17
BIODEGRADASI LIGNOSELULOSA OLEH KAPANG P. chrysosporium TERHADAP PERUBAHAN FRAKSI SERAT DAN NILAI GIZI PELEPAH SAWIT ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengetahui interaksi terbaik dari dosis inokulan dan waktu inkubasi biodegradasi pelepah sawit dengan P.chrysosporium terhadap perubahan nilai gizi dan fraksi serat pelepah sawit. Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu dosis inokulan (105cfu /ml, 106cfu/ ml, and 107cfu/ml) dan lama inkubasi (10, 15, dan 20 hari). Pada penelitian ke-2 diperoleh bahwa interaksi terbaik untuk biodegradasi pelepah sawit dengan P. crhysosoporium terjadi pada dosis inokulan 107cfu/ml dengan lama inkubasi 10 hari terhadap fraksi serat dan nutrient pelepah sawit fermentasi. Penurunan kandungan lignin mencapai 47.79%, NDF 40.16%, ADF 40.93%, selulosa 35.69%, hemiselulosa 36.90%, degradasi lignin 49.47%, rasio selulosa dengan lignin1.35. Tidak terdapat interaksi antara dosis inokulan dan lama inkubasi terhadap kandungan bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar, lemak kasar dan BETN fermentasi pelepah sawit. Kesimpulan dari penelitian ini adalah interaksi terbaik antara dosis inokulan dan lama fermentasi adalah 107cfu/ml dan 10 hari untuk penurunan kandungan lignin fermentasi pelepah sawit oleh P. crhysosporium. Kata kunci: biodegradasi, lignin, pelepah kelapa sawit, Phanerochaete chrysosporium
ABSTRACT The experiment was conducted to study the interaction between inoculant doses and time of fermentation with Phanerochaete chrysosporium on pH, water activity, fiber components and nutrient. This research was done based on completely randomized design with 2 factor as treatments. The first factor was inoculant doses : 105cfu /ml, 106cfu/ ml, and 107cfu/ml, the second factor was length of fermentation : 10, 15, and 20 days. Results showed that Dose of 107cfu/ml inoculant and 10 days time of fermentation were most effectively reducing lignin (47.79%), NDF (40.16%), ADF (40.93%), Cellulose (35.69%), Hemicellulose (36.90%), lignin degradation (49.47%), the ratio of cellulose to lignin (1.35). There was no interaction between inoculant doses and time of fermentation on fermented palm oil frond dry matter, organic matter, crude protein, crude fiber, crude fat and BETN. As the conclusion, The best interaction between inoculant doses and time of fermentation was 107cfu/ml inoculants and 10 days incubation time for degradation of lignin and nutrient of fermented palm oil frond. Key words: biodegradation, lignin, phanerochaete chrysosporium, palm oil frond,
18
PENDAHULUAN Lignoselulosa merupakan komponen utama dari biomassa yang terdapat pada tanaman yang terbentuk dari proses fotosintesis, dengan produktivitas mencapai 5x1010 ton/tahun (Sanchez, 2009; Villas-Boas et al. 2002). Komponen utama lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin (Martinez et al. 2005; Howard et al. 2003; Sanchez, 2009). Polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin terjalin dengan kuat dan secara kimia berikatan melalui kekuatan nonkovalen dan saling bertautan melalui ikatan kovalen (Perez et al. 2002) sementara Buranov dan Mazza (2008) menyatakan bahwa lignin berikatan dengan hemiselulosa melalui ikatan kovalen tetapi ikatan yang terjadi antara selulosa dengan lignin belum diketahui secara lengkap. Ikatan lignoselulosa ini merupakan pembatas dalam pemanfaatan bahan pakan dalam ransum karena akan menurunkan tingkat kecernaan sehingga mengurangi nilai nutrisi pakan. Bahan pakan yang mengandung tingkat lignin yang tinggi biasanya berasal dari bahan pakan alternatif atau bahan pakan konvensional, seperti bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian maupun perkebunan. Komponen terbesar dari lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa merupakan makromolekul yang dibentuk dari gula yang berbeda, sementara lignin merupakan polimer aromatik yang dibentuk dari prekusor phenylpropanoid. Komposisi dan proporsi dari senyawa ini bervariasi antar tanaman (Prassad et al. 2007; Perez-diaz et al. 2005; John et al. 2006). Organisme yang paling berperan dalam mendegradasi lignoselulosa adalah kapang, terutama kapang yang termasuk dalam kelompok basidiomycetes (Ten dan Teunissen. 