PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI POLSEK PAUH PADANG
JURNAL
Oleh :
NOVRIALDI
NPM. 1310005600017
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS TAMAN SISWA PADANG 2015
1
PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DI POLSEK PAUH PADANG Oleh (NOVRIALDI, 1310005600017, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TAMAN SISWA PADANG, 70 HALAMAN, TAHUN 2015) Pembimbing I : Fadillah Sabri, SH.MH Pembimbing II : Nurlinda Yenti, SH. MH ABSTRAK Visum Et Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut KUHAP sesuai dengan Pasal 184 KUHAP, dimana pemidanaan harus didukung oleh 2 (dua) alat bukti yang sah dan hakim meyakini kebenarannya. Visum Et Repertum merupakan keterangan tertulis yang dibuat oleh kedokteran kehakiman yang berisi kesaksian mengenai apa yang ditemukannya pada waktu pemeriksaan. Tindak pidana yang berhubungan erat dengan Visum Et Repertum yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh dan atau jiwa manusia, salah satunya adalah tindak pidana penganiayaan, dimana dapat menimbulkan bekas-bekas atau tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban yang dapat dijadikan alat bukti bagi penyidik untuk menentukan apakah terjadi tindak pidana penganiayaan pada tubuh korban atau tidak. Dalam skripsi ini penulis merumuskan permasalahan yaitu bagaimana peranan Visum Et Repertum pada penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan, apa kendala-kendala yang ditemui Penyidik baik itu karena faktor internal maupun eksternal dalam membuktikan tindak pidana penganiayaan dan bagaimana pertimbangan Penyidik terhadap Visum Et Repertum dalam penerapan pasal yang atas perbuatan tersangka yang melakukan tindak pidana penganiayaan. Untuk menjawab permasalahan tersebut di atas, maka penulis telah melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian dilapangan untuk mengumpulkan dan mendapatkan data atau keterangan yang diperlukan berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Adapun hasil penelitian yang didapat yaitu Visum Et Repertum berperan sebagai alat bukti yang menentukan sejauh mana luka yang diderita oleh korban guna penerapan unsur-unsur pasal tindak pidana penganiayaan. Untuk kendala-kendala Visum Et Repertum adanya faktor internal berupa perbedaan padangan dengan apa yang tercantum dalam visum et repertum dan mengenai istilah kedokteran yang tidak jelas bagi orang awam bunyinya sehingga kurang dimengerti. Sedangkan faktor eksternal adanya penolakan korban untuk dilakukan visum et repertum ke Rumah Sakit. Sebelum mempergunakan Visum Et Repertum, Penyidik mempertimbangakan kesesuaian antara Visum Et Repertum dengan alat bukti yang lain, juga menjadi pedoman bagi penyidik dalam menentukan hal yang memberatkan bagi tersangka.
i
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum pidana formil atau disebut juga dengan hukum acara pidana berfungsi untuk memberikan ketentuan-ketentuan bagaimana cara negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan pidana. Adapun tugas pokok dari hukum acara pidana itu sendiri adalah untuk mencari kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari perkara pidana dengan menerapkan hukum acara pidana tersebut dengan tepat, guna mencari pelaku tindak pidana agar keadilan dapat terwujud sesuai dengan yang dicita-citakan. Untuk itu, diperlukan suatu peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan sebaik-baiknya. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi suatu peradilan dapat berjalan dengan baik dan adil adalah adanya alat bukti. Hal ini berdasarkan dari Pasal 183 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (yang selanjutnya disebut KUHAP) yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian harus berdasarkan pada undang-undang (KUHAP) yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan disertai dengan kenyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dalam pemidanaan didasarkan kepada alat bukti (minimal dua alat bukti) dan hakim meyakini kebenarannya, sehingga dapat menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan terjaminnya kepastian hukum. Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan : “Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi ; b. keterangan ahli ; c. surat ; d. petunjuk ; e. keterangan terdakwa.” Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dan Pasal 187 huuf c KUHAP tentang alat bukti surat, maka visum et repertum dalam bingkai alat bukti yang sah menurut undang-undang masuk kategori alat bukti surat. Tindak pidana penganiayaan dapat menimbulkan bekas-bekas atau luka pada tubuh korban. Dimana tanda bekas atau luka tersebut dapat dijadikan alat bukti bagi penyidik untuk mengungkap apakah telah terjadi tindak pidana penganiayaan pada korban atau tidak. Disinilah peran keterangan ahli untuk menentukan ada tidaknya tanda-tanda perbuatan tindak pidana penganiayaan pada korban. Mengenai keterangan ahli sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP di atas, diberikan pengertiannya pada Pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
1
yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Dimana hasil dari pemeriksaan tersebut dituangkan dalam bentuk visum et repertum. Berkaitan dengan peranan visum et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus penganiayaan, pada kasus penganiayaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru dilakukan setelah tindak pidana penganiayaan berlangsung lama sehingga tidak lagi ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana penganiayaan. Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk pembuktian tindak pidana penganiayaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana penganiayaan yang terjadi. Untuk itu penulis meneliti kasus penganiayaan yang terjadi di wilayah hukum Polsek Pauh Padang. Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya peranan visum et repertum pada penyidikan untuk mengungkap suatu kasus penganiayaan sebagaimana terurai di atas, hal tersebut melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “Peranan Visum Et Repertum pada Penyidikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Pauh Padang”. B. Perumusan Masalah 1. 2.
3. 4.
