KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SUTRISNO (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :179/Pid.B/2013/PN.Kdr.)
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Disusun Oleh : VERONIKA RUKMANA E1A109085
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN SUTRISNO (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No :179/Pid.B/2013/PN.Kdr.)
Oleh : VERONIKA RUKMANA E1A109085
Diterima dan Disahkan Pada Tanggal, 19 February 2014
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Veronika Rukmana
NIM
: E1A109085
SKS
: 2009
Program Studi : Ilmu Hukum Bagian
: Hukum Acara Pidana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, 19 February 2014 Yang Membuat Pernyataan,
Veronika Rukmana E1A109085
iv
MOTO PENULIS
Apapun tugas hidup anda, lakukan dengan baik. Seseorang semestinya melakukan pekerjaannya sedemikian baik sehingga mereka yang masih hidup, yang sudah mati, dan yang belum lahir tidak mampu melakukannya lebih baik lagi.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN
SUTRISNO
(Tinjauan
Yuridis
Terhadap
Putusan
No
:179/Pid.B/2013/PN.Kdr.) Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman .Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada: 1. Dr. Angkasa,SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Handri Wirastuti Sawitri,S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini; 3. Pranoto,S.H.,M.H selaku Dosen Pembimbing II atas segala arahan dan masukan untuk skripsi ini; 4. Dr Hibnu Nugroho, S.H., M.H.selaku Dosen penguji atas semua masukan dan ilmu yang berharga untuk penulis; 5. Kepada kedua orang tua saya Dedy Hardoyo (Liem Kok Yung) dan Agustin Sri Handayani yang telah memberi motivasi dan dukungan saya untuk lulus;
vi
6. Kepada kedua kakak saya Yohanes Tri Setiawan dan Immanuel Kurniawan yang selalu membantu dalam kesulitan dalam penulis; Penelitian ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.
Purwokerto, 19 Februari 2014
Veronika Rukmana
vii
PERSEMBAHAN
1. Kepada Andreas Nugroho Biantara selaku pimpinan Indra Car Audio, yang selalu memberikan toleransi waktu dan dukungan kepada penulis; 2. Dimas Fadjrian, yang telah memberikan dukungan, dan menjadi penyemangat serta senantiasa mendampingi penulis selama menyelesaikan skripsi ini; 3. Elisabeth astri Purani, dan teman-teman lain yang telah memberikan dukungan , saran dan semangat untuk penulis menyelesaikan skipsi ini; 4. Pegawai/ Staf Akademik Fakultas Hukum Universitas Jendral Sudirman Purwokerto atas bantuannya selama perkuliahan hingga penulisan karya ini sebagai tugas akhir; 5. Semua teman-teman FH Paralel 2009, FH Paralel 2010, FH Paralel 2011 dan FH Paralel 2012 yang selalu membantu selama perkuliahan hingga penulisan karya ini sebagai tugas akhir; 6. Dan semua pihak yang selau mendukung saya ,yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Purwokerto,19 Februari 2014
Veronika Rukmana
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................. i HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN................................................................... ii SURAT PERNYATAAN .......................................................................... iii MOTO PENULIS...................................................................................... iv KATA PENGANTAR............................................................................... v PERSEMBAHAN ..................................................................................... vii DAFTAR ISI.............................................................................................. viii ABSTRAK ................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 2. Perumusan Masalah............................................................. 5 3. Tujuan Penelitian................................................................. 5 4. Kegunaan Penelitian............................................................ 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ..................... 7 B. Asas–Asas Hukum Acara Pidana ........................................ 9 C. Pembuktian .......................................................................... 22 a. Pengertian dan Tujuan Pembuktian ................................ 22 b. Sistem Pembuktian ......................................................... 25
ix
D. Alat Bukti Menurut KUHAP.............................................. 30 E. Pengertian dan Macam-Macam Visum Et Repertum.......... 56 1. Pengertian Visum Et Repertum..................................... 56 2. Macam-Macam Visum Et Repertum ............................ 59 F. Syarat Alat Bukti Visum Et Repertum ................................ 63 G. Tindak Pidana Penganiayaan............................................... 64 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan ...................... 64 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan .................. 65 BAB III
METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ............................................................. 69 B. Spesifikasi Penelitian........................................................... 69 C. Sumber Data ........................................................................ 69 D. Metode Pengumpulan Data ................................................. 70 E. Metode Penyajian Data........................................................ 71 F. Metode Analisis Data .......................................................... 71
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian.................................................................... 72 B. Pembahasan ......................................................................... 84
BAB V
PENUTUP A. Simpulan.............................................................................. 111 B. Saran .................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
x
ABSTRAK
Penelitian ini mengambil judul Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisnoserta bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif. Hasil Penelitian ini Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis terhadap Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) oleh karena Visum et Repertum tersebut dibuat oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri, sesuai dengan pasal 187 huruf c KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sah. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan No :179/Pid.b/2013/PN.Kdr, sudah adanya minimal dua alat bukti yaitu adanya keterangan saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit dan juga sudah dipertimbangkan keterangan terdakwa yang mengakui perbuatannya sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa sebagai pelaku tindak pidana serta Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa.
Kata kunci: Pembuktian, Visum Et Repertum , Penganiayaan
xi
ABSTRACT
This study takes the title Visum Et Repertum Strength of Evidence in Crime's persecution Sutrisno (Judicial Review against Decision No.: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) The problem in this study is how the Strength of Evidence Visum Et Repertum in Crime Sutrisno's persecution and how the legal reasoning of judges in Crime Sutrisno's persecution. To address these problems, the method used is normative, the data sources in the form of secondary data. The data presented in the form of the description in the stacking systematically with qualitative analysis. The results of this study Visum Et Repertum Strength of Evidence in Crime's persecution Sutrisno (Judicial Review of the Decision No.: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr.) Because Visum et Repertum was made by an expert, ie, a physician the RS Bhayangkara Kediri, in accordance with article 187 c Criminal Code, the proof can be used as legal evidence that has probative force is legitimate. Dropping Basic Considerations in Criminal Justice in Decision No: 179/Pid.b/2013/PN.Kdr, already the existence of at least two items of evidence, namely the testimony of witnesses and documentary evidence in the form of Visum et Repertum No.. VER/96/V/2013/Rumkit and also considered the testimony of the defendant confessed to the judge that the conviction gained as a criminal defendant and the judges also consider aggravating and relieve the defendant.
Keywords: Evidence, Visum Et Repertum, Persecution
xii
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Proses pembuktian memegang peran yang sangat penting dalam penyelesaian suatu tindak pidana dimuka persidangan pengadilan. Penerapan hukum materil dalam kasus – kasus kongkrit yang dihadapi dipengadilan, kasus mecerminkan atau mewujudkan keadilan prosedural disamping keadilan substantife, artinya Hakim dalam menerapkan ketentuan hukum materil harus berdasarkan ketentuan hukum acara pidana, oleh karena itu dikatakan bahwa ketentuan hukum acara pidana bertujuan untuk mempertahankan hukum pidana materil. Fungsi hukum acara pidana menurut van Bemmelen adalah : 1. Mencari dan menemukan kebenaran (materil). 2. Pemberian keputusan oleh hakim. 3. Pelaksanaan keputusan hakim. 1
Berdasarkan pendapat tersebut hukum acara pidana dalam rangka penegakan hukum pidana menduduki peran yang sangat penting dan menentukan, khususnya dalam rangka mencari dan menemukan kebenaran materil. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan
1
Andi Hamzah,.2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia hal.18.
2
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat 2 yang menyatakan “ Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas, maka dalam proses penyelesaian
perkara
pidana
penegak
hukum
wajib
mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1) KUHAP , yaitu “ Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, terdapat pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP menyatakan: “ Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
3
Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Terkait dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Keterangan ahli yang dimaksud yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti. Bukti tersebut berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggung jawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda-tanda kekerasan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara
4
tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus, menunjukkan peranan yang cukup penting bagi tindakan pihak kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian terhadap unsur tindak pidana dari hasil pemeriksaan yang termuat dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak kepolisian dalam mengusut suatu kasus. Keberadaan Visum et Repertum sungguh sangat penting, hal ini dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik Polri tanpa bantuan dari orang yang ahli di bidangnya terutama bidang kedokteran. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bidang kedokteran forensik sangat diperlukan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari seorang terdakwa. Yang menjadi salah satu alat bukti dalam tindak pidana penganiayaan iniadalah Visum Et Repertum Rumah Sakit Bhayangkara Kediri No. VER / 96 / V/ 2013 / Rumkityang dibuat dan ditandatangai oleh dr. T Wahyudi W Dokter Pada Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, yang telah melakukan pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 28 Mei 2013 dengan hasil pemeriksaan Kepala terdapat gigi seri pertama kiri atas lepas serta saat dilakukan
5
pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul, oleh karena itu mendorong Penulis melakukan penelitian dengan judul Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Sutrisno (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No:179/Pid.B/2013/PN.Kdr)
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan hal-hal yang telah di uraikan di atas, maka penulis merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana penganiayaan
yang
dilakukan
Sutrisno
dalam
Putusan
Nomor:
179/Pid.B/2013/PN.Kdr? 2. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr? 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
6
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan infomasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Sutrisno dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum, praktisi maupun akademisi dalam rangka memberi pengetahuan tentang kekuatan pembuktian Visum Et Repertum dalam tindak Pidana penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan dari hukum pidana, karena keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling terkait. Untuk mengetahui arti hukum acara pidana maka harus mengetahui dahulu tentang hukum pidana. Hukum pidana dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Hukum pidana materiil yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan, dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. b. Hukum pidana formil yang mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. 2 Pengertian hukum acara pidana tidak secara jelas didefinisikan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), hanya memberikan pengertian-pengertian mengenai bagian-bagian dari hukum acara pidana, seperti penyelidikan, penyidikan, penangkapan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain. Untuk memahami apa hukum acara pidana itu, maka di bawah ini ada beberapa definisi hukum acara pidana menurut para sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut :
2
Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. 2001. Hal. 4.
8
J. Dc Bosch Kemper 3 Hukum Acara Pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturanperaturan, undang-undang yang mengatur hak Negara untuk menghukum bilamana Undang-undang pidana itu dilanggar. R. Soesilo 4 Hukum Acara Pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh kaputusan hakim dan cara bagaimana isi putusan itu harus dilakukan. “Menurut Van Bemmelen 5 Seperti yang dikutip oleh R. Atang Ranoemihardjo menyatakan bahwa kedua definisi di atas agak sempit dan kurang tepat, sebab keduanya menitikberatkan kepada cara bagaimana hukum pidana materiil harus dilaksanakan dan karenanya diabaikan tugas utama dari hukum acara pidana yaitu mencari dan mendapatkan kebenaran selengkap-lengkapnya, tentang apakah perbuatan itu terjadi dan siapakah yang dapat dipersalahkan. Jadi dapat dikatakan tidak tepat karena hukum acara pidana tidak selalu dapat melaksanakan hukum pidana materiil”. Sedangkan menurut Van Bemmelen seperti yang dikutip Andi Hamzah 6 , mengatakan bahwa pengertian Hukum Acara Pidana adalah : “Ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan Negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-Undang pidana, yaitu sebagai berikut: 1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;
3
Andi Hamzah, Bungan Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986,Hal 16. 4 R Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum), Bogor: Politeria, 1982. Hal 3 5 R. Atang Ranoemihardjo. Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito. 1983. Hal. 11. 6 Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6.
