Pertempuran Minoritas lawan Minoritas Sungguh menyakitkan jika kita harus mengakui kenyataan bahwa ada sesuatu yang patologis dalam kehidupan bangsa ini. Setiap orang mengakui negeri ini multietnis, tapi jauh di alam bawah sadar masing-masing, hingga 1998, bersembunyi sebuah sentimen buruk lagi diskriminatif: suka melemparkan kesalahan kepada minoritas Tionghoa atas segala kegagalan, kesalahan, kesalahpahaman dan ketidakberuntungan yang menimpa selama ini. Memang, pemerintah otoriter Soeharto tergolong rajin memanipulasi serta memelihara sentimen anti-tionghoa (anti-Cina) agar tetap hidup. Namun di lain pihak, ironis dan pahit sekali rasanya mengakui bahwa demokrasi atau reformasi didahului dengan sesuatu yang rasialis dan antidemokrasi: persekusi terhadap etnik Tionghoa pada Mei 1998. Tapi Indonesia berubah. Para pencinta demokrasi tersenyum lega menyaksikan negeri ini berhasil memadamkan sentimen jahat itu menyusul runtuhnya pemerintah Soeharto pada 1998. Rasa lega ini mencapai puncaknya manakala seorang pengusaha-birokrat Tionghoa asal Bangka-Belitung, Basuki Tjahjadi Purnama alias A Hok, lantas terpilih sebagai wakil gubernur DKI Jakarta pada 2013. Selamat buat Indonesia! Sejak 1998 hingga detik ini belum ada kabar besar yang memberitakan bangkit kembalinya sentimen antitionghoa ke ruang publik. Tapi tunggu dulu. Tanpa sepengetahuan para aktivis dan intelektual pencinta demokrasi, hubungan mayoritas - minoritas relijius tiba-tiba memburuk. Media massa ramai menyampaikan: mayoritas sunni tak lagi bisa mentolerir sekte lain di
luar kelompoknya. Seperti ada yang mengorkestrasi, persekusi terhadap minoritas rupanya tidak juga berhenti. Yang membedakan persekusi kali ini hanya obyek-sasarannya yang telah berganti: dari minoritas etnik menjadi minoritas relijius. Organisasi massa garis keras seperti Fron Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Forum Umat Islam, membentuk barisan bersama, seraya mengepung masjid atau situs lain yang menjadi nukleus kegiatan kelompok Ahmadiyah di Jawa Barat, juga di Nusa Tenggara Barat. Dalam hitungan bulan, sasaran mereka pun bertambah satu: kelompok syiah, sebuah sekte minoritas lain di Indonesia. Persekusi terhadap syiah terjadi di Madura dan Nusa Tenggara Barat. Namun apa yang dari luar tampak seperti sebuah konflik internal (pembersihan, pemurnian) dalam Islam itu kemudian berubah jadi lebih complicated manakala kelompok gabungan ormas garis keras ini pun mulai menyerang gereja kristen – yang memang mengalami proliferasi yang dahsyat akhir-akhir ini. Aksi menyulut reaksi, dan reaksi serupa muncul di beberapa daerah di mana umat islam berada dalam posisi minoritas dan kristen sebagai mayoritas. Di Nusa Tenggara Timur dan Maluku beberapa kelompok kristen berusaha keras untuk menggagalkan pembangunan masjid di lingkungan kristen. Sejak reformasi, menurut Institut Setara, terdapat 216 kasus kekerasan terhadap minoritas relijius pada 2010, 244 kasus pada 2011, dan 264 kasus pada 2012. Wahid Istitute di Jakarta juga mencatat dan mendokumentasikan 92 kekerasan terhadap kebebasan beragama dan 184 kasus intoleransi pada 2011. Kendati jumlah keanggotaannya jauh di bawah organisasi mainstream seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama,
organisasi masyarakat seperti FUI dan FPI memainkan peranan menentukan dalam apa yang mereka sebut pemurnian dan pembersihan akidah ini. Terus terang saja, apa yang sekarang terjadi di Indonesia bukanlah konflik mayoritas – minoritas relijius, melainkan konflik antara satu kelompok minoritas melawan minoritas yang lain. Yakni persekusi terhadap minoritas ahmadiyah, syiah dan Kristen oleh kelompok dan ormas kecil tapi militan. Beberapa kelompok tentu memiliki imajinasi akan implementasi syariah di Indonesia, namun banyak sekali kelompok yang menggunakan kesempatan ini untuk mewujudkan agenda dan kepentingannya sendiri (free riders). Satu lagi, tak sedikit di antara mereka yang memandang ajang persekusi ini sebagai pentas di mana keberadaan kelompoknya diakui (dikenali dan ditakuti) publik. FPI, didirikan pada 1998 dan dipimpin oleh Habib Riziq Shihab memiliki track record tak tertandingi selama ini: menggagalkan konser Lady Gaga di Jakarta tahun lalu, menutup dengan paksa lokasi pelacuran dan tempat hiburan lain, menghancurkan toko atau warung yang menjual minuman keras terutama di sepanjang bulan Ramadan, dan banyak lagi. Sebenarnya, penganut ortodoks non muslim di mana pun cukup menyambut baik sepak terjang mereka untuk mengenyahkan praktek maksiat selama ini. Namun, kebiasaan mereka melakukan kekerasan dalam hampir setiap aksinya menberikan gambaran bahwa mereka menginginkan lebih dari sekadar menghapuskan prostitusi dan konsumsi minuman keras di negeri ini.
