TEMU ILMIAH IPLBI 2016
Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang V. Pebriano Kelompok Keilmuan Sejarah, Teori, dan Kritik Arsitektur, Mahasiswa Program Doktor Arsitektur, Institut Teknologi Bandung.
Abstrak Perubahan ruang bermukim terjadi pada dua kelompok permukiman, yakni permukiman transmigrasi dan permukiman tradisional Dayak. Semula keduanya merupakan dua kelompok ruang bermukim terpisah jarak yang relatif jauh. Untuk menuju ke permukiman itu ada akses jalan sepanjang 7 km dari jalan negara mengarah ke Rumah Panjang masyarakat Dayak. Jalan itu menjadi sumbu utama permukiman sekitarnya. Awalnya akses tersebut masih relatif sulit karena fisik jalan berupa tanah dan rawa dari hasil pembukaan isolasi hutan. Dalam perkembangannya fisik jalan jadi lebih baik, akses makin terbuka dan mudah. Artikel ini membahas perubahan ruang bermukim dua kelompok masyarakat yang dipicu perubahan fisik jalan. Pembahasan didasarkan penelitian lapangan ( field research). Caranya adalah mengumpulkan data kondisi ruang bermukim dahulu dan terkini dari pengamatan lapangan dan wawancara masyarakat kedua kelompok. Tujuannya untuk mengetahui faktor perubahan sebagai bagian pengetahuan budaya bermukim. Perubahan jalan berpengaruh pada cara berpikir ruang bermukim kedua kelompok masyarakat dan rona lingkungan bermukim. Kata-kunci : dayak, kelompok, permukiman, perubahan, transmigrasi
Pendahuluan Kampung Ensaid Panjang dahulu merupakan permukiman tradisonal Dayak Desa. Masyarakatnya tinggal di rumah panjang dan sejumlah rumah tunggal yang berada di dekatnya. Suku Dayak Desa adalah salah satu dari 168 sub-suku Dayak yang ada di Kalimatan Barat. Suku Dayak Desa tergolong anak suku Iban (Ibanic group). Letak kampung Ensaid Panjang di kecamatan Kelam Permai, kabupaten Sintang, Propinsi Kalimatan Barat. Jarak kabupaten Sintang dari Pontianak ibukota Kalimatan Barat adalah 385 km, sedangkan jarak kampung Ensaid Panjang dari ibukota kabupaten Sintang sekitar 60km. Program transmigrasi masuk ke wilayah permukiman tradisional Dayak tepatnya di desa Baning Panjang tahun 1983. Antara kampung
Ensaid Panjang dengan kampung Baning Panjang merupakan dua kampung yang ber-tetangga. Jarak antar keduanya kampung itu 7 km. Dahulu warga kampung Baning Panjang merupakan pindahan dari Ensaid Panjang. Kampung Ensaid Panjang merupakan kampung tertua dan masih memiliki Rumah Panjang sehingga lebih dikenal bila membicarakan permukiman tradisional Dayak di Kabupaten Sintang. Tahap persiapan program Transmigrasi dilakukan sejak tahun 1981 berupa kegiatan pembukaan kawasan hutan untuk permukiman dan lahan pertanian. Kawasan hutan yang dibuka berada di kampung Baning Panjang yang lebih dekat ke akses jalan negara. Kawasan hutan itu dulunya merupakan wilayah tempat masyarakat Dayak yang bermukim di sekitarnya untuk Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | G 099
Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang
berburu binatang hutan, seperti babi hutan, kijang, dan lain-lain.
Gambar 1. Permukiman rumah panjang Dayak Desa. (Sumber : survey lapangan tahun2014).
