SD (Sekolah Dasar), dan SMP (Sekolah Menengah Pertama). Terdapat pula SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) yang terletak di Dusun III. Berdasarkan letaknya, jarak antar dusun di Desa Suka Makmur tidak jauh dan akses yang mudah. Desa Suka Makmur adalah desa yang memiliki letak strategis karena berada di tengah antara desa lainnya di Kecamatan Marga Sakti Sebelat.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk Desa Suka Makmur berasal dari berbagai daerah yang berbedabeda yakni: Jawa Timur, Jawa tengah, Jawa Barat, Sumendo, Padang, dan Madura. Tradisi-tradisi musyawarah untuk mufakat dan gotong royong yang lain sudah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu dan hal tersebut secara efektif dapat menghindarkan adanya benturan-benturan antar kelompok masyarakat yang berbeda budaya. Berdasarkan data monografi Desa Suka Makmur tahun 2015 mempunyai jumlah penduduk berjumlah 4 027 jiwa, yang terdiri dari laki-laki: 2 090 jiwa, perempuan 1 937 jiwa dan 1 135 KK (Kepala Keluarga). Berdasarkan jenis mata
22
pencaharian masyarakat tergolong ke beberapa pekerjaan. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani yaitu 1 900 jiwa (47.18%), 163 jiwa bekerja sebagai karyawan swasta (4.05%), 90 jiwa bekerja sebagai wiraswasta (2.24%), 64 jiwa bekerja sebagai PNS (1.59%), 60 jiwa bekerja sebagai buruh tani (1.49%), 41 jiwa bekerja sebagai pertukangan (1.01%), 6 jiwa bekerja sebagai jasa (0.15%), 6 jiwa bekerja sebagai pensiunan (0.15%), 2 orang jiwa bekerja sebagai TNI/POLRI (0.05%), dan 1695 jiwa bekerja di sektor lainnya. Tabel 1 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis mata pencaharian Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase (jiwa) (%) Petani 1 900 47.18 Buruh tani 60 1.49 Wiraswasta 90 2.24 Karyawan swasta 163 4.05 PNS 64 1.59 TNI/POLRI 2 0.05 Pertukangan 41 1.01 Pensiunan 6 0.15 Jasa 6 0.15 Lainnya 1 695 42.09 Jumlah 4 027 100.00 Sumber: Data Monografi Desa Suka Makmur 2015
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa jenis mata pencaharian masyarakat di Desa Suka Makmur didominasi oleh petani yakni sebanyak 1 900 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Desa Suka Makmur adalah sektor utama yang mana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup pada lahan pertanian. Penggunaan lahan di Desa Suka Makmur sebagian besar diperuntukkan untuk lahan perkebunan dan sebagian sawah ditanami padi sedangkan sisanya untuk tanah kering yang merupakan bangunan dan fasilitasfasilitas lainnya. Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (jiwa) (%) TK/Sederajat SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat D1/Sederajat S1/ Sederajat Jumlah
53 2 180 838 504 19 47 3 641
Sumber: Data Monografi Desa Suka Makmur 2015
1.32 54.13 20.81 12.51 0.47 1.17 100.00
23
Jumlah penduduk Desa Suka Makmur tahun 2015 berjumlah 4 027 jiwa. Pada Tabel 2 tidak mencantumkan jumlah penduduk belum bersekolah yang berjumlah 431 jiwa. Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa masyarakat Desa Suka Makmur rata-rata masih berpendidikan rendah karena mayoritas masyarakatnya hanya tamat SD (Sekolah Dasar) yakni sebanyak 2 018 jiwa. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Suka Makmur rendah dikarenakan pada awal transmigran belum ada sarana pendidikan dan kurangnya kesadaran akan pendidikan serta perekonomian yang kurang. Adat istiadat yang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Suka Makmur antara lain: selamatan desa, tahlilan, ‘bayenan’ atau selamatan untuk bayi yang baru lahir. Kesenian yang masih dilestarikan antara lain: organ, ‘jaranan’ atau kuda lumping, dan qasidah. Adapun kegiatan sosial yang dilakukan di desa ini, yakni perayaan ‘hajat’ pernikahan yang diadakan di rumah kediaman mempelai wanita dengan sistem gotong royong melibatkan tetangga dan saudara. Kegiatan sosial lainnya adalah pada saat tetangga yang memindahkan bangunan rumahnya maka tetangga terdekat terlibat dalam hal tersebut atau biasa disebut ‘sayan’. Kegiatan sosial lainnya adalah kerja bakti bersama untuk membuat parit jalan serta menambah ‘koral’ di setiap dusun karena kondisi jalan masih tanah dan ketika hujan jalanan menjadi licin serta berair.
Sejarah Desa Suka Makmur Desa Suka Makmur terbentuk berawal dari kedatangan para transmigran dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat pada tahun 1983 berjumlah 400 Kepala Keluarga melalui program Transmigrasi Umum. Desa Suka Makmur sekarang sudah menjadi desa yang majemuk banyak suku hidup disini seperti Jawa, Madura, Sunda, Bali, Batak, Padang, Sumendo, dan Palembang. Setibanya di lokasi para transmigran kemudian dipimpin oleh seorang KUPT (Kepala Unit Penempatan Transmigrasi) dari Departemen Transmigrasi yang bernama Rasito, kemudian digantikan oleh Riskan. Sebelum akhirnya menjadi desa definitive dipimpin oleh Yasri sebagai KUPT (Kepala Unit Penempatan Transmigrasi). Pada awalnya Desa Suka Makmur bernama Seblat IV SP I Ipuh II D. Berdasarkan hasil musyawarah tokoh masyarakat disepakati untuk mengganti nama Desa Seblat IV SP I Ipuh II D menjadi Desa Suka Makmur. Pemilihan pemimpin masyarakat di Desa Suka Makmur ditunjuk secara aklamasi seorang Kepala Desa yaitu Sujana sebagai Kepala Desa pertama. Pembentukan Kepala Desa selesai lalu dibentuklah RK (Rukun Kampung) yang terdiri dari 4 RK (Rukun Kampung) yang saat ini berubah menjadi Kepala Dusun untuk membantu Kepala Desa dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang pemimpin. Susunan kelembagaan sudah mulai dibentuk walaupun masih sangat sederhana dan belum berjalan semestinya. Kondisi masyarakat transmigran pada masa kini masih sangat minim fasilitas dan kebutuhan bahan makan minyak lampu dan kebutuhan yang lain masih ditanggung pemerintah untuk kebutuhan selama satu tahun. Kepemilikan lahan pada saat transmigrasi semuanya adalah seragam yaitu 2 hektar. Pembagian 2 hektar lahan adalah 1 hektar lahan garapan, 0.75 hektar lahan belukar, dan 0.25 hektar lokasi tempat tinggal. Petani mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa JADUP (Jaminan Hidup) karena perekonomian masyarakat transmigran masih kurang dan belum menghasilkan. Lahan hutan masih belukar dan masih banyak
24
lahan kosong atau disebut tanah restan. Tanah restan merupakan tanah lebih yang dapat digunakan oleh masyarakat transmigran dan dapat menjadi hak milik jika mau mengurus sertifikat untuk tanah tersebut. Hutan belukar dibuka oleh masyarakat untuk menikmati hasil bumi dengan menanam tanaman palawija berupa kacang, padi, dan jagung. Musim di daerah Jawa ternyata berbeda dengan musim di daerah Sumatera. Hal ini terlihat dari perubahan komoditi pertanian yang dilakukan masyarakat transmigran karena musim di Pulau Sumatera terutama di Desa Suka Makmur tidak bisa diprediksikan sesuai dengan perhitungan Jawa yaitu pranoto mongso. Pranoto mongso merupakan perhitungan jawa yang digunakan untuk menentukan bulan penanaman sampai dengan pemanenan pada tanaman palawija. Kondisi wilayah desa ini ternyata tidak cocok untuk menanam palawija karena tidak adanya irigasi dan hanya menggunakan tadah hujan sebagai pengairan. Penanaman palawija di Desa Suka Makmur kurang menghasilkan karena banyak tanaman yang gagal dan terkena hama serta penyakit. Setelah itu, masyarakat menanam tanaman kopi tetapi ternyata tidak cocok lagi dan gagal. Selanjutnya, masyarakat menanam cengkeh dan ternyata tidak ada kecocokan pula dan gagal. Pada tahun 1990-an masuklah perkebunan karet dengan cara membeli lahan masyarakat. Perkebunan karet menguasai lahan seluas 3 639 hektar. Perusahaan perkebunan karet yang pertama kali masuk adalah PT Air Muring. Masyarakat transmigran yang belum mengetahui tanaman perkebunan sehingga masih ragu untuk menanam karet karena masyarakat menganggap bahwa menanam karet tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mayoritas masyarakat Jawa yang bertransmigrasi ke daerah ini beranggapan bahwa tanaman karet tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti penjelasan informan sebagai berikut: “ah nanti kalo nanam karet apa mau makan getahnya atau batangnya.” (HP 47) Pada tahun 1992-an Disbun (Dinas Perkebunan) mengadakan program untuk penanaman tanaman karet. Desa Suka Makmur merupakan salah satu wilayah hamparan di Kabupaten Bengkulu Utara yang paling cocok untuk penanaman karet sehingga ditawarkanlah penanaman karet oleh Disbun dengan sistem kredit yang disebut TCSSP (Tree Crops Smallholder Supporting Programme). Penanaman tanaman baru berupa karet yang dilakukan oleh petani menjadikan munculnya kelompok-kelompok tani seperti, kelompok tani Maju 1 sampai dengan Maju 4. Maju 1 berada di Dusun I. Maju 2 dan 3 berada di Dusun II serta Maju 4 berada di Dusun III. Disbun memberikan pupuk dan bibit karet dengan menggunakan sistem kredit berupa piutang ringan dan jaminan sertifikat yang diserahkan kepada Dinas Perkebunan namun hasil karet yang diberikan Disbun ternyata tidak cukup untuk membayar hutangnya. Seiring berjalannya waktu di daerah kawasan transmigran mulai hadir perbankan. Melihat hal tersebut, masyarakat transmigran mulai meminjam uang ke perbankan untuk menutupi angsurannya kepada Disbun dengan tujuan mengambil sertifikat serta sebagian uangnya digunakan sebagai usaha. Kondisi ini seperti penuturan informan sebagai berikut:
25
“tutup lubang gali lubang.” (SR 54) Penanaman tanaman karet tidak mengubah pola pertanian masyarakat namun hanya mengubah cara mengerjakannya yakni dari gotong royong menjadi individu. Sebelum menikmati panen dari hasil penanaman karet masyarakat menanam tanaman palawija dan sayuran secara tumpang sari dengan tanaman karet selama 1 sampai dengan 3 tahun sambil menunggu hasil panen karet. Panen karet dapat dihasilkan pada umur 5 tahun. Pada saat itu, hasil panen karet cukup menggembirakan bagi masyarakat transmigran karena perolehan pendapatan setiap rumah tangga meningkat ditunjang dengan harga karet tinggi yaitu sebesar Rp15 000 kg-1. Sebaliknya, pada saat penelitian ini harga karet berada pada posisi di level yang rendah yaitu Rp4000 kg-1 sampai dengan Rp4500 kg-1. Harga karet yang rendah membuat masyarakat transmigran merasa resah bahkan lahan karetnya tidak dilakukan penyadapan karena lebih memilih untuk berdagang serta kerja serabutan. Harga stabil yang seharusnya diterima oleh petani karet adalah berkisar Rp8000 kg1 agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga berupa pangan dan non pangan. Berdasarkan penuturan Bapak HP (47 tahun) sebagai Ketua Serikat Tani Provinsi Bengkulu: “Seharusnya pemerintah bisa mencari perhitungan berapa harga yang diterima oleh masyarakat terutama rumah tangga petani karet agar mereka tidak dirugikan dan tidak kekurangan. Kondisi harga segini kalo mereka tidak pintar cari kerja serabutan maka tidak akan cukup untuk makan karena rata-rata rumah tangga petani karet disini hanya memiliki lahan satu sampai dengan dua hektar. Setidaknya harga yang stabil ya Rp8000 kg-1 an lah.” (HP 47) Penanaman karet di kawasan transmigran telah jelas sangat meningkatkan perekonomian masyarakat yang perbedaannya jauh pada saat penanaman palawija. Selain itu, di daerah ini juga terdapat komoditi sawit yang ditanam oleh masyarakat transmigran dengan pola plasma. Pada saat penelitian, harga komoditi sawit masih stabil yaitu Rp1 000 kg-1. Perubahan pada masyarakat transmigran meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan yang semakin beragam serta banyak faktor yang mempengaruhi perubahan sosial masyarakat transmigran.
