PERUBAHAN KANDUNGAN NUTRISI PELEPAH DAN DAUN SAWIT MELALUI FERMENTASI DENGAN KAPANG PHANEROCAETE CHRYSOSPORIUM
Nama NPM Program Studi Fakultas Universitas
: ARDIANSYAH : 0910005311008 : Peternakan : Pertanian : Tamansiswa Padang
Pembimbing : I. II.
Ir. Sri Mulyani, MP Fridarti, SP.t, MP
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TAMAN SISWA PADANG 2014
PERUBAHAN KANDUNGAN NUTRISI PELEPAH DAN DAUN SAWIT MELALUI FERMENTASI DENGAN KAPANG PHANEROCAETE CHRYSOSPORIUM
Ardiansyah1) Ir. Sri Mulyani, MP 2) Fridarti, SP.t, MP 3) Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Tamansiswa Padang
ABSTRAK Pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber pakan menjadi pilihan untuk mengantisipasi berkurangnya produksi rumput alam akibat penyempitan lahan penggembalaan dan pengaruh musim. Kebun kelapa menghasilkan limbah berupa pelepah dan daun sawit yang memiliki potensi prospektif sebagai penyedia pakan ternak sapi. Penggunaan pelepah sawit sebagai pakan ternak menghadapi kendala rendahnya daya cerna dan kandungan nutrisi. Proses fermentasi bisa meningkatkan kandungan nutrisi yang terdapat pada pelepah dan daun sawit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kandungan nutrisi pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerocaete chrysosporium. Penelitian merupakan penelitian laboratorium menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Perlakuan adalah T0 (Pelepah dan daun sawit segar (kontrol)), T1 (Pelepah dan daun segar fermentasi 5 hari), T2 (Pelepah dan daun segar fermentasi 10 hari), T3(Pelepah dan daun segar fermentasi 15 hari) dan T4 (Pelepah dan daun segar fermentasi 20 hari). Parameter yang diukur adalah Bahan Kering, Protein, Serat Kasar, Abu dan BETN. Perbedaaan antar perlakuan pada setiap parameter dilihat melalui uji F (sidik ragam) pada tingkat kepercayaan 95%. Uji jarak berganda Duncan dilakukan bila F memberikan hasil berbeda nyata. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,01) terhadap perubahan kandungan nutrisi pelepah dan daun sawit. Lama waktu fermentasi pelepah dan daun sawit dengan kapang Phanerocaete chrysosporium secara nyata (P<0,05) menurunkan kandungan Bahan Kering. Fermentasi pelepah dan daun sawit dengan kapang Phanerocaete chrysosporium selama 20 hari menghasilkan kandungan bahan kering terendah yakni sebesar 41,15%. Lama waktu fermentasi memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap perubahan kandungan protein pelepah dan daun sawit dimana fermentasi selama 20 hari menghasilkan kandungan protein tertinggi yakni sebesar 10,01%. Fermentasi pelepah dan daun sawit dengan kapang Phanerocaete chrysosporium selama 20 hari menghasilkan kandungan BETN terendah yakni 45,63%. Hasil ini sangat nyata lebih rendah (P<0,01) dibandingkan perlakuan lainnya. Lama waktu fermentasi dengan kapang Phanerocaete chrysosporium juga mempengaruhi kandungan Abu dari pelepah dan daun sawit. Lama waktu fermentasi selama 20 hari menghasilkan kandungan Abu terendah yakni sebesar 6,81%. Perlakuan fermentasi juga secara nyata (P<0,01) terhadap penurunan kandungan Serat Kasar dari pelepah dan daun sawit. Fermentasi selama 20 hari menghasilkan kandungan serat kasar terendah yakni sebesar 31%. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa fermentasi pelepah dan daun dengan kapang Phanerocaete chrysosporium selama 20 hari dapat meningkatkan kandungan nutrisi dari pelepah dan daun sawit. Kata Kunci : Pelepah sawit, Fermentasi, Phanerocaete chrysosporium, Fermentasi
1) Mahasiswa Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Tamansiswa Angkatan 2009 2) Pembimbing I (Dosen Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Tamansiswa Padang) 3) Pembimbing II (Dosen Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan Universitas Tamansiswa Padang)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemanfaatan limbah-limbah pertanian sebagai sumber hijauan bagi ternak ruminansia diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan penyediaan rumput akibat pengaruh musim dan penyempitan areal padang penggembalaan. Berkaitan hal tersebut, perkebunan kelapa sawit menghasilkan limbah berupa pelepah dan daun sawit yang bisa digunakan sebagai sumber hijauan untuk ternak ruminansia. Pelepah dan daun sawit