PERTIMBANGAN PEMBUKTIAN DENGAN IPTEK DALAM PROSES PERSIDANGAN Nurhayati Tine* Abstract: Information and communication technologies continue to evolve with the development of human thinking as a social creature. Therefore necessary clarity and make the process of how to file a proof of evidence in the form of digital data. The process of proving the evidence in the form of digital data is also related to the validation aspect of digital data that is used as evidence. Concluded that the enactment of Law No.. 11 of 2008 on Information and Information Technology, the increasing legislation that protects the application and the use of digital evidence in court proceedings. Keywords: Information and communication technologies, law, digital evidence
Pendahuluan
Teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring de ngan perkembangan pola pikir umat manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai naluri ingin tahu, ingin mengenal, ataupun berkomunikasi. Inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil menemukan dan menciptakan antara lain telepon, handphone, komputer dan internet. Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet, menjadikan manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di dunia ini dalam hitungan detik, dapat berkomunikasi dan mengenal orang dari segala penjuru dunia tanpa harus berjalan jauh dan bertatap muka secara langsung. Inilah yang dikenal orang dengan sebutan
** Staf Pengajar Universitas Negeri Gorontalo
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
dunia maya atau cyber space. Perkembangan teknologi informasi ini banyak manfaat yang positif dalam memudahkan umat manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan melalui dunia cyber, seperti: e-travel yang berhubungan dengan pariwisata, e-banking yang berhubungan dengan perbankan electronic mail atau e-mail, e-commerce yang berhubungan dengan perdagangan. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di samping memberi manfaat bagi kemaslahatan masyarakat, di sisi lain memiliki peluang un tuk digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dapat terjadi pada kejahatan biasa maupun yang secara khusus menargetkan kepada sesama infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi sebagai kor bannya. Dampak dari kejahatan yang muncul dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara negatif dapat menyebabkan runtuhnya sistem tatanan sosial, lumpuhnya perekonomian nasional suatu negara, lemahnya sistem pertahanan dan keamanan serta juga dapat memiliki peluang untuk digunakan sebagai alat teror. Abdul Wahid dan Muhammad Labib (2005: 26) teknologi telah merambah semua sisi kehidupan, tak terkecuali bidang hukum. Pada perkembangannya, alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP tidak lagi dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi. Hal ini menimbulkan permasalahan baru. Salah satu masalah yang muncul akibat perkembangan teknologi informasi adalah lahirnya suatu bentuk kejahatan baru yang sering disebut dengan cybercrime, dalam istilah yang digunakan oleh Barda Nawawi Arief disebut dengan tindak pidana mayantara (2005: 26). Arif Pitoyo (2007) secara garis besar cybercrime terdiri dari dua jenis, yaitu kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitas dan kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran. Dengan demikian, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital. Proses pembuktian suatu alat bukti yang berupa data digital ini juga menyangkut aspek validasi data digital yang dijadikan alat bukti tersebut. Aspek lain yang terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Untuk selanjutnya, pembahasan ini akan menjelaskan bagaimana penggunaan teknologi dapat dijadikan alat bukti. Penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan 128
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
perundang-undangan di Indonesia yang memungkinkan penggunaan alat bukti dengan teknologi dalam persidangan. Selain itu dari pembahasan ini akan terlihat sikap aparat penegak hukum, khususnya hakim dalam mem pergunakan alat bukti yang ada. PEMBAHASAN Defenisi Teknologi