26
27
PROFIL RUMAH TANGGA TRANSMIGRAN Unit analisis pada penelitian ini adalah masyarakat transmigran. Responden pada penelitian ini adalah kepala keluarga rumah tangga transmigran. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 61 orang. Karakteristik responden yang akan diuji pada penelitian ini adalah sumber daya keluarga dan sumber daya individu. Pada sumber daya keluarga adalah luas lahan, jumlah tanggungan dalam keluarga, dan tingkat pendapatan. Adapun sumber daya individu adalah tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan usia. Sebaran responden berdasarkan luas lahan, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, usia, dan tingkat pendapatan dapat dilihat pada beberapa Tabel di bawah ini. Tabel 3 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut luas lahan Luas lahan N Persentase (jumlah) (%) Tidak memiliki lahan 4 6.6 0.5-2 hektar 39 63.9 2.25-3.75 hektar 10 16.4 4-11 hektar 8 13.1 Total 61 100 Berdasarkan Tabel 3, pada penelitian ini rumah tangga transmigran yang memiliki luas lahan paling banyak antara 0.5 sampai dengan 2 hektar yakni sebesar 63.9% dari total rumah tangga transmigran. Adapun rumah tangga transmigran yang memiliki urutan kedua terbanyak adalah petani yang memiliki lahan antara 2.25 sampai dengan 3.75 yaitu sebesar 16.4%. Sementara itu, untuk rumah tangga transmigran yang memiliki urutan ketiga terbanyak adalah petani yang memiliki luas lahan antara 4 sampai dengan 11 hektar yaitu sebesar 13.1% dan sisanya sebesar 6.6% merupakan petani yang tidak memiliki lahan. Rata-rata kepemilikan lahan rumah tangga transmigran adalah 2 hektar. Rata-rata kepemilikan lahan ini dikarenakan pada awal transmigran setiap rumah tangga masyarakat transmigran mendapatkan pembagian lahan sebanyak 2 hektar. Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi perubahan kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Kepemilikan lahan rumah tangga transmigran ada yang berkurang dan bertambah. Adapula yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Rumah tangga transmigran yang tidak memiliki lahan memilih bekerja sebagai buruh tani, pertukangan, kuli angkut pasir, kuli karet, dan karyawan perusahaan. Adapun rumah tangga transmigran yang memiliki lahan dalam jumlah banyak dapat memperkerjakan saudara atau tetangga untuk bekerja di kebunnya. Hal ini seperti penuturan responden dan informan sebagai berikut: “Iya, punya kebun karet itu aja cuma sedikit warisan dari orang tua dan belum menghasilkan makanya sekarang kerja jadi kuli dan kerja di kebun orang.” (SW 37)
28
“Saya tidak punya kebun lagi Feb soalnya ahannya sudah habis dijual. Kalo sekarang ya kerjanya buruh pemanen sawit.” (S 50) Tabel 4 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut jumlah tanggungan dalam keluarga Jumlah tanggungan keluarga N Persentase (jumlah) (%) 2 orang 11 18.0 3-4 orang 46 75.4 5-6 orang 4 6.6 Total 61 100.0 Berdasarkan Tabel 4, pada penelitian ini rumah tangga transmigran yang memiliki jumlah tanggungan dalam keluarga paling banyak antara 3 sampai dengan 4 orang yakni sebesar 75.4% dari total responden. Sementara itu, untuk rumah tangga transmigran yang memiliki jumlah tanggungan dalam keluarga urutan kedua paling banyak antara 2 yakni sebesar 18% dan sisanya sebesar 6.6% responden yang memiliki jumlah tanggungan dalam keluarga sebanyak antara 5 sampai dengan 6 orang. Rata-rata jumlah tanggungan dalam keluarga adalah 3 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah tanggungan dalam keluarga rata-rata 3 orang artinya terdiri dari bapak, ibu dan 1 anak. Hal ini dikarenakan usia responden paling banyak tergolong usia muda yang telah memiliki keluarga baru dan tidak menjadi tanggungan orang tuanya. Hal ini juga berdasarkan penuturan responden sebagai berikut: “Anaknya iya 1 ini aja Feb. Iya udah ngga tinggal sama keluarga karena kan udah punya istri dan anak. Kerjanya ya ke kebun karet kalo udah selesai kadang jadi kuli angkut pasir untuk nambah penghasilan. Kalo cuma hasil dari kebun karet masih kurang apalagi nanti anak udah sekolah.” (G 30)
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan Tingkat pendidikan N Persentase (jumlah) (%) 1-5 tahun 9 14.8 6-8 tahun 29 47.5 9-12 tahun 23 37.7 Total 61 100 Pada penelitian ini diasumsikan bahwa seseorang yang menempuh pendidikan formal selama 6 tahun artinya adalah lulusan SD (Sekolah Dasar) atau sederajat. Adapun seseorang yang menempuh pendidikan selama 9 dan 12 tahun artinya lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau sederajat dan lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas) atau sederajat. Berdasarkan Tabel 5, responden pada penelitian ini didominasi oleh responden dengan tingkat pendidikan paling banyak antara 6 sampai dengan 8 tahun yakni sebesar 47.5% dari jumlah total responden. Sementara itu, untuk responden yang menempuh pendidikan formal kedua
29
terbanyak selama 9 sampai dengan 12 tahun sebanyak 37.7% dan sisanya sebesar 14.8% merupakan responden yang menempuh pendidikan formal selama 1 sampai dengan 5 tahun. Rata-rata responden menempuh pendidikan formal adalah selama 7 tahun. Dapat disimpulkan bahwa responden menempuh pendidikan formal paling banyak adalah lulusan SD (Sekolah Dasar). Adapun tingkat pendidikan responden kedua paling banyak adalah lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan sisanya tidak lulus SD (Sekolah Dasar). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan responden masih rendah yaitu belum menamatkan atau lulusan SD (Sekolah Dasar). Tingkat pendidikan responden rendah dikarenakan pada masa awal transmigran masih belum ada fasilitas pendidikan dan perekonomian keluarga kurang. Hal ini seperti penuturan responden sebagai berikut: “Orang tua dulu mah masih belum ada sekolah. Bapak dulu aja masih sekolah rakyat itu juga ngga selesai langsung diajak ke sawah sama orang tua. Jadinya mah banyak yang ngga sekolah.” (KC 69) Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut pengalaman bertani Pengalaman bertani N Persentase (jumlah) (%) 2-20 tahun 17 27.9 21-40 tahun 24 39.3 41-82 tahun 20 32.8 Total 61 100.0 Berdasarkan tabel 6, responden pada penelitian ini memiliki pengalaman bertani paling banyak selama 21 sampai dengan 40 tahun yakni sebesar 39.3% dari total responden. Sementara itu, untuk responden yang memiliki pengalaman bertani selama 41 sampai dengan 82 tahun berada di urutan kedua yakni sebesar 32.8% dan sisanya sebesar 27.9% responden yang memiliki pengalaman bertani selama 2 sampai dengan 20 tahun. Rata-rata pengalaman bertani responden adalah 33 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa responden melakukan kegiatan pertanian dimulai sejak usia muda. Kegiatan bertani dilakukan sejak usia muda dikarenakan perekonomian yang kurang sehingga dari usia muda sudah turun langsung melakukan kegiatan pertanian untuk membantu kedua orang tua memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengalaman bertani ini juga hubungannya searah dengan usia responden dimana pada usia muda responden telah melakukan kegiatan pertanian. Hal ini juga berdasarkan penuturan responden sebagai berikut: “Dari kecil udah diajari tani Feb sampai sekarang juga masih tetap bertani dan ngga kerja yang lain. Iya, menekuni kerja sebagai petani aja. Dan sekarang lumayan tambah baik lah ganti nanam karet ini meskipun sekarang harganya lagi murah tapi tetap ditekuni ajalah daripada ngga dapat uang.” (P 78)
30
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut usia Usia N (jumlah) 25-40 tahun 21 41-55 tahun 20 56-92 tahun 20 Total 61
Persentase (%) 34.4 32.8 32.8 100.0
Berdasarkan Tabel 7, responden pada penelitian ini responden yang berusia muda antara 25 sampai dengan 40 tahun yakni sebesar 34.4% dari total responden. Sementara itu, untuk responden yang berusia sedang dan tua antara 41 sampai dengan 55 tahun dan 56 sampai dengan 92 tahun memiliki jumlah sama yakni sebesar 32.8%. Rata-rata usia responden adalah 49 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pekerjaan sebagai petani dilakukan pada usia muda terbukti karena berbanding lurus dengan lama pengalaman petani dalam melakukan kegiatan pertanian. Adapun penentuan kategori usia muda, sedang, dan tua ini didasarkan pada nilai tengah yang didapatkan dari data hasil seluruh responden. Akan tetapi, pada rentang usia di atas 60 tahun responden pada penelitian ini masih aktif bertani. Hal ini berdasarkan penuturan responden sebagai berikut: “Iya masih kerja ke kebun. Anaknya udah pada nikah semua dan udah punya anak jadi kalo ngga kerja sendiri ya gimana. Kadang ya sering kecapean namanya juga udah tua. ” (W 72) Tabel 8 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut tingkat pendapatan Tingkat pendapatan N Persentase (Jumlah) (%) 48 78.6 Rp11 280 000-Rp51 280 000 10 16.4 Rp41 280 001-Rp91 280 001 Rp91 280 002-Rp131 280 002 3 5.0 Total 61 100.0 Berdasarkan Tabel 8, pada penelitian ini rumah tangga transmigran memiliki tingkat pendapatan paling banyak antara Rp11 280 000 sampai dengan Rp51 280 000 sebesar 78.6% dari total rumah tangga transmigran. Sementara itu, untuk responden yang memiliki urutan kedua terbanyak adalah petani yang berpendapatan antara Rp41 280 001 sampai dengan Rp91 280 001 yaitu sebesar 16.4% dan sisanya sebesar 5% merupakan rumah tangga transmigran dengan pendapatan antara Rp91 280 002 sampai dengan Rp131 280 002. Adapun rata-rata pendapatan rumah tangga transmigran adalah sebesar Rp38 788 852.