biasanya berserakan dibawah pohon kelapa sawit sehingga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Pemanfaatan pelepah dan daun sawit sebagai sumber hijauan selain memberikan andil dalam hal penyediaan pakan ternak juga sekaligus mengatasi masalah pencemaran lingkungan di areal kebun kelapa sawit. Pelepah dan daun sawit memiliki kandungan nutrisi Bahan Kering (% BK) setara dengan rumput alam yang tumbuh di padang penggembalaan. Kandungan zat-zat nutrisi pelepah dan daun sawit adalah bahan kering 48,78%, Protein Kasar 5,3%, Hemiselulosa 21,1%, Selulosa 27,9%, Serat Kasar 31,09%, Abu 4,48%, BETN 51,87%, Lignin 16,9% dan Silika 0,6% (Imsya, 2007). Faktor pembatas pemanfaatan pelepah daun sawit sebagai pakan ternak adalah terdapatnya kandungan lignin yang tinggi dan kadar proteinnya rendah (Prabowo dkk, 2011). Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan Kapang Pelapuk putih dengan kemampuan kuat mendegradasi Lignin yang menghasilkan Enzim Lignin Peroksidase (LiP) dan Mangan Peroksidase (MnP) (Rothschild dkk, 1999) dan menghidrolisis selulosa dan Hemiselulosa melalui bantuan Enzim
Selulase dan Hemiselulase (Orth dkk, 1993). Kapang di atas mendegradasi komponen lignoselulosa secara selektif yaitu mendegradasi lignin terlebih dahulu, kemudian diikuti komponen selulosa (Adaskaveg dkk, 1995, Hattaka, 2001). Kapang memanfaatkan selulosa dan hemiselulosa sebagai sumber karbon (Tuomela dkk, 2002). Fermentasi pelepah dan daun sawit oleh Phanerochaete chrysosporium dapat mengurai Selulosa, hemiselulosa dan Lignin menjadi bentuk sederhana sehingga bahan pakan mudah dicerna oleh mikroba rumen. Pada proses tersebut juga akan tercakup selsel tubuh mikroba dan enzim yang mengandung protein serta metabolitmetabolit lainnya, dengan demikian dihasilkan produk pakan dengan kualitas lebih baik terutama kandungan protein dan serat kasar. B. Perumusan Masalah Bagaimanakah perubahan kandungan komponen nutrisi pelepah dan daun sawit yang di fermentasi dengan kapang Phanerocaete chrysosporium C.Tujuan Penelitian Mengetahui perubahan kandungan nutrisi pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phaneropcaete chrysosporium D. Manfaat Penggunaan teknologi fermentasi dengan kapang Phanerocaete chrysosporium meningkatkan kandungan nutrisi dari pelepah dan daun sawit. E. Hipotesis Pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerocaete chrysosporium akan meningkat kandungan nutrisinya.
MATERI DAN METODA PENELITIAN A. Materi Penelitian Penelitian menggunakan materi berupa pelepah dan daun sawit yang diperoleh dari Kebun Percobaan (KP) BPTP Sumatera Barat, Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Pelepah dan daun sawit tersebut dicincang menggunakan chopper sehingga ukurannya menjadi lebih kecil. Kapang Phanerocaete chrysosporium diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Biakan murni kapang sebelum digunakan akan
dibuat terlebih dahulu sebagai inokulum dengan media bungkil sawit selama 6 hari. Sedangkan alat yang digunakan meliputi timbangan, perangkat alat analisis Proksimat dan perangkat alat untuk pembuatan inokulum B. Metoda Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium untuk mempelajari perubahan kandungan serat pelepah daun sawit yang telah mengalami fermentasi dengan inokulum kapang Panerocaete
chrysosporium. Inokulum dibuat oleh BPTP Sumatera Barat. Pelepah dan daun sawit hasil fermentasi kemudian di analisis Proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Universitas Padjadjaran kampus Jatinangor. 1. Rancangan Percobaan Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Perlakuan adalah : T0 = Pelepah dan daun sawit segar (kontrol) T1 = Pelepah dan daun segar fermentasi 5 hari T2 = Pelepah dan daun segar fermentasi 10 hari T3 = Pelepah dan daun segar fermentasi 15 hari T4 = Pelepah dan daun segar fermentasi 20 hari Model liniernya sebagai berikut : Yij = µ + Ti + εij
