1
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYIDIK POLRI DALAM KASUS SALAH TANGKAP Oleh: Sapto Handoyo DP
Abstrak Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dalam jangka waktu paling lama satu kali dua puluh empat jam. Penyidik dalam melakukan penangkapan wajib menjunjung tinggi hukum dengan memperhatikan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), artinya seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim menyatakan yang bersangkutan bersalah dalam suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Hal ini merupakan bukti nyata bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) sangat dihargai. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik senantiasa terikat pada syarat-syarat dan prosedur tertentu yang telah diatur dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah KUHAP. Namun, pada kenyataannya sering terjadi kasus salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik Polri. Hal ini membuktikan bahwa penyidik Polri terkadang mengabaikan syarat dan prosedur tertentu dalam melakukan penangkapan.
Pendahuluan Penegakan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan serius bagi masyarakat di Indonesia itu sendiri. Bagaimana tidak, karena persoalan keadilan telah lama diabaikan, bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundangundangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia. Hal ini akan menimbulkan akibat yang serius dalam konteks penegakan hukum. Tujuan hukum sendiri adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai di antara sesama manusia (L.J. van Apeldoorn: 2001, 10). Agar hukum mampu memenuhi
2
kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang, maka pengarahan dan pembinaan di bidang hukum itu sendiri sangatlah diperlukan,
sehingga
tercipta
ketertiban
dan
kepastian
hukum
guna
memperlancar pembangunan. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Maka ditinjau dari hal-hal di atas, terlihat adanya perhatian yang lebih diutamakan kepada dihormatinya hak-hak asasi manusia yang dicantumkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun saat ini muncullah suatu masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang secara nyata telah membuktikan bahwa sistem penegakan di Indonesia telah menuju ke arah kehancuran, di mana tujuan dari Hukum Acara Pidana terkesan diabaikan. Fenomena salah tangkap yang dilakukan oleh pihak penyidik, dalam hal ini dilakukan oleh anggota polisi telah banyak menyita perhatian. Polisi sebaik apapun, pasti akan dihujat. Apalagi polisi yang tidak profesional. Polisi di Amerika Serikat terbagi menjadi 2 (dua). Polisi belahan timur (Eastern Police) yang tidak profesional dan polisi belahan barat (Western Police)
yang profesional. Polisi profesional mendasarkan prinsip kerja yang
seimbang antara hubungan kerja dengan atasan (korps) dan masyarakat. Polisi lebih sering dipersalahkan daripada jaksa dan hakim, karena polisi bersentuhan dengan masyarakat lebih banyak dibandingkan dengan jaksa dan hakim. Polisi
3
adalah gatekeeper (pintu gerbang) sistem peradilan pidana (SPP). Jadi, tidak mengherankan bila citra sistem peradilan pidana sering diidentikkan dengan kinerja polisi (Erlangga Masdiana: 2008, 76). Ketidakpercayaan masyarakat semakin nyata terjadi dengan banyaknya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Salah tangkap adalah suatu perbuatan di mana terjadi kekeliruan dalam hal penangkapan pada suatu kesalahan dari seseorang (Erlangga Masdiana: 2008, 76). Kasus salah tangkap ini, tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar tujuan dari Hukum Acara Pidana itu sendiri. Pembahasan 1. Pengertian dan Dasar Hukum Penangkapan Dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan bahwa penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tindakan penangkapan dalam hal ini bersifat represif, di mana ada hubungannya dengan peradilan, yaitu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Dasar hukum penangkapan dinyatakan dalam Pasal 17 KUHAP, sebagai berikut: “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.
4
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dasar hukum bagi penangkapan adalah: a. Adanya dugaan keras Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “diduga keras”. Pengertian “diduga keras” ini akan berhubungan dengan “dugaan”, yang membedakan antara “patut diduga” dan “sangat diduga” (Andi Hamzah: 1984, 60). Apa yang dimaksud dengan “diduga keras” dalam KUHAP akan lebih tepat apabila diidentikkan dengan “sangat diduga”, sehingga untuk menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana tidak cukup apabila orang itu “patut diduga” telah melakukannya, melainkan harus ada bukti-bukti yang menunjang bahwa orang tersebut “sangat diduga” telah melakukan tindak pidana. b. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup Yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan “untuk menduga” adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP. Mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. b. Dilaksanakan terhadap pelaku kejahatan Terhadap pelaku pelanggaran tidak dilakukan penangkapan, kecuali bila tidak memenuhi panggilan yang sah dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
5
2. Syarat-syarat Penangkapan Syarat untuk melakukan proses penangkapan harus didasarkan untuk kepentingan “penyelidikan” atau “penyidikan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 KUHAP. Oleh karena penangkapan juga dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan, mesti tetap ditegakkan prinsip “harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya, serta harus didahului adanya bukti permulaan yang cukup”. Pasal
18
KUHAP
menentukan
syarat
atau
cara
pelaksanaan
penangkapan adalah sebagai berikut: a. Pelaksanaan penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jaksa penuntut umum tidak berwenang melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya sebagai penyidik berdasarkan Pasal 284 ayat (2) KUHAP. Satpam atau Hansip tidak berwenang melakukan penangkapan, kecuali di dalam hal tertangkap tangan. Dalam hal tertangkap tangan, “setiap orang berhak” melakukan penangkapan dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan, “wajib” menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan (M. Yahya Harahap: 2006, 159). b. Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas penangkapan. c. Petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan.