Sebelum adanya program transmigrasi, wilayah permukiman Dayak Desa relatif masih terisolir oleh hutan belantara. Tidak ada jalan permanen dari kampung menuju kota kecamatan dan ibukota kabupaten. Akses jalan darat masih berupa jalan setapak melewati hutan belantara. Pada masa itu sungai menjadi jalur utama masyarakat untuk ke kota Sintang, ibu kota kabupaten. Mereka menggunakan sampan untuk membawa dan menjual hasil ladang dan hutan berupa karet, sayuran, jagung, ubi dan lain-lain ke kota. Awal masuk rombongan transmigrasi pembangunan infrastruktur transmigrasi tetap berjalan, yakni : pembukaan hutan menjadi lahan pertanian, pembangunan rumah dan fasilitas umum, pembuatan jalan perintis, jembatan dan lain-lain. Hal ini dikarenakan masuknya penuduk transmigrasi itu dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan terbangunnya permukiman. Permukiman transmigrasi yang dibangun terdiri dari 6 SP (Satuan Permukiman). Satu satuan permukiman terdiri dari 40-80 kavling rumah yang berderet dan saling berhadapan di dalam satu gang. Letak gang masuk dari jalan utama kampung. Rombongan transmigrasi menempati rumah berdasarkan KK (kepala keluarga). Untuk menentukan pilihan rumah dengan cara diundi G 100 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
dari satuan permukiman yang tersedia. Pada masa ini terdapat beberapa hal penting yakni : - Infrastruktur jalan masih berupa jalan tanah. Akses ke kampung sekitarnya belum hanya mengandalkan jalan setapak yang sudah ada. Masyarakat transmigrasi tidak berlatar-belakang budaya sungai sehingga untuk pergi ke kota kecamatan atau kabupaten mereka tidak punya alternatif lain selain jalan darat dengan berjalan kaki sejauh 30 sampai 60 km melalui jalan pintas berupa jalan setapak di hutan yang sebelumnya sudah dibuat oleh penduduk lokal. - Sebagian warga transmigrasi menganggap kehidupannya sangat sulit karena jauh dari kota, tidak adanya tempat jual-beli kebutuhan, tidak ada jaringan bersih dan listrik. Selain itu lahan pertanian tidak siap tanam karena masih banyak semak dan tunggul sisa tebangan pohon hutan. Masa ini dianggap kehidupan paling berat bagi warga transmigrasi. - Sejumlah lahan dan rumah transmigrasi ditinggalkan pemiliknya kembali ke pulau Jawa karena kehidupan tidak sesuai yang semula mereka harapkan. - Beberapa kali terjadi konflik dengan masyarakat lokal karena belum adanya komunikasi dan pengertian antar kedua kelompok warga. Namun semua itu bisa diselesaikan secara adat atau musyawarah. Dalam perkembangan selanjutnya terjadi perpindahan sejumlah warga transmigrasi dari lokasi rumah awal ke tepi jalan utama kampung yang merupakan poros dari jalan negara ke permukiman tradisional Dayak (rumah panjang). Awalnya mereka membangun rumah baru dari bahan kayu hutan. Mereka dirikan warung sembako, bengkel dan lain sebagainya. Tanah yang dipakai adalah milik penduduk asli (Dayak) yang mereka beli atau sistem tukar berdasarkan kesepakatan tertentu, misalnya ditukar dengan lahan kebun. Sejak sejumlah warga transmigrasi pindah ke tepi jalan utama, wajah lingkungan sekitarnya mulai berubah dan ramai. Tepi jalan itu jadi semacam kawasan komersial dengan mainj
V. Pebriano
banyaknya warung, minimarket, bengkel dan lain-lain. Secara kualitas fisik bangunan juga mulai berubah, dari rumah kayu menjadi rumah beton. Masa perubahan itu kehidupan warga transmigrasi sudah mulai berjalan stabil. Program pertanian berjalan lewat bimbingan pemerintah. Selain itu interaksi dengan masyarakat asli (lokal) sudah berjalan baik. Metode pengumpulan data Penelitian menggunakan metode etnografis yang bersifat kualitatif dengan pendekatan deskriptif-interpretatif. Peneliti menggunakan cara penelitian lapangan (Field Research) untuk melakukan pengamatan kehidupan komunitas masyarakat Dayak Desa di permukimannya. Penelitian lapangan menekankan gambaran detail suatu perbedaan sudut pandang pada dinamika budaya atau keragaman di dalam suatu budaya, dimana gambaran tersebut mempermudah pemahaman keseluruhan tentang budaya tersebut (Creswell, 2007: 378, Spradley,1980 dan 1997; Singarimbun,1989). Pengamatan di penelitian ini meliputi ; a. Budaya bermukim awal kelompok masyarakat Dayak Desa lewat cerita langsung anggota komunitasnya di permukiman, pengumpulan informasi dari luar kelompok masyarakat sekitar permukiman, atau para tokoh dan lembaga di luar komunitas masyarakat yang memahami betul sejarah bermukim mereka. b. Kebiasaan individu, kelompok atau komunitas, misalnya menyangkut kegiatan gagasan atau cara berpikir budaya bermukim, mata pencaharian, relasi dan struktur sosial dan lain-lain. c. Mengamati situasi fisik lingkungan permukiman saat ini, dan membandingkan dengan cerita dari nara sumber tentang situasi fisik permukiman di masa lalu. d. Mengetahui harapan dan pemikiran mereka tentang tantangan hidup yang dijalani sejak dahulu hingga sekarang, terutama berkaitan dengan adanya pengaruh dari luar yang masuk dalam kehidupan mereka di permukiman.
