Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47 ISSN : 2536-0983 _______________________________________________________________
PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG MAHAR PERNIKAHAN DALAM MASYARAKAT TERBUKA Masrokhin * Abstract This article discusses the variant of dowry in religious texts (Qur'an and Hadith). This research bibliographycal concluded that first the Qur'an never express with word mahar to the dowry, which connotes a transactional-materialistic, but rather use the word s}aduqat that leads to the philosophical significance of universality and restore meaning to the meaning that must be given a dowry by the male thus shifting the materialistic perception symbol of love. Second , an order to giving dowry is not a absolute command but the command is relative and tentative in the socio-cultural context that is constantly changing. So, looking at the concept of dowry from the perspective of the Qur'an affirms that the concept of al-Qur'an is true in any society.
Keyword : bride-price, al-Qur’an perspectif, s}aduqat.
*
Dosen pada Fakultas Syari’ah Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng, Jombang.
21
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
A. Pendahuluan Dalam siklus kehidupan manusia, perkawinan merupakan salah satu tahap penting. Perkawinan merupakan media budaya dalam mengatur hubungan antara manusia yang berlainan jenis kelamin. Perkawinan bertujuan untuk mencapai suatu tingkat kehidupan yang lebih dewasa dan pada beberapa masyarakat kesukuan perkawinan dianggap sebagai alat agar seseorang mendapat status yang lebih diakui di tengah kelompoknya.1 Perkawinan adalah suatu kontrak sosial antara keluarga satu dengan yang lain. Bukti dari adanya kontrak sosial dalam perkawinan tersebut terdapat pada syarat-syarat untuk kawin. Perkawinan merupakan suatu peristiwa sosial yang luas, maka orang yang hendak kawin (di dalam hampir semua masyarakat di dunia, orang itu selalu laki-laki), harus memenuhi syarat-syarat. Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan jika syarat-syarat terpenuhi. Salah satu syarat tersebut adalah maskawin atau mahar. Maskawin sesungguhnya adalah komunikasi terakhir antara keluarga luas dari pihakpihak yang bersangkutan. Maskawin membuktikan bahwa kepentingan dua insan yang akan mengikat status resmi tunduk pada keputusan dari komunikasi tersebut. Terdapat perkembangan evolutif dalam maskawin. Semula berupa pengabdian yang harus dilakukan dengan mengorbankan banyak hal demi hanya satu 1
Koentjaraningrat, Kebudayaan : Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta : Gramedia, 1994), 92.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
22
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
tujuan sampai berubah menjadi pemberian yang lebih memudahkan pihak calon suami yang dibebani memberi maskawin. Evolusi itu tetap menampakkan bahwa seorang calon suami harus menebus calon istri saat diminta dari orang tuanya. Ini dilihat tampak sebagai adanya transaksi pertukaran yang menggantikan biaya perawatan calon istri dari mulai bayi hingga dewasa dan bisa dinikahi. Kesan transaksional dan indikasi komersial-materialistik tampak mengemuka. Al-Qur’an juga menyinggung pem-berian sesuatu harta yang menyertai akad perkawinan tersebut. Namun apakah yang disinggung al-Qur’an itu menampakkan atau sekedar mengindikasikan adanya sifat transaksional dan komersial-materialistik dalam persoalan maskawin? Dari latar belakang di atas dapat diketahui fokus dari penelitian ini yaitu maskawin dalam perspektif al-Qur’an. Dalam bentuk pertanyaan, fokus pembahasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana al-Qur’an membahasa-kan persoalan maskawin ? 2. Apa makna yang dapat diambil dari paparan alQur’an tentang mas-kawin? Jawaban persoalan itu akan diperoleh dengan memecahkan dua pertanyaan berikut: a. Bagaimana persinggungan al-Qur’an saat diturunkan dengan konteks masyararakat Arab setempat dalam persoalan maskawin ?
23
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
b. Dalam hal nikah sebagai ibadah, samakah sifat absolut perintah memberi maskawin dengan perintah lain dalam ibadah ? Persoalan diatas akan dicarikan jawabannya dalam tulisan biblio-graphic research ini dengan pendekatan historis-antropologis dengan analisis data kualitatif yang bertumpu pada metode deskriptif. Pendekatan historis-antropologis dipergunakan untuk melihat secara holistik dimana agama tidak dapat dilihat secara otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Agama dan praktik sosial akan dilihat secara bersama-sama.2 Tetapi itu bukan satu-satunya pendekatan yang memadai. Pendekatan ini perlu dilengkapi dengan pendekatan lingusitic understanding atau hermeneutik sebagai sarana pemahaman bahasa dan penafsiran teks suci.3 B. Mahar Dalam Sejarah 1. Mahar dalam Tradisi Suku Sejarah mencatat perempuan di sebagian masyarakat dulunya hanya berperan sebatas lingkungan domestik saja. Akan tetapi, sekarang eksistensi perempuan telah diakui profesionalis-menya dan bahkan diakui di ranah publik. Pada masa jahiliyah dahulu, kaum perempuan dipersamakan dengan barang atau harta yang dapat diwarisi dan diwariskan.4 Bahkan, sebagian kaum Yahudi memperlakukan anak gadisnya sebagaimana 2
Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam khoiri (Yogyakarta: LKIS, 1999), 34. 3 Richard E. Palmer, Hermeneutics. (Evanstone : Northwestern University Press, 1969), 33-45. 4 Husen Muhammad Yusuf, Ahdaf al-Usrah fi< al-Isla>m, (Cairo: Da>r I’risha>m, 1997), 23.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
24
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
budak. Orang tua berhak memperjual-belikan anak-nya. Pada masa lampau dalam agama Nasrani, kondisi perempuan tidak jauh berbeda dengan apa yang ada pada agama Yahudi. 5 Sejarah juga mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu, istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan. Ia harus berjalan di belakangnya, tidak boleh berbicara dan tidak juga makan bersamanya, tetapi makan sisanya. Bahkan sampai abad XVII, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar, atau kalau ingin tetap hidup sang istri mencukur rambutnya, memperburuk wajahnya agar terjamin bahwa ia tidak akan diminati lagi lelaki. Di Eropa, pada masa lalu perempuan juga belum mendapat tempat terhormat. Pada tahun 586 M agamawan di Prancis masih mendiskusikan apakah perempuan juga boleh menyembah Tuhan atau tidak. Apakah mereka juga dapat masuk surga. Diskusi-diskusi itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa tetapi tidak kekal dan dia bertugas melayani laki-laki.6 Nasib perempuan terbela setelah al-Qur’an diturunkan. Al-Qur’an memposisikan perempuan pada tempat yang terhormat, karena al-Qur’an tidak menjadikan perempuan sebagai makhluk pembawa sial dan tidak pernah merendahkan harkat dan martabatnya. Al-Qur’an mengukur tinggi rendahnya kemulyaan 5 6
Ibid, 24
Muhammad Quraish Shihab, Perempuan ( Ciputat: Lentera Hati, 2005), 103
25
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
seseorang dari sisi ketakwaan bukan sisi jenis kelaminnya.7 Mulanya, pernikahan pra-Islam bersifat matriarchal, yaitu dominasi anak keturunan dan keluarga tertumpu pada garis ibu. Pemuda dari suatu suku yang hendak menikahi wanita dari suku lain, mula-mula harus melakukan pendekatan dengan kepala suku agar lebih leluasa bergerak mencari calon istri. Lalu ke orang tua cewek yang diincar. Setelah pernikahan terjadi, suami tinggal di rumah istri seperti parasit dan tidak punya kuasa apa pun dalam keluarga. Bahkan tidak ada pemahaman bahwa anak yang lahir adalah buah hatinya. Akibatnya, semua anak yang lahir dinisbahkan ke garis ibu. Inilah periode matriarchi. Periode patriarchal dimulai dari timbulnya kesadaran laki-laki akan peran dan andil besar dalam kehidupan keluarga, dalam kelahiran anak, dan kepada siapa anak dinisbahkan. Sejak itu, mulai ada gelagat bahwa istri bisa diboyong ke rumah suami dan di sinilah peran istri mulai tereduksi. Akibatnya, sang suami menunjukkan kekuasaannya dan berperan mutlak terhadap kehidupan rumah tangga, termasuk penisbahan anak. Reformasi tradisi ini tidak mulus, apalagi dibumbui dengan seringnya perang antar suku. Perang ini amat mengganggu jalannya proses pernikahan, utamanaya jika yang berperang adalah suku suami melawan suku istri. Lalu timbullan berbagai upaya dari para pelaku perkawinan, semisal membawa lari calon istri atau menculiknya. Ketika masa damai, penculikan tak diperlukan lagi, namun 7
QS. al-Hujura>t: 13
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
26
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
sang jejaka perlu mendapatkan simpati dari orang tua si gadis. Perjaka lantas mengabdikan diri di rumah calon mertua dan menjadi pelayan yang membantu semua kebutuhan ekonomi keluarga demi mendapat simpati dari ayah sang gadis. Perkembangan zaman selanjutnya mengarah ke asas praktis dan mengubah tradisi pengabdian menjadi tradisi pemberian. Pengabdian yang hakekatnya adalah persembahan materi dari calon menantu kepada ayah calon istri ini diubah menjadi pemberian berupa sejumlah materi saat pernikahan berlangsung. Pemberian harus mengimbangi nilai pengabdian yang biasa ada dan itulah awal mula konsep maskawin atau mahar. Perubahan dari matriarchal ke patriarchal dalam sistem perkawinan dengan membayarkan sejumlah harta kepada keluarga perempuan berefek pada pemahaman bahwa mahar adalah harga atau tebusan yang dibayarkan untuk jasa orang tua yang merawat dan membesarkan anak gadisnya. Tebusan itu masih ditambah dengan harga lain dengan pertimbangan kedudukan sosial keluarga perempuan. Akibatnya indikasi memperbudak istri menjadi hal yang biasa terjadi. Layanan ekonomis dalam urusan rumah tangga dan pelampiasan kebutuhan biologis diperas semaksimalnya dari pihak perempuan. Nilai perempuan dalam kondisi ini menjadi inferior di bawah superioritas suami. 2. Mahar Dalam Tradisi Arab Pra Islam Sebelum al-Qur'an turun, pandangan orang tua (ayah) Arab terhadap anak perempuan bersifat ambigu.
