Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
PERTANYAAN SOKRATIK BERBANTUAN KOMPUTER UNTUK MEMBANTU MAHASISWA MEMAHAMI KONSEP SUHU MUTLAK Dyah Palupi Rohmiati, Sutopo Program Studi Pendidikan Fisika, Pascasarjana Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang 65145 email:
[email protected] [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media pertanyaan sokratik (MPS) terhadap pemahaman mahasiswa tentang konsep suhu mutlak serta alur berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan masalah tentang perbandingan suhu. Subjek penelitian terdiri dari 27 mahasiswa tahun pertama pendidikan fisika Universitas Negeri Malang yang mengikuti perkuliahan fisika dasar II. Penelitian dilakukan sebelum mahasiswa mempelajari termodinamika. MPS dikemas dalam bentuk flash dan memuat serangkaian pertanyaan yang kemunculannya bergantung pada respon mahasiswa. Mahasiswa dipersilakan menggunakan MPS berulang kali dan diwajibkan melaporkan catatan jadwal pemakaian dan rekaman alur jawaban. Hasil pretes-postes menunjukkan bahwa MPS dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang konsep suhu mutlak. Peningkatan ditunjukkan dengan adanya perubahan konsepsi pada seluruh mahasiswa. Peningkatan juga dapat diketahui berdasarkan rekam jejak mahasiswa dalam menggunakan MPS. Saat pertama kali menggunakan MPS, tidak ada mahasiswa yang secara langsung memilih jawaban benar. Tidak adanya mahasiswa yang memilih jawaban benar berarti mahasiswa tidak mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Saat terakhir kali menggunakan MPS, semua mahasiswa telah memilih jawaban benar yang berarti semua mahasiswa sudah mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Kata kunci: pertanyaan sokratik, suhu mutlak, media flash
PENDAHULUAN
Pengalaman yang diperoleh bermacammacam dan berbeda antara individu satu dengan yang lain (Madhyastha dkk., 2009). Pengalaman-pengalaman tersebut menimbulkan konsepsi yang kadang tidak sama dengan konsepsi para ahli (Tayubi, 2011). Adanya konsepsi yang menyimpang dari konsepsi para ahli biasa disebut dengan miskonsepsi (Gonen & Kocakaya, 2010). Berdasarkan tes yang telah dilakukan dan kajian literatur (Alwan, 2011; Baser, 2006; Gönen & Kocakaya, 2010; Khan, 2009; Leinonen dkk., 2013; Nottis dkk., 2010;
Fisika memiliki beberapa konsep yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu konsep fisika yang secara langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan tidak teramati secara langsung adalah konsep kalor dan suhu (Baser, 2006). Konsep kalor dan suhu banyak berkaitan dengan fenomena dalam kehidupan sehari-hari (Baser, 2006). Fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari memberikan banyak pengalaman. 1236
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
Streveler dkk., 2011; Tanahoung dkk., 2010), terdapat pemahaman yang salah terhadap konsep kalor dan suhu. Pemahaman tersebut diantaranya adalah tentang kesetimbangan termal, suhu mutlak, pemuaian, laju perpindahan kalor, hubungan antara suhu dengan massa, hubungan kalor dengan massa, dan hubungan kalor dengan jenis benda. Bahkan ditemukan sejumlah miskonsepsi pada topiktopik tersebut. Miskonsepsi diyakini menghambat proses penerimaan konsep-konsep baru (Schnittka & Bell, 2010). Oleh karena itu upaya untuk mengatasi miskonsepsi menjadi perhatian para peneliti pendidikan fisika (Gupta dkk., 2010; Slotta & Chi, 2006; Wosilait dkk., 1998; Corpuz & Rebello, 2011). Pada prinsipnya upaya-upaya tersebut adalah dengan membuat siswa sadar bahwa dirinya mengalami miskonsepsi kemudian membimbing siswa mengubah konsepsinya menjadi konsep ilmiah melalui beberapa aktivitas (Docktor & Mestre, 2014). Strategi yang umum digunakan adalah strategi konflik kognitif. Konflik kognitif akan memberikan rasa ketidakpuasan pada pemikiran yang sebelumnya diyakini benar (Baser, 2006). Salah satu bentuk strategi konflik kognitif adalah pemberian serangkaian pertanyaan sokratik. Pertanyaan sokratik adalah pertanyaan yang digunakan untuk mengklarifikasi lebih dalam dari sebuah pernyataan (Redhana, 2012). Selain itu, pertanyaan sokratik melibatkan sejumlah pertanyaan untuk menguji nilai, prinsip, dan kepercayaan/keyakinan mahasiswa (Center for Teaching and Learning, 2003) Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan ditemukan bahwa mahasiswa pendidikan fisika belum memiliki pemahaman yang baik tentang konsep suhu mutlak. Meskipun di SMA mereka sudah menerima konsep ini dan mengetahui bahwa dalam termodinamika suhu sistem harus dinyatakan dalam Kelvin,