9
5. Hakim memberikan keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib”. Definisi yang diberikan oleh Van Bemmelen 7 dikatakan lebih lengkap dan tepat karena dalam definisi tersebut merinci pula substansi hukum acara pidana seperti disebutkannya tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, sampai pada proses di pengadilan. Jadi bukan permulaan dan akhirnya saja.
Pengertian hukurn acara pidana sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana, pada hakekatnya tujuan yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran dari suatu perkara pidana. Menurut R. Soesilo 8 , tujuan dari hukum acara pidana adalah sebagai berikut: “Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pada hakim dalam menyelidiki, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus mendasarkan hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas yang selain berpengalaman luas, berpendidikan yang bermutu dan berotak yang cerdas, juga berkepribadian yang tangguh, yang kuat mengelakkan dan menolak segala godaan.” B. Azas-azas Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yang telah diletakkan di dalam undang-undang, baik pada 7
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 6. Ibid. Hal. 19.
8
10
waktu pemeriksaan permulaan maupun pada waktu persidangan pengadilan. Terdapat asas-asas dalam hukum acara pidana yang menjadi patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Makna asas-asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum. Sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan sebagian yang lain berasal dari pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta Yurisprudensi. Rumusan pengertian asas-asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum. Asas-asas penting yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana : a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan adalah suatu asas dimana suatu proses peradilan diharapkan dapat dilaksanakan secara cepat dan sederhana sehingga biayanyapun ringan, sehingga tidak menghabiskan anggaran Negara terlalu besar dan tidak memberatkan pada pihak yang berperkara. Tekanan pada peradilan cepat atau lazim disebut contante justitie semakin ditekankan dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam penjelasan umum butir 3 e dikatakan:
11
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Penjelasan umum tersebut dijabarkan dalam banyak pasal dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya Pasal-pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum. Hal ini mendorong penyidik, penuntut umum dan hakim untuk mempercepat penyelesaian perkara tersebut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 50 juga mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk “segera” diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu di mulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2), segera diadili oleh pengadilan, ayat (3). Pasal 102 ayat (1) KUHAP juga mengatakan penyelidik yang menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib “segera” melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Selain bagi penyelidik berlaku juga bagi penyidik dalam hal yang sama, penyidik juga harus segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum. Penuntut umumpun menurut
12
Pasal 140 ayat (1) KUHAP diperintahkan untuk secepatnya membuat surat dakwaan. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menghendaki peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan. MenurutYahya Harahap 9 menjabarkan mengenai asas sederhana dan biaya ringan adalah sebagai berikut : 1) Penggabungan pemeriksaan perkara dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 2) Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai pelaksana dari prinsip menyederhanakan proses penahanan. 3) Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungsional, nyatanyata member makna menyederhanakan penanganan fungsi dan wewenang penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolakbalik, tumpang tindih atau overlappingdan saling bertentangan.
b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocence). Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of innocence) adalah asas yang wajib menganggap bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan tidak bersalah
sampai
adanya
putusan
pengadilan
yang
menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini disebutkan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf c yang merumuskan : “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapankan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak 9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid I)., Jakarta : Pustaka Kartini, 2001, Hal 54.
13
bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Menurut M. Yahya Harahap 10 menyatakan pendapatnya yaitu : “Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur”. Prinsip akusatur menemspatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subjek, bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/terdakwa harus didudukan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Karena itulah pemeriksaan ditujukan”.
c. Asas Oportunitas Hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum. Hakim tidak dapat meminta supaya suatu delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum karena penuntut umum memiliki hak penuntutan, dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas Oportunitas adalah adanya hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke Pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan pada kejaksaan (Pasal 6 butir a dan b serta Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP). Pasal 6 butir a dan b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : 10
Ibid. Hal. 38.
14
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundangini untuk bertindak sebagai penuntut umum sertamelaksanakan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang olehundangundang ini untuk melakukan penuntutan danmelaksanakan penetapan hakim. Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : Pasal 137 Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan'melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Pasal 138 (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Pasal 139 Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 140 (1) Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikandapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. (2) a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangkadan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.
15
c.
Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepadatersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umumdapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.
Pasal 141 Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnyadalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampirbersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dankepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadappenggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yanglain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentinganpemeriksaan. Pasal 142 Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuatbeberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yangtidak termasuk dalm ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukanpenuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Pasal 143 (1) Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri denganpermintaan agar. segera mengadili perkara tersebut disertai dengansurat dakwaan. (2) Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal danditandatangani serta berisi : a. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidanayang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (3) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. (4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
16
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Pasal 144 (1) Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Sebagai kebalikan dari asas ini adalah asas legalitas, asas ini mengandung arti bahwa jaksa penuntut umum tidak diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang jika kepentingan umum akan dirugikan. A.Z. Abidin Farid 11 memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.”
d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya anak-anak. 11
A.Z. Abidin Farid, Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS, 1981. Hal. 12.
17
Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan sebagai berikut : “Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”. Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. Andi Hamzah 12 berpendapat mengenai hal ini bahwa : “Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas memberikan kesaksiannya”. e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum Asas semua orang diperlakukan sama di depan hukum maksudnya ialah hukum tidak membeda-bedakan siapapun tersangkanya atau apapun jabatannya dalam melakukan pemeriksaan. 12
Andi Hamzah.Opcit.Hal. 18.
18
Romli Atmasasmita 13 dalam bukunya mengatakan bahwa : “Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di Indonesia.” Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat (1) tersebut merumuskan : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang.” 14 f. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Hakim-hakim tersebut diangkat oleh kepala negara secara tetap. Ini disebut dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merumuskan : “Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di negeri Belanda yang dahulu menganut sistem juri, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem itu maka Jerman juga tidak menganutnya.” Menurut D. Simons 15 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, menyatakan sebagai berikut: 13 14
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Bina Cipta, 1983.hal.30. Ibid. Hal. 20.
19
“Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun 1813 dihapuskan. Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari Inggris. Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka Jerman juga tidak menganutnya.”
g. Asas Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum Asas berhak mendapat bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa adalah suatu upaya yang secara filosifi melindungi hak asasi manusia dari diri tersangka maupun terdakwa dalam suatu perkara untuk memperoleh bantuan hukum dari seorang penasehat hukum. Ketentuan Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur tentang bantuan hukum dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasankebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai berikut : a.) Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan. b.) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan. c.) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu. d.) Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum, kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara. e.) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan. f.) Penasihat hukum berhak mengirimkan dan menerima surat dari tersangka / terdakwa. 16 Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak-hak tersebut. Kebebasan-kebebasan ini hanya dari 15
M Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika . 2001.hal. 22. 16 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 21.
20
segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, social, dan ekonomi. Segisegi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata. Menurut Adnan Buyung Nasution 17 “setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas masalah ini. Persoalannya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas, tingkat tuna huruf tinggi dan keadaan kesehatan yang memburuk.” h. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitor) Asas akusator mempunyai arti bahwa menempatkan kedudukan Terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, terdakwa tidak lagi dipandang sebagai obyek. Sedangkan pemahaman dalam asas inkisitor, terdakwa dipandang sebagai obyek pemeriksaan. Asas inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting, sehingga untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka sering digunakan tindakan kekerasan ataupun penganiayaan. Asas akusatoir ini telah ditunjukkan dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berisi ketentuan untuk memberikan kebebasan kepada tersangka maupun terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukumnya. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini.” 17
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
21
Sesuai dengan hak-hak asasi manusia yang sudah menjadi ketentuan universal, maka asas inkisitor ini telah ditinggalkan oleh banyak negeri beradab. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum sejak awal pemeriksaan ditingkat penyidikan. Selain itu juga dibuktikan dengan berubahnya pola sistem pembuktian di mana alat-alat bukti berupa pengakuan diganti dengan “keterangan terdakwa”. Dalam bukunya, Andi Hamzah 18 mengatakan bahwa: “Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator itu. Ini berarti perbedaaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.”
i. Asas Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi, ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi secara lisan antara hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalamUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa : a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi. 18
Andi Hamzah. Loc.Cit. Hal. 21.
22
b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Sedangkan pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Bambang Poernom 19 berpendapat bahwa : “Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa secara tertutup.”
C. Sistem Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo 20 yaitu: 19
Bambang Poernomo, Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79. 20 Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia Indonesia. 1983. Hal. 12.
23
“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui: 1. Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pemeriksaan di persidangan; 4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan. Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara pidana secara keseluruhan.” 1. Penyidikan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.” 2. Penuntutan Pasal
137
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
menyebutkan : “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.” 3. Pemeriksaan di Persidangan Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan : “Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir.”
24
4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal
270 Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa : (1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan pidanaperampasan kemerdekaan. (2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk palinglama dua tahun. Sistem atau teori pembuktian dalam mengungkap tindak pidana di dalam hukum acara pidana terdapat beberapa macam, antara negara yang satu dengan yang lain berbeda-beda terutama di negara-negara Eropa Kontinental yang dianut Belanda, Perancis, dan di Indonesia sendiri yang menekankan pada penilaian pembuktian ada ditangan hakim berbeda dengan negara-negara Anglo Saxon yang dianut oleh Amerika Serikat yang menggunakan sistem juri yang menentukan salah tidaknya terdakwa sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana. Beberapa ajaran mengenai teori atau sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yaitu :
25
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positive Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa. 21 Menurut D. Simons 22 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah: “Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana.”
Teori ini menekankan pada ketentuan perundangan sehingga hakim hanya sebagai corong undang-undang yang hanya mengucapkan sesuai dengan bunyi undang-undang yang terkait. Keuntungan dari sistem ini adalah pembuktian bersifat obyektif yang artinya hakim wajib benar-benar menerapkan
mencari dan menemukan kebenaran mengenai salah atau
21 22
Yahya Harahap.Op.cit. Hal.257. Andi Hamzah.Op.cit. Hal.251.
26
tidaknya terdakwa sesuai dengan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang 23 . b. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) M. Yahya Harahap 24 berpendapat: “Dalam sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu atau yang disebut juga sistem pembuktian conviction-in time, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan hakim”. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan diambil oleh hakim secara langsung dengan mengabaikan alat-alat bukti yang ada.”
Sistem pembuktian ini mendasarkan bahwa dalam memutus suatu perkara pidana hakim mendasarkan pada hati nuraninya sendiri. Dalam hal ini maka nilai pembuktian berada penuh ditangan hakim dan bersifat subyektif karena segala sesuatunya itu hakim yang menentukan. Seorang hakim dapat saja menjatuhkan putusan hanya dengan keyakinannya tanpa melihat pembuktian melalui alat-alat bukti yang cukup dipersidangan sehingga dapat timbul kemungkinan bahwa hakim dapat saja melepaskan terdakwa dari tindak pidana yang dituduhkan kepadanya walaupun dipersidangan telah cukup bukti kalau terdakwa benar-benar bersalah dan hakim bisa saja memutus terdakwa bersalah atas dakwaan yang didakwakan
kepadanya
walaupun
dalam
persidangan
pembuktian
terdakwa tidak terbukti bersalah berdasarkan alat-alat bukti yang sah. 23 24
Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 248. Yahya Harahap.Op.cit. Hal. 256.