27
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
Masyarakat Arab primitif yang nomaden8 sebagai kaum peternak dan petani yang butuh air dan hehijauan sebagai makanan ternak dan logistik bagi dirinya mengharuskan selalu berpindah dan mencari lokasi yang menyediakan air dan rerumputan. Dalam perpindahan ini, anak perempuan dianggap lemah dan merepotkan apa lagi hidup di gurun pasir termasuk tidak mempunyai kekuatan saat berhadapan dengan musuh. Suku atau kemah keluarga yang punya banya anak perempuan cenderung menjadi sasaran para penjahat dari suku lain. Paparan al-Qur’an dengan ayah yang diberi tahu bahwa istrinya telah melahirkan anak perempuan merasa terhina, malu dan minder menunjuk dengan jelas keadaan itu. Bagi mereka, solusi paling efektif dan rasional adalah membunuh anak perempuan sejak kecil.9 Umar ibn al-Khatab pada masa pra Islam juga pernah membunuh anak perempuannya sendiri. Disinilah anak perempuan dianggap rendah, tidak mendukung pamoritas keluarga, lemah dan merepotkan. Pandangan lain bersifat sebaliknya. Anak perempuan dipandang sebagai rejeki dan aset keluarga. Karena anak gadis adalah aset sehingga keadaan dan sikap para orang tua menjadi terbalik ketika seseorang dianugerahi anak perempuan. Salah satu indikasi kegembiraan atas kelahiran anak perempuan adalah tradisi orang Arab yang mengucapkan selamat kepada teman atau tetangganya yang sedang dikaruniai anak perempuan. Pada hari kelahiran itu mereka berucap 8
Nomaden artinya hidup berpindah-pindah sesuai asli arti kata “arab” itu sendiri 9
al-Nah}l: 58-59, al-Takwi>r: 8-9
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
28
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
hani’a lak nafi’a (selamat, semoga dia menjadi
kekayaan bagimu).10 Inilah pertanda bahwa ayahnya akan mendapat kekayaan dari imbalan maskawin ketika kelak dia dewasa menjadi pengantin, apalagi si kecil nampak cantik. Tradisi Arab memandang mahar sebagai masalah asasi sebuah perkawinan dan karenanya anak perempuan nantinya akan laku dijual ketika dinikahkan dengan imbalan mahar yang sangat monumental. Orang tua gadis sangat berkuasa dan punya otoritas mutlak terhadap anak gadisnya sehingga mahar dianggap sebagai haknya secara mutlak dan bukan hak sang gadis. Hal itu karena mereka merasa melahirkan, merawat dan membesarkannya sehingga layak sebagai komoditi berharga karenanya mahar dipandang sebagai imbalan atas jasa mereka. Al-Qur’an merekam otoritas mutlak orang tua lakilaki atas anak gadisnya dalam beberapa tempat. Pembacaan lengkap atas otoritas itu tidak berakhir dengan otoritas mutlak tanpa batas bagi ayah atas anak gadisnya. a. Ayah Bertindak sebagai Wali Mujbir Dua ayat mengisyaratkan keterlibatan dan peran wali dalam akad nikah dan selanjutnya memberikan ketegasan terhadap peran wali dalam akad nikah dalam al-Nu>r: 32 dan al-Nisa>: 25. Satu ayat mengisyaratkan pernikahan dilakukan sendiri oleh seorang wanita tanpa melibatkan wali, yaitu al-Baqarah: 230. Namun demikian, tidak terdapat kesepahaman diantara fuqaha yang dapat diklaim terjadi mengenai hak perwalian 10
al-Fakhr al-Ra>zy, al-Tafsi>r al-Kabi>r (Teheran: Da>r al-Kutub alIlmiyah, t.th.) IX, 179
29
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
ayah terhadap anak perempuan yang masih kecil. Jumhur ulama mengaggap illah dari kasus ini adalah ketidakdewasaan anak itu, tetapi bagi ulama-ulama Syafi’iyah, ‘illah adanya perwalian ijba>r (paksa) adalah keperawanan. Oleh karena itu, hak ijba>r berakhir dengan hilangnya keperawanan sekalipun jika gadis itu masih kecil.11 Yang ada kesepakatan fuqaha adalah waliy mujbir boleh menggunakan hak ijba>rnya dengan beberapa syarat diantaranya penjodohan dengan calon suami yang sepadan dengan kemampuan membayar mahar mithl yang memadai.12 b. Ayah Bisa Bertukar Maskawin dengan Mas kawin Ini disebut dengan nikah} s}igha>r dimana seorang ayah mengawinkan anak gadisnya dengan lelaki lain dan laki-laki calon menantu tersebut juga menikahkan anak perempuannya dengan dia sehingga impas bagi keduanya bisa saling memiliki perempuan dengan tanpa maskawin. Nikah model ini kemudian dilarang oleh Islam dengan Hadis Nabi.13 c. Pewarisan Janda Bila ada seorang laki-laki mati dan meninggalkan janda, maka janda itu berstatus sebagai barang warisan. Nasib janda tersebut sepenuhnya ada di tangan ahli waris mendiang suaminya. Jika janda itu dinikahkan dengan lelaki lain, maka keluarga mendiang suami yang berhak menerima mahar dari calon suami si janda, 11
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Isla>my wa Adillatuh. (Mesir: Dâr alFikr, 1989 M/1409 H), juz 7, 187. 12 Ibid, 187. 13 Muslim ibn al-H{ajja>j, Sah}i>h} Muslim. (Riya>d} : Bayt al-Afka>r alDawliyyah, 1998), juz I, 593.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
30
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
