469
PERTANGGUNG-JAWABAN MEDIKUS ATAS KESALAHAN PROFESIONAL(MALPRACTISE) (Tinjauan Dari Sudut Hukum Perdata) _ - - - - - - - O l e h : Kinsar Sihaloho, S.H. _ _ _ _ _ _ __
PENDAHULUAN
•
•
Dalam kehidupan manusia selaku makhluk pribadi/sosial sejak janin masih dalam kandungan hin lahir dan bahkan selama hidupnya di dunia terlebih pada zaman modern sekarang ini memerlukan seorang ahli di bidang kesehatan/kodokteran untuk merawat atau memberikan pertolongan baik dalam rangka pencegahan maupuI). pengobatan suatu penyakit, ahli terse but dinamakan "Medikus". Manusia dalam perjalanan hidupnya tidak lepas dari kebutuhan-kebutuhan misalnya kebutuhan dasar, salah satu kebutuhan dasar itu adalah kebutuhan akan kesehatan yang dalam pemenuh· annya selain orang yang bersangkutan dapat merawat dirinya sendiri atau keluarganya maka kehadiran seorang Medikus adalah sangat penting. Kebutuhan manusia itu dapat terpenuhi apabila ada interaksi di an tara sesama warga masyarakat, maka dalam hal ini segala tindakan/ perilaku dalam pemenuhan kebutuhannya tidak lepas dari adanya norma-norma, nilai-nilai atau kaidah hukum yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian juga dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kesehatan di mana antara seorang pasien/warga masyarakat dengan seorang Medikus dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, misalnya tindakan pengobatan, dan
lain sebagainya tidak lepas dari norma hukum yang berlaku. Dalam kehidupan sehari-hari apabila berbicara tentang arti hukum maka oleh warga masyarakat dapat mengartikan Hukum itu bermacam-macam pengertian hal ini dirnungkinkan oleh karen a luasnya ruang-lingkup hukum itu sendiri. Oleh karen a itu, maka terhadap hukum dapat diberikan pelbagai pengertian hal mana senantiasa tergantung pada apa yang dilihat dan dirasakan orang terhadap hukum itu at au mungkin saja hal itu tidak lepas dari situasi dan kondisi baik yang menyangkut waktu, tempat dan latar belakang pendidikan atau profesi sese orang warga masyarakat. Dalam hubungan itu maka paling sedikit ditemukan sembil\m pengertian hukum yaitu: Hukum sebagai ilmu pengetahuan, hukum se· bagai disiplin, hukum sebagai kaidah , hukum sebagai tat a hukum, hukum sebagai petugas (hukum), hukum sebagai keputusan penguasa, hukum sebagai proses pemerintahan, hukum sebagai perikelakuan yang ajeg atau sikap tindak yang teratur dan hukum sebagai jalinan nilai-nilai. Dari pengertian hukum yang di atas maka jelaslah bagi kita karena luas ruang·lingkupnya sulit untuk memberi· kan suatu definisi, hal ini sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Immanuel Kant dan van ApelOkto ber 1986
•