Dimana : Yij = Variabel respons hasil observasi ke-i karena pengaruh perlakuan ke-J µ = Nilai tengah umum Ti = Pengaruh Perlakuan ke-i εij = Pengaruh acak (kesalahan percobaan) pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j Perbedaaan antar perlakuan untuk setiap parameter uji dilihat melalui uji F (sidik ragam) pada tingkat kepercayaan 95%. Uji jarak berganda Duncan (Gaspers, 1991) dilakukan bila F memberikan hasil berbeda nyata. 2. Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Alat Alat Alat yang akan digunakan dibersihkan, dicuci terlebih dahulu dan dibilas dengan aquades, kemudian dikeringkan dioven dengan suhu 105oC sampai kering, dan alat alat yang sudah keringdisterilkan dengan dengan oven 105oC dalam waktu 3,5 jam, setelah itu baru digunakan, perbanyakan biakan murni 2. Pembuatan Media Potato Dextrosa Agar (PDA) Masukan 200g kentang yang sudah dipotong seperti dadu dan dicuci bersih ke dalam aquadest mendidih (volume harus di pertahankan 500ml) selama 1 jam. Setelah itu saring ekstrak kentang dan campur dengan 20 gram dextrosa dan 20 gram agar. Selanjutnya, tambahkan aquadest ke dalam campuran hingga volume mencapai 1 liter. Larutkan semua komponen dalam campuran dengan cara mendidihkan sambil diaduk rata. Setelah itu sterilisasi selama 2 jam pada suhu 121oC menggunakan autoclave lalu masukan 10 ml larutan yang telah diautoclave ke dalam botol steril, kemudian botol di tutup dengan kapas steril dan
dilapisi dengan alumunium foil. Simpan pada rak dengan posisi miring hingga dingin. Media nantinya dipergunakan untuk memperbanyak kapang. 3. Perbanyakan Biakan Murni Inokulasi murni phanerocaete chrysosporium menggunakan jarum osse secara zig zag ke dalam media Potato Dextrosa Agar (PDA) steril. Inokulasi biakan murni dari kapang phanerocaete chrysosporium dilakukan di atas nyala api bunzene untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Tutup tabung dengan kapas steril dan lapisi dengan alumunium foil, kemudian inkubasi selama 10 hari pada suhu kamar 37oC. Selanjutnya, lakuakan pengenceran biakan murni kapang dengan aquadest steril hingga volume mencapai 10 ml dan aduk supaya spora tercampur secara merata. 4. Proses Pembuatan Inokulum Biakan murni kapang Panerocaete chrysosporium di encerkan dengan 10 ml aquadest steril, kemudian larutan disemprotkan dalam 100 gram bungkil inti sawit dan disimpan pada suhu kamar 2228oC selama 6 hari. Campuran dikeringkan dan digiling, kemudian dipakai sebagai inokulum. 5. Proses Fermentasi Pelepah dan Daun Sawit 200 gram pelepah dan daun sawit yang telah dicacah dengan Chopper yang berkapasitas 6000 pk dan diletakkan di atas nampan plastik ukuran (20x 25 cm) secara merata, kemudian ditambahkan inokulum sebanyak 5% dari bahan yang difermentasi dan kemudian diaduk. Setelah itu ditambahkan aquadest sebanyak 10% dari total bahan yang difermentasi. Substrat kemudian disimpan dalam suhu kamar menurut waktu fermentasi (0, 5, 10, 15, 20) hari. Produk fermentasi selanjutnya dikeringkan, kemudian sampelnya disiapkan untuk analisis Proksimat. 3. Peubah yang diukur 1) Kadar Bahan Kering Cawan porselin dibersihkan dan dipanaskan dalam oven sampai kira-kira tidak ada lagi kehilangan berat ketika ditimbang, kemudian ditimbang sebagai bobot kosong (a). Sampel yang telah dihomogenkan ditimbang sebanyak 10 gr dalam cawan dinyatakan sebagai bobot awal (b), kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam. Setelah proses pengeringan, cawan dikeluarkan dari oven dan dimasukkan ke
dalam desikator, dan setelah dingin ditimbang dan dikeringkan kembali dalam oven sampai diperoleh bobot tetap sebagai bobot akhir (c). b–c Kadar Air = x 100% b–a Kemudian Bahan kering dihitung sebagai berikut : 100% - Kadar air = Bahan kering 2) Kadar Abu Cawan yang telah dibersihkan dipanaskan dalam tanur pada suhu 100oC selama 2 jam lalu ditimbang sebagai bobot kosong (a). Sampel yang telah diuapkan ditimbang teliti + 1g dalam cawan dan dinyatakan sebagai bobot awal (b), kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur suhu 600oC selama 5 jam. Setelah pemanasan cawan dimasukkan ke dalam desikator, dan setelah dingin ditimbang dan dipanaskan beberapa kali sampai diperoleh bobot tetap sebagai bobot akhir (c). c–a Kadar Abu = x 100% b–a 3) Kadar BETN 100% - Kadar Air – Abu – Protein – Serat – lemak = BETN 4). Kadar Protein Kasar Timbang sampel sebanyak 0,5 gram dan dipindahkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml, ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 2,0±0,1 K2SO4. Kemudian ditambahkan beberapa butir batu didih. Sampel didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginka, Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi. Cuci dan bilas labu 5-6 kali dengan 1-2 ml air, pundahkan air cucian tersebut ke dalam alat destilasi. Letakkan elenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H2BO3 dan 2-4tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol dibawah kondensator. Ujung tabung kondensor harus terendam dibawah larutan H3BO3. Ditambahkan 8-10 ml
