Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
PERUBAHAN BENTUK RUANG RUMAH TINGGAL DI LOKASI PERMUKIMAN YANG TERDEGRADASI 1
Parfi Khadiyanto*1 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota FT UNDIP Semarang * Email:
[email protected]
ABSTRAK Wilayah industri di kecamatan Genuk Semarang, merupakan lokasi yang terdegradasi akibat daya dukung lingkungan yang kurang memadai, lokasi ini tercemar polusi industri, selalu tergenang banjir rob, dan kondisinya menjadi lebih buruk lagi akibat terjadinya penurunan muka tanah. Dengan rekayasa yang dilakukan, ternyata tetap tidak mampu mengatasi masalah banjir rob dan penurunan muka tanah, daya dukung lingkungannya untuk kegiatan industri-pun sudah terlampaui, kawasan ini benar-benar sudah tercemar. Akan tetapi masyarakat masih mau dan berminat untuk menetap di sini. Jumlah pendatang hampir tiga kali dari jumlah yang pindah/pergi. Mereka melakukan berbagai adaptasi dalam bermukim untuk mempertahankan eksistensi mereka di tempat ini. Lokasi ini memang memiliki akses ekonomi yang sangat baik, yaitu terletak pada jalur transportasi utama trans Jawa (Jakarta – Surabaya), dekat dengan pelabuhan, ada Perguruan Tinggi, dan Rumah Sakit besar. Dengan kondisi permukiman yang buruk pada lokasi yang terdegradasi tersebut, dalam makalah ini telah diungkap beberapa hal tentang: 1. Motivasi pilihan untuk tinggal di Kecamatan Genuk sekitar zona industri yang terdegradasi; 2. Persepsi masyarakat setempat terhadap kondisi lingkungan permukiman mereka; dan 3. Penyesuaian masyarakat dalam mengatasi kondisi lingkungan permukiman, khususnya yang berhubungan dengan perubahan bentuk rumah tinggal yang terjadi. Penelitian ini bersifat positivistik, merupakan pembuktian teori perilaku, yang mengkaitkan hubungan antara manusia dan lingkungan. Pendekatan ini lebih menekankan pada membangun pemahaman berdasarkan teori-teori yang sudah ada. Latar belakang teori merupakan inti dari pendekatan ini. Pada prinsipnya, penelitian ini membuktikan prinsip-prinsip tentang rumah dan permukiman yang dirumuskan oleh Turner, Budihardjo, dan Kuswartojo, yaitu bermukim adalah sebuah proses budaya, rumah adalah tempat, bukan benda mati yang hanya bermakna ruang saja, rumah adalah tempat untuk sosialisasi. Strategi yang digunakan di dalam penelitian ini dilaksanakan melalui metode survei atau observasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan mendatangi langsung obyek penelitian, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kluster untuk mengetahui pengelompokkan kegiatan dalam melakukan perubahan ruang yang terjadi dalam rangka bertahan di lingkungan yang terdegradasi. Hasil yang didapat, ternyata motiv ekonomi menjadi pendorong utama untuk tingal di Genuk, fungsi rumah yang utama adalah sebagai tempat (place) yang digunakan untuk melakukan sosialisasi, maka dari itu perubahan yang terjadi adalah di ruang pertemuan keluarga, kemudian rumah harus bisa memenuhi rasa aman dan nyaman dalam kehidupan biologis, ditandai dengan perubahan bentuk pada ruang-ruang yang bersifat pribadi, seperti kamar tidur dan kamar mandi. Meskipun untuk buang hajat (WC) kebanyakan masyarakat masih menggunakan sungai sebagai sarananya. Kata kunci: perubahan ruang rumah tinggal, lokasi yang terdegradasi, permukiman.
304
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
1.
PENDAHULUAN Kalau kita bertemu dengan orang Semarang, biasanya yang akan menjadi topik pembicaraan adalah tentang banjir, sebab Semarang memang langganan banjir, terutama banjir rob (air laut pasang). Sejak dulu kala, Semarang sudah terkenal akan banjirnya, yaitu melalui lagu tembang Jawa yang dikarang oleh Andjar Any dengan judul Jangkrik Genggong yang dinyanyikan oleh Waldjinah. Sebagian besar masyarakat seakan memaklumi adanya banjir di Kota Semarang. Semarang kaline banjir, seolah memang sudah menjadi takdir bagi ibu kota Jawa Tengah ini. Begitu dahsyatnya pengaruh syair lagu tersebut, sehingga orang di luar Kota Semarang yang belum pernah ke Semarang sekalipun akan tahu, kalau Kota Semarang identik dengan banjir. Sejarah banjir di Kota Semarang sudah terjadi sejak tahun 1913. Jalan Bojong yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Pemuda yang merupakan jalan protokol juga tergenang banjir saat itu. Catatan kelam berikutnya tentang bajir besar yaitu terjadi pada tahun 1990. Tanggul Banjir Kanal Barat jebol, banjir yang terjadi menewaskan 86 orang, dan kerugian harta benda mencapai sekitar Rp 8,7 miliar (sekitar US$ 5,8 juta). Hampir seabad, masyarakat di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini dipaksa hidup dengan banjir pada setiap musim hujan. Bahkan saat ini tidak pada musim hujan pun sejumlah kawasan tergenang air, yaitu banjir rob (laut pasang). Wilayah Semarang terdiri atas dataran rendah di sebelah utara dan daerah perbukitan di sebelah selatan dengan ketinggian mencapai 350 meter di atas permukaan laut. Belanda telah menyusun konsep pengendali banjir dengan membangun Banjir Kanal Barat (BKB) pada tahun 1892 dan Banjir Kanal Timur (BKT) tahun 1900. Tetapi saat ini banjir yang selalu menghantui Semarang adalah justru banjir laut pasang (rob) yang hadir setiap dua minggu sekali, yaitu ketika posisi bulan satu garis dengan matahari dan bumi (lihat gambar 1).