470 doom bahwa definisi hukum masih dicari dan belum didapatkan. Namun sebagai pegangan dalam tulisan ini hukum diartikan berdasarkan kepada profesi sese orang, misalnya kalau seorang yang berkecimpung dalam . penegakan hukum mengartikan hukum adalah sekumpulan peraturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang apabila dilanggar, maka warga masyarakat yang melanggar hukum i;u akan mendapat sanksi atau hukuman; Kemudian seorang yang berkecimpung di bidang kesehatan/kedokteran selaku warga masyarakat yang mempunyai pendidikan yang tinggi tidak mustahil mempunyai pemikiran/anggapan mengartikan bahwa hukum adalah merupakan sekumpulan nOlma tertulis yang dituangkan dalam peraturanperundang-undangan; dan atau Medikus itu dapat juga mengartikan bahwa suatu keputusan Pengadilan adalah merupakan hukum, hal itu terjadi oleh karena dengan adanya keputusan itu akan menimbulkan beberapa peristiwa hukum terhadap seorang Medikus yang oleh karen a kesalahan di bidang profesi (rna/practise) dapat diajukan ke muka sidang Pengadilan untuk digugat, misalnya gugatan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh pasiennya. Dalam hubungan itu maka apabila kita lihat dari sudut hukum perdata (KUH Perdata) tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada Medikus pada umumnya adalah karena terjadi wan prestasi dan atau perbuatan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365 dan 1371 KUH Perdata tentunya di sini dalam hubungannya dengan kesalahan profesional (rna/practise) yang perlu
Hullum dan Pembonllunan
(tanggung jawab perdatanya). Hubungan Hukum Antara Pasien dengan Medikus Berdasarkan pola interaksi yang berlaku, maka seorang pasien dapat mengadakan hubungan tertentu dengan doktemya sepanjang pemenuhan akan kebutuhan kesehatan. Dalam pemenuhan ke butuhan akan kesehatan tersebut pasien (penderita penyakit) tertentu akan pergi ke klinik/ rumah sakit atau ke tempat di mana Medikus berpraktek yang sifatnya terbuka untuk umum yang didasarkan kepada beberapa kemungkinan yaitu : a. Konsultasi ten tang kesehatan. b. Dalam ningka imunisasi (pencegahan terhadap penyakit tertentu). c. Dalam rangka medical chek up. d. Dalam rangka pengobatan penyakit tertentu. e. Dan lain sebagainya. •
Dalam tulisan ini penulis memilih salah satu kemungkinan di atas yaitu poin (d) dalam rangka pengobatan penyakit tertentu yang diderita oleh pasien yang bersangkutan. Sekarang kita umpamakan seorang pasien (A) mendatangi Medikus (B) ke temp at prakteknya untuk minta pertolongan agar dilakukan tindakan pengobatan. Timbul pertanyaan sepanjang dilakukannya tindakan kedokteran itu bagaimanakah hubungan hukum antara pasien (A) dengan Dokter/Medikus (B)? Untuk dapat menjawab pertanyaan ini dapat dilihat dari dua segi yaitu : 1. Segi Ilmu Hukum Kedokteran dan 2. Segi Ilmu Hukum Perdata.
-
ad. 1. Menurut Ilmu Hukum Kedokteran dikenal istilah informed consent yaitu suatu persetujuan
•
Pertanl1l1Unl1~jawaban
•
Mediku.
yang didasarkan kepada suatu penjelasan, di mana persetujuan yang dimaksud berdasarkan pada suatu prinsip pula yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya (misalnya diri si pasien) . Adapun prinsip di atas tidak lepas dari syarat-syarat sebagai beriku t, yaitu : - Pasien harus mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan mengenai perawatan terhadap dirinya. - Pasien harus memberikan persetujuan mengenai perawatan terhadapnya, baik secara lisan atau tertulis, secara eksplisit atau implisit.