2001; Bennett et al. 2002; Rabinovich et al. 2004). Salah satunya adalah kapang Phanerochaete chrysosporium yang mampu mendegradasi lignoselulosa secara efektif (Tuomela et al. 2002) yaitu mendegradasi komponen lignin terlebih dahulu diikuti dengan komponen selulosa dan hemiselulosa. Salah satu bahan pakan yang potensial dimanfaatkan sebagai bahan pakan ruminansia dan berasal dari limbah perkebunan adalah limbah kelapa sawit, salah satunya berupa pelepah sawit. Komposisi kimia pelepah sawit adalah sebagai berikut: Bahan Kering (BK) 21.68%, Protein Kasar (PK) 5.28%, Neutral Detergent Fiber (NDF) 65.59%, Acid Detergent Fiber (ADF) 52.72%, Hemiselulosa 12.87%, Selulosa 27.79%, dan Lignin 25.42% (Laboratorium Ilmu dan Tekhnologi Fapet IPB, 2012 dan Laboratorium Nutrisi Ruminansia dan Kimia Pakan Ternak UNPAD, 2012). Komposisi kimia ini dapat bervariasi karena faktor dari area geografis, kondisi iklim, kimia tanah maupun pemupukan yang dilakukan di daerah perkebunan. Tingginya kadar lignin dalam pelepah sawit membuat banyak penelitian yang dilakukan untuk bisa menurunkan kadar lignin. Perlakuan fisik, kimia maupun biologis diaplikasikan dengan tujuan ikatan lignoselulosa bisa terpecahkan sehingga serat kasar yang berupa selulosa dan hemiselulosa yang terikat pada ikatan lignoselulosa tersebut dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber energi. Banyak cara telah dilakukan untuk memecah ikatan lignoselulosa baik secara fisik berupa proses pencacahan, secara kimia dengan memanfaatkan bahan-bahan kimia seperti amnonia dan natrium hidroksida
19
maupun secara biologis berupa pamanfaatan bakteri maupun kapang. Jenis kapang yang memiliki kemampuan degradasi lignosululosa yang tinggi adalah kapang yang termasuk dalam white rot fungi. Kapang ini salah satunya adalah P. chrysosporium diketahui menghasilkan enzim lignin peroxidase, manganese peroxidase dan laccase. Biodegradasi merupakan proses perubahan substrat oleh mikroorganisme yang melibatkan sejumLah reaksi menjadi produk yang lebih sederhana. Aktivitas merombak komponen substrat membutuhkan nutrient yang diperoleh dari hasil perombakan. Proses biodegradasi dengan menggunakan kapang P.chrysosporium 7.5% pada pelepah sawit mampu menurunkan kandungan NDF sampai 37.28%, ADF 35.79% dan lignin 40.31%, selulosa 6.37% dan hemiselulosa 41.29% (Imsya dan Palupi, 2009) namun hasil ini belum optimal karena banyak faktor yang menjadi pertimbangan dalam proses fermentasi. Faktor yang sangat berperan untuk mendapatkan hasil fermentasi yang optimal diantaranya adalah dosis dan lama fermentasi, kedua hal ini memegang peranan penting dalam proses fermentasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui interaksi antara dosis inokulan yang digunakan dengan lama fermentasi terhadap perubahan nilai gizi dan perubahan fraksi serat pada pelepah sawit yang difermentasi oleh P chrysosporium.
METODE PENELITIAN Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini adalah pelepah sawit yang dikering udarakan dan dicacah sepanjang 2 cm kemudian digiling dengan ukuran 5mm. Inokulan yang digunakan adalah P.chrysosporium yang dibiakan dalam media PDA pada suhu 30oC selama 4 hari sebelum digunakan sebagai substrat dan media Potatos Dextrose Broth (PDB) Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial, dimana dosis inokulan terdiri dari 105cfu/mL, 106cfu/mL dan 107cfu/mL serta lama waktu fermentasi yaitu 10, 15 dan 20 hari sebagai perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali Pelaksanaaan penelitian Proses Fermentasi. Kapang P.chrysosporium 106 cfu/mL diinokulasi ke dalam media PDB sebanyak 25mL dan dikocok menggunakan shaker selama 3 hari. Total populasi spora yang diperoleh pada media PDB yaitu 105cfu/mL, 106cfu/mL dan 107cfu/mL dipilih untuk digunakan sebagai dosis inokulan yang selanjutnya difermentasikan ke dalam 15g pelepah sawit yang sudah digiling dengan ukuran 5mm, lama proses fermentasi dilakukan sesuai dengan perlakuan. Penentuan Perubahan Kandungan Nutrien dan Kandungan Serat. Perubahan kandungan nutrient sebelum dan sesudah fermentasi dilakukan dengan analisis proksimat (AOAC, 1998) dan perubahan kandungan fraksi serat dilakukan sesuai dengan analisa Van Soest (2002).
20
Rasio Selulosa Lignin. Rasio selulosa lignin (RSL) merupakan perbandingan kandungan selulosa substrat terhadap lignin pada perlakuan yang sama, besaran angka RSL ditentukan dengan persamaan : Rasio Selulosa Lignin = Degradasi Lignin. Degradasi lignin dalam substrat sebelum dan setelah difermentasi dihitung dengan persamaan : Degradasi Lignin (%) = Lo Lt BKo BKt
x 100%
= Kandungan lignin substrat sebelum fermentasi (%) = Kandungan lignin substrat setelah fermentasi (%) = Bahan kering sebelum fermentasi (%) = Bahan kering setelah fermentasi (%)
Analisis Data. Data hasil penelitian dianalisa dengan analisa statistik sesuai dengan rancangan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s Multi Range Test (Steel dan Torrie, 2002)
HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Keasaman (pH) dan Aktivitas Air (Aw) selama Proses Fermentasi Derajat keasaman (pH) merupakan suatu konsentrasi ion hidrogen pada suatu medium atau pelarut. pH menggambarkan kondisi asam basa dan sangat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu mikroba (Rahayu dan Nurwitri, 2012). pH awal dari substrat yang digunakan adalah 5.97 sementara nilai rataan pH yang diperoleh selama proses fermentasi pelepah sawit dengan P. chrysosporium berkisar antara 4.73-5.25. Terjadi penurunan pH pada hari ke-10 fermentasi yaitu menjadi 4.73 dan akan meningkat kembali pada hari ke-15 dan ke-20 fermentasi dengan nilai masing-masing adalah 4.85 dan 5.25. Penurunan pH tertinggi pada hari ke-10 diduga karena pada saat ini banyak terbentuk asam-asam organik sebagai akibat aktivitas dari proses fermentasi yang terjadi. Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan penurunan nilai pH seiring dengan semakin lamanya fermentasi, hal ini disebabkan karena asam organik yang dihasilkan mempengaruhi keasaman substrat. Aktivitas air atau water activity (Aw) adalah jumLah air bebas yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Rahayu dan Nurwitri, 2012). Nilai rata-rata Aw sebelum fermentasi adalah 0.874 dan terjadi peningkatan nilai Aw selama proses fermentasi yaitu berkisar 0.878-0.895. Nilai Aw menunjukkan stabilitas karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba, tingkat reaksi kimia dan biokimia serta kandungan fisik selama proses fermentasi (Vulkov, 2006). Batas minimum Aw untuk pertumbuhan dan perkecambahan spora seperti kapang yaitu 0.800 (Tambunan et al. 2001; Syarief et al. 2003). Berdasarkan hasil
21
pengukuran nilai Aw selama proses fermentasi, nilai Aw memenuhi batas minimum untuk pertumbuhan kapang P. chrysosporium
Perubahan Kandungan Fraksi Serat Pelepah Sawit Fermentasi dengan P.chrysosporium Pengaruh dosis inokulan dan lama fermentasi dievaluasi dengan terjadinya perubahan fraksi serat yang terdapat pada pelepah sawit. Terdapat interaksi antara dosis inokulan yang digunakan dengan lama fermentasi pada hampir semua parameter fraksi serat yang diukur. Semakin besar dosis inokulan yang digunakan menghasilkan penurunan (P<0.05) kandungan NDF dan ADF yang semakin besar. Lama masa inkubasi memberikan penurunan kandungan NDF dan ADF terbesar hanya sampai pada hari ke-10 fermentasi. Pada hari ke-15 dan ke-20 penurunan kandungan NDF dan ADF yang diperoleh tidak begitu besar kecuali pada interaksi dosis inokulan 107cfu/mL dengan lama fermentasi 20 hari. Penurunan kandungan NDF terbesar terjadi pada interaksi dosis inokulan 107cfu/mL dan lama fermentasi 20 hari yang menghasilkan penurunan kandungan NDF sebesar 42.50% dan penurunan kandungan ADF sebesar 40.96%. Kandungan NDF pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 65.59% sementara rataan kandungan NDF yang diperoleh setelah proses fermentasi berkisar antara 37.72-48.14%. Kandungan ADF pelepah sawit sebelum fermentasi 52.72% setelah proses fermentasi maka terjadi penurunan kandungan ADF yaitu berkisar 31.12-36.84% (Tabel 4 dan 5). Tabel 4. Kandungan NDF pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda Lama Fermentasi (hari) 10 15 20 ----------------------------%-----------------------5 e 10 47.36 ±0.63 47.68 e ±0.34 48.14 e ±0.78 106 40.85 c ±0.22 43.17 d ±0.76 42.45 d ±0.43 7 b b 10 39.25 ±0.54 39.67 ±0.52 37.72 a ±0.09 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Dosis inokulan (cfu/mL)
Tabel 5. Kandungan ADF pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda Lama Fermentasi (hari) 10 15 20 ---------------------------------%---------------------105 35.69 de ±0.47 34.02 cd ±0.37 36.84 e ±0.15 106 33.21 bc ±0.68 34.41 cd ±2.80 32.58 abc ±0.51 7 a ab 10 31.14 ±0.68 31.45 ±0.21 31.12 a ±0.48 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Dosis (cfu/mL)
22
Nelson dan Suparjo (2011) menyatakan bahwa kandungan NDF dan ADF mengalami perubahan yang fluktuatif selama proses fermentasi. Kalau dilihat dari dosis inokulan yang digunakan, maka dengan semakin banyak dosis inokulan yang digunakan semakin besar penurunan kandungan NDF dan ADF. Hal ini disebabkan jumLah kapang yang semakin banyak memungkinkan produksi enzim juga akan semakin besar sehinga proses kerja kapang dalam mendegradasi dinding sel akan semakin meningkat. Nurhaita et al (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi level inokulum yang digunakan maka akan semakin banyak mikroba yang menghasilkan enzim untuk melakukan perombakan dalam proses fermentasi. Penurunan kandungan NDF dan ADF disebabkan karena terjadinya perombakan pada dinding sel oleh kapang P.chrysosporium yang menyebabkan terjadinya perubahan kandungan fraksi serat. Akumulasi penurunan komponen fraksi serat (selulosa, hemiselulosa dan lignin) tergambar pada terjadinya penurunan kandungan NDF dan ADF. Seperti yang dinyatakan oleh Van Soest (2002) komponen penyusun dinding sel (NDF) terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sementara ADF terdiri dari komponen selulosa dan lignin. Zeng et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa spesies kapang pelapuk putih Basidomycetes mampu memecah semua komponen lignoselulosa. Penurunan kandungan NDF pelepah sawit fermentasi berkisar antara 26.60-42.49% sementara untuk kandungan ADF terjadi penurunan berkisar 30.1240.97%, hasil penurunan kandungan NDF dan ADF pelepah sawit fermentasi pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penurunan kandungan NDF dan ADF pada fermentasi kulit buah kakao yang juga difermentasi dengan P.chrysosporium (Nelson dan Suparjo, 2011) dengan penurunan kandungan NDF berkisar 17.3433.90% dan ADF berkisar 10.61-22.65%. Perbedaan persentase penurunan kandungan NDF dan ADF ini terjadi karena jumLah inokulan yang digunakan berbeda sehingga juga mempengaruhi jumLah enzim yang dihasilkan untuk mendegradasi komponen NDF dan ADF. Hasil penelitian Haddin et al. (2009) mendapatkan penurunan kandungan NDF dan ADF Olive pomace yang difermentasi dengan 106cfu/mL P.chrysosporium pada lama fermentasi 10 hari masing-masingnya adalah 31.54% dan 39.74% dan terjadi peningkatan penurunan kandungan NDF sebesar 45.85%, ADF 59.33% pada lama fermentasi 20 hari. Terdapat interaksi antara dosis inokulan dengan lama fermentasi terhadap kandungan selulosa dan hemiselulosa pelepah sawit fermentasi. Penurunan terbesar (P<0.05) kandungan selulosa dan hemiselulosa pelepah sawit fermentasi terjadi pada hari ke-10 fermentasi dengan dosis inokulan 105cfu/mL. Terjadi fluktuasi kandungan selulosa dan hemiselulosa setelah 10 hari fermentasi sampai pada hari ke-20 baik pada kandungan selulosa maupun pada kandungan hemiselulosa. Kandungan selulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 27.79% setelah proses fermentasi kandungan selulosa pelepah sawit berkisar 14.41-17.87%. Kandungan hemiselulosa pelepah sawit sebelum fermentasi yaitu 12.87% dan terjadi penurunan kandungan hemiselulosa setelah proses fermentasi dengan P.chrysosporium menjadi 6.58-11.68%. Pada dosis inokulan 105cfu/mL dan lama fermentasi 15 hari terjadi peningkatan kandungan hemiselulosa menjadi 13.66% (Tabel 6 dan 7) Penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa pada pelepah sawit fermentasi menunjukkan adanya kerja dari enzim yang dihasilkan oleh kapang
23
P.chrysosporium dalam mendegradasi serat yang terdapat pada dinding sel tanaman. Fadillah et al. (2008) menyatakan bahwa kapang P.chrysosporium selain menghasilkan enzim untuk mendegradasi lignin, kapang tersebut juga menghasilkan enzim yang dapat mengurai selulosa, enzim yang dihasilkan diantaranya adalah kuinon reduktase dan selulase. Selulase berperan dalam menghidrolisis selulosa yang berkerjasama dengan campuran dari komplek enzim protein dalam menghidrolisa ikatan β-1,4-glikosida. Selulase bisa dibagi kedalam 3 kelompok enzim utama sesuai dengan aktivitasnya yaitu endoglucanase atau endo-1-4-β-glucanase (EC 3.2.1.4), cellobiohydrolase (EC 3.2.1.91) dan βglucosidase (EC 3.2.1.21). (Rabinovich et al. 2004). Endoglucanase merupakan enzim yang berkerja pertama kali untuk membuka bagian amorf dari selulosa untuk selanjutnya proses hidrolisis dari bagian kristal selulosa akan dilakukan oleh cellobiohydrolase. Hampir 40-70% enzim selusase yang dihasilkan oleh kapang merupakan cellobiohydrolase. Cellobiohydrolase akan memindahkan monomer dan dimer yang terdapat pada ujung rantai glukan. β-glucosidase selanjutnya akan menghidrolisis dimer glukosa menjadi glukosa (Robinovich et al.2002. Tabel 6. Kandungan selulosa pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda Lama Fermentasi (hari) 10 15 20 ---------------------------------%---------------------105 14.46 d ±0.70 14.41 d ±0.62 17.20 ab ±0.29 6 abc c 10 16.95 ±0.75 16.01 ±0.04 17.32 ab ±0.45 107 17.87 a ±0.77 17.55 ab ±0.37 16.61 bc ±0.36 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Dosis (cfu/mL)
Degradasi hemiselulosa melibatkan enzim yang hampir sama dengan degradasi selulosa, namun dibutuhkan lebih banyak enzim untuk melengkapi proses degradasi hemiselulosa karena heterogenitas hemiselulosa lebih besar dibandingkan dengan selulosa (Malherbe and Cloete, 2002). Hemiselulosa didegradasi menjadi monomer gula dan asam asetat. Xylan merupakan karbohidrat utama yang ditemukan pada hemiselulosa, untuk mendegradasinya dibutuhkan kerjasama beberapa enzim yang bersifat hidrolisis. Hemiselulase diklasifikasi sesuai dengan aktivitas kerjanya endo-1,4-β-xilanase (EC 3.2.1.8) menghasilkan oligosakarida dari pembelahan xilan dan xilan 1,4-β- xilosidase (EC 3.2.1.37) menghasilkan xylosa dari oligosakarida. Ditambahkan oleh Perez et al. (2002) degradasi hemiselulosa membutuhkan aksesoris enzim seperti xilan esterase, ferulic dan p-coumaric esterase, α-1 arabinofuranosidase, dan α-4-Ometil glucuronosidase, yang berkerja sinergis untuk menghidrolisis xylan dan mannan. Pada rangkaian O-asetil-4-O methylglucuronxylan, yang merupakan salah satu hemiselulosa yang paling umum, empat enzim yang berbeda diperlukan untuk degradasi yaitu endo-1-4-β-xilanase (endoxylanase), asetil esterase, α-βglukuronidase dan xilosidase. Degradasi O-acetylgalactogluco mannan dimulai dengan pecahnya polimer oleh endomannase. Acetylglucomannan esterases
24
