PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABAIKAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT DAN KAITANNYA DENGAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PENGANIAYAAN (Studi Kasus dalam Putusan Nomor : 84/Pid.B/2011/PN.KBR) Kristiyadi, Donata Bagus Prakoso, Mufid Sinung Nugroho ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas argumentasi hukum Hakim dalam mengabaikan visum et repertum sebagai alat bukti surat dalam perkara penganiayaan dan mengetahui secara jelas implikasi pengabaian visum et repertum sebagai alat bukti surat oleh Hakim dengan putusan bebas dalam perkara penganiayaan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif, dengan menggunakan pendekatan kasus. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Teknik analisis yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deduksi (deduktif) yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa, Pertama, bahwa Argumentasi hukum Hakim Koto Baru berdasarkan keyakinannya adalah Hakim telah mengabaikan visum et repertum sebagai alat bukti surat karena didalam fakta persidangan tidak terbukti. Kedua, Hakim pengadilan Koto Baru memutuskan putusan bebas dengan mempertimbangkan seluruh keterangan saksi saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan bukti visum et repertum sebagai alat bukti surat dan tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dibuktikan telah melakukan penganiayaan terhadap saksi Mori Yulianto sehingga unsur melakukan kekerasan tidak terbukti sehingga diputus bebas.
Kata Kunci : Pertimbangan hakim, Visum Et Repertum, Penganiayaan.
ABSTRACT This study aims to determine clearly the judge legal argument in the court ignores the visum et repertum as documentary evidence in cases of abuse and neglect to be clear about the implications visum et repertum as documentary evidence by the judge with the acquittal in the case of persecution . This research is prescriptive normative law , the use case approach . The type of material used law is a source of primary law and secondary law . Mechanical collection of
legal materials in this research is the study of literature .The techniques used in this study is the analysis technique of deduction ( deductive ) that draw conclusions from things that are common to the problems faced concrete . Based on the results of research and discussion , it can be concluded that , first , that legal argument Judge Koto Baru based on his belief is Judge has ignored the visum et repertum as documentary evidence because the facts in the trial visum et repertum as documentary evidence can not be used as evidence to prove the defendant because the fact in the court was not proven . Second , Koto baru court judge ruled against the defendant is free to decide decision considering all the witness testimony and the testimony of the defendant and witnesses associated with post mortem evidence et repertum as documentary evidence and no action can be proved that the defendant had committed abuses against witnesses Mori Yulianto so the element of violence is not proven because that the defendant thus breaking free . Keywords: Legal Argument, Visum Et Repertum, Violence
A. PENDAHULUAN Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Penemuan kebenaran materiil tidak terlepas dari masalah pembuktian, yaitu tentang kejadian yang konkret dan senyatanya. Membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra, mengutarakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logika. Hal ini karena hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkret.(Y.A.Triana ohoiwutun, 2006:210). Pembuktian memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang di pengadilan karena dengan pembuktian inilah nasib terdakwa ditentukan. Pembuktian yang sah harus dilakukan dalam sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa dan bahwa pembuktian yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak sah. Pembuktian itu ditujukan untuk memutus suatu perkara pidana dan bukan semata-mata menjatuhkan pidana. Sebab, untuk menjatuhkan pidana masih diperlukan lagi syarat terbuktinya kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Jika setelah kegiatan pembuktian dijalankan dan berdasarkan