Sebelum terlalu jauh membahas permasalahan tersebut, penulis terlebih dahulu memaparkan pengertian teknologi, secara etimologi, istilah “teknologi” dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris, yaitu “tech nology” yang berarti: 1). Scientific study and use of mechanical arts and apllied sciens, eg. Engineering, 2). Application of this practical taks in industry, ect: recent advances in medical technology, technology of computers. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hornby HS.1 Sudirman Sommeng2 Memberikan pengertian defenisi tersebut yang dapat dipahami: Pertama, teknologi adalah scientific study yang berarti kajian, telaah, penelitian yang sistematis, ilmiah. Dengan kata lain, teknologi adalah “ilmu” dalam pengertiannya yang sangat luas. Kedua, teknologi ber arti “mechanical arts”; alat-alat bermesin. Ketiga, teknologi berarti “applied science”; ilmu-ilmu terapan atau ilmu-ilmu praktis. Keempat, teknologi berarti “application of this to practical task”; aplikasi dari ilmu, dan alat-alat untuk kepentingan atau pekerjaan harian. Dengan demikian, teknologi bukanlah sekadar alat-alat bermesin. Lebih dari itu, teknologi adalah ilmu dan bagaimana alat-alat bermesin itu diaplikasikan. Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pemaknaan teknologi yang dikemukakan Armahedi Mazhar3, yang menjelaskan bahwa teknologi itu benda abstrak seperti yang terbayang pada namanya. Sepeti logi-logi lainnya, ia adalah sejenis ilmu. Tepatnya, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia4 terdapat dua pengertian tek nologi, yakni: 1). Metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis; ilmu penge tahuan terapan. 2). Keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Dari beberapa defenisi tersebut, menurut hemat penulis dapat disim pulkan beberapa isyarat penting tentang teknologi. Pertama, teknologi 129
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
adalah ilmu tentang cara menerapkan sains dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Kedua, teknologi berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan penciptaan dan penerapan teknologi adalah untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Keempat, teknologi itu, sebagaimana sains, adalah “makhluk netral” dan akan terus berkembang. Bambang Nurcahyo Prastowo dari dokumen elektronik www.depko minfo.go.id bagian regulasi undang-undang, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 (Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) tahun 2008 lebih menfokuskan pemba hasan, sebagai bahan pertimbangan terdapat beberapa defenisi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi infomasi yang termak tub dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik antara lain sebagai berikut: 1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, juga termasuk (tetapi tidak terbatas pada) tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (elec tronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. 3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyi apkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. 4. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk (tetapi tidak terbatas pada) tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. 5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elek tronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, 130
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik. Perkembangan Pembuktian dalam Peradilan Islam dan Hukum Nasional Berbagai Peristiwa Hukum Pembuktian dalam Sejarah Islam
Dalam sejarah peradilan Islam jauh sebelum pembakuan hukum secara tertulis, telah terdapat cikal bakal proses pembuktian. Sebagaimana yang dikisahkan dalam Alquran tentang kasus Yusuf dan Zulaikha (isteri Qitfir) QS. Yusuf (12): 23-28, Ketika Qitfir, suami Zulaikha pergi, Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf untuk berbuat mesum tetapi Nabi Yusuf menolak, lalu berlarilah Nabi Yusuf menuju pintu untuk keluar dari rumah. Tiba di pintu, baju Nabi Yusuf ditarik oleh Zulaikha dari belakang sehingga koyak, dan tepat waktu itu suaminya tiba dari bepergian. Karena tertangkap basah, Zulaikha mengadu kepada suaminya bahwa Nabi Yusuf mengajaknya dan memaksanya untuk berbuat mesum. Pada saat yang kritis itu, bersuara (berkatalah) seorang bayi (yang masih dalam buaian) dari keluarga Zulaikha: “Jika baju Yusuf koyak di bagian depan berarti Yusuflah yang salah, tetapi jika koyak di bagian belakang berarti Yusuflah yang benar”. Lantas suami Zulaikha melihat kepada baju Yusuf, ternyata koyak di bagian belakang, berarti Yusuflah yang benar. Lalu Yusuf disuruh rahasiakan hal itu ke luar (karena malu) dan Zulaikha disuruh oleh suaminya untuk bertobat dan meminta ampun kepada Allah. Nabi Muhammad saw. pernah pula menggunakan qarinah (alat bukti persangkaan) sebagaimana yang dituliskan oleh Roihan A. Rasyid5. Da lam beberapa hal Muhammad Salam Madku6 di antaranya memberikan barang hilang yang ditemukan kepada orang yang dapat menyebutkan sifat-sifat pokok dari barang itu. Pada masa Khalifah Umat ibn Khattab, penggunaan alat bukti keterangan ahli pernah dilakukan dalam sebuah perkara pemfitnahan yang diajukan ke depan sidang pengadilan khalifah oleh Zibriqan bin Bard terhadap seorang penyair Hutaya, yang menuduh bahwa salah satu syairnya yang diciptakan oleh penyair itu merupakan sebuah fitnah. Karena tuduhan tentang pemfitnahan itu berkaitan dengan syair, maka Khalifah mengundang penyair lain dan meminta pendapatnya tentang masalah itu, dan kemudian ia memutuskan kasus menurut pendapat ahli tersebut.7 131