31
PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Jenis-Jenis Mata Pencaharian Jenis mata pencaharian masyarakat transmigran semakin beragam dalam berbagai golongan. Perubahan-perubahan ini dilakukan oleh masyarakat transmigran dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomiannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian masyarakat transmigran. Pada tahun 1983 masyarakat transmigran datang ke wilayah ini yaitu Desa Suka Makmur melalui program transmigrasi umum. Masyarakat yang datang berasal dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan jumlah 400 kepala keluarga. Program transmigrasi ini memberikan 2 hektar lahan bagi setiap kepala keluarga dengan pembagian 1 hektar lahan garapan, 0.75 hektar lahan belukar, dan 0.25 hektar lokasi tempat tinggal serta kebutuhan pangan dan non pangan melalui bantuan pemerintah. Terdapat juga JADUP (Jaminan Hidup) berupa bantuan dari pemerintah dikarenakan masih minimnya fasilitas kebutuhan masyarakat dan komoditi perekonomiannya belum menghasilkan. Lahan belukar masih banyak tidak dimanfaatkan maka terbentukllah kelompok tani. Tujuan kelompok tani adalah untuk mengantisipasi petani yang malas bekerja untuk mengerjakan lahan berupa penebasan hutan. Mayoritas masyarakat transmigran berasal dari Pulau Jawa yang di daerahnya dulu bekerja sebagai petani palawija sehingga ketika datang ke wilayah ini lahan yang mereka dapatkan digunakan untuk bertani palawija. Pada saat itu, kepemilikan lahan sama dan jenis rmata pencaharian masyarakat transmigran sekitar 90% bekerja sebagai petani dan sekitar 10% bekerja di sektor non pertanian. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut: “Iya, kalo dulu masyarakat 90% bekerja sebagai petani karena yang merantau kesini kan banyakan dari Jawa yang dulunya disananya memang orang tani. Sedangkan yang lain ya sekitaran 10% pada merantau keluar daerah karena bagi mereka kerja tani ngga banyak menghasilkan.” (HP 47) “Masyarakat yang transmigran pertama dulu itu memang bener semuanya bekerja sebagai petani palawija, kemungkinan sedikit sih keluar atau merantau karena untuk mencari penghasilan lain biasanya itu anak-anak masih muda yang merantau.” (SR 54) Sebagian besar pada masa kini masyarakat transmigran bermata pencaharian sebagai petani. Pertanian yang dilakukan adalah menanam palawija berupa padi, kacang tanah, dan jagung. Selain itu, petani juga menanam tanaman sayuran untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Penanaman palawija dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong dengan keluarga dan tetangga. Penanaman palawija ini juga ditentukan sesuai dengan perhitungan Jawa yaitu pranoto mongso.
32
Pranoto mongso merupakan perhitungan jawa yang digunakan untuk menentukan bulan penanaman sampai dengan pemanenan pada tanaman palawija. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut: “Pranoto mongso itu perhitungan jawa untuk bulan penanaman seperti bulan ke 12 sampai bulan ke 2 panen padi, bulan ke 3 tanam kacang, bulan ke 4 sampai ke 5 tanam jagung, bulan ke 6 sampai ke 7 membuka lahan, dan bulan ke 8 sampai ke 11 menanam padi. Ini juga disesuaikan dengan musim hujan dan musim kemarau.” (HP 47) Penanaman palawija menggunakan perhitungan pranoto mongso ternyata tidak sesuai dengan wilayah ini karena perbedaan musim antara wilayah Sumatera dan Jawa khususnya wilayah transmigran. Bertani palawija ternyata tidak cocok karena panen yang tidak menentu dan tidak adanya irigasi sehingga masyarakat hanya menggantungkan tadah hujan sebagai pengairan. Kondisi pada saat itu belum adanya PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) yang bisa mengarahkan masyarakat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sementara itu, masyarakat belum mengetahui tanaman yang cocok di wilayah ini. Penanaman palawija ini kurang menghasilkan dikarenakan banyak tanaman terkena hama dan penyakit bahkan gagal memanen sehingga masyarakat transmigran mulai merasa resah. Masyarakat mulai mencoba untuk menanam tanaman keras yaitu kopi namun ternyata gagal lagi. Selanjutnya, masyarakat mencoba menanam cengkeh dan ternyata tidak ada kecocokan dan gagal. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut: “Masyarakat jawa dulukan masih awam jadi tahu nya ya nanam palawija itu tapi ternyata ngga cocok disini. Katanya perbedaan musim. Lalu, masyarakat mulai mencoba menanam tanaman keras yaitu kopi. Lalu, nanam cengkeh tuh ternyata ngga cocok pula dan gagal.” (S 54) Pada tahun 1990-an masuklah perusahaan perkebunan karet ke wilayah Kecamatan Putri Hijau dengan membeli lahan masyarakat. Perusahaan perkebunan karet menguasai lahan seluas 3639 hektar. Perusahaan perkebunan karet yang pertama kali masuk adalah PT Air Muring. Masyarakat transmigran pada masa kini belum mengetahui tentang tanaman perkebunan sehingga masih ragu untuk menanam tanaman karet. Mayoritas masyarakat Jawa yang bertransmigrasi ke daerah ini beranggapan bahwa tanaman karet tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini seperti penjelasan informan sebagai berikut: “ah nanti kalo nanam karet apa mau makan getahnya atau batangnya.” (HP 47) Perusahaan perkebunan karet ini juga berada di beberapa desa penyangga dengan kewajiban perusahaan untuk merekrut masyarakat sebagai karyawannya. PT Air Muring berada di desa penyangga yakni Desa Air Muring, Desa Karya Pelita, Desa Suka Merindu, Desa Suka Makmur, dan Desa Karang Tengah. Kondisi ini berdasarkan penuturan informan yang bekerja sebagai karyawan PT Air Muring:
33
“Jadi begini kan jika perusahaan itu berada di desa penyangga maka sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk merekrut masyarakat disekitar menjadi karyawannya. Kondisi di desa penyangga saat itu masih banyak pengangguran ketika hadirnya perusahaan maka perusahaan merekrut karyawan dari masyarakat.” (PR 50) Bapak PR bekerja sebagai karyawan perusahaan perkebunan karet juga menjelaskan bahwa masuknya perusahaan perkebunan karet sangatlah membantu pemerintah desa untuk mengatasi pengangguran dengan tujuan memperbaiki perekonomian rumah tangga masyarakat transmigran. Masuknya perusahaan perkebunan karet ini menjadikan bertambahnya jenis mata pencaharian baru di masyarakat transmigran yakni sebagai karyawan dan buruh perusahaan. Sektor lain juga yakni pertukangan dan pedagang. Hal ini sesuai hasil penelitian (Kinseng et al. 2013) masuknya perusahaan tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial, stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Perusahaan tambang telah mendorong munculnya beragam jenis usaha atau mata pencaharian yang baru. Berkembangnya berbagai jenis pekerjaan atau mata pencaharian di bidang jasa dan perdagangan sangat terlihat di Kelurahan Loa Tebu dan kemudian disusul Desa Embalut. Dengan kata lain, tambang telah menyebabkan terjadinya diferensiasi sosial pada masyarakat lokal di lokasi penelitian ini. Seiring dengan semakin tingginya diferensiasi sosial, stratifikasi sosial juga mengalami perubahan. Kini perbedaan antara strata bawah dengan strata paling atas semakin mencolok, antara lain terlihat dari kepemilikan harta milik. Hal ini berdasarkan penuturan responden dan informan sebagai berikut: “Masuknya perusahaan perkebunan karet ke wilayah yang masih banyak pengangguran ya pasti banyak positifnya buktinya banyak yang bekerja di perusahaan meskipun sekarang masyarakat sudah tidak bisa lagi memperluas lahan tetapi tak ada yang protes karena bagi mereka sudah cukup bekerja di perusahaan menjadi karyawan. Dampaknya mungkin akan dirasakan pada anak atau cucunya yang akan datang.” (SR 54) “Banyak positifnya Feb karena masuknya perusahaan PT Air muring ini masyarakat dapat bekerja disitu dan pekerjanya dapat membeli bibit karet dengan harga yang lebih murah. Sambil menunggu hasil panen karet juga makanya masyarakat banyak yang bekerja di perusahaan ini.” (S 58) Terdapat pula perusahaan yang masuk ke wilayah ini yakni perusahaan tambang batu bara. Perusahaan tambang batu bara yang ada di Desa Suka Makmur baru berdiri selama lima tahun. Masuknya perusahaan tambang ini dengan cara membeli lahan masyarakat. Masuknya perusahaan tambang ini juga membuka peluang kerja baru bagi masyarakat seperti, supir perusahaan. Pada tahun 1992-an Disbun (Dinas Perkebunan) mengadakan program untuk penanaman tanaman karet. Disbun hadir di kawasan transmigran terutama di
34
Desa Suka Makmur tujuannya adalah sosialiasi tentang cara penanaman karet dan memberikan bibit serta pupuk untuk penanaman karet dengan sistem kredit yang disebut TCSSP (Tree Crops Smallholder Supporting Programme). Sistem kredit ini merupakan peminjaman yang diberikan oleh Disbun berupa bibit dan pupuk dengan menyerahkan sertifikat lahan sebagai jaminan. Proses pembayaran kredit dilakukan selama lima tahun dengan sistem menyicil setiap bulan. Pelaksanaan program ini dilakukan dengan pendampingan oleh PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Pertemuan dengan PPL juga dilakukan berupa sosialisasi yang dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. Awal penanaman komoditi karet ini berjumlah 500 batang. Setelah itu, terbentuklah perkebunan karet masyarakat didukung dengan harga karet pada masa kini sangat mahal yakni Rp15 000 kg-1 sehingga semua masyarakat berlombalomba menanam komoditi karet dengan tujuan untuk memperbaiki perekonomiannya. Selain itu, terdapat juga komoditi sawit dengan penanaman pola plasma yang didapatkan masyarakat dari perusahaan sawit di kecamatan yang berbeda karena melihat hasil dari komoditi ini juga baik untuk meningkatkan perekonomiannya. Seiring dengan berubahnya penanaman komoditi pertanian dari palawija menjadi karet dan sawit menjadikan bertambahnya jenis mata pencaharian di kawasan transmigran. Terbentuknya perkebunan karet masyarakat lalu muncullah jenis mata pencaharian baru seperti pedagang pengumpul (tengkulak), kuli karet, buruh penyadap, buruh pemanen sawit (pendodos), pemanen atau pendodos sawit milik sendiri, dan penyadap milik sendiri. Penyadap merupakan seseorang yang bekerja di kebun karet baik kebun milik sendiri maupun orang lain. Adapun pendodos merupakan seseorang yang bekerja di kebun sawit baik kebun milik sendiri maupun milik orang lain. Perubahan penanaman komoditi pertanian dari bertani palawija menjadi perkebunan karet dan sawit menjadikan perekonomian masyarakat transmigran semakin meningkat. Hal ini terbukti dengan fasilitas-fasilitas rumah yang digunakan oleh setiap rumah tangga semakin banyak. Hal ini berdasarkan penuturan informan dan responden sebagai berikut: “Dampaknya itu sebenernya cukup baik dengan perubahan penanaman komiditi pertanian menjadi perkebunan karet dan sawit ke wilayah trannsmigrasi. Komoditi karet dan sawit ini juga menambah penghasilan masyarakat terutama rumah tangga petani sehingga keadaan perekonomian semakin baik. Yang pasti perubahan menjadi komoditi karet dan sawit menyebabkan pendapatan masyarakat meningkat. Lihat aja secara fisik semakin banyak fasilitas tiap rumah tangga seperti motor, mobil, dan lain-lain yang pada zaman dulu ngga ada. Ngga ada ya karena ngga bisa beli dan ngga bisa beli juga karena ngga punya duit gitu aja gampangnya Feb.” (HP 47) “Perubahan jadi nanam karet pastinya menjadi semakin baik. Jadi begini artinya kalo dulu masalahnya belum tahu komoditi yang menghasilkan tapi penduduk masih sedikit sehingga masih bisa untuk kebutuhan sehari-hari kalo sekarang pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga
35
persaingan dalam bekerja juga semakin banyak. Yang penting orangnya mau untuk kerja dan ngga males maka pasti dapat memenuhi kebutuhan keluarga apalagi keluarga yang tidak mempunyai lahan.” (SR 54) “Pastinya makin baik Feb karena makin banyak yang bisa dikerjakan asal mau untuk bekerja apa aja. Ya kayak nguli karet begini. Paginya jadi buruh di kebun orang, siang kadang kuli pasir, dan sore kuli karet. Ngga ada berhentinya apalagi harga karet sekarang murahkan. Tapi yang pasti lebih baiklah dari dulu. Dulu sekolah aja susah gimana mau sekolah buat makan aja susah kalo sekarang anak udah bisa sekolah dan sudah tercukupi untuk kebutuhan sehari-hari.” (SW 30) Berdasarkan penelitian Prambudi (2010) mengartikan perubahan mata pencaharian atau biasa disebut transformasi pekerjaan adalah pergeseran atau perubahan dalam pekerjaan pokok yang dilakukan manusia untuk hidup dan sumber daya yang tersedia untuk membangun kehidupan yang memuaskan (peningkatan taraf hidup). Merujuk teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan jenis-jenis mata pencaharian responden dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga. Perubahan jenis mata pencaharian ini terjadi karena ada heterogenitas dalam kepemilikan lahan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian. Rumah tangga petani yang memiliki lahan luas memilih menambah pendapatannya dengan menambah jenis mata pencahariannya namun tetap tidak meninggalkan kegiatan pertanian. Adapun rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan sedikit maka menambah pendapatannya dengan bekerja kepada petani lahan luas atau bekerja serabutan seperti kuli angkut pasir, kuli karet, dan tukang bangunan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan jenis mata pencaharian masyarakat transmigran yakni pertambahan jumlah penduduk, masyarakat transmigran merubah komoditi pertanian dari bertani palawija menjadi perkebunan karet dan sawit, dan masuknya perusahaan perkebunan karet dan perusahaan tambang batu bara. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat transmigran telah mengalami perubahan jenis mata pencaharian yang menjadi semakin meningkatnya jenis mata pencaharian baru. Tujuan masyarakat transmigran melakukan perubahan jenis mata pencaharian baru adalah untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga masyarakat transmigran.
36
37
PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Tingkat Kepemilikan Lahan Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan sosial pada tingkat kepemilikan lahan. Perubahan terjadi karena masyarakat transmigran relatif tidak memiliki lahan lalu mendapatkan lahan yakni sebanyak 2 hektar. Program transmigrasi telah memindahkan masyarakat dari masyarakat yang tidak memiliki lahan menjadi memiliki lahan sebanyak 2 hektar. Pada awal transmigran pemilikan lahan hanyalah milik masyarakat dengan pembagian yang sama sebanyak 2 hektar. Pembagian 2 hektar lahan adalah 1 hektar sebagai lahan garapan, 0.75 hektar sebagai lahan belukar, dan 0.25 hektar sebagai lokasi tempat tinggal. Pada masa kini lahan yang dimiliki oleh masyarakat transmigran dimanfaatkan sebagai penanaman palawija dengan cara gotong royong bersama keluarga dan tetangga menggunakan sistem pembagian hasil yang sama. Sementara itu, masih banyak lahan belukar atau lahan yang tidak dimanfaatkan disebut tanah restan. Tanah restan ini dapat dijadikan hak milik masyarakat transmigran dengan cara menebas hutan lalu membuat sendiri sertifikat tanahnya. Hal ini merupakan salah satu penyebab kepemilikan lahan masyarakat semakin beragam. Pada saat penelitian ini kepemilikan lahan di kawasan transmigran semakin beragam. Hal ini terbukti seperti Tabel 9 dibawah ini: Tabel 9 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut kepemilikan luas lahan Klasifikasi Luas lahan N Persentase (jumlah) (%) 1 Tidak memiliki lahan 4 6.5 2 0.5-<2 hektar 30 49.1 3 2-4 hektar 22 36.0 4 5-8 hektar 6 9.8 5 9-11 hektar 1 1.6 Total 61 100.0 Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Perubahan yang terjadi yaitu semakin berkurang dan bertambahnya kepemilikan lahan. Rumah tangga transmigran yang kepemilikan lahannya berkurang adalah sebesar 49.1% dan tidak memiliki lahan adalah sebesar 6.5%. Adapun rumah tangga transmigran yang kepemilikan lahannya bertambah adalah sebesar 47.4%. Rata-rata kepemilikan lahan adalah 2 hektar artinya tidak ada yang berkurang dan bertambah. Pada klasifikasi 3 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 2 kali lipat sebesar 36% dan klasifikasi 4 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 4 kali lipat sebesar 9.8%. Adapun klasifikasi 5 kepemilikan lahan bertambah sampai dengan 5.5 kali lipat sebesar 1.6%. Hal ini sesuai dengan Soekanto (1982) yang menjelaskan bahwa ada
38
dua jenis gerak sosial yakni gerak sosial horizontal dan gerak sosial vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan peralihan individu dari suatu kelompok ke kelompok lainnya yang sederajat. Adapun gerak sosial horizontal merupakan perpindahan individu dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya, maka terdapat dua jenis gerak sosial yang vertikal, yaitu yang naik (social-climbing) dan yang turun (social-sinking). Tabel 10 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut asal mula kepemilikan lahan Asal mula kepemilikan N Persentase lahan (jumlah) (%) Pemerintah 1 1.6 Pemerintah dan beli 11 18.1 sendiri Warisan 8 13.1 Warisan dan beli sendiri 8 13.1 Beli sendiri 33 54.1 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bahwa ada perbedaan asal mula kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Pada Tabel 10 dapat diketahui bahwa asal mula kepemilikan lahan dikategorikan menjadi 5 yakni pemerintah, pemerintah dan beli sendiri, warisan dan beli sendiri, dan warisan. Asal mula kepemilikan lahan didominasi dengan membeli sendiri sebanyak 54.1%. Hal ini dikarenakan responden paling banyak usia muda adalah masyarakat transmigran generasi ketiga dari masyarakat asli transmigran sehingga sudah memiliki keluarga baru dan membeli lahan sendiri. Sementara itu, asal mula kepemilikan lahan urutan kedua paling banyak adalah pemerintah dan beli sendiri sebesar 18.1% dan asal mula kepemilikan lahan dari pemerintah adalah sebesar 1.6%. Adapun asal mula kepemilikan lahan warisan dan warisan ditambah beli sendiri adalah sebesar 13.1%. Hal ini seseuai penuturan responden sebagai berikut: “Iya, beli sendiri Feb. Siapa yang mau ngasih juga. Lahan orang tua udah pada dijual jadi anak-anaknya juga ngga kebagian.” (RY 43) “Lahan warisan Feb dari nenek ngga punya lagi lahan yang lain makanya kerja serabutan juga kalo dari lahan 1 hektar saja kurang untuk 4 orang sekeluarga. Apalagi anak sekarang sudah SMP.” (ST 36)
39
Tabel 11 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut luas lahan dan asal mula kepemilikan lahan Klasifikasi Luas lahan Asal mula kepemilikan N Persentase lahan (jumlah) (%) 1 Tidak 4 memiliki lahan 2 0.5-<2 hektar Warisan, beli sendiri 30 49.1 3 2-4 hektar Pemerintah, pemerintah 22 36.0 dan beli sendiri 4 5-8 hektar Pemerintah dan beli 6 9.8 sendiri, beli sendiri 5 9-11 hektar Pemerintah dan beli 1 1.6 sendiri Berdasarkan Tabel 11, pada penelitian ini rumah tangga transmigran klasifikasi 2 yang memiliki lahan antara 0.5 sampai dengan kurang 2 hektar asal mula kepemilikan lahannya adalah dari warisan dan beli sendiri. Klasifikasi 3 rumah tangga transmigran yang memiliki lahan 2 sampai dengan 4 hektar asal mula kepemilikannya lahannya adalah dari pemerintah, pemerintah dan beli sendiri, dan beli sendiri. Klasifikasi 4 rumah tangga transmigran yang memiliki lahan 5 sampai dengan 8 hektar asal mula kepemilikan lahannya adalah dari pemerintah dan beli sendiri dan beli sendiri dan sisanya merupakan rumah tangga transmigran klasifikasi 5 yang memiliki lahan 9 sampai 11 hektar asal mula kepemilikan lahanna adalah dari pemerintah dan beli sendiri. Banyak faktor penyebab terjadinya perubahan sosial pada tingkat kepemilikan lahan. Pertama, kepemilikan lahan berkurang dan tidak memiliki lahan karena jumlah tanggungan yang banyak. Lahan yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat transmigran adalah 2 hektar. Rumah tangga petani yang memiliki tanggungan atau anak dengan jumlah banyak maka harus melakukan pembagian secara adil. Adapun anak yang tidak mendapatkan pembagian lahan dikarenakan lahannya sudah habis. Hal ini juga berdasarkan penuturan informan dan responden sebagai berikut: “Pada awal transmigran diterima lahan 2 hektar lalu memiliki anak 4 maka setiap anaknya hanya kebagian 0.5 hektar. Kalo anaknya lebih dari itu yaudah ngga kebagian lahan.” (HP 47) “kebunnya dulu punya 3 hektar sekarang hanya 1 hektar karena dikasih sama anak yang sudah menikah dan punya keluarga baru sendiri.” (S 58) “Ngga punya kebun Feb. Ngga dapat warisan juga dari orang tua karena kebun orang tua masih dikerjakan oleh beliau makanya sekarang kerja jadi buruh.” (E 33)
40