6
Surat perintah penangkapan tersebut memberi penjelasan dan penegasan tentang: 1). Identitas tersangka, nama, umur, dan tempat tinggal. 2). Menjelaskan atau menyebut secara singkat alasan penangkapan. 3). Menjelaskan uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka. 4). Selanjutnya, menyebut dengan terang di tempat mana pemeriksaan dilakukan. Perlu kembali diingatkan ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, yaitu bahwa dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan terhadap tersangka “tanpa surat perintah” penangkapan, dengan syarat harus segera menyerahkan yang tertangkap tangan kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Yang penting juga mendapat perhatian adalah dalam tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga tersangka segera setelah penangkapan dilakukan. 3. Lembaga yang Berwenang untuk Melakukan Penangkapan Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 18 KUHAP, bahwa lembaga yang berwenang untuk melakukan penangkapan adalah Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Petugas Kepolisian Negara Republik indonesia ini juga terbagi menjadi: a. Penyelidik
7
Penyelidik atas perintah penyidik, termasuk perintah penyidik pembantu dapat melaksanakan penangkapan untuk kepentingan penyidikan. b. Penyidik Dalam Pasal 1 butir 1 dan 2, merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri “tertentu” yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. c. Penyidik Pembantu Menurut Pasal 10 KUHAP dan Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983, Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi, dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda. 4. Batas Waktu Penangkapan Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP, telah ditentukan batas waktu lamanya penangkapan, tidak boleh lebih dari “1 (satu) hari’. Lewat dari satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya penangkapan
dianggap
“tidak
sah”.
Konsekuensinya,
tersangka
harus
“dibebaskan demi hukum”. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasihat hukumnya, atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada Praperadilan tentang sah tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi.
8
Mengenai pembatasan masa penangkapan yang singkat ini, dapat menimbulkan kesulitan dan permasalahan dalam praktek, disebabkan beberapa faktor, antara lain faktor geografi yang dijumpai pada beberapa tempat di kepulauan Indonesia seperti daerah Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan, tidak mungkin diselesaikan dalam waktu satu hari mulai dari tindakan penangkapan dan seterusnya dilanjutkan dengan pemeriksaan pada hari itu juga. Dapat dibayangkan, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika penangkapan dilakukan pada pulau terpencil lantas tempat kedudukan penyidik atau penyidik pembantu terletak di pulau lain yang harus ditempuh dalam waktu seminggu atau sebulan dengan sampan atau perahu kecil (M. Yahya Harahap: 2006, 160). 5. Faktor Penyebab Terjadinya Salah Tangkap Fenomena kasus salah tangkap dalam sistem peradilan Indonesia merupakan bukti buruknya kinerja penegakan hukum di negara ini. Kasus salah tangkap dapat terjadi karena tindakan non profesional yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menjalankan prinsip-prinsip kriminalisasi mulai dari mendeteksi kejahatan, identifikasi korban, tersangka dan korelasinya secara ilmiah. Rentetan kasus salah tangkap diawali dengan fakta yang dipolitisir untuk menimbulkan kesan seolah-olah publik percaya pada pelakunya, atau memberikan kesan adanya upaya hukum yang dicapai oleh aparat hukum. Sementara bagi masyarakat, bukan rahasia lagi jika polisi masih menggunakan cara-cara konvensional untuk membuat BAP seperti tekanan fisik dan intimidasi. Sehingga apa yang tertuang dalam BAP tidak murni lagi dan hanya untuk memenuhi target polisi. Di masa Orde Baru, ada beberapa hal yang
9
harus dilawan oleh polisi, yakni dependensi dan intervensi kekuasaan. Pada era reformasi, polisi mengambil posisi sebagai polisi sipil yang harus memperhatikan aspek profesionalisme. Namun, polisi profesional bukanlah jargon yang mudah diubah seketika. Mungkin di kalangan elite dapat diserap secara cepat karena beberapa hal, misalnya polisi elite tidak menangani kasus-kasus yang tanpa perhatian masyarakat secara umum. Tingkat pendidikan mereka juga lebih tinggi dibandingkan dengan polisi di tingkat bawah (Erlangga Masdiana: 2008, 76). Berbagai kesalahan polisi hanya akan ketahuan, manakala kasus-kasus yang ditangani telah selesai. Baru terungkap setelah proses di pengadilan atau beberapa tahun kemudian. Sebab, kejahatan itu pasti terungkap, meski pengungkapannya bukan secara sengaja dilakukan oleh polisi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi polisi terjebak dalam suatu kesalahan dalam melakukan penangkapan, sehingga polisi dikenal telah melakukan suatu tindakan salah tangkap, yaitu: a. Dinamika kerja begitu kompleks Polisi dihadapkan pada kasus-kasus yang harus disidik, mulai kasus konflik dalam rumah tangga hingga teror bom, baik yang bersifat kasus delik aduan maupun bukan delik aduan. b. Kurangnya sumber daya manusia polisi dalam menentukan