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
Sementara pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, pembuktian dapat dilihat pada salah satu kasus yakni ketika khalifah kehilangan pakaian perangnya yang terbuat dari besi dalam perjalanannya ke Shiffin. Setelah perang selesai Ali kembali ke al-Kufah, dan di sana beliau melihat baju besinya di tangan seorang Yahudi. Khalifah Ali bin Abi Thalib kemudian berkata kepada Yahudi itu, “Baju itu milikku, saya tidak pernah menjual maupun membuangnya”. Yahudi itu pun menjawab, “Tidak, ini baju besiku dan ini milikku”. Kemudian mereka berdua pergi ke pengadilan Shuraih. Shuraih berkata, “Silahkan ya sahabat!” Khalifah kemudian berkata, “Ya, baju besi yang berada di tangan Yahudi itu adalah milikku, aku tidak pernah menjual atau mendermakannya”. Kemudian Shuraih pun berkata, “Apa katamu wahai Yahudi?” Yahudi itu menjawab, “Ini adalah bajuku dan menjadi milikku”. Shuraih bertanya lagi, “Wahai sahabat Nabi, punyakah engkau bukti untuk itu?” Khalifah menjawab, “Ya, saksinya adalah Kam bar dan al-Hasan”. Shuraih menjawab, “Bukti dari seorang anak untuk ke pentingan ayahnya tidak dapat diterima”. Kemudian keputusan ternyata merupakan kemenangan bagi Yahudi. Melihat hal ini, Yahudi menyatakan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul-Nya, dan bahwa baju besi ini adalah baju besimu”. Alat Bukti dan Pembuktian
Pada sebuah proses penyelesaian perkara pidana, proses pembuktian merupakan suatu proses pencarian kebenaran materil atas suatu peristiwa pidana. Hal ini berbeda jika dibandingkan proses penyelesaian perkara perdata yang merupakan proses pencarian kebenaran formil. Proses pem buktian sendiri merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan persidangan. Abdul Azis Dahlan8 Di dalam kitab-kitab hukum Islam kebanyakan para ahli hukum Islam menyebut alat bukti dengan al-Bayyinah yang berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang hak (benar). Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat digunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fikih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama fikih adalah sebagai berikut:
132
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
1. Kesaksian (asy-syahadah); 2. Ikrar (al-iqrar), pengakuan dari pihak tergugat bahwa apa yang digugat oleh penggugat adalah benar; 3. Sumpah (al-yamin); 4. Nukul (penolakan pihak tergugat untuk bersumpah dalam menguatkan haknya; 5. Qarinah (indikasi yang menunjukkan kebenaran atau ketidakbenaran suatu gugatan); 6. Qasamah (sumpah yang dilakukan berulangkali oleh penggugat dalam kasus pembunuhan atau sumpah yang dilakukan oleh masyarakat di daerah sekitar tejadinya pembunuhan atau tempat kejadian perkara, yang bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka bukan pembunuhnya); Sementara itu, dalam ketentuan hukum perdata R. Subekti9 yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan, sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan, tidak diperlukan untuk dibuktikan. Sebagaimana dalam pasal 1866 Burgelijke Wetboek, alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas: bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Di samping itu juga dikenal alat bukti keterangan ahli dan alat bukti pemeriksaan setempat. M. Yahya Harahap10 Asas pembuktian, dalam hukum acara perdata dijumpai dalam pasal 1865 Burgerlijke Wetboek, “Setiap orang yang men dalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Sedangkan dalam ketentuan hukum pidana, Pembuktian adalah: ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Menurut Darwan Prints11 Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian 133