27
c. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Conviction Raisonee) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis hampir sama dengan teori pembuktian keyakinan melulu, akan tetapi teori ini faktor kebebasan hakim lebih dibatasi dimana setiap keyakinan hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasanalasan yang jelas, hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasanalasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil putusan tersebut. Keyakinan hakim harus mendasar dengan alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima secara logika 25 . “Sistem atau teori pembuktian atas alasan yang logis merupakan jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Pertama, sistem atau teori pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasanalasan keyakinannya (vreije bewijsheorie) yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie). Persamaan keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah.sedangkan perbedaan keduanya adalah jika keyakinan hakim atas alasan yang logis pangkal tolaknya ada keyakian hakim sedangkan yang pembuktian berdasarkan undangundang secara negatif pada ketentuan undang-undang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang sedangkan pada yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.” 26
25 26
Andi Hamzah.Op.cit. Hal. 249. Yahya Harahap.Ibid. Hal. 257.
28
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief wettelijk) Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. 27 Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. e. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sistem pembuktian yang dianut olehUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sistem atau teori
pembuktian
berdasarkan
Undang-Undang
Negatif
(negatief
wettelijke). Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 183Undang-Undang 27
Yahya Harahap.Op.cit. Hal.279.
29
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang isinya: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 28 M. Yahya Harahap 29 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah 30 : “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.” 28
Ibid. Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 30 Andi Hamzah. Opcit.Hal. 264. 29
30
R. Soesilo 31 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu.
D. Alat-Alat Bukti Dalam KUHAP Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Dari alat bukti di atas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran materiil dari kejadian yang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat bukti tersebut. Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1)KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya 31
R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109.
31
terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.32 Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui. Halhal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)diterapkan : 1. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi; 2. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh. 33
32
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.Jakarta : Sinar Grafika. 2002. Hal.252. 33Ibid. Hal.276.
32
a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir (26) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merumuskan bahwa: “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidik, penuntutan dan pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.” Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah
33
atau janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut :
34
"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu". Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : a. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki kekuatan nilai pembuktian. b. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. c. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna
35
pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. 34 Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin 35 dalam bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan sebagai berikut : "Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataankenyataan, dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataankenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut". Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, (Pasal 168 butir b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); 34
M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266. Leden Marpaung. Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.
35
36
c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, (Pasal 168 butir c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana); d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undangundang. Kemudian dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu: a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis). Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan
37
minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah : 1) Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; 2) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.36 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam Pasal 185 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan: a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. b. Keterangan Ahli Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan
dengan
ilmu
pengetahuannya
dalam
perkara
yang
dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, yaitu:
36
Ibid. Hal.288.
38
Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana). Penjelasan : 1. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. 2. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Maka setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangan ahli secara lisan di persidangan jo. Pasal 180 ayat (1), Pasal 186 dan penjelasan jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, jo. Pasal 184 ayat (1) sub b KUHAP, jo. Stb. 1937 No.350, yang mendasarkan dari berbagai pasal tersebut, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat meliputi : 1. Ahli kedokteran forensik atau; 2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensik (jo.Stb.1937 no.3500; atau; 3. Ahli lainnya, yaitu keterangan yang diberikan oleh orang yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria Pasal 1 butir 28 KUHAP; atau 4. Saksi ahli yaitu keterangan orang ahli yang menyaksikan tentang suatu hal (pokok soal, materi pokok) yang diperlukan, kemudian memeriksa (meneliti, menganalisa) serta mengemukakan pendapatnya berdasarkan keahliannya yaitu, selanjutnya dengan menarik kesimpulan daripadanya, untuk membuat jelas suatu perkara pidana, yang berguna bagi kepentingan pemeriksaan. 37 Sedangkan dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menerangkan lebih lanjut mengenai pengertian keterangan ahli, yaitu: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk 37
Ibid.Hal.72‐73.
39
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.” Pasal 184 (1)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan
perkara
pidana
sangat
dibutuhkan
dikarenakan
perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan. 38
38
R. Soeparmono. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. 2002. Hal. 3.
40
Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Salah satu syarat seorang ahli untuk memberikan keterangan adalah disumpah dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuannya dan syarat yang lainnya
adalah
ahli
memberikan
keterangan
berdasarkan
ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka penyidik bahwa ahli akan memberi keterangan menurut pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi ada pengecualian bagi ahli untuk tidak memberikan keterangannya dalam pengadilan yaitu dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Ahli dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan kepada ahli dalam kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun
41
mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya. IKetut Martika dan Djoko Prakoso 39 berpendapat, bahwa: Keterangan ahli dalam KUHAP dapat dilakukan pemeriksaan ulang atau penelitian ulang karena diperlukan/ dibutuhkan oleh hakim kepada ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut yang diatur dalam Pasal 180 (2),(3), dan (4) KUHAP. Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang 39
I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta. 1992. Hal. 66.
42
perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadaan tertentu atau suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan. Yahya Harahap 40 berpendapat: Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undangundang. Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam Pasal 133 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu : a) Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli; b) Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP. 41
40 41
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.299. Ibid.Hal. 303.
43
Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya. Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu : 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. 2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain. 42 Suatu kasus akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu keterangn ahli yang berupa laporan dan juga berasal dari keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berupa laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang 42
Ibid.Hal. 253.
44
sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c. Surat A Plito seperti yang dikutip oleh Martiman Prodjohamidjojo 43 : “Pengertian surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menterjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan, surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabatpejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.” Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. 44 Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili.
43 44
Martiman Prodjohamidjojo. Komentar Atas KUHAP. Jakarta : Pradya Paramitha. 1983. Hal. 24. Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 276.
45
Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf cUndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Rumusan dalam Pasal 187 huruf dUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), berbeda dengan ketentuan dalam huruf a,b dan c karena huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu atau kalau alat pembuktian yang lain itu
46
terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat. 45 Berdasarkan pasal diatas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan. Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan. Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti 45
Yahya Harahap.Op.cit. Hal.309.
47
dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya. Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap 46 jika dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : a. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; b. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya; c. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; d. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa. 2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya 46
Ibid. Hal.309‐312.
48
hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : a. Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkirkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang. b. Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. c. Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan. d. Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau karena keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari bunyi Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijumpai kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara
49
pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjukpetunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjuk-petunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti. 47 Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi 47
I Ketut Martika & Djoko Prakoso.Op.cit. Hal. 44.
50
bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Bunyi pasal 188 ayat (3)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan alat bukti petunjuk sebagai syarat dan dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjatuhan hukuman. Syarat-syarat untuk dapat dijadikan petunjuk sebagai alat bukti haruslah: a. Mempunyai persesuaian atau sama lain atas perbuatan yang terjadi. b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan sengaja kejahatan yang terjadi. c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan. 48 Penggunaan alat bukti petunjuk dalam praktek persidangan sangat dihindari, bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh 48
Andi Hamzah dan Indra Dahlan.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar.Jakarta.: Ghalia. Indonesia. 1984. Hal. 263.
51
gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya. Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari : a) Keterangan saksi b) Surat c) Keterangan terdakwa Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masingmasing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika tidak ada alat bukti lain. Djisman Samosir 49 berpendapat bahwa: “Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi 49
C. Djisman Samosir. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana.Bandung. Binacipta. 1985. Hal. 90.
52
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan hati nuraninya.” Menurut Yahya Harahap 50 sendiri berpendapat bahwa nilai kekuatan pembuktian petunjuk serupa dengan sifat dan kekuatan alat bukti yang lain yakni: a) Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. b) Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain. e. Keterangan terdakwa Pengertian keterangan terdakwa diatur dalam Pasal 189 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merumuskan: “Keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada dalam HIR, akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya
50
Yahya Harahap. Op.cit. Hal.317.
53
perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP. Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah. 51 Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa. Keterangan terdakwa yang dapat diambil sebagai alat bukti yang sah harus mengandung beberapa asas, yaitu : 1. Keterangan terdakwa dinyatakan disidang pengadilan. 2. Keterangan terdakwa bisa menjadi alat bukti jika dikemukakan disidang pengadilan, baik itu yang berbentuk penjelasan yang diutarakan sendiri, penjelasan ataupun jawaban terdakwa yang diajukan kepadanya oleh hakim, penuntut umum atau penasehat hukum baik yang berbentuk penyangkalan ataupun pengakuan. Ada juga keterangan terdakwa yang dikemukakan diluar persidangan seperti pada waktu penyidikan dan 51
Andi Hamzah.Op.cit. Hal.278.
54
penyelidikan di kepolisian dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang asalkan keterangan didukung oleh suatu alat yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana) dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Selain itu keterangan yang diberikan haruslah dinyatakan di depan penyidik, dicatat dalam berita acara penyidik, kemudian ditanda tangani oleh penyidik dan terdakwa; 3. Keterangan terdakwa berisi tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 4. Keterangan terdakwa hanya mempunyai alat bukti terhadap diri sendiri. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga menjelaskan: Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan
55
hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang
dihadirkan
oleh
jaksa
terkesan
memberatkan
atau
untuk
membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar
56
kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
E. Pengertian dan Macam-Macam Visum Et Repertum 1. Pengertian Visum Et Repertum Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi terdapat dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta merupakan bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu, dan reperta berarti Laporan. Dengan demikian apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa Reperta berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu. Visum et repertum merupakan bentuk tunggal dari kata visa et reperta. Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “visa reperta para dokter
yang dibuat atas sumpah jabatan, yang
diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian. Menurut Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 tahun 1983 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut visum et repertum. Dalam KUHAP tidak
57
disebut visum et repertum tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan pengertian tentang keterangan ahli sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama
Visum. Visum berasal dari
bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan. 52 Abdul Mun’im Idris dalam R. Atang Ranoemihardja, memberikan pengertian visum et repertum sebagai suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang
52
Mun’in Idries Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002 Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta. Hal.10.