Gambar 2. Skema strategi mendapatkan informasi lapangan. (Sumber : diolah kembali dari Neuman, W. Lawrence, (2006).
Gambar 3. Peta wilayah lingkup penelitian, Sumber : diolah dari survey lapangan
Analisis Data lapangan hasil pengamatan dan wawancara dianalisis secara deduktif dan induktif dikaitkan dengan kondisi terkini yant terjadi di lapangan. Data wawancara lapangan yang menyangkut kondisi masa lalu kemudian dibandingkan dengan kondisi fisik masa kini. Perubahan ruang bermukim transmigrasi memiliki lima tahapan masa, yakni :
Masa Awal Pembukaan Area Transmigrasi (1981-19182) Masa Kedatangan dan Penyesuian Kehidupan Transmigrasi, (1983-1985). Masa Pengembangan I di Permukiman Transmigrasi, (1986-1990). Masa Pengembangan II di Permukiman Transmigrasi, (1991-2000). Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 101
Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang
Masa Pengembangan III di Permukiman Transmigrasi, (2000-2015).
Gambar 4. Timeline Transmigrasi di Kampung Ensaid Panjang,( Sumber : analisis)
Pada masa kedatangan dan penyesuaian dan masa pengembangan I interaksi warga transmigrasi dengan masyarakat asli (pribumi) cukup intensif. Ada kecederungan pihak transmigaras tergantung pada masyakrat lokal dalam hal pangan dan perlindungan diri. Masa pengembangan II interaksi dan ketergantungan masyarakat transmigrasi dengan masyarakat lokal relatif berkurang. Masa pengembangan III interaksi dan ketergantungan masyarakat trans-migrasi dengan masyarakat lokal relatif berkurang. Sebaliknya, kini justru masyarakat lokal yang punya ketergantungan pada masyarakat transmigrasi dalam bidang jasa dan perdagangan, misalnya kebutuhan sembako, pembudidayaan dan penjualan bibit karet dan sayur, jasa bengkel kendaraan bermotor, dan lain-lain.
G 102 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Pada masa permbangan kehidupan ke II dan III warga transmigrasi sudah merasakan kehidupan yang nyaman di permukiman transmigrasi. Mereka sudah merasa betah dan tidak berminat meninggalkan permukiman tersebut karena sudah menjadikannya sebagai kampung hala-man. Kini selain bertani sejumlah warganya memiliki toko sembako/minimarket, bengkel dan tempat pencucian motor dan mobil di jalur utama jalan. Mereka juga mengusahakan kebun pembuatan bibit tanaman, peternakan ayam, dan membuat kolam ikan, dan lain-lain. Hasilnya dijual ke masyarakat sekitarnya, termasuk ke permukiman Dayak.
Gambar 5. Kelompok permukiman setelah transmigrasi masuk di kampung Baning Panjang, (Sumber : analisis)
Perpindahan sebagian warga terjadi pada masyarakat lokal (Dayak) maupun pendatang (transmigrasi). Perpindahan ini dimulai pada periode ke perkembangan ke II.