Gambar 1: Posisi Matahari, Bulan, dan Bumi pengaruhnya terhadap kenaikan air laut. Sumber: Trevor, 2008 Air laut pasang adalah naiknya posisi permukaan perairan atau samudera yang disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari. Ada tiga sumber gaya yang saling berinteraksi, yaitu: laut, matahari, dan bulan. Menurut Trevor (2008:100) dinyatakan bahwa, apabila posisi bumi, bulan, dan matahari terletak dalam satu garis, maka akan terjadi peningkatan kenaikan air laut yang tertinggi, sedangkan apabila posisi bulan dan matahari dalam kedudukan 900 di mana bumi ada di titik nol, akan terjadi pasang laut terendah. Semakin dekat posisi bulan terhadap bumi, maka akan semakin kuat tarikan gravitasinya, sehingga akan mengakibatkan peningkatan ketinggian air laut pasang di atas rata-rata. Dalam satu tahun, posisi kedekatan bulan dengan bumi berbeda-beda, demikian pula dengan posisi kedekatan matahari dengan bumi, maka pada bulan-bulan tertentu akan terjadi kenaikan air laut pasang di atas normal. Tetapi dapat diketahui bahwa dalam setiap bulan, akan terjadi dua kali kenaikan air laut pasang, yaitu saat bulan purnama, di mana posisi bumi ada di tengah-tengah antara matahari dan bulan, dan ketika awal/akhir perhitungan tanggal posisi bulan (bulan sabit). Di dua posisi itulah akan terjadi air laut pasang, yang oleh masyarakat Semarang dikenal sebagai rob, dalam bahasa Jawa Kawi (Suparlan – Kamus Indonesia Kawi, 1991), disebutkan bahwa rob sebenarnya bermakna genangan air yang tenang, bukan sekedar banjir 305
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
yang datangnya dari air laut pasang saja, asalkan banjir tersebut tidak bergemuruh tanpa menimbulkan gelombang dan arus yang deras, maka disebut sebagai rob. Tetapi karena pada daerah pesisir yang berlahan rendah (Low Elevation Coastal Zone) selalu tergenang banjir laut pasang, sudah kaprah kemudian setiap ada air laut pasang disebut sebagai rob, datangnya sedikit demi sedikit dan tidak bergemuruh. Pasang laut ini, sangat mempengaruhi wilayah permukiman di sekitar pantai. Tercatat bahwa jumlah penduduk dan luasan wilayah permukiman yang ada di tepi pantai (seluruh dunia – tahun 2000) ternyata mencapai 634 juta penduduk, di mana yang 360 juta-nya ada di perkotaan. Sedangkan di Asia jumlahnya mencapai 466 juta jiwa, dan untuk wilayah urban di Asia mencapai 238 juta jiwa atau sekitar 50%-nya, dengan total area seluas 881 ribu km2. Indonesia menempati ranking tinggi jumlah penduduk yang terkena dampak langsung atas kenaikan air laut pasang. Ranking tertinggi adalah Cina dengan 143.880.000 jiwa, dikuiti oleh India dengan jumlah 63.188.000 jiwa, Bangladesh dengan 62.524.000 jiwa, Vietnam 43.051.000 jiwa, kemudian Indonesia dengan jumlah penduduk 41.610.000 jiwa (Bicknell, J, 2009). Dari 41 juta jiwa lebih yang terkena dampak langsung kenaikan air laut, ternyata porsi penduduk di wilayah urban lebih besar dibandingkan dengan yang di wilayah rural. Kenaikan laut pasang ini akan lebih parah lagi dampaknya, apabila disamping kenaikan nyata, di lokasi tersebut juga terjadi kenaikan nisbi, yaitu kenaikan laut pasang akibat terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence). Kota Semarang memiliki wilayah yang sedang mengalami penurunan tanah, laju penurunan tanah mencapai lebih dari 8 cm per tahun. Lokasi tersebut terletak di wilayah yang berbatasan langsung dengan laut, sehingga lokasi ini mengalami kerugian atas kenaikan laut pasang secara nyata serta kenaikan laut secara nisbi. Padahal lokasi ini memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, dan merupakan sentra aktivitas industri di kota Semarang. Lokasi yang mengalami degradasi lingkungan ini terletak di bagian Timur Laut kota Semarang, yaitu di kecamatan Genuk. Kecamatan Genuk merupakan wilayah penting dalam aktivitas perkotaan, yaitu merupakan wilayah dengan kegiatan industri, permukiman, dan aktivitas kehidupan lainnya. Tanahnya datar (kelerengan hanya sekitar 5%), terdapat jalur lalu lintas yang menghubungkan kota-kota besar di Jawa (jalur transportasi Jakarta – Surabaya). Sayangnya, terjadi penurunan muka tanah yang tinggi, yaitu 8 cm per tahun. Dengan demikian wajarlah kalau wilayah Genuk menjadi langganan banjir laut pasang. Dalam kondisi yang seperti itu, wilayah ini masih diminati masyarakat untuk bermukim di kawasan tersebut, hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun di kecamatan tersebut. Proporsi antara jumlah penduduk yang datang hampir 3x lipat dibanding dengan penduduk yang pergi. Hal ini menunjukkan bahwa meski wilayah Genuk ini tergedgradasi dengan adanya penurunan muka tanah dan selalu banjir oleh kenaikan air laut, tidak menyurutkan masyarakat untuk berdatangan ke kecamatan Genuk.