Bagaimanakah Peranan visum et repertum pada penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan di Polsek Pauh Padang ? Apakah kendala-kendala yang ditemui Penyidik, baik faktor internal maupun eksternal dalam mempergunakan visum et repertum sebagai alat bukti tindak pidana penganiayaan di Polsek Pauh Padang ? Bagaimana cara mengatasi kendala – kendala yang ditemui Penyidik dalam tindak pidana penganiayaan di Polsek Pauh Padang ? Bagaimana pertimbangan Penyidik terhadap hasil Visum et Repertum dalam pemeriksaan Tersangka Tindak Pidana Penganiayaan?
C. Tujuan Penelitian 1. 2.
3. 4.
Untuk mengetahui peranan visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana penganiayaan. Untuk mengetahui kendala yang ditemui Penyidik, baik faktor internal maupun eksternal dalam mempergunakan visum et repertum sebagai alat bukti penganiayaan di Polsek Pauh Padang. Untuk mengetahui cara mengatasi kendala - kendala yang ditemui penyidik dalam tindak pidana Penganiayaan di Polsek Pauh Padang. Untuk mengetahui pertimbangan penyidik terhadap hasil visum et repertum dalam pemeriksaan tersangka tindak pidana penganiayaan.
2
D. Manfaat Penelitian 1.
2.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa tambahan bahan ilmu pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya yaitu ilmu kedokteran. Kepentingan penyidik untuk mendapatkan kebenaran materiil suatu perkara yang ditanganinya merupakan aplikasi dari ketentuan hukum acara pidana, sedangkan pembuatan visum et repertum yang dilakukan oleh dokter merupakan aplikasi dari ilmu kedokteran yang dapat berperan dan membantu penyidik dalam tugasnya menemukan kebenaran materiil tersebut. Disamping itu dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum acara pidana khususnya mengenai penggunaan bantuan tenaga ahli yang dalam hal ini adalah dokter pembuat visum et repertum dalam tahap penyidikan suatu perkara pidana. Manfaat Praktis a. Bagi Kalangan Masyarakat Hasil penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai peran visum et repertum dan penerapannya oleh pihak Kepolisian selaku penyidik, khususnya dalam mengungkap tindak pidana Penganiayaan yang saat ini semakin banyak terjadi di masyarakat. b. Bagi Penulis Penelitian yang dilakukan dapat melatih dan mengasah kemampuan penulis dalam mengkaji dan menganalisa teori-teori yang didapat dari bangku kuliah dengan penerapan teori dan peraturan yang terjadi di masyarakat. Hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan pengetahuan dan gambaran mengenai realitas penggunaan visum et repertum bagi kepentingan penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana Penganiayaan.
E. Metode Penelitian 1.
Metode Pendekatan Metode Pendekatan ini berbentuk pendekatan masalah yang digunakan dalam mengkaji permasalahan adalah yuridis sosiologis yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum prilaku atau kenyataannya dilapangan. Pendekatan yuridis dalam penelitian ini yaitu mengacu pada peraturan perundang-undangan dalam KUHAP yang mengatur penggunaan bantuan keterangan ahli dalam tahap penyidikan perkara pidana, dalam hal ini khususnya dokter sebagai pembuat visum et repertum. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yang menggambarkan, memaparkan, dan menjelaskan obyek penelitian secara obyektif yang ada kaitannya dengan permasalahan untuk kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.
3
2.
Jenis Data a. Data Primer Yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dengan Aiptu Sumarwan dan Bripka Defial selaku Penyidik Polsek Pauh mengenai kasus tindak pidana penganiayaan yang terjadi di wilayah hukum Polsek Pauh Padang. b.
Data Sekunder 1) Bahan Hukum Primer Memperhatikan dan mempelajari Undang-undang yang menjadi dasar hukum daripada tindak pidana penganiayaan yaitu menurut Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. 2) Bahan Hukum Sekunder Penelitian terhadap buku-buku yang berkaitan dengan topik penulisan skripsi ini. 3) Bahan Hukum Tertier Bahan-bahan yang memberikan informasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus bahasa Indonesia yang berkaitan dengan skripsi.
3.
4.
Teknik Pengumpulan Data a. Studi Dokumen Yaitu mengambil data atau dokumen serta berkas-berkas perkara pada instansi yang ada relevansinya dengan obyek penelitian yang penulis lakukan. b. Wawancara Penelitian ini dilakukan secara langsung melalui tanya jawab dengan Bripka Defial yang menjabat sebagai bagian administrasi Reskrim (tugas rangkap sebagai penyidik pembantu) dan Aiptu Sumarwan untuk mendapatkan data-data dalam penulisan skripsi ini. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data 1) Editing Dalam proses editing, data yang telah dikumpulkan atau diperoleh dilapangan diteliti kembali, dikoreksi, dan dilakukan pengecekan. Ini bertujuan untuk mempersiapkan data secara baik sehingga dapat dijadikan dasar pada penulisan berikutnya. 2) Coding Yaitu data yang telah diperoleh tersebut dikategorikan dengan cara pemberian tanda atau code tertentu menurut kriteria sehingga jelas. b. Analisis Data Keseluruhan data atau bahan yang diperoleh disusun dan dianalisis secara kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan uraian kalimat-kalimat dan tidak menggunakan angka-angka.