bukan ayah kandung si janda. Janda itu bisa diwarisi oleh keluarga mendiang suaminya. Inilah yang kemudian dilarang oleh al-Qur'an dalam al-Nisa>’: 19.14 Bahkan anak lelaki dari mendiang suami biasa menikahi mantan istri ayahnya sendiri dan tentu saja wanita tersebut bukan ibu kandung. Hal demikian jelas bertendensi keuntungan materi dan sudah barang pasti bahwa saja pernikahan dengan ibu tirinya itu tanpa perlu maskawin. Setelah Islam mapan, maka al-Qur'an turun melarang tradisi demikian.15 d. Penarikan Maskawin dan Barang-Barang Pemberian setelah Perceraian Jika perceraian terjadi, maka harta keluarga dibagi bersama. Jika talak terjadi atas kehendak suami tanpa ada kesalahan istri, maka maskawin dan barang pemberian lain tidak diminta kembali. Tapi jika perceraian terjadi atas tuntutan istri, maka maskawin dan barang-barang pemberian suami ditarik kembali. Dari sini, seorang lelaki sering curang dan berulah dengan berbuat kasar dan menyakitkan agar si istri tak betah, lalu menuntut cerai. Al-Qur'an menegur tindakan tersebut dan mengatur hak khulu’.16 C. Mahar dalam al-Qur'an 1. Penyebutan Mahar dalam al-Qur'an Sebutan pemberian sesuatu yang berhubungan dengan akad nikah dari calon suami kepada calon istri disebut dalam berbagai kosakata oleh al-Qur’an. Ada delapan istilah yang digunakan al-Quran. Istilah-istilah 14
al-Nisa>: 19 al-Nisa>: 22 16 al-Nisa>: 20 dan al-Baqarah : 229 15
31
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
tersebut s}adaq, nih}lah, ujur, t}awl, fari>d}ah, qint}a>r, afw, dan hibah. Berikut ditampilkan matrik penyebutan mahar dalam al-Qur’an untuk mempermudah pembacaaan secara keseluruhan: Keterkaitan Idiom dan Rumpun Kata dan idiom No indeks ayat Maknanya dengan 1. S}adaq 1. S}idq Penamaan (kebenaran, maskawin Al-Nisa> : 4 ketulusan) 2. S}adaqah (derma, pemberian) 2. Nih}lah 1. Nih}lah : Fungsi pemberian maskawin Al-Nisa> : 4 2. Nah}l : lebah 3. Nih}a>l: agama, ajaran, aliran, faham 3. T{awl T{awl : kemamFungsi puan maskawin Al-Nisa> : 25 4.
Ujrah / Ujur Al-Nisa> : 24 Al-Qas}a>s}: 27
Ujrah : ongkos Ajr : pahala
- Fungsi maskawin - Besaran maskawin jenis ma>l
naf’iy 5.
Qint}ar>
Qint}a>r :segudang
Al-Nisa>: 20
emas
Besaran maskawin jenis ma>l
‘ainiy Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
32
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
6.
7.
Fari>d}ah
Fari>d}ah :
Al-Baqarah :237
kewajiban
‘Afw
‘Afw : memaafkan, memberi permakluman Hibah : pemberian
Al-Baqarah: 237 8.
Hibah Al-Ah}za>b:50
(Masrokhin)
Sifat maskawin Sifat maskawin Status maskawin
2. Implikasi Makna Sebutan Mahar dalam al-Qur'an a. S{adaq Al-Qur'an tidak pernah membahasakan maskawin dengan kata mahar, melainkan menggunakan kata s}aduqa>t, bentuk jamak dari kata s}aduqah, s}adaq atau s}ida>q. Sedangkan istilah mahar ada dalam al-Hadis dan tradisi Arab setempat. S{adaq, serumpun dengan kata s}idq (kebenaran, ketulusan, kejujuran) dan s}adaqah (derma, pemberian). Artinya, bahwa maskawin yang diberikan kepada istri adalah bukti kejujuran, kesucian dan ketulusan cintanya terhadap gadis yang dinikahinya. Kesucian cinta itu lahir dari lubuk hati paling dalam, sehingga bersih tanpa kontaminasi dari apapun. Maskawin sebagaimana dalam al-Qur’an merupakan ekspresi kasih sayang yang diwujudkan dengan benda atau materi dari jenis paling berharga. Karenanya, tidak ada dalam tradisi masyarakat manapun barang maskawin bersifat rendah dan murahan. Bahasa Indonesia mengistilahkannya dengan maskawin yang berarti barang pemberian untuk istri pada acara akad nikah berupa logam mulia sejenis emas. Dalam tradisi melayu lama di beberapa wilayah 33
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
negeri ini ditemukan istilah uang jujur, sebagai terjemahan dari kata s}adaq atau s}aduqa>t.17 Sedangkan kata mahar, meskipun al-Qur'an tidak memakai kata itu sebagai idiom membahasakan maskawin merupakan bahasa Ibrani yang sudah membaur dengan bahasa Arab. Di daerah aslinya, semisal Siria, mahar berarti sejumlah uang yang dibayarkan kepada orang tua mempelai wanita. Dengan demikian, dari perspektif etimologis, kata mahar atau mahra mempunyai indikasi komersial-materialistik. Yakni sebagai harga, imbalan, atau ganti rugi atas jerih payah orang tua membesarkan dan membiayai anak perempuannya dari kecil hingga dipersunting. AlQur'an tidak menggunakan kata mahar dan memilih kata s}adaq boleh jadi untuk menghapus kesan materialistik dan menonjolkan kesan ketulusan cinta. Dalam bahasa Arab, mahar serumpun juga dengan maha>rah yang artinya kepandaian, kepintaran, kecerdikan. Terkait dengan tradisi setempat, di mana lelaki yang hendak menikahi calon istri kesayangannya perlu melakukan pendekatan kepada orang tua cewek yang diincar. Dalam pendekatan ini, tentu saja diperlukan kepintaran melakukan lobi-lobi dan pendekatan demi tercapainya cita penyuntingan. Lalu, mereka memandang bahwa pendekatan paling efektif adalah dengan cara memberi hadiah, memberi sejumlah materi kepada si calon mertua. Karenanya, mahar sesungguhnya pemberian untuk orang tua gadis, sedangkan s}adaq adalah pemberian untuk gadis yang 17