Gambar 2: Grafik proporsi penduduk yang perga dan datang di Kota Semarang per Kecamatang, tahun 2010 (Sumber: Semarang Dalam Angka – 2010) 306
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Gambar 3 Land subsidence kecamatan genuk dan sekitarnya (Sumber: Sumber KOMPAS Jateng, 5 Februari 2006) Gambar Detail Lokasi Kecamatan Genuk Semarang dan sekitarnya yang mengalami penurunan muka tanah (Land Subsidence) antara 2 – 8 cm per tahun Manusia adalah jenis mahluk yang mempunyai kemampuan adaptasi yang sangat besar. Hampir semua jenis habitat dihuni oleh manusia, yaitu dari daerah pantai sampai pada pegunungan Andes yang tinggi, dari hutan tropis, gurun, padang pasir yang panas, lembab, dan kering sampai daerah arktik yang dingin dan dipenuhi es, ada dan terdapat manusia. Dengan kemampuan adaptasinya yang besar, populasi manusia terus bertambah, dan siap untuk menduduki habitat baru (Sarwono, 1992). Menurut Douglas (2006:48), pilihan untuk bertahan dan melakukan adaptasi pada lingkungan permukimannya dikarenakan oleh 3 (tiga) hal, yaitu (1) kepentingan ekonomi penghuni; (2) kondisi fisik lingkungan; dan (3) nilai (fungsi) lingkungan, tiga faktor tersebut memiliki nilai kepentingan yang sama, kalau suatu lingkungan tidak memiliki hubungan dengan ekonomi penghuni baik secara langsung maupun tak langsung, dapat dipastikan penghuni akan mudah pindah ke tempat lain. Kalau kondisi fisik lingkungan kurang bersahabat, rawan terhadap bencana, pasti juga tidak akan ditinggalkan (pindah). Kalau nilai (fungsi) lingkungan yang seharusnya semakin lama semakin baik, tetapi justru pada kondisi yang sebaliknya, pasti juga akan ditinggalkan. Di Genuk adalah kebalikannya, nilai kawasan menurun tetapi makin tambah besar jumlah pendatang yang masuk, memang akses ke ekonomi cukup kuat, tetapi daya tampung dan daya dukungnya sudah mencapai titik jenuh, masih saja menjadi tempat tujuan untuk bermukim. Untuk itu di sini ingin ditemukan bahwa pilihan hidup manusia dalam rangka menghindarkan diri dari bahaya, dengan melakukan adaptasi melalui tindakan penyesuaian pada rumah dan lingkungan yang ia tinggali, yaitu pada wilayah yang selalu tergenang banjir rob, masyarakat melakukan penyesuaian bentuk rumah, melakukan perubahan bentuk bangunan dan lingkungan, bagaimana perubahan bentuk rumah yang terjadi selama masyarakat bertempat tinggal di Genuk. 2.
FENOMENA YANG MENARIK Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian yang berlokasi pada tempat yang sama, yaitu di kecamatan Genuk, khususnya di kelurahan Trimulyo, Terboyo Wetan, dan Genuksari. Ada sebuah fenomena yang menarik, bahwa lingkungan yang terdegradasi tidak menyurutkan niat seseorang untuk bermukim di lokasi tersebut, asalkan ada kompensasi lain berupa kemudahan dalam akses ekonominya, mudah untuk mencari pekerjaan, mudah untuk menuju ke tempat bekerja, dan sejenisnya. Hal ini mengindikasikan adanya perilaku agresif manusia dalam mencari uang untuk memenuhi kehidupannya, tanpa memperdulikan kondisi lingkungan, yang penting bisa mendapatkan uang dengan mudah. Maka penelitian awal yang sudah dilakukan adalah menemukan 307
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
sikap agresivitas manusia dalam memilih lokasi untuk bermukim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, lokasi dengan akses ekonomi yang mudah merupakan prioritas utama dalam menentukan pilihan lokasi untuk bermukim, urusan kenyamanan adalah prioritas belakang. Penelitian ini sudah dipublikasikan dalam Jurnal Nasional Tata Loka, Volume 14 – Nomor 2 – Mei 2012, dengan judul Agresivitas Manusia Dalam Menempati Ruang untuk Permukiman. Kemudian, penelitian ini dilanjutkan dengan tema pola adaptasi masyarakat dalam bermukim di lokasi yang terdegradasi tersebut. Hasil yang didapat yaitu adaptasi yang dilakukan masih bersifat adaptasi pasif, yaitu sekedar menanggulangi, bukan mencegah. Penanggulangan tersebut berupa penyesuaian bentuk rumah yang ditempati. Hasil penelitian ini juga sudah dipublikasikan dalam Journal of Flood Risk Management, 26 Maret 2015 (AID JFR 312167), dengan judul publikasi Settlement Adaptaion on Seawater Tide Overflow Area at The North Part of Semarang Indonesia. Pada penelitian ini (sekarang), tema yang diambil adalah menemukan ruang mana atau ruang apa saja yang oleh masyarakat dianggap penting untuk dilakukan perubahan dalam rangka mencegah masuknya air ke dalam rumah saat banjir datang, dan antisipasi terhadap penurunan tanah yang terjadi. Inilah serial ketiga dari serangkaian penelitian tersebut. 3.
TUJUAN PENELITIAN Ingin mengetahui penyesuaian masyarakat dalam melakukan perubahan bentuk bangunan untuk mengatasi kondisi lingkungan yang selalu tergenang banjir rob, dan mengalami penurunan tanah (land subsidence), khususnya yang berhubungan dengan perubahan bentuk ruang rumah tinggal mereka. 