minimal dua alat bukti yang sah majelis hakim mendapatkan keyakinan, yaitu terbukti terjadinya tindak pidana, terdakwa melakukannya dan keyakinan terdakwa bersalah. Sebaliknya, apabila tindak pidana yang didakwakan terbukti dilakukan terdakwa tetapi dalam persidangan terbukti adanya dasar atau alasan yang meniadakan pidana baik di dalam undang-undang maupun di luar undang-undang, maka tidak dibebaskan dan juga tidak dipidana melainkan dijatuhi amar putusan pelepasan dari tuntutan hukum (Adami Chazawi, 2008:31). Pembuktian dalam perkara pidana menurut Pasal 184 KUHAP memerlukan adanya alat bukti yang sah, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hakim dapat menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 183 KUHAP, sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam persidangan. Sebagai salah satu bagian dari alat bukti khususnya surat, keberadaan visum et repertum sungguh sangat penting. Hal ini dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik POLRI tanpa bantuan dari orang yang ahli di bidangnya terutama dibidang Kedokteran Forensik sangat diperlukan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari seorang terdakwa. oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian, meneliti sampai dengan batas minimum kekuatan pembuktian atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHP. (M.Yahya Harahap, 2010:273) Nilai visum et repertum hanya merupakan keterangan saja bagi hakim, dan hakim tidak wajib mengikuti pendapat dokter yang membuat visum et repertum tersebut. Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah sepanjang visum et repertum tersebut memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksanya. Pendapat seorang ahli tidak selalu sama dengan ahli lainnya walaupun pendapat-pendapat ahli tersebut didasarkan pada data pemeriksaan yang sama. Maka wajarlah apabila hakim kadang kala menolak bagian pendapat dan kesimpulan dari seorang ahli yang ditulis dalam visum et repertum. Akan tetapi, seyogyanya hakim tidak menolak bagian yang memuat keterangan
segala apa yang dilihat dan didapat seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya, yakni memeriksa dan meneliti barang bukti yang ada. (I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso,1987:125). Saat pemeriksaan perkara di pengadilan terdapat keragu-raguan bagi hakim meskipun sudah ada visum et repertum, “selalu ada kemungkinan untuk memanggil dokter pembuat visum et repertum itu ke muka sidang pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya”, dan dengan demikian ada bentuk dalam memberikan kesaksian ahli yang tertulis maupun yang tidak tertulis. .(I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso,1987:126). Hakim juga dapat melakukan hal lain saat mengalami keragu-raguan yaitu memanggil dokter lain untuk memberikan pertimbangan dari hasil pemeriksaan dalam visum yang telah dibuat. Akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan menurut pendapatnnya, yang mana yang akan dipakainya dalam memutuskan suatu perkara pidana.(H. Nurbama Syarief,1985:19). Keterikatan hakim terhadap visum et repertum sebagai alat bukti surat yang sah dapat dilihat pada saat hakim menerima hasil kesimpulan dari visum et repertum, dan mengambil alih kesimpulan tersebut dan didukung paling sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terjadi tindak pidana penganiayaan dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka berdasarkan visum et repertum di persidangan, barulah hakim menjatuhkan pidana terhadap orang yang benar-benar bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah sesuai dengan salah satu sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang dianut oleh peradilan pidana Indonesia berdasarkan Pasal 183 KUHAP, yakni hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim yakin bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam kasus penganiayaan bahwa kedudukan visum et repertum yang secara tegas dapat dinyatakan dalam KUHAP maka visum et repertum akan dapat membantu hakim untuk mengungkapkan argumentasi hukum yang merupakan suatu ketrampilan ilmiah yang bermanfaat untuk dijadikan pijakan oleh para ahli hukum dalam mendapatkan dan memberikan solusi hukum apakah suatu peristiwa itu benar-benar merupakan suatu tindak pidana penganiayaan atau bukan dan apabila terbukti apakah dilakukan dengan sengaja dan telah direncanakan terlebih dahulu atau tidak. Hal ini tidak lain untuk memperoleh kebenaran dalam pemeriksaan perkara sehingga dapat diambil keputusan yang tepat.