tingkat
pelayanan dan penanganan kasus-kasus kejahatan Polisi yang menangani perkara harus menguasai ilmu pengetahuan tentang kepolisian dan ilmu-ilmu lain seperti sosiologi, kriminologi, psikologi,
10
komputer, ekonomi, hukum dan lain-lain. Polisi tidak bisa lagi memaksa orang mengakui suatu perbuatan dengan cara-cara lama. Teknologi kepolisian sudah harus dikembangkan. c. Proses penyidikan yang sangat sulit Polisi di sini harus mengerutkan dahi bagaimana menghadapi berbagai perilaku tersangka. Sebab, para tersangka acapkali berbohong, berkelit, membantah, atau tidak mau mengakui kejahatan yang dilakukannya. Berdasarkan berbagai perilaku penjahat yang double standard itulah, para penyidik sering menyamaratakan bahwa semua yang diinterogasi adalah orang yang bersalah. Sampai akhirnya, berdasarkan suatu kesimpulan, bahwa orang tersebut tidak terbukti kesalahannya. Polisi bagaikan merangkai pecahan gelas. Puing-puing yang berserakan harus ditelusuri posisinya di mana. Seni merangkai inilah yang harus dibuktikan oleh polisi. Rangkaian pecahan itulah yang dimaksud sebagai bukti-bukti yang mengarahkan seseorang menjadi orang yang layak mendapatkan dakwaan (Erlangga Masdiana: 2008, 77). d. Target atasan untuk segera menyelesaikan kasus tertentu dalam waktu cepat Dalam hal ini, pengabaian hak-hak tersangka acap menonjol. Berbagai metode
ilmiah
penyidikan
dikesampingkan.
Yang
terpenting
adalah
pengakuan tersangka. Adanya suatu target tertentu dalam menyelesaikan suatu kasus membuat pihak kepolisian kerap mengabaikan hal-hal yang dianggap penting dalam pembuktian.
11
6. Pertanggungjawaban Pidana Penyidik Polri Dalam Kasus Salah Tangkap Pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela (Chairul Huda: 2006, 68). Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan kata lain penjatuhan pidana (punishment) ditentukan oleh adanya perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Sehubungan dengan hal itu, maka berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder sculd)”, yang dianut oleh KUHP Indonesia, di mana diartikan bahwa seorang pelaku dijatuhi pidana apabila tindak pidana yang dilakukan dapat dipersalahkan kepadanya. Terhadap tindakan pihak kepolisian yang telah melakukan tindakan salah tangkap sehingga merugikan orang lain, maka terhadapnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, meskipun di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak dimasukkan secara eksplisit Ketentuan Pidana apa yang dapat dijatuhkan apabila seorang polisi telah melakukan kelalaian atau kesalahan dalam tugasnya. Mabes Polri selaku lembaga tertinggi dalam Kepolisian hendaknya menindak tegas setiap anggotanya yang melakukan kesalahan, terutama dalam hal penangkapan. Oleh karena itu, di samping memberikan sanksi administratif
12
bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran seperti dalam hal salah menangkap orang, Mabes Polri dalam hal ini juga hendaknya dapat memberikan sanksi secara pidana, berupa hukuman pidana penjara ataupun kurungan. Penerapan sanksi administratif dinilai kurang efektif untuk mencegah terjadinya kasus salah tangkap. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus salah tangkap yang ada di Indonesia (M. Jaya: 2009, 11). Dengan adanya sanksi pidana secara tegas, anggota Polri akan selalu meningkatkan
profesionalisme
kerjanya,
sehingga
sebelum
melakukan
penangkapan, penyidik akan mengumpulkan bukti permulaan yang cukup yang dapat menunjukkan bahwa seseorang memang telah melakukan tindak pidana. Dengan adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik Polri akan dipastikan tidak salah melakukan penangkapan. 7. Upaya Penanggulangan Kasus Salah Tangkap Dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 4, maka tugas Polri harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, serta esensi dari nilai dan prinsip demokrasi. Hal ini perlu dipertegas agar pencitraan Polri makin baik di mata masyarakat, dengan demikian akan memudahkan kinerja Polri dalam tatanan yang lebih strategis. Polri yang profesional yang mengedepankan prinsip demokrasi
dan
persamaan
Hak
Asasi
Manusia
merupakan
dambaan
masyarakat, sebab mengedepankan pendekatan sipil oleh Polri kepada masyarakat
dengan
mengatasnamakan
perlindungan,
pengayoman
dan
13
pengabdian kepada masyarakat menjadi satu upaya yang belum maksimal dilakukan oleh Polri.