4. METODA DAN OBJEK PENELITIAN 4.1. METODOLOGI PENELITIAN Perubahan bentuk rumah adalah dalam rangka penyesuaian diri si penghuni terhadap kondisi alam sekitarnya, alam mengalami perubahan berupa penurunan tanah (land subsidence) dan banjir laut pasang (rob). Maka yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah perilaku manusia terhadap lingkungannya. Dalam pandangan filsafat, perilaku manusia sebagaimana juga gejala alam lainnya adalah merupakan gejala yang objektif. Oleh karena perilaku manusia bersifat objektif maka perilaku manusia dapat dipahami sebagaimana objek. Dalam memahami objek, pengamat menjauhkan subjektivitasnya untuk memperoleh hasil pengamatan yang objektif. Perilaku manusia dapat dipahami secara objektif sehingga peramalan dan generalisasi dapat dibuat pada perilaku manusia. Comte (dalam Samsunuwiyati, 2006) memandang ilmu sosial sebagai sebuah ilmu fisika sosial. Gejala alam bersifat objektif, teratur dan dapat diramalkan. Perilaku objek sangat dipengaruhi oleh hukum alam sebab – akibat, atau stimulus dan respons. Setiap perubahan objek selalu disebabkan oleh suatu stimulus yang diterimanya. Positivisme memandang bahwa gejala sosial yang berupa perilaku manusia adalah sebagaimana kondisi gejala alam, bersifat objektif, terukur, dan dapat diramalkan, karena gejala sosial juga terikat hukum alam, dimana respons perilaku objek merupakan pengaruh dari stimulus yang datang kepadanya (Samsunuwiyati, 2006). Dalam memahami perilaku sosial manusia, filsafat positivisme memperoleh dukungan dari aliran psikologi behaviorisme. Psikologi adalah ilmu yang menjelaskan kejiwaan dan perilaku manusia. Psikologi behaviorisme adalah psikologi yang memahami kejiwaan manusia dari perilaku yang nampak (overt behavior). Manusia merupakan makhluk biologis yang terikat dengan hukum alam. Manusia dapat dimanipulasi secara mekanis, dan tingkah lakunya dapat dikontrol dengan kontrol stimulus yang ada dalam lingkungan. Sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini bersifat positivistik, yaitu merupakan pembuktian teori perilaku pada realitas di lapangan. Pendekatan ini lebih menekankan pada pembangunan pemahaman berdasarkan teoriteori/literatur-literatur yang sudah ada. Latar belakang teori merupakan inti dari pendekatan ini. Pada prinsipnya penelitian ini merupakan pembuktian teori perilaku, yang mengkaitkan hubungan 308
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
antara manusia dan lingkungan. Pendekatan ini lebih menekankan pada membangun pemahaman berdasarkan teori-teori yang sudah ada. Latar belakang teori merupakan inti dari pendekatan ini. Pada prinsipnya, penelitian ini membuktikan prinsip-prinsip tentang rumah dan permukiman yang dirumuskan oleh Turner, Budihardjo, dan Yudohusodo, yaitu bermukim adalah sebuah proses budaya, rumah adalah tempat, bukan benda mati yang hanya bermakna ruang saja. Bahkan menurut Shihab, rumah adalah tempat untuk sosialisasi. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini dilaksanakan melalui metode survei atau observasi, yaitu pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan mendatangi langsung obyek penelitian, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis faktor untuk mengetahui faktor apa yang paling dominan dalam melakukan perubahan bentuk rumah dalam rangka bertahan di lingkungan yang terdegradasi. 4.2. OBYEK PENELITIAN Lokasi penelitian adalah di Kecamatan Genuk, tepatnya di kelurahan Terboyo Wetan, Genuksari, dan Trimulyo. Tiga kelurahan tersebut terletak di wilayah industri Genuk yang selalu mengalami genangan banjir laut pasang (rob). Kondisi tanah masuk kategori yang mengalami penurunan tinggi, yaitu antara 8-10 cm pertahun. Jumlah penduduk sebanyak 4.573 jiwa dengan jumlah KK sebesar 1.034. Kalau dilihat rata-rata dari proporsi Jiwa/KK = 4, seharusnya lingkungan ini memiliki kondisi rumah dengan proporsi luasan perumah tidak terlalu berjubel, rata-rata luas rumah adalah lebih dari 40m2, artinya tiap jiwa memiliki ruang tidak kurang darir10 m2 di rumah masing-masing. Sampel yang diambil sebanyak 205 responden, yang dipilih secara acak.
Gambar 4: Prsentase luas rumah di wilayah penelitian Sumber: BPS, Sensus Penduduk 2010
309
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Gambar 5: Lokasi Penelitian Kelurahan Terboyo Wetan, Trimulyo, dan Genuksari Kecamatan Genuk Semarang
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tiga Kelompok Masyarakat Ada tiga golongan ekonomi masyarakat di wilayah penelitian, yaitu kelompok berpenghasilan rendah dan tanpa ketrampilan khusus, kelompok menengah dengan satu atau dua ketrampilan, dan kelompok mampu yang berpenghasilan tetap dan berpendidikan. Pertama, kelompok berpenghasilan paling rendah, yaitu mereka yang bekerja di sektor informal, datang ke lokasi karena semata-mata untuk mencari pekerjaan, tanpa ketrampilan khusus, sehingga masuk ke sektor informal. Hidup di Genuk lebih baik daripada hidup di desa asal, mendapat uang di bawah Rp 1.500.000,- perbulan sudah cukup bagus dibandingkan sebelumnya yang tanpa penghasilan ketika masih di desa. Kelompok ini berpendidikan rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD). Kedua, kelompok berikutnya, yaitu yang berpenghasilan antara Rp 1.500.000,- sd Rp 3.000.000,-. Mayoritas bekerja sebagai buruh, berpendidikan menengah hingga madya (SMP, SMA/STM), Akademi (D3). Rata-rata memiliki satu keterampilan kerja, dan memiliki jam kerja yang jelas. Ketiga, yaitu kelompok terakhir, adalah kelompok orang kaya, berpenghasilan Rp 3.000.000,- atau lebih, pendidikan menengah hingga tinggi (SMA, Akademi, Perguruan Tinggi), pekerjaan PNS/TNI-Polisi/Tuan Tanah/Pedagang/Pengusaha, memiliki keterampilan yang beragam. Dari tiga kelompok ini, ternyata memiliki pandangan yang berbeda tentang makna bermukim dan hidup di sekitar kawasan industri Genuk. Untuk golongan miskin (sektor informal), menyatakan bahwa kondisi di Genuk jauh lebih baik dibanding dengan kondisi desa semula. Kebaikan yang dia maksudkan adalah kebaikan untuk mendapatkan penghasilan. Mengenai kondisi lingkungan yang banjir, tidak ada masalah, yang penting dapat uang untuk makan. Kelompok buruh (menengah) menyatakan bahwa, Genuk adalah tempat sementara, karena merasa bahwa uang yang dihasilkan masih bisa digunakan untuk bertahan hidup dan mampu sedikit menabung untuk hari depan dan biaya sekolah anak-anak, maka Genuk dipertahankan. Kondisi alam dirasakan sangat mengganggu, itulah yang menyebabkan mereka menyatakan bahwa Genuk hanya untuk sementara, seandainya ada tempat lain yang tidak seburuk Genuk (selalu banjir) dan bisa memberi hasil seperti di Genuk, 310