Imam Sudiyat, Hukum Adat, Sketsa Asas (Yogyakarta: Liberty, 1978), 134.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
34
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
dinikahinya. Begitulah perbedaan antara aplikasi mahar dan s}adaq tempo dulu.18 Makanya, al-Qur'an mengaitkan langsung antara kata s}aduqa>t dengan kata al-nisa>’ (istri) sebagai obyek yang mesti menerima maskawin, tidak kepada bapak atau walinya dari sini tampak bahwa maskawin yang dibahasakan dengan s}aduqa>t oleh al-Qur’an punya makna sangat agung dan universal, sekaligus merevisi anggapan jahiliah Arab yang sampai hari itu berefek materialistik dan semenamena memberlakukan kaum wanita dalam rumah tangga. b. Nih}lah dan Fari>d}ah Sedangkah kata nih}lah yang artinya pemberian, sesungguhnya serumpun dengan kata nah}l yang artinya lebah. Apakah ini mengilustrasikan pernikahan seperti penyuntingan lebah terhadap bunga. Kumbang memberikan suatu servis kepada kembang dengan segala jasa yang dimilikinya, meski acap kali tidak sebanding dengan madu atau sari manisan yang diserap. Namun setelah mengingat perwatakan lebah yang mengisap madu bunga, maka lebih cenderung kepada pemberian tendensius. Boleh jadi ada kesamaan seperti itu mengingat tradisi kebahasaan bangsa Arab yang gemar bermetafora dan tamsilan, meski dalam penamsilan tidak selamanya klop dan tepat. Jika itu yang terjadi, maka betapa pengorbanan pihak istri teruntuk suaminya, meski harus layu setelah dipetik. Atas dasar makna ini, maka al-Kalby dan Abu Ubaidah mendefinisikan mahar dengan pemberian atau 18
W. Robertson Smith, Kinship and Marriage in Early Arabia, (Nederlands: Anthropological Publications, 1965), 93-94.
35
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
hibah yang lahir dari ketulusan hati, seperti tulusnya hati lebah mendekati bunga atau kerelaan kembang diserap madunya oleh si kumbang. Pemaknaan inilah yang ditonjolkan al-Qur'an sehingga memperjelas status mahar sebagai ekpresi ketulusan cinta antara suami dan istri tanpa menuntut imbalan apa-apa dalam jalinan cinta tersebut.19 Sisi lain, nih}lah yang berbentuk mufra>d dan jamaknya adalah nih}a>l bermaknakan agama, ajaran, aliran, faham. Dengan makna ini, maka arti ayat 4 alNisa tersebut adalah berikanlah maskawin kepada istrimu karena itu syari’ah agama. Dari term inilah, Qatadah dan kawan-kawan memberikan definisi mahar sebagai suatu pemberian yang wajib teruntuk istri. Nih}lah yang bermuatan syariah ini menunjukkan bahwa mahar adalah syariah agama yang berhukum fardu. Maka, wajar bila beberapa ayat seperti terpapar dalam matrik, mahar juga dibahasakan dengan fari>d}ah. Itulah, maka agama mengajarkan kita harus sensitif dan penuh pengertian terhadap jasa orang lain, para orang tua gadis yang dengan tulus hati berkenan membesarkan anak perempuannya. Maka bagi calon suami mesti ngerti jerih payah itu. c. Ujrah dan Qint}a>r Ujrah bermakna ongkos dan serumpun dengan kata ajr yang bermakna pahala. Sedangkan qint}a>r bermakna segudang emas. Keduanya memberi makna bahwa mahar harus bersifat ma>l atau mutamawwal, berupa harta atau mengandung nilai harta. Makna segudang emas dari qint}a>r menunjuk jumlah besaran yang tak 19
al-Fakhr al-Ra>zy, al-Tafsi>r, 180.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
36
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
terukur. Sifat tidak terukurnya dipantau lewat keadaan hani>’an mari>’an (lega dan memuaskan) saat dinikmati baik oleh yang bersangkutan maupun oleh orang lain. Dari ayat-ayat yang terpapar dan beberapa petunjuk Hadis, dapat diambil kesimpulan bahwa dari sisi nilai ma>liyahnya, secara garis besar mahar itu dibagi dua. Pertama, berupa mahar ‘ainy. Mahar yang berupa barang nyata, emas, uang, rumah atau benda berharga lain secara totalitas. ‘Ainiy artinya, materi, benda, atau esensi. Jadi yang dijadikan mahar adalah totalitas materi benda tersebut. Mahar inilah yang biasa berlaku sejak dulu sampai sekarang. Kedua, mahar berupa jasa atau manfaat sebuah benda yang disebut mahar naf’iy. Jasa adalah kerja seseorang yang berimbalan upah tertentu. Upah itulah yang dikompensasi menjadi mahar. Mahar naf’iy ini merujuk pada mahar Nabi Musa A.S. ketika menikahi gadis Saufara’, anak perempuan nabi Syu’aib A.S. Musa bekerja kepada Nabi Syu’aib dengan menjadi buruh mengembala kambing selama delapan tahun (al-Qas}as{: 27). Inilah yang kemudian oleh Abu Hanifah disebut dengan mahar ujrah seperti juga Hadis pemberian mahar berupa mengajar al-Qur'an. Logikanya, ongkos mengajar itulah maharnya.20 Dari peristiwa mahar al-Qur'an ini, fuqaha selanjutnya beristinba>th, bahwa hanya mengajar alQur'an saja yang sah dijadikan mahar naf’iy, selain alQur'an, tidak. Begitu juga soal menerima upah sebagai imbalan mengajar. Mayoritas Fuqaha mengatakan 20
Abdul Wahha>b al-Sha’ra>ni, al-Mi>za>n al-Kubra>, ( Singapur: AlHaramain, t.th.), juz II, 116; Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m (Beirut: Alam al-Kutub,1985), juz III, 500.
