Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM PENCEMARAN DAN ATAU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP - Alvi Syahrin -
Abstrak Terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Korporasi/ badan hukum dalam hal ini dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Untuk menentukan siapa yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, maka pasal 46 UUPLH menjadi konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup yang dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para komisaris) secara bersama-sama dalam hal kegiatan dan atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Pada saat yang sama, semua orang sama-sama memiliki tanggung jawab untuk membantu kebaikan bersama, menyeimbangkan tindakan mereka kepada keamanan dan kesejahteraan orang lain, mempromosikan kesamaan untuk kesamaan jender, melindungi kepentingan masa depan dengan mengejar perkembangan terus-menerus dan menjaga publik global memelihara warisan intelektual dan kultural manusia, aktif berpartisipasi dalam pengaturan global dan 1 bekerja untuk menghapus korupsi. Selanjutnya, dalam interaksinya di masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang yang baik akan dipuji, dihormati, dicintai, dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak bebas akan terbentuk dan berkembang dan menjadi kuat kalau orang semakin bersedia untuk bertanggung jawab. 2 Pengertian orang berdasarkan ketentuan Ketentuan Pasal 1 angka (24) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Selanjutnya disingkat UUPLH) yaitu: "Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum."
1 Han Kung, 2002, Etika Ekonomi-Politik Global Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Terjemahan Ali Noer Zaman, Penerbit Qalam, Yogyakarta, hal. 381. 2 Gunardi Endro, 1999, Redefinisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, hal. 103 40
Menyimak ketentuan di atas, di bidang lingkungan hidup, tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi 3 Problem utama tiap masyarakat modern bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut guna melayani kepentingan masyarakat dalam upaya mewujudkan citacita masyarakat sejahtera 4 Korporasi sebagai subyek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi (mencari keuntungan yang sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi 3
Korporasi diartikan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan. 4 Erman Rajagukguk, 1997, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasirrya Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997, hal. 7. menyatakan: "Pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat. Alois A Nugroho, 2001, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Grasindo, Jakarta, hal. 2, 6. "... secara etis dunia bisnis tidak hanya wajib untuk berbuat baik dan adil kepada sesama manusia, tetapi juga kepada lingkungan alamnya .... Bagaimanapun di kalangan industri ... wajib memikirkan pihak-pihak lain yang terkena dampak prilaku bisnis mereka. ... sebuah perusahaan yang baik tidak hanya memperhatikan kepentingan para pemegang saham tetapi juga memperhatikan kepentingan stakeholders ...." Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 5 Beberapa peranan yang diharapkan terhadap korporasi di dalam proses modernisasi atau pembangunan, di antaranya memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup. 6 5
Sonny Keraf, A., 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansirrya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 122 -123, 126. Konsep tanggung jawab sosial dan moral perusahaan ... bahwa suatu perusahaan bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang metnpunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahan itu beroperasi. ... secara positif perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan keuntungan kontan yang langsung, melainkan juga demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. .... Perusahaan sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas, perlu ikut memikirkan dan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi kepentingan hidup bersama dalam masyarakat .... Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan hidup, kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan seterusnya akan menciptakan iklim yang lebih menerima perusahaan itu beserta produk-produknya. Sebaliknya, ketidakperdulian perusahan akan selalu menimbulkan sikap protes, permusuhan, dan penolakan atas kehadiran perusahaan itu beserta produknya, tidak hanya dari masyarakat setempat di sekitar perusahaan itu melainkan juga sampai pada tingkat internasional. Lihat juga John Dunkley, edited by David Robinson, Public Interest in Environmental Law, Wiley Chancery A Division of John Wiley & Son London Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore yang menyatakan: "Environmental law should perform three functions. First, it should regulate, providing appropiation and management rules for the many conflicting interests claiming environmental goods. Second, it should acts as an agent of change, providing processes and structuring institutions to enable the transition towards ecological sustainability. Third, it should protect the public interest. 6 Perhatikan, Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporosi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicoatious Liability), PT Raja Grafindo Persada, hal. 24 - 25. A. Sonny Keraf, 2002, Pembangunan berkelanjutan atau Berkelanjutan Ekologii, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan. Khairandy, 2002, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 tahun Prof. Dr. Kcesnadi Hardjasoemantri, SH.ML., UI, Jakarta, hal. 19-20. "Tolak ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat ... adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial, budaya, dan ekonomi secara proporsional. Gaya hidup yang dibangun pun tidak lagi gaya hidup yang didasarkan pada produksi dan konsumsi yang berlebihan, melainkan apa yang disebut Arne Naess sebagai simple in means, but rich in ends."