mereka tidak dapat memberikan alasan mengapa suhu sistem harus dinyatakan dalam Kelvin. Mahasiswa tidak dapat menjawab pertanyaan tentang perbandingan suhu seperti yang digunakan di penelitian ini (Gambar 1). Berdasarkan kondisi tersebut, dibuatlah serangkaian pertanyaan sokratik untuk membantu mahasiswa memahami konsep suhu mutlak. Pertanyaan sokratik tersebut dikemas dalam bentuk media flash. Penggunaan media berbantuan komputer didasari oleh pemikiran bahwa pertanyaan sokratis idealnya diberikan secara langsung oleh guru ke siswa secara individual. Secara teknis hal ini tidaklah mungkin dapat dilakukan di kelas. Dengan menggunakan teknologi computer, MPS bisa mewakili guru dalam memberikan pertanyaan untuk masing-masing mahasiswa. MPS juga memberikan kesempatan mahasiswa untuk berkali-kali menggunakan. Pertanyaan sokratik yang dikembangkan dalam penelitian ini dirancang mampu menimbulkan konflik kognitif sehingga dapat membantu mahasiswa memperbaiki miskonsepsinya. Selain itu, pertanyaan sokratik diharapkan mampu mengajak mahasiswa untuk menemukan caranya sendiri dalam memahami konsep secara utuh. Artikel ini melaporkan sebagian hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh media pertanyaan sokratik (MPS) terhadap pemahaman mahasiswa tentang konsep suhu dan kalor, khususnya tentang konsep suhu mutlak. Perbedaan alur berpikir mahasiswa dalam menyelesaikan masalah tentang perbandingan suhu, antara sebelum menggunakan dan sesudah menggunakan MPS, juga disajikan. METODE Subjek penelitian adalah 27 mahasiswa
(8 laki-laki dan 19 perempuan) pendidikan fisika Universitas Negeri Malang tahun pertama yang mengikuti perkuliahan Fisika 1237
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
Dasar II. Penelitian dilakukan seminggu sebelum topik termodinamika diberikan. Penelitian diawali dengan memberikan pretes yang berupa soal pilihan ganda beralasan yang salah satunya tentang perbandingan suhu (Gambar 1). Pilihan ganda beralasan dipilih karena digunakan untuk mengetahui alasan mahasiswa dalam menjawab permasalahan yang diberikan. Selanjutnya mahasiswa diminta belajar mandiri dengan menggunakan MPS. Mahasiswa diberi kebebasan mengulang-ulang sebanyak yang mereka perlukan dan mencatat tanggal dan jam penggunaannya. Pada jadwal yang telah ditentukan, mahasiswa diminta mengumpulkan laporan jadwal penggunaan beserta file hasil rekam jejak penggunaan yang secara otomatis dihasilkan program setiap kali mahasiswa selesai menggunakannya. Garis besar konten MPS dideskripsikan sebagai berikut. Halaman pertama mula-mula menghadirkan pertanyaan konseptual berupa soal pilihan ganda. Apapun pilihan jawaban
yang dipilih, mahasiswa akan mendapat serangkaian pertanyaan lanjutan. Pertanyaan lanjutan yang menyertai suatu pilihan yang salah dirancang dapat membawa mahasiswa ke jawaban yang benar. Serangkaian pertanyaan lanjutan yang menyertai jawaban benar dirancang untuk mengklarifikasi dan menyempurnakan pemikiran awal mahasiswa. Contoh pertanyaan lanjutan disajikan pada Gambar 2. Kegiatan terakhir adalah memberikan postes dengan soal yang sama dengan soal pretes. Hasil pekerjaan mahasiswa pada pretes dibandingkan dengan hasil postes. Analisis difokuskan pada alasan yang diberikan mahasiswa dalam menjawab. Analisis data menggunakan teknik constant comparative (Boeije, 2002; Hewit-Taylor, 2001). Hasil teknik constant comparative berupa sejumlah kategori yang menggambarkan pola pikir mahasiswa dalam memecahkan soal.
Gambar 1. Pertanyaan yang digunakan untuk pretes dan postes .