37
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
boleh jika materi ajarnya adalah al-Qur'an. Sedangkan materi non al-Qur'an, mereka berselisih pendapat.21 Tapi, jika yang diberikan sebagai mahar itu bukan mengajar al-Qur'an, melainkan mushaf al-Qur'an, maka itu mahar mal ‘ainy. Nilainya tidak sama dengan mengajar. Berapa harga mushaf itu di pasar, maka senilai itulah besaran maharnya. Mahar mengajar alQur'an juga harus ditentukan kadarnya, sampai sejauh apa atau selama kapan dan sebagainya. Hal itu karena ketika Nabi Muhammad SAW menikahkan shahabat miskin dengan Khaulah dulu juga ditanya surat apa saja yang dia kuasai. Lalu surat-surat tersebut ditunjuk sebagai materi ajar. Untuk ini, mahar mengajar alQur'an tidak bisa dipandang mesti murah. d. T{awl T{awl bermakna kemampuan. Kemampuan memberikan mahar sebagai tanda bukti kemampuan suami memberi sesuatu dimana kompensasi qawwa>m ‘ala> al-nisa>’ salah satunya berbanding lurus dengan kemampuan menyediakan sarana materiak ekonomis (bima> anfaqu> min amwa>lihim) yang disebut dalam alNisa : 34. Secara proses, maskawin sesungguhnya adalah komunikasi terakhir antara keluarga luas dari pihak-pihak yang bersangkutan sebelum terjadi akad nikah. Maskawin membuktikan bahwa kepentingan dua insan yang akan mengikat status resmi tunduk pada keputusan dari komunikasi tersebut. Karena perkawinan adalah suatu kontrak sosial antara keluarga satu dengan yang lain, maka dalam prosesi menuju 21
Muhammad Aly al-S}a>bu>ny, Rawa>’i al-Baya>n, Tafsi>r Aya>t alAh}ka>m (Damasqus: Maktabah al-Ghazali, 1980), juz II, 150-151.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
38
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
akad perkawinan dibicarakan segala hal yang berkaitan dengan pembentukan keluarga baru. Di sana bisa terjadi dialog tentang t}awl atau kemampuan pihak lakilaki dan dapat diawali dengan kesepakatan tentang maskawin. Dialog bisa bermuara pada pihak laki-laki harus menyediakan sesuatu harta atau pihak perempuan melepas haknya (tana>zul al-h}aq) untuk meminta sesuatu. Dari sini kemudian ada istilah afw dan hibah dalam penyebutan maskawin. e. ‘Afw dan Hibah Varian bahasan maskawin berefek kepada status mahar apakah termasuk rukun nikah atau bukan. Jumhur ‘ulama menganggap mahar sebagai bukan rukun nikah sehingga nikah tanpa mahar dihukumi sah, sedangkan sebagian yang lain memandang sebagai rukun. Perbedan status mahar ini bertolak pada perbedaan pandangan soal apa yang dominan hingga menyebabkan seorang wanita menjadi halal digauli, akad nikahnya atau maharnya ? Ulama yang berpihak kepada akad nikah berargumen bahwa kehalalan wanita tersebut murni karena akad nikah yang telah digariskan agama. Sebab nikah adalah syari’ah tersendiri, bukan ibadah murni dan bukan pula muamalah murni. Maka, mahar bukan rukun dan berada di luar sistem keabsahan nikah. Mahar dianggap sebagai pemberian wajib yang terkait dengan solidaritas dan kemanusiaan, sama sekali bukan penentu sah dan tidaknya aqad nikah. Karena itu, mahar didialogkan antar kedua belah pihak, bahkan mahar bisa ditiadakan oleh istri atau pihak yang berhak menerima. Hal demikian terbukti pada nikah hibah yang ditawarkan seorang wanita kepada Rasulullah SAW. Jika kata-kata wanita itu dipertegas, 39
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
maka menjadi begini: Ya Rasulallah, nikahilah saya, gratis tanpa mahar, meski akhirnya beliau tidak selera. Sedangkan pihak yang memandang sebagi rukum, mereka melihatnya dari sisi imbalan atau ‘iwad}. Seperti lazimnya transaksi, tidak sekerdar akad saja yang menyebabkan kehalalan sesuatu, melainkan juga konpensasinya. Ibarat jual beli, tidak sekedar ada transaksi saja, melainkan perlu terwujudnya kompensasi. Si pembeli menyerahkan sejumlah uang dan si penjual menyerahkan barang. Memang muna>kah}ah bukan mu’a>malah, melainkan lebih dari sekedar mu’a>malah. Jika mu’a>malah mengharuskan adanya transaksi dan kompensasi, maka terlebih bagi muna>kah}ah. Meskipun nanti mahar bisa dimaaf, digugurkan atau digratiskan oleh istri yang berhak, tapi suami harus memberi lebih dahulu. Perkara nanti dikembalikan atau dikorting, itu hak istri. D. Mahar dalam Pandangan Fuqaha> Berikut ini dikemukakan pendefinisian mahar antar imam madzahib: 1. Madzhab Hanafi, bahwa mahar adalah sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad pernikahan atau terjadinya hubungan biologis suami-istri. 2. Madzhab Maliki, bahwa mahar adalah sesuatu yang menjadikan seorang istri halal diaguli. 3. Madzhab Shafi’iy, bahwa mahar adalah sesuatu yang yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
40
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