Berdasarkan uraian di atas, dan berdasarkan permasalahan atau issue hukum yang penulis temukan, penulis hendak menyusun jurnal dengan judul, “ PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABAIKAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI SURAT DAN KAITANNYA DENGAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PENGANIAYAAN (Studi Kasus dalam Putusan Nomor : 84/Pid.B/2011/PN.KBR)”. B. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian: Penelitian hukum hanya memiliki satu jenis, yaitu penelitian hukum atau legal research sama halnya dengan ilmu hukum yang sui generis yang artinya satu untuk jenisnya sendiri. Peter Mahmud Marzuki yang setuju dengan pendapat Hutchinson, bahwa :“Dikotomi ke dalam penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris adalah menyesatkan karena tidak mempunyai dasar berpijak. Dapat diketahui bahwa yang membuat dikotomi semacam itu tidak paham terhadap ilmu hukum. Begitu juga dikotomi antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris tidak dikenal baik di negara common law system maupun civil law system. (Mukti Fajar Nur Dewata, 2010 :154-155). 2. Sifat Penelitian: Suatu hal yang merupakan pembeda antara ilmu hukum dan ilmu-ilmu sosial adalah ilmu hukum bukan termasuk ke dalam bilangan ilmu perilaku. Ilmu hukum tidak bersifat deskriptif, tetapi preskriptif. (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 41-42). Sebagaimana ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menerapkan standar prosedur, ketentuanketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 22). 3. Pendekatan Penelitian: Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun akademis, (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 134). Dalam jurnal ini penulis melakukan studi kasus terhadap pertimbangan hakim dalam putusan nomor : 84/Pid.B/2011/PN.KBR). C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hakim adalah salah satu pejabat negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili, di mana hakim di pengadilan memiliki kedudukan yang tinggi sebagai ketua dalam sidang peradilan, yang berwenang mengadili terdakwa kedudukan yang tinggi sebagai ketua dalam sidang peradilan, yang berwenang mengadili terdakwa. Hakim sebagai salah satu aparat negara yang berwenang untuk menegakkan hukum di negara ini. Di mana penegakan hukum sebagai satu persoalan yang serius bagi bangsa Indonesia. Penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen bangsa diantaranya adalah hakim (lhami Bisri, 2004 : 128). Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981, Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata “mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan. Tata cara dan proses persidangan yang ada, sebelum seorang terdakwa dijatuhi sanksi terlebih dahulu ia akan menjalani proses pembuktian dalam peradilan. Dalam proses pembuktian itu akan ditemukan fakta-fakta hukum yangpada nantinya akan dijadikan pertimbangan dan argumentasi hukum Hakim dalam memutus suatu perkara. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, “ Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ini dikenal dengan sistem “ Negatief Wettelijk” dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Jadi didalam pasal tersebut yang diperlukan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidanakepada seseorang adalah: a. Adanya dua bukti yang sah (sekurang-kurangnya); b. Keyakinan; c. Bahwa tindak pidana tersebut benar terjadi; d. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat; Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki pertimbangan-pertimbangan dan argumentasi hukumnya. Disamping berdasarkan pasal-pasal yang diterapkan terhadap terdakwa yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan
kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilan masyarakat dan sesungguhnya juga didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Setelah memeriksa perkara Hakim selanjutnya menyampaikan argumentasi hukum sebelum memutuskan perkara tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Argumentasi hukum hakim merupakan pembuktian unsurunsur dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum. Sebelum mengambil putusan, hakim terlebih dahulu menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan. Untuk mengetahui argumentasi hukum hakim lebih rinci dan membuktikan terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa dapat dilihat dari unsurunsur yang terdapat dalam pasal-pasal yang diterapkan terhadap terdakwa. Hakim di dalam menjatuhkan
suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk
pemidanaan yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana, tetapi dapat juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan
dijatuhkan oleh hakim apabila
pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidak cermatan, baik yang bersifat formal maupun meteriil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Jika hal-hal negatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendak lahir, tumbuh dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasaan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat menjadi tolok ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi kalangan teoretisi maupun praktisi hukum serta kepuasan nurani
tersendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi (Lilik Mulyadi 2007 : 25). Pertimbangan Hakim merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu putusan atas suatu perkara yang diperiksa, demikian juga argumentasi hukum Hakim Pengadilan Negeri Koto Baru dalam memeriksa dan memutus perkara penganiayaan dengan terdakwa bernama Nofebri pgl Febri. Hakim Pengadilan Negeri Koto Baru dalam menyampaikan pertimbangan hukum telah mengabaikan visum et repertum sebagai alat bukti surat. Dalam pemeriksaan kasus ini visum et repertum yang dibuat oleh dr. Desy afriyanti dengan hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa korban mengalami penganiayaan fisik sehingga hakim akan mempunyai keyakinan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa. Walaupun dalam visum et repertum tersebut telah disimpulkan bahwa terjadi penganiayaan fisik, namun dalam kenyataannya visum et repertum tersebut telah diabaikan hakim Pengadilan Negeri Koto Baru. visum et repertum bukanlah satu-satunya alat bukti mutlak harus ada kesesuaian dengan keterangan terdakwa yang akan dikuatkan dengan adanya visum et repertum tersebut sehingga hakim tetap bebas menjatuhkan putusan dengan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai tindak pidana tersebut yang diperoleh alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti dalam pembuktian di sidang pengadilan. Keberadaan visum et repertum sebagai alat bukti surat yang sah yang dibuat oleh seorang dokter ahli berdasarkan sumpah jabatannya tentang apa yang
dilihat dan
ditemukannya dari benda yang diperiksanya sangatlah penting dalam proses pembuktian di persidangan, karena dengan visum et repertum ini hakim dapat mengambil keputusan dalam menentukan bersalah tidaknya seseorang. Hal ini dikarenakan dalam visum et repertum terdapat uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian kesimpulan. Keterikatan hakim terhadap visum et repertum sebagai alat bukti surat yang sah dapat dilihat pada saat hakim menerima hasil kesimpulan dari visum et repertum, dan
mengambil alih kesimpulan tersebut dan didukung oleh paling sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan hakim bahwa telah terjadi tindak pidana penganiayaan dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka berdasarkan visum et repertum di persidangan, barulah hakim menjatuhkan pidana terhadap orang yang benar-benar bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah sesuai dengan salah satu sistem pembuktian menurut undang undang secara negatif yang dianut oleh peradilan pidana Indonesia berdasarkan Pasal 183 KUHAP, yakni hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila kesalahan terdakwa telah terbukti dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, dan atas keterbuktian itu hakim yakin bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. visum et repertum dikatakan alat bukti surat dinilai sebagai alat bukti yang sempurna dan memiliki kekuatan mengikat bagi hakim, namun demikian kesempurnaan dan kekuatan mengikat tersebut hanyalah secara formal. Pada akhirnya keyakinan hakimlah yang menentukan kekuatan pembuktiannya. visum et repertum tersebut untuk menguatkan bukti-bukti lainnya seperti keterangan saksi serta memberi keyakinan hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa walaupun keterikatan hakim pada visum et repertum adalah tidak mutlak karena kedudukan hakim bebas. Berdasarkan keterangan saksi korban Mori Yulianto Pgl Mori, saksi Anis Pgl Anis yang menerangkan jika saksi korban Mori dipukul bertubi-tubi di bagian kepala dari arah depan dan belakang oleh terdakwa dan kakak-kakak terdakwa sehingga menyebabkan memar dan bengkak dan ada luka lecet pada leher karena terkena kuku Nas (kakak terdakwa) lalu bagian perut korban ditendang oleh Madel (kakak terdakwa) dan terdakwa, dan berdasarkan hasil visum et repertum diterangkan jika tidak terdapat luka dan pembengkakkan dibagian kepala korban, dan luka lecet yang terdapat di leher korban pun diakui korban karena terkena kuku jari Nas (kakak terdakwa) bukan terdakwa, lalu tidak ada kelainan pada bagian perut korban. Hakim Koto Baru menilai bahwa jika korban memang dipukul bertubi-tubi dibagian kepala hingga sempoyongan dan ketika akan berdiri tidak sanggup apalagi harus sanggup lagi seharusnya pada surat visum et repertum tersebut di bagian kepala terjadi memar atau pembengkakan yang cukup hebat namun kenyataannya berdasarkan fakta di persidanganan tidaklah demikian, sehingga dengan demikian bukti surat ini tidaklah dapat
digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Hakim Koto Baru dalam
menyampaikan argumentasi hukumnya bahwa telah
mengabaikan visum et
repertum karena visum et repertum No. V/VER/PUSK/III-2011 yang dikeluarkan oleh Puskesmas Pakan Rabaa tanggal 19 Maret 2011 atas nama Mori Yulianto Pgl Mori, umur 26 tahun yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Desy Afriyanti tidak berlaku. Berdasarkan penjabaran diatas dapat dijelaskan bahwa argumentasi hukum Hakim Koto Baru dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara penganiayaan ini berdasarkan keyakinannya adalah Hakim telah mengabaikan visum et repertum sebagai alat bukti surat karena fakta-fakta dalam persidangan visum et repertum sebagai alat bukti surat tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa sebab hasil visum et repertum yang diterangkan larena tidak lah sama dengan fakta di persidangan karena di dalam fakta persidangan jika tidak ada memar dan pembengkakan yang cukup hebat dibagian kepala dan luka lecet yang terdapat dileher korban. dan korbanpun mengakui luka lecet yang terdapat di leher karena terkena kuku jari Nas (kakak terdakwa) dan bukan karena terdakwa, lalu tidak ada kelainan pada bagian perut korban sehingga terdakwa diputus bebas. Dalam persidangan Anis pemilik Kedai memberi keterangan melihat langsung perkelahian antara terdakwa dan kakak kakak terdakwa (zulnasri pgl nas dan desri mardonal pgl madel) dari jarak sepuluh meter saksi anis melihat terdakwa ikut memukul saksi mori bagian kepala dari arah depan saksi mori namun saksi anis tidak melihat saksi mori memukul terdakwa. keterangan saksi anis tersebut dibantah oleh saksi dodi siswandi. dodi yang sejak awal keributan dimana saksi mori datang kerumah terdakwa sambil marah marah dan berkata kasar dan akhirnya terjadi cekcok mulut mulut antara sdr. Edi dan Zulnasri Pgl Nas dengan saksi Mori hingga terjadi perkelahian antara saksi Mori dan Nas, karena saksi Dodi Siswandi Pgl Dodi tidak ada melihat saksi Anis Pgl Anis di tempat kejadian dan bantahan saksi Dodi tersebut dibenarkan oleh terdakwa karena terdakwa juga tidak ada melihat saksi Anis di tempat kejadian karena saksi Anis berada dikedainya. Berdasarkan hal tersebut diatas, Hakim memberikan pertimbangan bahwa muncul keragu-raguan pada Hakim dan Hakim menilai karena saksi yang memberatkan Terdakwa tidak memberikan keterangannya secara obyektif dan tidak dapat dipercaya secara hukum.
Selain bukti saksi, Penuntut Umum juga mengajukan bukti surat berupa hasil visum et repertum No. V/VER/PUSK/III-2011 yang dikeluarkan oleh Puskesmas Pakan Rabaa tanggal 19 Maret 2011 atas nama Mori Yulianto Pgl Mori, umur 26 tahun yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Desy Afriyanti. Berdasarkan keterangan saksi korban Mori Yulianto Pgl Mori, saksi Anis Pgl Anis yang menerangkan jika saksi korban Mori dipukul bertubi-tubi di bagian kepala dari arah depan dan belakang oleh terdakwa dan kakak-kakak terdakwa sehingga menyebabkan memar dan bengkak dan ada luka lecet pada leher karena terkena kuku Nas (kakakterdakwa) lalu bagian perut korban ditendang oleh Madel (kakak terdakwa) dan terdakwa, dan berdasarkan hasil visum et repertum diterangkan jika tidak terdapat luka dan pembengkakkan dibagian kepala korban, dan luka lecet yang terdapat di leher korban pun diakui korban karena terkena kuku jari Nas (kakak terdakwa) bukan terdakwa, lalu tidak ada kelainan pada bagian perut korban. Tetapi keterangan saksi Dodi Siswandi Pgl Dodi yang memberikan keterangan berbeda dengan saksi Mori Yulianto dan saksi Anis karena saksi Dodi tidak melihat terdakwa Nofebri memukul korban Mori. Dengan demikian Hakim menilai bahwa jika korban memang dipukul bertubitubi dibagian kepala hingga sempoyongan dan ketika akan berdiri tidak sanggup apalagi harus sanggup lagi seharusnya pada surat visum et repertum tersebut dibagian kepala terjadi memar atau pembengkakan yang cukup hebat namun kenyataannya berdasarkan fakta di persidanganan tidaklah demikian, sehingga dengan demikian bukti surat ini tidaklah dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Koto Baru dalam memeriksa perkara di persidangan terdapat perbedaan keterangan saksi-saksi dan terdakwa dalam pembelaanya tidak mengakui bersalah. Dalam hal ini hanya keterangan saksi mori dan saksi anis yang telah mengatakan terdakwa menganiaya saksi mori.atas mendengar keterangan saksi dodi maka hakim menilai mori bukanlah orang yang beritikad baik dan terlihat justru yang aktif memulai pertengkaran dengan mendatangi rumah terdakwa dan berkata kasar. serta ketika ditegur oleh saudara edi yang merupakan kakak ipar terdakwa malah menarik baju dan meninjunya tapi tidak kena sasaran kemudian datang Nas yang merupakan kakak kandung terdakwa lalu terjadi perkelahian antara saksi mori dan Nas. Sehingga hakim menilai perbuatan saksi mori memiliki alesan untuk memberikan keterangan tertentu untuk membalas dendam dengan terdakwa. Dengan demikian atas pertimbangan tersebut diatas hakim mengesampingkan keterangan Mori yang menuduh terdakwa melakukan