1238
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
Gambar 2. Contoh kecil rancangan media pertanyaan sokratik (MPS) yang muncul ketika mahasiswa memilih jawaban a
HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat tiga data yang diperoleh dari penelitian, yaitu hasil pretes, rekam jejak penggunaan MPS, dan hasil postes. Hasil Pretes Berdasarkan hasil pretes diketahui bahwa tidak ada mahasiswa yang memilih jawaban benar C. Sebaran jawaban yang diberikan mahasiswa disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Sebaran jawaban mahasiswa pada saat pretes Analisis kualitatif terhadap alasan-alasan yang diberikan mahasiswa menghasilkan tiga
kategori pemikiran mahasiswa dalam memecahkan permasalahan, yaitu “garis bilangan”, “aljabar”, dan “tidak jelas”. Kategori “garis bilangan” mewakili pemikiran siswa mahasiswa yang mengandalkan penggunakan garis bilangan untuk membandingkan suhu. Kategori “aljabar” mewakili pemikiran yang mengandalkan penggunaan operasi aljabar, khususnya perkalian atau pembagian, untuk membandingkan suhu. Kategori “tidak jelas” diberikan kepada pemikiran yang tidak kaitannya dengan permasalahan, baik ditinjau dari aspek konsep fisika yang digunakan maupun aspek logika dan/atau operasi matematis yang digunakan. Sebaran frekuensi munculnya masing-masing kategori disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan alasan-alasan yang diberikan mahasiswa dapat diketahui bahwa mahasiswa belum memiliki pemahaman yang baik tentang konsep suhu mutlak. Mahasiswa tidak menggunakan penjelasan secara fisika, tetapi lebih menggunakan penjelasan matematis. Penjelasan matematis yang digunakan 1239
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
dibuktikan dengan 95,6% mahasiswa menggunakan garis bilangan dan persamaan matematis 𝑇2 = 2𝑇1 tanpa mengubah satuan ke dalam satuan Kelvin. Mahasiswa beranggapan bahwa dua suhu yang berbeda bisa dibandingkan tanpa harus mengubah skala ke
dalam skala Kelvin. Mahasiswa belum memahami konsep suhu mutlak dengan baik bahwa hanya dalam satuan suhu mutlak dua suhu yang berbeda bisa dibandingkan secara kuantitatif.
Tabel 1. Kategori alasan mahasiswa pada saat pretes Kategori Alasan Mahasiswa Garis Suhu merupakan besaran skalar yang perbandingannya atau perubahan Bilangan suhunya (ΔT) dapat diketahui melalui garis bilangan. 2x
-10 °C
0°C
Ʃ 16*
2x
10°C
20 °C
Aljabar
30°C
40°C
Suhu yang tinggi menunjukkan dua kali lipat dari suhu yang rendah tidak dapat dihitung hanya dengan formulasi 𝑇2 = 2𝑇1 Berdasarkan formulasi 𝑇2 = 2𝑇1 maka pasangan suhu 20 °C dan 40 °C menunjukkan bahwa suhu 40 °C dua kali lipat suhu 20 °C Tidak jelas Suhu dikatakan rendah apabila berada di bawah 0 °C sehingga suhu -10 °C adalah suhu yang rendah Tidak ada pasangan suhu yang menunjukkan suhu tinggi dua kali suhu rendah harusnya -10 °C dan 9°C karena nilai 0 pada skala celcius menunjukkan besar suhu suatu benda (*) Ada 4 mahasiswa yang menggunakan kedua kategori sekaligus
Rekam Jejak Jawaban MPS Berdasarkan laporan penggunaan dan rekam jejak jawaban mahasiswa, semua mahasiswa menggunakan MPS lebih dari dua kali. Pada saat pertama kali menggunakan MPS, tidak ada mahasiswa yang secara langsung memilih jawaban benar. Tidak adanya mahasiswa yang memilih jawaban benar berarti mahasiswa tidak mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Hal ini konsisten dengan jawaban mahasiswa saat pretes. Pada saat terakhir kali menggunakan MPS semua mahasiswa telah memilih jawaban benar yang berarti semua mahasiswa sudah mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Hasil Postes Hasil postes menunjukkan bahwa semua mahasiswa sudah memilih jawaban benar C.