Kedua, bertambahnya jumlah penduduk. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dassir (2007) yang menjelaskan bahwa diferensiasi pemilikan lahan terjadi akibat pertambahan penduduk dan berkembangnya sistem teknologi pertanian persawahan bercorak komersil atau kapitalis di Desa Timpuseng. Ketiga, kepemilikan lahan berkurang karena lahannya dijual. Hal ini berdasarkan penjelasan informan dan responden sebagai berikut: “Lahan itu kan asset ekonomi yang mudah untuk dijual. Jadi, masyarakat disini dulu itu perekonomiannya kurang terus banyak pendatang yang datang ingin membeli lahan maka masyarakat yang punya lahan langsung menjual lahannya untuk pendatang. Disini terdapat penukaran lahan dengan uang. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bisa bekerja di perusahaan atau di lahan orang lain dan mereka dapat uang dari penjualan lahan tersebut.” (HP 47) “Kebunnya habis Feb buat sekolah anak. Tapi sekarang anaknya udah lulus kuliah malah minta nikah dan ngga mau kerja sesuai kuliahnya. Ya sudahlah nanti dipaksa malah marah namanya juga anak laki-laki.” (W 49) Keempat, masuknya perusahaan perkebunan karet dan perusahaan tambang di Desa Suka Makmur dengan membeli lahan masyarakat. Pada tahun 1990-an masuklah perusahaan perkebunan karet ke wilayah Kecamatan Putri Hijau termasuk Desa Suka Makmur sebagai desa penyangga. Perusahaan membeli lahan masyarakat untuk dijadikan perkebunan karet sebanyak 3 639 hektar. Perusahaan perkebunan karet yang pertama kali masuk adalah PT Air Muring. Masuknya perusahaan perkebunan karet lalu terbentuklah perkebunan milik perusahaan. Pada tahun 2010 masuklah perusahaan tambang ke wilayah ini dengan tujuan untuk menambang batu bara. Hal ini berdasarkan penuturan responden sebagai berikut: “Lahannya udah berkurang soalnya kena proses penambangan batu bara jadi ya dijual aja.” (S 63)
41
PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT TRANSMIGRAN DI DESA SUKA MAKMUR Perubahan Tingkat Pendapatan Pendapatan masyarakat transmigran semakin meningkat daripada awal transmigran sampai dengan penelitian ini berlangsung sehingga program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah dianggap berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai berikut: “Program transmigrasi ini ya sangat berhasil. Bahkan kalo bisa diteruskan dengan catatan adanya pembagian yang adil antara pendatang dan penduduk asli daerah yang menjadi kawasan transmigran agar tidak adanya kecemburuan sosial. Kalo pendapatan ya pasti meningkatlah. Namun kalo dulu kurang ekonomi karena belum tahu tanaman yang cocok di daerah ini. kalo sekarang pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga harus ulet bekerja jika memang mau banyak pendapatannya karena kesempatan kerja disini banyak banget. Tapi yang pasti pendapatannya makin meningkatlah daripada dulu.” (SR 54) Pada awal transmigrasi sekitar 90% masyarakat transmigran bekerja sebagai petani palawija guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan cara gotong royong bersama keluarga dan tetangga serta sekitar 10% bekerja di sektor non pertanian. Selain itu, semua masyarakat transmigran juga memperoleh lahan dengan jumlah yang sama setiap rumah tangga yakni sebanyak 2 hektar dan mendapatkan jaminan hidup berupa kebutuhan pangan dan non pangan dari pemerintah. Hal ini diasumsikan bahwa pendapatan masyarakat transmigran pada masa kini adalah sama berdasarkan jumlah kepemilikan yang sama sebanyak 2 hektar dan jenis mata pencaharian sekitar 90% sebagai petani palawija dengan cara gotong royong. Kegiatan pertanian palawija berupa padi, jagung, dan kacang pada masa kini kurang menghasilkan karena ada perbedaan musim di Jawa dengan di kawasan ini. Tanaman palawija banyak terkena hama dan penyakit yang menyebabkan kegagalan panen. Selain itu, hasil panen juga tidak menentu dan tidak adanya irigasi di kawasan ini sehingga masyarakat transmigran hanya menggunakan tadah hujan untuk mengairinya. Masyarakat juga mulai mencoba menanam tanaman keras seperti kopi dan cengkeh namun ternyata tidak ada kecocokan dan gagal. Pada tahun 1990-an masuklah perusahaan perkebunan karet yang memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Masuknya perusahaan perkebunan karet ini memberikan dampak yang positif bagi masyarakat karena kondisi masyarakat pada masa kini banyak yang pengangguran. Masuknya perusahaan ini sebagai peluang kerja untuk masyarakat transmigran. Pada saat itu, masyarakat belum menyadari jika tanaman yang cocok di kawasan transmigran ini adalah tanaman perkebunan karena belum ada PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) yang memberikan pengarahan akan hal tersebut. Masyarakat masih menganggap bahwa tanaman yang ditanam itu adalah yang dimakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini berdasarkan penuturan informan sebagai beirkut:
42
“Kalo nanam karet apa ya mau dimakan getahnya.” (HP 47) Disbun (Dinas Perkebunan) mengadakan program penanaman karet dengan sistem kredit yang disebut TCSSP (Tree Crops Smallholder Supporting Programme). Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tanaman karet merupakan tanaman tahunan sehingga hasilnya tidak dapat ditunggu tanpa melakukan kegiatan perekonomian lain. Selama menunggu hasil panen karet masyarakat dapat menanam tanaman palawija dengan cara tumpang sari dan ada juga yang bekerja di perusahaan. Perubahan komoditi perekonomian dari bertani palawija menjadi perkebunan karet dan sawit didukung dengan harga yang sangat mahal pada masa kini yakni Rp15 000/kg. Keberhasilan tanaman karet menyebabkan semua masyarakat berlomba-lomba untuk menanam karet. Hal ini dikarenakan hasil panen karet dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Pada penelitian ini, pendapatan masyarakat semakin heterogen atau beragam. Pendapatan yang diperoleh merupakan pendapatan selama sebulan pada bulan Maret 2016. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 13 dibawah ini: Tabel 12 Jumlah dan persentase rumah tangga transmigran menurut kepemilikan lahan dan rata-rata pendapatan Maret 2016 Kategori pendapatan Rata-rata pendapatan N Persentase menurut kepemilikan lahan (jumlah) (%) Tidak memiliki lahan
Rp1 525 000
4
6.5
0.5-<2 hektar 2-4 hektar 5-8 hektar 9-11 hektar Total
Rp2 464 301 Rp3 236 667 Rp7 825 000 Rp10 083 333
30 22 6 1 61
49.1 36.0 9.8 1.6 100.0
Sumber: Data Primer 2016
Berdasarkan Tabel 12, pada penelitian ini rumah tangga transmigran telah mengalami perubahan pendapatan dikarenakan heterogenitas kepemilikan lahan. Rumah tangga transmigran yang tidak memiliki lahan memiliki rata-rata pendapatan paling rendah dengan jumlah Rp1 525 000 perbulan. Adapun rumah tangga yang memiliki rata-rata paling tinggi dengan jumlah Rp10 083 333 perbulan memiliki lahan 9 sampai dengan 11 hektar. Hal ini sesuai antara Tabel 12 dengan hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap pendapatan artinya luas lahan semakin meningkat maka pendapatan semakin meningkat. Pada Tabel 12 menjelaskan bahwa rumah tangga transmigran yang paling banyak memiliki luas lahan antara 0.5 sampai dengan kurang dari 2 hektar dan rata-rata pendapatan Rp2 464 301 adalah sebesar 49.1% dari total rumah tangga transmigran. Adapun rumah tangga transmigran pada urutan kedua terbanyak yang memiliki luas lahan antara 2 sampai dengan 4 hektar dan rata-rata pendapatan Rp3 236 667 adalah sebesar 36% dan urutan ketiga terbanyak adalah rumah tangga
43
transmigran yang memiliki luas lahan antara 5 sampai dengan 8 hektar dan rata-rata pendapatan Rp7 825 000 adalah sebesar 9.8%. Rata-rata pendapatan rumah tangga pada bulan Maret adalah sebesar Rp3 232 404. Melihat perubahan pendapatan maka penting untuk mengetahui peningkatan pendapatan rumah tangga masyarakat transmigran menggunakan garis kemiskinan berdasarkan pendapatan kapitaperbulan. Garis kemiskinan Provinsi Bengkulu adalah sebesar Rp404 179 kapitaperbulan. Hal ini terbukti seperti Tabel 13 di bawah ini: Tabel 13 Rata-rata pendapatan rumah tangga transmigran di bawah garis kemiskinan Provinsi Bengkulu menurut luas lahan Maret 2016 Luas lahan Rata-rata pendapatan Tidak memiliki lahan Rp304 166 0.5-2 hektar Rp318 095 Rata-rata pendapatan pada Tabel 13 merupakan pendapatan yang diperoleh dari hasil pembagian antara pendapatan bulan Maret dengan jumlah tanggungan dalam keluarga. Berdasarkan Tabel 13, dapat diketahui bahwa pendapatan dipengaruhi oleh kepemilikan lahan rumah tangga transmigran. Rumah tangga transmigran yang tidak memiliki lahan rata-rata pendapatannya di bawah garis kemiskinan Provinsi Bengkulu adalah sebesar Rp304 166. Adapun rumah tangga transmigran yang memiliki lahan antara 0.5 sampai dengan 2 hektar rata-rata pendapatannya di bawah garis kemiskinan adalah sebesar Rp318 095. Pendapatan lain rumah tangga selain dari pertanian adalah memelihara ternak, kerja sampingan (kuli angkut pasir dan karet, tukang bangunan, jualan manisan), dan karyawan perusahaan. Hal ini berdasarkan penuturan responden adalah sebagai berikut: “Kadang kerja jadi kuli karet, kadang kuli pasir. Apa ajalah Feb, siapa aja yang ngajak untuk bekerja maka mau aja. Maklum lah kebunnya juga cuma dikit dan belum menghasilkan jadi harus kerja serabutan.” (S 30) Pendapatan ini juga dilakukan uji statistik menggunakan regresi linear berganda dengan sebagai variabel terikat. Hasi uji menunjukkan bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan dengan nilai signifikasi sebesar (0.000<0.05). Hal ini logis dimana kepemilikan luas lahan meningkat maka tingkat pendapatan akan meningkat. Berbagai faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani masyarakat transmigran yakni: luas lahan, harga, pengolahan hasil, dan keuletan dalam bekerja. Dalam hal ini merujuk pada hasil penelitian Septianita (2009) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam melakukan peremajaan tanaman karet yang mempengaruhi pendapatan petani antara lain luas lahan yang digunakan, jumlah tenaga kerja, dan pengalaman dalam usaha tani karet. Hasil penelitian Susianti dan Rauf (2013) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha tani jagung manis adalah luas lahan, pupuk, benih, pestisida,
44
tenaga kerja, umur petani, pendidikan formal dan harga output berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Hal ini berdasarkan penuturan responden dan informan adalah sebagai berikut: “Iya yang sangat berpengaruh itu harga Feb. Kalo harganya mahal petani dan buruh tani tidak akan mengeluh. Sekarang harga karet murah banget tapi harga sembako mahal-hal jadi ngga seimbang antara pendapatan dan pengeluarannya.” (S 30) “Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani disini yang paling terlihat adalah kepemilikan luas lahan. Jika tingkat pendidikan, pengalaman bertani, usia, dan jumlah tanggungan dalam keluarga tidak berpengaruh. Misalnya, tingkat pendidikan liat aja bapak RY lulusan SD tapi lahannya luas dan pendapatannya banyak karena ulet dalam bekerja. Faktor lain yang mempengaruhi itu seperti pengolahan hasil, harga, dan asal mau bekerja dengan ulet.” (HP 47) “Faktor yang sangat berpengaruh itu harga dan luas lahan.” (SW 55)
45