58
bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan. 53 Pada dasarnya dalam ilmu kedokteran dan kehakiman ada 3 (tiga) jenis visum et repertum, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Visum et
repertum orang hidup. Adapun Visum et repertum orang hidup, terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: (a). Visum et repertum luka/visum et repertum seketika/visum et repertum defenitif . Visum ini tidak membutuhkan perawatan dan pemeriksaan lanjut sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi luka yang dokter tulis pada bagian kesimpulan visum Et Repertum yakni luka derajat I (satu) atau luka golongan C. Dokter tidak diperkenankan menulis lukapenganiayaan ringan karena ini istilah hukum. (b). Visum et repertum sementara. Visum
ini
membutuhkan
perawatan
dan
pemeriksaan
lanjut
sehinggamenghalangi pekerjaan korban. Kualifikasi lukanya tidak ditentukan dan tidak ditulis oleh dokter pada bagian kesimpulan visum et repertum. (c). Visum et repertum lanjutan. Visum ini dilakukan bilamana luka korban telah dinyatakan sembuh. Alasanlain pembuatannya yaitu korban pindah rumah sakit, korban pindah dokter atau korban pulang paksa. Kedua, Visum et repertum jenasah. 53
Ibid.hal 18
59
Visum ini dilakukan Jika korban meninggal dunia maka dokter membuat visum et repertum jenasah. Dokter menuliskualifikasi luka pada bagian kesimpulan
visum et repertum
kecuali luka korban belum sembuh
ataukorban pindah dokter. Ketiga, Expertise merupakan visum et repertum khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh korban. Misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, rambut, tulang, dan lain-lain. Ada pihak yang mengatakan bahwa expertise bukan termasuk visum et repertum. Ada 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter untuk membuat visum et repertum korban hidup, yakni sebagai berikut: Pertama, Harus tertulis, tidak boleh secara lisan; Kedua, Langsung menyerahkannya kepada dokter,tidak boleh dititip melalui korban atau keluarganya,
serta tidak boleh melalui jasa pos;Ketiga,
Bukan kejadian yang sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan dokter;Keempat, Kelima, Ketujuh,
Ada alasan mengapa korban dibawa kepada dokter;
Ada identitas korban;
Keenam,
Mencantumkan tanggal permintaannya; Kedelapan, Korban
diantar oleh polisi atau jaksa. 2. Macam-Macam Visum Et Repertum a. Visum Et Repertum Korban Hidup 1) Visum Et Repertum
Ada identitas pemintanya;
60
Visum Et Repertum diberikan bila korban setelah diperiksa didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan tugas jabatan atau pencarian. 2) Visum Et Repertum Sementara Visum Et Repertum Sementara diberikan apabila setelah diperiksa, korban perlu dirawat atau diobservasi. Karena korban belum sembuh, Visum Et Repertum sementara tidak memuat kualifikasi luka.Ada 5 manfaat dibuatnya Visum Et Repertum sementara, yaitu: a) Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak, b) Mengarahkan penyelidikan, c) Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara terhadap terdakwa, d) Menentukan tuntutan jaksa, e) Medical record. 54 3) Visum Et Repertum Lanjutan. Visum Et Repertum lanjutan diberikan apabila setelah dirawat atau diobservasikorban sembuh, korban belum sembuh, pindah Rumah Sakit, korban belum sembuh pulang paksa, dan korban meninggal dunia. b. Visum Et Repertum Mayat. Visum
Et
Repertum
mayat
dibuat
berdasar
otopsi
lengkapberdasarkan pemeriksaan luar dan dalam mayat. Visum ini
54
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 135.
61
dibuat untuk mencari sebab kematian serta hubungannya dengan tindak pidana sehingga harus dilakuakan otopsi. 55 Jenazah yang akan dimintakan visum et repertum harus diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah)
atau
pemeriksaan
dalam/autopsi
(pemeriksaan
bedah
jenazah). Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi : a) Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan jaringan jenazah secara teliti dan sistematik b) Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadang kala dilakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti
pemeriksaan
histopatologi,
toksikologi,
serologi,
dan
sebagainya.Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab, jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas. c. Visum Et Repertum Pemeriksaan Ditempat Kejadian. d. Visum Et Repertum Penggalian Mayat. e. Visum Et Repertum Mengenai Umur. 55
I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op. Cit, Hal. 131.
62
f. Visum Et Repertum Psikiatrik. Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. g. Visum Et Repertum Mengenai Barang Bukti: darah, mani, dan sebagainya. Tujuan dari Visum Et Repertum adalah untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan atau fakta-fakta dari barang bukti tersebut atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam bagian pemberitaan, agar supaya hakim dapat mengambil putusannya dengan tepat atas dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut.
Fakta-fakta
tersebut kemudian ditarik suatu “Kesimpulan”, maka atas dasar pendapatnya yang dilandasai pengetahuan yang sebaik-baiknya
63
berdasarkan atas keahliannya tersebut diharapkan agar supaya usaha membantu pemecahan pengungkapan masalahnya menjadi terang (lebih jelas), dan hal mana diserahkan hakim sepenuhnya.
F. Syarat Alat Bukti Visum Et Repertum Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut: a. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal 133 Ayat (2) KUHAP); b. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak Pilisi atau pemeriksa memberikan penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan bedah mayat; c. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan yang telah lampau; d. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat; e. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat. Sedangkan syarat materil visum et repertum adalah menyangkut isi dari visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh
64
korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya.
G. Tindak Pidana Penganiayaan 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia arti penganiayaan adalah: “perlakuan yang sewenang-wenang”. Pengertian yang dimuat dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengertian dalam arti luas, yakni yang menyangkut termasuk “perasaan” atau “bathiniah”. Sedangkan yang dimaksud penganiayaan dalam hukum pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian penganiayaan tidak ada dimuat dalam KUHP, namun kita dapat melihat pengertian penganiayaan menurut pendapat sarjanah, doktrin, dan penjelasan menteri kehakiman. Menurut Mr. M.H. Tirtaamidjaja, pengertian penganiayaan sebagai berikut: “Menganiaya adalah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.” Menurut ilmu pengetahuan (doktrin) pengertian penganiayaan adalah sebagai berikut :
65
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.”
untuk
Berdasarkan doktrin diatas bahwa setiap perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sedangkan menurut penjelasan menteri kehakiman pada waktu pembentukan Pasal 351 KUHP dirumuskan, antara lain : a) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain. b) Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan pada orang lain. Berbeda dengan RUU-KUHP 1993 yang memberikan penafsiran kepada hakim. Penjelasan resmi RUU-KUHP 1993 yang dimuat dalam penjelasan resmi Pasal 451 (20.01) dimuat antara lain sebagai berikut : “perumusan penganiayaan tidak perlu ditentukan secara pasti mengingat kemungkinan perubahan nilai-nilai social dan budaya serta perkembangan dalam dunia kedokteran dan sosiologi”.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai diatas, berikut ini akan diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut.
66
a. Unsur Kesengajaan. Dalam tindak pidana penganiayaan unsur kesengajaan harus diartikan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dengan penafsiran bahwa unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa olmergk), maka seorang baru dikatakan melakukan tindak pidana
penganiayaan,
apabila
orang
itu
mempunyai
maksud
menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu haruslah ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dalam sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas unsur kesengajaan itu
yaitu
kesengajaan
kemungkinan
bahkan
sebagai
maksud,
kesengajaan
kesengajaan
sebagai
kepastian,
sebagai hanya
dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah pada tujuan pelaku.
67
b. Unsur Perbuatan. Yang dimaksud perbuatan dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagaian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, membacok, dan sebagainya. c. Unsur akibat yang berupa rasa sakit atau luka tubuh. Rasa sakit dalam konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, atau tidak enak penderiataan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa pada tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaan tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. Perubahan rupa itu misalnya lecet-lecet pada kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya. Unsur akibat - baik berupa rasa sakit atau luka – dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya, harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan dengan adanya tindak pidana penganiayaan.
68
d. Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya. Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya memang pelaku menghendaki
timbulya
rasa
sakit
atau
luka
dari
perbuatan
(penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk adanya penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka pada tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu bukan menjadi tujuan dari pelaku tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Penganiayaan adalah tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia.
69
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisahdengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya. 56
B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif 57 yaitu suatu penelitian ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengena siapa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu yang dikaitkan dengan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan.
C. Sumber Data Sumber data sekunder adalah sejumlah keterangan atau fakta-fakta yang secara tidak langsung diperoleh melalui bahan dokumen, Peraturan perundang-undangan, laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya. 58 Sumber data sekunder yang digunakan Penulis antara lain : 56
Jhonny, Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Cetakan Ketiga, Bayumedia Publishing, Hal. 296. 57 Soerjono soekanto,1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Cetakan Pertama, UII Press, Hal .10. 58
Ibid.,Hal. 12
70
1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu: norma atau kaidah dasar, peraturan Perundang-undangan. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah : a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c) Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu: bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku literatur atau artikel. Bahan hukum sekunder digunakan dengan pertimbangan bahwa data primer tidak dapat menjelaskan realitas secara lengkap sehingga diperlukan bahan hukum primer dan sekunder sebagai data sekunder untuk melengkapi deskripsi suatu realitas.
D. Metode Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan dilakukan melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan yaitu dengan melihat buku literatur, kumpulan bahan hukum kuliah, dan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi pedoman dalam pembuatan karya tulis ini.
71
E. Metode Pengajian Data Hasil
penelitian
disajikan
dalam
bentuk
uraian-uraian
yang
disusunsecara sistematis, maksudnya adalah keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuakan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Analisis Data Data
yang
diperoleh
akan
dianalisis
dengan
menggunakan
metodenormatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma-norma atau kaidah-kaidah, teoriteori,pengertian-pengertian hukum dan doktrin-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
72
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap putusan perkara pidana Pengadilan Negeri Kediri dengan nomor perkara 179/Pid.B/2013/PN.KDR tentang tindak pidana penganiayaan dan oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu datadata dari putusan tersebut, sebagai berikut:
1.
Duduk Perkara Awal mula perkara ini adalah terdakwa SS, Saksi korban ST dan
Terdakwa sebelumnya adalah suami istri yang menikah pada tahun 2000 akan tetapi pernikahan tersebut berakhir perceraian sekitar bulan Maret 2013,dengan adanya perceraian tersebut terdakwa merasa kesal kepada saksi korban SS selanjutnya terdakwa meminta uang sejumlah Rp. 10.000.000,(sepuluh juta rupiah) sebagai uang gono gini kepada saksi korban SS, meskipun terdakwa sendiri mengetahui bahwa dalam putusan perceraian di Pengadilan Agama Kabupaten. Kediri tidak menjelaskan tentang harta gono gini, dan apabila permintaan terdakwa tidak diberi maka saksi korban SS akan diganggu terus. Pada saat saksi korban SS berada di pasar grosir dengan tujuan kulakan sayuran bertemu terdakwa SS di dalam Pasar Grosir. Kemudian terdakwa mencaci maki saksi korban ST dan minta uang kepada saksi korban ST. Kesal karena tidak diberi uang terdakwa SS melakukan penganiayaan terhadap saksi korban ST
73
dengan melakukan pemukulan terhadap saksi korban SS dengan tangan kanan yang mengengam diayunkan ke bagian mulut saksi korban SS dengan ditekankan (dijetepne) jari telunjuk dengan keras sebanyak 1 kali sehingga menggakibatkan mulut saksi korban SS luka berdarah karena gigi bagian bawah lepas 1 (satu). Dan saksi korban dibawa ke rumah sakit Bhayangkara untuk melakukan Visum Et Repertum dan melaporkannya ke kantor polisi.
2.