4
II. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUKTIAN, VISUM ET REPERTUM DAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan terhadapnya merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana. Hal ini dikarenakan hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil. Bukti adalah sesuatu untuk menyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Sedangkan alat bukti, alat pembuktian, upaya membuktikan “bewijs middel” adalah alat-alat yang dipergunakan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak dimuka pengadilan, misalnya bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain.1 2. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Sebelum meninjau tentang sistem pembuktian yang dianut KUHAP, terlebih dilihat berbagai teori tentang sistem pembuktian. Dalam menilai kekuatan pembuktian dikenal beberapa teori pembuktian2, yaitu : 1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Positief Wetterlijk Bewijstheorie) Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang. Jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewjstheorie). Menurut D. Simons, sistem pembuktian berdasarkan undang-udang secara positif ini berusha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. 2. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction Intime) Teori ini berdasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim untuk menetapkan bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan. Pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa atau penasehat hukum sulit untuk melakukan pembelaan. 3. Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan hakim Atas Alasan yang logis (Conviction Raisonnee) Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinnya. 1 2
Subekti, 1991. Hukum Pembuktian, Pradnya paramita, Jakarata, hlm. 26 Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 247-250
5
4.
Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wetterlijk) Hukum pidana Indonesia menganut teori pembuktian ini. Hal tersebut disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
3. Macam-macam Alat Bukti yang Sah 1. Keterangan Saksi Keterangan Saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 (1) KUHAP). Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimodium de auditu. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Namun, ada beberapa keterangn saksi yang tidak dapat di dengar keterangannya (Pasal 168 KUHAP), yang berbunyi : Kecuali yang ditentukan lain dalam undang-udanng ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawainan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama terdakwa sebagai terdakwa. 2.
Keterangan Ahli Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.3 Mengenai ahli dapat dibagi dalam tiga macam ahli, yaitu4 : a. Ahli (deskundige) Yaitu orang yang hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan padanya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Misalnya : dokter yang menjelaskan tentang efek dari arsenik untuk meracuni tubuh. b. Saksi Ahli (Getuige deskundige) Yaitu orang yang melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti dan mengemukakan pendapatnya. Misalnya : dokter yang melakukan autopsi pada mayat. c. Zaakkundige
3
Pasal 186 KUHAP R. Soeparmono, 2002, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Bandung : PT. Mandar Maju, hlm. 61 4
6
Yaitu orang yang menerangkan suatu persoalan yang sebenarnya dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tapi untuk mempelajarinya akan memerlukan waktu yang lama. Misalnya : karyawan bank yang menerangkan prosedur untuk mendapatkan suatu kredit bank. 3.
Alat Bukti Surat Definisi surat menurut Asser –Anema ialah segala sesuatu yang mengadung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.5 Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan Tegas tentang keterangan itu; b. surat yang dibuat menurut keadaan peraturan perlundangan-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperluntukan bagi pembuktian suatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4.
Alat Bukti Petunjuk Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.6 Petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaiannya dengan satu sama lain.
5.
Alat Bukti Keterangan Terdakwa Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.7 KUHAP dengan jelas mencantumkan bahwa keterangan terdakwa termasuk kategori alat bukti, hal ini berbeda dengan peraturan lama yaitu HIR yang menyebut pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.
5
Andi Hamzah, Op Cit, hlm. 271 Pasal 188 ayat (1) KUHAP 7 Pasal 189 ayat (1) KUHAP 6
7
B. Visum et Repertum 1. Pengertian Visum et Repertum visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan apa yang di ketemukan dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang luka atau meninggal dunia (mayat).8 Visum et Repertum merupakan keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.9 2. Visum et Repertum sebagai Alat Bukti Surat Pada pembuktian tindak pidana penganiayaan visum et repertum mempunyai peranan penting. Adapun yang dimaksud dengan peranan adalah yang diperbuat, tugas, hal yang besar pengaruhnya pada suatu peristiwa.10 Proses penyaksian barang bukti oleh dokter akan sangat berbeda dengan penyaksian yang dilakukan oleh seorang yang bukan dokter. Oleh karena, apa yang dokter saksikan, apa yang didengar dan apa yang dilihatnya, merupakan perbuatan hukum yang berkonsekuensi hukum juga. Pertimbangannya adalah bahwa apa yang dilakukan memang diminta, sementara aktifitasnya pun berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kedua faktor inilah yang menyebabkan segala sesuatu yang berkenaan kesaksian atas korban atau setidaktidaknya patut disangka menjadi korban tindak pidana mempunyai kekuatan sebagai alat bukti.11 3. Jenis-jenis Visum Et Repertum a. Visum et repertum untuk orang hidup b. Visum et repertum untuk mayat / orang yang telah meninggal Berdasarkan pembuatan visum et repertum dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu12 : a. Visum et repertum dibuat oleh dokter kehakiman yang dilakukan terhadap korban tindak pidana yang dibuat atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim guna mengetahui sebab-sebab korban. Kesimpulan dari visum et repertum merupakan hal yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi pelaku tindak pidana. b. Visum et repertum dibuat oleh dokter ahli jiwa atas permintaan terdakwa atau penasehat hukumnya yang memuat keterangan tentang keadaan kesehatan jiwa pelaku tersebut untuk meringankan atau menghapus hukuman. 8
Waluyadi, Op Cit, hlm. 32 M. Husni Gani, Op Cit, hlm. 1 10 Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Amanah, hlm. 377 11 Waluyadi, Op Cit, hlm. 35 12 Njowito Hamdani, 1997, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Jakarta : Gramedia, hlm. 26 9
8
C. Tindak Pidana Penganiayaan 1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Secara umum tindak pidana terhadap tubuh dengan sengaja pada KUHP disebut penganiayaan. Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain yang sematamata merupakan tujuan dari perbuatan tersebut. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Penganiayaan Secara umum, penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya kesengajaan Maksud kesengajaan disini adalah Barang siapa dengan sengaja melukai atau merusak kesehatan orang dengan sengaja. 2. Adanya perbuatan Perbuatan yang dimaksud adalah Perbuatan dengan kesengajaan yang menjadikan orang luka berat, luka ringan dan menyebabkan orang meninggal dunia. 3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni : a. Rasa sakit, tidak enak pada tubuh b. Lukanya tubuh 4. Akibatnya sebagaimana menjadi tujuan satu-satunya. Unsur 1 dan 2 adalah bersifat subjektif, sedangkan unsur 2 dan 3 bersifat objektif.