ad.2. Kalau dilillat dari Segi Ilmu Hukum, maka prinsip dan syarat yang didasarkan poin pertama di atas, dapat dilandaskan pada 2 hal, yaitu : a. Hubungan antara pasien dengan Medikus merupakan hubungan Fiducier yakni hubungan yang didasarkan pada kepercayaan, bahwa secara profesional Medikus mempunyai kemampuan tinggi untuk merawat orang sakit/yang terganggu kesehatannya. Sedangkan piliak yang mendapat kepercayaan itu (Medikus harus mampu melaksanakan kewajibannya secara jujur, cermat dan wajib merahasiakan data medis pasiennya. b. Orang yang sehat mentalnya
471 mempunyai hak untuk mengambil keputusan mengenai dirinya dan nasib badannya. Atau dengan kata lain, terhadap seorang pasien tidak boleh dipaksakan untuk menerirna cara perawatan tertentu yang walaupun hal itu suatu tindakan yang terbaik oleh dokter yang melakukannya. Terlepas dari prinsip dan syarat-syarat yang diuraikan di atas maka menumt Hukum Perdata (KUH Perdata) dikenal suatu perjanjian yang juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Suatu perjanjian adalah merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Suatu perjanjian dapat menerbitkan perikatan, di mana suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua piliak, berdasarkan mana piliak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari piliak yang lain, dan piliak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. •
•
Kalau misalnya pasien (A) mengadakan suatu persetujuan dengan dokter (B) maka persetujuan itu adalah merupakan perjanjian pula bagi mereka, sedangkan pengertian persetujuan itu sendiri terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan: "Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebili mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebili". Sedangkan bagaimana kekuatan hukum dad persetujuan/ perjanjian itu diatur dalam Pasal 1338 Oktober 1986
•
•
472
•
(1) KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Di atas dikatakan bahwa suatu perjanjian menerbitkan perikatan dan mengenai perikatan itu sendiri diatur secara tegas dalam Pasal 1352 jo. 1353 KUH Perdata. Pasal 1352 KUH Perdata berbunyi: "Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi UU, timbul dari UU saja, atau dari UU sebagai akibat perbuatan orang; sedangkan Pasal 1353 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut: "Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari UU sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melanggar hukum". Dari apa yang telah dikemukakan di atas tentang perjanjian atau persetujuan, maka menurut hukum perdata secara teoretis harus memenuhi empat unsur , yaitu: 1. Adanya kata sepakat antara mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian. . 3. Mengenai hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal, keempat unsur ini secara tegas diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kembali pada masalah perjanjian (persetujuan) kalau dihubungkan kepada macam perjanjian yang dikemukakan oleh Prof. Soebekti dalam bukunya yang berjudul "Aneka Perjanjian" edisi ke-4, di mana dikatakan bahwa undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dapat dibagi 3 macam , yaitu : 1. Perjanjian untuk melakukan jasajasa tertentu , 2. Perjanjian kerja/perburuhan , dan
Hukum dan Pembangunan
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan. Dari ketiga macam perjanjian di atas timbul pertanyaan, kalau pasien mengadakan suatu perjanjian (persetujuan) dengan dokternya termasuk perjanjian yang manakah dari ketiga perjanjian itu? Jawabannya adalah termasuk kepada perjanjian po in (a) yaitu: "Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu" , di mana isinya antara lain pihak pasien menghendaki dari pihak dokter agar dilakukan suatu pekerjaan yaitu tindakan kedokteran untuk mencapai tujuan menyembuhkan penyakit yang sedang diderita pasien yang bersangkutan, dan untuk jasa dokter itu pasien berkewajiban untuk membayar honorariumnya sedangkan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan penyembuhan tersebut itu sarna sekali adalah tergantung kepada pihak dokter yang didasarkan pada keterampilan/keahliannya di bidang praktek kedokteran tentu saja tidak lepas dari ilrnu yang dimilikinya (Ilmu Kedokteran). Perjanjian untuk melaksanakan jasajasa tertentu di bidang pelayanan kesehatan/ tindakan kedokteran secara singkat didasarkan pada Pasal 1313 dan 1320 KUH Perdata. Namun dalam hal hubungan pasien dengan dokter tidak selamanya perjanjian/persetujuan itu harus memenuhi syarat atau unsur seperti yang diinginkan oleh Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas. Hal ini terjadi karena dalam hal tujuan penyembuhan tidak hanya orang yang telah dewasa, cakap dan disyaratkan kat a sepakat yang berobat kepada dokter (Medikus), akan tetapi termasuk , . bayi/anak di bawah umur dan orang yang tidak waras pikirannya maupun pasien yang dalam keadaan
Pertanggling-jawaban Medikus
tidak sadar atau dengan alasan/pertimbangan terapeutis kepada pasien tidak boleh disepakati atau diberikan penjelasan-penjelasan mengenai penyakitnya_ Jadi menurut penulis hal-hal di at as ini adalah merupakan suatu pengecualian terhadap "Persetujuan Atas Dasar Penjelasan" dan terhadap Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam hubungan ini maka apabila ada pasien di bawah umur, penderita gangguanjiwa mereka ini biasanya didampingi oleh orang tuanya/wali atau orang lain sebagai penanggung-jawab terhadap diri orang sakit yang bersaIigkutan. Selain itu maka kcmungkinan pasien tidak keadaan sadar sedangkan pihak keluarganya tidak ada "!tau sulit dihubungi maka di sini dokter tetap berkewajiban memberikan pertolongan pengobatan sesuai dengan sumpah dan etika kedokteran yang berlaku bagi profesi kedokteran. Tanggung Jawab Perdata Medikus Atas Malpractise Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan/kedokteran maka risiko penggunaannyapun semakin me!1ingkat pula di mana di samping itu hubungan hukum an tara pasien dengan Medikus semakin berkembang dan akan bertambah luas ruang lingkupnya, mengakibatkan warga ma• syarakat semakin sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya yang memungkinkan terjadinya gugatan atau tuntutan yang semakin besar demi tercapainya keadilan melalui penegakan hukum (yang dalam hal ini apabila Medikus melakukan kesalahan profesional atau Malpractice. Malpractise adalah merupakan tindakan pengobatan pasien yang salah/
473
melakukan kesalahan mengobati atau suatu tindakan yang salah dalam hal mengobati pasien yang dilakukan oleh seorang Medikus. Dilihat dari kategori menurut bidang tata hukum maka Malpractise itu sendiri dapat dibedakan dalam 3 bidang hukum, yakni: Malpractise bidang hukum pidana, Malpractise bidang hukum perdata dan Malpractise bidang hukum administrasi. Dalam tulisan ini yang menjadi sorotan adalah malpractise bidang hukum perdata. Kalau misalnya terjadi suatu kesalahan pengobatan yang dilakukan oleh seorang Medikus, timbul pertanyaan yaitu kapan a tau bilamanakah lahir tanggung jawab perdata dari Medikus yang bersangkutan? Untuk pertanyaan tersebut dapat diberikan jawaban yaitu bahwa lahirnya suatu tanggung jawab perdata seorang Medikus atas kesalahannya (kesalahan profesional)/malpractise adalah apabi/a seorang pasien mengajukan gugatan terhadap Medikus yang bersangkutan untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita si pasien, misalnya yang disebabkan salah obat, salah suntik atau over dosis sehingga mengakibatkan pasien itu semakin bertambah penderitaannya, misalnya: tubuh si pasien menjadi cacat/lumpuh dan bahkan ada yang menemui ajalnya. Kalau hal itu terjadi maka yang berhak mengajukan gugatan adalah pihak pasien/keluarganya yang terdekat baik orang tua/wali atau kuasanya berkecirnpung di bidang kepengacaraan/pembela. Berbicara tentang pertanggung-jawaban (tanggung jawab perdata) terhadap Medikus maka hal itu tidak lepas dari adanya hubungan hukum anOktober 1986
Hukum dan Pembangunan
474 •