larutan NaOH-Na2S2O3, kemudian lakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air, dan bilasan tadi dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Lalu dilakukan penetapan blangkonya. Perhitungannya sebagai berikut : % N = (ml HCl – ml blanko) x normalitas x 14,007 x 100 Mg sampel % Protein = %N x Faktor konversi
4) Kandungan Serat Kasar Sampel dihaluskan hingga dapat melalui saringan diameter 1 mm dan diaduk merata. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0,5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 3 tetes zat anti buih (antifoam agent). Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih. Tutup dengan pendingin balik. Selama 30 menit didihkan dengan sambil digoyang-goyang. Suspensi disaring melalui kertas saring. Residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Cuci residu dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus). Secara kuantitatif residu dari kerta saring dipindahkan ke dalam erlenmeyer kembali dengan spatula. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan selama 30 menit. Saring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci lagi dengan air mendidih, kemudian dengan alkohol 95% sekitar 15 ml. Kertas saring dengan isinya dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), dinginkan dalam desikator dan timbang. Berat residu yang diperoleh sama dengan Berat Serat. Rumusnya adalah : % Serat kasar = Berat serat (gram) x 100 Berat sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Perubahan Kandungan Bahan Kering Pada Pelepah Daun Sawit yang difermentasi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium.
Perubahan kandungan bahan kering pada Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete Chrysosporium dilihat pada Tabel 1
Tabel 1.Kandungan Bahan kering Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dan tanpa fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium (%) Ulangan
Perlakuan 1
2
3
Jumlah
Rataan
4
T0
55,1
56,6
53,9
56,9
222,5
55,63A
T1
54.88
54,78
54,84
54,72
219,22
54,81A
T2
53,11
52,96
53,87
52,55
213,49
53,37B
T3
51,25
52,17
52,71
52,29
208,42
52,11C
T4
46,96
45,72
46,26
45,64
184,58
46,15D
Jumlah
1048,21
Rataan 52,41 Keterangan : Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata kandungan Bahan kering pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium yang terendah berkisar adalah sebesar 46,15% dan yang tertinggi adalah 55,63% dengan rataan sebesar 52,41% Berdasarkan Sidik Ragam pada lampiran 1, bahwa perlakuan fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan kandungan bahan kering pelepah dan daun sawit. Hasil Uji Lanjut DMRT kandungan bahan kering pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium memperlihatkan bahwa perlakuan T4 sebesar 41,15% sangat nyata (P<0,01) lebih trendah dari perlakuan T3, T2, T1 dan T0 yaitu 52,11%, 53,37%, 54,81% dan 55,63%, tetapi T1 berbeda tidak nyata (P>0,05) menurunkan kandungan bahan kering terhadap perlakuan T0 (kontrol),tetapi secara angka terjadi penurunan kandungan bahan kering pada T1. Penurunan bahan kering pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium di
sebabkan hasil bahan substrat pelepa dan daun sawit mengandung kadar air yang tinggi dan di tambah dengan air fermentasi,sehingga terjadi penurunan kandungan bahan kering, yang semakin rendah dengan lama fermentasi. Rendahnya kandungan bahan kering pada hari ke 20 fermentasi dikarenakan zat makanan telah habis dirombak dan di manfaatkan oleh mikroba dan setelah fermentasi 20 hari terjadi kehilangan bahan kering yang tinggi dimana kapang ini juga mempunyai intensitas pertumbuhan yang tinggi, kapang ini mampu mensintesis enzim zat makanan. Perubahan bahan kering dapat terjadi karena proses dekomposisi substrat dan perubahan kadar air. Perubahan kadar air terjadi akibat evaporasi, hidrolisis substrat atau produksi air metabolik (Gervais 2008). B. Perubahan Kandungan Protein Pada Pelepah Daun Sawit yang difermentasi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Perubahan kandungan protein pada Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2.Kandungan Protein Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium (%) Ulangan