Menyerasikan antara lingkungan hidup dengan pembangunan bukan hal yang mudah, sehingga perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 7 Terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, kebanyakan dilakukan dalam konteks menjalankan suatu usaha ekonomi dan sering juga merupakan sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajibankewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup. 8 Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan9 terus meningkat sejalan dengan 7
Suparmoko, M, 1997, Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta, hal. 56 - 57. Ada pendapat yang menyatakan bahwa memburuknya lingkungan bukan merupakan akibat dari industrialisasi melainkan karena kapitalisme dalam industrialisasi tersebut. Pemilikan swasta terhadap alat-alat produksi, perekonomian pasar, dan motif mencari laba, telah menyebabkan perekonomian terikat pada tujuan demi untuk pertumbuhan ekonomi, .... Target pertumbuhan seringkali mengabaikan dampak negatif yang merusak lingkungan asalkan banyak barang baru dapat diciptakan, dan mungkin sekali tidak mempertimbangkan apakah sumberdaya alam itu dapat diperbaharui atau tidak .... Hubungan antara industrialisasi dan lingkungan serta pengurasan sumberdaya alam berkembang secara eksponensial dan ada bahaya yang nyata bahwa akan ada saat di mana kegiatan harus jalan terus dan akan membawa kepada kehancuran dari kehidupan industri itu sendiri. Pemecahannya apabila dengan terus meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan teknik untuk mengatasi masalah tersebut, maka rasanya tidak ada masalah dalam masyarakat industri, tetapi bila yang ditempuh adalah tanpa pertumbuhan, maka akan membawa masyarakat kembali ke zaman tradisional dengan kehidupan yang sederhana. 8 Wahono Baoed, 1996, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal. 42. Lihat Harald Hohmann, 1994, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern International Environmental Law, Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, London/Dordrecht/Boston, menyatakan "The modern resource- economical and ecological approach, in addition to protecting health, social, esthetic and economic interest, aims at shaping the environment for its own sake with the goal of sustainable use and optimal resources management." 9 Pasal 1 angka (12) UUPLH Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pasal 1 angka (14) UUPLH 41
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya, tentunya lingkungan hidup perlu mendapat perlindungan hukum.10 Hukum pidana dapat memberikan sumbangan dalam perlindungan hukum bagi lingkungan hidup11 , namun demikian perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan yang secara inheren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan. 12 Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya harus dipastikan dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan. Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana 13 mengenai pertanggungjawaban pidananya.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. 10 Koesnadi Hardjasoemantri, 2002, Hukum Tata Lingkungan", Gadjahmada University Press, Yogyakarta, hal. 95. "...lingkungan hidup dengan sumber-sumberdayanya adalah kekayaan bersama yang dapat digunakan setiap orang, yang harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan untuk generasi mendatang. Perlindungan lingkungan hidup dan sumberdaya alamnya dengan demikian mempunyai tujuan ganda, yaitu melayani kepentingan masyarakat secara ke seluruhannya dan melayani kepentingan-kepentingan individu.” 11 Alvi Syahrin, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 2 - 3. Dari sudut pandang hukum lingkungan, kemungkinan untuk mengatur masalah-masalah lingkungan hidup dengan bantuan hukum pidana sangatlah terbatas. Tristam P. Mceliono, 1994, Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktik, hal. 6 - 7. Bilamana kebijakan lingkungan tidak dirumuskan dalam bentuk norma hukum, maka tidak dapat dilakukan penegakan hukum melalui pendayagunaan hukum pidana.... upaya penegakan melalui sarana hukum pidana lebih merupakan pelengkap daripada instrumen pengatur. 12 Perhatikan Hyman Gross, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press, h. 419; All legal systems of course tolerate some criminal liability of this sort, through in different countries there are important differences in the kind of harm that must be threatened by the negligent activity before the criminal law takes notice. 13 Muladi dan Dwidja Prayitno, 1991, Pertangungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, hal. 66 - 67 42
Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu: a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggung jawab 14 b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab 15 c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab 16 Pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 46 UUPLH. Berdasarkan Pasal 46 UUPLH, pertanggungjawaban pidana badan hukum dapat dimintakan kepada badan hukum, pengurus badan hukum, atau badan hukum bersama-sama dengan pengurus. 17 14