tara pasien 'dengan dokter. Di muka telah dijelaskan bahwa hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi yang didasarkan pada dua hal yaitu : 1. Adanya perikatan hukum yang didasarkan pada persetujuan, dan persetujuan ini kalau dikaitkan dengan pelayanan kesehatan dikenal dengan istilah "Transaksi Therapeutik". Apabila transaksi therapeu tik ini tidak dipenuhi oleh pihak Medikus maka akan terjadi "wanprestasi", maka kalau dihubungkan kepada tanggung jawab perdatanya maka tuntutan dapat didasarkan pada wanprestasi itu sendiri, artinya Medikus tidak dapat memenuhi apa yang telah disetujuinya dengan pasien; 2. Perikatan hukum tidak selamanya didasarkan pada persetujuan maka untuk itu perikatan tepat dapat lahir demi undang-undang dan di sini tanggung jawab perdata Medikus tetap ada karena selain UU menyatakan demikian juga demi kepentingan pasien misalnya terhadap pasien yang mengalami gangguan jiwa atau anak yang belum dewasa dari sudut hukum. Dalam hal ini apabila Medikus melakukan suatu kesalahan profesional maka gugatan tidak didasarkan kepada adanya . wanprestasi, akan tetapi berdasarkan "Perbuatan Hukum". Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan dikemukakan gambaran tentang kemungkinan Medikus dapat digugat di de pan sidang Pengadilan apabila melakukan tindakan tidak sesuai dengan apa yang telah disetujui dengan pasiennya atau yang bertentangan dengan hukum. Adapun gugatan yang
mungkin terjadi terhadap Medikus adalah gugatan ganti rugi, yang pada umumnya dapat dibagi 2 yaitu: Karena adanya "Wanprestasi" dan "Perbuatan melanggar hukum", penjelasannyaseperti berikut : 1. Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar persetujuan/perjanjian: Hal ini dapat dilakukan kalau memang benar-benar ada perjanjian antara pasien dengan Medikus yaitu perjanjian yang termasuk kepada macam perjanjian "Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu" atau persetujuan untuk melakukan atau berbuat sesuatu. Kemudian apa yang telah dipeljanjikan itu tidak sesuai dengan tuj,uan dan isi perjanjian di sinilah si Medikus dikatakan telah melakukan wanprestasi. Contoh: Keputusan Rechtbank di Breda tanggal 15 April '36 serta yang dikemukakan ahli hukum bernama: Berkhouwer dan Vorstman, menyatakan : "wanneer nu de art s zijn contractuele verplichtingen niet nakomt door het maken van een beroepfout, pleegt hij wanprestatie enkan hij tot het betalen van schadevergoeding worden aal1gesproken".
Terjemahan bebas (oleh Soerjono Soekanto) : "Bila Dokter tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban kontraktuilnya dengan melakukan kesalahan profesional, dia melakukan wanprestasi dan dapat dipertanggung-jawabkan untuk m embayar . .,, gantl rugl .
Yang perlu diingat dalam masalah wanprestasi ini adalah, bahwa gu gatan ganti rugi atas dasar wanprestasi agar berhasil adalah diperlukan pembuktian bahwa Medikus benar-
•
Pertanggung-jawaban Medikus
475
•
benarmengadakan perjanjian dan dia juga harus dibuktikan oleh saksi aMi yang bobot ilmunya tidak diragukan untuk menyatakan bahwa si Medikus telah melakukan kesalahan pro/esional terhadap pasien yang diobatinya. 2. Gugatan untuk membayar ganti rugi atas dasar "Perbuatan Melanggar Hukum" (o nrechtmatige daad) seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata , yaitu : ''Tiap· perbuatan melanggar hukum , yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut" .
Secara teoretis " Perbuatan Melanggar Hukum" yang dimaksud pada Pasal 1365 KUH Perdata .tersebut di atas harus memenuhi kepada 5 unsur sebagai berikut : a. Adanya perbuatan. b. Adanya kesalahan. c. Adanya sifat melawan hukum . d. Adanya kerugian yang timbul. e. Mengenai hal tertentu . Pasal 1365 KUH Perdata tersebu t biasanya dikaitkan dengan pasal lain yaitu Pasal 1371 (1 ) KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: "Menyebabkan luka atau cacatnya suatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian . yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut" .