9
III. PERANAN VISUM ET REPERTUM PADA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN
A. Peranan Visum et repertum pada Penyidikan Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak pidana penganiayaan merupakan kejahatan yang sering terjadi di tengah masyarakat. Di media massa dapat kita lihat hampir setiap hari terdapat kasus – kasus penganiayaan. Penganiayaan dapat terjadi dimana dan kapan saja dan pelakunya bisa siapa saja, misalnya penganiayaan guru terhadap muridnya, penganiayan murid sesama murid, penganiayaan terhadap tetangga dan lain-lain. Dalam ruang lingkup rumah tangga penganiayaan juga sering terjadi, yang sekarang disebut dengan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Namun, untuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ketentuan pidananya dapat digunakan ketentuan khusus yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Setiap tahun tindak pidana penganiayaan terjadi di kota Padang khususnya diwilayah hukum Polsek Pauh dengan cara dan motif yang berbeda. Tabel berikut akan menggambarkan jumlah tindak pidana penganiayaan yang dilaporkan ke Polsek Pauh Padang. Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilaporkan Di Polsek Pauh Padang Tahun 2012 dan 2013 Tahun 2012 Tahun 2013 L S L S 1 Januari 1 1 6 2 2 Februari 4 1 4 3 Maret 7 4 3 1 4. April 4 2 1 5 Mei 1 2 3 3 6 Juni 2 2 1 7 Juli 2 1 6 8 Agustus 5 2 7 7 9 September 5 7 4 2 10 Oktober 4 2 3 1 11 November 3 1 3 3 12 Desember 3 3 6 0 Jumlah 41 26 44 24 Sumber data : Renmin Reskrim Polsek Pauh Padang Ket : L = Lapor S = Selesai No
Bulan
10
Berdasarkan tabel di atas, tindak pidana penganiayaan yang dilaporkan ke Polsek Pauh Padang pada tahun 2013 jumlahnya lebih banyak dibandingkan tahun 2012 apabila dilihat dari jumlah laporannya adanya sedikit tambahan pada tahun 2013 yaitu sebanyak 44 kasus dibandingankan dengan tahun 2012 yaitu sebanyak 41 kasus, sedangkan untuk penyelesaian kasus sedikit lebih menurun pada tahun 2013 dibandingkan dengan tahun 2012. Untuk diketahui bahwa setiap adanya Laporan dari masyarakat ke pihak Kepolisian mengenai peristiwa penganiayaan akan selalu dilakukan Visum et Repertum terhadap korban sebagai alat bukti otentik untuk tahap penyidikan dalam mengungkapkan tindak pidana penganiayaan. Dari tabel tersebut dapat kita lihat perbedaan antara jumlah laporan yang masuk dengan jumlah laporan yang selesai setiap bulannya di Polsek Pauh Padang. Pada bulan Februari 2013 adanya penyelesaian kasus tindak pidana penganiayaan sedangkan laporan yang masuk dari masyarakat tidak ada, hal ini dikarenakan adanya tunggakkan kasus pada bulan sebelumnya dan baru terselesaikan pada bulan berikutnya baik itu perkaranya dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum maupun penyelesaian dengan kekeluargaan. Untuk penyelesaian perkara Penganiayaan secara kekeluargaan dikarenakan korban yang melaporkan kejadian tindak pidana penganiayaan adanya hubungan dengan tersangka baik itu hubungan kekeluargaan/family dan juga akibat dari penganiayaan tersebut tidak menganggu aktifitas korban sehari-hari (luka ringan). Untuk kasus penganiayaan yang penyelesaiannya dengan kekeluargaan atau damai tidak dilakukan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Jaksa Penuntut Umum karena kasus ini dihitung selesai, dan juga kasus penganiayaan penyelesaiaan secara kekeluargaan atau damai tidak menghilangkan peristwa tindak pidanannya. 13 Adapun kasus-kasus yang diselesaikan oleh penyidik maka berkas perkaranya diserahkan ke Kejaksaan. Untuk itu didalam berkas perkara tindak penganiayaan, penyidik selalu melengkapi berkas perkaranya dengan visum et repertum. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 133 ayat (1) KUHAP, dimana dalam hal kepentingan peradilan, penyidik dalam pemeriksaan atau keterangan seorang korban baik luka, keracunan ataupun kematian yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli lainnya. Bagi penyidik visum et repertum berperan untuk menentukan sejauhmana luka yang diderita oleh korban, sehingga nantinya penyidik dapat memperkirakan pasal mana yang telah dilanggar oleh tersangka. Apabila korban mengalami luka berat maka penyidik dapat menentukan tersangka melanggar Pasal 351 ayat (2) KUHP ataupun Pasal 354 KUHP, tergantung pada hasil alat bukti visum et repertum dan alat bukti lain serta barang bukti yang ditemukan oleh penyidik.14 Berdasarkan penelitian Penulis di Polsek Pauh Padang, semua tindak pidana penganiayaan yang dilaporkan dan di proses serta penyerahan berkas perkara ke Kejaksaan selalu dilengkapi dengan visum et repertum untuk 13
Wawancara dengan Aiptu Sumarwan (Penyidik Pembantu Polsek Pauh) pada tanggal 06 Oktober 2014 di Polsek Pauh Padang. 14 Wawancara dengan Aiptu Sumarwan (Penyidik Pembantu) pada tanggal 06 Oktober 2014 di Polsek Pauh Padang.