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan penguruslah bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajibankewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana. 15 Dalam hal korporasi sebagai pembuat (pelaku) dan pengurus yang bertanggung jawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tetsebut. Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. 16 Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut. Periksa juga, Hermien Hadiati Kceswadji, 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 77. 17 Lebih lanjut perhatikan Proposed Model for a Domestic Law of Crimes Against the Environment, International Meeting of Experts on Environmental Crime: The Use of Criminal Sanctions in the Protection of the Environment; Internationally Domestically, and Regionally, March 19- 23, 1994 World Trade Center Two, Portland, Oregon, USA; 1.Conduct that merits imposition of criminal sanctions can be engaged in by private juridical and public entities as well as by natural persons, 2. National legal systems should, wherever Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan hukum itu sendiri, atau kepada pengurus badan hukum atau kepada pengurus beserta badan hukum, ini menjadi permasalahan dalam praktik,18 karena dalam kasus lingkungan hidup, ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilaku/perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan. 19 Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana 20 terhadap
possible under their constitution or basic law, provide for a variety of criminal sanctions and/or other measures adapted to private juridical and public entities, 3. Where a private juridical entity or a public entity is engaged in an activity that poses a serious risk of harm to the environment, the managers and directing authorities of such entities should be required to exercise supervisory resposibility in a manner to prevent occurrence of harm and they should be held criminally liable if serious harm to the enironment results as a consequences of their failure to properly discharge this supervisory responsibility. 18 Smith dan Hogan dalam bukunya Criminal Law 1992. Butterworths London, Dublin and Edinburgh menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungan jawaban pidana hanya terbatas kepada dewan direksi, komisaris atau pihak berwenang lainnya yang mewakili perusahaan 19 Lihat Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands. Dikatakan bahwa: One of the characteristics is that the committing environmental crime is not one of the objectives of the company as a whole, but that it is part of the management objectives of the company. The improvement of company results, saving on the required environmental expenses, obtaining a 'higher turnover by illegal acts, are the main drive behind this. The crimes first and foremost involve waste. 20 Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, di antaranya: 1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung (direct liability doctrine) atau teori indentifikasi (identification theory) atau disebut juga teori/doktrin alter ego atau teori organ. Perbuatan/kesalahan pejabat senior (senior officer) diidentifikasikan sebagai perbuatanlkesalahan korporasi. 2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti (vicarious liability). Bertolak dari doktrin respondeat superior. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan buruh/karyawan. 3. Doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang (strict liability) Pertanggungjawaban kotporasi semata-mata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
badan hukum yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan huktun untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum. 21 Menurut A.L.J. Van Strien, bagaimanapun beratnya akibat/dampak dari kriminalitas lingkungan, kita tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang dilakukan.22 Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tintdak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya. Selanjumya, menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur/ menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Badan hukum yang dalam kenyataannya kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kewajiban/kondisi/situasi tertentu yang ditentukan undang-undang. Lebih lanjut, baca Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 233 - 238, M. Yahya Harahap, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, Buku I, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 19-58, Barda Nawawi Arief, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, HaI 88-110, H. Setiom, 2002, Kejahatan Korporasi: Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Averoes Press, Matang, Ha1125-160. 21 Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertangungjawaban pidana yang ketat menurut . undang-undang atau yang disebut dengan " strict liability" , apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat (kondisi/situasi) yang ditentukan dalam izin itu. Lebih lanjut, baca, Smith & Hogan, 1992, Criminal Law, Butterworths, London, hal. 98 - 122. 22 Tristam P. Mceliono, Op cit., hal. 246 247. 43