4. Madzhab Hanbali, bahwa mahar adalah sesuatu yang sebagai imbalan dari suatu pernikahan atau senggama.22 Meski beda pembahasaan, tetap saja mengarah kepada sesuatu yang diwajibkan.23 Dari ragam pendefinisian di atas masih terlihat pandangan tentang mahar dalam arti terbatas dan kurang universal. Masih dipandang sebagai imbalan atau penyebab halalnya pesenggamaan. Dan itu sah-sah saja karena para imam mujtahid sedang bicara soal fikih yang sangat normatif. Sehingga pendefinisiannya terkait dengan hukum halal dan haram. Meski mereka berbeda pendefinisian, tapi intinya sama. Yakni sejumlah uang yang diberikan oleh suami kepada istri mengiringi akad nikah. Begitulah, maskawin sebagai s}adaq yakni simbol cinta suci, sebagai mahar, yakni sejumlah materi yang diberikan, sebagai nih}lah, yakni pemberian dengan tulus hati, sebagai farid}ah, yakni pemberian wajib atas suami kepada istri, sebagai tawl bukti kemampuan suami memberi sesuatu kepada istrinya, sebagai hibah dan ‘afw yang memang ternyata bisa digratiskan dan ditiadakan. Semua itu menunjukkan betapa maskawin amat penting dan bernilai mulia baik ditinjau dari aspek apapun. Dari aspek sosial adalah perhargaan terhadap keluarga mempelai wanita, apalagi dari aspek keagamaan. Dari sekian petunjuk nash, fuqaha juga berbeda pandangan, apakah mahar punya standar minimal ? 22
Muhammad Jawwad al-Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, terj. Afif Muhammad (Jakarta: Basrie Press,1994), 77 23 Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas’u>d al-Baghawy, Tafsi>r alBagha>wy (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmyah,1993), juz I, 310-311.
41
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
Dari empat imam imam mujtahid fiqih ternyata berimbang antara yang menyatakan ada batasan minimal dan yang tidak. Abu Hanifah dan Malik ibn Anas menyatakan harus ada batasan minimal. Abu Hanifah mematok minimal 10 dirham dan Malik mematok 3 dirham. Sedangkan al-Syafi’iy dan Ahmad ibn Hanbal tidak memberi batasan besaran mahar, tak ada batas minimal dan tak ada batas maksimal.24 Dari sisi dasar istinbat, sesungguhnya tak ada perbedaan antara dua kelompok tersebut soal besaran mahar. Mahar, semakin banyak, semakin disunnahkan. Rasulullah SAW memberi mahar Ummu Habibah, Ramlah bint Abi Sufyan sebesar 450 dinar, jumlah yang sangat fantastis waktu itu.25 Permasalahannya hanya pada batasan minimal. Kelompok pertama, Abu Hanifah dan Malik yang kebetulan mujtahid senior memandang Hadis cincin kawat sebagai hadis yang bernada retorik tanbih yang menunjuk betapa mahar mesti harus dibayarkan, meski dengan jumlah sedikit dan bukan sebagai retorik tasyri’ yang menunjuk persyariatan jumlah mahar. Karena itu, mereka tidak memandang Hadis cincin kawat sebagi Hadis aqall al-mahr. Maka mahar harus dikembalikan kepada peran aslinya, yakni wujud cinta kasih yang elitis dan terhormat. Jadi, mahar perlu ada batasan minimal. Abu Hanifah dan Malik wajar saja berpendapat demikian karena latar belakang mereka termasuk konglomerat dan punya status sosial tinggi sehingga penghargaan terhadap manusia juga 24 25
ibid: 452-453
Muhammad Rida, Muhammad Rasulullah SAW (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiah, 1975), 274.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
42
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
diekspresikan dengan pemberian materi tinggi. Abu Hanifah yang tinggal di Kufah, kota metropolis dengan tingkat konsumeris cukup tinggi, ternyata seorang saudagar ekspor-impor tekstil dan kayu cendana yang sukses. Sedangkan Malik ibn Anas adalah ulama’ kerajaan yang serba dipenuhi fasilitas kenyamanan dan berkecukupan dan tinggal di jantung Madinah. Lain dengan al-Syafi’ dan Ahmad bin Hanbal. AlSyafi’iy sebagai ilmuwan sangat tinggi pengabdiannya terhadap ilmu, selalu mengembara, belajar dan mengajar, berfatwa dan berpindah, sehingga tak ada catatan di mana rumahnya dan bagaimana keluarganya. Al-Syafi’iy satu-satunya mujtahid yang menjelajah luar negeri dan hidup sederhana. Maka wajar bila sebagian fatwanya berubah karena situasi yang dilihatnya sendiri ternyata berbeda. Terjadilan istilah qawl qadi>m dan qawl jadi>d li al-Sha>fi’iy. Al-Syafi’iy wafat dalam usia relatif muda, 54 tahun dibanding rekan sesama mujtahid. Sementara Ahmad bin Hanbal juga tidak dikenal sebagai ulama yang kaya sehingga wajar keduanya tidak memberi batasan besaran mahar, tak ada batas minimal dan tak ada batas maksimal. Karena perbedaan berbuah rahmat, maka salah satu rahmat dari perbedaan mengenai besaran mahar ini sangat nyata. Al-Syafi’iy sungguh rahmat bagi para lelaki miskin. Pendapatnya soal mahar cukup representatif bagi mereka yang berkekurangan. Makanya, bagi pria miskin, kiranya cukup bahagia memilih pendapat mujtahid miskin seperti al-Syafi’iy dan Ahmad. Sedangkan bagi lelaki konglomerat, mestinya mengikuti pemikiran mujtahid konglomerat seperti Abu Hanifah. Berikan mahar sebanyak mungkin 43