11
membuktikan bahwa tindak pidana penganiayaan benar-benar terjadi. Dalam setiap acara pembuktian tindak pidana di persidangan, visum et repertum selalu digunakan hakim untuk menambah keyakinannya serta untuk mendukung alat bukti yang lain. Sehinga nantinya visum et repertum tersebut dijadikan dasar putusan bagi hakim untuk menjatuhkan pidana karena dakwaan terbukti atau membebaskan terdakwa karena dakwaan tidak terbukti. Khusus untuk tindak pidana penganiayaan, visum et repertum berperan untuk menentukan sejauh mana luka yang diderita oleh korban dan untuk membuktikan apakah terpenuhinya unsur-unsur dari tindak pidana penganiayaan terhadap luka yang dialami korban tersebut. Contoh Kasus Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap uraian di atas dapat kita lihat bahwa visum et repertum sebagai alat bukti yang sah mempunyai peranan dalam pembuktian tindak pidana penganiayaan. Berikut akan diuraikan sebuah kasus tindak pidana penganiayaan disertai analisa mengenai peranan visum et repertum sebagai alat bukti terhadap tindak pidana penganiayaan di Polsek Pauh Padang. Laporan Polisi Nomor : LP / 244 / K / XI / 2010/Sekta Yang melaporkan : Nama : JASRIL Pgl. JAS Umur : 40 Tahun Suku : Jambak/Minang Pekerjaan : Swasta Alamat : Kapalo Koto RT 04 RW 02 Kelurahan Kapalo Koto Pauh Padang. Korban : Nama : JUSNIWATI Pgl. JUS Umur : 45 Tahun Suku : Jambak / Minang Pekerjaan : Rumah Tangga Alamat : Kampung Duri RT 04 RW 02 Kelurahan Kapalo Koto Pauh Padang Saksi : Nama : JONWARDI Pgl. IJAR Umur : 36 Tahun Suku : Jambak / Minang Pekerjaan : Swasta Alamat : Simpang Pasia Kapalo Koto RT 02 RW 02 Kelurahan Kapalo Koto Pauh Padang (Dekat Masjid Tazul Arifin) Saksi : Nama : MASNI Pgl. NIS Umur : 70 Tahun Suku : Jambak / Minang Pekerjaan : Rumah Tangga Alamat : Kampung Duri RT 04 RW 02 Kelurahan Kapalo Koto Pauh Padang
12
Tersangka : Nama Umur Suku Pekerjaan Alamat
: RAFLI Pgl. UJANG RAMBO : 48 Tahun : Tanjung/ Minang : Buruh : Kapalo Koto RT 13 RW 02 Kelurahan Kapalo Koto Kecamatan Puah Padang 1. Fakta – fakta yang terjadi berdasarkan keterangan saksi-saksi : a. Pada hari Sabtu tanggal 13 November 2010, sekira pukul 12.30 Wib telah terjadi tindak pidana penganiayaan yang beralokasi di Belakang PLTG Kelurahan Cupak Tangah Pauh Padang. Perbuatan tersebut dilakukan oleh tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMBO terhadap diri Korban JUSNIWATI Pgl. JUS. b. Bahwa tersangka adalah Suami Korban yang telah menikah dengan korban tahun 2008 sesuai dengan Surat pernyataan Nikah antara RAFLI dengan JUSNIWATI pada tanggal 13 Januari 2008, dimana pernikahannya tidak terdaftar di Catatan Sipil. Sejak menikah korban dengan tersangka sudah tinggal satu rumah di Kelurahan Kapalo Koto Kecamatan Pauh Padang. c. Berdasarkan keterangan saksi pelapor JASRIL Pgl. JAS, saksi korban JUSNIWATI Pgl. JUS, Saksi JONWARDI Pgl. IJAR dan MASNI Pgl. NIS, membenarkan bahwa benar telah terjadi tindak pidana penganiayaan di Rel Kereta Api Belakang PLTG Kelurahan Cupak Tangah Pauh Kota Padang yang dilakukan oleh tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMBO. d. Berdasarkan keterangan tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMNBO, bahwa ia mengakui bahwa benar pada hari Sabtu tanggal 13 November 2010 sekira pukul 12.30 Wib tersangka telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang bertempat di Rel Kereta Api belakang PLTG Kelurahan Cupak Tangah Pauh Kota Padang. 2. Penerapan Pasal/ analisa yuridis Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, benar pada hari Sabtu tanggal 13 November 2010 sekira pukul 12.30 Wib telah terjadi tindak pidana Penganiayaan yang bertempat di Rel Kereta Api belakang PLTG Cupak Tangah Pauh Padang atau sekurang-kurangnya masih termasuk kedalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Padang yang dilakukan oleh tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMBO, dan Selaku Penyidik berupaya menerapkan pasal 44 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 yo Pasal 354 ayat (1) yo Pasal 351 ayat (2) KUHPidana. Yang mana unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : a. Pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 : Unsurnya : “Setiap Orang yang melakukan perbuatan fisik dalam lingkup rumah tangga” 1) Bahwa berdasarkan keterangan saksi Korban JUSNIWATI Pgl. JUS dan Keterangan Tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMBO
13
b.