Gambar 6. Poros utama jalan kampung, (Sumber : analisis)
V. Pebriano
Gambar 7. Terbentuk tiga kawasan di jalan poros utama (Sumber : analisis)
Gambar 8. Sebaran perpindahan warga wilayah sekitar dusun Ensaid Panjang dan dusun Baning Panjang dan Satuan Permukiman (SP) Transmigrasi, (Sumber : analisis).
Jalan poros utama kampung semula tidak banyak permukiman kemudian berubah menjadi ramai. Banyak bermunculan permukiman baru dihuni kedua kelompok warga tersebut. Munculnya permukiman baru merubah wajah rona lingkungan. Kawasan sekitar jalan utama jadi lebih terbuka dibandingkan dahulu. Ada beberapa faktor pendorong perpindahan masing-masing kelompok warga. Adapun faktor tersebut adalah : -
Kelompok warga Dayak : Daya tampung rumah panjang yang semakin terbatas oleh pertambahan keturunan warga rumah panjang.
-
Terjadinya perkawinan dengan warga pendatang (tansmigrasi) dan warga dari kampung lain. Perubahan cara berpikir para keturunan baru (generasi baru) tentang bermukim : o Mereka tidak berminat tinggal di rumah panjang. Mereka beranggapan tinggal di rumah tunggal lebih nyaman dihuni, sehingga memutuskan membangun rumah tunggal di sekitar rumah panjang. Tempat yang mereka pilih adalah sepanjang jalan poros utama kampung. Permukiman ini menjadi dusun baru yakni Ensaid Baru. Beberapa generasi baru itu juga mendirikan warung atau toko di dekat rumahnya. o Sejumlah warga generasi baru Dayak memandang kehidupan di rumah panjang tidak memacu diri untuk mendapatkan kehidupan yang lebih maju. Dalam padangan mereka, tinggal dirumah panjang lebih banyak waktu terbuang untuk berkumpul dan berbicara (ngobrol). Ada rasa segan bila tidak ikut berkumpul atau menyapa sejenak orang yang berbicara sementara disaat yang bersamaan harus segera bekerja sesuai target dan waktu. Hal ini terjadi pada generasi Dayak yang bekerja bukan pada sektor pertanian, hutan (menoreh getah) dan berladang. o Ada pandangan bahwa kehidupan di rumah panjang sudah tidak jamannya lagi. Segala sesuatu serba terbatas dan harus mengikuti aturan bersama di rumah panjang, sementara di dalam kehidupan rumah tangga mereka banyak keinginan seperti layaknya rumah-rumah tunggal kerabat dan teman-teman yang mereka lihat di wilayah lain.
Kelompok warga Transmigrasi : Awalnya ingin dekat ke jalan poros utama yang lebih besar dan secara fisik lebih baik dibandingkan kawasan SP Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 103
Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang
(Satuan Permukiman). Program pembangunan pemerintah lebih mendahulukan jalan poros utama sehingga jalan tersebut relatif lebih cepat diperbaiki. Melihat peluang bahwa lokasi di tepi jalan poros utama bisa untuk berdagang. Daya tampung rumah asli transmigrasi sudah tidak memadai bagi pertambahan keturunan mereka, sehingga sejumlah warga yang mampu memilih lokasi rumah baru di tepi jalan poros utama. Adanya perkawinan dengan warga lokal.
Perkembangan kawasan permukiman baru seiring peningkatan kualitas jalan poros utama. Kawasan tersebut jadi ruang interaksi kelompok warga transmigrasi dari satuan permukiman dengan warga lokal dari rumah panjang, khususnya pada kegiatan perdagangan setempat. Setelah lebih terbukanya poros jalan utama dan berdirinya sejumlah unit usaha menjadikan intensitas pertemuan keduanya lebih tinggi.