Konsep Perpolisian Masyarakat atau Community Policing
secara harfiah juga belum mampu dijadikan sebagai “produk unggulan” untuk membangun citranya di masyarakat. Di tengah sorotan masyarakat terhadap polisi itu, polisi bagaikan makhluk yang harus berada di dua alam, yakni alam masyarakat dan alam birokrasi hukum. Ada seni mengatur kinerja yang adaptif. Jika tidak mampu mengaturnya, maka akan membawa efek ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada institusi, meski yang patut dipersalahkan adalah oknumnya (Erlangga Masdiana: 2008, 76). Ketidakpercayaan masyarakat semakin nyata terjadi dengan banyaknya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Kasus salah tangkap ini, tidak hanya melanggar Hak Asasi Manusia, tetapi juga melanggar tujuan dari Hukum Acara Pidana itu sendiri. Banyaknya kasus salah tangkap yang terjadi di Indonesia telah membuktikan betapa buruknya kinerja kepolisian dalam memberikan perlindungan serta pengayoman terhadap masyarakat. Oleh karena itu ada beberapa upaya penanggulangan yang harus dilakukan oleh penyidik Polri agar kasus salah tangkap tidak terjadi lagi. Upayaupaya tersebut antara lain : a. Mengedepankan prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia. b. Mengembangkan budaya sipil dalam pendidikan anggota Polri. c. Mengefektifkan komisi etika dan disiplin di tiap tingkatan pendidikan Polri.
14
d. Mengedepankan fungsi kontrol dari Mabes Polri dalam pelaksanaan pendidikan Polri di setiap jenjang. e. Peningkatan Sumber Daya Manusia Polri. f. Peningkatan profesionalisme kerja anggota Polri. g. Penerapan sanksi pidana yang tegas dalam peraturan perundang-undangan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Penutup Upaya penanggulangan yang dianggap paling dominan yang dapat dilakukan oleh pihak penyidik Polri agar kasus salah tangkap tidak terjadi lagi, yaitu berupa peningkatan sumber daya manusia Polri dan penerapan sanksi pidana yang tegas dalam peraturan perundang-undangan bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Dengan adanya sumber daya manusia yang maksimal dalam tubuh Polri, serta penerapan sanksi yang tegas terhadap anggota yang melakukan kesalahan, maka kasus-kasus salah tangkap, diharapkan tidak akan terjadi lagi di masa mendatang. Daftar Pustaka Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 2001. Arief, Barda. N. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Badudu, J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1984.
15
Harahap, M. Yahya. Pembatasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Hazin, Nur Kholif. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Terbit Terang, 1994. Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. Loeqman, Loebby. Pra Peradilan Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Masdiana, Erlangga. “Polisi dan Fenomena Salah Tangkap”. Gatra, 2008. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1983. Strien, A. L. J. Van. Badan Hukum sebagai Pelaku Tindak Pidana, dalam M. G. Faure, J. C. Oudijk dan D. Schaffmeiter, Kekhawatiran Masa Kini; Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktik, terj. Tristam P. Moeliono. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
Riwayat Penulis Sapto Handoyo DP, S.H.,M.H., lahir di Purworejo, 7 Februari 1974. Penulis adalah Dosen Tetap Yayasan Pakuan Siliwangi dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana pada Fakutas Hukum Universitas Pakuan.
16