bahwa hubungan antara Korban dengan tersangka adalah sudah menikah tetapi hanya dengan berdasakan Surat Pernyataan Nikah pada tanggal 13 Januari 2008 (Menikah dibawah tangan) dan tidak terdaftar dalam catatan sipil. Dalam hal ini penyidik berupaya menerapkan pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dimana keduanya sudah tinggal satu rumah semenjak pernikahan tersebut. 2) Kekerasan fisik yang dilakukan tersangka kepada korban, menurut keterangan dari Saksi korban JUSNIWATI Pgl. JUS, saksi pelapor JONWARDI Pgl IJAR, saksi JASRIL Pgl. JAS dan MASNI pgl NIS mengatakan bahwa tersangka menganiaya korban dengan menggunakan alat yaitu pecahan beton/semen dan parang yang panjanganya + 50 Cm. Cara tersangka melakukan penganiayaan adalah dengan memukul bagian belakang kepala korban dengan beton/semen sebanyak 1 (satu) kali dan memukulkan parang kebagian belakang kepala korban sebanyak 1 (satu) kali. Dan juga menurut keterangan korban bahwa setelah tersangka melayangkan parang ke arah bagian belakang kepala korban kemudian tersangka memukul wajah korban sebanyak 4 (empat) kali dan setelah korban terjatuh dengan posisi terlentang tersangka menginjak-injak tubuh korban dengan kakinya. 3) Bahwa akibat yang dialami oleh saksi korban JUSNIWATI Pgl. JUS yaitu Kepala bagian kiri mengalami luka dan dijahit sebanyak 5 (lima) jahitan, kepala bagian kanan belakang mendapat 15 (lima belas) jahitan luar dalam, dibawah mata sebelah kanan luka memar dan pundak luka gores. 4) Berdasarkan hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh RSUP DR. M. DJAMIL Padang dengan Nomor : YM.01.08.1.520 tanggal 13 November 2010, menerangkan dengan kesimpulan sebagai berikut : “Korban mengalami luka terbuka pada kepala kanan dan jempol kanan akibat kekerasan tajam dan luka gores pada punggung kanan, luka terbuka pada kepala bagian kiri akibat kekerasan tumpul. Derajat luka tidak adapat ditentukan karena saat ini korban masih dalam perawatan rumah sakit”. 354 ayat (1) KUHPidana : Unsurnya : “Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain” 1) Bahwa berdasarkan keterangan Saksi korban JUSNIWATI Pgl. JUS, saksi pelapor JONWARDI Pgl IJAR, saksi JASRIL Pgl. JAS dan MASNI pgl NIS, menerangkan bahwa tersangka melakukan penganiayaan kepada korban dengan memukulkan pecahan beton/semen bagian belakang kepala korban, membacok bagian belakang kepala korban dengan parang sebanyak 1 (satu) kali, memukul wajah korban sebanyak 4 (empat) kali dan setelah korban
14
c.
terjatuh dengan posisi terlentang tersangka menginjak-injak tubuh korban dengan kakinya. 2) Bahwa akibat yang dialami oleh saksi korban JUSNIWATI Pgl. JUS yaitu Kepala bagian kiri mengalami luka dan dijahit sebanyak 5 (lima) jahitan, kepala bagian kanan belakang mendapat 15 (lima belas) jahitan luar dalam, dibawah mata sebelah kanan luka memar dan pundak luka gores. 3) Berdasarkan hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh RSUP DR. M. DJAMIL Padang dengan Nomor : YM.01.08.1.520 tanggal 13 November 2010, menerangkan dengan kesimpulan sebagai berikut : “Korban mengalami luka terbuka pada kepala kanan dan jempol kanan akibat kekerasan tajam dan luka gores pada punggung kanan, luka terbuka pada kepala bagian kiri akibat kekerasan tumpul. Derajat luka tidak adapat ditenutkan karena saat ini korban masih dalam perawatan rumah sakit”. Pasal 351 ayat (2) KUHPidana : Unsurnya : “Jika perbuatan itu menjadikan luka berat” 1) Bahwa akibat perbuatan yang dilakukan oleh tersangka kepada korban JUSNIWATI Pgl. JUS yaitu Kepala bagian kiri mengalami luka dan dijahit sebanyak 5 (lima) jahitan, kepala bagian kanan belakang mendapat 15 (lima belas) jahitan luar dalam, dibawah mata sebelah kanan luka memar dan pundak luka gores. 2) Berdasarkan hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh RSUP DR. M. DJAMIL Padang dengan Nomor : YM.01.08.1.520 tanggal 13 November 2010, menerangkan dengan kesimpulan sebagai berikut : “Korban mengalami luka terbuka pada kepala kanan dan jempol kanan akibat kekerasan tajam dan luka gores pada punggung kanan, luka terbuka pada kepala bagian kiri akibat kekerasan tumpul. Derajat luka tidak adapat ditenutkan karena saat ini korban masih dalam perawatan rumah sakit”.