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
dan itu sunnah berpahala. Jika mahar diberikan di atas batas minimal maka itu mustah}ab, sekaligus bisa menghindar dari khilaf antar ulama’, al-khuru>j min alkhila>f mustah}ab. 26 E. Penutup Pemahaman agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas manusia yang tercermin dalam budayanya. Pemahaman agama secara keseluruhan tidak akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama, yaitu manusia. Masyarakat berkembang dari kondisi primitif hingga modern. Sistem yang berjalan di masyarakat pun bergerak dari sistem tertutup menjadi terbuka. Unsur yang paling pokok dalam masyarakat tertutup adalah kebutuhan mempertahankan tradisi dan konvensi, dan sekaligus mereka akan bersiaga untuk menyerang apa pun yang dianggap akan meruntuhkan kesatuan sosialnya. Dalam konteks masyarakat terbuka saat ini konsep maskawin sebagai kewajiban laki-laki untuk diberikan kepada pihak perempuan memungkinkan adanya peluang untuk dikritisi, bahkan dipungkiri, karena hanya akan dibidik pemunculan sifat inferior di satu pihak dan superior di pihak lain. Maka, memandang konsep maskawin dari perspektif al-Qur’an meneguhkan bahwa konsep al-Qur’an berlaku dalam masyarakat manapun dimanapun. Ringkasnya sesuai pembahasan tulisan ini, dapat dilihat bahwa : 1. Al-Qur'an tidak pernah membahasakan maskawin dengan kata mahar, melainkan menggunakan kata 26
al-Suyuti, al-Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi Qawa>’id wa Furu>’ Fiqh alShafi’iyah. (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmah, 1983), 136.
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
44
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
s}aduqa>t. Istilah mahar ada dalam al-Hadis dan tradisi Arab setempat. Al-Qur'an menghendaki makna yang paling tinggi dari pemberian maskawin tersebut tidak sekedar berkutat pada dataran fiqih yang tampak mengedepankan sifat transaksional dan meterialistik, melainkan merambah ke makna filosofis dan mengembalikan makna universalitas makna maskawin sekaligus menggeser persepsi materialistik ke simbol cinta kasih. 2. Makna yang dapat diambil dari paparan al-Qur’an tentang maskawin adalah : a. S{adaq harus berupa ma>l atau mutamawwal, baik ma>l ainy maupun ma>l naf’iy yang diberikan oleh suami untuk istri yang menyertai akad nikah berada dalam konteks mendudukkan perkara bahwa yang berhak diberi mahar adalah perempuan yang bersangkutan sebagai penerima hak. Perintah tersebut dalam konteks melindungi perempuan sebagai orang yang menerima resiko secara langsung dari akibat pernikahan, terutama menyangkut kegiatan reproduksi (hamil, melahirkan dan menyusui, atau keguguran). b. Perintah memberi mahar bukanlah perintah yang bersifat absolut sebagaimana perintah dalam hal beribadah yang berkonsekuensi dosa bagi para pelanggarnya, tetapi perintah yang bersifat relatif dan tentatif dalam konteks sosial-budaya yang terus berubah.
45
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
Daftar Pustaka al-Bagha>wy, Abu Muhammad al-Husain ibn Mas’ud. Tafsir al-Baghawy Beirut: Dar al-Kutub alIlmiah,1993. Connolly, Peter (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri Yogyakarta: LKIS, 1999. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adhim Beirut: Alam alKutub,1985. Koentjaraningrat, Kebudayaan : Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia, 1994. al-Mughniyah, Muhammad Jawwad. Fiqih Lima Madzhab, terj. Afif Muhammad Jakarta: Basrie Press,1994. Muslim ibn al-H{ajja>j, Sahih Muslim. Riya>d} : Bayt alAfka>r al-Dawliyyah, 1998.. Palmer, Richard E. Hermeneutics. Evanstone : Northwestern University Press, 1969. al-Ra>zi, al-Fakhr. al-Tafsir al-Kabir. Teheran: Dar alKutub al-Ilmiah, t.th. Rid}a>, Muhammad Muhammad Rasulullah SAW. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1975. Robertson, Smith W. Kinship and Marriage in Early Arabia, Nederlands: Anthropological Publications, 1965. al-S{a>buny, Muhammad ‘Ali. Rawa’i al-Baya>n, Tafsir A
t al-Ah}ka>m Damasqus: Maktabah al-Ghazali, 1980. al-Sha’rani, Abdul Wahhab. al-Mizan al-Kubra, Singapur: Al-Haramain, t.th. Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47
46
Perspektif al-Qur’an Tentang Mahar .......
(Masrokhin)
Shihab, Muhammad Quraih. Perempuan Ciputat: Lentera Hati, 2005. Sudiyat, Imam. Hukum Adat, Sketsa Asas Yogyakarta: Liberty, 1978. al-Suyu>t}i, al-Ashba>h wa al-Nadzair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Shafi’iyah. Beirut: Dar al-Kutb alIlmiah, 1983. Yusuf, Husen Muhammad. Ahdf al-Usrah fi al-Islam, Cairo: Dar I’tisham, 1997. al-Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh. Mesir: Dâr al-Fikr, 1989 M/1409 H.
47
Irtifaq, Vol. 2, No. 1, Maret 2015 : 21 – 47