1 12* 1 1
Hal ini tidaklah mengherankan karena soal yang digunakan (Gambar 1) juga muncul dalam MPS. Oleh sebab itu, pembahasan akan difokuskan pada alasan mahasiswa dalam memilih jawaban benar tersebut. Analisis kualitatif terhadap alasan-alasan yang diberikan mahasiswa ketika postes juga menghasilkan tiga kategori. Namun, kategori yang dihasilkan berbeda denan kategori yang muncul pada pretes. Hal ini disebabkan oleh alasan-alsan yang digunakan ketika pretes sudah tidak muncul dalam postes. Alasan yang digunakan dalam postes sudah menunjukkan perubahan dan mahasiswa sudah memahami bahwa dalam perbandingan suhu harus dalam Kelvin. Kategori pemikiran yang muncul dalam postes adalah kategori “ilmiah”, “prosedural”, dan “tidak jelas”. Alasan yang termasuk dalam 1240
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
kategori “ilmiah” adalah jika alasan tersebut menyatakan bahwa dalam membandingkan suhu harus diubah terlebih dahulu ke dalam satuan suhu mutlak disertai penjelasan yang cukup mengapa harus diubah ke dalam satuan suhu mutlak (Kelvin). Alasan mahasiswa digolongkan dalam kategori “prosedural” ketika mahasiswa meberikan
alasan untuk membandingkan dua suhu harus diubah ke satuan suhu mutlak terlebih dahulu, namun tidak disertai alasan mengapa harus diubah ke dalam satuan suhu mutlak (Kelvin). Kategori “tidak jelas” memiliki makna seperti yang telah dilakukan pada pretes. Sebaran frekuensi munculnya masing-masing kategori disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kategori alasan mahasiswa ketika postes Kategori Alasan Mahasiswa Ʃ Ilmiah Untuk dapat membandingkan suhu harus dinyatakan ke dalam Kelvin karena 11 Kelvin merupakan suhu mutlak di mana tidak dikenal suhu negatif dan tidak relatif. Membandingkan suhu harus diubah terlebih dahulu ke dalam satuan suhu 1 mutlak (Kelvin), yang tidak relatif dan dapat menunjukkan energi internal benda Pada pengukuran suhu harus diubah ke dalam Kelvin karena 0 Kelvin adalah suhu 1 0 sesungguhnya Prosedural Untuk membandingkan suhu harus mengubah satuan ke dalam Kelvin terlebih 12 dahulu sebelum menggunakan formulasi 𝑇2 = 2𝑇1 Untuk membandingkan suhu harus mengubah satuan ke dalam Kelvin terlebih 1 dahulu karena Kelvin merupakan satuan SI untuk suhu Tidak jelas Suhu dalam Celcius harus diubah ke dalam Kelvin karena Kelvin merupakan suhu 1 mutlak dan mendekati nilai 0 Berdasarkan alasan yang diberikan ketika postes dapat diketahui bahwa pemahaman mahasiswa mengalami peningkatan. Mahasiswa sudah menerapkan konsep suhu mutlak dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Mahasiswa sudah memahami bahwa dua suhu yang berbeda dapat dibandingkan secara kuantitaif hanya ketika dalam skala suhu mutlak. Namun ada beberapa mahasiswa (51,9%) yang belum mampu memberikan alasan yang kuat mengapa membandingkan suhu harus diubah terlebih dahulu ke dalam satuan suhu mutlak. Manfaat lain dari MPS adalah mampu menyadarkan mahasiswa untuk menemukan jawaban yang benar. Namun, disamping keberhasilan yang diberikan oleh MPS, masih terdapat kekurangan dalam MPS tahap awal ini, yaitu belum dapat membantu mahasiwa mengenali secara dini kemungkinan telah
terjadinya miskonsepsi karena tidak ada pemberitahuan yang spesifik dan segera untuk itu.. PENUTUP Simpulan 1. MPS yang digunakan dalam penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang konsep suhu mutlak. Peningkatan terjadi pada seluruh mahasiswa. 2. Hasil rekam jejak alur jawaban mahasiswa dalam penggunaan MPS menunjukkan bahwa terdapat perubahan alur berpikir. Perubahan tersebut ditunjukkan pada saat pertama kali menggunakan MPS, tidak ada mahasiswa yang secara langsung memilih jawaban benar. Tidak adanya mahasiswa yang memilih jawaban benar 1241
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
berarti mahasiswa tidak mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Pada saat terakhir kali menggunakan MPS semua mahasiswa telah memilih jawaban benar yang berarti semua mahasiswa sudah mengaplikasikan konsep suhu mutlak. Saran MPS diketahui memberikan hasil yang memuaskan dalam hal membantu mahasiswa memahami konsep suhu mutlak, namun masih terdapat beberapa kekurangan dalam MPS. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan di dalam MPS diberikan pemberitahuan sedini mungkin kepada mahasiswa yang mengalami miskonsepsi atau memiliki pemahaman yang kurang tepat. Balikan penguatan juga diperlukan saat mahasiswa menjawab benar setiap pertanyaan yang diberikan. DAFTAR PUSTAKA Alwan, A. A. 2011. Misconception of heat and temperature among physics students. Procedia Social and Behavioral Sciences, 12: 600-614. Baser, M. 2006. Fostering conceptual change by cognitive conflict based instrustion on students’ understanding of heat and temperature concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science, and Technology Education, 2 (2): 96-114. Boeije, H. 2002. A purposeful approach to the constant comparative method in the analysis of qualitative interviews. Quality & Quantity, 36: 391-409. Center for Teaching and Learning. 2003. The socratic method: What it is and how to use it in the classroom. Stanford University Newsletter on Teaching, Speaking of Teaching, 13 (1): 1-4. Corpuz, E. D. & Rebello, N. S. 2011. Investigating students’ mental models and knowledge construction of microscopic friction. II. Implications for curriculum design and development, Physical Review Special Topics Physics Educational Research, 7 (2): 1-8.