Analisis Kasus Berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana penganiayaan yang terjadi termasuk wilayah Kota padang khususnya di wilayah hukum Polsek Pauh Padang, maka yang berhak dan berwenang melakukan Penyelidikan maupun Penyidikan adalah Mapolsek Pauh Padang. Pada kasus di atas, berdasarkan keterangan saksisaksi, keterangan tersangka, barang bukti serta petunjuk maka Penyidik melakukan penahanan terhadap tersangka An. RAFLI Pgl. UJANG RAMBO yang diduga melakukan tindak pidana penganiayaan sehingga menjadikan korban luka berat dengan penerapan Pasal 354 ayat (1) yo Pasal 351 ayat (2) KUHPidana KUHP. Dalam hal ini Penyidik menerapkan pasal tindak penganiayaan dan Pasal 44 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk selanjutnya berkas perkara dilimpahkan ke
15
Kejaksaan, akan tetapi Jaksa Penuntut Umum dalam penerapan pasal UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak memenuhi unsur karena tidak adanya bukti otentik bahwa antara Korban JUSNIWATI dengan Tersangka RAFLI Pgl. UJANG RAMBO telah menikah secara resmi yang tercatat dalam pencatatan sipil atau dalam buku Akta Nikah. Sebelum melimpahkan berkas perkara, Penyidik melengkapi berkasnya berupa alat-alat bukti seperti keterangan saksi, keterangan tersangka, petunjuk dan barang bukti serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersangka. Kemudian untuk memperkuat tersangka melakukan tindak pidana penganiayaan dilengkapi dengan alat bukti visum et repertum yang menerangkan bahwa korban mengalami luka dengan keterangan yaitu Kepala bagian kiri mengalami luka dan dijahit sebanyak 5 (lima) jahitan, kepala bagian kanan belakang mendapat 15 (lima belas) jahitan luar dalam, dibawah mata sebelah kanan luka memar dan pundak luka gores dan korban memerlukan rawat inap di rumah sakit. Visum et repertum tersebut menambah keyakinan Penyidik bahwa korban mengalami luka berat dan juga dirawat di rumah sakit sehingga menghalangi korban dalam melakukan pekerjaannya (Pasal 90 KUHP) dan juga dalam maut. Disinilah terlihat peranan visum et repertum tersebut, dimana visum et repertum sebagai alat bukti surat saling mendukung terhadap alat-alat bukti yang lainnya dan berperan memperkuat tersangka melakukan tindak pidana penganiayaan. Selain itu, visum et repertum juga berguna menentukan sejauh mana luka yang diderita korban dan menentukan terpenuhi atau tidaknya unsurunsur dari tindak pidana penganiayaan dari luka tersebut. Dalam mempergunakan visum et repertum pada kasus RAFLI Pgl. UJANG RAMBO tersebut, penyidik tidak menemukan kendala-kendala. Karena visum et repertum dibuat sejelas mungkin dan dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh Penyidik dalam penerapan pasal (tidak menggunakan istilah-istilah kedokteran). B. Kendala-kendala Yang ditemui Penyidik, baik faktor internal maupun eksternal dalam mempergunakan Visum et Repertum sebagai alat bukti Tindak Pidana Penganiayaan Adapun kendala-kendala bagi Penyidik karena faktor internal dalam mempergunakan visum et repertum sebagai alat bukti adalah sebagai berikut : 1. Kasus tindak pidana penganiayaan terkadang Penyidik mempunyai perbedaan pandangan dengan apa yang tercantum dalam visum et repertum. 2. Mengenai kata-kata atau istilah-istilah kedokteran yang terdapat dalam visum et repertum yang tidak jelas bunyinya sehingga kurang dimengerti oleh Penyidik. Sedangkan kendala-kendala yang ditemui Penyidik karena faktor eksternal dalam mempergunakan Visum et Repertum sebagai alat bukti penganiayaan adalah : 1. Adanya penolakan dari Korban penganiayaan untuk dilakukan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit setelah melaporkan kasus penganiayaan ke pihak Kepolisian karena si korban kurang mengetahui peranan penting dari hasil visum et repertum dalam rangka proses
16
penyidikan untuk penerapan pasal dan melengkapi berkas perkara bagi penyidik sebagai salah satu alat bukti yang otentik. 2. Bahwa setelah diajukan permintaan visum et repertum ke rumah sakit yang ditunjuk dan ditangani oleh dokter yang berwenang, dimana untuk penerbitan surat hasil visum et repertum memakan waktu agak lama sehingga memperlambat juga dalam proses melengkapi berkas perkara penyidikan oleh pihak kepolisian. C. Cara mengatasi kendala-kendala yang ditemui Penyidik Terhadap Visum et Repertum dalam pemeriksaan Tersangka Tindak Pidana Penganiayaan. Adapun cara mengatasi kendala-kendala yang ditemui penyidik terhadap visum et repertum dalam perkara tindak pidana penganiayaan karena faktor internal adalah sebagai berikut : 1. Mengatasi perbedaan pandangan dengan apa yang tercantum dalam hasil visum et repertum, penyidik meminta penjelasan langsung atau berkoordinasi dengan dokter yang membuat visum et repertum, sehingga mengerti dan jelas isi dari visum et repertum tersebut dan memperkuat Penyidik dalam penerapan pasal penganiayaan berat terhadap perbuatan tersangka. 2. Untuk mengatasi kata-kata atau istilah-istilah kedokteran yang terdapat dalam visum et repertum yang tidak jelas bunyinya sehingga kurang dimengerti oleh penyidik, maka penyidik akan meminta penjelasan langsung ke dokter yang mengeluarkan visum et repertum tersebut karena adanya istilah kedokteran yang tidak dapat diganti dengan istilah lain. Sedangkan cara mengatasi kendala-kendala dalam mempergunakan Visum et Repertum karena faktor eksternal adalah : 1. Untuk kendala penolakan dari korban penganiayaan untuk dilakukan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit setelah melaporkan kasus penganiayaan ke pihak Kepolisian adalah memberikan arahan dan pengertian kepada si korban bahwa pentingnya peranan visum et repertum untuk melengkapi alat bukti yang sah guna mengungkap tindak pidana penganiayaan yang telah dilaporkan oleh korban. 2. Cara mengatasi penerbitan hasil visum et repertum yang dikeluarkan oleh dokter yang berwenang setelah diajukan permintaannya adalah dengan selalu koordinasi dengan pihak dokter yang ditunjuk untuk melakukan visum et repertum agar segera mungkin mengeluarkan hasil visum et repertum guna kecepatan dan ketepatan dalam melengkapi berkas perkara D. Pertimbangan Penyidik terhadap hasil Visum et Repertum dalam pemeriksaan Tersangka Tindak Pidana Penganiayaan. Seorang Penyidik sebelum menerapkan pasal suatu perkara tindak pidana penganiayaan maka dia harus mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan visum et repertum, yaitu sebagai berikut : 1. Penyidik harus melihat kondisi korban
17
Dalam kasus tindak pidana penganiayaan, visum et repertum sangat berperan bagi Penyidik. Apakah korban menderita luka ringan, ataupun luka berat. Dari kondisi tersebut, Penyidik dapat menerapkann pasal apa yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penganiayaan yang dilakukan tersangka. 2.