* * *
Di Tanah Abang, dari generasi ke generasi, tanpa banyak mengeluh penduduk asli Betawi mewarisi profesi yang sama dengan orang tuanya: sopir mikrolet, sopir pribadi, kemudian ojek – sampai akhirnya seorang habib karismatik mendirikan FPI dan menawarkan satu paket pandangan relijius. Dalam tradisi Islam Betawi, Habib adalah ulama dengan status geneologis istimewa: keturunan Rasulullah salallahu alaihi was salam. Di Tanah Abang, Habib Riziq menyerukan praktek agama yang konservatif, dengan penekanan pada hak orang tertindas melakukan aksi kekerasan kepada mereka yang diyakini telah menyerang dan menyakiti peri kehidupannya. Duet antara orang-orang Betawi yang tersingkirkan dan hendak mengingatkan bahwa mereka belum terhapus dalam peta kehidupan modern kota tua ini, dan sang Habib yang tak mengenal kompromi dalam menafsirkan ayat dan hadits ini segera menemukan satu hal: superioritas kelompok kecil yang militan di atas kelompok mayoritas yang moderat. Semenjak Soeharto yang otoriter lengser dari takhta kepresidenan yang disusul dengan lahir dan menjamurnya kelompok-kelompok bernafaskan etnis dan agama, orang-orang yang tersingkir dari lingkungan dan kotanya ini kemudian belajar bahwa kekerasan adalah instrumen yang ampuh untuk membuat keberadaan mereka terlihat. Sayang sekali, di Jakarta yang moderen, computerized dan digitalized, banyak orang Betawi di Tanah Abang –juga di tempat lain—kemudian tak tersentuh dengan dunia digital. Ironis sekali, mereka tidak fasih berbicara dalam bahasa digital, dan satu-satunya bahasa yang mereka pahami hanya bahasa kekerasan.
Sampai di sini, cukup menarik membandingkan peran yang dimainkan dua habib muda terkenal di Jakarta: Habib Riziq yang militan dan (alm.) Habib Munzir al Musawwa. Ketimbang melancarkan perang terhadap minuman keras dan prostitusi, Habib Munzir membubuhkan percikan tasawuf dalam khotbah-khotbahnya, mengajak para pengikutnya lebih banyak bercermin daripada mengawasi lingkungan dari aneka maksiat, dan berbicara dengan lemah-lembut. Tak seperti Habib Riziq, Habib Munzir tidak mengirimkan kesan yang salah kepada kalangan non muslim bahwa mereka akan mendirikan Negara islam. Namun Habib Munzir telah menyedot ribuan anak muda datang ke majelis taklimnya di daerah Pancoran pada setiap Senin malam, dan ini menimbulkan kemacetan parah yang paling dibenci oleh para pengendara mobil dan motor di sana. Harus diakui, rendahnya kemampuan dan arisma Negara buat mempersuasi warga memiliki andil dalam kamacetan yang berlangsung hingga lewat tengah malam ini. Namun atraksi kegiatan ini tidak terletak pada lemahnya aparat Negara, sang habib atau pun materi khotbahnya. Inilah suatu demonstrasi kaum muda yang berbondong-bondong “menduduki” jalan raya sekadar memperlihatkan bahwa anak muda Betawi pendukung Habib Munzir eksis. Bagaimana kita kemudian memperlakukan radikalisme FPI ? Banyak orang cenderung untuk memadang persoalan ini secara ideologis: bagian dari pertempuran abadi radikal lawan moderat, radikal konservatif lawan liberal secular. Sering sekali mereka gagal melihat kelompok yang acap menggunakan kekerasan dalam aksiaksinya ini sebagai sebuah sindroma urban, dan kunci untuk memecahkan persoalannya terletak pada pengakuan social terhadap
masyarakat yang tersingkir itu. * ** Organisasi massa seperti FPI sebenarnya membutuhkan pengakuan atau publikasi yang menunjukan bahwa islam sebagai rahmatin lil alamin juga melekat pada dirinya. Namun dalam perkembangannya, mereka seperti larut dalam arus besar dengan agenda khusus (pemurnian akidah) bersama ormas lainnya yang pada akhirnya membuat mereka mengeras terhadap orang-orang di luar lingkungannya: either you are with me, or against me – sebuah tema yang sebenarnya dibawakan George W Bush saat akan menyerang Afganistan dulu. Diakui atau tidak, FPI termasuk pionir yang menerjunkan banyak sukarelawan dalam menolong korban tsunami Aceh pada Desember 2004 dulu. Dengan perlengkapan seadanya, mereka terjun ke daerah tersulit untuk mengevakuasi jenazah, mendirikan tenda-tenda darurat di tanah yang ditimpa nestapa itu. Kalau sudah begini, saya jadi berpikir komunikasi yang baik antara banyak pihak, termasuk dengan ulama di luar lingkungan mereka dan media massa akan melahirkan terobosan – kalau bukan perubahan agenda besar pemurnian dan pemberantasan maksiat yang selama ini menjadi aktivitas rutin mereka di bulan Puasa. Dan soal negara islam adalah salah satu tema pembicaraan yang perlu mendapatkan prioritas utama sekarang ini. Akhirulkalam, saya ingin mengatakan bahwa apa yang baru saja saya sampaikan bukan satu-satunya jalan untuk mengharmoniskan hubungan media massa, ormas demi mengukuhkan NKRI. Bagi saya
pribadi, wartawan adalah mahasiswa seumur hidup. Ia tak pernah lulus. Karena begitu ia merasa lulus, berhentilah ia menjadi wartawan dan mulai menjadi pejabat. Idrus F Shahab