Perlakuan
fermentasi tanpa
Jumlah
Rataan
5,25
18,88
4,72D
6,81
6,5
26,47
6,62C
6,8
6,99
6,83
27,72
6,93C
7,72
7,72
7,87
7,6
30,91
7,73B
9,93
10,15
10,11
9,83
40,02
10,01A
1
2
3
4
T0
5,06
4,31
4,26
T1
6,75
6,41
T2
7,1
T3 T4 Jumlah
144
Rataan 7,20 Keterangan : Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata kandungan protein pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium yang terendah berkisar adalah 4,72% dan yang tertinggi adalah 10,01% dengan rataan sebesar 7,20% Berdasarkan Sidik Ragam pada lampiran 2, bahwa perlakuan fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap peningkatan kandungan protein kasar pelepah dan daun sawit. Hasil Uji Lanjut DMRT kandungan protein pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium memperlihatkan bahwa perlakuan T4 sebesar 10,01% sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari perlakuan T3, T2, dan T1 yaitu 7,73%, 6,93%, 6,62% dan 4,72%, tetapi T2 berbeda tidak nyata (P<0.05) meningkatkan kandungan protein kasar terhadap perlakuan T1,walaupun demikian bila dilihat secara angka persentase kandungan protein kasar T3, dan T2 lebih tinggi dari kandungan protein kasar T1. Semakin lama waktu fermentasi, semakin banyak mikroorganisme/ kapang yang dapat menguraikan substrat dan enzim dihasilkan juga berbanding lurus dengan pertumbuhan kapang. Peningkatan jumlah enzim dan populasi kapang akan meningkatkan kandungan protein kasar hasil fermentasi sesuai dengan lama fermentasi karena dan enzim tersebut juga protein.
Howard, et,al (2003) menjelaskan bahwa kapang yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangbiakan yang baik akan dapat merubah lebih banyak komponen penyusun media menjadi suatu massa sel, sehingga akan terbentuk protein yang berasal dari tubuh kapang itu sendiri dan dapat meningkatkan protein kasar dari bahan. Selama proses fermentasi mikroba akan mengeluarkan enzim dimana enzim tersebut adalah protein dan mikroba itu sendiri juga merupakan sumber protein sel tunggal. C. Perubahan Kandungan BETN Pada Pelepah Daun Sawit yang difermentasi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Perubahan kandungan lemak pada Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 memperlihatkan bahwa rata-rata kandungan BETN pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium yang terendah berkisar adalah sebesar 45,563% dan yang tertinggi adalah 48,05% dengan rataan sebesar 47,02% Berdasarkan Sidik Ragam pada lampiran 3, bahwa perlakuan fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap penurunan kandungan BETN pelepah dan daun sawit.
Tabel 3. Kandungan BETN Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi tanpa fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium (%) Ulangan Perlakuan Jumlah Rataan 1 2 3 4 T0 48,36 48,64 48,04 47,17 192,21 48,05A T1 46,86 46,35 47,75 48,14 189,01 47,28A T2 47,57 46,96 45,52 46,98 187,03 46,76AB T3 47,26 48,36 46,89 47,02 189,53 47,38A T4 46,04 42,05 47,05 46,46 182,5 45,63B Jumlah 140,37 Rataan 47,02 Keterangan : Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) Hasil Uji Lanjut DMRT kandungan BETN pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium memperlihatkan bahwa perlakuan T4 sebesar 45.63% sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dari perlakuan T0, T1, T2dan T3 yaitu 48.05%, 47.28%, 46.76% dan 47,38%, tetapi T1 dan T3 tidak berbeda nyata menurunkan kandungan BETN. Bila diliha secara angka terjadi penurunan BETN sejalan lama fermentasi hal ini berhungan dengan bahan kering, BETN merupakn karbohidrat mudah larut/ terurai merupakan sumber energi bagi pertumbuhan kapang Phanerochaete chrysosporium disamping sumber nitrogen. Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak senyawa komplek/ substrat yang terurai menjadi sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme/ kapang tersebut, oleh sebab itu makin lama waktu fermentasi maka kandung BETN semakin menurun.