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Badan hukum dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban 23 untuk membuat kebijakan/langkah-langkah yang harus diambilnya 24 , yaitu: 1. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan; 2. merumuskan rangkaian/struktur organisasi yang layak (pantas) serta menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut; 3. merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktivitasaktivitas yang mengganggu lingkungan di mana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-instruksi yang diberlakukan perusahaan yang bersangkitan; 4. penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Jika terhadap kewajiban-kewajiban di atas badan hukum tidak atau kurang memfungsikan dengan baik, hal ini dapat merupakan alasan untuk mengasumsikan bahwa badan hukum kurang berupaya atau kurang kerja keras dalam mencegah (kemungkinan) dilakukan tindak terlarang. Selanjutnya, untuk menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana lingkungan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Apakah kasus tersebut berkenan dengan tindak pidana di mana gangguan terhadap kepentingan yang dilindungi dinyatakan sebagai tindak pidana; 2. Norma-norma ketelitian/kecermatan yang terkait pada perilaku yang mengganggu lingkungan; 3. Sifat, struktur, dan bidang kerja dari badan hukum tersebut.
23
Kewajiban adalah suatu peraan yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban tersebut, Hukum Pidana Baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut: I. Sama sekali tidak melakukan kewajibannya, 2. Tidak melaksanakan kewajibannya itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti a. kurang melaksanakan kewajibannya; b. tertambat melaksanakan kewajibannya, atau c. salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara di sengaja maupun ridak disengaja 3. Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban itu. 24 Alvi Syahrin, Op.cit., hal. 62 44
Menurut Muladi25 , berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal: 1. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun nonbadan hukum seperti organisasi dan sebagainya; 2. Korporasi dapat bersifat privat (private juridical entity) dan dapat pula bersifat publik (public entity); 3. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (managers, agents, employess) dan korporasi dapat dipidana baik sendirisendiri maupun bersama-sama (bipunishment provision); 4. Terdapat kesalahan manajemen main korporasi dan terjadi apa yang dinamakan breach of- a statutory or regulatory provision; 5. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orangorang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut, dan dipidana; 6. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan pembatasanpembatasan lain terhadap langkahlangkah korporasi dalam berusaha; 7. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan perorangan; 8. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusalaaan, melalui kebijakan pengurus atau para pengurus (corporate executive officers) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision) dan keputusan tersebut telah diterima (accepred) oleh korporasi tersebut.
25
Muladi, 1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan UU No. 23 Tahun 197T', Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi W No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang, hal. 17 - 18. Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggung jawab di antara pengurus suatu badan hukum yang harus memikul beban pertanggungjawaban pidana tersebut, harus ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin (lisensi) dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada badan hukum (korporasi) yang bersangkutan. Penelusur,* dari dokumen-dokumen tersebut akan menghasilkan data, informasi, dan fakta dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauh mana pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan terhadap dampak tersebut. Dari dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula, bagaimana hak dan kewajiban penguruspengurus perusahaan tersebut, untuk memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Sehingga dari penelusuran itu, akan nyata pula apakah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tersebut terjadi karena 26 kesengajaan atau karena kelalaian. Memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPLH yang menetapkan: "Kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup" dan "berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup." Dan ketentuan Pasal 46 UUPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya (direktur, para manajer yang bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan kepada para pemegang saham maupun para 27 komisaris ) secara bersama-sama, dalam hal 26
Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 180 -181. Alvi Syahrin, Op.cit., ha1.51. 27 Pertanggungjawaban pidana terhadap para pemegang saham maupun komisaris maupun pemegang merupakan penerapan dari teori penyingkapan tirai perusahaan (piercing the corporate veil). Penerapan teori piercing the corporate veil perlu kearifan, kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan. Penerapan teori pierching the corporate veil perlu memperhatikan teori tentang keterpisahan badan hukum. Lebih lanjut baca: Robert W. Hamilton, 2001, Cases and Materials on Corporations Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group, hal. 298 - 355. Munir Fuady, Op cit, hal. 1- 30.