memecah kelompok asetil, dan α-galactosidases menghidrolisis residu galaktosa. Akhirnya, β-mannosidase dan β-glikosidase memecah endomannan untuk menghasilkan oligomer ikatan β-1,4. Tabel 7. Kandungan hemiselulosa pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda Lama Fermentasi (hari) 10 15 20 --------------------------------%----------------------5 10 11,68b ±1,07 13,66 a ±0,45 11,30 bc ±0,71 106 7,64ef ±0,81 10,42 cd ±0,77 9,87 d ±0,09 7 e e 10 8,12 ±0,16 8,22 ±0,49 6,58 f ±0,42 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Dosis (cfu/mL)
Penurunan terkecil kandungan selulosa sebagai akibat dari proses degradasi oleh enzim yang dihasilkan oleh kapang P.chrysosporium terjadi pada dosis inokulan 107cfu/mL dengan lama inkubasi 10 hari dengan persentase penurunan 35.70%. Sementara untuk hemiselulosa penurunan terkecil terjadi pada dosis inokulan 105cfu/mL dengan lama inkubasi 10 hari dengan persentase penurunan 9.25%. Hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian Haddadin et al. (2009) yang melakukan proses fermentasi pada Olive pomace oleh kapang 106 cfu/mL P.chrysosporium dengan lama fermentasi 10 dan 20 hari yang mendapatkan hasil penurunan kandungan selulosa sebanyak 26.10% dan 49.80% namun tidak terjadi perubahan pada kandungan hemiselulosa. Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa pada fermentasi kulit buah kakao dengan P.chrysosporium sebesar 20.26% dan 66.21% pada lama inkubasi 25 hari sementara pada 10 hari fermentasi terjadi penurunan kandungan hemiselulosa 28.23% dan kenaikan kandungan selulosa 3.5%. Perbedaan jumLah penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa ini kemungkinan disebabkan karena jenis substrat yang berbeda. Lignin merupakan bagian dari ikatan lignoselulosa yang terdapat pada dinding sel tanaman. Kandungan lignin pelepah sawit sebelum fermentasi cukup tinggi yaitu 25.42%, setelah difermentasi dengan P. chrysosporium terjadi penurunan yang signifikan (P<0.05) berkisar 13.27-21.23% pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda (Tabel 8). Terdapat pengaruh interaksi antara dosis inokulan dan lama fermentasi terhadap penurunan kandungan lignin pelepah sawit fermentasi. Penurunan kandungan lignin terbesar terjadi pada dosis inokulan 107cfu/mL dengan lama masa inkubasi 10 hari dengan persentase penurunan 47.79%. Terjadinya penurunan kandungan lignin yang terbesar pada hari ke-10 fermentasi dibandingkan pada hari ke-15 dan ke-20 disebabkan karena kemungkin pada hari ke-10 merupakan puncak dari aktivitas enzim ligninase berupa lignin peroksidase, mangan peroksidase dan laccase. Gupte et al. (2007) menyatakan bahwa kapang P. chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sebesar 20.5% pada hari ke-10 inkubasi dan menunjukkan aktivitas enzim yang maksimum dalam mendegradasi lignin. Shi et al. (2009) menunjukkan
25
bahwa fermentasi terhadap tongkol kapas oleh kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin pada waktu fermentasi 4-10 hari. Sementara Nelson dan Suparjo (2011) menyatakan bahwa fase pertumbuhan stasioner kapang P. chrysosporium terjadi pada fermentasi 10 hari dimana enzim yang dihasilkan lebih banyak. Produksi enzim yang lebih banyak dapat membuat kapang memiliki kemampuan lebih besar untuk mendegradasi lignin. Terjadi penurunan kandungan lignin sebesar 63.9% dari fermentasi Olive pomace oleh P. chrysosporium pada 20 hari fermentasi dan 46.44% pada lama fermentasi 10 hari (Haddin et al. 2009). Tabel 8. Kandungan lignin pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium pada dosis inokulan dan lama fermentasi yang berbeda Lama Fermentasi (hari) Dosis (cfu/mL) 10 15 20 -----------------------------%-----------------------105 21.23 g ±0.52 19.61 f ±0.43 19.64 f ±0.16 6 e e 10 16.26 ±0.41 16.73 ±0.08 15.24 d ±0.25 107 13.27 a ±0.29 13.91 b ±0.16 14.51 c ±0.27 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Kehilangan kandungan lignin tergambar dari persentase degradasi lignin selama proses fermentasi berkisar antara 17.34-49.47% (Tabel 9). Terdapat interaksi antara dosis inokulan dan lama fermentasi terhadap degradasi lignin (P<0.05). Semakin banyak dosis inokulan yang digunakan dan semakin lama waktu fermentasi menghasilkan degradasi lignin yang semakin besar. Pada dosis inokulan 107cfu/mL persentase degradasi lignin menunjukkan penurunan dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Penurunan ini diduga terkait dengan ketersedian nutrient hasil perombakan komponen lignoselulosa untuk pertumbuhan kapang itu sendiri. Perubahan kandungan lignin pada substrat terjadi karena perombakan struktur lignin menjadi komponen yang lebih sederhana (Nelson dan Suparjo, 2011). Tabel 9. Degradasi lignin pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulan yang berbeda Lama Fermentasi (Hari) 10 15 20 ------------------------------- % --------------------------5 10 17.34f ± 5.07 20.58ef ± 2.33 23.84e ± 3.14 106 34.14d ± 2.29 33.16d ± 2.17 40.10c ± 2.87 107 49.47a ± 1.98 45.38ab ± 2.11 43.9 bc ± 2.19 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan berbeda nyata (P<0.05) Dosis (cfu/Ml)