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
mereka pasti akan pindah. Mayoritas dari mereka menyatakan belum memiliki alternatif lain untuk pindah. Dan kelompok mampu (kaya) yaitu PNS/TNI/Pedagang/Pengusaha, dan Tuan Tanah, merasa bahwa ingin tetap tinggal di Genuk sebab ingin mempertahankan aset di lingkungan ini, tuan tanah memiliki rumah dan lahan untuk disewakan, rumah disewakan kepada para buruh, dan tanah disewakan kepada pengusaha warung dan bengkel. PNS/TNI/Pedagang/Pengusaha, aset yang dimiliki berupa nilai perbaikan rumah, kebanyakan dari golongan ini rumahnya sudah menjadi 2 lantai. Ketika tetangganya ada yang pindah karena tidak lagi mampu bertahan atas kondisi lingkungan, maka tanah tersebut dia beli, sehingga mayoritas rumah para PNS/TNI/Pedagang/Pengusaha ini menjadi lebih luas, lebih mudah untuk mengatur dalam mengatasi banjir yang selalu menggenang, masih tetap nyaman meski dua minggu sekali selalu banjir, makin banyak tetangga yang pergi makin senang sebab makin luas lahan yang akan bisa dia miliki, harga lahan di tempat ini terasa murah bagi mereka. Luas lahan yang dia miliki bisa dia manfaatkan untuk dijadikan tempat untuk toko/warung dan pondokan bagi buruh dan mahasiswa. Masyarakat yang berprofesi pada sektor jasa, merasa bahwa dengan tinggal di Genuk penghasilan mereka meningkat, banyak kesempatan yang bisa mereka peroleh dengan membuka jasa di sektor informal, antara lain, jual makanan, buka bengkel, jadi buruh cuci pakaian, dan ada juga yang membantu keamanan menjaga barang yang ada di truk-truk yang mangkal di sekitar gudang industri. Demikian juga untuk jasa angkutan, buruh, pedagang, dan pengusaha/swasta (pedagang toko kelontong/ toko material bangunan). Sedangkan untuk petani dan nelayan, merasa bahwa tidak memiliki pilihan lain, sehingga apapun yang terjadi terhadap kondisi lingkungan di Genuk, mereka tetap akan bertahan semampu mereka. Bagi buruh tani dan para pensiunan, kalau ada kesempatan (memiliki dana dan ada lokasi lain yang murah) mereka ingin segera pindah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa, alasan ekonomi merupakan faktor yang paling dominan dalam menentukan pilihan untuk tinggal di Genuk, sedangkan kondisi fisik pada urutan bawahnya. Artinya, suatu lokasi akan dianggap bernilai tinggi kalau lokasi tersebut memiliki korelasi terhadap peningkatan ekonomi seseorang, meskipun secara fisik lokasi tersebut kurang nyaman, dan kurang mampu mendukung dari sisi kualitas. Manusia adalah mahluk yang punya dua cara dalam mempertahankan hidupnya, dua pilihan yang sebenarnya bertentang (Marsella, 2004), yaitu satu sisi untuk menuju pertumbuhan, dan sisi lain adalah untuk mencari keamanan. Makna keamanan adalah bersifat pasif, cenderung menghindar untuk bertahan, sedangkan pertumbuhan lebih mengarah ke gerakan aktif untuk menguasai apa yang ada di depan. Aktif bisa digambarkan sebagai melakukan perlawanan asalkan dirinya memperoleh hasil yang di-inginkan, meskipun harus berkorban. Hubungannya dengan pilihan lokasi bermukim pada daerah yang sudah terdegradasi, ternyata faktor ekonomi menjadi pendorong utama sikap agresif, sedangkan tentang keselamatan dan keamanan, serta kenyamanan dalam bermukim bukan urusan penting, bisa dilakukan dengan adaptasi, sifatnya lebih ke proses defensif (bertahan), bukan agresif. Dari data yang diperoleh, pilihan responden tentang alasan ekonomi adalah karena mereka merasa lebih mudah untuk mendapat tambahan penghasilan dan lebih mudah untuk mencari pekerjaan Dari hasil survey, responden menyatakan bahwa, kepadatan lalu-lintas justru membuat mereka senang memilih tempat ini, sebab setiap saat dari pagi sampai petang dapat pergi dan datang dengan mudah, demikian pula dengan banyaknya penduduk dan berimpitnya rumah, membuat suasana lebih aman, dan komunikasi antar tetangga lebih intens, bisa nitip anak manakala harus ditinggal pergi dalam waktu yang relatif lama. Responden menyatakan bahwa pilihan mereka terhadap fungsi kawasan yang baik ini antara lain karena kawasan ini merupakan daerah industri, akses mudah, dan untuk pengembangan pendidikan juga mudah. 5.2. Perubahan Bentuk Ruang dan Rumah Perubahan bentuk rumah ini mereka lakukan adalah untuk bertahan dari gangguan alam, yaitu banjir dan penurunan muka tanah (land subsidence) yang terjadi di lingkungan permukiman 311
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
mereka. Langkah perubahan bentuk rumah ini merupakan proses adaptasi yang mereka lakukan yang satu dengan lainnya berbeda berdasarkan karakteristik masing-masing individu, secara umum bisa dinyatakan bahwa adaptasi ini dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mempersepsikan bentuk bahaya yang dianggap mengancam. Ada tujuh variasi dalam melakukan perubahan bentuk rumah agar tetap nyaman untuk digunakan sebagai tempat tinggal di wilayah ini, yaitu (1) meninggikan halaman; (2) meninggikan ruang depan (ruang tamu/keluarga); (3) meninggikan ruang depan dan ruang tidur; (4) meninggikan semua lantai; (5) meninggikan dapur; (6) meninggikan kamar mandi dan WC; (7) membangun rumah menjadi dua lantai. Semua itu mereka lakukan dalam bentuk parsial, yaitu sepotong-sepotong dan juga mereka lakukan secara campuran, artinya merupakan gabungan dari kegiatan dalam melakukan perubahan bentuk rumah tersebut. Melalui analisis kluster (pengelompokan kegiatan), maka terlihat pengelompokan pola perubahan sebagai berikut:
Perubahan Bentuk Meninggikan dapur Meninggikan halaman Meninggikan rg depan/tamu/ keluarga Meninggikan rg depan dan rg tidur Meninggikan semua lantai Meninggikan KM/WC Membangun dua lantai
6 5 3 2 4 Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan 1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
1
1
1
1
1
1
4
4
1
1
1
5
5
4
3
1
6
1
1
1
1
Gambar 6: Pengelompokan kegiatan dalam merubah bentuk rumah, menggunkan analisis kluster dari program SPSS Dari analisis pengelompokan tersebut, dengan tujuh kasus, maka ditetapkan pembagian kelompoknya mulai dari dua kelompok sampai dengan enam kelompok kegiatan perubahan bentuk bangunan (rumah). Dari semua pembentukan kelompok ini, ternyata meninggikan halaman adalah kegiatan yang tidak punya kelompok sama sekali. Kemudian disusul dengan kegiatan meninggikan ruang depan/tamu, dan meninggikan KM/WC. Sedangkan untuk kegiatan membangun rumah menjadi dua lantai, meninggikan ruang tidur dan ruang tamu, serta meninggikan dapur bisa dijadikan dalam satu kelompok. Artinya, individu yang melakukan pembangunan rumah menjadi dua lantai, ada pula yang juga meninggikan ruang tidur dan ruang tamu, serta meninggikan dapur. Kalau yang meninggikan halaman, maka hanya kegiatan ini saja yang dilakukan, dia tidak
312
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
melakukan kegiatan perubahan rumah lainnya. Sedangkan yang meninggikan ruang tamu/depan, kegiatan lainnya juga hanya meninggikan KM/WC saja. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (UU No. 4/1992 tentang Perumaham dan Permukiman). Catanese dan Snyder (1986), menyatakan bahwa dalam pengertian tradisional rumah merupakan tempat berlindung, tetapi dalam dunia modern rumah dipergunakan untuk melayani berbagai kebutuhan manusia, menyediakan ruang untuk kegiatan sehari–hari seperti; memasak, makan, bekerja, rekreasi, dan tidur. Pengertian ini hanya menekankan kepada kebutuhan fasilitas ruang beserta pengaturannya yang bisa didiami, berfungsi sebagai tempat tinggal untuk melayani kebutuhan manusia, dan sarana pembinaan keluarga sesuai dengan jumlah keperluan keluarga dalam satu unit. Menurut Turner (1972), perumahan atau housing mengandung 2 (dua) arti, yaitu sebagai kata benda (produk/komoditi) dan sebagai kata kerja (proses/aktivitas). Perumahan sebagai kata benda menunjukkan bahwa tempat tinggal sebagai komoditi, sedangkan rumah sebagai kata kerja menunjukkan proses dan aktivitas manusia yang terjadi dalam penghunian rumah tersebut. Dengan demikian, rumah tidak hanya dapat dilihat sebagai hasil fisik, tetapi juga sebagai suatu proses yang berkembang dan berkaitan dengan keinginan penghuninya. Turner juga menyatakan bahwa rumah bukanlah merupakan hasil fisik sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas sosial ekonomi penghuninya dalam kurun waktu. Rumah mempunyai berbagai fungsi dan semua fungsi tersebut tergantung pada tempat dan waktu. Yang terpenting bagi rumah adalah dampak terhadap kehidupan penghuni dan bukan wujud atau standard fisiknya. Adanya pengertian tersebut mengakibatkan timbulnya perbedaan dalam kriteria pengukuran rumah. Dalam pengertian rumah sebagai produk atau komoditi, standar-standar fisik rumah dapat dijadikan kriteria pengukuran. Sedangkan dalam pengertian rumah sebagai suatu proses atau aktivitas, kriteria pengukuran yang paling tepat adalah sejauh mana rumah tersebut dapat memuaskan kebutuhan penghuninya. Budihardjo (1998), memberikan arti yaitu rumah lebih dari sekedar bangunan. Rumah juga mempunyai hubungan sosial dari keluarga-kehidupan-suatu tempat dimana manusia mencintainya dan bersama-sama dengan orang yang paling dekat dengannya (penghuni). Keterkaitan yang sangat erat antara rumah dengan nilai dan harkat penghuninya menjadi penting, yaitu; manusia sebagai insan sosial, insan ekonomi, insan politik, dan sebagai insan budaya. Sebagai insan sosial, manusia akan memandang fungsi rumah dalam lingkup pemenuhan kebutuhan kehidupan sosial budaya masyarakat. Sebagai insan ekonomi, rumah punya fungsi ekonomi merupakan investasi jangka panjang. (Kuswartojo, 2005) Pada awalnya rumah merupakan tempat berlindung dari bahaya gangguan fisik, kemudian rumah sebagai tempat tinggal dan beristirahat keluarga serta melakukan hubungan sosial, sampai pada akhirnya rumah merupakan identitas penghuninya. Kebutuhan dasar menurut Maslow (dalam Budihardjo, 1998) kalau dihubungkan dengan sebuah rumah maka akan didapat beberapa pengertian sesuai dengan tingkatan kebutuhan, antara lain: 1. Kebutuhan fisiologis, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, sebagai tempat pribadi keluarga, dan berfungsi sebagai tempat istirahat. 2. Kebutuhan rasa aman, sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik, menjamin hak pribadi. 3. Kebutuhan hubungan sosial, rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitarnya. Manusia membutuhkan pengakuan akan kepemilikannya, dan ini berarti manusia membutuhkan kontak sosial dalam lingkungannya. Rumah membutuhkan lingkungan perumahan sebagai satu kesatuan yang dapat ditemukenali dengan adanya aktivitas lingkungan, tata letak rumah, bentuk rumah, pola tata ruang, serta kelengkapan lingkungan lainnya. 4. Kebutuhan terhadap penghargaan diri sendiri, rumah dan huniannya merupakan ukuran terhadap kesuksesan. 313