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah mela kukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.” Hukum acara pidana di dalam bidang pembuktian mengenal adanya alat bukti dan barang bukti, yang keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan, seperti yang diatur Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, pe tunjuk, keterangan terdakwa. Menurut Luhut MP Pangaribuan12 Sesungguhnya tujuan dari pembuk tian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hu kuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang sangat berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law). Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dila kukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini, penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan. Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek dalam Proses Persidangan
Edmom Makarim13 menjelaskan bahwa perkembangan teknologi dan perkembangan hukum telah menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Perlu diperhatikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, bukti yang akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer. 134
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
Masalah pengakuan data elektronik menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi (internet). Beberapa negara seperti Australia, Chili, China, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. China misalnya, membuat peraturan khusus untuk mengakui data elektronik. Salah satu pasal Contract Law of the People’s Republic of China 1999 menyebutkan, “bukti tulisan” yang diakui sebagai alat bukti dalam pelaksanaan kontrak (perjanjian) antara lain: surat dan data teks dalam berbagai bentuk,seperti telegram, teleks, faksimili, dan e-mail. Sebenarnya ada satu hal yang patut dipertimbangkan dalam pengakuan suatu data elektronik. Sejauh mana keamanan suatu sistem dan keterlibatan dari orang terhadap sistem komputer tersebut. Karena biasanya, kejahatan dengan menggunakan komputer (internet) melibatkan orang dalam. Jika dilihat esensi dari transaksi yang dilangsungkan secara elektronik, se panjang para pihak tidak berkeberatan dengan prasyarat dalam perjanjian tersebut, segala bukti transaksi yang dihasilkan dalam transaksi tersebut memiliki nilai yang sama dengan dokumen transaksi konvensional. Sebagai bahan perbandingan, diperlukan contoh kasus pemanfaatan elektronik beserta proses yang memungkinkan penulusuran penggunaan alat bukti dalam pembuktian keontetikan suatu dokumen. Sebagai contoh; dapatkah e-mail dijadikan alat bukti di pengadilan? Dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan data elektronik, termasuk e-mail, belum diterima sebagai alat bukti di pengadilan jika terjadi sengketa. Dalam hukum nasional Indonesia, penggunaan data elektronik tidak setegas di beberapa negara. Padahal apa yang diperjanjikan atau apa yang terjadi secara virtual tersebut secara subtantif telah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Misalkan perjanjian yang dilakukan secara elektronik melalui e-mail. Si A selaku penjual barang hendak menawarkan suatu barang dengan harga serta spesifikasi barang disertai klausul perjanjian mengenai tata cara penyerahan dan pembayaran harga. Kemudian si B hendak membeli barang dan tidak berkeberatan terhadap cara dan klausul yang ditawarkan oleh si A. Mereka bersepakat menjadikan e-mail tersebut sebagai alat bukti di pengadilan jika di kemudian hari terjadi sengketa. Merujuk pada Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, perjanjian yang dila 135
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
kukan antara A dan B di atas adalah sah. Pasalnya, suatu perjanjian harus didahului adanya kesepakatan (kata sepakat), kecakapan untuk membuat perikatan, yang diperjanjikan adalah suatu hal tertentu, dan sesuatu yang halal. Jika suatu perjanjian yang dilakukan telah memenuhi keempat syarat tersebut, perjanjian tersebut dinyatakan sah. Bagaimana jika suatu transaksi yang dilakukan dengan menggunakan media internet. Apakah pasal tersebut bisa mengesampingkan kesepakatan dari para pihak. Satu hal yang mungkin dan perlu diingat bahwa perikatan yang diatur di dalam buku tiga KUHPerdata sifatnya terbuka. Artinya, se panjang para pihak menyepakati suatu perjanjian dilangsungkan secara elektronik dengan menggunakan e-mail sebagai bukti transaksi, perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah sah. Bukti elektronik tersebut jika di cetak memiliki nilai yang sama dengan alat bukti lainnya (yang ditentukan di dalam undang-undang). Beberapa waktu lalu, telah diputus satu kasus pidana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur yang mengetengahkan bukti e-mail sebagai salah satu alat bukti. Dalam