Penyidik harus melihat kondisi tersangka Selain hal di atas, Penyidik juga perlu memperhatikan kondisi dari si tersangka, apakah pada waktu melakukan perbuatan tersebut pelaku mengalami gangguan kejiwaan atau tidak (Pasal 44 ayat (1) KUHP), apakah pelaku melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, dan apakah perbuatan tersebut untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa atau bukan (Pasal 51 KUHP).
18
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, akhirnya penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Bahwa visum et repertum berperan sebagai alat bukti yang menentukan sejauh mana luka yang diderita oleh korban, sehingga nantinya Penyidik dapat menerapkan unsur-unsur pasal mana yang akan diterapkan dari tindak pidana penganiayaan tersebut apakah penganiayaan itu berat atau ringan. 2. Kendala-kendala yang ditemui Penyidik dalam mempergunakan visum et repertum karena faktor internal adalah terkadang penyidik mempunyai perbedaan padangan dengan apa yang tercantum dalam visum et repertum dan mengenai kata-kata atau istilah kedokteran yang tidak jelas bagi orang awam bunyinya sehingga kurang dimengerti. Sedangkan kendala-kendala yang ditemui karena faktor eksternal adalah adanya penolakan dari korban penganiayaan untuk dilakukan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit setelah melaporkan kasus penganiayaan ke pihak Kepolisian dan penerbitan surat hasil visum et repertum memakan waktu agak lama. 3. Cara mengatasi kendala-kendala yang ditemui Penyidik terhadap visum et repertum dalam pemeriksaan tersangka tindak pidana penganiayaan karena faktor internal adalah penyidik meminta penjelasan langsung atau berkoordinasi dengan dokter yang membuat visum et repertum dan terhadap istilah-istilah kedokteran yang terdapat dalam visum et repertum yang tidak jelas bunyinya maka penyidik akan meminta penjelasan langsung ke dokter yang mengeluarkan visum et repertum. Sedangkan untuk mengatasi kendala karena faktor eksternalnya adalah terhadap korban penganiayaan yang menolak untuk dilakukan pemeriksaan visum et repertum ke Rumah Sakit setelah melaporkan kasus penganiayaan ke pihak Kepolisian akan diberi arahan dan pengertian bahwa pentingnya peranan visum et repertum untuk melengkapi alat bukti yang sah guna mengungkap tindak pidana penganiayaan yang telah dilaporkan oleh korban dan untuk mengatasi masalah terhadap penerbitan hasil visum et repertum yang memakan waktu agak lama yaitu selalu koordinasi dengan pihak dokter yang ditunjuk untuk melakukan visum et repertum agar segera mungkin mengeluarkan hasil visum et repertum guna kecepatan dan ketepatan dalam melengkapi berkas perkara. 4. Penyidik sebelum mempergunakan visum et repertum, akan mempertimbangkan apakah terdapat kesesuaian antara visum et repertum dengan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi dan keterangan tersangka, dan visum et repertum menjadi pedoman bagi penyidik dalam menentukan hal-hal yang memberatkan bagi tersangka.
19
B. Saran 1. Agar Penyidik dalam melakukan pemeriksaan untuk penerapan pasal lebih memahami peranan visum et repertum, karena visum et repertum merupakan salah satu alat bukti yaitu masuk kategori alat bukti surat. 2. Agar dalam pembuatan visum et repertum, dokter membuatnya sejelas mungkin dan menggunakan istilah yang mudah di mengerti oleh Penyidik maupun orang awam serta penerbitan hasil visum et repertum dipercepat, sehingga mempercepat Penyidik dalam melakukan pemeriksaan perkara untuk segera dilimpahkan ke Kejaksaan. 3. Sebaiknya dalam tindak pidana penganiayaan visum et repertum dibuat seketika mungkin, karena bekas pada tubuh korban / kondisi luka korban tidak mengalami perubahan. 4. Agar Penyidik memberikan arahan dan pengertian bahwa pentingnya peranan visum et repertum untuk melengkapi alat bukti yang sah guna mengungkap tindak pidana penganiayaan yang telah dilaporkan oleh korban.
20