Persentase degradasi lignin tertinggi 49.47% terjadi pada dosis inokulan 107cfu/Ml dengan lama inkubasi 10 hari. Degradasi lignin yang tinggi pada lama
26
fermentasi ini berhubungan dengan produksi enzim ligninase yang dihasilkan oleh kapang P.chrysosporium. Arora et al. (2002) menyatakan bahwa aktivitas ligninolitik pada P.chrysosporium baru terdeteksi pada hari ke-8 walaupun kehilangan bahan 26rganic total telah terjadi pada hari ke-4. Zeng et al. (2010) menyatakan bahwa selama proses biokonversi limbah pertanian oleh P.chrysosporium ditemukan dua puncak produksi enzim pendegradasi lignin yaitu pada hari ke-10 dan hari ke-21. Terjadi beberapa puncak produksi enzim ligninolitik selama fermentasi serutan kayu oleh P.chrysosporium (Couto et al. 2001). Tabel 10. Nilai Rasio selulosa lignin pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulan yang berbeda Lama Fermentasi (Hari) 10 15 20 5 g g f 10 0.68 ± 0.04 0.73 ± 0,04 0,87 ± 0,02 6 d e 10 1.04 ± 0.06 0.95 ± 0,06 1,14c ± 0,04 107 1.35a ± 0.07 1.26b ± 0,04 1,14c ± 0,03 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0.05) Dosis (cfu/Ml)
Potensi kapang pelapuk putih dalam mendegradasi lignin sangat bervariasi tergantung pada strain, tipe fermentasi dan periode inkubasi (Dinis et al. 2009). Kapang P.chrysosporium mampu mendegradasi lignoselulosa secara selektif (Tuommelo et al. 2002) yaitu mendegradasi komponen lignin terlebih dahulu diikuti dengan komponen selulosa. Hal ini bisa terlihat dari rasio selulosa lignin yang terdapat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil perhitungan rasio selulosa lignin dapat terlihat bahwa lignin terdegradasi lebih banyak dibandingkan dengan selulosa. Perolehan rasio selulosa lignin sejalan dengan proses penurunan lignin dan selulosa yang terjadi selama proses fermentasi. Hal ini membuktikan bahwa kapang P.chrysosporium memang lebih efektif dalam mendegradasi lignin. P.chrysosporium digambarkan sebagai penghasil ligninase (Lignin peroxidase dan Mangan peroksidase) yang sesungguhnya untuk mendegradasi lignin karena memiliki nilai potensial reduksi oksidasi yang tinggi (Gold et al. 2002; Martinez, 2002). Laccase atau ligninolytic peroxidases (LiP and MnP) dihasilkan oleh kapang pelapuk putih (white rot fungi) mengoksidasi polimer lignin menjadi radikal aromatik, proses akan berkembang melalui proses non enzimatik termasuk pemecahan ikatan C-4-ether, cincin aromatik dan ikatan Cα–Cβ serta proses demetoksilasi, aldehid aromatik dilepaskan dari pemecahan ikatan Cα–Cβ lignin untuk digunakan sebagai substrat pembentuk H2O2 oleh aryl alkohol oksidase (AAO) dalam reaksi siklus redoks yang juga melibatkan aryl alkohol dehidrogenase (AAD). Radikal penoksi dari pemecahan ikatan C-4- ether bisa mengalami depolimerasi kembali menjadi polimer lignin jika tidak segera dioksidasi menjadi senyawa fenolik. Senyawa fenol bisa dibentuk kembali melalui proses reoksidasi oleh laccases atau peroxidase. Tahapan akhir dari proses ini
27
adalah terbentuknya senyawa sederhana dari degradasi lignin yang masuk kedalam hifa kapang dan berinkoporasi kedalamm jalur katabolik intraseluler (Martínez et al. 2005). Perubahan Kandungan P.chrysosporium
Nutrien
Pelepah
Sawit
Fermentasi
dengan
Kandungan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) mengalami penurunan yang fluktuatif selama proses fermentasi terjadi, namun tidak menunjukkan nilai penurunan yang besar. Rataan kandungan BK dan BO pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 21.68% dan 17.59%. Setelah proses fermentasi kandungan BK pelepah sawit berkisar 19.30-25.87% dan kandungan BO berkisar 15.17-22.36% (Tabel 11 dan 12). Tidak terdapat interaksi dosis inokulan dan lama fermentasi terhadap perubahan kandungan BK dan BO pelepah sawit fermentasi, namun dosis inokulan dan lama fermentasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05) terhadap perubahan kandungan BK dan BO. Tabel 11. Kandungan BK pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulan yang berbeda Dosis Lama Fermentasi (Hari) Inokulan Rata-rata 10 15 20 (cfu/mL) -------------------------------------------- % ---------------------------------------------105 25.27±2.56 22.51±1.03 24.06±0.79 23.94 a ±1.46 106 25.87±0.12 19.67±2.34 23.28±0.35 22.94 ab±0.94 107 24.44±0.29 19.30±0.44 21.33±0.33 21.69 b ±0.35 Rata-rata
25.19 a ±0.99
20.49 b ±1.27 22.89 c ±0.49