kegiatan dan atau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Korporasi dapat mengurangi risiko tanggung jawab lingkungan dari operasi/ kegiatannya sehari-hari, dengan cara: l. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dengan badan (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan. Pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan biasanya memberikan kesempatan bagi korporasi untuk memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukannya. Perbaikan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan menjadikan diterapkannya asas subsidaritas dalam penegakan hukum pidana. 2. Melakukan perbaikan yang sesegera mungkin terhadap pemberitahuan pelanggaran yang dilakukan dan perbaikan tersebut didokumentasikan dengan baik. 3. Mencari nasehat hukum sebelum merespons pemeriksaan oleh pejabat (instansi) yang melakukan pengawasan lingkungan, agar dapat merespons secara tepat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pejabat (instasi) tersebut. 4. Memelihara catatan-catatan secara rinci mengenai pembelian dan pembuangan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang digunakan dalam kegiatan operasional korporasi, sehingga a. catatan pembuangan limbah secara tepat dapat diketahui guna pembelaan terhadap aksi penegakan hukum, dan b. jumlah dan jenis bahan kimia yang digunakan korporasi dapat ditetapkan. 5. Membuang limbah B3 hanya melalui perusahaan pembuangan limbah B3 yang handal dan kredibel, jika mungkin korporasi melakukan daur ulang. Kontrak dengan pihak yang menangani limbah harus diperiksa dan diteliti oleh korporasi dan konsultan hukumnya guna menjamin bahwa proses penanganan limbah telah sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 6. Menerapkan suatu program pemenuhan dan pengurangan B3 yang komprehensif, antara lain mencurahkan perhatian dan dana untuk evaluasi atas penggunaan B3 dengan melakukan pembuatan serta penerapan rencana yang komprehensif untuk pengurangan dan pencegahan dari penggunaan B3. Perusahaan mengatur, mengukur, meningkatkan, dan
45
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
mengkomunikasikan aspek-aspek lingkungan dari operasi kegiatannya dengan cara yang sistematis. Selanjutnya, direktur perusahaan tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggungjawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari dan atau merusak lingkungan, oleh karena berdasarkan pada Pasal 82 UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) jo. Pasal 2 UUPT 28 dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care 29 . "Duty of care " direksi”30 , antara lain: 1. Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik (good faith) di mana direkur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian (care) sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati, 2. Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional. Kegagalan untuk melaksanakan "duty of care " tersebut dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apakah perbuatan tersebut 28