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI Penelitian ini menganalisis tentang pendapatan rumah tangga petani masyarakat transmigran beserta faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani baik sumber daya keluarga adalah luas lahan dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Adapun sumber daya individu adalah tingkat pendidikan kepala keluarga, pengalaman bertani kepala keluarga, dan usia. Data yang digunakan dalam menentukan model tersebut merupakan data pendapatan dalam setahun. Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani masyarakat transmigran dapat dilihat pada Tabel di bawah ini: Tabel 14 Hasil analisis uji regresi linear berganda Variabel Koefisien t-statistik Konstanta 23568746.98 1.322 Luas lahan 10298458.88 9.279 Jumlah -0.283 Tanggungan -736379.141 dalam Keluarga Tingkat 0.401 414001.999 Pendidikan Pengalaman -1.293 -407639.800 Bertani Usia 0.080 140603.753 R-squared 62.8% F-statistik Adj-R59.4% Prob (F-stat) squared
Probabilitas 0.192 0.000 (*) 0.778
VIF
0.690
1.853
0.202
7.919
0.682 18.571% 0.000
5.550
1.072 1.444
Sumber : Data Primer (diolah)
Keterangan: *nyata pada taraf 5% Berdasarkan Tabel 14 diperoleh koefisien determinasi (Adj-R-squared) sebesar 59.4%. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman variabel dependen yang dimasukkan ke dalam model dapat diterangkan oleh variabel independen mencapai 59.4% dan sisanya 40.6% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Nilai peluang uji F statistik diperoleh sebesar 0.000 lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5% memiliki arti bahwa hasil estimasi regresi variabel independen berpengaruh secara simultan terhadap variabel dependennya. Guna melihat signifikan atau tidaknya pengaruh setiap variabel independen terhadap variabel dependennya dapat dilihat dari uji-T setiap variabel independennya. Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa variabel-variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan yakni luas lahan pada taraf
46
nyata kurang dari ∝= 5%. Adapun variabel tingkat pendidikan, pengalaman bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, dan usia tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan dengan taraf nyata lebih dari 5%. Pada uji untuk membuktikan tidak terjadi multikolinearitas dalam model maka digunakan nilai VIF dengan kriteria apabila nilai VIF yang dihasilkan di bawah 10 maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak mengalami multikolinearitas yang serius. Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh bahwa luas lahan, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendidikan, pengalaman bertani, dan usia terhadap tingkat pendapatan masing-masing diperoleh nilai VIF di bawah 10. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani adalah sebagai berikut: Y = 23568746.98 + 10298458.88X1 407639.800X4 + 140603.753X5
736379.141X2 + 414001.999X3 –
Keterangan: X1= Luas lahan X2= Jumlah tanggungan dalam keluarga X3= Tingkat pendidikan X4= Pengalaman bertani X5= Usia Y = Tingkat Pendapatan Luas Lahan Berdasarkan hasil estimasi koefisien menggunakan analisis uji regresi linear berganda bahwa luas lahan berpengaruh positif (+) dengan koef isien 10298458.88 dan berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani dimana nilai probabilitas 0.000< taraf nyata 5%. Artinya bahwa peningkatan satu hektar variabel luas lahan dengan variabel bebas lain konstan akan menyebabkan kenaikan pendapatan sebesar 10298458.88 rupiah. Luas lahan merupakan jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh rumah tangga petani dalam satuan hektar. Pada hipotesis penelitian disebutkan bahwa luas lahan berpengaruh dengan pendapatan. Hal ini logis dimana kepemilikan lahan meningkat maka pendapatan akan meningkat. Program transmigrasi ini memindahkan masyarakat dari tidak memiliki lahan menjadi memiliki lahan sebanyak 2 hektar. Hal ini logis bahwa pada awal transmigran setiap rumah tangga mendapatkan lahan sebanyak 2 hektar. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan rumah tangga petani masyarakat transmigran memiliki lahan yang luas maka pendapatan yang diperoleh juga besar. Adapun petani yang memiliki lahan sempit dan buruh tani yang tidak memiliki lahan maka pendapatan yang diperoleh juga kecil. Perbedaan kepemilikan lahan ini juga menguntungkan bagi rumah tangga petani yang memiliki lahan sempit dan tidak memiliki lahan untuk dapat berkerja kepada rumah tangga petani yang memiliki lahan luas. Pemanfaatan lahan petani berlahan luas ini dilakukan dengan memperkerjakan saudara atau tetangga yang berlahan sempit dan tidak memiliki lahan. Hal ini mendukung hasil uji statistik yang menunjukkan semakin sempit kepemilikan lahan petani maka semakin kecil pendapatannya.
47
Hal ini seperti yang terjadi pada salah satu seorang responden, Bapak RY (43 tahun). Beliau merupakan petani dengan lahan yang luas sebanyak 6 hektar. Berikut pernyataan Bapak RY mengenai pemanfaatan lahan yang beliau miliki. “Ya, lahannya sebagian udah dipekerjakan saudara karena untuk membantu saudara yang tidak mempunyai lahan biar punya kerjaan dan bisa memperoleh penghasilan. ” (RY 43) Terdapat responden yang menuturkan pula bahwa beliau merupakan rumah tangga petani yang memiliki lahan seluas 0.75 hektar. Berikut penuturan Bapak SW mengenai pemanfaatan lahan yang beliau miliki. “Lahannya cuma sedikit Feb jadi ya sekarang kerja di tempat orang yang kebunnya luas.” (SW 30) Jumlah Tanggungan dalam Keluarga Berdasarkan hasil analisis uji regresi linear berganda bahwa variabel jumlah tanggungan dalam keluarga berpengaruh negatif (-) dengan koefisien -736379.141 namun tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani dimana nilai probabilitas 0.725 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5% (0.778>0.05). Artinya bahwa peningkatan satu orang variabel jumlah tanggungan dalam keluarga dengan variabel konstan lain akan menyebabkan penurunan pendapatan sebesar -736379.141 rupiah. Jumlah tanggungan dalam keluarga merupakan adalah jumlah individu yang ada dalam keluarga responden yang masih ditanggung biaya hidupnya oleh responden. Keluarga responden meliputi anak, istri, saudara, orang tua, atau orang lain yang dianggap keluarga oleh responden. Pada hipotesis penelitian disebutkan bahwa jumlah tanggungan dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan. Rata-rata jumlah tanggungan dalam keluarga sesuai dengan profil rumah tangga transmigran adalah sebanyak 3 orang. Terdapat pula responden yang memiliki pendapatan Rp2 000 000 dengan jumlah tanggungan sebanyak 6 orang maka pendapatan perkapitanya adalah Rp333 333. Artinya pendapatan tersebut termasuk di bawah garis kemiskinan Provinsi Bengkulu. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik bahwa jumlah tanggungan dalam keluarga tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan dan hubungannya berlawanan dimana jumlah tanggungan dalam keluarga semakin banyak maka pendapatannya menurun. Tingkat Pendidikan Berdasarkan hasil analisis uji regresi linear berganda bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh positif (+) dengan koefisien 414001.999 namun tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani dimana nilai probabilitas 0.576 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5% (0.690>0.05). Artinya bahwa peningkatan satu tahun variabel pendidikan dengan variabel bebas lain konstan akan menyebabkan kenaikan pendapatan sebesar 414001.999 rupiah. Tingkat pendidikan adalah lamanya seseorang menempuh pendidikan formal yang diukur dalam satuan tahun. Hal ini berdasarkan hipotesis penelitian yang
48
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin meningkat pendapatan rumah tangga petani. Berdasarkan profil rumah tangga transmigran bahwa rata-rata tingkat pendidikan responden pada penelitian ini dalam menempuh pendidikan formal adalah selama 7 tahun. Hal ini diartikan bahwa pendidikan responden rendah yakni lulusan SD (Sekolah Dasar) atau tidak menamatkan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sehingga homogenitas tingkat pendidikan responden ini tidak memiliki pengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan. Hal ini didukung juga bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan. Pengalaman Bertani Berdasarkan hasil analisis uji regresi linear berganda variabel pengalaman bertani berpengaruh negatif (-) dengan koefisien -407639.800 dan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani dimana nilai probabilitas 0.278 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5% (0.202>0.05). Artinya bahwa peningkatan satu tahun variabel pengalaman bertani dengan variabel bebas lain konstan menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 407639.800 rupiah. Pengalaman bertani merupakan lamanya seseorang bekerja sebagai petani yaitu kepala rumah tangga petani. Variabel pengalaman bertani memiliki hubungan yang berlawanan dengan pendapatan. Rata-rata pengalaman bertani responden adalah 33 tahun. Hal ini mengindikasikan petani yang memiliki pengalaman bertani lebih lama cenderung memiliki keahlian yang tinggi di sektor pertanian sedangkan di luar sektor pertanian keahlian yang dimiliki cukup minim. Responden cenderung memilih untuk mempertahankan hanya kerja di bidang pertanian dibandingkan mencari tambahan di sektor lain selain pertanian. Hal ini seperti penuturan responden R (43 tahun) dan P (78 tahun) sebagai berikut :
Box 1. Kasus Bapak R (43 tahun) Beliau menjadi seorang petani baru 25 tahun karena harus membantu kedua orang tuanya memenuhi kebutuhan keluarga. Beliau menjelaskan bahwa pendapatan yang dimilikinya saat ini lebih banyak dari hasil non pertanian daripada hasil perkebunannya namun beliau tidak meninggalkan kegiatan pertaniannya karena setiap pagi-pagi sekali Bapak R selalu pergi ke kebun untuk menyadap karet. Hal ini juga disebabkan karena harga dari komoditi perkebunan saat ini sangat murah sehingga beliau sangat semangat bergelut di bidang non pertanian yaitu bisnis yang hasilnya lebih besar daripada hasil perkebunannya.
49
Box 2. Kasus Bapak P (78 tahun) Beliau merupakan seorang petani yang sudah melakukan kegiatan pertanian selama 70 tahun. Beliau menjelaskan bahwa sejak kecil sudah melakukan kegiatan pertanian karena kurangnya perekonomian sehingga Bapak P harus bekerja untuk membantu kedua orang tuanya. Istri Bapak P bekerja sebagai penjual sayuran. Beliau menyadari bahwa sudah lama sekali melakukan kegiatan pertanian namun pendapatan yang dihasilkan tidak meningkat secara nyata karena harus membagi lahannya ke anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Bapak juga tidak bekerja dalam bidang non pertanian. Hal ini disebabkan jumlah anak yang banyak sehingga harus membagi lahannya dalam beberapa bagian karena bapak P tidak melakukan kegiatan lain selain pertanian.