kasus tersebut, hakim memvonis terdakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena terbukti telah melakukan tindakan cabul berupa penyebaran tulisan dan gambar. Hakim kemudian menghadirkan saksi ahli untuk menjelaskan, apakah bukti e-mail tersebut bisa dimanipulasi. Keterangan ahli tersebut digunakan oleh hakim untuk memastikan apakah dalam transfer data melalui internet mail (e-mail) ter sebut telah terjadi tindakan manipulatif. Setelah mendengar keterangan dari saksi ahli, kemudian hakim memutus terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 282 KUHP. Terlepas dari salah tidaknya terdakwa, hakim telah menggunakan nalarnya untuk menggunakan bukti tersebut. Jikapun masih sedikit kasus yang menggunakan bukti elektronik sebagai alat bukti di pengadilan, itu dikarenakan rentannya kemauan dari hakim untuk mempelajari hal-hal baru. Khususnya, berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam urusan privat maupun publik. Secara teknis, bila terdapat satu standar keamanan untuk memberi kan jaminan keontetikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. Hal ini menjadi penting, karena menyangkut persoalan siapa yang mengirimkan e-mail tersebut. Dengan 136
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
mengetahui siapa yang mengirimkan, tergugat dapat menjadikan bukti tersebut sebagai dasar untuk melakukan gugatan atau penuntutan. Penggunaan e-mail sebagai alat bukti di pengadilan juga bisa merujuk pada log yang berada pada ISP (Internet Service Provider) dan data RFC (request for comment). Selain itu, untuk lebih memudahkan perlu diperhatikan juga keberadaan tandatangan elektronik (electronic signature) dalam e-mail ter sebut. Tanpa adanya tandatangan elektronik, mungkin agak sulit untuk mendapatkan kepastian siapa pengirim sebenarnya dari e-mail yang menjadi pokok sengketa. Artinya, dimungkinkan menggunakan lebih dari satu teknologi dalam melakukan otentikasi dari dokumen yang dikirim secara elektronik. Anggraeni Puspita14 menyatakan contoh lain adalah pembuktian dengan melalui penelitian DNA. Konsep penemuan hukum terhadap alat bukti alat bukti tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum yang telah ada sebelumnya yakni metode argumentum per analogium (analogi) dan metode eksposisi verbal deskripsi. Alat bukti tes DNA ini bila diajukan di persidangan dapat hadir dan dikategorikan sebagai bentuk alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat, maupun alat bukti petunjuk. Kekuatan pembuktian dari alat bukti tes DNA ini adalah bebas, jadi tergantung dari hakim itu sendiri untuk menggunakan atau mengesampingkan keberadaan alat bukti ini. Dari keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh teknologi tes DNA ini, sangat besar peluangnya untuk diterapkan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian di Indonesia untuk menangani kasus-kasus tertentu yang sulit pembuktiannya. Tetapi masih ada hambatan-hambatan yang menghalangi penggunaan alat bukti ini diantaranya belum adanya ketentuan perundangundangan yang secara tegas mengatur tentang keberadaan alat bukti tes DNA, biaya pemeriksaan yang sangat tinggi, maupun kendala teknis dalam tes DNA itu sendiri. Implikasi teoritis yang muncul dari penelitian ini adalah perlu adanya pengaturan mengenai alat bukti tes DNA sehingga jelas keberadaanya sebagai alat bukti karena pengaturan alat bukti yang secara limitatif ada di dalam KUHAP kadangkala tidak memadai untuk membuktikan kejahatankejahatan tertentu seiring dengan munculnya extraordinary crime. Sedangkan implikasi praktisnya adalah bahwa penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana untuk mengetahui bagaimana konsep penemuan hukum dan 137
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
kedudukan alat bukti tes DNA dalam proses pembuktian di persidangan. Muhammad Rustamaji15 mengemukakan contoh lain dan merupakan hal terbaru yang dapat kita pelajari adalah persidangan pengadilan melalui teknologi teleconference. Penggunaan teleconference sebelum pemeriksaan kasus korupsi dengan terdakwa Mantan Kabulog Rahardi Ramelan memang belum pernah terjadi di Indonesia. Sebagaimana dalam ketentuan KUHAP mengenai tata cara dan prosedur pembuktianpun tidak diatur mengenai teleconference. Namun KUHAP sebenarnya telah menegaskan bahwa men jadi saksi adalah kewajiban setiap orang. Mereka yang telah dipanggil ke sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi menolak ke wajiban itu, dapat dikenakan pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku. Dalam kasus Rahardi