Dakwaan Jaksa Dalam perkara, terdakwa SS didakwa jaksa penuntut umum dengan
dakwaan tunggal sebagai berikut : Pada hari Senin tanggal 27 Mei 2013 sekira jam. 12.30 WIB atau setidaktidaknya pada suatu waktu lain dalam tahun 2013 bertempat Dalam Pasar Grosir Kelurahan Ngronggo Kecamatan Kota Kediri atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Kediri, terdakwa SS dengan sengaja telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban ST. Perbuatan mana dilakukan dengan cara pada hari Senin tanggal 27 Mei 2013 sekira jam. 12.30 WIB Saksi korban ST dan terdakwa bertemu di dalam Pasar Grosir terdakwa melakukan pemukulan terhadap saksi korban ST yang dilakukan dengan cara pada saat posisi saling berhadap hadapan dengan jarak kurang lebih 1(satu) meter antara terdakwa dan saksi Siti Kotimah, terdakwa dengan tangan kanan yang mengengam diayunkan ke bagian mulut saksi korban ST dengan ditekankan (dijetepne) jari telunjuk dengan keras sebanyak 1 kali
74
sehingga menggakibatkan mulut saksi korban ST luka berdarah karena gigi bagian bawah lepas 1 (satu). Akibat dari perbuatan terdakwa yang telah melakukan penganiayaan atau pemukulan tersebut, saksi korban ST mengalami luka-luka dengan hasil Visum Et Repertum Rumah Sakit Bhayangkara Kediri NO. VER / 96 / V/ 2013 / Rumkit yang dibuat dan ditandatangai oleh dr. T Wahyudi W Dokter Pada Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, yang telah melakukan pemeriksaan pada hari Selasa tanggal 28 Mei 2013 dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut : - Kepala : terdapat gigi seri pertama kiri atas lepas ; Dengan kesimpulan ditemukan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351(1) KUHP Tentang Tindak Penganiayaan.
3.
Pembuktian a. Keterangan Saksi Untuk membuktikan dakwaannya tersebut, Penuntut Umum di persidangan
telah
mengajukan
saksi-saksi
yang
masing-masing
telah
memberikan
keterangannya di bawah sumpah menurut cara agamanya, yang pada pokoknya sebagai berikut: SAKSI I : ST Memberikan keterangan bahwa saksi sudah pernah diperiksa oleh penyidik sehubungan dengan perkara terdakwa tersebut. Saksi mengatakan kenal dengan terdakwa karena terdakwa dulu mantan suami saksi. Kejadian penganiayaan tersebut terjadi pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013, sekitar pukul 12.30 WIB.
75
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, saksi ada di pasar grosir tersebut dengan tujuan kulakan / mau beli sayuran, dan tidak sengaja bertemu dengan terdakwa kemudian terdakwa mencaci maki saksi dan minta uang kepada saksi sebesar Rp.,10.000.000,-(sepuluh juita rupiah) katanya uang gono gini, kalau tidak saksi kasih, saksi akan diteror dan diancam oleh terdakwa. Saksi juga menjelaskan bahwa saksi dan terdakwa dalam perceraiannya di Kantor Pengadilan Agama terdakwa tidak mengajukan hak gono gini. Selama terdakwa menikah dengan saksi, terdakwa tidak pernah memukul, hanya saja terdakwa pernah menendang dan menjambak saksi. Sebelum menikah, terdakwa adalah seorang duda dan saksi janda bawa anak satu, kemudian saksi dan terdakwa pacaran dan terdakwa memang sering mencaci maki saksi, tapi saksi mau menikah dengan terdakwa karena sudah terlanjur cinta. Pada saat kejadian saksi dipukul oleh terdakwa saat itu, karena terdakwa minta uang gono gini kepada saksi sebesar Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah),
padahal pada saat terdakwa menikah dengan saksi, terdakwa tidak
membawa apa-apa dan tidak kaya, kadang kerja kadang tidak lalu kerja jadi kuli bangunan. Pada saat kejadian saksi dipukul terdakwa kena gigi saksi sampai patah dengan menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan setelah dipukul terdakwa sebanyak satu kali hingga keluar darah dan pada saat itu ada saksinya. Saksi pusing beberapa hari dan tidak bisa jualan selama dua atau tiga minggu dan karena takut, tensi saksi yang biasanya 120 jadi naik menjadi 160, dan sebelum
76
dipukul terdakwa gigi saksi utuh. Setelah kejadian keluarga terdakwa ada yang datang kerumah saksi untuk minta maaf, tapi kalau terdakwa tidak minta maaf kepada saksi dan tidak ada perdamaian, justru terdakwa meneror saksi lewat HP dan memaki-maki saksi, lalu saksi lapor ke polisi kemudian terdakwa ditahan. Saksi II : TENTREM Memberikan keterangan bahwa saksi kenal kepada terdakwa SS namun tidak mempunyai hubungan keluarga maupun kerja dengan terdakwa. Pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 wib. bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik sdr. Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri,
terdakwa telah melakukan penganiayaan
terhadap saksi korban ST yang merupakan mantan istrinya didepan kios milik saksi. Saksi korban dipukul terdakwa kena gigi saksi sampai patah dengan menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan setelah dipukul terdakwa sebanyak satu kali dan keluar darah. Saksi tahu terdakwa saat itu terdakwa
melakukan
penganiayaan
kepada
saksi
korban
dengan
cara
menggunakan jari-jari tangan kanannya ditekankan kearah mulut saksi korban sebanyak satu kali dengan posisi saling berhadap-hadapan dan setahu saksi ,saksi korban tidak membalas. Setelah kejadian bagian mulut saksi korban berdarah dan gigi bagian bawah saksi korban tanggal / lepas (rontok) satu. Saksi III : TEGUH SANTOSO Memberikan keterangan bahwa saksi kenal kepada terdakwa SS namun tidak mempunyai hubungan keluarga maupun kerja dengan terdakwa. Saksi mengetahui pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013, sekitar pukul 12.30 wib.
77
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban yang merupakan mantan istrinya didepan kios milik saksi Tentrem. Saksi korban dipukul terdakwa kena gigi saksi sampai patah dengan menggunakan tangan kanan dan ada visum dari dokter dan setelah dipukul terdakwa sebanyak satu kali dan keluar darah. Saksi tahu terdakwa saat itu melakukan penganiayaan kepada saksi korban dengan cara menggunakan jari-jari tangan kanannya ditekankan kearah mulut saksi korban sebanyak satu kali dengan posisi saling berhadap-hadapan dan setahu saksi korban tidak membalas. Setelah kejadian bagian mulut saksi korban berdarah dan gigi bagian bawah saksi korban tanggal / lepas (rontok) satu.
b. Surat Sebagaimana Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T.Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan : a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul; b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan kewajiban sebagai swasta; c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang menambah penyakitnya (komplikasi).
78
c. Keterangan Terdakwa Dipersidangan telah didengar pula keterangan terdakwa sebagai berikut : Pada hari Senin, tanggal 27
Mei
2013,sekitar pukul 12.30 WIB.
bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kios milik saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap saksi korban ST mantan istrinya. Saat itu saksi melakukan penganiayaan terhadap mantan istrinya dengan cara mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut saksi korban dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali dan saksi korban tidak melawan. Terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena sebelumnya antara terdakwa dengan saksi korban telah terjadi pertengkaran (cekcok) karena terdakwa tidak mau diceraikan oleh saksi korban dengan alasan karena terdakwa masih sayang dengan saksi korban. Setelah terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut saksi korban, salah satu gigi bagian atas saksi korban tersebut copot / terlepas, kemudian terdakwa langsung pergi ke tempat kerjanya yang berlokasi di dalam area Unit VI PT. Gudang Garam Kediri, sebagai kuli bangunan. Terdakwa merasa bersalah, menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Terdakwa pernah juga menjelaskan bahwa dirinya pernah dihukum selama 3 (tiga) bulan pada tahun 2007, karena perkara sabung ayam.
79
4.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Penuntut Umum mengajukan tuntutan(requisitoir) tertanggal 19 Agustus
2013 yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "PENGANIAYAAN ", sesuai dengan Pasal 351 (1) KUHP; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO, dengan pidana penjara selama :7 (tujuh) bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan; 3. Menetapkan supaya terdakwa SUTRISNO bin SUDJONO dibebani biaya perkara sebesar Rp. 2.000,-(dua ribu rupiah) ;
5.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri
a. Pertimbangan Hukum Hakim Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan tersebut, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah fakta- fakta tersebut dapat memenuhi unsur-unsur pasal yang didakwakan kepada terdakwa dan apakah terdakwa dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hakim
dalam
memutuskan
perkara
berdasarkan
dakwaan
yang
didakwakan kepada terdakwa SUTRISNO oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
80
Menimbang, bahwa di persidangan terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum berdasarkan dakwaan yang disusun secara tunggal, yakni, Pasal 351 ayat(1) KUHP mengenai penganiayaan, yang unsur-unsurnya sebagai berikut : 1)
Dengan sengaja;
2)
Menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn)
atau luka; Add. 1 Unsur Dengan Sengaja : Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan sengaja adalah adanya niat atau kehendak dari pelaku untuk melakukan perbuatan sebagaimana dilarang oleh undang-undang; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi korban Siti Khotimah, saksi Tentrem, saksi Teguh Santoso dan terdakwa yang saling berkaitan di persidangan terungkap bahwa pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 WIB. bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kiso milik saksi Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri,
terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap mantan istrinya
bernama Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanannya; Menimbang, bahwa terdakwa menganiaya Saksi Siti Khotimah dengan cara mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali dan Siti Khotimah tidak melawan; Menimbang, bahwa setelah terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah, akibatnya salah satu gigi bagian atas Siti Khotimah
81
tersebut copot / terlepas, kemudian terdakwa langsung pergi ke tempat kerjanya yang berlokasi di dalam area Unit VI PT. Gudang Garam Kediri, sebagai kuli bangunan; Menimbang, bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut, karena sebelumnya
antara
terdakwa
dengan
Siti
Khotimah
telah
terjadi
pertengkaran(cekcok) karena terdakwa tidak mau diceraikan oleh Siti Khotimah, karena terdakwa masih sayang dengannya, sehingga dengan demikian unsur dengan sengaja telah terpenuhi ; Add. 2 Unsur Menyebabkan Perasaan Tidak Enak (Penderitaan), Rasa Sakit (pijn) atau Luka. Menimbang, bahwa dalam unsur ini antara perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus ada hubungan causa, artinya bahwa timbulnya perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka harus merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa ; Menimbang, bahwa menurut keterangan para saksi
dan terdakwa di
persidangan diketahui bahwa akibat dari pukulan yang dilakukan oleh terdakwa terhadap saksi Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanannya, mengakibatkan saksi Siti Khotimah salah satu gigi bagian atas Siti Khotimah tersebut copot / terlepas; Menimbang, bahwa keterangan para saksi dan terdakwa tersebut dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal
82
28 Mei 2013yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan : a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul; b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan kewajiban sebagai swasta; c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang menambah penyakitnya (komplikasi) ; Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi dan terdakwa tersebut di atas yang kemudian dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum, terbukti bahwa akibat perbuatan terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali, sebagaimana dalam Visum et Repertum di atas, maka menurut pendapat Majelis Hakim bahwa unsur kedua ini juga terpenuhi; Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP telah terpenuhi, maka menurut Majelis Hakim, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Penuntut Umum tersebut yang kualifikasinya akan ditetapkan dalam amar putusan; Menimbang, bahwa oleh karena selama pemeriksaan perkara ini tidak ditemukan adanya alasan pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapus kesalahan terdakwa dan sifat melawan hukumnya perbuatan, maka terdakwa harus
83
mempertanggung jawabkan atas perbuatannya dan dinyatakan bersalah serta harus pula dijatuhi pidana ; Menimbang, bahwa mengenai lamanya pidana yang akan dijatuhkan, Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan
hal-hal yang
memberatkan maupun yang meringankan yang ada pada diri terdakwa; Hal-hal yang memberatkan : a) Perbuatan terdakwa menimbulkan penderitaan bagi orang lain; b) Terdakwa pernah dihukum; Hal-hal yang meringankan : a) Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum; b) Terdakwa bersikap sopan di persidangan, sehingga memperlancar jalannya persidangan ; Menimbang, bahwa oleh karena dalam perkara ini terdakwa telah ditangkap dan selama pemeriksaan perkara ini sejak dari penyidikan sampai dengan pemeriksaan di persidangan terdakwa ditahan, maka masa penangkapan dan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang akan dijatuhkan ; Menimbang, bahwa untuk menjamin putusan ini dapat dilaksanakan setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perlu ditetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
84
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka kepada terdakwa harus dibebani membayar biaya perkara yang besarnya akan ditetapkan dalam amar putusan ini; Memperhatikan, Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta peraturan lainnya yang bersangkutan.