Usia Berdasarkan hasil analisis uji regresi linear berganda bahwa variabel usia berpengaruh positif (+) dengan koefisien 140603.753 namun tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan rumah tangga petani dimana nilai probabilitas 0.742 lebih besar dari taraf nyata yang digunakan 5% (0.602>0.05). Artinya bahwa peningkatan satu tahun usia dengan variabel konstan lain akan menyebabkan kenaikan pendapatan sebesar 140603.753 rupiah. Usia adalah usia kepala rumah tangga petani yang bekerja dalam kegiatan pertanian dalam satuan tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin usianya bertambah maka pendapatan meningkat. Seperti yang terjadi pada salah satu responden, Bapak (MJ 41 tahun). Seiring bertambahnya usia beliau pendapatan yang didapatkan juga semakin meningkat. Berikut pernyataan Bapak MJ (41 tahun) mengenai pendapatan yang beliau dapatkan. “Kalo pendapatan sebulan ya kira-kira lebih dari 5 juta sebulan mbak tergantung harga karet dan sawitnya berapa kalo harganya kayak begini (rendah) ya masihlah 5 juta an.” (MJ 41) Berdasarkan profil rumah tangga transmigran bahwa rata-rata usia responden adalah 25-40 tahun. Adapun penentuan kategori usia muda, sedang, dan tua ini didasarkan pada nilai tengah yang didapatkan dari data hasil seluruh responden. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata responden adalah berusia muda. Hal ini juga dikarenakan responden pada penelitian lebih banyak masyarakat transmigran generasi ketiga. Hal ini didukung dengan hasil uji statistik bahwa usia tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat pendapatan.
50
51
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
Profil rumah tangga masyarakat transmigran menurut rata-rata kepemilikan lahan adalah 2 hektar. Adapun tingkat pendidikan yakni lulusan SD (Sekolah Dasar) dan jumlah tanggungan dalam keluarga adalah sebanyak 3 orang. Sementara itu, menurut rata-rata pengalaman bertani adalah 33 tahun dan usia 49 tahun. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan jenis mata pencaharian. Pada awalnya, sekitar 90% bekerja sebagai petani dan sekitar 10% bekerja di sektor non pertanian. Mereka yang bekerja di sektor non pertanian biasanya adalah anak-anak muda yang ikut orang tuanya bertransmigrasi. Saat ini, setelah 33 tahun sejak transmigran tiba, jenis mata pencaharian sudah sangat bervariasi. Jenis mata pencaharian tersebut meliputi: karyawan PT, buruh PT, pedagang, pertukangan, supir perusahaan, kuli karet, kuli pasir, pedagang pengumpul, buruh penyadap, buruh panen sawit dan guru honorer. Perubahan ini terjadi karena penjualan lahan, bertambahnya jumlah penduduk, masuknya perusahaan, dan perubahan komoditi pertanian. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan kepemilikan lahan. Pada awalnya, kepemilikan lahan rumah tangga transmigran sebanyak 2 hektar. Saat ini, kepemilikan lahan masyarakat transmigran sudah sangat bervariasi. Terdapat rumah tangga transmigran yang tidak memiliki lahan atau buruh tani sebesar 6.5%. Adapun rumah tangga transmigran yang memiliki lahan terendah yaitu 0,5 hektar sebesar 6.5% dan yang tertinggi memiliki lahan yaitu 11 hektar sebesar 1.6%. Variasi kepemilikan lahan tersebut meliputi: 0.5 sampai dengan kurang dari 2 hektar sebesar 49.1%, 2 sampai dengan 4 hektar sebesar 36%, 5 sampai dengan 8 hektar sebesar 9.8%, dan 9 sampai dengan 11 hektar sebesar 1.6%. Perubahan ini terjadi karena lahan yang dijual, jumlah tanggungan dalam keluarga banyak, bertambahnya penduduk, dan masuknya perusahaan. Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan tingkat pendapatan. Pada awalnya, tingkat pendapatan masyarakat transmigran diasumsikan sama karena kepemilikan lahan seragam yaitu seluas 2 hektar serta mendapatkan kebutuhan pangan dan non pangan dari bantuan pemerintah. Saat ini, tingkat pendapatan masyarakat transmigran sudah sangat bervariasi. Tingkat pendapatan terendah yakni Rp11 280 000 dan yang tertinggi yakni Rp121 000 000 pertahun. Adapun variasi tingkat pendapatan masyarakat transmigran meliputi: Rp11 280 000 sampai dengan Rp51 280 000 sebesar 78.6%, Rp41 280 001 sampai dengan Rp91 280 001 sebesar 16.4%, dan sisanya Rp91 280 002 sampai dengan Rp131 280 002 adalah sebesar 5%. Perubahan pendapatan terjadi karena heterogenitas kepemilikan lahan masyarakat transmigran. Pada kenyataan di lapang terdapat rumah tangga masyarakat transmigran yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan Provinsi Bengkulu.
52
5.
Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini dapat menjelaskan tingkat pendapatan dengan keragaman sebesar 59.4% dan 40.6% dijelaskan oleh faktor-faktor lain. Secara keseluruhan, faktor-faktor yang digunakan memiliki pengaruh terhadap tingkat pendapatan yaitu luas lahan dengan koefisien 10298458.88, jumlah tanggungan dalam keluarga dengan koefisien -736379.141, tingkat pendidikan dengan koefisien 414001.999, pengalaman bertani dengan koefisien -407639.800, dan usia dengan koefisien 140603.753. Adapun faktor yang berpengaruh nyata adalah luas lahan.
Saran Masyarakat senantiasa mengalami perubahan yang dinamis. Perubahan yang terjadi bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat transmigran. Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah pemerintah seharusnya meninjau kembali kepemilikan lahan masyarakat transmigran dengan melakukan supervisi setiap 6 bulan sekali.
53
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini E. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas penduduk lanjut usia laki-laki di Kelurahan Kranjingan Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. [skripsi]. Jember (ID). Fakultas Ekonomi, Universitas Jember. Blau’s P M. 1998. Macrostructural Theory. Amerika (US): Wadsworth Publishing Company. [BPS]. 2014. Laju pertumbuhan penduduk menurut provinsi. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 14]. Tersedia pada: www.bps.go.id. Bungin B. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu-Ilmu Sosial Lainnya Edisi Kedua. Jakarta (ID): Kencana. Dassir M. 2007. Dinamika tenur dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada sub das minraleng hulu Kabupaten Maros. Jurnal Hutan dan Masyarakat. [Internet]. [diunduh 2015 November 06]. Tersedia pada: http://journal.unha s.ac.id/index.php/hm/article/view/34 Fadjar U, Sitorus M T F, Dharmawan A H, Tjondronegoro S M P. 2008. Transformasi sistem produksi pertanian dan struktur agraria serta implikasinya terhadap diferensiasi sosial dalam komunitas petani. Jurnal Agro Ekonomi. [Internet]. [diunduh 2015 September 19]; 26(2): 209-233. Tersedia pada: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/JAE26-2e.pdf Farhani A. Motivasi sosial ekonomi petani beralih pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor industri kerajinan mebel di Desa Serenan Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten. [skripsi]. Surakarta (ID). Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret. Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta (ID): Insist, KPA dan Pustaka Belajar. Fitriani C. 2014. Interaksi Sosial Transmigran Jawa dengan Masyarakat Lokal di Desa Kayuagung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal GeoTadulako. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 15]; 2 (3): 1-13. Tersedia pada: http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/GeoTadulako/article/view/2 611 Harper C L. 1989. Exploring Social Change. Amerika (US): Prentice Hall. Hartono B. 2011. Upaya Peningkatan Ekonomi Rumah Tangga Peternak Sapi Perah. Malang (ID): Universitas Brawijaya (UB Pr). Kaligis R. 2012. Analisis dampak sosial (ANDASOS) untuk ukuran kinerja pemerintahan. Jurnal Insani. [Internet]. [diunduh 2015 Desember 02]; 12: 67-74. Tersedia pada: http://stisipwiduri.ac.id/File/N/Full/2430-JURNAL% 20INSANI%20STISIP%20Widuri%20Juni%202012-Retor.pdf Kinseng R A, Barus B, Nasdian F T, Sunito M A, Yulian B E. 2013. Kajian dampak sosial ekonomi dan manajemen agraria di wilayah konsesi pertambangan batu bara. [Laporan Penelitian]. Sulawesi (ID). Program kajian AgrariaPSP3, LPPM Institut Pertanian Bogor.