Menurut perkembangan di bidang ilmu hukum dalam kaitannya dengan pertanggung-jawaban pekerjaan, maka Hukum Perdata mengenal 2 macam pertanggung-jawaban, yaitu :
1. Tanggung jawab secara langsung dan 2. Tanggung jawab secara tidak langsung. Kalau kita fokuskan pembicaraan di bidang profesi kedokteran maka hal itu juga dapat dimasukkan dalam praktek kedokteran dengan uraian sebagai berikut :
ad.!. Tanggung jawab secara langsung: Misalnya dokter (A) membuka praktek swasta di rumahnya tanpa aSisten/perawat, di mana dalam melakukan tindakan kedokteran kepada pasiennya dilakukannya sepdiri, ternyata dalam tindakannya itu telah melakukan suatu kesalahan profesional (malpractise), maka yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut adalah dokter itu sendiri (karena secara langsung dokter yang bersangkutan yang melakukannya); dapat dikenakan pada Pasal 1365 jo. 1371 KUH Perdata. •
ad .2 . Tanggung jawab secara tidak langsung : •
Misalnya dokter (X) membuka praktek swasta di rumahnya dengan didampingi asisten/perawat (Y) . Di mana dalam pelayanan kepada pasien yang sedang diberikan pengobatan ternyata perawat (Y) tadi telah melakukan kesalahan maka di sini bukan perawat (Y) itu yang dapat dipertanggung-jawabkan, akan tetapi dokter (X) yang bertanggung jawab , karena si asisten adalah di bawah pengawasannya dalam pelayanan pasien. U ntuk ini yang dapat dikenakan adalah Pasal 1367 (3) KUH Perdata .
•
Oktober 1986 •
Hukum dan Pembangunan
476
Pasal 1367 (3) KUH Perdata berbunyi: ''Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka bertanggung jawab ten tang kerugian yang diterbitkan pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan yang memerlukan orang-orang ini".
Kalau kita lihat pada tanggung jawab macam yang kedua ini bisa timbul pertanyaan, kalau demikian halnya apakah perawat tidak dapat dipertanggung-jawabkan kalau melakukan kesalahan? Untuk lebihjelasnya, maka kita lihat suatu contoh Keputusan Mahkamah Agung di Negeri Belanda yaitu: Keputusan Hooge Raad, tanggal 28 Desember 1899 tentang status "Bawahan" dalam pertanggungjawaban tugasnya: Menurut keputusan itu yang disebut "bawahan" adalah : •
"Pihak-pihak yang tidak dapat bertindak secara mandiri dalam hubungannya dengan atasannya karena memerlukan pengawasan atau petunjuk-petunjuk tertentu".
Dengan demikian seorang majikan mempunyai tanggung jawab yang luas dalam pekerjaannya karena walaupun bukan dia sendiri yang berbuat salah tetap bertanggung jawab secara hukum (misalnya dokter (X) tadi) . Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan kepada pasien/masya rakat, rumah sakit , klinik atau Puskesmas selaku badan hukum (R echt Person) dapat juga dikenakan tanggung jawab secara tidak langsung atas kesalahan profesional yang dilakukan oleh bawahan atau pegawainya sepanjang hubungan di dalam dinas/ tugas diumpamakan rumah sakit (A) mempunyai pegawai-pegawai (dokter, perawat dan lain sebagainya), ternyata dokter (X)
melakukan suatu kesalahan . profesional maka dalam hal itu menurut ajar an teori tanggung jawab secara langsung, maka yang bertanggung jawab atas kesalahan dokter (X) itu adalah tenaga inti dari badan hukum (rumah sakit (A)) yakni Direktur. Artinya rumah sakit selaku korporasi (badan hukum) harus bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat oleh pegawainya. Namun suatu. hal yang perlu diketahui adalah · di dalam rumah sakit ada spesialis terhadap penyakit tertentu, dalam hubungan kerja di antara mereka adalah sang at erat, akan tetapi apabila di antara mereka mel a kukan