(rumah panjang) komposisi etnis Dayak dan Jawa relatif berimbang. Permukiman tersebut umumnya hanya diperuntukan fungsi rumah tinggal. Secara umum tampilan rumah relatif lebih sederhana dibandingkan di Baning Panjang. Semakin dekat jarak permukiman baru rumah tunggal dengan rumah panjang, maka penghuninya lebih dominan warga lokal (etnis Dayak). Sebaliknya, semakin dekat permukiman baru dengan satuan permukiman maka penghuninya dominan warga transmigrasi (etnis Jawa). Jarak permukiman baru tersebut memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan warga permukiman asal mereka.
Gambar 10. Permukiman di Satuan Permukiman Transmigarasi (SPT), (Sumber : hasil survey )
Gambar 11. Kawasan permukiman campuran di dusun Ensaid Baru, (Sumber : hasil survey) Gambar 9. Skema analisis perpindahan di poros jalan utama kampung, Sumber : analisis
Kawasan permukiman baru yang terbentuk tersebut memiliki dua karateristik, yakni : Kawasan di tepi poros jalan utama di Baning Panjang didominasi warga Transmigrasi (dominan etnis Jawa). Mereka membuka toko di rumahnya. Rumah di kawasan ini relatif lebih padat. kebanyakan rumah terbuat dari beton, tampilan gaya rumah masa kini. Hal ini jadi simbol status sosial mereka di lingkungannya. Permukiman rumah tunggal yang berada di Ensaid Baru atau dekat dengan Ensaid Panjang G 104 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016
Gambar 12. Kawasan permukiman campuran dan kawasan komersial di desa Baning Panjang, (Sumber : hasil survey)
Perkembangan poros jalan utama memuat fungsi-fungsi baru yang sebelumnya tidak ada di permukiman Dayak dan sekitarnya. Sejumlah fungsi tersebut mampu memenuhi kebutuhan warga kampung Dayak dan permukiman trans-
V. Pebriano
migrasi, misalnya jasa dan perdagangan. Pada tingkat kebutuhan tertentu, warga sekitar kampung Dayak dan transmigrasi tidak lagi harus mencarinya di kota kecamatan atau kota kabupaten.
Poros utama jalan menjadi penanda adanya perubahan mata pencaharian warga lokal dan pendatang, dari bertani atau berladang menjadi pedagang. Namun demikian usaha pertanian yang sudah ada tetap mereka jalankan.
Beragam fungsi baru yang hadir di permukiman mereka memunculkan harapan dan rasa aman. Dibandingkan dahulu, kini mereka tidak lagi terlalu kuatir akan ketersediaan sejumlah kebutuhan pokok dan penunjang yang memer-lukan waktu cepat ketika diperlukan, misalnya bila ada hajatan keluarga tertentu.
Bangunan di sepanjang tepian poros utama jalan secara fisik relatif lebih baik kualitasnya, khususnya dalam penggunaan bahan material seperti dinding terbuat dari tembok-semen, asesoris batu alam, atap seng metal, cat warna mencolok dan lain sebagainya. Pendirian bangunan dari kayu tidak lagi menjadi pilihan utama mereka.
Sejumlah toko dan jasa di kawasan itu membuka diri kepada warga sekitarnya tanpa dibatasi waktu operasional buka-tutup toko. Warga yang terdesak bisa membeli kebutuhan walaupun toko sudah tutup, dengan cara mendatangi rumah pemiliknya yang berada di belakang toko atau menyatu dengan toko. Diantara mereka sudah terjalin pengertian karena relatif saling mengenal. Perkembangan fungsi yang terjadi di kawasan poros jalan utama di satu sisi merupakan hal baru yang bersifat ekonomi bagi seluruh warga di sekitarnya, namun di sisi lain fungsi tersebut tetap memperhatikan nilai-nilai lama, yakni saling pengertian antar sesama warga dan antar kelompok warga (kampung). Kesimpulan Masuknya program transmigrasi membuat perubahan lingkungan permukiman Dayak, khususnya pada rona lingkungan. Kawasan yang tadinya terisolir hutan belantara menjadi terbuka. Poros jalan utama yang menghubungkan rumah panjang sub-suku Dayak Desa dengan jalan negara menjadi salah satu faktor pendorong terbukanya akses isolasi. Poros jalan utama menjadi daya tarik bagi kelompok warga lokal (Dayak) dan pendatang (Transmigrasi) untuk membuat permukiman baru khususnya bagi keturunan atau generasi baru mereka. Daya tarik ini mengubah cara berpikir mereka tentang cara bermukiman dan mata pencaharian.