b. Amar Putusan Pengadilan Negeri Mengadili: 1) Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SUJONO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “PENGANIAYAAN“; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama : 4 (empat) bulan; 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan; 5) Membebankan
kepada
terdakwa
membayar
biaya
perkara
sebesar
Rp.2.000,00(dua ribu rupiah);
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penilitan terhadap perkara tindak pidana penganiayaan diwilayah
hukum
Pengadilan
Negeri
Kediri
dalam
putusan
Nomor
179/Pid.B/2013/PN.Kdr dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan objek penelitian, maka dapat dilakukan suatu analisis sebagai berikut:
85
1.
Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang dilakukan Sutrisno dalam Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara pidana berusaha mencari kebenaran materiil. Pembuktian juga merupakan titik sentral hukum acara pidana. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh
dipergunakan
hakim
membuktikan
kesalahan
yang
didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. 59 Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian acara di persidangan. Kebenaran mengenai suatu tindak pidana dapat diketemukan melalui pembuktian. Tahap pembuktian dalam persidangan merupakan “jantung” sebuah proses peradilan guna menemukan kebenaran materiil, tujuan adanya hukum acara pidana. Kebenaran materiil diartikan sebagai suatu kebenaran yang
59
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 273.
86
diupayakan mendekati kebenaran yang sesungguhnya atas tindak pidana yang terjadi. 60 Secara umum, pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya suatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup memperlihatkan kebenaran suatu hal (peristiwa
tersebut).
Pembuktian
merupakan
perbuatan
membuktikan 61
Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 62 Dalam hal membuktikan Hakim harus memperhatikan kepentingan terdakwa maupun kepentingan masyarakat. 63 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) yang merupakan insrumen hukum nasional yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil telah terdapat rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut tentunya untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh kebenaraan materiil. 64 Menurut M. Yahya Harahap 65 : “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan”. 60
Hibnu Nugroho, 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, hal. 33 61 Lilik Mulyadi,2007, Putusan Haki Dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik, Penyusunan, dan Permasalahannya, cet. I, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 50-51. 62 Martiman Prodjohamidjojo (a), 1983, Seistem Pembuktian dan Alat- Alat Bukti, cet. I, Jakarta, Ghlia Indonesia, hal. 11. 63 Darwan Prints, Op. Cit., hal. 136. 64 Departemen Kehakiman RI, Op. Cit., hal. 1 65 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 273-274
87
Darwan Prinst mengatakan bahwa 66 : “ Pembuktian adalah suatu peristiwa pidana telah terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya, sehingga terdakwa harus mempertanggungjawabkan kesalahannya tersebut.” Sedangkan menurut Van Bemmelen 67 :
“Membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal tentang apakah hal yang tertentu itu sunnguh terjadi dan apa demikian sebabnya.”
Dengan tercapainya kebenaran materiil maka akan tercapai pula tujuan akhir hukum acara pidana, yaitu untuk mencapai suatu ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. 68 Setiap ahli yang memberikan pengertian mengenai pembuktian memberikan pengertian yang hampir sama yaitu suat kegiatan untuk mecapai tujuan akhir hukum acara pidana. Tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menetapkan kebenaran yang ada dalam suatu perkara, bukan semata- mata mencari kesalahan seseorang dalam hal ini orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana. 69 Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan hukum yakni menciptakan masyarakat tenang dan tentram, dimana setiap warga berhak mendapatkan perlindungan hukum, untuk itu peraturan yang ada harus dilaksanakan secara adil. Menurut A. Karim Nasution: 70
66
Darwin Prinst, Op.Cit. hal. 137 Moeljanto, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, hal. 77 68 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 9 69 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana ( Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum), cet. 1, Politea, Bogor, hal. 110. 70 A. Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam ProsesPidana Jilid I, Pusdiklat Agung, Jakarta, hal. 24 67
88
“Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan kepastian yang diperlukan dalam menilai sesuatu hal tertentu mengenai fakta atas penilaian tersebut harus didasarkan.” Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim , Penuntut Umum, Terdakwa, maupun Penasehat hukum, masing- masing terikat ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang- undang artinya bahwa dalam mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum harus melaksanakannya dalam batas- batas yang dibenarkan undang- undang. 71 Putusan Nomor :179/Pid.b/2013/PN.Kdr, hakim memeriksa alat bukti yakni 1 orang saksi korban ,3 orang saksi dan keterangan terdakwa yang memberatkan
dan
alat
bukti
surat
berupa
Visum
et
Repertum
No.
VER/96/V/2013/Rumkit. Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan minimum pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak dengan sengaja melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP. Berdasarkan bunyi Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): “Surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: 71
AnggyaAyu Gita Puspita, 2012, Kekuatan Alat Bukti Saki Korban Tindak pidana Pengeksploitasian Seksual Anak ( Tinjauan Yuridis Putusan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt), Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 82
89
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Nilai kekuatan pembuktian surat sebagaimana diatur dalam KUHAP sama sekali tidak mengatur mengenai ketentuan khusus tentang kekuatan pembuktian surat, kekuatan pembuktian surat hanya dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkanya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP yaitu: 72 Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menurut ketentuan ini: “Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undangundang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.” 73 Sebagai syarat dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. 72
Ibid, hal. 288 Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 276.
73
90
Bantuan dokter kepada kalangan hukum yang paling sering dan sangat diperlukan adalah pemeriksaan korban untuk pembuatan Visum et Repertum. Visum inilah yang akan menghubungkan dokter dengan Penyidik atau kalangan peradilan lainnya. Visum et Repertum adalah istilah asing, namun menyatu dengan bahasa Indonesia sehingga orang awam sekalipun dapat mengetahui bahwa Visum et Repertum ini berkaitan dengan surat yang dikeluarkan oleh dokter untuk Polisi demi proses di pengadilan. 74 Istilah visum et repertum tidak ditemukan dalam KUHAP, tetapi terdapat dalam Stbl tahun 1937 Nomor 350 tentang Visa reperta merupakan bahasa Latin. Visa berarti penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu, dan reperta berarti laporan. Dengan demikian apabila diterjemahkan secara bebas berdasarkan arti kata, Visa Reperta berarti laporan yang dibuat berdasarkan penyaksian atau pengakuan telah melihat sesuatu. Visum et repertum merupakan bentuk tunggal dari kata visa et reperta. Dalam Stbl 1937 Nomor 350, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “visa reperta para dokter
yang dibuat atas sumpah jabatan, yang diucapkan pada waktu
menyelesaikan pelajaran kedokteran di Indonesia maupun atas sumpah khusus seperti dimaksud dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam KUHAP tidak disebut visum et repertum tetapi menggunakan istilah alat bukti surat dan alat bukti keterangan ahli. Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan pengertian tentang keterangan ahli sebagai berikut : 74
Amri Amir, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua, Ramadhan, Medan, 2005, hal 205.
91
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Menurut Karyadidan Soesilo bahwa dokter juga seorang ahli kesehatan yang dalam perkara penganiayaan dan pembunuhan (menerangkan tentang besar kecilnya luka atau sebab kematian korban). 75 Y.A.
Triana 76
menyebutkan
macam-macam
visum
et
repertum
berdasarkan penggunaannya sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
Visum et repertum untuk pelaku kelainan jiwa. Visum et repertum tentang umur; Visum et repertum untuk koban hidup; Visum et repertum untuk mayat; Visum et repertum untuk koban perkosaan atau tindak pidana kesusilaan; Visum et repertum penggalian mayat. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 ada ketentuan mengenai Visum et
Repertum ini sendiri. Isinya menyatakan: 1.
Setiap Dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di Belanda maupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan sumpah khususnya dapat membuat Visum et Repertum;
2.
Visum Et Repertum mempunyai daya bukti yang sah/alat bukti yang sah dalam perkara pidana;