kesalahan umpamanya: Ahli Bedah --- ~ memberikan instruksi - --- kepada ahli rontgen untuk melakukan foto terhadap pasien demi menunjang penetapan " diagnosis" atau nama penyakit, ternyata ahli rontgen itu melakukan kesalahan profesional, maka yang bertanggung jawab atas kesalahannya itu adalah ahli rontgen yang bersangkutan, walaupun perintah datangnya dari ahli bedah. Lain masalahnya apabila ahli bedah rnenginstruksikan sesuatu tindakan kedokteran kepada perawat ( asisten ), ternyata apa yang dilakukan oleh asistan itu rnengalami kekeliruan atau · kesalahan yang rnengakibatkan kerugian terhadap pasiennya maka di sini tetap ahli bedah itu yang bertanggung jawab, narnun karena mereka itu adalah samasarna. pegawai menetap di rurnah sakit yang bersangkutan dalam hal itu ru rnah sakit juga dapat dipertanggung jawabkan secara hukurn (tanggung jawab secara tidak langsung). Untuk tidak rneragukan persoalan di atas maka ada baiknya kita ambil contoh suatu Keputusan Recht Bank di Ne•
perta r:lgg ung -jawaban Medikus
geri Belanda pad a tahun 1945 yang mengadili perkara yang menyangkut "ganti rugi" sebagai akibat gugatan ganti .rugi dari pasien rumah sakit. Adapun Keputusan Recht Bank itu adalah sebagai berikut: Terhadap seorang perawat sebagai pegawai menetap di suatu rumah sakit di Belanda yang dalam melakukan tugasnya yaitu menyuntik pasiennya, yang akibat suntikan itu ternyata pasien mengalami kelumpuhan pad a kakiny_a. Atas tindakan kedokteran yang dilakukannya itu ternyata terbukti melakukan perbuatan melangar hukum. Dalam kasus tersebut perawat selaku pegawai menetap di rumah sakit itu, Recht Bank memberikan keputusan agar rumah sakit itulah yang membayar ganti rugi kepada pasien yang mengalami kelumpuhan itu.
PENUTUP Hubungan hukum antara pasien dengan Medikus dalam rangka pelayanan kesehatan/ pelayanan medik dapat didasarkan dari 2 segi yaitu segi Ilmu Hukum Kedokteran dan segi Ilmu Hukum (Perdata), yang intinya adalah
477 adanya persetujuan (perjanjian) yang sungguh-sungguh terjadi di an tara para pihak_ Perjanjian dirnaksud adalah termasuk macam "Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu" _ Dalam hubungannya dengan pertanggung-jawaban Medikus atas kesalahan profesionalnya (rnalpractise) menuru t bidang tata hukum misalnya Hukum Perdata , dapat digugat untuk mengganti kerugian baik secara langsung atau tidak secara langsung. Saran: Walaupun Medikus kemungkinan diajukan ke sidang pengadilan atas dasar kesalahan profesional bukan berarti Medikus jadi takut berpraktek akan tetapi di samping agar dalam melakukan tugas lebih berhati-hati juga Medikus juga perlu menyadari bahwa hukum tetap harus ditegakkan demi keadilan khususnya bagi warga negara yang berbuat p hukum yang walaupun sebagai abdi negara/ penegak hukum termasuk Medikus sendiri. •
DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Purnadi Purbacaraka, S.H. , R enungan Filsafat Hukum. 2. Prof. R. Soebek ti, S.H. dan R. Tjitro sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980. 3. Prof. R. Soebekti, S.H., A neka Perjanjian, Edisi ke-4 , Penerbit Alumni/ 1981 / Bandung Kotak Pos 272. 4. Dr. Soerjono Soekanto, S.H.,M .A. dan dr . Mohamad, A spek Hukum dan Etika Kedokreran di Indon esia, Penerbit Grafiti Press, Mei 1983. S. W.B. Van Der Mijn, Prof., Issues of Health Lq w, Erasmus University Rotterdam. 6. Oemar Seno Adji, Prof. , S.H. , Hukum Kedokteran A spek Hukum Pidana/Perdata, Disaiikan pada Simposium Hukum K edokteran (Medical Law), BPHN lOI , tanggal 6- 7 Juni 1983.
Ok tober 1986 •