54
Mardiyaningsih D I, Dharmawan A H, Tonny F. 2010. Dinamika sistem penghidupan masyarakat tani tradisional dan modern di Jawa Barat. Jurnal Trandisiplin Sosiologi. [Internet]. [diunduh 2015 Des 26]; 4(1): 115-145. Tersedia pada: http://mail.student.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view File/5850/4515 Munifa. 2013. Analisis tingkat pendapatan masyarakat sekitar PTPN XI pabrik gula Padjarakan Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. [skripsi]. Jember (ID). Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember. Nitiyasa dan Sudibia. 2013. Menggalakkan program transmigrasi melalui peningkatan pembangunan daerah. Jurnal Piramida. [Internet]. [diunduh 2015 November 30]; 9(1). Tersedia pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/pi ramida/article/viewFile/9790/7314 Prambudi I. 2010. Perubahan mata pencaharian dan nilai sosial budaya masyarakat (Studi deskriptif kualitatif tentang hubungan perubahan mata pencaharian dengan nilai sosial budaya masyarakat di Desa Membalong, Kecamatan Membalong, Belitung). [skripsi]. [Internet]. [diunduh pada tanggal 7 Mei 2015]. Tersedia pada: http://core.ac.uk/download/pdf/12351302.pdf Riduwan. 2009. Pengantar Statistika Sosial. Bandung (ID): Alfabeta. [RPJMDES]. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDES). 2015. Peraturan Desa (PerDes) Suka Makmur Nomor 01 Tahun 2015. Setiadi E M dan Kolip U. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta (ID): Kencana. Septianita. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi petani karet rakyat melakukan peremajaan karet di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Jurnal Agronobis. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 05]; 1(1): 130-136. Tersedia pada: https://agronobisunbara.files.wordpress.com/2012/11/15-hal-130-136septi anita.pdf Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Sztompka P. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan, penerjemah; Wibowo T, editor. Jakarta (ID): Prenada. Susianti dan Rauf R. 2013. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani jagung manis (Studi Kasus: Di Desa Sidera Kecamatan Sigi Biromaru Kabupaten Sigi). Jurnal Agrotekbis. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 26]; 1(5). Tersedia pada: http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/ Agrotekbis/article/view/2004 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 Ketransmigrasian. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5050. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 29]. Tersedia pada: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/ uu/UU_2009_29.pdf Vago S. 1989. Social Change. Amerika (US): Prentice Hall. Widiyanto W, Dharmawan A H, Nuraini W, Prasodjo. 2010. Strategi nafkah rumah tangga petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing. Jurnal Sodality. [Internet]. [diunduh 2015 Oktober 27]; 04(01):91-114. Tersedia pada: http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewArticle/5851
55
Wijayanti T dan Saefuddin. 2012. Analisis pendapatan usahatani karet (Hevea Brasiliensis). Jurnal Ziraa’ah. [Internet]. [diunduh 2014 Oktober 28]; 34(2): 137-149. Tersedia pada: faperta.uniska-bjm.ac.id/get/publikasi/therevenue-analysis-of-rubber-farming-hevea-brasiliensis Winarso B. 2012. Dinamika pola penguasaan lahan sawah di wilayah pedesaan di Indonesia. pertanian terapan. [Internet]. [diunduh 2015 Des 29]; 12(3):137149. Tersedia pada: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=1 54064&val=5937&title=Dinamika%20Pola%20Penguasaan%20Lahan%2 0Sawah%20di%20Wilayah%20Pedesaan%20di%20Indonesia%20%20Patt ern%20Dynamics%20Control%20Wetland%20in%20Rural%20Areas%20 in%20Indonesia Yulianto E H. 2009. Perubahan struktur sosial dan kepemimpinan lokal masyarakat akibat masuknya perkebunan kelapa sawit. [Internet]. [diunduh 2015 November 07]; 1(7):39-46. Tersedia pada: https://agribisnisfpumjurnal.file s.wordpress.com/2012/03/jurnal-vol-7-no-
56
57
LAMPIRAN
58
Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 Kegiatan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan Proposal dan Instrumen Penelitian Kolokium Penelitian dan Pengumpulan Data Pengolahan Data dan Penyusunan Skripsi Uji Kelayakan dan Skripsi
Juni 1 2
59
Lampiran 2 Peta lokasi penelitian
Sumber : Peta Desa Suka Makmur 2012
60
Lampiran 3 Kerangka sampling dan responden No Nama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
SB RS HK SG MS MM MH LM KH IT RS Z PJ SP SU TY WR T SD P M SR K MSA TR AS A ND SY SU SI SN IH AYA SW HL SO D TF SO JS
3 1 0 0.75 0.75 0.75 1 1 1 5 0 1 2 1 0 1 1 1 0 0.75 1 0 0 2 2 0 0 2 0 0 0.5 2 4 1 1 0 0.5 0.5 0 2 0
Luas lahan (hektar)
61
Lampiran 3 Kerangka sampling dan responden (Lanjutan) 42. DS 2 43. WK 1 44. K 1 45. EP 0 46. SL 0 47. AS 3 48. TG 0 49. T 1.5 50. D 2 51. SR 3 52. J 2 53. E 2 54. KR 1 55. SU 1 56. NA 4 57. BK 0.5 58. S 3 59. P 1 60. D 5 61. M 0.5 62. Y 2 63. SY 1.5 64. W 0 65. SD 2 66. ST 2 67. B 2 68. DO 0.5 69. DG 11 70. SN 6 71. MB 3 72. K 2 73. MA 2 74. MR 1 75. HS 2 76. DI 0 77. MG 2 78. BU 1 79. TDP 1 80. YS 2 81. AH 1 82. HS 1 83. SW 0.75 84. M 1
62
Lampiran 3 Kerangka sampling dan responden (Lanjutan) 85. KK 2 86. TM 1 87. BG 2 88. J 2 89. P 3 90. WY 0.75 91. PO 0.75 92. PC 1.5 93. PR 3 94. G 1 95. MM 3 96. DJ 2 97. SJ 1.75 98. YT 0 99. S 2.75 100. SP 2 101. SA 1.25 102. DM 2 103. SO 2.5 104. MJ 6 105. AS 1 106. AR 0.75 107. AL 0 108. PJ 0 109. SO 2 110. Y 0 111. T 0 112. MD 2.75 113. N 0 114. WJ 1.75 115. HD 0 116. ML 0 117. MI 1 118. GO 1 119. GS 0.5 120. HE 1.5 121. SW 3.25 122. SH 8 123. SR 0.75 124. ST 1 125. KM 0 126. RY 6 127 I 5
63
Lampiran 4 Uji statistik Variables Entered/Removeda Model
Variables
Variables
Entered
Removed
Method
usia, luaslahan, jumlahtanggung an, 1
tingkatpendidika
. Enter
n, pengalamanbert anib a. Dependent Variable: pendapatan b. All requested variables entered.
Model Summary Model
R
,792a
1
R Square
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,628
,594
16186766,420
a. Predictors: (Constant), usia, luaslahan, jumlahtanggungan, tingkatpendidikan, pengalamanbertani
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
Residual
Total
2432909142770 6780,000 1441062739196 5340,000 3873971881967 2120,000
df
Mean Square 5
55
4865818285541 356,000
F 18,571
2620114071266 42,530
60
a. Dependent Variable: pendapatan b. Predictors: (Constant), usia, luaslahan, jumlahtanggungan, tingkatpendidikan, pengalamanbertani
Sig. ,000b
64
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Collinearity Statistics
Coefficients B
Std. Error
(Constant)
23568746,983
17822603,809
luaslahan
10298458,883
1109853,447
414001,999
pengalamanbertani jumlahtanggungan
tingkatpendidikan
Beta
Tolerance
VIF
1,322
,192
,790
9,279
,000
,933
1,072
1032503,011
,045
,401
,690
,540
1,853
-407639,800
315345,478
-,299
-1,293
,202
,126
7,919
-736379,141
2597712,244
-,028
-,283
,778
,693
1,444
140603,753
341770,682
,080
,411
,682
,180
5,550
1
usia a. Dependent Variable: pendapatan
65
Lampiran 5 Tulisan tematik : Perubahan sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan masyarakat transmigran Masyarakat transmigran telah mengalami perubahan yang mendasar meliputi: jenis mata pencaharian, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat pendapatan. Perubahan yang terjadi di masyarakat transmigran semakin heterogen atau beragam. Perubahan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dapat membiayai pendidikan anak-anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya perubahan. Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani di kawasan transmigran. Berdasarkan uji analisis regresi linear berganda faktor yang sangat berpengaruh positif dan nyata adalah luas lahan dengan nilai sebesar (0.000<0.05). “Program transmigrasi ini ya sangat berhasil. Bahkan kalo bisa diteruskan dengan catatan adanya pembagian yang adil antara pendatang dan penduduk asli daerah yang menjadi kawasan transmigran agar tidak adanya kecemburuan sosial. “ (SR 54) “Sangat terjadi perubahan karena sekarang semakin banyak jenis pekerjaan di Desa Suka Makmur ini yang dulunya hampir semua masyarakat bekerja sebagai petani sekrang udah banyak kesempatan kerja asal orangnya mau kerja.” (S 58) “Masuknya perusahaan ke wilayah yang masih banyak pengangguran ya pasti banyak positifnya buktinya banyak yang bekerja di perusahaan meskipun sekarang masyarakat sudah tidak bisa lagi memperluas lahan tetapi tak ada yang protes karena bagi mereka sudah cukup bekerja di perusahaan menjadi karyawan. Dampaknya mungkin akan dirasakan pada anak atau cucunya yang akan datang.” (SR 54) “Ya yang pasti masih banyak positifnya ketika masuknya perusahaan karena masyarakat yang tidak punya kebun kan bisa kerja disana. Dari dulu juga ngga ada yang protes kalo ada perusahaan yang masuk karena anggapan masyarakat kan mereka bisa bekerja disana. Apalagi harga sekarang murah kan ya masyarakat mikirnya enak kerja di perusahaan gajinya tetap malah ada bonusnya..” (SR 54) “Perusahaan perkebunan karet dan perusahaan tambang yang masuk sehingga lahan yang dimiliki oleh rumah tangga petani semakin berkurang. Kondisi ini disebabkan karena belum adanya ketegasan kebijakan publik oleh pemerintah baik perusahaan dan pemilik modal tentang batas minimum kepemilikan lahan karena hal ini menjadikan ketimpangan sosial di masyarakat yakni yang punya modal tambah kaya dan yang tidak modal maka harus bekerja sebagai buruh.” (SW 55)
66
“Lahan itu kan asset ekonomi yang mudah untuk dijual. Jadi, masyarakat disini dulu itu perekonomiannya kurang terus banyak pendatang yang datang ingin membeli lahan maka masyarakat yang punya lahan langsung menjual lahannya untuk pendatang. Disini terdapat penukaran lahan dengan uang. Masyarakat berpendapat bahwa mereka bisa bekerja di perusahaan atau di lahan orang lain dan mereka dapat uang dari penjualan lahan tersebut.” (HP 47) “Pada awal transmigran diterima lahan 2 hektar lalu memiliki anak 4 maka setiap anaknya hanya kebagian ½ ha. Kalo anaknya lebih dari itu yaudah ngga kebagian lahan.” (HP 47) “Perubahan jadi nanam karet pastinya menjadi semakin baik. Perekonomian masyarakat semakin meningkat namun diikuti juga dengan pertambahan penduduk sehingga harus bersaing juga dalam bekerja.” (SR 54) “Kepemilikan lahan rumah tangga ada yang berkurang dan ada yang bertambah. Tapi semakin banyak berkurang karena para pendatang yang memiliki modal yang membeli lahan luas dan rumah tangga petani yang tidak memiliki modal semakin tidak bisa mengembangkan lahannya”. (HP 47) “Yang paling jelas mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani ya luas lahan” (HP 47) “Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga petani disini yang paling terlihat adalah kepemilikan luas lahan. Jika tingkat pendidikan, pengalaman bertani, usia, dan jumlah tanggungan dalam keluarga tidak berpengaruh. Misalnya, tingkat pendidikan liat aja bapak RY lulusan SD tapi lahannya luas dan pendapatannya banyak karena ulet dalam bekerja. Jika jumlah tanggungan banyak terus luas lahannya banyak maka tidak berpengaruh ke pendapatannya. Faktor lain yang mempengaruhi itu seperti pengolahan hasil, harga, dan asal mau bekerja dengan ulet.” (HP 47) “Kalo pendapatan ya pasti meningkatlah. Namun kalo dulu kurang ekonomi karena belum tahu tanaman yang cocok di daerah ini. kalo sekarang pertambahan penduduk semakin meningkat sehingga harus ulet bekerja jika memang mau banyak pendapatannya karena kesempatan kerja disini banyak banget. Tapi yang pasti pendapatannya makin meningkatlah daripada dulu.” (SR 54)
67
Lampiran 6 Foto-foto penelitian
Kantor Desa Suka Makmur
Kebun karet tumpang sari dengan kacang tanah
Kuli karet
Kebun karet sudah panen
Memupuk karet
68
RIWAYAT HIDUP Ade Febryanti dilahirkan di Bengkulu Utara pada tanggal 22 Februari 1994, dari pasangan Rukiyanto dan Sukris Wati. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK PKK Sukamakmur (1999-2000), SDN 08 Putri Hijau (2000-2006), SMPIT Baitussallam (2006-2009), dan SMAIT Assyifa Boarding School (20092012). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, melalui jalur Seleksi Uji Talenta Masuk IPB (UTMI). Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi, Anggota Departemen PSDM BEM TPB 49 (2012-2013), Anggota Public Relation BEM FEMA IPB (2013-2014), Anggota Event Organizer Training Outbond ATOM INDONESIA (2014-sekarang), dan Anggota FLP (Forum Lingkar Pena) Bogor (2015-sekarang). Selain itu, penulis juga pernah aktif dalam beberapa kepanitiaan di dalam kampus, yaitu Ketua PDD acara Gravitasi (2013), Anggota Logstran acara BEM TPB CUP (2013), Sekertaris acara SILIKA (2013), SG acara MPKMB 50 (2013), Sekertaris acara Fema Go Public (2014), dan Anggota Humas acara LES 8 (Leadership Enterpreneur School) (2014).