3. Visum et Repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan pada benda-benda/korban yang diperiksa.
75
Y.A Triana Ohoiwutun, 2007, bunga rampai hukum kedoteran,. Malang:BayuMedia Publishing hal.6 76 Y.A.Triana Op.cit. Hal. 34
92
Visum et Repertum terdiri dari beberapa jenis, antara lain : 77 1. Visum untuk korban hidup dapat dibedakan atas: a. Visum seketika b. Visum sementara c. Visum lanjutan 2. Visum Jenazah dapat dibedakan atas beberapa, yaitu: 78 a. Visum dengan pemeriksaan luar b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam 3. Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara 4. Visum et Repertum Penggalian Mayat 5. Visum et Repertum Mengenai Umur 6. Visum et Repertum Psikiatrik. Pembuatan visum et repertum haruslah memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat formil menyangkut prosedur yang harus dipenuhi yakni sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/pencabutan visum et repertum sebagai berikut: 1. Permintaan visum et repertum haruslah tertulis (sesuai dengan Pasal 133 Ayat (2) KUHAP); 2. Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara dibedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak Polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan akan pentingnya dilakukan dengan bedah mayat;
77
H. Amar Singh, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Universitas Methodist, Medan, 2010, hal.9-10. 78 Ibid, hal.212
93
3. Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap tindak pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan yang telah lampau; 4. Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya bedah mayat; 5. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, maka polisi perlu melakukan pengamanan tempat dilakukannya bedah mayat. Terhadap kekerasan fisik, akan dilakukan Visum et Repertum. Visum ini berguna sebagai salah satu alat bukti otentik bahwa telah terjadi kekerasan fisik, diakibatkan oleh apa, dan ukuran lukanya. Hal ini agar tanda-tanda fisik bekas penganiayaan tidak keburu hilang. Terhadap pengaduan kekerasan psikis, berupa perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang juga sebaiknya ditindak lanjuti oleh penegak hukum. Untuk menambah alat bukti dan memperkuat penyidikan penegak hukum dapat meminta ahli (psikiater/psikolog) untuk dimintai pendapatnya mengenai kekerasan psikis ini. Polisi, Jaksa dan Hakim tidak memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk menentukan secara persis mengenai bentuk dan penyebab kekerasan fisik demikian. dokterlah yang memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk mengeluarkan visum demikian. 79 Pada hakikatnya dalam suatu perkara pidana Visum et Repertum itu berfungsi sebagai berikut: 80 1. Membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan; 2. Untuk mementukan arah penyelidikan; 79
http://polhukam.kompasiana.com/hukum/2012/06/26/3/473387/pengaduan-dan-visumkdrt. html, diakses pada tanggal 19 Maret 2013. 80 Amar Singh, Op.Cit, hal.10
94
3. Menentukan tugas selanjutnya bagi Penuntut Umum dan Hakim dipengadilan; 4. Menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (pengganti barang bukti) karena barang bukti yang berasal dari tubuh manusia seperti luka maupun jenazah akan berubah. Sedangkan syarat materil visum et repertum adalah menyangkut isi dari visum et repertum tersebut yaitu sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa. Disamping itu isi dari visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Menurut Wiryono Prodjodikoro 81 , perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli adalah “bahwa keterangan saksi mengenai hal-hal yang dialami oleh saksi itu sendiri (eigen waarneming), sedangkan keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar keahlian yang dimiliki, yang memberikan keterangan suatu penghargaan (waardering) dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan dari hal-hal itu, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian apakah dari keracunan misalnya, atau karena hal yang lainnya”. Kedua keterangan ini oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa sumpah tidak mempunyai kekuatan pembuktian, melainkan hanya dapat dipergunakan untukmenambah atau menguatkan keyakinan hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP).
Yang menjadi salah satu alat bukti dalam Tindak Pidana Penganiayaan ini adalah Visum et Repertum No.VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T.Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan: a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul;
81
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hal 24
95
b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan kewajiban sebagai swasta; c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang menambah penyakitnya (komplikasi) ; Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan apakah ada atau tidak ada Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan harus diperiksa dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara Terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara, Pro Justisia tersebut oleh Penyidik, Penuntut Umum memang berusaha untuk membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim dapat membuktikan perkara tersebut. Visum et Repertum mempunyai nilai hukum apabila kesimpulan yang diberikan oleh dokter dapat diterima oleh Hakim. Hakim dapat menerima hasil kesimpulan dari Visum et Repertum sebagai alat bukti surat dan mengambil alih kesimpulan tersebut yang didukung oleh paling sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan Hakim bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa terdakwalah yang bersalah. 82 Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli: a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas, di dalamnya tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan. Hal tersebut terserah kepada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepada alat bukti keterangan ahli. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk harus menerima kebenaran keterangan ahli tersebut. 82 82
Amar Singh, Op.Cit, hal.11 Yahya Harahap, Op.Cit, hal 283-284
96
b) Disamping itu, sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa di dukung oleh salah satu bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Apabila Pasal 183 KUHAP ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang menegaskan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini juga berlaku bagi keterangan ahli. 83 Visum et Repertum mempunyai daya bukti dalam suatu perkara pidana apabila bunyi visum tersebut telah dibacakan dimuka sidang pengadilan. Apabila tidak, maka visum tersebut tidak berarti apa pun, hal ini karena visum dibuat dengan sumpah jabatannya, dan visum merupakan tanda bukti, sedangkan korban yang diperiksa adalah bahan bukti. 84 Visum et repertum ini akan dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan. Dalam menangani kasus untuk membantu proses peradilan di sini peran dokter sebagai ahli forensik. Di sini korban yang diperiksa berstatus sebagai barang bukti dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tindakan yang diambil oleh dokter di sini adalah pemeriksaan forensik yang bertujuan untuk penegakan keadilan. Visum et Repertum tersebut dibuat oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri, sesuai dengan Pasal 187 huruf c 83
Amar Singh, Op.Cit, hal.11
84
Hari Sasangka dan Lili Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Penerbit Mandar Maju , Bandung , 2003, hal. 60.
97
KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta alat bukti Visum Et Repertum tersebut jelas mempunyai kekuatan pembuktian karena telah memenuhi syarat Formil yaitu sudah sesuai dengan prosedur pembuatan Visum Et Repertum dengan sesungguhnya mengingat sumpah dokter yang tercantum dalam Stb. 1937/350 atau sesuai dengan penjelasan Pasal 186 KUHAP keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk keterangan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan, serta sudah memenuhi syarat materil yaitu isi dari Visum Et Repertum sudah sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa serta isi dari visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya. 2.
Pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr. Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan
diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum tentang statusnya. Dalam menjatuhkan putusan, keputusan Hakim harus mencerminkan keadilan, akan tetapi persoalan keadilan tidak akan berhenti dengan pertimbangan hukum semata-mata, melainkan persoalan keadilan biasanya dihubungkan dengan kepentingan individu para pencari keadilan, dan itu berarti keadilan menurut hukum sering diartikan dengan sebuah kemenangan oleh pencari keadilan.
98
Dalam upaya membuat putusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yuridis yang terdiri dari dakwaan penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang – barang bukti, dan pasal – pasal perbuatan hukum pidana, serta pertimbangan non yuridis yang terdiri dari latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa, serta kondisi ekonomi terdakwa, ditambah hakim haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak sebagaimana yang termuat dalam unsur – unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya . Dalam pengambilan keputusan dipersidangan ada 3 hal yang menjadi acuannya,yaitu: 1.
Asas Kepastian Hukum
2.
Asas Keadilan
3.
Asas Manfaat Untuk asas kepastian hukum yang harus diperhatikan adalah peraturan
perundang-undangannya. Asas keadilan disinilah cenderung lebih kepada sikap masyarakat, bagaimana mengembalikan/ memulihkan keadaan sosial masyarakat sehubungan dengan kasus ini, hal ini juga agar menjadi efek jera kepada orang lain agar tidak diulangi lagi. Asas manfaat biasanya diarahkan kepada terpidana ,jadi jangan sampai pemidanaan yang diberikan ini tidak bermanfaat bagi terdakwa. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan pidana berdasarkan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa:
99
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Adapun 2 hal yang penting yang terkandung dalam Pasal 183 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni: a)
Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alat bukti yang sah/minimum pembuktian;
b)
Adanya keyakinan hakim. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) ada 5 (lima) alat
bukti yang sah. Menurut Pasal 184 KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah: a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. b. Keterangan Ahli Berdasarkan Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang sesuatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Secara procedural, keterangan ahli dapat diajukan dengan 2 tahapan yaitu: 85
85
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.20.
100
1) Keterangan ahli dapat diminta pada tingkat penyidikan untuk kepentingan peradilan. Dalam konteks ini, permintaan keterangan ahli dilakukan oleh penyidik secara tertulis dengan menyebutkan secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli dilakukan dan kemudian ahli itu membuat laporan dan dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan. Keterangan ahli yang tertulis tersebut termasuk sebagai alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf (c) jo Pasal 187 (c) KUHAP). 2) Keterangan ahli dapat dilakukan dengan prosedural bahwa ahli memberi keterangannya secara lisan dan langsung di depan pengadilan. Keterangan yang diberikan di pengadilan inilah yang disebut dengan keterangan ahli. c. Surat Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Pasal 187 KUHAP mensyaratkan bahwa suratsurat sebagai alat bukti harus dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat-surat yang dimaksud adalah: 86 1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu, contohnya: akta notaries; 86
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahannya, PT.Alumni, Bandung, 2007, hal 186-187
101
2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, contoh : putusan pengadilan, sertifikat tanah; 3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya, contoh: Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter; 4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain, contoh : surat-surat di bawah tangan. d. Keterangan Terdakwa Menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP, Terdakwa merupakan seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, diadili di sidang pengadilan. Sedangkan keterangan terdakwa menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti ini tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan maupun pengakuan dari sebagian perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat –syarat, yaitu : a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan
102
b. Mengaku ia bersalah Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Menurut C. Djisman Samosir 87 mengenai alat-alat bukti dan pembuktian yaitu ; ”Dalam setiap pemeriksaan, apakah itu pemeriksaan dengan acara biasa, acara singkat, maupun acara cepat, setiap alat bukti itu diperlukan guna membantu hakim untuk pengambilan keputusannya. Alat-alat bukti ini adalah sangat perlu, oleh karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukan perbuatan itu. Dengan demikian alat bukti itu adalah sangat penting di dalam usaha penemuan kebenaran atau dalam usaha menemukan siapakah yang melakukan perbuatan tersebut”. Pertimbangan hakim dimaksudkan untuk mencapai keadilan dari perkara yang dipercayakan kepada hakim oleh lembaga pengadilan. Keadilan yang harus diciptakan menjadi hakim dan merupakan hasil penyerasian antara kepastian hukum dan keseimbangan hukum. Pengadilan Negeri dalam penjatuhkan pidana harus mempunyai suatu kewenangan mengadili terhadap perkara yang dilakukan oleh terdakwa tersebut, seperti disebutkan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang menetapkan sebagai berikut : “Pengadilan negeri berwenang mengadili suatu perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya”. Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu bermakna bahwa keyakinan hakim ditemukannya dengan memeriksa minimal dua alat bukti yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim ditujukan 87
C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana Dalam Perbandingan, Bandung: Bina Cipta, 1985. halaman 79.
103
terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa terdakwa yang melakukannya. Dengan demikian, titik tolak keyakinan hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa. 88 Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu : 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; 2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. 89 Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam merumuskan vonis penjatuhan sanksi pidana kepada para pelaku kejahatan agar yang dijatuhkan oleh hakim mampu menangkap aspirasi keadilan masyarakat. Putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf f Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
88 Nikolas Simanjuntak ,Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009, halaman 244. 89 Yahya Harahap. Op.cit. Hal.279.