Ramelan ini, B.J Habibie sebagai saksi. Mengingat persidangan pengadilan melalui teleconference memang tidak diatur dalam KUHAP, sehingga berakibat masalah legalitasnya bersifat sangat interpretatif. Namun sebelum melangkah lebih jauh mengenai memanfaatkan teleconference sebagai alat bukti di persidangan, berbagai pemikiran dan ulasan serta kerangka pikir yang terbangun nampaknya sudah mulai mengerucut bahwa teleconference paling dekat korelasinya dengan alat bukti saksi. Jika telaah ketentuan mengenai saksi diterapkan dalam pemanfaatan teleconference dalam kesaksian B.J. Habibie, maka dapat kita ulas sebagai berikut; Sistem pembuktian yang dianut KUHAP pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim, dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah. Sebagai suatu keyakinan, maka tentulah sifatnya sangat subyektif, sehingga sulit diuji secara obyektif. Untuk mendapatkan keyakinan (conviction), hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang, perilaku dan bahasa tubuhnya di sidang pengadilan secara fisik berhadap-hadapan. Dalam hal ini penggunaan teknologi teleconference yang menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara secara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa tubuh (gestures) yang ditunjukkan oleh se orang di muka persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seseorang di muka persidangan sebagaimana dimaksud hadir secara fisik juga dapat dipenuhi dengan menggunakan teknologi teleconference.
138
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
Berdasarkan ilustrasi teknis tersebut, nampaknya teleconference me mang tepat untuk menggantikan kehadiran saksi di muka persidangan secara virtual. Namun perlu mendapat perhatian juga dalam hal alokasi waktu meminta keterangan saksi, hal ini penting karena waktu yang sempit dan terbatas akan sangat berpengaruh terhadap kualitas ketuntasan dan kedalaman informasi yang diperoleh dari saksi. Jika permasalahan alokasi waktu ini tidak mendapatkan solusi yang tuntas, maka sia-sialah seluruh usaha menghadirkan saksi secara virtual di muka sidang karena dangkalnya informasi dan ketidaktuntasan keterangan yang dibutuhkan. Penggunaan Alat Bukti Berupa Informasi Elektronik Terkait Penyelenggaraan Sistem Elektronik Berdasar kan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elek tronik
Penggunaan bukti digital pada suatu proses peradilan telah dimung kinkan dengan adanya dasar hukum yang salah satunya adalah Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Bunyi Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 adalah menyangkut Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1). Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2). Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan 3). Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a). tulisan, suara, atau gambar; b) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; c). huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Sebagaimana amanah dari Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pem berantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. yang dipertegas dengan pemberlakuan undangundang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meskipun demikian, menurut Edmon Makarim, S. Kom., S. H., LL. M, secara 139
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
umum sekurang-kurangnya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan pada keberadaan suatu informasi elektronik (arsip elektronik) terkait penggunaannya sebagai alat bukti digital, yaitu (i) substansi informasi; (ii) metodologi fiksasi dan media penyimpanan yang mengonkretkan bentuk dari informasi itu; serta (iii) identifikasi subjektifnya. Hal tersebut terkait dari subjektifitas informasi, sehingga semestinya suatu informasi baru dapat dipercaya jika jelas siapa subjek pengirimnya. Namun, apabila informasi tersebut merupakan hasil otomatisasi dari suatu sistem yang berjalan sebagaimana mestinya, maka informasi tersebut ti dak perlu dipertanyakan unsur subjektifitasnya, melainkan hanya perlu membuktikan sistem yang menghasilkan informasi tersebut berjalan de ngan baik. Begitu pula dalam penerapan bukti digital pada proses persidangan. Agar suatu bukti digital memiliki nilai otentik dan dapat digunakan sebagai alat bukti, bukti digital tersebut harus diperoleh dari suatu sistem elektronik yang dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik pada sistem elektronik tersebut. Bila merujuk pada Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) pengaturan