Pasal 82 UUPT: Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasa12 UUPT: Kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. 29 Selanjutnya lihat Katarina Pistor & Chenggang Xu, 2002, Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions, European Corporate Governance Institute (ECGI), dikatakan bahwa konsep Fiduciary Duty dari Anglo Amerikan tidak mudah untuk diangkat, baik ke dalam sistem civil law atau ke dalam transisi ekonomi. Konsep ini merupakan hal yang penting bagi pengadilan karena menyebabkan pengadilan bersikap reaktif. Implikasi normatif dari analisis ini bahwa usaha perubahan dititikberatkan pada peran pengadilan. Tata cara atau prosedur yang harus diperketat dan peraturan-peraturan substantif harus dibuat untuk menggalakkan lembaga litigasi. 30 Detlev F. Vagts, 1989, Basic Corporation Law, Materials-CasesText, University Casebook Series, Westbury, New York., lihat juga, James D. Cox, Thomas Lee Hazen dan F. Hodge O'Neal, 1997, Corporations, Aspen Law & Business, A Division of Aspen Publishers, Inc, New York, hal. 180 - 181. Mun'v Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 51. 46
sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia 31 , oleh karena pemegang kepercayaan diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya berdasarkan doktrin "constructive fraud " untuk pelanggaran fiduciary duty 32 . Dengan demikian, direktur tidak dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban pidana dalam hal terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan, hal ini disebabkan direksi memiliki "kemampuan" dan "kewajiban" untuk mengawasi kegiatan korporasi termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk menilai apakah direksi melakukan pengawasan yang cukup terhadap kegiatan-kegiatan (operasional) korporasi, dapat dilihat dari: a. Partisipasi direksi di dalam penciptaan dan persetujuan atas rencana bisnis korporasi yang ada kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup, b. Partisipasi aktif di bidang manajemen, khususnya menyangkut kegiatan yang berkaitan dengan B3; c. Melakukan pengawasan terhadap fasilitas-fasilitas korporasi secara berulang-ulang; d. Mengambil tindakan terhadap karyawan/ bawahan yang melanggar ketentuanketentuan dalam pengelolaan lingkungan hidup; e. Menunjuk/mengangkat individu yang memiliki kualitas dan kemampuan untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup korporasi; f. Menunjuk/mengangkat konsultan yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan secara berkala; g. Permintaan untuk mendapatkan perangkat/instrumen guna membantu manajemen maupun operasional korporasi dalam mentaati hukum lingkungan; h. Meminta laporan secara berkala kepada penanggungjawab pengelolaan lingkungan korporasi yang menyangkut pencegahan dan perbaikan. i. Meminta kepada manajemen korporasi untuk menerapkan program yang dapat meminimalisir kesalahan karyawan dan melaksanakan program penyuluhan. j. Menyediakan cadangan ganti kerugian yang memadai dalam tanggung jawab korporasi 31
Perhatikan, Zulkarnain Sitompul, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Suatu gagasan tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, hal. 33. 32 Perhatikan, Bismar Nasution, 2001, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, UI Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Jakarta, hal. 72. Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
k.
l.
terhadap kemungkinan kerugian lingkungan. Direksi korporasi yang peka terhadap masalah lingkungan harus menguji ganti rugi yang memadai, mencakup tanggung jawab lingkungan secara khusus. Menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap kebijakan tanggung jawab direksi dan pejabat sehingga dari aspek komersial perusahaan asuransi dapat memberi dana yang memadai33 .