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
5. Kebutuhan aktualisasi diri, rumah dianggap sebagai pengembangan pribadi bagi penghuninya, rumah sudah merupakan simbol atau status sosial penghuninya. Dari studi tentang prilaku manusia disebutkan bahwa kebutuhan individu tentang rumah adalah dapat merasakan “privacy” dan keamanan di dalam teritorial tempat tinggalnya. Penentu utama kebutuhan rumah adalah kualitas rumah dan kesesuaian terhadap kebutuhan penghuninya. Sedangkan berdasarkan fungsinya, rumah merupakan basis bagi pembentukan kepribadian manusia, dimana manusia sebagai mahluk sosial dapat berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan demikian, dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa perubahan bentuk rumah yang terjadi di Genuk dalam rangka mempertahankan diri terhadap gempuran kondisi lingkungan, yaitu banjir rob dan penurunan muka tanah (land subsidence), adalah merupakan pengejawantahan persepsi penghuni terhadap fungsi rumah mereka. Meninggikan halaman, adalah bentuk respon awal ketika terjadi genangan banjir rob yang melanda di lingkungan permukiman mereka. Kegiatan ini adalah bentuk respon sederhana dari perilaku yang muncul, fungsi peninggian halaman adalah untuk menahan agar air tidak masuk dan menggenangi rumah mereka. Yang melakukan kegiatan ini adalah kelompok masyarakat pada mayoritas kelas ekonomi bawah. Ini cerminan dari pemenuhan kebutuhan fisiologi, bahwa yang penting harus ada tempat tinggal, walau posisinya lebih rendah dari halaman. Meninggikan ruang depan/tamu/keluarga, alasan mereka melakukan ini adalah karena fungsi rumah bukan sekedar tempat berkumpul dan istirahat keluarga saja, dimana biasanya pertemuan keluarga itu lebih intens terjadi di ruang keluarga yang sekaligus juga sebagai ruang tamu, tetapi juga memiliki fungsi sosial yaitu kekerabatan dengan tetangga. Dipilihnya ruang depan, sebab ruang ini bersifat semi publik, merupakan tempat komunikasi pemilik dan tamu. Ruang ini biasanya cukup luas, sehingga properti milik keluarga bisa terselamatkan semuanya dalam ruang yang luas ini ketika ada banjir. Ini cerminan dari pemenuhan akan kebutuhan rasa aman, dan fungsi rumah sebagai sarana penciptaan hubungan sosial. Meninggikan ruang depan/tamu dan ruang tidur, alasan mereka adalah bahwa rumah harus bisa digunakan untuk menjalin hubungan sosial sekaligus sebagai tempat istirahat yang bersifat pribadi, maka ruang tidur mutlak harus ditinggikan untuk menghindari genangan. Ini cerminan dari pemenuhan akan kebutuhan rasa aman, sarana penciptaan hubungan sosial, dan perlindungan terhadap hak pribadi (prifasi). Meninggikan dapur dan meninggikan KM/WC, alasan yang dikemukakan adalah rumah sebagai ruang service kegiatan yang bersifat pribadi, terjaga privasinya, dan harus bisa menunjang kesehatan dan keselamatn keluarga. Peninggian dapur adalah ungkapan ekspresi yang mencerminkan kebutuhan pelayanan untuk hidup dan mandiri. Mereka berujar bahwa bisa saja ketika banjir makan di luar, tetapi untuk sebuah keluarga, lebih nikmat dan nyaman dilakukan dengan makan bersama menikmati masakan seorang ibu dalam kelaurga, dan lebih murah. Kata nikmat dan murah ini menjadi kunci mengapa dapur harus ditinggikan. Ini sejalan dengan pendapat Budihardjo (1998) bahwa rumah berfungsi sebagai sarana menciptakan hubungan keluarga yang penuh dengan cinta. Meninggikan semua lantai, yaitu melakukan perubahan terhadap peil ketinggian lantai pada ketinggian tertentu sehingga air tidak masuk ke rumah. Alasan melakukan ini semata-mata karena untuk penyelamatan properti dan kenyamanan, dan masih bisa melakukan sosialisasi dengan tetangga secara baik. Ini bisa menjadi petunjuk adanya kebutuhan akan rasa aman yang sekaligus sebagai aktualisasi diri. Membangun menjadi dua lantai, alasan yang diungkapkan dalam melakukan kegiatan ini adalah untuk menciptakan rasa aman, yang sekaligus juga bisa bermakna menunjukkan kemampuan atau identitas diri penghuni. Dengan membangun menjadi dua lantai, maka akan terhindar dari kekhawatiran untuk selalu merubah bentuk rumah tiap tiga tahunnya, sebab di samping banjir, lokasi ini juga mengalami penurunan tanah (land subsidence) yang cukup signifikan.
314
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Terlihat dalam temuan penelitian ini bahwa ada empat kelompok besar dalam melakukan perubahan bentuk, yaitu: 1. Meninggikan halaman saja; 2. Meninggikan KM/WC saja; 3. Meninggikan ruang depan/tamu saja, dan 4. Kegiatan gabungan antara: meninggikan semua lantai dasar, meningginkan ruang depan/tamu dan ruang tidur, meningginkan dapur, dan membangun menjadi dua lantai. Gabungan ini adalah variasi dari beberapa kegiatan, bisa hanya dua kegiatan atau tiga, dan seterusnya. Semua kegiatan ini, kalau menurut Maslow bisa dinyatakan bahwa rumah harus bisa memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan dari alam, sebagai tempat pribadi keluarga, dan berfungsi sebagai tempat istirahat. Juga rumah harus mampu menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik, dan menjamin hak pribadi. Dan rumah juga harus bisa berfungsi sebagai pemenuhan kebutuhan akan hubungan sosial, rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitarnya. Manusia membutuhkan pengakuan akan kepemilikannya, dan ini berarti manusia membutuhkan kontak sosial dalam lingkungannya. 6.