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0.05) Perubahan bahan kering dapat terjadi karena pertumbuhan kapang, proses dekomposisi substrat dan perubahan kadar air. Perubahan kadar air terjadi akibat evaporasi, hidrolisis substrat atau produksi air metabolik (Gervais 2008; Ramachandran et al. 2008). Perombakan komponen lignoselulosa pelepah sawit akan meningkatkan ketersediaan nutrien yang mendorong perkembangan miselia kapang. Penurunan kandungan bahan kering dan bahan organik terjadi akibat perombakan komponen pelepah sawit oleh kapang P. chrysosporium yang menghasilkan komponen air. Dinis et al. (2009) menyatakan bahwa terjadi penurunan kandungan bahan kering akibat metabolisme oleh P. chrysosporium disebabkan karena adanya perombakan bahan organik yang dilakukan oleh kapang. Siklus ketersediaan nutrien akan terus berlangung selama proses fermentasi, sehingga kandungan bahan kering dan bahan organik juga mengalami fluktuasi seiring dengan proses perombakan dan pemanfaatan nutrien oleh kapang. Tidak terdapat interaksi lama fermentasi dan dosis inokulan (P>0.05) terhadap kandungan protein kasar, serat kasar , lemak kasar maupun kandungan
28
BETN pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium. Lama fermentasi hanya menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap peningkatan kandungan protein kasar. Dosis inokulan nyata (P<0.05) mempengaruhi penurunan kandungan serat kasar dan BETN namun tidak mempengaruhi kadar lemak kasar. Kandungan protein kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 5.28%. Terjadi peningkatan kandungan protein kasar setelah dilakukan proses fermentasi oleh P.chrysosporium dengan rataan berkisar 11.69-15.23%. peningkatan tertinggi terjadi pada 15 hari fermentasi dengan dosis inokulan 106cfu/mL yaitu 15.23% meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan dosis inokulan yang lain. Pada hari ke-20 fermentasi kembali terjadi penurunan kandungan protein kasar menjadi 12.98% (Tabel 13). Persentase peningkatan protein kasar pelepah sawit fermentasi berkisar 121.40-188.45% pada pelepah sawit fermentasi oleh P.chrysosporium. Tabel 12. Kandungan BO pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulan yang berbeda Dosis Inokulan (cfu/mL) 105 106 107
Lama Fermentasi (Hari) 10 15 20 ----------------------- % --------------------------22.36±2.78 17.98±1.17 20.44±0.55 21.84±0.58 15.31±2.61 19.57±0.45 20.40±0.49 15.17±1.04 17.49±0.38
Rata-rata 20.26a±1.50 18.91ab±1.21 17.69b±0.63
Rata-rata
21.53a±1.28 16.15c±1.61 19.17b±0.46 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0.05) Peningkatan kandungan protein kasar yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian lain seperti yang dilaporkan oleh Alemowar et al. (2009) yang mendapatkan peningkatan kandungan protein kasar limbah coklat fermentasi sebesar 39.93%. Peneliti lain mendapatkan perubahan kandungan protein kasar limbah agroindustri yang difermentasi dengan Trichoderma viride sebesar 33.2% (Iyayi, 2004) sementara Noferdiman et al. (2008) menyatakan terjadi peningkatan kandungan protein kasar lumpur sawit fermentasi dengan P.chrysosporium sebesar 34.20% setelah ditambahkan urea 1.5% pada proses fermentasi. Fermentasi jerami padi dengan Pleurotus florida selama 40 hari fermentasi menghasilkan peningkatan protein kasar sebesar 56.22% (Jonathan et al. 2012). Perbedaan peningkatan kandungan protein kasar yang diperoleh pada hasil fermentasi disebabkan karena adanya perbedaan substrat, jenis kapang yang digunakan dan jumLah inokulan serta lama fermentasi yang berbeda. Peningkatan persentase kandungan protein kasar pelepah sawit fermentasi disebabkan terjadinya perombakan bahan organik. Perombakan bahan organik menyebabkan terjadinya perubahan persentase kandungan nutrient. Degradasi serat kasar menyebabkan terjadinya penurunan persentase kandungan serat kasar itu sendiri sehingga hal ini menyebabkan persentase dari protein kasar meningkat. Selain itu pertumbuhan kapang juga dapat memberikan sumbangan
29
terhadap peningkatan kandungan protein kasar pada pelepah sawit fermentasi. Nelson dan Suparjo (2011) menyatakan bahwa peningkatan kandungan protein terjadi karena biokonversi gula menjadi protein miselium atau protein sel tunggal. Sekresi enzim ekstraseluler oleh P.chrysosporium turut berperan dalam meningkatkan kandungan protein biomassa substrat fermentasi. Semakin banyak miselium akibat pertumbuhan jamur makin banyak nitrogen tubuh dan ini merupakan sumbangan protein bagi substrat yang difermentasi (Musnandar, 2004). Ditambahkan Jonathan et al. (2008) peningkatan kandungan protein kasar pada proses fermentasi kemungkinan disebabkan hasil dari penambahan dari biomassa kapang terhadap substrat fermentasi. Tabel 13. Kandungan protein kasar pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulum yang berbeda Dosis Inokulan (cfu/mL)
Lama Fermentasi (Hari) 10
15
20
------------------------- % --------------------------13.13±1.688 14.90±1.659 11.69±1.555 11.92±0.862 15.23±0.095 13.50±0.982 12.13±1.063 13.98±1.606 13.75±1.106
105 106 107
Rata-rata
13.24±1.634 13.55±0.647 13.29±1.258
Rata-rata 12.39b ±1.204 14.70a ±1.120 12.98b ±1.214 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Tabel
14.