terkait penyelenggaraan sistem elektronik tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 15 UU ITE dijelaskan informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya. Penjelasan Pasal 15 UU ITE menguraikan yang dimaksud andal adalah sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan yang sesuai dengan kebutuhan penggu na; aman artinya sistem elektronik tersebut terlindungi baik secara fisik maupun non fisik; dan yang dimaksud dengan beroperasi sebagaimana mestinya adalah sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan sesuai spesifikasinya. Untuk memenuhi standar yang ditentukan oleh Pasal 15 UU ITE, setiap penyelenggara sistem elektronik harus mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut Pasal 16 UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE: 1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
140
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
2. Dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; 3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam pe nyelenggaraan sistem elektronik tersebut; 4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan 5. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, ke jelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut; Dengan demikian dapat disimpulkan, suatu informasi elektronik yang telah diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya, kemudian penyelenggara sistem elektronik telah mengoperasikan sistemnya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU ITE. Maka informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik yang dihasilkannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah pula, serta dapat digunakan sebagai perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalam Hukum Acara di Indonesia. Dengan pemberlakuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi ini, maka bertambahlah payung hukum dalam penerapan dan penggunaan bukti digital pada proses persidang an, sehingga tidak terdapat keraguan terkait otentifikasi dan integritas terhadap bukti digital, sepanjang perolehan bukti digital tersebut berasal dari sistem elektronik yang penyelenggaraan sistemnya telah secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya. Penutup Kesimpulan
1. Beberapa isyarat penting tentang teknologi. Pertama, teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan sains dengan menggunakan metode ilmiah untuk mencapai tujuan praktis. Kedua, teknologi berkaitan erat dengan alam semesta. Ketiga, tujuan penciptaan dan penerapan tek nologi adalah untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Keempat, teknologi itu, seperti saudaranya yang bernama sains, adalah “makhluk netral” dan akan terus berkembang.
141
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
2. Pembuktian bertujuan untuk melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan ma syarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Se mentara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law). 3. Secara teknis, bila terdapat satu standar keamanan untuk memberikan jaminan keontetikan suatu dokumen, selayaknya transaksi (pertukaran informasi) yang dilakukan oleh para pihak harus dinyatakan valid dan memiliki nilai pembuktian di pengadilan. 4. Suatu informasi elektronik yang telah diselenggarakan oleh penye lenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi seba gaimana mestinya, kemudian penyelenggara sistem elektronik telah mengoperasikan sistemnya sebagaimana mestinya, maka informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik yang diha silkannya merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah pula, serta dapat digunakan sebagai perluasan alat bukti dalam proses persidangan. Implikasi
1. Dengan pemberlakuan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Informasi, maka bertambahlah payung hu kum dalam penerapan dan penggunaan bukti digital pada proses per sidangan. 2. Setidaknya tidak ada lagi alasan yang memberatkan bagi hakim untuk tidak menerima data elektronik sebagai alat bukti dalam pengadilan. Sehingga hakim tidak perlu lagi ragu-ragu dalam mengambil keputusan sehubungan dengan pembuktian dengan data elektronis dan sudah selayaknya hakim dapat melakukan penemuan hukum atau melakukan penafsiran secara analogis atau ekstensif dari ketentuan-ketentuan hu kum yang berlaku. Dengan demikian atas permasalahan-permasalahan
142
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