penganiayaan. dan hakim tidak menemukan adanya bukti bukti bahwa terdakwa melakukan penganiayaan atau kekerasan terhadap saksi Mori maka unsur ini tidak terpenuhi. Berdasarkan penjabaran di atas dapat dijelaskan bahwa hakim Pengadilan Koto Baru telah mengabaikan visum et repertum karena visum et repertum tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dan dalam hasil visum et repertum diterangkan jika terdapat luka dan pembengkakan dibagian kepala korban dan luka lecet yang terdapat dileher korban yang diakui korban dan terdapat kelainan pada perut korban. Tetapi semua itu karena terkena kuku jari Nas dan bukan terdakwa. Menurut keterangan hasil visum et repertum dalam kenyataanya tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Jadi, Hakim Pengadilan Koto Baru dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu memutuskan putusan bebas dengan mempertimbangkan seluruh keterangan saksi - saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan bukti visum et repertum sebagai alat bukti surat dan tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dibuktikan telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban Mori Yulianto sehingga unsur melakukan kekerasan tidak terbukti. D. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang penulis uraikan di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut
:
1. Hakim Koto Baru menilai bahwa jika korban memang dipukul bertubi- tubi dibagian kepala hingga sempoyongan dan ketika akan berdiri tidak sanggup apalagi harus sanggup lagi seharusnya pada surat visum et repertum tersebut dibagian kepala terjadi memar atau pembengkakan yang cukup hebat namun kenyataannya berdasarkan fakta di persidanganan tidaklah demikian, sehingga dengan demikian bukti surat ini tidaklah dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Berdasarkan penjabaran diatas dapat dijelaskan bahwa pertimbangan Hakim Koto Baru dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan perkara penganiayaan ini berdasarkan keyakinannya adalah Hakim telah mengabaikan visum et repertum sebagai alat bukti surat karena fakta-fakta dalam persidangan visum et repertum sebagai alat bukti surat tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa sebab hasil visum et repertum diterangkan jika tidak terdapat pembengkakan di bagian kepala dan luka
lecet yang terdapat dileher korban pun diakui korban karena terkena kuku jari Nas (kakak terdakwa) bukan terdakwa, lalu tidak ada kelainan pada bagian perut korban sehingga terdakwa diputus bebas. 2. Hakim Pengadilan Koto Baru mengabaikan visum et repertum karena visum et repertum tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dan
hasil visum et
repertum sendiri yang diterangkan dalam persidangan dalam kenyataanya tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk membuktikan perbuatan terdakwa. Jadi, Hakim pengadilan Koto Baru dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu memutuskan putusan bebas dengan mempertimbangkan seluruh keterangan saksi saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan bukti visum et repertum sebagai alat bukti surat dan tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat dibuktikan telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban Mori Yulianto sehingga unsur melakukan kekerasan tidak terbukti.
DAFTAR PUSTAKA Ohoiwutun, Y.A.Triana.2006.Profesi Dokter dan Visum Et Repertum(penegakan hukum dan permasalahanya).Malang:Dioma. Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: P.T. Alumni. Harahap,M. Yahya.2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali : Edisi Kedua. Jakarta : Sinar Grafika Murtika, I Ketut dan Djoko Prakoso, 1987. Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: PT Bina Aksara. Syarief, H. Nurbama.1985. Diktat Ilmu Kedokteran Kehakiman. Medan:Ttp. Dewata, Mukti Fajar Nur.2010.Dualisme Penelitian Hukum Normatif &Empiris.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Marzuki, Peter Mahmud.2013,Penelitian Hukum,Jakarta:Kencana Prenada Media Group Bisri, Ilhami. 2004. Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia). Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Mulyadi,
Lilik.2007.Penerapan
Tangga:Jakarta :Ikahi.
Putusan
Hakim
pada
Kekerasan
dalam
Rumah
Korespondensi: 1. Nama : Kristiyadi Alamat: mojosongo No. hp : 085747310500 2. Nama : Donata Bagus Prakoso Alamat: Kepuh RT 01 RW I, Kepuh, Nguter, Sukoharjo Email :
[email protected] No. hp : 085642222561 3. Nama : Mufid Sinung Nugroho Alamat: Sidowayah, Polanharjo, Klaten Email :
[email protected] No. Hp: 085647000617