104
Memorie Van Toelichting dari Strafwetboek tahun 1886 90 , memberikan pedoman : “ Dalam menentukan tinggi rendahnya pidana, hakim untuk tiap kejadian harus memperhatikan keadaan obyektif dan subyektif dari tindak pidana yang dilakukan, harus memperhatikan perbuatan dan pembuatannya. Hak-hak apa saja yang dilanggar dengan adanya tindak pidana itu? Kerugian apakah yang ditimbulkan? Bagaimanakah sepak terjang kehidupan si pembuat dulu-dulu? Apakah kejahatan yang dipersalahkan kepadanya itu langkah pertama kearah jalan yang sesat ataukan merupakan suatu perbuatan, merupakan suatu pengulangan dari watak jahat yang sebelumnya sudah tampak.” Pedoman dari Memorie Van Toelichting ini dapat pula dipergunakan sebagai pedoman untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana dalam praktek peradilan di Indonesia, karena KUHP kita pada prinsipnya merupakan salinan dari Strafwetboek tahun 1886. 91 Dalam perundang-undangan Indonesia juga terdapat ketentuan-ketentuan yang merupakan petunjuk ke arah pertimbangan berat ringannya pidana. Ketentuan demikian tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Dapat disimpulkan bahwa hakim dalam membuat keputusan harus didasarkan dengan alat-alat bukti dipersidangan dan dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan hakim tentang tindak pidana tersebut. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : a. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah 90
Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Penerbit IKIP Malang,2001. Hal. 66 91 Masruchin Rubai, Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Penerbit IKIP Malang,2001. Hal. 67
105
b. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.92 M. Yahya Harahap 93 berpendapat : “Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.” Wirjono Prodjodikoro seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah 94 : “Bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, Pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.” R. Soesilo 95 , berpendapat bahwa sehubungan dengan masalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan di persidangan, maka hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. Apakah betul suatu peristiwa itu terjadi; b. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan tindak pidana; c. Apa sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi; d. Siapakah orang yang bersalah melakukan peristiwa itu. Penjelasan secara singkat mengenai teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim adalah “hakim dapat memutuskan seseorang bersalah sesuai dengan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
92
Ibid. Hal. 280. Ibid. Hal. 256-259. 94 Andi Hamzah. Opcit. Hal. 264. 95 R. Soesilo. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana menurut KUHAP bagi penegak Hukum). Bogor: Politeria. 1982. Hal. 109. 93
106
disertai dengan suatu kesimpulan yang dilandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi”. Terdakwa bermaksud dengan sengaja adanya niat atau kehendak dari pelaku untuk melakukan perbuatan sebagaimana dilarang oleh undang-undang. Dengan keterangan saksi korban Siti Khotimah, saksi Tentrem, saksi Teguh Santoso dan terdakwa yang saling bersesuaian di persidangan terungkap bahwa pada hari Senin, tanggal 27 Mei 2013,sekitar pukul 12.30 WIB. bertempat di Lingkungan Pasar Grosir Ngronggo tepatnya didepan kiso milik sdr. Tentrem Blok C No. 45 Kelurahan Ngronggo, Kota Kediri, terdakwa telah melakukan penganiayaan terhadap mantan istrinya bernama Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanannya. Dan terdakwa mengakui melakukan perbuatan tersebut, karena sebelumnya antara terdakwa dengan Siti Khotimah telah terjadi pertengkaran(cekcok) karena terdakwa tidak mau diceraikan oleh Siti Khotimah, karena terdakwa masih sayang dengannya, sehingga dengan demikian unsur dengan sengaja telah terpenuhi. Kedua, ada unsur antara perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa harus ada hubungan causa, artinya bahwa timbulnya perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka harus merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Keterangan para saksi dan terdakwa tersebut dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri, dengan kesimpulan :
107
a) Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan gigi seri pertama kiri atas lepas diduga akibat persentuhan tumpul; b) Hal ini tidak mendatangkan penyakit atau halangan buat menjalankan kewajiban sebagai swasta; c) Orang ini sudah sembuh sama sekali jikalau sekiranya tidak ada hal-hal yang menambah penyakitnya (komplikasi) ; Dari keterangan para saksi dan terdakwa tersebut di atas yang kemudian dikuatkan oleh hasil pemeriksaan Visum et Repertum, terbukti bahwa akibat perbuatan terdakwa mencolokkan jari telunjuknya ke bagian mulut Siti Khotimah dengan menggunakan tangan kanan terdakwa sebanyak satu kali, sebagaimana dalam Visum et Repertum di atas, maka menurut pendapat Majelis Hakim bahwa unsur menyebabkan perasaan tidak enak (Penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka juga terpenuhi. Mejelis Hakim dalam perkara Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. ini menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu: 1) Menyatakan terdakwa SUTRISNO Bin SUJONO terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “PENGANIAYAAN“; 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama : 4 (empat) bulan; 3) Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4) Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan;
108
5) Membebankan
kepada
terdakwa
membayar
biaya
perkara
sebesar
Rp.2.000,00(dua ribu rupiah); Hakim juga
mempertimbangkan
hal-hal
yang
memberatkan
dan
meringankan dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Hal ini disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf F KUHAP sebagai berikut: “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa”. Menurut ketentuan Pasal 222 ayat (1) KUHAP menetapkan bahwa: “Siapapun yang diputus pidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan pada Negara”. Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi biasa serta alat bukti surat berupa hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan terdakwa yang mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi, maka majelis telah mendapat bukti yang sah dan merupakan sumber keyakinan hakim dalam memberikan putusan, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan hakim menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa atas perbuatannya itu. Pengadilan
dalam
menjatuhkan
putusan
yang
mengandung
pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Putusan pemidanaan harus dilakukan dengan sangat hati-
109
hati dan dengan pertimbangan yang cermat, sesuai adagium bahwa lebih baik membebaskan orang yang bersalah, dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Tentunya yang paling baik adalah menghukum yang bersalah setimpal dengan kesalahannya dan membebaskan yang tidak bersalah. Sebelum menjatuhkan putusan maka hakim perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Pengertian pertimbangan hakim sendiri adalah pendapat mengenai baik dan buruk dalam menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan oleh hakim di pengadilan tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti di dalam pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. merupakan bentuk putusan pemidanaan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim selanjutnya mempertimbangkan apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut terbukti atau tidak dan apakah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut dapat dipidana atau tidak. Dapat atau tidaknya seseorang dinyatakan terbukti bersalah dan dapat dipidana menurut ketentuan hukum pidana, maka keseluruhan unsur-unsur dari pada pasal yang didakwakan kepada terdakwa haruslah dinyatakan terbukti dan terpenuhi unsur-unsur dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
110
Berdasarkan Undang-Undang secara negatif yang dianut oleh KUHAP serta berdasarkan alat bukti yang sah, maka hakim memberikan keputusan dalam perkara ini bagi terdakwa dengan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 351 ayat(1) KUHP mengenai penganiayaan. Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr, dengan penjatuhan pidana 4 (empat) bulan penjara dinilai sudah sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa karena terdakwa telah terbukti melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan. Dapat diketahui dari semua alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi serta alat bukti
surat
berupa
hasil
pemeriksaan
Visum
et
Repertum
No.
VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan terdakwa yang mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP dan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana penganiayaan dengan unsur dengan sengaja dan menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan
111
dan meringankan terhadap terdakwa, dan menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
112
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor: Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. maka dapat disimpulkan bahwa: a. Kekuatan Pembuktian Visum Et Repertum dalam Tindak PIDANA Penganiayaan dalam Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. Visum et Repertum dalam Putusan Nomor: 179/Pid.B/2013/PN.Kdr dibuat oleh seorang ahli, yaitu, seorang dokter pada RS BHAYANGKARA Kota Kediri, sesuai dengan Pasal 187 huruf c KUHAP, maka surat bukti tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah serta alat bukti Visum Et Repertum tersebut jelas mempunyai kekuatan pembuktian karena telah memenuhi syarat Formil yaitu sudah sesuai dengan prosedur pembuatan Visum Et Repertum sebagaimana tercantum dalam Instruksi Kapolri No.Pol INS/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan/pencabutan Visum Et Repertum serta sudah memenuhi syarat materil yaitu isi dari Visum Et Repertum sudah sesuai dengan kenyataan yang ada pada tubuh korban yang diperiksa serta isi dari visum et repertum tersebut tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP.
113
b. Pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr. Dari semua alat bukti yang diajukan di sidang pemeriksaan oleh Penuntut Umum dan keyakinan hakim yaitu dalam menjatuhkan putusan ini diperoleh dari alat bukti keterangan saksi korban dan keterangan saksi biasa serta alat bukti surat berupa hasil pemeriksaan Visum et Repertum No. VER/96/V/2013/Rumkit, tanggal 28 Mei 2013 yang dibuat dan ditanda tangani oleh dr. T. Wahyudi. W, dokter pada RS. Bhayangkara Kediri dan juga keterangan terdakwa yang mengakui perbuatanya yang bersesuaian pula dengan keterangan para saksi. Alat bukti tersebut telah memenuhi asas batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terdakwa juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam melanggar 351 ayat(1) KUHP mengenai penganiayaan, yaitu unsur dengan sengaja dan menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau luka telah dapat dibuktikan di persidangan. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terhadap terdakwa..
B. Saran Menurut Penulis dalam Putusan Nomor:179/Pid.B/2013/PN.Kdr orang biasanya malu ataupun takut dalam melaporkan pelaku kepada yang berwenang. Dan wanita yang lebih cenderung untuk menjadi korban, Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan bagian dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter sangat berperan dan membantu
114
penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materil tersebut. Karena itulah antara pihak kepolisian dengan pihak Rumah Sakit harus terjalin hubungan yang baik sehingga dapat saling membantu dan bekerjasama dalam menangani suatu kasus.
115
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur :
Atmasasmita, Romli. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana. Jakarta :BinaCipta. Farid, A.Z. Abidin. 1981. Sejarah dan Perkembangan Asas Opportunitas di Indonesia, Ujung Pandang: UNHAS. Hamzah, Andi. 2005. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia . ,2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah ,Andi dan Indra Dahlan. 1984.Perbandingan KUHP, HIR dan Komentar. Jakarta.: Ghalia. Indonesia. Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang :Badan Penerbit Undip. Harahap,Yahya. 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyelidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. , 2008.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Jhonny.,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Cetakan Ketiga. Bayumedia Publishing, 2007. Marpaung,Leden. 1994.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Ekonomi. Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. Martika, I Ketut & Djoko Prakoso. 1992. Kehakiman. Jakarta: Rineka Cipta.
Dasar-dasar Ilmu Kedokteran
Mun’in Idries, Abdul dan Agung Legowo Tjiptomartono, 2002Penerapan Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Proses Penyidikan, Karya Unipres, Jakarta. Ohoiwutun, Y.A Triana, 2007, bunga Malang:BayuMedia Publishing.
rampai
hukum
kedoteran,.
116
Poernomo, Bambang.1983. Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79.1Martiman Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta:Ghalia Indonesia. Prodjohamidjojo, Martiman. 1996. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Ranoemihardjo,R. Atang ,1983.Ilmu Kedokteran Kehakiman (forensic Science). Bandung: Tarsito. Samosir, C. Djisman. Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana. Bandung. Binacipta. 1985. Hal. 90. Sugandhi, R. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. Soesilo, R. Hukum Acara Pidana. Bandung : Politea, 1982. Soekanto, Soerjono.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: CetakanPertama,UII Press. 1981. Soeparmono,R. 2002. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. B. Peraturan Perundangan: Indonesia,Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ________,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). C. Sumber lain: Putusan Nomor : 179/Pid.B/2013/PN.Kdr. http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/pengertian-tindak-pidana-k esusilaan.html(diakses pada tanggal 10 Desember 2013 pukul 22.43 WIB)