Kandungan serat kasar pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulum yang berbeda
Dosis Inokulan (cfu/mL) 5
10 106 107
Lama Fermentasi (Hari) 10
15
20
Rata-rata
------------------------ % --------------------------28.37±1.250 26.90±3.928 27.80±0.801 27.69ab ±1.993 26.51±0.508 26.66±1.549 25.51±3.492 26.23b ±1.850 28.54±0.632 30.27±2.064 29.21±2.135 29.34a ±1.611
Rata-rata 27.81±0.797 27.94±2.514 27.51±2.143 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Kandungan serat kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 39.85%. setelah dilakukan proses fermentasi terjadi penurunan kandungan serat kasar dengan rataan berkisar 25.51-30.27%. Dosis inokulan 106cfu/mL memberikan penurunan kandungan serat kasar terbesar yaitu 26.23% dibandingkan dengan dosis inokulan 105cfu/mL dan107cfu/mL, sementara lama fermentasi tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap perubahan kandungan serat
30
kasar pelepah sawit fermentasi (Tabel 14). Persentase penurunan kandungan serat kasar berkisar 24.04-35.98%. Hasil penelitian Noferdiman et al. (2008) mendapatkan penurunan kandungan serat kasar lumpur sawit fermentasi dengan P.chrysosporium 30.71% dengan penambahan urea 1.5%. Terjadi penurunan kandungan serat kasar 56.66% dari jerami padi yang difermentasi dengan Pleurotus florida selama 40 hari fermentasi (Jonathan et al. 2012). Sementara Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan penurunan kandungan serat kasar kulit buah kakao yang difermentasi dengan P.chrysosporium sebesar 19.42-48.19%. Penurunan kandungan serat kasar dapat terjadi karena adanya proses dekomposisi yang dilakukan oleh kapang. Serat kasar sebagian besar berasal dari dinding sel tanaman yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan lignin. P.chrysosporium mempunyai kemampuan dalam mendegradasi komponen serat karena disamping menghasilkan enzim pendegradasi lignin, kapang ini juga mampu menghasilkan enzim pendegradasi selulosa (Howard et al. 2003) Tabel 15. Kandungan BETN pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulum yang berbeda Dosis Inokulan (cfu/mL)
Lama Fermentasi (Hari) 10
15
20
Rata-rata
------------------------ % ---------------------------42.79±3.355 44.15±3.544 43.18±3.781 43.38 a ±3.560 48.13±1.729 43.20±2.469 44.28±4.355 45.21 a ±2.851 40.59±0.968 38.70±3.724 38.15±3191 39.15 b ±2.628
5
10 106 107
Rata-rata 43.84±2.017 42.02±3.246 41.87±3.776 Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) Tabel
16.
Kandungan lemak kasar pelepah sawit fermentasi dengan P.chrysosporium pada lama fermentasi dan dosis inokulum yang berbeda
Dosis Inokulan (cfu/mL) 105 106 107 Rata-rata
Lama Fermentasi (Hari) 10
15
20
------------------------ % ----------------------------0.75±0.092 1.04±0.582 1.33±0.402 0.92±0.511 0.81±0.628 1.76±0.349 0.97±0.924 1.65±1.016 2.31±1.406 0.88±0.509
1.17±0.742
Rata-rata
1.04±0.358 1.16±0.496 1.64±1.115
1.80±0.719
Kandungan BETN pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 38.31%. setelah dilakukan proses fermentasi terjadi peningkatan kandungan BETN yang berkisar 38.15-48.13%. Dosis inokulan mempengaruhi peningkatan kandungan BETN. Dosis 105cfu/mL memberikan peningkatan kandungan BETN sebesar
31
13.23%, dosis 106cfu/mL 18.31% dan dosis 107cfu/mL 2.19%. Sementara lama fermentasi 10 sampai 20 hari tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap kandungan BETN pelepah sawit fermentasi (Tabel 15). Nilai kandungan BETN sangat tergantung pada kandungan nutrient lain. Peningkatan kandungan BETN dapat terjadi karena perombakan karbohidrat struktural, terutama hemiselulosa menjadi bahan mudah larut (Nelson dan Suparjo, 2011). Hemiselulosa dirombak menjadi monomer gula dan asam asetat (Sanchez, 2009). P.chrysosporium selain menghasilkan enzim ligninase dan selulase (Howard et al, 2003) juga menghasilkan hemiselulase (Dasthban et al. 2009; Zeng et al. 2010). Rataan persentase peningkatan BETN pelepah sawit fermentasi berkisar 1.01-25.63%. Nelson dan Suparjo (2011) mendapatkan peningkatan kandungan BETN kulit buah kakao yang difermentasi dengan P.chrysosporium sebanyak 9.97-42.96%. Kandungan lemak kasar pelepah sawit sebelum fermentasi adalah 0.61%, setelah dilakukan proses fermentasi dengan P.chrysosporium tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Rataan kandungan lemak kasar pelepah sawit fermentasi adalah 0.75-2.31% (Tabel 16). Hal yang sama juga diperoleh pada penelitian Jonathan et al. (2012) bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap kandungan lemak kasar dari jerami padi yang difermentasi dengan Pleurotus florida dengan lama fermentasi yang berbeda. Kandungan lemak kasar yang diperoleh berkisar 1.47-1.82%. Secara umum kandungan lemak kasar biomassa KBK mengalami penurunan, namun perubahan ini belum signifikan (Nelson dan Suparjo, 2011). Selama proses dekomposisi saat fermentasi komponen lemak akan mengalami degradasi tetapi akan ditemukan kembali senyawa lemak baru (Guiterrez et al. 2005
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : Interaksi antara dosis inokulan dengan lama fermentasi mempengaruhi kandungan fraksi serat (NDF, ADF, selulosa, hemiselulosa dan lignin) pelepah sawit fermentasi oleh kapang P.chrysosporium. Dosis inokulan mempengaruhi kandungan bahan kering bahan organik, serat kasar dan BETN. Lama fermentasi juga mempengaruhi bahan kering, bahan organik dan protein kasar sementara kandungan lemak kasar tidak dipengaruhi oleh dosis inokulum maupun lama fermentasi. Dosis inokulum terbaik dalam fermentasi pelepah sawit dengan P.chrysosporium adalah 107cfu/mL dengan lama fermentasi 10 hari. Hasil terbaik tersebut meliputi penurunan kandungan lignin sebesar 47.79%, degradasi lignin 49.47% dan rasio selulosa terhadap lignin 1.35.