Hal ini sesuai pendapat Widyobroto dkk (1995), bahwa mikroorgansme membutuhkan nutrien (sumber energi) untuk dapat bertahan hidup, nitrogen untuk membentuk protein tubuhnya yang didapatkan dari nitrogen makanan, dan nutrien yang berhubungan dengan sistem enzim dan sintesa vitamin (mikroba rumen) menurut Sulistiono (2012) bahwa perhitungan BETN terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kadar BETN selain turun kadar abu dan serta kasar seperti kadar air, kadar protein kasar dan kadar lemak kasar. D. Perubahan Kandungan Abu Pada Pelepah Daun Sawit yang difermentasi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Perubahan kandungan abu pada Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4.Kandungan Abu Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi tanpa fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium (%) Ulangan
Perlakuan
Jumlah
Rataan
8,81
36,45
9,11A
7,25
7,7
30,6
7,65B
7,57
7,72
7,69
30,08
7,52B
6,53
7,55
6,55
7,76
28,39
7,10B
6,75
7,94
6,16
6,39
27,24
6,81B
1
2
3
4
T0
9,21
8,7
9,73
T1
8,06
7,59
T2
7,1
T3 T4 Jumlah
152,76
Rataan 7,64 Keterangan : Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) Tabel 4 memperlihatkan bahwa Phanerochaete chrysosporium berkisar dari rata-rata kandungan abu pada pelepah dan yang terendah adalah 6,81% dan yang daun sawit yang difermentasi dengan kapang
tertinggi adalah 9,11% dengan rataan sebesar 7,64%. Berdasarkan Sidik Ragam pada lampiran 4, bahwa perlakuan fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap penurunan kandungan abu pelepah dan daun sawit. Hasil Uji Lanjut DMRT kandungan abu pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium memperlihatkan bahwa perlakuan T1, T2, T3, T4 yaitu 7,65%, 7,52%, 7,10% dan 6,81% sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dari perlakuan T0 (kontrol) yaitu 9,11%, tetapi T1, T2, T3, dan T4 berbeda tidak nyata (P>0.05) menurunkan kandungan abu pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium, namun demikian secara angka terjadi, penurunan kandungan abu semakin lama waktu fermentasi.
Menurunnya kadar abu dari suatu bahan pakan berhubungan erat dengan menurunnya kandungan serat kasar bahan tersebut.(Wibowo, 2010) menyatakan bahwa kadar serat kasar dan kandungan abu mempunyai hubungan yang positif terhadap besarnya perubahan kadar abu. Pada perlakuan tanpa fermentasi atau T0, mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari perlakuan lain nya, hal ini disebabkan bahwa pelepah dan daun sawit tanpa fermentasi merupakan bahan yang keras dan daun yang berduri sehingga mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi (Fengel dan Wegener, 1995) E.
Perubahan Kandungan Serat Kasar Pada Pelepah Daun Sawit yang difermentasi dengan Kapang Phanerochaete chrysosporium. Perubahan kandungan serat kasar pada Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan Serat Kasar Pelepah dan Daun Sawit yang mengalami proses fermentasi tanpa fermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium (%) Ulangan
Perlakuan
Jumlah
Rataan
37,87
150,06
37,52A
36,29
36,05
145,6
36,40B
35,58
35,63
34,97
141,14
35,29C
33,83
33,83
34,33
34,33
136,32
34,08D
30,85
31,58
31,25
30,32
124
31,00E
1
2
3
4
T0
37,48
37,27
37,44
T1
36,68
36,58
T2
34,96
T3 T4 Jumlah
697,12
Rataan 34,86 Keterangan : Superskrip dengan huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama menunjukan berbeda sangat nyata (P<0,01) Tabel 5 memperlihatkan bahwa rata-rata kandungan serat kasar pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium berkisar dari yang terendah adalah 31,00% dan yang tertinggi adalah 37,52% dengan rataan sebesar 34,86%. Berdasarkan Sidik Ragam pada lampiran 5, bahwa perlakuan fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap penurunan kandungan serat kasar pelepah dan daun sawit.