Langkah-langkah yang diambil oleh direksi tersebut di atas dapat mengurangi tanggung jawab lingkungan direksi, setidaktidaknya tindakan direksi hanya dapat dikatagorikan sebagai kealpaan (negligence) bukan kesengajaan. Dalam perkembangan selanjutnya dapat dikembangkan pemikian bahwa para pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana karena pemegang saham memiliki tanggung jawab untuk mengontrol atau mengarahkan aktivitas korporasi yang membahayakan lingkungan berdasarkan besarnya persentasi saham.34 Oleh karena itu, bagi pengelola perusahaan yang berpotensi mencemarkan/merusak lingkungan hidup, seyogia Saya menetapkan "standar moral bisnis yang tinggi" (high standards of business morality).35 DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ------------, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta Baoed, Wahono, 1996, Penegakan Huhum Lingkungan melalui Ketentuan-ketentuan
33
Lebih lanjut lihat, Wilson Sonsini Goodrich dan Rosati, Environmental Law Bulletin-Corporate Liability: Strategies Corporation, Shareholders, and Directors Can Employ to Reduce Environmental Liability. 34
Dalam Pasal 3 Ayat (2) UUPT disebutkan bahwa tanggung jawab pemegang saham menjadi tidak terbatas apabila: 1. Persyaratan perseroan sebagai bukan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang berangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan Pribadi. 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. 4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. 35 Bandingkan, Bismar, Op cit., 6a1. 73
Hukum Pidana, Mahkamah Agung RI, Jakarta. Cox, D James, Thomas Lee Hazen and F. Hodge O'Neal, 1997, Corporations, Aspen Law & Business, A Division of Aspen Publishers, Inc., New York. Dunkley, John, edited by David Robinson, 1995, Public Interest in Environmental Law, Wiley Chancery A Division of John Wiley & Son London Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. Fuady, Munir, 2002, Doktrin-Dokirin Modern Dalam Corporate Law & Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Goodrich, Wilson Sonsini and Rosati, Environmental Law Bulletin-Corporate Liability: Strategies Corporation, Shareholders and Directors Can Employ to Reduce Environmental Liability. Gross, Hyman, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press. Gunardi Endro, 1999,Redefinisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands Hamilton, Robert W., 2001, Cases and Materials on Corporation Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group. Han Kung, 2402, Etika Ekonomi-Politik Global Mencari Visi Baru Bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, Terjemahan Ali Noer Zaman, Penerbit Qalam, Yogyakarta. Harahap, M. Yahya, 1997, Beberapa Tinjauan Tentang Permasalahan Hukum, BukuI, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hardjasoemantri, Koesnadi, 2002, Hukum Tata Lingkungan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta. Harun, M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup Masalah, Pengelolaan dan penegakan,Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta. Hatrik, Hamzah, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicoatious Liability), PT RajaGrafindo Persada.
Hohmann, Harald, 1994, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern 47
Alvi Syahrin – Pertanggungjawaban Pidana Korporasi...
International Environmental Law, Graham & Trotman/Martinus Nijhoff, London/Dordrecht/Boston. Keraf, Sonny, A., 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Koeswadji, Hermien Hadiati, 1993, Hukum Pidana Lingkungan, Citra Aditya Bakti, Bandung, Moeliono, Tristam P., 1994, Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan Dalam Teori dan Praktik. Muladi, 1998, "Prinsip-prinsip dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam kaitannya Dengan W No. 23 Tahun 1977", Makalah, Seminar Kajian dan Sosialisasi ULI No. 23 Tahun 1997, FH UNDIP, Semarang. Muladi dan Dwidja Prayifio, 1991, Pertangungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung. Nasution, Bismar, 2001, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Jakarta. Nugroho, Alois A, 2001, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Grasindo, Jakarta. Pistor Katarina & Chenggang Xu, 2002, Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions, European Corporate Governance Institute (ECGI). Proposed Model for a Domestic Law of Crimes Against the Environment, International Meeting of Experts on Environmental Crime: The Use of Criminal Sanctions in the Protection of the Environment; Internationally, Domestically, and Regionally, March 19- 23, 1994 World Trade Center Two, Portland, Oregon, USA;
48
Rajagukguk, Ennan, 1997, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukwn di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 4 Januari 1997. Rajagukguk, Erman dan Ridwan Khairandy (ed)., 2001, Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH. ML, UI, Jakarta. Setiono, H. 2002, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Averoes Press, Malang. Sitompul, Zulkarnain, 2002, Perlindungan Dana Nasabah Bank Suatu Gagasan Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pascasarjana, Jakarta. Smith and Hogan.1992, Criminal Law. 1992. Butterworths London, Dublin and Edinburgh. Suparmoko, M, 1997, Ekonomi Sumberdaya alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), BPFE, Yogyakarta. Syahrin, Alvi, 2002, Asas-asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Medan. Vagts, Detlev F., 1989, Basic Corporation Law, Materials - Cases - Text, University Casebook Series, The Foundation Press, Inc, Westbury, New York.
Jurnal Hukum Vol.01, No.1 Tahun 2005