KESIMPULAN Apa yang diteorikan oleh Turner, Budihardjo, dan Kuswartojo bahwa rumah adalah sebuah ekspresi penghuni, berkembang sesuai dengan mobilitas sosial, budaya, dan ekonomi ternyata bukanlah merupakan satu-satunya alasan perubahan bentuk rumah yang terjadi. Rumah bisa berubah karena adanya tekanan alam. Maslow mengungkapkan bahwa kebutuhan akan rumah bisa dilihat dari 5 (lima) tingkatan kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan fisiologi, rasa aman, kebutuhan akan hubungan sosial, penghargaan diri, dan aktualisasi diri, yang terjadi di Genuk, rumah lebih diekspresikan sebagai kebutuhan akan rasa aman, dan hubungan sosial. 7.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam penelitian ini, mulai dari aparat kelurahan, para pengurus RT dan RW setempat, dan pihak Kecamatan Genuk, serta teman-teman di Bappeda Kota Semarang. Juga terima kasih untuk Prof. DR. Sugiono Soetomo, DEA dan Prof. Sudharto P Hadi, MES, PhD. yang telah banyak membantu dan memebrikan masukkan yang sangat berarti. Kepada anak-anakku Alfi Afadiyanti dan kawankawan, terima kasih untuk meluangkan waktunya dalam membantu kegiatan survey lapangan. 8. DAFTAR PUSTAKA Bicknell J., Dodman D., & Satterthwaite D., eds. 2009. Adapting Cities to Climate Change: understanding and addressing the development challenges. London, UK: Earthscan. Bigio A.G. 2003. Cities and climate change. In: Alcira K., Arnold M., and Carlin A. (eds.) Building Safer Cities: The Future of Disaster Risk. Washington, USA: World Bank, page 91–99. Bronfenbrenner U. 1979. The ecology of human development: experiments by nature and design. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Budihardjo, Eko. 1998. Arsitektur dan Kota di Indonesia, Bandung : PT. Alumni, Cetakan ke-4. ______________. 1997. Tata Ruang Kota Perkotaan. Bandung : PT. Alumni. ______________. 1996. Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota. Bandung : PT. Alumni. Catanese, Antoni J. 1986. Pengantar Perencanaan Kota, Surabaya : Erlangga Chaussard E., Amelung F., Abidin H. & Hong S. 2013. Sinking cities in Indonesia: ALOS PALSAR detects rapid subsidence due to groundwater and gas extraction. Remote Sensing of Environment, page 128, 150-161. Day Trevor. 2006. Oceans. Infobase Publishing, New York. 315
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
De Risi R., Jalayer F., De Paola F., Iervolino I., Guigni M., Topa M.E., Mbuya E., Kyessi A., Manfredi G. & Gasparini P. 2013. Flood risk assessment for informal settlements. Natural Hazards, page 69, 1003- 1032. Douglas J. , 2006. Building adaptation. Edinburg, UK: Routledge. Guitierrez B.T., Plant N.G. & Thieler E.R. 2011. A Bayesian network to predict coastal vulnerability to sea level rise. Journal of Geophysical Research, 116, F02009, DOI: 10.1029/2010JF001891. Halim D. 2005. Psikologi arsitektur. Jakarta, Indonesia: Grasindo. Harwitasari D., & van Ast, J.A. 2011. Climate change adaptation in practice: people’s responses to tidal flooding in Semarang, Indonesia. Journal of Flood Risk Management, 4, 216-233. Hutchison R. 2010. Urban study. New York, USA: SAGE Publication. Khadiyanto P. 2005. Tata ruang berbasis pada kesesuaian lahan. Semarang, Indonesia: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Klien D.C. 2005. Psikologi tata kota (terjemahan). Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Alenia. Kuswartojo, Tjuk, dkk. 2005. “Perumahan dan Permukiman di Indonesia”. Bandung: Penerbit ITB. Maimunah S., Hendri H., Rosli N.S.M., Rafanoharana S.C., Sari K.R., Higashi O. 2011. Strengthening community to prevent flood using participatory approach (a case of the Semarang city). Journal of International Development and Cooperation, 18, (2), 19-28. Marfai M.A. & King L. 2008. Potential vulnerability implications of coastal inundation due to sea level rise for the coastal zone of Semarang city, Indonesia. Environmental Geology, 54, 12351245. Marsella J. 2004. Arsitektur dan perilaku manusia. Jakarta: Grasindo. Maslow A.H. 1943. A theory of human motivation. Psychological Review, 50, (4), 370-396. McGranahan G., Balk D. & Anderson B. 2007. The rising tide: assessing the risk of climate change and human settlements in low elevation coastal zones. Environment and Urbanization, 19, (1), 17-37. McInnes K.L., Macadam I., Hubbert G. & O’Grady J. 2013. An assessment of current and future vulnerability to coastal inundation due to sea-level extremes in Victoria, southeast Australia. Int J Climatol, 33, 33–47. Nawawi H. 1987. Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada University Press. Parvin A., Alam A.F.M.A. & Asad R. 2014. Climate change impact and adaptation in urban informal settlements in Khulna: A built environmental perspective. Libre, in press. Phelan L., Taplin R., Henderson-Sellers A. & Albrecht G. 2011. Ecological viability or liability? Insurance System responses to climate risk. Environmental Policy and Governance, 21, (2), 112130. Ramsay D. & Bell R. 2008. Coastal hazards and climate change. A guidance manual for local government in New Zealand. 2nd edition, Prepared for Ministry for the Environment. New Zealand. Samsunuwiyati P. 2006. Perilaku manusia, PT. Bandung, Indonesia: Refika Aditama. Sarwono S.W. 1992. Psikologi lingkungan. Jakarta, Indonesia: Rasindo Jakarta. Statistic Bureau Semarang. 2006. Potensi Desa. Semarang, Indonesia: Statistic Bureau. Suparlan Y.B. 1991. Kamus Indonesia Kawi. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar. Turner, John F.C, 1976. Housing By People : Towards Autonomy in Building Environments. London : Marios Boyars Turvey R. 2007. Vulnerability assessment of developing countries: the case of small-island developing states. Developing Policy Review, 25, (2), 243-264. Wahyudi S.I., Ni’am M.F. & Le Bras G. 2012. Problems, causes and handling analysis of tidal flood, erosion and sedimentation in northern coast of Central Java: review and recommendation. International Journal of Civil and Environmental Engineering, 12, (4), 65-69. 316
Proceedings of The 2 nd ECO-Architecture Conference (EAC 2) Architecture Department, Qur’anic Science University Wonosobo, Central Java, Indonesia, April 6 th – 7th, 2015
ISSN: 2442-9082
Ward P.J., Marfai M.A., Yulianto F., Hizbaron D.R. & Aerts J.C.J.H. 2011. Coastal inundation and damage exposure estimation: a case study for Jakarta. Natural Hazards, 56, 899-916.
317