Docktor, J. L., & Mestre, J. P. 2014. Synthesis of discipline-based education research in physics, Physical Review Special Topics Physics Educational Research, 10 (2): 1-58. Gönen, S. & Kocakaya, S. 2010. A Cross-Age Study: A Cross-Age Study on the Understanding of Heat and Temperature. Eurasian Journal of Physics and Chemistry Education, 2(1): 1-15. Gupta, A., Hammer, D., Redish, E. F. 2010. The case for dynamic models of learners’ ontologies in physics. Journal of Learning Sciences, 19: 285-319. Hewitt-Taylor. J. 2001. Use of constant comparative analysis in qualitative research. Nursing Standard, 15 (42): 39-42. Khan, M. A. 2009. Teaching of heat and temperature by hypothetical inquiry approach: A sample of inquiry teaching. Journal of Physics Teacher Education, 5 (2): 43-63. Leinonen, R; Asikainen, M. A; & Hirvonen, P. E. 2013. Overcoming students’ misconceptions concerning thermal physics with the aid of hints and peer interaction during a lecture course. Physical Review Special Topics Physics Educational Research, 9 (2): 1-22. Madhyastha, T dan Hunt, E. 2009. Mining diagnostic assessment data for concept similarity. Journal of Educational Data Mining, 3 (1): 1-19. Nottis, K. E. K.; Prince, M. J.; & Vigeant, M. A. 2010. Building an understanding of heat transfer concepts in undergraduate chemical engineering course. US-China Education Review, 7 (2): 1-9. Redhana, I. W. 2012. Model pembelajaran berbasis masalah dan pertanyaan socratik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Cakrawala Pendidikan, 31 (3): 351-365. Schnittka, C & Bell, R. 2011. Engineering design and conceptual change in science: Addressing thermal energy and heat transfer in eighth grade. International Journal of Science Education, 33 (13): 1861-1887. Slotta, J. & Chi, M. T. H. 2006. Helping students understand challenging topics in science through ontology training, Cognition and Instruction. 24 (2): 261-289. 1242
Seminar Nasional IPA VI Tahun 2015 “Revolusi Mental Menuju Manusia Indonesia Berkepribadian Melalui Pendidikan IPA”
Streveler, R. A., dkk. 2011. Rigorous methodology for concept inventory development: using the ‘assessment triangle’ to develop and test the thermal and transport science concept inventory (TTCI). International Journal of Engineering Education, 27 (5): 968-984. Tanahoung, C; Chitaree, R; & Soankwan, C. 2010. Probing Thai freshmen science students’ conceptions of heat and temperature using open-ended questions: A case study. Eurasian Journal of Phisycs and Chemistry Education, 2 (2): 82-94. Tayubi, Y. R. 2005. Identifikasi miskonsepsi pada konsep-konsep fisika menggunakan certainty of response index (CRI). Mimbar Pendidikan, 3 (24): 4-9.
Thompson, J. R.; Christensen, W. M.; & Wittmann, M. C. 2011. Preparing future teachers to anticipate student difficulties in physics in a graduate-level course in physics, pedagogy, and education research. Physical Review Special Topics Physics Educational Research, 7 (1): 1-11. Wosilait, K., dkk. 1998. Development and assessment of a research-based tutorial on light and shadow. American Journal of Physics, 66 (10): 906-913.
1243