hukum yang timbul tetap dapat diambil keputusan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan. [ ] Endnotes Hornby HS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (USA: Oxford University Press, 1989) 1319 2 Sudirman Sommeng Pendidikan Islam dalam Perspektif Teknologi Pendidikan dalam Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, Jurnal Zaitun (Kajian Islam dan Kemasyarakatan) Volume 1 No. II April 2004. Makassar: Berkah Utami, 2004: 21 3 Armahedi Mahzar. Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar dalam Ahmad Y. Al-Hassan dan Ronald R. Hill, Technology and Illustrated History, terj. Yulianti Liputo, Teknologi dalam Sejarah Islam. (Bandung: Mizan 1993) 17 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-III. Cet. II; (Jakarta: Balai Pustaka, 2002) 1158 5 Roihan A. Rasyid A. Hukum Acara Peradilan Agama. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001) 166 6 Muhammad Salam Madkur, Al Qada’u fy al Islam. (Mesir: Dar an-Nahdah al Arabiyah, tt) 94 7 Anwar Ahmad Qadri. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim. (Yogyakarta: PL2PM, 1987) 20 8 Abdul Azis Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) 206 9 R. Subekti Hukum Pembuktian. (Jakarta: Pardnya Paramita, 1975) 5-13 10 M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. (Jakarta: Pustaka Kartini, 1988) 793 11 Darwan Prints Hukum Acara Pidana dalam Praktik. (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1998) 106 12 Luhut MP Pangaribuan. Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat. (Jakarta: Djambatan, 2005) 3-4 13 Edmom Makarim. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2005) 455 14 Anggraeni Puspita, (2008) 15 Muhammad Rustamaji (2009) 1
143
Nurhayati Tine, Pertimbangan Pembuktian dengan Iptek ...
DAFTAR PUSTAKA
A. Rasyid, Roihan. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Ahmad Qadri, Anwar. 1987. Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan dalam Sejarah Pemerintahan Muslim. Yogyakarta: PL2PM, Dahlan, Abdul Azis [et al.], 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Departemen Agama RI. 2004. Alquran dan Terjemahannya (Al-Jumanatul ‘Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur). Bandung: CV Penerbit J-Art, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-III. Cet. II; Jakarta: Balai Pustaka, Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jilid II. Jakarta: Pustaka Kartini, HS, Hornby. 1989. Oxford Advanced Learner’s Dictionary, USA: Oxford Uni versity Press, http://www.novexcn.com/contract_law_99.html, diakses pada tanggal 26 April 2009. Indonesia. 1981. Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981. ________. 2002. Undang-undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang, UU No. 15, LN. No. 45 Tahun 2003, TLN. No. 4284, Penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mahzar, Armahedi. 1993. Teknologi dan Islam: Sebuah Refleksi Pengantar dalam Ahmad Y. Al-Hassan dan Ronald R. Hill, Technology and Illustrated History, terj. Yulianti Liputo, Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung: Mizan Makarim, Edmom. 2005. Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Mudiardjo, Rapin. 2006 Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan (http://www.iptek.net/sentra informasi iptek/Balai Jaringan Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Balai IPTEKnet) BPPT, 2006), diakses pada tanggal 26 April 2009. Pangaribuan, Luhut MP. 2005. Hukum Acara Pidana:Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advocat. Jakarta: Djambatan, 144
Islam dan Realitas Sosial, Vol. 6, No. 2, Juli-Desember 2013
Pitoyo, Arif., 2007. Perlunya Penyempurnaan Hukum Pidana Tangani Cybercrime.
, diakses 22 Januari 2007. Prastowo, Bambang Nurcahyo. 2008. Dokumen elektronik www.depkominfo. go.id bagian regulasi undang-undang., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843 (Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik) tahun 2008. Prints, Darwan. 1998. Hukum Acara Pidana dalam Praktik. Jakarta: Penerbit Djambatan, Salam Madkur, Muhammad. tt. Al Qada’u fy al Islam. Mesir: Dar an-Nahdah al Arabiyah, Sommeng, Sudirman. 2004. Pendidikan Islam dalam Perspektif Teknologi Pen didikan dalam Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, Jurnal Zaitun (Kajian Islam dan Kemasyarakatan) Volume 1 No. II April 2004. Makassar: Berkah Utami, Subekti, R. 1975. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pardnya Paramita, Subekti, R [et al]. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek). Jakarta: Pradnya Paraminta, Wahid, Abdul [et al]. 2005. Kejahatan Mayantara (Cybercrime). Bandung: PT. Rafika Aditama,
145