Rumah dan toko itu menampilkan gaya kekinian berdasarkan referensi yang mereka dapatkan dari media cetak, televisi dan melihat di kota kabupaten Sintang. Mereka menyebut gaya rumah itu gaya minimalis walaupun secara arsitektural tidak sepenuhnya menampilkan gaya minimalis, melainkan campuran (eklektik). Proses perpindahan warga transmigrasi ke poros jalan utama terjadi pada tahapan perkembangan ke II dengan motif utama kemudahan akses dan untuk berdagang, sementara pada warga Dayak untuk kemudahan aksesibilitas. Sejak dibangunnya jalan, mereka tidak lagi menggunakan akses sungai. Adanya poros utama jalan membentuk dua dua rona kawasan baru, yakni di Baning Panjang sebagai kawasaan perdagangan, sedangkan di dusun Ensaid Baru sebagai kawasan permukiman. Sebagai kawasan baru, perkembangan poros jalan utama menjadi acuan warga sekitarnya dalam membangun wajah hunian mereka, khususnya yang tinggal di rumah-rumah tunggal. Berkembangnya permukiman di sepanjang tepi poros jalan utama membentuk ruang interaksi yang lebih terbuka antara kelompok warga lokal (Dayak) dengan pendatang (Transmigrasi) khususnya pada kawasan perdagangan. Di kawasan ini kelompok warga transmigrasi lebih dominan, karena mereka terlebih dahulu mendirikan toko, warung dan unit usaha lainnya.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| G 105
Perubahan Ruang Bermukim Masyarakat Transmigrasi dan Lokal di Poros Jalan Utama pada Kampung Dayak di Ensaid Panjang
Poros jalan utama sebagai ruang interaksi baru telah membentuk perilaku interaksi baru warga, yakni interaksi yang bersifat ekonomi. Faktor saling mengenal antar warga menjadikan interaksi ekonomi tersebut lebih bersifat kekeluargaan. Daftar Pustaka Alloy, Sujarni., dkk.,(2008), Mozaik Dayak : Kebera-
gaman Subsuku dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat, Institut Dayakologi didukung oleh Ford
Foundation dan IWGIA, Pontianak. Andasputra, Nico dan Djuweng, Stepanus, (ed.), (2010), Manusia Dayak : Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi, Penerbit Institut Dayakologi, Pontianak. Coomans, Mikhail, (1987), Manusia Daya : Dahulu, Sekarang,Masa Depan, Jakarta, Penerbit PT. Gramedia. Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc. Florus, Paulus., dkk., (1998), Kebudayaan Dayak : Aktualisasi dan Transformasi, Jakarta, Penerbit PT. Gramedia. Geerz, Clifford, (1983), Local Knowledge : Further Essays in Interpretative Anthropology, Basic Books, Inc., USA., Diterjemahkan oleh Vivi Mubaikah dan Apri Danarto, ( 2003), “Pengetahuan Lokal”, Yogyakarta, Rumah Penerbitan Merapi. Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons. Inc. Guerreiro. J. Antonio, (2004), “The Bornean Long-
house in Historical Perspective, 1850-1990 : Sosial Processes and Adaptation to Changes”. Dalam
Reimarr Schefold, Peter. J.M. Nas and gaudensz Domenig, (eds.), Tradition and Transformation in Vernacular Architecture, Indonesian Houses, Vol. 1., Singapore, Singapore University Press. Koentjaraningrat .,(1985), Pengantar Ilmu Antropologi , Jakarta: PT. Aksara Baru Spradley, James P, (1997), Ethnographic Interview, diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth, (1997), “Metode Etnografi”, Yogyakarta, Penerbit PT. Tiara Wacana.
G 106 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016