Hasil Uji Lanjut DMRT kandungan serat kasar pada pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium memperlihatkan bahwa masing-masing perlakuan T4, T3, T2, dan T1 yaitu 31,00%, 34,08%, 35,29%, dan 36,40% berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibandingkan dengan T0 (kontrol) dalam menurunkan kandungan serat kasar pelepah dan daun sawit yang difermentasi dengan kapang Phanerochaete chrysosporium. Perubahan kandungan Serat Kasar dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang, karena kemampuan kapang
tersebut memecah Serat kasar untuk memenuhi kebutuhan energi. Penurunan serat kasar diduga karena kapang Phanerochaete chrysosporium pada fermentasi 5 hari mulai mensintesa enzim pengurai, yaitu selulose yang akan merombak selulosa dalam produk, Phanerochaete chrysosporium merupakan kapang yang dapat tumbuh cepat dan menghasilkan beberapa enzim seperti amylase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase. Pada perlakuan T0 (kontrol) pelepah dan daun sawit tanpa Fermentasi merupakan
bahan yang keras keras daun nya berduri dan mengandung lidi, sehingga mempunyai kandungan serat kasar /lignin yang tinggi (Fengel dan Wegener 1995). Semakin lama waktu fermentasi semakin banyak enzim yang dihasilkan Kapang Phanerochaete Chrysosporium untuk memecah lignin dari pelepah dan daun sawit sehingga berpengaruh terhadap menurunnya serat kasar pada pelepah dan daun sawit dan akan berbanding lurus dengan menurunnya kandungan kadar abu pada pelepah dan daun sawit tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin lama waktu fermentasi (20 hari) pada pelepah dan daun sawit menggunakan Kapang Phanerochaete chrysosporium maka semakin meningkat kandungan protein kasar,sedangkan kandungan bahan kering,
serat kasar, BETN menurun.
dan abu semakin
B. SARAN Perlu dilakukan uji in vitro untuk mengetahui kecernaan zat zat makan dari hasil fermentasi pelepah dan daun sawit menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium.
DAFTAR PUSTAKA Adaskaveg, J.E, R.L. Gilbertson., and M.R. Dunlap. 1995. Effects of incubation time and temperature on in vitro seceltive delignification of silver leaf oak by Ganoderma colossum. Appl. Environ. Microbiol. 61:138-144. Ahmad Dan Omar. 1998. Penelitian dan pengembangan ternak dan tanaman pohon integrasi Dalam, Proc. Seminar Nasional Peternakan dan tanaman Integrasi di Kelapa Sawit: "Menuju Keberlanjutan". Cookson, J.T. 1995. Biomediation Engineering Design and Application. Mc.Graw Hill.Inc. Dahlan, I., M.D. Mahyuddin, M.A. Rajion dan M.S. Sharifudin. 1993. Oil palm frond leaf for preslaughter maintenance in goats. Proc. 16th MSAP Ann. Conf. pp. 78-79. Dalzell, R. 1977. A case study on the utilization of effluent and by-products of oil palm by cattle and buffaloes on an oil palm estate dalam Feedingstuffs for livestock in South East Asia. pp. 132-141. Desrosier. 1988, Silage Fermentasi Proceeding Of the Enropean Grassland Conggress. Devendra, 1997. Potensi Produk Limbah Kelapa Sawit. Diwyanto, K.D. Sitompul, Ishak Manti, W. Mathius., dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi Bengkulu 9-10 September 2003. Departemen Pertanian Bekerjasama dengan Pemda Propinsi Bengkulu. Fengel, D., dan Wegener. 1995. Kayu: kimia, ultra struktur, reaksi-reaksi. Translated from the english by H. Sastrohamidjojo. Yogyakarta, Gadjah mada University Press Fardias, S. 1989. Mikrobilogy Pangan. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi antar Universitas IPB, Bogor Gervais P. 2008. Water relations in solid state fermentation. In: Pandey A, C.R. Soccol, C. Larroche, editor Current Developments in Solid. Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In: SteinbüchelA. [ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic Substances and Coal. Germany: Wiley VCH. pp. 129-180. Hassan, A.O. and M.Ishida, 1991, Effect of water, Molasses and urea addtion on oll palm frond silage quality-fermentasi characteristic and palatability to kedah-kelantan bulls. In proceeding of the third international Symposlum on the Nutrion of Herbivores . Penang. Malaysia Hutagalung, R.I. M.D. Mahyudin, B.L. Braithwaite, P. Vichulata And S. Dass. 1986. Digestibility and performance of cattle fed PKC and ammoniated PPF under intensive system. Proc. 8th Ann. Conf. MSAP March 13-14 1984. Malaysia. pp. 87-91. Howard R.L., E. Abotsi, E.L.J. van Rensburg and S. Howard. 2003. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. African J. Biotechnol. Imsya, A. 2007. Konsentrasi N-Amonia, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Pelepah Sawit Hasil Amoniasi Secara In-vitro. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. Halm 111-114. Ishida, M.and A.O.Hassan. 1992. Chemical Composition and in Vitro digestibility of leaf and petiole from various location in oil palm fronds . In proceeding of 15th Malaysian Society of Animal Production, May 26-27, 1992, Kuala Trengganu, Malaysia, 115-118 Kirk T.K. and R.L. Farrell. 1987. Enzymatic “combustion “: the microba degradasi of lignin. Ann .Rev. Microbiol. 41, 465-505. Mathius, I.W., Azmi, B.P. Manurung, D.M. Sitompul Dan E. Pryatomo. 2004. Integrasi sawitsapi:Imbangan pemanfaatan produk samping sebagai bahan dasar pakan. Prosiding Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar. Juli 2004. Halm: 439-446 . Mathius, I.W., A.P. Sinurat, D. Sitompul, B.P. Manurung Dan Azmi. 2005 . Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. September 2005. Orth A.B, D.J. Royse, M. Tien. 1993. Ubiquity of Lignin-degradding Peroxidases among Vaious Wood-Degrading Fungi. Appl. Environ Microbiol. 59:4017-4023. Prabowo. A., Y. Suci Pramudyati dan Aulia Evi Susanti. 2011. Potensi Limbah Pelepah dan Daun Kelapa Sawit Untuk Pakan Sapi Potong di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan Ke-3 Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. “Road To Green Farming”. Jatinangor. Halm 13-16.
Rothschild N., A. Levkowitz, Y. Hadar and C.G. Dosoretz. 1999. Manganese deficiency can replace high oxygen levels needed for lignin peroxidase formation by Phanerochaete chrysosporium. Appl Environ Microbiol 65:483-488. Setyamidjaja, D. 1993. Budidaya Kelapa Sawit. Penerbit Kanisius. Smith, J.M., H.C. Van Ness dan M.M. Abbott. 1990. Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics. 3rd Edition. New York: McGraw- Hill Book Company. Suharto. 2004. Pengalaman Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit di Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63. Sulaiman. 1988. Studi Proses Pembuatan protein Mikroba dengan Ragi Mililotik dan Ragi pada Media Padat dengan Bahan Baku Ubi Kayu (Manihotulissima, Pokl). Tesis Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Sutardi, T. 1991, Ikhtisar Ruminologi. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi Perah di Kayu Ambon. Lembang. BPLPP. Direktorat Jenderal Peternakan, Bogor. Sulistiono, D. 2012 “ Delignifikasi pelepah daun sawit akibat penambahan urea, Phanerochaete chrysosporium, dan trametes Sp,” Skripsi. Fakultas pertanian. Universitas Lampung. Tanuwidjaya, L. 1983. Pengaruh Substat Terhadap Daya Simpan Inokulum Tempe. Kumpulan Makalah Kongres Nasional Mikrobiologi Ke III Perhimpunan Ahli Mikrobiologi Indonesia Tuomela, M. 2002. Degdradation of Lignin and Other 3-4C-labelled Compounds in Compact and Soil with an Emphasis on White-rot fungi. Helsinki: Dep. Appl. Chem. Microbiol. Division of Microbiology, 140:19-26. Dalam Suparjo, 2008. Degdradasi Komponen Lignoselulosa oleh Kapang Pelapuk Putih. jajo66. Wordpress.com. Wibowo, A. H. 2010. Pendugaan kandungan nutrien dedak padi berdasarkan karakteristik sifat fisik. Tesis. Sekolah pasca sarjana, Fakultas peternakan Institut pertanian bogor, Bogor. Winarno, F.G. 1980. Bahan Pangan Terfermentasi. Pusat penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan, IPB, Bogor. Widyobroto, B.P., R. Padmowijoto Dan R.Utomo. 1995. Degradasi Bahan organik danProtein Secara In Sacco Lima Rumput Tropik.Bull. Peternakan Vol. 19. Wegener, (et.al). 2001. Peningkatan Nilai gizi pelepah sawit melalui proses fermentasi : Pengaruh jenis kapang, suhu dan lama proses enzimatis. J. Ilmu Ternak Vet. 3(4) : 237-242.